1
BAB I
P E N D A H U L U A N
1.1. Latar Belakang
Kemajuan masyarakat yang terjadi dalam kurun waktu tiga puluh atau
empat puluh tahun terakhir ini mengandung segi positip dan segi negatipnya bagi
masyarakat pada dirinya dan bagi lingkungan hidup. Sebagai contoh tindakan
yang ramah lingkungan dapat disebutkan di sini antara lain adanya jalur hijau di
kota-kota besar, penanaman pepohonan di kota, menghutankan kembali lahan-
lahan kosong atau gundul, menghemat penggunaan air dan sebagainya.
Sebaliknya tindakan yang merusak alam atau lingkungan hidup contohnya adalah
membuang sampah sembarangan sehingga pada musim hujan terjadi banjir di kota
besar seperti Jakarta akibat selokan saluran air tersumbat. Air berwarna hitam dan
kotor, tidak sehat. Hutan dimana-mana di kepulauan Indonesia dibabat dan terjadi
erosi, sungai menjadi dangkal dan terjadi tanah longsor diberbagai tempat yang
mendatangkan korban jiwa manusia. Lingkungan hidup di Indonesia telah
menjadi rusak karena tindakan manusia. Hal itu sudah banyak ditulis dan
dikabarkan di media cetak maupun media elektronik di Indonesia.
Pada era tahun 2000-an telah tumbuh kesadaran dan usaha untuk
meminimalisir dampak negatip kemajuan dan pembangunan. Timbul kesadaran
yang menyatakan bahwa manusia juga bergantung pada lingkungan hidup yang
baik dan yang sehat makin meningkat. Hal itu terwujud antara lain dengan
tumbuhnya kesadaran untuk menggali dan mengembangkan kearifan lokal atau
©UKDW
2
local wisdom dan menghidupkannya secara terus-menerus dalam masyarakat.
Penelitian dan kajian mengenai ritual-ritual lokal dilakukan di sana-sini. Ritual
lokal warisan nenek-moyang bangsa Indonesia diyakini antara lain bermuatan
nilai-nilai kearifan lokal.
Damai dengan sesama manusia dan damai dengan alam atau lingkungan
hidup yang berpusat pada ritual lokal sudah selayaknya mendapatkan perhatian
yang proporsional. Dalam rangka itulah penulis tergerak untuk melakukan
penelitian terhadap ritual lokal Rasulan di desa Wiladeg, Gunung Kidul,
Yogyakarta.
Menurut pengamatan penulis, masyarakat desa Wiladeg bukan satu-
satunya yang masih melestarikan ritual rasulan. Ada beberapa desa lain di
kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta juga memiliki ritual serupa yang lazim
disebut Bersih Desa. Namun, rasulan di desa Wiladeg lebih dari sekedar bersih
desa sebagaimana dilaksanakan desa-desa lain di sekitarnya seperti desa
Bejiharjo, Kelor, Ngawis, Bendungan, bahkan desa-desa di kecamatan-kecamatan
lain. Desa-desa lain menyelenggarakan Bersih Desa hanya dalam waktu yang
singkat yaitu sehari semalam dan melibatkan hanya sedikit orang dan hanya
sedikit penduduk setempat saja. Namun tidak demikian dengan rasulan di desa
Wiladeg. Rasulan desa Wiladeg dapat dikatakan sebagai peristiwa yang
melibatkan banyak orang dan bersifat besar-besaran menurut ukuran masyarakat
desa. Pada waktu persiapan hingga hari H pelaksanaan rasulan memakan waktu
hingga beberapa minggu. Persiapan dan penyelenggaraannya juga melibatkan
seluruh penduduk desa : laki-laki, perempuan, anak-anak, remaja, muda-mudi
©UKDW
3
desa, orang-tua, tokoh-tokoh agama (ulama), sesepuh desa, dan aparat pemerintah
atau pamong desa, bahkan para perantau atau pemudik. Penduduk dari luar desa
juga berduyun-duyun menghadirinya. Selain itu, perayaan rasulan juga dihadiri
para lurah dari desa-desa di sekitar Wiladeg, Camat, Bupati. Tokoh Kraton
Yogyakarta seperti Sri Paku Alam VIII sebagai patih atau wakil raja dan bahkan
raja Mataram, Yogyakarta yaitu Sri Sultan Hamengku Buwono X juga hadir.
Masyarakat luas memberikan apresiasi terhadap ritual rasulan desa Wiladeg.
Ritual rasulan di desa Wiladeg mencakup 2 (dua) kegiatan utama yang
tidak bisa dipisahkan satu dengan lainnya, yaitu (a) ritual Bersik kali Banteng
pada hari Jumat Legi1, dan (b) Rasulan pada hari Jumat Kliwon, yaitu empat belas
hari setelah ritual yang pertama. Ritual Rasulan dilaksanakan pada bulan Juli atau
Agustus, dipilih salah satu pada bulan yang mana di dalamnya terdapat hari Jumat
Legi dan Jumat Kliwon.
Kegiatan ritual Bersik kali Banteng adalah kegiatan warga masyarakat
membersihkan sumber mata air di kali (sungai) Banteng. Di sana ada sekitar
seratus bahkan lebih orang dewasa baik laki-laki maupun perempuan, anak-anak,
remaja, pemuda bersama-sama dan beramai-ramai mengangkat lumpur dan
sampah dedaunan atau sampah-sampah lainnya dari pusat sumber mata air di kali
Banteng dan dari lokasi di sekitarnya lalu membuangnya atau membakarnya.
Setelah kegiatan membersihkan kali Banteng selesai, di tempat itu juga
dilaksanakan acara makan bersama atau kenduri. Menurut pengamatan penulis,
makanan yang disantap bersama-sama itu berasal dari sekitar lima-puluhan
1 ‘Legi, Kliwon’ adalah nama sebutan hari dalam kalender Jawa yaitu Legi, Pahing, Pon, Wage,
Kliwon disebut ‘sepasar’.
©UKDW
4
keluarga yang metok-ke2 ambengan
3. Dalam hal ini ada keluarga-keluarga yang
metokke ambengan lebih dari satu paket. Acara makan bersama atau kenduri itu
dilakukan secara berkelompok membentuk lingkaran dengan anggota masing-
masing sekitar 10 orang per kelompok. Mereka duduk lesehan atau duduk di tikar
dan berbaur satu dengan lainnya dan ambengannya diletakkan di tengah
lingkaran pada setiap kelompok kelompok. Sebelum makan dimulai, Bapak Lurah
lebih dulu memberikan sambutan berkaitan dengan maksud dan tujuan
dilaksanakannya kegiatan Bersik kali Banteng ini. Kemudian seorang sesepuh
adat yang dulu disebut ‘juru kunci kali’ memimpin ’ijab kabul’4 atau doa secara
adat secukupnya. Setelah ijab kabul secara adat selesai, diteruskan dengan doa
secara agama Islam yang dipimpin oleh seorang ulama Islam. Kemudian makan
bersama dimulai hingga selesai. Itulah ritual pertama sebagai bagian dari ritual
Rasulan. Mereka bergotong-royong membersihkan sumber mata air di kali
Banteng dan makan bersama setahun sekali di lingkungan kali Banteng.
Ritual kedua disebut dengan Rasulan yang dilaksanakan pada hari Jumat
Kliwon, yaitu dua minggu setelah ritual Bersik Kali Banteng. Selama dua minggu
itulah penduduk Wiladeg melakukan kegiatan bersih-bersih (Jawa : resik-resik)
yaitu membersihkan sampah, atau rerumputan di pekarangan rumah, memperbaiki
dan mengapur pagar halaman, dan mengecat dinding rumah. Kegiatan lainnya
2 ‘metok-ke’ adalah istilah lokal yang berarti ‘menghidangkan’ atau ‘menyajikan’. Wujudnya
adalah kupat yang berjumlah puluhan buah kupat atau lebih dan satu atau beberapa ingkung ayam
kampung (jago) dan gudangan atau urap. 3 ‘Ambengan’ adalah hidangan yang disajikan berupa ingkung ayam jantan, ketupat dan urap
sayuran. Hidangan tersebut diletakkan di dalam tampah (alat menampi) dengan daun pisang
sebagai alasnya. 4 ‘ijab kabul’ adalah semacam doa dengan menyebut jenis sesajian atau ambengan yang
disediakan dan mengucapkan maksud tujuan dari adanya ‘sesajian’ itu.
©UKDW
5
adalah membuat dan menjemur krupuk atau rengginang dari beras ketan dan
makanan lainnya seperti lempeng dari tepung beras atau makanan ritualonal
lainnya.
Sementara itu di rumah para dukuh atau perangkat desa yang terendah, ada
kegiatan membuat 2 (dua) buah gunungan atau ancak yaitu ancak lanang (laki-
laki) dan ancak wedok (perempuan). Ancak lanang adalah ancak yang dibuat
secara bebas sesuai kreatifitas masing-masing pedukuhan, bisa berupa patung
pahlawan nasional, burung garuda, pesawat terbang, atau perahu. Sedangkan
ancak wedok dibuat pada satu hari sebelum hari ’H’. Bahan yang digunakan untuk
membuat ancak wedok adalah hasil bumi seperti padi, jagung, sayur-mayur dan
umbi-umbian. Karena desa Wiladeg terdiri dari 10 pedukuhan maka tepat pada
hari rasulan ada 10 pasang ancak yang berbeda-beda. Pada hari Rasulan, baik di
dalam ancak lanang maupun ancak wedok tersebut diisi ambengan. Jika pada
acara Bersik Kali Banteng dihidangkan ambengan yang berasal dari keluarga per
keluarga yang metokke, sementara ambengan di dalam gunungan (ancak)
merupakan ambengan pedukuhan, artinya adalah bahwa ambengan itu merupakan
hasil kebersamaan masyarakat di pedukuhan yang bersangkutan secara kolektif.
Setelah tiba pada hari ’H’ perayaan ritual rasulan, yaitu pada hari Jumat
Kliwon, masyarakat dari masing-masing pedukuhan mengusung 2 (dua) buah
ancak tersebut menuju pusat, yaitu lapangan desa. Yang menarik dan
menghasilkan kemeriahan adalah arak-arakan masyarakat pengusung dan
pengiring ancak beserta pasukan reyog ritualonal dengan segala bunyi-bunyiannya
ritualonal yang khas. Pada akhirnya terkumpullah 10 pasang ancak di lapangan
©UKDW
6
desa dengan sepuluh grup reyog dan ribuan warga masyarakat. Dari lapangan desa
dilanjutkan kirab gunungan beserta reyognya masing-masing menuju halaman
balai desa yang berjarak sekitar 150 meter.
Kegiatan dan acara di Balai Desa meliputi : (a) Sambutan-sambutan dari
Lurah, Bupati, dan Tokoh Adat Kraton Yogyakarta; (b) Ijab kabul dan doa secara
Islam; (c) Beber reyog yaitu acara dimana setiap grup reyog unjuk kebolehan
secara bergantian. Acara terakhir dan penutup adalah (d) berebut isi gunungan,
sebuah acara yang dinantikan warga masyarakat. Sementara acara berebut isi
gunungan itu berlangsung, tamu-tamu khusus seperti Camat, Bupati dan KGPH
Hadi Kusumo (tokoh adat kraton Yogyakarta) beserta rombongan dan tamu-tamu
desa yang lainnya menikmati makan bersama atau kenduri di balai desa. Biasanya
acara di balai desa dimulai sejak pagi dan selesai pada sekitar jam 15.00. wib.
Pada malam harinya diadakan pagelaran wayang kulit semalam suntuk di pendopo
balai desa. Dua tontonan yang disebut terakhir dibanjiri ribuan orang penonton.
Informasi dari masyarakat menyebutkan bahwa pada rasulan dua tahun
terakhir yaitu tahun 2009 tahun 2010 selama satu minggu sebelum hari ’H’ pada
setiap malam hari di pendopo balai desa diadakan berbagai macam atraksi atau
gelar budaya ritualonal. Gelar budaya ritualonal itu meliputi tari-tarian ritualonal,
wayang kulit oleh dalang cilik, karawitan, sinden cilik, campur sari dan ketoprak,
yang semuanya serba bernuansa.
Hal lain yang menarik adalah open house yang dilaksanakan oleh
penduduk Wiladeg. Pada hari H rasulan baik pada siang maupun malam hari
penduduk mengadakan open house. Mereka menerima siapa saja yang singgah di
©UKDW
7
rumah penduduk, bisa teman-teman lama pada masa sekolah, atau teman-taman
sekolah sekarang, teman-teman kantor atau teman kerja, teman-teman pensiunan,
sanak-saudara, sanak-famili atau kerabat atau siapa saja yang berkenan singgah.
Mereka datang dari tempat dekat dan dari tempat jauh. Pada kesempatan ini para
perantau juga pulang mudik ke desa Wiladeg. Maka disengaja atau tidak sengaja
para pemudik punya kesempatan reuni .
Masih informasi dari warga masyarakat, konon biaya penyelenggaraan
rasulan desa Wiladeg tahun 2010 mencapai sekitar Rp.60 juta. Dana itu
bersumber dari iuran warga masyarakat. Penduduk kategori petani berkontribusi
Rp.30.000,- per kepala keluarga; penduduk yang berstatus pegawai negeri dan
yang setara dengan itu berkontribusi Rp.50.000,- per kepala keluarga. Dan dari
sumber-sumber lain yang berasal dari hasil usaha-usaha panitia pelaksana rasulan
antara lain baik dari para donatur maupun dari anggota keluarga penduduk
Wiladeg yang pulang mudik.
Bagi penduduk Wiladeg selain kewajiban berkontribusi dana kepada
panitia pelaksana rasulan tersebut, setiap keluarga juga mengalokasikan dana
dalam rangka rasulan itu mulai dari Rp.500.000,- (lima ratus ribu rupiah) sampai
dengan jutaan rupiah. Dana itu untuk kebersihan dan kerapihan atau keelokan
rumah, untuk menyiapkan konsumsi atau hidangan menyambut siapa saja yang
singgah pada hari rasulan itu. Besaran biaya setiap keluarga berbeda-beda
tergantung dari jumlah tamu yang telah diprediksi akan berkunjung atau yang
singgah pada berlangsungnya ritual rasulan.
©UKDW
8
Menurut pengalaman penulis selama tinggal di desa Wiladeg antara tahun
1970-an sampai dengan tahun 1980-an penulis mengetahui bahwa penduduk
Wiladeg menghormati dan mengasihi sesamanya dan lingkungannya.
Meskipun penyelenggaraan ritual rasulan menimbulkan penumpukan masa
dalam jumlah ribuan orang pada saat bersamaan namun demikian hal itu tidak
menimbulkan hal buruk seperti keributan, adu jotos, perkelahian dan sejenisnya.
Penyelenggaraan ritual rasulan tersebut berjalan aman, tertib dan menyenangkan.
Demikian gambaran tentang ritual rasulan desa Wiladeg yang penulis kenal atau
ketahui. Keadaan masyarakat desa Wiladeg dengan ritual rasulannya itu
sepertinya memberikan gambaran tentang keadaan masyarakat yang nyaman,
tertib, aman, damai dan suka berbagi.
Masyarakat desa Wiladeg adalah bagian integral dari masyarakat majemuk
(plural) di Indonesia. Masyarakat Indonesia pada umumnya tentu sudah
memaklumi bahwa sejak bangsa Indonesia memasuki era reformasi mulai 1998
sampai sekarang di berbagai tempat telah terjadi banyak gejala melemahnya
ikatan (kohesi) sosial sampai dengan timbulnya peristiwa kekerasan dan konflik.
Eskalasi kekerasan dan konflik tersebut terjadi pada tingkat mikro, mezo maupun
makro dan menjadi masalah nasional. Konflik-konflik yang terjadi pada umumnya
merupakan konflik horizontal atau konflik antar sesama warga masyarakat ; dan
atau konflik vertikal yaitu konflik antara masyarakat dengan pemerintah. Dampak
buruk dari konflik antara lain runtuhnya struktur dan kultur masyarakat yang telah
dibangun selama ini. Hal itu dapat kita ketahui baik dari berita di koran, majalah
maupun dari siaran televisi pada sekitar tahun 1998. Berita di media cetak dan
©UKDW
9
media elektronik itu menyebutkan bahwa konflik-konflik yang terjadi di Indonesia
dipicu antara lain oleh perbedaan SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar
Golongan). Konflik berbau SARA terjadi di Ambon, Maluku pada sekitar tahun
1998. Disusul tragedi / konflik di Poso, Sulawesi Tengah. Kita juga tentu tidak
lupa pada tragedi Monas, Jakarta pada 16 Agustus 2010. Atau kekerasan kepada
penganut Islam Ahmadiyah di beberapa tempat di Tanah Air. Konflik ‘makam
mbah Priok’, di Tanjung Priok, Jakarta yang menelan sejumlah korban tewas ;
tragedi penusukan senjata tajam dan pemukulan terhadap warga gereja HKBP
Bekasi ketika korban sedang beribadah di gereja pada Minggu, 19 September
2010. Merebaknya peristiwa penutupan tempat-tempat ibadah oleh sekelompok
warga masyarakat. Konflik dan dan kekerasan tersebut bertolak-belakang dengan
ritual adat-istiadat gotong-royong dan kebersamaan di dalam masyarakat.
Tingkat kekerasan mulai dari lingkup kecil hingga lingkup yang besar
dengan terjadinya perang antar atau sesama manusia itu bisa dipicu oleh isu
SARA, karena masalah tanah, batas wilayah desa, kecamatan, kabupaten atau
karena kebijakan Pemerintah. Hampir dapat dipastikan bahwa akibat dari setiap
konflik adalah kerusakan, termasuk rusaknya tata-nilai luhur masyarakat
Indonesia.
Agar tidak menimbulkan kesan asal hantam kromo atau men-generalisasi
atau pukul rata seolah-olah semua warga masyarakat di wilayah Nusantara
Indonesia suka kekerasan, di sini penulis melakukan penelitian di komunitas
masyarakat Wiladeg yang memiliki ritual lokal. Penulis beranggapan bahwa
©UKDW
10
ritual Rasulan masyarakat di desa Wiladeg adalah ritual yang menghasilkan
kondisi damai dalam masyarakat dan lingkungan hidup atau alam.
Melalui penelitian dan pengkajian tentang ritual lokal rasulan desa
Wiladeg ini, semoga makin menyemangati usaha-usaha membangun masyarakat
yang damai pada masa kini dan di masa yang akan datang.
1.2. Rumusan Masalah
Masyarakat desa Wiladeg adalah masyarakat yang dengan setia sejak
dahulu kala hingga sekarang pada setiap tahun selalu menyelenggarakan ritual
rasulan. Ritual rasulan masyarakat desa Wiladeg memuat nilai-nilai atau aspek-
aspek penting yang menyumbang terciptanya kondisi damai dalam masyarakat
setempat dan masyarakat di sekitarnya. Ritual lokal itu dapat digambarkan seperti
nyala lilin yang menerangi kegelapan; atau seperti setitik warna putih di atas
selembar kertas hitam. Artinya, bahwa di tengah merebaknya konflik dan
kekerasan di beberapa wilayah di negeri ini seperti di Ambon, Poso, dan Tanjung
Priok, menurut penulis masih ada suatu komunitas yang cinta damai, yaitu
masyarakat yang hidupnya justru berakar, tumbuh dan berkembang dan saling
menghidupi dengan nilai-nilai ritual lokalnya. Hal lain yang juga menarik untuk
diperhatikan lebih jauh adalah kenyataan bahwa ritual rasulan itu diminati dan
dirindukan bahkan diapresiasi oleh masyarakat setempat dan masyarakat dari luar
desa Wiladeg termasuk pejabat pemerintah dan tokoh adat kraton Yogyakarta.
Oleh sebab itu penulis merasa termotivasi untuk mempelajarinya lebih dalam
melalui penelitian.
©UKDW
11
Untuk melakukan penelitian, penulis bertitik-tolak dari pertanyaan sebagai
penelitian berikut, yaitu : Pertama, apa sesungguhnya makna ritual Rasulan
tersebut baik bagi masyarakat Wiladeg sendiri maupun bagi orang-orang luar
daerah yang berpartisipasi / berkontribusi di dalam ritual rasulan itu? Kedua,
dalam hal apa ritual rasulan itu mempromosikan perdamaian?
Bertitik-tolak dari dua pertanyan dasar itu kemudian dilakukanlah
penelitian ini.
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah : Pertama, untuk
mengetahui secara lebih mendalam mengenai makna ritual rasulan baik bagi
masyarakat Wiladeg sendiri dan bagi orang-orang luar daerah yang berartisipasi /
berkontribusi di dalam ritual rasulan itu; dan yang kedua, untuk mengetahui
sejauh mana ritual rasulan tersebut mempromosikan, memperkenalkan,
mengembangkan, meng-kampanyekan perdamaian dalam masyarakat.
1.4. Manfaat Penelitian
Penulis bermaksud agar dari hasil penelitian ini masyarakat Wiladeg
khususnya dan masyarakat luas pada umumnya mengetahui bahwa ritual rasulan
itu bukan hanya sekedar ritual yang tanpa makna. Ritual rasulan desa Wiladeg
memiliki di dalamnya nilai-nilai kearifan lokal atau local wisdom yaitu nilai-nilai
perdamaian seperti makin kuatnya rasa kebersamaan dalam perbedaan. Tentu
nilai-nilai tersebut sangat relevan bagi masyarakat modern pada masa sekarang
©UKDW
12
dan masa yang akan datang. Menurut penulis, sejarah dan realitas sosial
masyarakat desa Wiladeg adalah masyarakat yang cinta damai. Mereka telah
menjadi agen perdamaian. Secara langsung atau tidak langsung mereka
melakukan promosi perdamaian, ketika sejak dini warga masyarakat telah
diperkenalkan dan terlibat dalam penyelenggaraan ritual yang dimilikinya.
Dengan studi ini kiranya menjadi sumbangsih bagi masyarakat luas dan
lembaga pendidikan ilmiah agar dapat melakukan analisa yang lebih mendalam
atas ritual rasulan ini, dan menjadi sumbangsih bagi para pihak yang giat
melakukan perjuangan demi perdamaian.
1.5. Metode Penelitian
Tesis ini menggunakan jenis penelitian kualitatif. Sumber data dalam
penelitian kualitatif adalah hal-ikhwal, peristiwa, manusia maupun situasi yang
dapat diobservasi dan dijadikan sumber informasi atas fokus penelitian yang
dimaksudkan. Sumber data dalam penelitian kualitatif berasal dari para nara-
sumber atau human resources dan dari non human resources yaitu dokumen
seperti kaset, photo dan lain-lain. Sumber-sumber data tersebut dipilih secara
purposive bertalian dengan purpose atau tujuan penelitian ini.
Berdasarkan hal tersebut maka sumber data penelitian ini adalah semua
peristiwa yang terjadi di dalam ritual rasulan dan hasil wawancara dengan para
pihak pemangku kepentingan pada hari Jumat Legi, 2 Juli 2010 dan Jumat Kliwon
tanggal 16 Juli 2010. Sumber lainnya adalah pengetahuan dan pengenalan penulis
yang pernah tinggal dan menjadi bagian dari masyarakat desa antara tahun 1970-
©UKDW
13
1980an. Dokumen lain tentang ritual rasulan desa Wiladeg belum pernah penulis
temukan hingga sekarang. Namun demikian ketiadaan dokumen tersebut dapat di
atasi dengan cara bahwa penulis terlibat dan terjun langsung dalam pelaksanaan
ritual rasulan desa Wiladeg. Penulis mengadakan pengamatan langsng dan
wawancara serta ikut merayakan ritual tersebut.
1.5.1. Teknik Pengambilan Data
Teknik pengambilan data dilakukan dengan cara (1) melakukan
pengamatan langsung (obeservasi) terhadap persiapan dan pelaksanaan ritual
rasulan. Penulis mengamati kehidupan masyarakat Wiladeg, peristiwa selama
rasulan berlangsung, simbol-sombol yang digunakan dalam rasulan, atraksi-
atraksi dalam ritual rasulan dan partisipasi masyarakat desa Wiladeg. (2)
Melakukan wawancara mendalam. Wawancara mendalam tersebut dilakukan
dengan para pihak pemangku kepentingan ritual rasulan yaitu Lurah Desa yang
sekaligus ketua adat setempat, dengan masyarakat desa Wiladeg kategori lanjut
usia (para sepuh), PNS, Petani, Tokoh-tokoh Agama, Pemuda, dan wawancara
dengan para perantau yang mudik pada hari H rasulan. Penulis melakukan
wawancara tersebut kira-kira dengan 5 - 7 orang pada setiap kategori. Selain
yang telah disebut, wawancara juga dilakukan dengan bupati dan tokoh adat
kraton Yogyakarta yang hadir pada hari H; serta beberapa orang luar daerah yaitu
para pengunjung yang datang dari desa atau tempat lain pada hari ‘H’ rasulan
tanggal 16 Juli 2010.
Pemilihan dan penentuan kelompok atau kategori narasumber tersebut
dilakukan dengan pertimbangan bahwa masing-masing dari mereka akan
©UKDW
14
mewakili kelompoknya atau kategorinya, perannya dan fungsinya yang berbeda-
beda berkenaan dengan penyelenggaraan ritual rasulan itu. Diharapkan dari
kategori nara-sumber yang berbeda-beda itu akan diperoleh data yang bervariasi
dan lengkap berkenaan dengan ritual rasulan ini.
1.5.2. Teknik Analisis Data
Penelitian ini menggunakan teknik analisis data kualitatif dengan cara
mengolah serta mengintepretasikan data yang didapatkan baik dari pengamatan
(observasi) dan wawancara dengan memfokuskan pada penajaman makna dari
data tersebut. Dengan demikian untuk analisis data ini menggunakan langkah-
langkah sebagai berikut : (1). Merinci fokus masalah yang benar-benar menjadi
pusat perhatian untuk ditelaah secara mendalam. (2). Melacak, mencatat dan
mengorganisasikan setiap data yang relevan untuk masing-masing fokus masalah
yang ditelaah. (3). Menyatakan apa-apa yang telah dimengerti tentang masing-
masing fokus masalah dengan menggunakan bahasa kualitatif yang bersifat
deskriptif -interpretatif5 yaitu seperti yang dijelaskan pada bab III.
1.6. Kerangka Teoritis
Kerangka dan landasan teoritis yang dijadikan acuan penelitian ini adalah
teori perdamaian menurut Johan Galtung6, khususnya tentang teori Perdamaian
Positip dan pendapat Novri Susan serta Weileruny.
5 Nasution, Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif, (Bandung : Tarsito 1992), p.29
6 Johan Galtung, dalam bukunya (terjemahan) STUDY PERDAMAIAN Perdamaian Dan Konflik,
Pembangunan Dan Peradaban, terjemahan : Asnawi dan Safrudin (Surabaya : Pustaka Eurika,
2003).
©UKDW
15
Menurut Galtung perdamaian positip mensyaratkan terpenuhinya 4 faktor
pembentuknya yang secara keseluruhan meliputi (1). Perdamaian positip
langsung. (2). Perdamaian positip struktural. (3) Perdamaian positip kultural dan
(4). Perdamaian alam. Pada bagian ini juga ditambahkan pendapat pakar dalam
negeri agar studi ini makin lengkap yaitu pendapat Weileruny tentang damai dan
pendapat Novri Susan tentang perdamaian menyeluruh. Dua tokoh yang disebut
terakhir adalah pakar-pakar Indonesia yang menggeluti isu perdamaian.
Galtung berpendapat, bahwa usaha untuk mencapai tujuan perdamaian
positip harus dilakukan melalui 2 (dua) pendekatan terhadap masyarakat
Wiloadeg, yaitu : (1). Pendekatan dari perspektif pelaku (aktor) yaitu Lurah
Wiladeg sebagai Pemangku Adat, para tokoh dan pemuka masyarakat Wiladeg,
para tokoh agama dan sesepuh desa Wiladeg, para poenyelenggara dan pengguna
ritual rasulan desa Wiladeg, dan (2). Pendekatan dari perspektif struktur atau
system desa Wiladeg. Dua pendekatan tersebut harus berkaitan secara langsung.
`Perdamaian langsung, perdamaian struktural, perdamaian kultural dan
perdamaian alam dapat menjadi kenyataan dan dialami oleh manusia dan
lingkungan hidup sangat tergantung pada dua hal yaitu sikap positip dan
apresiatip dari manusia pada dirinya kepada semua itu dan pada sistem atau
stuktur yang tersedia.
Penulis cukup yakin bahwa ritual rasulan masyarakat di desa Wiladeg
memenuhi kriteria teori perdamaian yang sangat bergantung pada peran pelaku
dan struktur masyarakat yang mendukung hal itu.
©UKDW
16
1.7. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Desa Wiladeg, sebuah desa yang berjarak 3
KM dari ibu kota kecamatan yaitu Kecamatan Karang Mojo, 6 KM dari ibu kota
kabupaten yaitu Kabupaten Gunung Kidul, dan 45 KM dari ibu kota provinsi,
yaitu Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
1.8. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan dan memperjelas pembahasan, maka tesis ini disusun
dengan sistematika sebagai berikut :
Bab I (Pendahuluan) berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan
penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian meliputi tehnik pengambilan
data dan tehnik analisa data, kerangka teori dan kemudian lokasi penelitian dan
terakhir sistematika tesis.
Bab II berjudul “Konsep Perdamaian Positip Menurut Johan Galtung”.
Bab ini berisi pemaparan konsep perdamaian positip menurut Johan Galtung. Di
sini ditambahkan pendapat 2 orang sosiolog Indonesia yang mengikuti konsep
Johan Galtung yaitu Waileruny dan Novri Susan.
Bab III : Makna Ritual Rasulan Di Desa Wiladeg. Pada bagian awal dari
bab ini disajikan gambaran umum masyarakat desa Wiladeg, meliputi data
penduduk dan latar belakang pendidikannya, agama, mata pencaharian, dan nilai-
nilai kemanusiaan dan ritual lokal. Bagian kedua berisi makna ritual rasulan masa
kini yang di dalamnya akan diuraikan tentang makna ritual bersik kali Banteng,
dan makna ritual rasulan di pendopo balai desa. Bagian ketiga disajikan makna
©UKDW
17
simbol-simbol dalam ritual rasulan meliputi makna ambengan, gunungan,
pagelaran seni budaya ritualonal, kunjungan di rumah-rumah penduduk. Bagian
keempat berisi uraian tentang makna keterlibatan para pemangku kepentingan,
meliputi keterlibatan lurah sebagai pemangku adat, masyarakat setempat sebagai
penyelenggara ritual dan bagi pengguna ritual, ulama / tokoh / pemuka agama,
bupati Gunung Kidul dan terakhir keterlibatan tokoh adat kraton Yogyakarta.
Terakhir disajikan uraian tentang muatan damai atau perdamaian dalam ritual
rasulan menurut para nara sumber.
Bab IV berjudul Perdamaian Positip Dalam Ritual Rasulan Di Desa
Wiladeg. Bab ini berisi kajian tentang sejauh mana ritual rasulan mempromosikan
perdamaian.
Bab terakhir yaitu bab V berisi kesimpulan dan saran.
©UKDW