LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS
Nama Nama : Tn. S
Umur : 58 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Status perkawinan : Sudah Menikah
Pendidikan : SD
Agama : Islam
Alamat : Kesongo Lor Tuntang
Tanggal masuk RS : 11 September 2018
II. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis pada tanggal 20 September 2018
pukul 06.00 WIB di ruang rawat Ashoka kamar 103.1
A. Keluhan Utama :
Kedua kaki tidak dapat digerakkan
B. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien mengeluhkan kedua kaki tidak dapat digerakkan sejak 5 hari
yang lalu. Awalnya 9 hari yang lalu pasien merasakan nyeri ulu hati yang
menjalar sampai ke punggung skala nyeri 7, nyeri dirasakan seperti ditusuk
jarum disertai kaki kesemutan hingga pasien jalan dengan kaki diseret,
sehingga pasien berobat ke IGD dan dirawat oleh Sp.PD dengan diagnosis
dispepsia. Setelah 3 hari dirawat di rumah sakit pasien merasakan nyeri
punggung semakin memberat, nyeri terasa seperti ditusuk-tusuk jarum skala
nyeri 9 hingga pasien sulit untuk bergerak disertai dengan kaki kanan
kesemutan. 4 hari setelah dirawat dirumah sakit kedua kaki pasien tidak dapat
digerakkan sama sekali disertai keluhan mati rasa dari dada bawah sampai ke
dua telapak kaki, sehingga oleh Sp.PD di konsultasikan ke Sp.S . pasien
mengatakan keluhan muncul mendadak dan semakin memberat hingga pasien
hanya bisa berbaring di tempat tidur. Pasien mengatakan tidak ada faktor
memperingan dan memperberat. Pasien sebelumnya belum berobat sama
sekali.
1
Keluhan disertai rasa baal/kurang terasa pada dada hingga kedua
telapak kaki (+), pegal-pegal pada punggung bagian bawah (+) seperti ditusuk
jarum, sesak napas (+), sulit BAK (+) sehingga pasien harus menggunakan
kateter urin, tidak bisa BAB (+) selama 3 hari, demam (-), nyeri kepala (-),
pusing (-), mual (-), muntah (-), batuk (-), kesemutan (+) dikedua kaki, dan
nyeri sendi pada kedua kaki (-). Penurunan berat badan (-), benjolan di
punggung (-), Pasien kooperatif dan tidak ditemukan adanya disorientasi,
pasien sadar dan bicara tidak pelo.
C. Riwayat Penyakit Dahulu :
Riwayat keluhan serupa: disangkal
Riwayat Hipertensi : disangkal
Riwayat batuk lama : diakui tetapi jarang
Riwayat Tuberkulosis : disangkal
Riwayat HIV : disangkal
Riwayat penyakit paru : disangkal
Riwayat herpes dan varicela : disangkal
Riwayat tumor, kankr : disangkal
Riwayat trauma : diakui 10 tahun yang lalu, hingga
menyebabkan wajah pasien sedikit merot
Riwayat stroke : disangkal
Riwayat sakit kuning : disangkal
D. Riwayat Penyakit Keluarga :
Riwayat keluhan serupa : disangkal
Riwayat batuk lama : disangkal
Riwayat Tuberkulosis : diakui sejak 1 tahun yang lalu (anak
kandung dan tinggal serumah dengan pasien)
Riwayat HIV : disangkal
Riwayat penyakit paru : disangkal
Riwayat herpes dan varicela : disangkal
Riwayat tumor, kanker : disangkal
Riwayat stroke : disangkal
2
Riwayat sakit kuning : disangkal
E. Riwayat Pribadi :
Riwayat merokok : Diakui sejak 20 tahun yang lalu, sehari 3 sampai 4
batang rokok, terakhir berhenti 1 tahun yang lalu
Riwayat minum alkohol : Disangkal
Riwayat konsumsi obat : Disangkal
F. Sosial Ekonomi :
Pasien bekerja sebagai buruh panggul enceng gondok dengan jam kerja
kurang lebih 8 jam dalam sehari. Pasien mengaku sering mengangkat beban
dengan punggungnya dengan beban kurang lebih 50 kg. Pasien terdaftar
sebagai peserta BPJS PBI. Pasien tinggal bersama dengan istri dan dua
anaknya. Biaya hidup ditanggung oleh diri sendiri dan istri. Kesan ekonomi
kurang.
G. Anamnesis Sistem :
1. Sistem Serebrospinal : nyeri kepala (-), muntah (-), pingsan (-), kelemahan
anggota gerak (+) di kedua kaki, perubahan tingkah laku (-), wajah merot
(-), bicara pelo (-), kesemutan (+), baal (+)
2. Sistem Kardiovaskuler : Riwayat hipertensi (-), riwayat sakit jantung
(-), nyeri dada (-)
3. Sistem Respirasi : Sesak napas (+) sejak keluhan kaki lemas muncul, batuk
(-), riwayat sesak napas (-)
4. Sistem Gastrointestinal : Mual (-), muntah (-), belum BAB selama 3 hari
5. Sistem Muskuloskeletal : Kelemahan anggota gerak (+) pada ekstremitas
bawah
6. Sistem Integumen : Ruam merah (-)
7. Sistem Urogenital : sulit BAK
H. Resume Anamnesis
Pasien mengeluhkan kedua kaki tidak dapat digerakkan sejak 5 hari
yang lalu. Awalnya 9 hari yang lalu pasien merasakan nyeri ulu hati yang
menjalar sampai ke punggung skala nyeri 7, nyeri dirasakan seperti ditusuk
jarum disertai kaki kesemutan hingga pasien jalan dengan kaki diseret,
3
sehingga pasien berobat ke IGD dan dirawat oleh Sp.PD dengan diagnosis
dispepsia. Setelah 3 hari dirawat di rumah sakit pasien merasakan nyeri
punggung semakin memberat, nyeri terasa seperti ditusuk-tusuk jarum skala
nyeri 9 hingga pasien sulit untuk bergerak disertai dengan kaki kanan
kesemutan. 4 hari setelah dirawat dirumah sakit kedua kaki pasien tidak dapat
digerakkan sama sekali disertai keluhan mati rasa dari dada bawah sampai ke
dua telapak kaki, sehingga oleh Sp.PD di konsultasikan ke Sp.S . pasien
mengatakan keluhan muncul mendadak dan semakin memberat hingga pasien
hanya bisa berbaring di tempat tidur. Pasien mengatakan tidak ada faktor
memperingan dan memperberat. Pasien sebelumnya belum berobat sama
sekali. Keluhan disertai rasa baal/kurang terasa pada dada hingga kedua telapak
kaki (+), pegal-pegal pada punggung bagian bawah (+) seperti ditusuk jarum,
sesak napas (+), sulit BAK (+), tidak bisa BAB (+) sejak 3 hari sebelum
pemeriksaan, kesemutan (+) sebelum kaki lemas. Pasien kooperatif dan tidak
ditemukan adanya disorientasi, penurunan kesadaran dan bicara pelo.
Pada riwayat penyakit dahulu terdapat kontak dengan TB Aktif yang
tinggal serumah. Pasien merupakan buruh panggul enceng gondok setiap hari
membawa beban panggul sekitar 50 kg, kesan ekonomi kurang
I. DIAGNOSIS SEMENTARA
Diagnosis Klinis : paraplegia inferior, paraparestesia, parahipestesia,
gangguan miksi akut
Diagnosis Topis : medulla spinalis
Diagnosis Etiologi : Myelitis transversa dd suspek spondilitis tuberkulosis
dd Mielopati dd SOP dd HNP
III. DISKUSI I
Hasil anamnesis pasien didapatkan adanya kedua kaki pasien tidak dapat
digerakkan sama sekali secara mendadak sejak 4 hari dirawat di RS, sebelum
keluhan tersebut muncul pasien merasakan punggung nyeri pasien seperti
ditusuk-tusuk jarum diikuti dengan kaki kanan kesemutan sejak 1 hari SMRS
tetapi hilang timbul. keluhan tersebut juga disertai penurunan sensibilitas saat
4
diberikan rangsangan. Kelemahan yang terjadi pada pasien dapat disebut plegia
karena anggota gerak bawah pasien sama sekali tidak dapat digerakkan. Pada
pasien ini terjadi plegia di kedua sisi anggota gerak bawah sehingga disebut
paraplegia inferior. Didapatkan adanya keluhan lain, yaitu rasa nyeri seperti
ditusuk dipunggung, baal dan sebelum keluhan muncul pasien merasa
kesemutan . Keluhan ini disebut paraparestesia. Istilah merujuk pada sensasi
abnormal seperti kesemutan, menggelitik, menusuk, mati rasa (baal) atau
terbakar. Keluhan ini terjadi pada kedua anggota gerak bawah sehingga disebut
paraparestesia inferior. Pasien juga mengeluh kurang terasa rabaan pada kedua
kaki, sehingga disebut parahipestesia inferior.
Pada pasien ini tidak mengarah ke lesi di otak, melainkan cenderung lesi
di medula spinalis. Lesi di otak akan mengakibatkan kelainan di salah satu sisi
tubuh dan seringkali disertai gangguan fungsi luhur, sedangkan pada pasien ini
tidak ditemukan hal-hal tersebut. Kelainan pada pasien berupa kelemahan di
kedua anggota gerak bawah yang sering terjadi pada lesi di medula spinalis.
Pada anamnesis didapatkan kontak langsung dengan penderita TB aktif
sehingga memnungkinkan adanya suatu infeksi Tuberkulosa yang dapat
menyebar secara hematogen maupun limfogen ke bagian vertebra . Hal ini
dapat menyebabkan terjadinya penyakit ataupun kelainan pada medula spinalis
(myelitis transversa).
Myelitis transversalis adalah suatu proses inflamasi akut yang mengenai
suatu area fokal di medula spinalis dengan karakteristik klinis adanya
perkembangan baik akut atau sub akut dari tanda dan gejala disfungsi
neurologis pada saraf motorik, sensorik dan otonom dan traktus saraf di medula
spinalis.1
Myelitis transversalis dapat timbul berdiri sendiri atau bersama-sama
dengan penyakit lain. Inflamasi dapat berasal dari akibat infeksi virus, reaksi
abnormal reaksi imun atau insufisiensi aliran darah yang melewati pembuluh
darah yang berlokasi di medula spinalis. 4 Pada kasus ini, penyebabnya masih
perlu dipertimbangkan. Adanya riwayat kontak TB aktif dapat memungkinkan
5
terjadi infeksi yang berasal dari tuberkulosa. Namun perlu dilakukan
pemeriksaan lebih lanjut untuk mengetahui causanya.
1. Myelitis Transversalis
a. Definisi
Mielitis Transversalis (MT) adalah suatu proses inflamasi akut
yang mengenai suatu area fokal di medula spinalis dengan karakteristik
klinis adanya perkembangan baik akut atau sub akut dari tanda dan gejala
disfungsi neurologis pada saraf motorik, sensorik dan otonom dan traktus
saraf di medula spinalis. Gangguan pada medulla spinalis ini biasanya
melibatkan traktus spinotalamikus, traktus piramidalis, kolumna
posterior, dan funikulus anterior.1
b. Epidemiologi
Myelitis Transversa terjadi pada orang dewasa dan anak-anak, di
kedua jenis kelamin, dan di semua ras. Faktor predisposisi pada keluarga
tidak jelas. Sebuah puncaknya pada tingkat insiden (jumlah kasus baru
per tahun) tampaknya terjadi antara 10 dan 19 tahun dan 30 dan 39 tahun.
Meskipun hanya beberapa studi telah meneliti tingkat insiden,
diperkirakan bahwa sekitar 1.400 kasus baru didiagnosis myelitis
melintang setiap tahun di Amerika Serikat, dan sekitar 33.000 orang
Amerika memiliki beberapa jenis kecacatan akibat gangguan ini.
Insidensi meningkat sebanyak 24,6 juta kasus per tahunnya jika
penyebabnya merupakan proses demyelinisasi yang didapat, khususnya
sklerosis multiple. Tidak ada pola yang khusus dari mielitis transversalis
berdasarkan seks, distribusi geografis, atau riwayat penyakit dalam
keluarga.2
c. Etiologi
Para peneliti tidak yakin mengenai penyebab pasti transversa
myelitis. Peradangan yang menyebabkan kerusakan yang luas pada
medulla spinalis dapat diakibatkan oleh infeksi virus, reaksi kekebalan
6
yang abnormal, atau tidak cukup aliran darah melalui pembuluh darah
yang terletak di sumsum tulang belakang. Myelitis Transversa juga dapat
terjadi sebagai komplikasi sifilis, campak, penyakit Lyme, dan beberapa
vaksinasi, termasuk untuk cacar dan rabies serta idiopatik. 3
Myelitis transversa sering berkembang akibat infeksi virus. Agen
infeksi yang dicurigai menyebabkan myelitis transversa termasuk varicella
zoster, herpes simpleks, sitomegalovirus, Epstein-Barr, influenza,
echovirus, human immunodeficiency virus (HIV), hepatitis A, dan rubella.
Bakteri infeksi kulit, infeksi telinga tengah (otitis media), dan
Mycoplasma pneumonia.4
Myelitis transversa telah dihubungkan dengan penyakit
autoimmune sistemik seperti LES. Beberapa pasien dilaporkan
mempunyai vaskulitis spinal fokal yang berhubungan dengan gejala LES
yang aktif.5
d. Patogenesis
Pasca-kasus infeksi mekanisme sistem kekebalan tubuh yang aktif
akibat virus atau bakteri, tampaknya memainkan peran penting dalam
menyebabkan kerusakan pada saraf tulang belakang. Meskipun peneliti
belum mengidentifikasi mekanisme yang tepat bagaimana terjadinya
cedera tulang belakang dalam kasus ini, mungkin rangsangan sistem
kekebalan sebagai respon terhadap infeksi menunjukkan bahwa reaksi
kekebalan tubuh mungkin bertanggung jawab. Pada penyakit autoimun,
sistem kekebalan tubuh, yang biasanya melindungi tubuh dari organisme
asing, keliru menyerang jaringan tubuh sendiri, menyebabkan inflamasi
dan, dalam beberapa kasus,menyebabkan kerusakan myelin dalam
sumsum tulang belakang. 6
Beberapa kasus myelitis transversa akibat dari malformasi
arteriovenosa spinal (kelainan yang mengubah pola-pola normal aliran
darah) atau penyakit pembuluh darah seperti aterosklerosis yang
menyebabkan iskemia, penurunan tingkat normal oksigen dalam jaringan
sumsum tulang belakang. Iskemia dapat terjadi di dalam sumsum tulang
7
belakang akibat penyumbatan pembuluh darah atau mempersempit, atau
faktor-faktor lain yang kurang umum. Pembuluh darah membawa oksigen
dan nutrisi ke jaringan saraf tulang belakang dan membawa sisa
metabolik. Ketika arterivenosus menjadi menyempit atau diblokir, mereka
tidak dapat memberikan jumlah yang cukup sarat oksigen darah ke
jaringan saraf tulang belakang. Ketika wilayah tertentu dari sumsum
tulang belakang menjadi kekurangan oksigen, atau iskemik, sel saraf dan
serat mungkin mulai memburuk relative dengan cepat. Kerusakan ini dapat
menyebabkan peradangan luas, kadang-kadang menyebabkan myelitis
transversal. Kebanyakan orang yang mengembangkan kondisi sebagai
akibat dari penyakit vaskular melewati usia 50, punya penyakit jantung,
atau baru saja menjalani operasi dada atau abdominal. 6
Mielitis transversalis akut post-vaksinasi
Evaluasi otopsi dari medulla spinalis menunjukkan hilangnya
akson yang berat dengan demyelinisasi ringan dan infiltrasi sel
mononuklear, terutama limfosit T pada nerve roots dan ganglion spinalis.
Pada medulla spinalis terdapat infiltrasi sel limfosit di perivaskular dan
parenkim di grey matter terutama pada anterior horns. Beberapa studi
menyimpulkan vaksinasi dapat menginduksi proses autoimun yang
berkembang menjadi MT. 8,9
MTA Parainfeksi
Sebanyak 30-60% kasus idiopatik mielitis transversalis, terdapat
adanya keluhan respirasi, gastrointestinal, atau penyakit sistemik
sebelumnya. Kata “parainfeksi” telah digunakan untuk cedera neurologis
yang diakibatkan oleh infeksi mikroba langsung dan cedera yang
diakibatkan oleh infeksi, infeksi mikroba langsung dengan kerusakan yang
dimediasi oleh imun, atau infeksi yang asimptomatik dan diikuti respon
sistemik yang menginduksi kerusakan saraf. Beberapa virus herpes telah
dikaitkan dengan mielitis, dan mungkin menjadi penyebab infeksi
langsung terhadap sel saraf di medulla spinalis. Agen lainnya, seperti
Listeria monocytogenes dibawa ke dalam akson ke saraf di medulla
8
spinalis. Dengan menggunakan beberapa cara, suatu agen dapat mencapai
akses ke lokasi yang kaya system imun, menghindari sistem imun yang
berada pada organ lainnya. Mekanisme tersebut dapat menjelaskan
inflamasi yang terbatas pada suatu fokus area di medulla spinalis yang
dapat dilihat pada pasien MT.9
Mimikri molekuler
Mimikri molekuler sebagai mekanisme untuk menjelaskan
inflamasi sistem saraf sangat bagus diimplementasikan pada kasus GBS.
Infeksi campilobacter jejuni dibuktikan menjadi penyebab yang penting
yang mendahului terjadinya GBS. Jaringan saraf manusia mengandung
beberapa subtipe ganglioside moieties seperti GM1, GM2, dan GQ1b di
dalam dinding selnya. Komponen khas gangliosid manusia, asam sialik,
juga ditemukan pada permukaan antigen C. jejuni dalam selubung luar
lipopolisakarida. Antibodi yang bereaksi dengan gangliosid C. jejuni
ditemukan dalam serum pasien GBS, dan telah dibuktikan berikatan
dengan saraf perifer, mengikat komplemen, dan merusak transmisi saraf.
Mimikri molekuler pada MTA juga dapat terjadi akibat pembentukan
autoantibodi sebagai respon terhadap infeksi yang terjadi sebelumnya9.
Microbial superantigen-mediated inflammation
Hubungan lain antara riwayat infeksi sebelumnya dengan
terjadinya MTA yaitu dengan aktivasi limfosit fulminan oleh superantigen
mikroba. Superantigen merupakan peptide mikroba yang mempunyai
kapasitas unik untuk menstimulasi sistem imun, dan berkontribusi
terhadap penyakit autoimun yang bervariasi. Superantigen yang telah
diteliti yaitu enterotoksin Stafilokokus A sampai I, toksin-1 sindrom syok
toksik, dan eksotoksin piogen Streptokokus. Superantigen mengaktivasi
limfosit T dengan jalur yang unik dibandingkan dengan antigen
konvensional. Terlebih lagi, tidak seperti antigen konvensional,
superantigen dapat mengaktivasi limfosit T tanpa adanya molekul ko-
stimulan. Dengan adanya perbedaan ini, superantigen dapat mengaktivasi
antara 2-20% limfosit yang bersirkulasi dibandingkan dengan antigen
9
konvensional. Selain itu, superantigen sering menyebabkan ekspansi yang
diikuti dengan delesi klon limfosit T yang menyebabkan terbentuknya
“lubang” pada limfosit T selama beberapa saat setelah aktivasi9.
Stimulasi sejumlah besar limfosit dapat mencetuskan penyakit
autoimun dengan mengaktivasi klon sel T autoreaktif. Pada manusia,
banyak laporan ekspansi golongan selected Vb pada pasien dengan
penyakit autoimun, yang menunjukkan adanya paparan superantigen
sebelumnya. Sel T autoreaktif yang diaktivasi oleh superantigen memasuki
jaringan dan tertahan di dalam jaringan dengan paparan berulang dengan
autoantigen. Di sistem saraf pusat, superantigen yang diisolasi dari
Stafilokokus menginduksi paralisis pada tikus eksperimen. Pada manusia,
pasien dengan ensefalomielitis diseminata akut dan myelopati nekrotikan
ditemukan memiliki superantigen piogen Streptokokus yang menginduksi
aktivasi sel T yang melawan protein dasar myelin9.
Abnormalitas Humoral
Salah satu proses di atas dapat menyebabkan abnormalitas fungsi
sistem humoral, dengan berkurangnya kemampuan untuk membedakan
“self” dan “non-sel”. Pembentukan antibodi yang abnormal dapat
mengaktivasi komponen lainnya dari sistem imun atau menarik elemen-
elemen seluler tambahan ke medulla spinalis. Antibodi yang bersirkulasi
dapat membentuk kompleks imun dan terdeposit di suatu area di medulla
spinalis9.
e. Gambaran klinis
Myelitis transversa dapat bersifat akut (berkembang selama jam
sampai beberapa hari) atau subakut (berkembang lebih dari 2 minggu
hingga 6 minggu). Gejala awal biasanya mencakup lokal nyeri punggung
bawah, tiba-tiba paresthesias (sensasi abnormal seperti membakar,
menggelitik, menusuk, atau kesemutan) di kaki, hilangnya sensorik, dan
paraparesis (kelumpuhan parsial kaki). Paraparesis sering berkembang
menjadi paraplegia. Dan mengakibatkan gangguan genitourinary dan
defekasi. Banyak pasien juga melaporkan mengalami kejang otot, perasaan
10
umum tidak nyaman, sakit kepala, demam, dan kehilangan nafsu makan.
Tergantung pada segmen tulang belakang yang terlibat, beberapa pasien
mungkin juga akan mengalami masalah pernapasan.
Dari berbagai macam gejala, empat ciri-ciri klasik myelitis
transversa yang muncul:
1) kelemahan kaki dan tangan,
2) nyeri,
3) perubahan sensorik, dan
4) disfungsi pencernaan dan kandung kemih.
Kebanyakan pasien akan mengalami berbagai tingkat kelemahan di
kaki mereka, beberapa juga mengalaminya di lengan mereka. Awalnya,
orang-orang dengan myelitis transversal mungkin menyadari bahwa kaki
mereka tampak lebih berat dari biasanya. Perkembangan penyakit selama
beberapa minggu sering mengarah pada kelumpuhan penuh dari kaki, yang
mengharuskan pasien untuk menggunakan kursi roda.
Nyeri adalah gejala utama dari myelitis transversa pada sepertiga
sampai setengah dari semua pasien. Rasa sakit dapat dilokalisasi di
punggung bawah atau dapat terdiri dari tajam, sensasi yang memancarkan
bawah kaki atau lengan atau di sekitar dada.
Pasien yang mengalami gangguan sensoris sering menggunakan
istilah-istilah seperti mati rasa, kesemutan, dingin, atau pembakaran untuk
menggambarkan gejala mereka. Sampai 80 persen dari mereka yang
myelitis transversa memiliki kepekaan yang meningkat, sehingga pakaian
atau sentuhan ringan dengan jari signifikan menyebabkan rasa tidak
nyaman atau sakit (suatu keadaan yang disebut allodynia). Banyak juga
mengalami peningkatan sensitivitas terhadap perubahan suhu yang
ekstrem atau panas atau dingin.
Simptom otonom bervariasi terdiri dari peningkatan urinary
urgency, inkontinesia urin dan alvi (kesulitan atau tak dapat buang air),
11
pengosongan yang tidak sempurna atau konstipasi perut. Juga sering
didapatkan sebagai akibat keterlibatan sistem saraf sensoris dan otonom
adanya disfungsi seksual. Lebih dari 80% pasien mendapatkan tanda klinis
pada tingkat yang paling parah dalam 10 hari sesudah onset dari simptom,
walaupun perburukan fungsi neurologis bervariasi dan berlangsung
progresif, biasanya berlangsung dalam 4-21 hari6
Gangguan pada genitourinary dan gastrointestinal mungkin
melibatkan peningkatan frekuensi dorongan untuk buang air kecil atau
buang air besar, inkontinensia, kesulitan buang air kecil, dan sembelit.
Selama perjalanan penyakit, sebagian besar orang dengan myelitis
transversa akan mengalami satu atau beberapa gejala.
f. Perjalanan penyakit
Gejala biasanya dimulai dengan nyeri punggung yang timbul
secara tiba-tiba, diikuti oleh mati rasa dan kelemahan otot kaki yang akan
menjalar ke atas.
Gejala tersebut bisa semakin memburuk dan jika menjadi berat
akan terjadi kelumpuhan serta hilangnya rasa disertai dengan hilangnya
pengendalian pencernaan dan kandung kemih.
Lokasi terhambatnya impuls saraf pada medula spinalis
menentukan beratnya gejala yang timbul.
g. Diagnosa
Mielitis transversa harus dibedakan dari mielopati komprensi
medula spinalis baik karena proses neoplasma medula spinalis intrinsik
maupun ekstrensik, ruptur diskus intervertebralis akut, infeksi epidural dan
polineuritis pasca infeksi akut (Sindrom Guillain Barre).
Pungsi lumbal dapat dilakukan pada mielitis transversa biasanya
tidak didapati blokade aliran likuor, pleositosis moderat (antara 20-200
sel/mm3) terutama jenis limfosit, protein sedikit meninggi (50-120 mg/100
ml) dan kadar glukosa normal. Berbeda dengan sindrom Guillain Barre di
mana dijumpai peningkatan kadar protein tanpa disertai pleositosis. Dan
12
pada sindrom Guillain Barre, jenis kelumpuhannya adalah flaksid serta
pola gangguan sensibilitasnya di samping mengenai kedua tungkai juga
terdapat pada kedua lengan.
Lesi kompresi medula spinalis dapat dibedakan dari mielitis karena
perjalanan penyakitnya tidak akut sering didahului dengan nyeri segmental
sebelum timbulnya lesi parenkim medula spinalis. Selain itu pada pungsi
lumbal dijumpai blokade aliran likuor dengan kadar protein yang
meningkat tanpa disertai adanya sel.
Dilakukan pungsi lumbal , CT scan atau MRI, mielogram serta
pemeriksaan darah.
Kriteria diagnostik untuk Mielitis Transversalis Akut Idiopatik
dapat dilihat pada tabel 2.1. Diagnosis MTA harus memenuhi semua
kriteria inklusi dan tidak ada satupun kriteria eksklusi yang terpenuhi.
Diagnosis MTA yang berhubungan dengan penyakit lain harus memenuhi
semua kriteria inklusi dan pasien juga memiliki manifestasi klinis dari
penyakit yang dicantumkan di kriteria ekslusi.
Tabel 2.1 Kriteria Diagnostik Mielitis Transversalis
Inclusion criteria1) Development of sensory, motor or autonomic dysfunction attributable to the
spinal cord2) Bilateral signs or symptoms (although not necessarily symmetric)3) Clearly-defined sensory level4) Exclusion of extra-axial compressive etiology by neuroimaging (MRI or
myelography; CT of spine not adequate)5) Inflammation within the spinal cord demonstrated by CSF pleocytosis or
elevated IgG index or gadolinium enhancement. If none of the inflammatory kriteria is met at symptom onset, repeat MRI and LP evaluation between 2 and 7 days after symptom onset meets kriteria
6) Progression to nadir between 4 h and 21 days after the onset of symptoms (if patient awakens with symptoms, symptoms must become more pronounced from point of awakening)
Exclusion criteria1) History of previous radiation to the spine within the past 10 years2) Clear arterial distribution clinical deficit consistent with thrombosis of the
anterior spinal artery3) Abnormal flow voids on the surface of the spinal cord consistent with AVM4) Serological or clinical evidence of connective tissue disease (sarcoidosis,
Behcet's disease, Sjogren's syndrome, SLE, mixed connective tissue disorder, etc.)a
5) CNS manifestations of syphilis, Lyme disease, HIV, HTLV-1, mycoplasma,
13
other viral infection (e.g. HSV-1, HSV-2, VZV, EBV, CMV, HHV-6, enteroviruses)a
(a) Brain MRI abnormalities suggestive of MSa
(b) History of clinically apparent optic neuritisa
AVM, Arteriovenous malformation; CMV, cytomegalovirus; CNS, central nervous system; CSF, cerebrospinal fluid; CT, computed tomography; EBV,Epstein±Barr virus; HHV, human herpesvirus; HSV, herpes simplex virus; HTLV, human T cell leukemia virus; LP, lumbar puncture; MRI, magnetic resonance imaging; MS, multiple sclerosis; SLE, systemic lupus erythematosus. aDo not exclude disease-associated acute transverse mielitis. (Dikutip dari: Transverse Mielitis Consortium Working Group. Proposed diagnostik kriteria and nosology of acute transverse mielitis. Neurology 2002; 59: 499-5
h. Pemeriksaan Penunjang
1) MRI
Evaluasi awal harus dapat menentukan apakah ada penyebab
struktural (HNP, fraktur vertebra patologis, metastasis tumor, atau
spondilolistesis) atau tidak. Idealnya, MRI dengan kontras gadolinium
harus dilakukan dalam beberapa jam setelah presentasi.
2) CT-myelografi
14
Jika MRI tidak dapat dilakukan dalam waktu cepat untuk menilai kelainan
struktural, CT-myelografi dapat menjadi alternatif selanjutnya, tetapi
pemeriksaan ini tidak dapat menilai medulla spinalis.
3) Punksi Lumbal
Jika tidak terdapat penyebab struktural, punksi lumbal merupakan
pemeriksaan yang harus dilakukan untuk membedakan mielopati inflamasi
ataupun non-inflamasi. Pemeriksaan rutin CSF (hitung sel, jenis, protein, dan
glukosa) dan sitologi CSF harus diperiksa.
4) Kultur CSF, PCR, titer antibodi
Manifestasi klinis seperti demam, meningismus, rash, infeksi sistemik
konkuren (pneumonia atau diare), status immunokompromis (AIDS atau
penggunaan obat-obat immunosuppresan), infeksi genital berulang, sensasi
terbakar radikuler dengan atau tanpa vesikel sugestif untuk radikulitis zoster,
atau adenopati sugestif untuk etiologi infeksi dari MTA. Pada kasus seperti
ini, kultur bakteri dan virus dari CSF, PCR, dan pemeriksaan titer antibodi
harus dilakukan.
5) Pemeriksaan Lainnya
Manifestasi klinis lainnya dapat mengarahkan diagnosis untuk penyakit
inflamasi sistemik seperti Sindrom Sjogren, sindrom antifosfolipid, LES,
sarkoidosis, atau penyakit jaringan ikat campuran. Pada kondisi seperti ini,
pemeriksaan yang harus dilakukan: ACE level, ANA, anti ds-DNA, SS-A
(Ro), SS-B (La), antibodi antikardiolipin, lupus antikoagulan, 2-glikoprotein,
dan level komplemen.
Tabel 2.3. Test Diagnostik untuk Mielitis Transversalis
Kemungkinan Penyebab Pemeriksaan Penunjang
Infeksi Serologi darah; kultur, serologi, dan PCR CSF; Foto Thorax dan pemeriksaan imaging lainnya dengan indikasi
Autoimun Sistemik atau Penyakit Inflamasi
Pemeriksaan Fisik; pemeriksaan serologi; Foto Thorax dan Sendi; pemeriksaan imaging lainnya dengan indikasi
Paraneoplastik Foto Thorax, CT scan, PET; antibodi paraneoplastik
15
serum dan CSFAcquired CNS Demyelinating Disease (sklerosis multiple, optic neuromielitis)
MRI otak dengan kontras gadolinium; CSF rutin; pemeriksaan visual evoked potential; serum NMO-IgG
Post infeksi atau post vaksinasi
Anamnesis riwayat infeksi dan vaksinasi sebelumnya; konfirmasi serologi adanya infeksi; eksklusi penyebab lain
(Dikutip dari: Frohman EM, Wingerchuk DM. 2010. Transverse Mielitis. The
New England Journal of Medicine 2010;363:564-72)
i. Penatalaksanaan
a. Immunoterapi inisial
Tujuan terapi selama fase akut mielitis adalah untuk
menghambat progresivitas dan menginisiasi resolusi lesi spinal yang
terinflamasi sehingga dapat mempercepat perbaikan secara klinis.
Kortikosteroid merupakan terapi lini pertama. Sekitar 50-70% pasien
mengalami perbaikan parsial atau komplit. Regimen intravena dosis
tinggi (1000 mg metilprednisolon setiap hari, biasanya selama 3-5 hari)
diberikan kepada pasien. Regimen oral dapat digunakan pada kasus
pasien mielitis episode ringan yang tidak perlu dirawat inap. Pemberian
glukokortikoid atau ACTH, biasanya diberikan pada penderita yang
datang dengan gejala awitanya sedang berlangsung dalam waktu 10 hari
pertama atau bila terjadi progresivitas defesit neurologik.
Glukokortikoid dapat diberikan dalam bentuk prednison oral 1 mg/kg
berat badan/hari sebagai dosis tunggal selama 2 minggu lalu secara
bertahap dan dihentikan setelah 7 hari. Bila tidak dapat diberikan per
oral dapat pula diberikan metil prednisolon intravena dengan dosis 0,8
mg/kg/hari dalam waktu 30 menit. Selain itu ACTH dapat diberikan
secara intramuskular denagn dosis 40 unit dua kali per hari (selama 7
hari), lalu 20 unit dua kali per hari (selama 4hari) dan 20 unit dua kali
per hari (selama 3 hari). Untuk mencegah efek samping kortikosteroid,
penderita diberi diet rendah garam dan simetidin 300 mg 4 kali/hari
16
atau ranitidin 150 mg 2kali/hari. Selain itu sebagai alternatif dapat
diberikan antasid per oral.
Efek yang tidak diinginkan pada terapi kortikosteroid yaitu
gejala gastrointestinal, insomnia, nyeri kepala, kecemasan, hipertensi,
manic, hiperglikemia, dan gangguan elektrolit8.
Terapi dengan plasma exchange bermanfaat pada pasien yang
tidak respon dengan pemberian kortikosteroid. Hipotensi, gangguan
elektrolit, koagulopati, trombositopenia, thrombosis yang berhubungan
dengan pemasangan kateter, dan infeksi merupakan komplikasi dari
tindakan ini.8
Plasmapharesis berguna pada pasien yang masih memiliki sisa
fungsi sensorimotor saat pertama kali serangan, tetapi pada pasien yang
kehilangan fungsi sensorimotor mengalami perbaikan hanya ketika
diterapi dengan siklofosfamid dan plasmapharesis. Pada pasien
demyelinisasi, imunomodulator long-acting atau terapi imunosupressan
menunjukkan pengurangan risiko serangan berulang.
Disamping terapi medikamentosa maka diet nutrisi juga harus
diperhatikan, 125 gram protein, vitamin dosis tinggi dan cairan
sebanyak 3 liter per hari diperlukan.
b. Respirasi dan Oropharyngeal Support
Mielitis transversalis dapat menyebabkan gagal nafas apabila
medulla spinalis servikal atas dan batang otak telah terlibat. Oleh
karena itu, pemeriksaan regular dari fungsi pernapasan dan orofaring
dibutuhkan selama perjalanan penyakit. Dispnea, penggunaan otot-otot
bantu pernapasan, atau batuk yang lemah memerlukan pemeriksaan
lanjutan dari fungsi paru-paru dan kapasitas respirasi paksa. Intubasi
dengan ventilasi mekanik diperlukan pada beberapa pasien. Disartria,
disfagia, atau penurunan fungsi lidah atau refleks muntah memerlukan
pemeriksaan fungsi menelan untuk menentukan apakah pemakaian
feeding tube diperlukan atau tidak8.
17
c. Kelemahan Otot dan Komplikasi Imobilisasi
Pemberian heparin low-moleculer weigth sebagai profilaksis
untuk thrombosis vena dalam dianjurkan untuk pasien dengan
imobilisasi. Perubahan posisi yang sering ketika duduk atau saat tidur
dapat membantu mempertahankan integritas kulit dan memberikan rasa
nyaman kepada pasien. Kolaborasi dengan fisioterapis harus
dipertimbangkan sehingga neurorehabilitasi multidisiplin dapat dimulai
secepatnya. Sustained-release potassium-channel blocker dan 4-
aminopyridine oral menunjukkan hasil yang baik dengan meningkatkan
kecepatan pasien berjalan pada pasien dengan multiple sklerosis,
mungkin dengan memperpanjang durasi dari potensial aksi. Walaupun
demikian, studi tentang efek agen ini pada pasien mielitis transversalis
belum diteliti secara khusus.
Pencegahan dekubitus dilakukan dengan alih baring tiap 2 jam.
Bila terjadi hiperhidrosis dapat diberikan propantilinbromid 15 mg
sebelum tidur.
d. Abnormalitas Tonus
Mielitis yang berat menyebabkan hipotonia pada fase akut
(spinal shock), tetapi biasanya diikuti dengan peningkatan resistensi
terhadap pergerakan (spastisitas tonus), bersama dengan spasme otot
involunter (spastisitas fasik). Spastisitas merupakan respon adaptif,
tetapi jika berlebihan, nyeri atau intrusive, memerlukan terapi dengan
fisioterapi atau obat-obatan. Penelitian controlled trials meneliti bahwa
baclofen, tizanidine, dan benzodiazepin sebagai terapi untuk pasien
dengan spastisitas akibat gangguan otak dan korda spinalis.
Setelah masa akut berlalu maka tonus otot mulai meninggi
sehingga sering menimbulkan spasme kedua tungkai, hal ini dapat
diatasi dengan pemberian Baclofen 15-80 mg/hari, atau diazepam 3-4
kali 5 mg/hari. Rehabilitas harus dimulai sedini mungkin untuk
mengurangi kontraktur dan mencegah komplikasi tromboemboli.
e. Nyeri
18
Nyeri merupakan manifestasi yang sering muncul selama dan
setelah serangan mielitis dan dapat disebabkan oleh cedera langsung
pada saraf (nyeri neuropatik), factor ortopedik (nyeri akibat perubahan
posisi atau bursitis), spastisitas, atau kombinasi dari beberapa faktor ini.
Nyeri neuropatik merespon baik dengan agen antikonvulsan, obat-
obatan anti-depressan (tricyclic antidepressants dan reuptake inhibitors
of serotonin dan norepinefrin), NSAIDS, dan narkotik. 8
f. Malaise
Pergerakan yang terbatas, obat-obatan, nyeri, dan faktor lainnya
berkontribusi terhadap malaise yang berlebihan setelah serangan
mielitis. Data dari randomized controlled trials menunjukkan efikasi
amantadin untuk terapi malaise akibat multiple sklerosis, dan pada satu
studi modafinil bisa menjadi terapi pilihan. Stimulant seperti
dekstroamfetamin atau metilfenidat pernah digunakan untuk terapi
malaise yang berat dan refrakter yang terjadi setelah episode mielitis,
tetapi manfaat agen ini untuk tatalaksana pasien dengan mielitis belum
pernah diteliti dengan randomized, controlled trials8.
g. Disfungsi Usus dan Genitourinari
Pemasangan kateter biasanya diperlukan selama mielitis
transversalis pada fase akut karena retensi urin. Setelah fase akut,
hiperrefleksia detrusor biasanya muncul dengan ciri-ciri frekuensi
berkemih yang sering, inkontinensia, dan persepsi spasme kandung
kemih. Gejala ini biasanya berkurang dengan pemberian antikolinergik
(oxybutinin dan tolterodin). Pemeriksaan ultrasonografi untuk
memeriksa volume urin yang tersisa setelah miksi berguna untuk
menyingkirkan retensi urin, tetapi studi urodinamis mungkin diperlukan
untuk menilai disfungsi urin. Obat yang menghambat reseptor α1-
adrenergik dapat membantu relaksasi sfingter urin dan pengosongan
urin pada pasien dengan hiperaktivitas sfingter, tetapi beberapa pasien
memerlukan kateterisasi intermitten untuk mengosongkan kandung
kemih. Untuk mencegah terjadinya infeksi traktus urinarius dilakukan
19
irigasi dengan antiseptik dan pemberian antibiotik sebagai prolifilaksis
(trimetroprim-sulfametoksasol, 1 gram tiap malam).
Pada fase akut dan kronik mielitis transversalis, disfungsi usus
dicirikan dengan konstipasi dan risiko impaksi, kesulitan
mengosongkan usus, dan pada beberapa kasus inkontinensia yang
biasanya disebabkan gangguan pemrograman usus untuk mengurangi
konstipasi dan kontrol waktu defekasi. Konstipasi dengan pemberian
laksan.
Disfungsi seksual merupakan konsekuensi yang sering dari
mielitis transversalis. Manifestasinya yaitu berkurangnya sensasi
genital, nyeri, dan berkurangnya kemampuan untuk orgasme, atau
anorgasmia.
j. Prognosis
Pemulihan harus dimulai dalam enam bulan, dan kebanyakan
pasien menunjukkan pemulihan fungsi neurologinya dalam 8 minggu.
Pemulihan mungkin terjadi cepat selama 3–6 minggu setelah onset dan
dapat berlanjut walaupun dapat berlangsung dengan lebih lambat
sampai 2 tahun. Pada penderita ini kemajuan pengobatan tampak pada 2
minggu terapi6.
IV. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik dilakukan tanggal 20 September 2018, pukul 08:00
WIB.
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
A. Kesadaran : Compos mentis
B. GCS : E4 M6 V5
C. Berat badan : 55 kg
D. Tinggi badan : 160 cm
E. Status gizi : BMI 21,4 (Normal)
F. Vital sign
Saat masuk RS (11 September 2018)
20
TD : 120/70 mmHg
Nadi : 52 x/menit, irama regular, isi dan tegangan cukup
RR : 21 x/menit
Suhu : 36,8 0 C secara aksiler
Saat pemeriksaan (20 September 2018)
TD : 130/80 mmHg
Nadi : 80 x /menit, irama regular, isi dan tegangan cukup
RR : 26 x/menit
Suhu : 36,50 C secara aksiler
G. Status Internus1. Kepala : mesocephal
2. Mata : konjungtiva palpebra pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil
isokor (3 mm / 3 mm), edema pupil (-/-), reflek pupil direk (+/+), reflek
pupil indirek (+/+), reflek kornea (+/+), ptosis (-)
3. Hidung : napas cuping hidung (-/-), sekret (-/-), septum deviasi (-/-)
4. Telinga : serumen (+/+), sekret (-/-), nyeri mastoid (-/-)
5. Mulut : bibir sianosis (-), karies dentis (-) atrofi papil lidah (-),
lidah deviasi (-), mulut merot ke kanan
6. Leher : simetris, pembesaran KGB (-), tiroid (dalam batas normal)
7. Thorax :
a. Cor :
1) Inspeksi : tidak tampak ictus cordis
2) Palpasi : Ictus cordis teraba di SIC IV LMCS
3) Perkusi :
a) Batas atas jatung : ICS 2 linea parasternal sinistra
b) Pinggang jantung : ICS 2 linea sternalis sinistra
c) Batas kiri bawah jantung : ICS 6, 2 cm lateral dari linea
midclavikula sinistra
d) Batas kanan bawah jantung : ICS 6 linea parasternalis dextra
4) Auskultasi : BJ I & II (+) normal, bising (-), gallop (-)
b. Pulmo :
21
Depan Dextra SinistraInspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
Pergerakan simetris, retraksi (-)
Vokal fremitus normal kanan = kiri
Sonor seluruh lapang paru
SD paru vesikuler (+), suara tambahan paru: wheezing (-), ronki (-)
Pergerakan simetris, retraksi (-)
Vokal fremitus normal kanan = kiri
Sonor seluruh lapang paru
SD paru vesikuler (+), suara tambahan paru: wheezing (-), ronki (-)
Depan Belakang
SDV (+/+)
8. Abdomen :a. Inspeksi : Dinding abdomen datar, spider naevi (-), warna kulit
sama dengan warna kulit sekitarb. Auskultasi : Bising usus (+) normalc. Perkusi : Timpani seluruh regio abdomen, ascites (-)d. Palpasi : Hepar & lien tak teraba, nyeri tekan (-)
9. Ekstremitas :a. Atas : Oedem (-/-), CRT < 2 detikb. Bawah : Oedem (+/+), CRT < 2 detik, Akral dingin (-/-)
10.Pemeriksaan punggung : pada palpasi teraba benjolan berjumlah satu di sebelah kiri tulang vertebra konsistensi kenyal, saat prabaan terasa panas dan nyeri (+).
H. Status Neurolois
1. Sikap tubuh : Simetris
2. Gerakan abnormal : -
3. Rangsang Meningeal :
a. Kaku kuduk : (-)
b. Kernig sign : (-)
c. Brudzinky I : (-)
d. Brudzinky II : (-)
e. Brudzinky III: (-)
22
f. Brudzinky IV: (-)
4. Pemeriksaan saraf kranial
NERVUS CRANIALIS Kanan KiriN.I Daya Penghidu Normal/NormalN.II
Daya Penglihatan Normal/NormalPenglihatan Warna Normal/Normal
Lapang Pandang Normal/Normal
N.III
Ptosis -/-Gerakan mata ke medial Normal/NormalGerakan mata ke atas Normal/NormalGerakan mata ke bawah Normal/NormalUkuran Pupil + (3 mm) + (3mm)Reflek cahaya Langsung + +Reflek cahaya konsensuil + +
Strabismus divergen -/-
N.IV
Gerakan mata ke lateral bawah +/+Strabismus konvergen -/-Menggigit Normal/Normal
Membuka mulut Normal/Normal
N.V
Sensibilitas muka Normal/NormalReflek kornea + +
Trismus -/-
N.VI
Gerakan mata ke lateral bawah +/+
Strabismus konvergen -/-
N.VII
Kedipan mata Normal/NormalLipatan nasolabial Simetris/simetrisSudut mulut Merot ke kanan/simetrisMengerutkan dahi Tidak ada kerutan/NormalMenutup mata Normal/NormalMeringis Merot kanan/NormalMenggembungkan pipi Normal/NormalDaya kecap lidah 2/3 depan Normal/Normal
23
N.VIII
Mendengar suara berbisik +/+Mendengar detik arloji +/+Tes Rinne Tidak dilakukanTes Schawabach Tidak dilakukanTes Weber Tidak dilakukan
N.IX
Arkus Faring Normal/NormalDaya kecap lidah 1/3 belakang Normal/NormalReflek muntah +Sengau –Tersedak –
N.X
Denyut nadi 80x/mnt regularArkus Faring Simetris/simetrisBersuara Normal/NormalMenelan Normal/Normal
N.XI
Memalingkan kepala Normal/NormalSikap bahu Normal/NormalMengangkat bahu Normal/NormalTrofi otot bahu Eutrofi/Eutrofi
N.XII
Sikap Lidah Normal/NormalArtikulasi Normal/NormalTremor Lidah -/-Menjulurkan Lidah Normal/NormalTrofi otot lidah Eutrofi/EutrofiFasikulasi Lidah -/-
5. Pemeriksaan fungsi sensorik
Kanan KiriEksteroseptif (setinggi segmen medulla
spinalis T7- T8) (setinggi segmen medulla
spinalis T7 – T 8 )Propioseptif + +
- -6. Pemeriksaan Motorik
G B B K 5 5 Tn N N Tr Eu
Eu
T T 0 0 Hiper Hiper Eu Eu
RF + + RP - - Cl
++ ++ + + + +
Keterangan : Refleks patologis babinsky (+)
7. Pemeriksaan Fungsi Vegetatif:
1) Miksi : sulit dinilai
24
2) Defekasi : BAB cair (-), inkontinentia alvi (-), retensio alvi (-)
V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Laboratorium
a. Darah LengkapPemeriksaan
Hasil Satuan Nilai Normal
Leukosit 8.6 ribu 3.8 – 10.6Eritrosit 4.84 juta 4.4 – 5.9Hemoglobin 14.1 g/dl 13.2 – 17.3Hematokrit 43.7 % 40 – 52MCV 90.3 Fl 80 – 98MCH 29.2 Pg 27 – 32MCHC 32.4 g/dl 32 – 37Trombosit 377 ribu 150 – 400RDW 14.1 % 10 – 16 MPV 7.5 Mikro m3 7 – 11Eosinofil absolute 0.30 10^3/ul 0.04 – 0.8Basofil absolute 0.03 10^3/ul 0 – 0.2Neutrofil absolute 5.38 10^3/ul 1.8 – 7.5Limfosit absolute 1.49 10^3/ul 1.0 – 4.5Monosit absolute 1.24 H 10^3/ul 0.2 – 1.0Eosinofil % 3.5 % 2 – 4 Basofil % 0.03 % 0 – 1 Neutrofil % 62.3 % 50 – 70 Limfosit % 19.6 L % 25 – 40 Monosit % 14.3 H % 2– 8 PCT 0.282 % 0.2 – 0.5PDW 7.3 L % 10 -18PTT 10.1 detik 9.3 – 11.4INR 0.97 detikAPTT 27.9 detik 24.5 – 32.8Golongan darah A
b) Kimia KlinikPemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal
Gukosa sewaktu 84 mg/dl 74 – 106SGOT 30 U/L 4.4 – 5.9SGPT 30 IU/L 13.2 – 17.3Ureum 27.3 mg/dL 40 – 52Kreatinin 1.03 Mg/dl 0.62 – 1.1
c) Urin Lengkap
Pemeriksaan
Hasil Satuan Nilai Normal
Warna Kuninh - -Kekeruhan Jernih - -Protein urin Negatif g/dL NegatifGlukosa urin Negatif Mmol NegatifpH 5.0 - 5 – 9
25
Bilirubin urin Negatif Umol/l NegatifUrobilinogen Negatif Umol/L NegatifBerat jenis urin 1.015 - 1000-1030Keton urin Negatif Mmol/L NegatifLekosit Negatif sel/mol NegatifEritrosit Negatif sel/mol NegatifNitrit Negatif - NegatifEritrosit 24.9 uL <6.4Lekosit 30.5 uL <5.8Epitel 7.2 uL <3.6Silinder 0.00 uL <0.47Bakteri 9.5 uL <23Kristal 0.0 - NegatifYeast 0.0 - NegatifEpitel tubulus 6.6 - NegatifSilinder patologis 0.00 - NegatifMucus 0.00 - NegatifSperma 0.0 - NegatifKonduktivity 8.9 - Negatif
d) Serologi
HbsAg : Non reaktif
2. Radiologi
A. Foto Rontgen Thorax PA
Hasil :
Kardiomegali
Gambaran pneumonia dengan -
underlying TB
B. Foto Rontgen Thorakolumbal Ap/Lat (15/09/2018)
Hasil :
Tampak kompresi wedging thoracal 3
Penyempitan diskus intervertebralis
VTH 2-3
Spondilosis thoracalis dan lumbal
26
C. USG Abdomen
Kesan :
Susp Nefrolithiasis kanan
Nefrolithiasis kiri
Complex cyst ginjal kiri
sistitis
D. Foto Rontgen BNO posisi
Kesan : Tak tampak gambaran ileus
VI. Diskusi IIPada pemeriksaan fisik saat pasien ditemui memiliki status
generalisata yang baik, dengan tidak adanya penurunan kesadaran, didapatkan
adanya kontak mata, motorik pasien dapat menggerakan sesuai instruksi
pemeriksa dan verbal pasien dapat menjawab pertanyaan dan menjelaskan
keluhannya dengan baik.
Pada pemeriksaan tanda vital tekanan darah pasien adalah 120/80
27
mmHg dalam batas normal, nadi 80x/menit dengan irama regular dan isi
cukup, laju nafas 26x/mnt dalam batas normal, suhu 36,5 derajat (afebris),
dan saturasi dalam keadaan baik walau tanpa oksigen.
Pada pemeriksaan fungsi motorik didapatkan adanya keterbatasan,
kelemahan kekuatan otot, peningkatan tonus, peningkatan reflex fisiologis
serta clonus pada kaki kanan dan kiri. Sehingga defisit neurologis pada pasien
ini mengarahkan ke kelainan lesi di Upper Motor Neuron (UMN) karena lesi
di UMN memiliki ciri-ciri spastis (kaku), hiperreflex, hipertonus, muncul
reflex patologis, dan dapat ditemukan adanya klonus. UMN terdiri atas otak
dan medula spinalis. Hal ini disebabkan karena adanya lesi pada medula
spinalis yang mempersarafi otot-otot ekstremitas bawah. Peningkatan refleks
fisiologis juga didapatkan pada ekstremitas yang mengalami kelemahan, hal
ini terjadi karena hilangnya pengaruh inhibisi ke motor neuron. Didapatkan
adanya kelainan sensoris seperti berkurangnya kepekaan terhadap rangsang
yang diberikan. Hal ini kemungkinan disebabkan karena saraf sensoris
(posterior root) ikut terlibat. Kelemahan kaki pasien membuat pasien tidak
bisa beraktivitas dan hanya di tempat tidur saja.
Berdasarkan hasil pemeriksaan foto rongten Thorak PA didapatkan
kardiomegali dan gambaran pneumonia dengan underlying TB. Hal ini dapat
mendukung kemungkinkan adaya infeksi TB yang sudah menyebar secara
hematogen maupun limfanogen sehingga memungkinkan terjadinya infeksi
TB pada medulla spinalis akan tetapi diagnosis tersebut masih lemah, karena
perlu dilakukan pemeriksaan lain yang lebih spesifik seperti pemeriksaan IgG
TB atau PCR TB. Berdasarkan hasil pemeriksaan rontgen thoracolumbal
tampak komprsi wedging thoracal 3, penyempitan diskus intervertebralis
VTH 2-3, dan spondilosis thoracalis lumbalis. Hal ini dapat menunjukkan
bahwa medula spinalis terkena dampaknya dan kompresi weding thoracal 3
dapat juga mendukung diagnosis suspek spondilitis TB, karena pada
spondilitis TB dapat terjadi destruksi yang massif, kolaps vertebra dan
terbentuk massa kaseosa serta pus yang berbentuk cold abses (abses dingin),
yang tejadi 2-3 bulan setelah stadium destruksi awal. Selanjutnya dapat
28
terbentuk sekuestrum serta kerusakan diskus intervertebralis. Pada saat ini
terbentuk tulang baji terutama di sebelah depan (wedging anterior) akibat
kerusakan korpus vertebra, yang menyebabkan terjadinya kifosis atau gibbus.
Perubahan bentuk vertebra akan menekan medula spinalis yang menyebabkan
keluhan pada pasien. Pasien spondilitis TB dengan defisit neurologis biasanya
terjadi jika lesi TB pada vertebra torakal. Penjelasan yang mungkin mengenai
hal ini antara lain: 1) Arteri Adamkiewicz yang merupakan arteri utama yang
mendarahi medula spinalis segmen torakolumbal paling sering terdapat pada
vertebra torakal 10 dari sisi kiri. Obliterasi arteri ini akibat trombosis akan
menyebabkan kerusakan saraf dan paraplegia. 2) Diameter relatif antara
medula spinalis dengan foramen vertebralisnya. Intumesensia lumbalis mulai
melebar kira-kira setinggi vertebra torakal 10, sedangkan foramen vertebrale
di daerah tersebut relatif kecil. Pada vertebra lumbalis, foramen vertebralenya
lebih besar dan lebih memberikan ruang gerak bila ada kompresi dari bagian
anterior.
Pemeriksaan rontgen masih belum dapat menentukan causa pada
pasien ini. Masih diperlukan pemeriksaan lain seperti MRI yang dapat
memperlihatkan gambaran struktur tubuh. MRI merupakan pemeriksaan gold
standard untuk Myelitis transversalis. Secara radiologis kelainan karena
infeksi mempunyai bentuk yang lebih difus sementara untuk tumor tampak
suatu lesi yang berbatas jelas. Jika infeksi terjadi pada bagian sentral korpus
vertebra, terisolasi sehingga disalah artikan sebagai tumor. Keadaan ini sering
menimbulkan kolaps vertebra lebih dini dibandingkan dengan tipe lain
sehingga menghasilkan deformitas spinal yang lebih hebat. Terbanyak di
temukan di regio torakal.
VII. DIAGNOSIS AKHIR :
Diagnosis klinis : Paraplegi inferior spastik, paraparestesia,
parahipestesia, retensi urin akut
Diagnosis tropis : Medulla spinalis setinggi segmen T7-T8
Diagnosis etiologi : myelitis transversalis e.c suspek spondilitis TB
VIII. PLANNING
29
Planning diagnosis :
MRI Thorakal
Kultur
Serologi IgG TB, PCR TB
LED
Pada penderita ini diberikan terapi :
Non Medikamentosa :
Edukasi keluarga mengenai penyakitnya
Rehabilitasi medik konsultasi dr. Sp.KFR (18/09/2018) dan
jawaban konsultasi : pasien disarankan menggunakan korset TLSO
(Thoraco Lumbal Sacral Orthosis) tetapi pasien menolak
imobilisasi
Medikamentosa :
Oksigen kanul 2 Liter pr menit
Inf RL 20 tpm
Inj metilprednisolon 4 x 125
Inj ranitidin 2x1 amp
Sohobion 1 x 1
Inj. seftriakson 2 x 2 gr
renadinac 50 mg 2 x 1
XI. DISKUSI III
Tatalaksana pada pasien ini meliputi tatalaksana non medikamentosa
dan medikamentosa sabagai berikut :
Inj Metilprednisolon 4 x 125
Metilprednisolon adalah kortikosteroid dengan aktivitas
imunosupresan dan anti-inflamasi.Sebagai imunosupresan
metilprednisolon bekerja dengan menurunkan respon imun tubuh
terhadap stimulasi rangsang. Aktivitas anti-inflamasi dengan jalan
menekan atau mencegah respon jaringan terhadap proses inflamasi dan
menghambat akumulasi sel yang mengalami inflamasi, termasuk
makrofag dan leukosit pada tempat inflamasi. Metilprednisolon
30
merupakan anti inflamasi yang direkomendasikan penggunaannya pada
pasien gejala neurologis dan peningkatan tekanan intrakranial.
Inj. Ranitidin 2x1 ampul
Pemberian Ranitidine ditujukan sebagai gastroprotektor untuk
mencegah terjadinya stress ulcer terutama pada pasien yang mendapat
nutrisi hanya lewat parenteral saja dapat meningkatkan resiko terjadinya
peningkatan asam lambung.
Sohobion 1 x 1 tablet
Pemberian sohobion ditujukan untuk pencegahan dan pengobatan
penyakit karena kekurangan vitamin b1,b6,b12 seperti beri beri, neuritis
perifer dan neuralgia.
Inj. seftriakson 2 x 2 gr
Seftriakson adalah antibiotik yang berguna untuk pengobatan sejumlah infeksi bakteri. Obat ini bekerja dengan cara menghambat sintesis dinding sel bakteri sehingga terjadi kebocoran sel bakteri dan bakteri lisis.
Renadinac 50 mg 2 x 1Renadinac 50 mg adalah obat yang mengandung Diclofenac Na digunakan
untuk membantu mengurangi nyeri, gangguan inflamasi (radang), nyeri ringan
sampai sedang pasca operasi khususnya ketika pasien juga mengalami
peradangan.
31
FOLLOW UPTanggal S O A P21 September ‘1806.00HP VI
Kaki tidak dapat digerakkan dari dada bagian bawah sampai kaki tidak terasa, jika kaki digerakkan punggung terasa sakit seperti ditusuk-tusuk jarum. Kedua kaki bengkak.
TD : 150/80 mmhgHR : 80 x/mRR : 20 x/mT :36,8 0CSpO2 : 98%GCS : E4M6V5Kekuatan motorik :5/50/0Sensibilitas Sensorik menurun stinggi T7-T8
Myelitis transversalis dd susp spondilitis TB
Inj ranitidin 2x1 ampInj. Seftriakson 2 x 1 grMetil prednisolon 4x125 (dosis tetap)Sohobion 1 x 1
21 September ‘1806.00HP VII
Keluhan masih sama seperti sebelumnya
TD : 130/80 mmhgHR : 80 x/mRR : 20 x/mT :36,8 0CSpO2 : 98%GCS : E4M6V5Kekuatan motorik :5/50/0Sensibilitas Sensorik menurun stinggi T7-T8
Myelitis transversalis dd susp spondilitis TB
Inj ranitidin 2x1 ampInj. Seftriakson 2 x 1 grMetil prednisolon 4x125 (dosis tetap)Sohobion 1 x 1
Pasien dirujuk ke RSDK Untuk Pemeriksaan lebih lanjut
Obat PulangDiazepam 2 mg 2 x 1Meticobalamin 500 mg
32
2 x 1
DAFTAR PUSTAKA
1. Christine Weile. 2009. Acute Poliomyelitis. Available from : http://www.emedicine.com/pmr/topic6.htm.
2. Diagnosing Transverse Myelitis (TM), 2013. Accessed on: 16 August 2013. Available from: http://www.hopkinsmedicine.org/neurology_neurosurgery/specialty_areas/transverse_myelitis/about-tm/diagnosis.html
3. Hidayat Achmad. Mielitis. November 23rd 2011. Accessed on: 13 August 2013. Available from: http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3468/1/tht-andrina1.pdf
4. Jani Orthoprost. Mielitis. March 6th 2013. Accessed on: 13 August 2013. Available from: http://jani-orthoprost.com/mielitis.html
5. Johnson et all. 2001. Transverse Myelitis.Available from : http://www.scribd.com/doc/2581918/KerrCurrent-therapy-chapter-with-figures?secret_password=&autodown=pdf
33
6. National Institute of Neurological disorder and stroke. 2009. Transverse Myelitis Fact Sheet Available from : http://www.ninds.nih.gov/disorders/transversemyelitis/detail_transversemyelitis.htm
7. The Merck Manuals Online Medical Library: The Merck Manual for Healthcare Professionals. 2008. Acute transverse myelitis. Available from : http://www.merck.com/mmpe/sec16/ch224/ch224b.html
8. Sidharta, Priguna. 1985. Neurologi Klinis Dalam Praktek Umum,Cetakan ke 2 . Jakarta.
9. Victor and Adam. 2000. Adam and Victor`s Principals of Neurology 7 th
Edition. McGraw-Hill.
34