1
1
BAB I
PENGANTAR
1.1. Latar Belakang Kehidupan berbangsa dan bernegara mempengaruhi pembentukan pola
perilaku masyarakat. Perilaku ini tercermin dari perilaku individu selaku anggota
masyarakat. Indonesia sebagai bangsa yang bangkit dari penjajahan, di awal
kemerdekaan, masyarakatnya mengembangkan perilaku saling membantu dalam
nuansa kebersamaan untuk membangun bangsa dan negara. Kondisi paska
kemerdekaan mendorong terjadinya interaksi yang saling mengisi antar berbagai
individu. Hal ini tercermin dalam lambang Bhinneka Tunggal Ika, yang berarti
walaupun berbeda tetap satu jua (Sulasmono, 2012:1). Makna ini memberi
konsekuensi adanya kebutuhan untuk saling mengenal, memahami dan
menghayati agar kesatuan dan persatuan tidak hanya sekedar simbol, melainkan
merasuk dalam kehidupan sehari-hari.
Indonesia sebagai bangsa yang dikenal dan dihormati dalam percaturan
dunia, telah mengembangkan perilaku kebersamaan. Perilaku ini cenderung tidak
mempertajam perbedaan latar belakang suku, pendidikan, agama, dan sebagainya.
Patut disadari bahwa kebutuhan yang ditumbuhkan untuk memotivasi masyarakat
agar dapat tampil sebagai „orang indonesia‟, sebagai identitas diri. Identitas yang
membedakan bangsa Indonesia dengan bangsa lain di dunia ini. Caranya dengan
tetap mempertahankan latar belakang keberagaman bangsanya.
Masa Orde Baru telah memunculkan arah baru dalam pembentukan perilaku
manusia Indonesia (Sulasmono, 2012:3). Orde Baru telah mengarahkan
2
2
pembangunan di bidang ekonomi sebagai fokus utama. Pengaruh kapitalisme
global telah menciptakan manusia-manusia yang serakah dan materialistis. Sikap
tersebut inilah yang mendorong orang untuk bekerja sekeras-kerasnya, demi
memenuhi keinginannya yang tak kunjung terpuaskan. Kekayaan menjadi simbol
status dalam kehidupan bermasyarakat, yang menyebabkan kualitas manusianya
tidak menjadi suatu prioritas lagi, melainkan lebih mengutamakan pada jumlah
atau kuantitas harta yang dimilikinya. Kejujuran tak lagi menjadi ukuran
keluhuran perilaku.
Kecenderungan mengikuti gaya hidup yang baru, yang “trendy” dan
menempatkan nilai-nilai tradisional yang sebelumnya dipegang teguh dan diyakini
sebagai kebenaran. Nilai yang mementingkan kebersamaan dan menumbuhkan
sikap gotong royong dilibas oleh nilai individualistis. Nilai yang meletakkan
unsur spiritual berganti dengan unsur materi. Sikap yang mementingkan
keselarasan dalam kehidupan bersama, sebagaimana yang telah mewarnai
kehidupan masyarakat Indonesia, diubah menjadi sikap yang selalu mau bersaing
dan memenangkan persaingan, tak peduli apapun caranya dan siapapun yang
dihadapi.
Kondisi dan situasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang
dirasakan dalam keadaan terpuruk itu menjadi bertambah sulit proyeksinya ke
depan, karena perilaku yang tampil di masyarakat tidak lagi mencerminkan
kepedulian terhadap hukum dan aturan kehidupan bersama yang menimbulkan
ketenteraman dan kenyamanan.
3
3
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dan informasi yang disebabkan
oleh globalisasi telah mengubah tatanan kehidupan masyarakat yang mempunyai
nilai-nilai luhur. Seperti halnya dalam kehidupan masyarakat Minahasa yang
dahulunya diwarnai perilaku solidaritas atau disebut mapalus telah berlangsung
sekian lama dan menjadikannya sebagai budaya dalam masyarakat Minahasa, kini
semakin hilang dalam perilaku kesehariannya.
Tumanggor (2012:49) menyatakan bahwa problem kebudayaan dewasa ini
antara lain disebabkan oleh penafsiran budaya yang cenderung keliru. Hal tersebut
mengakibatkan miskomunikasi budaya antargenerasi yang terus menerus terjadi.
Padahal, sebagai sistem gagasan yang terdiri dari nilai-nilai, norma-norma dan
aturan, kebudayaan harus dilihat dalam tiga aspek sekaligus, yaitu proses
pembelajaran, konteks, dan pelaku mendukung kebudayaan. Ketiga aspek ini
dapat menentukan seberapa besar dan kuat peran kebudayaan dalam kehidupan.
Kemudian lebih lanjut dijelaskan bahwa revitalisasi kebudayaan merupakan
proses logis dari bagaimana kebudayaan berperan dalam pembangunan dengan
tanpa meninggalkan atau bahkan melupakannya.
Senada dengan pernyataan di atas, Huijbers (2000:43) menyatakan bahwa
demi kelangsungan hidup bersama dalam kelompok adat istiadat dan nilai-nilai
kebudayaan yang memberi bentuk kepada hidup bersama dalam kelompok itu,
perlu diserahkan dari generasi kegenerasi. Penyerahan adat dan nilai kebudayaan
disebut tradisi, sehingga tiap-tiap orang lahir dalam suatu kelompok tertentu dan
menjadi makluk sosial dengan menurut tradisi kelompok tersebut.
4
4
Sesungguhnya budaya mapalus dilangsungkan khusus pada kegiatan-
kegiatan yang berkaitan dengan bidang pertanian, mulai dari membuka lahan
sampai memetik hasil atau panen (Lapian, 1991: 121). Dalam perkembangan
berikutnya, seiring dengan perkembannganya budaya mapalus tidak hanya
terbatas di bidang pertanian, melainkan juga diterapkan dalam setiap kegiatan
yang bersifat sosial kemasyarakatan dan hampir di segala bidang kehidupan,
seperti dalam kegiatan-kegiatan upacara adat, mendirikan rumah, membuat
perahu, perkawinan, kematian, dan sebagainya. Nilai dari sistem kerja mapalus
kemudian menjadi struktur yang membentuk sebuah hubungan sosial antar
manusia.
Saat ini, fakta di lapangan menunjukkan bahwa budaya mapalus yang
identik dengan gotong royong yang berbasis pada bidang pertanian dengan suatu
asumsi bahwa sebuah lahan adalah milik bersama telah berubah seiring
perkembangan masyarakat. Hal ini ditandai ketika sebuah lahan yang dulunya
dianggap sebagai milik bersama dalam hal pengerjaannya telah beralih menjadi
milik perorangan, terciptanya penonjolan individualitas. Berdasarkan pada kondisi
yang demikian, maka arti mapalus yang sesungguhnya yaitu tolong-menolong
tanpa pamrih, kini dengan sendirinya berubah menjadi tolong-menolong dengan
suatu pengharapan akan mendapat imbalan atas jasa yang telah diberikan (Lapian,
1991:130).
Berdasarkan pada latar belakang tersebut di atas, maka peneliti merasa
tertarik untuk melakukan penelitian dengan mengangkat judul “Dampak
Pergeseran Nilai Sosial Budaya Mapalus Terhadap Ketahanan Sosial (Studi di
5
5
Desa Betelen 1 Kecamatan Tombatu Kabupaten Minahasa Tenggara Propinsi
Sulawesi Utara).
1.2. Rumusan Masalah Penelitian Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, peneliti merumuskan tiga
pertanyaan penelitian ke dalam rumusan masalah sebagai berikut.
1. Bagaimana pergeseran nilai sosial mapalus masyarakat Desa Betelen 1?
2. Bagaimana dampak pergeseran nilai sosial mapalus dalam mewujudkan
ketahanan Budaya di Desa Betelen 1?
1.3. Tujuan Penelitian Adapun penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi pergeseran nilai sosial
budaya mapalusdi Desa Betelen 1.
2. Mengkaji dampak pergeseran nilai sosial mapalus dalam mewujudkan
ketahanan sosial di Desa Betelen 1.
1.4. Manfaat Penelitian Melalui penelitian ini diharapkan akan diperoleh beberapa manfaat sebagai
berikut.
1. Manfaat Teoritis
Diharapkan penelitian ini dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi
peneliti lainnya sebagai literatur dalam penelitian selanjutnya.
6
6
2. Manfaat Praktis
a. Diharapkan penelitian ini dapat bermanfaat bagi generasi muda
masyarakat Desa Betelen 1 Kabupaten Minahasa Tenggara dalam
memelihara sistem sosial masyarakat dengan mengenal makna
mapalus sebagai kearifan lokal sebagai ketahanan budaya.
b. Diharapkan penelitian ini dapat bermanfaat bagi pemerintah setempat
untuk menumbuh kembangkan segala kegiatan dengan memaknai
budaya mapalus sebagai ketahanan budaya.
1.5. Keaslian Penelitian Peneliti telah melakukan beberapa pemeriksaan terhadap hasil-hasil judul
penelitian tesis mengenai budaya mapalus. Saraswati (2011), dalam tesisnya yang
berjudul “Budaya Gotong Royong dan Implikasinya terhadap Ketahanan Sosial
Budaya di Era Globalisasi“, membahas tentang pentingnya budaya gotong royong
dalam membangun komunitas melalui pendekatan kemanusiaan dan untuk
kepentingan bersama terutama yang berkaitan dengan bencana dan kepentingan
umum di dalam kehidupan masyarakat kelurahan Cisaranten Endah Kecamatan
Arcamanik Kabupaten Bandung.
Nurhadi (1987) dalam tesisnya “Gotong Royong Dalam Kaitannya Dengan
Demensi Struktural Masyarakat“ mengulas bahwa di Indonesia gotong royong
telah dianggap sebagai salah satu ciri khas bangsa Indonesia. Karidewi (2010)
dalam tesisnya yang berjudul “Kajian Eksistensi Kearifan Lokal Masyarakat Desa
Adat Tenganan Pegrringsingan Dalam Mengelola Hutan Di Desa Tenganan
7
7
Kecamatan Manggis Kabupaten Karang Asem Provinsi Bali”, mengulas bahwa
masyarakat adat memilih interaksi dan hubungan harmonis dengan lingkungan
dan sumber daya alamnya yang terjalin melalui ikatan batin dan emosional yang
bersifat sosial, kultural, serta spiritual.
Wira Syah Putra (2011) dalam tesisnya berjudul “Pengaruh Peran
Penyuluhan dan Kearifan Lokal Terhadap Adopsi Inovasi Padi Sawah di
Kecamatan Montasik Kabupaten Aceh Besar“, mengulas bahwa kearifan lokal
merupakan seperangkat pengetahuan yang dikembangkan oleh masyarakat yang
merupakan panduan bagi mereka dalam berinteraksi dengan alam yang bersifat
eksekutif karena tidak ditemukan ditempat lain.
Semua penelitian yang dilakukan tersebut di atas memiliki kemiripan
dengan penelitian ini, yaitu memiliki tema yang sama tentang gotong royong,
akan tetapi penelitian yang telah dilakukan terdahulu menekankan bukan pada
pergeseran makna budaya Mapalus terhadap ketahanan budaya. Dengan
demikian, keaslian penelitian tesis ini dapat dipertanggungjawabkan sesuai
dengan asas-asas keilmuan yang berlaku.