6
2. BAB II LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Sistem Irigasi
Air irigasi adalah sumberdaya pertanian yang strategis. Berbeda dengan input
lainnya seperti pupuk dan pestisida yang dimensi peranannya relatif terbatas pada
proses produksi yang telah dipilih, peranan air irigasi mempunyai dimensi yang lebih
luas. Sumberdaya ini tidak hanya mempengaruhi produktivitas tetapi juga
mempengaruhi spektrum pengusahaan komoditas pertanian. Oleh karena itu kinerja
irigasi bukan hanya berpengaruh pada pertumbuhan produksi pertanian tetapi juga
berimplikasi pada strategi pengusahaan komoditas pertanian dalam arti luas
(Sumaryanto, 2006).
Jaringan irigasi adalah saluran bangunan dan bangunan pelengkapnya yang
merupakan satu kesatuan yang diperlukan untuk pengaturan air irigasi yang mencakup
penyediaan, pembagian, pemberian, penggunaan dan pembuangan air irigasi (Permen
PUPR No 30/PRT/M/2015). Tujuan pembangunan jaringan irigasi pada dasarnya
dimaksudkan untuk memberikan tambahan air ke daerah pertanian terutama selama
periode kering (curah hujan tidak cukup). Tujuannya adalah untuk mendukung sektor
pertanian untuk mencapai produksi pangan yang optimal (Suardi Natasaputra dkk,
2011).
Menurut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 30/PRT/M/2015 tentang
Pengembangan dan Pengelolaan Sistem Irigasi, sistem irigasi meliputi prasarana irigasi,
air irigasi, manajemen irigasi, kelembagaan pengelolaan irigasi dan sumber daya
manusia. Jaringan irigasi adalah saluran, bangunan dan bangunan pelengkap yang
merupakan satu kesatuan yang diperlukan untuk penyediaan, pembagian, pemberian,
penggunaan dan pembangunan sisa air irigasi. Jaringan irigasi terdiri dari irigasi primer,
sekunder, tersier sampai dengan kuarter tergantung jaringan masing-masing daerah
irigasi. Jaringan tersier merupakan wewenang petani, sedang jaringan sekunder dan atau
primer menjadi kewenangan pemerintah. Jaringan irigasi tersier berada setelah jaringan
sekunder dan primer. Air irigasi tidak akan sampai ke petak sawah tanpa melalui
7
Jaringan irigasi jika jaringan tersebut mengalami kerusakan. Kerusakan jaringan irigasi
kurang terpantau dengan baik, karena kurangnya kuantitas maupun kualitas petugas dari
instansi terkait dan partisipasi petani. Peningkatan kualitas dan kuantitas serta
keterlibatan petani dalam memantau kondisi jaringan irigasi mulai dari jaringan
sekunder dan primer serta adanya pemberian kesempatan dari pemerintah kepada petani
untuk berpartisipasi dalam pengelolaan irigasi perlu dilakukan.
Kelangsungan sistem irigasi untuk mendukung ketahanan pangan memerlukan
program operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi yang efektif. Meskipun
pendanaannya telah disediakan oleh pemerintah yang disalurkan melalui pemerintah
provinsi, namun OP irigasi yang efisien dan berkesinambungan belum dapat dicapai
karena masih banyak dimanfaatkan untuk tunjangan staf dan keatan administrasi.
Sistem iuran pelayanan irigasi yang diberlakukan telah gagal karena kurangnya
pertanggungjawabannya dan pemanfaatannya tidak terkait langsung dengan kegiatan
OP. Penelitian lapangan terbukti bahwa penyediaan dana OP hanya 4 – 50% dari total
yang diperlukan yaitu antara Rp 120.000/ha hingga Rp 150.000/ha (Dharma, 2011).
Program operasi dan pemeliharaan dapat dilaksanakan secara partisipatif oleh
petani yang tergabung dalam kelembagaan petani pemakai air yaitu P3A/GP3A/IP3A.
Peraturan Pemerintah No. 20 tahun 2006 tentang Irigasi menyebutkan bahwa partisipasi
merupakan pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi yang bertujuan untuk
mewujudkan kemanfaatan air dalam bidang pertanian diselenggarakan secara
partisipatif dan pelaksanaannya dilakukan berbasis pada peran serta petani.
Pembaharuan pengelolaan irigasi partisipatif terdiri dari lima prinsip yaitu (Andi, 2011):
a. Redefinisi tugas dan tanggung jawab institusi yang membidangi pengelolaan irigasi
untuk menjamin peran komunitas petani yang lebih besar dalam pengambilan
keputusan.
b. Peningkatan kemampuan petani melalui otonomi, P3A yang percaya diri, mengakar
pada masyarakat
c. Partisipasi P3A pada pengelolaan irigasi, dengan prinsip satu sistem, satu
manajemen dan pengaturan yang sedekat mungkin dengan para pengguna (user)
8
d. Pembiayaan operasi dan pemiliharaan, rehabilitasi jaringan irigasi secara transparan
dan efektif berdasarkan kebutuhan biaya nyata operasi dan pemeliharaan serta
prinsi kebutuhan (demand driven), dan
e. Keberlanjutan sistem irigasi melalui kebijakan umum konservasi sumberdaya air
dan konversi lahan beririgasi yang terkontrol.
Harapan dan pengalaman untuk mencapai manfaat ekonomi dari sistem irigasi
merupakan syarat untuk berpartisipasi dalam sebuah perkumpulan petani air (P3A). Hal
ini adalah faktor pendorong utama bagi petani (Schluter, 2006).
Pengelolaan sistem irigasi yang baik dapat dilaksanakan asal petani yang
tergabung dalam kelembagaan petani mau membuka diri dan menerima serta
menerapkan hal-hal yang baru dan sesuai dengan kondisi di masing-masing daerah
irigasi. Pengelolaan sistem irigasi yang konservatif akan berakibat pengelolaan yang
tidak efektif. Ganguan fungsi ini berkaitan dengan karakteristik petani sendiri yang
konservatif. Konservatif artinya cenderung berperilaku untuk melestarikan cara mereka
dalam mengelola sistem irigasi secara tradisional (Endry Martius, 1996).
2. Daerah Irigasi Lanang Kabupaten Grobogan
Dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik
Indonesia, Nomor 30/PRT/M/2015 tentang Pengembangan dan Pengelolaan Sistem
Irigasi dijelaskan pengertian Daerah irigasi adalah kesatuan lahan yang mendapat air
dari satu jaringan irigasi. Satu jaringan irigasi terdiri dari saluran, bangunan, dan
bangunan pelengkapnya yang merupakan satu kesatuan yang diperlukan untuk
penyediaan, pembagian, pemberian, penggunaan, dan pembuangan air irigasi.
Sesuai dengan fungsinya, jaringan irigasi dapat dibedakan menjadi:
a. Jaringan irigasi primer adalah bagian dari jaringan irigasi yang terdiri dari bangunan
utama, saluran induk/ primer, saluran pembuangannya, bangunan bagi, bangunan
bagi-sadap, bangunan sadap, dan bangunan pelengkapnya.
b. Jaringan irigasi sekunder adalah bagian dari jaringan irigasi yang terdiri dari saluran
sekunder, saluran pembuangannya, bangunan bagi, bangunan bagi-sadap, bangunan
sadap, dan bangunan pelengkapnya.
9
c. Jaringan irigasi tersier adalah jaringan irigasi yang berfungsi sebagai prasarana
pelayanan air irigasi dalam petak tersier yang terdiri dari saluran tersier, saluran
kuarter dan saluran pembuang, boks tersier, boks kuarter, serta bangunan
pelengkapnya.
Menurut Permen PUPR No 12/PRT/M/2015 tentang Eksploitasi dan
Pemeliharaan Jaringan Irigas, pengembangan jaringan irigasi meliputi kegiatan
pembangunan dan/ atau peningkatan jaringan irigasi yang sudah ada. Kegiatan
pengembangan jaringan irigasi dilaksanakan berdasarkan rencana induk pengelolaan
sumber daya air. Pemerintah, pemerintah provinsi, atau pemerintah kabupaten/kota
bertanggung jawab dalam pembangunan dan peningkatan jaringan irigasi primer dan
sekunder, sedangkan perkumpulan petanipemakai air dapat berperan serta. Perkumpulan
petani pemakai air bertanggung jawab dalam pembangunan dan peningkatan jaringan
irigasi tersier. Pengembangan jaringan irigasi dilakukan bersamaan dengan kegiatan
pengembangan lahan pertanian beririgasi sesuai dengan rencana dan program
pengembangan pertanian dengan memperhatikan kesiapan petani setempat (PP No
20/2006).
Kabupaten Grobogan adalah salah kabupaten terluas nomor 2 di Jawa Tengah
setelah Cilacap. Letak astronomis wilayah antara 110° 15' BT – 111° 25' BT dan 7° LS -
7°30’ LS, dengan jarak bentang dari utara ke selatan ± 37 km dan dari barat ke timur ±
83 km. Luas wilayah daratan kabupaten ini adalah 197.586,420 Ha. Wilayah Kabupaten
Grobogan terbagi dalam 19 (sembilan belas) kecamatan, 273 (dua ratus tujuh puluh
tiga) desa dan 7 (tujuh) kelurahan. (RTRW Kab. Grobogan 2011 – 2031)
Kabupaten Grobogan berbatasan langsung dengan 8 kabupaten lainnya yaitu: (1)
di sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Demak, Kudus, Pati dan Blora, (2) di
sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Demak dan Semarang, (3) di sebealah
selatan berbatasan dengan Kabupaten Boyolali, Sragen, Ngawi (Provinsi Jawa Timur),
(4) di sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Blora.
Wilayah Kabupaten Grobogan merupakan lembah yang diapit oleh dua
pegunungan kapur, yaitu Pegunungan Kendeng di bagian selatan dan Pegunungan
Kapur Utara di bagian utara. Bagian tengah wilayahnya adalah dataran rendah. Dua
sungai besar yang mengalir adalah Kali Serang dan Kali Lusi. Lembah yang membujur
10
dari barat ke timur merupakan lahan pertanian yang produktif, yang sebagian telah
didukung jaringan irigasi. (id.wikipedia.org, 2014)
Luas lahan sawah yang dimiliki oleh Kabupaten Grobogan adalah 64.790 Ha.
Lahan sawah tersebut dapat digolongkan sebagai berikut (Dinas Pertanian Tanaman
Pangan dan Hortikultura Kab. Grobogan, 2010):
a. Irigasi Teknis : 18.395 Ha
b. Irigasi Setengah Teknis : 1.658 Ha
c. Irigasi Sederhana : 10.609 Ha
d. Irigasi Tadah Hujan : 34.128 Ha
Dalam RTRW Kabuapten Grobogan tahun 2011 – 2031 telah ditetapkan
Kawasan budidaya tanaman pangan terdiri dari kawasan pertanian lahan basah dan b.
kawasan pertanian lahan kering. Kawasan pertanian lahan basah terdapat di 18
kecamatan yaitu: Kecamatan Tegowanu, Tanggungharjo, Gubug, Godong,
Karangrayung, Klambu, Penawangan, Brati, Grobogan, Purwodadi, Toroh, Geyer,
Tawangharjo, Wirosari, Pulokulon, Kradenan, Gabus dan Ngaringan. Kawasan
pertanian lahan kering sebagaimana tersebar di seluruh wilayah Kabupaten.
Pembangunan sektor pertanian di Kabupaten Grobogan merupakan sektor
primer yang amat strategis karena member kontribusi 43,6 persen dari total PDRB
setiap tahunnya. Hingga tahun 2012 lalu, kabupaten ini telah menduduki peringkat
kedua untuk hasil panen komoditas pangan berupa padi di Jawa Tengah dengan angka
pencapaian 628.569 ton.
Kabupaten Grobogan merupakan salah satu lumbung padi Jawa Tengah. Hasil
panen pada tahun 2012 lalu, produksi padi Grobogan mencapai 628.569 ton dari luas
panen 109.867 hektare. Berdasarkan data Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan
Hortikultura (Dipertan TPH) Kabupaten Grobogan tahun 2012, produktivitas padi
cukup membanggakan. Produksi gabah kering giling yang dihasilkan mencapai hingga
5,76 ton per hektar untuk jenis lahan sawah dalam satu kali tanam. Sedangkan untuk
lahan kering menghasilkan gabah kering giling hingga 4,69 ton/ha tiap musim tanam.
Peningkatan hasil produksi padi tidak lepas dari pembangunan dan
pengembangan infrastruktur sistem irigasi sebagai penyedia air di sawah beririgasi.
Penyediaan air irigasi. Daerah irigasi di Kabupaten Grobogan dibagi 3 golongan
11
berdasar pengelolanya yaitu kewenangan pusat, provinsi dan kabupaten. Daerah irigasi
kewenangan pusat yang ada di Kabupaten Grobogan termasuk dalam sistem irigasi
Kedungombo. Sumber air dari sistem Kedung Ombo adalah Waduk Kedung Ombo
yang terletak di sebelah selatan dari Kabupaten Grobogan. Daerah irigasi yang termasuk
dalam sistem Kedungombo di wilayah Kabupaten Grobogan dan merupakan
kewenangan pusat adalahh DI Sidorejo, Daerah Irigasi Lanang (Sidorejo Kiri), DI
Sedadi dan DI Klambu (lintas kabupaten).
Tabel 1. Pembagian Daerah Irigasi pada Sistem Kedung Ombo
No Daerah Irigasi (DI) Daerah Layanan (kabupaten)
Luas (Ha)
1. DI Sidorejo Grobogan 5.717
2. DI Sidorejo Kiri (Daerah Irigasi Lanang) Grobogan 1.900
3. DI Sedadi Grobogan 17.361 4. DI Klambu Kiri Demak 20.696 5. DI Klambu Kanan Pati 10.354 6. DI Klambu Wilalung Kudus 6.586
Total Luas DI 62.604 Sumber: BBWS Pemali Juana, 2013
Air dari waduk Kedung Ombo dimanfaatkan untuk 6 daerah irigasi teknis
dengan total luas daerah luas layananan adalah 62.604 ha. Daerah irigasi tersebut
mengairi wilayah kabupaten Grobogan, Kudus, Demak dan Pati. Daerah layanan waduk
Kedung Ombo meliputi: DI Sidorejo, Daerah Irigasi Lanang/ Siderojo Kiri, DI Klambu
Kanan, DI Wilalung dan DI Klambu Kiri. DI irigasi Klambu mengambil air irigasi
sebesar 1500 lt/det sedangkan DI Siderejo mengambil air sebesari 150 lt/dt. Berikut ini
adalah bagan pembagian air irigasi di sistem Kedung Ombo (BBWS Pemali Juana,
2013):
12
Gambar 1. Skema Daerah Pelayanan Sistem Kedungombo
Daerah Irigasi Lanang merupakan bagian dari Sistem Kedungombo, dibangun
dengan membendung Kali (sungai) Lanang. Bendung Lanang dibangun pada tahun
1889/1990 dan dilanjutkan pengembangannya dengan membangun jaringan sekunder
dan tersier pada tahun anggaran 2011/2012. Pengembangan Daerah Irigasi Lanang
direncanakan seluas 1900 Ha merupakan pengembangan dari DI Sidorejo (6038 Ha),
maka Daerah Irigasi Lanang disebut juga DI Sidorejo Kiri.
Pengembangan Daerah Irigasi Lanang meliputi pembangunan bendung,
rehabilitasi jaringan primer dan sekunder serta jaringan tersier atau jaringan tingkat
usaha tani. Pembangunan bendung dan rehabilitasi jaringan primer serta sekunder
13
dilaksanakan oleh Kementerian Pekerjaan Umum melalui BBWS Pemali Juana.
Sedangkan pembangunan jaringan tersier dilaksanakan oleh Dinas Pertanian Kabupaten
Grobogan melalui dana Tugas Pembantuan dari Kementerian Pertanian. Berikut ini
adalah data layanan masing-masing jarigan pada Daerah Irigasi Lanang (Dinas
Pertanian TPH Kab. Grobogan, 2013):
a. Saluran Induk Lanang, luas oncoran 439 Ha
b. Saluran sekunder Pandean, luas oncoran 239 Ha
c. Saluran sekunder Karangpanas, luas oncoran 185 Ha
d. Saluran sekunder Duari, luas oncoran 351 Ha
e. Saluran sekunder Karangwader, luas oncoran 35,00 Ha
f. Saluran sekunder Pucang, luas oncoran 216 Ha
g. Saluran sekunder Jipang, luas oncoran 178 Ha
h. Saluran sekunder Jajar, luas oncoran 84 Ha
i. Saluran sekunder Krasak, luas oncoran 163 ha
j. Saluran tersier, luas oncoran 1813 ha
Daerah irigasi (DI) Lanang meliputi 9 desa di Kecamatan Penawangan dan 3
desa di Kecamatan Karangrayung. Hasil pekerjaan pembangunan jaringan irigasi tersier
dapat dicetak lahan sawah beririgasi seluas 1.813 ha (Dinas Pertanian TPH Kabupaten
Grobogan, 2013). Dalam wilayah Daerah Irigasi Lanang, telah dibentuk kelembagaan
petani pemakai air yang terdiri dari 12 P3A, dan 3 kelompok GP3A.
Pada awal dioperasikannya Daerah Irigasi Lanang yaitu bulan September 2012
(awal musim tanam I 2012/2013), luas tanam pada sawah yang dapat dialiri sistem
irigasi ini adalah 925 ha (Dinas Pengairan Kab. Grobogan, 2013). Realisasi di
Kecamatan Penawangan seluas 807, ha, sedangkan di Kecamatan Karangrayung seluas
18 ha. (Dinas Pertanian TPH Kab. Grobogan, 2013)
3. Dampak Pembangunan Daerah Irigasi
Kegiatan pembangunan daerah irigasi menimbulkan dampak pada lingkungan
baik kondisi fisik wilayah maupun aspek sosial dan ekonomi dari daerah irigasi
tersebut. Dampak yang terjadi dapat berupa dampak positif dan negatif. Dampak positif
tentunya tercapainya tujuan pembangunan dan pengembangan daerah irigasi itu sendiri
yaitu peningkatan produksi pertanian sehingga meningkatkan pendapatan petani,
14
peningkatan luas areal sawah beririgasi dan pengelolaan sumberdaya air. Dampak
negatif yang timbul dapat merugikan masyarakat yang tinggal di sekitar daerah irigasi
tersebut, misalnya berupa berkurangnya debit pada aliran sungai yang diambil sehingga
mengganggu keseimbangan ekosistem alam sungai, konsekuensi relokasi bagi
penduduk di sekitar prasarana irigasi dan dampak penurunan kualitas air.
Proyek irigasi dapat menguntungkan secara finansial bagi perekonomian
individu, wilayah, dan negara. Sekitar 16% dari seluruh kawasan pertanian yang ada di
dunia telah teririgasikan. Hasil pertanian dari lahan yang teririgasikan itu mencakup
40% dari total hasil pertanian dunia. Meski demikian, dampak negatif dari irigasi
seringkali diabaikan meski signifikan. Bendungan Kainji di Nigeria yang selesai
dibangun pada tahun 1968 telah menyebabkan relokasi warga di sekitar sungai karena
tinggi permukaan air sungai meningkat. Bendungan ini pada tahun 1999 menimbulkan
masalah karena debit air yang berlebih memaksa pembukaan pintu limpasan. Lebih dari
60 desa dan sekitar 60% lahan pertanian terendam.
a) Dampak Lingkungan
Pembangunan jaringan irigasi sangat penting terutama karena Indonesia terletak
di wilayah muson tropis. Posisi ini membuat keberadaan air sangat khas, hujan banyak
jatuh pada bulan-bulan basah yang berlangsung dalam beberapa bulan. Tingginya curah
hujan ini tentu saja mengakibatkan air cenderung berlimpah. Dengan adanya jaringan
irigasi, air yang berlimpah ini dapat ditampung, sehingga bisa mencegah terjadinya
banjir. Selain untuk mencegah terjadinya banjir, adanya jaringan irigasi juga dapat
membantu petani terutama di saat kekeringan. Air yang ditampung saat curah hujan
tinggi tersebut dapat disalurkan pada saat musim kemarau, sehingga ketersediaan air
bagi tanaman dapat terjamin.
Dampak lingkungan dari irigasi adalah perubahan kuantitas dan kualitas tanah
dan air akibat irigasi. Dampak juga terlihat di alam dan lingkungan sosial di hulu dan
hilir sungai yang dijadikan sumber irigasi. Dampak lingkungan berakar dari perubahan
kondisi hidrologi sejak instalasi dan pengoperasian irigasi. (wikipedia.org.id)
Irigasi sebagian besar mengambil air dari sungai dan mendistribusikannya ke
area yang diirigasikan. Dampak langsung dari hal tersebut adalah:
1) berkurangnya debit hilir sungai dan peningkatan evaporasi;
15
2) penggenangan air permanen (waterlogging) juga dapat terjadi karena tinggi muka
air tanah meningkat hingga menenggelamkan akar tanaman. Genangan air yang
cukup lama dapat pula menyebabkan salinitas pada tanah dan sarang dari nyamuk
dan sumber penyakit;
3) pada irigasi yang mengambil air dari air tanah, maka tinggi muka air tanah akan
menurun.
Penggunaan pupuk dan pestisida kimia pada lahan sawah beririgasi juga akan
berdampak negatif pada pengembangan daerah irigasi. Dengan bertambahnya lahan
sawah beririgasi maka bertambah pula aktivitas pemberian pupuk dan pestisida kimia
pada lahan pertanian tersebut. Hal ini menimbulkan pencemaran air akibat pemakaian
pupuk dan pestisida kimia yang tidak terkontrol.
Pembangunan daerah irigasi berdampak negatif terhadap berkurangnya
keanekaragaman hayati (biodiversity) alami yang ada di sungai atau pun lahan yang
semula merupakan lahan tadah hujan yang berubah menjadi lahan sawah irigasi.
b) Dampak Sosial
Dampak sosial atas pembangunan suatu daerah irigasi yang krusial adalah
adanya relokasi masyarakat yang tempat tinggalnya akan dirubah menjadi lahan
pertanian maupun daerah genangan waduk. Contoh kejadian di Indonesia adalah
permasalahan sosial yang terjadi pada Pembangunan Waduk Kedung Ombo. Terlepas
dari manfaat teknis yang ada sekarang, pembangunan Waduk Kedung Ombo yang mulai
diairi pada 14 Januari 1989 menenggelamkan 37 desa, 7 kecamatan di 3 kabupaten,
yaitu Grobogan, Sragen, dan Boyolali. Menurut sejarah pula, sebanyak 5.268 keluarga
dilaporkan kehilangan tanahnya akibat pembangunan waduk ini. Penduduk yang terkena
dampak pembangunan ini direlokasi degan program transmigrasi ke Pulau Sumatera.
Hal ini masih menyisakan permasalahan sampai sekarang, karena beberapa keluarga
mulai kembali ke tanah pekarangannya. Saat ini, beberapa penduduk mulai menempati
kembali tanah-tanah di sekitar waduk yang semula merupakan area genangan, dan
sekarang menjadi kering untuk diusahakan sebagai ladang pertanian. Mereka menuntut
ganti rugi yang belum tuntas pada waktu itu.
Pembangunan maupun pengembangan daerah irigasi tidak lepas dari dampak
sosial masyarakat yang tinggal di wilayah tersebut. Aspek sosial terbukti mempunyai
16
peranan yang kuat namun seringkali diremehkan. Pembuatan sistem irigasi mungkin
saja bertujuan sangat baik, namun apabila tidak menekankan atau menyelaraskan aspek
sosial akan menjadi mubazir. Kebiasan bercocok tanam masyarakat setempat perlu
dipertimbangkan, karena untuk merubah kebiasaan manusia sangat sulit.
Selanjutnya dengan berubahnya sistem tanam dan waktu tanam, mempengaruhi
sosial masyarakat. Sistem tanam yng serentak menyebabkan dibutuhkan jumlah tenaga
kerja dalam jumlah yang besar dalam waktu bersamaan. Hal ini menyebabkan adanya
tenaga-tenaga pekerja yang mesti dibayar. Padahal dulunya mereka menanam dengan
cara bergotong-royong dari kebun yang satu ke kebun yang lain. Hal ini juga merupakan
dampak dari adanya petugas khusus yang diangkat dan dibayar dalam mengelola irigasi.
Sehingga adanya rasa bahwa mereka telah membayar dan mereka berhak mendapat
pelayanan dalam pengairan. Maka lunturlah beberapa kegiatan sosial yang biasa
dilakukan dengan gotong-royong.
c) Dampak Ekonomi
Selain aspek sosial masyarakat setempat, aspek yang tidak bisa lepas dari sistem
irigasi adalah aspek ekonomi. Seperti aspek sosial, aspek ini lebih ditekankan pada
ekonomi seperti mata pencaharian masyarakat setempat, pendapatan masyarakat serta
kebiasaan masyarakat setempat dalam menilai suatu materi, nilai lahan. Pembangunan
suatu daerah irigasi merupakan investasi yang cukup besar. Hal ini diharapkan dapat
mengahsilkan peningkatan pendapatan ekonomi masyarakat secara signifikan melalui
peningkatan produksi pertanian.
Pemenuhan kebutuhan irigasi ternyata belum mampu menuntaskan
kemiskinandan meningkatkan kesejahteraan petani. Sejak dilakukan pembangunan
hingga saat ini telah terbukti kegagalan-kegagalan dari irigasi untuk meningkatkan
kesejahteraan petani (Supadmo, 2003). Kalangan petani masih dianggap kalangan
bawah dan saat ini kurang diminati oleh generasi muda. Meskipun pada orde baru telah
dibangun jaringan irigasi mulai dari waduk hingga saluran-saluran ke lahan pertanian
masih banyak persoalan yang selalu menghampiri petani. Perubahan strategi sistem
irigasi perlu dilakukan guna meningkatkan pendatan petani yang merupakan dasar dari
aspek ekonomi.
17
Seperti contoh di atas mengenai mata pencaharian masyarakat yang sebagian
memanfaatkan batu sungai sehingga mempengaruhi bentuk sistem irigasi. Contoh lain
yaitu masyarakat setempat yang pada musim tertentu tidak menggunakan air irigasi
karena mereka menanam tanaman yang tidak memerlukan air banyak, seperti palawija
misalnya. Meskipun sistem jaringan yang telah terbangun merupakan sistem teknis
namun pemanfaatannya hanya pada dua musim tanam untuk padi. Sisanya
dimanfaatkan untuk tanaman palawija yang tidak menggunakan air banyak, termasuk
pemberian air dengan penyiraman yang tidak dilakukan. Hal ini disebabkan petani
setempat yang menilai lebih efektif dengan hasil yang lebih optimal. Mereka menilai
jika dipaksakan tiga kali musim tanam mempunyai nilai resiko yang lebih besar.
Jadi akibat pembangunan irigasi sangat mempengaruhi pola tanam, yang
dulunya waktu tanam bebas, namun sekarang mesti disepakati dengan sistem pengairan.
Dengan adanya perubahan waktu tanam yang boleh dikatakan serentak, sehingga
diperlukan tenaga kerja yang besar. Makanya timbul pekerja-pekerja sambilan yang
dibayar dengan uang. Hal ini tentu saja menjadi pengeluaran yang mesti diperhitungkan,
mungkin dulunya tidak ada pengeluaran untuk tenaga kerja. Faktor ekonomi lainnya
yang berperan dalam irigasi adalah memunculkan peran-peran baru secara ekonomis
bagi masyarakat disekitar irigasi tersebut, yang meliputi pengembangan nilai ekonomis
irigasi melalui usaha tambak, batu dan pasir sungai.
4. Daya Dukung Lingkungan
a) Pengertian
Daya dukung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk
mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya (Kementerian
Lingkungan Hidup, 2009). Menurut Soemarwoto (2001), daya dukung lingkungan pada
hakekatnya adalah daya dukung lingkungan alamiah, yaitu berdasarkan biomas
tumbuhan dan hewan yang dapat dikumpulkan dan ditangkap per satuan luas dan waktu
di daerah itu. Menurut Khanna, et.all (1999), daya dukung lingkungan hidup terbagi
menjadi 2 (dua) komponen, yaitu kapasitas penyediaan (supportive capacity) dan
kapasitas tampung limbah (assimilative capacity).
Penentuan daya dukung lingkungan hidup dilakukan dengan cara mengetahui
kapasitas lingkungan alam dan sumberdaya untuk mendukung kegiatan
18
manusia/penduduk yang menggunakan ruang bagi kelangsungan hidup. Besarnya
kapasitas tersebut disuatu tempat dipengaruhi oleh keadaan dan karakteristik sumber
daya yang ada di hamparan ruang yang bersangkutan. Kapasitas lingkungan hidup dan
sumberdaya menjadi faktor pembatas dalam penentuan pemanfaatan ruang yang sesuai.
Dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 17 tahun 2009 tentang Pedoman
Penentuan Daya Dukung Lingkungan Hidup dalam Penataan Ruang Wilayah dijelaskan
penentuan daya dukung lingkungan berdasarkan 3 pendekatan, yaitu:
a) kemampuan lahan untuk alokasi pemanfaatan ruang
b) perbandingan antara ketersediaan dan kebutuhan lahan
c) perbandingan antara ketersediaan dan kebutuhan air.
Hasil penentuan daya dukung lingkungan hidup dijadikan acuan dalam
penyusunan rencana tata ruang wilayah (Kementerian Lingkungan Hidup, 2009).
b) Daya Dukung Lingkungan metode Perbandingan Ketersediaan dan
Kebutuhan Air
Permen Lingkungan Hidup No 17 tahun 2009 tentang Pedoman Penentuan Daya
Dukung Lingkungan Hidup dalam Penataan Ruang Wilayah menjelaskan bahwa metode
ini menunjukkan cara perhitungan daya dukung air di suatu wilayah dengan
mempertimbangkan ketersediaan dan kebutuhan akan sumber daya air bagi penduduk
yang hidup di wilayah itu. Hasil perhitungan dapat mengetahui apakah sumber daya air
di suatu wilayah dalam keadaan surplus atau defisit. Hasil perhitungan dengan metode
ini dapat menjadi bahan masukan atau pertimbahan dalam menyusun rencana tata ruang
dan evaluasi pemanfaatan ruang dalam rangka penyediaan sumber daya air yang
berkelanjutan.
Dalam penelitian ini ketersediaan air merupakan perhitungan koefisien limpasan
berdasakan informasi penggunaan lahan serta data curah hujan tahunan, sedangkan
kebutuhan air dihitung dari hasil konversi terhadp kebutuhan hidup layak.
1) Ketersediaan Air (SA)
Perhitungan ketersediaan air menggunakan Metode Koefisien Limpasan yang
dimodifikasi dengan metode rasional (Kementerian Lingkungan Hidup, 2009)
19
Rumus:
iii AAcC (Persamaan 1)
mRR i (Persamaan 2)
ARCS A 10 (Persamaan 3)
Keterangan:
SA = ketersediaan air (m3/tahun) C = koefisien limpasan tertimbang Ci = koefisien limpasan penggunaan lahan I (Tabel 2) Ai = luas penggunaan lahan I (ha) R = rata-rata curah hujan tahunan wilayah (mm/tahun) Ri = curah hujan tahunan pada stasiun I (mm/tahun) m = jumlah stasiun pengamatan curah hujan A = luas wilayah (ha) 10 = faktor onversi dari mm.ha menjadi m3
Tabel 2. Koefisien Limpasan
No. Deskripsi permukaan Ci
1. Kota, jalan, aspal, atap genteng 0,7 – 0,9 2. Kawasan industri 0,5 – 0,9 3. Permukiman multi unit, pertokoan 0,6 – 0,7 4. Kompleks perumahan 0,4 – 0,6 5. Villa 0,3 – 0,5 6. Tanaman, pemakaman 0,1 – 0,3 7. Pekarangan tanah berat: a. > 7% 0,25 – 0,35 b. 2 – 7 % 0,18 – 0,22 c. < 2 % 0,13 – 0,17 8. Pekarangan tanah ringan: a. > 7% 0,15 – 0,2 b. 2 – 7 % 0,10 – 0,15 c. < 2 % 0,05 – 0,10 9. Lahan berat 0,40 10. Padang rumput 0,35 11. Lahan budidaya pertanian 0,30 12. Hutan Produksi 0,18 Sumber: Permen Lingkungan Hidup No 17 tahun 2009
2) Kebutuhan Air (DA)
Rumus perhitungan kebutuhan air adalah sebagai berikut (Kementerian Lingkungan
Hidup, 2009):
AA KHLND (Persamaan 4)
20
Keterangan:
DA = total kebutuhan air (m3/tahun) N = jumlah penduduk (orang) KHLA = kebutuhan air untuk hidup layak = 1600 m3 air/kapita/tahun = 2 x 800 m3 air/kapita/tahun, dimana:
800 m3 air/kapita/tahun merupakan kebutuhan air untuk keperluan domestik dan untuk menghasilkan pangan. (lihat Tabel 3 total kebutuhan air dan Tabel 4 tentang “air virtual” kebutuhan air untuk menghasilkan suatu produk). 2,0 merupaka faktor koreksi untuk memperhitungkan kebutuhan hidup layak tang mencakuup kebutuhan pangan, domestik dan lainnya. Kriteria WHO untuk kebutuhan air total sebesar 1000 – 2000 m3/tahun
Tabel 3. Total Kebutuhan Air
Konsumsi Jumlah Kebutuhan Setara Air Beras 120 kg/tahun 324,00 m3/th Air minum dan rumah tangga
120 lt/hari 43,20 m3/th
Telor 1 kg berisi 16 telor; 1 butir/hari
105,75 m3/th
Buah 1 kg jeruk = 5 buah; 1/5 kg tiap 3 hari
3,84 m3/th
Daging 1/10 kg/ 5 hari 20,16 m3/th Salad 5,40 m3/th Kedelai 276,00 m3/th Total 778,35 m3/th Sumber: Permen Lingkungan Hidup No 17 tahun 2009
Tabel 4. Air Virtual (Kebutuhan air untuk menghasilkan satu satuan produk)
Produk Kebutuhan Air 1 kg padi 2700 – 4000 liter 1 kg daging sapi 2900 – 160000 liter 1 kg daging unggas (ayam) 2800 liter 1 kg telor 4700 liter 1 kg kentang 160 liter 1 kg kedelai 2300 liter 1 kg gandum 1200 liter 1 bongkah roti 170 liter 1 kaleng soda 90 liter Air minum dan RT 120 liter/hari/kapita
Sumber: Permen Lingkungan Hidup No 17 tahun 2009
3) Status Daya Dukung Air
Status daya dukung air diperoleh dari perbandingan antara ketarsediaan air (SA) dan
kebutuhan air (DA). Bila SA > DA, daya dukung air dinyatakan surplus,
Bila SA < DA, daya dukung air dinyatakan defisit atau terlampaui
21
5. Pengelolaan Daerah Irigasi
Kata “pengelolaan” sama dengan manajemen. Manajemen merupakan
terjemahan dari kata management dalam Bahasa Inggris dan didefinisikan sebagai suatu
aktifitas, seni, cara, gaya, pengorganisasian, kepemimpinan, pengendalian, dalam
mengelola, mengendalikan kegiatan (New Webster Dictionary, 1997; Echols dan
Shadily, 1988; Webster’s New World Dictionary, 1983; Collins Cobuild, 1988).
Aktifitas dimulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, operasi dan
pemeliharaan, organisasi, kepemimpinan, pengendalian, sampai pada evaluasi dan
monitoring.
Oleh karena itu manajemen dapat dilihat dari berbagai aspek antara lain: dapat
berupa ilmu pengetahuan, berupa profesi atau keahlian, berupa sistem, pengaturan,
proses, metode, seni, sekelompok orang atau beberapa grup dengan tujuan tertentu.
Phase utama dan fungsi manajemen secara umum meliputi: Perencanaan
(planning); Pengorganisasian (organising); Kepemimpinan (directing); engkoordinasian
(coordinating); Pengendalian (controlling); Pengawasan (supervising); Penganggaran
(budgeting) dan keuangan (financing)
Pengelolaan irigasi erat hubungannya dengan pengelolaan sumberdaya air.
Pengelolaan sumber daya air terpadu merupakan penanganan integral yang
mengarahkan kita dari pengelolaan air sub-sektor ke sektor silang. Secara lebih spesifik
pengelolaan sumber daya air terpadu didefinisikan sebagai suatu proses yang
mempromosikan koordinasi pengembangan dan pengelolaan air, tanah dan sumber daya
terkait dalam rangka tujuan untuk mengoptimalkan resultan ekonomi dan kesejahteraan
sosial dalam sikap yang cocok/tepat tanpa mengganggu kestabilan dari ekosistem-
ekosistem penting (GWP, 2001).
Kebijakan pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi yang efisien dan efektif
diperlukan untuk menjamin keberlanjutan sistem irigasi dan hak guna air untuk irigasi.
Hal tersebut didasarkan pada kenyataan:
a. adanya pergeseran nilai air dari sumber daya air milik bersama yang melimpah dan
dapat dimanfaatkan tanpabiaya menjadi sumber daya yang bernilai ekonomi dan
berfungsi sosial;
b. terjadinya kerawanan ketersediaan air secara nasional;
22
c. meningkatnya persaingan pemanfaatan air antara irigasi dengan penggunaan oleh
sektor-sektor lain;
d. makin meluasnya alih fungsi lahan irigasi untuk kepentingan lainnya.
Adanya perubahan tujuan pembangunan pertanian dari meningkatkan produksi
untuk swasembada beras menjadi melestarikan ketahanan pangan, meningkatkan
pendapatan petani, meningkatkan kesempatan kerja di perdesaan dan perbaikan gizi
keluarga, serta sejalan dengan semangat demokrasi, desentralisasi, dan keterbukaan
dalam tatanan kehidupan bermasyarakat.
Peraturan Pemerintah No 20 tahun 2006 dijelaskan bahwa pengelolaan daerah
irigasi merupakan kegiatan pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi yang
bertujuanmewujudkan kemanfaatan air dalam bidang pertanian. Pengembangan dan
pengelolaan sistem irigasi dilaksanakan dalam satu kesatuan daerah irigasi yang
diselenggarakan secara partisipatif, terpadu, berwawasan lingkungan hidup, transparan,
akuntabel, dan berkeadilan. Prinsip pengelolaan daerah irigasi bahwa satu sistem irigasi
satu kesatuan pengembangan dan pengelolaan, dengan memperhatikan kepentingan
pemakai air irigasi dan pengguna jaringan irigasi di bagian hulu, tengah, dan hilir secara
selaras.
Prinsip-prinsip pengelolaan irigasi meliputi:
a. Irigasi diselenggarakan dengan tujuan mewujudkan kemanfaatan air yang
menyeluruh, terpadu, dan berwawasan lingkungan, serta untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat, khususnya petani.
b. Irigasi berfungsi mempertahankan dan meningkatkan produktivitas lahan untuk
mencapai hasil pertanian yang optimal tanpa mengabaikan kepentingan lainnya.
c. Pengelolaan irigasi diselenggarakan dengan mengutamakan kepentingan masyarakat
petani dan dengan menempatkan Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) sebagai
pengambil keputusan dan pelaku utama dalam pengelolaan irigasi yang menjadi
tanggung jawabnya. Oleh karena itu perlu dilakukan pemberdayaan P3A secara
berkesinambungan dan berkelanjutan.
d. Untuk menjamin terselenggaranya pengelolaan irigasi yang efisien dan efektif serta
dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya kepada masyarakat petani,
23
pengelolaan irigasi dilaksanakan dengan mengoptimalkan pemanfaatan air
permukaan dan air tanah secara terpadu.
e. Pengelolaan irigasi dilaksanakan dengan prinsip satu sistem irigasi satu kesatuan
pengelolaan, dengan memperhatikan kepentingan pengguna di bagian hulu, tengah,
dan hilir secara seimbang serta melibatkan semua pihak yang berkepentingan agar
dapat dicapai pemanfaatan jaringan irigasi yang optimal.
f. Keberlanjutan sistem irigasi dilaksanakan dengan dukungan keandalan air irigasi
dan prasarana irigasi yang baik, guna menunjang peningkatan pendapatan petani
dengan mengantisipasi modernisasi pertanian dan diversifikasi usaha tani dengan
dukungan penyediaan infrastruktur sesuai kebutuhan.
g. Wujud dukungan keandalan air irigasi yaitu pembangunan waduk dan atau waduk
lapangan, pengendalian kualitas air, jaringan drainase yang sepadan, dan
pemanfaatkan kembali air pembuangan/drainase.
h. Pengelolaan irigasi diselenggarakan secara berwawasan lingkungan, adalah
pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi memperhatikan keseimbangan
ekosistem dan daya dukung lingkungan.
Pengelolaan jaringan irigasi adalah kegiatan yang meliputi operasi,
pemeliharaan, dan rehabilitasi jaringan irigasi di daerah irigasi. Pengelolaan irigasi
dilakukan oleh banyak pihak meliputi instansi Pemerintah, Pemerintah Daerah, P3A
atau pihak lain yang kegiatannya berkaitan dengan pengelolaan irigasi sesuai dengan
kewenangannya mulai dari perencanaan, pembangunan, operasi dan pemeliharaan,
rehabilitasi, peningkatan, dan pembiayaan jaringan irigasi. Petani pemakai air dapat
membentuk P3A sampai tingkat daerah irigasi sebagai lembaga yang berwenang untuk
mengatur pengelolaan daerah irigasi sebagai satu kesatuan pengelolaan.
Untuk pemenuhan kebutuhan air irigasi untuk berbagai keperluan,
Bupati/Walikota membentuk Komisi Irigasi yang ditetapkan dengan Keputusan
Bupati/Walikota yang berfungsi membantu Bupati/Walikota dalam peningkatan kinerja
pengelolaan irigasi, terutama pada bidang penyediaan, pembagian, dan pemberian air
irigasi bagi tanaman dan untuk keperluan lainnya serta merekomendasikan prioritas
alokasi dana pengelolaan irigasi Kabupaten/Kota. Dalam rangka koordinasi pengelolaan
24
di daerah irigasi yang jaringan utamanya berfungsi multiguna, dapat dibentuk forum
koordinasi daerah irigasi.
6. Konsep Keberlanjutan Penyediaan Air Irigasi
Fungsi dari irigasi adalah untuk mendukung produktivitas usaha tani guna
meningkatkan produksi pertanian dalam rangka ketahanan pangan nasional dan
kesejahteraan masyarakat, khususnya petani, yang diwujudkan melalui keberlanjutan
sistem irigasi. Usaha yang dilakukan untuk mencapai keberlanjutan sistem irigasi adalah
dilakukan dengan pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi.
Peraturan Pemerintah No 20 tahun 2006 tentang Irigasi menyebutkan bahwa
keberlanjutan sistem irigasi ditentukan oleh:
a. keandalan air irigasi yang diwujudkan melalui kegiatan membangun waduk, waduk
lapangan, bendungan, bendung, pompa, dan jaringan drainase yang memadai,
mengendalikan mutu air, serta memanfaatkan kembali air drainase;
b. keandalan prasarana irigasi yang diwujudkan melalui kegiatan peningkatan, dan
pengelolaan jaringan irigasi yang meliputi operasi, pemeliharaan, dan rehabilitasi
jaringan irigasi di daerah irigasi;
c. meningkatnya pendapatan masyarakat petani dari usaha tani yang diwujudkan
melalui kegiatan pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi yang mendorong
keterpaduan dengan kegiatan diversifikasi dan modernisasi usaha tani.
7. Pengembangan Pengelolaan Sistem Irigasi Partisipatif
Selama ini perancangan sistem irigasi selalu dianggap sebagai suatu aplikasi
teknologi dan tanpa memperhatikan disiplin ilmu lain. Irigasi dianggap sebagai aplikasi
teknik saja tanpa memperhatikan unsur sosio-teknis. Akibatnya adalah adanya
kesenjangan dalam perancangan dan pengelolaan sistem irigasi sehingga sistem irigasi
menjadi kurang efektif digunakan. Lahirnya paradigma baru dalam pengelolaan irigasi
di Indonesia dimulai sejak dikeluarkannya Inpres Nomor 3 Tahun 1999 tentang
Pembaharuan Kebijaksanaan Pengelolaan Irigasi. Kebijaksanaan tersebut memuat lima
isi pokok, sebagai berikut : a) Redefinisi tugas, kewenangan, dan tanggung jawab
kelembagaan pengelolaan irigasi, b) Pemberdayaan Perkumpulan Petani Pemakai Air
25
(P3A), c) Penyerahan Pengelolaan Irigasi (PPI) kepada P3A, d) Pembayaran OP
Jaringan irigasi melalui IPAIR, dan e) Keberlanjutan Sistem Irigasi.
Kelima butir kebijakan tersebut merupakan pembaharuan ke arah pengelolaan
irigasi yang lebih mengedepankan partisipasi masyarakat. Seluruh kebijakan tersebut
merupakan pokok program yang tertuang dalam Pengembangan dan Pengelolaan Sistim
Irigasi Partisifatif (PPSIP) sebagai amanat Peraturan Pemerintah No. 20 tahun 2006
tentang Irigasi. Partisipatif adalah pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi yang
berbasis peran serta masyarakat petani.
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor
30/PRT/M/2015 menjelaskan bahwa pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi
diselenggarakan secara partisipatif dengan berbasis peran serta masyarakat petani yang
tergabung dalam kelembagaan petani pemakai air (P3A dan GP3A). Masyarakat petani
dapat berpartisipasi mulai dari pemikiran awal, pengambilan keputusan, sampai dengan
pelaksanaan kegiatan pada tahapan perencanaan, pembangunan, peningkatan, operasi,
pemeliharaan, dan rehabilitasi. Pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi tersebut
dilaksanakan dengan prinsip satu sistem irigasi satu kesatuan pengembangan dan
pengelolaan dengan memperhatikan kepentingan pemakai air irigasi dan pengguna
jaringan irigasi di bagian hulu, tengah, dan hilir secara selaras. Kewenangan
pengelolaan jaringan irigasi diatur dalam peraturan ini adalah sebagai berikut:
a. Pemerintah, pemerintah provinsi, atau pemerintah kabupaten/kota sesuai dengan
kewenangannya bertanggung jawab dalam pengembangan dan pengelolaan sistem
irigasi primer dan sekunder.
b. P3A mempunyai hak dan tanggung jawab dalam pengembangan dan pengelolaan
sistem irigasi tersier.
Partisipasi masyarakat petani/P3A/GP3A dalam kegiatan pengembangan dan
pengelolaan jaringan irigasi primer dan sekunder dilaksanakan berdasarkan prinsip:
a. sukarela dengan berdasarkan hasil musyawarah dan mufakat;
b. kebutuhan, kemampuan, dan kondisi ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat
petani/P3A/GP3A di daerah irigasi yang bersangkutan; dan
b. bukan bertujuan untuk mencari keuntungan.
26
Partisipasi petani dilaksanakan untuk meningkatkan rasa memiliki, rasa
tanggung jawab, serta meningkatkan kemampuan masyarakat petani dalam rangka
mewujudkan efisiensi, efektivitas, dan keberlanjutan sistem irigasi. Wujud dari
partisipasi dapat berupa sumbangan pemikiran, gagasan, waktu, tenaga, material, dan
dana.
8. Pemberdayaan P3A dan GP3A
Supriyanto, et all. (2014) memaknai pemberdayaan masyarakat sebagai upaya
yang disengaja untuk memfasilitasi masayarakat lokal dalam merencanakan,
memutuskan dan mengelola sumber daya lokal yang dimiliki melalui collective action
dan networking sehingga pada akhirnya mereka memiliki kemampuan dan kemandirian
secara ekonomi, ekologi dan sosial.
Dengan pemberdayaan masyarakat sekaligus menghapus paradigma kebijakan
top down dan menggantinya kebijakan berbasis masyarakat yang menuju kepada
kemandirian masyarakat, serta merupakan kegiatan yang berkesinambungan.
Pemberdayaan masyarakat dalam pengertian yang lebih luas adalah proses untuk
memfasilitasi dan mendorong masyarakat agar mampu menempatkan diri secara
proporsional dan menjadi pelaku utama dalam memanfaatkan lingkungan strategisnya
untuk mencapai suatu keberlanjutan dalam jangka panjang. Ini merupakan prinsip
utama dalam konsep pembangunan berkelanjutan atau sustainable development.
Pemberdayaan dapat menjadikan anggota masyarakat mampu untuk
memanfaatkan sumberdaya yang dimilikinya secara optimal dan terlibat secara penuh
dalam mekanisme produksi, ekonomi, sosial dan lingkungan hidupnya. Kata kunci
dalam pemberdayaan masyarakat, ialah:
a. Peningkatan kemampuan masyarakat;
b. Terciptanya kemandirian masyarakat;
c. Meningkatnya taraf kehidupan masyarakat;
d. Terpeliharanya kesinambungan (sustainability) kegiatan pembangunan.
Faktor internal dan eksternal merupakan hal yang tak terpisahkan dalam proses
pemberdayaan masyarakat. Kedua faktor itu saling mempengaruhi dan berkontribusi
secara sinergis dan dinamis. Namun seringkali faktor internal menjadi lebih penting,
27
utamanya dalam terwujudnya self-organizing dalam masyarakat. Tradisi masyarakat
adalah satu faktor internal, yang oleh para ahli sebagai bentuk social ralationship,
merupakan suatu networking spesifik dan termasuk modal masyarakat (social capital).
Menurut Deliveri (2004) proses pemberdayaan masyarakat perlu didampingi
oleh suatu tim fasilitator yang bersifat multidisiplin. Maka tim pendamping atau
fasilitator adalah salah satu faktor eksternal yang utama. Dimana peran tim sangat aktif
pada awalnya, tetapi akan berkurang secara bertahap selama proses pemberdayaan
berjalan, sampai masyarakat mampu melanjutkan kegiatannya secara mandiri. Tahapan
dalam proses pemberdayaan pada dasarnya mencakup kegiatan-kegiatan sebagai
berikut:
a. Identifikasi dan pengkajian permasalahan serta potensi masyarakat dengan
melibatkan sepenuhnya pada peranserta masyarakat;
b. Mengembangkan rencana kegiatan kelompok berdasar hasil kajian;
c. Implementasi rencana kegiatan kelompok;
d. Pemantauan dan evaluasi.
Pada kedua kegiatan pertama (a dan b) biasa dipakai metode PRA (participatory
rural appraisal) yang dikembangkan pertama kali oleh Robert Chambers. Semua itu
mengarah pada perlunya ditingkatkan kemampuan masyarakat dengan berbagai
penyuluhan dan pelatihan. Maka peranan tim fasilitator sebagai motivator adalah sangat
penting, sehingga kemampuan atau keprofesionalan tim harus dapat diandalkan.
Pemberdayaan bertujuan untuk meningkatkan kualitas dan kinerja semua pihak
yang terkait dalam pengelolaan sumberdaya air. Baik untuk petugas maupun
kelembagaan petani pemakai air yang telah diberikan beberapa pelatihan, baik terkait
dengan aspek teknis maupun aspek kelembagaan. Pelaksanaan pemberdayaan bermuara
pada dua hal yaitu: pengembangan potensi individu dan atau pengembangan potensi
organisasi/kelompok. Kedua basis ini harus diterapkan secara simultan karena
pengelolaan sumberdaya air yang efektif harus bisa tercipta dalam sebuah wadah
organisasi yang baik dan beranggotakan individu yang baik pula (Santoso, 2006)
Menurut UNDP (1998), dimensi dan tingkatan pemberdayaan terdapat tiga
tingkat atau level yang harus dicapai pada program pemberdayaan, yakni: pertama,
pemberdayaan tingkat individu berupa pengembangan potensi dan keterampilan; kedua,
28
pemberdayaan pada tangkat kelompok/organisasi, yang berhubungan dengan
peningkatan partisipasi kelompok dalam pembangunan; dan ketiga, pemberdayaan pada
tingkat sistem, yakni berwujud meningkatnya kemandirian masyarakar baik secra
ekonomis, sosiologis maupun politis. Indikator dari masing-masing dimensi seperti pada
tabel berikut.
Tabel 5. Dimensi dan Indikator Pemberdayaan Masyarakat (UNDP 1998)
Dimensi Indikator
Tingkat Individu
Pengembangan potensi dan
Keterampilan
- kepemilikan aset/modal - kekuatan fisik - tidak terisolasi - penguasaan keterampilan - keberfungsian lembaga usaha
Tingkat Kelompok/Organisasi
Partisipasi dalam pembangunan
- perencanaan dan pengambilan keputusan - pelaksanaan dan pengawasan keputusan
bersama - pemanfaatan hasil-hasil pembangunan
Tingkat Sistem
Kemandirian
- pengurangan ketergantungan kepada bantuan luar
Kebijakan Pembinaan dan Pemberdayaan kelembagaan petani pemakai air diatur
dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor No.79/Permentan/OT.140/12/2012 tentang
Pedoman Pembinaan Dan Pemberdayaan Perkumpulan Petani Pemakai Air. Dalam
peraturan menteri tersebut dijelaskan tentang pengertian, tujuan, dan tahapan
pelaksanaan pembinaan dan pemberdayaan P3A.
Perkumpulan Petani Pemakai Air atau disingkat P3A adalah kelembagaan yang
ditumbuhkan oleh petani yang mendapat manfaat secara langsung dari pengelolaan air
pada jaringan irigasi, air permukaan, embung/ dam parit dan air tanah. P3A yang
dimaksud dalam peraturan ini juga termasuk kelembagaan Kelompok tani ternak,
perkebunan dan hortikultura yang memanfaatkan air irigasi/air tanah dangkal/air
permukaan dan air hasil konservasi/ embung. Wilayah kerja dari kelompok P3A ini
merupakan satu layanan blok tersier atau satu batas desa sesuai dengan kesepakan
petani setempat.
Gabungan Perkumpulan Petani Pemakai Air atau disingkat GP3A adalah
gabungan beberapa kelembagaan P3A yang bersepakat bekerjasama memanfaatkan air
29
irigasi dan jaringan irigasi pada daerah layanan blok sekunder, gabungan beberapa blok
sekunder, atau satu daerah irigasi yang bertujuan untuk mempermudah pola koordinasi
dan penyelenggaraan irigasi sekunder serta memperkuat posisi tawar petani pada usaha
pertaniannya.
Pembinaan dan pemberdayaan petani pemakai air menurut Permentan
Nomor 79/Permentan/OT.140/12/2012 adalah upaya penguatan dan peningkatan
kemampuan serta kapasitas P3A maupun GP3A/IP3A yang meliputi aspek
kelembagaan, teknis usaha pertanian dan pembiayaan dengan dasar keberpihakan
kepada petani melalui penumbuhan, pembentukan, pelatihan, pendampingan, dan
menumbuhkembangkan partisipasi dalam upaya mencapai kesejahteraan petani dan
ketahanan pangan nasional.
Pembinaan dan Pemberdayaan kelembagaan perkumpulan petani pemakai air
difokuskan kepada pemberdayaan organisasi/lembaga dan sumberdaya manusianya
sebagai penyelenggara irigasi partisipatif. Dukungan sumberdaya manusia yang
berkualitas diharapkan dapat membangun keterpaduan sistem antara pengelolaan
jaringan irigasi dan agribisnis pangan. Pemberdayaan diharapkan dapat menumbuh
kembangkan kerja sama yang baik antar petani maupun dengan pihak lainnya, terkait
dengan pengelolaan jaringan irigasi, pemecahan masalah usahatani anggota secara
lebih efektif, dan pengembangan akses informasi pasar, teknologi, permodalan dan
sumberdaya lainnya.
Pembinaan dan pemberdayaan perkumpulan petani pemakai air tidak terlepas
dari perwujudan terlaksananya fungsi dasar P3A yaitu: a) mendistribusikan air irigasi
secara adil dan efisien; b) mengelola konflik yang terjadi antara pemakai air secara adil;
dan c) memelihara jaringan irigasi tersier/tingkat usaha tani, baik irigasi teknis maupun
irigasi desa secara baik dan berkesinambungan.
Pemberdayaan P3A bertujuan untuk meningkatkan keberdayaan dan
kemandirian P3A sampai memiliki status hukum dan mempunyai kemampuan dalam
meningkatkan kualitas sumberdaya manusia di bidang organisasi, teknis pertanian, dan
jaringan irigasi. Secara khusus tujuan pemberdayaan P3A adalah:
30
a. Menguatkan kelembagaan P3A menjadi mandiri sehingga dapat berperan aktif
dalam kegiatan pengembangan dan pengelolaan irigasi terutama jaringan tersier
secara partisipatif;
b. Memperkuat kelembagaan P3A sampai memiliki status hukum dan meningkatkan
kemampuan sumberdaya manusia di bidang organisasi, teknis pertanian dan jaringan
irigasi dan keuangan, sehingga mampu mengelola suatu sistem irigasi secara
mandiri dalam upaya keberlanjutan sistem irigasi; dan
c. Memfasilitasi organisasi untuk mengembangkan kemampuan sendiri di bidang
teknis, keuangan, manajerial, administrasi dan organisasi agar dapat mengelola
daerah irigasi secara mandiri dan berkelanjutan dalam proses dinamis dan
bertanggung jawab.
Sasaran pemberdayaan adalah tumbuhnya P3A yang mandiri baik dalam aspek
organisasi atau kelembagaan, teknis (irigasi dan pertanian), keuangan (sosial ekonomi)
dan partisipasinya dalam pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi yang didukung
oleh peran Pemerintah sebagai fasilitator dan dinamisator melalui program yang sesuai
dengan kebutuhan P3A.
9. Analisis SWOT
Analisis SWOT adalah suatu cara untuk mengidentifikasi berbagai faktor secara
sistematis dalam rangka merumuskan strategi (Rangkuti, 1998 dalam Marimin, 2004).
Menurut Rahardjo (2005) analisis SWOT adalah sebuah metode analisis dengan
mengkaji kekuatan (strength), kelemahan (weakness), peluang (opportunities) dan
ancaman (threats).
Analisis ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan
(strengths) dan peluang (opportunities), namun secara bersamaan dapat meminimalkan
kelemahan (weakness) dan ancaman (threats). Analisis SWOT adalah analisis kondisi
internal maupun eksternal suatu organisasi yang selanjutnya akan digunakan sebagai
dasar untuk merancang strategi dan program kerja. Analisis SWOT hanya
menggambarkan situasi yang terjadi bukan sebagai pemecah masalah.
31
Analisis SWOT terdiri dari empat faktor, yaitu:
a. Strengths (kekuatan)
merupakan kondisi kekuatan yang terdapat dalam organisasi, proyek atau konsep
bisnis yang ada. Kekuatan yang dianalisis merupakan faktor yang terdapat dalam
tubuh organisasi, proyek atau konsep bisnis itu sendiri.
b. Weakness (kelemahan)
merupakan kondisi kelemahan yang terdapat dalam organisasi, proyek atau konsep
bisnis yang ada. Kelemahan yang dianalisis merupakan faktor yang terdapat dalam
tubuh organisasi, proyek atau konsep bisnis itu sendiri.
c. Opportunities (peluang)
merupakan kondisi peluang berkembang di masa datang yang terjadi. Kondisi yang
terjadi merupakan peluang dari luar organisasi, proyek atau konsep bisnis itu
sendiri. misalnya kompetitor, kebijakan pemerintah, kondisi lingkungan sekitar.
d. Threats (ancaman)
merupakan kondisi yang mengancam dari luar. Ancaman ini dapat mengganggu
organisasi, proyek atau konsep bisnis itu sendiri.
Tahapan yang harus dilakukan dalam pembuatan analisis SWOT agar keputusan
yang diperoleh lebih tepat adalah sebagai berikut (Marimin, 2004):
a. Tahap pengambilan data yaitu evaluasi faktor eksternal dan internal
b. Tahap analisis yaitu pembuatan matriks internal eksternal dan matriks SWOT
c. Tahap pengambilan keputusan
Tahap pengambilan data digunakan untuk mengetahui faktor internal (Internal
Factor Evaluation) dan faktor eksternal (External Factor Evaluation). Faktor internal
terdiri dari kekuatan dan kelemahan, sedangkan faktor eksternal terdiri dari peluang dan
ancaman. Pengambilan data dilakukan dengan menggunakan kuisioner maupun
wawancara kepada seorang ahli. Setelah mengetahui berbagai faktor internal dan
eksternal, tahap selanjutnya adalah membuat matriks internal ekstenal.
Matrik SWOT menggambarkan secara jelas bagaimana peluang dan ancaman
eksternal dapat disesuaikan dengan kekuatan dan kelemahan yang dimiliki. Matrik ini
32
dapat menghasilkan empat set kemungkinan alternatif strategis, seperti pada tabel
berikut :
Tabel 6. Contoh matrik SWOT
Sumber: Rangkuti, 2006
Tahap pengambilan keputusan, matrik SWOT merujuk pada matriks internal
eksternal yang menunjukkan posisi suatu lembaga saat ini. Marimin (2004)
mengelompokkan posisi institusi menjadi 4 kuadrat, yaitu kuadran I, II, III dan IV. Pada
kuadran I strategi yang sesuai adalah strategi agresif, kuadran II strategi diversifikasi,
kuadran III strategi turn around dan kuadran IV strategi difensif. Dengan mengetahui
posisi dari suatu institusi, maka dapt diketahu kombinasi strategi yang tepat.
Gambar 2. Posisi perusahaan/ institusi pada berbagai kondisi (Marimin, 2004)
PELUANG
PELUANG PELUANG
PELUANG
KUADRAN III (mendukung strategi
turn-around)
KUADRAN I (mendukung strategi
agresif)
KUADRAN II (mendukung strategi
diversifikasi) KUADRAN II
(mendukung strategi difensif)
33
10. Metode Analytical Hierarchy Process
Metode Analytical Hierarchy Process (AHP) merupakan salah satu metode
untuk mengiterpretasikan data kualitatif ke data kuantitatif dan lebih objektif. Metode
AHP dianggap sebagai metode yang tepat untuk menentukan suatu kriteria. Metode ini
digunakan untuk mendapatkan skala rasio, baik dari perbandingan pasangan yang
diskret maupun kontinyu. Metode AHP memiliki perhatian khusus tentang
penyimpangan dari konsistensi, pengukuran dan ketergantungan dalam dan di antara
kelompok elemen struktur (Saaty, 1991). Metode AHP memungkinkan untuk
mengurutkan bobot elemen di setiap tingkatan hirarki berkenaan dengan elemen
(kriteria atau tujuan) dari tingkat hirarki selanjutnya. (Saaty, 1994 dalam Mahdalena,
2012)
Metode AHP dikembangkan oleh Thomas L. Saaty pada tahun 70-an. Metode
ini merupakan salah satu metode yang dapat digunakan dalam sistem pengambilan
keputusan dengan memperhatikan faktor-faktor persepsi, preferensi, pengalaman dan
instuisi. Metode AHP menggabungkan penilaian-penilai dan nilai-nilai pribadi ke dalam
satu cara yang logis.
Pada dasarnya proses langkah dalam metode AHP meliputi:
2. Mendefinisikan masalah dan menentukan solusi yang diinginkan
3. Membuat struktur hirarki yang diawali tujuan umum dilanjutkan dengan kriteria dan
keungkinan alternatif-alternatif dengan tingkatan kriteria yang paling bawah, seperti
ditunjukkan pada Gambar 3.
34
Gambar 3. Struktur hirarki dalam metode AHP
4. Membuat pembobotan pada maing-masing variabel
Nilai perbandingan tingkan kepentingan elemen atau bobot ditetapkan dengan skala
kuantitatif 1 sampai dengan 9 (Saaty, 1994). Nilai dan definisi dari skala
berbandingan Saaty bisa diukur dengan Tabel 1.
5. Rating
Tabel 7. Skala Penilai Tingkat Kepentingan Pasangan Faktor
Nilai Perbandingan Keterangan 1 Kriteria A sama pentingnya dengan kriteria B 3 Kriteria A sedikit lebih penting dari kriteria B 5 Kriteria A jelas lebih penting dari kriteria B 7 Kriteria A sangat jelas lebih penting dari kriteria B 9 Kriteria A mutlak lebih penting dari kriteria B
2, 4, 6, 8 Dan jika terdapat keraguan diantara 2 skala maka ambil nilai tengahnya, misalkan anda bingung memilih antara 3 dan 5 maka pilih skala 4 dan seterusnya.
Sumber: Saaty, 1994
Metode AHP merupakan suatu model pengambilan keputusan komprehensif dengan
memperhitungkan hal-hal yang bersifat kualitatif dan kuantitatif. Dalam model
pengambilan keputusan dengan AHP pada dasarnya menutupi semua kekurangan dari
model-model sebelumnya.
35
Menurut Marimin (2004), ada 3 langkah yang mendasar dari analisis dengan metode
AHP, sebagai berikut:
a. Mendefinisikan masalah dan menetapkan tujuan, dengan melakukan pengembangan
alternatif yang berguna untuk menyusun prioritas alternatif
b. Menyusun masalah dalam struktur hirarki, setiap permasalahan yang ditinjau secara
detail dan terstruktur, untuk mendukung tercapainya suatu tujuan yang telah
ditetapkan
c. Menyusun pilihan prioritas alternatif pada setiap elemen masalah pada tingkat
hirarki, untuk mendapatkan pilihan alternatif yang harus diprioritaskan berdasarkan
rangking yang paling tinggi.
Pengambilan keputusan dengan menggunakan metode AHP bisa dilakukan
dengan dua cara, yaitu dengan pairwise comarism dan dengan direct assement.
Dalam menyelesaikan persoalan dengan metode AHP ada beberapa prinsip dasar
yang harus dipahami antara lain:
a) Decomposition
Pengertian decomposition adalah memecahan atau membagi problema yang utuh
menjadi unsur-unsurnya kebentuk hirarki proses pengambilan keputusan, dimana setiap
unsur atau elemen saling berhubungan untuk mendapatkan hasil yang akurat,
pemecahan dilakukan terhadap unsur-unsur sampai tidak mungkin dilakukan
pemecahan lebih lanjut sehingga didapatkan beberapa tingkatan dari persoalan yang
hendak dipecahkan. Struktur hirarki keputusan tersebut dikategorikan sebagai complete
dan incomplete. Suatu hirarki keputusan disebut complete jika semua elemen pada suatu
tingkat memiliki hubungan terhadap semua elemen yang ada pada tingkat berikutnya,
sementara hirarki incomplete kebalikan dari hirarki complete.
Bentuk struktur dekomposisi yakni:
- Tingkat/ Level I : Tujuan keputusan (goals)
- Tingkat/ Level II : kriteria – kriteria
- Tingkat/ Level III : alternatif-alternatif
Hirarki masalah disusun untuk membantu proses pengambilan keputusan dengan
memperhatikan seluruh elemen keputusan yang terlibat dalam sistem. Sebagian besar
36
masalah menjadi sulit untuk diselesaikan karena proses pemecahannya dilakukan tanpa
memandang masalah sebagai suatu sistem dengan suatu struktur tertentu.
b) Comparative Judgement
Comparative judgement dilakukan dengan penilaian tentang kepentingan relatif
dua elemen pada suatu tingkat tertentu dalam kaitannya dengan tingkatan di atasnya.
Penilaian ini merupakan inti dari AHP karena akan berpengaruh terhadap urutan
prioritas dari elemen-elemennya. Hasil penilaian ini lebih mudah disajikan dalam
bentuk matriks pairwise comparisons yaitu matrks perbandingan berpasangan memuat
tingkat preferensi beberapa alternatif untuk tiap kriteria. Skala preferensi yang diunakan
saitu skala 1 yang menunjukkan tingkat yang paling rendah (equal importance) sama
dengan skala 9 yang menunjukkkan tingkatan paling tinggi (extreme importance).
c) Synthesis of Priority
Synthesis of priority dilakukan dengan menggunakan eigen vector methode
untuk mendapatkan bobot relatif bagi unsur-unsur pengambilan keputusan.
d) Logical Consistency
Logical consistency merupakan karakteristk penting AHP. Hal ini dicapai
dengan mengagresikan seluruh eigen vector yang diperoleh dari berbagai tingkatan
hirarki dan selanjunya diperoleh suatu vektor composite tertimbang yang menghasilkan
urutan pengambilan keputusan.
Penyelesaian metode AHP dapat dilakukan dengan bantuan software komputer.
Expert Choice merupakan salah satu jenis software yang digunakan dalam menganalisis
hasil-hasil pembobotan AHP. Software ini dapat memudahkan komputasi dan
visualisasi AHP untuk process pembuatan keputusan
Expert Choice adalah sebuah aplikasi yang khusus digunakan sebagai alat bantu
implementasi model-model dalam Decission Support System (DSS) atau yang lebih
dikenal dengan sebutan Sistem Penunjang Keputusan (SPK) dalam sebuah perusahaan
ataupun untuk keperluan akademik (PBM). Output yang dihasilkan melalui software
Expert Choice adalah data alternatif yang memiliki bobot tertinggi.
37
11. Azas Lingkungan
Di dalam Ilmu lingkungan, pengembangan sumberdaya air dan pengelolaannya
termasuk pada azas 3 dan 5. Azas ke-3 menyatakan bahwa materi, energi, ruang, waktu
dan keanekaragaman adalah kategori sumber alam. Sedangkan azas ke-5 menyatakan
bahwa peningkatan pengadaan suatu sumber alam mungkin dapat merangsang
penggunaan sumber alam tersebut. Dalam hal ini adalah penggunaan sumberdaya air
untuk kebutuhan irigasi.
Penelitian pengembangan sumberdaya air dan pengelolaannya berhubungan
dengan azas lingkungan yang ke-3, karena sumberdaya air merupakan materi dan
sumber energi yang keberadaannya terbatas pada ruang dan waktu. Sumber alam ini
harus dikelola dengan tepat agar terjaga keberlanjutan ketersediaan serta kualitasnya
untuk generasi yang akan datang.
Pada azas lingkungan yang ke-5 dapat diilustrasikan bahwa pengembangan
Daerah Irigasi Lanang yang bertujuan untuk meningkatkan penyediaan sumberdaya
alam dalam hal ini adalah sumberdaya air untuk irigasi dapat menjadikan peningkatan
permintaan kebutuhan air irigasi sehingga penggunaan air irigasi bisa sangat berlebihan
atau boros. Maka perlu dirumuskan strategi pengelolaan sistem irigasi dalam suatu
daerah irigasi agar dapat memenuhi kebutuhan air irigasi serta menjaga keberlanjutan
penyediaannya dalam jangka waktu yang panjang.
B. Penelitian Terdahulu
Penelitian terdahulu terkait dengan pengelolaan daerah irigasi, partisipatif,
pemberdayaan dan kelembagaan petani pemakai air P3A dan GP3A antara lain:
Kajian Kinerja Operasi dan Pemeliharaan Jaringan Irigasi Studi Kasus Daerah
Irigasi Cokrobedog Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, oleh Ahmad Sofyan, 2012.
Dalam penelitian ini mengkaji tentang kinerja Operasi dan Pemeliharaan daerah irigasi
Cokrobedog pasca dilakukan penyerahan pengelolaan irigasi (PPI) kepada perkumpulan
petani pemakai air (P3A dan GP3A). Kinerja kelembagaan P3A dianalisis dengan
metode SWOT, dan pemberdayaan kelembagaan P3A/GP3A dianalisis dengan metode
AHP. Kinerja OP jaringan irigasi di daerah irigasi Cokrobedog yang paling baik
dikelola oleh GP3A Makmur Sejahtera, diikuti P3A Rukun Sejahtera dan P3A Rukun
38
Makmur. Kinerja kelembagaan P3A dalam melaksanakan kegiatan OP jaringan irigasi
cukup aktif, memperbaiki jaringan irigasi bersifat spontanitas dan mempunyai semangat
bergotong royong yang tinggi, sehingga dapat mencegah menurunnya fungsi jaringan
irigasi. Pemberdayaan kelembagaan P3A/GP3A berturut-turun difokuskan pada
peningkatan OP irigasi, kualitas SDM dan keandalan jaringan irigasi, sehingga
pelayanan air irigasi yang tepat waktu, tepat jumlah dan tepat mutu dapat terjamin.
Strategi Peningkatan Partisipasi dalam Pengelolaan Jaringan Irigasi (Studi
Kasus Daerah Irigasi Subontoro Kabupaten Mojokerto), oleh Ratna Herrawaty, 2010.
Hasil penelitian ini berupa strategi mempertahankan kontrol masyarakat dalam
pengelolaan jaringan irigasi tersier dengan melakukan sosialisasi tata cara berorganisasi
dan mengembangkan kegiatan ekonomi produktif melalui HIPPA. Sedangkan dalam
pengelolaan jaringan irigasi primer dan sekunder diperlukan strategi peningkatan
partisipasi dengan melakukan pemberdayaan dan pendampingan secara
berkesinambungan serta penyusunan pedoman teknis tentang tata cara berpartisipasi
bagi semua pengelola jaringan irigasi.
Sinergi Modal Sosial, Modal Fisik, Modal Manusia dan Modal Alam dalam
Pengelolaan Jaringan Irigasi oleh Perkumpulan Petani Pemakai Air
(P3A/GP3A/IP3A): Studi kasus daerah irigasi Cihea Kabupaten Cianjur, oleh
Hermawan Kusumartono, 2003. Hasil penelitian dapat disimpulkan beberapa hal, yaitu
terdapat adanya sinergi modal sosial, modal fisik, modal manusia dan modal alam
dalam pengelolaan irigasi, dan pada dasarnya dalarn pengelolaan irigasi harus terjadi
sinergi antar modal tersebut untuk rnenghasilkan kinerja jaringan yang semakin
meningkat. Sinergi yang paling kuat terjadi adalah antara modal sosial dengan modal
alam, sedangkan sinergi yang paling lemah adalah liner antara modal sosial dengan
modal manusia. Untuk itu sinergi yang paling penting adalah sinergi yang paling lemah
karena sinergi inilah yang merupakan prioritas untuk diperkuat guna mewujudkan
pengelolaan irigasi yang optimal, dengan tidak meninggalkan perkuatan sinergi antar
modal lainnya.
Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Air Tanah untuk Irigasi Berbasis
Konservasi di Desa Pangkul Kecamatan Cambai Kota Prabumulih, oleh Endang
Mintaria, 2013. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis tingkat partisipasi
39
masyarakat dalam fungsi-fungsi pengelolaan air tanah dan menumbuhkembangkan
rekomendasi strategi kebijakan dalam pengelolaan air tanah untuk irigasi pembibitan
karet di Desa Pangkul Kecamatan Cambai Kota Prabumulih Provinsi Sumatera Selatan.
Analisis partisipasi berdasarkan fungsi pengelolaan meliputi perencanaan,
pembangunan instalasi, pelaksanaan, pemanfaatan, pengawasan dan evaluasi menurut
tangga partisipasi Arnstein. Partisipasi masyarakat dalam perencanaan dan
pembangunan di Desa Pangkul Kecamatan Cambai Kota Prabumulih termasuk pada
level informasi, proses pelaksanaan dan pemanfaatan pada level pelimpahan kekuasaan
dan dalam kegiatan pengawasan evaluasi berada pada level terapi. Strategi
keberlanjutan berbasis konservasi paling tepat adalah penguatan kelembagaan tani
pengelola air tingkat desa.
Program Pemberdayaan Masyarakat di Desa Tarubatang Kecamatan Selo
Kabupaten Boyolali dalam rangka Peningkatan Nilai Tambah Ekonomi dan Daya
Dukung Lingkungan di Taman Nasional Gunung Merbabu, oleh Dwi Anto Teguh
Widodo, 2014. Dalam penelitian ini dapat diketahui tingkat partisipasi masyarakat
dalam program pemberdayaan masyarakat di lokasi penelitian. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa tingkatan partisipasi masyarakat dalam program pemberdayaan
masyarakat adalah tingkatan partispasi bertindak bersama (acting together). Strategi
utama yang dapat dilakukan guna peningkatan nilai tambah ekonomi dan daya dukung
lingkungan di Taman Nasional Gunung Merbabu adalah dengan meningkatkan
keberlanjutan program pemberdayaan masyarakat.
Kajian Optimalisasi Penggunaan Air Irigasi di Daerah irigasi Wanir Kabupaten
Bandung oleh Yuliya Mahdalena Hidayat, Dhemi Harlan, Winskayati, 2012. Dalam
penelitian ini menyusun parameter optimalisasi berdasarkan sistem pembuatan
keputusan Metode Analyical Hierarchy Process (AHP) yang didasarkan pada 3 kriteria
yaitu Teknis, Ekonomi dan Lingkungan. Batasan optimalisasi dihasilkan 4 alternatif
yaitu Perubahan jadwal tanam, perubahan pola tanam, indeks pertanaman dan luas
gologan. Hasil Peritungan AHP dihasilkan parameter yang digunakan untuk batasan
optimalisasi adalah perubahan jadwal tanam.
40
C. Kerangka Berpikir
Gambar 4. Kerangka Berpikir
TUJUAN PENGEMBANGAN: 1. Peningkatan produksi padi/
tanamam pangan 2. Peningkatan luas areal tanam
(sawah beririgasi) 3. Pengelolaan sumberdaya air
DAMPAK POSITIF 1. Kondisi jaringan irigasi baik 2. Terpenuhi kebutuhan air irigasi 3. Luas sawah beririgasi teknis meningkat 4. Terhindar dari masalah banjir dan kekeringan 5. Tumbuh P3A dan GP3A dengan semangat
partisipatif 6. Pendapatan petani meningkat 7. Penggalangan dana swadaya IPAIR meningkat 8. Harga jual tanah meningkat
PRIORITAS STRATEGI PENGELOLAAN DAERAH IRIGASI LANANG MELALUI
PEMBERDAYAAN P3A DAN GP3A
STRATEGI PENGELOLAAN DAERAH IRIGASI MELALUI PEMBERDAYAAN P3A DAN GP3A
DAMPAK NEGATIF 1. Konflik kebutuhan air (pencurian air
pada saluran irigasi 2. Waterlogging 3. Kekurangan tenaga kerja panen dan
bertanam karena sistem tanam serentak 4. Alih fungsi lahan 5. Kebutuhan anggaran untuk tanam dan
panen karena harga tenaga kerja menjadi mahal
ASPEK ORGANISASI/
KELEMBAGAAN 1. Badan Hukum 2. AD/ART 3. Administrasi
kelembagaan
ASPEK TEKNIS 1. O & P jaringan 2. Teknis Pertanian 3. Koordinasi
pengelolaan jaringan
ASPEK KEUANGAN/
EKONOMI 1. Produktivitas pertanian 2. Pendanaan partisipatif
(IPAIR) 3. Kesejahteraan petani
DAMPAK POSITIF DITINGKATKAN
DAMPAK NEGATIF DIMINIMALISASI
EVALUASI KINERJA PENGELOLAAN DAERAH IRIGASI LANANG SECARA PARTISIPATIF (a) kelembagaan; (b) pemanfaatan air irigasi; (c) O & P; (d) rehabilitasi; (e) kondisi fisik jaringan;
(f) keuangan kelembagaan petani
ASPEK LINGKUNGAN
1. Pelestarian sumberdaya air
2. Penghematan air 3. Penyimpanan air
IDENTIFIKASI DAMPAK LINGKUNGAN
Dampak Lingkungan (Aspek Irigasi):
1. Kondisi jaringan irigasi 2. Ketersediaan, kebutuhan dan
keandalan debit irigasi 3. Luas lahan sawah beririgasi 4. Banjir dan kekeringan
Dampak Ekonomi: 1. Pendapatan 2. Penggiatan iuran irigasi
(IPAIR) 3. Harga jual tanah/ sawah
beririgasi
Dampak Sosial: 1. Pekerjaan masyarakat
dominan 2. Organisasi P3A/ GP3A 3. Pengelolaan jaringan irigasi
Partisipatif (gotong royong)
Pendekatan Analisis SWOT
Pendekatan Metode AHP
Pengembangan Daerah Irigasi Lanang