PRESENTASI KASUS
A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. J
Umur : 74 tahun
Agama : Islam
Jenis Kelamin : Laki - laki
Alamat : Dusun Cibonteng RT 04 Tanjungmulya Panumbangan
Kab. Ciamis, Jawa Barat
Tanggal Masuk RS : 16 Maret 2015
No. CM : 15216XXX
Dokter Anestesi : dr. Andika Chandra Putri, Sp. An
Dokter Bedah : dr. Aryo Teguh A , Sp. U
B. PERSIAPAN PRE-OPERASI
1. Anamnesa
a. A (Alergy)
Tidak ada riwayat alergi terhadap obat-obatan, makanan dan minuman
b. M (Medication)
Tidak sedang menjalani pengobatan penyakit tertentu
c. P (Past Medical History)
Riwayat DM (-), hipertensi (-), asma (-), penyakit yang sama (-), dan
riwayat operasi sebelumnya (-)
d. L (Last Meal)
Pasien terakhir makan 6 jam pre-operasi
e. E (Elicit History)
Pasien datang ke RSUD dr. Soekardjo Kota Tasikmalaya pada tanggal 16
Maret 2015 pada pukul 11.51 WIB diantar oleh keluarganya, dengan
1
keluhan sulit buang air kecil (BAK) dan terdapat benjolan di lipatan paha
sebelah kiri.
2. Pemeriksaan Fisik
Tanggal Periksa : 16 Maret 2015
Waktu pemeriksaan : 19.00 WIB
Dirawat di : 3B kamar 10
Vital sign
a. KU : Tampak sakit sedang
b. Kesadaran : Compos mentis
c. TD : 110/80 mmHg
d. Nadi : 83x/ menit
e. Respirasi : 21 x/ menit
f. Suhu : 36,80 C
Status Generalisata
Berat badan : 47 Kg
Kepala
o Kepala : Normocephali
o Mata
Palpebra : Tidak bengkak dan cekung
Konjungtiva : Anemis ( - ) / ( - )
Sklera : Ikterik ( - ) / ( - )
Pupil : Refleks cahaya ( + ) / ( + ), pupil
Isokor dextra = sinistra
2
o Hidung
Pernapasan cuping hidung : ( - )
Sekret ` : ( - )
Mukosa hiperemis : ( - )
o Telinga
Nyeri tekan tragus : ( - ) / ( - )
Auricula : Tidak tampak kelainan
Meatus akustikus eksternus : ( + ) / ( + )
o Mulut
Bibir : mukosa bibir kering, sianosis ( - )
Tonsil : T1 / T1
o Leher
KGB : pembesaran ( - ) / ( - )
o Thoraks
Inspeksi : Bentuk dan gerak simetris (dextra =
sinistra), retraksi intercostal (-)
Palpasi : ICS tidak melebar,vokal fremitus normal
(dextra = sinistra), massa (-), nyeri tekan
(-)
Perkusi : Sonor (normal) seluruh lapang paru
(dextra = sinistra)
Auskultasi : Vesiculer breathing sound ( + ) / ( + ),
Weezhing ( - ) / ( - ), Rhonki ( - ) / ( - )
3
o Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis teraba
Perkusi : Batas jantung kanan (linea sternalis dex
tra), batas jantung kiri (ICS 4 linea mid
clavicularis sinistra)
Auskultasi : Bunyi Jantung I, II murni regular,
gallop (-), mur-mur (-)
Abdomen
Inspeksi : Bentuk datar, tidak tampak massa
Auskultasi : Bising usus ( + )
Palpasi : Defense muscular ( - ) seluruh lapang
abdomen, nyeri tekan (-)
Perkusi : Timpani, pekak samping (-)
Hepar dan Lien
Palpasi : Tidak teraba
Ekstremitas
Edema : Ekstremitas atas dan bawah ( - )
Warna : Kemerahan pada ekstremitas atas
dan ekstremitas bawah
Jari-jari : Normal, akral sianosis ( - )
Capillary Refill Time : Kurang dari 2 detik
Akral hangat pada semua ekstremitas
4
3. Pemeriksaan Penunjang
Hasil pemeriksaan Laboratorium Patologi Klinik
Tanggal 17 Maret 2015 (Jam 09.20 WIB)
Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Normal Satuan Metode
H EMATOLOGY
G26 Waktu Pendarahan
(BT)
1.00 1-3 Menit Duke
G27 Waktu Pembekuan
(CT)
3.00 1-7 Menit Slide Test
H01 Hemoglobin 13.1 P: 12-16; L: 14-18 g/dl Auto Analyzer
H14 Hematokrit 41 P: 35-45; L: 40-50 % Auto Analyzer
H15 Jml Leukosit 9.500 5.000-10.000 /mm3 Auto Analyzer
H22 Jml Trombosit 217.000 150.000-350.000 /mm3 Auto Analyzer
KARBOHIDRAT
K46 Glukosa Sewaktu 117 76-110 mg/dl GOD - POD
FAAL GINJAL
K04 Ureum 20 15-45 mg/dl Urease Klinetik
UV
K05 Kreatinin 1.25 P: 0.5-0.9; L: 0.7-
1.20
mg/dl Kinetic Jaffe
ELEKTROLIT
K27 Natrium, Na 146 135-145 mmol/L ISE
K28 Kalium, K 4.0 3.5-5.0 mmol/L ISE
K29 Kalsium, Ca 1.25 1.10-1.40 mmol/L ISE
5
Hasil pemeriksaan Laboratorium Patologi Klinik
Tanggal 17 Maret 2015
Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Normal Satuan Metode
H EMATOLOGY
G28 Golongan Darah O Slide Test
G29 Rhesus POSITIF Slide Test
H01 Hemoglobin 8,4 P: 12-16; L: 14-18 g/dl Auto Analyzer
H14 Hematokrit 26 P: 35-45; L: 40-50 % Auto Analyzer
H15 Jml Leukosit 15.800 5.000-10.000 /mm3 Auto Analyzer
H22 Jml Trombosit 195.000 150.000-350.000 /mm3 Auto Analyzer
4. Diagnosa Klinis
Benign Prostatic Hyperplasia + Hernia Inguinalis Lateralis Sinistra
5. Kesimpulan
Status ASA III
C. LAPORAN ANESTESI (DURANTE OPERATIF)
- Diagnosis pra-bedah : BPH + HIL Sinistra
Jenis Pembedahan : TURP + Hernioraphy
Jenis Anestesi : Regional Anestesi (Spinal Anestesi)
Medikasi Induksi : Bupivacaine 15 mg
Maintenance : O2 3 L/mnt (nasal canul)
Respirasi : Kontrol
Posisi : Supine + Litotomi
6
Cairan Perioperatif
Maintenance Cairan = 4 : 2 : 1
Kebutuhan Basal 10 x 4 = 40 cc
10 x 2 = 20 cc
27 x 1 = 27 cc +
87 cc/jam
Defisit Cairan Puasa = Puasa jam x maintenance cairan
= 6 x 87 cc/jam
= 522 cc
Insensible Water Loss= Jenis Operasi x Berat Badan
= 8 x 47 kg
= 376 cc
Kebutuhan cairan 1 jam pertama
= (½ x puasa) + IWL + maintenance
= (½ x 522) + 376 + 87 cc
= 724 cc
Kebutuhan cairan 1 jam kedua
= (1/4 x puasa) + IWL + maintenance
= (1/4 x 522) + 376 + 87 cc
= 594 cc
Kebutuhan cairan 1 jam ketiga
= (1/4 x puasa) + IWL + maintenance
= (1/4 x 522) + 376 + 87 cc
= 594 cc
7
Kebutuhan cairan 1 jam keempat
= IWL + maintenance
= 376 + 87 cc
= 463 cc
Kebutuhan cairan 1 jam kelima
= IWL + maintenance
= 376 + 87 cc
= 463 cc
Perdarahan = Suction + Kasa (5)
= 50cc + (50)
= 100 cc
EBV = BB x Konstanta pria dewasa
= 47 x 75
= 3525 cc
- Tindakan Anestesi Regional Dengan Spinal Anestesi
o Loading cairan dengan RL 500 cc untuk mengganti cairan puasa
6 jam pre-operasi, agar komposisi cairan pasien yang berkurang
saat puasa terpenuhi.
Pasien diposisikan duduk terlebih dahulu untuk dilakukan spinal
anestesi. Buat pasien membungkuk maximal agar processus
spinosus mudah teraba. Pada daerah vertebrae lumbal III sampai
dengan vertebrae lumbal V dibersihkan dengan antiseptik
povidon iodine + alkohol.
8
Untuk menentukan ruang subarachnoid di tarik garis dari SIAS
(Spina Iliaca Anterior Superior) ke vertebrae lumbal dan
biasanya terdapat di antara vertebra lumbal III – IV.
Masukkan obat bupivacaine 15 mg dengan cara di tusukan
dengan jarum spinal no.25G. Tusukkan jarum spinal hingga
cairan liquor keluar, obat dapat dimasukkan pelan – pelan
diselingi aspirasi sedikit, hanya untuk meyakinkan posisi jarum
tetap baik.
Setelah di spinal anestesi pasien diposisikan pada posisi supine +
litotomi untuk tindakan operasi.
Memasang sensor finger pada tangan kanan pasien untuk
monitoring SpO2 dan SPO2 Rate, dan memasang manset pada
lengan kiri pasien untuk monitoring tekanan darah (tergantung
dari pemasangan infus, bila infus di sebelah kiri maka manset
untuk monitoring tekanan darah di sebelah kanan).
Pemberian (O2 3L/menit) dengan memakai nasal canul.
Pastikan jalan napas pasien aman
Monitor tanda – tanda vital pasien (nadi), saturasi oksigen,
tanda–tanda komplikasi (perdarahan, alergi obat, obstruksi jalan
nafas, nyeri)
Cek Vital Sign Setiap 15 menit
TIME SATURASI HEART RATE TEKANAN
DARAH
13.00 99 70 x/menit 210/90 mmHg
13.15 100 80 x/menit 240/100 mmHg
13.30 100 70 x/menit 190/80 mmHg
9
13.45 100 60 x/menit 150/70 mmHg
14.00 100 60 x/menit 140/60 mmHg
14.15 100 60 x/menit 170/80 mmHg
Setelah operasi selesai nasal canul yang di pasang di pasien dilepas
karena pasien akan di pindahkan ke ruang pemulihan atau recovery room .
Pasien masih sadar dan ada refleks setelah operasi. Pasien diperbolehkan pindah
ruang (keluar dari ruangan operasi) bila Bromage Score < 2.
D. POST-OPERASI
Setelah pasien dinilai dengan Bromage Score dan didapatkan nilai Bromage
Score < 2, maka pasien diperbolehkan pindah ruangan.
Infuse : Ringer Asetat 20 gtt/menit
Analgetik Tramadol 100 mg dan ketorolac 60 mg diberikan perdrip dalam
500 cc Ringer Asetat
Antibiotik : sesuai TS bedah
Pasien boleh makan dan minum
Monitoring Post-operasi :
Observasi terakhir jam 14.30 WIB
Tensi : 175/80 mmHg
Nadi : 60 x/menit
E. FOLLOW UP PASCA OPERASI
1. Hari Pertama Beberapa Jam Post-Operasi (16 Maret 2015)
Pasien dirawat di ruang 3B kamar 10
Pasien diberikan cairan infus RL 20 gtt/menit
Analgetik tramadol 100 mg dan ketorolac 60 mg diberikan per-infus dengan
cara di-drip
10
Pasien diberikan antibiotik ceftriaxon (iv) 1x2 g, ranitidine 2x1 g, tramadol
2x1 g yang sebelumnya dilakukan tes alergi dengan hasil (-)
Keadaan umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis
Vital sign : TD = 130/90 mmHg
N = 80 x/menit
S = 36o C
R = 24 x/menit
2. Hari Kedua Post-Operasi ( 17 Maret 2015)
Pasien diberikan cairan infus NaCl 0,9 % 20 gtt/menit
Pasien diberikan antibiotic ceftriaxon (iv) 1 x 2 g, ranitidine 2x1 g, tramadol
2x1 g
Keadaan umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis
Vital sign : TD = 130/90 mmHg
N = 80 x/menit
S = 37o C
R = 24 x/menit
11
F. PEMBAHASAN
1. Pre-Operatif
a. Anamnesa
Pasien datang dengan keluhan sulit buang air kecil (BAK) dan terdapat
benjolan di lipatan paha sebelah kiri.
Riwayat DM, hipertensi, asma, jantung, penyakit yang sama, dan riwayat
operasi sebelumnya disangkal oleh pasien.
b. Pemeriksaan Fisik
Berat badan : 47 kg
Nadi : 83 x/menit
Nafas : 21 x/menit
Suhu : 36,8o C
Kesadaran : Compos mentis
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kepala : Dalam batas normal
Leher : Dalam batas normal
Thoraks : Dalam batas normal
Abdomen : Dalam batas normal
Ekstremitas : Dalam batas normal
c. Pemeriksaan Penunjang
Data tanggal 17 Maret 2015 (Jam 09.20 WIB)
- HB : Sedikit rendah
- HT, Trombosit, Leukosit : Dalam batas normal
- Glukosa sewaktu : Dalam batas normal
- Ureum, kreatinin : Dalam batas normal
- Na, K, Ca : Dalam batas normal
12
Data tanggal 17 Maret 2015
- HB : Rendah
- HT : Rendah
- Leukosit : Tinggi
- Trombosit : Dalam Batas Normal
Kesimpulan : Benign Prostatic Hyperplasia + Hernia Inguinalis Lateralis
Sinistra
3. Anestesi : Ternilai ASA III
ASA (American Society of Anesthesiologists) merupakan suatu klasifikasi
untuk menilai kebugaran fisik seseorang.
ASA III : Bila didapatkan penyakit atau kelainan sistemik berat tetapi belum
mengancam jiwa dan aktivitas rutin pasien mulai terbatas.
4. Rencana Anestesi : Regional Anestesi (Spinal Anestesi)
Loading cairan dengan RL 500 cc untuk mengganti
cairan puasa 6 jam pre-operasi, agar komposisi
cairan pasien yang berkurang saat puasa terpenuhi.
2. Durante Operatif
Teknik Anestesi : Regional Anestesi (Spinal Anestesi)
Obat Anestesi : Bupivacaine 15 mg
Maintenance : O2 3 L/mnt (nasal canul)
Kebutuhan Cairan : 1 jam pertama : 724 cc
1 jam kedua : 594 cc
1 jam ketiga : 594 cc
13
Pada kasus ini pemilihan teknik anestesi yang dipilih adalah regional
anestesi (spinal anestesi), yang dikarenakan pasien akan dilakukan operasi
pada bagian ekstremitas bawah atau pada bagian tubuh inferior, sehingga
cukup dengan memblok bagian tubuh inferior saja.
Pada regional anestesi, obat anestesi yang dipakai adalah bupivacaine
15 mg. Bupivacaine dipilih karena durasi kerja yang lama. Bupivacaine
merupakan anestesi lokal golongan amida. Bupivacaine mencegah konduksi
rangsang saraf dengan menghambat aliran ion, meningkatkan ambang
eksitasi elekton, memperlambat perambatan rangsang saraf dan menurunkan
potensi aksi. Durasi analgetik pada T 10 – T 12 selama 2-3 jam, dan
bupivacaine menghasilkan relaksasi muskular yang cukup pada ekstremitas
bawah selama 2-2,5 jam. Selain itu, bupivacaine juga dapat ditoleransi
dengan baik pada semua jaringan yang terkena.
Benign prostate hypertrophy (BPH) sering kali berpedoman pada
keluhan obstruksi saluran kandung kemih yang merupakan gejala pada laki-
laki dengan usia lebih dari 60 tahun. Indikasi bedah meliputi lower urinary
tract symptoms (LUTS) sedang sampai berat pada pasien-pasien yang tidak
bereaksi atau menurun terhadap pengobatan medis, persisten gross
hematuria , infeksi saluran kencing berulang, insufisiensi ginjal, atau batu
kandung kemih. Satu dari beberapa operasi bisa dipilih untuk
menghilangkan jaringan prostat yang mengalami hyperplastic dan
hipertophi, contohnya, transurethral resection of the prostate (TURP).
Semua memerlukan anestesi regional atau umum. Pendekatan transurethral
untuk bedah hampir selalu terpilih untuk pasien-pasien dengan volume
kelenjar prostat kurang dari 40–50 ml. Satu pendekatan alternatif dipilih jika
prostat lebih dari 80 ml. Pasien dengan karsinoma prostat lanjut dapat juga
dilakukan reseksi transurethral untuk membebaskan obstruksi air kencing
yang dengan mengabaikan penyebabnya, obstruksi yang sudah berjalan
14
lama dapat menjurus pada kerusakan fungsi ginjal. Pasien-pasien yang
mengalami bedah prostat harus secara hati-hati dievaluasi berhubungan
dengan kardiopulmonal yang berhubungan dengan disfungsi ginjal. Oleh
karena usia mereka, pasien-pasien ini mempunyai prevalensi relatif tinggi
(30–60%) dari kedua-duanya kelainan paru-paru dan kardiovaskuler. TURP
dilaporkan menyebabkan suatu tingkat kematian 0,2–6%, yang berhubungan
dengan skala status fisik American society of Anesthesiologists's (ASA).
Penyebab umum kematian meliputi infark miokardium, edema -paru, dan
gagal ginjal. Meski suatu jenis dan layar adekuat untuk kebanyakan pasien,
darah harus tersedia dan crossmatched untuk pasien-pasien yang anemis,
juga pasien-pasien dengan kelenjar yang besar (>40 ml). pendarahan Prostat
dapat sulit untuk dikendalikan melalui cystoscope.
TURP dilaksanakan lewat suatu loop melalui suatu cystoscope khusus
(resectoscope). Menggunakan irigasi kontinyu dan visualisasi langsung,
jaringan prostat direseksi dengan menerapkan suatu arus pemotongan pada
loop. Oleh karena karakteristik-karakteristik dari prostat dan sejumlah yang
besar cairan irigasi sering kali digunakan, TURP dapat dihubungkan dengan
sejumlah kesulitan-kesulitan yang serius. Meski pengalaman lebih terbatasi
dengan prosedur-prosedur prostat transurethral yang lain, tingkat kesulitan
nya (dan keefektifan mungkin) lebih sedikit. Komplikasi mayor
berhubungan dengan TURP yaitu, perdarahan, TURP syndrome, perforasi
kandung kencing, hipotermia, septicemia, disseminated intravascular
coagulation.
Turp Syndrome, Transurethral reseksi prostat sering kali membuka
jaringan yang luas dari sinus-sinus yang pembuluh darah pada prostat dan
berpotensi menyebabkan penyerapan sistemik cairan irigasi. Penyerapan
sejumlah yang besar dari cairan (2 L atau lebih) akibatkan kumpulan gejala
dan tanda biasanya dikenal sebagai sindrom TURP. Sindrom ini terjadi
15
intraoperatif atau sesudah operasi seperti sakit kepala, kegelisahan,
kebingungan, sianosis, dispnea, aritmia, hipotensi, atau kejang. Lebih dari
itu, hal tersebut dapat dengan cepat berakibat fatal. Manifestasi itu terutama
jika over load cairan sirkulasi, water intoxication, dan, adakalanya,
ketoksikan dari zat terlarut pada cairan irigasi.
Larutan-larutan elektrolit tidak bisa digunakan untuk irigasi selama
TURP karena mereka menyebarkan arus electrocautery. Air memberikan
jarak penglihatan sempurna karena hypotonitasnya membuat lisis eritrosit,
penyerapan signifikan dapat mengakibatkan water intoxication akut. Irigasi
air secara umum terbatas pada reseksi tumor transurethral kandung kencing
saja. Untuk TURP, larutan-larutan irigasi sedikit hipotonik nonelektrolit
seperti glisina 15% (230 mOsm/L) atau suatu campuran dari sorbitol 27%
dan manitol 0,54% (195 mOsm/L) paling umum digunakan. Lebih sedikit
larutan-larutan biasanya menggunakan sorbitol 33%, manitol 3%, dekstrosa
25–4%, dan urea 1%. Karena semua cairan ini masih hipotonik, penyerapan
signifikan masih terjadi. Penyerapan zat terlarut dapat juga terjadi karena
irigasi mengalir dalam tekanan. Tekanan Irigasi tinggi (tingginya botol
meningkatkan penyerapan.
Penyerapan cairan irigasi terjadi tergantung pada durasi reseksi juga
tingginya (tekanan) dari cairan irigasi. Kebanyakan reseksi berlangsung 45–
60 menit, dan rata-rata 20 ml/menit dari cairan irigasi diserap. Kongesti paru
dapat diakibatkan oleh penyerapan sejumlah besar cairan irigasi, terutama
sekali pada pasien-pasien dengan cadangan jantung yang terbatas.
Hypotonisitas cairan-cairan ini juga mengakibatkan hyponatremia dan
hypoosmolalitas akut, dapat menuntun manifestasi neurological yang serius.
Gejala dari hyponatremia biasanya tidak berkembang sampai konsentrasi
sodium serum berkurang di bawah 120 mEq/L. Hypotonisitas diindikasikan
16
pada plasma ([ Na+] <100 mEq/L) dapat juga mengakibatkan hemolisis
intravaskular akut.
Ketoksikan dapat juga timbul dari penyerapan zat terlarut pada cairan-
cairan ini. Hyperglycinemia diindikasikan sudah dilaporkan dengan larutan
glisina dan dipikirkan berperan untuk depresi sirkulasi dan ketoksikan sistem
saraf pusat. Konsentrasi- glisina plasma lebih dari 1000 mg/L telah dicatat
(normal adalah 13–17 mg/L). Glisina dikenal sebagai satu neurotransmiter
yang bersifat mencegah pada sistem saraf pusat dan telah pula mencakup
pada kejadian-kejadian yang jarang dari kebutaan yang temporer yang
mengikuti TURP. Hiperamonemia, kiranya dari degradasi glisina, telah pula
yang didokumentasikan dalam beberapa pasien-pasien dengan ketoksikan
sistem saraf pusat yang nyata mengikuti TURP. Amoniak darah diukur
dalam beberapa pasien melewati 500 mol/L (normal adalah 5–50 mol/L).
Pemakaian sejumlah yang besar dari larutan irigasi sorbitol atau dekstrosa
dapat menjurus pada hiperglisemia, yang dapat nyata pada pasien diabetic.
Penyerapan larutan-larutan manitol menyebabkan intravascular volume
expansion dan memperburuk over load cairan.
Terapi dari sindrom TURP bergantung pada awal pengenalan dan
harus didasarkan pada keparahan gejala-gejala. Air yang diserap harus
keluarkan, dan hypoxemia dan hypoperfusion harus dihindarkan.
Kebanyakan pasien-pasien dapat dikelola dengan pembatasan cairan dan
suatu loop diuretik. Hyponatremia yang merupakan gejala mengakibatkan
kejang atau koma harus dikelola dengan garam hipertonik. Aktivitas kejang
dapat diakhiri dengan dosis kecil dari midazolam (2–4 mg), diazepam (3–5
mg), atau thiopental (50–100 mg). Fenitoin, 10–20 mg/kg intra vena (tidak
lebih cepat dari 50 mg/menit), perlu juga dipertimbangkan untuk
mempertahankan aktivitas anti kejang. Intubasi endotracheal secara umum
dipertimbangkan untuk mencegah aspirasi sampai status mental pasien
17
normal. Jumlah dan tingkat larutan bersifat garam yang hipertonik (3% atau
5%) yang diperlukan untuk mengoreksi hyponatremia pada suatu level yang
aman harus didasarkan pada konsentrasi sodium serum pasien itu. Larutan
bersifat garam hipertonik seharusnya tidak diberi pada suatu tingkat lebih
cepat dari 100 ml/h sehingga tidak memperburuk over load cairan sirkulasi.
Hipotermia. Volume yang besar dari cairan irigasi pada suhu-kamar
bisa merupakan suatu sumber yang utama dari hilangnya panas pada pasien-
pasien. Cairan irigasi sehabaiknya hangat sesuai suhu tubuh sebelum
sebelum digunakan untuk mencegah hipotermia. Menggigil sesudah operasi
yang dihubungkan dengan hipotermia terutama sekali tidak harapkan, karena
dapat menghilangkan clot dan menyebabkan pendarahan sesudah operasi.
Perforasi kandung kencing. Insidensi dari perforasi kandung kecing
selama TURP diperkirakan kira-kira 1%. Perforasi dapat diakibatkan oleh
resectoscope menembus dinding kandung kecing atau dari overdistensi
kandung kecing oleh cairan irigasi. Kebanyakan perforasi kandung kecing
adalah extraperitoneal dan diberi tanda sedikitnya cairan irigasi kembali.
pasien-pasien yang sadar pada umumnya mengeluh tentang mual, diaforesis,
dan nyeri abdomenal bawah atau retropubic. perforasi Extraperitoneal dan
intraperitoneal yang besar biasanya lebih jelas nyata lagi, mengakibatkan
hipotensi mendadak yang tak diterangkan (atau hipertensi) dengan nyeri
abdominal yang merata (pada pasien-pasien sadar). Dengan mengabaikan
teknik yang anestesi dipekerjakan, perforasi harus dicurigai pada keadaan
hipotensi atau hipertensi yang mendadak, terutama dengan bradikardia
(vagally mediated).
Koagulapati. Disseminated intravascular koagulopathi (DIC) jarang
terjadi dilaporkan padai TURP dan dipikirkan diakibatkan oleh pelepasan
dari thromboplastin dari prostat ke dalam peredaran selama bedah. Sampai
6% dari pasien-pasien mungkin punya bukti dari subclinical DIC. Suatu 18
dilusional thrombocytopenia dapat juga terjadi selama bedah sebagai bagian
dari sindrom TURP dari penyerapan irigasi cairan. Jarang, pasien-pasien
dengan karsinoma yang metastatik dari prostat berkembang koagulopathi
dari fibrinolisis primer; tumor dipikirkan untuk mengeluarkan suatu enzim
fibrinolytic dalam kejadian-kejadian yang demikian. Hasil diagnosa dari
koagulopathi bisa dicurigai dari pendarahan difus yang tak dapat
dikendalikan, tetapi harus ditetapkan oleh uji laboratorium. Fibrinolisis
primer harus kelola dengan ε-amenitocaproic acid (Amicar) 5 g yang diikuti
oleh 1 g/h intra vena. Treatmen dari DIC pada situasi hal ini dapat
memerlukan heparin sebagai tambahan terhadap penggantian dari faktor-
faktor pembekuan dan platelet. Disarankan Konsultasi dengan hematologist.
Sepsis. Prostat itu sering dihuni dengan bakteri dan menjadi tempat
infeksi kronis. Manipulasi berhubungan dengan pembedahan luas kelenjar
bersama dengan pembukaan sinus-sinus pembuluh darah dapat
mengakibatkan masuknya organisma-organisma ke dalam aliran darah.
Bakteremia yang mengikuti transurethral bedah bukanlah luar biasa dan
dapat menjurus pada sepsis atau syok septik. Terapi antibiotik profilaksis
(paling umum gentamicin, levofloxacin, atau cephazolin) sebelum TURP
dapat mengurangi kemungkinan dari bakteremia dan episode sepsis.
Pilihan anestesi, baik anestesi spinal atau anestesi epidural dengan
level sensoris T10 memberikan anestesi sempurna dan kondisi operasi baik
untuk TURP. Ketika dibandingkan dengan anestesi umum, anestesi regional
muncul untuk mengurangi timbulnya trombosis pembuluh darah sesudah
operasi; juga lebih sedikit mungkin untuk menutupi gejala-gejala dan tanda-
tanda dari sindrom TURP atau perforasi kandung kencing. Studi-studi klinis
gagal untuk menunjukkan perbedaan-perbedaan pada kehilangan darah,
fungsi teori sesudah operasi, dan angka kematian antara anestesi umum dan
regional. Kemungkinan metastasis tulang punggung harus dipertimbangkan
19
pada pasien-pasien dengan karsinoma, terutama sekali mereka yang
mempunyai sakit punggung. Penyakit metastatik pada lumbal adalah suatu
kontraindikasi pada anestesi regional. Hyponatremia akut dari sindrom
TURP dapat menunda atau mencegah sadar dari anestesi umum.
Monitoring Evaluasi status mental pada pasien sadar adalah monitor
terbaik untuk deteksi awal tanda-tanda dari sindrom TURP dan perforasi
kandung kencing. Penurunan saturasi oksigen arteri bisa satu tanda awal dari
over load cairan. Beberapa studi sudah melaporkan perubahan perioperative
electrocardiographic iskemi kurang lebih 18% dari pasien-pasien.
Pemantauan temperatur harus digunakan selama reseksi yang lama untuk
mendeteksi hipotermia. Kehilangan darah sulit sekali untuk dinilai karena
pemakaian larutan irigasi, dengan demikian tergantung pada tanda-tanda
klinis dari hypovolemia. Kehilangan darah rata-rata sekitar 3–5 ml/menit
dari reseksi (biasanya 200–300 jumlah keseluruhan ml) tetapi jarang
mengancam jiwa, Sesudah operasi penurunan hematokrit bisa dipastikan
mencerminkan hemodilution dari penyerapan cairan irigasi. Kira-kira 25%
dari pasien memerlukan transfusi intraoperatif, faktor-faktor berhubungan
dengan transfusi meliputi durasi prosedur yang lebih panjang dari 90 menit
dan reseksi lebih besar dari 45 g dari jaringan prostat.
Pertimbangan anestesia pada penderita hipertensi, sampai saat ini
belum ada protokol untuk penentuan tekanan darah berapa sebaiknya yang
paling tinggi yang sudah tidak bisa ditoleransi untuk dilakukannya
penundaan anestesi dan operasi. Namun banyak literatur yang menulis
bahwa tekanan darah diastol 110 atau 115 adalah cut-off point untuk
mengambil keputusan penundaan anestesia atau operasi kecuali operasi
emergensi. Tekanan diastolik yang menjadi tolak ukur karena peningkatan
tekanan darah sistolik akan meningkat seiring dengan pertambahan umur,
dimana perubahan ini, lebih dianggap sebagai perubahan fisiologik
20
dibandingkan patologik. Namun beberapa ahli menganggap bahwa
hipertensi sistolik lebih besar resikonya untuk terjadi morbiditas
kardiovaskuler dibandingkan hipertensi diastolik. Pendapat ini muncul
karena dari hasil studi menunjukkan bahwa terapi yang dilakukan pada
hipertensi sistolik dapat menurunkan resiko terjadinya stroke pada populasi
yang berumur tua. Dalam banyak uji klinik, terapi antihipertensi pada
penderita hipertensi akan menurunkan angka kejadian stroke sampai 35-40
%, infark jantung sampai 20-25% dan angka kegagalan jantung diturunkan
sampai lebih dari 50 %. Menunda operasi hanya untuk tujuan mengontrol
tekanan darah mungkin tidak diperlukan lagi khususnya pada pasien dengan
kasus hipertensi yang ringan sampai sedang. Namun pengawasan yang ketat
perlu dilakukan untuk menjaga kestabilan hemodinamik, karena
hemodinamik yang labil mempunyai efek samping yang lebih besar
terhadap kardiovaskular dibandingkan dengan penyakit hipertensinya itu
sendiri. Penundaan operasi dilakukan apabila ditemukan atau diduga adanya
kerusakan target organ sehingga evaluasi lebih lanjut perlu dilakukan
sebelum operasi. The American Heart Association/ American College of
Cardiology (AHA/ACC) mengeluarkan acuan bahwa tekanan darah sistolik
180 mmHg dan/atau tekanan darah diastolik 110 mmHg sebaiknya dikontrol
sebelum dilakukan operasi, terkecuali operasi bersifat urgensi. Pada keadaan
operasi yang sifatnya urgensi, tekanan darah dapat dikontrol dalam beberapa
menit sampai beberapa jam dengan pemberian obat antihipertensi yang
bersifat rapid acting. Penderita hipertensi cenderung mempunyai respon
tekanan darah yang berlebihan pada periode perioperatif. Ada 2 fase yang
menjadi pertimbangan, yaitu saat tindakan anestesia dan postoperasi. Pasien
hipertensi yang sudah dikontrol tekanan darahnya dengan baik akan
mempunyai hemodinamik yang lebih stabil dibandingkan yang tidak
dikontrol dengan baik. Premedikasi dapat menurunkan kecemasan
21
preoperatif penderita hipertensi. Untuk hipertensi yang ringan sampai
dengan sedang mungkin bisa menggunakan ansiolitik seperti golongan
benzodiazepin atau midazolam. Obat antihipertensi tetap dilanjutkan sampai
pada hari pembedahan sesuai jadwal minum obat dengan sedikit air non
partikel. Beberapa klinisi menghentikan penggunaan ACE inhibitor dengan
alasan bisa terjadi hipotensi intraoperatif.
Hubungan usia dan perubahan fisiologi pada system cardiovasculer ini
sangat penting dalam membedakan perubahan fisiologi normal bersama
dengan terjadinya penuaan dan patofisiologi terjadinya penyakit yang sering
terjadi pada orang-orang tua, seperti contoh : atherosclerosis adalah
patologik, dimana ini tidak akan ada pada penderita tua yang sehat.
Sedangkan yang lain, penurunan elastisitas pembuluh darah karena fibrosis
pada tunika media, ini adalah proses normal dari proses penuaan. Penurunan
komplain arteri mengakibatkan peningkatan afterload, meningkatnya
systolic blood pressure, hipertrophy ventrikel kiri. Penebalan dinding
ventrikel kiri ini meningkatkan rongga dari ventrikel kiri. Beberapa kali
sering terjadi. fibrosis myocardial dan kalsifikasi pada katup Bila penyakit
penyerta tidak ada, maka tekanan darah diastolik harus tetap dipertahankan
atau menurun. Fungsi Baroreseptor ditekan. Dengan cara yang sama,
sebaliknya terutama pada cardiac output menurun sesuai peningkatan usia,
tampaknya dipertahankan dengan baik pada individu yang sehat.
Bila tidak ada penyakit penyerta, Resting diastolic dari fungsi jantung
tampaknya tetap dipertahankan sampai usia diatas 80 tahun. Peningkatan
tonus vagal dan penurunan sensitifitas dari reseptor adrenergic memincu
terjadinya penurunan denyut jantung / heart rate. Maksimal penurunan
Heart rate sekitar 1 denyut per menit pertahun, pada umur diatas 50 tahun.
Fibrosis pada system konduksi dan hilangnya sel-sel SA node meningkatkan
incidence dari dysrhythmia, terutama Atrial Fibrilasi dan Atrial Flutter.
22
Pada pasien tua yang sedang dalam evaluasi untuk dilakukan
pembedahan, mempunyai insiden yang meningkat terjadinya disfungsi
diastolic, dimana hal ini dapat di ketahui dengan Dopller EKG. Tanda
adanya disfungsi diastolic dapat dilihat dari adanya Hypertensi sistemik,
Penyakit arteri caroner, Kardiomiopathy, dan penyakit katub jantung,
terutama stenosis aorta. Pasien dapat tanpa gejala atau adanya keluhan
terhadap gangguan anktifitas, dispone, batuk dan fatique.
Disfungsi diastolic mengakibatkan peningkatan yang relative besar
pada Tekanan end-diastolic ventrikel dengan sedikit perubahan volume
ventrikel kiri; kontribusi atrium terhadap pengisian ventrikel menjadi hal
yang penting dibandingkan pada pasien yang masih muda. Pembesaran
atrium merupakan predisposisi terjadinya Artrial Fibrilasi dan atrial flutter.
Pasien ini mempunyai resiko yang meningkat akan terjadinya Congestive
Heart Failure.
Pengurangan Cardiac Reserve pada beberapa orang yang sudah tua
mungkin dimanisfestasikan dengan penurunan tekanan darah saat
dilakukannya induksi dari tindakan General Anesthesi. Memanjangnya
waktu sirkulasi, memperlambat onset dari obat IV tetapi mempercepat
induksi dengan obat Inhalasi. Seperti pada penderita bayi, pasien tua
mempunyai sedikit kemampuan berespon terhadap hypovolemic, Hypotensi
dan Hypoksia dengan meningkatkan heart rate jantungnya
3. Post-Operatif
Pasien boleh makan dan minum
Diberikan obat analgetik : Tramadol 100 mg dan ketorolac 60 mg
Cairan : 500 cc ringer asetat 20 tetes/menit
Selalu monitoring tanda tanda vital (suhu, satrurasi dan nadi) dan kesadaran
pasien atau sesuai advice dokter bedah.
23
G. DAFTAR PUSTAKA
1. Departemen Kesehatan RI Dirjen POM. Linformatorium Obat Nasional
Indonesia 2000. Sagung Seto, Jakarta. 2001.
2. Arif Mansoer, dkk. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid 2. Edisi ketiga. Media
Aesculapius FKUI, Jakarta. 2000.
3. The seventh report of Joint National Committee on Prevention, detection,
evaluation, and treatment of high blood pressure, NIH publication No. 03-
5233, December 2003.
4. Stier GR. Preoperative evaluation and testing. In : Hines RL, editor. Adult
perioperative anesthesiathe requisites in anesthesiology. Philadelphia:
Elsevier; 2004. P. 3-82
5. Dix P, Howell S. Survey of cancellation rate of hypertensive patient
undergoing anesthesia and elective surgery. British Journal of Anesthesia
2001; 86 (6): 789 – 93
6. Kaplan NM. Perioperative management of hypertension. In: Aronson MD,
Bakris GL. Editors. Available at : www.uptodate.com
7. Laslett L. Hypertension – preoperative assesment and perioperative
management. West J Med 1995; 162: 215-9
24
8. Hanada, et al. Anesthesia and medical disease-hypertension and anesthesia.
Current Opinion in Anesthesiology 2006; 19 (3): 315-9
9. Howell SJ, Foex P. Hypertension, hypertensive heart disease and
perioperative cardiac risk. British Journal of Anesthesia 2004; 92 (4): 570-83
25
Recommended