1
Panduan tentang Penerapan Pasal 127 UU Narkotika dan Penempatan Pemakai Narkotika Berhadapan Hukum di Rehabilitasi
PENANGKAPAN PRINSIP Dalam setiap penanganan kasus yang melibatkan pemakai narkotika berhadapan hukum, anggota Polri harus mendukung pemberian layanan pemulihan ketergantungan narkotika dan layanan kesehatan lain yang diperlukan kepada pemakai narkotika berhadapan hukum tersebut.
Penyidik harus mencaritahu
terlebih dahulu apakah orang
yang ditangkap memiliki riwayat
pemakaian narkotika* ATAU
rehabilitasi narkotika**.
YA
Dalam waktu maksimal 1x24 jam sejak penangkapan, penyidik meng-hubungi Tim Dokkes untuk meminta di-lakukan penilaian medis (assess-ment)***.
Assessment
dilakukan dalam
waktu maksimal
1x24 jam sejak
permintaan
penyidik.
Assessment se-
dapat mungkin dila-
kukan di fasilitas
kesehatan Dokkes.
Dalam waktu maksimal
3x24 jam dari pelaksanaan
assessment, Tim Dokkes
menyerahkan hasil assess-
ment kepada penyidik.
Selanjutnya, penyidik perlu mencaritahu apakah pe-makai narkotika ber-hadapan hukum tersebut memiliki keterlibatan de-ngan jaringan peredaran
gelap narkotika****.
YA
TIDAK
Terhadap pemakai narkotika
berhadapan hukum tersebut,
HARUS dikenakan tambahan
Pasal 127 UU Narkotika.
Terhadap pemakai narkotika
berhadapan hukum tersebut,
HANYA dikenakan Pasal 127
UU Narkotika saja.
TIDAK LANJUT PROSES
HUKUM
Tidak memiliki riwayat pemakaian narkotika atau
rehabilitasi narkotika
Memiliki riwayat pemakaian narkotika atau
rehabilitasi narkotika
PRINSIP Selama menjalani proses hukum, pemakai narkotika berhadapan hukum harus mendapatkan layanan pemulihan ketergantungan narkotika dan layanan kesehatan lainnya yang diperlukan, termasuk di antaranya penempatan di lembaga rehabilitasi sosial ataupun medis.*****
2
Keterangan Bagan:
1. Sejak penangkapan sampai keputusan setelah penilaian medis (assessment) harus
diselesaikan dalam waktu maksimal 6x24 jam.
2. (*) Riwayat pemakaian narkotika termasuk bagi mereka yang baru pertama kali memakai
narkotika.
3. (**) Rehabilitasi narkotika mencakup baik rehabilitasi medis maupun sosial, serta baik yang
sifatnya rawat jalan ataupun rawat inap. Contoh rehabilitasi rawat jalan adalah terapi
rumatan metadon atau akses layanan alat suntik steril.
4. (***) Bagi penyidik di lingkungan Polda, Tim Dokkes yang harus dihubungi adalah Tim
Dokkes di Polda. Bagi penyidik di lingkungan Polres dan Polsek, Tim Dokkes yang harus
dihubungi adalah Tim Dokkes di lingkungan Polres setempat. Dalam hal Tim Dokkes di
satu lingkungan tidak memiliki kapasitas yang diperlukan ataupun kapasitasnya sedang
berlebih (overload), Penyidik meminta/menerima bantuan assessment dari LSM maupun
penyelenggara rehabilitasi berbasis komunitas.
5. (***) Belum ada definisi baku “jaringan peredaran gelap narkotika” baik di dalam UU
Narkotika maupun konvensi narkotika internasional. (UU Narkotika hanya menyediakan
definisi “kejahatan terorganisasi” yang sepertinya berbeda dengan pemahaman “jaringan
peredaran gelap narkotika”). Pemahaman umum atas definisi “jaringan peredaran gelap
narkotika” adalah adanya keterlibatan banyak orang dalam suatu sindikat yang rapi dan
terorganisir dengan jaringan luas baik secara nasional ataupun internasional dengan
tujuan mencari keuntungan besar semata. Karena belum adanya definisi hukum yang baku
yang bisa digunakan, penyidik harus berhati-hati dan teliti dalam mengkategorikan apakah
seorang pemakai narkotika atau pelaku tindak pidana narkotika itu memiliki keterlibatan
dalam jaringan peredaran gelap narkotika.
6. (*****) Prinsip ini sesungguhnya bukanlah ketentuan yang asing atau baru sebab
Penjelasan Pasal 21 ayat (4) huruf b KUHAP menyebutkan bahwa “tersangka atau
terdakwa pecandu narkotika sejauh mungkin ditahan di tempat tertentu yang sekaligus
merupakan tempat perawatan.”
3
Pelaksanaan Penegakan Pasal 127 UU Narkotika dan Problematikanya
Ketika penyidik memeriksa tertangkap kasus narkotika dan ada indikasi bahwa tertangkap
tersebut adalah seorang pemakai narkotika, penyidik terkadang menambahkan Pasal 127 UU
Narkotika ke dalam deretan pasal yang disangkakan kepada orang itu. Hal ini dilakukan terhadap
tertangkap yang ditangkap baik ketika menggunakan, menguasai, maupun membeli narkotika,
dengan ketentuan bahwa dirinya atau keluarganya dapat membuktikan bahwa tertangkap memiliki
riwayat perawatan terhadap pemakaian narkotikanya. Namun demikian, penerapan Pasal 127 UU
Narkotika terhadap seorang pemakai narkotika belum sepenuhnya konsisten terlepas dari upaya
penyidik untuk meminimalisir kesalahan/kelalaian. Tidak dapat dipungkiri bahwa pada umumnya,
seorang pecandu dan/atau penyalahguna narkotika (hampir) pasti melakukan seluruh perbuatan
sebagaimana diatur dalam ketentuan pidana UU Narkotika, dengan skenario sebagai berikut:1
Dengan skenario di atas, banyak pecandu/penyalahguna yang tertangkap sebelum mereka
menggunakan narkotika, misalnya ketika tengah melakukan pembelian, ataupun sedang dalam
perjalanan menuju tempat menggunakan narkotika dalam keadaan menguasai narkotika.
Seperti yang telah dijelaskan di awal, pecandu/penyalahguna yang tertangkap ketika sedang
tidak menggunakan narkotika tetap dapat dikenakan Pasal 127 UU Narkotika, selama
mereka dapat membuktikan bahwa mereka memiliki riwayat perawatan pemulihan
1 Tentu skenario di atas tidak berlaku bagi mereka yang memiliki sumber daya lebih, sehingga mereka
bisa membayar seseorang untuk melakukan pembelian narkotika, dan mengantarkannya sehingga ia hanya menunggu narkotika tersedia untuk kemudian dipakai. Tetapi bagi kebanyakan pecandu/penyalahguna narkotika, sumber daya lebih ini adalah sesuatu yang tidak mereka punya.
Sebagai seorang pencandu dan/atau penyalahguna narkotika, dirinya pasti
menggunakan narkotika untuk dirinya sendiri, di mana penyalahgunaan
tersebut melanggar Pasal 127 UU Narkotika. Sebelum dirinya dapat
menggunakan narkotika, maka tentu dia harus terlebih dahulu menguasai
atau membawa narkotika tersebut ke tempat dia merasa nyaman
menggunakan narkotika. Penguasaan ataupun proses pembawa narkotika
ini pada dasarnya adalah pelanggaran terhadap Pasal 111 UU Narkotika
maupun Pasal 112 UU Narkotika, ataupun pasal lain mengenai penguasaan
narkotika tergantung dari jenis dan golongan narkotikanya. Sebelum
seorang pecandu/penyalahguna dapat menguasai atau membawa narkotika
tentu dia perlu membelinya terlebih dahulu (baik langsung ataupun
menitipkan melalui orang lain). Perdagangan narkotika, baik sebagai
pembeli, penjual, maupun pihak lain yang terlibat dalam perdagangan
tersebut tentunya juga melanggar Pasal 114, ataupun pasal lain mengenai
perdagangan narkotika tergantung dari jenis dan golongan narkotikanya.
4
penyalahgunaan narkotika. Misalnya: pernah menjalani rehabilitasi medis maupun sosial2,
pernah mengikuti program terapi metadon, maupun pernah menjalani bentuk program
pengurangan dampak buruk lainnya3. Namun, tidak semua pemakai narkotika yang tertangkap
itu memiliki kemampuan atau dukungan untuk membuktikan bahwa mereka memang
pernah memiliki riwayat perawatan pemulihan ketergantungan narkotika.
Selain itu, masih ada pecandu/penyalahguna yang sepanjang usianya belum pernah
mengakses layanan perawatan pemulihan ketergantungan narkotika karena berbagai alasan.
Pertanyaan pun muncul di sini, apakah tertangkap yang adalah pecandu/penyalahguna
narkotika tetapi tidak dapat membuktikan atau tidak pernah mengakses layanan perawatan
pemulihan ketergantungan narkotika bisa dikenakan Pasal 127 UU Narkotika?
Bagi mereka yang tidak memiliki riwayat perawatan pemulihan penyalahgunaan narkotika, tentu
saja penyidik menghadapi dilema besar dalam menentukan apakah Pasal 127 UU Narkotika bisa
dikenakan kepada pecandu/penyalahguna seperti itu. Dilema ini bukan hanya bisa membuat
penyidik kehilangan jabatannya atas dugaan pelanggaran disiplin atau etika, tetapi bahkan bisa
membahayakan institusi kepolisian dengan munculnya tuduhan-tuduhan penyuapan dan
sebagainya yang membuat masyarakat mempertanyakan integritas penyidik dan institusi
kepolisian. Di satu sisi, naluri kemanusiaan anggota kepolisian tentu menginginkan
pecandu/penyalahguna narkotika mendapatkan perawatan pemulihan ketergantungan narkotika,
bukan penjara minimal empat tahun. Namun di sisi lain, tanpa ada dukungan/bukti medis yang
memadai mengenai ketergantungan/penyalahgunaan narkotika, penyidik berada di posisi yang
lemah untuk dapat mengenakan Pasal 127 UU Narkotika.
Berangkat dari tersebut di atas, perlu ada panduan yang jelas yang dapat digunakan untuk
memenuhi hak pemakai narkotika yang berhadapan hukum atas layanan pemulihan
ketergantungan narkotika dan juga sekaligus melindungi langkah penyidik kepolisian
dalam menyelamatkan pecandu/penyalahguna dari jerat pemenjaraan dengan mengenakan
Pasal 127 UU Narkotika.
Apa isi Pasal 127 UU Narkotika?
Pasal 127 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika mengatur bahwa:
“(1) Setiap Penyalah Guna:
Narkotika Golongan I bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat)
tahun;
2 Baik rawat inap ataupun rawat jalan.
3 Contohnya mengakses layanan alat suntik steril di Puskesmas maupun Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM) yang menyediakan layanan alat suntik steril.
5
Narkotika Golongan II bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua)
tahun; dan
Narkotika Golongan III bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu)
tahun.
(2) Dalam memutus perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hakim wajib memperhatikan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54, Pasal 55, dan Pasal 103.
(3) Dalam hal Penyalah Guna sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibuktikan atau terbukti
sebagai korban penyalahgunaan Narkotika, Penyalah Guna tersebut wajib menjalani rehabilitasi
medis dan rehabilitasi sosial.”
Melihat pada Pasal 127 ayat (1), dapat disimpulkan bahwa subjek hukum yang dapat dikenakan
pasal ini adalah penyalahguna narkotika, di mana berdasarkan Pasal 1 angka 15 UU Narkotika,
penyalahguna narkotika diartikan sebagai orang yang menggunakan Narkotika tanpa hak
atau melawan hukum. Artinya, Pasal 127 UU Narkotika hanya dapat dikenakan kepada mereka
yang berstatus sebagai penyalahguna narkotika, baik yang mengalami ketergantungan (pecandu)
maupun yang tidak.
Selain itu, Pasal 127 UU Narkotika ini juga mengatur mengenai perbedaan ancaman yang dapat
dijatuhkan terhadap penyalahguna narkotika golongan 1 (misalnya heroin), narkotika golongan 2
(misalnya katinon dan metadon), dan narkotika golongan 3 (misalnya kodein).
Dengan demikian, Pasal 127 UU Narkotika bukan hanya ditujukan kepada tertangkap yang
tertangkap tangan sedang menggunakan narkotika, tetapi juga bagi tertangkap yang
berstatus sebagai penyalahguna narkotika yang ditangkap sedang melakukan aktivitas
seperti membeli atau menguasai narkotika.
Konsep Pengenaan Pasal 127 UU Narkotika yang Humanis
Tentunya kita tidak bisa sembarang mengenakan Pasal 127 UU Narkotika kepada tertangkap
yang hanya sekedar “mengaku” sebagai pecandu/penyalahguna narkotika. Namun, jika ada
tertangkap yang memang benar-benar pecandu/penyalahguna narkotika yang karena tidak
memiliki riwayat perawatan pemulihan penyalahgunaan dirinya tidak bisa mendapatkan Pasal 127
UU Narkotika dan pada akhirnya berakhir di penjara, secara tidak langsung bisa dikatakan bahwa
penyidik berperan dalam menempatkan orang yang sakit ke tempat di mana ia tidak seharusnya
berada. Penyidik juga memiliki kepentingan untuk mengetahui apakah seorang tertangkap adalah
pecandu/penyalahguna narkotika guna menentukan apakah ia memiliki kebutuhan medis selama
dalam tahanan kepolisian. Kepentingan ini sejalan dengan peraturan mengenai perlindungan
hak asasi manusia terhadap tahanan yang menjadi tanggung jawab kepolisian
6
sebagaimana diatur dalam Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 8 Tahun
2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan
Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pasal 10 huruf (f) yang menyatakan bahwa
dalam melaksanakan tugasnya setiap anggota Polri wajib mematuhi ketentuan berperilaku
(code of conduct), di mana salah satunya adalah untuk “menjamin perlindungan
sepenuhnya terhadap kesehatan orang-orang yang berada dalam tahanannya, lebih khusus
lagi, harus segera mengambil langkah untuk memberikan pelayanan medis bilamana
diperlukan.”
Dengan demikian menjadi hal yang penting bagi penyidik untuk memastikan bahwa tertangkap
yang berada dalam tanggung jawabnya mendapatkan penilaian medis (assessment) yang
memadai. Dengan penilaian medis (assessment) tersebut, penyidik dapat mengetahui kebutuhan
layanan kesehatan tertangkap sekaligus juga dapat membantu penyidik menentukan apakah
Pasal 127 UU Narkotika dapat dikenakan.
Penilaian medis (assessment) ini harus dilakukan secepatnya, bahkan sejak penangkapan.
Mengingat orang yang tengah ketergantungan narkotika dan kemudian sempat putus zat, yang
bersangkutan akan mengalami rasa sakit yang luar biasa. Penilaian medis baiknya dilakukan
bukan hanya terhadap mereka yang ditangkap karena tindak pidana narkotika, tetapi juga tindak
pidana umum selama terdapat dugaan bahwa dirinya merupakan pecandu/penyalahguna
narkotika. Hal ini dikarenakan adanya beberapa kasus tindak pidana umum di mana kondisi
ketergantungan narkotika si pelaku yang mendorongnya mencuri agar bisa membeli narkotika.