Makalah PBL 30 – 5 “Euthanasia”
Anneke Susilo D - 102007031
EUTHANASIA PASIF
A. Pendahuluan
Seorang pasien berusia 62 tahun datang kerumah sakit dengan karsinoma
kolon yang terminal. Pasien masih cukup sadar beroendidikan tinggi. Ia memahami
benar posisi kesehatannya dan keterbatasan kemampuan ilmu kedokteran saat ini. Ia
juga memiliki pengalaman pahit sewaktu kakanya menjelang ajalnya dirawat di ICU
dengan peralatan bermacam-macam tampak sangat menderita, dan alat-alat tersebut
tampaknya hanya memperpanjang penderitaannya saja. Oleh karena itu ia meminta
kepada odkter apabila dia mendekati ajalnya agar menerima terapi yang minimal saja
(tanpa antibiotika, tanpa peralatan ICU dll), dan ia ingin mati dengan tenang dan
wajar. Namun ia tetap setuju apabila ia menerima obat0obatnan penghilang rasa sakit
bila memang dibutuhkan.
Kasus di atas merupakan salah satu contoh kasus yang berhubungan erat
dengan etika profesi kedokteran. Dalam hal ini, diungkit adanya prosedur medis yang
biasa dikenal dengan sebutan euthanasia.
Istilah euthanasia berasal dari bahasa Yunani: eu (= baik) dan thanatos (=
kematian). Jadi euthanasia artinya “kematian yang baik” atau “mati dengan baik”. 1
Euthanasia adalah pengakhiran kehidupan seseorang yang sedang dalam
keadaaan sangat sakit untuk membebaskannya dari penderitaan. Euthanasia diklaim
tidak menimbulkan rasa sakit atau menimbulkan rasa sakit yang minimal. 2
Seseorang yang mengalami euthanasia biasanya memiliki kondisi penyakit
yang tidak dapat disembuhkan. Tapi ada kasus lain yang mana beberapa orang ingin
hidupnya berakhir.
Dalam banyak kasus, hal itu dilakukan atas permintaan pasien sendiri, tetapi
ada saat-saat ketika pasien mungkin terlalu sakit keputusan dibuat oleh saudara,
tenaga medis atau dalam beberapa kasus oleh pengadilan.
Euthanasia ini hanya terjadi di beberapa negara saja seperti Belanda, Swiss atau
Amerika. Tapi lebih banyak negara yang melarang pelaksanaan euthanasia.
Euthanasia terbagi dalam berbagai bentuk, yang masing-masing membawa
yang berbeda kebenaran dan kesalahan masing-masing, antara lain:2
1 | Fakultas Kedokteran UKRIDA,Jakarta, 2011
Makalah PBL 30 – 5 “Euthanasia”
Anneke Susilo D - 102007031
1. Eutanasia aktif dan pasif
Dalam euthanasia aktif, dokter atau tenaga langsung dan sengaja
menyebabkan kematian pasien, misalnya dengan memberikan pasien obat secara
overdosis, memberikan tablet sianida atau menyuntikkan zat-zat yang mematikan ke
dalam tubuh pasien.
Euthanasia pasif terjadi ketika pasien meninggal karena para profesional
medis tidak melakukan sesuatu yang diperlukan untuk menjaga pasien tetap hidup
atau menghentikan melakukan sesuatu yang menjaga agar pasien tetap hidup.
Contoh euthanasia pasif antara lain mematikan mesin penunjang hidup,
melepas sebuah tabung makan, tidak melakukan operasi memperpanjang hidup atau
tidak memberikan obat memperpanjang hidup.
2. Euthanasia sukarela dan non-sukarela
Eutanasia sukarela terjadi atas permintaan dari pasien atau orang yang akan
meninggal, misalnya dengan menolak perawatan medis, meminta perawatannya
dihentikan atau mesin pendukung kehidupannya dimatikan atau menolak untuk
makan.
Sedangkan euthanasia non-sukarela terjadi ketika pasien sadar atau tidak,
sehingga ada orang lain yang mengambil keputusan atas namanya.
Euthanasia non-sukarela bisa terjadi pada kasus-kasus seperti pasien sedang
koma, pasien terlalu muda (misalnya bayi), orang pikun, mengalami keterbelakangan
mental yang sangat parah atau gangguan otak parah.
3. Euthanasia langsung
Euthanasia langsung berarti memberikan perlakuan (biasanya untuk
mengurangi rasa sakit) yang memiliki efek samping mempercepat kematian pasien.
4. Bantuan bunuh diri
Hal ini biasanya mengacu pada kasus-kasus yang mana orang yang akan mati
membutuhkan bantuan untuk membunuh dirinya sendiri dan meminta tenaga medis
untuk melakukannya.
2 | Fakultas Kedokteran UKRIDA,Jakarta, 2011
Makalah PBL 30 – 5 “Euthanasia”
Anneke Susilo D - 102007031
B. Mind Mapping
C. Rekam Medis
Rekam Medis adalah berkas yang beiisi catatan dan dokumen mengenai
identitas pasien, basil pemeriksaan, pengobatan, tindakan dan pelayanan lainnya yang
diterima pasien pada sarana kesebatan, baik rawat jalan maupun rawat inap. (Definisi
Rekam Medis Menurut Permenkes No. 749a/Menkes!Per/XII/1989) 4
1. Riwayat Pasien:
a. Usia. Resiko meningkat dengan bertambahnya usia. Kebanyakan kasus
terjadi pada usia 60 – 70 an, dan jarang di bawah usia 50 kecuali dalam
sejarah keluarga ada yang terkena kanker kolon ini.
b. Adanya polip pada kolon, khususnya polip jenis adenomatosa. Dengan
dihilangkannya polip pada saat ditemukan turut mengurangi resiko
terjadinya kanker kolon di kemudian hari.
c. Riwayat kanker. Seseorang yang pernah terdiagnosis mengidap atau
pernah dirawat untuk kanker kolon beresiko untuk mengidap kanker kolon
di kemudian hari. Wanita yang pernah mengidap kanker ovarium (indung
telur), kanker uterus, dan kanker payudara memiliki resiko yang lebih
besar untuk terkena kanker kolorektal.
3 | Fakultas Kedokteran UKRIDA,Jakarta, 2011
Makalah PBL 30 – 5 “Euthanasia”
Anneke Susilo D - 102007031
d. Penyakit kolitis (radang kolon) ulseratif yang tidak diobati.
e. Kebiasaan merokok. Perokok memiliki resiko jauh lebih besar untuk
terkena kanker kolorektal dibandingkan bukan perokok.
f. Kebiasaan makan. Pernah di teliti bahwa kebiasaan makan banyak daging
dan sedikit buah, sayuran, serta ikan turut meningkatkan resiko terjadinya
kanker kolorektal.
g. Sedikit beraktivitas. Orang yang beraktivitas fisik lebih banyak memiliki
resiko lebih rendah untuk terbentuk kanker kolorektal.
h. Inveksi Virus. Virus tertentu seperti HPV (Human Papilloma Virus) turut
andil dalam terjadinya kanker kolorektal.
2. Riwayat Penyakit:
a. Perubahan kebiasaan buang air
b. Perubahan frekuensi buang air, berkurang (konstipasi) atau bertambah
(diare)
c. Sensasi seperti belum selesai buang air, (masih ingin tapi sudah tidak bisa
keluar) dan perubahan diameter serta ukuran kotoran (feses). Keduanya
adalah ciri khas dari kanker kolorektal
d. Perubahan wujud fisik kotoran/feses
i. Feses bercampur darah atau keluar darah dari lubang pembuangan
saat buang air besar
ii. Feses bercampur lendir
iii. Feses berwarna kehitaman, biasanya berhubungan dengan
terjadinya perdarahan di saluran pencernaan bagian atas
e. Timbul rasa nyeri disertai mual dan muntah saat buang air besar, terjadi
akibat sumbatan saluran pembuangan kotoran oleh massa tumor
f. Adanya benjolan pada perut yang mungkin dirasakan oleh penderita
4 | Fakultas Kedokteran UKRIDA,Jakarta, 2011
Makalah PBL 30 – 5 “Euthanasia”
Anneke Susilo D - 102007031
g. Timbul gejala-gejala lainnya di sekitar lokasi tumor, karena kanker dapat
tumbuh mengenai organ dan jaringan sekitar tumor tersebut, seperti
kandung kemih (timbul darah pada air seni, timbul gelembung udara, dll),
vagina (keputihan yang berbau, muncul lendir berlebihan, dll). Gejala-
gejala ini terjadi belakangan, menunjukkan semakin besar tumor dan
semakin luas penyebarannya
h. Berat badan turun tanpa sebab yang jelas (ini adalah gejala yang paling
umum di semua jenis keganasan)
i. Hilangnya nafsu makan
j. Anemia, pasien tampak pucat
k. Sering merasa lelah
l. Kadang-kadang mengalami sensasi seperti melayang
m. Penyebaran ke Hati, menimbulkan gejala :
i. Penderita tampak kuning
ii. Nyeri pada perut, lebih sering pada bagian kanan atas, di sekitar
lokasi hati
iii. Pembesaran hati, biasa tampak pada pemeriksaan fisik oleh dokter
n. Timbul suatu gejala lain yang disebut paraneoplastik, berhubungan dengan
peningkatan kekentalan darah akibat penyebaran kanker.
3. Riwayat Keluarga:
i. Sejarah adanya kanker kolon khususnya pada keluarga dekat.
ii. Penyakit FAP (Familial Adenomatous Polyposis) – Polip
adenomatosa familial (terjadi dalam keluarga); memiliki resiko
100% untuk terjadi kanker kolorektal sebelum usia 40 tahun, bila
tidak diobati.
5 | Fakultas Kedokteran UKRIDA,Jakarta, 2011
Makalah PBL 30 – 5 “Euthanasia”
Anneke Susilo D - 102007031
iii. Penyakit lain dalam keluarga, seperti HNPCC (Hereditary Non
Polyposis Colorectal Cancer) – penyakit kanker kolorektal non
polip yang menurun dalam keluarga, atau sindroma Lynch
4. Riwayat Pengobatan:
Metotrexat
Interferon
5. Riwayat Tindakan Medis
Bedah Paliatif
Kemoterapi
6. Hasil Laboratorium:
a. Pemeriksaan DNA Tinja.
b. Pemeriksaan kadar CEA (Carcino Embryonic Antigent) darah.
c. Pemeriksaan darah dalam tinja.
d. Pemeriksaan darah lengkap
7. Hasil Radiologi:
a. Pemeriksaan rektal dengan jari (Digital Rectal Exam), di mana dokter
memeriksa keadaan dinding rektum sejauh mungkin dengan jari;
pemeriksaan ini tidak selalu menemukan adanya kelainan, khususnya
kanker yang terjadi di kolon saja dan belum menyebar hingga rektum.
b. Endoskopi. Pemeriksaan ini sangat bermanfaat karena selain melihat
keadaan dalam kolon juga bisa bertindak, misalnya ketika menemukan
polip endoskopi ini dapat sekaligus mengambilnya untuk kemudian
dilakukan biopsi.
c. Pemeriksaan barium enema dengan double contrast.
d. Virtual Colonoscopy.
6 | Fakultas Kedokteran UKRIDA,Jakarta, 2011
Makalah PBL 30 – 5 “Euthanasia”
Anneke Susilo D - 102007031
e. CAT Scan.
f. Whole-body PET Scan Imaging. Sementara ini adalah pemeriksaan
diagnostik yang paling akurat untuk mendeteksi kanker kolorektal rekuren
(yang timbul kembali).
D. Tujuan Pengobatan Minimal (Paliatif) 5
meringankan nyeri dan penderitaan lain yang dirasakan oleh pasien akibat
alat-alat medis yang berlebih
memberi waktu bagi pasien kanker stadium terminal untuk menghabiskan sisa
hidupnya dengan keluarga, teman dan orang-orang yang dia cintai
membuat anggapan bagi pasien bahwa kematian sebagai proses yang normal,
tidak mempercepat atau menunda kemauan 5
meningkatkan kualitas hidup pasien
menjaga keseimbangan psikolgis dan spiritual.
E. Prosedur Tindakan Medis
7 | Fakultas Kedokteran UKRIDA,Jakarta, 2011
Makalah PBL 30 – 5 “Euthanasia”
Anneke Susilo D - 102007031
Tingkatan / Staging / Stadium Kanker Kolon
Terdapat beberapa macam klasifikasi staging pada kanker kolon, ada klasifikasi
TNM, klasifikasi Dukes, namun yang akan saya jabarkan klasifikasinya adalah sebagai
berikut (mirip dengan klasifikasi Dukes) :
Stadium 1 : Kanker terjadi di dalam dinding kolon
Stadium 2 : Kanker telah menyebar hingga ke lapisan otot kolon
Stadium 3 : Kanker telah menyebar ke kelenjar-kelenjar limfa
Stadium 4 : Kanker telah menyebar ke organ-organ lain
Perawatan penderita tergantung pada tingkat staging kanker itu sendiri. Terapi akan
jauh lebih mudah bila kanker ditemukan pada stadium dini. Tingkat kesembuhan
kanker stadium 1 dan 2 masih sangat baik. Namun bila kanker ditemukan pada
stadium yang lanjut, atau ditemukan pada stadium dini dan tidak diobati, maka
kemungkinan sembuhnya pun akan jauh lebih sulit.
Di antara pilihan terapi untuk penderitanya, opsi Operasi masih menduduki peringkat
pertama, dengan ditunjang oleh kemoterapi dan/atau radioterapi (mungkin diperlukan).
Pembedahan
Tindakan ini dibagi menjadi Curative, Palliative, Bypass, Fecal diversion, dan Open-
and-close. Bedah Curative dikerjakan apabila tumor ditemukan pada daerah yang
terlokalisir. Intinya adalah membuang bagian yang terkena tumor dan sekelilingnya.
Pada keadaan ini mungkin diperlukan suatu tindakan yang disebut TME (Total
Mesorectal Excision), yaitu suatu tindakan yang membuang usus dalam jumlah yang
signifikan. Akibatnya kedua ujung usus yang tersisa harus dijahit kembali. Biasanya
pada keadaan ini diperlukan suatu kantong kolostomi, sehingga kotoran yang melalui
usus besar dapat dibuang melalui jalur lain. Pilihan ini bukanlah suatu pilihan yang
enak akan tetapi merupakan langkah yang diperlukan untuk tetap hidup, mengingat
8 | Fakultas Kedokteran UKRIDA,Jakarta, 2011
Makalah PBL 30 – 5 “Euthanasia”
Anneke Susilo D - 102007031
pasien tidak mungkin tidak makan sehingga usus juga tidak mungkin tidak terisi
makanan / kotoran; sementara ada bagian yang sedang memerlukan penyembuhan.
Apa dan bagaimana kelanjutan dari kolostomi ini adalah kondisional dan individual,
tiap pasien memiliki keadaan yang berbeda-beda sehingga penanganannya tidak sama.
Bedah paliatif dikerjakan pada kasus terjadi penyebaran tumor yang banyak, dengan
tujuan membuang tumor primernya untuk menghindari kematian penderita akibat ulah
tumor primer tersebut. Terkadang tindakan ini ditunjang kemoterapi dapat
menyelamatkan jiwa. Bila penyebaran tumor mengenai organ-organ vital maka
pembedahan pun secara teknis menjadi sulit, sehingga dokter mungkin memilih
teknik bedah bypass atau fecal diversion (pengalihan tinja) melalui lubang. Pilihan
terakhir pada kondisi terburuk adalah open-and-close, di mana dokter membuka
daerah operasinya, kemudian secara de facto melihat keadaan sudah sedemikian rupa
sehingga tidak mungkin dilakukan apa-apa lagi atau tindakan yang akan dilakukan
tidak memberikan manfaat bagi keadaan pasien, kemudian di tutup kembali. Tindakan
ini sepertinya sudah tidak pernah dilakukan lagi mengingat sekarang sudah banyak
tersedia laparoskopi dan radiografi canggih untuk mendeteksi keberadaan dan kondisi
kanker jauh sebelum diperlukan operasi.
F. Prosedur Terapi
Terapi Non Bedah 4
Kemoterapi dilakukan sebagai suatu tindakan untuk mengurangi terjadinya
metastasis (penyebaran), perkembangan sel tumor, mengecilkan ukurannya, atau
memperlambat pertumbuhannya. Radioterapi jarang digunakan untuk kanker kolon
karena memiliki efek samping dan sulit untuk ditembakkan ke bagian yang spesifik
pada kolon. Radioterapi lebih sering pada kanker rektal saja. Imunoterapi sedang
dikembangkan sebagai terapi tambahan untuk kanker kolorektal. Terapi lain yang
telah diujicoba dan memberikan hasil yang sangat menjanjikan adalah terapi Vaksin.
Ditemukan pada November 2006 lalu sebuah vaksin bermerek TroVax yang terbukti
secara efektif mengatasi berbagai macam kanker. Vaksin ini bekerja dengan cara
meningkatkan sistem imun penderita untuk melawan penyakitnya. Fase ujicobanya
saat ini sedang ditujukan bagi kanker ginjal dan direncanakan untuk kanker kolon.
Terapi lainnya adalah pengobatan yang ditujukan untuk mengatasi metastasisnya
(penyebaran tumornya).
9 | Fakultas Kedokteran UKRIDA,Jakarta, 2011
Makalah PBL 30 – 5 “Euthanasia”
Anneke Susilo D - 102007031
Terapi Suportif. Diagnosis kanker sangat sering menimbulkan pengaruh yang sangat
besar pada kejiwaan penderitanya. Karenanya dorongan dari rumah sakit, dokter,
suami/istri, kerabat, keluarga, social support group sangat penting bagi penderitanya.
G. Etika Kedokteran
Kaidah dasar (prinsip) Etika / Bioetik adalah aksioma yang mempermudah
penalaran etik. Prinsip-prinsip itu harus spesifik. Pada praktiknya, satu prinsip dapat
dibersamakan dengan prinsip yang lain. Tetapi pada beberapa kasus, karena kondisi
berbeda, satu prinsip menjadi lebih penting dan sah untuk digunakan dengan
mengorbankan prinsip yang lain. Keadaan terakhir disebut dengan prima facie. Konsil
Kedokteran Indonesia, dengan mengadopsi prinsip etika kedokteran barat,
menetapkan bahwa, praktik kedokteran Indonesia mengacu kepada 4 kaidah dasar
moral (sering disebut kaidah dasar etika kedokteran atau bioetika), juga prima facie
dalam penerapan praktiknya secara skematis dalam gambar berikut: 7
BeneficenceAutonomy
Non maleficenceJustice
Gambar. empat kaidah dasar etika praktik kedokteran, dengan prima facie sebagai judge;
penentu kaidah dasar mana yang dipilih ketika berada dalam konteks tertentu yang relevan.
1. Menghormati martabat manusia (respect for person/autonomy). Menghormati
martabat manusia. Pertama, setiap individu (pasien) harus diperlakukan sebagai
manusia yang memiliki otonomi (hak untuk menentukan nasib diri sendiri), dan
kedua, setiap manusia yang otonominya berkurang atau hilang perlu mendapatkan
perlindungan. Menurut pandangan Kant, otonomi kehendak sama dengan otonomi
moral yakni kebebasan bertindak, memutuskan (memilih) dan menentukan diri sendiri
sesuai dengan kesadaran terbaik bagi dirinya yang ditentukan sendiri tanpa hambatan,
paksaan atau campur-tangan pihak luar (heteronomi), suatu motivasi dari dalam
berdasar prinsip rasional atau self-legislation dari manusia. Sedangkan menurut
pandangan J. Stuart Mill, otonomi tindakan/pemikiran adalah otonomi individu, yakni
kemampuan melakukan pemikiran dan tindakan (merealisasikan keputusan dan
10 | Fakultas Kedokteran UKRIDA,Jakarta, 2011
Makalah PBL 30 – 5 “Euthanasia”
Anneke Susilo D - 102007031
kemampuan melaksanakannya), hak penentuan diri dari sisi pandang pribadi.
a. Menghendaki, menyetujui, membenarkan, mendukung, membela, membiarkan
pasien demi dirinya sendiri = otonom (sebagai mahluk bermartabat).
b. Didewa-dewakan di Anglo-American yang individualismenya tinggi.
c. Kaidah ikutannya ialah : Tell the truth, hormatilah hak privasi liyan, lindungi
informasi konfidensial, mintalah consent untuk intervensi diri pasien; bila
ditanya, bantulah membuat keputusan penting.
d. Erat terkait dengan doktrin informed-consent, kompetensi (termasuk untuk
kepentingan peradilan), penggunaan teknologi baru, dampak yang
dimaksudkan (intended) atau dampak tak laik-bayang (foreseen effects),
letting die.
2. Berbuat baik (beneficence). Selain menghormati martabat manusia, dokter juga harus
mengusahakan agar pasien yang dirawatnya terjaga keadaan kesehatannya (patient
welfare). Pengertian ”berbuat baik” diartikan bersikap ramah atau menolong, lebih
dari sekedar memenuhi kewajiban. Beneficence dibagi menjadi 2 bagian yaitu general
beneficence dan specific beneficence.
a. General beneficence :
i. melindungi & mempertahankan hak yang lain.
ii. mencegah terjadi kerugian pada yang lain.
iii. menghilangkan kondisi penyebab kerugian pada yang lain.
b. Specific beneficence :
i. menolong orang cacat.
ii. menyelamatkan orang dari bahaya.
Prinsip ini mengutamakan kepentingan pasien, memandang pasien/keluarga/sesuatu
tak hanya sejauh menguntungkan dokter/rumah sakit/pihak lain, memaksimalisasi
akibat baik (termasuk jumlahnya yang lebih banyak daripada akibat-buruk), dan
menjamin nilai pokok : “apa saja yang ada, pantas (elok) kita bersikap baik
terhadapnya” (apalagi ada yg hidup).
3. Tidak berbuat yang merugikan (non-maleficence). Praktik Kedokteran haruslah
memilih pengobatan yang paling kecil risikonya dan paling besar manfaatnya.
Pernyataan kuno: first, do no harm, tetap berlaku dan harus diikuti. Sisi
komplementer beneficence dari sudut pandang pasien, seperti:
a. Tidak boleh berbuat jahat (evil) atau membuat derita (harm) pasien.
11 | Fakultas Kedokteran UKRIDA,Jakarta, 2011
Makalah PBL 30 – 5 “Euthanasia”
Anneke Susilo D - 102007031
b. Minimalisasi akibat buruk
c. Kewajiban dokter untuk menganut ini berdasarkan hal-hal :
i. Pasien dalam keadaan amat berbahaya atau berisiko hilangnya sesuatu
yang penting
ii. Dokter sanggup mencegah bahaya atau kehilangan tersebut
iii. Tindakan kedokteran tadi terbukti efektif
iv. Manfaat bagi pasien lebih besar daripada kerugian dokter (hanya
mengalami risiko minimal).
d. Norma tunggal, isinya larangan.
4. Keadilan (justice). Perbedaan kedudukan sosial, tingkat ekonomi, pandangan politik,
agama dan faham kepercayaan, kebangsaan dan kewarganegaraan, status perkawinan,
serta perbedaan jender tidak boleh dan tidak dapat mengubah sikap dokter terhadap
pasiennya. Tidak ada pertimbangan lain selain kesehatan pasien yang menjadi
perhatian utama dokter. Prinsip ini bertujuan untuk menjamin nilai tak berhingga
setiap pasien sebagai mahluk berakal budi (bermartabat), khususnya : yang-hak dan
yang-baik.
a. Treat similar cases in a similar way = justice within morality.
b. Memberi perlakuan sama untuk setiap orang (keadilan sebagai fairness) yakni:
i. Memberi sumbangan relatif sama terhadap kebahagiaan diukur dari
kebutuhan mereka (kesamaan sumbangan sesuai kebutuhan pasien
yang memerlukan/membahagiakannya)
ii. Menuntut pengorbanan relatif sama, diukur dengan kemampuan
mereka (kesamaan beban sesuai dengan kemampuan pasien).
c. Jenis keadilan:
i. Komparatif (perbandingan antar kebutuhan penerima)
ii. Distributif (membagi sumber): kebajikan membagikan sumber-sumber
kenikmatan dan beban bersama, dengan cara rata/merata, sesuai
keselarasan sifat dan tingkat perbedaan jasmani-rohani; secara material
kepada setiap orang andil yang sama; pada setiap orang sesuai dengan
kebutuhannya; pada setiap orang sesuai upayanya; pada setiap orang
sesuai kontribusinya; pada setiap orang sesuai jasanya; pada setiap
orang sesuai bursa pasar bebas.
iii. Sosial, yaitu kebajikan melaksanakan dan memberikan kemakmuran
12 | Fakultas Kedokteran UKRIDA,Jakarta, 2011
Makalah PBL 30 – 5 “Euthanasia”
Anneke Susilo D - 102007031
dan kesejahteraan bersama:
1. Utilitarian : memaksimalkan kemanfaatan publik dengan
strategi menekankan efisiensi social dan memaksimalkan
nikmat/keuntungan bagi pasien.
2. Libertarian : menekankan hak kemerdekaan social – ekonomi
(mementingkan prosedur adil > hasil substantif/materiil).
3. Komunitarian : mementingkan tradisi komunitas tertentu
4. Egalitarian : kesamaan akses terhadap nikmat dalam hidup
yang dianggap bernilai oleh setiap individu rasional (sering
menerapkan criteria material kebutuhan dan kesamaan).
iv. Hukum (umum) yaitu:
1. Tukar menukar, yaitu kebajikan untuk
memberikan/mengembalikan hak-hak kepada yang berhak.
2. Pembagian sesuai dengan hukum (pengaturan untuk kedamaian
hidup bersama) mencapai kesejahteraan umum.
Prima Facie: dalam kondisi atau konteks tertentu, seorang dokter harus melakukan
pemilihan 1 kaidah dasar etik ter-”absah” sesuai konteksnya berdasarkan data atau
situasi konkrit terabsah (dalam bahasa fiqh ’ilat yang sesuai). Inilah yang disebut
pemilihan berdasarkan asas prima facie.
Etika profesi kedokteran merupakan seperangkat perilaku para dokter dan
dokter gigi dalam hubungannya dengan pasien, keluarga, masyarakat, teman sejawat
dan mitra kerja. Rumusan perilaku para anggota profesi disusun oleh organisasi
profesi bersama-sama pemerintah menjadi suatu kode etik profesi yang bersangkutan.
Etik ini sendiri memuat prinsip-prinsip, yaitu: beneficence, non maleficence,
autonomy dan justice. Tiap-tiap jenis tenaga kesehatan telah memiliki Kode Etiknya,
namun Kode Etik tenaga kesehatan tersebut mengacu pada Kode Etik Kedokteran
Indonesia (KODEKI).
KODE ETIK KEDOKTERAN INDONESIA 6
KEWAJIBAN UMUM
Pasal 1
13 | Fakultas Kedokteran UKRIDA,Jakarta, 2011
Makalah PBL 30 – 5 “Euthanasia”
Anneke Susilo D - 102007031
Setiap dokter harus menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan sumpah dokter.
Pasal 2
Seorang dokter harus senantiasa berupaya melaksanakan profesinya sesuai dengan
standar profesi yang tertinggi.
Pasal 3
Dalam melakukan pekerjaan kedokterannya, seorang dokter tidak boleh dipengaruhi
oleh sesuatu yang mengakibatkan hilangnya kebebasan dan kemandirian profesi.
Pasal 4
Setiap dokter harus menghindarkan diri dari perbuatan yang bersifat memuji diri.
Pasal 5
Tiap perbuatan atau nasehat yang mungkin melemahkan daya tahan psikis maupunn
fisik hanya diberikan untuk kepentingan dan kebaikan pasien, setelah memperoleh
persetujuan pasien.
Pasal 6
Setiap dokter harus senantiasa berhati-hati dalam mengumumkan dan menerapkan
setiap penemuan teknik atau pengobatan baru yang belum diuji kebenarannya dan hal-
hal yang dapat menimbulkan keresahan masyarakat.
Pasal 7
Seorang dokter hanya memberi surat keterangan dan pendapat yang telah diperiksa
sendiri kebenarannya.
Pasal 7a
Seorang dokter harus dalam setiap praktik medisnya memberikan pelayanan medis
yang kompeten dengan kebebasan teknis dan moral sepenuhnya, disertai rasa kasih
sayang (compassion) dan penghormatan atas martabat manusia.
Pasal 7 b
14 | Fakultas Kedokteran UKRIDA,Jakarta, 2011
Makalah PBL 30 – 5 “Euthanasia”
Anneke Susilo D - 102007031
Seorang dokter harus bersikap jujur dalam berhubungan dengan pasien dan
sejawatnya, dan berupaya untuk mengingatkan sejawatnya yang dia ketahui memiliki
kekurangan dalam karakter atau kompetensi, atau yang melakukan penipuan atau
penggelapan, dalam menangani pasien.
Pasal 7c
Seorang dokter harus menghormati hak-hak pasien, hak-hak sejawatnya, dan hak
tenaga kesehatan lainnya, dan harus menjaga kepercayaan pasien.
Pasal 7d
Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup makhluk
insani.
Pasal 8
Dalam melakukan pekerjaannya seorang dokter harus memperhatikan kepentingan
masyarakat dan memperhatikan semua aspek pelayanan kesehatan yang menyeluruh
(promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif), baik fisik maupun psiko-sosial, serta
berusaha menjadi pendidik dan pengabdi masyarakat yang sebenar-benarnya.
Pasal 9
Setiap dokter dalam bekerja sama dengan para pejabat di bidang kesehatan dan bidang
lainnya serta masyarakat, harus saling menghormati.
Pasal 10
Setiap dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan segala ilmu dan
ketrampilannya untuk kepentingan pasien. Dalam hal ini ia tidak mampu melakukan
suatu pemeriksaan atau pengobatan, maka atas persetujuan pasien, ia wajib merujuk
pasien kepada dokter yang mempunyai keahlian dalam penyakit tersebut.
Pasal 11
Setiap dokter harus memberikan kesempatan kepada pasien agar senantiasa dapat
berhubungan dengan keluarga dan penasehatnya dalam beribadat dan atau dalam
masalah lainnya.
15 | Fakultas Kedokteran UKRIDA,Jakarta, 2011
Makalah PBL 30 – 5 “Euthanasia”
Anneke Susilo D - 102007031
Pasal 12
Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang seorang
pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia.
Pasal 13
Setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu tugas
perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain bersedia dan mampu
memberikannya.
KEWAJIBAN DOKTER TERHADAP TEMAN SEJAWAT
Pasal 14
Setiap dokter memperlakukan teman sejawatnya sebagaimana ia sendiri ingin
diperlakukan.
Pasal 15
Setiap dokter tidak boleh mengambil alih pasien dari teman sejawat, kecuali dengan
persetujuan atau berdasarkan prosedur yang etis.
Pasal 16
Setiap dokter harus memelihara kesehatannya, supaya dapat bekerja dengan baik
Pasal 17
Setiap dokter harus senantiasa mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
kedokteran/kesehatan.
Persetujuan Tindakan Medis (Informed Consent) 7,8
PTM adalah terjemahan yang dipakai untuk istilah informed consent. Sesungguhnya
terjemahan ini tidaklah begitu tepat. Informed artinya telah diberitahukan, telah disampaikan,
atau telah diinformasikan. Consent artinya persetujuan yang diberikan kepada seseorang
untuk berbuat sesuatu. Dengan demikian, informed consent adalah persetujuan yang
diberikan pasien kepada dokter setelah diberi penjelasan. 7,8
Bentuk PTM
Ada dua bentuk PTM, yaitu:
1. Tersirat atau dianggap telah diberikan (implied consent)
Keadaan normal
Keadaan darurat
16 | Fakultas Kedokteran UKRIDA,Jakarta, 2011
Makalah PBL 30 – 5 “Euthanasia”
Anneke Susilo D - 102007031
2. Dinyatakan (Expressed consent)
Lisan
Tulisan
Implied consent adalah persetujuan yang diberikan pasien secara tersirat, tanpa
pernyataan tegas. Isyarat persetujuan ini ditangkap dokter dari sikap dan tindakan pasien.
Umumnya tindakan dokter di sini adalah tindakan yang biasa dilakukan atau diketahui secara
umum. Misalnya pengambilan darah untuk pemeriksaan laboratorium, melakukan suntikan
pada pasien, dan melakukan suntikan pada pasien.
Implied consent bentuk lain adalh bila pasien dalam keadaan gawat darurat
(emergency) sedang dokter memerlukan tindakan segera, sementara pasien dalam keadaan
tidak bisa memberikan persetujuan dn keluarganya pun tidak di tempat, dokter dapat
melakukan tindakan medik terbaik menurut dokter (Permenkes No. 585 tahun 1989, pasal 1).
Jenis persetujuan ini disebut sebagai Presumed consent. Artinya, bila pasien dalam keadaan
sadar, dianggap akan menyetujui tindakan yang dilakukan dokter.
Expersed consent adalah persetujuan yang dinyatakan secara lisan atau tulisan, bila
yang akan dilakukan lebih dari prosedur pemeriksan dan tindakan yang biasa. Dalam keadaan
demikian, sebaiknya kepada pasien disampaikan terlebih dahulu tindakan apa yang akan
dilakukan supaya tidak terjadi salah pengertian. Misalnya, pemeriksaan dalam rektal atau
pemeriksaan dalam vaginal, mencabut kuku dan tindakan lain yang melebihi prosedur
pemeriksaan dan tindakan umum.
Persetujuan
Inti dari persetujuan adalah haruslah didapat sesudah pasien mendapat informasi yang
adekuat.
Hal yang harus diperhatikan adalah bahwa yang berhak memberikan persetujuan adalah
pasien yang sudah dewasa (di atas 21 tahun atau sudah menikah)dan dalam keadaan sehat
mental.
Dalam banyak PTM yang ada selama ini, penandatanganan persetujuan lebih sering
dilakukan oleh keluarga pasien. Hal ini mungkin berkaitan dengan kesangsian terhadap
kesiapan mental pasien sehingga beban demikian diambil alih oleh keluarga pasien atau atas
alasan lain.
Untuk pasien di bawah umur 21 tahun, dan pasien gangguan jiwa yang
menandatangani adalah otang tua/wali/keluarga terdekat atau induk semang. Untuk pasien
17 | Fakultas Kedokteran UKRIDA,Jakarta, 2011
Makalah PBL 30 – 5 “Euthanasia”
Anneke Susilo D - 102007031
dalam keadaan tidak sadar, atau pingsan serta tidak didampingi oleh keluarga terdekat dan
secara medik berada dalam keadaan gawat darurat yang memerlukan tindakan medik segera,
tidak diperlukan persetujuan dari siapa pun (pasal 11 bab IV Permenkes No. 585).
Sama dengan yang diatur dalam Permenkes tentang PTM ini, The Medical Defense
Union dalam bukunya Medicolegal Issues in Clinicall Practice menyatakan bahwa ada lima
syarat yang harus dipenuhi untuk sahnya PTM, yaitu:
1. Diberikan secara bebas
2. Diberikan oleh orang yang sanggup membuat perjanjian
3. Telah dijelaskan bentuk tindakan yang akan dilakukan sehingga pasien dapat
memahami tindakan itu perlu dilakukan
4. Mengenai sesuatu hal yang khas
5. Tindakan itu juga dilakukan pada situasi yang sama
Hal-hal yang perlu disampaikan dalam informed consent ialah:
Maksud dan tujuan tindak medik tersebut
Risiko yang melekat pada tindak medik itu
Kemungkianan timbulnya efek samping
Alternatif lain tindak medik itu
Kemungkinan-kemungkinan (sebagai konsekuensi) yang terjadi bila tindak medik itu
tidak dilakukan
18 | Fakultas Kedokteran UKRIDA,Jakarta, 2011
Hak Dasar
Sosial Individu
Pelayanan Kesehatan
Pelayanan Medik
Menentukan Nasib Sendiri
“Privacy” Hak Atas Badan
Rahasia Kedoteran “Informed
Consent”Memilih Dokter/RS
Menolak Tindak Medik
Makalah PBL 30 – 5 “Euthanasia”
Anneke Susilo D - 102007031
Skema Hak Pasien dalam Profesi Kedokteran
Contoh Informed Consent
SURAT PERSETUJUAN/PENOLAKAN MEDIS KHUSUS
Saya yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : (L/P)
Umur :
Alamat :
Telp :
Menyatakan dengan sesungguhnya dari saya sendiri/*sebagai orang
tua/*suami/*istri/*anak/*wali dari :
Nama : (L/P)
Umur :
Dengan ini menyatakan SETUJU/MENOLAK untuk dilakukan Tindakan Medis
berupa…………………………………………………………………………….
Dari penjelasan yang diberikan, telah saya mengerti segala hal yang berhubungan dengan
penyakit tersebut, serta tindakan medis yang akan dilakukan dan kemungkinana pasca
tindakan yang dapat terjadi sesuai penjelasan yang diberikan.
Jakarta,………………….20……
Dokter/Pelaksana, Yang membuat pernyataan,
19 | Fakultas Kedokteran UKRIDA,Jakarta, 2011
Makalah PBL 30 – 5 “Euthanasia”
Anneke Susilo D - 102007031
Ttd Ttd
(……………………) (…………………………..)
*Coret yang tidak perlu
H. Peraturan Yang Terkait
Undang-undang yang tertulis dalam KUHP hanya melihat dari sisi dokter
sebagai pelaku utama euthanasia, khususnya euthanasia aktif & dianggap sebagai
pembunuhan berencana, atau dengan sengaja menghilangkan nyawa seseorang.
Sehingga dalam aspek hukum, dokter selalu pada pihak yang dipersalahkan dalam
tindakan euthanasia, tanpa melihat latar belakang dilakukannya euthanasia tersebut,
tidak peduli apakah tindakan tersebut atas permintaan pasien itu sendiri atau
keluarganya, untuk mengurangi penderitaan pasien dalam keadaan sekarat atau rasa
sakit yang sangat hebat yang belum diketahui pengobatannya. Di lain pihak, hakim
dapat menjatuhkan pidana mati bagi seseorang yang masih segar bugar yang tentunya
masih ingin hidup, & tidak menghendaki kematiannya seperti pasien yang sangat
menderita tersebut, tanpa dijerat pasal-pasal dalam undang-undang dalam KUHP. 9, 10
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sebenarnya telah cukup antisipasif dalam
menghadapi perkembangan iptekdok, antara lain dengan menyiapkan perangkat lunak
berupa SK PB IDI no.319/PB/4/88 mengenai “Pernyataan Dokter Indonesia tentang
Informed Consent”. Disebutkan di sana, manusia dewasa & sehat rohani berhak
sepenuhnya menentukan apa yang hendak dilakukan terhadap tubuhnya. Dokter tidak
berhak melakukan tindakan medis yang bertentangan dengan kemauan pasien, walau
untuk kepentingan pasien itu sendiri.
Kemudian SK PB IDI no.336/PB/4/88 mengenai “Pernyataan Dokter
Indonesia tentang Mati”. Sayangnya SKPB IDI ini tidak atau belum tersosialisasikan
dengan baik di kalangan IDI sendiri maupun di kalangan pengelola rumah sakit.
20 | Fakultas Kedokteran UKRIDA,Jakarta, 2011
Makalah PBL 30 – 5 “Euthanasia”
Anneke Susilo D - 102007031
Sehingga, tiap dokter & rumah sakit masih memiliki pandangan & kebijakan yang
berlainan.
Apabila diperhatikan lebih lanjut, pasal 338, 340, & 344 KUHP, ketiganya
mengandung makna larangan untuk membunuh. Pasal 340 KUHP sebagai aturan
khususnya, dengan dimasukkannya unsur “dengan rencana lebih dahulu”, karenanya
biasa dikatakan sebagai pasal pembunuhan yang direncanakan atau pembunuhan
berencana. Masalah euthanasia dapat menyangkut dua aturan hukum, yakni pasal 338
& 344 KUHP. Dalam hal ini terdapat apa yang disebut ‘concursus idealis’ yang diatur
dalam pasal 63 KUHP, yang menyebutkan bahwa:
(1) Jika suatu perbuatan masuk dalam lebih dari satu aturan pidana, maka yang
dikenakan hanya salah satu diantara aturan-aturan itu, jika berbeda-beda yang
dikenakan yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat.
(2) Jika suatu perbuatan yang masuk dalam suatu aturan pidana yang umum
diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah
yang dikenakan.
Pasal 63 (2) KUHP ini mengandung asas ‘lex specialis derogat legi generalis’,
yaitu peraturan yang khusus akan mengalahkan peraturan yang sifatnya umum.
Hak Pasien
Undang-undang No.23 tahun 1992 tentang Kesehatan yang telah di perbaharui
dengan UU No.29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran dan Kedokteran Gigi mengatur
dan menyebutkan tentang hak-hak pasien, yang antara lain adalah : 3
1. Hak Atas Informasi
Dalam segala bidang sebuah informasi menduduki peringkat yang
sangat tinggi. Informasi ini menjadi penting karena menuntut kejujuran dan
mengharapkan kebenaran.
Jika informasi yang kita dapatkan dari dokter atau pihak pemberi
layanan medis yang berkaitan sangat minim, sudah saatnya kita mengingatkan
atau bahkan menegaskan kepada mereka bahwa salah satu kewajiban mereka
21 | Fakultas Kedokteran UKRIDA,Jakarta, 2011
Makalah PBL 30 – 5 “Euthanasia”
Anneke Susilo D - 102007031
adalah sebagai sumber informasi bagi pasien, karenanya sangat tidak beralasan
jika mereka tidak bersedia menjelaskan segala sesuatu terkait dengan penyakit
yang diderita oleh pasien yang mendatangi mereka.
2. Hak Atas Second Opinion
Hak atas second opinion (pendapat kedua) adalah hak pasien yang
dapat digunakan jika si pasien ingin meyakinkan dirinya akan kebenaran
diagnosa dan tindakan dokter pertama yang telah ditemuinya. Jika ternyata
second opinion dari dokter lain ini berbeda, pasien bisa membicarakannya
kembali dengan dokter pertama atau mencari pendapat ketiga.
3. Hak Memilih Dokter
Pasien kanker akan dihadapkan pada banyak pilihan untuk menentukan
dokter yang akan menangani. Mulai dari dokter ahli bedah onkologi, ahli
radiologi, medical onkologi, ahli patologi, dan lain-lainnya. Ini tidak mudah
karenanya pasien dituntut untuk sedikit kritis sebelum menjatuhkan pilihan
untuk ditangani oleh (dokter) siapa.
4. Hak Memilih Rumah Sakit/Layanan Medis Lain
Tidak semua rumah sakit memiliki fasilitas yang memadai dan sama
antara satu dengan yang lainnya. Tidak ada salahnya keluarga pasien
membantu mencari informasi rumah sakit untuk mencukupi kebutuhan pasien
itu sendiri.
Sebagai pasien kanker kita cenderung berobat ke rumah sakit besar
dengan fasilitas tercanggih dan terlengkap, walau terpaksa harus antre
seharian. Ini sangat menyiksa. Kenyataannya tidak semua fasilitas itu kita
butuhkan. Lebih baik kita memilih rumah sakit yang memiliki layanan medis
sesuai kebutuhan dan mudah dijangkau sehingga mencegah bertambahnya
penderitaan.
5. Hak Mendapatkan Pelayanan Sesuai Dengan Kebutuhan Medis
22 | Fakultas Kedokteran UKRIDA,Jakarta, 2011
Makalah PBL 30 – 5 “Euthanasia”
Anneke Susilo D - 102007031
Ada hal-hal yang terkadang membuat pasien tidak nyaman selama
menjalani pengobatan. Salah satunya adalah kondisi dimana pasien sendiri
merasa bahwa pengobatan yang dijalani masih kurang/belum cukup. Hal ini
didukung oleh banyaknya perusahaan farmasi yang menyodorkan obat-obatan
terbaru yang promosinya dilakukan antara lain oleh marketing representative
langsung kepada dokter-dokter.
6. Hak Memberikan Persetujuan
Setelah mengetahui secara lengkap informasi tentang sakit yang kita
derita sebagaimana dijelaskan di atas, kita memiliki hak untuk memberikan
persetujuan baik secara lisan dan/atau tertulis (sebaiknya tertulis) tentang
pengobatan yang akan kita tempuh. Dengan kata lain tindakan apapun yang
akan dilakukan harus disetujui oleh pasien dan/atau minimal keluarganya.
7. Hak Menolak Pengobatan & Menolak Tindakan Medis Tertentu serta
Hak Untuk Menghentikan Pengobatan
Setiap pasien berhak menolak semua/sebagian pengobatan atau
tindakan medis, setelah pasien tersebut tahu akan manfaat/resiko pengobatan
yang seharusnya dilakukan, tetapi secara sadar memilih untuk tidak
melakukannya. Hal ini banyak terjadi pada pasien kanker, mengingat untuk
stadium lanjut memang disarankan agar pasien memilih penanganan medis
yang lebih nyaman bagi dirinya sendiri.
8. Hak Atas Rahasia Kedokteran
Banyak ditemui kejadian dimana tim medis membicarakan penyakit
pasien A kepada pasien B atau kepada orang lain. Ini melanggar hak pasien
atas rahasia kedokteran.
9. Hak Melihat Rekam Medis (medical record)
Rekam medis wajib dibuat oleh seorang dokter, di mana setiap isi dari
rekam medis tersebut adalah hak pasien, yang meliputi : hasil laboratorium,
23 | Fakultas Kedokteran UKRIDA,Jakarta, 2011
Makalah PBL 30 – 5 “Euthanasia”
Anneke Susilo D - 102007031
gambar/foto beserta keterangannya, serta tindakan pengobatan apa saja yang
dilakukan.
Kewajiban pasien
Jika ada hak, tentu ada kewajiban. Dalam kontak terapeutik antara pasien dan dokter,
memang dokter mendahulukan hak pasien karena tugasnya merupakan panggilan
perikemanusiaan. Namun, pasien yang telah mengikatkan dirinya dengan dokter, perlu pula
memperhatikan kewajiban-kewajibannya sehingga hubungan dokter dan pasien yang sifatnya
saling hormat-menghormati dan saling percaya-mempercayai terpelihara baik.
Kewajiban-kewajiban pasien pada garis besarnya adalah sebagai berikut:
1. Memeriksakan diri sedini mungkin pada dokter
2. Memberikan informasi yang benar dan lengkap tentang penyakitnya
3. Mematuhi nasihat dan petunjuk dokter
4. Menandatangani surat-surat PTM, surat jaminan dirawat di rumah sakit, dan lain-
lainnya
5. Yakin pada dokternya dan yakin akan sembuh
6. Melunasi biaya perawatan di rumah sakit, biaya pemeriksaan dan pengobatan serta
honorarium dokter
Kewajiban Dokter
Dokter yang membuktikan hidupnya untuk perikemanusiaan tentulah akan selalu
lebih mengutamakan kewajiban di atas hak-hak ataupun kepentingan pribadinya.
Dalam menjalankan tugasnya, bagi dokter berlaku “Aegroti Lex Suprema”, yamg
berarti keselamatan pasien adalah hukum yang tertinggi (yang utama). Kewajiban dokter
yang terdiri dari kewajiban umum, kewajiban terhadap pasien, kewajiban terhadap teman
sejawat, dan kewajiban terhadap diri sendiri telah dibahas secara terinci dalam Bab 3 tentang
Kode Etik Kedokteran Indonesia.
Dalam Undang-Undang No. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal 51
dinyatakan bahwa kewajiban dokter atau dokter gigi adalah:
a. Memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur
operasional serta kebutuhan medis pasien
24 | Fakultas Kedokteran UKRIDA,Jakarta, 2011
Makalah PBL 30 – 5 “Euthanasia”
Anneke Susilo D - 102007031
b. Merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai keahlian atau
kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu melakukan suatu pemeriksan atau
pengobatan
c. Merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan juga setelah
pasien itu meninggal dunia
d. Melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin pada
orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya, dan
e. Menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu keokteran atau
kedokteran gigi
Hak Dokter
Sebagai manusia biasa dokter memiliki tanggung jawab terhadap pribadi dan
keluarga, di samping tanggung jawab profesinya terhadap masyarakat sekitarnya.
Hak-hak dokter adalah sebagai berikut:
1. Melakukan praktik dokter setelah memperoleh Surat Izin Dokter (SID) dan Surat Izin
Praktik (SIP).
2. Memperoleh informasi yang benar dan lengkap dari pasien/keluarga tentang
penyakitnya.
3. Bekerja sesuai standar profesi.
4. Menolak melakukan tindakan medik yang bertentangan dengan etika, hukum, agama,
dan hati nuraninya.
5. Mengakhiri hubungan dengan seorang pasien jika menurut penilaiannya kerja sama
pasien dengannya tidak berguna lagi, kecuali dalam keadaan gawat darurat.
6. Menolak pasien yang bukan bidang spesialisasinya, kecuali dalam keadaan darurat
atau tidak ada dokter lain yang mampu menanganinya.
7. Hak atas kebebasan pribadi (privacy) dokter.
8. Ketenteraman bekerja.
9. Mengeluarkan surat-surat keterangan dokter.
10. Menerima imbalan jasa.
11. Menjadi anggota perrhimpunan profesi.
12. Hak membela diri.
25 | Fakultas Kedokteran UKRIDA,Jakarta, 2011
Makalah PBL 30 – 5 “Euthanasia”
Anneke Susilo D - 102007031
I. Dampak Hukum Bagi Dokter
Pasal-pasal dalam KUHP menegaskan bahwa euthanasia baik aktif maupun
pasif tanpa permintaan adalah dilarang. Demikian pula dengan euthanasia aktif
dengan permintaan. Berikut adalah bunyi pasal-pasal dalam KUHP tersebut: 9, 10
Pasal 338: “Barang siapa dengan sengaja menghilangkan jiwa orang lain karena
pembunuhan biasa, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya lima belas
tahun.”
Pasal 340: “Barangsiapa dengan sengaja & direncanakan lebih dahulu menghilangkan
jiwa orang lain, karena bersalah melakukan pembunuhan berencana, dipidana dengan
pidana mati atau penjara seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya
duapuluh tahun.”
Pasal 344: “Barang siapa menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu
sendiri, yang disebutkannya dengan nyata & sungguh-sungguh dihukum penjara
selama-lamanya duabelas tahun.”
Pasal 345: “Barangsiapa dengan sengaja membujuk orang lain untuk bunuh diri,
menolongnya dalam perbuatan itu atau memberi sarana kepadanya untuk itu, diancam
dengan pidana penjara paling lama empat tahun, kalau orang itu jadi bunuh diri.”
Pasal 359: “Menyebabkan matinya seseorang karena kesalahan atau kelalaian,
dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun atau pidana kurungan
selama-lamanya satu tahun”
Beberapa ahli hukum berpendapat bahwa tindakan perawatan medis yang
tidak ada gunanya seperti misalnya pada kasus pasien kanker terminal yang ingin
mengakhiri hidupnya, secara yuridis dapat dianggap sebagai penganiayaan. Tindakan
di luar batas ilmu kedokteran dapat dikatakan di luar kompetensi dokter tersebut
untuk melakukan perawatan medis. Dengan kata lain, apabila suatu tindakan medis
dianggap tidak ada manfaatnya, maka dokter tidak lagi berkompeten melakukan
perawatan medis, & dapat dijerat hukum sesuai KUHP pasal 351 tentang
penganiayaan,yang berbunyi:
(1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan
bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
26 | Fakultas Kedokteran UKRIDA,Jakarta, 2011
Makalah PBL 30 – 5 “Euthanasia”
Anneke Susilo D - 102007031
(2)Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan.
Hubungan hukum dokter-pasien juga dapat ditinjau dari sudut perdata, yaitu pasal
1313, 1314, 1315, & 1319 KUHPer tentang perikatan-perikatan yang dilahirkan dari
kontrak atau perjanjian. Pasal 1320 KUHPer menyebutkan bahwa untuk mengadakan
perjanjian dituntut izin berdasarkan kemauan bebas dari kedua belah pihak. Sehingga
bila seorang dokter melakukan tindakan medis tanpa persetujuan pasien, secara
hukum dapat dijerat Pasal 351 KUHP tentang penganiayaan.
Tindakan menghentikan perawatan medis yang dianggap tidak ada gunanya
lagi, sebaiknya dimaksudkan untuk mencegah tindakan medis yang tidak lagi
merupakan kompetensinya, & bukan maksud untuk memperpendek atau mengakhiri
hidup pasien.
Dengan kata lain, dasar etik moral untuk melakukan euthanasia adalah
memperpendek atau mengakhiri penderitaan pasien & bukan mengakhiri hidup
pasien.
Kesimpulan
HAM yang terutama adalah “hak untuk hidup”, yang dimaksudkan untuk melindungi
nyawa seseorang terhadap tindakan sewenang-wenang dari orang lain. Oleh karena itu
masalah euthanasia yang didefinisikan sebagai kematian yang terjadi karena pertolongan
dokter atas permintaan sendiri atau keluarganya, atau tindakan dokter yang membiarkan saja
pasien yang sedang sakit tanpa menentu, dianggap pelanggaran terhadap hak untuk hidup
milik pasien.
Di Indonesia, masalah euthanasia ini dilarang. Oleh karenanya, dikatakan bahwa
masalah HAM bukanlah merupakan masalah yuridis semata-mata, tetapi juga bersangkutan
dengan masalah nilai-nilai etis & moral yang ada di suatu masyarakat tertentu.
Perlu dipertimbangkan dengan seksama oleh penegak hukum tentang hal-hal yang
mempengaruhi emosi seorang dokter yang secara langsung berhadapan dengan pasien, antara
27 | Fakultas Kedokteran UKRIDA,Jakarta, 2011
Makalah PBL 30 – 5 “Euthanasia”
Anneke Susilo D - 102007031
lain penderitaan pasien mengatasi penyakitnya, kondisi penyakit yang sudah stadium terminal
& tidak mungkin lagi diobati.
Larangan euthanasia di Indonesia terdapat dalam pasal 344 KUHP yang masih
berlaku hingga saat ini. Akan tetapi perumusannya dapat menimbulkan kesulitan bagi para
penegak hukum untuk menerapkannya atau mengadakan penuntutan berdasarkan ketentuan
tersebut.
Agar pasal 344 KUHP dapat diterapkan dalam praktik, maka sebaiknya dalam rangka
‘ius constituendum’ hukum pidana, bunyi pasal itu hendaknya dirumuskan kembali, berdasar
kenyataan yang yang terjadi & disesuaikan perkembangan di bidang medis.
DAFTAR PUSTAKA
1. Euthanasia. 2010. Diunduh dari: http://www.forumbebas.com/thread-135792.html
2. Seperti Apa Proses Suntik Mati Euthanasia?. 2010. Diunduh dari:
http://health.detik.com/read/2010/10/11/181510/1461531/763/seperti-apa-proses-
suntik-mati-euthanasia
3. Hak-Hak Pasien Kanker. 2010. Diunduh dari: http://rumahkanker.com/
pengobatan/medis/60-hak-hak-pasien-kanker
4. Mengenal Kanker Kolon. 2009. Diunduh dari: http://jarumsuntik.com/mengenal-
kanker-kolon/
5. Persiapkan Kematian dengan Paliatif. 2010. Diunduh dari:
http://bataviase.co.id/node/431280
6. Kode Etik Kedokteran Indonesia. Diunduh dari:
http://www.mail-archive.com/[email protected]/msg02898.html
28 | Fakultas Kedokteran UKRIDA,Jakarta, 2011
Makalah PBL 30 – 5 “Euthanasia”
Anneke Susilo D - 102007031
7. Sampurna B, Syamsu Z, Siswaja TD. Bioetik dan hukum kedokteran: Pengantar bagi
mahasiswa kedokteran dan hukum. Jakarta: Bagian Kedokteran Forensik FKUI; 2007.
8. Sidiq A, dkk. Informed consent: Anda berhak tahu semuanya. Diunduh dari
http://www.freewebs.com/informedconsent_a1/informedconsent.htm. April 2006.
9. Aspek Hukum dalam Pelaksanaan Euthanasia di Indonesia . 2008. Diunduh dari:
http://hukumkes.wordpress.com/2008/03/15/aspek-hukum-dalam-pelaksanaan-
euthanasia-di-indonesia/#more-14
10. Peraturan Perundang-Undangan Bidang Kedokteran. 1994. Jakarta: FKUI.
29 | Fakultas Kedokteran UKRIDA,Jakarta, 2011