Transcript

BAB IPENDAHULUAN

1.1 Latar BelakangIndonesia adalah salah satu negara multikultural terbesar di dunia. Kenyataan ini dapat dilihat dari kondisi sosio-kultural maupun geografis yang begitu beragam dan luas. Keragaman ini diakui atau tidak akan dapat menimbulkan berbagai persoalan, seperti korupsi, kolusi, nepotisme, kemiskinan, kekerasan, perusakan lingkungan, separatisme, dan hilangnya rasa kemanusiaan untuk menghormati hak-hak orang lain, merupakan bentuk nyata sebagai bagian dari multikulturalisme tersebut.Sedikitnya selama tiga dasawarsa, kebijakan yang sentralistis dan pengawalan yang ketat terhadap isu perbedaan telah menghilangkan kemampuan masyarakat untuk memikirkan, membicarakan dan memecahkan persoalan yang muncul dari perbedaan secara terbuka, rasional dan damai. Kekerasan antar kelompok yang meledak secara sporadis di akhir tahun 1990-an di berbagai kawasan di Indonesia menunjukkan betapa rentannya rasa kebersamaan yang dibangun dalam Negara-Bangsa, betapa kentalnya prasangka antara kelompok dan betapa rendahnya saling pengertian antar kelompok. Konteks global setelah tragedi September 11 dan invasi Amerika Serikat ke Irak serta hiruk pikuk politis identitas di dalam era reformasi menambah kompleknya persoalan keragaman dan antar kelompok di Indonesia.Sejarah menunjukkan, pemaknaan secara negatif atas keragaman telah melahirkan penderitaan panjang umat manusia. Pada saat ini, paling tidak telah terjadi 35 pertikaian besar antar etnis di dunia. Lebih dari 38 juta jiwa terusir dari tempat yang mereka diami, paling sedikit 7 juta orang terbunuh dalam konflik etnis berdarah. Pertikaian seperti ini terjadi dari Barat sampai Timur, dari Utara hingga Selatan. Dunia menyaksikan darah mengalir dari Yugoslavia, Cekoslakia, Zaire hingga Rwanda, dari bekas Uni Soviet sampai Sudan, dari Srilangka, India hingga Indonesia. Konflik panjang tersebut melibatkan sentimen etnis, ras, golongan dan juga agama.Merupakan kenyataan yang tak bisa ditolak bahwa negara-bangsa Indonesia terdiri dari berbagai kelompok etnis, budaya, agama dan lain-lain sehingga negara-bangsa Indonesia secara sederhana dapat disebut sebagai masyarakat multikultural. Tetapi pada pihak lain, realitas multikultural tersebut berhadapan dengan kebutuhan mendesak untuk merekonstruksi kembali kebudayaan nasional Indonesia yang dapat menjadi integrating force yang mengikat seluruh keragaman etnis dan budaya tersebut. Oleh karena itu, penulis akan menjabarkan mengenai wacana pentingnya pendidikan multikultural dan semoga bermanfaat.

1.2 Rumusan MasalahBeberapa rumusan masalah yang akan dibahas pada mekalah, yaitu:1.2.1 Bagaimana sejarah pendidikan multikultural?1.2.2 Apa yang dimaksud pendidikan Multikultural?1.2.3 Apa tujuan pendidikan multikultural?1.2.4 Bagaimana paradigma baru pendidikan multikultural?1.2.5 Bagaimana metode dan pendekatan pendidikan multikultural?1.2.6 Bagaimana pendidikan berbasis multikultural?1.2.7 Bagaimana wacana pendidikan multikultural di Indonesia?1.2.8 Apa kekurangan dan kelebihan serta solusi dari pendidikan multikultural?

1.3 TujuanTujuan dari penulisan makalah ini, yaitu:1.3.1 Untuk mengetahui sejarah pendidikan multikultural. 1.3.2 Untuk mengetahui pengertian pendidikan multikultural.1.3.3 Untuk mengetahui tujuan pendidikan multikultural.1.3.4 Untuk mengetahui paradigma pendidikan multikultural.1.3.5 Untuk mengetahui metode dan pendekatan pendidikan multikultural.1.3.6 Untuk mengetahui pendidikan berbasis multikultural.1.3.7 Untuk mengetahui wacana dari pendidikan yang berbasis multikultural di Indonesia.1.3.8 Untuk mengetahui kekurangan dan kelebiahan serta solusi dari pendidikan multikultural.

BAB IIPEMBAHASAN

2.1 Sejarah Pendidikan MultikulturalDalam sejarahnya, pendidikan multikultural sebagai sebuah konsep atau pemikiran tidak muncul dari ruang kosong namun ada interes sosial, politik, ekonomi, dan intelektual yang mendorong kemunculannya. Banyak lacakan sejarah atau asal-usul pendidikan multikultural yang menunjuk pada gerakan sosial orang Amerika keturunan Afrika dan kelompok kulit berwarna lain yang mengalami praktik diskriminasi dari lembaga-lembaga politik pada masa perjuangan Hak Asasi pada tahun1960.Diantaranya lembaga yang secara khusus disorot karena bermusuhan dengan ide persamaan ras pada saat itu adalah lembaga pendidikan. Pada akhir 1960-an dan awal 1970-an suara-suara yang menuntut lembaga-lembaga pendidikan agar konsistensi dalam menerima dan menghargai perbedaan semakin kencang yang dikumandangkan oleh para aktivis, para tokoh dan orang tua. Mereka inilah yang dianggap sebagai awal mula dari konseptualisasi Pendidikan Multikultural.Tahun 1960-an agaknya dianggap sebagai kemunculan lembaga sekolah yang berlandaskan Pendidikan Multikultural yang didirikan oleh para peneliti dan aktivis pendidikan progresif. James Bank adalah salah satu seorang pionir dari Pendidikan Multikultural. Dia yang membumikan konsep Pendidikan Multikultural menjadi ide persamaan pendidikan. Pada pertengahan dan akhir 1980-an muncul Sleeter, Geneva Gay, dan Sonia Neito yang memberikan wawasan yang lebih luas tentang Pendidikan Multikultural. Memperdalam kerangka kerja yang membumikan ide persamaan pendidikan dan menghubungkannya dengan transformasi dan perubahan sosial.

2.2 Pengertian Pendidikan MultikulturalAkar kata multikulturalisme adalah kebudayaan. Secara etimologis, multikulturalisme dibentuk dari kata multi (banyak), kultur (budaya), isme (aliran/paham). Secara hakiki, dalam kata itu terkandung pengakuan akan martabat manusia yang hidup dalam komunitasnya dengan kebudayaannya masing masing yang unik. Berikut ini pengertian pendidikan multikulturalime menurut para ahli, yaitu:a Andersen dan Crusher (1994), bahwa pendidikan multikultural dapat diartikan sebagai pendidikan mengenai keragaman kebudayaan.b James Banks (1993) mendefinisikan pendidikan multikultural sebagai pendidikan untuk people of color. Artinya, pendidikan multikultural ingin mengeksplorasi perbedaan sebagai keniscayaan (anugerah tuhan/ sunatullah).c Muhaimin el Mahady berpendapat bahwa secara sederhana pendidikan multikultural dapat didefinisikan sebagai pendidikan tentang keragaman kebudayaan dalam meresponi perubahan demografis dan kultural lingkungan masyarkat tertentu atau bahkan dunia secara keseluruhan (global).d Paulo Freire berpendapat bahwa pendidikan bukan merupakan menara gading yang berusaha menjauhi realitas sosial dan budaya. Pendidikan menurutnya harus mamapu menciptakan tatanan masyarakat yang terdidik dan berpendidikan, bukan sebuah masyarakat yang hanya mengagungkan prestise sosial sebagai akibat kekayaan dan kemakmuran yang dialami.e Hilda Hernandez mengartikan pendidikan multikultural sebagai perspektif yang mengakui realitas politik, sosial dan ekonomi yang dialami oleh masing masing individu dalam pertemuan manusia yang kompleks dan beragam secara kultur, dan merefleksikan pentingnya budaya, ras, seksualitas dan gender, etnisitas, agama, status sosial, ekonomi, dan pengecualian pengecualian dalam proses pendidikan.

2.3 Tujuan Pendidikan MultikulturalBerdasarkan Ainul Yaqin (2005), tujuan pendidikan multikultural ada dua, yakni tujuan awal dan tujuan akhir. Tujuan awal merupakan tujuan sementara karena tujuan ini hanya berfungsi sebagai perantara agar tujuan akhirnya tercapai dengan baik. Pada dasarnya tujuan awal pendidikan multikultural yaitu membangun wacana pendidikan, pengambil kebijakan dalam dunia pendidikan dan mahasiswa jurusan ilmu pendidikan ataupun mahasiswa umum. Harapannya adalah apabila mereka mempunyai wacana pendidikan multikultural yang baik maka kelak mereka tidak hanya mampu untuk menjadi transormator pendidikan multikultural yang mampu menanamkan nilai-nilai pluralisme, humanisme dan demokrasi secara langsung di sekolah kepada para peserta didiknya.Sedangkan tujuan akhir pendidikan multikultural adalah peserta didik tidak hanya mampu memahami dan menguasai materi pelajaran yang dipelajarinya akan tetapi diharapakan juga bahwa para peserta didik akan mempunyai karakter yang kuat untuk selalu bersikap demokratis, pluralis dan humanis. Karena tiga hal tersebut adalah ruh pendidikan multikultural Ainul Yaqin (2005).

2.4 Paradigma Pendidikan MultikulturalAli maksum menggambarkan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang masyarakatnya sangat majemuk atau pluralis. Kemajuan bangsa Indonesia dapat dilihat dari dua prespektif, yaitu: a Prespektif HorizontalKemajemukan bangsa kita dapat dilihat dari perbedaan agama, etnis, bahasa daerah, geografis, pakaian, makanan, dan budaya.

b Prespektif VertikalKemajemukan bangsa kita dapat dilihat dari perbedaan tingkat pendidikan, ekonomi, pemukiman, pekerjaan, dan tingkat sosial budaya.Kemajemukan merupakan ciri khas bangsa Indonesia. Seperti diketahui, bahwa Indonesia merupakan negara kepulauan dengan jumlah pulau terbesar di dunia. Dengan hal tersebut, maka kemajemukan di Indonesia merupakan suatu keniscayaan yang tak terelakkan. Karena faktor itulah, di Indonesia terkadang timbul konflik antar kelompok masyarakat. Namun, pada satu sisi, kemajemukan memberikan efek positif yaitu kesatuan yang erat. Menurut Syafri Sairin (1992), konflik dalam masyarakat majemuk terjadi karena:a Perebutan Sumber Daya, alat alat produksi, dan kesempatan ekonomi.b Perluasan batas batas sosial budaya.c Benturan kepentingan politik, ideologi, dan agama.Oleh karena itu diperlukan paradigma baru yang lebih toleran, yaitu paradigma pendidikan multikultural. Pendidikan berparadigma multikulturalisme tersebut penting, sebab akan mengarahkan anak didik untuk bersikap dan berpandangan toleran dan inklusif terhadap realitas masyarakat yang beragam. Pendidikan multikultural di sini juga dimaksudkan bahwa manusia dipandang sebagai makhluk makro dan sebagai makhluk mikro yang tidak akan terlepas dari akar budaya bangsa dan kelompok etnisnya. Akar makro yang kuat akan menyebabkan manusia tidak pernah tecabut dari akar kemanusiaannya. Sedangkan akar mikro yang kuat akan menyebabkan manusia mempunyai tempat berpijak yang kuat, dan dengan demikian tidak mudah diombang-ambingkan oleh perubahan yang amat cepat, menandai kehidupan modern dan pergaulan dunia global.

Pendidikan multikulutralisme biasanya mempunyai ciri ciri:a Tujuannya membentuk manusia budaya dan menciptakan masyarakat berbudaya.b Materinya mengajarkan nilai nilai luhur kemanusiaan, nilai nilai bangsa, dan nilai nilai kelompok etnis (cultural). c Metodenya demokratis, yang menghargai aspek aspek perbedaan dan keberagaman budaya bangsa dan kelompok etnis.d Evaluasinya ditentukan pada penilaian terhadap tingkah laku anak didik yang meliputi persepsi, apresiasi, dan tindakan terhadap budaya lainnya.

2.5 Metode dan Pendekatan Pendidikan MultikulturalSebagai sebuah konsep yang harus dituangkan ke dalam sistem kurikulum, biasanya pendidikan multikultural secara umum digunakan metode dan pendekatan (method and approaches) yang beragam. 2.5.1 Metode yang dapat digunakan dalam pendidikan multikultural adalah sebagai berikut:a Metode KontribusiDalam penerapan metode ini pembelajar diajak berpartisipasi dalam memahami dan mengapresiasi kultur lain. Metode ini antara lain dengan menyertakan pembelajar memilih buku bacaan bersama, melakukan aktivitas bersama. Mengapresiasikan event-event bidang keagamaan maupun kebudayaan yang terdapat dalam kehidupan masyarakat. Pebelajar bisa melibatkan pembelajar di dalam pelajaran atau pengalaman yang berkaitan dengan peristiwa ini. Namun perhatian yang sedikit juga diberikan kepada kelompok-kelompok etnik baik sebelum dan sesudah event atau signifikan budaya dan sejarah peristiwa bisa dieksplorasi secara mendalam. Namun metode ini memiliki banyak keterbatasan karena bersifat individual dan perayaan terlihat sebagai sebuah tambahan yang kenyataannya tidak penting pada wilayah subjek inti.b Metode PengayaanMateri pendidikan, konsep, tema dan perspektif bisa ditambahkan dalam kurikulum tanpa harus mengubah struktur aslinya. Metode ini memperkaya kurikulum dengan literatur dari atau tentang masyarakat yang berbeda kultur atau agamanya. Penerapan metode ini, misalnya adalah dengan mengajak pembelajar untuk menilai atau menguji dan kemudian mengapresiasikan cara pandang masyarakat tetapi pembelajar tidak mengubah pemahamannya tentang hal itu, seperti pernikahan, dan lain-lain. Metode ini juga menghadapi problem sama halnya metode kontribusi, yakni materi yang dikaji biasanya selalu berdasarkan pada perspektif sejarahwan yang mainstream. Peristiwa, konsep, gagasan dan isu disuguhkan dari perspektif yang dominan.c Metode TransformatifMetode ini secara fundamental berbeda dengan dua metode sebelumnya. Metode ini memungkinkan pembelajar melihat konsep-konsep dari sejumlah perspektif budaya, etnik dan agama secara kritis. Metode ini memerlukan pemasukan perspektif-perspektif, kerangka-kerangka referensi dan gagasan-gagasan yang akan memperluas pemahaman pembelajar tentang sebuah ide.Metode ini dapat mengubah struktur kurikulum, dan memberanikan pembelajar untuk memahami isu dan persoalan dari beberapa perspektif etnik dan agama tertentu. Misalnya, membahas konsep makanan halal dari agama atau kebudayaan tertentu yang berpotensi menimbulkan konflik dalam masyarakat. Metode ini menuntut pembelajar mengolah pemikiran kritis dan menjadikan prinsip kebhinekaan sebagai premis dasarnya.d Metode Pembuatan Keputusan dan Aksi SosialMetode ini mengintegrasikan metode transformasi dengan aktivitas nyata dimasyarakat, yang pada gilirannya bisa merangsang terjadinya perubahan sosial. Pembelajar tidak hanya dituntut untuk memahami dan membahas isu-isu sosial, tapi juga melakukan sesuatu yang penting berkaitan dengan hal itu.Metode ini memerlukan pembelajar tidak hanya mengeksplorasi dan memahami dinamika ketertindasan tetapi juga berkomitmen untuk membuat keputusan dan mengubah sistem melalui aksi sosial. Tujuan utama metode ini adalah untuk mengajarkan pembelajar berpikir dan kemampuan mengambil keputusan untuk memberdayakan mereka dan membantu mereka mendapatkan kesadaran dan kemujaraban berpolitik.

2.5.2 Pendekatan-pendekatan yang mungkin bisa dilakukan di dalam pendidikan multikultural adalah sebagai berikut:a Pendekatan HistorisPendekatan ini mengandaikan bahwa materi yang diajarkan kepada pembelajar dengan menengok kembali ke belakang. Maksudnya agar pebelajar dan pembelajar mempunyai kerangka berpikir yang komplit sampai ke belakang untuk kemudian mereflesikan untuk masa sekarang atau mendatang. Dengan demikian materi yang diajarkan bisa ditinjau secara kritis dan dinamis.

b Pendekatan SosiologisPendekatan ini mengandaikan terjadinya proses kontekstualisasi atas apa yang pernah terjadi di masa sebelumnya atau datangnya di masa lampau. Dengan pendekatan ini materi yang diajarkan bisa menjadi aktual, bukan karena dibuat-buat tetapi karena senantiasa sesuai dengan perkembangan zaman yang terjadi, dan tidak bersifat indoktrinisasi karena kerangka berpikir yang dibangun adalah kerangka berpikir kekinian. Pendekatan ini bisa digabungkan dengan metode kedua, yakni metode pengayaan.c Pendekatan KulturalPendekatan ini menitikberatkan kepada otentisitas dan tradisi yang berkembang. Dengan pendekatan ini pembelajar bisa melihat mana tradisi yang otentik dan mana yang tidak. Secara otolatis pebelajar juga bisa mengetahui mana tradisi arab dan mana tradisi yang datang dari islam.d Pendekatan PsikologisPedekatan ini berusaha memperhatikan situasi psikologis perseorangan secara tersendiri dan mandiri. Artinya masing-masing pembelajar harus dilihat sebagai manusia mandiri dan unik dengan karakter dan kemampuan yang dimilikinya. Pendekatan ini menuntut seorang pebelajar harus cerdas dan pandai melihat kecenderungan pembelajar sehingga ia bisa mengetahui metode-metode mana saja yang cocok untuk pembelajar.e Pendekatan EstetikPendekatan estetik pada dasarnya mengajarkan pembelajar untuk berlaku sopan dan santun, damai, ramah, dan mencintai keindahan. Sebab segala materi kalau hanya didekati secara doktrinal dan menekan adanya otoritas-otoritas kebenaran maka pembelajar akan cenderung bersikap kasar. Sehingga mereka memerlukan pendekatan ini untuk mengapresiasikan segala gejala yang terjadi di masyarakat dengan melihatnya sebagai bagian dari dinamika kehidupan yang bernilai seni dan estetis.f Pendekatan Berprespektif GenderPendekatan ini mecoba memberikan penyadaran kepada pembelajar untuk tidak membedakan jenis kelamin karena sebenarnya jenis kelamin bukanlah hal yang menghalangi seseorang untuk mencapai kesuksesan. Dengan pendekatan ini, segala bentuk konstruksi sosial yang ada di sekolah yang menyatakan bahwa perempuan berada di bawah laki-laki bisa dihilangkan.Keenam pendekatan ini sangat memungkinkan bagi terciptanya kesadaran multikultural di dalam pendidikan dan kebudayaan. Dan tentu saja, tidak menutup kemungkinan berbagai pendekatan yang lainnya, selain enam yang disebutkan tadi di atas, sangat mungkin untuk diterapkan. Agar terwujudnya pendidikan yang multikultural di negeri kita Indonesia.

2.6 Pendidikan Berbasis MultikulturalSejak kemunculnnya sebagai disiplin ilmu pada dekade 1960-an dan 1970-an, pendidikan berbasis multikulturalisme atau Multikultural Based Education (MBE), telah didefinisikan dari banyak cara dan dari berbagai macam perspektif. Dalam terminologi ilmu ilmu pendidikan dikenal istilah yang hampir sama dengan MBE yaitu pendidikan multikultural.MBE atau pendidikan multikultural membahas tentangpenggambaran realitas budaya, politik, sosial, dan ekonomi yang kompleks, yang secara luas dan sistematis memengaruhi segala sesuatu yang terjadi di dalam sekolah dan di luar ruangan. Ia menyangkut seluruh aset pendidikan yang termanifestasikan melalui konteks dan proses. MBE menegaskan dan memperluas kembali praktik yang patut dicontoh, dan berupaya memperbaiki kesempatan pendidikan optimal yang tertolak. Ia memperbincangkan sekitar penciptaan lembaga lembaga pendidikan yang menyediakan lingkungan pembelajaran yang dinamis, yang mencerminkan cita cita persamaan kesetaraan dan keunggulan.

2.7 Wacana Pendidikan MultikulturalSebelumnya mari kita pantau terlebih dahulu mengenai kondisi pendidikan multikultural secara umum berdasarkan wacana fenomenal yang terjadi di Indonesia. Wacana mengenai multikultural telah memasuki babak baru. Indikasinya, diskusi mengenai multikultural tidak saja terjadi di lingkungan tradisi akademis, melainkan telah menjadi bagian dari wacana dan kebijakan publik. Diskursus mengenai multikultural telah menjadi materi pendidikan, pelatihan, malahan kursus singkat yang amat praktis. Dorongan untuk mengangkat judul ini seluas mungkin ke dalam ranah diskursus disebabkan oleh anggapan bahwa pemahaman terhadap fenomena multikultural adalah suatu keharusan, karena tidak ada satu wilayah, etnis, agama yang terbebas sama sekali dari komunikasi dan interaksi dengan etnis, agama, serta antar golongan lainnya. Isu ini menjadi semakin menarik bersamaan dengan adanya fakta desintegrasi yang diakibatkan oleh realitas multikultur yang membawa korban manusia. Karena itu, persoalan multibudaya dan akibatnya bukan hanya menjadi kepentingan sekelompok orang, tetapi menjadi bagian dari persoalan pemerintah, negara, agama, dan malahan partai politik.Di Indonesia, pendidikan multikultural relatif baru dikenal sebagai suatu pendekatan yang dianggap lebih sesuai bagi masyarakat Indonesia yang heterogen, terlebih pada masa otonomi dan desentralisasi yang baru dilakukan. Pendidikan multikultural yang dikembangkan di Indonesia sejalan pengembangan demokrasi yang dijalankan sebagai counter terhadap kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah. Apabila hal itu dilaksanakan dengan tidak berhati-hati justru akan menjerumuskan kita ke dalam perpecahan nasional.Menurut Azyumardi Azra, pada level nasional, berakhirnya sentralisme kekuasan yang pada masa orde baru memaksakan monokulturalisme yang nyaris seragam, memunculkan reaksi balik, yang bukan tidak mengandung implikasi-implikasi negatif bagi rekonstruksi kebudayaan Indonesia yang multikultural. Berbarengan dengan proses otonomisasi dan dan desentralisasi kekuasaan pemerintahan, terjadi peningkatan gejala provinsialisme yang hampir tumpang tindih dengan etnisitas. Kecenderungan ini, jika tidak terkendali akan dapat menimbulkan tidak hanya disintegrasi sosio-kultural yang amat parah, tetapi juga disintegrasi politik.Model pendidikan di Indonesia maupun di negara-negara lain menunjukkan keragaman tujuan yang menerapkan strategi dan sarana yang dipakai untuk mencapainya. Sejumlah kritikus melihat bahwa revisi kurikulum sekolah yang dilakukan dalam program pendidikan multikultural di Inggris dan beberapa tempat di Australia dan Kanada, terbatas pada keragaman budaya yang ada, jadi terbatas pada dimensi kognitif.Penambahan informasi tentang keragaman budaya merupakan model pendidikan multikultural yang mencakup revisi atau materi pembelajaran, termasuk revisi buku-buku teks. Terlepas dari kritik atas penerapnnya dibeberapa tempat, revisi pembelajaran seperti di Amerika Serikat merupakan strategi yang dianggap paling penting dalam reformasi pendidikan dan kurikulum. Penulisan kembali sejarah Amerika dari perspektif yang lebih beragam meruapakan suatu agenda pendidikan yang diperjuangkan intelektual, aktivis dan praktisi pendidikan. Di Jepang aktivis kemanusiaan melakukan advokasi serius untuk merevisi buku sejarah, terutama yang menyangkut peran Jerpang pada perang dunia II di Asia. Walaupun belum diterima, usaha ini sudah mulai membuka mata sebagian masyarakat akan pentingnya perspektif baru tentang perang, agar tragedi kemanusiaan tidak terulang kembali. Sedangkan di Indonesia masih diperlukan usaha yang panjang dalam merevisi buku-buku teks agar mengakomodasi kontribusi dan partisipasi yang lebih inklusif bagi warga dari berbagai latarbelakang dalam pembentukan Indonesia. Indonesia juga memerlukan pula materi pembelajaran yang bisa mengatasi dendam sejarah di berbagai wilayah.Model lainnya adalah pendidikan multikultural tidak sekedar merevisi materi pembelajaran tetapi melakukan reformasi dalam sistem pembelajaran itu sendiri. Affirmative action dalam seleksi siswa sampai rekrutmen pengajar di Amerika adalah salah satu strategi untuk membuat perbaikan ketimpangan struktural terhadap kelompok minoritas. Contoh yang lain adalah model sekolah pembauran Iskandar Muda di Medan yang memfasilitasi interaksi siswa dari berbagai latar belakang budaya dan menyusun program anak asuh lintas kelompok. Di Amerika Serikat bersamaan dengan masuknya wacana multikulturalisme, dilakukan berbagai lokakarya di sekolah-sekolah maupun di masyarakt luas untuk meningkatkan kepekaan sosial, toleransi dan mengurangi prasangka antar kelompok.Untuk mewujudkan model-model tersebut, pendidikan multikultural di Indonesia perlu memakai kombinasi model yang ada, agar seperti yang diajukan Gorski, pendidikan multikultural dapat mencakup tiga hal jenis transformasi, yakni: a transformasi diri,b transformasi sekolah dan proses belajar mengajar,c transformasi masyarakat.Selain itu, wacana pendidikan multikultural dimungkinkan akan terus berkembang seperti bola salju (snow ball) yang menggelinding semakin membesar dan ramai diperbincangkan. Dan yang lebih penting dan kita harapkan adalah, wacana pendidikan multikultural akan dapat diberlakukan dalam dunia pendidikan di negeri yang multikultural ini. Apakah nantinya terwujud dalam kurikulum, materi, dan metode, ataukah dalam wujud yang lainnya.

2.8 Kelebihan dan Kekurangan Serta Solusinya2.8.1 Kelebihan Pendidikan MultikulturalDalam pendidikan multikultural, ada dimensi-dimensi yang harus diperhatikan. Menurut James Blank (2003) ada lima dimensi pendidikan multikultural yang saling berkaitan, yaitu sebagai berikut:a Mengintegrasikan berbagai budaya dan kelompok untuk mengilustrasikan konsep mendasar, generalisasi, dan teori dalam mata pelajaran.b Membawa siswa untuk memahami implikasi budaya ke dalam sebuah mata pelajaran.c Menyesuaikan metode pengajaran dengan cara belajar siswa dalam rangka memfasilitasi prestasi akademik.d Mengidentifikasi karakteristik ras siswa dan menentukan metode pengajarannya.e Melatih kelompok untuk berpartisipasi dalam berbagai kegiatan, berinteraksi dengan seluruh siswa dan staf yang berbeda ras dan etnis untuk menciptakan budaya akademik.2.8.2 Kekurangan Pendidikan Multikultural dan SolusinyaMengimplementasikan pendidikan multikultural di sekolah mungkin saja akan mengalami hambatan atau kendala dalam pelaksanaannya. Ada beberapa hal yang harus mendapat perhatian dan sejak awal perlu diantisipasi antara lain sebagai berikut:a Perbedaan Pemaknaan terhadap Pendidikan MultikulturalPerbedaan pemaknaan akan menyebabkan perbedaan dalam mengimplementasikannya. Multikultural sering dimaknai orang hanya sebagai multi etnis sehingga bila di sekolah mereka ternyata siswanya homogen etnisnya, maka dirasa tidak perlu memberikan pendidikan multikultural pada mereka. Padahal pengertian pendidikan multikultural lebih luas dari itu. H.A.R. Tilaar (2002) mengatakan bahwa pendidikan multikultural tidak lagi semata-mata terfokus pada perbedaan etnis yang berkaitan dengan masalah budaya dan agama, tetapi lebih luas dari itu. Pendidikan multikultural mencakup arti dan tujuan untuk mencapai sikap toleransi, menghargai keragaman, dan perbedaan, menghargai HAM, menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, menyukai hidup damai, dan demokratis. Jadi, tidak sekadar mengetahui tata cara hidup suatu etnis atau suku bangsa tertentu.b Munculnya Gejala DiskontinuitasDalam pendidikan multikultural yang sarat dengan nilai-nilai kemanusiaan dan kebersamaan sering terjadi diskontinuitas nilai budaya. Peserta didik memiliki latar belakang sosiokultural di masyarakatnya sangat berbeda dengan yang terdapat di sekolah sehingga mereka mendapat kesulitan dalam beradaptasi di lingkungan sekolah. Tugas pendidikan, khususnya sekolah cukup berat. Di antaranya adalah mengembangkan kemungkinan terjadinya kontinuitas dan memeliharanya, serta berusaha menyingkirkan diskontinuitas yang terjadi. Untuk itu, berbagai unsur pelaku pendidikan di sekolah, baik itu guru, kepala sekolah, staf, bahkan orangtua dan tokoh masyarakat perlu memahami secara seksama tentang latar belakang sosiokultural peserta didik sampai pada tipe kemampuan berpikir dan kemampuan menghayati sesuatu dari lingkungan yang ada pada peserta didik. Sekolah memiliki kewajiban untuk meratakan jalan untuk masuk ke jalur kontinuitas.

c Rendahnya Komitmen Berbagai PihakPendidikan multikultural merupakan proses yang komprehensif sehingga menuntut komitmen yang kuat dari berbagai komponen pendidikan di sekolah. Hal ini kadang sulit untuk dipenuhi karena ketidaksamaan komitmen dan pemahaman tentang hal tersebut. Berhasilnya implementasi pendidikan multikultural sangat bergantung pada seberapa besar keinginan dan kepedulian masyarakat sekolah untuk melaksanakannya, khususnya adalah guru-guru.Arah kebijakan pendidikan di Indonesia di masa mendatang menghendaki terwujudnya masyarakat madani, yaitu masyarakat yang lebih demokratis, egaliter, menghargai nilai-nilai kemanusiaan dan persamaan, serta menghormati perbedaan.d Kebijakan-kebijakan yang Suka Akan KeseragamanSudah sejak lama kebijakan pendidikan atau yang terkait dengan kepentingan pendidikan selalu diseragamkan, baik yang berwujud benda maupun konsep-konsep. Dengan adanya kondisi ini, maka para pelaku di sekolah cenderung suka pada keseragaman dan sulit menghargai perbedaan. Sistem pendidikan yang sudah sejak lama bersifat sentralistis, berpengaruh pula pada sistem perilaku dan tindakan orang-orang yang ada di dunia pendidikan tersebut sehingga sulit menghargai dan mengakui keragaman dan perbedaan.

BAB IIIPENUTUP

3.1 KesimpulanPendidikan multikultural adalah suatu penedekatan progresif untuk melakukan transformasi pendidikan yang secara menyeluruh membongkar kekurangan, kegagalan dan praktik-praktik diskriminatif dalam proses pendidikan. Pendidikan Multikultural didasarkan pada gagasan keadilan sosial dan persamaan hak dalam pendidikan .Pendidikan multikultural didasarkan pada gagasan keadilan sosial dan persamaan hak dalam pendidikan. Sedangkan dalam doktrin Islam sebenarnya tidak membeda-bedakan etnik, ras dan lain sebagainya dalam pendidikan. Manusia semuanya adalah sama, yang membedakannya adalah ketakwaan mereka kepada Allah SWT. Dalam Islam, pendidikan multikultural mencerminkan bagaimana tingginya penghargaan Islam terhadap ilmu pengetahuan dan tidak ada perbedaan di antara manusia dalam bidang ilmu.

3.2 SaranPendidikan Multikultural seyogyanya memfasilitasi proses belajar mengajar yang mengubah perspektif monokultural yang esensial, penuh prasangka dan diskriminatif ke perspektif multikulturalis yang menghargai keberagaman dan perbedaan, toleran, dan sikap terbuka. Perubahan paradigma semacam ini menuntut transformasi yang tidak terbatas pada dimensi kognitif belaka.

DAFTAR PUSTAKA

http://gears99.blogspot.com/2012/04/pendidikan-multikultural.htmlhttp://syarifhidate.blogspot.com/2013/09/makalah-pendidikan-multikultural.htmlhttp://kuliahmultikultur.blogspot.com/2012/03/bab-i-konsep-pendidikan-multikultural.htmlhttp://manusiapinggiran.blogspot.com/2014/04/konsep-pendidikan-multikulturalisme.html

20