ABSTRAK
PROFIL KECACINGAN, KADAR HEMOGLOBIN DAN GAMBARAN PEMERIKSAAN APUSAN DARAH TEPI PERAJIN GERABAH DI DUSUN
PENGODONGAN INDAH, BANYUMULEK, KEDIRI LOMBOK BARAT
Kadek Manu Smerti R., Ima Arum Lestarini, Deasy Irawati
Latar Belakang. Di Indonesia kecacingan (soil transmitted helminth) merupakan masalah kesehatan masyarakat terbanyak setelah malnutris. Perajin gerabah adalah populasi yang memiliki resiko tinggi untuk terinfeksi. Kecacingan seringkali dihubungkan dengan kejadian anemia defisiensi besi dan dijumpai bersamaan dalam suatu masyarakat. Pemeriksaan untuk mengetahui status anemia seseorang antara lain dengan pemeriksaan kadar hemoglobin dan apusan darah tepi memungkinkan melihat gambaran anemia seseorang berdasarkan morfologinya.
Tujuan Penelitian. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui profil kecacingan, kadar hemoglobin dan gambaran pemeriksaan apusan darah tepi pada perajin gerabah di Dusun Pengodongan Indah, Banyumulek, Kediri, Lombok Barat.
Metode Penelitian. Penelitian ini merupakan suatu penelitian deskriptif dengan pendekatan secara cross sectional. Subjek penelitian adalah perajin gerabah berusia 20-40 tahun di Dusun Pengodongan Indah, Banyumulek dan bersedia berpartisipasi dalam penelitian. Subjek penelitian dipilih dengan purposive sampling melalui penapisan dengan kuesioner. Pengumpulan data dengan menggunakan kuesioner, pemeriksaan feses rutin, kadar hemoglobin melalui pemeriksaan darah lengkap dan pemeriksaan apusan darah tepi. Data dikumpulkan dan disajikan dalam bentuk tabel dengan menggunakan bantuan software SPSS.
Hasil dan Kesimpulan. Dari hasil penelitian didapatkan sebanyak 24 orang (33,8%) dari 71 subjek positif kecacingan dengan jenis trikuriasis sebanyak 62,5%, askariasis 33,3% dan 4,2% menderita askariasis maupun trikuriasis. Adapun frekwensi kejadian anemia berdasarkan kadar hemoglobin adalah 16 orang (23%) dari 67 subjek, 37,5% diantaranya memberi gambaran eritrosit mikrositik hipokromik, 12,5% normositik hipokromik dan 50% normositik normokromik pada evaluasi hapusan darah tepi.
Kata kunci : Soil Transmitted Helminth, anemia defisiensi besi, perajin gerabah
1
ABSTRACT
THE PROFILE OF WORM INFESTATION, HAEMOGLOBINE CONCENTRATION, AND PERIPHERAL BLOOD SMEAR EVALUATION OF
CRAFTSMEN POTTERY AT PENGODONGAN INDAH VILLAGE, BANYUMULEK, KEDIRI, WEST LOMBOK
Kadek Manu Smerti R., Ima Arum Lestarini, Deasy Irawati
Background. Worm infestation (soil transmitted helminth) is the second public health problem in Indonesia after the malnutrision. Craftsmen pottery is the high risk group for worm infestation. Worm infestation often related to the prevalence of iron deficiency anemia which is frequently occured together in the society. The examination to evaluate anemia status such as haemoglobine concentration and peripheral blood smear enable to known the profile of anemia based on its morphology.
Objective. The purpose of this study was to know the profile of worm infestation, haemoglobine concentration and peripheral blood smear evaluation of craftsmen pottery at Pengodongan Indah Village, Banyumulek, Kediri, West Lombok.
Methods. The research was a descriptive research with cross sectional approach. Subjects were the craftsmen pottery at Pengodongan Indah, Banyumulek, age 20-40 years and willing to participate in this research. They were selected based on Purposive Sampling screened by using questionnaires. Data was collected by using questionnaires, examination of faeces samples, haemoglobine concentration and peripheral blood smear evaluation. The data were collected and presented in tables by using SPSS software.
Results and Conclusions. The results of this study concluded that prevalence of worm infestation in craftsmen pottery was 24 subjects (33,8%) of the 71 subjects are positively infected with 62,5% trichuriasis, 33,3% ascariasis 4,2% are both of them. The frequency of anemia based on haemoglobine concentrations are 16 subjects, 37,5% of them had microcytic hypochromic, 12,5 % had normocytic hypochromic and 50% others had normocytic normochromic in peripheral blood smear evaluation.
Key words: Soil Transmitted Helminth, Iron Deficiency Anemia, Craftsmen Pottery
2
PENDAHULUAN
Di Indonesia kecacingan merupakan masalah kesehatan masyarakat terbanyak setelah
malnutrisi, karena Indonesia adalah negara yang agraris dengan tingkat sosial ekonomi,
pengetahuan, keadaan sanitasi lingkungan dan higiene masyarakat masih rendah yang
sangat menyokong untuk terjadinya infeksi dan penularan cacing (Ginting, 2003).
Saat ini lebih dari 2 milyar penduduk di dunia terinfeksi cacing. Prevalensi yang tinggi
ditemukan terutama di negara-negara yang sedang berkembang. Merid mengatakan bahwa
menurut World Health Organization (WHO) diperkirakan 800 juta–1 milyar penduduk
terinfeksi Ascaris, 700–900 juta terinfeksi cacing tambang, 500 juta terinfeksi trichuris
(Merid, 2001 at in Ginting, 2003).
Tinggi rendahnya frekuensi kecacingan berhubungan erat dengan kebersihan pribadi
dan sanitasi lingkungan yang menjadi sumber infeksi. Diantara cacing usus yang menjadi
masalah kesehatan adalah kelompok “soil transmitted helminth” atau cacing yang
ditularkan melalui tanah, seperti Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura dan Ancylostoma
sp (cacing tambang). Pencemaran tanah merupakan penyebab terjadinya transmisi telur
cacing dari tanah kepada manusia melalui tangan atau kuku yang mengandung telur cacing,
lalu masuk ke mulut bersama makanan. (Mardiana dan Djarismawati,2008)
Penyakit kecacingan seringkali dihubungkan dengan kejadian anemia, terutama anemia
defisiensi besi. Anemia defisiensi besi dipengaruhi juga oleh konsekwensi dari infeksi
kecacingan dengan hilangnya darah secara kronis. Penyakit kecacingan dan anemia
defisiensi besi merupakan masalah yang saling terkait dan dijumpai bersamaan dalam suatu
masyarakat, yaitu karena rendahnya sosial ekonomi masyarakat dan sanitasi lingkungan
yang sangat tidak memadai sehingga memudahkan terjadinya penularan penyakit infeksi
terutama kecacingan (Rasmaliah, 2004)
Hubungan antara infeksi kecacingan dan anemia defisiensi besi sudah banyak
terungkap dari berbagai penelitian yang telah dilakukan. Masing-masing saling
memberikan kontribusi terhadap terjadinya kesakitan, walaupun besarnya kontribusi dari
3
infeksi kecacingan terhadap anemia defisiensi besi masih belum banyak dibuktikan
(Rasmaliah, 2004)
Status anemia seseorang dapat diketahui dengan melakukan berbagai jenis
pemeriksaan laboratorium, seperti pemeriksaan kadar hemoglobin, kadar Fe serum,
pemeriksaan apusan darah tepi dan lain-lain. Pemeriksaan darah tepi adalah salah satu
metode yang cukup mudah dilakukan dan melalui pemeriksaan ini kita dapat melihat
gambaran anemia seseorang berdasarkan morfologinya yang selanjutnya dapat digunakan
sebagai dasar untuk memperkirakan etiologi dari anemia tersebut.
METODE PENELITIAN
Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan pendekatan secara cross
sectional. Survey cross sectional adalah suatu penelitian untuk mempelajari dinamika
korelasi antara faktor-faktor risiko dengan efek dengan cara pendekatan, observasi dan
pengumpulan data sekaligus pada suatu saat (Point time approach).
Populasi Penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh penduduk Dusun Pengodongan Indah
yang bermatapencaharian sebagai perajin gerabah berdasarkan data penduduk tahun 2010
yaitu sebanyak 120 orang.
Sampel
Sampel dalam penelitian ini ditentukan dengan rumus sebagai berikut (Azwar dan
Prihatono, 2003):
n = 4 p q L2
Dan
n1 = n 1+ n/N
4
Keterangan:
n : jumlah sampel awal
p : sifat suatu keadaan dalam persen, jika tidak diketahui maka dianggap 50% (tidak
ditemukan dalam referensi)
q : 100% - p
L : derajat ketepatan yang dipergunakan yaitu 10%
n1: jumlah sampel sebenarnya
N : jumlah populasi kriteria (120 orang)
Berdasar rumus di atas, maka besarnya sampel minimal yang akan digunakan dalam
penelitian ini adalah :
n = 4 x 50 x 50 10 x 10
= 10.000 100
= 100
n1 = 100 1+ (100 : 120)
= 54,54 ~ 55 orang
Jadi, jumlah subyek penelitian minimal adalah 55 orang.
Cara Pemilihan Sampel
Penentuan sampel dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan teknik Purposive
sampling yaitu penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu (Sugiyono, 2004)
Kriteria Inklusi dan Eksklusi
Kriteria inklusi, meliputi:
5
1) Masyarakat Desa Banyumulek berjenis kelamin laki-laki maupun perempuan
2) Berusia 20 sampai 40 tahun
3) Bermatapencaharian sebagai perajin gerabah
4) Bersedia menjadi responden atau sampel penelitian
Kriteria Eksklusi, meliputi:
1) Wanita hamil
2) Memiliki penyakit kronis
Cara Kerja
Pada penelitian ini dipilih Dusun Pengodongan Indah, Desa Banyumulek yang
merupakan dusun dengan penduduk yang sebagian besar bermata pencaharian sebagai
perajin gerabah. Karena jumlah populasi yang cukup banyak, maka penelitian ini
menggunakan sampel yang jumlah maupun individunya akan diketahui setelah penapisan
awal dengan kuesioner.
Setelah sampel ditentukan baik jumlah maupun individu yang terpilih sebagai sampel,
maka selanjutnya dilakukan pengambilan data. Pengambilan data pertama adalah melalui
pemeriksaan faeces sampel di laboratorium dengan menggunakan metode pewarnaan
iodine atau eosin. Dengan pemeriksaan ini akan didapatkan data mengenai jumlah sampel
yang positif menderita kecacingan beserta gambaran jenis cacing yang menginfeksinya.
Setelah itu, pengambilan data dilanjutkan dengan mengambil sampel darah pada sampel
yang sama untuk kemudian dilakukan pemeriksaan kadar hemoglobin dengan metoda
otomatis di laboratorium. Pemeriksaan hemoglobin dengan cara otomatis ini
memungkinkan jumlah eritrosit dan kadar hemoglobin diukur dengan cepat dan teliti dan
sekaligus dapat menghitung indeks eritrosit yang dapat digunakan untuk melengkapi data
penelitian ini. Sampel yang memiliki kadar hemoglobin < 12 gr/dl untuk wanita dan < 13
gr/dl untuk laki-laki akan diperiksa apusan darah tepi dengan pengecatan Wright stain yang
terdiri atas campuran methylene blue dengan eosin dalam methanol diluents dengan prinsip
setetes darah dipaparkan di atas gelas obyek lalu dicat, dikeringkan dan diperiksa dibawah
6
mikroskop, sehingga akan didapatkan data mengenai gambaran anemia berdasarkan
morfologi dan etiologi atau gambaran apusan darah, apakah terdapat gambaran hipokromik
mikrositik, normokromik normositik atau makrositik.
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini bertempat di Dusun Pengodongan Indah, Desa Banyumulek, Kecamatan
Kediri, Kabupaten Lombok Barat pada bulan September hingga Oktober 2010.
Pengolahan Data
Data yang diperoleh dari kuesioner dan hasil laboratorium akan dikumpulkan dan
disajikan dalam bentuk table dan grafik serta dengan menggunakan bantuan software SPSS
versi 15 untuk mengetahui gambaran variabel yang diteliti.
HASIL PENELITIAN
Jumlah subjek yang terlibat dari awal hingga akhir penelitian adalah sebanyak 67
orang. Adapun hal yang diteliti adalah status kecacingan melalui pemeriksaan feses dan
status anemia melalui pemeriksaan kadar hemoglobin dan apusan darah.
Karakteristik Subjek Penelitian
Tabel 4.1. Karakteristik Subjek Penelitian
Karakteristik n (%)Usia
20-25 tahun 9 (13,4)26-30 tahun 18 (26,9)31-35 tahun 10 (14,9)35-40 tahun 30 (44,8)
Jenis kelaminLaki-laki 1(1,49)
Perempuan 66 (98,51)
Jenis pekerjaanMencetak saja 56 (83,58)Membakar saja 2 (2,98)
7
Mencetak dan membakar 9 (13,44)
Kecacingan
Dari 71 orang yang mengumpulkan sampel feses pada pengambilan data pertama
didapatkan hasil 24 diantaranya (33,80%) dinyatakan positif menderita cacingan. Dua
puluh empat subjek tersebut diketahui memiliki aktivitas yang berbeda-beda dalam
membuat kerajinan gerabah, yaitu mencetak saja, membakar saja dan keduanya seperti
yang tercantum pada table 4.2.
Tabel 4.2. Subjek positif kecacingan berdasarkan jenis pekerjaan
Jenis cacingan Mencetak Membakar Keduanya Total
n (%) n (%) n (%) n (%)
Trikuriasis 15 (62.5) 0 (0) 0 (0) 15 (62.5)
Askariasis 3 (12.5) 2 (8.3) 3 (12.5) 8 (33.3)
Trikuriasis dan Askariasis 1 (4.17) 0 (0) 0 (0) 1 (4.17)
Total 19 (79.2) 2 (8.33) 3 (12.5) 24 (100)
Dari 24 subjek yang positif, 15 orang (62,5%) diantaranya menderita trikuriasis dan
seluruhnya memiliki aktivitas yang sama, yaitu mencetak saja. Sebanyak 8 orang (33,3%)
menderita askariasis dengan aktivitas mencetak 3 orang, membakar 2 orang dan keduanya
sebanyak 3 orang. Sementara itu satu orang (4,2%) subjek yang beraktivitas mencetak
diketahui mengalami baik askariasis maupun trikuriasis sekaligus.
Anemia
Setelah pemeriksaan status kecacingan, penelitian dilanjutkan dengan pengambilan
sampel darah subjek. Dari 71 subjek yang telah bersedia ikut serta dalam pemeriksaan
feses, 4 diantaranya dinyatakan drop out dalam penelitian berikutnya, sehingga subjek yang
tersisa untuk pemeriksaan status anemia adalah 67 orang, dengan spesifikasi 23 diantaranya
positif kecacingan.
8
Dari pemeriksaan darah lengkap diperoleh data mengenai kadar hemoglobin (Hb) dan
indeks eritrosit seperti Mean Cospuscular Volume (MCV), Mean Cospuscular Hemoglobin
(MCH), dan ), Mean Cospuscular Hemoglobin Concentration (MCHC).
Tabel 4.3. Kadar Hemoglobin dan Indeks Eritrosit Subjek
Parameter Frekwensi %Hemoglobin
Di bawah normal 16 23,9Normal 51 76,1
MCVDi bawah normal 9 13,4
Normal 58 86,6MCH
Di bawah normal 12 17,9Normal 53 79,1
Di atas normal 2 3,0MCHC
Di bawah normal 8 11,9Normal 59 88,1
Dari 67 subjek yang diteliti terdapat 16 orang (23,9%) yang memiliki kadar Hb kurang
dari 12 g/dl. Pemeriksaaan apusan darah tepi selanjutnya dilakukan pada 16 subjek yang
diketahui memiliki kadar hemoglobin rendah (kurang dari 12 g/dl) untuk melihat gambaran
sel darah subjek secara mikroskopik.
Tabel 4.4. Evaluasi Apusan Darah
Gambaran Apusan Darah
n (%)
Normositik Normokromik 8 (50)Normositik Hipokromik 2 (12,5)Mikrositik Hipokromik 6 (37,5)
9
Dari 16 subjek yang telah mengikuti evaluasi apusan darah, 6 diantaranya (37,5%)
memberikan gambaran eritrosit mikrositik hipokromik, 2 (12,5%) subjek lainnya
menunjukkan gambaran normositik hipokromik sedangkan 8 (50%) lainnya dinyatakan
normokromik normositik.
PEMBAHASAN
Penelitian ini dilakukan terhadap perajin gerabah di Dusun Pengodongan Indah, Desa
Banyumulek yang berusia 20 hingga 40 tahun. Dari 67 subjek, terdapat 66 perempuan dan
satu laki-laki. Hal ini dapat mempengaruhi hasil penelitian mengingat jenis kelamin
merupakan faktor yang mempengaruhi kejadian anemia, dimana perempuan memiliki
resiko lebih besar mengalami anemia dibandingkan laki-laki, mungkin karena perempuan
mengalami siklus haid dan juga kehamilan ( Rasmaliah, 2004).
Penelitian terhadap prevalensi kecacingan di Desa Banyumulek pada tahun 2005 oleh
Dinas Kesehatan NTB didapatkan hasil 100% subjek penelitian positif menderita
kecacingan. Hal tersebut berbeda cukup jauh dengan hasil penelitian ini dimana hanya
33,80 % saja yang positif kecacingan. Hal ini dapat disebabkan karena telah membaiknya
status kesehatan masyarakat setempat selama kurun waktu 5 tahun, dimana masyarakat
telah banyak mendapatkan penyuluhan kesehatan dari praktisi kesehatan setempat sehingga
perilaku hidup bersih dan sehat dari masyarakat juga semakin membaik. Berdasarkan
wawancara tidak resmi dengan beberapa penduduk setempat diketahui bahwa sejak
terjadinya krisis di bidang pariwisata yang antara lain dipengaruhi oleh kejadian bom Bali,
kegiatan penduduk sebagai perajin gerabah cenderung menurun, dalam arti proses
pembuatan gerabah dilakukan secara rutin hanya jika mendapat borongan saja. Hal ini
mungkin menyebabkan menurunnya intensitas kontak subjek dengan tanah yang
merupakan sumber infeksi kecacingan (Sujatmiko, 2005).
Jenis pekerjaan sebagai perajin rupanya juga mempengaruhi jenis cacing yang
menginfeksi. Dari penelitian ini terdapat 15 subjek terinfeksi cacing jenis Trichuris
trichiura atau cacing cambuk. Dalam menjalankan profesi mereka sebagai perajin, seluruh
subjek diketahui beraktivitas mencetak gerabah. Hal ini sesuai dengan teori bahwa
10
penyebaran penyakit cacingan dapat melalui terkontaminasinya tanah dengan tinja yang
mengandung telur Trichuris trichiura, dimana telur tumbuh dengan baik dalam tanah liat
yang lembab dan tanah dengan suhu optimal ± 30◦C. Terdapat 8 penderita askariasis yang
diketahui memiliki aktivitas yang berbeda-beda mulai dari mencetak, membakar maupun
keduanya. Tanah liat dengan kelembapan tinggi dan suhu yang berkisar antara 25◦C-30◦C
sangat baik untuk berkembangnya telur Ascaris lumbricoides sampai menjadi bentuk
infektif (Yulianto, 2007). Sejauh ini belum terdapat penelitian yang membahas secara detail
mengenai hubungan jenis pekerjaan dengan infeksi kecacingan terutama pada perajin
gerabah.
Parameter yang paling umum dipakai untuk menunjukkan penurunan massa eritrosit
adalah kadar hemoglobin, disusul oleh hematokrit dan hitung eritrosit. Pada pemeriksaan
kadar hemoglobin hanya 16 dari 67 subjek yang memiliki kadar di bawah 12 g/dl dan
hanya enam diantaranya yang positif kecacingan dengan jenis trikuriasis sebanyak 5 orang
dan satu orang menderita trikuriasis maupun askariasis. Hal ini kemungkinan dapat terjadi
karena derajat kecacingan yang diderita oleh subjek sebagian besar masih tergolong ringan
dan tidak kronis, sesuai dengan hasil evaluasi feses yang memperlihatkan hanya terdapat
paling banyak satu telur cacing per lapang pandang. Lebih banyaknya jumlah subjek
anemia berasal dari subjek yang negatif kecacingan mungkin disebabkan oleh faktor
penyebab anemia lainnya, seperti anemia karena faktor gizi, proses hemolisis maupun
anemia dengan penyebab tidak diketahui atau dengan patogenesis yang kompleks (Sudoyo,
2006).
Klasifikasi lain untuk anemia dapat dibuat berdasarkan gambaran morfologik dengan
melihat indeks eritrosit dan apusan darah tepi. Anemia hipokromik mikrositer, bila MCV
<80 fl dan MCH <27 pg adalah gambaran anemia yang paling sering dijumpai pada
penderita anemia defisiensi besi. Anemia defisiensi besi (ADB) adalah anemia yang timbul
akibat berkurangnya penyediaan besi untuk eritropoesis karena cadangan besi kosong yang
pada akhirnya mengakibatkan pembentukan hemoglobin berkurang. ADB dapat disebabkan
oleh karena rendahnya masukan besi, gangguan absorbsi serta kehilangan besi akibat
perdarahan menahun seperti pada infeksi cacing usus yang kronis (Sudoyo,2006).
11
Pada penelitian ini, gambaran eritrosit mikrositik hipokromik pada 6 subjek sangat
mungkin disebabkan oleh anemia defisiensi besi, dimana 4 diantaranya adalah subjek
dengan kecacingan positif. Tiga dari 4 subjek tersebut terinfeksi trikuruasis, sedangkan satu
orang lainnya menderita baik trikuriasis maupun askariasis. Keenam subjek memiliki kadar
MCH dan MCV yang rendah, sedangkan untuk kadar MCHC terdapat satu orang yang
memiliki kadar normal. Dua subjek lainnya memberi gambaran normositik hipokromik,
masing-masing memiliki kadar MCV normal dan mendekati normal, namun kadar MCH
keduanya cukup rendah. Sementara itu 8 subjek yang memberi gambaran eritrosit normal
mungkin mengalami penurunan kadar hemoglobin karena penyebab lain.
Kelebihan dari penelitian ini adalah penelitian ini tidak hanya meneliti prevalensi
kecacingan pada masyarakat resiko tinggi saja, namun juga dapat menggambarkan
konsekwensi yang mungkin ditimbulkan berupa profil anemia dan gambaran morfologinya
melalui pemeriksaan apusan darah tepi yang belum pernah diteliti sebelumnya. Selain itu
penelitian ini juga dilakukan lebih spesifik pada usia produktif yaitu 20-40 tahun sehingga
dapat memperkecil resiko bias. Kekurangan dari penelitian ini adalah terbatasnya cakupan
populasi penelitian terutama dari segi kuantitas.
KESIMPULAN
1. Prevalensi kecacingan pada perajin gerabah di Banyumulek telah mengalami
penurunan yang signifikan, dimana sebanyak 24 orang (33,8%) dari 71 subjek positif
kecacingan dengan jenis trikuriasis sebanyak 62,5%, askariasis 33,3% dan 4,2%
menderita askariasis maupun trikururiasis.
2. Frekwensi kejadian anemia berdasarkan kadar hemoglobin adalah 16 orang (23%) dari
67 subjek, 37,5% diantaranya memberi gambaran eritrosit mikrositik hipokromik,
12,5% normositik hipokromik dan 50% normositik normokromik pada evaluasi
hapusan darah tepi.
SARAN
12
1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai penyebab menurunnya prevalensi
kecacingan dibandingkan penelitian sebelumnya pada perajin gerabah di Banyumulek.
2. Perlu dilakukan penelitian mengenai pengaruh kecacingan terhadap kejadian anemia
khususnya pada perajin gerabah.
3. Perlu dilakukan penelitian dengan subjek yang lebih banyak serta pada populasi perajin
gerabah di tempat lain.
REFERENSI
Anonimous. 2005. Penuntun Praktikum Parasitologi. Denpasar: Bagian Parasitologi
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Denpasar
Anonimous, 2006. Strongyloides Stercoralis’s Life Cycle. Available from:
http://www.stanford.edu/group/parasites/ParaSites2006/Strongylodiasis/images/
Strongyloides_LifeCycle. Accessed: April, 14 2010
Azwar, Azrul dan Prihartono Joedo. 2003. Metodologi Penelitian Kedokteran dan
Kesehatan Masyarakat. Jakarta: Binarupa Aksara
Drennan, 2010. Hematology Laboratory: Proper Preparation of Peripheral Blood
SmearSlide Staining with Wright's Stain. Available from: http://www. cls.umc.edu.
Accessed: November, 1 2010
Elizabeth, SN. 2009. Darah Lengkap. Available from: http://www. fk.uwks.ac.id.
Accessed: October, 25 201013
Entjang, Indan. 2000, Ilmu Kesehatan Masyarakat, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
Gandahusada, Srisasi. 2000, Parasitologi Kedokteran edisi ke 3, Jakarta: Universitas Indonesia
Ginting, Sri Alemina. 2003. Hubungan Antara Status Sosial Ekonomi Dengan Kejadian
Kecacingan Pada Anak Sekolah Dasar Di Desa Suka Kecamatan Tiga Panah,
Kabupaten Karo, Propinsi Sumatera Utara. Available from: http://www.USU digital
library. Acessed: January, 27 2010.
Hadidjaja, Pinardi.1994. Penuntun Laboratorium Parasitologi Kedokteran, Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Hensing, 1999. Overview of the Peripheral Blood Smear. Available from:
http://www.med.unc.edu/medicine/web/Smearreview. Accessed: January, 27 2010
Mardiana dan Djarismawati. 2008. Prevalensi Cacing Usus padaMmurid Sekolah Dasar
Wajib Belajar PelayananGgerakan Terpadu Pengentasan Kemiskinan Daerah Kumuh
Di Wilayah DKI Jakarta. Jurnal Ekologi Kesehatan Vol. 7 No. 2, Agustus 2008 : 769 –
774
Markell, K. Edward. 1999. Medical Parasitology. USA: Saunders
Notoatmodjo, Soekidjo . 2002, Metode Penelitian Kesehatan, Jakarta: Rineka Cipta.
Permono, Bambang. 2006. Buku Ajar Hematologi-Onkologi Anak. Jakarta: Badan Penerbit
Ikatan Dokter Anak Indonesia
14
Peters, Ruth et al. 2008. Haemoglobin, Anaemia, Dementia and Cognitive Decline in The
Elderly, A Systematic Review. BMC Geriatrics 2008, 8: 18
Rasmaliah. 2004. Anemia Kurang Besi Dalam Hubungannya dengan Infeksi Cacing pada
Ibu Hamil. Available from: USU digital library. Acessed: January, 27 2010.
Sudoyo, Aru. W. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Jakarta: Departemen IPD
Fakultas Kedokteran UI
Sujatmiko. 2005. 100% Perajin Gerabah di Lombok Cacingan. Available from:
http//:www.tempointeraktif.com. Acessed: January, 27 2010.
Supriadi, 2005. Hubungan Kecacingan dengan Status Anemia Gizi Anak Sekolah Dasar
(Studi pada Anak SD di SDN Gembol 1Kec. Karang Anyar, Kab. Ngawi). Available
from: http://www.fkm.undip.ac.id. Accessed November, 25 2009
Surat Keputusan Menteri Kesehatan Nomor: 424/MENKES/SK/VI, 2006, Pedoman
Pengendalian Cacingan, Jakarta: Departemen Kesehatan.
Sugiyono. 2004,.Statistik untuk Penelitian. Bandung : Alfabeta
Yulianto, Evi. 2007. Hubungan Higiene Sanitasi dengan Kejadian Penyakit Cacingan pada
Siswa Sekolah Dasar Negeri Rowosari 01 Kecamatan Tembalang Kota Semarang
Tahun Ajaran 2006/2007. Available from: http://digilib.unnes.ac.id/gsdl/cgi-bin/library
(Accessed: 11, 25 2009)
15