Download docx - agenda 21 ku

Transcript
Page 1: agenda 21 ku

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATARBELAKANG MASALAH

Perjanjian-perjanjian internasional dapat berdampak cukup besar di tingkat nasional dan

lokal. Konferensi tingkat tinggi pembangunan berkelanjutan 2002 adalah tinjauan terhadap

sepuluh tahun perjalanan menuju pencapaian Agenda 21, rencana kegiatan global untuk

pembangunan berkelanjutan yang diluncurkan pada KTT Bumi 1992 di Brazil. Agenda 21

merupakan program aksi untuk mempersiapkan dunia dalam menghadapi tantangan abad ke

21 agar kualitas hidup manusia terus meningkat dan pembangunan tetap berlanjut. Agenda 21

juga merupakan transformasi konsep pembangunan berkelanjutan menjadi komitmen dan

arahan untuk melakukan tindak nyata dengan memberikan pelayanan optimal kepada

masyarakat. Selama jangka waktu setelah konferensi tersebut, banyak yang berubah

sementara beberapa faktor masih sama bahwa adanya ancaman besar dan terus-menerus

terhadap iklim bumi dan pola kepunahan satwa, tumbuhan, tidak hanya terhadap ekologi

dunia tetapi juga kapasitas manusia untuk meningkatkan pendapatan dan menghapus

kemiskinan. Menindaklanjuti hasil-hasil konferensi tersebut, pemerintah Indonesia menyusun

rancangan guna memenuhi persyaratan umum dari prinsip-prinsip perjanjian lingkungan

dalam melaksanakan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan di Indonesia.

Dokumen agenda 21 diharapakan dapat memberikan peran dan strategi perbaikan lingkungan

khususnya akibat kerusakan lingkungan global oleh terutama aktivitas manusia.

1.2 MAKSUD DAN TUJUAN

Agenda 21 dibuat berdasarkan adanya komitmen global (internasional) dengan maksud

mengatasi kerusakan lingkungan di dunia. Komitmen bersama antar berbagai Negara di mulai

melalui adanya konferensi, konvensi, perhimpunan sampai adanya konvensi KTT bumi.

Adapun tujuan dari agenda 21 adalah untuk :

1. Pelaksanaan dan pengembangan program aksi untuk terwujudnya pembangunan

berkelanjutan untuk saat ini dan abad ke 21

2. Pengintegrasian pembangunan ekonomi, sosial, dan lingkungan ke dalam satu paket

kebijakan dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan

lingkungan (biogeofisik, sosekbud, kelembagaan, LSM).

3. Implementasi 7 aspek agenda 21 global

Page 2: agenda 21 ku

BAB II

ISI

2.1 SEJARAH AGENDA 21

Asal mula dimulainya penentuan kebijakan dan program agenda 21 berdasarkan adanya

komitmen global (internasional) dalam rangka mengatasi kerusakan lingkungan di dunia.

Komitmen bersama antar berbagai Negara di mulai melalui adanya konferensi, konvensi,

perhimpunan sampai adanya konvensi KTT bumi. Berikut ini adalah uraian perjalanan

panjang dari komitmen global sampai terbentuknya program agenda 21 adalah sebagai

berikut :

a. Konferensi Stockholm, 1972

Kesadaran global untuk memperhitungkan aspek lingkungan selain aspek ekonomi dan

kelayakan teknik dalam pembangunan mencuat tahun 1972. Hal tersebut ditandai dengan

Konferensi Stockholm tahun 1972. Konferensi ini atas prakarsa negara-negara maju dan

diterima oleh Majelis Umum PBB. Hari pembukaan konferensi akhirnya ditetapkan sebagai

Hari Lingkungan Hidup Sedunia yaitu 5 Juni. Dari Konferensi ini menghasilkan resolusi-2

yang pada dasarnya merupakan kesepakatan untuk menanggulangi masalah lingkungan yang

sedang melanda dunia. Selain itu diusulkan berdirinya sebuah badan PBB khusus untuk

masalah lingkungan dengan nama : United Nations Environmental Programme (UNEP).

Dalam Konferensi juga berkembang konsep ecodevelopment atau pembangunan berwawasan

ekologi. Sejalan dengan hal tersebut Indonesia mulai menggagas konsep Pembangunan

Berwawasan Lingkungan. Namun dalam perjalanan, ternyata kesepakatan kesepakatan

Stockholm tidak bisa menghentikan masalah lingkungan yang dihadapi dunia. Negara-negara

maju masih meneruskan pola hidup yang mewah dan boros dalam menggunakan energi. Laju

pertumbuhan industri, pemakaian kendaraan bermotor, konsumsi energi meningkat sehingga

limbah yang dihasilkan juga meningkat pula. Sementara negara-negara berkembang

meningkatkan exploatasi Sumber Daya Alamnya untuk meningkatkan pembangunan dan

sekaligus untuk membayar utang luar negerinya. Keterbatasan kemampuan ekonomi dan

teknologi serta kesadaran lingkungan yang masih rendah, menyebabkan peningkatan

pembangunan yang dilakukan tidak disertai dengan melindungi lingkungan yang memadai.

Page 3: agenda 21 ku

Maka kerusakan sumber daya alam dan Lingkungan Hidup di negara berkembang juga

semakin parah.

b. United Nations On Environment and Development (UNCED), 1992

Lingkungan hidup dunia yang semakin baik yang menjadi harapan Konferensi Stockholm

ternyata tidak terwujud. Kerusakan lingkungan global semakin parah. Penipisan lapisan ozon

yang berakibat semakin meningkatnya penitrasi sinar ultra violet ke bumi yang merugikan

kehidupan manusia, semakin banyaknya spesies flora dan fauna yang punah, pemanasan

global dan perubahan iklim semakin nyata dan betul-betul sudah di depan mata. Oleh karena

itu masyarakat global memperbaharui kembali tekadnya untuk menanggulangi kerusakan

lingkungan global dengan mengadakan KTT Bumi di Rio de Jeneiro pada bulan Juni 1992

dengan tema Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development). KTT ini kita kenal

dengan United Nations Conference on Environment and Development (UNCED). Dalam

UNCED disegarkan kembali suatu pengertian bersama bahwa pembangunan berkelanjutan

harus memenuhi kebutuhan sekarang dan generasi mendatang. Untuk mencapai hal tersebut

dalam setiap proses pembangunan harus memadukan 3 aspek sekaligus yaitu : ekonomi,

ekologi dan sosbud. Secara garis besar ada 5 hal pokok yang dihasilkan oleh KTT Bumi di

Rio de Jeneiro yaitu :

1. Deklarasi Rio tentang lingkungan dan pembangunan. Deklarasi ini berisikan 27 prinsip

dasar yang menekankan keterkaitan antara pembangunan dan lingkungan serta

pengembangan kemitraan global baru yang adil.

2. Konvensi tentang perubahan iklim, diperlukan payung hukum guna menangani masalah

pemanasan global dan perubahan iklim.

3. Konvensi tentang keanekaragaman hayati, diperlukan payung hukum untuk mencegah

merosotnya keanekaragaman hayati.

4. Prinsip pengelolaan hutan, hutan mempunyai multi fungsi : sosial, ekonomi, ekologi,

kultural dan spiritual untuk generasi. Hutan untuk penyerapan CO2 serta untuk

perlindungan keanekaragaman hayati dan pengelolaan daerah aliran sungai.

5. Agenda 21, menyusun program aksi untuk terwujudnya pembangunan berkelanjutan

untuk saat ini dan abad ke 21 : biogeofisik, sosekbud, kelembagaan, LSM.

Dokumen agenda 21 global dianggap sebagai suatu hasil yang paling penting dalam KTT

bumi ini, yang berisi aksi-aksi dimana setiap pemerintah, organisasi internasional, sektor

swasta dan masyarakat luas, dapat melakukan perubahan-perubahan yang diperlukan bagi

Page 4: agenda 21 ku

pembangunan social ekonominya. Adapun, 7 aspek yang ditekankan dalam agenda 21 global

adalah :

1. Kerjasama internasional

2. Pengentasan kemiskinan

3. Perubahan pola konsumsi

4. Pengendalian kependudukan

5. Perlindungan dan peningkatan kesehatan

6. Peningkatan pemukiman secara berkelanjutan

7. Pemaduan lingkungan dalam pengambilan keputusan untuk pembangunan

c. World Summit On Sustainable Development (WSSD), 2002

Setelah 10 tahun KTT bumi, masyarakat global menilai bahwa operasionalisasi prinsip-

prinsip Rio dan agenda 21 masih jauh dari harapan. Masih banyak kendala dalam

pelaksanaan agenda 21. Sekalipun demikian masyarakat global masih mengganggap bahwa

prinsip-prinsip agenda 21 masih relevan. Kelemahan terletak pada aspek implementasinya.

Oleh karena itu Majelis Umum PBB memutuskan adanya World Summit On Sustainable

Development (WSSD) di Johannesburg, Afrika Selatan pada bulan September 2002. Ada 3

tujuan utama diselenggarakannya WSSD yaitu :

1. Mengevaluasi 10 tahun pelaksanaan agenda 21 dan memperkuat komitmen politik

dalam pelaksanaan agenda 21 di masa datang

2. Menyusun program aksi pelaksanaan agenda 21 untuk 10 tahun ke depan

3. Mengembangkan kerjasama bilateral dan multilateral

Dokumen yang dihasilkan dalam WSSD adalah :

1. Program aksi tentang pelaksanaan Agenda 21 sepuluh tahun mendatang

2. Deklarasi Politik

3. Komitmen berupa inisiatip kemitraan untuk melaksanakan pembangunan berkelanjutan

Tiga ciri utama tren kemajuan pelaksanaan Agenda 21 di atas 10 tahun terakhir. Pertama,

konsep pembangunan berkelanjutan yang diminta beralih dari fokus pada satu masalah

appreciating menuju kompleks interaksi antara berbagai faktor lingkungan dan pembangunan.

Kedua, ada gerakan internasional dari atas ke bawah norma-lembaga pengaturan nasional-

gedung dan lebih "akar rumput" pendekatan di tingkat pemerintah daerah. Ketiga, Agenda 21

Page 5: agenda 21 ku

memerlukan tempat berbasis pengetahuan teknis dan ilmiah, yang telah mengakibatkan

peningkatan keterlibatan penelitian berbasis lembaga seperti perguruan tinggi dan swasta.

d. Millenium Development Goals, 2000

Konferensi Stockholm tahun 1972, konferensi Bumi (UNCED) di Rio de Jeneiro tahun 1992,

dan pertemuan puncak pembangunan berkelanjutan (WSSD) tahun 2002 di Johannesburg

merupakan upaya masyarakat global untuk meletakkan landasan dan strategi yang bersifat

mondial dalam mengatasi kemerosotan kualitas lingkungan hidup yang semakin parah dan

memprihatinkan. Kesadaran global juga mengemukan karena ternyata upaya-upaya

penanggulangan kemerosotan lingkungan hidup tidak mudah dan bahkan semakin rumit dan

saling kait mengkait berbagai apek kehidupan seperti sosial, ekonomi, politik budaya,

kemiskinan, ketimpangan antar negara. Selain 3 konferensi/pertemuan puncak para kepala

negara/pemerintahan tersebut kiranya perlu dicatat pula suatu komitmen global yang tidak

secara khusus membahas dan merumuskan masalah lingkungan hidup, namun kaitannya

sangat erat dengan masalah lingkungan hidup yaitu Millenium Development Goals (MDG’s).

MDG’s awalnya dikembangkan oleh OECD dan kemudian diadopsi dalam United Nations

Millenium Declaration yang ditandatangani September 2000 oleh 189 negara maju dan

berkembang. Komitmen dalam MDG’s yang dicetuskan dalam Sidang Umum PBB tahun

2000 mencakup :

1. Menanggulangi kemiskinan dan kelaparan ,dengan mengurangi setengahnya jumlah

penduduk yang berpendapatan kurang US$ 1 per hari. Mengurangi setengahnya

jumlah penduduk yang menderita kelaparan.

2. Pemenuhan pendidikan dasar untuk semua, dengan menjamin semua anak dapat

menyelesaikan sekolah dasar. Hal tersebut disertai dengan upaya agar anak-2 tetap

mengikuti pendidikan di sekolah dengan kulitas pendidikan yang baik.

3. Mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, dengan menghilangkan

perbedaan gender baik pada tingkat sekolah dasar maupun sekolah lanjutan tingkat

pertama pada tahun 2005 dan tahun 2015 untuk semua tingkat.

4. Menurunkan angka kematian anak usia di bawah 5 tahun, dengan sasaran menjadi 2/3

nya.

5. Meningkatkan kesehatan ibu, dengan mengurangi ratio kematian ibu menjadi 3/4 nya.

6. Memerangi HIV/AIDS, malaria, dan penyakit menular lainnya, dengan menghentikan

dan mulai menurunkan peyebaran HIV/AIDS, malaria dan penyakit menular lainnya.

Page 6: agenda 21 ku

7. Memberikan jaminan akan kelestarian lingkungan hidup, dengan memadukan prinsip-

prinsip pembangunan berkelanjutan ke dalam program dan kebijakan masing-masing

negara, menurunkan hilangnya sumber daya alam, mengurangi hingga 1/2 nya

penduduk yg selama ini tidak bisa mengakses air bersih secara berkelanjutan,

perbaikan secara signifikan terhadap tempat tinggal paling tidak 100 juta tempat

tinggal kumuh (slum dwellers) sampai 2020.

8. Mengembangkan kerjasama global dalam pembangunan, antara lain dengan

pengembangan sistem perdagangan dan keuangan yang transparan, kepemerintahan

yang baik, memperhatikan kebutuhan negara berkembang seperti memberikan kuota

export, penghapusan/penundaan pembayaran hutang, bantuan untuk pengentasan

kemiskinan, bantuan untuk peningkatan produktivitas kaum muda, akses untuk

memperoleh obat-obatan yang penting bagi negara berkembang.

2.2 PERKEMBANGAN AGENDA 21 di Indonesia

Indonesia merupakan peserta aktif pada United Nations Conference on Environment

and Development (UNCED, juga dikenal sebagai “KTT Bumi) di Rio de Janeiro, Brasil pada

tahun 1992. Pada tahun 1997, Indonesia mengeluarkan Agenda 21 Nasional yang berisikan

rujukan untuk memasukkan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan ke dalam

perencanaan pembangunan nasional. UNDP (United Nations Development Programme) telah

mendukung pengembangan dan peluncuran agenda 21 Indonesia yang merupakan versi lokal

dari agenda 21 global yang diluncurkan dalam KTT Rio. Agenda 21 mendiskusikan

ketergantungan pembangunan sosial dan ekonomi pada kelestarian lingkungan dan

meletakkan dasar untuk pengesahan perjanjian tentang Keanekaragaman Hayati dan

Perubahan Iklim. Setelah KTT Johannesburg yang mengkaji ulang agenda 21 global, Kantor

Menteri Negara Lingkungan Hidup dengan bantuan UNDP telah melakukan tinjauan

terhadap pelaksanaan Agenda 21 Indonesia untuk meneliti konteks pembangunan

berkelanjutan setelah krisis ekonomi. Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup kini

meletakkan dasar untuk merancang strategi jangka panjang menuju pencapaian tujuan-tujuan

agenda 21, terutama komitmen menurut perjanjian tentang keanekaragaman hayati dan

perubahan iklim. Proyek ini diberi nama Post UNCED Planning and Capacity Building

Activities Project dengan produk utama yaitu dokumen agenda 21 Indonesia (diselesaikan

dalam waktu 2 tahun) yang merupakan strategi nasional menuju pembangunan berkelanjutan

Page 7: agenda 21 ku

berwawasan lingkungan yaitu dengan mengintegrasikan pembangunan ekonomi, sosial, dan

lingkungan.

UNDP berkomitmen membantu Indonesia mengkaji dan melakukan penilaian

kapasitas yang didapat semenjak menandatangani kesepakatan agenda 21. Proyek untuk

Menilai Sendiri Kapasitas Nasional atau NCSA (National Capacity Self-Assessment) adalah

inisiatif di bawah GEF (Global Environment Facility) berupa dukungan kepada negara-

negara berkembang dalam mengidentifikasi masalah dan mencari solusi inovatif agar lebih

mampu mencapai sasaran Agenda 21. Proses NCSA akan mendukung pengembangan strategi

baru ini, dengan fokus khusus pada penguatan kapasitas yang dibutuhkan untuk menetapkan

strategi pelaksanaan program-program pengelolaan lingkungan yang lebih baik, termasuk

menghentikan laju kerusakan atau degradasi lingkungan. Tekanan untuk merealisasikan

otonomi daerah dan kecenderungan baru dalam perdagangan dan perekonomian juga akan

menentukan bentuk pendekatan nasional terhadap pengelolaan lingkungan.

Agenda 21 Nasional ini kemudian diikuti pula oleh Agenda 21 Sektoral yang dikeluarkan

tahun 2000, meliputi sektor pertambangan, energi, perumahan, pariwisata dan kehutanan.

Baru-baru ini, beberapa pemerintah daerah telah memulai penyusunan Agenda 21 Lokal yang

diharapkan dapat memberi pedoman perencanaan pembangunan di tingkat kecamatan, dan

menjadi rujukan bagi berpagai pihak untuk menyusun rencana-rencana aksi. Pelaksanaan

Agenda 21 di Indonesia dihadapkan pada berbagai masalah, mulai dari kurangnya kesadaran

publik dan pemerintah sampai kurangnya dana dan kemauan politis.

2.3 PELAKSANAAN AGENDA 21 DI INDONESIA

Tujuan pembangunan di Indonesia yaitu :

(1) meningkatkan produktivitas sumberdaya,

(2) menganekaragamkan hasil produksi,

(3) memperbaiki tata ruang atau sistem peruntukan sumberdaya, dan

(4) memasukkan fungsi konservasi.

Pembangunan berkelanjutan hanya dapat diperoleh apabila dilandasi ilmu pengetahuan dan

menjadi asas kunci bagi pencapaian pertumbuhan sosial dan ekonomi jangka panjang.

Pembangunan tidak terlepas dari agenda 21 negara Indonesia. Agenda 21 sebagai suatu

advisory document yang mencangkup aspek kebijakan, pengembangan, program dan strategi

Page 8: agenda 21 ku

yang meliputi hamper seluruh perencanaan pembangunan bidang sosial, ekonomi, dan

lingkungan. Dalam Agenda 21 Indonesia (Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup, 1997),

strategi nasional untuk pembangunan berkelanjutan terdiri dari 18 bab yang memuat empat

program pokok saling mengisi, yaitu :

(1) pelayanan masyarakat,

(2) pengelolaan limbah,

(3) pengelolaan sumberdaya tanah, dan

(4) pengelolaan sumberdaya alam.

Tiap program pokok diatas terbagi menjadi sejumlah program. Pelayanan masyarakat

memuat program (i) pengentasan kemiskinan, (ii) perubahan pola konsumsi, (iii) dinamika

kependudukan, (iv) pengelolaan dan peningkatan kesehatan, (v) pengembangan perumahan

dan pemukiman, dan (vi) sistem perdagangan global, instrument ekonomi, neraca ekonomi,

dan lingkungan terpadu. Pengelolaan limbah memuat program (i) perlindungan atmosfer, (ii)

pengelolaan bahan kimia beracun, (iii) pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun, (iv)

pengeloaan limbah radioaktif, dan (v) pengelolaan limbah padat dan cair.

Adapun pengelolaan sumberdaya tanah memuat program (i) penatagunaan

sumberdaya tanah, (ii) pengelolaan hutan, (iii) pengembangan pertanian dan pedesaan, dan

(iv) pengelolaan sumberdaya air. Sedangkan pengelolaan sumberdaya alam terdiri atas

program (i) konservasi keanekaragaman hayati, (ii) pengembangan bioteknologi, dan (iii)

pengelolaan terpadu wilayah pesisir dan lautan.

Setiap bab atau bagian (4 program pokok) diuraikan latar belakang yang

memperkenalkan topik yang akan dibahas, diikuti sejumlah bidang program yang dianggap

prioritas bagi pelaksanaan pembangunan berkelanjutan berdasarkan dua kerangka waktu

(1998-2003) dan (2003-2020).

2.4 Implementasi Program Agenda 21 Indonesia

2.4.1. Pengelolaan Limbah

Page 9: agenda 21 ku

Berkaitan dengan upaya konservasi dan pengelolaan sumber daya alam,

Agenda 21 global menawarkan beberapa program aksi guna meningkatkan dan

memperbaiki kondisi dan kualitas lingkungan hidup manusia dami terlaksananya

pembangunan berkelanjutan dalam menyongsong abad 21.

Salah satu program aksi pada agenda 21 adalah pengelolaan limbah. Isu

pengelolaan limbah secara langsung merasuk ke hampir semua aspek kehidupan

manusia. Oleh karena itu pembahasannya ditujukan kepada seluruh lapisan

masyarakat. Adapun pokok pembahasan dalam pengelolaan limbah mencakup pada

limbah padat dan cair, baik di lingkungan industri; pengelolaan dan pengaturan

penggunaan bahan kimia beracun dan berbahaya; pengelolaan limbah B3, termasuk

limbah rumah sakit dan radioaktif; dan pengelolaan buangan gas hasil kegiatan yang

menggunakan minyak bumi dan pembakaran biomassa.

2.4.2. Perlindungan Atmosfir

Atmosfir memberikan perlindungan tiga fungsi utama. Pertama sebagai bahan

mentah untuk kegiatan manusia. Kedua sebagai tempat pembuangan yang

menyerap dan mendaur ulang sisa-sisa kegiatan manusia. Ketiga berfungsi

mendukung kehidupan. Oleh karena itu kualitas atmosfir merupakan aset yang

harus dilindungi dan dilestarikan.

Kemampuan atmosfir memberikan fungsinya dapat terganggu dengan masuknya

bahan-bahan pencemar ke udara yang dikeluarkan oleh kegiatan manusia. Untuk

mencegah dan mengendalikan hal ini perlu sekali terjadi perubahan pandangan di

pihak pemerintah, pihak swasta maupun maupun dimasyarakat luas mengenai:

a. Kemampuan atmosfir menerima dan mendaur ulang sisa kegiatan manusia

yang terbatas, dimana kegiatan manusia akan mengganggu kemampuan

atmosfir menjalankan fungsinya.

b. Menurunnya kemampuan atmosfir menjalankan fungsinya akan memberi

dampak negatif yang sangat besar dan luas, seperti dapat mengurangi

kesehatan, dapat mengurangi efisiensi ekonomi, meningkatnya tekanan

sebagian masyarakat guna memperlambat laju pembangunan, dapat

mengurangi permintaan barang ekspor indonesia, dan dapat menghambat

Page 10: agenda 21 ku

atau menurunkan tercapainya target pembangunan ekonomi dan sosial

indonesia.

c. Biaya yang diakibatkan oleh memburuknya kualitas udara ini sangat besar

dan akan melonjak dengan pesat bila kualitas udara makin memburuk

d. Permasalahan perlindungan atmosfir selain berskala lokal dan nasional, ia

juga mempunyai skala regional dan global. Akibatnya kegiatan yang berkaitan

dengan kualitas atmosfir/ udara mempunyai efek dalam hubungan

internasional baik secara politis maupun dalam perdagangan

e. Perlu memperhitungkan kaitan kegiatan manusia dengan kualitas udara

terutama untuk kegiatan yang diperkirakan akan memberikan dampak yang

besar pada kualitas udara.

Permasalahan di atas di jabarkan dalam uraian dan analisa empat bidang program.

Bidang program pertama menekankan masalah kualitas udara skala lokal dan

nasional di mana di bahas pertimbangan lingkungan dan energi dalam sektor-sektor

pembangkit tenaga listrik, transportasi, industri, dan rumah tangga. Bidang kedua

dan ketiga berkaitan dengan isu global, yaitu isu ozon di stratosfir dan perubahan

iklim global bidang keempat berkaitan dengan permasalahan regional, yaitu isu

desposisi asam dan pecegahan kebakaran hutan.

Sumber pencemaran udara

sumber tidak bergerak

Sumber pencemaran udara yang berasal dari sumber tidak bergerak, antara lain

industri, pemukiman/rumah tangga dan pembakaran sampah. Sedangkan sumber

pencemaran udara dari sumber bergerak, adalah dari kegiatan transportasi.

Disamping itu, kebakaran hutan dan lahan juga menjadi salah satu penyebab

pencemaran Udara di Indonesia. Bahkan kebakaran hutan dan lahan mengganggu

kestabilan komposisi gas di atmosfer. Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 1999

tentang Pengendalian Pencemaran Udara mengatur bahan pencemar yang perlu

dipantau yaitu sulfurdioksida (SO2), karbonmonoksida (CO), nitrogen dioksida

(NO2), partikulat berukuran kurang dari 10 mikron (PM10) dan timah hitam (Pb).

Pencemaran Udara Dari Sumber Bergerak

Page 11: agenda 21 ku

Kegiatan transportasi memberikan kontribusi sekitar 70% terhadap pencemaran

udara di kota-kota besar. Di Jakarta dan sekitarnya (Jabotabek) jumlah kendaraan

bermotor tahun 2000 menurut Polda Metro Jaya-POLRI telah mencapai 4.159.442

unit yang didominasi oleh jenis kendaraan mobil penumpang. Di Bandung jumlah

kendaraan bermotor untuk tahun 2000 mencapai 588.640 unit. Jumlah kendaraan

tersebut belum termasuk kendaraan yang datang ke Bandung pada setiap akhir

pecan sebanyak 10-25%. Kendaraan bermotor yang beroperasi di Indonesia sampai

akhir tahun 2001 berjumlah 20,78 juta unit yang terdiri dari 3,1 juta unit mobil

penumpang (15%), 684 ribu unit bis (3%), 1,75 juta unit truck (9%), 15,2 juta unit

sepeda motor (73%). Meningkatnya jumlah kendaraan bermotor yang cukup berarti

dari tahun ke tahun mengakibatkan terjadi penurunan kualitas udara ambien yang

diakibatkan gas buang yang dihasilkan oleh kendaraan bermotor tersebut. Walaupun

jumlah kendaraan bermotor setiap tahun selalu bertambah (Tabel 3.1), namun

panjang jalan baik jalan negara, propinsi maupun kabupaten relatif tidak berubah

(Tabel 3.2). Hal inilah menjadi penyebab terjadinya kemacetan di jalan raya yang

pada akhirnya menambah parahnya pencemaran udara setempat. Faktor yang

mempengaruhi tingginya pencemaran udara

dari kendaraan bermotor adalah pesatnya pertambahan jumlah kendaraan bermotor,

rendahnya kualitas bahan bakar minyak (BBM) dan masih digunakannya jenis bahan

bakar minyak mengandung Pb, penggunaan teknologi lama (sistem pembakaran)

pada sebagian besar kendaraan bermotor di Indonesia dan minimnya budaya

perawatan kendaraan secara teratur. Kondisi tersebut ditambah oleh buruknya

manajemen lalu lintas yang berakibat inefisien dalam pemakaian BBM.

Page 12: agenda 21 ku

Sumber: Departemen Pertambangan dan energi, 1999

*) Bahan Bakar Bertimbal

Gambar 3.1. Persentase Pemakaian Bahan Bakar Kendaraan Bermotor

Tahun 1999/2000.

Bahan bakar kendaraan bermotor di Indonesia didominasi oleh premium dan solar.

Bahan bakar premium sebagian besar belum ramah lingkungan karena masih

menggunakan Pb sebagai peningkat angka oktan yang menjadi penyumbang

terbesar pencemaran udara.

Upaya Pengendalian

• Pemantauan Kualitas Udara Ambien

• Program Langit Biru

• Pengendalian pencemaran udara dari sarana transportasi kendaraan bermotor

meliputi:

1. Pengembangan perangkat peraturan

2. Penggunaan bahan bakar bersih (cleaner fuels

3. Pengembangan bahan bakar alternative

Page 13: agenda 21 ku

• Pengendalian pencemaran udara dari industri

• Kebijakan Antisipasi Deposisi Asam

• Kebijakan Antisipasi Perubahan Iklim

• Kebijakan Perlindungan Lapisan Ozon di Indonesia

2.4.3. Pengelolaan Bahan Kimia Beracun

Dalam pengelolaan bahan kimia dan beracun yang menuju konsep

pembangunan berkelanjutan tahap awal yang perlu dilakukan adalah menyiapkan

seluruh perangkat terkait dari mulai perangkat hukum, pelaksanaan, dan

pembinaannya. Langkah penerapannya berfokus pada penyeragaman klasifikasi

bahaya, sistem pelabelan dan simbol yang berlaku secara global, memanfaatkan

pertukaran informasi secara intensif dengan mengadopsi prosedur PIC (Prior

Informed Concern) yang telah diakui secara internasional, mengeliminasi sekecil

mungkin resiko, menghindari kemungkinan-kemungkinan kerugian-kerugian secara

ekonomik dengan bertumpu pada analisis daur hidup, bahan-bahan kimia, dan

meningkatkan kemampuan atau kapasitas nasional dalam mendeteksi dan menekan

masuknya produk dan atau bahan kimia yang berbahaya melalui perdagangan

global.

Guna tercapainya sasaran, maka terdapat empat bidang program yang

diususlkan yaitu:

1. Peningkatan kemampuan dan kapasitas nasional dalam pengelolaan bahan-

bahan kimia

2. penyerasian klasifikasi dan pelabelan bahan-bahan kimia

3. penyebarluasan informasi tentang bahan-bahan kimia beracun dan resiko-

resiko kimia, dan

4. penurunan resiko dan pencegahan lalulintas domestik maupun internasional

yang tidak sah (ilegal) dari produk-produk kimia beracun dan berbahaya

oleh karena itu dalam bab ini hanya memfokuskan pada pengelolaan bahan

kimia beracun saja, sedangkan pengelolaan limbah bahan berbahaya dan

beracun akan di bahas di bab selanjutnya

Page 14: agenda 21 ku

Bahan kimia beracun dikenal sebagai bahan kimia yang dalam jumlah kecil dapat

menimbulkan keracunan pada manusia atau mahluk hidup lainnya. Umumnya zat-

zat toksik masuk lewat pernapasan atau kulit, kemudian beredar ke seluruh tubuh

atau ke organ-organ tertentu. Tetapi dapat pula zat-zat tersebut berakumulasi,

tergantung pada sifatnya, ke dalam tulang, hati, darah atau cairan limpa dan organ

lain sehingga akan menghasilkan efek dalam jangka panjang.

BAHAN-BAHAN YANG DAPAT BERUPA RACUN

Dalam tulisan ini bahan racun yang dibahas adalah bahan yang termasuk dalam

chemical toxicants, atau bahan kimia umum yang bersifat racun. Bahan kimia umum

yang sering menimbulkan keracunan adalah sebagai-berikut :

Golongan pestida, yaitu organo klorin, organo fosfat, karbamat, arsenik.

Golongan gas, yaitu Nitrogen (N2), Metana (CH4), Karbon Monoksida (CO),

Hidrogen Sianida (HCN), Hidrogen Sulfida (H2S), Nikel Karbonil (Ni(CO)4),

Sulfur Dioksida (SO2), Klor (Cl2), Nitrogen Oksida (N2O; NO; NO2), Fosgen

(COCl2), Arsin (AsH3), Stibin (SbH3).

Golongan metalloid/logam, yaitu timbal (Pb), Posfor (P), air raksa (Hg), Arsen

(As), Krom (Cr), Kadmium (Cd), nikel (Ni), Platina (Pt), Seng (Zn).

Golongan bahan organic, yaitu Akrilamida, Anilin, Benzena, Toluene, Xilena, Vinil

Klorida, Karbon Disulfida, Metil Alkohol, Fenol, Stirena, dan masih banyak bahan

kimia beracun lain yang dapat meracuni setiap saat, khususnya masyarakat

pekerja industri.

Banyak Negara yang tidak mempunyai atau memerlukan peningkatan sistem-

sistem nasional untuk mengelola risiko kimia. Sebagian besar Negara masih

kekurangan perangkat-perangkat ilmiah untuk mengetahui perihal salah

penggunaan dan untuk penilaian dampak dari bahan-bahan kimia terhadap

kesehatan manusia dan lingkungan.banyak Negara-negara berkembang termasuk

Indonesia, perlu untuk mengadakan dan/atau memperkuat kerangka atau elemen-

elemen dasar untuk pengelolaan bahan-bahan kimia yang ramah

lingkungan.Elemen-elemen dasar untuk pengelolaan bahan-bahan kimia yang

ramah lingkungan adalah:

Page 15: agenda 21 ku

1. adanya hukum yang memadai

2. pengumpulan dan penyebarluasan informasi

3. kapasitas untuk penilaian resiko dan interprestasinya

4. tersedianya kebijakan manajemen resiko

5. kapasitas untuk implementasi dan pendorong pelaksanaannya

6. kapasitas untuk rehabilitasi/ pemulihan tempat-tempat yang terkontaminasi

dan orang-orang yang keracunan

7. program-program pendidikan yang efektif

8. kapasitas tanggap darurat

2.4.3. Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun

Sektor industri di bawah pertumbuhan ekonomi yang pesat memegang

peranan yang sangat besar sebagai kontributor limbah bahan berbahaya dan

beracun (B3) bukan saja disebabkan oleh industri tersebut, tetapi juga akibat adanya

perdagangan antar negara yang memungkinkan memperdagangkan limbah B3 atau

produk dan teknologi yang dapat menghasilkan limbah B3.

Guna menekan jumlah B3 perlu adanya reorientasi sistem berproduksi, dari

pendekatan “end of pipe” ke pendekatan produksi bersih (Cleaner production) yaitu

pendekatan “from Craddle to grave” pendekatan ini menekan jumlah limbah yang

dihasilkan dari mulkai pemrosesan bahan baku hingga barang atau bahan tersebut

tidak dapat digunakan lagi.

elDalam upaya pengelolaan limbah B3 yang berwawasan lingkungan, maka interaksi

antara pranata hukum dan sosial, kelembagaan, kemampuan sumberdaya manusia,

penguasaan teknologi dan bahkan advokasi dari LSM akan sangat menentukan

keberhasilan dari suatu upaya pengendalian dan pengolahan limbah B3 tersebut.

Guna mencapai hal tersebut di atas, maka dapat dilakukan dengan bidang program

yang mencakup:

1. pengembangan dan peningkatan pengelolaan limbah B3 yang berwawasan

lingkungan dengan prioritas utama pada minimasi limbah

2. pencegahan lintas batas limbah B3 secara ilegal dan kerjasama dalam

pengelolaan lintas batas limbah, dan

Page 16: agenda 21 ku

3. peningkatan dan penguatan kemampuan kelembagaan dalam pengelolaan

limbah B3

2.4.4. Pengertian B3

Menurut PP No. 18 tahun 1999, yang dimaksud dengan limbah B3 adalah sisa suatu

usaha dan atau kegiatan yang mengandung bahan berbahaya dan atau beracun yang

karena sifat dan atau konsentrasinya dan atau jumlahnya, baik secara langsung maupun

tidak langsung, dapat mencemarkan dan atau merusakan lingkungan hidup dan atau

membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta mahluk

hidup lain.

2.4.4.1.Tujuan pengelolaan limbah B3

Tujuan pengelolaan B3 adalah untuk mencegah dan menanggulangi pencemaran

atau kerusakan lingkungan hidup yang diakibatkan oleh limbah B3 serta melakukan

pemulihan kualitas lingkungan yang sudah tercemar sehingga sesuai dengan fungsinya

kembali.

Pengelolaan dan pengolahan limbah B3

Pengelolaan limbah B3 meliputi kegiatan pengumpulan, pengangkutan, pemanfatan,

pengolahan dan penimbunan. Setiap kegiatan pengelolaan limbah B3 harus mendapatkan

perizinan dari Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) dan setiap aktivitas tahapan

pengelolaan limbah B3 harus dilaporkan ke KLH. Untuk aktivitas pengelolaan limbah B3 di

daerah, aktivitas kegiatan pengelolaan selain dilaporkan ke KLH juga ditembuskan ke

Bapedalda setempat. Pengolahan limbah B3 mengacu kepada Keputusan Kepala Badan

Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedal) Nomor Kep-03/BAPEDAL/09/1995 tertanggal

5 September 1995 tentang Persyaratan Teknis Pengolahan Limbah Bahan Berbahaya dan

Beracun (www.menlh.go.id/i/art/pdf_1054679307.pdf)

Page 17: agenda 21 ku

2.4.4.2.Identifikasi limbah B3

Pengidentifikasian limbah B3 digolongkan ke dalam 2 (dua) kategori, yaitu:

Golongan limbah B3 yang berdasarkan sumber dibagi menjadi:

Limbah B3 dari sumber spesifik;

Limbah B3 dari sumber tidak spesifik;

Limbah B3 dari bahan kimia kadaluarsa, tumpahan, bekas kemasan dan

buangan produk yang tidak memenuhi spesifikasi.

Sedangkan golongan limbah B3 yang berdasarkan karakteristik ditentukan

dengan:

mudah meledak;

pengoksidasi;

sangat mudah sekali menyala;

sangat mudah menyala;

Page 18: agenda 21 ku

mudah menyala;

amat sangat beracun;

sangat beracun;

beracun;

berbahaya;

korosif;

bersifat iritasi;

berbahayabagi lingkungan;

karsinogenik;

teratogenik;

mutagenik.

Uji toksikologi Lethal dose f if ty (LD50) digunakan oleh Indonesia untuk

menguji lebih lanjut apakah sebuah limbah berkatagori B3.

2.4. Pengolahan Limbah Radioaktif

Pengolahan limbah radioaktif, terutama diperuntukkan bagi perlindungan

maksimum bagi mahluk hidup, lingkungan dan ekosistemnya.

Untuk menjamin keselamatan dan perlkindungan yang maksimum, maka

sebaiknya seluruh pihak yang berkepentingan di dalam pemanfaatan radionuklida

(nuklir) mengikuti asas ALARA (As Low As Reasonably Achievable). Guna

tercapainya pengelolaan limbah radioaktif yang mengikuti prinsip pembangunan

berkelanjutan, maka upaya penerapan teknologi harus layak secara teknis,

ekonomis, layak bagi perlindungan lingkungan dan keselamatan yang maksimum

terhadap potensi bahaya nuklir saat ini dan masa yang akan datang. Selain itu

pemanfaatannya juga harus dapat diterima oleh masyarakat.

Page 19: agenda 21 ku

Guna pencapaian pengelolaan yang benar-benar terjamin, diusulkan

dilakukan dengan menjalankan bidang program yang menekankan kepada :

pengelolaan limbah radioaktif yang berwawasan lingkungan.

Pengelolaan limbah radioaktif bertujuan untuk meminimalkan dosis radiasi

yang diterima penduduk < st="on">medan radiasi. Batasan dosis radiasi dari ICRP

(International Commission for Radiation Protection) adalah semua penduduk tidak

akan menerima dosis rata-rata 1 rem perorang dalam 30 tahun dari sampah nuklir.

Pengelolaan limbah radioaktif sangat memerlukan perhatian khusus, hal ini

dikarenakan dapat menyebabkan pencemaran lingkungan, efek somatik dan genetik

pada manusia serta efek psikologis pada masyarakat.

Tiga unsur dasar dalam pengelolaan limbah radioaktif :

• Pengelolaan bertujuan untuk memudahkan dalam penanganan selanjutnya.

• Penyimpanan sementara dan pembuangan atau penyimpanan akhir/lestari.

• Pengawasan pembuangan dan monitoring lingkungan.

Salah satu sifat yang dimiliki oleh sumber radioaktif adalah memiliki umur paruh.

Sifat ini sangat menguntungkan karena limbah radioaktif akan berkurang

radioakvitasnya seiring dengan waktu dalam bentuk peluruhan dan pengeluaran

panas.

Pada dasarnya kegiatan pengelolaan limbah radioaktif meliputi tahapan :

a. Pengangkutan Limbah

Pengangkutan meliputi kegiatan pemindahan limbah radioaktif dari lokasi pihak

penghasil limbah menuju ke lokasi pengelolaan limbah PTLR. Kegiatan

pengangkutan harus memenuhi syarat-syarat keamanan dan keselamatan sesuai

peraturan perundangan yang berlaku. Terutama bila lokasi penghasil limbah diluar

kawasan PTLR diperlukan ijin Pengangkutan Limbah dari Badan Pengawas Tenaga

Nuklir (Bapeten).

Page 20: agenda 21 ku

Sarana dan prasarana yang dipakai pada kegiatan pengangkutan Limbah antara lain

:

o Alat angkut: truck, fork lift, crane, hand crane dan sebagainya

o Transfer Cask / Kanister

o Pallet.

o Alat monitoring

o Tanda bahaya radiasi dan tanda bahaya lainnya

o Sarana keselamatan kerja

o Dan sarana lain yang diperlukan.

b. Praolah (pretreatment)

Praolah adalah kegiatan yang dilakukan sebelum pengolahan agar limbah

memenuhi syarat untuk dikelola pada kegiatan pengelolaan berikutnya. Kegiatan ini

antara lain meliputi :

o Pengelompokan sesuai dengan jenis dan sifatnya.

o Preparasi dan analisis terhadap sifat kimia, fisika dan kimia fisika serta

kandungan radiokimia

o Menyiapkan wadah drum, plastik, lembar identifikasi dan sarana lain yang

diperlukan

o Pewadahan dalam drum 60, 100, 200 liter atau tempat yang sesuai

o Pengepakan untuk memudahkan pengangkutan dan pengolahan

o Pengukuran dosis paparan radiasi

o Pemberian label identifikasi dan pengisian lembar formulir isian

o Pengeluaran dari hotcell

o Penempatan dalam kanister sehingga memenuhi kriteria keselamatan

pengangkutan

Sarana dan prasarana yang dipakai dalam kegiatan Praolah antara lain :

o Drum 60 liter / 100 liter

o Plastik pelapis bagian dalam drum

o Lembar identifikasi dan lembar isian

Page 21: agenda 21 ku

o Alat monitor radiasi

o Alat pengepakan

o Kanister

o Sarana keselamatan kerja

3. Pengolahan (treatment)

Pengolahan limbah radioaktif di PTLR menggunakan fasilitas utama Kompaktor,

Evaporator, Insenerator dan Unit Immobilisasi (lhat gambar dbawah).

Page 22: agenda 21 ku

Limbah cair organik dan limbah padat terbakar direduksi volumenya dengan cara

insenerasi. PTLR mempunyai satu unit insenerator dengan kapasitas pembakaran

limbah padat 50 kg/jam atau 20 liter limbah organik cair / jam beserta peralatan

sementasi abu dalam drum 100L. Limbah cair diolah dengan cara evaporasi untuk

mereduksi volume limbah. PTLR memiliki satu unit evaporator dengan kapasitas

olah 0,75 m3/jam dengan ratio pemekatan 50:1. Konsentrat hasil evaporasi

dikungkung dalam shell beton 950L dengan campuran semen. Bila limbah cair

bersifat korosif maka limbah diolah secara kimia (chemical treatment) sebelum

disementasi. Limbah padat termampatkan proses reduksi volumenya dilakukan

dengan cara kompaksi. PTLR mempunyai 1 unit kompaktor dengan kekuatan 600

kN, meja getar dan perangkat sementasi. Limbah padat dalam drum 100L

dimasukkan dalam drum 200L saat kompaksi. Dengan kuat tekan 600 kN kompaktor

PTLR mampu mereduksi 4-5 drum 100L dalam drum 200L. Setelah pengisian batu

koral, hasil kompaksi selanjutnya disementasi dalam drum 200L. Limbah padat tak

terbakar dan tak termampatkan pengolahannya dimasukkan secara langsung

dengan cara sementasi dalam shell beton 350L/950L. Proses imobilisasi atau proses

kondisioning dilakukan dengan menggunakan shell beton 350 liter, 950 liter, drum

beton 200 liter dan drum 200 liter dengan bahan matriks campuran semen basah.

Limbah padat aktivitas tinggi (LAT), limbah aktivitas sedang (LAS) dan limbah

aktivitas rendah (LAR) masing-masing diimobilisasi di dalam shell beton 350 liter,

950 liter, drum beton 200 liter dan drum 200 liter. Untuk menunjang kegiatan proses

pengolahan ini diperlukan suatu koordinasi kerja yang terpadu diantara tenaga yang

terdiri dari proses, penunjang sarana, keselamatan, laboratorium dan administrasi.

c. Penyimpanan Sementara

Penyimpanan dilakukan sebelum dan sesudah limbah diolah. PTLR memiliki 2

fasilitas penyimpanan, yaitu Interim Storage (IS) dan Penyimpanan Sementara

Limbah Aktivitas Tinggi (PSLAT).

Page 23: agenda 21 ku

Shell beton 950L disimpan di IS

PSLAT memiliki 2 bentuk; kolam dan sumuran. Drum 60/100L disimpan dalam lokasi

berbentuk sumuran. Fasilitas ini memiliki 20 buah sumur, dan masing-masing sumur

mampu menampung 6 buah drum 60/100L. Total kapasitas bentuk sumuran adalah

120 drum.

PSLAT

Kapasitas penyimpanan limbah P2PLR :

Penyimpanan Kapasitas

Interim Storage (IS) 1500 drum 200L

500 Shell 950L

PSLAT 20 Sumur = 7,2 m3

3 Kolam = 129,6 m3

Sarana yang diperlukan antara lain :

o Tempat penyimpanan sementara limbah aktivitas tinggi

o Transfer Cask Magnetik

o Peralatan trasportasi: truck, fork lift, crane, hand crane

o Crane / hand crane

o Sistem informasi managemen limbah

Page 24: agenda 21 ku

o Alat monitor radiasi

o Peralatan keselamatan kerja

o Dan sarana lain yang diperlukan

Untuk mengetahui kriteria limbah yang memenuhi kriteria keselamatan untuk

dikelola lebih lanjut maka dilakukan inspeksi dan pemantauan secara rutin selama

penyimpanan.

2.5. Pengelolaan Limbah Padat dan Cair

Limbah Padat dan Cair yang di maksdud pada bab ini meliputi limbah rumah

tangga atau limbah domestik dan limbah industri yang tidak beracun dan berbahaya

Pengelolaan Llimbah Padat dan cair dalam kerangka pembangunan yang

berkelanjutan mempunyai prinsip bahwa limbah tidak boleh terakumulasi di alam

sehingga mengganggu siklus materi dan nutrien, bahwa pembuangan limbah harus

di batasi pada tingkat yang tidak melebihi daya dukung lingkungan untuk menyerap

pencemaran dan sistem tertutup penggunaan materi seperti daur ulang dan

pengomposan harus dimaksimasi. Berdasarkan prinsip-prinsip tersebut, maka dapat

diidentifikasi empat komponen atau bidang program yang perlu dilaksanakan yaitu:

1. Minimasi limbah

minimasi limbah adalah upaya mengurangi volume, konsentrasi, toksisitas, dan

tingkat bahaya limbah yang berasal dari proses produksi, dengan jalan reduksi

pada sumbernya dan atau pemanfaatan limbah

Minimasi limbah dapat dilakukan dengan dua cara (Higgins 1989):

1. Reduksi limbah pada sumbernya (Source Reduction):

• Memperbaiki pelaksanaan house keeping

• Segregasi limbah

• Pemeliharaan peralatan (preventive maintenance)

• Pengelolaan inventaris (inventory management)

• Modifikasi atau substitusi bahan

• Pengaturan kondisi proses dan operasi yang baik

Page 25: agenda 21 ku

• Modifikasi proses atau alat

2. pemanfaatan limbah ( waste utilization ):

• penggunaan kembali (reuse)

• daur ulang (recycle)

• pengambilan kembali (recovery)

• pemulihan/pengkondisian kembali (recharge/reconditioning)

2. Maksimasi daur ulang dan pengomposan

Proses pengomposan (composting) adalah proses dekomposisi yang dilakukan oleh

mikroorganisme terhadap buangan organik yang biodegradable. Pengomposan dapat

dipercepat dengan mengatur faktor-faktor yang mempengaruhinya sehingga berada dalam

kondisi yang optimum untuk proses pengomposan. Secara umum, tujuan pengomposan

adalah:

Mengubah bahan organic yang biodegradable menjadi bahan yang secara biologi

bersifat stabil dan demikian mengurangi volume dan massanya.

b. Bila prosesnya pembuatan secara aerob, maka proses ini akan membunuh

bakteri pathogen telur serangga, dan mikroorganisme lain yang tidak tahan pada

temperature si atas temperature normal.

Memanfaatkan nutrient dalam buangan secara maksimal seperti nitrogen,

phosphor, potassium.

Menghasilkan produk yang dapat digunakan untuk memperbaiki sifat tanah.

Beberapa manfaat kompos dalam memperbaiki sifat tanah adalah:

Memperkaya bahan makanan untuk tanaman

Memperbesar daya ikat tanah berpasir

Memperbaiki struktur tanah berlempung

Mempertinggi kemampuan menyimpan air

Memperbaiki drinase dan porositas tanah

Menjaga suhu tanah agar stabil

Page 26: agenda 21 ku

Mempertinggi daya ikat tanah terhadap zat hara

Dapat meningkatkan pengaruh pupuk buatan.

Daur ulang (recycle) adalah upaya pemanfaatan limbah melalui pengolahan fisik

atau kimiawi untuk menghasilkan kualitas produk yang lebih tinggi (up cycle), sama

atau kualitas produk yang lebih rendah (down cycle).

3. Meningkatkan tingkat pelayanan

Persampahan

Permasalahan Yang Timbul Dalam Pengelolaan Persampahan

Permasalahan pengelolaan sampah di Indonesia telah sedemikian kompleks yang

melibatkan pelaku-pelaku utama pengelolaan sampah, yaitu:

1. Masyarakat : orang perorang maupun komunitas masyarakat

2. Pemerintah : Pemerintah dan pemerintah daerah

3. Pelaku Usaha : produsen, penjual, pedagang, jasa

Permasalahan-permasalahan tersebut saling terkait sehingga memerlukan pendekatan

komprehensif dan melibatkan semua pelaku utamanya. Oleh karena itu, untuk mengatasi

permasalahan tersebut sudah saatnya disusun suatu Peraturan Perundang-undangan

Pengelolaan Sampah yang menjadi dasar hukum peraturan-peraturan teknis di bidang

pengelolaan sampah serta menjadi dasar tindak pengelolaan sampah yang mengikat

masyarakat, baik orang perorang maupun komunitas, pemerintah, dan Pelaku Usaha. (RUU

Pengelolaan Sampah).

Kebijakan tentang sampah Kebijakan Nasional Pengelolaan Limbah Padat Dan Cair

(AGENDA 21) Kebijakan nasional dalam penanganan dan pengelolaan limbah padat dan

cair mengacu pada Agenda 21 sebagai berikut.

Bidang Program A - Minimasi LimbahPeriode 1998 – 2003 Menetapkan minimasi limbah

sebagai salah satu tujuan utama pengelolaan limbah Menyusun dan menetapkan target

untuk manimasi limbah pada sector industrilkomersil, pengemasan, dan rumah tangga

Mengurangi dan/atau memusnahkan limbah yang masih perlu dibuang Meningkatkan

kesadaran dan peranserta masyarakat dalam usaha minimasi limbah Periode 2003 – 2020

Melaksanakan dan mencapai target minimasi limbah

Page 27: agenda 21 ku

Melaksanakan program-program yang dicanangkan untuk merubah perilaku konsumsi

masyarakat luas secara fundamental guna mencapai usaha minimasi limbah

Bidang Program B - Maksimasi Daur Ulang dan Pengomposan Limbah yang Ramah

Lingkungan Periode 1998 – 2003 Memperkuat komitmen pemerintah, khususnya

departemen terkait seperti Departemen PU untuk mengikutsertakan daur ulang dan

pengomposan dalam strategi pengelolaan limbah Tercapainya tingkat daur ulang dan

pengomposan yang berarti di kota-kota terpilih. Beberapa perkiraan akan tingkat daur lang

dan pengomposan yang layak secara teknologi maupun ekonomis memberikan angka

masing - masing 15 - 25 % dan 20 - 40 % dari total sampah Periode 2003 – 2020

Tercapainya tingkat daur ulang dan pengomposan yang optimum pada tahun 2020

Bidang Program C - Peningkatan Tingkat Layanan Umum Jangka Panjang Terlayaninya

seluruh masyarakat dengan system yang akrab lingkungan Periode 1998 – 2003

Meningkatkan tingkat pelayanan umum sampah menjadi 70 - 80 % untuk kota sedang dan

kecil serta 90 - 100 % untuk kota metropolitan dan besar Meningkatkan pelayanan umum

sanitasi menjadi 85 - 95 % untuk kota metropolitan, kota besar, dan kota sedang serta 75 %

untuk kota kecil dan pedesaan Periode 2003 – 2020 Mencapai tingkat pelayanan umum

kepada seluruh masyarakat, baik untuk sampah, limbah cair, maupun tinja untuk seluruh

jenis pemukiman

Bidang Program D - Promosi Pembuangan dan Pengolahan Limbah yang Akrab

Lingkungan Periode 1998 – 2003 Untuk limbah industri, pada tahun 2005 semua limbah

harus sudah diolah sampai ke tingkat yang memenuhi baku mutu limbah Untuk

persampahan, semua sampah harus dibuang dengan cara yang akrab lingkungan, TPA

yang ada sudah harus mulai diperbaiki kondisi dan system operasinya. Periode 2003 - 2020

Semua limbah padat, limbah cair, maupun limbah industri harus diolab dan dibuang

sedemikian rupa sehingga memenuhi baku mutu limbah dan baku mutu lingkungan, dengan

memperhatikan daya dukung lingkungan dari semua badan penerima, baik air, tanah,

maupun udara.

4. Meningkatkan pengolahan dan pembuangan limbah yang ramah lingkungan

Agar mendapatkan hasil yang efektif, keempat program area ini perlu direncanakan

dan dilaksanakan secara terintegrasi dan dengan menggunakan instrumen ekonomi.

2.4.4 Sektor Pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA)

(i) Konservasi Keanekaragaman Hayati

Page 28: agenda 21 ku

Keanekaragaman hayati disebut juga “Biodiversitas”. Keanekaragaman atau keberagaman

dari makhluk hidup dapat terjadi karena akibat adanya perbedaan warna, ukuran, bentuk,

jumlah, tekstur, penampilan dan sifat-sifat lainnya. Sedangkan keanekaragaman dari makhluk

hidup dapat terlihat dengan adanya persamaan ciri antara makhluk hidup. Agenda 21

Indonesia program konservasi keanekaragaman hayati fokus pada pengelolaan kekayaan

hayati indonesia secara berkelanjutan yang meliputi ekosistem darat dan laut, kawasan

agroekosistem dan kawasan produksi, serta konservasi ex-situ. Usaha-usaha dalam

pencapaiannya dilakukan melalui 5 bidang Program, yaitu:

1. Meningkatkan pembentukan sistem kawasan lindung berikut pengelolaan secara

efektif

2. Melestarikan keanekaragaman hayati pada kawasan argoekosistem dan kawasan non-

lindung/produksi

3. Pelestarian keanekaragaman hayati secara ex-situ

4. Melindungi sistem pengetahuan masyarakat tradisional serta meningkatkan seluruh

sistem pengetahuan yang ada tentang konservasi dan keanekaragaman hayati

5. Mengembangkan dan mempertahankan sistem pengelolaan keanekaragaman hayati

berkelanjutan, termasuk pembagian keuntungan yang adil.

Indonesia merupakan salah satu sumber keanekaragaman hayati terbesar di dunia dan

sering kali dikenal sebagai negara mega biodiversity. Menurut WCMC (1994) Indonesia

memiliki 10 persen spesies tanaman bunga, 12 persen spesies mamalia dan 17 persen spesies

burung dan sekitar 47 jenis ekosistem. Sebagian besar penduduk Indonesia tergantung pada

keanekaragaman hayati untuk kelangsungan hidupnya. Berdasarkan pengetahuan tradisional

mereka, sejumlah masyarakat di Indonesia memanfaatkan lebih dari 6000 spesies tanaman

dan hewan setiap harinya (Bappenas, 1993).

Indonesia juga memiliki daftar terpanjang spesies flora dan fauna yang terancam

punah dan menghadapi penipisan keanekaragaman hayati yang serius. Sekitar 20-70 persen

jenis habitat asli telah lenyap. Setiap harinya diperkirakan terdapat satu species yang punah,

sementara erosi genetika terjadi tanpa tercatat. Penyebab kerusakan keanekaragaman ini

diantaranya adalah kebijakan dan strategi ekonomi yang tidak sesuai, lemahnya penegakan

hukum, eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan, pengenalan spesies asing dan

kebijakan pertanian yang tidak sesuai (Bappenas, 1993). Akar permasalahannya adalah

kebijakan pembangunan di Indonesia yang selama 40 dekade belakangan ini belum

Page 29: agenda 21 ku

menganggap keanekaragaman hayati sebagai aset untuk dikelola secara berkelanjutan. Hal ini

jelas terlihat pada kebijakan yang mengatur pembangunan nasional serta sektoral seperti

kehutanan dan pertanian. Meskipun pada kenyataannya aset negara sesungguhnya adalah

sumber keanekaragaman hayati, pembangunan nasional lebih memberikan penekanan pada

industrialisasi. Di sektor pertanian, praktek monokultur khususnya tanaman pangan telah

mengakibatkan erosi genetika dan spesies. Di sektor kehutanan penekanan pada pengambilan

kayu dan perkebunan kayu dengan penanaman sedikit spesies, bahkan seringkali spesies

asing, telah mengakibatkan degradasi ekosistem maupun erosi spesies.

Pemerintah Indonesia telah melakukan beberapa usaha untuk melindungi dan

mengelola keanekaragaman hayati dengan berkelanjutan. Salah satu usaha adalah dengan

menyisihkan sebagian kawasan hutan untuk tujuan konservasi. Indonesia memiliki 387

kawasan lindung/konservasi, meliputi 357 unit (sekitar 17,8 juta hektar) di daratan dan 30

unit di kawasan laut. Namun pengelolaan kawasan lindung, khususnya dalam hal menjamin

partisipasi masyarakat, penegakan hukum dan alokasi anggaran masih kurang dan oleh

karena itu beberapa dari kawasan lindung di Indonesia terancam oleh perburuan,

penangkapan ikan, penebangan pohon dan pemungutan sumber daya hutan secara ilegal, dan

konflik dengan masyarakat lokal. Usaha konservasi eks-situ juga telah dilakukan melalui

kebun raya dan koleksi plasma nuftah di berbagai lembaga penelitian publik seperti Pusat

Penelitian Biologi yang berada di bawah LIPI. Komite Nasional Konservasi Plasma Nuftah

(KNKPN) telah dibentuk untuk memfasilitasi konservasi sumber daya genetika melakui

koleksi dan penyadaran masyarakat.

Di awal tahun 1990an, KMNLH mengembangkan Strategi Nasional Keanekaragaman

Hayati yang diikuti oleh kompilasi Rencana Aksi Keanekaragaman Hayati oleh Bappenas di

tahun 1993. Kedua dokumen tersebut dimaksudkan untuk digunakan sebagai petunjuk

pengelolaan keanekaragaman hayati oleh berbagai sektor di masyarakat. Namun demikian,

upaya diseminasi kedua dokumen tersebut masih kurang dilakukan. Rencana Aksi

Keanekaragaman Hayati, misalnya, ditulis dalam Bahasa Inggris dan banyak lembaga

pemerintah dan kelompok-kelompok masyarakat belum mengetahui keberadaannya. Suatu

proses untuk memperbaharui dan merevisi Rencana Aksi Keanekaragaman Hayati sedang

dilakukan melalui Rencana Aksi dan Strategi Keanekaragaman Hayati Indonesia (Indonesian

Biodiversity Strategy dan Action Plan, IBSAP), oleh Bappenas dengan bantuan dari GEF.

Page 30: agenda 21 ku

IBSAP akan ditulis dalam Bahasa Indonesia dan akan mencoba untuk melibatkan partisipasi

dan konsultasi yang lebih luas.

Indonesia juga mengembangkan dua peraturan dasar berkaitan dengan pengelolaan

keanekaragaman hayati. Yang pertama adalah UU No. 5/1990 mengenai Konservasi Sumber

Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Yang kedua adalah UU No. 5/1994 mengenai

Ratifikasi Konvensi PBB tentang Keanekaragaman Hayati (United Nations Convention of

Biodiversity, CBD). Sebagai tambahan, Indonesia juga telah meratifikasi beberapa konvensi

yang terkait seperti CITES dan Konvensi Ramsar. Indonesia juga telah menandatangani

Protokol Cartagena tentang Keamanan Hayati. Namun demikian, seperti halnya banyak

undang-undang di Indonesia, belum ada peraturan pelaksanaan yang diterbitkan membuat

penegakan hukum menjadi sulit. Pengaturan kelembagaan untuk pengelolaan

keanekaragaman hayati hampir-hampir tidak ada, terutama karena hal ini menjadi tanggung

jawab berbagai departemen. KMLH mempunyai peran dalam kordinasi kebijakan dan

merupakan focal point untuk CBD. Departemen Kehutanan bertanggung jawab terhadap

kawasan-kawasan konservasi, sementara Departemen Pertanian bertanggung jawab terhadap

keanekaragaman hayati pertanian dan pengenalan varietas baru bibit yang mungkin

berdampak terhadap sumber daya genetika, misalnya bibit yang dimodifikasi secara genetik.

Departeman Kelautan dan Perikanan yang baru dibentuk bertanggung jawab terhadap

ekosistem pantai dan laut. Hal ini telah menyebabkan sulitnya kordinasi program dan strategi,

dengan kepentingan dan urusan masing-masing sektor. Usaha-usaha penelitian dan

pengembangan manajemen keanekaragaman hayati masih kurang akibat tidak memadainya

pendanaan dan sumber daya manusia. Hal ini telah diatasi, sampai batas-batas tertentu,

melalui kerjasama bilateral dan multilateral. Contohnya, GEF dan Bank Dunia menyediakan

dana untuk proyek Inventarisasi Keanekaragaman Hayati Nasional dan Manajemen Terumbu

Karang. Proyek pertama ditujukan untuk menyediakan informasi tentang status dan potensi

keanekaragaman hayati Indonesia, sedangkan proyek kedua ditujukan secara khusus pada

manajemen terumbu karang. Pada kenyataannya, aksi dan penelitian manajemen

keanekaragaman hayati telah banyak mendapatkan dukungan dari masyarakat internasional,

tidak hanya untuk penelitian tetapi juga program-program manajemen keanekaragaman

hayati. Sayang sekali, proyek-proyek tersebut belum direncanakan dan dilaksanakan dengan

baik, seringkali tanpa partisipasi publik. Proyek Inventarisasi Keanekaragaman Hayati,

misalnya, telah gagal untuk menyediakan informasi yang mudah digunakan kepada publik

mengenai kekayaan hayati Indonesia. Masalah lain adalah kurangnya partisipasi masyarakat

Page 31: agenda 21 ku

dalam manajemen keanekaragaman hayati. Hal ini disebabkan terutama oleh kenyataan

bahwa peraturan pemerintah sering mengabaikan hak adat atas sumber daya nasional dan

pengetahuan tradisional mengenai sumber daya hayati. Hal ini telah mengakibatkan erosi

baik sumber daya hayati maupun pengetahuan hayati itu sendiri, meskipun saat ini telah

diakui secara luas bahwa pengetahuan tradisional sangat berharga untuk pengembangan

produk-produk hayati baru khususnya obat-obatan.

Walaupun banyak menghadapi masalah, perkembangan menjanjikan tengah

berlangsung di antara masyarakat sipil dan kelompok-kelompok masyarakat, terutama dalam

hal pemberdayaan masyarakat dan hidupnya kembali pengetahuan dan sistem tradisional

tentang pengelolaan keanekaragaman hayati. Yayasan Keanekaragaman Hayati (Kehati),

suatu lembaga donor nasional dengan dana dari USAID, telah memfasilitasi banyak proyek

konservasi keanekaragaman hayati berbasis masyarakat melalui jaringan yang dibentuknya

dengan ornop dan kelompok-kelompok masyarakat. Demikian pula GEF - Small Grants

Program juga telah mendukung usaha-usaha masyarakat berskala kecil. Beberapa ornop saat

ini aktif terlibat dalam pengelolaan keanekaragaman hayati baik melalui kegiatan informasi

dan kebijakan atau pemberdayaan masyarakat. Jaringan untuk Pengetahuan lokal (the

Network for Traditional Knowledge), misalnya, memfasilitasi masyarakat untuk

menghidupkan lagi pengetahuan mereka tentang keanekaragaman hayati. Namun masih

banyak yang harus dikerjakan dalam rangka tercapainya pengelolaan keanekaragaman hayati

yang berkelanjutan. Mengacu pada kondisi keanekaragaman hayati yang saat ini menghadapi

ancaman yang cukup serius karena menyusutnya habitat alami dan meningkatnya aktivitas

perburuan dan perdagangan liar sejumlah satwa, maka agenda pelestarian keanekaragaman

hayati yang perlu dilakukan sebagai berikut:

Diperlukan kajian dan pemantauan untuk menentukan kembali jenis spesies yang saat

ini terancam punah agar perundang-undangan yang ada dapat diperbarui. Faktor-

faktor yang mengancam keanekaragaman hayati selama ini semakin banyak sehingga

diperkirakan terjadi perubahan status spesies yang selama ini dianggap tidak terancam

punah maupun yang sudah ditetapkan sebagai spesies dilindungi.

Pengelolaan keanekaragaman hayati memerlukan penguatan akan pemahaman, peran

dan tanggung jawab pemerintah daerah, khususnya di daerah-daerah perbatasan,

sehingga perlu upaya peningkatan kapasitas pemerintah daerah. Pemerintah perlu

mendukung beberapa kepala daerahkabupaten yang berkomitmen menetapkan

daerahnya sebagai kabupaten konservasi. Pemerintah provinsi dan pemerintah pusat

Page 32: agenda 21 ku

perlu memantau perkembangannya dengan menggunakan seperangkat kriteria dan

indikator, termasuk landasan hukumnya, agar dapat dikembangkan insentif ekonomi

di masa yang akan datang.

Satu masalah yang sangat penting adalah kecenderungan global yang berkaitan

dengan pengelolaan keanekaragaman hayati. Di tingkat internasional, dengan kemajuan

bioteknologi dan peraturan paten yang berkaitan dengan perdagangan (seperti Aspek

Perdagangan dari Hak-hak Kepemilikan Intelektual – Trade Related Aspects of Intellectual

Property Rights, TRIPS), pengelolaan keanekaragaman hayati tidak lagi hanya merupakan

isu lingkungan. Isu politik ekonomi dan pertanyaan tentang kepemilikan, akses, penggunakan

dan pembagian keuntungan serta potensi dampak dari bioteknologi baru harus diperhatikan.

Pengelolaan keanekaragaman hayati melibatkan tidak hanya materi hayati tapi juga

pengetahuan hayati, bioteknologi, kebijakan dan kelembagaan. Indonesia harus

memperhatikan isu penting ini bila ingin mempunyai peran dalam pembangunan global.

Adapun rekomendasi yang dapat dilakukan dalam perbaikan pelaksanaan agenda 21,

pengelolaan keanekaragaman hayati adalah :

Pemerintah harus mereformasi kebijakan, memperkuat lembaga-lembaga dan

memfasilitasi penggunaan teknologi yang tepat untuk pengelolaan keanekaragaman

hayati, dengan mempertimbangkan kecenderungan global dalam pengembangan

bioteknologi, komoditas berbasis sumber daya hayati dan peraturan global lainnya.

Pemerintah harus mengakui dan memberikan perlindungan untuk pengetahuan

tradisional mengenai keanekaragaman hayati serta menciptakan mekanisme untuk

partisipasi masyarakat dalam pengelolaan keanekaragaman hayati, terutama yang

didasarkan pada pembagian keuntungan yang adil.

Memperbaiki kesadaran publik dan juga akses informasi tentang isu-isu

keanekaragaman hayati sebagai bagian dari manajemen keanekaragaman hayati.

Menyelesaikan proses yang tengah berlangsung untuk mengkompilasi Rencana Aksi

dan Strategi Keanekaragaman Hayati Indonesia, dengan memperhatikan rekomendasi-

rekomendasi di atas, dan melaksanakan hasil akhirnya.

Meratifikasi Protokol Cartagena mengenai Keamanan Hayati.

(ii) Pengembangan Bioteknologi

Page 33: agenda 21 ku

Bioteknologi adalah cabang ilmu yang mempelajari pemanfaatan makhluk hidup (bakteri,

fungi, virus, dan lain-lain) maupun produk dari makhluk hidup (enzim, alkohol) dalam proses

produksi untuk menghasilkan barang dan jasa. Dewasa ini, perkembangan bioteknologi tidak

hanya didasari pada biologi semata, tetapi juga pada ilmu-ilmu terapan dan murni lain, seperti

biokimia, komputer, biologi molekular, mikrobiologi, genetika, kimia, matematika, dan lain

sebagainya. Dengan kata lain, bioteknologi adalah ilmu terapan yang menggabungkan

berbagai cabang ilmu dalam proses produksi barang dan jasa.

Agenda 21 program pengembangan bioteknologi difokuskan pada pemecahan masalah

pertanian, kesehatan, dan lingkungan yang merupakan prioritas di indonesia dengan

pendekatan bioteknologi yang dilaksanakan melalui lima bidang program, yaitu :

1. Bioteknologi pertanian untuk meningkatkan produksi pangan, pakan, dan bahan-

bahan terbarukan

2. Bioteknologi kedokteran untuk peningkatan derajat kesehatan dan kualitas hidup serta

perbaikan lingkungan

3. Bioteknologi lingkungan

4. Pengembangan prasarana bioteknologi

5. Pedoman kemananan biologis

(iii) Pengelolaan sumber daya terpadu wilayah pesisir dan pantai

Indonesia adalah negara yang berbentuk kepulauan dengan laut seluas 3,1 juta km2

dan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) seluas 2,7 juta km2. Dengan sekitar 17.508 pulau dan

garis pantai sepanjang 81.000 km, Indonesia dikenal sebagai negara mega biodiversity dalam

hal genetik, spesies, serta ekosistem laut dan pantai. Sumber daya laut dan pantai Indonesia

mempunyai peran yang penting dalam ekonomi, memberi kontribusi sebesar Rp. 43,3 trilyun

atau sekitar 24 persen GDP di tahun 1990, dan memberi lapangan pekerjaan untuk 16 juta

orang.

Sumber daya pesisir dan laut adalah cadangan sumber daya alam sebagai modal

pembangunan di masa yang akan datang. Namun telah terjadi kerusakan pesisir yang

signifikan di beberapa tempat dan ada praktek-praktek eksploitasi yang kurang berwawasan

lingkungan sehingga mengancam keberlanjutan fungsi lingkungan hidup dan daya dukung

sumber daya pesisir dan laut. Untuk itu perlu dikembangkan agenda yang berkaitan dengan

Page 34: agenda 21 ku

pendataan sumber daya pesisir dan laut dan degradasinya, serta aksesibilitas informasinya.

Dengan data dan informasi yang memadai diharapkan akan diketahui seberapa mendesaknya

upaya konservasi sebagai pencadangan sumber daya bagi pembangunan di masa depan. Data

mengenai alokasi ruang bagi konservasi pesisir merupakan kriteria bagi penyusunan rencana

tata ruang. Rencana tata ruang itu

menjadi dasar penentuan agenda pembangunan wilayah pesisir yang berkelanjutan. Selain itu,

juga perlu agenda yang bertujuan meningkatkan produktifitas pesisir yang dipengaruhi oleh

kondisi ekologinya. Agenda itu antara lain upaya pencegahan dan penanggulangan perusakan

serta pemulihan lingkungan, pencegahan pencemaran air laut serta pemulihan kualitasnya.

Kondisi pesisir juga dipengaruhi oleh sumber-sumber pencemaran dari daratan, termasuk

yang melalui aliran air sungai, maka perlu mengendalikan sumber-sumber pencemaran di

daratan. Kemungkinan pencemaran akibat kecelakaaan transportasi laut, khususnya

transportasi yang mengangkut bahan berbahaya beracun (B3), memerlukan agenda

contingency plan.

Selain itu, sumber daya laut dan pantai di Indonesia juga berada di bawah ancaman

serius, berkisar dari penurunan persediaan ikan yang serius akibat penangkapan ikan yang

berlebihan hingga tingkat polusi pantai yang parah, hilangnya kawasan-kawasan utama

habitat dan ekosistem pantai, dan kerusakan besar-besaran terumbu karang. Di seluruh

Indonesia, sekitar 58 persen dari total batas penangkapan ikan maksimum yang berkelanjutan

(maximum sustainable yield, MSY) dieksploitasi. Persediaan ikan sudah sangat menipis di

beberapa kawasan, termasuk di dalam ZEE. Penangkapan ikan tidak hanya dilakukan oleh

nelayan Indonesia, namun juga oleh nelayan asing. Penangkapan ikan ilegal oleh nelayan

asing menyebabkan kerugian sebesar US$1,5 hingga 4 milyar per tahun. Berkaitan dengan

terumbu karang, kajian terhadap bentang terumbu karang hidup, diperkirakan hanya sekitar

6,2 persen dari seluruh terumbu karang yang masih dalam keadaan sangat baik, 23,7 persen

dalam keadaan baik, 28,3 persen cukup baik dan 41,8 persen rusak. Umumnya, kerusakan

terumbu karang disebabkan oleh praktek-praktek penangkapan ikan yang merusak dengan

menggunakan bahan peledak atau racun (sianida), dan juga kegiatan penambangan karang,

reklamasi pantai, kegiatan wisata, dan sedimentasi akibat dari meningkatnya erosi lapisan

atas tanah. Situasi serupa terjadi pada mangrove. Antara tahun 1982 dan 1993, terjadi

penurunan luas hutan mangrove dari 5,2 juta hektar menjadi sekitar 2,5 juta hektar akibat dari

Page 35: agenda 21 ku

intensifikasi konversi mangrove menjadi pertambakan, kawasan perindustrian dan

pemukiman.

Masalah-masalah di atas sebagian disebabkan oleh tidak adanya peraturan yang jelas

mengenai rencana tata ruang pantai dan laut dan kemiskinan masyarakat yang tinggal di

pantai, yang merupakan penduduk termiskin di Indonesia. Pembangunan kawasan laut dan

pantai belum direncanakan dengan baik dan jarang melibatkan masyarakat lokal. Lebih

lanjut, banyaknya sektor yang terlibat atau memiliki kepentingan dalam pemanfaatan laut dan

pantai, yaitu perikanan, pertambangan dan energi, perhubungan, industri dan pariwisata.

Setiap sektor menyusun rencananya masing-masing sesuai dengan kebijakan dan fungsinya,

tanpa kordinasi antar sektor dan partisipasi pihak-pihak lain. Sementara itu, sistem

pengelolaan sumber daya laut dan pantai berbasis masyarakat belum cukup, bahkan tidak

diakomodasi dalam kebijakan dan program pemerintah yang berkaitan dengan manajemen

sumber daya laut dan pantai. Untuk mengatasi masalah tersebut, sejumlah proyek dan

kebijakan telah diambil. Diantaranya, Perencanaan dan Evaluasi Sumber Daya Laut (Marine

Resources Evaluation and Planning, MREP),dan Manajemen dan Rehabilitasi Terumbu

Karang (Coral Reef Rehabilitation and Managemen).

Indonesia telah meratifikasi Konvensi PBB mengenai Hukum Laut di tahun 1982

melalui UU No.17 tahun 1985. Pemerintah juga mengeluarkan beberapa peraturan

perundangan seperti UU No.6/1996 mengenai Perairan Indonesia; UU No.24/1992 mengenai

Rencana Tata Ruang; UU No. 9/1985 mengenai Perikanan, yang juga menetapkan

pemantauan terhadap sumber daya terumbu karang dan lain-lain. Penegakan hukum, seperti

halnya dengan yang terjadi di banyak sektor lain, masih merupakan masalah besar, sebagian

juga disebabkan oleh tidak adanya peraturan pelaksana. Untuk mengkordinasi kegiatan dalam

pengelolaan laut dan pantai, pemerintah telah membentuk Departemen Kelautan dan

Perikanan. Departemen ini memfokuskan kegiatannya pada empat program utama, yaitu

pemanfaatan yang berkelanjutan, konservasi, mempromosikan partisipasi publik dan

merencanakan tata ruang. Masih terlalu awal untuk memperkirakan keberhasilan departemen

ini dalam memajukan pembangunan laut dan pantai yang berkelanjutan, maka langkah-

langkah perlu diambil untuk mencapai tujuan tersebut.

Adapun tidakan rekomendasi yang dapat diusulkan untuk perbaikan pelaksanaan

agenda 21 pengelolaan sumber daya terpadu wilayah pesisir dan pantai adalah :

Memberlakukan peraturan perundangan untuk konservasi dan perikanan.

Page 36: agenda 21 ku

Mempromosikan rencana tata ruang terinci berdasarkan pertimbangan aspek sosial,

ekonomi dan ekologis dengan melibatkan masyarakat lokal, khususnya masyarakat

miskin.

Mempromosikan pengelolaan laut dan pantai terpadu melalui penguatan kapasitas, dan

perbaikan akses terhadap teknologi-teknololgi survei dan pemantauan.

Memperkenalkan kembali praktek-praktek perlindungan perikanan tradisional yang

dapat diadaptasi.

Mengembangkan pembangunan sumber daya laut dan pantai partisipatif yaitu yang

transparan, dapat dipertanggungjawabkan, efektif dan dilakukan sesuai peraturan.

Mengembangkan strategi pro masyarakat miskin untuk mencapai pertumbuhan

ekonomi yang berkelanjutan bagi para nelayan.

Mendesak masyarakat internasional, organisasi internasional dan lembaga-lembaga

khusus untuk mengambil tindakan-tindakan konkrit

2.5. Kendala-kendala utama dalam pelaksanaan agenda 21 Indonesia

Seperti halnya negara-negara lain, terutama negara sedang berkembang, Indonesia

menghadapi banyak kendala dalam melaksanakan Agenda 21 dan pembangunan

berkelanjutan nasional. Kendala-kendala ini perlu diidentifikasi sehingga dapat

diperhatikan dalam perencanaan pembangunan di masa yang akan datang. Bagian berikut

ini menjabarkan kendala-kendala nasional dan internasional dalam pelaksanaan

pembangunan berkelanjutan di Indonesia.

2.5.1. Kendala Nasional

Kendala utama dalam pelaksanaan pembangunan berkelanjutan di Indonesia adalah tidak

adanya pemerintahan yang akuntabel/dapat dipertanggunggugatkan, representatif dan

demokratis, atau secara keseluruhan disebut sebagai pemerintahan yang baik. Prasyarat

untuk pembangunan berkelanjutan adalah pemerintah yang demokratis dimana terdapat

mekanisme pemeriksaan dan pengawasan (checks and balances). Atmosfer politik dimana

warga negara dapat dengan bebas terlibat dalam dialog untuk menentukan kebijakan

merupakan hal yang sangat penting, tapi tidak ada sebelum tahun 1998. Mengikuti

perubahan kepemimpinan politik, terjadi proses demokratisasi, sebagai contoh adalah

dicabutnya RUU yang membatasi kebebasan mengemukakan pendapat dan berserikat.

Kurangnya konsultasi publik ditambah dengan penekanan pada peningkatan pertumbuhan

ekonomi menghasilkan kebijakan-kebijakan yang tidak mendukung pembangunan

Page 37: agenda 21 ku

berkelanjutan. Kendala-kendala lain yang dijabarkan di bawah ini masih berkaitan dengan

isu pemerintahan diantaranya :

a. Tidak adanya kesadaran dan platform bersama Pada umumnya tidak ada kesadaran baik

mengenai Agenda 21 maupun pembangunan berkelanjutan di antara pegawai pemerintah,

masyarakat dan pengusaha, bahkan akademisi disebabkan oleh kurangnya usaha untuk

meningkatkan kesadaran masyarakat umum mengenai pentingnya Agenda 21. Sebagai

akibatnya Agenda 21 Nasional, yang memberikan arahan dalam merencanakan

pembangunan berkelanjutan di tingkat nasional, lokal dan sektoral, belum sepenuhnya

dilaksanakan. Pemerintah belum menyusun kebijakan-kebijakan yang terintegrasi, apalagi

memfasilitasi pelaksanaan pembangunan berkelanjutan. Kurangnya kesadaran bersama

mengenai apa yang dimaksud dengan pembangunan berkelanjutan dan bagaimana cara

untuk melaksanakannya.

b. Pendekatan pembangunan yang tersentralisasi dan terfragmentasi. Sebagian besar

keputusan penting ditentukan oleh pemerintah pusat, sehingga hanya menyisakan ruang

yang sangat sempit bagi pemerintah daerah dalam merencanakan pembangunan

berdasarkan potensi dan kebutuhan lokal. Meskipun Indonesia telah meratifikasi berbagai

perjanjian lingkungan dan bahkan telah menyusun undang-undangnya, namun

implementasinya tidak efektif karena dua alasan: pertama, undang-undang sektoral belum

memperhatikan peraturan-peraturan lingkungan; kedua, seringkali undang-undang

lingkungan tidak diikuti oleh petunjuk pelaksanaannya sehingga penegakan dan

pematuhannya masih lemah

c. Kurangnya kemauan politik, kapasitas lembaga dan penegakan hokum. Proses pengambilan

keputusan dalam struktur pemerintah belum sepenuhnya transparan dan sering tidak

melibatkan partisipasi pihak-pihak terkait. Keadaan diperburuk dengan kurangnya akses

untuk mendapatkan informasi.

d. Tidak tersedianya ruang untuk keterlibatan kelompok-kelompok utama. proses

pembangunan di Indonesia dilakukan dari atas ke bawah (top-down) dengan

mengesampingkan partisipasi kelompok-kelompok utama. Hal ini merupakan salah satu

penyebab bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia tidak pernah mendengar mengenai

Agenda 21 atau pembangunan berkelanjutan dan juga komitmen-komitmen internasional

yang telah dibuat pemerintah. Hal ini juga berarti pemerintah belum memanfaatkan

potensi kelompok-kelompok utama untuk menjamin pelaksanaan pembangunan

berkelanjutan.

Page 38: agenda 21 ku

e. Tidak mencukupinya sumber daya finansial, teknologi dan manusia. pendanaan untuk

pembangunan berkelanjutan sudah terbatas karena alokasi anggaran yang tidak tepat dan

relatif tingginya tingkat pembayaran hutang. Situasi memburuk sejak terjadinya krisis.

Ketergantungan Indonesia pada hutang dan bantuan dari lembaga finansial internasional

dan kreditor/donor bilateral relatif tinggi. Sejumlah besar dari dana yang diperoleh

dipergunakan untuk mensubsidi sektor perbankan yang sakit sementara negara tidak

memiliki rencana pemulihan ekonomi yang komprehensif. Kendala finansial telah

menimbulkan masalah dalam pembangunan sumber daya manusia. Alokasi anggaran

yang rendah untuk pendidikan dan kemiskinan merupakan faktor yang menyebabkan

tidak mencukupinya sumber daya manusia untuk membangun.

f. Kendala-kendala teknologi disebabkan oleh tidak adanya perencanaan dan insentif yang

layak di tingkat nasional dan tidak adanya transfer teknologi di tingkat internasional.

Perkembangan teknologi dalam negeri, terutama untuk pembangunan berkelanjutan,

sangat lemah karena alokasi anggaran yang rendah untuk penelitan dan pengembangan di

sektor publik dan swasta.

2.5.2 Kendala Internasional.

Kurangnya realisasi komitmen yang sudah dibuat masyarakat internasional terutama

negara-negara maju telah, sampai pada tingkat tertentu, menghambat pembangunan

berkelanjutan di Indonesia. Demikian juga, negara-negara maju belum memenuhi komitmen

untuk menyediakan akses terhadap teknologi yang ramah lingkungan dan hasil-hasil

penelitian ilmiah kepada negara-negara berkembang. wacana internasional mengenai

pembangunan berkelanjutan agaknya telah dikalahkan oleh agenda liberalisasi ekonomi,

terutama liberalisasi perdagangan. Banyak peraturan perdagangan multilateral, terutama pada

Organisasi Perdagangan Internasional (WTO), yang tidak sejalan dengan peraturan-peraturan

kelestarian lingkungan dan sosial yang sudah ada.

BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

Daftar Pustaka

- Anonim. Dari Krisis Menuju Keberlanjutan, Meniti Jalan Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia Pengkajian Nasional terhadap Pelaksanaan Agenda 21 Indonesia. www.pdf.egine.com/agenda_21.pdf. [Online] 22 April 2009.

- Anonim. 2009. http://treest.files.wordpress.com/2009/03/biotechnology [Online] 28 April 2009.

Page 39: agenda 21 ku