Download rtf - Akta Ikrar Wakaf - Furqon

Transcript

Akta Wakaf

1

AKTA IKRAR WAKAF DALAM KITAB-KITAB FIQIH DAN UNDANG-UNDANG WAKAFPendahuluanWakaf sebagai salah satu filantropi Islam pada dekade terakhir ini telah mendapat begitu banyak perhatian. Diyakini bahwa apabila wakaf diberdayakan dan dikelola secara profesional akan dapat memberikan kontribusi yang signifikan dalam peningkatan kualitas dan taraf hidup umat Islam. Hingganya pada saat sekarang ini pemberdayaan harta wakaf dalam bentuk yang produktif serta pembentukan nazhir/ pengelola yang profesional acap kali disuarakan untuk memperoleh hasil dari harta wakaf tersebut secara optimal. Aspek kepastian hukum yang berkenaan dengan harta wakaf juga harus menjadi perhatian yang serius dalam pengelolaan harta wakaf. Tujuan utama dari aspek ini adalah untuk untuk memberikan perlindungan terhadap harta wakaf agar terjauh dari upaya penyerobotan sehingga eksistensinya tetap utuh dan lestari sesuai dengan tujuan wakaf.Kepastian hukum dari suatu akad perwakafan adalah suatu keniscayaan sebagai jaminan bahwa telah terjadi suatu peristiwa hukum perwakafan. Di antara wujud dari kepastian hukum itu adalah adanya bukti pencatatan (bukti tertulis) dalam sebuah akta otentik. Dalam konsepsi al-Quran, ditemukan anjuran untuk melakukan pencatatan terhadap akad transaksi muamalah yang dilakukan . Dalam surat al-Baqarah 282 Allah SWT berfirman: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis diantara kamu menuliskannya dengan benar ...... Tujuan dari pencatatan transaksi ini agar menjadi bukti tertulis yang dapat menjamin kepastian hukum transaksi tersebut apabila dikemudian hari salah satu pihak melakukan penyangkalan ataupun penyelewengan terhadap ketetapan yang telah disepakati. Akan tetapi dalam realita kehidupan masyarakat ditemukan banyaknya perbuatan hukum wakaf pada masa lalu yang tidak memiliki bukti tertulis. Berdasarkan data terakhir dari Departemen Agama, di Indonesia tersebar tanah wakaf di 404.845 lokasi dengan luas sekitar 1.566.672.406 meter persegi. Dari jumlah tersebut 75% di antaranya sudah memiliki sertifikat wakaf. (Tim Penyusun (Direktorat Pemberdayaan Wakaf Departemen Agama R.I.),2006:82).Dengan demikian, sekitar 25% harta wakaf belum memiliki sertifikat sehingga rentan menjadi sumber konflik. Makalah ini mencoba membahas mengenai akta ikrar wakaf dalam tinjauan fiqih Islam serta penerapannya dalam proses perwakafan di Indonesia

Akta Ikrar Wakaf (AIW) Dalam Kitab-Kitab FiqihAIW merupakan bukti tertulis dari ikrar wakaf yang dilakukan oleh waqif dihadapan nazhir, atau dengan kata lain AIW merupakan bukti tertulis dari adanya shigat al-waqf, karena yang dimaksud dengan ikrar wakaf tak lain dan tak bukan adalah shgat al-waqf itu sendiri. Shgat al-waqf ialah ucapan, tulisan ataupun isyarat dari orang yang berakad untuk menyatakan kehendak dan menjelaskan apa yang diinginkannya (Dir. Pemberdayaan Waqaf, 2006: 55). Sedangkan kata Iqrr secara etimologi berarti pemberitahuan akan sesuatu yang telah diputuskan dan ditetapkan. Jika dikatakan aqarra bi al-syai maksudnya ia telah mengakuinya, dan al-istiqrr adalah penetapan, sedangkan qarar al-ardhi adalah tanah yang sudah ditetapkan (kepemilikannya). Secara terminologi Iqrr (pengakuan) adalah pernyataan dari seorang mukallaf yang timbul karena kehendaknya sendiri (tidak terpaksa) tentang kebenaran - baik pernyataan itu dilakukan secara lisan, tulisan atau melalui isyarat dari orang bisu - yang ia nyatakan atau kebenaran yang ada pada orang yang diwakilinya (Al-Kabisi, 2004:580)Dari definisi shgat dan iqrr diatas ada kesamaan makna dari keduanya yaitu keduanya bermakna pernyataan kehendak ataupun keinginan yang disampaikan dalam bentuk lisan, tulisan maupun isyarat. Walaupun ikrar wakaf dapat dalam bentuk tertulis, akan tetapi hal tersebut kurang terlihat pada kitab-kitab fiqih klasik saat membahas tentang shigat akad wakaf yang merupakan rukun dari wakaf , para fuqoha hanya memfokuskan pada iqrar wakaf dalambentuk verbal (ucapan) saja. Hal tersebut dapat dirasakan saat menjelaskan makna shgat, sebagaimana menurut ulama Hanafiyah yang dikutip oleh Wahbah Zuhaily: shigat adalah lafaz-lafaz yang menunjukkan makna wakaf, seperti lafaz tanahku ini ku wakafkan selamanya untuk orang-orang miskin, atau diwakafkan untuk Allah atau untuk dijalan kebajikan, sebagaimana pendapat Abu Yusuf dan telah difatwakan dengan dalil urf (Zuhaily, 2006:7605) Kata lafaz disini menunjukkan bahwa yang dibahas adalah bentuk verbalnya saja.Selain itu dalam pembahasan mengenai shgat waqaf banyak ditemukan contoh-contoh perkataan yang menimbulkan implikasi hukum. Misalnya dalam syarat shigat yang menyatakan bahwa statemen tidak bertele-tele. Mayoritas fuqoha selain Malikiyah mensyaratkan statemen waqaf harus singkat (Al-Sarkhasi, tt : 12/42), singkat disini mengandung arti tidak banyak komentar atau tambahan yanng bertele-tele. Dalam al-Muhazzab dijelaskan bahwa ucapan waqaf dengan mengaitkan syarat dimasa mendatang hukumnya tidak sah. Sebab aqad wakaf akan batal bila berkenaan dengan sesuatu yang tidak jelas (Abu Ishaq, 1/441). Dalam Raudhah al-Thalibin dijelaskan jika waqif mengaitkan barang wakafnya. Seperti ketika mengatakan, jika awal bulan tiba atau si fulan datang, maka saya mewakafkannya, yang demikian tidak sah menurut mazhab Syafii (An-Nawawi, tt:5/329). Ibnu Abidin berkata, waqaf yang diiringi dengan syarat, hukumnya tidak sah, seperti ucapan waqif,jika hari esok telah tiba atau awal bulan telah tiba atau kalau aku telah bertemu fulan, maka tanah ku ini menjadi wakaf, maka wakaf tersebut batal(Ibnu Abidin, 1326H:3/497). Menurut Mustafa Syalabi, para fuqoha tidak menjadikan akta ikrar wakaf sebagai syarat sahnya wakaf, oleh karenanya dalam pembahasan tentang wakaf atau shgat al-waqf, jarang ada pembahasan mengenai akta ikrar wakaf (Syalabi, 1957:77). Pembahasan mengenai akta ikrar wakaf baru dibahasa oleh para fuqoha ketika mereka membahas mengenai penyelesaian sengketa wakaf. Pernyataan tentang adanya Akta Ikrar Wakaf ditemukan dalam pembahasan terkait dengan perselisihan atau persengketaan wakaf, dimana AIW dapat menjadi bukti adanya perwakafan. AIW disebut dengan Shak al-Waqf ( ). Sebagaimana yang terdapat dalam kitab al-Mabshut (al-Sarkhasi, tt: 14/277) : . ( ) .( ) .Kitab Fath al-Qadir (Ibnu Hammam, 1356H: 14/66) juga menyebutkan tentang Shak al-waqf tersebut, masih dalam pembahasan yang sama dengan pembahasan kitab al-Mabsuth diatas, adapun nashnya berbunyi: : : .Dalam kitab Radd al-Mukhtar (Ibnu Abidin, 1326H:10/18) juga disebutkan tentang Shak al-Waqf, dengan nash yang berbunyi: : : .( 18/10).Dalam kitab al-Fatawa al-Hindiyah disebutkan juga istilah shak al-waqf, dalam satu nash yang berbunyi: : : : . : : ( 18/458).Dalam kitab-kitab atau fatwa-fatwa kontemporer, akta wakaf disebut dengan nama Watsiqah al-Waqf. Penggunaan kata tersebut ditemukan dapat ditemukan dalam fatwa al-Lajnah al-Dimah li al-Buhts wa al-Ifta (11/326), yang berbunyi: .Dalam fatwa Qitha al-Ifta di Kuwait disebutkan kata Watsiqah al-Waqf: ( 5/33).Wahbah Zuhaily, walaupun menyatakan akta tertulis (Shak al-kitbah) tidak dapat dijadikan sebagai bukti akan tetapi dalam kondisi saksi-saksi yang ada telah meninggal, maka menurut beliau berkas-berkas (rusm) wakaf yang ada di kantor hakim, dapat dijadikan bukti berdasarkan dalil Istihsn (Zuhaily, 2003:10/7667).Mustafa Syalabi menggunakan kata Isyhd rasmy untuk nama AIW. Menurut beliau Isyhd rasmy merupakan dokumen (watsqah) yang dikeluarkan oleh Mahkamah Syariyyah (Pengadilan Agama) saat akad wakaf, dimana akad wakaf tidak sah tanpa keberadaannya (Syalabi, 1957:77).Dalam perkembangan dunia modern, terdapat kecenderungan untuk menjadikan bukti tertulis berupa akta misalnya, sebagai bukti yang wajib dipenuhi dari suatu akad. Sebagai contoh, pada masa lalu perkawinan tidak memerlukan pencatatan, namun pada masa sekarang peraturan perundang-undangan di beberapa negara muslim termasuk Indonesia menetapkan bahwa perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah. Demikian pula dalam hal perwakafan, dalam rangka mewujudkan kepastian hukum harta benda wakaf setiap perbuatan hukum wakaf wajib dicatat dan dituangkan dalam akta ikrar wakaf dan didaftarkan serta diumumkan sesuai dengan tata cara yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan demikian, dalam konteks hukum perbuatan hukum perwakafan harus dapat dibuktikan dengan akta ikrar wakaf. Kepentingannya antara lain: (a). sebagai bukti otentik, (b). jaminan agar tidak dilakukan penyelewenangan dan atau penyerobotan tanpa hak.Apalagi wakaf juga berhubungan dengan kegiatan ekonomi (seperti wakaf uang dan atau wakaf produktif), maka pencatatan wakaf yang dilakukan oleh pihak yang berwenang adalah sebuah keniscayaan (Mubarok, 2008:45). Wahbah Zuhaily menyatakan bahwa keniscayaan bukti tertulis dalam akad wakaf berdasarkan dalil Istihsn (Zuhaily, 2006:10/7667)Menurut penulis dalil Istihsn yang dimaksud adalah Istihsn al-Maslahah atau al-maslahah al-mursalah. Karena tidak ada dalil khusus dalam al-Quran maupun Hadis yang menyebutkan hukumnya akan tetapi keberadaannya masuk dalam koridor menjaga harta (hifz al-ml) yang merupakan bagian dari Maqshid al-Syarah. Selain itu adanya akta wakaf menjamin adanya kepastian hukum. Dasar hukum al-Maslahah al-Mursalah yang digunakan untuk akta ikrar wakaf ini sama dengan hukum untuk akta nikah.Akan tetapi sebenarnya keumuman makna yang terkandung dalam surat al-Baqarah 282 telah mengisyaratkan perlu adanya akta otentik dalam ikrar wakaf.Dalam prakteknya, sesungguhnya penulisan akta ikrar wakaf telah dilakukan pada wakaf Umar bin Khattab, dimana Hafsah binti Umar mencatatkan wakaf tersebut beserta peruntukkanya yaitu untuk orang fakir, sanak kerabat dan budak (al-Mundziry, 4/156). Dokumen wakaf umar ini merupakan dokumen wakaf pertama dalam Islam.Berkenaan dengan banyaknya wakaf-wakaf di Indonesia yang belum bersertifikat atau tidak memiliki bukti tertulisnya, maka menurut hipotesa yang disampaikan oleh Jaih Mubarok, hal tersebut disebabkan karena wakaf dipahami oleh masyarakat Indonesia sebagai bagian dari amal shaleh, yang mana akadnya adalah tabarru (semata-mata untuk kebaikan) dan dianggap lebih baik apabila dilakukan dengan sembunyi-sembunyi, bukan sebagai sebagai bagian muamalah yang menuntut adanya pernyataan lisan dan atau tertulis yang disaksikan oleh pejabat yang berwenang serta dihadiri oleh saksi (Mubarok, 2008:45).Praktek pelaksanaan wakaf semacam ini , pada paruh perjalanannya harus diaakui memunculkan persoalan mengenai validitas legal tentang harta wakaf yang berujung pada timbulnya persengketaan-persengketaan karena tiadanya bukti yang mampu menunjukkan bahwa benda-benda yang bersangkutan telah diwakafkan (Djunaidi & Thobieb al-Asyhar, 2006:48).Perkembangan masyarakat dari segi tertib administrasi menuntut penggabungan antara pernyataan lisan dengan pernyataan tertulis. Menurut Jaih Mubarok, pernyataan lisan dinilai sebagai alat bukti yang kurang kuat (al-iqrr hujjah qasrah), dan pernyataan secara tertulis juga dinilai sebagai alat bukti yang kurang kuat pula (wa al-kitbah hujjah qashrah). Dan menggabungkan keduanya menjadikan keduanya sebagai alat bukti yang kuat (wa al-jamu bayna al-iqrr wa al-kitbah hujjah mutaadiyah) (Mubarok, 2008: 46). Penggabungan antara keduanya (lisan dan tertulis) itulah yang dianut dalam Pasal 17 ayat 2 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf Pasal 17 ayat 2 berbunyi: Ikrar wakaf sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan secara lisan dan/atau tulisan serta dituangkan dalam akta ikrar wakaf oleh PPAIW. sehingga diharapkan pasca terbitnya undang-undang wakaf ini, semua akad wakaf selain disampaikan dalam bentuk lisan juga dituangkan dalam bentuk tertulis, sehingga tidak ada lagi wakaf yang tidak tercatat.

Kandungan Shgat al-WaqfKandungan Shgat al-Waqf merupakan gambaran tertulis dari akad wakaf (Shgat al-Waqf) yang terdiri dari al-jab (penyerahan) menurut mazhab Hanafi dan mazhab Hanbali dan al-jab dan al-qobl (serah dan terima) menurut mazhab Maliki dan mazhab Syafii serta sebagian pengikut mazhab Imam Ahmad bin Hanbal (Zuhaily, 2006:10/7652).Dalam AIW harus ada pernyataan mewakafkan. Menurut Hanafiyah lafaz yang khusus untuk wakaf adalah misalnya:tanahku ini merupakan sedekah yang diwakafkan selamanya (shadaqah mauqufah muabbadah) untuk orang-orang miskin, atau diwakafkan untuk Allah SWT, atau untuk kebajikan. Akan tetapi yang difatwakan dalam mazhab Hanafiyah adalah pendapat Abu Yusuf yang mencukupkan dengan hanya menyebutkan kata mauqfah tanpa tambahan lafaz tabd karena lafaz mauqfah sudah menunjukkan makna tabd (Hasfaki, tt: 4/535, Ibnu Abidin, 1326 H: 17:171). Menurut Malikiyah, lafaz wakaf dapat berbentuk lafaz yang sharih (jelas), seperti lafaz waqaftu, habastu atau sabbaltu. Atau dengan lafaz yang ghair sharih (tidak jelas) seperti kata aku sedekahkan dengan dibarengi dengan penjelasan yang dimaksud adalah wakaf, atau dengan kata sedekah akan tetapi untuk pihak yang tidak ditentukan atau untuk pihak yang tidak terbatas. Contoh pernyataan pertama adalah aku sedekahkan dan tidak boleh dijual ataupun diberikan. Contoh pernyataan yang kedua adalah aku sedekahkan hartaku untuk orang-orang fakir. Sedangkan contoh untuk pernyataan ketiga adalah aku sedekahkan hartaku untuk sifulan dan keturunannya dan keturunannya (Al-Dardiir dalam Zuhaily, 2006: 10/7653)Menurut Syafiiyah penyataan wakaf dapat dalam bentuk yang sharih sebagaimana pendapat hanafiah dan Malikiyah. Penyataan yang sharih dengan menggunakan kata al-waqf, al-tasbl atau al-tahbs. Andai hanya menggunakan kata shadaqah tanpa ada penjelasan maka itu pernyataan tersebut tidak menunjukkan niatan wakaf karena shadaqah bisa berarti sedekah wajib, sunnah maupun wakaf. Kecuali bila pernyataan itu ditambah dengan penyataan peruntukannya untuk orang-orang fakir, maka penyataannya menjadi pernyataan wakaf . penyataan yang ghair sharh misalnya adalah aku haramkan hartaku untuk orang-orang fakir, atau aku permanenkan untuk mereka (Al-Khatib, tt: 10/121)Mazhab Hanbali juga menjelaskan tentang pernyataan yang sharih yaitu yang menggunakan kata waqaftu, habbastu, dan sabbaltu, sedangkan penyataan kinayah seperti kata harramtu, abbadtu dan tashadaqtu. Menurut Hanabilah, dalam menggunakan kata kinayah dalam wakaf harus menyertakan salah satu dari empat hal sebagai berikut:Niat al-wqifPenggunaan kata kinayah waqaf hendaknya dibarengi dengan menyebutkan sifat-sifat waqaf, seperti kata mauqfah, muhabbasah dan musabbalah atau muabbadah dan muharramah.Atau dengan menyertakan sifat-sifat wakaf yang lain , seperti kata tidak boleh dijual, dihibahkan ataupun dijual.Atau dengan menyertakan pernyataan hukum wakaf tersebut. Seperti pernyataan, aku sedekahkan tanahku untuk fulan dan pada masa hidupku dan setelah matiku (Al-Bahwati, 1319H, 14/340).

Syarat-Syarat Shigat WakafPara fuqoha mensyaratkan beberapa hal yang terdapat dalam pernyataan (shigat) wakaf, yaitu:Syarat Pertama: Pernyataan permanen (tabd). Para Fuqoha berbeda pendapat dalam mencantumkan syarat permanen pada wakaf. Diantara mereka ada yang mencantumkannya dan ada yang tidak mencantumkannya. Karena itu ada diantara fuqoha yang membolehkan wakaf muaqqat (wakaf untuk jangka waktu tertentu). Pendapat pertama adalah pendapat mayoritas fuqoha yang berasal dari kalangan Syafiiyah, Hanafiyah, kecuali Abu Yusuf pada satu riwayat, Hanabilah, Zaidiyah, Jafariyah dan Zahiriyah. Mereka berpendapat bahwa wakaf harus diberikan secara permanen dan harus disertakan statemen yang menunjukkan makna tersebut (Al-Kabisi,2004:159). Wakaf merupakan bentuk pendekatan diri kepada Allah (al-Qurbah), maka hendaknya berlaku permanen, tidak boleh dibatasi oleh waktu (Wahbah, 2006:10/7656). Pendapat kedua adalah pendapat dari kalangan Hanabilah, sebagian dari kalangan Jafariyah dan Ibnu Suraij dari Syafiiyah. Mereka berpendapat bahwa wakaf sementara itu adalah sah, baik untuk jangka waktu yang pendek maupun yang lama. Kalangan Malikiyah juga membolehkan wakaf temporer (sementara), walaupun menurut mereka, secara implisit kata wakaf itu sendiri sudah mengandung makna abadi dan kontinu (Al-Kabisi, 2004:168).Mayoritas pembaharu fiqih seperti Syaikh Muhammad Zahra, Mustafa al-Zarqa, Sayyid Ali Abu Suud, mendukung pendapat Imam Malik beserta pendukungnya yang mensahkan wakaf temporer, karena menurut mereka, dalam wakaf sementara, terdapat kemudahan untuk merealisasikan tujuan-tujuan yang mengarah kepada kebaikan. Akan tetapi Al-Kabisi dalam disertasinya menolak wakaf sementara, karena menurutnya dalil-dalil dari hadis yang melarang menjual, menghibahkan dan mewariskan harta wakaf menunjukkan keabadian harta wakaf tersebut, selain itu hadis Nabi SAW yang memerintahkan untuk menahan pokok harta wakaf (hubisa al-ashlu) menunjukkan makna tabd (permanen) (Al-Kabisi, 2004: 270).UU No.41 Tahun 2004 Tentang Perwakafan mengakomodasi kedua prinsip tersebut (permanen dan temporer) , sebagaimana disebutkan dalam pasal 1 ayat 1 yang berbunyi wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta miliknya untuk dimanfaatkan selama-lamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah.Syarat kedua, pernyataan wakaf bersifat tanjz. Tanjz ialah wakaf itu diberikan kepada yang sudah ada saat itu juga, bukan kepada yang akan ada. Karenanya pernyataan wakaf tidak boleh mensyaratkan atau menggantungkan kepada keberadaan sesuatu yang belum ada . contoh dari pernyataan tersebut misalnyajika Nawawi datang, maka saya berwakaf .Dalam Al-Muhazzab dijelaskan bahwa ucapan wakaf dengan mengaitkan syarat dimasa mendatang hukumnya tidak sah, karena bergantung pada syarat yang tidak jelas (Al-Syaerozi, tt:1/441). Ibnu Abidin mengatakan bahwa wakaf yang diiringi dengan syarat, hukumnya tidak sah, seperti ucapan wakif jika hari esok tiba atau awal bulan tiba, atau kalau aku telah bertemu si fulan, maka tanahku ini menjadi wakaf (Ibnu Abidin, 1326H:3/497). Menurut Malikiyah pernyataan tanjz bukanlah merupakan syarat sah wakaf, oleh karenanya diperbolehkan memyebutkan syarat-syarat yang benar-benar ada maupun yang belum terwujud dalam pernyataan wakaf bahkan diperbolehkan dalam pernyataan wakaf dengan menyebut waktu tertentu (Al-Kabisi, 2004: 158).Syarat Ketiga: Al-ilzm (mengikat). Sejak wakif menyatakan mewakafkan hartanya, maka wakaf tersebut mengikat dan lenyaplah hak kepemilikan wakif dari harta yang diwakafkannya. Dengan demikian wakif tidak boleh menyertakan dalam pemberian wakafnya syarat yang bertentangan dengan status wakaf, seperti syarat khiyar, yaitu hak melanjutkan atau membatalkan pemberian wakaf (Dir. Pemberdayaan Wakaf, 2006:58).Syarat keempat: Shigat tidak diikuti syarat batil, maksudnya ialah syarat yang menodai atau mencederai dasar wakaf atau meniadakan hukumnya, yakni kelaziman dan keabadiannya. Misalnyanya pernyataan wakif saya wakafkan rumah ini untuk diri saya sendiri seumur hidup, kemudian setelah saya meninggal untuk anak-anak dan cucu-cucu saya dengan syarat bahwa saya boleh menjual atau menggadaikannya kapan saja saya kehendaki...atau jika saya meninggal harta ini menjadi harta waris bagi ahli waris saya( Dir. Pemberdayaan Wakaf, 2006: 60). Syarat yang demikian dan semisalnya mencederai dasar wakaf yang melarang menjual atau menggadaikan dan meniadakan keabadian dan kelazimannya. Apabila wakaf diikuti dengan syarat seperti itu maka hukumnya tidak sah, ini merupakan pendapat dari para fuqoha karena wakaf adalah menyerahkan hak kepemilikan kepada Allah SWT dan juga karena wakaf bukanlah akad tukar menukar barang, maka dalam hal ini tidak diperkenankan khiyar (Al-Kabisi, 2004:184).Syarat kelima: menyebutkan Maqf alaih. Para fuqoha berselisih pendapat tentang persyaratan pencantuman penerima wakaf dalam statemen yang disampaikannya atau pada keharusan menyebut penerima wakaf dalam statemen wakaf.Pendapat pertama, mewajibkan pencantuman penerima wakaf dalam statemen wakaf. Pendapat ini merupakan pendapat fuqoha Syafiiyah dan Hanafiyah kecuali Abu Yusuf. . Imam Syairazi berpendapat, berwakaf kepada pihak yang tidak diketahui tidak sah, seperti wakaf kepada seseorang yang tidak jelas. Seyogianya wakaf diberikan kepada pihak yang ditentukan wakif (Al-Syairazi, tt: 1/441).Pendapat kedua, tidak mewajibkan pencantuman pihak penerima wakaf dalam statemen wakaf. Ini adalah pendapat Imam Abu Yusuf, Hanabilah, Malikiyah dan Zaidiyah. Menurut Abu Yusuf statemen wakaf tanpa menyebutkan pihak penerimanya adalah sah dan wakaf tersebut diberikan kepada fakir miskin (Al-Kabisi, 2004:175).Mazhab Malikiyah tidak mensyaratkan untuk sahnya wakaf keharusan menyebutkan al-mauqf alaih (Zuhaily, 2006: 10/7662).Syarat keenam, menyebutkan Mauqf Bih (objek wakaf) dan menyebutkan seperlunya keterangan yang jelas tentang keadaan objek wakaf. Harta yang akan diwakafkan disebutkan dalam statement wakaf dan diketahui dengan jelas. Oleh karena itu , jika waqif mengatakan :aku wakafkan sebagian dari hartaku, akan tetapi tidak ditunjukkan mana harta yang dimaksud, maka wakafnya menjadi batal (tudak sah), demikian pula jika waqif mengatakan aku wakafkan salah satu dari dua rumahku ini, tanpa menentukan rumah yan mana yang dimaksud. Akan tetapi jika waqif berkata:aku wakafkan seluruh dari harta dan rumahku, meskipun tanpa menentukan kadar dan jumlah yang diwakafkan , wakafnya tetap sah, karena ia telah mewakafkan seluruh harta yang dimilikinya (Al-Kabisi, 2004:249).Menurut Al-Kabisi, pada saat ini setiap tindakan pengalihan kepemilikan , haruslah diberi batasan setiap empat sisi harta wakaf, sebab tindakan ini akan berlanjut sangat lama dan dalam tempo yang tidak terbatas. Bisa saja suatu saat akan muncul ketidak jelasan harta wakaf, sedangkan hukumnya masih tetap sebagai harta wakaf, karena itu semua syarat yang dibutuhkan untuk menjadi penguat dari wakaf haruslah disebutkan (Al-Kabisi, 2004:250).Berdasarkan keterangan diatas tadi dapat disimpulkan bahwa Shgat Al-Waqf hendaknya:Menggunakan kata yang sharh (jelas) yang menunjukkan pemberian wakaf.

Tabd, tanjz dan ilzm.Tidak mencantumkan syarat fasid, yang dapat membatalkan wakaf.Menyebutkan objek wakaf serta keterangan sejelasnya tentang keadaan objek wakaf.Menjelaskan pihak penerima wakaf.

Dalam al-Fatawa al-Hindiyah (51/56) dicontohkan nash waqaf sebagai berikut: .Dalam al-Fatawa al-Hindiyah (51/59) ini juga disarankan -dalam rangka legitimasi hukum dan untuk menghindari perselisihan dikemudian hari- pernyataan wakaf yang dituliskan dalam shak al-waqf tersebut , mendapat legalisasi dari hakim. Hakim menjelaskan dihalaman depan shak al-waqf ini bahwa wakafnya sebagaimana penjelasan yang ada didalam shak al-waqf adalah benar dan sah. Fungsi yang dilakukan oleh hakim sebagaimana pernyataan diatas tadi-dalam perwakafan di Indonesia- dilakukan oleh Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW). PPAIW untuk harta benda tidak bergerak berupa tanah adalah kepala KUA dan/atau penjabat yang menyelenggarakan urusan wakaf (PP Pasal 37 (1)). PPAIW harta benda wakaf bergerak selain uang adalah Kepala KUA dan/atau pejabat lain yang ditunjuk oleh Menteri (PP pasal 37 (2)PPAIW harta benda wakaf bergerak berupa uang adalah Pejabat Lembaga Keuangan Syariah paling rendah setingkat Kepala Seksi LKS yang ditunjuk oleh Menteri (PP pasal 37 (3).

Perbedaan Akta Ikrar Wakaf dan Sertifikat Wakaf UangDalam UU No.41 Tahun 2004 tentang Perwakafan dibedakan antara Akta Ikrar Wakaf dengan Sertifikat Wakaf Uang. AIW disebut dalam pasal 21 sedangkan Sertifikat Wakaf Uang disebutkan dalam pasal 29 ayat 2. akan tetapi tidak dijelaskan segi pembedaannya. Menurut pemahaman penulis, AIW diberikan kepada wakif yang melakukan wakaf benda tak bergerak dan bergerak selain uang, sedangkan sertifikat wakaf tunai diberikan kepada wakif uang. Dalam Peraturan Pemerintah (PP) Tentang Pelaksanaan UU No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, dijelaskan definisi dari keduanya, yaitu sebagai berikut:Akta Ikrar Wakaf, yang selanjutnya disingkat AIW adalah bukti pernyataan kehendak Wakif untuk mewakafkan harta benda milikinya guna dikelola Nazhir sesuai dengan peruntukan harta benda wakaf yang dituangkan dalam bentuk akta (Pasal 1 ayat 6). Sedangkan yang dimaksud dengan Sertifikat Wakaf Tunai adalah surat bukti yang dikeluarkan oleh Lembaga Keuangan Syariah kepada wakif dan nazhir tentang penyerahan wakaf uang (pasal 1 ayat 7)/.

Istilah sertifikat wakaf tunai dan penerapannya merupakan bentuk ijtihad yang lebih baru lagi daripada akta ikrar wakaf, karena merupakan terjemahan dari Cash-Waqf Certificate yang diperkenalkan oleh M.A. Mannan, seorang ekonom berkebangsaan Bangladesh sebagai instrumen administrasi dan kepastian hukum dalam pengelolaan wakaf uang atau wakaf tunai yang diterapkan melalui Social Investment Bank Limited (SIBL) di Bangladesh ( Mannan, tt: 36). Kedudukan sertifikat wakaf uang sama dengan akta ikrar wakaf, yang menjadi bukti otentik dan tertulis adanya peristiwa pewakafan harta tertentu.Sertifikat wakaf uang berisi keterangan yang hampir sama dengan yang ada dalam akta ikrar wakaf -yang akan dijelaskan selanjutnya-yaitu:Nama LKS penerima wakaf uang;Nama Waakif;Alamat Wakif;Jumlah Wakaf Uang;Peruntukan Wakaf;Jangka Waktu Wakaf;Nama Nazhir yang dipilih; danTempat dan Tanggal Penerbitan Sertifikat Wakaf Uang (PP. Pasal 26).

Akta Ikrar Wakaf dalam UU No.41 Tahun 2004 Tentang PerwakafanPembahasan tentang Ikrar Wakaf (IW) dan Akta Ikrar Wakaf (AIW) terdapat dalam pasal 17-23 UU. IW yang merupakan penyataan wakif untuk mewakafkan hartanya, dinyatakan secara lisan dan/atau tertulis oleh wakif kepada nazhir dihadapan Petugas Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) dengan disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi (Pasal 17 ayat 1dan 2). Apabila wakif berhalangan, tidak dapat menyatakan ikrar wakaf secara lisan atau tidak dapat hadir dalam pelaksanaan ikrar wakaf karena alasan yang dibenarkan hukum, wakif dapat menunjuk kuasanya dengan surat kuasa yang diperkuat oleh 2 (dua) orang saksi (pasal 18). Saksi dalam ikrar wakaf harus memenuhi persyaratan: (a). Dewasa, (b). Beragama Islam, (c). Berakal sehat, (d). Tidak terhalang melakukan perbuatan hukum (pasal 20).Setelah melakukan ikrar wakaf, kemudian ikrar tersebut dituangkan kedalam Akta Ikrar Wakaf (pasal 21 ayat 1). Akta Ikrar Wakaf paling sedikit memuat (pasal 21 ayat 2):Nama dan identitas wakif;Nama dan identitas nazhir;Data dan keterangan harta benda wakaf;Peruntukan harta benda wakaf;Jangka waktu wakaf.

Dalam PP No. 42 Tahun 2006 pasal 32 ayat 4 ada penambahan unsur yang tidak disebutkan dalam AIW, yaitu Nama dan Identitas Saksi.Apabila ada praktek wakaf yang telah berlangsung akan tetapi belum dituangkan dalam AIW, karena Wakif sudah meninggal dunia atau tidak diketahui lagi keberadaannya, maka dibuat Akta Pengganti Akta Ikrar Wakaf (APAIW).Pembuatan APAIW sebagaimana pasal 35 PP No. 42 Tahun 2006, dilaksanakan berdasarkan permohonan masyarakat atau saksi yang mengetahui keberadaan benda wakaf yang dikuatkan dengan adanya petunjuk (qarnah) tentang keberadaan benda wakaf. Apabila tidak ada orang yang memohon pembuatan APAIW, maka kepala desa tempat benda wakaf tersebut berada wajib meminta pembuatan APAIW tersebut kepada PPAIW setempat. Selanjutnya PPAIW atas nama Nazhir menyampaikan APAIW beserta dokumen pelengkap lainnya kepada kepala kantor pertanahan kabupaten/kota setempat dalam rangka pendaftaran wakaf tanah yang bersangkutan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak penandatanganan APAIW.APAIW berbeda dengan Itsbat Wakaf karena Itsbat Wakaf dilakukan apabila harta wakaf tersebut tidak memiliki AIW atau APAIW. Dan perkara istbat wakaf tidak dilakukan oleh PPAIW akan tetapi oleh Pengadilan Agama. Hal ini merupakan hasil Keputusan Rapat Kerja Nasional Mahkamah Agung R.I Tahun 2007 di Makasar, di antaranya berhasil memutuskan bahwa Pengadilan Agama berwenang menerima, memeriksa dan mengadili perkara permohonan itsbat wakaf. Maksudnya, dalam hal tanah wakaf yang tidak memiliki akta ikrar wakaf atau pengganti akta ikrar wakaf dapat diajukan permohonan itsbat wakaf ke Pengadilan Agama dengan berpedoman kepada petunjuk teknis Mahkamah Agung. Penetapan Pengadilan Agama tersebut menjadi dasar permohonan sertifikat tanah. Lebih lanjut, hasil keputusan tersebut juga menyebutkan bahwa persangkaan hakim dan syahdah istifdhah dalam sengketa wakaf memiliki kekuatan pembuktian yang kuat. (: http://badilag.net/).

PenutupDari paparan diatas tadi ada beberapa hal yang dapat disimpulkan disini, yaitu:Akta ikrar wakaf sangat penting keberadaanya dalam akad wakaf, karena AIW merupakan bukti otentik dari praktek perwakafan dapat dijadikan bukti hukum apabila dikemudian hari muncul sengketa harta wakaf tersebut.Banyaknya harta wakaf yang tidak bersertifikat atau memiliki bukti tertulis adalah karena anggapan masyarakat bahwa wakaf merupakan ibadah tabarru (semata-mata untuk kebaikan) dan dianggap lebih baik apabila dilakukan dengan sembunyi-sembunyi, bukan sebagai sebagai bagian muamalah yang menuntut adanya pernyataan lisan dan atau tertulis yang disaksikan oleh pejabat yang berwenang serta dihadiri oleh saksiPada saat sekarang ini, karena wakaf juga telah menjadi kegiatan ekonomi (seperti wakaf uang dan atau wakaf produktif), maka pencatatan wakaf dalam bentuk AIW yang dilakukan oleh pihak yang berwenang adalah sebuah keniscayaan.Akta Ikrar Wakaf berisi:

a. Nama dan identitas wakif;Nama dan identitas nazhir;Nama dan identitas saksi;Data dan keterangan harta benda wakaf;Peruntukan harta benda wakaf;Jangka waktu wakaf.

Apabila harta wakaf belum memiliki Akta Ikrar Wakaf karena waqif telah meninggal atau tidak diketahui keberadaanya, maka bisa dimintakan Akta Pengganti Ikrar Wakaf (APAIW) kepada Petugas Pencatat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW). Dan apabila AIW dan APAIW tidak dapat diperoleh dapat dimohonkan Itsbat Wakaf dari Pengadilan Agama. WallahuAlam.

Daftar Pustaka

Al-Bahwati Al-Khalili, Mansur bin Yunus bin Idris, 1319H, Kasyf Al-Qina an Matan Al-Iqna, Mesir: Al-Amirah (Maktabah Syamilah).Al-Kabisi, Muhammad Abid Abdullah,2004, Hukum Wakaf(terj), Jakarta: Dompet Duafa Republika & IIMaN.Al-Khatib, Muhammad Al-Syarbini, Mughni al-Muhtaj Ila Marifati Alfaaz Al-Minhaj, Mesir: Mustafa Muhammad (Maktabah Syamilah) .Al-Khatib, Muhammad Syarbini, tt, Mughni al-Muhtaj Ila Marifati Alfaaz al-Minhaj, Maktabah Syamilah.Al-Mundziry, al-hafizh, Mukhtashar sunan abi dawudAl-Nawawi, Raudhah al-Thalibin wa Umdah al-Muftiin, (Maktabah Syamilah).Al-Sarkhasi, Abu Bakar Muhammad bin Abi Sahl, al-Mabsuth, (Maktabah Syamilah).Al-Syairazi, Al-Muhazzab, Maktabah Syamilah Departemen Agama, 2006, Peraturan Perundangan Perwakafan, Jakarta, Dirjen Bimas IslamDepartemen Agama, 2008, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf; Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaannya, Jakarta: Dirjen Bimas Islam. Dir. Pemberdayaan Wakaf Departemen Agama RI, 2006, Fiqih Wakaf, Jakarta: Dir. Pemberdayaan Wakaf.Djunaidi, Achmad & Thobieb Al-Asyhar, 2006, Menuju Era Wakaf Produktif; Sebuah Upaya Progresif Untuk Kesejahteraan Umat, Jakarta: Mitra Abadi Press, Cet III.Hasfaki, Muhammad bin Ali bin Muhammad, Al-Dur Al-Mukhtar Syarah Tanwir Al-Abshar,(Maktabah Syamilah).Ibnu Abidin, Muhammad Amin bin Umar bin Abdul Aziz, Hasyiah Radd Al-Mukhtar, 1326, Al-Usmaniah, Istanah (Maktabah Syamilah).Ibnu Hammam, Fath Al-Qadir, Maktabah Syamilah Mannan, M.A., tt, Sertifikat Wakaf Tunai, Sebuah Inovasi Instrumen Keuangan Islam, Jakarta: CIBER dan PKTTI-UI.Mubarok, Jaih,2008, Wakaf Produktif, Bandung: Simbiosa Rekatama MediaNasution, Mustafa Edwin dan Uswatun Hasanah, 2005, Wakaf Tunai, Inovasi Finansial Islam; Peluang dan Tantangan Dalam Mewujudkan Kesejahteraan Umat, Jakarta: PSTTI-UI. Syalabi, Mustafa, 1957, Muhaadaraat fi al-waqf wa al-washiya, Mesir: Matbaah Daar al-Talif.Ulama al-Hind, al-Fatawa al-Hindiyah, Maktabah Syamilah.Zuhaily, Wahbah, 2006, Al-Fiqh Al-Islamy Wa Adillatuh, Jilid 10, Suriah, Dar Al-Fikr.


Recommended