AKTIVITAS BEBERAPA ANTIMIKOTIK TERHADAP
Microsporum gypseum SEBAGAI PENYEBAB
DERMATOFITOSIS PADA KUDA
KARTINI IZREEN KURNIA
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul AKTIVITAS
BEBERAPA ANTIMIKOTIK TERHADAP Microsporum gypseum
SEBAGAI PENYEBAB DERMATOFITOSIS PADA KUDA adalah benar
karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2015
Kartini Izreen Kurnia
NIM B04118009
ABSTRAK
KARTINI IZREEN KURNIA. Aktivitas Beberapa Antimikotik terhadap
Microsporum gypseum sebagai Penyebab Dermatofitosis pada Kuda. Dibimbing
oleh AGUSTIN INDRAWATI.
Dermatofitosis merupakan penyakit jamur yang bersifat kutaneous
superfisial yang menyerang lapisan keratin dari kulit yang disebabkan oleh jamur
golongan dermatofita. Microsporum gypseum merupakan dermatofita geofilik
yang diduga sebagai penyebab penyakit dermatofitosis pada kuda. Dalam
penelitian ini dilakukan isolasi dan identifikasi sampel dari kuda yang diduga
menderita dermatofitosis oleh M.gypseum. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
melakukan diagnosa secara tepat penyebab dermatofitosis pada kuda dan agen
penyebab dermatofitosis tersebut. Pada penelitian ini dilakukan identifikasi dan
isolasi secara cepat, menggunakan KOH 10% serta isolasi dengan membiakkan
pada DSA dan identifikasi dengan melakukan slide culture menurut Riddle. Uji
aktivitas antimikotik dilakukan menggunakan metode cakram kertas dan
antimikotik yang digunakan adalah ketokonazol, amfoterisin, vorikonazol,
flukonazol, griseofulvin, dan mikonazol yang menghasilkan zona hambat dengan
diameter 0 mm, 0 mm, 8.5 mm, 0 mm, 17.25 mm, dan 12.25 mm secara berurutan
pada akhir pengujian. Penelitian menunjukkan bahwa griseofulvin merupakan
antimikotik yang mempunyai aktivitas paling baik terhadap M. gypseum dan
boleh digunakan sebagai obat pilihan dalam pengobatan dermatofitosis
disebabkan oleh jamur tersebut.
Kata kunci: dermatofitosis, uji aktivitas antimikotik, Microsporum gypseum, kuda
ABSTRACT
KARTINI IZREEN KURNIA. Antimycotics Activities against Microsporum
gypseum as the cause of Dermatophytosis in Horses. Supervised by AGUSTIN
INDRAWATI.
Dermatophytosis is a superficial cutaneous fungal infection that attacks the
keratin layer of the skin caused by a group of fungi known as dermatophytes.
Microsporum gypseum is a geophilic dermatophyte that suspected to cause this
infection in horses. In this research, isolation and identification of sample from the
horse that was suspected to be infected with dermatophytosis caused by
M.gypseum was done. As an effort to treat dermatophytosis, antimycotics are
widely used. The aim of this study is to be able to diagnose accurately the cause of
dermatophytosis in horses and the agent that causes it.The procedure of this
research included rapid isolation and identification, using KOH 10%, isolation
onto DSA media and identification using Riddle’s slide culture method. The
antimycotic test was done using disk diffusion assay method and the antimycotics
used in the test were ketoconazole, amphotericine, voriconazole, fluconazole,
griseofulvin, and miconazole, producing inhibition zones with diameters 0 mm, 0
mm, 8.5 mm, 0 mm, 17.25 mm, and 12.25 mm respectively at the end of the test.
This study revealed that griseofulvin has the best antimycotic activity against
M.gypseum and can be used as the drug of choice for the treatment of
dermatophytosis caused by the fungi.
Keywords: dermatophytosis, antimycotic activity test, Microsporum gypseum,
horses
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan
pada
Fakultas Kedokteran Hewan
AKTIVITAS BEBERAPA ANTIMIKOTIK TERHADAP
Microsporum gypseum SEBAGAI PENYEBAB
DERMATOFITOSIS PADA KUDA
KARTINI IZREEN KURNIA
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya
sehingga skripsi berjudul Aktivitas beberapa Antimikotik terhadap Microsporum
gypseum sebagai penyebab Dermatofitosis pada Kuda ini berhasil diselesaikan.
Terima kasih penulis ucapkan kepada semua yang membantu penyelesaian skripsi
ini :
1. Dr Drh Agustin Indrawati, MBiomed selaku pembimbing skripsi yang telah
banyak mencurahkan ilmu dalam mengerjakan penelitian hingga selesainya
skripsi ini.
2. Ibu Siti Sa’diah, S.Si, Apt., M.Si selaku pembimbing akademik selama
perkuliahan yang telah banyak memberi semangat dan motivasi selama masa
perkuliahan
3. Ibu Esih dan Bapak Ismet yang sangat banyak membantu serta memberi saran
dan arahan selama pelaksanaan penelitian.
4. Keluarga; Mama Mas Illazreen Ghazali , Papa Azaman Abu Bakar, Nenda
Datin Hj. Zaiton Hussein, Maklong Mas Idura Ghazali, Aiman I’zaaz, Abdul Aziz,
Toby, Boy, serta seluruh keluarga atas seluruh semangat, doa, dan kasih sayang
yang telah diberikan.
5. Nico Ferdian Arisona, Charisha Fraser, Clarisse Francyne, dan Lim Su-Szien
serta teman-teman Ganglion 48 lainnya yang telah menjadikan masa-masa
perkuliahan menjadi lebih menyenangkan.
6. Pihak-pihak yang telah membantu yang tidak bisa disebutkan satu-persatu.
Penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat dan memperkaya ilmu
pengetahuan khususnya di bidang Kedokteran Hewan.
Bogor, Agustus 2015
Kartini Izreen Kurnia
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL vi
DAFTAR GAMBAR vi
DAFTAR LAMPIRAN vi
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan Penelitian 2
Manfaat Penelitian 2
TINJAUAN PUSTAKA 2
Dermatofitosis pada Kuda 2
Microsporum gypseum 3
Antimikotik 5
METODE 7
Waktu dan Tempat 7
Bahan dan Alat 7
Tahapan Penelitian 7
HASIL DAN PEMBAHASAN 9
SIMPULAN DAN SARAN 16
Simpulan 16
Saran 16
DAFTAR PUSTAKA 16
RIWAYAT HIDUP 19
DAFTAR TABEL
1 Tabel 1 Diameter zona hambat (mm) di sekitar cakram kertas
antimikotik terhadap M.gypseum pada hari ke-3 13 2 Tabel 2 Diameter zona hambat (mm) di sekitar cakram kertas
antimikotik terhadap M.gypseum pada hari ke-7 13
DAFTAR GAMBAR
1 Gambar 1 Lesio dermatofitosis pada kuda 3 2 Gambar 2 Gambaran makroskopis dan mikroskopis Microsporum
gypseum 4 3 Gambar 3 Posisi peletakan cakram kertas antimikotik pada media
biakan 8 4 Gambar 4 Lesio infeksi yang diduga dermatofitosis pada Kuda 9 5 Gambar 5 Hasil pengamatan mikroskopis pemeriksaan cepat
menggunakan KOH 10% (Pembesaran 400x) 10 6 Gambar 6 Gambaran makroskopis Microsporum gypseum pada media
DSA 10 7 Gambar 7 Gambaran mikroskopis Microsporum gypseum.dan adanya
sekat pada bagian ujung distal M.gypseum (Pembesaran 400x) 11 8 Gambar 8 Hasil keseluruhan pengujian antimikotika terhadap
M.gypseum pada hari ke-3 12 9 Gambar 9 Hasil keseluruhan pengujian antimikotika terhadap
M.gypseum pada hari ke-7 13 10 Gambar 10 Zona hambat yang terbentuk di sekitar cakram kertas
antimikotik pada hari ke-3 14
11 Gambar 11 Zona hambat yang terbentuk di sekitar cakram kertas
antimikotik pada hari ke-7 14
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Dermatofitosis adalah penyakit yang disebabkan oleh jamur dari golongan
dermatofita. Dermatofitosis merupakan suatu penyakit kutaneus superfisial yang
menyerang lapisan keratin seperti lapisan kulit, rambut, dan kuku. Penyakit ini
disebabkan oleh jamur dari golongan dermatofita. Selama dua abad terakhir,
kejadian dermatofitosis telah meningkat dengan kasus yang menunjukkan adanya
respon negatif terhadap obat antimikotik (Singh et al. 2007). Dermatofita dapat di
kelompokkan berdasarkan habitat hidupnya yaitu dermatofita geofilik, zoofilik,
dan antropofilik. Dermatofita geofilik berhabitat dan bereplikasi di dalam tanah
dan berasosiasi dengan material keratin yang terdekomposisi seperti rambut dan
bulu (Weitzman dan Summerbell 1995). Hewan dapat terinfeksi oleh dermatofita
geofilik melalui tanah atau kontak langsung dengan hewan lain yang terinfeksi
(Quinn et al. 2006).
Dermatofitosis pada kuda dapat terjadi karena kontak langsung atau melalui
peralatan grooming. Gejala klinis yang muncul pada kulit menunjukan ada sumber
infeksi pada hewan yang terserang. Lesio terbentuk terbatas pada bagian pelana,
saddle atau tersebar luas akibat peralatan grooming yang terkontaminasi. Infeksi
disebabkan oleh Microsporum gypseum dapat terjadi karena kebiasaan kuda
berguling di atas tanah yang menyebabkan lesio pada bagian dorsal badan kuda
(Quinn et al. 2006).
Indonesia merupakan negara beriklim tropis yang memiliki kelembaban
tinggi, dimana kelembaban relatif rata-rata 80% dan merupakan tempat yang
cocok bagi mikroorganisme seperti jamur untuk berkembangbiak dan salah
satunya adalah jamur Microsporum gypseum. Pada manusia, jamur Microsporum
gypseum dapat berkembang pada bagian kulit yang sifatnya tidak membahayakan
namun cukup mengganggu. Perlu diketahui jamur Microsporum gypseum
merupakan jamur penyebab penyakit kulit, pengurai keratin, serta perusak kuku
dan rambut. Sifat keratinofilik dimiliki oleh jamur ini sehingga berkemampuan
untuk mencerna lapisan kulit mulai dari stratum korneum sampai stratum basalis.
Antimikotik merupakan zat berkhasiat yang digunakan untuk penanganan
penyakit yang disebabkan oleh jamur (Mutschler 1991). Obat antimikotik topikal
digunakan untuk merawat infeksi jamur superfisial. Obat ini efektif dalam
merawat Ringworm dan Thrush pada kuda. Pada beberapa kasus, penggunaan
antimikotik sering dikombinasikan dengan antibiotik maupun kortikosteroid.
Apabila dalam pemberiannya secara lokal tidak efektif, maka direkomendasikan
pengobatan menggunakan antimikotik yang bersifat sistemik. Dalam industri obat,
perkembangan antimikotik dalam dekade terakhir ini sangat pesat baik berupa
sediaan topikal, oral ataupun injeksi. Perkembangan dan penggunaan antimikotik
secara tidak beraturan akan berpeluang menyebabkan terjadinya resistensi
sehingga dalam penelitian ini dicoba dilakukan uji aktivitas beberapa antimikotik
terhadap jamur Microsporum gypseum penyebab dermatofitosis dengan tujuan
untuk mempelajari aktivitas dari antimikotik terhadap jamur dermatofita tersebut.
2
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari aktivitas beberapa antimikotik
terhadap jamur dermatofita M.gypseum yang diduga sebagai penyebab
dermatofitosis pada kuda.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini bermanfaat untuk memberikan informasi tentang aktivitas dan
tingkat suseptibilitas obat antimikotik terhadap jamur dermatofita M.gypseum
penyebab dermatofitosis, sehingga hasil yang diperoleh dapat digunakan sebagai
referensi dalam pemilihan obat antimikotik untuk pengobatan infeksi dermatofita.
.
TINJAUAN PUSTAKA
Dermatofitosis pada Kuda
Ringworm merupakan istilah yang biasa digunakan untuk infeksi jamur
superfisial pada bagian kulit. Jamur yang merupakan penyebab dari infeksi kulit
ini dikenal sebagai dermatofita. Maka istilah yang tepat bagi “ringworm” adalah
dermatofitosis. Istilah “ringworm” mungkin dikembangkan dari gambaran gejala
penyakit yang muncul dari jamur yang mengakibatkan infeksi, namun istilah ini
sering dikelirukan dengan kecacingan dan infeksi parasit yang tidak berkaitan
dengan kondisi tersebut. Terdapat 2 genera dari dermatofita yang dapat
menginfeksi kuda yaitu Microsporum dan Trichophyton. Pada setiap genera ada
beberapa spesies yang mampu menginfeksi kuda, dan kebanyakan kasus
disebabkan oleh beberapa spesies antaranya; Tricophyton equinum adalah
penyebab utama dari dermatofitosis diikuti dengan Trichophyton mentagrophytes,
Tricophyton verrucosum, Microsporum equinum, dan Microsporum gypseum
(Rendle 2015).
Dermatofita menginfeksi dengan tiga langkah utama yaitu perlekatan
dermatofit pada keratin, penetrasi melalui dan di antara sel, serta terbentuknya
respon imun. Proses terjadinya infeksi memerlukan beberapa gangguan yang ada
pada permukaan kulit untuk membantu penetrasi ke dalam folikel rambut. Respon
humoral dan cell-mediated akan tampak setelah infeksi munculnya reaksi
peradangan ditandai dengan peningkatan proliferasi epidermal. Lesio yang
muncul dapat berupa alopecia, scaling, miliary dermatitis, nodul-nodul atau
bahkan tidak menunjukkan semua gejala di atas. Apabila infeksi terjadi, gejala
bersifat permanen dan menyebar hingga rambut yang terinfeksi berhenti tumbuh
atau munculnya respons imun dan jamur dieliminasi. Pada hewan sehat, infeksi
bersifat self-limiting dan kemudiannya menghilang. Dermatofitosis lebih banyak
menyerang hewan yang sangat muda atau tua dan hewan yang menderita
immunosupresi. Kandang yang bersamaan dapat mempercepat terjadinya
penularan (Schaer 2010).
3
Gejala klinis biasanya terlihat dalam jangka waktu 1 hingga 6 minggu dan
lesio mulai membesar dalam waktu beberapa bulan sebelum akhirnya menghilang.
Hewan akan menderita kerontokan rambut (alopecia) dan kulit terinfeksi biasanya
akan menjadi kering dan bersisik (scaling). Kadang muncul gejala bagian tengah
dari lesio akan pulih dan meninggalkan cincin mengelilingi area infeksi (Gambar
1). Hewan tidak mengalami kegatalan dan gejala hanya terbatas di bagian kepala
dan leher serta jarang ditemukan di bagian kaki (Rendle 2015).
Dibandingkan dengan gejala akibat infeksi Microsporum canis,
dermatofitosis pada kuda yang disebabkan oleh M.gypseum menyebabkan lesio
yang lebih besar, lebih meradang, dan adanya penebalan kulit (Kral 1963).
Gambar 1 Lesio dermatofitosis pada kuda
(www.nadis.org.uk)
Masa inkubasi dermatofitosis pada kuda adalah selama 1 minggu sehingga 1
bulan dan pada keadaan yang mendukung pertumbuhan jamur, masa inkubasi
dapat berlangsung 4 hingga 6 hari lebih cepat. Pada kuda yang berkulit tipis,
menunjukkan kepekaan lebih tinggi terhadap infeksi. Disamping itu, keberadaan
trauma dapat mempermudah spora berpenetrasi ke dalam lapisan tanduk atau
folikel rambut. Faktor predisposisi lain diantaranya pemberian antibiotik dan
kortison yang berlebihan sehingga menyebabkan resistensi serta efek dari
defisiensi dalam diet kuda (Kral 1963).
Microsporum gypseum
Microsporum gypseum adalah jamur geofilik dengan distribusi di seluruh
dunia yang dapat menyebabkan infeksi pada hewan dan manusia, terutama anak-
anak dan pekerja pedesaan selama cuaca lembab dan hangat. Gejala awal yang
muncul adalah inflamasi atau peradangan pada kulit dan lesi pada kulit kepala.
Pada rambut yang terinfeksi menunjukkan infeksi ectothrix tetapi apabila diuji
dibawah ultra-violet lampu Wood, tidak terjadi perpendaran (Rippon 1988).
Microsporum gypseum merupakan jamur imperfecti (jamur tidak sempurna) atau
deuteromycotina karena perkembangbiakannya hanya secara aseksual. Aspek
fisiologis penting dari M. gypseum adalah dinding selnya yang mengandung kitin
bersifat heterotrof, menyerap nutrien melalui dinding selnya, dan mengeksresikan
enzim-enzim ekstraseluler ke lingkungannya (Indrawati dan Wellyzar 2006).
Morfologi secara makroskopis, koloni M.gypseum terlihat datar, tumbuh
cepat, menyebar dan berwarna krem seperti cokelat-buff pucat sampai kemerahan
dan berbutir (Gambar 2). Selain itu, koloni juga berbulu halus putih pada bagian
4
permukaan tengah dan kadang ditemukan bercak coklat gelap. Menurut Brooks et
al. (2001) koloni dari M. gypseum yang tumbuh cepat dan menyebar dengan
permukaan yang mendatar ini ditemukan sedikit berserbuk. Serbuk yang berada di
permukaan koloni mengandung makrokonidia (Rippon 1974). Pada bagian
permukaan belakang berwarna kemerahan dan ditemukan pada beberapa strain.
Secara mikroskopis, ditemukan makrokonidia berbentuk kesimetrisan,
elips, berdinding tipis dengan ketebalan 8-16 X 20 μ, dan multiseluler terdiri dari
4 -6 sel. Mikrokonidia dapat diamati, meskipun jarang dihasilkan dan berukuran
2,5-3,0 X 4-6 μ (Rippon 1974). Makrokonidia berdinding kasar dan tipis, dan
pada ujung-ujung hifa terbentuk kumparan (Jawetz et al. 2001). Pada ujung distal
dari sebagian makrokonidia berbentuk agak bulat sedangkan ujung proksimal
berbentuk agak memotong (Rippon 1988).
Gambar 2 Gambaran makroskopis dan mikroskopis Microsporum gypseum
(www.mycology.adelaide.edu.au)
Menurut Wicaksana (2008), Microsporum gypseum memiliki taksonomi
sebagai berikut:
Kingdom : Fungi
Divisi : Ascomycota
Kelas : Eurotiomycetes
Ordo : Onygenales
Family : Arthrodermataceae
Genus : Microsporum
Species : Microsporum gypseum
Habitat Microsporum gypseum di dalam tanah karena tanah diperkaya
dengan sumber keratin seperti rambut ataupun bulu. Seperti dermatofita yang lain,
M. gypseum memiliki kemampuan untuk menginfeksi jaringan manusia dan
hewan yang berkeratin. Konidia tumbuh secara berangsur-angsur, berkembang
membentuk suatu lingkaran (Moschella dan Hurley 1994). Ia memproduksi
keratofilik proteinase yang efektif pada pH asam dan enzim ini berperan dalam
faktor virulensinya (Warnock 2004).
Sebagai jamur keratofilik geofilik, faktor kelembapan, pH, dan kontaminasi
feses menjadi faktor yang mempengaruhi pertumbuhannya. Jamur ini sering
menginfeksi kulit dan rambut (Jawetz et al. 2001). Menurut Emmons et al. (1977),
5
M.gypseum banyak ditemukan pada hewan domestik. Microsporum gypseum
merupakan patogen insidental pada anjing, kuda, dan kadang manusia. Penularan
infeksi mempunyai kemungkinan yang besar untuk terjadi dari hewan ke hewan
atau dari hewan ke manusia. Rantai penularan dari jamur ini relatif pendek
dibanding dengan penularan yang luas dari spesies jamur zoofilik yang lainnya.
Jamur M. gypseum dapat ditularkan secara langsung melalui epitel kulit, rambut,
tanah ataupun dari hewan ke manusia.
Antimikotik
Antimikotik adalah zat berkhasiat yang digunakan untuk penanganan
penyakit yang disebabkan oleh jamur (Mutschler 1991). Antimikotik juga dikenali
dengan istilah obat antifungal. Secara umum infeksi jamur dibedakan oleh infeksi
jamur topikal (dermatofit dan mukokutan) dan sistemik, dimana melibatkan darah,
paru-paru, dan sistem saraf pusat. Infeksi jamur topikal dapat didiagnosa secara
langsung dengan pemeriksaan mikroskopik untuk melihat keberadaan hifa pada
sel kulit atau keberadaan spora pada permukaan dari rambut terinfeksi.
Identifikasi ini dapat dilakukan di laboratorium in-hospital yang mempunyai
media Dermatophyte test. Infeksi sistemik dapat di diagnosa di laboratorium
dengan uji serologis. Pasien dengan infeksi jamur dapat diobati secara oral,
topikal atau perenteral sesuai dengan infeksi yang dialami.
Pada dekade terakhir ini, penggunaan antimikotik sangat berkembang pesat
dan banyak produk antimikotik yang beredar di pasaran. Pada hakikatnya, semua
antimikotik berkhasiat fungistatis pada dosis yang digunakan (Tjay dan Rahardja
2007). Obat antifungal atau antimikotik dibagi menjadi 4 kelas, yaitu: polyene,
imidazole, anti-metabolik, dan agen superfisial (Wanamaker dan Massey 2009).
Beberapa contoh obat antimikotik yang beredar saat ini adalah amfoterisin,
ketokonazol, flukonazol, mikonazol, griseofulvin dan vorikonazol.
Amfoterisin merupakan obat antimikotik yang dikelompokkan dalam
antifungal agen polyene dengan kegunaan klinis untuk mengobati infeksi mikotik
sistemik (Wanamaker dan Massey 2009). Amfoterisin merupakan hasil fermentasi
Streptomyces nodosus. Sebanyak 98% dari campuran amfoterisin B mempunyai
aktivitas antijamur. Aktivitas antijamur nyata pada pH 5,0-7,5; berkurang pada pH
lebih rendah. Antimikotik ini bersifat fungistatik atau fungisidal tergantung dosis
dan aktivitas jamur yang dipengaruhi. Amfoterisin B mempunyai aktivitas
antijamur dimana ia menyerang sel yang sedang tumbuh dan sel matang dengan
berikatan kuat dengan sterol yang terdapat pada membran sel jamur. Ikatan ini
menyebabkan membran sel bocor, sehingga terjadi kehilangan beberapa bahan
intrasel dan mengakibatkan kerusakan yang tetap pada sel. Resistensi terhadap
amfoterisin B mungkin disebabkan oleh perubahan reseptor sterol pada membran
sel (Bahry dan Setiabudi 2005).
Ketokonazol merupakan obat antimikotik turunan imidazol yang
bermanfaat dalam pengobatan infeksi sistemik. Senyawa ini berinteraksi dengan
C-14 alfa-demetilase (enzim P-450 sitokrom) untuk menghambat demetilasi
lanosterol menjadi ergosterol yang merupakan sterol penting membran jamur.
Penghambat ini menganggu fungsi membran dan meningkatkan permeabilitas.
Antimikotik ini bersifat fungistatik atau fungisida tergantung dosis serta berkerja
6
terhadap jamur yang sama dengan amfoterisin B (Mycek et al. 2011).
Ketokonazol merupakan fungistatikum imidazol pertama yang digunakan per oral
dengan spektrum kerjanya mirip mikonazol dan meliputi banyak fungi patogen.
Zat ini juga digunakan pada infeksi sistemis parah dan kronis secara lokal pada
gangguan ketombe hebat (Tjay dan Rahardja 2007).
Flukonazol merupakan antimikotik untuk infeksi sistemik dan diberikan
untuk profilaktik. Flukonazol merupakan inhibitor enzim P-450 sitokrom dan C-
14 alfa-demetilase (biosintesis ergosterol) jamur yang sangat selektif.
Pengurangan ergosterol, yang merupakan sterol utama yang terdapat di dalam
membran sel-sel jamur, dan akumulasi sterol-sterol yang mengalami metilase
menyebabkan terjadinya perubahan sejumlah fungsi sel yang berhubungan dengan
membran. Mekanisme kerja dari flukonazol mirip ketokonazol yaitu menghambat
sintesis ergosterol membran jamur. Flukonazol berkemampuan mengobati
Criptococcus neoformans,untuk kandidemia dan koksidiomikosis (Mycek et al
2011). Flukonazol memiliki spectrum yang luas meliputi Blastomyces dermatidis,
Cocciodioides immitis, Cryptococcus neoformus, Histoplasma capsulatum, dan
Paracoccidioides brasiliensis.
Mikonazol digolongkan sebagai antimikotik untuk infeksi dermatofit dan
mukokutan. Mikonazol merupakan turunan imidazol sintetik yang relatif stabil,
mempunyai spektrum antimikotik yang lebih lebar baik terhadap sistemik maupun
dermatofit. Aktivitas dari Mikonazol adalah menghambat aktivitas jamur
Trichophyton, Epidermophyton, Microsporum, Candida, dan Malassezia furfur.
Mekanisme kerja antimikotik ini adalah menghambat sintesis ergosterol yang
menyebabkan permeabilitas membran sel jamur meningkat. Mungkin pula terjadi
gangguan sintesis asam nukleat atau penimbunan peroksida dalam sel jamur yang
akan menimbulkan kerusakan. Resistensi terhadap imidazol sangat jarang terjadi
dari jamur penyebab dermatofitosis. Untuk dermatofitosis diindikasikan
mikonazol topikal (Bahry dan Setiabudi 2005).
Griseofulvin adalah antimikotik yang merupakan bahan yang diisolasi dari
Penicillium janczweski. Griseofulvin bersifat fungisidal terhadap sel muda yang
berkembang. Menurut Mutschler (1991), griseofulvin bersifat fungistatik setelah
pemakaian jangka panjang karena kemampuan untuk tersimpan secara selektif
dalam lapisan epidermis, rambut, dan kuku. Grisofulvin bekerja menghambat
mitosis jamur dengan mengikat protein mikrotubuler dalam sel. Obat ini
berakumulasi di daerah infeksi, disintesis kembali dalam jaringan keratin, dan
sehingga menyebabkan pertumbuhan jamur terganggu (Mycek et al. 2011).
Griseofulvin efektif untuk infeksi jamur di kulit, rambut, dan kuku yang
disebabkan oleh jamur Microsporum, Trichophyton, dan Epidermophyton (Bahry
dan Setiabudi 2005). Menurut Mycek et al. (2011) adapun resistensi yang terjadi
adalah disebabkan oleh sistem asupan tergantung energi dari antimikotik ini.
Vorikonazol merupakan derivat trifluortriazol yang berspektrum antifungal
luas (Tjay dan Rahardja 2007). Zat aktif yang digunakan merupakan sintetik
triazol yang berasal dari flukonazol dengan mekanisme kerja inhibitor biosintesis
ergosterol. Hal ini menyebabkan berkurangnya ergosterol dan penumpukan
methilat sterol yang mengakibatkan rusaknya struktur dan fungsi membran jamur.
Vorikonazol mempunyai spektrum yang luas terhadap Aspergillus sp.,
Blastomyces dermatitidis, Candida sp., Cryptococcus neoformans, Fusarium sp.,
7
Histoplasma capsulatum, dan Scedosporium apiospermum. Juga efektif terhadap
dematiaceous moulds, tetapi tidak efektif terhadap Zygomycetes (Lubis 2008).
METODE PENELITIAN
Tempat dan Waktu
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September 2014 hingga bulan
Januari 2015 di Laboratorium Mikologi Bagian Mikrobiologi Medik, Departemen
Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat dan Veteriner, Fakultas
Kedokteran Hewan IPB.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah skin scrapings yang
diduga mengalami infeksi dermatofitosis akibat M.gypseum, isolat M.gypseum
hasil isolasi dan identifikasi, media dermatophyte selective agar (DSA), alkohol
70%, akuades, KOH 10%, Lactophenol cotton blue (LPCB), sediaan kertas
cakram antimikotik ketokonazol (KCA) 15µg, amfoterisin (AMB) 20 µg,
vorikonazol (VO) 1 µg, flukonazol (FLU) 10 µg, griseofulvin (AGF) 10 µg, dan
mikonazol (MCL) 10 µg.
Peralatan yang digunakan pada penelitian ini adalah tabung reaksi, wadah
plastik, cawan Petri, batang gelas bentuk “U”, ose, pembakar Bunsen, pipet ukur,
inkubator, mesin vortex, gelas objek dan penutup, batang pengaduk kaca,
mikropipet, pinset steril, kertas saring, mikroskop, dan kamera.
Metodologi
Tahapan Penelitian
Koleksi Spesimen
Pada penelitian ini digunakan sampel dari satu ekor kuda yang diduga
menderita infeksi dermatofitosis di Unit Rehabilitasi dan Reproduksi, Fakultas
Kedokteran Hewan, IPB. Bagian kulit yang diduga terinfeksi dibersihkan dengan
alkohol 70% dan dilakukan pengambilan sampel kerokan kulit.
Isolasi dan identifikasi jamur
a.Pemeriksaan cepat dengan KOH
Pemeriksaan dilakukan dengan meletakkan sampel kerokan kulit pada gelas
objek dan diteteskan KOH 10% sebanyak 1-2 tetes, kemudian ditutup dengan
menggunakan gelas penutup dan didiamkan selama 20-30 menit agar jaringan
8
keratin terurai. Pengamatan dilakukan dengan bantuan mikroskop. Identifikasi
mikroskopis dilakukan menggunakan acuan dari Carter dan Cole (1990).
b.Isolasi jamur dengan media DSA
Sampel kerokan kulit diidentifikasi dengan menggunakan media biakan
DSA dengan mengisolasikan pada beberapa media DSA dan diinkubasikan pada
temperatur kamar (25-27 °C) selama 7-14 hari sehingga terlihat adanya
pertumbuhan koloni.
c.Identifikasi jamur
Identifikasi jamur dalam penelitian ini dilakukan secara makroskopis dan
mikroskopis. Secara makroskopis dengan melihat gambaran koloni jamur meliputi
pigmen, tekstur, sifat serta lama pertumbuhan. Secara mikroskopis untuk melihat
morfologi secara jelas dilakukan pembiakan dengan menggunakan metode slide
culture menurut Riddle dan kemudian diinkubasi selama 48 jam dan dilanjutkan
dengan pewarnaan LPCB dan kemudian diamati menggunakan mikroskop (Dorry
1980). Identifikasi secara mikroskopis sebelumnya dilakukan secara natif
langsung dari koloni dan metode selotipe.
Persiapan Uji Aktivitas Antimikotik
Suspensi inokulum yang berisi makrokonidia dan mikrokonidia kemudian
dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan dibiarkan mengendap selama 15 hingga
20 menit pada suhu kamar. Suspensi kemudiannya di vortex sehingga fragmen
besar jamur memecah dan homogen. Selanjutnya disediakan 3 media DSA dan
suspensi diambil dari berbagai konsentrasi yang berbeda ditumbuhkan dan
diinkubasi. Media kemudian diinkubasi selama 7-14 hari temperatur kamar (25-27
°C) dan dilakukan pengamatan.
Pengujian Antimikotik dengan Metode Cakram Kertas
Suspensi endapan diambil sebanyak 0.2 ml lalu dibiakkan pada 2 plat media
DSA dengan cara digoreskan. Setelah dibiarkan kering selama 10-15 menit,
dengan menggunakan pinset steril, kertas cakram antimikotik ketokonazol (KCA)
15µg, amfoterisin (AMB) 20 µg, dan vorikonazol (VO) 1 µg diletakkan pada Plat
1. Pada Plat 2 diletakkan cakram kertas anitimikotik flukonazol (FLU) 10 µg,
griseofulvin (AGF) 10 µg, dan mikonazol (MCL) 10 µg. Ketiga cakram kertas
antimikotik pada setiap plat agar DSA diletakkan dengan jarak segitiga sama sisi
(Gambar 3). Pengujian dilakukan dengan Metode Duplo. Plat pengujian
diinkubasikan pada temperatur kamar (25-27 °C) selama 7 hari.
Gambar 3 Posisi peletakan cakram kertas antimikotik pada media biakan
9
Pengamatan Hasil
Pengamatan hasil dilakukan dengan cara observasi pertumbuhan koloni dan
zona hambat berwarna bening di sekitar cakram. Pengamatan dilakukan selama
tujuh hari dan pengukuran diameter zona hambat dalam ukuran milimeter (mm)
dilakukan pada hari ke-3 dan hari ke-7 (Singh et al. 2007).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dermatofitosis adalah infeksi jamur superfisial yang disebabkan oleh jamur
dari golongan dermatofita. Dalam penelitian ini, gejala klinis kuda yang diduga
menderita dermatofitosis menunjukkan gejala peradangan pada permukaan kulit
dengan gejala kerontokan rambut, alopesia dan kulit menjadi bersisik (Gambar 4).
Pada kuda, terlihat mengalami kerontokan rambut pada tempat tumbuhnya bulu
suri dan terlihat pada bagian leher kuda adanya lesio berbentuk sirkuler yang
berukuran kurang lebih 10 mm sampai 25 mm Pada penelitian kuda yang diduga
menderita dermatofitosis disebabkan oleh M.gypseum mengalami lesio yang lebih
besar, lebih meradang, dan adanya penebalan pada kulit dibanding dengan
M.canis, sesuai yang penyataan Kral (1963).
Gambar 4 Lesio infeksi yang diduga dermatofitosis pada Kuda
Dalam penelitian ini dilakukan pemeriksaan langsung dari kerokan kulit dan
diperiksa secara cepat dengan menggunakan KOH 10% dimana fungsi dari zat ini
adalah untuk melisiskan keratin agar mempermudah identifikasi. Secara
mikroskopis, makrokonidia berbentuk oval yang terdiri dari 4 sampai 6 sel
ditemukan dalam jumlah yang banyak (Gambar 5). Jawetz et al. (2001)
menyatakan bahwa morfologi mikroskopis jamur M.gypseum memiliki
makrokonidia multiseluler terdiri 4 sampai 6 sel, berdinding kasar dan tipis, dan
pada ujung-ujung hifa berbentuk kumparan.
10
Gambar 5 Hasil pengamatan mikroskopis pemeriksaan cepat
menggunakan KOH 10% (Pembesaran 400x)
Isolasi dan identifikasi jamur dilakukan menggunakan media DSA. Media
DSA merupakan media berbentuk padat berfungsi sebagai media selektif untuk
pertumbuhan jamur dan menghambat pertumbuhan bakteri dengan adanya
antibiotik cycloheximide, chloramphenicol, dan gentamicin. Secara makroskopis,
koloni terlihat datar, menyebar dengan tekstur seperti butiran kecil. Warna koloni
terlihat pada kultur adalah putih kecoklatan dengan adanya permukaan halus putih
di pusat (dome) (Gambar 6). Aspek kultur M.gypseum menunjukkan adanya
koloni bersifat “cotton-like” yang berwarna putih dengan bagian tengah berwarna
coklat kekuningan dan puncak radial, serta kebalikkan koloni berwarna kuning
sesuai dengan literatur oleh Mihali (2012), Rippon (1988), dan Brooks et al.
(2001).
Microsporum gypseum di media DSA memiliki fase pertumbuhan koloni
antara 6-10 hari, sifat menyebar dengan tekstur seperti butiran kecil. Penampakan
makroskopis berupa koloni datar yang menyebar dan berwarna krem sampai
cokelat-buff pucat dengan kebalikkan kuning hingga kemerahan pada beberapa
strain (Gambar 6). Pada biakan yang matang, koloni terlihat berserbuk halus putih
pada bagian permukaan tengah dan kadang ditemukan bercak coklat gelap. Serbuk
yang berada di permukaan koloni mengandung makrokonidia (Rippon 1974).
Gambar 6 Gambaran makroskopis Microsporum gypseum pada media
DSA
Morfologi secara mikroskopis akan lebih jelas apabila dibiakkan dengan
menggunakan metode slide culture menurut Riddle dan diamati secara natif dan
selotipe. Genus Microsporum menghasilkan makrokonidia dan mikrokonidia,
Mica (2007) menyatakan bahwa jumlah makrokonidia yang dihasilkan jamur M.
11
gypseum lebih banyak apabila dibandingkan dengan M. canis serta jumlah
makrokonidia yang dihasilkan adalah jauh lebih banyak daripada mikrokonidia.
Sesuai dengan penyataan tersebut, pengamatan mikroskopis menemukan
makrokonidia dalam jumlah yang besar dimana hal ini juga sesuai dengan
penyataan Mihali (2012) yang menyatakan pada preparat natif M. gypseum dapat
ditemukan sejumlah besar makrokonidia serta mikrokonidia pada talus yang
panjang.
Setelah dilakukan pengamatan, diperoleh gambaran morfologi konidia
ataupun hifa secara mikroskopis yaitu makrokonidia berbentuk elips simetris,
berdinding kasar dan tipis, dan multiseluler terdiri dari 4-6 sel (Gambar 7). Hasil
pengamatan dimana makrokonidia mempunyai dinding tipis yang kasar sesuai
dengan literatur oleh Rippon (1974) dan Jawetz et al. (2001). Pewarnaan dengan
LPCB membantu dalam peneguhan identifikasi dengan memberi gambaran
morfologi yang jelas dimana ditemukan ada sekat pada bagian ujung
makrokonidia, seperti yang dinyatakan oleh Mihali (2012) bahwa pada ujung
distal dari makrokonidia M.gypseum berbentuk tajam dan mempunyai sekat pada
bagian ujung. Gambaran ini menjadi perbedaan jelas dalam perbandingan dengan
morfologi M.canis dimana sekat menjadi ciri khas dari M.gypseum.
Gambar 7 Gambaran mikroskopis Microsporum gypseum.dan adanya sekat pada
bagian ujung distal M.gypseum (Pembesaran 400x)
Pengujian aktivitas antimikotik dilakukan dengan cara difusi agar. Metode
difusi agar ini meliputi 3 cara yaitu metode silinder, metode sumur dan metode
cakram kertas. Metode cakram kertas merupakan metode yang sangat sederhana,
mudah pengujiannya dan tidak memerlukan berbagai macam alat. Menurut Sevtap
(2007), metode ini sangat dinamis dan banyak digunakan dalam bidang mikologi
medis.
Antimikotik yang digunakan dalam penelitian ini berupa cakram kertas yang
berisi antimikotik ketokonazol (KCA) 15µg, amfoterisin (AMB) 20 µg, dan
vorikonazol (VO) 1 µg diletakkan pada Plat 1. Pada Plat 2 diletakkan cakram
kertas anitimikotik flukonazol (FLU) 10 µg, griseofulvin (AGF) 10 µg, dan
mikonazol (MCL) 10 µg. Uji aktivitas antimikotik yang telah dilakukan
memperlihatkan terbentuknya zona bening di sekitar kertas cakram. Hasil yang
diperoleh sangat bervariasi baik dari gambaran zona hambatan secara keseluruhan
(Gambar 8 dan Gambar 9) ataupun dari masing-masing antimikotik (Gambar 10
12
dan Gambar 11) serta hasil pengukuran diameter zona hambat (Tabel 1 dan Tabel
2).
Cawan 1 Cawan 2
KCA: Ketokonazol, AMB: Amfoterisin, VO: Vorikonazol, FLU: Flukonazol,
AGF: Griseofulvin, MCL: Mikonazol
Gambar 8 Hasil keseluruhan pengujian antimikotika terhadap
M.gypseum pada hari ke-3
Cawan 1 Cawan 2
KCA KCA
AMB AMB
VO
VO
MCL
MCL
FLU
FLU AGF
AGF
AMB
AMB VO
VO
KCA
KCA
FLU
FLU
AGF
AGF
MCL MCL
13
KCA: Ketokonazol, AMB: Amfoterisin, VO: Vorikonazol, FLU: Flukonazol,
AGF: Griseofulvin, MCL: Mikonazol
Gambar 9. Hasil keseluruhan pengujian antimikotika terhadap
M.gypseum pada hari ke-7
Tabel 1 Diameter zona hambat (mm) di sekitar cakram kertas antimikotik
terhadap M.gypseum pada hari ke-3
Antimikotik Diameter zona hambat (mm) Rata-rata
1 2
Ketokonazol(KCA) 26 22 24
Amfoterisin(AMB) 0 0 0
Vorikonazol (VO) 35 32 33.7
Flukonazol(FLU) 0 0 0
Griseofulvin (AGF) 16 15 15.5
Mikonazol(MCL) 16 13 14.5
Tabel 2 Diameter zona hambat (mm) di sekitar cakram kertas antimikotik
terhadap M.gypseum pada hari ke-7
Antimikotik Diameter zona hambat (mm) Rata-rata
1 2
Ketokonazol (KCA) 0 0 0
Amfoterisin (AMB) 0 0 0
Vorikonazol (VO) 12 5 8.5
Flukonazol(FLU) 0 0 0
Griseofulvin (AGF) 18.5 16 17.25
Mikonazol(MCL) 15.5 9 12.25
Pada hari ke-3 menunjukkan diameter zona bening yang terbentuk pada
ketokonazol, amfoterisin, vorikonazol, flukonazol, griseofulvin, dan mikonazol
berturut-turut sebesar 24 mm, 0 mm, 33.7 mm, 0 mm, 15.5 mm, dan 14.5 mm
(Tabel 1). Pengamatan dilanjutkan lagi pada hari ke-7 dan didapatkan hasil
pengujian untuk antimikotik ketokonazol, amfoterisin, vorikonazol, flukonazol,
griseofulvin, dan mikonazol berturut-turut yaitu sebesar 0 mm, 0 mm, 8.5 mm, 0
mm, 17.25 mm, dan 12.25 mm (Tabel 2). Berdasarkan pengujian dengan
vorikonazol, griseofulvin, dan mikonazol didapatkan zona hambat yang bertahan
sehingga hari ke-7 dengan griseofulvin menghasilkan zona hambat terbesar.
14
Ketokonazol (KCA) Amfoterisin (AMB) Vorikonazol (VO)
Flukonazol (FLU) Griseofulvin (AGF) Mikonazol (MCL)
Gambar 10 Zona hambat yang terbentuk di sekitar cakram kertas
antimikotik pada hari ke-3
Ketokonazol (KCA) Amfoterisin (AMB) Vorikonazol (VO)
Flukonazol ( FLU) Griseofulvin (AGF) Mikonazol (MCL)
Gambar 11 Zona hambat yang terbentuk di sekitar cakram kertas
antimikotik pada hari ke-7
Pengujian menggunakan ketokonazol, amfoterisin, dan flukonazol
menunjukkan tidak terbentuknya zona hambat pada akhir pengujian. Ketokonazol
pada awalnya membentuk zona hambat sebesar 24 mm namun akhirnya hilang
aktivitas. Menurut Mycek et al. (2011), spektrum aktivitas ketokonazol yang
bersifat fungistatika atau fungisidal tergantung dari dosis. Adapun pada tiga hari
15
pertama, ketokonazol bekerja dalam mengganggu fungsi membran dan
meningkatkan permeabilitas yang menghasilkan zona hambatan bening, sebelum
hilangnya aktivitas dari antimikotik tersebut. Maka pada hari ke-7, ketokonazol
sudah tidak mampu beraktivitas terhadap M.gypseum sehingga tidak terbentuk
lagi zona hambat terhadap perkembangan jamur tersebut.
Pengujian dengan amfoterisin dan flukonazol menunjukkan aktivitas paling
buruk dimana tidak ada zona hambat yang terbentuk disekitar cakram kertas.
Hasil ini menunjukkan ketidakmampuan amfoterisin dan flukonazol beraktivitas
terhadap jamur M.gypseum. Menurut Mutschler (1991), amfoterisin beraktivitas
lebih tinggi terhadap sejumlah mikosis yang disebabkan oleh jamur Sacharomyces
dibanding dengan jamur Microsporum. Untuk ketidakmampuan flukonazol, sesuai
dengan beberapa hasil penelitian, dijelaskan bahwa senyawa ini mempunyai
aktivitas paling rendah terhadap dermatofita dibanding antimikotik lainnya (Singh
et al. 2007; Favre et al. 2003).
Pengujian menggunakan vorikonazol menunjukkan pola naik turun pada
pengamatan hari ke-3 dan hari ke-7, dimana pada awalnya mendapatkan zona
hambat sebesar 33.7 mm menjadi 8.5 mm pada penghujung pengujian. Aktivitas
vorikonazol yang diukur pada hari ke-3 mendapatkan hasil yang sesuai dengan
penelitian Perea et al (2001) dimana vorikonazol menunjukkan aktivitas paling
tinggi dibanding dengan antimikotik lainnya yaitu ketokonazol, griseofulvin, dan
flukonazol. Penurunan diameter zona ini pada hari ke-7 dapat dijelaskan dengan
kenyataan oleh Lubis (2008) yang menyatakan bahwa senyawa ini lebih efektif
terhadap jamur dengan hifa gelap (dematiaceous mold). Vorikonazol juga bersifat
lebih susceptible terhadap dermatofita khususnya Epidermophyton sp. (Perea et al.
2001).
Pola yang sama ditunjukkan oleh hasil pengujian dengan mikonazol,
dimana pada hari ke-3 dengan diameter sebesar 14.5 mm dan kemudian menurun
pada hari ke-7 menjadi 12.5 mm. Dapat dikatakan senyawa ini mempunyai
aktivitas yang tinggi karena penurunan diameter zona hambat lebih kecil
dibanding yang lain. Menurut Tjay dan Rahardja (2007) bahwa senyawa
mikonazol bersifat fungisida kuat hingga lebih aktif dan efektif terhadap
dermatofit. Hasil akhir pengujian ini juga sejalan dengan Pakshir et al. (2009),
bahwa mikonazol menunjukkan aktivitas yang baik terhadap strain dermatofita
dibanding dengan antimikotik yang lain.
Griseofulvin bersifat fungisidal terhadap sel muda dan pemakaian jangka
panjang menunjukkan griseofulvin juga bersifat fungistatik. Aktivitas griseofulvin
pada penelitian ini menunjukkan hasil zona hambat dengan diameter 15.5 mm
pada hari ke-3 dan pada hari ke -7 menunjukkan peningkatan yaitu 17.5 mm. Hal
ini disebabkan karena sifat dari griseofulvin yang mampu bekerja sebagai
fungisidal terhadap perkembangan sel sesuai penyataan Bahry dan Setiabudi
(2000). Menurut Mycek et al. (2011), mekanisme kerja griseofulvin adalah
dengan berikatan dengan mikrotubulus dan menghambat sintesis dari jamur
tersebut. Bahry dan Setiabudi (2000) turut menyatakan bahwa senyawa ini secara
in vitro efektif secara spesifik terhadap jamur dermatofita Trichophyton,
Epidermophyton, dan Microsporum .
16
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Jamur Microsporum gypseum merupakan penyebab dermatofitosis pada
kuda yang ada di Unit Rehabilitasi dan Reproduksi, Fakultas Kedokteran Hewan,
IPB. Griseofulvin merupakan antimikotik yang mempunyai aktivitas paling baik
terhadap M.gypseum sehingga dapat digunakan sebagai obat pilihan dalam
pengobatan dermatofitosis yang disebabkan oleh M.gypseum.
Saran
Perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan menggunakan metode
Minimum Inhibitory Concentration (MIC) dari obat-obat tersebut sehingga dapat
diketahui nilai MIC dari masing-masing obat terhadap daya hambat kapang
M.gypseum.
DAFTAR PUSTAKA
Bahry B, Setyabudi R. 2005. Obat Jamur dalam Farmakologi dan Terapi. Ed ke-4
Jakarta (ID): FK UI
Brooks GF, Butel JS, Morse SA. 2001. Mikrobiologi Kedokteran. Ed ke-1. Jakarta
(ID): Salemba Medika.
Carter GR, Cole JR. 1990. Diagnostic prosedures in veterinary bacteriology and
mycology. 5th
Ed. San Diego (US): Academic Pr Inc.
Dorry YA. 1980. Laboratory Medical Mycology. Washington (US): Washington
Univ.
Ellis D. 2013. Microsporum gypseum. Mycology Online [Internet]. Adelaide
(AU):Mycology Online. hlm 1; [diunduh 2015 May 22]. Tersedia pada
http://www.mycology.adelaide.edu.au.
http://.mycology.adelaide.edu.au/dermatophytes/Microsporum gypseum.html
Emmons WC, Buford HC, Putz J, Kwon CKJ. 1977. Medical Mycology. 3rd
Edition. Philadephia (US): Lea & Febiger.
Favre B, Hofbauer B, Hildering KS, Ryder NS. 2003. Comparison of in vitro
activities of 17 antifungal drugs against a panel of 20 dermatophytes by using a
microdilution assay. J Clin Microbiol. 41: 4817-4819.
Indrawati G, Wellyzar S, editor. 2006. Mikologi : Dasar dan Terapan. Ed ke-1.
Jakarta (ID): Yayasan Obor Indonesia.
Jawetz E, Melnick JL, Adelberg EA. 2001. Mikrobiologi Kedokteran. Buku I.
Widorini N, penerjemah. Jakarta (ID): Salemba Medika.
Kral F. 1963. Equine Medicine and Surgery [editorial]. California (US): American
Veterinary Publ
17
Lubis RD. 2008. Pengobatan Dermatomikosis [Internet]. [diunduh tanggal 20 Jan
2015]. Tersedia pada:
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3399/3/08E00891.pdf.txt
Mica. 2007. Microsporum canis. Clinical microbiology proficiency testing
(CMPT Program plus) [Internet]. [diunduh 2015 Juni 20]; 0709-2.
Tersedia pada: http//www.cmpt.ca/mycology
Mihali CV, Buruiana A, Turcus V, Covaci A, Ardelean A. 2012. Comparative
studies of morphology and ultrastructure in two common species of
dermatophytes: Microsporum canis and Microsporum gypseum. J Annals of
RSCB. 17(1):1-5.
Moschella SL, Hurley HJ. 1994. Dermatology. 3rd
Ed. Volume One. Philadelphia
(US):W.B. Saunders
Mutschler E. 1991. Dinamika Obat. Widianto MB dan Ranti AS, penerjemah.
Bandung (ID): Penerbit ITB.
Mycek MJ, Harvey RA, Champe PC. 2011. Pharmacology (Lippincott's
Illustrated Reviews Series). Philadelphia (US): Lippincott Williams & Wilkins.
Pakshir K, Bahaedinie L, Rezaei Z, Sodaifi M, Zomorodian K. 2009. In vitro
activity of six antifungal drugs against clinically important dermatophytes. J
Jound Microbiol. 2(4): 158-163.
Perea S, Fothergill AW, Sutton DA, Rinaldi MG. 2001. Comparison of in vitro
activities of voriconazole and five established antifungal agents against
different species of dermatophytes using a broth macrodilution method. J Clin
Microbiol. 39: 385-388.
Quinn PJ, Markey BK, Leonard FC, Fitzpatrick ES, Fanning S, Hartigan PJ. 2006.
Veterinary Microbiology and Microbial Disease. Oxford (GB): Blackwell Publ.
Rendle D. 2015. Dermatophytosis - “Ringworm”. [Internet]. [diunduh 2015 Mei
20];
Tersedia pada: http://www.nadis.org.uk/bulletins/dermatophytosisringworm.aspx
Rippon JW. 1974. Medical Mycology The Pathogenic Fungi and The Pathogenic
Actinomycetes. Phildelphia (US): W.B. Saunders Co.
Rippon JW.1988. Medical Mycology. 3rd
Ed. Philadelphia (US): W.B. Saunders
Co.
Schaer M. 2010. Clinical Medicine of The Dog and and Cat. 2nd
Ed. London
(GB): Manson Publ.
Sevtap A. 2007. Current status of antifungal susceptibility testing methods. Med
Mycol. 45: 569-87
Singh J, Zaman M, Gupta AK. 2007. Evaluation of microdilution and disk
diffusion methods for antifungal susceptibility testing of dermatophytes. Med
Mycol. 45:595-602
Tjay TH, Rahardja K. 2007. Obat-obat Penting. Jakarta (ID): Penerbit PT Elex
Media Komputindo.
Wanamaker BP, Massey KL .2009. Applied Pharmacology for Veterinary
Technicians. 4th
Edition. Missouri (US):Saunders Elsevier.
Warnock DW. 2004. Superficial Fungal Infection: Infectious Disease. 2nd
Ed.
Philadephia (US): Mosby Elsevier Ltd.
Weitzman I, Summerbell RC. 1995. The dermatophytes. Clin Microbiol Rev
1995; 8: 240-259
18
Wicaksana IGA. 2008. Microsporum gypseum. Yogyakarta (ID): Univ Gadjah
Mada Pr.
19
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Johor, Malaysia pada tanggal 4 Agustus 1991 dari ibu
Mas Illazreen Ghazali dan ayah Azaman Abu Bakar. Penulis merupakan putri
pertama dari tiga bersaudara. Pendidikan formal dimulai dari TK Satria Jaya, SD
St. Mary’s Primary School, SMP SM Agama Tun Ahmad Zaidi, SMA Section 9
Secondary School Shah Alam, dan melanjutkan studi Foundation in Science di
President College Kuala Lumpur. Penulis diterima sebagai mahasiswa baru
Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor pada tahun 2011 sebagai
Mahasiswa Asing.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif berpartisipasi di organisasi
dalam dan luar kampus. Organisasi kampus yang penulis ikuti diantaranya
Himpunan Minat dan Profesi Hewan Kesayangan dan Satwa Akuatik Eksotik
sebagai Ketua Divisi Kuda pada masa kepengurusan 2013/2014 dan sebagai
Timbalan Pengerusi Tetap di organisasi Persatuan Kebangsaan Pelajar Malaysia-
Indonesia Cabang Bogor pada masa kepengurusan 2012/2013.
Penulis juga pernah mengikuti acara pengabdian masyarakat Mahasiswa
Abdi Nusantara di Riau pada tahun 2014 serta acara dari organisasi International
Veterinary Student Association Vet Youth Summit Japan 2015 sebagai anggota
delegasi Indonesia.
Sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar sarjana, penulis melakukan
penelitian yang berjudul Aktivitas Beberapa Antimikotik terhadap Microsporum
gypseum sebagai Penyebab Dermatofitosis pada Kuda.