Transcript
Page 1: AKTIVITAS BEBERAPA ANTIMIKOTIK TERHADAP Microsporum ... · dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam ... antimikotik sering dikombinasikan dengan antibiotik maupun

AKTIVITAS BEBERAPA ANTIMIKOTIK TERHADAP

Microsporum gypseum SEBAGAI PENYEBAB

DERMATOFITOSIS PADA KUDA

KARTINI IZREEN KURNIA

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2015

Page 2: AKTIVITAS BEBERAPA ANTIMIKOTIK TERHADAP Microsporum ... · dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam ... antimikotik sering dikombinasikan dengan antibiotik maupun
Page 3: AKTIVITAS BEBERAPA ANTIMIKOTIK TERHADAP Microsporum ... · dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam ... antimikotik sering dikombinasikan dengan antibiotik maupun

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul AKTIVITAS

BEBERAPA ANTIMIKOTIK TERHADAP Microsporum gypseum

SEBAGAI PENYEBAB DERMATOFITOSIS PADA KUDA adalah benar

karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam

bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang

berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari

penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di

bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2015

Kartini Izreen Kurnia

NIM B04118009

Page 4: AKTIVITAS BEBERAPA ANTIMIKOTIK TERHADAP Microsporum ... · dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam ... antimikotik sering dikombinasikan dengan antibiotik maupun

ABSTRAK

KARTINI IZREEN KURNIA. Aktivitas Beberapa Antimikotik terhadap

Microsporum gypseum sebagai Penyebab Dermatofitosis pada Kuda. Dibimbing

oleh AGUSTIN INDRAWATI.

Dermatofitosis merupakan penyakit jamur yang bersifat kutaneous

superfisial yang menyerang lapisan keratin dari kulit yang disebabkan oleh jamur

golongan dermatofita. Microsporum gypseum merupakan dermatofita geofilik

yang diduga sebagai penyebab penyakit dermatofitosis pada kuda. Dalam

penelitian ini dilakukan isolasi dan identifikasi sampel dari kuda yang diduga

menderita dermatofitosis oleh M.gypseum. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk

melakukan diagnosa secara tepat penyebab dermatofitosis pada kuda dan agen

penyebab dermatofitosis tersebut. Pada penelitian ini dilakukan identifikasi dan

isolasi secara cepat, menggunakan KOH 10% serta isolasi dengan membiakkan

pada DSA dan identifikasi dengan melakukan slide culture menurut Riddle. Uji

aktivitas antimikotik dilakukan menggunakan metode cakram kertas dan

antimikotik yang digunakan adalah ketokonazol, amfoterisin, vorikonazol,

flukonazol, griseofulvin, dan mikonazol yang menghasilkan zona hambat dengan

diameter 0 mm, 0 mm, 8.5 mm, 0 mm, 17.25 mm, dan 12.25 mm secara berurutan

pada akhir pengujian. Penelitian menunjukkan bahwa griseofulvin merupakan

antimikotik yang mempunyai aktivitas paling baik terhadap M. gypseum dan

boleh digunakan sebagai obat pilihan dalam pengobatan dermatofitosis

disebabkan oleh jamur tersebut.

Kata kunci: dermatofitosis, uji aktivitas antimikotik, Microsporum gypseum, kuda

ABSTRACT

KARTINI IZREEN KURNIA. Antimycotics Activities against Microsporum

gypseum as the cause of Dermatophytosis in Horses. Supervised by AGUSTIN

INDRAWATI.

Dermatophytosis is a superficial cutaneous fungal infection that attacks the

keratin layer of the skin caused by a group of fungi known as dermatophytes.

Microsporum gypseum is a geophilic dermatophyte that suspected to cause this

infection in horses. In this research, isolation and identification of sample from the

horse that was suspected to be infected with dermatophytosis caused by

M.gypseum was done. As an effort to treat dermatophytosis, antimycotics are

widely used. The aim of this study is to be able to diagnose accurately the cause of

dermatophytosis in horses and the agent that causes it.The procedure of this

research included rapid isolation and identification, using KOH 10%, isolation

onto DSA media and identification using Riddle’s slide culture method. The

antimycotic test was done using disk diffusion assay method and the antimycotics

used in the test were ketoconazole, amphotericine, voriconazole, fluconazole,

griseofulvin, and miconazole, producing inhibition zones with diameters 0 mm, 0

mm, 8.5 mm, 0 mm, 17.25 mm, and 12.25 mm respectively at the end of the test.

This study revealed that griseofulvin has the best antimycotic activity against

Page 5: AKTIVITAS BEBERAPA ANTIMIKOTIK TERHADAP Microsporum ... · dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam ... antimikotik sering dikombinasikan dengan antibiotik maupun

M.gypseum and can be used as the drug of choice for the treatment of

dermatophytosis caused by the fungi.

Keywords: dermatophytosis, antimycotic activity test, Microsporum gypseum,

horses

Page 6: AKTIVITAS BEBERAPA ANTIMIKOTIK TERHADAP Microsporum ... · dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam ... antimikotik sering dikombinasikan dengan antibiotik maupun
Page 7: AKTIVITAS BEBERAPA ANTIMIKOTIK TERHADAP Microsporum ... · dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam ... antimikotik sering dikombinasikan dengan antibiotik maupun

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Kedokteran Hewan

pada

Fakultas Kedokteran Hewan

AKTIVITAS BEBERAPA ANTIMIKOTIK TERHADAP

Microsporum gypseum SEBAGAI PENYEBAB

DERMATOFITOSIS PADA KUDA

KARTINI IZREEN KURNIA

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2015

Page 8: AKTIVITAS BEBERAPA ANTIMIKOTIK TERHADAP Microsporum ... · dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam ... antimikotik sering dikombinasikan dengan antibiotik maupun
Page 9: AKTIVITAS BEBERAPA ANTIMIKOTIK TERHADAP Microsporum ... · dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam ... antimikotik sering dikombinasikan dengan antibiotik maupun
Page 10: AKTIVITAS BEBERAPA ANTIMIKOTIK TERHADAP Microsporum ... · dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam ... antimikotik sering dikombinasikan dengan antibiotik maupun
Page 11: AKTIVITAS BEBERAPA ANTIMIKOTIK TERHADAP Microsporum ... · dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam ... antimikotik sering dikombinasikan dengan antibiotik maupun

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya

sehingga skripsi berjudul Aktivitas beberapa Antimikotik terhadap Microsporum

gypseum sebagai penyebab Dermatofitosis pada Kuda ini berhasil diselesaikan.

Terima kasih penulis ucapkan kepada semua yang membantu penyelesaian skripsi

ini :

1. Dr Drh Agustin Indrawati, MBiomed selaku pembimbing skripsi yang telah

banyak mencurahkan ilmu dalam mengerjakan penelitian hingga selesainya

skripsi ini.

2. Ibu Siti Sa’diah, S.Si, Apt., M.Si selaku pembimbing akademik selama

perkuliahan yang telah banyak memberi semangat dan motivasi selama masa

perkuliahan

3. Ibu Esih dan Bapak Ismet yang sangat banyak membantu serta memberi saran

dan arahan selama pelaksanaan penelitian.

4. Keluarga; Mama Mas Illazreen Ghazali , Papa Azaman Abu Bakar, Nenda

Datin Hj. Zaiton Hussein, Maklong Mas Idura Ghazali, Aiman I’zaaz, Abdul Aziz,

Toby, Boy, serta seluruh keluarga atas seluruh semangat, doa, dan kasih sayang

yang telah diberikan.

5. Nico Ferdian Arisona, Charisha Fraser, Clarisse Francyne, dan Lim Su-Szien

serta teman-teman Ganglion 48 lainnya yang telah menjadikan masa-masa

perkuliahan menjadi lebih menyenangkan.

6. Pihak-pihak yang telah membantu yang tidak bisa disebutkan satu-persatu.

Penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat dan memperkaya ilmu

pengetahuan khususnya di bidang Kedokteran Hewan.

Bogor, Agustus 2015

Kartini Izreen Kurnia

Page 12: AKTIVITAS BEBERAPA ANTIMIKOTIK TERHADAP Microsporum ... · dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam ... antimikotik sering dikombinasikan dengan antibiotik maupun

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 2

Manfaat Penelitian 2

TINJAUAN PUSTAKA 2

Dermatofitosis pada Kuda 2

Microsporum gypseum 3

Antimikotik 5

METODE 7

Waktu dan Tempat 7

Bahan dan Alat 7

Tahapan Penelitian 7

HASIL DAN PEMBAHASAN 9

SIMPULAN DAN SARAN 16

Simpulan 16

Saran 16

DAFTAR PUSTAKA 16

RIWAYAT HIDUP 19

Page 13: AKTIVITAS BEBERAPA ANTIMIKOTIK TERHADAP Microsporum ... · dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam ... antimikotik sering dikombinasikan dengan antibiotik maupun

DAFTAR TABEL

1 Tabel 1 Diameter zona hambat (mm) di sekitar cakram kertas

antimikotik terhadap M.gypseum pada hari ke-3 13 2 Tabel 2 Diameter zona hambat (mm) di sekitar cakram kertas

antimikotik terhadap M.gypseum pada hari ke-7 13

DAFTAR GAMBAR

1 Gambar 1 Lesio dermatofitosis pada kuda 3 2 Gambar 2 Gambaran makroskopis dan mikroskopis Microsporum

gypseum 4 3 Gambar 3 Posisi peletakan cakram kertas antimikotik pada media

biakan 8 4 Gambar 4 Lesio infeksi yang diduga dermatofitosis pada Kuda 9 5 Gambar 5 Hasil pengamatan mikroskopis pemeriksaan cepat

menggunakan KOH 10% (Pembesaran 400x) 10 6 Gambar 6 Gambaran makroskopis Microsporum gypseum pada media

DSA 10 7 Gambar 7 Gambaran mikroskopis Microsporum gypseum.dan adanya

sekat pada bagian ujung distal M.gypseum (Pembesaran 400x) 11 8 Gambar 8 Hasil keseluruhan pengujian antimikotika terhadap

M.gypseum pada hari ke-3 12 9 Gambar 9 Hasil keseluruhan pengujian antimikotika terhadap

M.gypseum pada hari ke-7 13 10 Gambar 10 Zona hambat yang terbentuk di sekitar cakram kertas

antimikotik pada hari ke-3 14

11 Gambar 11 Zona hambat yang terbentuk di sekitar cakram kertas

antimikotik pada hari ke-7 14

Page 14: AKTIVITAS BEBERAPA ANTIMIKOTIK TERHADAP Microsporum ... · dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam ... antimikotik sering dikombinasikan dengan antibiotik maupun
Page 15: AKTIVITAS BEBERAPA ANTIMIKOTIK TERHADAP Microsporum ... · dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam ... antimikotik sering dikombinasikan dengan antibiotik maupun

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Dermatofitosis adalah penyakit yang disebabkan oleh jamur dari golongan

dermatofita. Dermatofitosis merupakan suatu penyakit kutaneus superfisial yang

menyerang lapisan keratin seperti lapisan kulit, rambut, dan kuku. Penyakit ini

disebabkan oleh jamur dari golongan dermatofita. Selama dua abad terakhir,

kejadian dermatofitosis telah meningkat dengan kasus yang menunjukkan adanya

respon negatif terhadap obat antimikotik (Singh et al. 2007). Dermatofita dapat di

kelompokkan berdasarkan habitat hidupnya yaitu dermatofita geofilik, zoofilik,

dan antropofilik. Dermatofita geofilik berhabitat dan bereplikasi di dalam tanah

dan berasosiasi dengan material keratin yang terdekomposisi seperti rambut dan

bulu (Weitzman dan Summerbell 1995). Hewan dapat terinfeksi oleh dermatofita

geofilik melalui tanah atau kontak langsung dengan hewan lain yang terinfeksi

(Quinn et al. 2006).

Dermatofitosis pada kuda dapat terjadi karena kontak langsung atau melalui

peralatan grooming. Gejala klinis yang muncul pada kulit menunjukan ada sumber

infeksi pada hewan yang terserang. Lesio terbentuk terbatas pada bagian pelana,

saddle atau tersebar luas akibat peralatan grooming yang terkontaminasi. Infeksi

disebabkan oleh Microsporum gypseum dapat terjadi karena kebiasaan kuda

berguling di atas tanah yang menyebabkan lesio pada bagian dorsal badan kuda

(Quinn et al. 2006).

Indonesia merupakan negara beriklim tropis yang memiliki kelembaban

tinggi, dimana kelembaban relatif rata-rata 80% dan merupakan tempat yang

cocok bagi mikroorganisme seperti jamur untuk berkembangbiak dan salah

satunya adalah jamur Microsporum gypseum. Pada manusia, jamur Microsporum

gypseum dapat berkembang pada bagian kulit yang sifatnya tidak membahayakan

namun cukup mengganggu. Perlu diketahui jamur Microsporum gypseum

merupakan jamur penyebab penyakit kulit, pengurai keratin, serta perusak kuku

dan rambut. Sifat keratinofilik dimiliki oleh jamur ini sehingga berkemampuan

untuk mencerna lapisan kulit mulai dari stratum korneum sampai stratum basalis.

Antimikotik merupakan zat berkhasiat yang digunakan untuk penanganan

penyakit yang disebabkan oleh jamur (Mutschler 1991). Obat antimikotik topikal

digunakan untuk merawat infeksi jamur superfisial. Obat ini efektif dalam

merawat Ringworm dan Thrush pada kuda. Pada beberapa kasus, penggunaan

antimikotik sering dikombinasikan dengan antibiotik maupun kortikosteroid.

Apabila dalam pemberiannya secara lokal tidak efektif, maka direkomendasikan

pengobatan menggunakan antimikotik yang bersifat sistemik. Dalam industri obat,

perkembangan antimikotik dalam dekade terakhir ini sangat pesat baik berupa

sediaan topikal, oral ataupun injeksi. Perkembangan dan penggunaan antimikotik

secara tidak beraturan akan berpeluang menyebabkan terjadinya resistensi

sehingga dalam penelitian ini dicoba dilakukan uji aktivitas beberapa antimikotik

terhadap jamur Microsporum gypseum penyebab dermatofitosis dengan tujuan

untuk mempelajari aktivitas dari antimikotik terhadap jamur dermatofita tersebut.

Page 16: AKTIVITAS BEBERAPA ANTIMIKOTIK TERHADAP Microsporum ... · dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam ... antimikotik sering dikombinasikan dengan antibiotik maupun

2

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari aktivitas beberapa antimikotik

terhadap jamur dermatofita M.gypseum yang diduga sebagai penyebab

dermatofitosis pada kuda.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini bermanfaat untuk memberikan informasi tentang aktivitas dan

tingkat suseptibilitas obat antimikotik terhadap jamur dermatofita M.gypseum

penyebab dermatofitosis, sehingga hasil yang diperoleh dapat digunakan sebagai

referensi dalam pemilihan obat antimikotik untuk pengobatan infeksi dermatofita.

.

TINJAUAN PUSTAKA

Dermatofitosis pada Kuda

Ringworm merupakan istilah yang biasa digunakan untuk infeksi jamur

superfisial pada bagian kulit. Jamur yang merupakan penyebab dari infeksi kulit

ini dikenal sebagai dermatofita. Maka istilah yang tepat bagi “ringworm” adalah

dermatofitosis. Istilah “ringworm” mungkin dikembangkan dari gambaran gejala

penyakit yang muncul dari jamur yang mengakibatkan infeksi, namun istilah ini

sering dikelirukan dengan kecacingan dan infeksi parasit yang tidak berkaitan

dengan kondisi tersebut. Terdapat 2 genera dari dermatofita yang dapat

menginfeksi kuda yaitu Microsporum dan Trichophyton. Pada setiap genera ada

beberapa spesies yang mampu menginfeksi kuda, dan kebanyakan kasus

disebabkan oleh beberapa spesies antaranya; Tricophyton equinum adalah

penyebab utama dari dermatofitosis diikuti dengan Trichophyton mentagrophytes,

Tricophyton verrucosum, Microsporum equinum, dan Microsporum gypseum

(Rendle 2015).

Dermatofita menginfeksi dengan tiga langkah utama yaitu perlekatan

dermatofit pada keratin, penetrasi melalui dan di antara sel, serta terbentuknya

respon imun. Proses terjadinya infeksi memerlukan beberapa gangguan yang ada

pada permukaan kulit untuk membantu penetrasi ke dalam folikel rambut. Respon

humoral dan cell-mediated akan tampak setelah infeksi munculnya reaksi

peradangan ditandai dengan peningkatan proliferasi epidermal. Lesio yang

muncul dapat berupa alopecia, scaling, miliary dermatitis, nodul-nodul atau

bahkan tidak menunjukkan semua gejala di atas. Apabila infeksi terjadi, gejala

bersifat permanen dan menyebar hingga rambut yang terinfeksi berhenti tumbuh

atau munculnya respons imun dan jamur dieliminasi. Pada hewan sehat, infeksi

bersifat self-limiting dan kemudiannya menghilang. Dermatofitosis lebih banyak

menyerang hewan yang sangat muda atau tua dan hewan yang menderita

immunosupresi. Kandang yang bersamaan dapat mempercepat terjadinya

penularan (Schaer 2010).

Page 17: AKTIVITAS BEBERAPA ANTIMIKOTIK TERHADAP Microsporum ... · dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam ... antimikotik sering dikombinasikan dengan antibiotik maupun

3

Gejala klinis biasanya terlihat dalam jangka waktu 1 hingga 6 minggu dan

lesio mulai membesar dalam waktu beberapa bulan sebelum akhirnya menghilang.

Hewan akan menderita kerontokan rambut (alopecia) dan kulit terinfeksi biasanya

akan menjadi kering dan bersisik (scaling). Kadang muncul gejala bagian tengah

dari lesio akan pulih dan meninggalkan cincin mengelilingi area infeksi (Gambar

1). Hewan tidak mengalami kegatalan dan gejala hanya terbatas di bagian kepala

dan leher serta jarang ditemukan di bagian kaki (Rendle 2015).

Dibandingkan dengan gejala akibat infeksi Microsporum canis,

dermatofitosis pada kuda yang disebabkan oleh M.gypseum menyebabkan lesio

yang lebih besar, lebih meradang, dan adanya penebalan kulit (Kral 1963).

Gambar 1 Lesio dermatofitosis pada kuda

(www.nadis.org.uk)

Masa inkubasi dermatofitosis pada kuda adalah selama 1 minggu sehingga 1

bulan dan pada keadaan yang mendukung pertumbuhan jamur, masa inkubasi

dapat berlangsung 4 hingga 6 hari lebih cepat. Pada kuda yang berkulit tipis,

menunjukkan kepekaan lebih tinggi terhadap infeksi. Disamping itu, keberadaan

trauma dapat mempermudah spora berpenetrasi ke dalam lapisan tanduk atau

folikel rambut. Faktor predisposisi lain diantaranya pemberian antibiotik dan

kortison yang berlebihan sehingga menyebabkan resistensi serta efek dari

defisiensi dalam diet kuda (Kral 1963).

Microsporum gypseum

Microsporum gypseum adalah jamur geofilik dengan distribusi di seluruh

dunia yang dapat menyebabkan infeksi pada hewan dan manusia, terutama anak-

anak dan pekerja pedesaan selama cuaca lembab dan hangat. Gejala awal yang

muncul adalah inflamasi atau peradangan pada kulit dan lesi pada kulit kepala.

Pada rambut yang terinfeksi menunjukkan infeksi ectothrix tetapi apabila diuji

dibawah ultra-violet lampu Wood, tidak terjadi perpendaran (Rippon 1988).

Microsporum gypseum merupakan jamur imperfecti (jamur tidak sempurna) atau

deuteromycotina karena perkembangbiakannya hanya secara aseksual. Aspek

fisiologis penting dari M. gypseum adalah dinding selnya yang mengandung kitin

bersifat heterotrof, menyerap nutrien melalui dinding selnya, dan mengeksresikan

enzim-enzim ekstraseluler ke lingkungannya (Indrawati dan Wellyzar 2006).

Morfologi secara makroskopis, koloni M.gypseum terlihat datar, tumbuh

cepat, menyebar dan berwarna krem seperti cokelat-buff pucat sampai kemerahan

dan berbutir (Gambar 2). Selain itu, koloni juga berbulu halus putih pada bagian

Page 18: AKTIVITAS BEBERAPA ANTIMIKOTIK TERHADAP Microsporum ... · dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam ... antimikotik sering dikombinasikan dengan antibiotik maupun

4

permukaan tengah dan kadang ditemukan bercak coklat gelap. Menurut Brooks et

al. (2001) koloni dari M. gypseum yang tumbuh cepat dan menyebar dengan

permukaan yang mendatar ini ditemukan sedikit berserbuk. Serbuk yang berada di

permukaan koloni mengandung makrokonidia (Rippon 1974). Pada bagian

permukaan belakang berwarna kemerahan dan ditemukan pada beberapa strain.

Secara mikroskopis, ditemukan makrokonidia berbentuk kesimetrisan,

elips, berdinding tipis dengan ketebalan 8-16 X 20 μ, dan multiseluler terdiri dari

4 -6 sel. Mikrokonidia dapat diamati, meskipun jarang dihasilkan dan berukuran

2,5-3,0 X 4-6 μ (Rippon 1974). Makrokonidia berdinding kasar dan tipis, dan

pada ujung-ujung hifa terbentuk kumparan (Jawetz et al. 2001). Pada ujung distal

dari sebagian makrokonidia berbentuk agak bulat sedangkan ujung proksimal

berbentuk agak memotong (Rippon 1988).

Gambar 2 Gambaran makroskopis dan mikroskopis Microsporum gypseum

(www.mycology.adelaide.edu.au)

Menurut Wicaksana (2008), Microsporum gypseum memiliki taksonomi

sebagai berikut:

Kingdom : Fungi

Divisi : Ascomycota

Kelas : Eurotiomycetes

Ordo : Onygenales

Family : Arthrodermataceae

Genus : Microsporum

Species : Microsporum gypseum

Habitat Microsporum gypseum di dalam tanah karena tanah diperkaya

dengan sumber keratin seperti rambut ataupun bulu. Seperti dermatofita yang lain,

M. gypseum memiliki kemampuan untuk menginfeksi jaringan manusia dan

hewan yang berkeratin. Konidia tumbuh secara berangsur-angsur, berkembang

membentuk suatu lingkaran (Moschella dan Hurley 1994). Ia memproduksi

keratofilik proteinase yang efektif pada pH asam dan enzim ini berperan dalam

faktor virulensinya (Warnock 2004).

Sebagai jamur keratofilik geofilik, faktor kelembapan, pH, dan kontaminasi

feses menjadi faktor yang mempengaruhi pertumbuhannya. Jamur ini sering

menginfeksi kulit dan rambut (Jawetz et al. 2001). Menurut Emmons et al. (1977),

Page 19: AKTIVITAS BEBERAPA ANTIMIKOTIK TERHADAP Microsporum ... · dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam ... antimikotik sering dikombinasikan dengan antibiotik maupun

5

M.gypseum banyak ditemukan pada hewan domestik. Microsporum gypseum

merupakan patogen insidental pada anjing, kuda, dan kadang manusia. Penularan

infeksi mempunyai kemungkinan yang besar untuk terjadi dari hewan ke hewan

atau dari hewan ke manusia. Rantai penularan dari jamur ini relatif pendek

dibanding dengan penularan yang luas dari spesies jamur zoofilik yang lainnya.

Jamur M. gypseum dapat ditularkan secara langsung melalui epitel kulit, rambut,

tanah ataupun dari hewan ke manusia.

Antimikotik

Antimikotik adalah zat berkhasiat yang digunakan untuk penanganan

penyakit yang disebabkan oleh jamur (Mutschler 1991). Antimikotik juga dikenali

dengan istilah obat antifungal. Secara umum infeksi jamur dibedakan oleh infeksi

jamur topikal (dermatofit dan mukokutan) dan sistemik, dimana melibatkan darah,

paru-paru, dan sistem saraf pusat. Infeksi jamur topikal dapat didiagnosa secara

langsung dengan pemeriksaan mikroskopik untuk melihat keberadaan hifa pada

sel kulit atau keberadaan spora pada permukaan dari rambut terinfeksi.

Identifikasi ini dapat dilakukan di laboratorium in-hospital yang mempunyai

media Dermatophyte test. Infeksi sistemik dapat di diagnosa di laboratorium

dengan uji serologis. Pasien dengan infeksi jamur dapat diobati secara oral,

topikal atau perenteral sesuai dengan infeksi yang dialami.

Pada dekade terakhir ini, penggunaan antimikotik sangat berkembang pesat

dan banyak produk antimikotik yang beredar di pasaran. Pada hakikatnya, semua

antimikotik berkhasiat fungistatis pada dosis yang digunakan (Tjay dan Rahardja

2007). Obat antifungal atau antimikotik dibagi menjadi 4 kelas, yaitu: polyene,

imidazole, anti-metabolik, dan agen superfisial (Wanamaker dan Massey 2009).

Beberapa contoh obat antimikotik yang beredar saat ini adalah amfoterisin,

ketokonazol, flukonazol, mikonazol, griseofulvin dan vorikonazol.

Amfoterisin merupakan obat antimikotik yang dikelompokkan dalam

antifungal agen polyene dengan kegunaan klinis untuk mengobati infeksi mikotik

sistemik (Wanamaker dan Massey 2009). Amfoterisin merupakan hasil fermentasi

Streptomyces nodosus. Sebanyak 98% dari campuran amfoterisin B mempunyai

aktivitas antijamur. Aktivitas antijamur nyata pada pH 5,0-7,5; berkurang pada pH

lebih rendah. Antimikotik ini bersifat fungistatik atau fungisidal tergantung dosis

dan aktivitas jamur yang dipengaruhi. Amfoterisin B mempunyai aktivitas

antijamur dimana ia menyerang sel yang sedang tumbuh dan sel matang dengan

berikatan kuat dengan sterol yang terdapat pada membran sel jamur. Ikatan ini

menyebabkan membran sel bocor, sehingga terjadi kehilangan beberapa bahan

intrasel dan mengakibatkan kerusakan yang tetap pada sel. Resistensi terhadap

amfoterisin B mungkin disebabkan oleh perubahan reseptor sterol pada membran

sel (Bahry dan Setiabudi 2005).

Ketokonazol merupakan obat antimikotik turunan imidazol yang

bermanfaat dalam pengobatan infeksi sistemik. Senyawa ini berinteraksi dengan

C-14 alfa-demetilase (enzim P-450 sitokrom) untuk menghambat demetilasi

lanosterol menjadi ergosterol yang merupakan sterol penting membran jamur.

Penghambat ini menganggu fungsi membran dan meningkatkan permeabilitas.

Antimikotik ini bersifat fungistatik atau fungisida tergantung dosis serta berkerja

Page 20: AKTIVITAS BEBERAPA ANTIMIKOTIK TERHADAP Microsporum ... · dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam ... antimikotik sering dikombinasikan dengan antibiotik maupun

6

terhadap jamur yang sama dengan amfoterisin B (Mycek et al. 2011).

Ketokonazol merupakan fungistatikum imidazol pertama yang digunakan per oral

dengan spektrum kerjanya mirip mikonazol dan meliputi banyak fungi patogen.

Zat ini juga digunakan pada infeksi sistemis parah dan kronis secara lokal pada

gangguan ketombe hebat (Tjay dan Rahardja 2007).

Flukonazol merupakan antimikotik untuk infeksi sistemik dan diberikan

untuk profilaktik. Flukonazol merupakan inhibitor enzim P-450 sitokrom dan C-

14 alfa-demetilase (biosintesis ergosterol) jamur yang sangat selektif.

Pengurangan ergosterol, yang merupakan sterol utama yang terdapat di dalam

membran sel-sel jamur, dan akumulasi sterol-sterol yang mengalami metilase

menyebabkan terjadinya perubahan sejumlah fungsi sel yang berhubungan dengan

membran. Mekanisme kerja dari flukonazol mirip ketokonazol yaitu menghambat

sintesis ergosterol membran jamur. Flukonazol berkemampuan mengobati

Criptococcus neoformans,untuk kandidemia dan koksidiomikosis (Mycek et al

2011). Flukonazol memiliki spectrum yang luas meliputi Blastomyces dermatidis,

Cocciodioides immitis, Cryptococcus neoformus, Histoplasma capsulatum, dan

Paracoccidioides brasiliensis.

Mikonazol digolongkan sebagai antimikotik untuk infeksi dermatofit dan

mukokutan. Mikonazol merupakan turunan imidazol sintetik yang relatif stabil,

mempunyai spektrum antimikotik yang lebih lebar baik terhadap sistemik maupun

dermatofit. Aktivitas dari Mikonazol adalah menghambat aktivitas jamur

Trichophyton, Epidermophyton, Microsporum, Candida, dan Malassezia furfur.

Mekanisme kerja antimikotik ini adalah menghambat sintesis ergosterol yang

menyebabkan permeabilitas membran sel jamur meningkat. Mungkin pula terjadi

gangguan sintesis asam nukleat atau penimbunan peroksida dalam sel jamur yang

akan menimbulkan kerusakan. Resistensi terhadap imidazol sangat jarang terjadi

dari jamur penyebab dermatofitosis. Untuk dermatofitosis diindikasikan

mikonazol topikal (Bahry dan Setiabudi 2005).

Griseofulvin adalah antimikotik yang merupakan bahan yang diisolasi dari

Penicillium janczweski. Griseofulvin bersifat fungisidal terhadap sel muda yang

berkembang. Menurut Mutschler (1991), griseofulvin bersifat fungistatik setelah

pemakaian jangka panjang karena kemampuan untuk tersimpan secara selektif

dalam lapisan epidermis, rambut, dan kuku. Grisofulvin bekerja menghambat

mitosis jamur dengan mengikat protein mikrotubuler dalam sel. Obat ini

berakumulasi di daerah infeksi, disintesis kembali dalam jaringan keratin, dan

sehingga menyebabkan pertumbuhan jamur terganggu (Mycek et al. 2011).

Griseofulvin efektif untuk infeksi jamur di kulit, rambut, dan kuku yang

disebabkan oleh jamur Microsporum, Trichophyton, dan Epidermophyton (Bahry

dan Setiabudi 2005). Menurut Mycek et al. (2011) adapun resistensi yang terjadi

adalah disebabkan oleh sistem asupan tergantung energi dari antimikotik ini.

Vorikonazol merupakan derivat trifluortriazol yang berspektrum antifungal

luas (Tjay dan Rahardja 2007). Zat aktif yang digunakan merupakan sintetik

triazol yang berasal dari flukonazol dengan mekanisme kerja inhibitor biosintesis

ergosterol. Hal ini menyebabkan berkurangnya ergosterol dan penumpukan

methilat sterol yang mengakibatkan rusaknya struktur dan fungsi membran jamur.

Vorikonazol mempunyai spektrum yang luas terhadap Aspergillus sp.,

Blastomyces dermatitidis, Candida sp., Cryptococcus neoformans, Fusarium sp.,

Page 21: AKTIVITAS BEBERAPA ANTIMIKOTIK TERHADAP Microsporum ... · dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam ... antimikotik sering dikombinasikan dengan antibiotik maupun

7

Histoplasma capsulatum, dan Scedosporium apiospermum. Juga efektif terhadap

dematiaceous moulds, tetapi tidak efektif terhadap Zygomycetes (Lubis 2008).

METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September 2014 hingga bulan

Januari 2015 di Laboratorium Mikologi Bagian Mikrobiologi Medik, Departemen

Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat dan Veteriner, Fakultas

Kedokteran Hewan IPB.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah skin scrapings yang

diduga mengalami infeksi dermatofitosis akibat M.gypseum, isolat M.gypseum

hasil isolasi dan identifikasi, media dermatophyte selective agar (DSA), alkohol

70%, akuades, KOH 10%, Lactophenol cotton blue (LPCB), sediaan kertas

cakram antimikotik ketokonazol (KCA) 15µg, amfoterisin (AMB) 20 µg,

vorikonazol (VO) 1 µg, flukonazol (FLU) 10 µg, griseofulvin (AGF) 10 µg, dan

mikonazol (MCL) 10 µg.

Peralatan yang digunakan pada penelitian ini adalah tabung reaksi, wadah

plastik, cawan Petri, batang gelas bentuk “U”, ose, pembakar Bunsen, pipet ukur,

inkubator, mesin vortex, gelas objek dan penutup, batang pengaduk kaca,

mikropipet, pinset steril, kertas saring, mikroskop, dan kamera.

Metodologi

Tahapan Penelitian

Koleksi Spesimen

Pada penelitian ini digunakan sampel dari satu ekor kuda yang diduga

menderita infeksi dermatofitosis di Unit Rehabilitasi dan Reproduksi, Fakultas

Kedokteran Hewan, IPB. Bagian kulit yang diduga terinfeksi dibersihkan dengan

alkohol 70% dan dilakukan pengambilan sampel kerokan kulit.

Isolasi dan identifikasi jamur

a.Pemeriksaan cepat dengan KOH

Pemeriksaan dilakukan dengan meletakkan sampel kerokan kulit pada gelas

objek dan diteteskan KOH 10% sebanyak 1-2 tetes, kemudian ditutup dengan

menggunakan gelas penutup dan didiamkan selama 20-30 menit agar jaringan

Page 22: AKTIVITAS BEBERAPA ANTIMIKOTIK TERHADAP Microsporum ... · dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam ... antimikotik sering dikombinasikan dengan antibiotik maupun

8

keratin terurai. Pengamatan dilakukan dengan bantuan mikroskop. Identifikasi

mikroskopis dilakukan menggunakan acuan dari Carter dan Cole (1990).

b.Isolasi jamur dengan media DSA

Sampel kerokan kulit diidentifikasi dengan menggunakan media biakan

DSA dengan mengisolasikan pada beberapa media DSA dan diinkubasikan pada

temperatur kamar (25-27 °C) selama 7-14 hari sehingga terlihat adanya

pertumbuhan koloni.

c.Identifikasi jamur

Identifikasi jamur dalam penelitian ini dilakukan secara makroskopis dan

mikroskopis. Secara makroskopis dengan melihat gambaran koloni jamur meliputi

pigmen, tekstur, sifat serta lama pertumbuhan. Secara mikroskopis untuk melihat

morfologi secara jelas dilakukan pembiakan dengan menggunakan metode slide

culture menurut Riddle dan kemudian diinkubasi selama 48 jam dan dilanjutkan

dengan pewarnaan LPCB dan kemudian diamati menggunakan mikroskop (Dorry

1980). Identifikasi secara mikroskopis sebelumnya dilakukan secara natif

langsung dari koloni dan metode selotipe.

Persiapan Uji Aktivitas Antimikotik

Suspensi inokulum yang berisi makrokonidia dan mikrokonidia kemudian

dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan dibiarkan mengendap selama 15 hingga

20 menit pada suhu kamar. Suspensi kemudiannya di vortex sehingga fragmen

besar jamur memecah dan homogen. Selanjutnya disediakan 3 media DSA dan

suspensi diambil dari berbagai konsentrasi yang berbeda ditumbuhkan dan

diinkubasi. Media kemudian diinkubasi selama 7-14 hari temperatur kamar (25-27

°C) dan dilakukan pengamatan.

Pengujian Antimikotik dengan Metode Cakram Kertas

Suspensi endapan diambil sebanyak 0.2 ml lalu dibiakkan pada 2 plat media

DSA dengan cara digoreskan. Setelah dibiarkan kering selama 10-15 menit,

dengan menggunakan pinset steril, kertas cakram antimikotik ketokonazol (KCA)

15µg, amfoterisin (AMB) 20 µg, dan vorikonazol (VO) 1 µg diletakkan pada Plat

1. Pada Plat 2 diletakkan cakram kertas anitimikotik flukonazol (FLU) 10 µg,

griseofulvin (AGF) 10 µg, dan mikonazol (MCL) 10 µg. Ketiga cakram kertas

antimikotik pada setiap plat agar DSA diletakkan dengan jarak segitiga sama sisi

(Gambar 3). Pengujian dilakukan dengan Metode Duplo. Plat pengujian

diinkubasikan pada temperatur kamar (25-27 °C) selama 7 hari.

Gambar 3 Posisi peletakan cakram kertas antimikotik pada media biakan

Page 23: AKTIVITAS BEBERAPA ANTIMIKOTIK TERHADAP Microsporum ... · dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam ... antimikotik sering dikombinasikan dengan antibiotik maupun

9

Pengamatan Hasil

Pengamatan hasil dilakukan dengan cara observasi pertumbuhan koloni dan

zona hambat berwarna bening di sekitar cakram. Pengamatan dilakukan selama

tujuh hari dan pengukuran diameter zona hambat dalam ukuran milimeter (mm)

dilakukan pada hari ke-3 dan hari ke-7 (Singh et al. 2007).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dermatofitosis adalah infeksi jamur superfisial yang disebabkan oleh jamur

dari golongan dermatofita. Dalam penelitian ini, gejala klinis kuda yang diduga

menderita dermatofitosis menunjukkan gejala peradangan pada permukaan kulit

dengan gejala kerontokan rambut, alopesia dan kulit menjadi bersisik (Gambar 4).

Pada kuda, terlihat mengalami kerontokan rambut pada tempat tumbuhnya bulu

suri dan terlihat pada bagian leher kuda adanya lesio berbentuk sirkuler yang

berukuran kurang lebih 10 mm sampai 25 mm Pada penelitian kuda yang diduga

menderita dermatofitosis disebabkan oleh M.gypseum mengalami lesio yang lebih

besar, lebih meradang, dan adanya penebalan pada kulit dibanding dengan

M.canis, sesuai yang penyataan Kral (1963).

Gambar 4 Lesio infeksi yang diduga dermatofitosis pada Kuda

Dalam penelitian ini dilakukan pemeriksaan langsung dari kerokan kulit dan

diperiksa secara cepat dengan menggunakan KOH 10% dimana fungsi dari zat ini

adalah untuk melisiskan keratin agar mempermudah identifikasi. Secara

mikroskopis, makrokonidia berbentuk oval yang terdiri dari 4 sampai 6 sel

ditemukan dalam jumlah yang banyak (Gambar 5). Jawetz et al. (2001)

menyatakan bahwa morfologi mikroskopis jamur M.gypseum memiliki

makrokonidia multiseluler terdiri 4 sampai 6 sel, berdinding kasar dan tipis, dan

pada ujung-ujung hifa berbentuk kumparan.

Page 24: AKTIVITAS BEBERAPA ANTIMIKOTIK TERHADAP Microsporum ... · dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam ... antimikotik sering dikombinasikan dengan antibiotik maupun

10

Gambar 5 Hasil pengamatan mikroskopis pemeriksaan cepat

menggunakan KOH 10% (Pembesaran 400x)

Isolasi dan identifikasi jamur dilakukan menggunakan media DSA. Media

DSA merupakan media berbentuk padat berfungsi sebagai media selektif untuk

pertumbuhan jamur dan menghambat pertumbuhan bakteri dengan adanya

antibiotik cycloheximide, chloramphenicol, dan gentamicin. Secara makroskopis,

koloni terlihat datar, menyebar dengan tekstur seperti butiran kecil. Warna koloni

terlihat pada kultur adalah putih kecoklatan dengan adanya permukaan halus putih

di pusat (dome) (Gambar 6). Aspek kultur M.gypseum menunjukkan adanya

koloni bersifat “cotton-like” yang berwarna putih dengan bagian tengah berwarna

coklat kekuningan dan puncak radial, serta kebalikkan koloni berwarna kuning

sesuai dengan literatur oleh Mihali (2012), Rippon (1988), dan Brooks et al.

(2001).

Microsporum gypseum di media DSA memiliki fase pertumbuhan koloni

antara 6-10 hari, sifat menyebar dengan tekstur seperti butiran kecil. Penampakan

makroskopis berupa koloni datar yang menyebar dan berwarna krem sampai

cokelat-buff pucat dengan kebalikkan kuning hingga kemerahan pada beberapa

strain (Gambar 6). Pada biakan yang matang, koloni terlihat berserbuk halus putih

pada bagian permukaan tengah dan kadang ditemukan bercak coklat gelap. Serbuk

yang berada di permukaan koloni mengandung makrokonidia (Rippon 1974).

Gambar 6 Gambaran makroskopis Microsporum gypseum pada media

DSA

Morfologi secara mikroskopis akan lebih jelas apabila dibiakkan dengan

menggunakan metode slide culture menurut Riddle dan diamati secara natif dan

selotipe. Genus Microsporum menghasilkan makrokonidia dan mikrokonidia,

Mica (2007) menyatakan bahwa jumlah makrokonidia yang dihasilkan jamur M.

Page 25: AKTIVITAS BEBERAPA ANTIMIKOTIK TERHADAP Microsporum ... · dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam ... antimikotik sering dikombinasikan dengan antibiotik maupun

11

gypseum lebih banyak apabila dibandingkan dengan M. canis serta jumlah

makrokonidia yang dihasilkan adalah jauh lebih banyak daripada mikrokonidia.

Sesuai dengan penyataan tersebut, pengamatan mikroskopis menemukan

makrokonidia dalam jumlah yang besar dimana hal ini juga sesuai dengan

penyataan Mihali (2012) yang menyatakan pada preparat natif M. gypseum dapat

ditemukan sejumlah besar makrokonidia serta mikrokonidia pada talus yang

panjang.

Setelah dilakukan pengamatan, diperoleh gambaran morfologi konidia

ataupun hifa secara mikroskopis yaitu makrokonidia berbentuk elips simetris,

berdinding kasar dan tipis, dan multiseluler terdiri dari 4-6 sel (Gambar 7). Hasil

pengamatan dimana makrokonidia mempunyai dinding tipis yang kasar sesuai

dengan literatur oleh Rippon (1974) dan Jawetz et al. (2001). Pewarnaan dengan

LPCB membantu dalam peneguhan identifikasi dengan memberi gambaran

morfologi yang jelas dimana ditemukan ada sekat pada bagian ujung

makrokonidia, seperti yang dinyatakan oleh Mihali (2012) bahwa pada ujung

distal dari makrokonidia M.gypseum berbentuk tajam dan mempunyai sekat pada

bagian ujung. Gambaran ini menjadi perbedaan jelas dalam perbandingan dengan

morfologi M.canis dimana sekat menjadi ciri khas dari M.gypseum.

Gambar 7 Gambaran mikroskopis Microsporum gypseum.dan adanya sekat pada

bagian ujung distal M.gypseum (Pembesaran 400x)

Pengujian aktivitas antimikotik dilakukan dengan cara difusi agar. Metode

difusi agar ini meliputi 3 cara yaitu metode silinder, metode sumur dan metode

cakram kertas. Metode cakram kertas merupakan metode yang sangat sederhana,

mudah pengujiannya dan tidak memerlukan berbagai macam alat. Menurut Sevtap

(2007), metode ini sangat dinamis dan banyak digunakan dalam bidang mikologi

medis.

Antimikotik yang digunakan dalam penelitian ini berupa cakram kertas yang

berisi antimikotik ketokonazol (KCA) 15µg, amfoterisin (AMB) 20 µg, dan

vorikonazol (VO) 1 µg diletakkan pada Plat 1. Pada Plat 2 diletakkan cakram

kertas anitimikotik flukonazol (FLU) 10 µg, griseofulvin (AGF) 10 µg, dan

mikonazol (MCL) 10 µg. Uji aktivitas antimikotik yang telah dilakukan

memperlihatkan terbentuknya zona bening di sekitar kertas cakram. Hasil yang

diperoleh sangat bervariasi baik dari gambaran zona hambatan secara keseluruhan

(Gambar 8 dan Gambar 9) ataupun dari masing-masing antimikotik (Gambar 10

Page 26: AKTIVITAS BEBERAPA ANTIMIKOTIK TERHADAP Microsporum ... · dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam ... antimikotik sering dikombinasikan dengan antibiotik maupun

12

dan Gambar 11) serta hasil pengukuran diameter zona hambat (Tabel 1 dan Tabel

2).

Cawan 1 Cawan 2

KCA: Ketokonazol, AMB: Amfoterisin, VO: Vorikonazol, FLU: Flukonazol,

AGF: Griseofulvin, MCL: Mikonazol

Gambar 8 Hasil keseluruhan pengujian antimikotika terhadap

M.gypseum pada hari ke-3

Cawan 1 Cawan 2

KCA KCA

AMB AMB

VO

VO

MCL

MCL

FLU

FLU AGF

AGF

AMB

AMB VO

VO

KCA

KCA

FLU

FLU

AGF

AGF

MCL MCL

Page 27: AKTIVITAS BEBERAPA ANTIMIKOTIK TERHADAP Microsporum ... · dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam ... antimikotik sering dikombinasikan dengan antibiotik maupun

13

KCA: Ketokonazol, AMB: Amfoterisin, VO: Vorikonazol, FLU: Flukonazol,

AGF: Griseofulvin, MCL: Mikonazol

Gambar 9. Hasil keseluruhan pengujian antimikotika terhadap

M.gypseum pada hari ke-7

Tabel 1 Diameter zona hambat (mm) di sekitar cakram kertas antimikotik

terhadap M.gypseum pada hari ke-3

Antimikotik Diameter zona hambat (mm) Rata-rata

1 2

Ketokonazol(KCA) 26 22 24

Amfoterisin(AMB) 0 0 0

Vorikonazol (VO) 35 32 33.7

Flukonazol(FLU) 0 0 0

Griseofulvin (AGF) 16 15 15.5

Mikonazol(MCL) 16 13 14.5

Tabel 2 Diameter zona hambat (mm) di sekitar cakram kertas antimikotik

terhadap M.gypseum pada hari ke-7

Antimikotik Diameter zona hambat (mm) Rata-rata

1 2

Ketokonazol (KCA) 0 0 0

Amfoterisin (AMB) 0 0 0

Vorikonazol (VO) 12 5 8.5

Flukonazol(FLU) 0 0 0

Griseofulvin (AGF) 18.5 16 17.25

Mikonazol(MCL) 15.5 9 12.25

Pada hari ke-3 menunjukkan diameter zona bening yang terbentuk pada

ketokonazol, amfoterisin, vorikonazol, flukonazol, griseofulvin, dan mikonazol

berturut-turut sebesar 24 mm, 0 mm, 33.7 mm, 0 mm, 15.5 mm, dan 14.5 mm

(Tabel 1). Pengamatan dilanjutkan lagi pada hari ke-7 dan didapatkan hasil

pengujian untuk antimikotik ketokonazol, amfoterisin, vorikonazol, flukonazol,

griseofulvin, dan mikonazol berturut-turut yaitu sebesar 0 mm, 0 mm, 8.5 mm, 0

mm, 17.25 mm, dan 12.25 mm (Tabel 2). Berdasarkan pengujian dengan

vorikonazol, griseofulvin, dan mikonazol didapatkan zona hambat yang bertahan

sehingga hari ke-7 dengan griseofulvin menghasilkan zona hambat terbesar.

Page 28: AKTIVITAS BEBERAPA ANTIMIKOTIK TERHADAP Microsporum ... · dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam ... antimikotik sering dikombinasikan dengan antibiotik maupun

14

Ketokonazol (KCA) Amfoterisin (AMB) Vorikonazol (VO)

Flukonazol (FLU) Griseofulvin (AGF) Mikonazol (MCL)

Gambar 10 Zona hambat yang terbentuk di sekitar cakram kertas

antimikotik pada hari ke-3

Ketokonazol (KCA) Amfoterisin (AMB) Vorikonazol (VO)

Flukonazol ( FLU) Griseofulvin (AGF) Mikonazol (MCL)

Gambar 11 Zona hambat yang terbentuk di sekitar cakram kertas

antimikotik pada hari ke-7

Pengujian menggunakan ketokonazol, amfoterisin, dan flukonazol

menunjukkan tidak terbentuknya zona hambat pada akhir pengujian. Ketokonazol

pada awalnya membentuk zona hambat sebesar 24 mm namun akhirnya hilang

aktivitas. Menurut Mycek et al. (2011), spektrum aktivitas ketokonazol yang

bersifat fungistatika atau fungisidal tergantung dari dosis. Adapun pada tiga hari

Page 29: AKTIVITAS BEBERAPA ANTIMIKOTIK TERHADAP Microsporum ... · dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam ... antimikotik sering dikombinasikan dengan antibiotik maupun

15

pertama, ketokonazol bekerja dalam mengganggu fungsi membran dan

meningkatkan permeabilitas yang menghasilkan zona hambatan bening, sebelum

hilangnya aktivitas dari antimikotik tersebut. Maka pada hari ke-7, ketokonazol

sudah tidak mampu beraktivitas terhadap M.gypseum sehingga tidak terbentuk

lagi zona hambat terhadap perkembangan jamur tersebut.

Pengujian dengan amfoterisin dan flukonazol menunjukkan aktivitas paling

buruk dimana tidak ada zona hambat yang terbentuk disekitar cakram kertas.

Hasil ini menunjukkan ketidakmampuan amfoterisin dan flukonazol beraktivitas

terhadap jamur M.gypseum. Menurut Mutschler (1991), amfoterisin beraktivitas

lebih tinggi terhadap sejumlah mikosis yang disebabkan oleh jamur Sacharomyces

dibanding dengan jamur Microsporum. Untuk ketidakmampuan flukonazol, sesuai

dengan beberapa hasil penelitian, dijelaskan bahwa senyawa ini mempunyai

aktivitas paling rendah terhadap dermatofita dibanding antimikotik lainnya (Singh

et al. 2007; Favre et al. 2003).

Pengujian menggunakan vorikonazol menunjukkan pola naik turun pada

pengamatan hari ke-3 dan hari ke-7, dimana pada awalnya mendapatkan zona

hambat sebesar 33.7 mm menjadi 8.5 mm pada penghujung pengujian. Aktivitas

vorikonazol yang diukur pada hari ke-3 mendapatkan hasil yang sesuai dengan

penelitian Perea et al (2001) dimana vorikonazol menunjukkan aktivitas paling

tinggi dibanding dengan antimikotik lainnya yaitu ketokonazol, griseofulvin, dan

flukonazol. Penurunan diameter zona ini pada hari ke-7 dapat dijelaskan dengan

kenyataan oleh Lubis (2008) yang menyatakan bahwa senyawa ini lebih efektif

terhadap jamur dengan hifa gelap (dematiaceous mold). Vorikonazol juga bersifat

lebih susceptible terhadap dermatofita khususnya Epidermophyton sp. (Perea et al.

2001).

Pola yang sama ditunjukkan oleh hasil pengujian dengan mikonazol,

dimana pada hari ke-3 dengan diameter sebesar 14.5 mm dan kemudian menurun

pada hari ke-7 menjadi 12.5 mm. Dapat dikatakan senyawa ini mempunyai

aktivitas yang tinggi karena penurunan diameter zona hambat lebih kecil

dibanding yang lain. Menurut Tjay dan Rahardja (2007) bahwa senyawa

mikonazol bersifat fungisida kuat hingga lebih aktif dan efektif terhadap

dermatofit. Hasil akhir pengujian ini juga sejalan dengan Pakshir et al. (2009),

bahwa mikonazol menunjukkan aktivitas yang baik terhadap strain dermatofita

dibanding dengan antimikotik yang lain.

Griseofulvin bersifat fungisidal terhadap sel muda dan pemakaian jangka

panjang menunjukkan griseofulvin juga bersifat fungistatik. Aktivitas griseofulvin

pada penelitian ini menunjukkan hasil zona hambat dengan diameter 15.5 mm

pada hari ke-3 dan pada hari ke -7 menunjukkan peningkatan yaitu 17.5 mm. Hal

ini disebabkan karena sifat dari griseofulvin yang mampu bekerja sebagai

fungisidal terhadap perkembangan sel sesuai penyataan Bahry dan Setiabudi

(2000). Menurut Mycek et al. (2011), mekanisme kerja griseofulvin adalah

dengan berikatan dengan mikrotubulus dan menghambat sintesis dari jamur

tersebut. Bahry dan Setiabudi (2000) turut menyatakan bahwa senyawa ini secara

in vitro efektif secara spesifik terhadap jamur dermatofita Trichophyton,

Epidermophyton, dan Microsporum .

Page 30: AKTIVITAS BEBERAPA ANTIMIKOTIK TERHADAP Microsporum ... · dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam ... antimikotik sering dikombinasikan dengan antibiotik maupun

16

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Jamur Microsporum gypseum merupakan penyebab dermatofitosis pada

kuda yang ada di Unit Rehabilitasi dan Reproduksi, Fakultas Kedokteran Hewan,

IPB. Griseofulvin merupakan antimikotik yang mempunyai aktivitas paling baik

terhadap M.gypseum sehingga dapat digunakan sebagai obat pilihan dalam

pengobatan dermatofitosis yang disebabkan oleh M.gypseum.

Saran

Perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan menggunakan metode

Minimum Inhibitory Concentration (MIC) dari obat-obat tersebut sehingga dapat

diketahui nilai MIC dari masing-masing obat terhadap daya hambat kapang

M.gypseum.

DAFTAR PUSTAKA

Bahry B, Setyabudi R. 2005. Obat Jamur dalam Farmakologi dan Terapi. Ed ke-4

Jakarta (ID): FK UI

Brooks GF, Butel JS, Morse SA. 2001. Mikrobiologi Kedokteran. Ed ke-1. Jakarta

(ID): Salemba Medika.

Carter GR, Cole JR. 1990. Diagnostic prosedures in veterinary bacteriology and

mycology. 5th

Ed. San Diego (US): Academic Pr Inc.

Dorry YA. 1980. Laboratory Medical Mycology. Washington (US): Washington

Univ.

Ellis D. 2013. Microsporum gypseum. Mycology Online [Internet]. Adelaide

(AU):Mycology Online. hlm 1; [diunduh 2015 May 22]. Tersedia pada

http://www.mycology.adelaide.edu.au.

http://.mycology.adelaide.edu.au/dermatophytes/Microsporum gypseum.html

Emmons WC, Buford HC, Putz J, Kwon CKJ. 1977. Medical Mycology. 3rd

Edition. Philadephia (US): Lea & Febiger.

Favre B, Hofbauer B, Hildering KS, Ryder NS. 2003. Comparison of in vitro

activities of 17 antifungal drugs against a panel of 20 dermatophytes by using a

microdilution assay. J Clin Microbiol. 41: 4817-4819.

Indrawati G, Wellyzar S, editor. 2006. Mikologi : Dasar dan Terapan. Ed ke-1.

Jakarta (ID): Yayasan Obor Indonesia.

Jawetz E, Melnick JL, Adelberg EA. 2001. Mikrobiologi Kedokteran. Buku I.

Widorini N, penerjemah. Jakarta (ID): Salemba Medika.

Kral F. 1963. Equine Medicine and Surgery [editorial]. California (US): American

Veterinary Publ

Page 31: AKTIVITAS BEBERAPA ANTIMIKOTIK TERHADAP Microsporum ... · dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam ... antimikotik sering dikombinasikan dengan antibiotik maupun

17

Lubis RD. 2008. Pengobatan Dermatomikosis [Internet]. [diunduh tanggal 20 Jan

2015]. Tersedia pada:

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3399/3/08E00891.pdf.txt

Mica. 2007. Microsporum canis. Clinical microbiology proficiency testing

(CMPT Program plus) [Internet]. [diunduh 2015 Juni 20]; 0709-2.

Tersedia pada: http//www.cmpt.ca/mycology

Mihali CV, Buruiana A, Turcus V, Covaci A, Ardelean A. 2012. Comparative

studies of morphology and ultrastructure in two common species of

dermatophytes: Microsporum canis and Microsporum gypseum. J Annals of

RSCB. 17(1):1-5.

Moschella SL, Hurley HJ. 1994. Dermatology. 3rd

Ed. Volume One. Philadelphia

(US):W.B. Saunders

Mutschler E. 1991. Dinamika Obat. Widianto MB dan Ranti AS, penerjemah.

Bandung (ID): Penerbit ITB.

Mycek MJ, Harvey RA, Champe PC. 2011. Pharmacology (Lippincott's

Illustrated Reviews Series). Philadelphia (US): Lippincott Williams & Wilkins.

Pakshir K, Bahaedinie L, Rezaei Z, Sodaifi M, Zomorodian K. 2009. In vitro

activity of six antifungal drugs against clinically important dermatophytes. J

Jound Microbiol. 2(4): 158-163.

Perea S, Fothergill AW, Sutton DA, Rinaldi MG. 2001. Comparison of in vitro

activities of voriconazole and five established antifungal agents against

different species of dermatophytes using a broth macrodilution method. J Clin

Microbiol. 39: 385-388.

Quinn PJ, Markey BK, Leonard FC, Fitzpatrick ES, Fanning S, Hartigan PJ. 2006.

Veterinary Microbiology and Microbial Disease. Oxford (GB): Blackwell Publ.

Rendle D. 2015. Dermatophytosis - “Ringworm”. [Internet]. [diunduh 2015 Mei

20];

Tersedia pada: http://www.nadis.org.uk/bulletins/dermatophytosisringworm.aspx

Rippon JW. 1974. Medical Mycology The Pathogenic Fungi and The Pathogenic

Actinomycetes. Phildelphia (US): W.B. Saunders Co.

Rippon JW.1988. Medical Mycology. 3rd

Ed. Philadelphia (US): W.B. Saunders

Co.

Schaer M. 2010. Clinical Medicine of The Dog and and Cat. 2nd

Ed. London

(GB): Manson Publ.

Sevtap A. 2007. Current status of antifungal susceptibility testing methods. Med

Mycol. 45: 569-87

Singh J, Zaman M, Gupta AK. 2007. Evaluation of microdilution and disk

diffusion methods for antifungal susceptibility testing of dermatophytes. Med

Mycol. 45:595-602

Tjay TH, Rahardja K. 2007. Obat-obat Penting. Jakarta (ID): Penerbit PT Elex

Media Komputindo.

Wanamaker BP, Massey KL .2009. Applied Pharmacology for Veterinary

Technicians. 4th

Edition. Missouri (US):Saunders Elsevier.

Warnock DW. 2004. Superficial Fungal Infection: Infectious Disease. 2nd

Ed.

Philadephia (US): Mosby Elsevier Ltd.

Weitzman I, Summerbell RC. 1995. The dermatophytes. Clin Microbiol Rev

1995; 8: 240-259

Page 32: AKTIVITAS BEBERAPA ANTIMIKOTIK TERHADAP Microsporum ... · dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam ... antimikotik sering dikombinasikan dengan antibiotik maupun

18

Wicaksana IGA. 2008. Microsporum gypseum. Yogyakarta (ID): Univ Gadjah

Mada Pr.

Page 33: AKTIVITAS BEBERAPA ANTIMIKOTIK TERHADAP Microsporum ... · dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam ... antimikotik sering dikombinasikan dengan antibiotik maupun

19

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Johor, Malaysia pada tanggal 4 Agustus 1991 dari ibu

Mas Illazreen Ghazali dan ayah Azaman Abu Bakar. Penulis merupakan putri

pertama dari tiga bersaudara. Pendidikan formal dimulai dari TK Satria Jaya, SD

St. Mary’s Primary School, SMP SM Agama Tun Ahmad Zaidi, SMA Section 9

Secondary School Shah Alam, dan melanjutkan studi Foundation in Science di

President College Kuala Lumpur. Penulis diterima sebagai mahasiswa baru

Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor pada tahun 2011 sebagai

Mahasiswa Asing.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif berpartisipasi di organisasi

dalam dan luar kampus. Organisasi kampus yang penulis ikuti diantaranya

Himpunan Minat dan Profesi Hewan Kesayangan dan Satwa Akuatik Eksotik

sebagai Ketua Divisi Kuda pada masa kepengurusan 2013/2014 dan sebagai

Timbalan Pengerusi Tetap di organisasi Persatuan Kebangsaan Pelajar Malaysia-

Indonesia Cabang Bogor pada masa kepengurusan 2012/2013.

Penulis juga pernah mengikuti acara pengabdian masyarakat Mahasiswa

Abdi Nusantara di Riau pada tahun 2014 serta acara dari organisasi International

Veterinary Student Association Vet Youth Summit Japan 2015 sebagai anggota

delegasi Indonesia.

Sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar sarjana, penulis melakukan

penelitian yang berjudul Aktivitas Beberapa Antimikotik terhadap Microsporum

gypseum sebagai Penyebab Dermatofitosis pada Kuda.


Recommended