berdasarkan publikasi Kementerian Koperasi dan UKM tahun 2013, tercatat 56,7 juta usaha di Indonesia, 99,9% diantaranya adalah UMKM yaitu 56,6 juta. Yang mana terdiri dari 98,79% usaha mikro, 1,11% usaha kecil, 0,09% usaha menengah dan 0,01% usaha besar. Dari total 110,8 juta tenaga kerja di Indonesia, sebanyak 97,16% terserap oleh sector UMKM, yaitu 90,12% usaha mikro, 4,09% usaha kecil, 2,94% usaha menengah, 2,84% usaha besar. Sedangkan kontribusi UMKM dalam PDB yaitu sebesar 59,08% yang terdiri dari 38,81% usaha mikro, 9,68% usaha kecil, 13,59% usaha menengah dan 40,92% usaha besar. Ironisnya, dengan potensi UMKM yang sedemikian besar alokasi pembiayaan yang disalurkan selama ini masih kurang memadai, meskipun pemerintah telah mengeluarkan ketentuan bahwa 20% dari dana Bank harus di salurkan ke sektor UMKM, pa-
Edisi 5, 30 Oktober 2015
MENGOPTIMALKAN PEMANFAATAN ASSET MASJID DALAM MENDORONG PERKEMBANGAN UMKM
MASYARAKAT SEKITAR(BAITUL MALL SEBAGAI WADAH PENGEMBANGAN WAQAF PRODUKTIF)
Oleh: Ika Yuni L., Fitrotul Fardila, & Sarifuddin Latif (Ekonomi Syari’ah)
S e l a m a i n i U M K M t e l a h berkontribusi secara signifikan terhadap perkembangan PDB,
da kenyataanya yang tersalurkan masih sekitar 14%. Sedangkan sisanya masih disalurkan di sektor usaha besar. (Statistik Perbankan, 2014) Di samping itu, di tengah problem sosial di Indonesia serta adanya tuntutan a k a n k e s e j a h t e r a a n e k o n o m i , keberadaan waqaf produktif menjadi sangat strategis. Di samping sebagai salah satu implementasi dari ajaran Islam, waqaf produktif juga merupakan ajaran yang menekankan pentingnya k e s e j a h t e r a a n e k o n o m i d a n kesejahteraan umat. M. A. Mannan menyatakan bahwa benda bergerak seperti uang merupaakan salah satu instrument waqaf produktif yang memang diperbolehkan dalam Islam. Waqaf uang ini dipandang sebagai sebuah solusi yang dapat membuat waqaf menjadi lebih produktif. Ditambah lagi, mengingat Indonesia merupakan Negara yang mayoritas penduduknya muslim serta mempunyai potensi waqaf yang cukup besar maka adanya waqaf tunai ini diyakini bisa mengentaskan permasalahan sosial
Buletin Dakwah Ekonomi Islam
AL-KANZUwww.forsei.org
TIDAK DIBACA SAAT KHOTIB SEDANG KHUTBAH
ekonomi di Indonesia yang salah satunya
dengan kontribusinya terhadap UMKM.
Berdasarkan UU RI No. 41 Tahun
2004, Waqaf mencakup harta yang
bergerak maupun tidak bergerak,
termasuk waqaf uang tunai yang
penggunaanya sangat luas, tidak terbatas
pada pendirian tempat ibadah dan sosial
keagamaan saja. Namun yang menjadi
permasalahan disini adalah masyarakat
Indonesia sejauh ini masih memandang
bahwa waqaf hanya sebatas pemberian
barang tidak bergerak, seperti tanah.
Oleh karena itu penulisan ini
bertujuan untuk menawaarkan sebuah
solusi dalam pemberdayaan waqaf (asset
masjid) agar dapat memberikan
kesejahteraan bagi masyarakat sekitar
masjid, yakni dengan mewujudkan
k o n s e p b a i t u l m a l l m o d e r n ,
meningkatkan perekonomian umat
melalui pembedayaan asset masjid.
1. Potensi Wakaf Produktif di
Indonesia
Potensi waqaf di Indonesia
sangatlah besar dan merupakan aset bagi
umat Islam. Akan tetapi, sangat
disayangkan karena sebagian harta waqaf
tersebut masih dalam bentuk lahan yang
tidak produktif. Menurut Saepudin (2013), empat hal yang menjadi pemicu tidak berkembangnya waqaf di Indonesia yaitu: Pertama, alokasi dana waqaf hanya masih terbatas pada sarana ibadah atau makam. Kedua, karena keterbatasan kemampuan dari menegerial dari pengolahan harta waqaf . Ket iga , karena adanya keterbatasan dari dana investasi waqaf. K e e m p a t , s a s a r a n d a r i h a s i l pengelolaan waqaf belum sampai kepada tujuan yang diinginkan. Berdasarkan publikasi Direktorat Pemberdayaan Waqaf Dirjen Bimas Islam, Departemen Agama, dari seluruh luas tanah waqaf di Indonesia, sejumlah 44,57% dimanfaatakan untuk masjid, 3 ,98% un tuk makam, 10 ,80% dimanfaatkan untuk sekolah, 2,95% dimanfatkan untuk pesantren, 29,24% dimanfaatkan untuk musholla, dan 8,46 dimanfaatkan untuk kegiatan sosial lainnya. Selain waqaf tanah, waqaf tunai di Indonesia juga memiliki potensi yang sangat besar. Musthafa Edwin Nasution mengatakan bahwa potensi yang dapat di himpun dari 10 juta penduduk muslim di Indonesia sekitar Rp 3 triliun pertahun. Selain potensi waqaf tunai yang besar, jenis waqaf ini dinilai lebih produkti dan mampu menyejahterakan masyarakat dari semua golongan. Selain itu, waqaf tunai juga membuka peluang besar bagi penciptaan bisnis investasi, yang hasilnya dapat dimanfaatkan pada bidang keagamaan, pendidikan, dan
42
tidak produktif. Menurut Saepudin (2013), empat hal yang menjadi pemicu tidak berkembangnya waqaf di Indonesia yaitu: Pertama, alokasi dana waqaf hanya masih terbatas pada sarana ibadah atau makam. Kedua, karena keterbatasan kemampuan dari menegerial dari pengolahan harta waqaf . Ket iga , karena adanya keterbatasan dari dana investasi waqaf. K e e m p a t , s a s a r a n d a r i h a s i l pengelolaan waqaf belum sampai kepada tujuan yang diinginkan. Berdasarkan publikasi Direktorat Pemberdayaan Waqaf Dirjen Bimas Islam, Departemen Agama, dari seluruh luas tanah waqaf di Indonesia, sejumlah 44,57% dimanfaatakan untuk masjid, 3 ,98% un tuk makam, 10 ,80% dimanfaatkan untuk sekolah, 2,95% dimanfatkan untuk pesantren, 29,24% dimanfaatkan untuk musholla, dan 8,46 dimanfaatkan untuk kegiatan sosial lainnya. Selain waqaf tanah, waqaf tunai di Indonesia juga memiliki potensi yang sangat besar. Musthafa Edwin Nasution mengatakan bahwa potensi yang dapat di himpun dari 10 juta penduduk muslim di Indonesia sekitar Rp 3 triliun pertahun. Selain potensi waqaf tunai yang besar, jenis waqaf ini dinilai lebih produkti dan mampu menyejahterakan masyarakat dari semua golongan. Selain itu, waqaf tunai juga membuka peluang besar bagi penciptaan bisnis investasi, yang hasilnya dapat dimanfaatkan pada bidang keagamaan, pendidikan, dan
pelayanan sosial.Disamping adanya potensi waqaf yang besar, dibutuhkan juga adanya sumber daya manusia (human capital) yang besar pula dalam p r o s e s p e m b e r d a y a a n d a n pengelolaannya.2. Manajemen Pengelolaan Wakaf Sebelum adanya fatwa Majelis Ulama Indonesisa (MUI) mengenai diperbolehkannya waqaf tunai sebagai konsep baru pengelolaan waqaf, pengelolaan waqaf di Indonesia hanya terbatas pada urusan pembangunan masjid, madrasah, kantor organisasi keagamaan, dan pondok pesantren. Dewasa ini, sudah mulai terjadi p e r l u a s a n d a n p e n g e m b a n g a n pengelolaan harta waqaf untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakat dengan adanya UU No. 41 tahun 2004 tentang waqaf. Waqaf yang dikembangkan sekarang ini tidak hanya dalam bentuk waqaf tanah, tetapi juga dalam bentuk waqaf tunai. Dengan adanya waqaf tunai tersebut, harta waqaf dapat dikembangkan lebih maksimal yaitu tidak hanya untuk pembangunan infrastruktur sosial tetapi juga dalam bentuk peningkatan kesejahteraan ekonomi. Dalam pemanfaatan harta waqaf u n t u k k e s e j a h t e r a a n e k o n o m i masayarakat, harta waqaf dapat digunakan dalam bentuk waqaf produktif sehingga dapat menghasilkan manfaat bagi masyarakat. Menurut Darwanto (2012) konsep waqaf produktif penting
43
manajemen yang baik sehingga
penyaluran wakaf produktif dapat
optimal. Akan tetapi tidak semua masjid
memiliki pengelolaan sebaik masjid
Jogokaryan, sehingga salah satu caranya
dengan pendirian lembaga waqaf yang
terdiri dari gabungan beberapa masjid.
Lembaga wakaf tersebut dapat disebut
Baitul Mal.
Baitul Mal tersebut merupakan
gabungan dari beberapa masjid yang
bekerjasama dalam pengelolaan harta
waqaf untuk disalurkan kepada
masyarakat sekitar masjid dalam bentuk
pembiayaan tanpa agunan (akad Qard).
Dengan kata lain sitem penyaluran yang
digunakan di sini berbentuk pinjaman
lunak yang pengembaliannya sesuai
dengan jumlah pokoknya saja.
Baitul Mal ini akan dikelola oleh
takmir dari masing-masing anggota,
maka diperlukan adanya lembaga
pengawas dari Kementrian Agama dalam
hal ini dapat menggunakan Badan Wakaf
Indonesia (BWI).Tujuan dari konsep
Baitul Mal ini adalah meningkatkan
kesejahteraan masyarakat dengan
mendorong UMKM baik dalam bentuk
pertaniaan, industri rumahan dan
sebagainya untuk meningkatkan
perekonomian masyarakat sekitar
masjid. Berdasarkan teori pendapatan,
kenaikan jumlah pendapatan diiringi
d e n g n a k e n a i k a n u n s u r- u n s u r
pembentuknya. Diharapkan dengan adanya konsep Baitul Maal dari gabungan beberapa m a s j i d i n i a k a n m e n d o r o n g pemanfaatan waqaf produktif yang lebih efisien. Dengan penyaluran yang berbasis pinjaman tanpa adanya biaya apapun diharapkan dapat mendorong usaha masyarakat sekitar masjid untuk m e n i n g k a t k a n p e r e k o n o m i a n masyarakat. selain itu, diharapkan dengan bertambahnya dana ZIS dapat m e m a k m u r k a n M a s j i d d a n lingkungannya, sehingga kemakmuran umat dapat terrealisasi.
Presented by: Organized by:
Buletin Dakwah Ekonomi IslamAL-KANZU
Diterbitkan oleh:
Forum Studi Ekonomi Islam (ForSEI)UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Penanggung Jawab:M. Salahuddin Hekmatyar
Email: [email protected]: http://forsei.org/
Cp. feriosa 089 608 252 350
44
Recommended