ANALISIS DAMPAK ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN
TERHADAP KETAHANAN PANGAN DI KABUPATEN
BEKASI JAWA BARAT
(Studi Kasus Desa Sriamur Kecamatan Tambun Utara)
MUHAMAD DIKA YUDHISTIRA
DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya manyatakan bahwa skripsi Analisis Dampak Alih Fungsi Lahan
Pertanian Terhadap Ketahanan Pangan di Kabupaten Bekasi Jawa Barat: Studi
Kasus Desa Sriamur Kecamatan Tambun Utara adalah karya saya sendiri dengan
arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada
perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, September 2013
M.Dika Yudhistira
H44080073
RINGKASAN
M. DIKA YUDHISTIRA. Analisis Dampak Alih Fungsi Lahan Pertanian
Terhadap Ketahanan Pangan di Kabupaten Bekasi Jawa Barat (Studi Kasus Desa
Sriamur Kecamatan Tambun Utara). Dibimbing oleh RIZAL BAHTIAR.
Kabupaten Bekasi pada saat ini mempunyai tata guna lahan dengan
mayoritas lahan pertanian. Seiring dengan meningkatnya aktifitas pembangunan
dan pertambahan penduduk, kebutuhan akan lahan juga meningkat pesat.
Sementara itu ketersediaan atau luas lahan pada dasarnya tidak berubah, sehingga
peningkatan kebutuhan lahan untuk suatu kegiatan akan mengurangi ketersediaan
lahan untuk kegiatan lainnya. Hal ini menyebabkan sering terjadi benturan
kepentingan dan pada akhirnya terjadi alih fungsi lahan petanian.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis dampak yang terjadi
akibat alih fungsi lahan terhadap ketahanan pangan di Kabupaten Bekasi. Adapun
tujuan khusus dari penelitian ini adalah: (1) menganalisis pola dan karakteristik
alih fungsi lahan pertanian di Kabupaten Bekasi, (2) menganalisis laju alih fungsi
lahan pertanian di Kabupaten Bekasi, (3) menganalisis kelembagaan lahan di
Kabupaten Bekasi, (4) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi
lahan pertanian di Kabupaten Bekasi, (5) menganalisis dampak akibat alih fungsi
lahan pertanian di Kabupaten Bekasi.
Penelitian ini dilakukan dengan studi kasus di Desa Sriamur, Kecamatan
Tambun Utara, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Pengambilan data dilakukan
selama bulan Februari - Maret 2013. Data primer diperoleh dari hasil wawancara
melalui kuesioner. Data sekunder diperoleh melalui dinas-dinas terkait dan
penulusuran melalui internet. Pola dan karakteristik dianalisis dengan
menggunakan analisis deskriptif. Laju alih fungsi lahan dianalisis dengan
persamaan laju alih fungsi lahan parsial. Kelembagaan lahan dianalisis dengan
menggunakan analisis deskriptif,. Penduga faktor-faktor yang mempengaruhi alih
fungsi lahan dianalisis secara makro dan mikro menggunakan model regresi linier
berganda dan model regresi logistik. Dampak yang terjadi dianalisis dengan
menggunakan estimasi dampak produksi dan rata-rata selisih perbedaan
pendapatan. Dampak terhadap produksi juga di simulasikan dan dibandingkan
dengan kebutuhan pangan masyarakat Kabupaten Bekasi sebagai peramalan
terhadap ketahanan pangan di wilayah tersebut.
Hasil penelitian menunjukan bahwa pola alih fungsi lahan pertanian yang
terjadi adalah pola yang diawali dengan alih kekuasaan lahan dari petani kepada
pihak lain. Petani menjual lahan pertanian kepada pemborong. Pihak pemborong
nantinya menjual lahan tersebut kepada investor untuk dialihfungsikan menjadi
pemukiman atau industri pengolahan. Laju alih fungsi lahan pertanian yang terjadi
di Kabupaten Bekasi tahun 2001-2011 berfluktuasi dengan rata-rata sebesar -0,43
persen. Laju alih fungsi lahan yang tertinggi adalah -1,55 persen pada tahun 2010.
Kelembagaan lahan yang dianalisis dari Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)
secara vertikal menyatakan bahwa Kabupaten Bekasi dijadikan wilayah
penyangga dari Jabodetabek, sehingga pembangunan di Kabupaten Bekasi harus
mendukung perkembangan di daerah Jabodetabek. Selain itu permasalahan
kepemilikan lahan menjadi penyebab petani mengambil keputusan untuk menjual
lahannya. Hal ini menyebabkan banyaknya pembangunan pemukiman dan industri
pengolahan di wilayah tersebut. Faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi
lahan pertanian secara makro yaitu PDRB dan laju pertumbuhan penduduk,
sedangkan faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan pertanian secara mikro
adalah jumlah tanggungan petani dan proporsi pendapatan usaha tani dari
pendapatan total. Dampak yang terjadi terhadap produksi adalah hilangnya
produksi gabah pada sepuluh tahun terakhir sebesar 28.091,25 ton atau bernilai
sekitar Rp 73.733.652.728. Rata-rata pendapatan petani berkurang setelah alih
fungsi lahan sebesar Rp 3.331.548. Berdasarkan perkiraan luas lahan dan
dampaknya terhadap ketahanan pangan diketahui bahwa pada tahun 2015
produksi beras di Kabupaten Bekasi tidak dapat memenuhi kebutuhan beras
penduduk dengan kekurangan sebesar 12.052 ton. Jika terdapat penurunan
konsumsi beras perkapita sebesar 1,5 persen setiap tahunnya maka Kabupaten
Bekasi tidak dapat memenuhi kebutuhan beras pada tahun 2018 dengan
kekurangan sebesar 1.440 ton.
Kata Kunci : Alih Fungsi Lahan Pertanian, Ketahanan Pangan, Kabupaten Bekasi.
ANALISIS DAMPAK ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN
TERHADAP KETAHANAN PANGAN DI KABUPATEN
BEKASI JAWA BARAT
(Studi Kasus Desa Sriamur Kecamatan Tambun Utara)
MUHAMAD DIKA YUDHISTIRA
H44080073
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada
Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan
DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
Judul Penelitian : Analisis Dampak Alih Fungsi Lahan Pertanian Terhadap
Ketahanan Pangan di Kabupaten Bekasi Jawa Barat (Studi
Kasus Desa Sriamur Kecamatan Tambun Utara).
Nama : Muhamad Dika Yudhistira
NIM : H44080073
Disetujui,
Pembimbing
Rizal Bahtiar, S.Pi, M.Si
NIP 19800603 200912 1 006
Diketahui,
Ketua Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan
Dr. Ir. Aceng Hidayat, M.T
NIP 19660717 199203 1 003
Tanggal Lulus:
UCAPAN TERIMA KASIH
Terima kasih kepada Allah SWT yang telah memberikan kemudahan
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Analisis Dampak
Alih Fungsi Lahan Pertanian Terhadap Ketahanan Pangan di Kabupaten Bekasi
Jawa Barat (Studi Kasus Desa Sriamur Kecamatan Tambun Utara)”. Penulis
mengucapkan semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini.
Untuk itu ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada :
1. Bapak Dedi Umar Farouq dan Ibu Ika Atika Pujiati, orang tua yang selalu
memberikan kekuatan, dukungan, baik moril dan materi serta limpahan doa
yang tidak pernah terputus kepada penulis.
2. Bapak Rizal Bahtiar, S.Pi, M.Si selaku dosen pembimbing yang telah
memberikan bimbingan, arahan, solusi dan saran kepada penulis dalam
menyelesaikan penyusunan skripsi ini.
3. Ir. Nindyantoro, M.SP dan Nuva, S.P, M.Sc selaku dosen penguji utama dan
dosen penguji perwakilan departemen.
4. Bapak Sarmili dan Asep yang telah meluangkan waktunya menemani dan
mengantar penulis dalam pengumpulan data.
5. Teman-teman satu bimbingan skripsi: Andini, Erna, Anis, Nanda, Nia, dan
Budi atas segala dukungan, saran, dan motivasi kepada penulis.
6. Teman-teman seperjuangan ESL 45 yang telah banyak mengajari dan
memberikan tutor kepada penulis selama masa kuliah.
7. Semua pihak yang membantu dalam proses persiapan hingga penyusunan
skripsi ini.
Akhir kata, penulis berharap semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi
semua pihak yang memerlukan.
Bogor, September 2013
Penulis
KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi dengan judul “Analisis Dampak Alih Fungsi Lahan Pertanian Terhadap
Ketahanan Pangan di Kabupaten Bekasi Jawa Barat (Studi Kasus Desa Sriamur
Kecamatan Tambun Utara)”. Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat
penyelesaian tugas akhir studi Program Sarjana (S1) Departemen Ekonomi
Sumberdaya Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian
Bogor.
Tujuan penulisan skripsi ini adalah mengkaji pola dan laju alih fungsi
lahan pertanian, menidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhinya, juga
menganalisis dampak akibat alih fungsi lahan pertanian tersebut. Penelitian ini
diharapkan dapat dijadikan acuan untuk kebijakan pengendalian alih fungsi lahan
di Kabupaten Bekasi. Penulis mengucapakan terima kasih kepada Bapak Rizal
Bahtiar, S.Pi, M.Si sebagai dosen pembimbing skripsi sehingga skripsi ini bisa
selesai. Semoga skripsi ini dapat berberguna bagi ilmu pengetahuan. Amin.
Bogor, September 2013
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ............................................................................................. vii
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... viii
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... ix
I. PENDAHULUAN ..................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang .................................................................................... 1
1.2. Perumusan Masalah ............................................................................ 6
1.3. Tujuan Penelitian ................................................................................ 8
1.4. Manfaat Penelitian .............................................................................. 8
1.5. Ruang Lingkup Penelitian .................................................................. 9
II. TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................... 10
2.1. Lahan Pertanian .................................................................................. 10
2.2. Alih Fungsi Lahan Pertanian .............................................................. 11
2.3. Pola dan Karakteristik Alih Fungsi Lahan ......................................... 13
2.4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan Pertanian ..... 14
2.5. Dampak Alih Fungsi Lahan Pertanian ke Non Pertanian ................... 16
2.6. Kelembagaan Lahan ........................................................................... 18
2.7. Landasan Hukum Kebijakan Alih Fungsi Lahan ............................... 20
2.8. Ketahanan Pangan .............................................................................. 23
2.9. Penelitian Terdahulu ........................................................................... 24
III. KERANGKA PEMIKIRAN ................................................................... 27
3.1. Kerangka Teoritis ............................................................................... 27
3.2. Kerangka Operasional ........................................................................ 28
IV. METODE PENELITIAN ........................................................................ 31
4.1. Lokasi dan Waktu ............................................................................... 31
4.2. Jenis dan Sumber Data ....................................................................... 31
4.3. Metode Pengambilan Contoh ............................................................. 32
4.4. Metode Pengolahan dan Analisis Data ............................................... 33
4.4.1. Analisis Deskriptif .................................................................... 33
4.4.2. Analisis Laju Alih Fungsi Lahan .............................................. 34
4.4.3. Analisis Regresi Linier Berganda ............................................. 35
4.4.4. Analisis Regresi Logistik .......................................................... 41
4.4.5. Analisis Estimasi Dampak Produksi ......................................... 45
4.4.6. Analisis Terhadap Dampak Pendapatan Petani......................... 47
V. GAMBARAN UMUM ............................................................................ 48
5.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ................................................ 48
5.1.1. Kabupaten Bekasi .................................................................... 48
5.1.2. Kecamatan Tambun Utara ....................................................... 49
5.1.3. Desa Sriamur ........................................................................... 50
vi
5.2. Karakteristik Responden ................................................................... 51
5.2.1. Tingkat Usia ............................................................................ 51
5.2.2. Tingkat Pendidikan ................................................................. 52
5.2.3. Jumlah Tanggungan ................................................................ 52
5.2.4. Tingkat Pendapatan ................................................................. 53
VI. HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................... 54
6.1. Pola dan Karakteristik Alih Fungsi Lahan Kabupaten Bekasi ........... 54
6.2. Laju Alih Fungsi Lahan Pertanian di Kabupaten Bekasi .................. 56
6.3. Analisis Kelembagaan Lahan Kabupaten Bekasi ............................... 57
6.4. Faktor Makro yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan Kabupaten
Bekasi ................................................................................................. 63
6.5. Faktor Mikro yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan Kecamatan
Tambun Utara ..................................................................................... 67
6.6. Dampak Alih Fungsi Lahan Terhadap Produksi Padi Kabupaten
Bekasi ................................................................................................. 71
6.7. Dampak Alih Fungsi Lahan Terhadap Pendapatan Petani
Kecamatan Tambun Utara .................................................................. 73
6.8. Perkiraan Perubahan Luas Sawah dan Dampak Terhadap
Ketahanan Pangan di Kabupaten Bekasi ............................................ 76
VII. SIMPULAN DAN SARAN ..................................................................... 79
7.1. Simpulan ............................................................................................. 79
7.2. Saran ................................................................................................... 80
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 81
LAMPIRAN ....................................................................................................... 84
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1. Nilai PDB Indonesia pada Tahun 2010-2011 Menurut Lapangan
Usaha atas Dasar Harga Berlaku ............................................................. 2
2. Jumlah Industri dan Jumlah Penduduk Kabupaten Bekasi tahun 2000-
2011 dengan Laju Pertumbuhannya ........................................................ 5
3. Luas dan Laju Alih Fungsi Lahan Sawah di Kabupaten Bekasi Tahun
2002-2011 ............................................................................................... 56
4. Hasil Estimasi Faktor-Faktor Makro yang Mempengaruhi Perubahan
Luas Lahan Sawah Kabupaten Bekasi .................................................... 64
5. Hasil Estimasi Faktor-Faktor Mikro yang Mempengaruhi Petani untuk
Menjual Lahan Pertanian ........................................................................ 68
6. Dampak Terhadap Produksi Padi dan Nilai Produksi Padi Akibat Alih
Fungsi Lahan Sawah .............................................................................. 72
7. Dampak Terhadap Produksi Padi dan Nilai Produksi Padi Akibat
Pembukaan Lahan Sawah Baru ............................................................... 73
8. Rata-Rata Perubahan Pendapatan per Bulan Petani Akibat Alih Fungsi
Lahan Pertanian ke Non Pertanian .......................................................... 75
9. Perkiraan Perubahan Luas Lahan dan Dampak Terhadap Ketahanan
Pangan di Kabupaten Bekasi dengan Konsumsi Beras Perkapita Tetap . 77
10. Perkiraan Perubahan Luas Lahan dan Dampak Terhadap Ketahanan
Pangan di Kabupaten Bekasi dengan Konsumsi Beras Perkapita
Menurun .................................................................................................. 78
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1. Perbandingan Jumlah Penduduk di Indonesia dan Pulau Jawa ............... 4
2. Ilustrasi Land Rent Sebagai Sisa Surplus Ekonomi Setelah Biaya
Produksi Dikeluarkan .............................................................................. 27
3. Diagram Kerangka Pemikiran Operasional ............................................ 30
4. Perbandingan Tingkat Usia Responden .................................................. 50
5. Perbandingan Tingkat Pendidikan Responden........................................ 51
6. Perbandingan Jumlah Tanggungan Responden ...................................... 53
7. Perbandingan Tingkat Pendapatan Responden ....................................... 53
8. Luas Lahan Sawah di Kabupaten Bekasi Tahun 2001-2011 .................. 54
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Kuesioner Penelitian ............................................................................... 84
2. Tata Guna Lahan Eksisting Kabupaten Bekasi tahun 2011 .................... 87
3. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bekasi tahun 2011-2013 ...... 88
4. Hasil Regresi Linear Berganda ............................................................... 89
5. Hasil Regresi Logistik ............................................................................. 92
6. Harga Gabah Kering Giling Kabupaten Bekasi Tahun 2002-2011 ........ 94
7. Perhitungan Pendapatan Petani Sebelum dan Setelah Alih Fungsi
Lahan ....................................................................................................... 96
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Lahan merupakan sumberdaya alam strategis bagi pembangunan. Hampir
semua sektor pembangunan fisik memerlukan lahan, seperti sektor pertanian,
kehutanan, perumahan, industri, pertambangan, dan transportasi. Dari sisi
ekonomi, lahan merupakan input tetap yang utama dari kegiatan produksi suatu
komoditas. Banyaknya lahan yang digunakan untuk kegiatan produksi tersebut
secara umum merupakan permintaan turunan dari permintaan komoditas yang
dihasilkan. Oleh karena itu, perkembangan kebutuhan lahan untuk setiap kegiatan
produksi akan dipengaruhi oleh perkembangan permintaan dari setiap
komoditasnya.
Sejalan dengan meningkatnya aktifitas pembangunan dan pertambahan
penduduk, kebutuhan akan lahan juga meningkat pesat. Sementara itu
ketersediaan dan luas lahan pada dasarnya tidak berubah. Meskipun kualitas
sumberdaya lahan dapat ditingkatkan, kuantitasnya di setiap daerah relatif tetap.
Pada kondisi tersebut maka peningkatan kebutuhan lahan untuk suatu kegiatan
produksi akan mengurangi ketersediaan lahan untuk kegiatan produksi lainnya.
Hal ini menyebabkan sering terjadi benturan kepentingan dan alih fungsi lahan.
Pembangunan di Indonesia lebih menekankan pada pertumbuhan ekonomi
sehingga sektor yang memegang pengaruh paling besar akan maju dengan pesat.
Sektor industri pengolahan merupakan sektor yang paling besar pengaruhnya bagi
Produk Domestik Bruto (PDB), sehingga sektor tersebut berkembang pesat. PDB
merupakan salah satu indikator yang menggambarkan pertumbuhan ekonomi.
Pesatnya perkembangan industri berdampak pada peningkatan permintaan lahan
2
untuk sektor tersebut. Kondisi tersebut berdampak negatif bagi sektor lain yang
sangat membutuhkan lahan sebagai input utamanya, seperti sektor pertanian.
Sektor pertanian secara luas merupakan sektor kedua setelah industri pengolahan
yang memberikan kontribusi terhadap peningkatan PDB Indonesia. Hal ini dapat
dilihat pada Tabel 1 dimana pertanian secara luas, yaitu pertanian, peternakan,
kehutanan, dan perikanan pada tahun 2010 dan 2011 menyumbang masing-
masing sebesar Rp 985,4 triliyun dan Rp 1.039,5 triliyun. Sumbangan sektor
pertanian ini naik sebesar Rp 54,1 triliyun. Namun sektor industri pengolahan
menyumbang nilai yang lebih besar, yaitu Rp 1.595,8 triliyun dan 1.803,5 triliyun.
Subangan sektor industri pengolahan ini naik sebesar Rp 207,7 triliyun.
Tabel 1. Nilai PDB Indonesia pada Tahun 2010-2011 Menurut Lapangan
Usaha atas Dasar Harga Berlaku
Lapangan Usaha 2010 2011
Pertanian, peternakan, kehutanan, dan
perikanan 985,4 1.093,5
Pertambangan dan penggalian 718,1 886,3
Industri pengolahan 1.595,8 1.803,5
Listrik, gas, dan air bersih 49,1 55,7
Bangunan 660,9 756,5
Perdagangan, hotel, dan restoran 882,5 1.022,1
Pengangkutan dan komunikasi 423,2 491,2
Keuangan, persewaan, dan jasa
perusahaan 466,6 535,0
Jasa-jasa 654,7 783,3
Produk Domestik Bruto (PDB) 6.436,3 7.427,1
PDB Tanpa Migas 5.936,2 6.794,4 Sumber: Badan Pusat Statistik, 2012
Pesatnya pembangunan sektor industri pengolahan ini tentunya akan
menarik perhatian bagi para investor yang akan menanamkan modal, terutama di
Pulau Jawa karena infrastruktur yang sudah mencukupi. Mereka akan cenderung
memilih berinvestasi ke arah sektor industri daripada sektor pertanian. Pemerintah
daerah tentu saja akan menanggapi positif para investor tadi karena jika daerah
3
mereka banyak memiliki industri pengolahan maka pemasukan untuk daerah pun
akan meningkat. Walaupun kriteria lahan yang diperlukan untuk industri
pengolahan dan pertanian tersebut berbeda, pada kenyataannya masih terjadi
benturan kepentingan dan terjadilah konversi lahan dari pertanian untuk dijadikan
industri pengolahan.
Kependudukan di Indonesia juga tidak merata dan terus bertambah
bertambah seiring dengan berjalannya waktu. Dapat dilihat pada Gambar 1.
Indonesia mengalami pertumbuhan penduduk yang terus meningkat. Pertambahan
penduduk ini menyebabkan keperluan bangunan juga ikut bertambah. Tidak
hanya bangunan rumah untuk tempat tinggal, tetapi juga infrastruktur lain yang
mendukung masyarakat, seperti sekolah, perkantoran, rumah sakit, jalan raya, dsb.
Selain itu penduduk di Indonesia juga tidak tersebar merata. Mayoritas penduduk
Indonesia berada di Pulau Jawa. Dapat dilihat pada Gambar 1. bahwa lebih dari
setengah penduduk Indonesia berada di Pulau Jawa. Hal ini menjadi dilema
dimana Pulau Jawa merupakan pulau yang subur dan cocok untuk pertanian
pangan berhadapan dengan penduduknya yang terus bertambah dan membutuhkan
bangunan untuk mereka tinggal, sehingga terjadilah alih fungsi dari lahan
pertanian.
4
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2011 (diolah)
Gambar 1. Perbandingan Jumlah Penduduk di Indonesia dan Pulau Jawa
Alih fungsi lahan pertanian sebenarnya bukan hal baru. Sejalan dengan
adanya peningkatan jumlah penduduk dan pertumbuhan ekonomi di sektor
industri menyebabkan kebutuhan akan lahan meningkat. Pertumbuhan tersebut
membutuhkan lahan yang lebih luas untuk pembangunan, sementara ketersediaan
lahan yang relatif tetap menyebabkan persaingan dalam pemanfaatan lahan.
Kebanyakan lahan yang dialihfungsikan adalah lahan-lahan pertanian karena land
rent (sewa lahan) pertanian umumnya relatif lebih kecil dibandingkan dengan non
pertanian. menurut Barlowe (1978) land rent merupakan nilai ekonomi yang
diperoleh oleh suatu bidang lahan bila lahan tersebut digunakan untuk kegiatan
proses produksi. Salah satu faktor yang mempengaruhi nilai sewa lahan tersebut
adalah lokasi lahan, karena mempengaruhi jarak dari lahan dengan pusat pasar.
Berdasarkan penjelasan tersebut dapat disimpulkan fenomena alih fungsi lahan
pertanian ini merupakan dampak dari transformasi struktur ekonomi dari pertanian
ke industri atau demografi dari pedesaan ke perkotaan, yang pada akhirnya
mendorong transformasi sumberdaya lahan dari pertanian ke non pertanian.
0
50000000
100000000
150000000
200000000
250000000
1971 1980 1990 2000 2010
Jum
lah
Pe
nd
ud
uk
Tahun Sensus
Jumlah Penduduk Indonesia
Jumlah Penduduk Pulau Jawa
5
Kabupaten Bekasi merupakan salah satu daerah yang memiliki wilayah
pertanian yang cukup luas. Kabupaten Bekasi sendiri ikut menyokong pangan
dalam skala nasional. Namun perkembangan ekonomi di Kabupaten Bekasi telah
mengakibatkan terjadinya persaingan dalam penggunaan lahan. Lokasi Kabupaten
Bekasi yang dekat dengan Ibu Kota Jakarta menyebabkan wilayah ini mempunyai
nilai sewa lahan atau land rent untuk sektor non pertanian yang besar. Kepadatan
penduduk di Jakarta juga telah meluas dan menyebabkan struktur demografi
Kabupaten Bekasi bertransformasi dari pedesaan menjadi perkotaan. Hal ini
menyebakan permintaan akan lahan industri dan pemukiman meningkat karena
lokasi tersebut dekat dengan pusat kota.
Tabel 2. Jumlah Industri dan Jumlah Penduduk Kabupaten Bekasi
Tahun 2000-2011 dengan Laju Pertumbuhannya
Tahun Jumlah
Penduduk
Jumlah
Industri
Laju Pertumbuhan
Penduduk
Laju Pertumbuhan
Industri
2000 1.642.952 568 - -
2001 1.696.425 595 3,25% 4,75%
2002 1.727.066 638 1,81% 7,23%
2003 1.877.414 703 8,71% 10,19%
2004 1.950.209 761 3,88% 8,25%
2005 2.027.902 749 3,98% -1,58%
2006 2.054.795 744 1,33% -0,67%
2007 2.125.960 842 3,46% 13,17%
2008 2.193.776 752 3,19% -10,69%
2009 2.274.842 788 3,70% 4,79%
2010 2.630.401 813 15,63% 3,17%
2011 2.753.961 844 4,70% 3,81% Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Bekasi, Berbagai Terbitan
Dapat dilihat pada Tabel 2 jumlah penduduk dan jumlah industri relatif
meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2010 jumlah penduduk bahkan sepat
mengalami peningkatan yang cukup drastis, yaitu dengan laju sebesar 15,63
persen. Hal ini terjadi juga pada jumlah industri yang meningkat drastis pada
6
tahun 2007 yang menandakan ketertarikan investor di daerah ini cukup besar.
Pada tahun 2005, 2006, dan 2008 jumlah industri sempat mengalami penurunan
(deindustrialisasi), namun hal tersebut disebabkan oleh faktor alam yaitu banjir
besar yang melanda wilayah Jakarta, Depok, dan Bekasi. Faktor tersebut namun
tidak terlalu mejadi kendala dalam pengembangan industri, karena pada tahun-
tahun berikutnya jumlah industri relatif meningkat kembali. Peningkatan jumlah
penduduk dan jumlah industri tersebut tentunya menyebabkan permintaan lahan
untuk pemukiman dan industri meningkat. Hal ini berbenturan dengan persediaan
lahan yang ada, sehingga pengalihfungsian lahan pertanian tidak dapat dihindari.
Persoalan ini harus segera dipecahkan mengingat dampak yang
ditimbulkan dapat merugikan masyarakat. Adanya alih fungsi lahan pertanian,
khususnya pada lahan sawah, akan mempengaruhi produksi beras yang
merupakan bahan makanan pokok masyarakat Indonesia. Jika hal ini dibiarkan
terus-menerus akan berpengaruh pada ketahanan pangan, dimana masyarakat
nantinya harus mengimport beras karena produksi dari sawah yang ada tidak dapat
mencukupi kebutuhan sebagai akibat dari alih fungsi lahan pertanian menjadi non
pertanian.
1.2. Perumusan Masalah
Menurut Maulana (2004), lahan sebagai faktor produksi mempunyai
karakteristik yang khas, yaitu : (1) penyediaaannya bersifat permanen, tetap, dan
terbatas, (2) lokasi yang pasti dan tidak dapat dipindahkan, (3) bersifat unik, yaitu
satu bidang tanah tidak mempunyai nilai yang sama dengan yang lain dan tidak
terpengaruh oleh waktu. Sementara itu permintaan terhadap lahan yang semakin
7
bertambah berbenturan dengan karakteristik tersebut. Sehingga secara alamiah
akan terjadi persaingan dalam penggunaan lahan untuk berbagai aktifitas.
Alih fungsi lahan pada dasarnya tidak dapat dihindari dalam pelaksanaan
pembangunan, namun perlu dikendalikan. Peningkatan kebutuhan lahan akibat
semakin tingginya aktifitas perekonomian secara langsung maupun tidak langsung
telah menyebabkan terjadinya pengurangan luas lahan pertanian untuk dijadikan
industri pengolahan dan pemukiman. Secara umum, masalah alih fungsi dalam
penggunaan lahan terjadi karena kriteria kawasan yang belum jelas, koordinasi
pemanfaatan ruang yang belum ada, dan penegakan hukum yang masih lemah.
Alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian yang terjadi selama ini di Indonesia
sebenarnya tidak menguntungkan bagi sektor pertanian. Adanya alih fungsi lahan
tersebut dapat menurunkan hasil produksi pertanian. Namun, potensi dampak
yang terjadi kurang diperhatikan oleh petani dan pemerintah daerah. Upaya untuk
pengendalian terhadap alih fungsi lahan tersebut pun sepertinya terabaikan.
Berdasarkan berbagai informasi di atas, maka permasalahan yang dapat
diambil dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimana pola atau karakteristik alih fungsi lahan di Kabupaten Bekasi?
2. Berapakah laju alih fungsi lahan di Kabupaten Bekasi?
3. Bagaimana kelembagaan mengenai penggunaan lahan di Kabupaten
Bekasi?
4. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi alih fungsi lahan tersebut?
5. Bagaimana dampak alih fungsi lahan tersebut terhadap ketahanan pangan
dan perekonomian petani?
8
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan uraian rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian
ini adalah:
1. Menganalisis pola atau karakteristik alih fungsi lahan di Kabupaten
Bekasi.
2. Menganalisis laju alih fungsi lahan pertanian di Kabupaten Bekasi.
3. Menganalisis kelembagaan lahan yang ada di Kabupaten Bekasi.
4. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan pertanian
secara makro dan mikro.
5. Menganalisis dampak akibat alih fungsi lahan pertanian terhadap
ketahanan pangan dan perekonomian petani.
1.4. Manfaat Penelitian
Penelitian ini dapat memberikan beberapa manfaat yang dapat diambil
oleh berbagai pihak, yaitu:
1. Bagi peneliti, penelitian ini dapat menjadi sarana dalam mengaplikasikan
ilmu bidang ekonomi sumberdaya dan lingkungan yang telah dipelajari
selama menjalani perkuliahan di Institut Pertanian Bogor.
2. Bagi civitas akademika, penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan
informasi yang digunakan untuk penelitian selanjutnya.
3. Bagi petani pada umumnya, informasi ini dapat menjadi pertimbangan
dalam mengambil keputusan untuk mengalih fungsikan lahan pertanian
mereka.
9
4. Bagi pemerintah, informasi ini dapat menjadi acuan dalam pembuatan
kebijakan pembangunan sektoral dan kebijakan tata ruang yang sejalan
dengan infrastruktur pembangunan pertanian.
1.5. Ruang Lingkup Penelitian
Dalam penelitian ini diperlukan batasan-batasan yang jelas agar penelitian
lebih terarah dan peneliti dapat lebih fokus dalam melakukan penelitian. Adapun
ruang lingkup sebagai batasan-batasan dari penelitian ini adalah:
1. Alih fungsi yang dianalisis berupa perubahan lahan pertanian menjadi
fungsi lain yang tidak bisa diubah menjadi lahan pertanian kembali.
2. Lahan pertanian yang dianalisis terbatas pada lahan sawah dan hasil
produksinya berupa padi atau gabah.
3. Faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan dilihat dari faktor makro di
tingkat wilayah dan faktor mikro yang mempengaruhi keputusan petani.
4. Studi kasus yang dilakukan untuk mengetahui pola, faktor, dan dampak
alih fungsi lahan terhadap petani dilakukan di Desa Sriamur, Kecamatan
Tambun Utara.
5. Dampak terhadap ketahanan pangan dilihat dari perbandingan produksi
padi sebelum dan sesudah kegiatan alih fungsi lahan, juga simulasi
perbandingan kebutuhan beras dan produksi beras pada tahun mendatang.
6. Dampak terhadap pendapatan petani dihitung dari rata-rata selisih
pendapatan sebelum dan sesudah konversi dilakukan.
7. Kelembagaan yang di analisis berupa Rencana Tata Ruang Wilayah yang
dianalisis secara vertikal dan analisis mengenai kepemilikan lahan.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Lahan Pertanian
Sebagai sumberdaya alam, lahan merupakan wadah dan faktor produksi
strategis bagi kegiatan pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan manusia.
Sumberdaya lahan merupakan salah satu sumberdaya alam yang memiliki banyak
manfaat dalam memenuhi berbagai kebutuhan manusia, seperti sebagai tempat
tinggal, tempat mencari nafkah, tempat berwisata, dan tempat bercocok tanam.
Lahan mempunyai arti penting bagi masing-masing orang yang
memanfaatkannya. Fungsi lahan bagi masyarakat sebagai tempat tinggal dan
sumber mata pencaharian. Bagi petani, lahan merupakan sumber memproduksi
makanan dan keberlangsungan hidup. Bagi investor swasta, lahan merupakan aset
untuk mengakumulasikan modal. Bagi pemerintah, lahan merupakan kedaulatan
suatu negara untuk kesejahteraan rakyatnya. Adanya banyak kepentingan yang
saling terkait dalam penggunaan lahan ini mengakibatkan terjadinya tumpang
tindih kepentingan antar masyarakat, petani, investor swasta, dan pemerintah
dalam memanfaatkan lahan.
Lahan pertanian merupakan lahan yang diperuntukan untuk kegiatan
pertanian, seperti sawah, kebun sayuran, dll. Lahan sawah adalah suatu tipe
penggunaan lahan pertanian yang untuk pengelolaannya menggunakan genangan
air. Oleh karena itu sawah selalu merupakan permukaan datar atau yang
didatarkan dan dibatasi oleh pematang untuk menahan genangan air. Berdasarkan
jenis irigasinya sawah dibagi dalam tiga jenis, yaitu : (1) sawah irigasi teknis,
yaitu bentuk sawah yang pengairannya berasal dari waduk dan dialirkan melalui
saluran primer dan selanjutnya dibagi-bagi kedalam saluran sekunder dan tersier
11
melalui bangunan pintu pembagi. (2) sawah irigasi semi teknis, yaitu bentuk
sawah yang pengairannya berasal dari waduk, akan tetapi pemerintah hanya
menguasai bangunan penyadap untuk mengatur pemasukan air. (3) sawah irigasi
sederhana, yaitu pengairan sawan dari mata air dan pembuatan salurannya dibuat
tanpa bangunan permanen oleh masyarakat setempat (Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanah dan Agroklimat, 2003). Adapun pada kenyataannya di
Indonesia masih terdapat sawah tadah hujan, yaitu sawah yang pengairannya tidak
menggunakan irigasi. Pengairan pada sawah ini hanya berbasis pada air hujan.
Menurut Sumaryo dan Tahlim (2005), manfaat lahan pertanian dapat
dibagi menjadi dua kategori, use value dan non use value. Use value atau manfaat
penggunaan didapat dari hasil eksploitasi atau kegiatan usaha tani yang dilakukan
pada lahan pertanian. Sedangkan non use value atau manfaat bawaan merupakan
manfaat yang tercipta sendirinya walaupun bukan merupakan tujuan dari kegiatan
eksploitasi dari pemilik lahan pertanian. Yoshida dan Kenkyu (1996) dalam
Sumaryanto (2005) mengutarakan pendapat lain tentang manfaat dari lahan
pertanian. Menurut mereka lahan pertanian dapat berperan dari aspek lingkungan,
seperti pencegah banjir, pengendali keseimbangan air, pencegah erosi,
pengurangan pencemaran lingkungan yang berasal dari limbah rumah tangga, dan
mencegah pencemaran udara yang berasal dari gas buangan.
2.2. Alih Fungsi Lahan Pertanian
Alih fungsi lahan atau konversi lahan adalah berubahnya satu penggunaan
lahan ke penggunaan lainnya, sehingga permasalahan yang timbul banyak terkait
dengan kebijakan tata guna lahan (Ruswandi, 2005). Alih fungsi lahan ini secara
umum menyangkut transformasi dalam pengalokasian sumberdaya lahan dari satu
12
penggunaan ke penggunaan lainnya. Hal ini umumnya terjadi di wilayah sekitar
perkotaan dan dimaksudkan untuk mendukung perkembangan sektor industri dan
jasa. Alih fungsi lahan pertanian sebenarnya bukan merupakan hal baru di
Indonesia. Isu yang berkaitan dengan alih fungsi lahan pertanian marak
diperdebatkan sejak diterbitkannya hasil sensus pertanian yang mengungkapkan
bahwa antara tahun 1983 hingga 1993 telah terjadi penyusutan lahan sawah
sebesar 1,28 juta hektar. Kondisi seperti ini sulit dihindari karena pemanfaatan
lahan untuk kegiatan non pertanian lebih memberikan keuntungan finansial
dibandingkan pemanfaatan lahan untuk kegiatan pertanian. Hal ini tercermin pada
nilai land rent untuk kegiatan pertanian yang cenderung lebih kecil dibandingkan
untuk kegiatan non pertanian.
Alih fungsi lahan pertanian merupakan isu yang perlu diperhatikan karena
ketergantungan masyarakat terhadap sektor pertanian, terutama pangan. Dalam
kegiatan alih fungsi lahan sangat erat kaitannya dengan permintaan dan
penawaran lahan, dimana penawaran atau persediaan lahan sangat terbatas
sedangkan permintaan lahan yang tidak terbatas. Menurut Barlowe (1978), faktor-
faktor yang mempengaruhi penawaran lahan adalah karakteristik fisik alamiah,
faktor ekonomi, faktor teknologi, dan faktor kelembagaan. Selain itu, faktor-faktor
yang mempengaruhi permintaan lahan adalah populasi penduduk, perkembangan
teknologi, kebiasaan dan tradisi, pendidikan dan kebudayaan, selera dan tujuan,
serta perubahan sikap dan nilai yang disebabkan oleh perkembangan usia. Pada
umumnya permintaan komoditas pertanian terutama komoditas pangan terhadap
pendapatan bersifat kurang elastis, sedangkan permintaan komoditas non
pertanian pangan bersifat elastis. Konsekuensinya adalah pembangunan ekonomi
13
untuk meningkatkan pendapatan cenderung menyebabkan naiknya permintaan
lahan untuk kegiatan non pertanian dibandingkan permintaan lahan untuk kegiatan
pertanian.
2.3. Pola dan Karakteristik Alih Fungsi Lahan
Sumaryo dan Tahlim (2005) mengungkapkan bahwan pola konversi lahan
dapat di tinjau dalam beberapa aspek. Pertama, alih fungsi lahan yang dilakukan
secara langsung oleh pemilik lahan yang bersangkutan. Motif dari pemilik lahan
pertanian untuk merubah penggunaan lahannya antara lain, karena pemenuhan
kebutuhan akan tempat tinggal dan peningkatan pendapatan melalui alih usaha.
Sebagaimana diketahui para petani umumnya berpendapatan sedikit karena
kebijakan pemerintah dalam pengaturan harga komoditas pertanian yang kurang
bijak dibandingkan dengan harga input pertanian yang tinggi. Sehingga mereka
cenderung membuat tempat tinggal untuk keturunannya atau membuat usaha lain
dengan mengalihfungsikan lahan pertanian milik mereka sendiri. Dampak dari
alih fungsi ini akan baru terasa dalam jangka waktu yang lama. Kedua, alih fungsi
lahan yang diawali dengan alih penguasaan lahan. Pemilik lahan menjual kepada
pihak lain yang akan memanfaatkannya untuk usaha non pertanian. Para petani
yang cenderung berpendapatan kecil akan menjual lahannya karena tergiur akan
harga lahan yang ditawarkan oleh para investor. Secara empiris, alih fungsi lahan
melalui cara ini umumnya berkorelasi positif dengan proses urbanisasi
(pengkotaan). Dampak alih fungsi lahan terhadap eksistensi lahan pertanian
dengan pola ini berlangsung cepat dan nyata.
Menurut Utomo (1992) alih fungsi lahan pertanian dapat bersifat
sementara dan bersifat permanen. Jika lahan sawah berubah menjadi perkebunan
14
maka alih fungsi lahan tersebut bersifat sementara, karena pada tahun-tahun
berikutnya dapat dijadikan sawah kembali. Sedangkan jika lahan sawah berubah
menjadi pemukiman atau industri maka alih fungsi lahan tersebut bersifa
permanen. Alih fungsi lahan yang bersifat permanen memiliki dampak yang lebih
besar dibandingkan alih fungsi lahan yang bersifat sementara.
2.4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan Pertanian
Laju penggunaan lahan akan semakin meningkat seiring dengan
pembangunan pertumbuhan ekonomi. Meningkatnya permintaan akan lahan
mendorong terjadinya alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian. Menurut
Pakpahan et al (1993), faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan
pertanian dapat dibedakan menjadi dua yaitu faktor langsung dan tak langsung.
Faktor langsung atau mikro yaitu faktor konversi di tingkat petani dimana faktor
tersebut mempengaruhi langsung keputusan petani. Faktor tersebut antara lain
kondisi sosial ekonomi petani, seperti pendidikan, pendapatan, kemampuan secara
ekonomi, pajak tanah, harga tanah, dan lokasi tanah. Sedangkan faktor tak
langsung atau makro yaitu faktor konversi di tingkat wilayah dimana faktor
tersebut tidak secara langsung mempengaruhi keputusan petani. Faktor ini
mempengaruhi faktor-faktor lain yang nantinya berpengaruh terhadap keputusan
petani. Faktor tersebut antara lain seperti pertumbuhan penduduk yang
mempengaruhi pertumbuhan pembangunan pemukiman dan perubahan struktur
ekonomi ke arah industri dan jasa yang akan meningkatkan kebutuhan akan sarana
transportasi dan lahan untuk industri.
Witjaksono (1996) turut mendukung pendapat tersebut, dimana beliau
memaparkan lima faktor sosial yang mempengaruhi alih fungsi lahan, yaitu
15
perubahan perilaku, hubungan pemilik dengan lahan, pemecahan lahan,
pengambilan keputusan, dan apresiasi pemerintah terhadap aspirasi masyarakat.
Dua faktor terakhir berhubungan dengan sistem pemerintahan. Hal ini berkaitan
dengan asumsi bahwa pemerintah sebagai pengayom dan abdi masyarakat
seharusnya dapat bertindak sebagai pengendali terjadinya alih fungsi lahan.
Menurut Nasoetion dan Winoto (1996), proses alih fungsi lahan secara
langsung dan tidak langsung ditentukan oleh dua faktor, yaitu sistem kelembagaan
yang dikembangkan oleh masyarakat dan pemerintah dan sistem non kelembagaan
yang berkembang secara alamiah dalam masyarakat. Menurut penelitiannya, alih
fungsi lahan sawah 59,08 persen ditentukan oleh faktor-faktor yang berkaitan
dengan sistem pertanian yang ada. Sedangkan faktor industrialisasi dan perkotaan
mempengaruhi 32,17 persen dan faktor demografis hanya mempengaruhi 8,75
persen. Sedangkan Utomo (1992) memaparkan bahwa secara umum masalah alih
fungsi dalam penggunaan lahan terjadi antara lain karena pola pemanfaatan lahan
yang masih sektoral, delineasi antar kawasan yang belum jelas, kriteria kawasan
yang belum jelas, koordinasi pemanfaatan ruang yang masih lemah, dan
penegakan hukum seperti UUPA (Undang-undang Pokok Agraria) yang masih
lemah.
Menurut Winoto (2005) faktor-faktor yang mendorong terjadinya alih
fungsi lahan pertanian menjadi non pertanian antara lain :
1. Faktor kependudukan, yaitu peningkatan dan penyebaran penduduk di
suatu wilayah. Pesatnya peningkatan jumlah penduduk telah meningkatkan
permintaan tanah. Selain itu, peningkatan taraf hidup masyarakat juga
turut berperan menciptakan tambahan permintaan lahan.
16
2. Faktor ekonomi, yaitu tingginya land rent yang diperoleh aktifitas sektor
non pertanian dibandingkan dengan sektor pertanian. Rendahnya insentif
untuk bertani disebabkan tingginya biaya produksi, sementara harga hasil
pertanian relatif rendah dan berfluktuasi. Selain itu karena faktor
kebutuhan keluarga petani yang semakin mendesak menyebabkan
terjadinya konversi lahan.
3. Faktor sosial budaya, antara lain keberadaan hukum waris yang
menyebabkan terfragmentasinya tanah pertanian, sehingga tidak
memenuhi batas minimun skala ekonomi usaha yang menguntungkan.
4. Perilaku myopic, yaitu mencari keuntungan jangka pendek namun kurang
memperhatikan jangka panjang dan kepentingan nasional secara
keseluruhan. Hal ini tercermin dari rencana tata ruang wilayah (RTRW)
yang cenderung mendorong konversi tanah pertanian untuk penggunaan
tanah non pertanian.
5. Lemahnya sistem perundang-undangan dan penegakan hukum dari
peraturan yang ada.
2.5. Dampak Alih Fungsi Lahan Pertanian ke Non Pertanian
Penyebaran penduduk yang tidak merata menyebabkan terkonsentrasinya
pembangunan perumahan dan industri di Pulau Jawa. Di satu sisi alih fungsi lahan
ini menambah terbukanya lapangan kerja di sektor non-pertanian seperti jasa
konstruksi dan industri, akan tetapi juga menimbulkan dampak negatif yang
kurang menguntungkan. Menurut Widjanarko et al (2006) dampak negatif akibat
alih fungsi lahan, antara lain :
17
1. Berkurangnya luas lahan sawah yang mengakibatkan turunnya produksi
padi, yang menggangu tercapainya swasembada pangan.
2. Berkurangnnya luas sawah yang mengakibatkan bergesernya lapangan
kerja dari sektor pertanian ke non pertanian dimana tenaga kerja lokal
nantinya akan bersaing dengan pendatang. Dampak sosial ini akan
berkembang dengan meningkatnya kecemburuan sosial masyarakat
setempat terhadap pendatang yang nantinya akan berpotensi meningkatkan
konflik sosial.
3. Investasi pemerintah dalam pengadaan prasarana dan sarana pengairan
menjadi tidak optimal. Hal ini dikarenakan irigasi yang telah dibangun
menjadi sia-sia karena sawah yang ada dialihfungsikan.
4. Kegagalan investor dalam melaksanakan pembangunan perumahan
ataupun industri karena kesalahan perhitungan mengakibatkan lahan yang
telah dialihfungsikan menjadi tidak termanfaatkan, karena tidak mungkin
dikembalikan menjadi sawah kembali. Sehingga luas lahan tidur akan
meningkat dan nantinya akan menimbulkan konflik sosial seperti
penjarahan tanah.
5. Berkurangnya ekosistem sawah di Pulau Jawa dimana telah terbentuk
selama berpuluh-puluh tahun, sedangkan pencetakan sawah baru di luar
Pulau Jawa tidak memuaskan hasilnya.
Dampak alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian yang sebenarnya
akan langsung dirasakan oleh masyarakat umum adalah terancamnya ketahanan
pangan. Hal ini dikarenakan produk pertanian yang tadinya dapat dihasilkan
sendiri oleh pertanian lokal menjadi berkurang akibat berkurangnya lahan
18
pertanian. Pertumbuhan penduduk yang terus bertambah tentu saja akan
meningkatkan kebutuhan masyarakat akan pangan. Hal ini bertolak belakang
dengan produksi pangan yang akan menurun jika alih fungsi terhadap lahan
pertanian terus dilakukan. Jika hal ini tidak segera dikendalikan maka pemerintah
harus mengimport pangan dari luar sehingga masyarakat akan semakin
bergantung pada produk import.
Konversi lahan sawah dapat dipandang dari dua sisi. Pertama, dari
fungsinya lahan sawah yang diperuntukan memproduksi padi. Dengan demikian
adanya konversi lahan sawah ke fungsi lain akan menurunkan produksi padi
nasional. Kedua, dari bentuknya perubahan lahan sawah ke bangunan permanen
akan berimplikasi pada kerugian akibat sudah diinfestasikannya dana untuk
mencetak sawah, membangun waduk, dan sistem irigasi.
Kegiatan alih fungsi lahan pertanian juga berpengaruh terhadap
lingkungan. Perubahan lahan pertanian menjadi non pertanian akan
mempengaruhi keseimbangan ekosistem. Secara faktual alih fungsi lahan ini
menyebabkan berkurangnya lahan terbuka hijau, mengganggu tata air tanah, serta
ekosistem budidaya pertanian semakin sempit.
2.6. Kelembagaan Lahan
New Institutional Economics (NIE) dalam Fauzi (2010) mengartikan
kelembagan sebagai rules of the game dalam masyarakat atau secara formal
diartikan sebagai kendali yang dirancang manusia yang membentuk interaksi
manusia. Dalam konteks yang lebih konkrit, kelembagaan terdiri dari hukum
formal, baik dalam bentuk tertulis maupun tidak tertulis, dan informal, atau nilai-
nilai (values) yang ada dan diakui dalam masyarakat serta bentuk-bentuk
19
pengorganisasiannya. Dengan demikian norma-norma yang berlaku dalam
masyarakat dalam hal pemilikan dan pengelolaan lahan menjadi sangat penting
dalam pembangunan ekonomi. Namun faktor kelembagaan merupakan pedang
bermata dua dalam konteks pengelolaan sumber daya lahan. faktor kelembagaan
yang lemah merupakan salah satu faktor yang menjadi driving force dari
degradasi lahan. Buruknya institusi yang dalam bentuk kebijakan formal yang
tidak kondusif, iklim kebijakan yang tidak baik (korupsi dan manajemen yang
buruk) serta masalah property right yang kompleks yang tidak ditangani dengan
baik adalah beberapa faktor yang sangat krusial dalam memicu degradasi lahan
dan buruknya pengelolaan yang berkelanjutan. Di sisi lain, kelembagaan yang
baik akan membantu menjadi leverage dalam pengelolaan yang berkelanjutan.
Menurut Fauzi (2010), salah satu kunci dalam aspek ekonomi
kelembagaan adalah menyangkut property right atau hak pemilikan. Property right
ini melekat dalam bentuk aturan formal dan juga norma sosial atau adat. Relefansi
hak pemilikan ini tergantung dari seberapa besar ia bisa dijalankan dan diakui
dalam masyarakat. ketidakjelasan hak pemilikan dan enforced property rights
terbukti menjadi handicap dalam mentransformasi pembangunan ekonomi yang
berkaitan dengan lahan. Bagian lain yang juga penting dalam konteks ekonomi
kelembagaan adalah menyangkut biaya transaksi. Biaya transaksi adalah
pertimbangan manfaat dalam melakukan transaksi di dalam organisasi antara
aktor yang berbeda dengan menggunakan mekanisme pasar. Dalam konteks inilah
sering terjadi pemahaman yang keliru mengenai apa yang dimaksud dengan biaya
transaksi. Biaya transaksi bukanlah biaya pertukaran (cost of exchange) atau salah
satu biaya dalam jual beli barang dan jasa (termasuk lahan), namun biaya
20
transaksi lebih diartikan sebagai the cost of establishing and maintaining right.
Biaya transaksi dalam hal ini mempertimbangkan beberapa aspek penting dalam
ekonomi yakni bounded rationality (rasionalitas terbatas), masalah informasi,
biaya negosisasi kontrak, dan opportunism. Kedua aspek di atas yakni property
rights dan transaction cost adalah bagian penting yang memerlukan pemahaaman
yang serius dalam kelembagaan pengelolaan lahan.
2.7. Landasan Hukum Kebijakan Alih Fungsi Lahan
Dasar kebijakan pertanahan pertanahan adalah Undang-Undang Dasar
Tahun 1945 (UUD 45) pasal 33 ayat (3), yang menegaskan bahwa bumi, air, dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Dari dasar kebijakan
tersebut dibentuk suatu landasan hukum berupa Undang-Undang Pokok Agraria
(UUPA). Dalam penjelasan umumnya, dinyatakan bahwa tujuan diberlakukannya
UUPA adalah:
1. Meletakan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional yang
merupakan alat untuk membawa kemakmuran, kebahagiaan, dan keadilan
bagi negara dan raktat tani, dalam rangka masyarakat yang adil dan
makmur.
2. Meletakan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan
dalam hukum pertanahan.
3. Meletakan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-
hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.
21
Landasan hukum dari kebijakan konversi lahan pertanian selain UUPA
antara lain:
1. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang perlindungan lahan
pertanian pangan berkelanjutan pada pasal 50, yang menyebutkan bahwa
segala bentuk perizinan yang mengakibatbatkan alih fungsi lahan
pertanian pangan berkelanjutan batal demi hukum, kecuali untuk
kepentingan umum.
2. Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang penataan ruang terutama
pada pasal 37, yang menyebutkan bahwa izin pemanfaatan ruang yang
tidak sesuai dengan rencana tata ruang wilayah (RTRW) dibatalkan oleh
pemerintah dan pemerintah daerah menurut kewenangan masing-masing
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
3. Peraturan Pemerintah Nomor 16 tahun 2004 tentang penatagunaan tanah
terutama pasal 13, yang menjelaskan penggunaan dan pemanfaatan tanah
di kawasan lindung atau kawasan budidaya harus sesuai dengan fungsi
kawasan dalam rencana tata ruang wilayah (RTRW).
4. Peraturan Pemerintah Nomor 36 tanun 1998 tentang penertiban dan
pendayagunaan tanah terlantar, dimana pada pasal 11 dijelaskan tanah
yang diperoleh dasar penggunaannya oleh orang perseorangan yang tidak
menggunakan tanah tersebut sesuai dengan keadaannya atau menurut sifat
dan tujuan pemberian haknya, atau tidak memeliharanya dengan baik, atau
tidak mengambil langkah-langkah pengelolaan bukan karena tidak mampu
dari segi ekonomi, maka kepala kantor pertanahan mengusulkan kepada
kepala kantor wilayah aar pemegang hak diberi peringatan agar dalam
22
waktu tertentu sudah menggunakan tanahnya sesuai keadaan atau menurut
sifat dan tujuan pemberian haknya.
5. Peraturan Menteri Negara Agraria Nomor 2 tahun 1999 tentang izin lokasi
penguasaan dan teknis tata guna tanah dimana pada pasal 6 disebutkan izin
lokasi diberikan berdasarkan pertimbangan mengenai aspek penguasaan
tanah dan teknis tata guna tanah yang meliputi keadaan hak serta
penguasaan tanah yang bersangkutan, penilaian fisik wilayah, penggunaan
tanah, serta kemampuan tanah.
Menurut Widjanarko et al (2006) ada tiga kebijakan nasional yang
berpengaruh langsung terhadap alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian
adalah:
1. Kebijakan privatisasi pembangunan kawasan industri sesuai Keputusan
Presiden Nomor 53 tahun 1989 yang telah memberikan keleluasaan
kepada pihak swasta untuk melakukan investasi dalam pembangunan
kawasan industri dan memilih lokasinya sesuai dengan mekanisme pasar.
2. Kebijakan pembangunan pemukiman skala besar dan kota baru. Kebijakan
pemerintah ini sangat berpengaruh terhadap alih fungsi lahan, karena
memunculkan spekulan yang mendorong minat petani menjual lahannya.
3. Kebijakan deregulasi dalam hal penanaman modal dan perizinan sesuai
Paket Kebijaksanaan Oktober Nomor 23 Tahun 1993 memberikan
kemudahan dan penyederhanaan dalam pemrosesan perizinan lokasi.
Kebijakan tersebut menyebabkan peningkatan dalam permohonan izin
lokasi untuk kawasan industri, pemukiman, maupun wisata.
23
2.8. Ketahanan Pangan
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 ketahanan pangan
adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tanggar yang tercermin dari: (1)
tersedianya pangan secara cukup, baik dalam jumlah maupun mutunya; (2) aman;
(3) merata; dan (4) terjangkau. Dari definisi pada undang-undang tersebut,
ketahanan pangan dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Terpenuhinya pangan dengan kondisi ketersediaan yang cukup, yaitu
pangan dalam jumlah yang cukup dan dengan kualitas atau gizi yang
memadai dalam setiap rumah tangga di Indonesia. Ketersediaan pangan ini
harus mencukupi jumlah satuan kalori yang dibutuhkan untuk kehidupan
yang aktif dan sehat
2. Terpenuhinya pangan dengan kondisi yang aman, diartikan sebagai bebas
dari cemaran biologis, kimia, atau benda lain yang dapat mengganggu atau
merusak kesehatan manusia. Hal tersebut juga termasuk aman dari kaidah
agama atau kepercayaan masing-masing.
3. Terpenuhinya pangan secara merata, diartikan dengan pangan yang aman
dan berkualitas tadi harus tersebar merata untuk mencukupi kebutuhan
jumlah kalori setiap rumah tangga di Indonesia.
4. Terpenuhinya pangan dengan kondisi terjangkau, yaitu pangan yang aman
dan berkualitas tadi harus dapat dibeli dengan harga yang terjangkau oleh
semua kalangan masyarakat Indonesia.
24
2.9. Penelitian Terdahulu
Utama (2006) dalam penelitiannya menyatakan bahwa telah terjadi
penurunan luasan lahan sawah sebesar 5.872 hektar di Kabupaten Cirebon selama
rentang waktu antara tahu 1990-2004. Produktifitas padi pun menurun setiap
tahunnya sekitar 2.813,94 ton per tahun. Pada tahun tersebut diasumsikan harga
satu ton Gabah Kering Giling (GKG) adalah Rp 1.850.000, maka rata-rata nilai
produksi yang hilang pertahunnya Rp 5.205.786.533 atau sekitar Rp 5,2 milyar.
Berdasarkan penelitian ini juga petani kehilangan peluang memperoleh
pendapatan usaha tani padi sawah sebesar Rp 7.153.000 per tahun. Kesempatan
kerja pun turut menurun, menurut pengamatan dari penelitian ini kesempatan
kerja hilang sebesar 182.032 Hari Orang Kerja (HOK) dan terjadi kehilangan
pendapatan tenaga kerja sebesar Rp 4.550.800.000. Beliau juga mengestimasi
model regresi linear berganda dengan metode Ordinary Least Square (OLS) untuk
menganalisis alih fungsi lahan yang terjadi di Kabupaten Cirebon. Faktor-faktor
yang berpengaruh terhadap alih fungsi lahan di Kabupaten Cirebon menurut
penelitian ini adalah kepadatan penduduk, produktifitas lahan sawah, kontribusi
PDRB sektor non pertanian, dan pertumbuhan panjang jalan aspal. Variabel-
variabel tersebut secara keseluruhan berpengaruh positif terhadap laju anih fungsi
lahan di Kabupaten Cirebon.
Sandi (2009) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi konversi
lahan di Kabupaten Karawang dari tahun 1999-2008 menggunakan metode
estimasi OLS. Faktor-faktor yang diestimasi oleh beliau adalah luas lahan
perumahan, laju pertambahan penduduk, dan PDRB sektor industri. Hasil dari
estimasi menunjukan bahwa lusa lahan perumahan dan laju pertambahan
25
penduduk berkorelasi positif dengan laju konversi lahan di Kabupaten Karawang,
sedangkan PDRB sektor industri tidak berpengaruh secara nyata. Dampak dari
konversi lahan tersebut dinilai dari produksi padi yang hilang, yaitu sebesar
6.028,22 ton atau setara dengan Rp 8.524.375.050. Atas hasil penelitian yang
telah dilakukan, beliau merekomendasikan kebijakan berupa pemberlakuan kuota
lahan sawah yang bisa dikorbankan untuk sektor non pertanian. Sehingga,
pembangunan ekonomi yang berimplikasi terhadap konversi lahan sawah telah
sesuai dengan rencana. Kebijakan lainnya yang disarankan adalah pemberian
insentif atau kompensasi bagi para petani sebagai langkah antisipasif untuk
menekan laju konversi lahan sawah. Adapun instrumen kebijakan yang disarankan
adalah penetapan harga komoditas yang lebih melindungi petani serta
pengurangan bahkan pembebasan pajak lahan pertanian.
Sitorus (2011) dalam penelitiannya mengestimasi model regresi linear
berganda untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan
di Kabupaten Bogor. Beliau menganalisis model tersebut dengan menggunakan
OLS dengan variabel yang digunakan adalah PDRB sektor bangunan, jumlah
penduduk, harga Gabah Kering Giling (GKG), dan produktifitas padi sawah. Hasil
dari estimasi menunjukan jumlah penduduk berpengaruh secara positif terhadap
alih fungsi lahan dan produksi padi sawah berpengaruh negatif. Sedangkan PDRB
sektor bangunan dan GKG tidak berpengaruh nyata terhadap alih fungsi lahan.
Dampak dari alih fungsi lahan di Kabupaten Bogor ini telah menghilangkan nilai
produksi padi sebesar 27.395,42 ton dimana setara dengan Rp 47.939,33 juta.
Pada penelitian tersebut juga didapat nilai elastisitas dari jumlah penduduk dan
produksi padi sawah terhadap konversi lahan sawah, yaitu sebesar 2,52 dan -2,47.
26
Karena nilai elastisitas jumlah penduduk lebih besar maka beliau menyarankan
pemerintah dapat menanggulangi masalah konversi lahan sawah dengan cara
menggalakan program keluarga berencana dan transmigrasi penduduk untuk
menanggulangi jumlah penduduk yang terus meningkat.
Puspasari (2012) menganalisis laju alih fungsi lahan pertanian yang terjadi
di Kecamatan Karawang Timur pada tahun 2006-2011. Tren laju alih fungsi lahan
pertanian pada tahun tersebut mengalami fluktiasi dengan rata-rata sebesar 0,47
persen. Faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan pertanian tersebut
dilihat dari tingkat wilayah dan tingkat petani. Pada tingkat wilayah, beliau
menggunakan model regresi linear berganda dan didapatkan hasil yaitu jumlah
industri dan proporsi luas lahan sawah terhadap wilayah merupakan faktor yang
berpengaruh terhadap alih fungsi lahan pertanian. Pada tingkat petani, beliau
menggunakan model regresi logistik dan didapatkan hasil yaitu tingkat usia, luas
lahan, lama pendidikan, dan pengalaman bertani. Rata-rata pendapatan petani
sebelum dan sesudah alih fungsi lahan terjadi perubahan dari Rp 1.421.514,03
menjadi Rp 1.299.796,30. Beliau juga melihat dampak yang terjadi akibat alih
fungsi lahan pertanian terhadap kondisi lingkungan, Namun dampak yang terjadi
tidak terlalu dirasakan oleh responden pada saat penelitian dilakukan.
III. KERANGKA PEMIKIRAN
3.1. Kerangka Teoritis
Persaingan akan kebutuhan untuk berbagai jenis penggunaan lahan
ditentukan oleh besarnya nilai sewa ekonomi lahan (land rent). Land rent yang
dihasilkan oleh lahan pada suatu wilayah akan berbeda-beda tergantung pada
penggunaan lahan tersebut. Barlowe (1978) mengemukanan bahwa land rent
mengandung pengertian nilai ekonomi yang diperoleh suatu bidang lahan bila
lahan tersebut digunakan untuk kegiatan produksi. Nilai land rent didapat dari
selisih antara total produksi dengan biaya produksi di suatu petakan lahan.
Sumber : Barlowe, 1978
Gambar 2. Ilustrasi Land Rent Sebagai Sisa Surplus Ekonomi Setelah Biaya
Produksi Dikeluarkan
Sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 2. bahwa nilai land rent didapat
dari � ABEC - � ABFD = � CEFD, dimana � ABEC adalah total produksi,
� ABFD adalah biaya produksi. Dalam pelaksanaannya, ada dua gejala yang
muncul jika hal tersebut diterapkan pada mekanisme pasar, yaitu (1) semakin
F
E C
D
A B Jumlah
Output
Biaya Produksi
AC
MC
28
besar land rent maka daya saing penggunaan lahan untuk menduduki lokasi yang
strategis semakin besar, (2) Penggunaan lahan yang mempunyai land rent yang
lebih besar akan menggeser penggunaan lahan dengan land rent yang lebih kecil.
Pada dasarnya land rent sangat dipengaruhi oleh lokasi dari lahan tersebut.
Semakin dekat dengan pusat kota maka nilai land rent dari pemukiman akan
semakin besar. Begitu pula semakin dekat dengan tempat pemasaran eksport-
import maka nilai land rent dari sektor industri akan semakin besar.
3.2. Kerangka Operasional
Lahan merupakan modal penting yang diperlukan dalam proses produksi
pertanian. Namun, perkembangan sektor ekonomi di suatu kawasan mendorong
perubahan penggunaan lahan di kawasan tersebut. Hal ini mendorong perubahan
sumberdaya lahan ke penggunaan yang memberikan nilai ekonomi lebih tinggi.
Lahan yang awalnya berupa lahan pertanian diubah menjadi bentuk lain berupa
industri yang memiliki nilai ekonomi yang lebih tinggi. Selain itu, pertumbuhan
penduduk yang semakin meningkat menyebabkan kebutuhan akan tempat tinggal
serta sarana untuk memenuhi kebutuhan hidup juga ikut meningkat. Keberadaan
lahan yang relatif tetap memaksa lahan pertanian untuk dialihfungsikan menjadi
bentuk lain berupa pemukiman dan infrastruktur kependudukan.
Alih fungsi lahan pertanian merupakan tuntutan terhadap pembangunan di
sektor non pertanian seperti industri, perumahan, dan jasa. Adanya alih fungsi
lahan dari pertanian ke non pertanian ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik
faktor yang mempengaruhi di tingkat wilayah maupun di tingkat petani. Faktor di
tingkat petani merupakan faktor mikro yang secara langsung mempengaruhi
keputusan petani untuk mengalihfungsikan atau menjual lahan, sedangkan faktor
29
di tingkat wilayah merupakan faktor makro berupa data yang secara tidak
langsung mempengaruhi kepetusan pemerintah setempat untuk mengambil
kebijakan pengalihfungsian lahan. Selain itu kelembagaan yang ada juga ikut
mempengaruhi, karena kelembagaan tersebut dapat mendukung atau mencegah
alih fungsi lahan yang terjadi. Fenomena ini mengakibatkan terjadinya
penyempitan lahan pertanian. Penyempitan pada lahan pertanian ini akan
berdampak langsung pada volume produksi padi yang mempengaruhi ketahanan
pangan, dan pada kondisi ekonomi petani karena skala produksinya tidak
mencukupi untuk sampai menguntungkan. Analisis dari faktor-faktor yang
mempengaruhi dan dampak yang ditimbulkan oleh alih fungsi lahan dapat
dijadikan patokan kebijakan untuk mengontrol alih fungsi lahan tersebut. Skema
operasional di atas ditampilkan secara sederhana dalam Gambar 3.
30
Keterangan :
Ruang Lingkup Penelitian
Sumber: Peneliti, 2013
Gambar 3. Diagram Kerangka Pemikiran Operasional
Pertumbuhan Penduduk
Peningkatan Kebutuhan
Lahan Pemukiman
Alih Fungsi Lahan Pertanian
Pola dan Laju Alih Fungsi Lahan
Faktor yang Mempengaruhi Dampak yang Terjadi
Faktor
Mikro
Faktor
Makro
Terhadap
Ketahanan
Pangan
Terhadap
Ekonomi
Petani
Pembangunan Ekonomi
Peningkatan Kebutuhan
Lahan Industri
Kebijakan Pengelolaan Lahan
Faktor
Kelembagaan
Analisis
Logistik
Analisis
Regresi
Analisis
Deskriptif
Rata-rata
Selisih
Pendapatan
Estimasi
Dampak
Produksi
IV. METODE PENELITIAN
4.1. Lokasi dan Waktu
Lokasi pengambilan data untuk keperluan penelitian yang dipilih adalah
Kabupaten Bekasi. Lokasi ini dipilih karena di daerah tersebut banyak dibangunan
pemukiman dan industri, padahal tata guna lahan di daerah tersebut pada saat ini
mayoritas merupakan lahan sawah. Hal ini mengindikasikan terjadinya alih fungsi
lahan pertanian ke pemukiman ataupun industri. Selain itu wilayah ini juga
merupakan salah satu daerah di Jawa Barat dengan perkembangan ekonomi yang
paling cepat, sehingga memberikan implikasi adanya perubahan tata guna lahan.
Studi kasus pada penelitian ini dilakukan di Desa Sriamur, Kecamatan Tambun
Utara. Desa tersebut dipilih karena pada daerah tersebut banyak terjadi alih fungsi
lahan pertanian. Proses pengumpulan data primer dan sekunder di wilayah
tersebut dilakukan pada bulan Februari 2013 hingga Maret 2013.
4.2. Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data
sekunder. Data primer digunakan untuk mengetahui faktor-faktor mikro yang
mempengaruhi alih fungsi lahan di tingkat petani dan dampak terhadap
pendapatan petani. Data tersebut didapat dari hasil penyebaran kuesioner dan
wawancara langsung dengan petani penggarap sekaligus pemilik lahan. Petani
tersebut dipilih karena dianggap tahu seluk-beluk produksi sawahnya dan
mempunyai kekuasaan untuk mengalihfungsikan lahan miliknya Data sekunder
digunakan untuk mengetahui laju alih fungsi lahan yang terjadi, faktor-faktor
makro yang mempengaruhi alih fungsi lahan di tingkat wilayah, dan dampak
32
terhadap produksi padi yang dapat mempengaruhi ketahanan pangan. Data
tersebut diperoleh dari Badan Pusat Statistik, Badan Pertanahan Nasional, Dinas
Pertanian, Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah, Kantor Kecamatan, dan
Kantor Desa.
4.3. Metode Pengambilan Contoh
Pengambilan contoh atau sample yang dilakukan kepada petani dilakukan
secara snowball sampling. Teknik snowball sampling merupakan bentuk dari non
probability sampling method. Metode ini dipilih karena jumlah populasi yang
akan diteliti tidak diketahui secara pasti. Cara ini dilakukan dengan mencari
sample pertama dan mewawancarainya. Setelah itu peneliti meminta sample
pertama tadi untuk menunjukan orang lain yang sekiranya dapat diwawancarai
sesuai dengan kriteria yang diinginkan, dan begitu pula seterusnya. Dalam hal ini
populasi yang akan diteliti tidak memiliki kesempatan yang sama untuk dipilih
sebagai sample.
Pengambilan data primer dilakukan melalui teknik wawancara dengan
bantuan kuesioner kepada responden. Responden merupakan pihak yang dapat
memberikan informasi dan dapat mewakili dalam menjawab permasalahan
penelitian. Responden dalam penelitian ini terbagi dalam dua kategori, yaitu
petani dengan lahan usaha taninya pernah dialihfungsikan dan petani yang tidak
pernah mengalihfungsikan lahannya. Penelitian yang dilaksanakan mengambil
responden mengambil responden sebanyak 30 orang. Penetapan sample ini
didasarkan pada pendapat Juanda (2009) yang menyatakan, bahwa jika tidak ada
informasi mengenai ragam dari populasi maka ukuran sample minimum yang
33
menggunakan analisis data statistik adalah 30 responden dimana populasi
dianggap menyebar normal.
4.4. Metode Pengolahan dan Analisis Data
Penelitian ini menggunakan dua metode analisis data, yaitu metode
analisis deskriptif dan analisis kuantitatif. Metode analisis deskriptif digunakan
dengan tujuan untuk memberikan penjelasan dan interpretasi data dan informasi
pada tabulasi data. Metode analisis kuantitatif bertujuan untuk mengetahui laju
alih fungsi lahan, faktor yang mempengaruhinya, dan dampak dari alih fungsi
lahan tersebut. Metode analisis kuantitatif yang digunakan adalah persamaan laju
alih fungsi lahan, analisis regresi berganda, dan analisis uji beda rata-rata.
Pengolahan data dan informasi yang didapat dilakukan secara manual dan
menggunakan komputerisasi dengan program microsoft office excel 2007, EViews
7, dan Statistical Program Service Solution 20.0.
4.4.1. Analisis Deskriptif
Analisis deskriptif merupakan metode pencarian fakta dengan interpretasi
yang tepat mengenai masalah-masalah yang ada dalam masyarakat, tata cara yang
berlaku, serta situasi-situasi tertentu termasuk tentang hubungan, kegiatan, sikap,
pandangan, serta proses yang sedang berlangsung dan pengaruh dari suatu
fenomena. Data yang diperoleh dari hasil penelitian kemudian diolah dengan
langkah-langkah sebagai berikut:
1. Penulisan data dan informasi yang diperoleh selama penelitian dengan
tujuan untuk mengevaluasi data. Hal ini dilakukan untuk menghindari
kesalahan-kesalahan yang mungkin terjadi selama pengamatan.
34
2. Merumuskan data yang diperoleh ke dalam bentuk tabel untuk
menghindari kesimpangsiuran interpretasi serta sekaligus untuk
mempermudah interpretasi data.
3. Menghubungkan hasil penelitian yang diperoleh dengan kerangka
pemikiran yang digunakan dalam penelitian, dengan tujuan mencari arti
atau memberi interpretasi yang lebih luas dari data yang diperoleh.
Analisis deskriptif akan memperoleh gambaran mengenai pola atau
karakteristik dan faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan pertanian,
serta dampaknya terhadap petani. Analisis secara deskripif juga dilakukan untuk
menganalisis kelembagaan-kelembagaan yang ada dalam mengatur kebijakan
pengelolaan lahan di Kabupaten Bekasi.
4.4.2. Analisis Laju Alih Fungsi Lahan
Menurut Sutani (2009) dalam Astuti (2011), dalam perhitungan laju alih
fungsi lahan pertanian digunakan persamaan penyusutan lahan. Laju alih fungsi
lahan dapat ditentukan dengan cara menghitung laju penyusutan lahan secara
parsial. Laju penyusutan lahan secara parsial dapat dijelaskan secara berikut:
𝑉 =𝐿𝑡 − 𝐿𝑡−1
𝐿𝑡−1× 100%
dimana:
V = Laju penyusutan lahan (%)
Lt = Luas lahan tahun ke-t (ha)
Lt-1 = Luas lahan tahun sebelum t (ha)
Laju alih fungsi lahan dapat ditentukan melalui selisih antara luas lahan
tahun ke-t dengan luas lahan tahun sebelum t (t-1). Kemudian dibagi dengan luas
35
tahun sebelum t tersebut dan dikalikan dengan 100 persen. Hal ini dilakukan juga
pada tahun-tahun berikutnya sehingga diperoleh laju alih fungsi lahan setiap
tahun. Nilai V < 0 berarti bahwa luas lahan tersebut mengalami penyusutan.
4.4.3. Analisis Regresi Linear Berganda
Analisis regresi linier berganda adalah sebuah alat analisis statistik yang
memberikan penjelasan tentang pola hubungan antara dua variabel atau lebih.
Tujuan dari analisis regresi ini adalah menggambarkan hubungan antara variabel
terikat dengan variabel bebas atau variabel yang mempengaruhinya. Variabel
terikat atau dependen (Y) adalah variabel yang dijelaskan atau dipengaruhi oleh
variabel bebas. Sedangkan variabel bebas atau independen (X) adalah variabel
yang menjelaskan atau mempengaruhi variabel terikat. Metode ini dipilih peneliti
untuk menduga faktor-faktor yang berpengaruh terhadap alih fungsi lahan
pertanian secara makro, dimana luas lahan sawah tersebut merupakan variabel
terikat (Y).
Faktor-faktor makro yang diduga berpengaruh terhadap kegiatan alih
fungsi lahan di tingkat wilayah adalah:
1. PDRB (X1)
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan salah satu indikator
yang dapat menggambarkan pertumbuhan ekonomi. Semakin besar
pertumbuhan ekonomi suatu wilayah dapat mempercepat terjadinya
perubahan struktur ekonomi ke arah sektor manufaktur, jasa, dan sektor
non pertanian lainnya. Hal ini akan menggeser peruntukan lahan dari
pertanian menjadi non pertanian. Hipotesis pada penelitian ini bahwa
semakin besar PDRB maka semakin besar alih fungsi lahan yang terjadi.
36
2. Laju Pertumbuhan penduduk (X2)
Laju pertumbuhan penduduk adalah kecepatan bertambahnya penduduk.
Jumlah penduduk yang semakin meningkat akan menambah permintaan
akan tempat tinggal atau pemukiman. Hal ini mendorong peningkatan
pembangunan pemukiman, sehingga menurunkan luasan lahan pertanian.
Hipotesis pada penelitian ini adalah semakin besar laju pertumbuhan
penduduk maka semakin besar alih fungsi lahan yang terjadi.
3. Jumlah Industri (X3)
Industri merupakan salah satu hal yang menyebabkan alih lahan pertanian.
Permintaan terhadap lahan dari masing-masing sektor saling bersaingan.
Jika jumlah industri bertambah maka lahan yang dibutuhkan oleh industri
tersebut juga bertambah. Ada indikasi luas pertanian akan dialihfungsikan
menjadi industri jika jumlah industri tersebut semakin bertambah.
Hipotesis pada penelitian ini adalah semakin banyak jumlah industri yang
ada maka semakin besar pula alih fungsi lahan yang terjadi.
Persamaan model regresi linear berganda untuk mengetahui faktor yang
mempengaruhi alih fungsi lahan adalah sebagai berikut :
𝐿𝑛𝑌 = 𝛼 + 𝐿𝑛(𝛽1𝑋1) + 𝐿𝑛(𝛽2𝑋2) + 𝐿𝑛(𝛽3𝑋3) + 𝜀
dimana:
Y = Penurunan lahan pertanian
α = Intersep
βi = koefisien regresi
Xi = Faktor-faktor yang diduga mempengaruhi penurunan lahan
ε = Error Term/Residual
37
Model analisis regresi linear berganda merupakan metode analisis yang
didasarkan pada metode Ordinary Least Square (OLS). Konsep dari metode OLS
adalah menduga koefisien regresi (βi) dengan meminimumkan residual. OLS
dapat menduga koefisien regresi dengan baik, karena: (1) memiliki sifat tidak bias
dengan varian yang minimum, (2) variabelnya konsisten dimana dengan
meningkatnya ukuran sample maka koefisien regresi mengarah pada nilai populasi
yang sebenarnya, dan (3) koefisien regresinya terdistribusi secara normal
(Gujarati 2002).
Untuk mengetahui seberapa jauh pengaruh faktor-faktor yang telah
ditentukan dalam persamaan akan mempengaruhi alih fungsi lahan, dilakukan
pengujian ketelitian dan pengujian kemampuan model regresi. Pengujian model
regresi ini terdiri dari uji koefisien determinasi, Uji koefisien regresi menyeluruh,
dan Uji koefisien regresi parsial.
1. Uji Koefisien Determinasi (R2)
Nilai R2 mencerminkan seberapa besar keragaman dari variabel terikat
yang dapat diterangkan oleh variabel bebasnya. Nilai R2 memiliki besaran yang
positif dan kurang dari satu (0 ≤ R2
≤ 1). Jika nilai R2
bernilai nol maka keragaman
dari variabel terikat tidak dapat dijelaskan oleh variabel bebasnya. Sebaliknya,
jika nilai R2
bernilai satu maka keragaman dari variabel terikat secara keseluruhan
dapat dijelaskan oleh variabel bebas secara sempurna. R2
dapat dirumuskan
sebagai berikut :
𝑅2 =𝐸𝑆𝑆
𝑇𝑆𝑆
Dimana:
38
ESS = Explained of Sum Square
TSS = Total of Sum Square
2. Uji Koefisien Determinasi yang Disesuaikan (Adj-R2)
Penambahan variabel bebas akan menyebabkan bertambahnya nilai R2.
Permasalahan tersebut dapat diselesaikan dengan menghitung Adj-R2. Adj-R
2
adalah koefisien determinasi yang telah disesuaikan, sehingga penambahan
nilainya menjadi terbebas dari pengaruh penambahan jumlah variabel bebas. Arti
dari nilai Adj-R2 secara harfiah sama dengan nilai R
2, hanya saja Adj-R
2 lebih
tepat karena telah menghilangkan pengaruh dari jumlah variabel. Adj-R2
dapat
dirumuskan sebagai berikut:
𝐴𝑑𝑗-𝑅2 = 1 −𝑅𝑆𝑆 (𝑛 − 𝐾 − 1)
𝑇𝑆𝑆 (𝑛 − 1)
Dimana:
RSS = Residual of Sum Square
TSS = Total of Sum Square
n = jumlah observasi
K = jumlah koefisien
3. Uji Koefisien Regresi Menyeluruh (F)
Uji F dilakukan untuk mengetahui pengaruh variabel bebas secara
bersama-sama terhadap variabel terikat. Adapun prosedur yang digunakan :
H0 : β1 = β2 = β3 = ... = βi = 0
H1 : minimal ada satu βi ≠ 0
𝐹ℎ𝑖𝑡 =𝐽𝐾𝑅 (𝑘 − 1)
𝐽𝐾𝐺 (𝑛 − 𝑘)
Dimana:
39
JKR = Jumlah Kuadrat Regresi
JKG = Jumlah Kuadrat Galat/Residual
k = Jumlah variabel terhadap intersep
n = Jumlah pengamatan (sample)
Apabila Fhit < Ftab maka H0 diterima yang berarti bahwa variabel bebas
secara keseluruhan tidak berpengaruh nyata terhadap variabel terikat. Sedangkan
apabila Fhit > Ftab maka H0 ditolak yang berarti bahwa variabel bebas berpengaruh
nyata terhadap variabel terikat.
4. Uji Koefisien Regresi Parsial (t)
Uji t dilakukan untuk menghitung koefisien regresi masing-masing
variabel bebas sehingga dapat diketahui pengaruh masing-masing variabel bebas
terhadap variabel terikat. Menurut Gujarati (2002), adapun prosedur
pengujiannya:
H0 : β1 = 0
H1 : β1 ≠ 0
𝑡ℎ𝑖𝑡 =𝑏 − 𝛽𝑡
𝑆𝑒𝛽
Dimana:
b = parameter pendugaan
βt = parameter hipotesis
Seβ = standar error parameter β
Jika thit < ttabel α/2, maka H0 diterima, artinya variabel bebas yang diuji tidak
berpengaruh nyata terhadap variabel terikat. Namun, jika thit > ttabel α/2, maka H0
40
ditolak, artinya variabel bebas yang diuji berpengaruh nyata terhadap variabel
terikat.
Model yang dihasilkan dari regresi linear haruslah baik. Jika tidak maka
akan mempengaruhi interpretasinya. Interpretasi ini benar jika model regresi
linear memenuhi kriteria BLUE (Best Linear Unbiased Estimator). BLUE dapat
dicapai bila memenuhi asumsi klasik. Uji asumsi klasik merupakan pengujian
pada model yang telah berbentuk linear untuk mendapatkan model yang baik.
Setelah model diregresikan dilakukan uji penyimpangan asumsi, yaitu:
1. Uji Normalitas
Uji normalitas bertujuan untuk melihat apakah pada model tersebut
residual terdistribusi normal atau tidak. Model yang baik harus mempunyai
residual yang terdistribusi normal atau hampir normal. Uji yang dapat digunakan
adalah dengan membuat histrogram normalitas. Nilai probality yang lebih besar
dari taraf nyata α menandakan residual terdistribusi secara normal.
2. Uji Heterokedastisitas
Suatu model dapat dikatakan mempunyai sifat heterokedastisitas jika
ragam residual dalam model tidak sama untuk tiap pengamatan ke-i dari variabel-
variabel bebas dalam model regresi. Akibat dari sifat ini adalah penduga OLS-nya
tidak efisien lagi karena standar residualnya bias ke bawah. Salah satu cara
mendeteksi heterokedasitisitas adalah dengan melakukan uji Glejser. Uji ini
dilakukan dengan meregresikan nilai absolut dari residual terhadap variabel bebas
yang diperkirakan memiliki hubungan erat dengan ragam model, dimana setelah
pergresian tersebut didapatkan nilai unsur kesalahan (Prob. Chi-Square). Jika nilai
41
tersebut lebih besar dari taraf nyata α yang digunakan maka tidak ada
permasalahan heterokedastisitas.
3. Uji Autokolerasi
Autokorelasi terjadi jika ada korelasi serial antara residual. Korelasi
tersebut terjadi karena residual saling mempengaruhi satu sama lain sehingga
residual tersebut tidak bebas. Korelasi tersebut menyebabkan penduga OLS
menjadi tidak efisien lagi. Cara mendeteksi autokorelasi dapat dilakukan dengan
menggunakan uji Breusch-Godfrey. Uji ini dilakukan dengan meregresikan
residual dengan lag residual dan semua regresor. Hasil regresi tersebut akan
diperoleh koefisien determinasi (Prob. Chi-Square) untuk mengetahui
autokorelasi. Jika nilai tersebut lebih besar dari taraf α yang digunakan maka tidak
ada permasalahan autokorelasi.
4. Uji Multikolinearitas
Multikolinearitas adalah adanya hubungan linear sempurna antar variabel
bebas dalam suatu model. Hal ini terjadi jika nilai R2 tinggi namun banyak
variabel yang tidak signifikan dari uji t. Suatu model yang mempunyai sifat ini
maka interpretasi dari model tersebut akan menjadi sulit. Salah satu cara untuk
mendeteksi adanya multikolinearitas yaitu dengan melihat nilai VIF (Variance
Inflation Factor) dari masing-masing variabel. Jika nilai VIF > 10 maka terjadi
masalah multikolinearitas yang serius.
4.4.4. Analisis Regresi Logistik
Untuk mengestimasi faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan
pertanian secara mikro, digunakan analisis regresi logistik (logit). Alat analisis ini
merupakan model non linear, baik dalam parameter maupun variabel. Menurut
42
Juanda (2009), model logit diturunkan berdasarkan fungsi peluang sebagai
berikut:
𝑃𝑖 = 𝐹 𝑍𝑖 = 𝐹 𝛼 + 𝛽𝑋𝑖 =1
1 + 𝑒−𝑧𝑖=
1
1 + 𝑒− 𝛼+𝛽𝑋𝑖
Kemudian persamaan tadi dapat dibalik dengan menggunakan aljabar
biasa menjadi:
𝑒𝑧𝑖 =𝑃𝑖
1 − 𝑃𝑖
Variabel dalam persamaan di atas disebut sebagai odds, yang sering
diistilahkan dengan resiko atau kemungkinan, yaitu rasio peluang terjadinya
pilihan 1 terhadap peluang terjadinya pilihan 0 alternatif. Parameter model
estimasi logit harus diestimasi dengan metode maximum likelihood. Parameter e
dalam persamaan tadi mempresentasikan bilangan dasar logaritma natural (ln).
Jika persamaan tersebut ditransformasikan dengan logaritma natural, maka:
𝑍𝑖 = ln𝑃𝑖
1−𝑃𝑖 dimana 𝑍𝑖 = 𝛼 + 𝛽𝑋𝑖
Maka persamaan model regresi logistik untuk mengetahui faktor yang
mempengaruhi alih fungsi lahan di tingkat petani adalah sebagai berikut:
𝑙𝑛𝑃𝑖
1 − 𝑃𝑖= 𝑍𝑖 = 𝛼 + 𝛽1𝑋1 + 𝛽2𝑋2 + 𝛽3𝑋3 + 𝛽4𝑋4 + 𝛽5𝑋5 + 𝜀
Dimana:
Z = Peluang terjadi alih fungsi lahan (1) dan tidak alih fungsi lahan (0)
α = Intersep
βi = Koefisien regresi
Xi = Faktor-faktor yang diduga mempengaruhi keputusan alih fungsi lahan
ε = Error term/Residual
43
Faktor-faktor mikro yang diduga berpengaruh terhadap kegiatan alih
fungsi lahan di tingkat petani adalah:
1. Pengalaman bertani (X1)
Pengalaman bertani yaitu periode atau lamanya seseorang telah melakukan
kegiatan bertani semasa hidupnya. Semakin lama seseorang bertani maka
keahlian untuk bertani akan semakin tinggi. Hal ini tentunya akan
mempengaruhi dalam pengambilan keputusan petani untuk menjual atau
tidak lahan yang digarap olehnya.
2. Jumlah tanggungan (X2)
Jumlah tanggungan adalah jumlah orang yang keidupannya masih
ditanggung oleh petani. Jumlah orang yang harus ditanggung petani
dianggap mempengaruhi keputusan untuk menjual lahan. karena semakin
banyak jumlah tanggungannya maka petani semakin membutuhkan uang.
3. Luas lahan (X3)
Luas lahan adalah besarnya area sawah atau pertanian yang dimiliki oleh
petani. Luas lahan diduga akan mempengaruhi jumlah produksi yang
dihasilkan oleh petani. Sehingga hal ini akan mempengaruhi keuntungan
dan berpengaruh terhadap keputusan untuk menjual atau mengkonversikan
lahan.
4. Biaya produksi (X4)
Biaya produksi adalah biaya pengeluaran petani untuk memproduksi padi
hingga panen tiba, seperti bibit, pupuk, air, dll. Variabel ini dapat
mempengaruhi keputusan petani, karena jika biaya semakin tinggi maka
petani akan cenderung menjual lahan pertaniannya.
44
5. Proporsi pendapatan dari usaha tani (X5)
Proporsi pendapatan dari usaha tani adalah persentase pendapatan dari
hasil usaha tani dibandingkan dengan pendapatan total. Pendapatan total
yaitu pendapatan dari hasil usaha tani ditambah dengan pendapatan
sampingan. Jika proporsi pendapatan petani yang diperoleh dari hasil
usaha tani rendah, akan ada kemungkinan petani tersebut akan mengalih
fungsikan lahannya untuk jenis usaha yang lain. Sehingga dapat terjadi
alih fungsi lahan.
Agar diperoleh hasil analisis regresi logistik yang baik perlu dilakukan
pengujian untuk melihat apakah model tersebut dapat menjelaskan keputusan
secara kualitatif. Statistik uji yang digunakan adalah Odds Ratio dan Likelihood
Ratio.
1. Odds Ratio
Uji ini bertujuan untuk mengukur rasio peluang terjadinya kejadian 1
terhadap kejadian peluang 0. Pada dasarnya uji ini digunakan untuk melihat
hubungan antara variabel bebas dan variabel terikat dalam model logit. Nilai
tersebut diperoleh dari perhitungan eksponensial dari koefisien estimasi (βi).
Dimana dapat didefinisikan sebagai berikut :
𝑃(𝑋𝑖)
1 − 𝑃(𝑋𝑖)
P menyatakan peluang terjadinya peristiwa Z=1 dan 1-P menyatakan
peluang terjadinya Z=0.
45
2. Likelihood Ratio
Uji ini bertujuan untuk mengukur rasio kemungkinan maksimum dari
peranan variabel penjelas secara serentak. Statistik uji yang dapat dipakai adalah :
H0 : β1 = β2 = β3 = ... = βi = 0
H1 : minimal ada satu βi ≠ 0
𝐺 = −2 ln𝑙0
𝑙1
Dimana:
l0 = Nilai likelihood tanpa variabel pejelas
l1 = Nilai likelihood dengan model penuh
Apabila G > chi-square maka H0 ditolak yang berarti bahwa minimal ada
satu βi ≠ 0. Artinya model regresi logistik tersebut secara keseluruhan dapat
menjelaskan pilihan individu pengamataan.
4.4.5. Analisis Estimasi Dampak Produksi
Kerugian yang timbul dari alih fungsi lahan pertanian diantaranya berupa
hilangnya peluang memproduksi dan pendapatan usaha tani yang seharusnya
dapat tercipta dari lahan sawah yang hilang. Menurut Utama (2006), nilai
produksi sawah yang hilang dapat dirumuskan secara matematis sebagai berikut:
NQ = Σ(Pt . Qt)
dimana:
NQ = Nilai produksi padi sawah yang hilang
Pt = Harga komoditi padi sawah yang ditanam
Qt = Produksi padi sawah yang hilang per tahun
t = Tahun data
46
Qt = ΣQi
dimana:
Qi = Produksi padi sawah yang hilang per tahun dengan irigasi i yang
terkonversi
i = 1, 2, 3, 4, dimana masing-masing menunjukan jenis sawah irigasi teknis,
semiteknis, sederhana, dan tadah hujan.
Qi = Σ(Si . Hm )
dimana:
Si = Luas lahan sawah dengan jenis irigasi i yang terkonversi
Hm = Produktifitas usaha tani pada musim tanam m dari sawah dengan jenis
irigasi tersebut
m = 1, 2, 3, masing-masing menunjukan musim tanam pertama, keduan dan
terakhir.
Pada penelitian ini, dampak dari konversi lahan terhadap produksi padi
tersebut tidak dihitung secara terpisah berdasarkan jenis irigasi, karena adanya
keterbatasan data yang tersedia. Nilai dari produktifitas lahan pertaniannya juga
dikalikan dengan pola tanam dalam satu tahun, sehingga didapat nilai luas panen
dari lahan yang hilang dalam satu tahun. Pada penelitian ini peneliti
mengasumsikan semua lahan mempunyai pola tanam dua kali. Diasumsikan pula
produktifitas seluruh jenis irigasi dan seluruh masa tanam dalam satu tahun adalah
sama.
47
4.4.6. Analisis Terhadap Dampak Pendapatan Petani
Analisis dampak pendapatan ini dilakukan dengan deskriptif kuantitatif,
yaitu dengan merata-ratakan perbedaan pendapatan. Perbedaan pendapatan
dihitung dengan mencari selisih antara pendapatan petani sebelum terjadi alih
fungsi lahan dan perkiraan pendapatan setelah terjadi alih fungsi lahan. Nilai dari
selisih tersebut nantinya dirata-ratakan sehingga didapatkan rata-rata perubahan
pendapatan petani akibat alih fungsi lahan.
Χ =Π − Π′
n
dimana :
Х = Rata-rata perubahan pendapatan
П = Pendapatan sebelum alih fungsi lahan
П' = Pendapatan sesudah alih fungsi lahan
n = Jumlah contoh atau sample
V. GAMBARAN UMUM
5.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Lokasi yang dipilih untuk analisis dalam penelitian ini yaitu Kabupaten
Bekasi. Daerah tersebut dipilih karena tingginya alih fungsi lahan akibat
pembangunan industri dan pemukiman. Desa Sriamur, Kecamatan Tambun Utara
merupakan salah satu desa di Kabupaten Bekasi. Desa tersebut merupakan desa
dengan basis pertanian, Namun dalam RTRW Kabupaten Bekasi desa tersebut
termasuk dalam wilayah yang akan diperuntukan untuk pemukiman dan industri.
Dengan alasan tersebut peneliti melakukan studi kasus dilakukan di Desa Sriamur,
Kecamatan Tambun Utara, Kabupaten Bekasi.
5.1.1. Kabupaten Bekasi
Kabupaten Bekasi merupakan bagian dari provinsi Jawa Barat dan
beribukota di Cikarang. Secara geografis letak kabupaten Bekasi berada pada
posisi 6o
10' 53" - 6o
30' 6" Lintang Selatan dan 160o
48' 28" - 107o
27' 29" Bujur
Timur. Kabupaten ini memiliki luas wilayah sebesar 1.224,88 km2
dengan jumlah
penduduk sekitar 2.166.005 jiwa. Wilayah tersebut terdiri atas 23 kecamatan, lima
kelurahan, dan 182 desa. Kabupaten Bekasi di sebelah utara berbatasan dengan
Laut Jawa, sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Karawang, sebelah
selatan berbatasan dengan Kabupaten Bogor, sebelah barat berbatasan dengan
Kota Bekasi dan DKI Jakarta. Topografinya terbagi atas dua bagian, yaitu dataran
rendah yang meliputi sebagian wilayah bagian utara dan dataran bergelombang di
wilayah bagian selatan. Ketinggian lokasi antara 6-115 meter dan kemiringan 0-
250. Suhu udara yang terjadi di Kabupaten Bekasi berkisar antara 28o -32
o C.
49
5.1.2. Kecamatan Tambun Utara
Kecamatan Tambun Utara merupakan pemekaran dari Kecamatan Tambun
yang saat ini terbagi atas dua bagian selatan dan utara. Kecamatan ini memiliki
luas wilayah sebesar 3.235,092 Ha. Sebelah Utara Kecamatan ini berbatasan
dengan Kecamatan Sukawangi, sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan
Tanggelang, sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Tambun Selatan, dan
sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Babelan. Tambun Utara terdiri dari
delapan desa, 24 dusun, 95 RW, dan 509 RT. Delapan desa yang berada di
Tambun Utara yaitu:
1. Desa Karang Satria : 377,616 Ha
2. Desa Satria Jaya : 387,200 Ha
3. Desa Jejalen Jaya : 300,000 Ha
4. Desa Srimahi : 457,000 Ha
5. Desa Srijaya : 408,945 Ha
6. Desa Sriamur : 413,136 Ha
7. Desa Sri Mukti : 457,000 Ha
8. Desa Satria Mekar : 434,136 Ha
Letak geografis Kecamatan Tambun Utara berada di lintasan Kali Bekasi
dan Kali CBL yang bermuara ke Laut Jawa. Topografi Kecamatan ini berbentuk
wilayah daratan dan persawahan dengan kemiringan 0-1 derajat. Kecamatan ini
beriklim tropis dengan suhu rata-rata 28-29o C. Jenis tanah di Tambun Utara
terbagi dua, yaitu bagian utara alluvial kelabu juga coklat, dan bagian selatan
alluvial Glei Humus juga coklat. Jumlah penduduk di Kecamatan Tambun Utara
berjumlah sekitar 147.244 jiwa. Secara Umum persentase mata pencaharian
50
penduduk terdiri dari 65 persen pertanian, 15 persen sektor jasa, 10 persen
perdagangan, dan 10 persen sektor lainnya.
5.1.3. Desa Sriamur
Desa Sriamur termasuk kedalam Kecamatan Tambun Utara, Kabupaten
Bekasi, Provinsi Jawa Barat. Desa ini memiliki luas wilayah sebesar 413,136 Ha
yang terdiri dari 256,288 Ha tanah sawah dan 156,848 Ha Tanah Darat. Batas
wilayah Desa Sriamur sebelah utara berbatasan dengan Desa Suka Mekar, sebelah
timur berbatasan dengan Desa Sri Mukti, sebelah selatan berbatasan dengan Desa
Satria Mekar, dan sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Babelan. Desa
Sriamur terbagi dalam 8 RW dan 51 RT. Desa ini mempunyai fasilitas jalan raya
sepanjang 15 km pada bagian tengah yang memotong bagian utara dan selatan.
Jumlah penduduk di Desa Sriamur berjumlah 17.121 jiwa dan terbagi
dalam 4.130 kepala keluarga. Penduduk laki-laki berjumlah 8.863 jiwa dan
perempuan berjumlah 8.258 jiwa. Jumlah angkatan kerja di Desa Sriamur
berjumlah 7.136 jiwa dengan persentase yang sudah bekerja sebesar 72,25 persen
dan persentase pengangguran sebesar 27,75 persen. Secara umum persentase mata
pencaharian penduduk terdiri dari 11,61 persen petani, 26,23 persen pedagang, 15
persen pegawai swasta, 11,01 persen buruh pabrik, 3,33 persen pegawai negeri
sipil, 2,07 persen wiraswasta, 2,28 pertukangan, 1,18 persen sektor jasa, dan 27,29
sektor lainnya.
51
5.2. Karakteristik Responden
Menurut data yang diperoleh dari Kantor Desa Sriamur tahun 2012,
Jumlah petani di desa tersebut adalah sebanyak 828 orang atau sekitar 11,61
persen dari jumlah penduduk. Namun tidak diketahui data mengenai petani yang
menjadi pengarap sekaligus pemilik lahan, petani yang hanya menjadi penggarap
saja, dan yang hanya menjadi buruh tani. Responden yang diambil oleh peneliti
merupakan petani penggarap sekaligus pemilik sebanyak 30 orang. Karakteristik
responden berdasarkan sosial ekonominya dapat dijelaskan dalam kriteria di
bawah ini.
5.2.1. Tingkat Usia
Tingkat usia responden tidak berkisar antara 40-60 tahun. Persentase usia
terbesar ada pada rentang umur 45-49 tahun yaitu sebesar 33 persen. Persentase
usia terkecil ada pada rentang umur 60-65 tahun yaitu sebesar 7 persen.
Sumber : Data Primer (diolah)
Gambar 4. Perbandingan Tingkat Usia Responden
20%
33%17%
23%
7%
40-44 45-49 50-54 55-59 60-65
52
5.2.2. Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan responden hanya terdiri dari dua jenis, yaitu SD dan
SMP. Mayoritas dari responden hanya lulusan SD yaitu sebesar 67 persen.
Sedangkan sisanya 33 persen merupakan lulusan SMP.
Sumber : Data Primer (diolah)
Gambar 5. Perbandingan Tingkat Pendidikan Responden
5.2.3. Jumlah Tanggungan
Pada Penelitian ini sebagian besar responden memiliki jumlah tanggungan
sebanyak tiga orang, yaitu sebesar 47 persen. Responden yang memiliki jumlah
tanggungan dua orang dan yang tidak memiliki tanggungan sama besar yaitu 20
persen. Responden yang memiliki jumlah tanggungan satu orang memiliki
persentase paling kecil yaitu sebesar 13 persen.
67%
33%
sd smp
53
Sumber : Data Primer (diolah)
Gambar 6. Perbandingan Jumlah Tanggungan Responden
5.2.4. Tingkat Pendapatan
Rata-rata responden mempunyai tingkat pendapatan berkisar antara 5-6
juta rupiah. Tingkat pendapatan terbesar (9-10 juta rupiah) berjumlah 4 orang atau
sekitar 13 persen dari total responden. Jumlah tersebut sama dengan tingkat
pendapatan terkecil (1-2 juta rupiah).
Sumber : Data Primer (diolah)
Gambar 7. Perbandingan Tingkat Pendapatan Responden
20%
13%
20%
47%
tidak ada 1 orang 2 orang 3 orang
14%
23%
30%
20%
13%
1-2 juta 3-4 juta 5-6 juta 7-8 juta 9-10 juta
VI. HASIL DAN PEMBAHASAN
6.1. Pola dan Karakteristik Alih Fungsi Lahan Kabupaten Bekasi
Alih fungsi lahan pertanian menjadi non pertanian di Kabupaten Bekasi
terjadi hampir setiap tahun. Perubahan lahan tersebut umumnya menjadi industri,
pemukiman, maupun sarana dan prasarana seperti jalan raya, sekolah,
perkantoran, dll. Penurunan luas lahan sawah yang terjadi di Kabupaten Bekasi
dapat dilihat pada Gambar 4 berikut ini.
Sumber: Dinas Pertanian Kabupaten Bekasi 2012 (diolah)
Gambar 8. Luas Lahan Sawah di Kabupaten Bekasi Tahun 2001-2011
Gambar tersebut menunjukan luas lahan sawah yang relatif menurun dari
tahun 2002 sampai tahun 2011, sedangkan sebelum tahun 2002 luas lahan sawah
di Kabupaten Bekasi relatif meningkat. Penurunan lahan sawah pada tahun
tersebut berfluktiatif dari tahun ke tahun, seperti pada tahun 2007 dan 2011 luas
lahan sawah mengalami peningkatan. Menurut Dinas Pertanian Kabupaten Bekasi
peningkatan tersebut disebabkan pencetakan lahan sawah baru dari lahan kering
seperti kebun, tanah kosong, rawa, dan hutan yang ada. Pembukaan lahan ini
51000
52000
53000
54000
55000
56000
57000
58000
Luas
Lah
an S
awah
(H
a)
Tahun
Luas Lahan Sawah
55
dilakukan untuk mempertahankan kondisi wilayah Kabupaten Bekasi yang
berbasis pertanian. Tata guna lahan Kabupaten Bekasi sampai tahun 2013 dapat
dilihat pada Lampiran 2.
Menurut Sumaryo dan Tahlim (2005), ada dua pola alih fungsi lahan
pertanian. Pertama, alih fungsi lahan yang dilakukan secara langsung oleh pemilik
lahan yang bersangkutan atau petani, seperti membuat rumah untuk keluarganya
atau gudang untuk penyimpanan. Kedua, alih fungsi lahan pertanian yang diawali
dengan alih penguasaan lahan. Pemilik lahan pertanian menjual lahan mereka
kepada pihak lain yang akan memanfaatkannya untuk usaha non pertanian.
Pimilik lahan secara tidak langsung dianggap mengalihfungsikan lahan pertanian
tersebut. Pada studi kasus yang dilakukan di Kecamatan Tambun Utara, umumnya
petani tidak mengalihfungsikan lahan secara langsung. Sebagian besar masyarakat
membatasi wilayah sawah yang berbatasan dengan pemukiman dengan
menggunakan parit atau pagar. Wilayah sawah tersebut tabu jika diubah menjadi
rumah. Umumnya mereka menggunakan lahan kering seperti kebun jika ingin
membuat rumah.
Pemerintah Daerah Kabupaten Bekasi menetapkan kebijakan bahwa
wilayah bagian barat dan selatan, yang berbatasan langsung dengan Kota Jakarta,
Kota Bekasi, dan Kabupaten Bogor, akan dijadikan wilayah pemukiman dan
industri. Hal ini disebabkan nilai ekonomi lahan atau land rent dari industri dan
pemukiman lebih besar dari pada pertanian, mengingat wilayah tersebut dekat
dengan pusat kota dan pusat eksport-import. Implikasi dari kebijakan ini adalah
petani harus menjual lahan sawah mereka untuk untuk dialihfungsikan menjadi
pemukiman atau industri. Pada studi kasus yang dilakukan, Pemerintah Kabupaten
56
Bekasi bekejasama dengan perusahaan pemborong. Pemborong tersebut bertugas
membebaskan lahan dari hak bertani para petani. Petani menjual lahan pertanian
atau sawah yang mereka miliki kepada pemborong, setelah itu pemborong
menjual lahan tersebut kepada pihak pengembang pemukiman atau investor
industri. Lahan pertanian yang sudah dibeli oleh pemborong tidak langsung
dialihfungsikan menjadi bentuk lain, karena menunggu adanya pihak investor atau
pengembang yang akan membeli lahan tersebut. Saat lahan tersebut kosong petani
masih dapat menggarap lahan sampai ada investor atau pengembang yang
membeli dan membuat industri atau pemukiman di lahan tersebut. Dapat
disimpulkan bahwa pola alih fungsi lahan yang terjadi di Kabupaten Bekasi
adalah pola yang kedua, dimana alih fungsi lahan diawali dengan adanya alih
penguasaan lahan dari petani kepada pengembang. Analisis mengenai tata cara
jual beli pihak petani kepada pemborong akan dibahas lebih lanjut pada Bab
Analisis Kelembagaan Lahan Kabupaten Bekasi.
6.2. Laju Alih Fungsi Lahan Pertanian di Kabupaten Bekasi
Alih fungsi lahan sawah selama periode 2002-2011 di Kabupaten Bekasi
berfluktuatif dari tahun ke tahun. Secara umum lahan sawah di Kabupaten Bekasi
selama sepuluh tahun terakhir berkurang sebesar 3.123 hektar atau sekitar 347
hektar per tahun. Alih fungsi lahan tersebut menyebabkan luas sawah di
Kabupaten Bekasi berubah dari luas 56.826 hektar pada tahun 2002 menjadi
53.703 hektar pada akhir tahun 2011. Laju penyusutan luas sawah tiap tahunnya
dapat dilihat pada Tabel 3.
57
Tabel 3. Luas dan Laju Alih Fungsi Lahan Sawah di Kabupaten Bekasi
Tahun 2002-2011
Tahun Luas Sawah
(Ha)
Pencetakan
Sawah Baru
(Ha)
Luas Sawah
Terkonversi
(Ha)
Laju Penyusutan
Luas Sawah
(%)
2001 56.077 - - -
2002 56.826 749 0 1,34
2003 55.989 0 837 -1,47
2004 55.859 0 130 -0,23
2005 55.354 0 505 -0,90
2006 55.150 0 204 -0,37
2007 55.582 432 0 0,78
2008 55.074 0 508 -0,91
2009 54.425 0 649 -1,18
2010 53.584 0 841 -1,55
2011 53.703 119 0 0,22
Total 1.300 3.674 -4,27
Rata-rata 130 367,4 -0,43 Sumber : Dinas Pertanian Kabupaten Bekasi, berbagai terbitan (diolah)
Pada Tabel 3 nilai laju penyusutan luas sawah yang bertanda negatif
menggambarkan adanya penyusutan luas lahan sawah akibat alih fungsi lahan.
Nilai yang bertanda positif menggambarkan adanya pencetakan sawah baru. Luas
penyusutan lahan sawah selama sepuluh tahun terakhir di Kabupaten Bekasi juga
cukup besar, yaitu dengan total sekitar -4,27 persen atau sebesar 3.674 hektar.
Artinya selama sepuluh tahun terakhir lahan sawah telah menyusut sebesar 4,27.
Penurunan luas lahan dimulai pada tahun 2003 dimana lahan berkurang sebanyak
837 hektar dari 56.826 hektar menjadi 55.989 hektar. Pada tahun tersebut luas
sawah menyusut sebesar 1,47 persen, hal ini menandakan mulainya industrialisasi
di Kabupaten Bekasi. Pada tahun 2007 lahan sawah sempat bertambah 432 hektar
atau meningkat sebesar 0,78 persen karena adanya pencetakan lahan sawah baru.
Pencetakan sawah ini diakibatkan adanya deindustrialisasi akibat banjir besar
pada wilayah tersebut. Investor yang mempunyai lahan di Kabupaten Bekasi tidak
58
jadi membuat industri sehingga ada banyak lahan kering yang kosong. Lahan
kosong tersebut dimanfaatkan oleh warga setempat untuk dijadikan sawah. Alih
fungsi lahan yang terbesar yaitu pada akhir tahun 2010 dengan luas sebesar 841
hektar atau menyusut sebesar 1,55 persen. Pada tahun tersebut pemerintah
menetapkan kebijakan pengalokasian pemukiman di wilayah barat, dimana
mayoritas wilayah tersebut merupakan wilayah sawah. Pada tahun 2011 lahan
sawah meningkat sebesar 0,22 persen, karena pemerintah setempat membuka
lahan sawah dari lahan kering seluas 119 hektar untuk mempertahankan kondisi
pertanian di wilayah tersebut. Rata-rata laju penyusutan lahan selama sepuluh
tahun terakhir yaitu -0,43 persen.
6.3. Analisis Kelembagaan Lahan Kabupaten Bekasi
Kelembagaan merupakan kendali yang dibuat oleh manusia unuk
membentuk interaksi manusia. Kelembagaan terdiri dari hukum formal, baik
dalam bentuk tertulis maupun tidak tertulis, dan informal, atau nilai-nilai yang ada
dan diakui dalam masyarakat serta bentuk-bentuk pengorganisasiannya.
Kelembagaan yang ada di Indonesia terdiri dari beberapa tingkatan, karena adanya
sistem otonomi daerah. Berdasarkan UU no. 32 tahun 2004 mengenai otonomi
daerah, pemerintah pusat memberikan kekuasaan kepada pemerintah daerah untuk
mengelola wilayahnya masing-masing. Adanya sistem ini menyebabkan suatu
kelembagaan dari pemerintah pusat dapat di modifikasi oleh pemerintah daerah,
sehingga pembahasan kelembagaan harus dibahas dan dibandingkan secara
vertikal dari pemerintah pusat, pemerintah provinsi, sampai ke pemerintah
kabupaten. Pembahasan yang dilakukan pada penelitian ini adalah mengenai
perbandingan RTRW dalam skala nasional, provinsi, dan kabupaten.
59
Kementrian Hukum dan HAM (2008), membahas RTRW nasional
mengenai pengembangan daerah di Indonesia dibagi kedalam kawasan-kawasan
yang dapat spesifik fungsi dan peruntukannya. Kawasan yang berfungsi melayani
kegiatan skala internasional dan nasional disebut Pusat Kegiatan Nasional (PKN).
Kriteria kawasan yang dapat dijadikan PKN, yaitu:
1. Kawasan yang berfungsi atau berpotensi sebagai simpul utama kegiatan
ekspor dan impor
2. Kawasan yang berfungsi atau berpotensi sebagai pusat industri dan jasa
skala nasional
3. Kawasan yang berfungsi atau berpotensi sebagai simpul utama transportasi
skala nasional.
Adapun peraturan umum dalam pengembangan wilayah PKN adalah:
1. Pemanfaatan ruang untuk kegiatan ekonomi skala nasional dan
internasional harus didukung fasilitas infrastruktur yang sesuai dengan
kegiatan ekonominya
2. Pengembangan fungsi untuk pusat pemukiman dalam wilayah PKN
didorong untuk pembangunan ke arah vertikal.
Bappeda Provinsi Jawa Barat (2010), menetapkan dalam RTRW Jawa
Barat bahwa kawasan perkotaan Bodebek (Bogor Depok Bekasi) sebagai wilayah
PKN. Wilayah tersebut berperan menjadi pusat koleksi dan distribusi dalam skala
nasional dan internasional. Pembangunan di wilayah tersebut diarahkan sebagai
kota terdepan yang berbatasan dengan ibukota negara. Wilayah Bodebek
dikembangkan menjadi simpul sektor pelayanan dan jasa perkotaan, sektor
perdagangan, serta sektor industri padat tenaga kerja. RTRW provinsi juga
60
menyebutkan Kabupaten Bogor dan Kabupaten Bekasi dijadikan wilayah
penyangga dalam sistem PKN kawasan Bodebek. Pembangunan di wilayah
tersebut diarahkan untuk mengembangkan sektor industri ramah lingkungan,
pertambangan mineral logam dan non logam, serta kawasan pemukiman untuk
mendukung pembangunan di wilayah PKN.
Bappeda Kabupaten Bekasi (2011) membuat RTRW Kabupaten Bekasi
berpatokan pada RTRW Provinsi Jawa Barat dimana pembangunan di wilayah
Kabupaten Bekasi akan diarahkan menjadi penyangga dalam sistem PKN
Bodebek. Sebagai bentuk kerjasama dengan wilayah lain maka Kecamatan Setu
dan Tambun Selatan turut diarahkan pembangunannya menjadi wilayah PKN.
Kecamatan tersebut merupakan kecamatan yang berbatasan langsung dengan Kota
Bekasi dan Kabupaten Bogor. Kecamatan lain yang berdekatan dengan
Kecamatan Setu dan Tambun Selatan dijadikan wilayah PPK (Pusat Pelayana
Kawasan). Wilayah ini merupakan wilayah pendukung dari wilayah PKN.
Kecamatan yang termasuk dalam PPK adalah Kecamatan Serang Baru,
Bojongmangu, Kedungwaringin, Karang Bahagia, Tambelang, Pebayuran,
Babelan, Tambun Utara, Sukakarya, Cabangbungin, Muaragembong, dan
Sukawangi. Secara Umum fungsi dari Kecamatan ini yaitu sebagai penyangga
dari kawasan PKN. Fungsi yang lebih spesifik dari kedua belas kawasan tersebut
adalah untuk dibuat industri menengah, pemukiman warga, dan pertanian pangan
yang mendukung kegiatan yang akan dilakukan pada wilayah PKN.
Kabupaten Bekasi dalam RTRW-nya lebih spesifik membagi
pengembangan kawasannya kedalam wilayah-wilayah pengembangan.
Pengembangan wilayah terbagi dalam empat Wilayah Pengembangan (WP). WP I
61
yaitu Kabupaten Bekasi bagian tengah diarahkan dengan fungsi utama
pengembangan industri, perdagangan, dan jasa. WP II yaitu Kabupaten Bekasi
bagian selatan diarahkan dengan fungsi utama pengembangan pusat pemerintahan
kabupaten dan pemukiman skala besar. WP III yaitu Kabupaten Bekasi bagian
Timur diarahkan dengan fungsi utama pengembangan pertanian lahan basah. WP
IV yaitu Kabupaten Bekasi bagian utara diarahkan dengan fungsi utama
pengembangan simpul transportasi laut dan udara, pertambangan, pemukiman,
perikanan, dan pelestarian kawasan hutan lindung. Gambaran dari RTRW
Kabupaten Bekasi dapat dilihat pada Lampiran 3.
Analisis mengenai RTRW secara vertikal ini memberi pemahaman bahwa
pemerintah pusat telah menetapkan wilayah PKN yaitu wilayah Jakarta dan
sekitarnya (Jabodetabek). Pemerintah Provinsi Jawa Barat pun melaksanakan dan
menetapkan bahwa wilayah perkotaan Bodebek dijadikan wilayah PKN. Wilayah
Kabupaten Bogor dan Kabupaten Bekasi dijadikan wilayah penyangga atau
pendukung PKN. Pemerintah Kabupaten Bekasi membuat rencana tata ruang
berdasarkan kebijakan yang diambil oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat.
Pemerintah Kabupaten Bekasi menetapkan kecamatan-kecamatan yang berbatasan
dengan wilayah PKN menjadi wilayah penyangga. Kecamatan-kecamatan tersebut
pada saat ini merupakan wilayah dengan basis pertanian. Pembangunan wilayah
yang diarahkan pada pemukiman dan industri menengah membuat lahan pertanian
menjadi dialihfungsikan. Dapat disimpulkan kelembagaan mengenai tata ruang
secara vertikal menjadi faktor dalam alih fungsi lahan pertanian yang terjadi di
Kabupaten Bekasi.
62
Kelembagaan yang dianalisis juga pada kelembagaan lahan yang sering
jadi permasalahkan yaitu kepemilikan lahan. Di Kabupaten Bekasi, khususnya di
Tambun Utara, lahan pertanian yang ada merupakan lahan warisan tanpa
sertifikat. Warga Bekasi dibebaskan untuk mengolah lahan yang ada pada jaman
dahulu saat Presiden Soeharto mencetuskan kebijakan revolusi hijau. Pengolah
lahan yang dilakukan adalah menjadi lahan pertanian padi atau lahan sawah.
Pemerintah juga memberikan bantuan seperti pupuk, benih, dan pembuatan
irigasi. Seiring berjalannya waktu, lahan tersebut menjadi diakui kepemilikannya
oleh warga yang mengolah. Lahan tersebut pun diwariskan turun temurun kepada
anak dan cucu mereka atau di jual kepada pihak lain dengan syarat lahan tersebut
masih menjadi lahan pertanian.
Kebijakan Pemerintah Kabupaten Bekasi berdasarkan pembahasan RTRW
sebelumnya, akan merubah wilayah tersebut menjadi wilayah pemukiman dan
industri. Wilayah tersebut dianggap strategis dalam distribusi karena berdekatan
dengan pusat eksport-import dan pusat kota. Pemerintah Kabupaten Bekasi
bekerjasama dengan perusahaan pemborong untuk mengupayakan wilayah yang
sudah ditetapkan sebelumnya dapat dijadikan pemukinan dan industri. Pihak
pemborong menetapkan pembelian lahan dengan harga yang telah ditetapkan
sebelumnya, pada studi kasus di Tambun Utara harga yang ditetapkan adalah Rp
10.000 per meter. Harga tersebut ditetapkan dengan pertimbangan karena pihak
pemborong harus membuat sertifikat lahan baru dan menawarkannya kepada
investor lokal atau asing yang ingin membuat pemukiman atau industri. Sebagian
besar petani di Tambun Utara sebenarnya tidak mau menjual lahan mereka,
namun mereka tidak pilihan lain karena tidak mempunyai sertifikat kepemilikan
63
lahan. Pemborong membeli lahan dari petani dengan membuat SPH (Surat
Pelepasan Hak) atau SJB (Surat Jual Beli) dari petani. Lahan yang telah dilepas
haknya selanjutnya dibuatkan sertifikat kepemilikan oleh pemborong. Hal tersebut
dilakukan untuk mencegah adanya sengketa lahan pada masa yang akan datang.
Lahan yang telah dibeli oleh pemborong selanjutnya akan ditawarkan
kepada investor. Berdasarkan tata cara tersebut lahan pertanian menjadi lahan
kering yang kosong atau tidak dibuat apapun, karena ada waktu dimana lahan
telah dibeli oleh pemborong namun belum ada investor yang mau membuat
industri. Lahan tersebut digolongkan kepada lahan yang sementara tidak
digunakan (Temporary Fallow Land). Pada waktu tersebut petani diperbolehkan
untuk menggarap lahan menjadi sawah, dengan catatan lahan tersebut dapat
kapanpun dialihfungsikan menjadi pemukiman atau industri.
6.4. Faktor Makro yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan Kabupaten
Bekasi
Pemerintah Kabupaten Bekasi mengarahkan tata ruang wilayahnya untuk
menjadikan wilayah barat dan selatan sebagai wilayah pemukiman dan industri,
sebagaimana pada Lampiran 3. Namun hal tersebut berakibat pada penurunan luas
lahan sawah yang menjadi basis dari perekonomian masyarakat di Kabupaten
Bekasi. Keputusan Pemerintah Kabupaten Bekasi untuk merubah tata guna lahan
disebabkan oleh faktor makro yang berasal dari tingkat wilayah. Faktor-faktor
yang diduga mempengaruhi dalam skala makro tersebut adalah PDRB Kabupaten
Bekasi, laju pertumbuhan penduduk, dan jumlah industri.
Analisis dalam penentuan faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi
lahan di tingkat wilayah digunakan analisis regresi linier berganda. Data yang
digunakan dalam menentukan model tersebut merupakan data time series tahun
64
2002-2011. Peneliti mengolah data-data tersebut menggunakan software Eviews 7.
Hasil estimasi faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan pertanian ke
non pertanian dapat dilihat pada Tabel 4 berikut ini.
Tabel 4. Hasil Estimasi Faktor-Faktor Makro yang Mempengaruhi
Perubahan Luas Lahan Sawah Kabupaten Bekasi
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. Keterangan
X1 -0,049732 0,011136 -4,465716 0,0043*) PDRB
X2 -0,007442 0,003376 -2,204627 0,0697*)
Laju
Pertumbuhan
Penduduk
X3 0,036156 0,049977 0,723457 0,4966 Jumlah Industri
C 11,58374 0,197204 58,73995 0 Konstanta
R-squared 0,915840 Log likelihood 38,60975
Adjusted R-squared 0,873760 F-statistic 21,76431
Durbin-Watson stat 1,460561 Prob F-statistic 0,001262 Sumber : Badan Pusat Statistika, berbagai terbitan (diolah)
Keterangan : *) nyata pada taraf 10 persen
Berdasarkan Tabel 4 diperoleh koefisien determinasi (Adjusted R-squared)
sebesar 0,873760. Hal ini menunjukan bahwa keragaman variabel terikat dapat
diterangkan oleh variabel bebasnya mencapai 87,37 persen dan sisanya 12,63
persen diterangkan oleh variabel lain diluar model. Nilai peluang uji F (Prob F-
statistic) yang diperoleh sebesar 0,001262 atau sebesar 0,12 persen, nilai tersebut
lebih kecil dari taraf nyata yang digunakan sebesar 10 persen. Hal tersebut
memiliki arti bahwa dari hasil estimasi regresi minimal ada satu variabel bebas
yang mempengaruhi variabel terikatnya.
Model yang dihasilkan dari regresi linear tersebut cukup baik, karena
memenuhi kriteria BLUE (Best Linear Unbiased Estimator). BLUE dapat dicapai
bila memenuhi asumsi klasik, yaitu model tidak memiliki sifat multikolinearitas,
normalitas, autokorelasi, dan heterokedastisitas. Hasil uji asumsi klasik ini dapat
dilihat pada Lampiran 4. Pembuktian multikolinearitas dalam model
65
menggunakan nilai VIF sebagai kriterianya. Berdasarkan hasil pengolahan data,
masing-masing variabel dalam model memiliki nilai centered VIF yang berkisar
antara 0 sampai 5. Hal ini membuktikan bahwa tidak ada variabel yang memiliki
permasalahan multikolinearitas. Untuk membuktikan asumsi normalitas maka
digunakan nilai probabilitas pada histogram of normality test. Dalam model ini
nilai probabilitasnya lebih besar dari taraf α = 10 persen, yaitu sebesar 0,6529 atau
65,29 persen. Dapat disimpulkan bahwa pada model ini residual menyebar secara
normal atau tidak terjadi permasalahan normalitas. Pemeriksaan asumsi
autokorelasi dilakukan dengan menggunakan uji Breusch-Godfrey. Berdasarkan
hasil uji tersebut diperoleh nilai Prob. chi-square sebesar 0,2277 atau sebesar
22,77 persen. Nilai tersebut lebih besar dari taraf α = 10 persen, sehingga model
ini tidak memiliki permasalahan autokorelasi. Pada model ini juga tidak terdapat
permasalahan heterokedastisitas, karena dari hasil uji Glejser diperoleh nilai Prob.
chi-square sebesar 0.1732 atau 17,32 persen. Nilai tersebut juga lebih besar dari
taraf α = 10 persen. Berdasarkan Tabel 4, fungsi faktor-faktor yang
mempengaruhi luas lahan sawah adalah sebagai berikut:
𝐿𝑛𝑌 = 11,58374 − 0,049732 𝐿𝑛𝑋1 − 0,007442 𝐿𝑛𝑋2 + 0,036156 𝐿𝑛𝑋3
Berdasarkan hasil estimasi dari model regresi pada Tabel 4 dapat dilihat
bahwa nilai probabilitas dari variabel PDRB lebih kecil dari taraf nyata 10 persen
(0,04 < 0,10). Hal ini berarti bahwa PDRB berpengaruh nyata terhadap perubahan
luas lahan sawah. Koefisien variabel yang bernilai -0,05 pada tabel menjelaskan
bahwa, setiap kenaikan 10 persen PDRB maka luas lahan sawah akan berkurang
atau beralih fungsi menjadi non sawah sebesar 0,5 persen. Hasil estimasi ini
66
sesuai dengan hipotesis yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa, PDRB
berkorelasi negatif dengan luas lahan sawah.
PDRB merupakan indikator pertumbuhan ekonomi suatu daerah. Semakin
besar pertumbuhan ekonomi suatu wilayah dapat mempercepat terjadinya
perubahan struktur ekonomi ke arah sektor manufaktur, jasa, dan sektor non
pertanian lainnya. Pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Bekasi ini menjadi
penggerak berubahnya struktur wilayah dari pedesaan yang berbasis pada
pertanian, menjadi perkotaan yang berbasis pada sektor manufaktur dan jasa.
Proses pengkotaan ini akan diawali dari area yang berbatasan langsung dengan
wilayah yang berkegiatan ekonomi tinggi, karena dianggap strategis dan mudah
untuk mendapatkan infestor. Dapat dilihat pada Lampiran 3. mengenai RTRW
Kabupaten Bekasi area yang berbatasan dengan Kota Jakarta, Kota Bekasi, dan
Kabupaten Bogor akan diubah menjadi zona pemukiman dan industri. Hal ini
mengindikasikan adanya pengalihfungsian lahan dari pertanian ke non pertanian.
Nilai probabilitas dari variabel laju pertumbuhan penduduk lebih kecil dari
taraf nyata 10 persen (0,06 < 0,10). Hal ini berarti bahwa laju pertumbuhan
penduduk berpengaruh nyata terhadap perubahan luas lahan sawah. Koefisien
variabel yang bernilai -0,007 pada tabel menjelaskan bahwa, setiap kenaikan 10
persen laju pertumbuhan penduduk maka luas lahan sawah akan berkurang atau
beralih fungsi menjadi non sawah sebesar 0,07 persen. Hasil estimasi ini sesuai
dengan hipotesis yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa, laju pertumbuhan
penduduk berkorelasi negatif dengan luas lahan sawah.
Laju pertumbuhan penduduk yang tinggi mengakibatkan jumlah penduduk
yang terus meningkat. Meningkatnya jumlah penduduk berakibat pada naiknya
67
permintaan lahan untuk pemukiman. Selain itu penduduk juga membutuhkan
penunjang berupa sarana dan prasarana seperti, jalan, sekolah, rumah sakit, dll.
Hal tersebut akan mempengaruhi permintaan akan lahan. Lahan yang jumlahnya
terbatas menjadi kendala dalam mengatasi permasalahan tersebut sehingga banyak
lahan sawah yang dialihfungsikan menjadi lahan pemukiman. Hal ini
mengindikasikan adanya pengalihfungsian lahan dari pertanian ke non pertanian.
Jumlah Industri berpengaruh positif terhadap perubahan lahan sawah.
Namun tidak berpengaruh nyata dimana nilai probabilitas dari variabel jumlah
industri lebih besar dari taraf nyata 10 persen (0,49 > 0,10). Hasil estimasi ini
tidak sesuai dengan hipotesis bahwa jumlah industri akan sangat berpengaruh
terhadap luas lahan sawah. Variabel jumlah industri yang tidak berpengaruh nyata
dapat diinterpretasikan bahwa banyaknya industri di Kabupaten Bekasi belum
tentu membutuhkan lahan luas yang sampai mengalihfungsikan lahan sawah.
6.5. Faktor Mikro yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan Kecamatan
Tambun Utara
Alih fungsi lahan di Kabupaten Bekasi tidak hanya disebabkan oleh faktor
makro yang berasal dari tingkat wilayah, namun faktor mikro yang berasal dari
diri petani juga ikut mempengaruhinya. Sebagaimana yang telah dibahas
sebelumnya bahwa pengalihfungsian lahan diawali dengan penjualan lahan dari
petani ke investor. Setelah penjualan itu barulah para investor mengalihfungsikan
lahan tersebut menjadi pemukiman atau industri. Faktor ini dianalisis untuk
melihat apa penyebab petani menjual lahan kepada investor sehingga lahan
tersebut dapat dialihfungsikan.
Studi kasus mengenai faktor mikro yang mempengaruhi alih fungsi lahan
di Kabupaten Bekasi ini dilakukan di Kecamatan Tambun Utara. Sebanyak tiga
68
puluh responden dalam penelitian ini merupakan petani pemilik penggarap.
Sembilan belas orang merupakan petani yang telah menjual seluruh lahannya
kepada investor, sedangkan sebelas orang merupakan petani yang tidak mau atau
belum menjual lahannya kepada investor. Adapun variabel bebas yang diduga
mempengaruhi keputusan petani dalam menjual lahannya adalah luas lahan,
persentase pendapatan usaha tani, biaya produksi, pengalaman, dan jumlah
tanggungan. Variabel terikat yang digunakan terdapat dua kemungkinan. Bagi
responden yang telah menjual lahan sawahnya diberi nilai 1 (Z=1) dan bagi
responden yang tidak atau belum menjual lahan sawahnya diberi nilai 0 (Z=0).
Hasil pengolahan data dengan menggunakan metode enter disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5. Hasil Estimasi Faktor-Faktor Mikro yang Mempengaruhi Petani
untuk Menjual Lahan Pertanian
Variable Coefficient Sig. Exp (β) Keterangan
X1 -0,039 0,736 0,962 Pengalaman
X2 -2,132 0,057*) 0,119 Tanggungan
X3 0,868 0,432 2,383 Luas lahan
X4 0,000 0,280 1,000 Biaya Produksi
X5 -0,324 0,034*) 0,723 Proporsi Pendapatan
C 6,713 0,731 822,917 Konstanta Sumber : Data Primer (diolah)
Keterangan : *) nyata pada taraf 10 persen
Tabel hasil regresi logistik lainnya dapat dilihat pada Lampiran 5.
Berdasarkan hasil analisis regresi logistik tersebut diperoleh nilai Sig pada
Omnimbus test sebesar 0,000. Nilai tersebut lebih kecil dari taraf nyata yang
digunakan yaitu 10 persen (0,000 < 0,100), artinya variabel bebas yang digunakan
secara bersama-sama berpengaruh terhadap keputusan petani untuk menjual lahan.
Dari hasil analisis juga didapat nilai Cox & Snell R Square sebesar 0,552 dan
Nagelkerke R Square sebesar 0,755. Nilai Nagelkerke R Square yang lebih besar
dari Cox & Snell R Square menunjukan kemampuan kelima variabel bebas dalam
69
menjelaskan varian alih fungsi lahan sebesar 75,5 persen dan terdapat 24,5 persen
faktor lain di luar model yang menjelaskan variabel terikat. Nilai Sig pada Hosmer
and Lemeshow Test yang diperoleh adalah sebesar 0,460. Nilai tersebut lebih
besar dari taraf nyata yang digunakan yaitu 10 persen (0,460 > 0,100), artinya
model yang dibuat dapat diterima dan pengujian hipotesis dapat dilakukan.
Selanjutnya nilai overall percentage pada classification table yang diperoleh
sebesar 93,3 persen. Nilai tersebut menunjukan bahwa dari 30 data yang ada
terdapat 28 data yang tepat pengklasifikasiannya. Hal ini menunjukan bahwa
model yang dihasilkan baik.
Berdasarkan Tabel 5 dapat terlihat bahwa dari lima variabel bebas yang
diduga berpengaruh terhadap keputusan petani untuk menjual lahan ternyata
hanya dua variabel yang berpengaruh signifikan. Variabel yang berpengaruh
signifikan terhadap keputusan petani tersebut adalah jumlah tanggungan dan
persentase pendapatan usaha tani. Signifikan atau tidaknya pengaruh suatu
variabel dilihat dari nilai Sig pada Tabel 5 yang lebih kecil dari taraf nyata yang
digunakan yaitu 10 persen. Variabel lain mempunyai nilai Sig yang lebih besar
dari taraf nyata yang digunakan sebesar 10 persen. Hal ini berarti pengalaman
bertani, luas lahan sawah yang dimiliki, dan biaya produksi per hektar tidak
berpengaruh secara nyata terhadap peluang keputusan petani untuk menjual
lahannya. Model yang diperoleh dari hasil regresi logistik pada Tabel 5 adalah
sebagai berikut:
𝑍 = 822,917 − 0,962𝑋1 − 0,119𝑋2 + 2,383𝑋3 + 1,000𝑋4 − 0,723𝑋5
Variabel jumlah tanggungan memiliki nilai Sig. sebesar 0,057. Nilai
tersebut berarti bahwa jumlah tanggungan berpengaruh nyata terhadap peluang
70
terjadinya penjualan lahan oleh petani pada taraf nyata 10 persen (0,057 < 0,100).
Koefisien hasil yang diperoleh bertanda negatif (-2,132) dan nilai Exp (β) atau
odds ratio yang diperoleh sebesar 0,119. Hal ini berarti bahwa jika jumlah
tanggungan petani bertambah satu orang, maka peluang petani untuk menjual
lahan lebih kecil 0,119 kali dibandingkan untuk tidak menjual lahan. Semakin
banyak jumlah tanggungan petani maka semakin rendah peluang petani tersebut
untuk menjual lahan.
Jumlah tanggungan petani merupakan jumlah orang yang kehidupannya
masih ditanggung oleh petani tersebut. Semakin banyak jumlah tanggungan
berarti semakin banyak beban hidup yang ditanggung oleh petani. Petani dengan
beban hidup yang lebih besar akan berpeluang lebih kecil untuk menjual
lahannya. Hal ini disebabkan karena mereka sudah biasa bertani untuk membiayai
beban hidup mereka. Petani akan memilih pekerjaan yang sudah mereka kuasai
untuk membiayai tanggungan yang besar dibandingkan harus menjual lahan dan
mencari pekerjaan lain yang belum mereka ketahui.
Variabel persentase pendapatan usaha tani memiliki nilai Sig sebesar
0,034. Nilai tersebut berarti bahwa persentase pendapatan usaha tani berpengaruh
nyata terhadap peluang terjadinya penjualan lahan oleh petani pada taraf nyata 10
persen (0,034 < 0,100). Koefisien hasil yang diperoleh bertanda negatif (-0,324)
dan nilai Exp (β) atau odds ratio yang diperoleh sebesar 0,723. Hal ini berarti
bahwa jika persentase pendapatan usaha tani bertambah satu persen, maka
peluang petani untuk menjual lahan lebih kecil 0,723 kali dibandingkan untuk
tidak menjual lahan. Semakin besar persentase pendapatan usaha tani petani maka
semakin rendah peluang petani tersebut untuk menjual lahan.
71
Persentase pendapatan usaha tani merupakan proporsi pendapatan usaha
tani seorang petani dari pendapatan totalnya. Semakin besar persentase tersebut
berarti semakin besar ketergantungan petani pada usaha tani yang dimiliki. Petani
yang sangat bergantung pada usaha taninya akan berpeluang lebih kecil untuk
menjual lahannya. Hal ini disebabkan pemikiran rasional petani yang berpikiran
bahwa kehidupan mereka sangat bergantung pada usaha tani tersebut. Petani yang
persentase pendapatan usaha taninya besar akan lebih memilih melakukan
pekerjaan yang sudah berhasil dan sangat berpengaruh dibandingkan harus
menjual lahan dan melakukan pekerjaan lain yang belum tentu berhasil.
6.6. Dampak Alih Fungsi Lahan Terhadap Produksi Padi Kabupaten
Bekasi
Lahan pertanian yang dialihfungsikan menjadi non pertanian akan
berakibat langsung terhadap jumlah produksi padi dan nilai dari produksi padi
yang dihasilkan dari wilayah tersebut. Jumlah produksi padi yang hilang
dipengaruhi antara lain oleh luas panen yang hilang, produktifitas lahan sawah,
dan pola tanam dalam satu tahun. Luas panen merupakan jumlah luasan sawah
yang digarap atau berhasil panen dalam satu tahun. Pada penelitian ini
diasumsikan petani menggarap seluruh lahan sawah yang hilang tersebut dan tidak
ada gagal panen. Diasumsikan juga pola tanam dalam satu tahun untuk seluruh
lahan dipanen dua kali. Artinya luas panen yang hilang tersebut dua kali lipat dari
luas lahan sawah yang terkonversi. Produktifitas lahan sawah adalah hasil panen
per hektar lahan sawah. Produktifitas untuk seluruh tipe atau jenis sawah pada
penelitian ini disumsikan sama, sehingga tidak ada pembedaan tipe irigasi dan
jenis padi yang ditanam. Perhitungan mengenai produksi dan nilai produksi yang
hilang dapat dilihat pada Tabel 6.
72
Tabel 6. Dampak Terhadap Produksi Padi dan Nilai Produksi Padi Akibat
Alih Fungsi Lahan Sawah di Kabupaten Bekasi Tahun 2002-2011
Tahun
Produktivitas
Padi Sawah
(ton/ha)
Luas Lahan
Terkonversi
(ha)
Produksi Padi
yang Hilang
(ton)
Nilai Produksi
Padi yang
Hilang (Rp)
2002 5,26 0 0,00 0
2003 5,55 837 9.290,70 13.757.668.560
2004 5,36 130 1.393,86 1.992.104.712
2005 5,47 505 5.526,72 9.059.952.096
2006 5,62 204 2.292,96 5.155.261.968
2007 5,54 0 0,00 0
2008 5,60 508 5.688,58 14.208.945.115
2009 6,12 649 7.941,16 23.443.110.244
2010 6,02 841 10.120,59 34.705.540.944
2011 6,31 0 0,00 0
Total 3.674 42.254,58 102.322.583.640 Sumber : Badan Pusat Statistika, berbagai terbitan (diolah)
Berdasarkan asumsi-asumsi yang telah disebutkan sebelumnya, total
produksi padi yang hilang selama sepuluh tahun terakhir adalah sebesar
42.254,582 ton. Nilai produksi padi diestimasi menggunakan harga gabah kering
giling yang berlaku di Kabupaten Bekasi pada tahun tersebut. Tabel mengenai
harga gabah kering giling dapat dilihat pada Lampiran 6. Jumlah produksi padi
yang hilang dikalikan dengan harga pembelian pemerintahnya. Dapat dilihat pada
Tabel 6, nilai produksi yang hilang adalah sebesar Rp 102.322.583.640 atau
sekitar 102,32 milyar rupiah.
Pada tahun 2002, 2007, dan 2011 luas lahan sawah di Kabupaten Bekasi
sempat mengalami peningkatan. Hal ini disebabkan pembukaan lahan sawah baru
dari lahan kering yang ada. Pembukaan lahan ini dilakukan untuk menanggulangi
pengalihfungsian lahan yang terjadi. Hal ini menyebabkan surplus produksi padi
pada tahun-tahun tersebut. Dengan asumsi yang sama, perhitungan mengenai
surplus tersebut dapat dilihat pada Tabel 7.
73
Tabel 7. Dampak Terhadap Produksi Padi dan Nilai Produksi Padi Akibat
Pembukaan Lahan Sawah Baru di Kabupaten Bekasi Tahun 2002-
2011
Tahun
Produktivitas
Padi Sawah
(ton/ha)
Pencetakan
Sawah Baru
(ha)
Surplus
Produksi Padi
(ton)
Surplus Nilai
Produksi Padi
(Rp)
2002 5,26 749 7.876,48 11.355.526.982
2003 5,55 0 0,00 0
2004 5,36 0 0,00 0
2005 5,47 0 0,00 0
2006 5,62 0 0,00 0
2007 5,54 432 4.784,83 12.196.536.768
2008 5,60 0 0,00 0
2009 6,12 0 0,00 0
2010 6,02 0 0,00 0
2011 6,31 119 1.502,02 5.036.867.161
Total 1.300 14.163,33 28.588.930.912 Sumber : Badan Pusat Statistika, berbagai terbitan (diolah)
Total surplus produksi padi akibat pembukaan lahan sawah baru sebesar
14.163,33 ton atau dengan nilai sekitar 28,58 milyar. Surplus ini tidak menutupi
produksi padi yang hilang pada tahun-tahun sebelumnya, karena total pembukaan
lahan hanya sebesar 1.300 hektar sedangkan total alih fungsi lahan sebesar 3.674
hektar. Produksi padi pada sepuluh tahun terakhir masih hilang sekitar 28.091,25
ton atau bernilai sekitar Rp 73.733.652.728. Nilai tersebut diperoleh dari selisih
produksi yang hilang dan surplus produksi.
6.7. Dampak Alih Fungsi Lahan Terhadap Pendapatan Petani Kecamatan
Tambun Utara
Alih fungsi lahan yang terjadi akan mengurangi total pendapatan petani,
karena petani kehilangan lahan yang dapat digarap. Dalam studi kasus yang
dilakukan, alih fungsi lahan yang terjadi diawali dengan perpindahan kekuasaan
lahan dari petani kepada pengembang. Alih fungsi lahan dari pertanian ke non
pertanian oleh pengembang masih sedikit, namun lahan pertanian yang ada sudah
74
dibeli oleh pengembang tersebut. Pada saat ini petani yang telah menjual lahannya
masih menggarap lahannya sehingga belum terlihat dampak pendapatan dari alih
fungsi lahan, sehingga dampak terhadap pendapatan petani belum mempunyai
pengaruh yang signifikan.
Dalam menghitung dampak pendapatan yang terjadi diasumsikan bahwa
lahan yang telah di jual oleh petani telah dialihfungsikan oleh pengembang. Hasil
produksi dari lahan yang telah di jual tersebut dianggap nol karena pada masa
mendatang lahan tersebut akan menjadi lahan non pertanian. Dalam perhitungan
rata-rata perubahan pendapatan yang terjadi, pendapatan sebelum alih fungsi
lahan diasumsikan merupakan pendapatan total petani dari hasil pertanian dan
pendapatan sampingan pada saat peneliti melakukan wawancara. Pendapatan
setelah alih fungsi lahan diasumsikan didapat dari perhitungan pendapatan
sampingan dan perkiraan pendapatan dari rencana pekerjaan yang akan dilakukan
petani. Perhitungan mengenai pendapatan sebelum dan setelah alih fungsi lahan
dapat dilihat pada Lampiran 7. Pendapatan sebelum terjadi alih fungsi lahan dan
perkiraan pendapatan setelah alih fungsi lahan selanjutnya diselisihkan. Hasil
selisih tersebut dapat melihat pengaruh alih fungsi lahan pertanian terhadap
pendapatan petani setempat. Perhitungan rata-rata perubahan pendapatan yang ada
dapat dilihat pada Tabel 8.
75
Tabel 8. Rata-Rata Perubahan Pendapatan per Bulan Petani Akibat Alih
Fungsi Lahan Pertanian ke Non Pertanian
Responden
Pendapatan Sebelum
Alih Fungsi
(Rp)
Perkiraan Pendapatan
Setelah Alih Fungsi
(Rp)
Selisih
Pendapatan
(RP)
1 4.887.500 2.000.000 -2.887.500
2 2.755.000 0 -2.755.000
3 6.587.500 3.000.000 -3.587.500
4 6.625.000 3.000.000 -3.625.000
5 7.250.000 3.000.000 -4.250.000
6 3.843.750 1.000.000 -2.843.750
7 8.125.000 0 -8.125.000
8 6.382.667 3.000.000 -3.382.667
9 2.287.500 1.500.000 -787.500
10 2.937.281 1.000.000 -1.937.281
11 4.486.042 0 -4.486.042
12 3.562.500 1.500.000 -2.062.500
13 6.892.208 0 -6.892.208
14 5.743.750 1.500.000 -4.243.750
15 4.333.333 0 -4.333.333
16 5.712.500 4.500.000 -1.212.500
17 9.781.250 4.500.000 -5.281.250
18 3.606.625 0 -3.606.625
19 1.850.000 4.850.000 3.000.000
Total -63.299.406
Rata-rata -3.331.548 Sumber : Data primer (diolah)
Dapat dilihat pada Tabel 8 didapat nilai rata-rata selisih pendapatan
tersebut sebesar Rp -3.331.548. Nilai ini berarti bahwa rata-rata petani akan
berkurang pendapatan total perbulannya sekitar 3,33 juta rupiah. Hal ini akan
terjadi ketika seluruh lahan mereka sudah dialihfungsikan menjadi non pertanian
oleh pengembang. Pada tabel juga dapat dilihat bahwa sebagian petani tidak
memiliki pendapatan sampingan, sehingga mereka tidak mempunyai pendapatan
jika alih fungsi lahan telah dilakukan oleh pengembang. Perlu diketahui bahwa
alasan petani memjual lahan mereka adalah karena desakan dari pihak desa untuk
76
mencegah terjadinya sengketa lahan, karena pada umumnya petani tidak
mempunyai sertifikat lahan.
6.8. Perkiraan Perubahan Luas Sawah dan Dampak Terhadap Ketahanan
Pangan di Kabupaten Bekasi
Alih fungsi lahan pertanian yang terjadi di Kabupaten Bekasi jika terus
berlanjut akan mengancam ketahanan pangan di wilayah tersebut. Lahan pertanian
yang terus menurun akan menyebabkan produksi beras yang menurun pula. Hal
ini bertabrakan dengan jumlah penduduk yang terus meningkat, dimana
kebutuhan akan beras akan terus meningkat. Simulasi ini dilakukan dengan
membandingkan jumlah beras yang dapat diproduksi dan jumlah beras yang
dibutuhkan masyarakat pada tahun mendatang.
Jumlah beras yang diproduksi diperoleh dari konversi jumlah gabah pada
satu tahun yang sama. Jumlah gabah yang diproduksi dihitung dari luas sawah
dikalikan produktivitas sawah dan jumlah musim panen. Luas sawah per tahunnya
diasumsikan berubah dengan laju sebesar -0,43 persen dan produktivitas lahan
diasumsikan berubah dengan laju 2,11 persen. Nilai tersebut didapat dari rata-rata
laju perubahan pada 2002-2011. Musin panen di seluruh lahan diasumsikan sama
yaitu dengan jumlah dua kali panen. Jumlah gabah tersebut dikonversi dengan
asumsi bahwa jumlah beras merupakan 62,74 persen dari jumpah gabah. Jumlah
kebutuhan beras masyarakat didapat dari jumlah penduduk dikalikan jumlah
konsumsi beras per kapita. Jumlah penduduk diasumsikan berubah pertahunnya
dengan laju sebesar 5,04 persen dan konsumsi beras diasumsikan tetap yaitu 139,5
kg per jiwa. Berdasarkan asumsi tersebut maka perkiraan luas sawah dan dampak
terhadap ketahanan pangan dapat dilihat pada Tabel 9.
77
Tabel 9. Perkiraan Perubahan Luas Lahan dan Dampak Terhadap
Ketahanan Pangan di Kabupaten Bekasi dengan Konsumsi Beras
Perkapita Tetap
Tahun
Luas
Sawah
(Ha)
Jumlah
Penduduk
(Jiwa)
Produksi
Beras
(Ton)
Kebutuhan
Beras
(Ton)
Selisih
Beras
(Ton)
2011 53.703 2.753.961 425.276 383.214 42.063
2012 53.473 2.892.692 432.380 402.518 29.862
2013 53.245 3.038.411 439.603 422.795 16.808
2014 53.017 3.191.471 446.946 444.093 2.853
2015 52.791 3.352.241 454.412 466.464 -12.052 Sumber : Badan Pusat Statistika, berbagai terbitan (diolah)
Tabel 9 menjelaskan bahwa pada tahun 2015 produksi beras tidak dapat
memenuhi kebutuhan beras di Kabupaten Bekasi. Kebutuhan beras pada tahun
tersebut lebih besar dari produksi berasnya. Kebutuhan beras pada tahun 2015
diperkirakan sebesar 466.464 ton dengan produksi diperkirakan hanya sebesar
454.412 ton. Sehingga pada tahun tersebut akan terjadi kekurangan beras sebesar
12.052 ton.
Kebutuhan beras masyarakat Indonesia lebih dari dua kali lipat rata-rata
kebutuhan beras dunia pertahunnya yang hanya berkisar antara 60 kg per jiwa.
Badan Ketahanan Pangan (BKP) Kementrian Pertanian Indonesia menargetkan
dapat menekan konsumsi beras sebesar 1,5 persen per tahun. Penekanan konsumsi
beras ini diperoleh dengan melakukan program penganekaragaman konsumsi
pangan dari pangan lokal, seperti singkong dan jagung. Target penurunan
konsumsi beras sebesar 1,5 persen tadi dapat dimasukan kedalam simulasi.
Kebutuhan beras masyarakat akan lebih sedikit bila ada penurunan konsumsi
beras setiap tahunnya. Berdasarkan asumsi yang sama namun terdapat penurunan
konsumsi beras sebesar 1,5 persen, maka simulasi mengenai ketahan pangan dapat
dilihat pada Tabel 10.
78
Tabel 10. Perkiraan Perubahan Luas Lahan dan Dampak Terhadap
Ketahanan Pangan di Kabupaten Bekasi dengan Konsumsi
Beras Perkapita Menurun
Tahun
Luas
Sawah
(Ha)
Jumlah
Penduduk
(Jiwa)
Produksi
Beras (Ton)
Kebutuhan
Beras (Ton)
Selisih
Beras
(Ton)
2011 53.703 2.753.961 425.276 377.465 47.811
2012 53.473 2.892.692 432.380 390.533 41.847
2013 53.245 3.038.411 439.603 404.053 35.550
2014 53.017 3.191.471 446.946 418.041 28.905
2015 52.791 3.352.241 454.412 432.513 21.898
2016 52.565 3.521.110 462.002 447.487 14.516
2017 52.340 3.698.486 469.720 462.978 6.741
2018 52.117 3.884.797 477.566 479.006 -1.440 Sumber : Badan Pusat Statistika, berbagai terbitan (diolah)
Dengan adanya penurunan konsumsi beras sebesar 1,5 persen setiap
tahunnya maka Kabupaten Bekasi dapat memenuhi kebutuhan beras
masyarakatnya sampai pada tahun 2018. Penurunan konsumsi beras tersebut
menyebabkan ketahanan pangan lebih lama tiga tahun dibandingkan dengan tidak
adanya penurunan konsumsi beras. Pada tahun tersebut diperkirakan produksi
beras sekitar 477.566 ton dengan konsumsi beras masyarakat sebesar 479.006 ton.
Kabupaten Bekasi akan kekurangan produksi beras sebesar 1.440 ton pada tahun
2018 jika terdapat penurunan konsumsi beras sebesar 1,5 persen.
VII. SIMPULAN DAN SARAN
7.1. Simpulan
1. Pola alih fungsi lahan yang terjadi adalah pola yang diawali dengan
adanya alih penguasaan lahan dari petani pemilik lahan kepada
pengembang. Setelah terjadi alih kekuasaan barulah lahan dialihfungsikan
oleh pengembang menjadi sektor non pertanian. Karakteristik alih fungsi
lahan yang terjadi yaitu lahan pertanian di Kabupaten Bekasi mayoritas
dialihfungsikan menjadi Pemukiman dan Industri yang tidak dapat diubah
kembali menjadi lahan sawah.
2. Laju penyusutan lahan pertanian selama sepuluh tahun terakhir di
Kabupaten Bekasi sebesar 4,27 persen atau sekitar 0,43 persen per
tahunnya.
3. Kebijakan RTRW secara vertikal telah menetapkan Kabupaten Bekasi
menjadi wilayah penyangga dari wilayah PKN Jabodetabek, sehingga tata
ruang di wilayah tersebut akan diperuntukan untuk pemukiman, industri,
dan jasa. Hal tersebut disebabkan nilai ekonomi lahan dari industri dan
pemukiman lebih besar dari pada pertanian, mengingat wilayah tersebut
dekat dengan pusat kota dan pusat eksport-import. Kepemilikan lahan
pertanian di Tambun Utara menjadi kendala bagi petani untuk
mempertahankan lahan miliknya, karena petani tidak memliki sertifikat
lahan.
4. Faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan pertanian di Kabupaten
Bekasi pada skala makro, yaitu PDRB dan Laju Pertumbuhan Penduduk.
80
Faktor yang mempengaruhi pada skala mikro, yaitu jumlah tanggungan
petani dan proporsi pendapatan dari hasil tani terhadap pendapatan total.
5. Dampak alih fungsi lahan pertanian terhadap produksi gabah di Kabupaten
Bekasi dalam sepuluh tahun terakhir adalah hilangnya produksi gabah
sebesar 28.091,25 ton atau sekitar Rp 73.733.652.728. Dampak alih fungsi
lahan pertanian terhadap pendapatan petani adalah berkurangnya
pendapatan petani pemilik lahan dengan rata-rata sebesar Rp 3.331.548.
Hasil perkiraan perubahan luas sawah dan dampaknya terhadap ketahanan
pangan adalah produksi beras tidak dapat memenuhi kebutuhan pada tahun
2015 dengan kekurangan sebesar 12.052 ton, sedangkan jika terjadi
penurunan konsumsi beras perkapita sebesar 1,5 persen per tahun maka
produksi beras tidak akan mencukupi kebutuhan pada tahun 2018 dengan
kekurangan 1.440 ton.
7.2. Saran
1. Pertumbuhan penduduk di Kabupaten Bekasi haruslah ditekan, karena
salah satu hal yang berpengaruh dalam alih fungsi lahan pertanian adalah
permintaan pemukiman akibat tingginya laju pertumbuhan penduduk.
Pertumbuhan penduduk dapat ditekan melalui emigrasi dari Kabupaten
Bekasi ke wilayah lain yang tidak padat penduduk.
2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai luas wilayah pertanian
yang dapat dialihfungsikan dan penetapan wilayah pertanian minimum
(lahan pertanian abadi), agar produksi beras masih dapat mencukupi
kebutuhan di wilayah tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Astuti D. 2011. Keterkaitan Harga Lahan Terhadap Laju Konversi Lahan di Hulu
Sungai Ciliwung Kabupaten Bogor. Skripsi. Institut Pertanian Bogor.
Bogor.
Barlowe R. 1978. Land Resources Economics: The Economics of Real Estate.
Prentice-Hall. New Jersey.
Badan Pusat Statistik. 2011. Indonesia Dalam Angka Tahun 2011. BPS. Jakarta.
_________________. 2012. Indonesia Dalam Angka Tahun 2012. BPS. Jakarta.
_________________. 2002. Kabupaten Bekasi Dalam Angka Tahun 2002. BPS.
Kabupaten Bekasi.
_________________. 2003. Kabupaten Bekasi Dalam Angka Tahun 2003. BPS.
Kabupaten Bekasi.
_________________. 2004. Kabupaten Bekasi Dalam Angka Tahun 2004. BPS.
Kabupaten Bekasi.
_________________. 2005. Kabupaten Bekasi Dalam Angka Tahun 2005. BPS.
Kabupaten Bekasi.
_________________. 2006. Kabupaten Bekasi Dalam Angka Tahun 2006. BPS.
Kabupaten Bekasi.
_________________. 2007. Kabupaten Bekasi Dalam Angka Tahun 2007. BPS.
Kabupaten Bekasi.
_________________. 2008. Kabupaten Bekasi Dalam Angka Tahun 2008. BPS.
Kabupaten Bekasi.
_________________. 2009. Kabupaten Bekasi Dalam Angka Tahun 2009. BPS.
Kabupaten Bekasi.
_________________. 2010. Kabupaten Bekasi Dalam Angka Tahun 2010. BPS.
Kabupaten Bekasi.
_________________. 2011. Kabupaten Bekasi Dalam Angka Tahun 2011. BPS.
Kabupaten Bekasi.
_________________. 2012. Kabupaten Bekasi Dalam Angka Tahun 2012. BPS.
Kabupaten Bekasi.
82
Bappeda Provinsi Jawa Barat. 2010. Peraturan Daerah nomor 22 tahun 2010
tentang Rencana Tata Ruang Provinsi Jawa Barat. Bandung.
Bappeda Kabupaten Bekasi. 2011. Peraturan Daerah Kabupaten Bekasi nomor 12
tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bekasi.
Cikarang Pusat. Bekasi.
Fauzi A. 2010. Peran Ekonomi Kelembagaan dalam Pengelolaan Lahan
Berkelanjutan. Artikel. http://icnie.org/2010/11/peran-ekonomi-
kelembagaan-dalam-pengelolaan-lahan-berkelanjutan. diakses pada
tanggal 30 Maret 2013.
Gujarati D. 2002. Basic Econometrics. Mc Graw Hill. Singapore.
Juanda B . 2009. Ekonometrika Permodelan dan Pendugaan. IPB Press. Bogor.
________. 2009. Metodologi Penelitian Ekonomi & Bisnis, edisi kedua. IPB
Press. Bogor.
K Fanny. 2005. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konversi Lahan
Sawah ke Penggunaan Non Pertanian di Kabupaten Tanggerang. Skripsi.
Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Kemetrian Hukum dan HAM. 2008. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
nomor 26 tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional.
Jakarta.
Maulana F. 2004. Konversi Lahan Pertanian di Pantura Jawa Barat. Skripsi.
Institut Teknologi Bandung. Bandung.
Nasoetion L, J Winoto. 1996. Masalah Alih Fungsi Lahan Pertanian dan
Dampaknya terhadap Keberlangsungan Swasembada Pangan. Prosiding
Seminar Persaingan dalam Pemanfaatan Sumberdaya Lahan dan Air.
Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.
Pakpahan A, N Sumaryanto, Syafa'at. 1993. Analisis Kebijaksanaan Konversi
Lahan Sawah ke Penggunaan Non Pertanian. Pusat Penelitian Sosial
Ekonomi Pertanian. Bogor.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. 2003. Petunjuk
Teknis Evaluasi Lahan untuk Komoditas Pertanian. Departemen Petanian.
Jakarta.
Puspasari A . 2012. Faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan pertanian
dan dampaknya di Kecamatan Karawang Timur. Skripsi. Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
83
Ruswandi A. 2005. Dampak Konversi Lahan Pertanian Perubahan Kesejahteraan
Petani dan Perkembangan Wilayah. Tesis. Institut Pertanian Bogor.
Bogor.
Sandi R. 2009. Analisis Faktor Yang Mempengaruhi Konversi Lahan Sawah di
Kabupaten Karawang. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Sitorus S. 2011. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konversi Lahan
Sawah di Kabupaten Bogor. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Sumaryanto, et al (2005). Analisis Kebijaksanaan Konversi Lahan Sawah ke.
Penggunaan Non Pertanian. Laporan Penelitian Tahun II. Universitas
Lampung. Bandar Lampung.
Sumaryo, S Tahlim. 2005. Pemahaman Dampak Negatif Konversi Lahan Sawah
Sebagai Landasan Perumusan Strategi Pengendaliannya. Prosiding
Seminar Penanganan Konversi Lahan dan Pencapaian Pertanian Abadi.
LPPM IPB. Bogor.
Utama D. 2006. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konversi Lahan
Sawah ke Penggunaan non Sawah di Kabupaten Cirebon. Skripsi. Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
Utomo. 1992. Alih Fungsi Lahan: Tinjauan Analisis dalam Makalah Seminar
Pembangunan dan Pengendalian Alih Fungsi Lahan. Universitas
Lampung. Lampung
Widjanarko et al. 2006. Aspek Pertanahan dalam Pengendaliaan Alih Funsi Lahan
Pertanian (Sawah). Prosiding Seminar Nasional Multifungsi Lahan
Sawah. Badan Pertanahan Nasional. Jakarta.
Winoto J. 2005. Kebijakan Pengendalian Alih Funsi Tanah Pertanian dan
Implementasinya. Prosiding Seminar Penanganan Konversi Lahan dan
Pencapaian Pertanian Abadi. LPPM IPB. Bogor.
Witjaksono R. 1996. Alih Fungsi Lahan: Suatu Tinjauan Sosiologis. Dalam
Prosiding Lokakarya Persaingan Dalam Pemanfaatan Sumberdaya Lahan
dan Air. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.
LAMPIRAN
85
Lampiran 1. Kuesioner Penelitian
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN
LINGKUNGAN
Jl. Kamper level 5 wing 5 Kampus IPB Dramaga Bogor (16680)
KUESIONER PENELITIAN
Hari/Tanggal : ..............................................................................................
Nomor Responden : ..............................................................................................
Nama Responden : ..............................................................................................
Alamat Responden : ..............................................................................................
..............................................................................................
No. Telepon/ HP : ..............................................................................................
Kuesioner ini digunakan sebagai bahan wawancara untuk narasumber dalam
skripsi mengenai “Analisis Ekonomi Alih Fungsi Lahan Pertanian Terhadap
Ketahanan Pangan" oleh Muhamad D. Yudhistira (H44080073). Kami memohon
partisipasi saudara untuk mengisi kuesioner ini dengan teliti dan lengkap sehingga
dapat menjadi data yang objektif. Informasi yang saudara berikan akan dijamin
kerahasiaanya, tidak untuk dipublikasikan, dan tidak untuk digunakan dalam
kepentingan politis. Atas perhatian dan partisipasi Saudara, Saya ucapkan terima
kasih.
A. Karakteristik Responden
1. Jenis kelamin : L/P
2. Umur : ........ tahun
3. Status pernikahan : belum/sudah menikah
4. Pendidikan formal terakhir
□ Tidak Sekolah □ Lulus SMA
□ Tidak Lulus SD □ Lulus PT
□ Lulus SD □ Lainnya ...............
□ Lulus SLTP
5. Pendidikan non-formal
a. ........................................................... Lamanya : .............. bulan/tahun
b. ........................................................... Lamanya : .............. bulan/tahun
c. ........................................................... Lamanya : .............. bulan/tahun
6. Status kependudukan
□ Penduduk asli
□ Pendatang
□ Lainnya .....................
7. Lama tinggal : .......... tahun
8. Jumlah tanggungan keluarga .......... orang
86
9. Pekerjaan sampingan petani
□ Ada
a. sebagai ....................... penghasilan Rp......................................../bulan
b. sebagai ....................... penghasilan Rp......................................../bulan
c. sebagai ....................... penghasilan Rp......................................../bulan
□ Tidak ada
B. Kondisi Pertanian
1. Pengalaman Bertani : ................. tahun
2. Keikutsertaan pada kelompok tani
□ Ya, Nama Poktan : .................................., Lamanya : .............. tahun
□ Tidak
3. Status Kepemilikan lahan
□ Milik Sendiri □ Sewa
□ Gabungan/kerjasama □ Lainnya ...............
4. Luas total lahan pertanian yang dimiliki ..............ha
5. Luas lahan sawah yang dimiliki ...............ha
6. Luas lahan bangunan (di dalam lahan pertanian) yang dimiliki .............m2
7. Jarak lahan pertanian dengan rumah ................. km
8. Jarak lahan pertanian dengan jalan raya ................... km
9. Jumlah panen padi per tahun ........ kali
10. Produktifitas lahan sawah satu kali panen ......................./ha
11. Jumlah hasil panen yang dikonsumsi sendiri dan digunakan untuk bibit
adalah ............
12. Harga jual padi Rp............................/......
13. Biaya pertanian sampai satu kali panen
a. Sewa Lahan : e. Air :
b. Bibit : f. Pajak :
c. Pupuk : g. Transpotasi :
d. Upah : h. Lainnya :
C. Persepsi Terhadap Alih Fungsi Lahan
1. Pernah menjual/mengubah fungsi lahan
□ Ya
a. Tahun ............. Luasnya ....................... Harga jual/menjadi
....................
b. Tahun ............. Luasnya ....................... Harga jual/menjadi
....................
c. Tahun ............. Luasnya ....................... Harga jual/menjadi
....................
□ Tidak
87
2. Pendapatan hasil pertanian (padi) sebelum menjual lahan satu kali panen
Rp..........................
3. Pendapatan sampingan sebelum menjual lahan Rp......................../bulan
4. Pernah ditawari untuk menjual lahan pertanian
□ Ya
a. Pelaku ............. Luasnya ....................... Harga jual ................
b. Pelaku ............. Luasnya ....................... Harga jual ................
c. Pelaku ............. Luasnya ....................... Harga jual ................
□ Tidak
5. Pernah ada penyuluhan pemerintah terhadap alih fungsi lahan
□ Ya
a. Tahun ..........
b. Tahun ..........
c. Tahun ..........
□ Tidak
6. Pernah dapat bantuan pemerintah untuk pertanian
□ Ya
a. Tahun ........... berupa .............................. sebesar .........................
b. Tahun ........... berupa .............................. sebesar .........................
c. Tahun ........... berupa .............................. sebesar .........................
□ Tidak
7. Dengan keadaan sekarang, apakah ada keinginan untuk menjual lahan
□ Ya
□ Tidak
8. Jika seandainya lahan akan di jual, harga lahan yang diinginkan
Rp .........................................
9. Jika seandainya lahan akan di jual, yang selanjutnya dilakukan petani
□ Bertani tetapi pindah ke wilayah lain
□ Ganti pekerjaan sebagai ............................
□ Tidak bekerja lagi
88
Lampiran 2. Tata Guna Lahan Eksisting Kabupaten Bekasi tahun 2011
89
Lampiran 3. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bekasi 2011-2013
90
Lampiran 4. Hasil Regresi Linear Berganda
Estimation Output
Dependent Variable: LN_LS
Method: Least Squares
Date: 08/17/13 Time: 13:51
Sample: 2002 2011
Included observations: 10 Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. LN_GDP -0.049732 0.011136 -4.465716 0.0043
LN_LJP -0.007442 0.003376 -2.204627 0.0697
LN_JI 0.036156 0.049977 0.723457 0.4966
C 11.58374 0.197204 58.73995 0.0000 R-squared 0.915840 Mean dependent var 10.91775
Adjusted R-squared 0.873760 S.D. dependent var 0.018505
S.E. of regression 0.006575 Akaike info criterion -6.921949
Sum squared resid 0.000259 Schwarz criterion -6.800915
Log likelihood 38.60975 Hannan-Quinn criter. -7.054723
F-statistic 21.76431 Durbin-Watson stat 1.460561
Prob(F-statistic) 0.001262
Histogram of Normality Test
91
Variance Inflation Factors
Date: 08/17/13 Time: 13:51
Sample: 2002 2011
Included observations: 10 Coefficient Uncentered Centered
Variable Variance VIF VIF LN_GDP 0.000124 9307.885 3.480881
LN_LJP 1.14E-05 6.170531 1.164541
LN_JI 0.002498 25436.95 3.744127
C 0.038889 8996.137 NA
Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test: F-statistic 0.840667 Prob. F(2,4) 0.4957
Obs*R-squared 2.959399 Prob. Chi-Square(2) 0.2277
Test Equation:
Dependent Variable: RESID
Method: Least Squares
Date: 08/17/13 Time: 13:51
Sample: 2002 2011
Included observations: 10
Presample missing value lagged residuals set to zero. Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. LN_GDP -0.004981 0.014595 -0.341265 0.7501
LN_LJP 0.001403 0.004126 0.340100 0.7509
LN_JI 0.025970 0.066823 0.388644 0.7173
C -0.084372 0.235428 -0.358375 0.7382
RESID(-1) 0.461686 0.590163 0.782303 0.4778
RESID(-2) -0.589290 0.538751 -1.093808 0.3355 R-squared 0.295940 Mean dependent var -1.95E-15
Adjusted R-squared -0.584135 S.D. dependent var 0.005368
S.E. of regression 0.006757 Akaike info criterion -6.872841
Sum squared resid 0.000183 Schwarz criterion -6.691290
Log likelihood 40.36420 Hannan-Quinn criter. -7.072002
F-statistic 0.336267 Durbin-Watson stat 1.909263
Prob(F-statistic) 0.868495
92
Heteroskedasticity Test: Glejser F-statistic 1.984878 Prob. F(3,6) 0.2178
Obs*R-squared 4.981026 Prob. Chi-Square(3) 0.1732
Scaled explained SS 3.160428 Prob. Chi-Square(3) 0.3675
Test Equation:
Dependent Variable: ARESID
Method: Least Squares
Date: 08/17/13 Time: 13:52
Sample: 2002 2011
Included observations: 10 Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C -0.145862 0.086605 -1.684229 0.1431
LN_GDP 0.000113 0.004891 0.023059 0.9824
LN_LJP -0.003107 0.001483 -2.095488 0.0810
LN_JI 0.022927 0.021948 1.044574 0.3365 R-squared 0.498103 Mean dependent var 0.003996
Adjusted R-squared 0.247154 S.D. dependent var 0.003328
S.E. of regression 0.002887 Akaike info criterion -8.567717
Sum squared resid 5.00E-05 Schwarz criterion -8.446683
Log likelihood 46.83858 Hannan-Quinn criter. -8.700491
F-statistic 1.984878 Durbin-Watson stat 2.515464
Prob(F-statistic) 0.217761
93
Lampiran 5. Hasil Regresi Logistik
Variables in the Equation
B S.E. Wald df Sig. Exp(B)
Step 1a pengalaman -.039 .115 .114 1 .736 .962
tanggungan -2.132 1.122 3.611 1 .057 .119
luas .868 1.105 .618 1 .432 2.383
biaya .000 .000 1.167 1 .280 1.000
persentase -.324 .153 4.488 1 .034 .723
Constant 6.713 19.534 .118 1 .731 822.917
Omnibus Tests of Model Coefficients
Chi-square df Sig.
Step 1 Step 24.100 5 .000
Block 24.100 5 .000
Model 24.100 5 .000
Model Summary
Step -2 Log likelihood
Cox & Snell R
Square
Nagelkerke R
Square
1 15.329a .552 .755
Hosmer and Lemeshow Test
Step Chi-square df Sig.
1 7.731 8 .460
94
Classification Tablea
Observed
Predicted
Konversi Percentage
Correct tidak jual jual
Step 1 Konversi tidak jual 10 1 90.9
jual 1 18 94.7
Overall Percentage 93.3
Correlation Matrix
Constant pengalaman tanggungan luas biaya persentase
Step 1 Constant 1.000 .131 .026 .336 -.770 -.115
pengalaman .131 1.000 .614 -.727 -.481 .541
tanggungan .026 .614 1.000 -.706 -.481 .688
luas .336 -.727 -.706 1.000 .071 -.569
biaya -.770 -.481 -.481 .071 1.000 -.540
persentase -.115 .541 .688 -.569 -.540 1.000
95
Lampiran 6. Harga Gabah Kering Giling Kabupaten Bekasi Tahun 2002-
2011
Bulan / Month 2002 (Rp/Kg)
2003 (Rp/Kg)
2004 (Rp/Kg)
2005 (Rp/Kg)
2006 (Rp/Kg)
Januari / January
1,500.0
1,480.0
1,566.7
1,620.0
2,283.3
Pebruari / February
1,700.0
1,490.0
1,566.7
1,608.0
1,930.7
Maret / March
1,500.0
1,460.0
1,533.3
1,683.0
1,731.5
April / April
1,200.0
1,490.0
1,400.0
1,347.0
1,857.5
Mei / May
1,500.0
1,380.0
1,433.3
1,330.0
2,470.0
Juni / June
1,500.0
1,430.0
1,316.7
1,518.0
2,545.0
Juli / July
1,200.0
1,440.0
1,300.0
1,558.0
2,187.5
Agustus / August
1,200.0
1,520.0
1,333.3
1,577.0
2,258.8
September / September
1,500.0
1,510.0
1,333.3
1,690.0
2,200.0
Oktober / October
1,500.0
1,530.0
1,333.3
1,705.0
2,325.0
November / November
1,500.0
1,560.0
1,383.3
1,823.0
2,350.0
Desember / December
1,500.0
1,480.0
1,650.0
2,213.0
2,840.0
Rata-rata / Average
1,441.7
1,480.8
1,429.2
1,639.3
2,248.3 Sumber: Badan Pusat Statistika Kabupaten Bekasi, Berbagai Terbitan
96
Bulan / Month 2007 (Rp/Kg)
2008 (Rp/Kg)
2009 (Rp/Kg)
2010 (Rp/Kg)
2011 (Rp/Kg)
Januari / January
3,054.0
2,550.0
2,800.0
3,200.0
3,655.6
Pebruari / February
2,855.0
2,400.0
3,100.0
3,950.0
3,410.0
Maret / March
2,736.0
2,013.0
3,100.0
3,300.0
2,950.0
April / April
2,508.0
2,175.0
3,000.0
2,950.0
2,887.5
Mei / May
2,342.0
2,620.0
2,925.0
3,000.0
2,975.0
Juni / June
2,401.0
2,660.0
2,800.0
2,950.0
3,100.0
Juli / July
2,376.0
2,590.0
2,800.0
3,850.0
3,437.5
Agustus / August
2,510.0
2,490.0
2,800.0
4,000.0
3,431.3
September / September
2,528.0
2,550.0
3,000.0
3,850.0
3,450.0
Oktober / October
2,469.0
2,580.0
3,000.0
4,000.0
3,543.8
November / November
2,451.0
2,620.0
2,900.0
2,900.0
3,625.0
Desember / December
2,450.0
2,725.0
3,200.0
3,200.0
3,775.0
Rata-rata / Average
2,549.0
2,497.8
2,952.1
3,429.2
3,353.4 Sumber: Badan Pusat Statistika Kabupaten Bekasi, Berbagai Terbitan
97
Lampiran 7. Perhitungan Pendapatan Petani Sebelum dan Setelah Alih
Fungsi Lahan
Perhitungan Pendapatan Petani Sebelum Alih Fungsi Lahan
No.
Pendapatan
Usaha Tani
(Rp)
Pekerjaan Sampingan
Pendapatan
Sampingan
(Rp)
Pendapatan
Sebelum Alih
Fungsi (Rp)
1 2.887.500 Pedagang 2.000.000 4.887.500
2 2.755.000 Tidak Ada 0 2.755.000
3 6.587.500 Tidak Ada 0 6.587.500
4 3.625.000 Pedagang 3.000.000 6.625.000
5 4.250.000 Pedagang 3.000.000 7.250.000
6 2.843.750 Pegawai Percetakan 1.000.000 3.843.750
7 8.125.000 Tidak Ada 0 8.125.000
8 3.382.667 Pemilik Warung 3.000.000 6.382.667
9 787.500 Peternak Jangkrik 1.500.000 2.287.500
10 2.137.281 Pegawai Desa 800.000 2.937.281
11 4.486.042 Tidak Ada 0 4.486.042
12 2.062.500 Pegawai Percetakan 1.500.000 3.562.500
13 6.892.208 Tidak Ada 0 6.892.208
14 4.243.750 Pemilik Warung 1.500.000 5.743.750
15 4.333.333 Tidak Ada 0 4.333.333
16 5.712.500 Tidak Ada 0 5.712.500
17 5.281.250 Peternak Ayam 4.500.000 9.781.250
18 3.606.625 Tidak Ada 0 3.606.625
19 1.000.000 Penjual Nasi Uduk 850.000 1.850.000
98
Perhitungan Pendapatan Petani Setelah Alih Fungsi Lahan
No.
Pendapatan
Sampingan
(Rp)
Rencana Pekerjaan
Perkiraan
Pendapatan
(Rp)
Perkiraan
Pendapatan
Setalah Alih
Fungsi (Rp)
1 2.000.000 Meneruskan Pekerjaan
Sampingan 0 2.000.000
2 0 Tidak Bekerja 0 0
3 0 Dagang 3.000.000 3.000.000
4 3.000.000 Meneruskan Pekerjaan
Sampingan 0 3.000.000
5 3.000.000 Meneruskan Pekerjaan
Sampingan 0 3.000.000
6 1.000.000 Meneruskan Pekerjaan
Sampingan 0 1.000.000
7 0 Tidak Bekerja 0 0
8 3.000.000 Meneruskan Pekerjaan
Sampingan 0 3.000.000
9 1.500.000 Meneruskan Pekerjaan
Sampingan 0 1.500.000
10 800.000 Buruh Tani 200.000 1.000.000
11 0 Tidak Bekerja 0 0
12 1.500.000 Meneruskan Pekerjaan
Sampingan 0 1.500.000
13 0 Tidak Bekerja 0 0
14 1.500.000 Meneruskan Pekerjaan
Sampingan 0 1.500.000
15 0 Tidak Bekerja 0 0
16 0 Ternak Ayam 4.500.000 4.500.000
17 4.500.000 Meneruskan Pekerjaan
Sampingan 0 4.500.000
18 0 Tidak Bekerja 0 0
19 850.000 Petani Tanaman Hias 4.000.000 4.850.000
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Muhamad Dika Yudhistira, lahir pada tanggal 23 Agustus
1990 di Bogor, Jawa Barat. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara,
pasangan Bapak Dedi Umar Farouq dan Ibu Ika Atikah Pujiati. Penulis
menamatkan sekolah dasar di SD Negeri Polisi 4 pada tahun 2002. Kemudian
melanjutkan ke SMP Islam Terpadu Ummul Quro Bogor, lulus pada tahun 2005.
Penulis selanjutnya diterima di SMA Negeri 5 Bogor dan lulus di tahun 2008.
Pada tahun 2008, penulis melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi
yaitu Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB
(USMI). Penulis diterima sebagai mahasiswa program studi mayor Ekonomi
Sumberdaya dan Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen dengan minor
Arsitektur Lanskap dari Departemen Arsitektur Lanskap.
Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif di berbagai kegiatan dan
kepanitiaan. Penulis merupakan anggota Resources and Environtmental
Economics Association (REESA) sebagai staff divisi E-Ship periode 2010-2011.
Setelah itu penulis diberi amanah untuk menjadi kepala divisi E-Ship periode
2011-2012.