i
ANALISIS DAMPAK PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI LAUT
DAERAH TERHADAP KONDISI SOSIAL EKONOMI NELAYAN
(Kasus Daerah Perlindungan Laut Kampung Saporkren, Distrik Waigeo
Selatan, Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat)
NOVITA RANDAN
I34070095
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011
ii
ABSTRACT
NOVITA RANDAN. IMPACT ANALYSIS OF MARINE CONSERVATION
AREAS ESTABLISHMENT ON THE FISHERS SOCIO ECONOMIC
CONDITION (In Case of Marine Protected Areas (MPAs) Saporkren Village,
Waigeo Selatan District, Raja Ampat Regency, West Papua ). Under supervision by ARIF SATRIA.
Damage to coastal and marine resources in Indonesia leads to a
conservation effort for ecosystem sustainability. Marine Protected Areas (MPAs)
are established with the aim to protect marine ecosystems within and ensure the
welfare of fishers living around the area. When MPAs are formed it will have an
impact on limiting the rights of fishers and fishers fishing area changes, and also
affect on the catch of fishers and their income. The goals of this research are to, (1) analyze the impact of MPA
establishment against bundles of fishers’s rights, (2) analyze the impact of MPA
establishment towards the income level of fishers. Results show that, (1) the
establishment of MPA causes a change in the second type rights of fishers which
is utilization type, while the access rights, management rights, and exclusion
rights are retained by the fishers, (2) The establishment of marine protected areas
give a positive effect on the income of fishers . Most of the fishers stated that the
catch and their income increased since the establishment of MPA, caused by
major increase of the fish quantity, which allowed fishers catches fish more easily.
Keywords: Marine Protected Areas (MPAs), bundles of rights, fishers response,
revenue
iii
RINGKASAN
NOVITA RANDAN. ANALISIS DAMPAK PENETAPAN KAWASAN
KONSERVASI LAUT DAERAH TERHADAP KONDISI SOSIAL EKONOMI
NELAYAN (Kasus Daerah Perlindungan Laut Kampung Saporkren, Distrik
Waigeo Selatan, Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat) (Di bawah bimbingan ARIF SATRIA)
Indonesia dikenal dengan negara kepulauan terbesar di dunia dan memiliki
sumberdaya laut dan pesisir yang melimpah. Jutaan penduduk Indonesia hidup di
wilayah pesisir dan menggantungkan hidupnya dari sumberdaya laut yang ada.
Kesejahteraan masyarakat terjamin apabila kelestarian pesisir dan laut tetap
dijaga, tetapi akan mengancam jika sumberdaya yang dimiliki rusak. Salah satu
upaya yang dianggap dapat menjamin keberlanjutan sumberdaya tersebut adalah
penetapan suatu kawasan konservasi laut.
Kabupaten Raja Ampat adalah salah satu kabupaten bahari yang
wilayahnya terdiri dari ratusan pulau besar dan kecil. Posisinya pada jantung
segitiga karang dunia menjadikan kabupaten ini termasuk dalam salah satu
kawasan yang memiliki keanekaragaman hayati laut tropis terkaya (CII 2004
dikutip DKP Raja Ampat 2009). Kekayaan keanekaragam hayati yang dimiliki
Kabupaten Raja Ampat menjadi salah satu pendorong upaya perlindungan
sumberdaya laut. Salah satu kegiatan konservasi yang dilakukan adalah
pembentukan Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) dan yang menjadi zona
ini dari KKLD disebut Daerah Perlindungan Laut (DPL). Tujuan pembentukan
suatu kawasan konservasi, dalam hal ini Daerah Perlindungan Laut (DPL) adalah
menjaga ekosistem di dalam laut baik itu karang, ikan, megabenthos, dan hasil
laut lainnya. Jika semua hasil laut dilindungi maka dapat menjamin kesejahteraan
nelayan sebagai pihak yang menggantungkan hidupnya pada ekosistem tersebut.
Selain itu, ketika DPL dibentuk tentu saja akan berpengaruh pada kondisi sosial
maupun perekonomian para nelayan, untuk mengetahui dampak yang terjadi maka
perlu dilakukan penelitian ini. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dampak
penetapan DPL terhadap seperangkat hal (bundles of right) nelayan, dan
dampaknya terhadap tingkat pendapatan para nelayan.
iv
DPL Yenmangkwan merupakan salah satu DPL yang dikembangkan oleh
Kabupaten Raja Ampat melalui sistem pengelolaan Kawasan Konservasi Laut
Daerah (KKLD), dan berada di Kampung Saporkren, Distrik Waigeo Selatan,
Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat. Kondisi karang dan ikan karang diharapkan
dapat terjaga bahkan meningkat dengan upaya konservasi melalui pembentukan
DPL. Disamping untuk keberlanjutan sumberdaya pesisir dan lautan, DPL
diharapkan juga dapat bermanfaat bagi kehidupan masyarakat sekitar, antara lain
berdampak positif terhadap kesejahteraan nelayan.
Penelitian ini diawali dengan mengumpulkan data dari responden dengan
menggunakan kuesioner. Peneliti melakukan survai pada 39 responden terkait
respon mereka terhadap pembentukan Daerah Perlindungan Laut (DPL)
Yenmangkwan. Survai menunjukkan bahwa hampir seluruh nelayan memiliki
respon yang positif terhadap DPL, artinya nelayan menyetujui adanya
pembentukan kawasan tersebut. Hal ini didukung dengan minimnya konflik sejak
pembentukan DPL diantara masyarakat dengan pihak penanggung jawab DPL.
Pembentukan Daerah Perlindungan Laut (DPL) Yenmangkwan dilakukan
pada akhir Tahun 2007, dan sejak saat itu segala aktivitas khususnya aktivitas
menangkap ikan atau hasil laut lainnya. Perubahan tersebut terlihat pada
perubahan hak nelayan, dimana pada tipe hak nelayan yakni hak pemanfaatan
mengalami perubahan, sedangkan hak akses, pengelolaan, dan hak ekslusi tetap
dimiliki para nelayan. Segala aktivitas yang terkait dengan pengambilan hasil laut
dan berenang ataupun penyelaman sangat ditentang untuk dilakukan oleh
siapapun. Hal yang menarik disini adalah walaupun hak pemanfaatan nelayan
mengalami perubahan tetapi tidak menimbulkan konflik skala besar terkait
kepemilikan sumberdaya laut diantara para aktor yang terlibat. Hal ini didasarkan
pada beberapa hal yaitu: 1) sifat pengelolaan Daerah Perlindungan Laut yang
berbasis pada masyarakat lokal; 2) dukungan pemerintah daerah dan kampung
melalui penglegitimasian Perkam DPL Yenmangkwan No.001/DPL/KP-
SPKRN/2010 tentang Pengelolaan Daerah Perlindungan Laut Berbasis
Masyarakat; 3) adanya kompensasi dari DKP melalui Coremap II bagi kampung
untuk mendukung penyediaan sarana-prasarana kampun; 4) pengalaman sistem
pengelolaan laut tradisional yakni Sasi yang telah diterapkan masyarakat lokal.; 5)
v
dukungan positif oleh tokoh-tokoh masyarakat termasuk tokoh agama sebagai
penanggung jawab dari sistem pengelolaan Sasi.
Salah satu tujuan dari pembentukan DPL adalah meningkatkan pendapatan
atau kesejahteraan masyarakat sekitar. Berdasarkan hasil yang diperoleh dari
lokasi penelitian, hampir seluruh responden menyatakan bahwa sejak
pembentukan DPL, hasil tangkapan dan pendapatan mereka pun bertambah. DPL
dianggap sebagai tempat tabungan ikan, artinya DPL menjadi tempat seluruh ikan
datang untuk berkembang biak dan kemudian akan keluar dari lokasi tersebut
menuju daerah laut di luar zona DPL. Ikan-ikan yang keluar dari lokasi tersebut
kemudian ditangkap oleh para nelayan, dan dinyatakan oleh responden bahwa
ikan di sekitar kawasan DPL mengalami peningkatan kuantitasnya. Artinya bahwa
pembentukan DPL Yenmangkwan di Kampung Saporkren memberikan dampak
positif terhadap hasil tangkapan dan pendapatan nelayan.
vi
ANALISIS DAMPAK PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI LAUT
DAERAH TERHADAP KONDISI SOSIAL EKONOMI NELAYAN
(Kasus Daerah Perlindungan Laut Kampung Saporkren, Distrik Waigeo
Selatan, Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat)
Oleh :
NOVITA RANDAN
I34070095
SKRIPSI
Sebagai Prasyarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains Komunikasi Dan
Pengembangan Masyarakat
Pada
Fakultas Ekologi Manusia
Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011
vii
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN
MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini menyatakan bahwa Skripsi yang disusun oleh:
Nama Mahasiswa : Novita Randan
NIM : I34070095
Judul Proposal
Skripsi
: ANALISIS DAMPAK PENETAPAN KAWASAN
KONSERVASI LAUT DAERAH TERHADAP
KONDISI SOSIAL EKONOMI NELAYAN
(Kasus Daerah Perlindungan Laut Kampung
Saporkren, Distrik Waigeo Selatan, Kabupaten Raja
Ampat, Papua Barat)
Dapat diterima sebagai syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Sains
Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Fakultas Ekologi Manusia,
Institut Pertanian Bogor.
Menyetujui,
Dosen Pembimbing
Dr. Arif Satria, SP, M.Si
NIP. 19710917 199702 1 003
Mengetahui,
Ketua Departemen Sains
Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor
Dr. Soeryo Adiwibowo, MS.
NIP. 19550630 198 103 1 003
Tanggal Lulus Ujian :
viii
LEMBAR PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG
BERJUDUL “ANALISIS DAMPAK PENETAPAN KAWASAN
KONSERVASI LAUT DAERAH TERHADAP KONDISI SOSIAL
EKONOMI NELAYAN (KASUS DAERAH PERLINDUNGAN LAUT
KAMPUNG SAPORKREN, DISTRIK WAIGEO SELATAN, KABUPATEN
RAJA AMPAT, PAPUA BARAT)“ BELUM PERNAH DIAJUKAN
SEBAGAI KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI LAIN ATAU
LEMBAGA LAIN MANAPUN UNTUK TUJUAN MEMPEROLEH GELAR
AKADEMIK TERTENTU. SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA
SKRIPSI INI BENAR-BENAR HASIL KARYA SENDIRI DAN TIDAK
MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU
DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI BAHAN
RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH.
BOGOR, AGUSTUS 2011
NOVITA RANDAN
I34070095
ix
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama lengkap Novita Randan atau sering dipanggil Novi,
dilahirkan di Nabire, Papua pada tanggal 03 November 1989. Penulis adalah anak
pertama dari tiga bersaudara dari pasangan bapak Yohanis Randan dan ibu Ruth.
Pendidikan yang telah ditempuh adalah taman kanak-kanak selama satu tahun di
TK Maranatha Nabire pada Tahun 1994 -1995, sekolah dasar selama enam tahun
di SDN Inpres Oyehe Nabire pada Tahun 1995-2001, sekolah menengah pertama
selama tiga tahun di SMPN 01 Nabire pada Tahun 2001-2004, dan sekolah
menegah atas selama tiga tahun di SMAN 01 Nabire pada Tahun 2004-2007.
Kemudian pada Tahun 2007 penulis melanjutkan pendidikan di Institut Pertanian
Bogor melalui jalur Beasiswa Utusan Daerah IPB (BUD). Penulis merupakan
mahasiswa Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
(SKPM), Fakultas Ekologi Manusia (FEMA).
Penulis mulai mengikuti kegiatan organiSasi diantaranya OSIS dan
Pramuka sejak berada di sekolah menengah pertama hingga sekolah menengah
atas. Kemudian selama di bangku kuliah, penulis juga aktif dalam UKM Kristen
dan OMDA Papua serta pernah mengikuti beberapa kepanitiaan. Penulis juga
pernah meraih prestasi sebagai juara pertama olimpiade kimia SMA tingkat
Kabupaten, juara harapan dua lomba menyanyi tingkat Kabupaten, dan mendapat
juara dua kategori solo dalam acara festival musik PMK-IPB Tahun 2011.
Penulis memiliki hobi membaca, traveling, dan bernyanyi. Penulis juga
memiliki minat yang besar pada isu-isu pengembangan masyarakat serta kajian
sosial pesisir dan kelautan.
x
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
limpahan rahmat dan penyertaan-NYA sehingga penulis dapat menyelesaikan
Skripsi berjudul ”ANALISIS DAMPAK PENETAPAN KAWASAN
KONSERVASI LAUT DAERAH TERHADAP KONDISI SOSIAL
EKONOMI NELAYAN (Kasus Daerah Perlindungan Laut Kampung
Saporkren, Distrik Waigeo Selatan, Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat)”.
Penulisan skripsi ini ditujukan untuk memenuhi syarat mendapatkan gelar Sarjana
Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia,
Institut Pertanian Bogor.
Penelitian yang ditulis dalam skripsi ini bertujuan untuk menganalisis
pengaruh penetapan kawasan konservasi Daerah Perlindungan Laut (DPL)
terhadap seperangkat hak (bundles of right) nelayan. Tujuan lainnya ialah untuk
menganalisis pengaruh DPL terhadap tingkat pendapatan nelayan.
Peneliti mengetahui bahwa karya ini belumlah sempurna, sehingga kritik
dan saran yang membangun sangat diharapkan. Akhir kata penulis berharap
skripsi ini dapat bermanfaat bagi banyak pihak.
Bogor, Agustus 2011
Novita Randan
NIM I34070095
xi
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji dan syukur penulis naikkan pada Tuhan Yesus Kristus, karena atas
berkat dan penyertaan-NYA, penulisan skripsi ini dapat diselesaikan tepat pada
waktunya. Selama penelitian dan penulisan skripsi ini, penulis mendapatkan
banyak dukungan moril maupun materiil dari berbagai pihak. Oleh karena itu,
pada kesempatan ini dengan segala kerendahan hati penulis mengucapkan terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Dr. Arif Satria, SP, M.Si selaku dosen pembimbing skripsi penulis yang
telah membimbing, memberikan saran, koreksi, pemikiran, dan bantuan
materiil sehingga penelitian dan skripsi ini dapat diselesaikan .
2. Ir. Fredian Tonny Nasdian, MS selaku dosen ujian petik yang telah
memberikan saran dalam penulisan skripsi penulis.
3. Dr. Ir. Ekawati S. Wahyuni, Ms dan. Ir. Sutisna Riyanto, MS selaku dosen
penguji dalam sidang skripsi penulis yang telah memberikan saran dan
kritikan bagi penulisan skripsi penulis.
4. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen Departemen Sains Komunikasi dan
Pengembangan Masyarakat yang telah mengajar dan mendidik penulis.
5. Orangtua tercinta yang telah memberikan dukungan, doa, kasih sayang, dan
perhatian bagi penulis. Sangat mencintai kalian.
6. Seluruh sanak saudara (k’ Markus sekeluarga, k’ Ida sekeluarga, k’ Panus
sekeluarga, k’ Mesak, k’ Feri, k’ Tina sekeluarga, dek Ima, dek Nolin, dek
Silva, om Gunadi sekeluarga) yang telah memberikan dukungan, doa, kasih
sayang, dan perhatian penuh bagi penulis.
7. Pemerintah Daerah Kabupaten Nabire yang telah memberikan beasiswa
kepada penulis selama menuntut ilmu di IPB.
8. Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Raja Ampat (Bpk. Manuel),
Koordinator COREMAP II Raja Ampat (Ibu Meidi), Kabag Litbang
Bappeda, seluruh staff Litbang Bappeda, staff DKP, staff COREMAP II,
Kepala Kampung dan aparat Kampung Saporkren yang telah memberikan
informasi selama penulis melakukan penelitian.
xii
9. K’ Esma, k’ Maurits, k’ Adi, k’ Herlin, k’ Bun, k’ Yuni, k’ Carla, dan k’
Daud sekeluarga yang telah memberikan pertolongan, dukungan, dan
informasi selama penulis melakukan pengumpulan data.
10. Tokoh adat, tokoh agama, dan seluruh masyarakat Saporkren yang bersedia
memberikan informasi dan kesempatan bagi penulis untuk melakukan
penelitian.
11. Bapak Pdt. Daniel S. Koamesakh sekeluarga, Bpk. A. Sinaga sekeluarga,
Bpk. Jeksen Simanjutak sekeluarga, Bpk. Shandy sekeluarga, Bpk. Suhendra
sekeluarga, beserta tim pengerja GBI Ciomas yang tidak dapat disebutkan
satu persatu yang senantias memberi dukungan doa dan memotivasi penulis.
12. Rekan pelayan GBI Ciomas (k’ Nofa, k’ Isak, k’ Dial, k’ Jefri, k’ Rini, k’
Sarah, k’ Bagus, k’ Rheiner, David, Bensa, Connie, Angeline, Glory, Eka,
Beatrick, Ikral, Well, Aftian, Andreas, Anna, Angel, Markus, Frisca, Versi,
Helen, Ovie, Puyun, Dewi, Horas, Devi, Desi, Putri, Susi, dan semua yang
belum sempat disebut satu persatu) yang tak pernah lelah memberikan
motivasi, semangat, kritikan yang membangun, dan doa. Sangat menyayangi
kalian.
13. Sahabatku, Reni dan Leni yang memberikan motivasi, dukungan doa, dan
mau menjadi teman berbagi perasaan dan pengetahuan saat suka maupun
duka. Tak akan pernah terlupakan kebersamaan kita.
14. Teman sepembimbingan (Helmi, Diah, Ume, Yochan, Maya, k’ Ratna) yang
memberi saran dan mau bertukar pikiran dengan penulis.
15. Semua teman KPM 44 yang kurang lebih tiga tahun telah bersama dalam
suka dan duka menjalani aktifitas sebagai mahasiswa yang saling
memberikan semangat, dan kerjasamanya selama ini.
16. Christin dan Vlorent yang mau menjadi sahabat dan tempat mencurahkan isi
hati selama di KPM.
17. Semua teman-teman BUD dari Nabire yang memberikan semangat dan doa.
18. Teman-teman kosan perwira 77 yang mau memberikan dukungan buat
penulis.
xiii
19. Serta semua pihak yang telah membantu penulis dalam proses penyelesaian
skripsi ini.
Semoga skripsi ini bermanfaat untuk semua yang membaca dan semoga
kesuksesan saya dapat membanggakan bagi Tuhan, keluarga, dosen, agama,
teman, dan sahabat-sahabatku.
Bogor, Agustus 2011
PENULIS
xiv
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI .................................................................................................... xiv
DAFTAR TABEL ........................................................................................... xvii
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ xix
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... xx
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ...................................................................................... 1
1.2 Masalah Penelitian ................................................................................ 3
1.3 Tujuan Penelitian................................................................................... 3
1.4 Kegunaan Penelitian .............................................................................. 3
BAB II PENDEKATAN TEORITIS .................................................................. 5
2.1 Tinjauan Pustaka ................................................................................... 5
2.1.1 Konservasi .......................................................................................... 5
2.1.1.1 Manfaat dan Tujuan Penetapan Kawasan Konservasi ............................ 5
2.1.1.2 Penetapan Zona Kawasan Konservasi ....................................................... 6
2.1.2 Daerah Perlindungan Laut .................................................................. 8
2.1.2.1 Pengertian, maksud, dan tujuan pembentukan DPL ............................... 8
2.1.2.2 Manfaat dan Sistem Zonasi Daerah Perlindungan Laut (DPL) ............ 9
2.1.2.3 Proses Pembentukan Daerah Perlindungan Laut (DPL) ...................... 10
2.1.2.4 Penentuan Lokasi dan Ukuran DPL ......................................................... 12
2.1.3 Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Berbasis Masyarakat ...................... 12
2.1.4 Hak Kepemilikan .............................................................................. 13
2.1.5 Analisis Kesejahteraan Masyarakat Pesisir ....................................... 15
2.1.5.1 Pendapatan ..................................................................................................... 17
2.1.6 Sikap ................................................................................................ 17
2.2 Kerangka Pemikiran ............................................................................ 18
2.3 Hipotesis ............................................................................................. 21
2.4 Definisi Konseptual ............................................................................. 21
2.5 Definisi Operasional ............................................................................ 22
BAB III PENDEKATAN LAPANGAN ............................................................ 25
3.1 Lokasi dan Waktu ................................................................................ 25
3.2 Teknik Pengumpulan Data................................................................... 25
3.3 Teknik Pengolahan dan Analisis Data .................................................. 28
BAB IV GAMBARAN LOKASI PENELITIAN ............................................... 30
4.1 Kondisi Geografis ............................................................................... 30
4.1.1 Konteks Kabupaten Raja Ampat ....................................................... 30
4.1.2 Konteks Kampung ............................................................................ 31
4.2 Kondisi Demografi .............................................................................. 33
4.2.1 Konteks Kabupaten Raja Ampat ....................................................... 33
4.2.2 Konteks Kampung ............................................................................ 34
xv
4.3 Kondisi Ekonomi................................................................................. 34
4.4 Kondisi Sosial ..................................................................................... 36
4.4.1 Tingkat Pendidikan ........................................................................... 36
4.4.2 Budaya/Tradisi ................................................................................. 37
4.4.3 Kelembagaan Desa ........................................................................... 38
4.5 Potensi Pesisir dan Kelautan ................................................................ 39
4.5.1 Perhubungan ..................................................................................... 39
4.5.2 Sarana dan Prasarana ........................................................................ 39
4.5.3 Sumberdaya Perikanan Tangkap ....................................................... 40
4.5.4 Terumbu Karang............................................................................... 41
4.6 Karakteristik Responden ...................................................................... 41
4.6.1 Jenis Kelamin Responden ................................................................. 41
4.6.2 Tingkat Usia Responden ................................................................... 42
4.6.3 Tingkat pendidikan Formal Responden ............................................. 43
BAB V KAWASAN KONSERVASI LAUT .................................................... 44
5.1 Keanekaragaman Hayati Raja Ampat .................................................. 44
5.1.1 Terumbu Karang............................................................................... 45
5.1.2 Ikan Karang ...................................................................................... 46
5.1.3 Hutan Mangrove ............................................................................... 48
5.1.4 Padang Lamun .................................................................................. 48
5.1.5 Hutan Rawa ...................................................................................... 49
5.1.6 Bahan Galian Tambang .................................................................... 49
5.1.6.1 Nikel ................................................................................................................ 49
5.1.6.2 Minyak Bumi dan Gas ................................................................................ 49
5.2 Kawasan Konservasi Laut Daerah Raja Ampat .................................... 50
5.2.1 KKLD Kepulauan Kofiau-Boo ......................................................... 51
5.2.2 KKLD Misool Timur Selatan............................................................ 52
5.2.3 KKLD Selat Dampier ....................................................................... 53
5.2.4 KKLD Kepulauan Ayau-Asia ........................................................... 54
5.2.5 KKLD Kawe/ Sayang Wayag ........................................................... 55
5.2.6 KKLD Teluk Mayalibit .................................................................... 56
5.3 Daerah Perlindungan Laut (DPL) ........................................................ 57
5.3.1 Sosialisasi Awal Pembentukan DPL ................................................. 58
5.3.2 Survei Lokasi Calon DPL dan Penentuan Lokasi DPL ...................... 59
5.3.3 Penetapan DPL ................................................................................. 59
5.4 Institusi Pengelolaan Daerah Perlindungan Laut .................................. 60
5.4.1 Batasan Wilayah (Territorial Boundary) ........................................... 60
5.4.2 Peraturan (Rules) .............................................................................. 61
5.4.3 Hak (Rights) ..................................................................................... 62
5.4.4 Kewenangan (Authority) ................................................................... 62
5.4.5 Pengawasan (Monitoring) ................................................................. 63
5.4.6 Sanksi (Sanctions) ............................................................................ 64
BAB VI DAMPAK PENETAPAN DPL TERHADAP KONDISI SOSIAL
NELAYAN ........................................................................................................ 65
6.1 Analisis Stakeholder ............................................................................ 65
6.1.1 Pemerintah Daerah ........................................................................... 65
xvi
6.1.2 Coremap ........................................................................................... 66
6.1.3 Masyarakat ....................................................................................... 69
6.2 Sikap Masyarakat Terhadap Penetapan DPL ........................................ 71
6.3 Dampak DPL terhadap Seperangkat Hak (Bundles of right) Nelayan ... 73
6.3.1 Sebelum adanya DPL ....................................................................... 74
6.3.2 Setelah adanya DPL.......................................................................... 75
6.4 Konflik ................................................................................................ 79
BAB VII DAMPAK PENETAPAN DPL TERHADAP KONDISI EKONOMI
NELAYAN ........................................................................................................ 81
7.1 Pola Produksi Nelayan......................................................................... 81
7.1.1 Armada dan Peralatan Tangkap ........................................................ 81
7.1.2 Musim Penangkapan Ikan ................................................................. 83
7.1.3 Lokasi Penangkapan Nelayan ........................................................... 84
7.1.4 Jenis-jenis Hasil Tangkapan.............................................................. 85
7.2 Biaya Investasi .................................................................................... 86
7.3 Biaya Tetap ......................................................................................... 87
7.4 Biaya Variabel ..................................................................................... 88
7.5 Pendapatan dan karakteristik usaha ...................................................... 89
7.6 Hubungan Penetapan DPL Terhadap Pendapatan Nelayan ................... 91
7.6.1 Sebelum Penetapan DPL .................................................................. 92
7.6.2 Setelah Penetapan DPL ..................................................................... 93
BAB VIII PENUTUP ........................................................................................ 98
8.1 Kesimpulan ......................................................................................... 98
8.2 Saran ................................................................................................... 99
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... xxi
LAMPIRAN ................................................................................................... .xxv
xvii
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Rezim Kepemilikan Atas Sumberdaya Alam di
Indonesia…………………………………………………
14
Tabel 2. Status Hak Kepemilikan…………………………………. 15
Tabel 3. Jenis Data Primer dan Sekunder yang dikumpulkan di
Lapangan……………………………………………….
26
Tabel 4. Luas dan Persentase Wilayah di Kabupaten Raja Ampat
menurut Distrik…………………………………………..
31
Tabel 5. Jumlah Penduduk menurut Distrik dan Jenis Kelamin di
Kabupaten Raja Ampat Tahun 2009……………………
33
Tabel 6. Jumlah dan Persentase Penduduk Saporkren menurut
Jenis Kelamin……………………………………………
34
Tabel 7. Jumlah dan Kondisi Sarana-Prasarana di Kampung
Saporkren………………………………………………...
39
Tabel 8. Persentase Tutupan Karang menurut Jenis Karang di
DPL Yenmangkwan Tahun 2009………………………..
41
Tabel 9. Total Spesies Terumbu Karang menurut Lokasi di
Kabupaten Raja Ampat…………………………………
46
Tabel 10. Jumlah Ikan Karang Raja Ampat menurut Hasil Survai
CI, TNC, WWF Tahun 2001 dan 2002…………………..
46
Tabel 11. Luas Kawasan Konservasi Laut Daerah Kabupaten Raja
Ampat…………………………………………………….
50
Tabel 12. Luas Daerah Perlindungan Laut Kabupaten Raja
Ampat………………………………………………….....
57
Tabel 13. Peranan Stakeholders DPL Yenmangkwan Kampung
Saporkren………………………………………………
70
Tabel 14. Jumlah dan Persentase Responden menurut Respons
Responden Terhadap Pembentukan DPL………………...
72
Tabel 15. Perbandingan Model Pengelolaan Sasi dan Model
Pengelolaan DPL di Kampung Saporkren……………….
77
Tabel 16. Jumlah Armada Responden menurut Jenis Perahu dan
Status……………………………………………………..
81
Tabel 17. Jenis Alat Tangkap dan Jenis Tangkapan Nelayan 82
xviii
Saporkren ………………………………………………..
Tabel 18. Kalender Musim Tangkap Nelayan Saporkren………….. 83
Tabel 19. Harga Jual Ikan menurut Jenisnya………………………. 85
Tabel 20. Rataan Biaya Investasi Perikanan Responden menurut
Jenisnya………..................................................................
87
Tabel 21. Rataan Biaya Tetap Responden menurut
Jenisnya…………………………………………………..
88
Tabel 22. Rataan Biaya Variabel Responden menurut Jenisnya
Saporkren………………………………………………...
89
Tabel 23. Pendapatan Rata-rata Nelayan Per Bulan………………... 90
xix
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Daerah Perlindungan Laut…………………………… 9
Gambar 2. Siklus Pengelolaan Sumberdaya Pesisir……………... 11
Gambar 3. Kerangka Pemikiran…………………………………. 20
Gambar 4. Komponen Analisis Data : Model Interaktif………… 28
Gambar 5. Jenis Mata Pencaharian Penduduk Saporkren……….. 35
Gambar 6 Jumlah Responden menurut Golongan Usia……. 42
Gambar 7 Tingkat Pendidikan Formal Responden……………... 43
Gambar 8. Grafik Dominasi Jenis Famili Ikan di Raja Ampat….. 47
Gambar 9. Tahapan Pembentukan DPL Yenmangkwan Kampung
Saporkren……………………………………………..
58
Gambar 10. Perubahan Wilayah Tangkap Nelayan Saporkren…… 60
Gambar 11. Penangggung Jawab Pengelolaan DPL Raja Ampat…. 66
Gambar 12. Struktur Kelembagaan Coremap Dewan
Pemberdayaan Masyarakat Pesisir………………….
68
Gambar 13. Seperangkat Hak Nelayan Sebelum dan Setelah
Penetapan DPL Saporkren…………………………....
78
Gambar 14. Penggolongan Responden menurut Tingkat
Pendapatan Rata-rata Kampung Saporkren…………..
91
Gambar 15. Pernyataan Nelayan Atas Hasil Tangkapan……... 93
Gambar 16. Konsep Ekologis DPL Raja Ampat………………….. 95
Gambar 17. Grafik Hasil Tangkapan Per bulan Kampung
Saporkren Tahun 2009……………………………….
96
xx
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Lokasi Penelitian………………………………. xxv
Lampiran 2. Jumlah dan Luas Kawasan Konservasi Laut di
Indonesia Tahun 2009………………………….
xxvi
Lampiran 3. Jadwal Pelaksanaan Penelitian Tahun 2011…… xxviii
Lampiran 4. Kerangka Sampling……………………………. xxix
Lampiran 5. Daftar Responden……………………………… xxx
Lampiran 6. Dokumentasi Penelitian………………………... xxxi
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Data Kelautan dan Perikanan Tahun 2009 menunjukkan luas daratan
Indonesia adalah 1,9 juta km persegi, sedangkan luas laut Indonesia adalah 5,8
juta km persegi. Luasan ini terdiri dari luas perairan kepulauan sebesar 2,3 juta km
persegi, luas perairan teritorial 0,8 juta km persegi, dan luas perairan Zona
Ekonomi Ekslusif Indonesia (ZEEI) sekitar 2,7 juta km persegi. Selain itu terdapat
pula 17.504 pulau di Indonesia dengan garis pantai sepanjang 95.181 km (KKP
2009), beserta kekayaan sumberdaya di dalam laut maupun kawasan pesisir.
Kekayaan sumberdaya laut dan pesisir yang dimiliki negara kita Indonesia pun
mendapat tantangan bagi keberlanjutan di masa mendatang, akankah tetap terjaga
kelestariannya atau justru mengalami penurunan atau kerusakan ekosistem di
dalam laut dan pesisir.
Keindahan dan kekayaan sumberdaya baik sumberdaya yang dapat pulih dan
sumberdaya tak dapat pulih yang tersebar di seluruh pelosok negeri ini menjadi
salah satu pendukung adanya penetapan kawasan konservasi laut. Hal ini
diperkuat dengan salah satu tujuan dari penetapan kawasan konservasi yakni
melindungi habitat-habitat kritis, mempertahankan, dan meningkatkan kualitas
sumberdaya, melindungi keanekaragaman hayati, dan melindungi proses-proses
ekologi. Ketika kelestarian sumberdaya alam tercapai dan terjadi keseimbangan
ekosistem maka dapat mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat dan
mutu kehidupan manusia (Undang-Undang Konservasi Hayati Tahun 1990 pasal
3 dikutip oleh Hardjasoemantri 1991). Selain itu, menurut Bengen (2000) dikutip
Putra (2001), tujuan konservasi yaitu melindungi ekosistem dan sumberdaya
alam, agar proses-proses ekologi di suatu ekosistem dapat terus berlangsung dan
tetap dipertahankannya produksi bahan makanan dan jasa-jasa lingkungan bagi
kepentingan manusia secara berkelanjutan. Demi tercapainya kelestarian
sumberdaya alam laut, maka salah satu langkah yang dianggap tepat adalah
penetapan Kawasan Konservasi Laut (KKL), dengan anggapan bahwa ketika para
pengguna sumberdaya laut dibatasi hak dan wewenangnya atas potensi laut dan
2
pesisir, maka upaya memperkecil terjadinya kerusakan sumberdaya laut dapat
tercapai.
Kawasan Konservasi Laut (KKL) merupakan kawasan perairan yang
dilindungi, dikelola melalui sistem zonasi, untuk mewujudkan pengelolaan
sumberdaya ikan dan lingkungannya secara berkelanjutan. Sistem KKL di
Kabupaten Raja Ampat adalah sistem Kawasan Konservasi Laut Daerah yang
telah ditetapkan berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Raja Ampat No. 27
Tahun 2008 tentang KKLD Raja Ampat dan salah satu zona inti dari KKLD ini
adalah Daerah Perlindungan Laut (DPL). DPL adalah daerah pesisir dan laut yang
dipilih dan ditetapkan untuk ditutup secara permanen dari kegiatan perikanan dan
pengambilan sumberdaya laut (Coremap II 2009). Namun menjadi hal penting
yang harus diperhatikan adalah dampak dari penetapan kawasan konservasi laut,
dalam hal ini yakni DPL terhadap masyarakat atau nelayan yang berada di sekitar
kawasan tersebut. Masyarakat pesisir atau nelayan telah menggantungkan hidup
mereka pada sumberdaya laut di sekitar mereka dan telah berlangsung turun
temurun. Artinya bahwa mereka berhak pula mengatur dan mengelola
sumberdaya pesisir dan laut di kawasan konservasi.
Kebijakan penetapan kawasan konservasi yaitu DPL terkadang mengundang
kontroversi, terutama berkaitan dengan kegiatan penangkapan ikan oleh nelayan.
Pro dan kontra di kalangan masyarakat pesisir pun terjadi. Sebagian nelayan
beranggapan bahwa dengan adanya Daerah Perlindungan Laut (DPL) akan
berdampak terhadap menurunnya pendapatan nelayan karena tertutupnya sebagian
area penangkapan ikan (fishing ground) mereka dan hak-hak mereka menjadi
terbatas untuk memanfaatkan sumberdaya tersebut. Tetapi ada pula yang
mendukung penetapan kawasan ini, dengan asumsi akan terjadi keberlanjutan bagi
ekosistem pesisir dan laut, serta akan berpengaruh terhadap kesejahteraan nelayan.
Hal inilah yang akan diteliti dalam penelitian ini, dengan menganalisis bagaimana
dampak yang dirasakan oleh nelayan sekitar kawasan DPL terhadap kondisi sosial
ekonomi nelayan, apakah terjadi peningkatan pendapatan setelah ditetapkannya
DPL ini atau justru mengalami penurunan karena keterbatasan hak, dan apakah
terjadi perubahan hak-hak nelayan atas sumberdaya yang ada.
3
1.2 Masalah Penelitian
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, disusunlah dua rumusan masalah
sebagai berikut :
1. Bagaimana dampak penetapan Daerah Perlindungan Laut (DPL) terhadap
seperangkat hak (bundles of right) nelayan?
2. Bagaimana dampak penetapan Daerah Perlindungan Laut (DPL) terhadap
tingkat pendapatan nelayan?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah dipaparkan di atas, maka tujuan
dari penelitian ini adalah untuk :
1. Menganalisis dampak penetapan Daerah Perlindungan Laut (DPL) terhadap
seperangkat hak (bundles of right) nelayan.
2. Menganalisis dampak penetapan Daerah Perlindungan Laut (DPL) terhadap
tingkat pendapatan nelayan.
1.4 Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi berbagai pihak,
diantaranya adalah :
1. Bagi akademisi
Tulisan ini dapat menambah literatur bagi akademisi dalam mengkaji
masalah pengelolaan Daerah Perlindungan Laut yang berkelanjutan dan
dampaknya bagi seperangkat hak nelayan dan tingkat pendapatan nelayan.
2. Bagi pemerintah sebagai pengambil kebijakan
Penelitian ini diharapkan memberikan sumbangsi dalam menyusun
kebijakan-kebijakan yang relevan terhadap penetapan Daerah Perlindungan
Laut dan pengelolaan yang menjamin keberlanjutannya serta secara jelas
mengetahui berdasarkan data kuantitatif tentang manfaat ekonomi
keberadaan KKL bagi masyarakat nelayan setempat.
4
3. Bagi Masyarakat Pesisir
Penelitian ini diharapkan menjadi pedoman bagi nelayan dalam mengelola
Daerah Perlindungan Laut (DPL) dengan kemampuan dan potensi
masyarakat setempat.
5
BAB II
PENDEKATAN TEORITIS
2.1 Tinjauan Pustaka
2.1.1 Konservasi
Salah satu upaya yang dianggap efektif untuk dilakukan dalam melindungi
ekosistem dan sumberdaya adalah dengan menetapkan kawasan konservasi yang
bertujuan melindungi habitat-habitat kritis, mempertahankan, dan meningkatkan
kualitas sumberdaya, melindungi keanekaragaman hayati, dan melindungi proses-
proses ekologi. Kawasan Konservasi Laut (KKL) meliputi; Kawasan Konservasi
Laut Daerah (KKLD), Taman Nasional Laut (TNL), Taman Wisata Alam Laut
(TWAL), Cagar Alam Laut (CAL), Suaka Margasatwa Laut (SML), Daerah
Perlindungan Laut (DPL), dan Suaka Perikanan (SP). Tujuan dari penetapan
kawasan konservasi yang tertera dalam pasal 3 Undang-undang Konservasi Hayati
(UUKH Tahun 1990) yang dikutip oleh Hardjasoemantri (1991) adalah sebagai
berikut:
“Konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya bertujuan
mengusahakan terwujudnya kelestarian sumberdaya alam hayati serta keseimbangan ekosistemnya sehingga dapat lebih mendukung upaya
peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia”.
Hingga Tahun 2009, jumlah KKL di Indonesia berjumlah 89 dengan luas
keseluruhan adalah 22.175.609 ha. Jumlah dan luasan Kawasan Konservasi Laut
(KKL) di Indonesia Tahun 2009 secara terperinci dapat dilihat pada lampiran 2.
2.1.1.1 Manfaat dan Tujuan Penetapan Kawasan Konservasi
Kawasan konservasi di pesisir dan laut memiliki peran utama sebagai
berikut (Agardy dan Barr et al. 1997 dikutip Bengen 2001):
1. Melindungi keanekaragaman hayati serta struktur fungsi dan integrasi
ekosistem.
2. Meningkatkan hasil perikanan. Kawasan konservasi dapat melindungi
daerah pemijahan, pembesaran dan mencari makanan, meningkatkan
kapasitas reproduksi dan stok sumberdaya ikan.
6
3. Menyediakan tempat rekreasi dan pariwisata. Kawasan konservasi dapat
menyediakan tempat untuk kegiatan rekreasi dan pariwisata alam yang
bernilai ekologis dan estetika.
4. Memperluas pengetahuan dan pemahaman tentang ekosistem. Kawasan
konservasi dapat meningkatkan pemahaman dan kepedulian masyarakat
terhadap ekosistem pesisir dan laut, menyediakan tempat yang relatif tidak
terganggu untuk observasi dan monitoring jangka panjang, dan berperan
penting bagi pendidikan masyarakat berkaitan dengan pentingnya konservasi
laut dan dampak aktivitas menusia terhadap keanekaragaman hayati laut.
5. Memberikan manfaat sosial ekonomi bagi masyarakat pesisir. Kawasan
konservasi dapat membantu masyarakat lokal dalam mempertahankan basis
ekonominya melalui pemanfaatan sumberdaya dan jasa lingkungan secara
optimal dan berkelanjutan.
Pada pasal empat dari UUKH Tahun 1990 dinyatakan bahwa konservasi
sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya merupakan tanggung jawab dan
kewajiban pemerintah serta masyarakat. Artinya bahwa pengelolaan kawasan
konservasi dapat dilakukan oleh siapa saja termasuk masyarakat. Namun dalam
kenyataannya, yang lebih berwenang adalah pihak pemerintah baik pusat maupun
daerah yang menyatakan dirinya sebagai pihak yang mencetuskan dan pemilik
kawasan konservasi sedangkan masyarakat terbatas dalam hal pengelolaan.
Mengingat pentingnya kawasan konservasi terhadap peningkatan kesejahteraan
masyarakat dan mutu kehidupan manusia secara khusus masyarakat lokal maka
masyarakat juga mempunyai kewajiban dan tanggung jawab dalam kegiatan
konservasi. Hal ini nantinya akan berimplikasi dalam penerapan proses konservasi
yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, dan monitoring.
2.1.1.2 Penetapan Zona Kawasan Konservasi
Sistem zonasi kawasan konservasi adalah pembagian wilayah di dalam
kawasan menjadi zona-zona guna menentukan kegiatan-kegiatan pengelolaan
yang diperlukan secara tepat dan efektif dalam rangka mencapai tujuan
7
pengelolaan kawasan konservasi sesuai dengan fungsi dan peruntukkannya
(DEPHUT 1995 dikutip Manoppo 2002).
Masalah yang penting dalam pengalokasian suatu kawasan konservasi
adalah menetapkan batas-batas atau zona-zona. Hal ini menjadi penting karena
penentuan zona ini akan menentukan siapa pelaku yang berhak mengelola dan
memanfaatkan bahkan hal ini bisa memicu terjadinya konflik. Menurut Bengen
(2001), secara umum zona-zona di kawasan konservasi dikelompokkan menjadi
tiga zona yaitu:
1. Zona inti atau zona perlindungan: habitat di zona ini memiliki nilai
konservasi yang tinggi oleh karena itu zona ini harus dikelola dengan tingkat
perlindungan yang tinggi serta tidak dapat diijinkan adanya aktivitas
manusia khususnya mengeksploitasi.
2. Zona penyangga: zona ini bersifat lebih terbuka tetapi tetap dikontrol dan
beberapa bentuk pemanfaatan masih dapat diijinkan. Penyangga di
sekeliling zona perlindungan ditujukan untuk menjaga kawasan konservasi
dari berbagai aktifitas pemanfaatan yang mengganggu dan melindungi
kawasan dari pengaruh eksternal.
3. Zona pemanfaatan: lokasi ini masih memiliki nilai konservasi tertentu tetapi
dapat mentolerir berbagai tipe pemanfaatan oleh manusia, dan layak bagi
beragam kegiatan eksploitasi yang diijinkan dalam suatu kawasan
konservasi.
Penetapan zonasi di atas hampir berlaku di seluruh kawasan konservasi di
Indonesia walaupun ada kawasan yang memiliki batas zonasi lebih dari ketiga
zona di atas. Ketika penetapan zonasi dilakukan menjadi hal yang penting untuk
diperhatikan adalah komunitas lokal atau masyarakat pesisir yang beroperasi di
zona-zona tersebut. Banyak kasus dilapangan membuktikan, area yang sering
dilalui nelayan lokal harus di ambil dan dijadikan zona terlindungi bahkan nelayan
tersebut tidak boleh melintas atau beroperasi di area tersebut. Padahal area yang
termasuk zona terlindungi merupakan area yang sudah sejak lama mereka
manfaatkan dan kelola. Hal ini lah yang justru menimbulkan konflik, sehingga
ketika penetapan zonasi harus melibatkan peran masyarakat lokal guna
meminimalisir konflik yang akan terjadi.
8
2.1.2 Daerah Perlindungan Laut
2.1.2.1 Pengertian, maksud, dan tujuan pembentukan DPL
Daerah Perlindungan Laut (DPL) adalah salah satu bentuk pengelolaan
sumberdaya pesisir dan lautan. DPL didefinisikan sebagai area larang ambil (no
take zone area) dan dikelola oleh masyarakat lokal (Coremap II 2009). Daerah
Perlindungan Laut yang yang dikelola oleh masyarakat lokal disebut DPL-BM
(Daerah Perlindungan Laut Berbasis Masyarakat). DPL-BM merupakan daerah
pesisir dan laut yang dipilih dan ditetapkan untuk ditutup secara permanen dari
kegiatan perikanan dan pengambilan sumberdaya serta dikelola oleh masyarakat
setempat. Demikian pula kegiatan manusia di dalam kawasan DPL-BM diatur
atau sedapat mungkin dibatasi. Pengaturan, pembatasan, dan larangan kegiatan
tersebut ditetapkan oleh masyarakat dan pemerintah setempat dalam bentuk
peraturan kampung (Coremap II 2009).
Prinsip dasar dari DPL adalah zona larang ambil bersifat permanen dan tidak
untuk dibuka pada waktu-waktu tertentu. Daerah Perlindungan Laut dimaksudkan
untuk :
1. Mengurangi kegiatan bersifat destruktif terhadap sumberdaya laut dan
pesisir, khususnya bagi terumbu karang dan mangrove (Salm et al. 2000
dikutip Setianingsih 2010)
2. Melindungi spesies langka dan habitatnya, serta mempertahankan produksi
perikanan (Salm et al. 2000 dikutip Setianingsih 2010; Coremap II 2009)
3. Dapat merehabilitasi/menjaga sumberdaya laut akibat aktifitas yang merusak
(Salm et al. 2000 dikutip Setianingsih 2010; Coremap II 2009)
4. Mengembangkan kegiatan yang dapat meningkatkan
perekonomian/pendapatan bagi masyarakat lokal (Salm et al. 2000 dikutip
Setianingsih 2010; Coremap II 2009)
5. Mendidik masyarakat lokal dalam hal perlindungan laut/konservasi sehingga
dapat meningkatkan rasa tanggung jawab dan kewajiban masyarakat
(Coremap II 2009)
DPL secara khusus dapat ditetapkan di suatu kawasan yang aktifitas
perikanannya sudah berlangsung lama dan habitat terumbu karangnya mungkin
9
mulai rusak oleh aktifitas manusia. Perlindungan terhadap kawasan terumbu
karang dari kegiatan penangkapan ikan dan aktifitas manusia lainnya akan
memberikan kesempatan kepada terumbu karang dan organisme laut lainnya yang
sudah rusak atau binasa untuk kembali hidup dan berkembang biak. Nantinya
kawasan terumbu karang yang kaya nutrisi, menyediakan tempat hidup dan
makanan bagi ikan-ikan untuk hidup, makan, tumbuh, dan berkembang biak.
Sumber : DKP Raja Ampat (2009)
Gambar 1. Daerah Perlindungan Laut
2.1.2.2 Manfaat dan Sistem Zonasi Daerah Perlindungan Laut (DPL)
COREMAP II (2008) menyatakan bahwa manfaat yang dapat diperoleh dari
Daerah Perlindungan Laut diantaranya adalah, (i) meningkatkan hasil tangkapan
perikanan lokal, (ii) keuntungan ekonomis karena pemeliharaan ikan yang lebih
baik, (iii) menciptakan kesempatan kerja, dan (iv) membantu penegakan aturan.
DPL harus memiliki zona inti, yaitu suatu areal yang di dalamnya kegiatan
penangkapan ikan dan aktivitas pengambilan sumberdaya lainnya sama sekali
tidak diperbolehkan (no take zone area). Begitu juga kegiatan yang dapat merusak
terumbu karang di zona inti seperti pengambilan karang, pelepasan jangkar, serta
penggunaan galah untuk mendorong perahu di atas terumbu karang juga dilarang.
Aturan larang ambil sangat penting di zona inti. Namun demikian, keputusan
pelarangan tersebut tergantung pada keinginan masyarakat itu sendiri.
10
Pada umumnya, DPL-BM memiliki zona inti dan zona penyangga. Zona
penyangga adalah suatu kawasan di sekeliling zona inti yang memperbolehkan
beberapa jenis kegiatan, termasuk penangkapan ikan. Penangkapan yang
diperbolehkan adalah dengan menggunakan cara tradisional seperti memancing,
memanah, dan menggunakan perahu tradisional. Kegiatan penyelaman dengan
menggunakan scuba dan snorkeling juga diizinkan. Sementara itu, kegiatan
penangkapan ikan secara komersil seperti penggunaan perahu berlampu, dan
penggunaan beberapa jenis alat tangkap yang dapat merusak terumbu karang tetap
dilarang dalam zona penyangga ini (Coremap II 2009).
2.1.2.3 Proses Pembentukan Daerah Perlindungan Laut (DPL)
Daerah Perlindungan Laut ditetapkan dengan tujuan menjamin keberlanjutan
dari sumberdaya laut dan memberikan kesempatan kepada masyarakat sebagai
pengelola utama. Daerah Perlindungan Laut Berbasis Masyarakat (DPL-BM)
dibuat dan ditetapkan oleh masyarakat bersama-sama dengan pemerintah setempat
melalui suatu peraturan yang disepakati bersama atau kesepakatan kampung.
Adapun langkah-langkah yang ditempuh dalam pembentukan DPL adalah sebagai
berikut (Coremap II 2009):
1. Pengenalan masyarakat dan identifikasi isu
Langkah ini merupakan upaya mengajak masyarakat memahami peran DPL-
BM dan manfaat yang diperoleh. Kemudian mengidentifikasi isu dengan
mengumpulkan data dasar mengenai kondisi desa dan mengidentifikasi isu
utama.
2. Persiapan program DPL-BM
Pada langkah kedua, kegiatan yang dilakukan adalah pendidikan lingkungan
hidup terhadap masyarakat lokal, pelatihan yang bertujuan membangun
kapasitas masyarakat, pemetaan terumbu karang, dan pembentukan
kelompok pengelola DPL-BM.
3. Konsultasi dan pembuatan aturan
Langkah ini dilakukan secara formal dan informal demi mendapatkan
kesepakatan terhadap, lokasi DPL, zona DPL, ukuran atau luasan DPL, hal-
11
hal yang dilarang dan diperbolehkan dalam zona yang ditetapkan, sanksi dan
kewajiban pengelola, serta rancangan peraturan desa.
4. Persetujuan aturan
Ketika masyarakat dan pihak yang berkepentingan telah bersepakat untuk
membentuk DPL maka selanjutnya adalah membuat persetujuan aturan yang
telah didiskusikan. Aturan desa tentang DPL-BM ditetapkan secara formal
melalui peraturan desa yang didukung mayoritas masyarakat setempat,
ditandatangani oleh pemerintah desa dan lembaga-lembaga perwakilan di
desa dan diteruskan kepada Kepala Kecamatan dan Bupati .
5. Pelaksanaan dan pemantauan
Langkah terakhir yang dilakukan adalah pemasangan tanda batas permanen;
pemasangan papan peraturan dan informasi; peresmian DPL; patroli dan
pemantauan secara rutin; pelaksanaan dan penegakan peraturan DPL; serta
evaluasi.
Secara umum, konsep yang diterapkan oleh Coremap dalam proses
pembentukan DPL-BM adalah mengikuti siklus pengelolaan sumberdaya pesisir,
mulai dari identifikasi isu, persiapan perencanaan, pendanaan dan adopsi formal,
pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi.
Sumber : DKP Raja Ampat (2009)
Gambar 2. Siklus Pengelolaan Sumberdaya Pesisir
12
2.1.2.4 Penentuan Lokasi dan Ukuran DPL
Adapun beberapa syarat penentuan lokasi dan ukuran Daerah Perlindungan
Laut yang digunakan oleh Coremap II Kabupaten Raja Ampat, antara lain adalah
(Coremap II 2008):
1. Kondisi tutupan karang hidup (karang keras dan lunak) dalam kondisi yang
baik (tutupan karang di atas 50 persen)
2. Kepadatan ikan dan keanekaragaman organisme laut lainnya cukup tinggi
3. Merupakan terumbu karang “sumber” (source reef)
4. Mencakup 10 persen-20 persen dari keseluruhan habitat terumbu karang
yang ada di wilayah suatu desa
5. Habitat terumbu karang yang mencakup rataan dan kemiringan karang dan
secara ideal memiliki lamun dan habitat mangrove (tetapi tidak harus selalu
memiliki lamun dan mangrove)
6. Suatu kawasan yang diketahui merupakan tempat ikan bertelur
7. Lokasinya masih berada dalam jangkauan penglihatan masyarakat sehingga
mudah diamati dan memudahkan pemantauan serta penerapan aturan yang
berlaku
2.1.3 Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Berbasis Masyarakat
Melimpahnya sumberdaya alam pesisir dan laut yang dimiliki Indonesia
tentunya memerlukan strategi pengelolaan yang dapat secara efektif
meningkatkan kuantitas di segala bidang, baik ekonomi masyarakat maupun
konservasi dan kelestarian sumberdaya alam. Upaya tersebut dilatar belakangi
oleh kenyataan bahwa pendekatan dari atas (top down) yang menempatkan
pemerintah sebagai pemegang peran utama, terbukti tidak efektif. Menurut Perez
(1995) seperti dikutip oleh Saad (2003), proses pengelolaan tersebut
mengakibatkan hilangnya sistem masyarakat dan tata nilai yang sudah berlaku
secara turun temurun.
Hal tersebut mendorong para ahli untuk merekomendasikan pengembangan
pengelolaan bersama atau pengelolaan perikanan berbasis masyarakat (community
based fisheries management). Saad (2003) mendefinisikan pengelolaan perikanan
berbasis masyarakat sebagai pembagian tanggung jawab dan otoritas antara
13
pemerintah setempat dan sumberdaya setempat (local community) untuk
mengelola sumberdaya perikanan. Secara formal dan informal, pengelolaan model
ini diwujudkan dalam bentuk penyerahan hak milik (property rights) atas
sumberdaya perikanan kepada masyarakat. Selain itu menurut Ruddle (1999)
seperti dikutip oleh Ruddle dan Satria (2010), unsur-unsur pengelolaan
sumberdaya perikanan berbasis masyarakat antara lain :
1. Territorial Boundary (batasan wilayah)
2. Rules (peraturan)
3. Authority (kewenangan)
4. Monitoring (pengawasan)
5. Sanctions (sanksi)
2.1.4 Hak Kepemilikan
Ketika berbicara pemanfaatan dan pengelolaan suatu kawasan konservasi
ataupun sumberdaya alam secara umum, maka tidak terlepas dari konteks hak
kepemilikan para pengguna terhadap sumberdaya alam yang akan dimanfaatkan.
Dengan adanya kejelasan akan hak milik seseorang maka akan menentukan dan
membatasi sejauh mana ia dapat mengambil dan mengelola sumberdaya dan juga
dapat menjauhi terjadinya konflik kepentingan atas sumberdaya alam yang
menjadi objek. Hak-hak tersebut akan menentukan status kepemilikan seseorang
atau kelompok atas sumberdaya.
Menurut Ostrom dan Schlager yang dikutip Satria (2009), terdapat lima tipe
hak-hak dalam pengelolaan sumberdaya alam, yaitu:
1. Hak akses (access right) adalah hak untuk memasuki wilayah sumberdaya
yang memiliki batas-batas yang jelas dan untuk menikmati manfaat non
ekstraktif.
2. Hak pemanfaatan (withdrawal right) adalah hak untuk memanfaatkan
sumberdaya.
3. Hak pengelolaan (management right) adalah hak untuk turut serta dalam
pengelolaan sumberdaya.
14
4. Hak ekslusi (exclusion right) adalah hak untuk menentukan siapa yang boleh
memiliki hak akses dan bagaimana hak tersebut dialihkan ke pihak lain.
5. Hak pengalihan (alienation right) adalah hak untuk menjual atau
menyewakan sebagian atau seluruh hak kolekif tersebut di atas.
Terkait dengan hak kepemilikan atas sumberdaya, maka penting untuk
diketahui rezim-rezim kepemilikan yaitu akses terbuka (open access), negara
(state property), swasta (private property), dan masyarakat (communal property).
Tabel 1. Rezim Kepemilikan Atas Sumberdaya Alam di Indonesia
Rezim
kepemilikan
Keterangan
Akses terbuka
(open access)
Akses terbuka, tidak ada pengaturan tentang apa, siapa,
kapan, dimana, dan bagaimana terjadinya persaingan
bebas. Pada rezim ini, tragedy of the commons sering
terjadi. Selain itu kerusakan sumberdaya, konflik antara
pelaku, dan kesenjangan ekonomi pun mengikutinya.
Negara (state
property)
Hak kepemilikan berada di tingkat daerah hingga pusat
dan berlaku pada sumberdaya yang menjadi hajat hidup
orang banyak. Pada rezim ini sering terjadi konflik antara
pemerintah pusat dan daerah atau dengan pihak lainnya.
Swasta (private
property)
Hak kepemilikan lebih bersifat temporal atau dalam jangka
waktu tertentu karena izin pemanfaatan yang diberikan
pemerintah. Rezim ini sangat berpotensi menimbulkan
konflik dengan masyarakat setempat dan terjadinya kesenjangan ekonomi.
Komunal atau
masyarakat
Rezim ini ditandai oleh hak kepemilikan yang sifatnya
sudah turun temurun, lokal, dan spesifik. Peraturan yang
ada dibuat berdasarkan pengetahuan lokal dan
pelaksanaannya lebih efektif. Kekurangan rezim ini adalah
lemahnya legitimasi secara formal dari pemerintah atas aturan-aturan lokal yang ada.
Sumber : Satria (2009)
Hak-hak di atas dikategorikan berdasarkan dimiliki atau tidaknya hak
tersebut oleh setiap pemangku kepentingan. Orang yang memiliki hak tersebut
juga diklasifikasikan ke dalam lima kategori, seperti tertera pada tabel dibawah
ini:
15
Tabel 2. Status Hak Kepemilikan
Hak Milik Owner Proprietor Claimant Authorized
user
Authorized
entrant
Access x x x x x
Withdrawal x x x x
Management x x x
Exclusion x x
Alienation x
Sumber : Ostrom dan Schlager (1996) dikutip Satria (2009)
2.1.5 Analisis Kesejahteraan Masyarakat Pesisir
Masyarakat pesisir merupakan masyarakat yang tinggal atau berada di
wilayah pesisir, dan sebagian besar hidupnya bergantung pada kekayaan
sumberdaya alam yang ada di wilayah pesisir. Secara turun temurun mereka
bermata pencaharian sebagai nelayan, pedagang antar pulau, dan lain-lain.
Nikijuluw (2005) menggolongkan masyarakat pesisir dalam dua tipe kelompok
yaitu kelompok non-perikanan (penjual jasa pariwisata, jasa transportasi, dan yang
memanfaatkan sumberdaya non hayati laut dan pesisir) dan kelompok perikanan
(nelayan pemilik, buruh nelayan, pembudidaya ikan, dan pedagang ikan).
Secara umum, yang menjadi pembeda masyarakat pesisir dengan
masyarakat desa dan kota adalah dari aspek kondisi sosial dan ekonomi mereka
yang umumnya terbelakang (Rahardjo 1996 dikutip Mustamin 2003). Penyebab
dari kemiskinan masyarakat pesisir dapat dilihat dari beberapa faktor, diantaranya
adalah :
1. Tidak adanya akses ke sumber modal, akses terhadap teknologi, dan akses
terhadap pasar (Dahuri 2000 dikutip Kamarijah 2003).
2. Pendapatan yang relatif rendah (Rahardjo 1996 dikutip Mustamin 2003;
Satria 2002).
3. Kurangnya kelembagaan penunjang (Rahardjo 1996 dikutip Mustamin
2003).
4. Lemahnya insfrastruktur baik sosial, fisik, maupun ekonomi (Rahardjo 1996
dikutip Mustamin 2003; Dahuri 2000 dikutip Kamarijah 2003).
16
5. Rendahnya tingkat pendidikan dan status kesehatan (Rahardjo 1996 dikutip
Mustamin 2003; Dahuri 2000 dikutip Kamarijah 2003).
6. Kebijakan pemerintah yang berorientasi pada produksi sehingga
menyebabkan tangkap lebih (over fishing) (Tindjbate 2001 dikutip Karim
2005).
Kemiskinan dapat dibedakan berdasarkan ukurannya menjadi dua macam
yaitu kemiskinan tetap (absolute) dan kemiskinan relatif. Kemiskinan tetap
(absolute) merupakan kemiskinan yang dilihat dari ukuran garis kemiskinan
(Satria 2002; Ibrahim 2007). Garis kemiskinan pun bermacam-macam bergantung
pada institusi yang mengeluarkan ukurannya, diantaranya :
1. Menurut BPS, kemiskinan dapat diukur dengan cara membandingkan total
pengeluaran penduduk per kapita per bulan terhadap garis kemiskinan yang
berlaku yakni tingkat pengeluaran untuk makanan kurang dari 2100 kalori
(Satria 2002; Ibrahim 2007).
2. Selain itu, Sajogjo menggunakan ukuran pengeluaran konsumsi beras untuk
mengukur kemiskinan. Menurut garis kemiskinan Sajogjo, kategorinya
berdasarkan tingkat pengeluaran setara kilogram beras perkapita pertahun
adalah sebagai berikut (Sajogjo dikutip Satria 2002; Sajogjo 1977 dikutip
Kamarijah 2003) :
a. Sangat miskin : untuk desa adalah 180 kg beras/tahun sedangkan
penduduk dikota adalah 270 kg beras/tahun.
b. Miskin sekali : untuk daerah pedesaan setara dengan 240 kg beras/tahun,
sedangkan penduduk perkotaan setara dengan 360 kg beras/tahun.
c. Miskin : untuk pedesaan adalah 320 kg beras/tahun, sedangkan
perkotaan setara dengan 480 kg beras/tahun.
Ukuran kemiskinan kedua adalah kemiskinan relatif, dimana pengukurannya
dengan membandingkan satu kelompok pendapatan dengan kelompok pendapatan
lainnya (Satria 2002) atau didasarkan pada pertimbangan individual untuk
meningkatkan tingkat kesejahteraan (Raharto dan Romdiati 2002 dikutip Ibrahim
2007).
17
Kesejahteraan masyarakat dapat dianalisis berdasarkan data kependudukan,
kesehatan masyarakat, pendidikan, tingkat kelahiran atau fertilitas, kriminalitas,
serta perumahan dan lingkungan (BPS 2001). Sedangkan karakteristik sosial
ekonomi penduduk yang lebih spesifik diperoleh berdasarkan:
1. Konsumsi/pengeluaran/pendapatan.
2. Kesehatan, pendidikan, perumahan, dan pemukiman.
3. Sosial budaya, kesejahteraan rumah tangga, dan kriminalitas.
2.1.5.1 Pendapatan
Analisis pendapatan bertujuan untuk mengetahui komponen-komponen
input dan output yang digunakan dalam usaha, serta besarnya keuntungan yang
diperoleh dari suatu usaha. Keuntungan usaha diperoleh dari selisih antara total
penerimaan (total revenue) dan total biaya (total cost). Apabila penerimaan total
lebih besar dibandingkan dengan biaya total maka usaha tersebut dikatakan
untung, jika sebaliknya usaha tersebut dikatakan merugi (Djamin 1984 dikutip
Lee Won Jae 2010). Adapun formula yang digunakan untuk menghitung
keuntungan usaha adalah :
Keterangan : µ = Keuntungan (rupiah)
TR = Total Penerimaan (rupiah)
TC = Total Biaya (rupiah)
2.1.6 Sikap
Merujuk kepada Thurstone, Rokeach, Baron & Byrne, Myres, dan Gerungan
seperti dikutip Walgito (2003), sikap mengandung tiga komponen yang
membentuk struktur sikap, yaitu:
µ = TR-TC
18
1. Komponen kognitif (komponen perseptual)
Yaitu komponen yang berkaitan dengan pengetahuan, pandangan,
keyakinan, yaitu hal-hal yang berhubungan dengan bagaimana orang
mempersepsi terhadap objek sikap.
2. Komponen afektif (komponen emosional)
Yaitu komponen yang berhubungan dengan rasa senang atau tidak senang
terhadap objek sikap. Rasa senang merupakan hal yang positif, sedangkan
rasa tidak senang merupakan hal yang negatif.
3. Komponen konatif (komponen perilaku)
Yaitu komponen yang berhubungan dengan kecenderungan bertindak
terhadap objek sikap. Komponen ini menunjukkan intensitas sikap, yaitu
menunjukkan besar kecilnya kecenderungan bertindak atau berperilaku
seseorang terhadap objek sikap.
2.2 Kerangka Pemikiran
Konservasi adalah salah satu upaya atau tindakan yang ditujukan untuk
melindungi ekosistem dan sumberdaya hayati. Penetapan suatu wilayah untuk
menjadi Daerah Perlindungan Laut (DPL) dilandasi dua faktor pendorong.
Pertama, adanya kerusakan ekosistem pesisir dan laut seperti kerusakan terumbu
karang, erosi pantai, kerusakan ekosistem mangrove, dan lain-lain. Menurunnya
keanekaragaman hayati pesisir dan laut dapat mengancam keberlanjutan
sumberdaya di masa depan sehingga dibutuhkan upaya untuk menetapkan
kawasan konservasi guna melindungi keanekaragaman hayati serta struktur fungsi
dan integrasi ekosistem (Agardy dan Barr et al. 1997 dikutip Bengen 2001).
Faktor kedua yang menjadi pendorong penetapan DPL adalah sumberdaya alam
yang melimpah. Kekayaan laut Indonesia telah diakui, khususnya di daerah Timur
Indonesia, oleh karena itu untuk menjamin keberlanjutan kelimpahan sumberdaya
tersebut, konservasi diyakini sebagai upaya yang efektif.
Selain tujuan konservasi laut untuk melindungi ekosistem sumberdaya
pesisir dan laut, tujuan lainnya adalah memberikan manfaat sosial ekonomi bagi
masyarakat pesisir atau nelayan (Agardy dan Barr et al. 1997 dalam Bengen
2001). Kawasan konservasi dapat membantu masyarakat lokal dalam
19
mempertahankan basis ekonominya melalui pemanfaatan sumberdaya dan jasa
lingkungan secara optimal dan berkelanjutan. Hal ini juga dipertegas dalam
Undang-undang Konservasi Hayati (UUKH) pasal 3 Tahun 1990 tentang tujuan
dari penetapan kawasan konservasi adalah mengusahakan terwujudnya kelestarian
sumberdaya alam hayati serta keseimbangan ekosistemnya sehingga dapat lebih
mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan
manusia. Namun bagaimana kenyataan di lapangan, itulah yang menjadi fokus
penelitian ini khususnya dampak penetapan DPL terhadap kondisi sosial ekonomi
nelayan sebagai pihak yang telah turun temurun bergantung pada sumberdaya
tersebut.
Nelayan sebagai bagian dari Daerah Perlindungan Laut tentu saja memiliki
hak-hak untuk memasuki kawasan, mengambil, mengolah, menjaga, dan
mendapatkan hasil dari sumberdaya yang ada di dalam DPL. Seperangkat hak
nelayan meliputi hak akses (access right), hak pemanfaatan (withdrawal right),
hak pengelolaan (management right), dan hak ekslusi (exclusion right). Hak-hak
tersebut telah dimiliki sejak sebelum wilayah pesisir dan laut ditetapkan sebagai
kawasan konservasi. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana
seperangkat hak tersebut setelah ditetapkan DPL, apakah mengalami perubahan
atau tidak. Respon masyarakat mengenai keberadaan DPL dan sistem zonasi,
dampak bagi seperangkat hak nelayan dan keuntungan yang didapatkan akan
menjadi pengukuran bagaimana pengaruh penetapan DPL terhadap seperangkat
hak yang dimiliki mereka.
Penetapan DPL tentu saja membentuk sistem zonasi pengelolaan
sumberdaya laut dan akan mempengaruhi hak nelayan dalam memanfaatkan
sumberdaya yang ada. Ketika sistem zonasi ditentukan, maka akan terjadi
perubahan seperangkat hak tersebut, dan akan berpengaruh terhadap hasil
tangkapan dan pendapatan nelayan. Bagaimanakah respon nelayan terhadap
keberadaan DPL dan perubahan sistem zonasi akan menjadi salah satu fokus dari
penelitian ini. Secara umum keterkaitan antar variabel-variabel dapat digambarkan
dalam kerangka pemikiran sebagai berikut :
20
Keterangan : Hubungan Pengaruh
Fokus aspek yang dikaji
Gambar 3. Kerangka Pemikiran
Faktor pendorong penetapan kawasan konservasi
Penurunan kuantitas dan
kualitas sumberdaya pesisir
dan laut
Kekayaan sumberdaya
pesisir dan laut
Kondisi sosial ekonomi nelayan
Sebelum Sebelum
Sesudah Sesudah
Kondisi ekonomi
Tingkat Pendapatan
Nelayan
Kondisi Sosial
Seperangkat hak nelayan (bundles Of right)
Hak akses (access right)
Hak pemanfaatan
(withdrawal right)
Hak pengelolaan
(management right)
Hak ekslusi (exclusion right)
Respon nelayan
Tingkat pengetahuan nelayan terhadap
DPL dan perubahan zonasi
Tingkat afeksi nelayan terhadap DPL dan
perubahan zonasi
Penetapan Daerah
Perlindungan Laut (DPL)
Perubahan Zonasi
21
2.3 Hipotesis
Berdasarkan kerangka pemikiran, maka hipotesis penelitian adalah sebagai
berikut :
1. Terdapat hubungan antara penetapan Daerah Perlindungan Laut (DPL)
terhadap perubahan seperangkat hak (bundles of right) nelayan.
2. Terdapat hubungan antara penetapan Daerah Perlindungan Laut (DPL)
terhadap tingkat pendapatan nelayan.
2.4 Definisi Konseptual
Penelitian ini menggunakan beberapa istilah konseptual yang digunakan
sebagai pengertian awal beberapa variabel dari penelitian ini. Definisi dari
berbagai variabel yang ada diperoleh melalui pemahaman atas berbagai definisi
dan teori yang terkait dengan variabel tersebut. Istilah-istilah konseptual tersebut
yaitu:
1. Kawasan Konservasi Laut (KKL) adalah sebuah areal yang berada di
wilayah pasang surut atau di atasnya, termasuk air yang melingkupinya
beserta berbagai flora, fauna serta peninggalan sejarah dan berbagai bentuk
kebudayaan, yang telah ditetapkan oleh aturan hukum yang berlaku maupun
oleh cara-cara lain yang efektif, dilindungi baik sebagian maupun
keseluruhannya.
2. Daerah Perlindungan Laut (DPL) adalah daerah pesisir dan laut yang dipilih
dan ditetapkan untuk ditutup secara permanen dari kegiatan perikanan dan
pengambilan sumberdaya serta dikelola oleh masyarakat setempat.
3. Pengelolaan kawasan konservasi adalah pengelolaan yang dikelola oleh
pemerintah tetapi tidak menutup kemungkinan dikelola oleh masyarakat
untuk pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta
ekosistemnya. Pengelolaan ini mencakup kegiatan memanfaatkan kawasan
atau mengambil sumberdaya dalam DPL secara adil dan lestari.
4. Nelayan adalah penduduk lokal yang menggantungkan hidupnya dengan
memanfaatkan sumberdaya yang ada di Daerah Perlindungan Laut (DPL).
22
5. Seperangkat hak nelayan (bundles of right) adalah hak-hak nelayan yang
meliputi hak akses (access right), hak pemanfaatan (withdrawal right), hak
pengelolaan (management right), dan hak ekslusi (exclusion right).
2.5 Definisi Operasional
Penelitian ini menggunakan beberapa istilah operasional yang digunakan
untuk mengukur berbagai peubah. Masing-masing peubah terlebih dahulu diberi
batasan sehingga dapat ditentukan indikator pengukurannya. Istilah-istilah
tersebut yaitu:
1. Seperangkat hak nelayan (bundles of right) adalah hak-hak nelayan yang
meliputi hak akses (access right), hak pemanfaatan (withdrawal right), hak
pengelolaan (management right), dan hak ekslusi (exclusion right).
a. Hak akses (access right) adalah hak untuk memasuki wilayah sumberdaya
yang memiliki batas-batas yang jelas dan untuk menikmati manfaat non
ekstraktif. Pengukuran hak pemanfaatan melalui kegiatan :
Nelayan tidak dapat melintas di lokasi DPL = skor 1= rendah
Nelayan dapat melintas di lokasi DPL = skor 2 = tinggi
b. Hak pemanfaatan (withdrawal right) adalah hak untuk memanfaatkan
sumberdaya. Pengukuran hak pemanfaatan melalui kegiatan:
Nelayan tidak dapat mengambil sumberdaya di DPL = skor 1 = rendah
Nelayan dapat mengambil sumberdaya secara bebas = skor 2 = tinggi
c. Hak pengelolaan (management right) adalah hak untuk turut serta dalam
pengelolaan sumberdaya. Hak pengelolaan dapat diukur dari keterlibatan
masyarakat sejak perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, dan monitoring, serta
mendapatkan hasil. Pengukuran :
Nelayan tidak terlibat dalam penjagaan DPL dan tidak berhak melarang
siapapun untuk melakukan kegiatan apapun di DPL = skor 1 = rendah
Nelayan terlibat dalam penjagaan DPL dan berhak melarang siapapun
untuk melakukan kegiatan apapun di DPL = skor 2 = tinggi
23
d. Hak ekslusi (exclusion right) adalah hak untuk menentukan siapa yang boleh
memiliki hak akses dan bagaimana hak tersebut dialihkan ke pihak lain.
Pengukurannya:
Tidak ada = skor 1
Ada = skor 2
2. Respons nelayan adalah tanggapan nelayan atas penetapan DPL dan sistem
zonasi yang dibuat. Pengukurannya melalui aspek kognitif (pengetahuan)
dan aspek afektif nelayan akan keberadaan DPL dan sistem zonasi yang
dibentuk.
a. Tingkat pengetahuan nelayan terhadap DPL adalah pemahaman nelayan
akan keberadaan Daerah Perlindungan Laut dan sistem zonasi. Tingkat
pengetahun nelayan dapat diukur dengan pertanyaan :
i) Nelayan tahu pengertian DPL
ii) Nelayan tahu manfaat dan tujuan DPL
iii) Nelayan tahu aturan dan larangan yang dibuat terkait DPL
iv) Nelayan tahu sanksi-sanksi yang diberikan bagi yang melanggar
aturan-aturan di DPL
Pengukurannya : Tidak = skor 1
Iya = skor 2
b. Aspek afeksi nelayan terhadap DPL dan perubahan zonasi adalah respon
nelayan yang berhubungan dengan rasa setuju atau tidak setuju terhadap
penetapan DPL dan sistem zonasi yang dibentuk. Tingkat afeksi nelayan
terhadap penetapan DPL dan sistem zonasi dapat diukur dengan pernyataan :
i) Penetapan DPL penting untuk keberlanjutan sumberdaya laut
ii) Penetapan DPL tidak membuat nelayan terbatas untuk masuk keluar
kawasan
iii) Penetapan DPL tidak membuat jumlah tangkapan nelayan berkurang
iv) Penetapan DPL tidak membuat perubahan sistem zonasi nelayan
Pengukurannya: Tidak= skor 1
Iya = skor 2
24
Pengukuran tingkat respons nelayan adalah skor total dari aspek kognitif dan
aspek afeksi responden :
Skor di bawah skor rata-rata = Respons nelayan negatif terhadap
penetapan DPL
Skor di atas skor rata-rata = Respons nelayan positif terhadap penetapan
DPL
3. Pendapatan (TI) nelayan adalah total penerimaan nelayan (TR) dari sektor
perikanan dikurangi total pengeluaran (TC) untuk menunjang kegiatan
perikanan. Ukuran pendapatan ditentukan berdasarkan rata-rata pendapatan
responden dari sektor perikanan di tempat penelitian.
Pendapatan < rata-rata pendapatan = skor 1 = rendah
Pendapatan > rata-rata pendapatan = skor 2 = tinggi
4. Tingkat penerimaan (TR) nelayan adalah jumlah penghasilan secara
keseluruhan yang diperoleh dari kegiatan menangkap ikan di laut. Skala
pengukuran :
Dibawah rata-rata = skor 1 = rendah
Di atas rata-rata = skor 2 = tinggi
5. Tingkat pengeluaran nelayan adalah jumlah pengeluaran secara keseluruhan
untuk kegiatan melaut. Skala pengukuran :
Dibawah rata-rata = skor 1 = rendah
Di atas rata-rata = skor 2 = tinggi
25
BAB III
PENDEKATAN LAPANGAN
3.1 Lokasi dan Waktu
Penelitian ini dilakukan di Kampung Saporkren, Distrik Waigeo Selatan,
Kabupaten Raja Ampat, Provinsi Papua Barat (lampiran satu). Penentuan lokasi
penelitian dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa (1)
lokasi ini merupakan salah satu lokasi yang menjadi kawasan konservasi laut
yakni DPL dengan potensi terumbu karang kampung dalam kategori “sedang”, (2)
kampung ini merupakan kampung penyuplai iklan terbanyak ke daerah pusat
administrasi Raja Ampat yaitu Waisai. Penelitian dilakukan pada bulan Maret
sampai dengan April 2011. Kegiatan penelitian meliputi penyusunan proposal dan
instrumen penelitian, kolokium, pengumpulan data di lapangan, pengolahan dan
analisis data, penulisan draft skripsi, sidang skripsi, dan perbaikan skripsi. Adapun
rangkaian kegiatan penelitian tertera pada lampiran tiga.
3.2 Teknik Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dan metode kualitatif.
Metode kuantitatif menggunakan metode survai dengan instrumen kuesioner
untuk mengumpulkan data penelitian dari sejumlah sampel dalam sebuah populasi
(Singarimbun 2006) terkait pengaruh penetapan Daerah Perlindungan Laut (DPL)
terhadap kondisi sosial ekonomi nelayan dan respon masyarakat terhadap
keberadaan DPL. Metode kualitatif digunakan untuk memperoleh informasi atau
data kualitatif dari subyek penelitian berdasarkan pengalaman sosial mereka
terkait keberadaan DPL. Data deskripif yang berupa kata-kata dari subyek
penelitian dikumpukan dan kemudian disajikan dalam bentuk teks naratif ataupun
bagan dan grafik. Data kualitatif yang diperoleh dikumpulkan dengan pengamatan
langsung, wawancara mendalam, dan menggunakan dokumen tertulis.
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data primer dan data
sekunder. Data primer merupakan data yang diperoleh melalui pengumpulan data
secara langsung di lapangan dengan menggunakan instrumen berupa kuesioner
26
yang dibagikan kepada respoden dan wawancara kepada informan. Data sekunder
diperoleh melalui dokumentasi dan studi literatur yang berkaitan dengan tujuan
penelitian seperti buku, artikel, skripsi, tesis, dan berbagai karya ilmiah lainnya.
Tabel 3. Jenis Data Primer dan Sekunder yang dikumpulkan di Lapangan
No. Jenis Data Metode/Sumber Data
Data Primer
1. Data sosial dan ekonomi masyarakat Kuesioner dan wawancara
2. Data Stakeholder Wawancara
Data Sekunder
3. Data kependudukan : Jumlah penduduk total
dan jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin
Kantor desa
4. Data sosial-ekonomi : jenis mata pencaharian,
sarana dan prasarana desa, kesehatan
Kantor desa, Dinas
kelautan dan perikanan,
Bappeda
5. Pedoman/panduan dan peraturan tentang
kawasan konservasi laut di Raja Ampat
Dinas Kelautan dan
Perikanan Raja Ampat
6. Keanekaragaman hayati Raja Ampat Dinas Kelautan dan
Perikanan Raja Ampat
7. Pedoman dan aturan pengelolaan Daerah
Perlindungan Laut (DPL)
Coremap II
Teknik pengumpulan data dilakukan melalui beberapa teknik, diantaranya
adalah:
1. Observasi.
2. Studi literatur serta kajian dokumen-dokumen yang dapat menunjukkan
perubahan ekologis sumberdaya hayati laut, kawasan konservasi (DPL),
model pengelolaan dan dokumen yang menunjukkan kondisi sosial ekonomi
nelayan.
3. Wawancara mendalam kepada para nelayan dan informan dengan
menggunakan pedoman pertanyaan. Data deskriptif berupa kutipan langsung
kata-kata atau tulisan dari informan juga memungkinkan untuk digunakan.
27
4. Survai dengan instrument penelitian berupa kuesioner. Kuesioner ini
memuat pertanyaan terbuka dan tertutup. Data yang diambil dari penelitian
ini mencakup respon nelayan terhadap penetapan Daerah Perlindungan Laut
(DPL), keterlibatan nelayan dalam perencanaan, pengelolaan, dan evaluasi
program konservasi, serta pengaruh penetapan DPL terhadap kondisi sosial
ekonomi nelayan di Kampung Saporkren.
5. Diskusi kelompok terarah atau Focussed Group Discussion (FGD) kepada
para nelayan untuk memetakan wilayah penangkapan nelayan sebelum dan
sesudah adanya Daerah Perlindungan Laut (DPL).
Populasi dari penelitian ini adalah keluarga nelayan Kampung Saporkren
yang bermata pencaharian sebagai nelayan dan aktif menangkap hasil laut.
Berdasarkan data statistik kampung, jumlah keluarga nelayan yang aktif melaut
sebanyak 56 keluarga. Unit analisis dari penelitian ini adalah individu yakni
kepala keluarga nelayan sebagai responden penelitian. Responden adalah nelayan
kecil atau nelayan tradisional yang menggunakan alat tangkap sederhana atau
tradisional. Penentuan responden dalam penelitian dilakukan dengan
menggunakan simple random sampling. Adapun kerangka sampling dalam
penelitian tertera pada lampiran empat. Banyaknya sampel yang digunakan dalam
penelitian ini ditentukan berdasarkan hasil perhitungan menggunakan rumus
Slovin, yaitu :
Keterangan :
n : Jumlah sampel
N: Jumlah populasi
e : Nilai kritis (batas ketelitian) yang digunakan (10 persen)
n = N
1+ Ne²
28
Berdasarkan penjelasan di atas, maka jumlah sampel yang diambil dengan
penggunan rumus Slovin sebanyak 36 orang. Agar hasil penelitian dapat lebih
representatif, peneliti menambah tiga responden dengan asumsi menghindarkan
ketidaktepatan responden dengan kriteria yang telah dibuat. Informan dipilih
secara sengaja (purposive) dengan teknik bola salju (snowball sampling) yang
memungkinkan perolehan informasi dari satu informan ke informan lainnya.
Jumlah informan dalam penelitian ini tidak dibatasi, dengan tujuan untuk
memperkaya informasi mengenai dampak penetapan DPL terhadap aktivitas
nelayan secara khusus bagi pendapatan nelayan. Adapun informan kunci yang
dipilih adalah pihak Pemerintah Desa, Dinas Kelautan dan Perikanan Daerah,
Lembaga Coremap II Raja Ampat, Tokoh Adat dan Tokoh Agama Kampung
Saporkren, serta aktor-aktor yang terlibat dalam proses pengelolaan DPL di
kampung ini.
3.3 Teknik Pengolahan dan Analisis Data
Data kualitatif yang telah diperoleh akan dianalisis dengan mengacu pada
konsep Miles dan Huberman (1984, 1994 dikutip Miles dan Huberman 2009)
dimana terdapat tiga sub proses analisis data yang saling terkait yaitu reduksi data,
penyajian data, dan pengambilan kesimpulan. Proses ini berlangsung sebagaimana
ditunjukkan oleh gambar 4.
Sumber : Miles dan Huberman (2009)
Gambar 4. Komponen Analisis Data : Model Interaktif
Pengumpulan data
di lapangan
Penyajian data
Kesimpulan
Penggambaran/verivikasi
Reduksi data
29
Reduksi data merupakan proses pemilihan, pemusatan perhatian pada
penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data kasar yang muncul dari
catatan-catatan tertulis di lapangan. Penyajian data merupakan penyusunan
informasi yang memungkinkan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan
tindakan. Penyajian data ini dalam prakteknya dapat berbentuk teks naratif
ataupun matriks, grafik, jaringan dan bagan. Penarikan kesimpulan berbentuk
pencatatan keteraturan pola-pola yang terjadi, penjelasan, konfigurasi yang
mungkin, alur sebab-akibat, dan proporsi. Ketiga kegiatan analisis dan
pengumpulan data ini merupakan proses siklus dan interaktif. Analisis data
dilakukan secara berlanjut, berulang, dan terus menerus.
Analisis data kuantitatif dilakukan melalui proses pemeriksaan data yang
terkumpul (editing) kemudian dilakukan pengkodean (coding) dengan tujuan
untuk menyeragamkan data. Setelah pengkodean, tahap berikut adalah
perhitungan Persentase jawaban responden yang dibuat dalam bentuk tabulasi
deskriptif dengan menggunakan perangkat lunak yaitu SPSS Statistic versi 16.
30
BAB IV
GAMBARAN LOKASI PENELITIAN
4.1 Kondisi Geografis
4.1.1 Konteks Kabupaten Raja Ampat
Kabupaten Raja Ampat terletak pada posisi di bawah garis khatulistiwa,
antara 0” 14’ s dan 130” 31’ e. Dengan posisi di bawah garis khatulistiwa, suhu
udara minimum sekitar 24°C, dan suhu udara maksimum sekitar 32,4°C (catatan
Badan Meteorologi dan Geofisika stasion DEO Raja Ampat dikutip BPS Raja
Ampat 2010). Sedangkan kelembaban udara rata-rata tercatat 85 persen dengan
curah hujan tercatat 2458,9 milimeter dan cukup merata sepanjang tahun.
Kepulauan ini berada dibagian paling barat pulau induk Papua, Indonesia dan
membentang di area seluas kurang lebih 4,6 juta ha. Batas-batas geografis
Kabupaten Raja Ampat adalah sebagai berikut :
Sebelah barat : Kabupaten Halmahera Tengah, Provinsi Maluku Utara
Sebelah utara : Republik Federal Palau, Samudra Pasifik
Sebelah timur : Kota Sorong, Kabupaten Sorong
Sebelah selatan : Kabupaten Seram Utara, Provinsi Maluku
Raja Ampat dideklarasikan sebagai Kabupaten baru pada tanggal 3 Mei
Tahun 2002 berdasarkan UU No. 26 tentang pembentukan Kabupaten Sarmi,
Kabupaten Kerom, Kabupaten Sorong Selatan, dan Kabupaten Raja Ampat.
Kabupaten ini merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Sorong dan termasuk
salah satu dari 14 kabupaten baru di tanah Papua. Kabupaten Raja Ampat terdiri
dari empat pulau besar yaitu Waigeo, Misool, Salawati, dan Batanta, serta 600
pulau-pulau kecil. Selain itu, Kabupaten ini terbagi menjadi 17 distrik dengan
total luas wilayah adalah 6.084,50 km persegi1. Pusat pemerintahan berada di
Waisai, Distrik Waigeo Selatan, sekitar 36 mil dari kota Sorong, dan baru
berlangsung efektif pada tanggal 16 September 2005 (Pemda Raja Ampat 2009).
1 Data statistik Raja Ampat Tahun 2009 dalam Kabupaten Raja Ampat dalam angka 2009
31
Tabel 4 dibawah ini menggambarkan luas wilayah Kabupaten Raja Ampat
menurut distrik.
Tabel 4. Luas dan Persentase Wilayah Kabupaten Raja Ampat menurut Distrik
Distrik Luas / area (km²) Persentase (%)
Misool 318, 71 5,24
Kofiau 639,97 10,52
Misool Timur 403,14 6,63
Kep. Sembilan 123,95 2,04
Waigeo Selatan 275,87 4,55
Teluk Mayalibit 207,40 3,41
Waigeo Timur 122,19 2,01
Meosmansar 169,70 2,79
Waigeo Barat 1264,58 20,78
Waigeo Barat
Kepulauan
711,32 11,69
Waigeo Utara 120,10 1,97
Warwabomi 46,70 0,77
Kepulauan Ayau 256,75 4,22
Misool Selatan 469,11 7,71
Misool Barat 203,11 3,34
Salawati Utara 405,49 6,66
Selat Sangawin 345,41 5,68
Jumlah/total 6.084,50 100,00
Sumber : BPS Kabupaten Raja Ampat (2010)
4.1.2 Konteks Kampung
Kampung Saporkren merupakan salah satu kampung yang terletak di Distrik
Waigeo Selatan, Kabupaten Raja Ampat, Provinsi Papua Barat dengan luas
wilayah ± 32 Ha. Bentuk topografi daratan pulau berbukit dengan ketinggian 20m
hingga 30m dari permukaan laut sedangkan tekstur pulaunya berpasir. Kampung
Saporkren dapat dijangkau dari pusat pemerintahan yaitu Waisai dengan perahu
bermotor tempel 15 pk selama satu jam dengan jarak enam mil, dan jika dijangkau
32
menggunakan perahu bermesin katinting2 dapat ditempuh dalam waktu dua jam.
Kondisi kampung ini didominasi oleh sumberdaya laut dan sumberdaya hutan.
Sebelah selatan kampung terdapat laut dan sebelah utara terdapat pegunungan
yang dijadikan masyarakat sebagai lahan perkebunan. Ekosistem daratan dan
lautan keduanya saling mempengaruhi.
Saporkren berasal dari bahasa Biak Berser yaitu “sapor” yang artinya
tanjung dan “kren” yang artinya miring. Jadi Saporkren memiliki arti tanjung
miring. Adapun sejarah terbentuknya kampung dan gambaran berbagai kegiatan
yang berlangsung yang dianggap penting oleh masyarakat lokal adalah sebagai
berikut:
1. Sebelum Tahun 1940 : Saat itu orang kafir yang berdomisili di pulau Urai
dan pemimpin yang terakhir di pulau itu adalah bapak Abraham Mambrasar.
Saat itu pulau tersebut masih berada dibawah pemerintah kampung
Yembeser.
2. Tahun 1942 : Beberapa pemuda dari pulau Urai berkumpul di pulau Friwen
untuk berperang melawan jepang (PD II)
3. Tahun 1945 : Setelah Perang dunia II berakhir mereka kembali menetap di
pulau Urai
4. Tahun 1950-an : Penduduk dari pulau Urai berpindah ke Saporkren dibawah
pimpinan Moses Sauyai (Kepala Dusun I)
5. Tahun 1962 - 1971: Mulai dibangunlah beberapa sarana penting di dusun
Saporkren yaitu sarana pendidikan Sekolah Dasar (SD) dan sarana
peribadatan (Gereja)
6. Tahun 1973 : Diadakan pemilihan kepala dusun kedua yaitu Philipus
Mambrasar
7. Tahun 1992 : Pergantian status dari dusun menjadi kampung dengan kepala
kampung pertama adalah Melkianus Mambrasar
8. Tahun 2002 : Dilakukan kembali pengangkatan kepala kampung II yaitu
Zadrak Mambrasar
2 Perahu Katingting merupakan perahu tradisional berukuran kecil dengan panjang 4-5 m, lebar 4-
5 m, dan berbahan baku kayu. Perahu ini menggunakan mesin berkekuatan kurang dari 15 PK
dan mengeluarkan bunyi raungan yang berat.
33
9. Tahun 2005 : Lalu pada tahun ini masuklah program COREMAP di Raja
Ampat
4.2 Kondisi Demografi
4.2.1 Konteks Kabupaten Raja Ampat
Hingga Tahun 2009, tercatat jumlah penduduk Kabupaten Raja Ampat
adalah 41.860 jiwa, sekitar 52 persen dari total penduduk adalah laki-laki dan
sisanya sebesar 48 persen adalah perempuan.
Tabel 5. Persentase Jumlah Penduduk menurut Distrik dan Jenis Kelamin di
Kabupaten Raja Ampat Tahun 2009
Kecamatan/
Distrik Laki-laki(%) Perempuan(%) Populasi(%)
Misool 5,60 5,78 5,68
Kofiau 6,42 6,58 6,50
Misool Timur 5,08 4,23 4,68
Kep. Sembilan 5.51 5,88 5,69
Waigeo Selatan 6,66 6,60 6,63
Teluk Mayalibit 4,50 4,38 4,44
Waigeo Timur 4,08 4,23 4,15
Meosmansar 5,59 5,30 5,50
Waigeo Barat 2,96 3,11 3,03
Waigeo Barat
Kepulauan
6,25 6,07 6,16
Waigeo Utara 5,29 5,56 5,42
Warwabomi 3,52 3,37 3,45
Kepulauan Ayau 6,66 6,81 6,73
Misool Selatan 6,31 6,39 6,35
Misool Barat 2,71 2,68 2,70
Salawati Utara 9,60 9,61 9,60
Selat Sangawin 13,29 13,44 13,36
Jumlah/total 100 100 100
Sumber : BPS Kabupaten Raja Ampat (2010)
34
Hingga Tahun 2009, tercatat jumlah penduduk Kabupaten Raja Ampat
adalah 41.860 jiwa, dengan jumlah penduduk total laki-laki adalah 21.965 orang
dan jumlah penduduk perempuan adalah 19.895 orang. Tabel 5 menunjukkan
komposisi penduduk laki-laki lebih besar dibandingkan perempuan dengan
Persentase laki-laki 52,48 persen dari total penduduk dan persentase perempuan
adalah 47,52 persen.
4.2.2 Konteks Kampung
Berdasarkan data Monografi Kampung Saporkren (2011), jumlah penduduk
pada Tahun 2010 adalah sebanyak 374 orang. Jumlah penduduk laki-laki adalah
212 orang dengan persentase 57 persen, sedangkan jumlah penduduk perempuan
memiliki persentase 43 persen dengan total 162 orang. Jumlah penduduk
berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat pada tabel 6.
Tabel 6. Jumlah dan Persentase Penduduk Saporkren menurut Jenis Kelamin
Jenis Kelamin Jumlah
(Jiwa) (Persen)
Laki-laki 212 57
Perempuan 162 43
Total 374 100
Sumber : Data Monografi Kampung Saporkren, Distrik Waigeo Selatan,
Kabupaten Raja Ampat (2011)
4.3 Kondisi Ekonomi
Pada umumnya, mayoritas masyarakat Raja Ampat dan khususnya
Kampung Saporkren bermukim di daerah pesisir. Hal ini mendorong masyarakat
bermata pencaharian sebagai nelayan, dan dianggap sebagai mata pencaharian
pokok atau utama yang dapat memberikan hasil lebih banyak untuk memenuhi
kebutuhan hidup mereka. Bagi masyarakat Kampung Saporkren dan beberapa
kampung lainnya, laut adalah segalanya bagi mereka karena dari situlah mereka
bisa hidup sehingga membuat masyarakat menggantungkan hidup secara penuh
terhadap hasil-hasil laut, namun, tidak menutup kemungkinan bagi masyarakat
untuk bekerja di ladang ataupun kebun. Jika masyarakat yang bermata
35
pencaharian sebagai nelayan menghadapi cuaca yang buruk atau yang dikenal
dengan istilah mereka “angin selatan”, maka para nelayan akan berganti profesi
untuk berkebun demi menjamin kehidupan selama cuaca yang buruk terjadi.
Masyarakat Kampung Saporkren rata-rata bekerja sebagai nelayan, mulai
dari anak-anak kecil hingga dewasa telah dianggap sebagai nelayan, sedangkan
sebagian masyarakat bekerja sebagai petani di ladang, sebagaimana diungkapkan
oleh salah satu tokoh adat di kampung ini, PD (65 tahun) bahwa :
“…disini itu semua nelayan, dari anak kecil sampe orang besar juga itu sama-sama kerjanya tangkap ikan, itu karena kami memang anak-anak
laut jadi, kalo berkebun itu hanya sampingan kalau angin kencang di
laut.”
Berdasarkan data Tahun 2010, terdapat 56 kepala keluarga yang berprofesi
sebagai nelayan dan sebanyak 41 kepala keluarga bekerja sebagai petani di
ladang.
Gambar 5. Jenis Mata Pencaharian Penduduk Saporkren
Pada umumnya nelayan di Raja Ampat, dan khususnya di Saporkren masih
menggunakan alat yang tradisional ketika menangkap ikan ataupun hasil laut
lainnya. Peralatan yang tradisional dan sangat sederhana itu hanyalah seutas tali
nelon dan pancing. Alat-alat itu pun bermacam-macam bentuknya dan berbeda
dalam penggunaannya sesuai dengan jenis ikan yang akan ditangkap oleh mereka.
Para nelayan melakukan aktivitasnya pada pagi hari hingga menjelang sore hari,
setelah itu akan dilanjutkan dengan melakukan penjualan di pusat pemerintahan
yaitu daerah Waisai. Selain menangkap ikan disiang hari, adapula nelayan yang
58%
42%
Mata Pencaharian
Nelayan Petani
36
mencari ikan pada malam hari dengan menggunakan alat tradisional yang disebut
kalawai3 ataupun memakai sistem akar bore
4.
4.4 Kondisi Sosial
4.4.1 Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan masyarakat Kampung Saporkren tergolong relatif
rendah karena sebagian besar penduduk yang termasuk usia kerja hanya
menempuh pendidikan hingga tingkat SD. Berdasarkan data terbaru dari balai
kampung dan hasil pengumpulan data di lapangan terhadap responden, golongan
dewasa yang bekerja sebagai nelayan merupakan lulusan SD dan SMP, walaupun
ada beberapa yang merupakan tamatan SMA. Sedangkan anak-anak sekolah di
Kampung Saporkren hingga Tahun 2011 tercatat anak-anak yang menempuh
pendidikan di SMP sebanyak lima orang, pendidikan di SMA sebanyak tiga
orang, bangku kuliah sebanyak dua orang, dan anak-anak lainnya masih
menempuh pendidikan di tingkat SD.
Rendahnya pendidikan di kampung ini disebabkan oleh dua faktor utama,
pertama karena ketidakmampuan orangtua dari segi ekonomi untuk
menyekolahkan hingga jenjang pendidikan yang tinggi. Kedua adalah minimnya
fasilitas pendidikan di zaman dahulu yang kemudian menyebabkan para guru
tidak optimal dalam melaksanakan proses belajar mengajar dan juga minimnya
tenaga kerja yaitu guru. Hingga kini, kampung ini hanya memiliki satu gedung
Sekolah Dasar (SD) dan satu gedung pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) sebagai
fasilitas anak-anak Kampung Saporkren untuk menuntut ilmu. Gedung PAUD
baru saja didirikan dengan bantuan dana dari pemerintah yaitu dana bantuan
PNPM, dan sebagian perlengkapan Sekolah Dasar (SD) juga diperlengkapi
dengan dana tersebut. Sedangkan anak-anak Kampung Saporkren yang menuntut
ilmu hingga tingkat SMP dan SMA harus keluar kampung dan menuntut ilmu di
Distrik atau di ibukota Kabupaten yaitu Waisai dengan waktu tempuh dua jam
menggunakan perahu tradisional.
3 Jenis alat tangkap yang berbentuk seperti tombak panjang dengan ujung runcing dan sering
digunakan saat menangkap di malam hari 4 Cara tangkap nelayan dengan menggunakan akar tanaman beracun
37
4.4.2 Budaya/Tradisi
Kampung Saporkren didominasi oleh etnik asli Raja Ampat, dan hanya
sebagian yang merupakan penduduk pendatang karena adanya ikatan pernikahan
yang membuat mereka menjadi penduduk kampung tersebut. Proses komunikasi
diantara masyarakat berjalan harmonis dan dinamis yang ditandai penggunaan
bahasa lokal (bahasa suku Raja Ampat) sebagai bahasa komunikasi sehari-hari
oleh penduduk baik asli maupun pendatang, tetapi tidak menutup kemungkinan
penggunaan bahasa Indonesia.
Masyarakat di Kampung Saporkren hampir seluruhnya menganut agama
Kristen Protestan, dan hanya satu warga menganut agama Islam. Walau kuantitas
yang tidak seimbang, kampung ini memiliki tenggang rasa yang sangat tinggi
antara kedua agama dan kegotongroyongan yang begitu kuat diantara masyarakat.
Hal ini dapat dilihat ketika ada salah satu warga yang meninggal kemudian warga
yang lainnya datang dan memberi beberapa sumbangan bagi keluarga yang
ditinggalkan seperti gula, kopi, beras, minyak, ikan, uang, dan lain-lain.
Gotong royong dan kerjasama yang sifatnya tradisional sangat melekat di
dalam diri masyarakat Saporkren. Ketika peneliti melakukan penelitian, saat itu
sedang diadakan pembuatan pagar di depan rumah semua warga dengan
menggunakan dana PNPM. Masyarakat bekerjasama untuk melakukannya dan
terkesan menarik karena anak muda dan orangtua hingga lansia ikut bekerjasama.
Kebiasaan lainnya yang menarik dari masyarakat Saporkren adalah ketika akan
mengumpulkan masyarakat. Jika kepala kampung hendak mengumpulkan semua
warganya, cukup dengan meniupkan bia atau kerang besar sebagai tanda kepada
warga untuk berkumpul di rumah kepala kampung. Jika yang akan
mengumpulkan warga adalah pihak gereja maka tanda yang digunakan adalah
membunyikan lonceng gereja, sedangkan rapat dan acara Sosialisasi berkaitan
dengan program lain akan dikumpulkan di pondok informasi dengan
menggunakan bel. Masing-masing berbeda cara dan alat yang digunakan untuk
mengumpulkan masyarakat.
Kampung ini juga memiliki aturan yang kuat terkait kegiatan di hari sabtu
dan hari minggu. Masyarakat yang pekerjaannya sebagai nelayan hanya bisa
menangkap dari hari senin hingga sabtu, dan pada hari minggu semua kegiatan
38
dihentikan, begitu pula dengan yang berkegiatan selain sebagai nelayan. Larangan
ini berlaku untuk semua usia dari anak kecil hingga orang dewasa. Masyarakat
harus sudah berada dikampung pada hari sabtu pukul tujuh malam atau 19.00
WIT, artinya tidak boleh ada yang keluar kampung khususnya untuk melaut
maupun ke kampung lain. Hal ini bertujuan untuk mempersiapkan diri beribadah
di hari minggu. Jika ada yang melanggar maka pihak pengurus gereja akan
memberikan teguran, tetapi larangan ini dilonggarkan bagi warga yang ingin
berobat ke rumah sakit di Waisai.
4.4.3 Kelembagaan Desa
PengorganiSasian masyarakat dan proses-proses pembangunan lainnya di
tingkat kampung difasilitasi oleh sebuah lembaga pemerintah kampung/desa yang
terdiri dari kepala kampung dan dibantu oleh aparat yang lain. Disamping itu
terdapat pula LPSTK (Lembaga Pengelola Sumberdaya Terumbu Karang),
Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmaswas), dan Lembaga Keuangan Mikro
(LKM) dimana pembentukan ketiga lembaga ini diinisiasi oleh Program
Pengelolaan dan Rehabilitasi Terumbu Karang Tahap II (Coral reef Rehabilitation
and Management Program Phase II/COREMAP II) dan dikelola oleh masyarakat
lokal. Program Coremap II merupakan program pemerintah dibawah tanggung
jawab Kementrian Kelautan dan Perikanan, dan di kampung ini dibawah Dinas
Kelautan dan Perikanan Raja Ampat.
LPSTK secara umum memiliki fungsi dan peran dalam mengkoordinasikan
kegiatan kelompok-kelompok masyarakat (Pokmas) di kampung/desa dengan
pengelola program Coremap II tingkat kabupaten dibawah koordinasi DKP
Kabupaten Raja Ampat. Sedangkan Pokmaswas (Kelompok Masyarakat
Pengawas) merupakan pelaksana pengawasan di tingkat lapangan yang terdiri dari
unsur-unsur tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat, LSM, nelayan, petani
ikan, dan pemerhati lingkungan/terumbu karang. Pokmaswas memiliki peran
untuk melakukan pengawasan terhadap daerah Perlindungan Laut (DPL).
Pokmaswas dibentuk atas inisiatif masyarakat yang difasilitasi oleh unsur seorang
anggota masyarakat dalam Pokmaswas yang berfungsi sekaligus sebagai mediator
antara masyarakat dengan pemerintah atau petugas. Siapapun di dalam
39
masyarakat bisa menjadi anggota Pokmaswas, asalkan mereka dipilih secara
bersama.
4.5 Potensi Pesisir dan Kelautan
4.5.1 Perhubungan
Kampung Saporkren dapat dijangkau dengan menggunakan transportasi laut
dan darat dari pusat pemerintahan Raja Ampat, Waisai. Transportasi laut yang
digunakan adalah perahu tradisional yang disebut katingting dan speed boat,
sedangkan bila melewati darat dapat menggunakan motor dengan waktu tempuh
satu jam. Alat transportasi yang dimiliki masyarakat masih bersifat tradisional
baik yang menggunakan perahu dayung maupun perahu dengan menggunakan
mesin berkekuatan kurang dari 15 PK. Bagi masyarakat, memiliki perahu menjadi
hal yang utama atau prioritas, hal ini dikarenakan perahu membantu mereka untuk
mencari makan di laut dan menjual hasil tangkapan ikan bagi para nelayan.
4.5.2 Sarana dan Prasarana
Sarana dan prasarana merupakan salah satu aset kampung yang mendukung
aktivitas penduduk kampung. Kampung Saporkren memiliki sarana dan prasarana
umum yang kondisinya relatif masih baik. Jenis sarana dan prasarana tersebut
dapat dilihat pada tabel 7.
Tabel 7. Jumlah dan Kondisi Sarana-Prasarana Kampung Saporkren
No. Sarana-Prasarana Jumlah Kondisi
1. Kantor Desa/kampung 1 Buruk
2. Puskesmas pembantu 1 Baik
3. Gereja 1 Baik
4. Pondok Informasi/ Coremap
Kampung
1 Baik
5. Sekolah Dasar 1 Baik
6. PAUD 1 Baik
7. MCK 5 Buruk
8. Pembangkit Listrik Tenaga Solar
(PLTS)
1 Baik
40
Tabel 7 menunjukkan jenis, jumlah, dan kondisi sarana-prasarana yang ada
di Kampung Saporkren. Data tersebut diambil berdasarkan pengamatan langsung
peneliti selama kegiatan pengumpulan data. Pada umumnya, prasarana dan sarana
yang ada tergolong “baik”, tetapi untuk jenis balai kampung atau MCK tergolong
“buruk”. Hal ini dilihat dari segi pemeliharaan akan kebersihan gedung tersebut.
Balai kampung sudah berdiri sejak lama, tetapi saat ini tidak berfungsi lagi.
Gedung yang ada hanya berdiri secara formal tetapi tidak dimanfaatkan oleh
aparat kampung, dan segala kegiatan administrasi kampung hanya dilakukan di
rumah kepala kampung ataupun sekretaris kampung. Sedangkan dari lima
bangunan fasilitas MCK yang ada, hanya satu yang tergolong baik, dan empat
bangunan lainnya tidak layak dipakai karena tidak dikelola kebersihannya.
4.5.3 Sumberdaya Perikanan Tangkap
Sumberdaya perairan laut di Kampung Saporkren sebagian besar
dimanfaatkan untuk perikanan tangkap. Wilayah penangkapan masyarakat berada
di sekitar area kampung dan tergantung pula pada musim. Jenis alat tangkap yang
sering digunakan masyarakat Kampung Saporkren adalah alat pancing
menggunakan nilon atau sering disebut oleh masyarakat sebagai mata kail, dan
tombak yang menurut istilah lokal kalawai. Masyarakat lokal dilarang keras
menggunakan jaring ketika menangkap ikan, tetapi ada kasus-kasus terdahulu
sebelum adanya larangan terkait DPL, dimana terdapat sebagian nelayan
menggunakan potassium ataupun akar beracun atau istilah lokal disebut akar
bore. Sedangkan sumberdaya ikan yang melimpah adalah ikan karang seperti ikan
mubara, ikan cakalang, ikan lakorea, ikan merah, gutila, dan ikan oci. Selain itu,
adapula masyarakat yang khusus menangkap ikan hiu untuk mengambil bagian
sirip ikan lalu dijual. Selain itu berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh
Coremap II Raja Ampat, ditemukan 57 jenis ikan karang di lokasi DPL
Yenmangkwan dan didominasi oleh jenis ikan target kemudian diikuti jenis ikan
mayor dan jenis kelompok ikan indikator. Jenis ikan kelompok target terdiri dari
suku Serranidae, Labridae, Lutjanidae, Holocentridae, Mullidae, Haemulidae,
Scaridae, Scolopsidae, dan Acanthuridae. Sedangkan jenis kelompok ikan mayor
41
terdiri dari suku Pomacentridae, Apogonidae, Pomacanthidae, Siganidae, dan
jenis kelompok ikan indikator terdiri dari suku Chaetodontidae.
4.5.4 Terumbu Karang
Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan oleh Coremap II dalam
kegiatan evaluasi dan monitoring terumbu karang di DPL Yenmangkwan,
Saporkren, kondisi tutupan karang termasuk dalam kategori “sedang” (Coremap II
2009). Adapun persentase rata-rata tutupan karang keras hidup adalah sebagai
berikut:
Tabel 8. Persentase Tutupan Karang menurut Jenis Karang di DPL
Yenmangkwan Tahun 2009
No. Jenis karang Persentase tutupan karang
(%)
1. Karang Acropora (AC) 17,0
2. Karang Non Acropora (NA) 20,0
3. Dead Coral With Algae (DCA) 10,0
4. Soft Coral (SC) 15,0
5. Tipe abiotik (algae/FS) 2,0
6. Tipe abiotik (Rubble, Rock, Sand, OT, dan
Sponge
19,0
Sumber : Coremap II (2009)
4.6 Karakteristik Responden
Karakteristik umum responden di Kampung Saporkren diperoleh
berdasarkan survai terhadap 39 orang nelayan. Karakteristik umum ini dijelaskan
dari beberapa kriteria seperti yang dijelaskan di bawah ini :
4.6.1 Jenis Kelamin Responden
Responden dari penelitian ini adalah berjenis kelamin laki-laki yang
tergolong dalam usia kerja.
42
4.6.2 Tingkat Usia Responden
Tingkat usia responden cukup bervariasi dengan distribusi usia antara 25
tahun hingga 65 tahun. Jumlah responden tertinggi terdapat pada sebaran usia 25-
30 tahun sebanyak 11 orang, dan jumlah responden terendah berada pada sebaran
usia 61-65 tahun sebanyak satu orang, dan responden lainnya menyebar pada
golongan usia 31-60 tahun.
Gambar 6. Jumlah Responden menurut Golongan Usia
Tingkat usia seseorang biasanya mencerminkan tingkat kedewasaan orang
tersebut dalam mengambil keputusan mengenai hal-hal yang berhubungan dengan
diriya. Dalam penelitian ini, hal tersebut berkaitan dengan pengambilan keputusan
untuk terlibat dalam proses penetapan DPL dari sejak perencanaan hingga
evaluasi yang dilakukan dan terhadap respon nelayan, apakah positif atau negatif
terhadap program pembentukan DPL itu. Walaupun jumlah responden terbanyak
berada pada golongan usia 25-30 atau golongan usia paling muda diantara
golongan usia semua responden, mereka termasuk kedalam golongan nelayan
yang memiliki respon positif terhadap pembentukan DPL.
0
2
4
6
8
10
12
25-30 31-35 36-40 41-45 46-50 51-55 56-60 61-65
Ju
mla
h
Golongan Usia
43
4.6.3 Tingkat pendidikan Formal Responden
Tingkat pendidikan formal yang telah ditempuh oleh responden bervariasi
dari pendidikan Sekolah Dasar (SD) hingga pendidikan Sekolah Menengah Atas
(SMA). Hampir keseluruhan nelayan menempuh pendidikan hingga tingkat SD
saja dengan Persentase sebesar 62 persen, kemudian diikuti responden yang
menempuh pendidikan hingga SMP dengan Persentase 28 persen, SMA sebesar
10 persen, sedangkan untuk kategori tingkat pendidikan S0/S1/S2/S3 dan yang
tidak bersekolah memiliki persentase 0 persen.
Gambar 7. Tingkat Pendidikan Formal Responden
Rendahnya tingkat pendidikan responden disebabkan oleh beberapa faktor,
diantaranya adalah minimnya sarana dan prasarana pendidikan seperti gedung
sekolah. Hingga saat ini kampung ini hanya memiliki satu gedung SD, sedangkan
masyarakat yang ingin menempuh pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi harus
ke luar kampung. Menurut responden yang hanya menempuh pendidikan hingga
SD, mereka sebenarnya ingin bersekolah hingga sekolah tinggi tetapi pada masa
mereka kecil, fasilitas pendidikan sangat sulit dan juga karena keterbatasan
ekonomi keluarga untuk menyekolahkan anaknya ke luar kampung. Sedangkan
responden yang dapat menempuh pendidikan hingga ke tingkat SMP dan SMA
dikarenakan keberanian mereka untuk ke luar kampung bersekolah dan
kemampuan perekonomian orangtua.
0%
62%
28%
10%
0%
Tidak Bersekolah
SD
SMP Umum/Kejuruan
SMA Umum/Kejuruan
S0/S1/S2/S3
44
BAB V
KAWASAN KONSERVASI LAUT
5.1 Keanekaragaman Hayati Raja Ampat
Kabupaten Raja Ampat yang berada di wilayah barat Pulau Papua memiliki
potensi sumberdaya laut yang luar biasa. Keindahan alam dan potensi sumberdaya
alam yang melimpah mendukung kabupaten ini menjadi salah satu jantung potensi
terumbu karang dunia dalam kawasan coral triangle. Luas area kabupaten ini
kurang lebih 9,8 juta ha yang terdiri dari darat dan lautan (termasuk sebagian teluk
cenderawasih) sehingga menjadikannya sebagai taman laut terbesar di Indonesia
(Coremap II 2009). Keindahan bawah laut yang dimiliki kabupaten ini mendorong
minat para wisatawan khususnya wisatawan asing untuk menyelam dan melihat
keindahan tersebut. Kepulauan yang menjadi tujuan para wisatawan khususnya
para penyelam terdiri dari 1800 pulau dan 105 kampung (Coremap II 2009).
Penelitian yang dilakukan oleh tim ahli dari Conservation Internasional
(CI), The Nature Conservancy (TNC), dan Lembaga Oseanografi Nasional
(LON), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang diadakan pada Tahun
2001-2002 mencatat bahwa terdapat lebih dari 540 jenis karang keras (75 persen
dari total jenis di dunia), lebih dari 1.000 jenis ikan karang, dan 700 jenis moluska
(Coremap II Raja Ampat 2009 dan Pemda Raja Ampat 2006). Selain itu Raja
Ampat juga kaya akan padang lamun, hutan mangrove yang tersebar disetiap
pinggir pantai, dan pantai tebing berbatu yang menjadi salah satu objek wisata
bagi para wisatawan baik asing maupun lokal.
Wilayah geografis Kabupaten Raja Ampat yang didominasi oleh laut dan
pulau (± 1800 pulau) mengakibatkan bentuk dan tipe habitat pesisirnya memiliki
karakteristik yang khas, unik, dan sangat beragam. Gambaran umum sebaran dan
tipe habitat ekosistem pesisir di Kabupaten Raja Ampat yang meliputi terumbu
karang, ikan karang, hutan mangrove, padang lamun, hutan rawa, dan bahan
galian tambang dapat diuraikan sebagai berikut5 :
5 Dikumpulkan dari berbagai data sekunder yang didapatkan peneliti selama dilapangan dari
beberapa instansi Pemerintah dan Coremap
45
5.1.1 Terumbu Karang
Terumbu karang adalah ekosistem khas yang dimiliki daerah tropis dan
memiliki arti penting dari segi sosial ekonomi masyarakat pesisir Indonesia yang
menggantungkan hidupnya dari perikanan. Terumbu karang memiliki berbagai
fungsi diantaranya adalah sebagai gudang keanekaragaman hayati biota-biota laut,
tempat tinggal sementara atau tetap, tempat mencari makan, berpijah, daerah
asuhan, dan tempat berlindung bagi hewan laut lainnya, atau menurut istilah yang
sering digunakan oleh Coremap Raja Ampat adalah tempat ikan berkembang biak
atau tempat tabungan ikan.
Ekosistem terumbu karang di Kabupaten Raja Ampat terbentang di paparan
dangkal dan hampir di semua pulau-pulau. Terdapat empat tipe terumbu karang di
daerah ini yaitu berupa karang tepi (fringing reef), dengan kemiringan yang cukup
curam, karang kanang cincin (otol), terumbu penghalang (barrier reef), dan taka
dan gosong (patch reel). Semua tipe karang tersebut tersebar di semua daerah
Raja Ampat, mulai dari daerah rataan terumbu sampai daerah tubir.
Berdasarkan hasil penelitian dalam kegiatan Marine RAP (Rapid Assesment
Program) yang dilakukan oleh CI (Conservation International) dan kegiatan REA
(Rapid Ecological Assesment) oleh TNC dan WWF, menyatakan bahwa
keanekaragaman hayati terumbu karang di Kabupaten Raja Ampat luar biasa dan
umumnya dalam kondisi fisik yang baik (Persentase tutupan karang 51-75
persen). Hasil tersebut menunjukkan terdapat 37 jenis karang keras (CI, TNC-
WWF), sembilan diantaranya adalah jenis baru dan 13 jenis endemic. Jumlah ini
merupakan 75 persen dari jumlah karang di dunia. Tercatat pula sebanyak 537
spesies karang batu, mewakili 76 genus, dan 19 famili6.
Keanekaragaman terumbu karang jika dilihat dari hadirnya spesies tertentu
pada lokasi penelitian yang telah dilakukan oleh TNC dan WWF, maka ada 10
lokasi yang memiliki kekayaan spesies tinggi. Kekayaan tertinggi ditemukan di
sebelah utara Pulau Djam dengan jumlah 182 spesies, diikuti Teluk Wambong
dengan jumlah 174 spesies. Kesepuluh lokasi yang memiliki jumlah spesies
tertinggi tersaji pada tabel 11.
6 Hasil penelitian The Concervancy National bersama WWF pada tahun 2001-2002, dalam Atlas
Sumberdaya Pesisir Kab. Raja Ampat, 2006
46
Tabel 9. Total Spesies Terumbu Karang menurut Lokasi di Kabupaten Raja
Ampat
No. Lokasi Total spesies
1. Sebelah utara Pulau Djam; Misool 182
2. Teluk Wambong; Kofiau 174
3. Tanjung Sool; Kofiau 173
4. Jef Bi; Misool 169
5. Sebelah Selatan Walo; Kofiau 169
6. Los; Misool 168
7. Mesemta; Misool 164
8. Sebelah selatan Pulau Ouoy 163
9. Teluk Fofak; Waigeo 163
10. Selatan Pulau Tiga; Misool 161
Sumber: TNC- WWF (2003) dalam Pemda (2006)
Tabel 9 menunjukkan 10 lokasi yang memiliki terumbu karang terbaik, dan
semua tersebar di empat pulau besar Kabupaten Raja Ampat. Lokasi terbaik
pertama yang memiliki terumbu karang tertinggi adalah wilayah Misool, tetapi
perbedaan tidak terlalu signifikan dengan daerah lainnya, termasuk wilayah
Waigeo yang menjadi tempat penelitian.
5.1.2 Ikan Karang
Perairan Raja Ampat mengandung keanekaragaman jenis ikan yang tinggi.
Berikut ini adalah tabel yang menunjukkan hasil penelitian oleh TNC, CI, dan
WWF terkait jumlah ikan yang berada di perairan Raja Ampat.
Tabel 10. Jumlah Ikan Karang Raja Ampat menurut Hasil Survai CI, TNC,
WWF Tahun 2001 dan 2002
2001 (CI) 2002 (TNC
dan WWF)
Gabungan CI,
TNC-WWF
Indonesia
Jumlah Ikan
(ekor)
828 899 1.104 2.056
Estimasi
Jumlah Ikan
(ekor)
1.084 1.149 1.436 2.032
Sumber: McKenna et al. dan TNC- WWF dikutip oleh Pemda (2006)
47
Conservation International (CI) menemukan 828 jenis ikan selama survai
kelautan pada Tahun 2001. The Nature Concervancy (TNC) bersama WWF dalam
studi ekologi secara cepat pada Tahun 2002 menemukan 899 jenis ikan. Secara
keseluruhan Raja Ampat memiliki 1.104 jenis ikan yang terdiri dari 91 famili
(Pemda Raja Ampat 2006).
Daerah Raja Ampat yang mempunyai keanekaragaman ikan karang tertinggi
adalah daerah Selat Dampier yang terletak diantara Pulau Batanta dan selatan
pulau Waigeo-Gam, perairan di sebelah barat Pulau Waigeo, yaitu teluk Aljui,
Pulau Wayag dan pulau Sayag, perairan Kofiau, perairan Misool Timur dan
Selatan, dan Waigeo Timur. Daerah tersebut tercatat memiliki jenis ikan lebih dari
200 spesies. Berdasarkan pengalaman menyelam, seorang ahli karang dunia Gerry
Allen, menemukan 284 dan 283 jenis ikan dalam satu kali penyelaman.
Spesies ikan utama yang hidup di perairan kepulauan Raja Ampat
merupakan jenis ikan yang berasosiasi dengan terumbu karang. Sepuluh famili
yang dominan di perairan Raja Ampat adalah Gobiidae, Pomacentridae,
Labridae, Apogonidae, Serranidae, Chaetodontidae, Acanthuridae, Blenniidae,
Lutjanidae, dan Scaridae. Grafik berikut menunjukkan sepuluh famili yang
dominan beserta jumlah spesiesnya.
Gambar 8. Grafik Dominasi Jenis Famili Ikan di Raja Ampat
48
5.1.3 Hutan Mangrove
Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis yang
didominasi oleh beberapa jenis pohon yang mampu tumbuh dan berkembang di
daerah pasang surut pantai berlumpur. Berdasarkan hasil survei dan analisis citra
digital, luas hutan mangrove di Kabupaten Raja Ampat adalah kurang lebih
27.180 hektar dan hutan tersebar di beberapa wilayah yaitu :
Pulau Waigeo : 6.843 Ha
Pulau Batanta : 785 ha
Pulau Kofiau : 279 ha
Pulau Misool : 8.093 ha
Pulau Salawati ; 4.258 ha
Hutan mangrove di Kabupaten Raja Ampat didominasi oleh famili
Rhizophoraceae dan famili Sonneratiaceae. Pulau yang memililiki sebaran hutan
mangrove terbesar adalah pulau Misool kemudian diikuti oleh Waigeo, Salawati,
dan Batanta, sedangkan sebaran hutan mangrove paling sedikit berada di Pulau
Kofiau.
5.1.4 Padang Lamun
Lamun (Seagrass) merupakan satu-satunya tumbuhan berbunga
(Angiospermae) yang memiliki Rhizoma, daun, dan akar sejati yang hidup
terendam di dalam laut. Padang lamun hampir tersebar di seluruh Kepulauan Raja
Ampat yakni di sekitar Waigeo, Kofiau, Batanta, Ayau, dan Gam. Padang lamun
yang terdapat di wilayah ini umumnya homogen dan berdasarkan ciri-ciri umum
lokasi, tutupan, dan tipe substrat dapat digolongkan sebagai padang lamun yang
berasosiasi dengan terumbu karang (Rumfaker 2010). Secara umum, vegetasi dari
padang lamun yang terdapat di Raja Ampat merupakan tipe campuran dengan
kombinasi dari beberapa jenis lamun yang tumbuh di daerah pasang surut mulai
dari pinggir pantai sampai ke tubir. Jenis lamun yang tumbuh antara lain jenis
Enhalus acoroides, Thalassia hemrichii, Halophila ovalis, Cymodoceae
rotundata, dan Syringodium isoetifolium (Rumfaker 2010).
49
5.1.5 Hutan Rawa
Hutan sagu tersebar di seluruh distrik Kabupaten Raja Ampat. Rawa-rawa
sagu ditemukan di daerah-daerah batu gamping/kapur di Kofiau dan daerah tanah
liat di Kapatlap, Salawati.
5.1.6 Bahan Galian Tambang
5.1.6.1 Nikel
Nikel merupakan bahan galian logam untuk keperluan industri terutama
sebagai campuran besi baja dan stainless steel. Penyebaran nikel di Raja Ampat
terdapat di pulau Gebe, pulau Kawe, pulau Gag, pulau Batangpele, pulau
Manyaifun, pulau Nawan, dan pulau Waigeo di sebelah utara dan selatan Teluk
Mayalibit. Berdasarkan informasi dari PT Pacific Nikkel Indonesia dan Reynolds
dikutip oleh Pemda (2006), di pulau Gag laterit, nikel terdapat pada lereng sedang
sampai curam, pada lokasi 129°53’ bujur timur. Parameter konsentrasi rata-rata
tertinggi 1,5 - 1,76 persen Ni, kobalt rata-rata 0,02 persen dari 12.000 ton contoh
kasar dari laterit tinggi sampai rendah (Pemda Raja Ampat 2006).
5.1.6.2 Minyak Bumi dan Gas
Berdasarkan data Pemerintah Daerah Raja Ampat, potensi kandungan
minyak dan gas bumi didasarkan dari penafsiran hidrokarbon di Misool, bagian
dari Cekungan Salawati (Samuel 1990 dikutip Pemda Raja Ampat 2006) yang
telah terbukti menghasilkan minyak dan gas bumi. Pada saat ini perusahaan JOB
Pertamina - Petro China telah mendapatkan konsesi di Misool Utara hingga
Salawati. Potensi ini didasarkan dari data pemboran dari dua sumur di sekitar
selatan Kepulauan Dua yang terdapat adanya indikasi gas pada sumur TBA-2x
dengan kedalaman 2.516 m dan sumur TBC-IX kedalaman 2.501 m (Rusmana
1989 dalam Pemda Raja Ampat 2006). Rencana produksi dan lokasi minyak dan
gas bumi di empat sumur TBA-3x (1033’39,2”-130031’09.0’), TBA-4x
(1033’16.0”- 130031’13.9”), TBC-2x (1031’44.3”- 130034’28.5”) dan TBC-3x
(1031’59.4”- 130034’18,3”) adalah 13.400 BCPD (barel minyak/hari) selama 32-
34 bulan dan 75 MMSCFD (juta kaki gas/hari) (Pemda Raja Ampat 2006).
50
5.2 Kawasan Konservasi Laut Daerah Raja Ampat
Kekayaan sumberdaya laut yang dimiliki oleh Raja Ampat mendorong
tindakan pelestarian dan pengelolaan yang efektif agar terjamin keberlanjutannya.
Hal inilah yang menjadi salah satu alasan pentingnya suatu penetapan kawasan
konservasi, sehingga Raja Ampat menjadi area prioritas untuk kegiatan
perlindungan atau konservasi laut.
Kabupaten Raja Ampat memiliki beberapa kawasan konservasi laut yang
dikenal dengan Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD). KKLD merupakan
kawasan konservasi perairan di wilayah laut yang dikembangkan oleh pemerintah
daerah dengan tujuan untuk mengkonservasi habitat dan proses-proses ekologi,
dan perlindungan nilai sumberdaya sehingga kegiatan perikanan, pariwisata,
penelitian, dan pendidikan dapat dilaksanakan secara berkelanjutan (Coremap II
2008).
Adapun kawasan Konservasi Laut Daerah Raja Ampat terdiri dari enam
kawasan KKLD yang berada di empat pulau besar yaitu Batanta, Waigeo, Misool,
dan Salawati. Secara keseluruhan total kawasan konservasi laut yang telah
ditetapkan adalah 1.125.940 ha wilayah laut dan menurut Peraturan Daerah
Kabupaten Raja Ampat No. 27 Tahun 2008 tentang Kawasan Konservasi Laut
Daerah Kabupaten Raja Ampat, cakupan jejaring KKLD Raja Ampat meliputi
wilayah pesisir, laut dan pulau-pulau kecil yang terdapat didalamnya.
Tabel 11. Luas Kawasan Konservasi Laut Daerah Kabupaten Raja Ampat
No. Nama Kawasan Luas (ha)
1. KKLD Kep. Kofiau-Boo 170.000
2. KKLD Misool Timur Selatan 343.200
3. KKLD Selat Dampier 303.200
4. KKLD Kep. Ayau-Asia 101.440
5. KKLD Kawe/ Sayang Wayag 155.000
6. KKLD Teluk Mayalibit 53.100
Sumber : DKP Raja Ampat (2009)
Jika dibandingkan dengan data nasional tentang Kawasan Konservasi Laut
Daerah di Tahun 2009, maka KKLD Kab. Raja Ampat memiliki Persentase
51
sebesar 35,7 persen dari total keseluruhan luas KKLD di Indonesia. Hal ini
menunjukkan KKLD di Raja Ampat memberikan pengaruh yang cukup besar bagi
keberlanjutan sumberdaya di masa mendatang.
Kawasan Konservasi Laut Daerah ini dideklarasikan secara sah oleh Menteri
kelautan dan Perikanan Republik Indonesia di Waisai pada tanggal 15 Desember
2007 dan pengelolaannya diperkuat dengan Peraturan Daerah Kabupaten Raja
Ampat No. 27 Tahun 2008 tentang KKLD Raja Ampat. Deskripsi lengkap tentang
masing-masing KKLD yang terdapat di Kabupaten Raja Ampat dibahas dalam
uraian berikut.
5.2.1 KKLD Kepulauan Kofiau-Boo
Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Kep. Kofiau-Bo dengan luas
170.000 ha terletak di Distrik Kofiau dan mencakup tiga kampung. Kawasan ini
memiliki tingkat keanekaragaman hayati laut yang cukup tinggi dan menjadi
tempat penting bagi beberapa jenis penyu hijau (Green turtle) dan penyu sisik
(Humpback turtle) sebagai jalur migrasi (Corridors) dan tempat bertelur (Nesting
beach) serta habitat beberapa jenis mamalia laut, dugong, serta jenis-jenis ikan
yang bernilai ekonomis tinggi seperti ikan kerapa (Grouper) dan napoleon
(Wrasse).
Hasil survai ekologi TNC pada Tahun 2001 dikutip DKP Raja Ampat (2009)
menunjukkan bahwa kawasan ini memiliki kurang lebih 284 jenis ikan karang
dalam sekali penyelaman (tertinggi di Raja Ampat) dan 174 jenis karang keras
(dari jumlah total 537 pesies yang ditemukan di seluruh perairan Raja Ampat)
yang sekaligus menjadi “rumah bagi berbagai jenis ikan karang” yang terdapat di
laut Kofiau. Selain itu berdasarkan hasil survai program tim monitoring TNC Raja
Ampat, terdapat kurang lebih delapan jenis cetacean yaitu Orca (Orchinus orca)
atau paus pembunuh yang sering disebut dengan bahasa lokal rowetroyer atau
paus pembunuh palsu (Pseudorca crassidens), paus pemandu sirip pendek
(Gobichepala macrorhynchus), lumba-lumba paruh panjang (Stenella
longirostris), lumba-lumba totol (Stenella attennuata), lumba-lumba hidung botol
(Tursiops truncates), dan beberapa jenis lainnya yang tidak dapat teridentifikasi
(DKP Raja Ampat 2009).
52
Pengelolaan KKLD Kofiau-Boo dilakukan berdasarkan asas mufakat,
keterpaduan, keseimbangan, berkelanjutan, berkeadilan, dan berbasis masyarakat
serta dilakukan berdasarkan manajemen kolaborasi yaitu melibatkan unsur
pemerintah kabupaten, distrik dan kampung, unsur masyarakat, unsur keagamaan,
dan unsur adat dengan memadukan antara manajemen konservasi modern dan
konservasi tradisional yang berbasis masyarakat lokal (DKP Raja Ampat 2009).
Prinsip pengelolaan KKLD ini adalah, (1) pencegahan tangkap lebih, (2)
penggunaan pertimbangan bukti ilmiah, (3) pertimbangan kearifan lokal, (4)
pendekatan kehati-hatian, (5) keterpaduan pengembangan wilayah pesisir, (6)
pengembangan alat dan cara penangkapan ikan yang ramah lingkungan, (7)
pertimbangan kondisi sosial ekonomi masyarakat, (8) pemanfaatan secara
berkelanjutan keanekaragaman hayati, (9) perlindungan struktur dan fungsi alami
ekosistem perairan yang dinamis, (10) perlindungan jenis dan kualitas genetik
ikan, dan (11) pengelolaan adaptif (DKP Raja Ampat 2009).
Kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan saat ini lebih difokuskan pada tiga
hal yaitu, penjangkauan masyarakat (community outreach), monitoring (biologi
laut dan pemanfaatan sumberdaya laut), dan kegiatan yang berhubungan dengan
kebijakan. Jika dilihat dari sisi sumberdaya, terlihat adanya peningkatan kualitas
terutama terumbu karang dan sumberdaya ikan. Selain itu, terjadi kemajuan dalam
aspek kebijakan yang mendukung upaya pembentukan KKLD Kofiau dan Boo
ini.
5.2.2 KKLD Misool Timur Selatan
Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Misool Timur Selatan memiliki
luas 343.000 ha dan terletak mencakup tiga distrik yaitu Distrik Misool Timur,
Misool Selatan, dan Misool Barat, serta terdiri dari 11 kampung. KKLD Misool
Timur Selatan memiliki keunikan bentang lahan berupa pulau-pulau karst/kapur
(Lime stone) yang sangat unik dan menjadi tempat penting bagi jenis penyu
seperti penyu hijau (Eretmochelys imbricate) dan penyu sisik (Humpback turtle)
sebagai jalur migrasi dan tempat bertelur. Selain itu menjadi habitat beberapa
jenis mamalia laut, dugong, serta jenis ikan yang bernilai ekonomis tinggi seperti
ikan kerap (Grouer) dan napoleon (Wrasse).
53
Hasil penelitian ekologi TNC pada Tahun 2002 dikutip DKP Raja Ampat
(2009) menunjukkan bahwa tidak kurang dari 144 spesies terumbu karang (dari
jumlah total 537 spesies yang ditemukan di seluruh perairan Raja Ampat) dengan
panjang kurang lebih 700 km yang mengelilingi gugus pulau-pulau berada di
kawasan ini, terutama jenis Acropora, Labophytum, Favia, dan Motypora. Hasil
survai monitoring kesehatan karang yang dilakukan oleh TNC Raja Ampat pada
tahun 2007/2008 pada 91 titik pemantauan menunjukkan rata-rata tutupan karang
keras (hard coral) dan karang lunak (soft coral) berturut-turut mencapai 60,67
persen dan 49,67 persen. Keberadaan ekosistem karang ini semakin menarik
karena dihuni oleh ± 300 jenis ikan (REA 2002 dikutip DKP Raja Ampat 2009).
Prinsip pengelolaan di KKLD ini memiliki kesamaan dengan pengelolaan
KKLD Kofiau Boo yakni berdasarkan asas mufakat, keterpaduan, keseimbangan,
berkelanjutan, berkeadilan, dan berbasis masyarakat, serta dilakukan berdasarkan
manajemen kolaborasi yaitu melibatkan unsur pemerintah kabupaten, distrik dan
kampung, unsur masyarakat, unsur keagamaan, dan unsur adat dengan
memadukan antara manajemen konservasi modern dan konservasi tradisional
yang berbasis masyarakat lokal (DKP Raja Ampat 2009). Demikian halnya
dengan prinsip-prinsip yang diberlakukan dalam KKLD Kofiau-Boo.
5.2.3 KKLD Selat Dampier
Kawasan Konservasi Laut Daerah Selat Dampier meliputi empat distrik,
yaitu, Distrik Waigeo Selatan, Distrik Meosmansar, Distrik Selat Sagawin, dan
Distrik Salawati Utara. KKLD Selat Dampier memiliki luas 303.200 ha. Kawasan
ini menjadi penting untuk dijaga dan dilindungi karena merupakan jalur arus air
pasifik ke laut Halmahera, menjadikannya up welling dan menyebabkan laut
menjadi kaya akan nutrient. Nutrient inilah yang diperlukan oleh biota laut
terutama plankton sebagai bahan makanan, jalur migrasinya jenis ikan paus dan
lumba-lumba, serta ditemukannya 270-an jenis ikan dalam sekali penyelaman.
Selat Dampier berada dekat dengan pusat pengembangan ibukota Kabupaten
Raja Ampat, Waisai, sehingga aktifitas pengembangan itu mempengaruhi
keberadaan KKLD, seperti pembangunan pelabuhan, darmaga, bandara, jalan, dan
pengembangan pemukiman. Selain itu, selat ini merupakan pusat pengembangan
54
infrastruktur pariwisata baik oleh pengusaha asing maupun lokal, serta
pemanfaatan perikanan pun tidak kalah besarnya (DKP Raja Ampat 2009).
Pada kawasan ini telah ditetapkan sejumlah Daerah Perlindungan Laut
(DPL) yang dibangun dan dikelola oleh masyarakat kampung. Dalam sistem
zonasi KKLD, daerah perlindungan ini akan berfungsi sebagai area larang ambil
no take zone dan masih akan diperbanyak lagi untuk mencapai tujuan
pengelolaannya.
Kegiatan di Selat Dampier dimulai dengan serangkaian koordinasi dan
kegiatan bersama dengan masyarakat diantaranya adalah lokakarya patroli
pengawasan yang dilakukan melalui sistem Pokmaswas yang dibentuk di setiap
kampung. Kemajuan terkini dari pengembangan Selat Dampier sebagai KKLD,
sedang dibuat zonasi dan penyusunan draft rencana pengelolaan KKLD Selat
Dampier sebagai pilot project pengembangan rencana pengelolaan KKLD-KKLD
di Raja Ampat.
5.2.4 KKLD Kepulauan Ayau-Asia
KKLD kepulauan Ayau Asia terletak di daerah paling utara Kabupaten Raja
Ampat dan berbatasan dengan Negara Palau. Secara geografis KKLD Kep. Ayau
Asia terbagi dalam tiga daerah yaitu, Ayau kecil, Ayau besar, dan Kepulauan
Ayau. Luas keseluruhan KKLD ini adalah 101.400 ha.
Penetapan wilayah ini didahului oleh kegiatan kampanye tentang
pembangunan berwawasan lingkungan hidup dan kegiatan konservasi dengan
melibatkan berbagai pihak (masyarakat adat, pemerintah, LSM lokal, pihak
keamanan, dan lembaga agama). Dukungan positif dari masyarakat akan kegiatan
konservasi ini ditandai dengan berbagai kegiatan pengawasan terhadap kegiatan
penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan oleh pihak yang tidak
bertanggung jawab.
Zonasi kawasan ini ditetapkan oleh masyarakat lokal dan terdapat enam
zona area larang ambil (no take zone) yang telah direkomendasikan dan diberi
tanda dengan pelampung oleh masyarakat kampung Yenkwir dan kampung
Rutum. Masyarakat juga membuat kesepakatan-kesepakatan tertulis dan lisan
55
untuk tidak melakukan aktivitas penangkapan beserta sanksi-sanksi yang akan
diberikan bagi pelanggar aturan tersebut.
Pengelolaan kawasan KKLD ini didukung dengan kegiatan pembuatan
zonasi kampung dan marga; monitoring terumbu karang seluruh KKLD Kep.
Ayau Asia; pembentukan tim patroli masyarakat di tiap kampung; penguatan
kelompok pemuda mahasiswa; pembuatan peta partisipatif; pembuatan pos patroli
di Pulau Moof; studi banding tentang penyu; pengadaan fasilitas patroli; diskusi
kampung; studi banding pembuatan garam dari air laut di Bali; pelatihan
peternakan babi di Bali; pendirian radio komunitas; dan pendidikan lingkungan
hidup untuk anak-anak SD, SMP, dan masyarakat dengan slogan no turtle on the
menu yang merupakan suatu komitmen diantara masyarakat untuk tidak
mengkonsumsi penyu terutama dalam acara besar seperti natal, tahun baru, pesta
perkawinan, dan hajatan lainnya.
5.2.5 KKLD Kawe/ Sayang Wayag
KKLD Kawe atau Sayang Wayag terletak di bagian barat laut Raja Ampat
dan berbatasan dengan laut Halmahera. Secara geografis terbagi dalam dua daerah
yaitu, Pulau Sayang-Pulau Piai, dan Pulau Wayag dengan total wilayah
keseluruhan adalah 155.000 ha. Kawasan konservasi ini adalah pulau-pulau
kosong dan tidak ada perkampungan satupun (DKP Raja Ampat 2009).
Potensi KKLD Kawe adalah keindahan pulau-pulau Karst dan pantai, tempat
bertelurnya penyu, biota laut seperti hiu, manta, tengiri, kerapu, terumbu karang,
dan menjadi lokasi tempat bermigrasinya paus dan lumba-lumba. Pulau Wayag
Sayang, termasuk dalam pertuanan adat suku Kawe dan Maya yang tinggal di
Kampung Selpelel dan Salio.
Ancaman yang selama ini dirasakan oleh masyarakat adalah penangkapan
ikan skala besar dari nelayan luar, penggunaan bom dan potassium dalam
mengambil sumberdaya laut, perburuan daging dan telur penyu, pencemaran oleh
limbah tambang; konflik internal kepemilikan lokasi oleh masyarakat Salio,
Selpele maupun masyarakat Halmahera.
Kegiatan yang dilakukan untuk menjaga dan mengurangi tekanan terhadap
lingkungan di kawasan Wayag-Sayag dibentuk tim patroli masyarakat dengan
56
jadwal kegiatan patroli selama sebulan, setiap kelompok mendapat dua kali
selama dua hari. Secara empiris, dilaporkan oleh nelayan Salio dan Selpele bahwa
telah terjadi peningkatan populasi teripang, udang, dan lola (Trocus niloticus)
karena berkurangnya pengambilan oleh nelayan luar. Sebagai dukungan moriil
dan semangat masyarakat, maka dibuatlah kesepakatan-kesepakatan bersama
untuk menjaga kawasan Wayag Sayag yang ditandatangani bersama dengan surat
dukungan para tokoh adat dan masyarakat Kawe untuk penetapan KKLD pada
tanggal 18 November 2007.
5.2.6 KKLD Teluk Mayalibit
Kawasan Konservasi Laut Daerah Teluk Mayalibit terletak di Pulau Waigeo
dengan luas kawasan 53.100 ha. Teluk Mayalibit merupakan teluk memanjang
yang hampir memisahkan Pulau Waigeo menjadi dua bagian dengan mulut teluk
yang sangat sempit menjadikan Teluk Mayalibit sebagai kawasan yang relatif
tertutup.
Teluk Mayalibit memilki habitat mangrove dan lamun yang sangat baik.
Lebar hamparan padang lamun dapat mencapai 70 meter dari tepi hutan mangrove
menuju darat. Pada beberapa titik seperti di daerah sebelum Kalitoko, terdapat
formasi mangrove dan lamun yang baik. Hutan mangrove juga dijumpai di daerah
Waifoi dan Weenok dan antara Kabilol dan Arawai dengan Persentase karang
keras relatif kecil, namun daerah Teluk Mayalibit sangat berpotensi sebagai
tempat pembesaran biota-biota laut seperti tenggiri, ikan samandar, udang, bubara,
kakap, kepiting bakau, dan ikan lema (Restraiger kanagurta) sebagai ikan
konsumsi terutama masyarakat Raja Ampat dan Sorong (DKP Raja Ampat 2009).
Masyarakat lokal merasa peduli terhadap pentingnya perlindungan sehingga
mereka berperan aktif dalam upaya konservasi. Salah satunya adalah dengan
kegiatan patroli untuk menjaga kawasan ini dari kerusakan. Sistem patroli yang
diterapkan adalah pengawasan dengan menggunakan sebuah speed boat untuk
melakukan pengontrolan kurang lebih dua kali seminggu.
Dampak dari penetapan Teluk Mayalibit sebagai kawasan konservasi antara
lain, kesadaran masyarakat tentang pentingnya konservasi bagi keberlangsungan
hidup lebih meningkat; kegiatan over fishing dan penangkapan yang merusak
57
telah menurun drastis; telah terdapat zona inti dan kawasan konservasi kampung
seluas 20 ha; terbentuknya 10 Kelompok Penggiat Konservasi Kampung (KPKK)
se-Distrik Telma dengan jumlah personil sebanyak 175 orang.
5.3 Daerah Perlindungan Laut (DPL)
Setiap kampung dapat membuat DPL yang diatur dalam peraturan kampung,
dengan tujuan menjaga dan melindungi sumberdaya laut di masing-masing
wilayah. Pengelolaan DPL dilakukan secara terpadu dengan tetap memperhatikan
kondisi ekologi dan melibatkan peran serta masyarakat. Berdasarkan data terakhir
Tahun 2009, jumlah Daerah Perlindungan Laut yang dibentuk di Kabupaten Raja
Ampat berjumlah 19 DPL, dan menyebar di kampung-kampung. Adapun daftar
nama DPL, luas, dan lokasinya dapat terlihat pada tabel berikut.
Tabel 12. Luas Daerah Perlindungan Laut Kabupaten Raja Ampat
No. Nama DPL Kampung Lokasi Luas (Ha)
1. Fiaduru Yenbeser Waigeo Selatan 65,000
2. Gurabessy Saonek Waigeo Selatan 168,155
3. Yenmangkwan Saporkren Waigeo Selatan 32,200
4. Kordiris Friwen Waigeo Selatan 155,013
5. Mursika Mutus Waigeo Barat 791,790
6. Bianci Bianci Waigeo Barat 60,605
7. Kapsarau Waisilip Waigeo Barat 84,987
8. Masadimmawa Meosmanggara Waigeo Barat 111,777
9. Manfakwak Manyaifun Waigeo Barat 47,999
10. Mansilo Selpele Waigeo Barat 39,512
11. Warasmus Yenbuba Meosmansar 43,000
12. Yendersner Kurkapa Meosmansar 37,000
13. Imburnos Sawandarek Meosmansar 15,000
14. Tanadi Kapisawar Meosmansar 33,000
15. Kormansiwin Yenwaupnor Meosmansar 80,000
16. Mansaswar Sawinggrai Meosmansar 85,000
17. Ikwan Iba Yenbekwan Meosmansar 65,000
18. Indip Arborek Meosmansar 32,500
19. Mambarayup Arborek Meosmansar 32,500
Sumber : Coremap II Raja Ampat (2009)
Kampung Saporkren memiliki satu Daerah Perlindungan Laut (DPL) yang
diberi nama DPL Yenmangkwan. Luas kawasan ini adalah 32,2 ha dan berada
tidak jauh dari kawasan perkampungan masyarakat. Jika dianalisis, rezim
58
kepemilikan sumberdaya laut di Kampung Saporkren tergolong rezim komunal
atau masyarakat. Hal ini ditandai dengan hak kepemilikan yang sifatnya sudah
turun temurun di dalam masyarakat Saporkren. Sebelum adanya DPL, masyarakat
lokal telah menerapkan sistem pengelolaan laut yang dikenal dengan istilah Sasi
Gereja. Model pengelolaan tersebut dipercaya sebagai salah satu tindakan untuk
menjaga hasil laut dan dengan menerapkan aturan-aturan lokal yang bersifat
keagamaan, masyarakat dituntut untuk mematuhinya. Hal ini didukung dengan
pernyataan salah satu tokoh adat, PD (67 tahun) :
“…sebelum ada DPL, kami juga sudah buat aturan sendiri yang sering
kami bilang Sasi Gereja. Semua dilarang untuk mengambil hasil laut kalo
Sasi itu jalan, tapi biasanya tong hanya atur sampe 1 tahun, habis itu boleh lagi ambil. Kalo pas mau Sasi dilakukan, torang buat acara adat
trus doa juga biar berhasil”.
Kemudian pada Tahun 2006, pihak Pemerintah Daerah bersama pihak
konservasi mendatangi kampung ini dan memulai dengan tahap Mensosialisasikan
program DPL. Adapun tahapan pembentukan dan pengelolaan DPL
Yenmangkwan meliputi Sosialisasi pembentukan DPL, survai lokasi calon DPL,
dan penetapan DPL.
Gambar 9. Tahapan Pembentukan DPL Yenmangkwan Kampung Saporkren
5.3.1 Sosialisasi Awal Pembentukan DPL
Sosialisasi awal pembentukan Daerah Perlindungan Laut Yenmangkwan
dilakukan dalam bentuk Sosialisasi kepada masyarakat tentang materi potensi laut
yang ada di Kampung Saporkren, permasalahan kerusakan terumbu karang dan
sumberdaya laut lainnya, serta pentingnya suatu cara penjagaan yang sifatnya
berkelanjutan dan berbasis masyarakat. Saat itu pula diadakan pemutaran video
tentang terumbu karang dan kerusakan yang terjadi saat-saat ini. Kegiatan ini
dilaksanakan pada Tahun 2006 sebagai langkah awal pendekatan kepada
Sosialisasi
pembentukan
DPL
Survai
lokasi calon
DPL
Penetapan
DPL
59
masyarakat. Selain itu, diperkenalkan pula konsep Daerah Perlindungan Laut.
yang meliputi, pengertian DPL, tujuan dan manfaat DPL, sistem pengelolaan
DPL, dan topik lainnya yang berkaitan dengan materi DPL.
5.3.2 Survei Lokasi Calon DPL dan Penentuan Lokasi DPL
Tahap ini diawali dengan Forum Group Discussion (FGD) dimana Coremap
bersama masyarakat duduk bersama membicarakan kesepakatan lokasi yang akan
ditetapkan sebagai area DPL. Agenda utama yang dibicarakan antara lain
penggambaran bersama calon lokasi DPL, penentuan besar luasan lokasi tersebut,
pemetaan sumberdaya yang akan dilindungi dan stakeholder yang bertanggung
jawab terhadap lokasi DPL, serta penandatanganan penyerahan lokasi sebagai
wilayah DPL.
Survai lokasi calon DPL dilakukan berdasarkan pemetaan potensi yang telah
dilakukan oleh masyarakat. Lokasi yang dipilih adalah lokasi dengan tutupan
karang yang baik dan cukup baik, tidak jauh dari pemukiman masyarakat agar
memudahkan masyarakat dalam pengawasan terhadap lokasi DPL. Lokasi yang
dipilih ditetapkan sebagai daerah larang ambil atau no take zone.
5.3.3 Penetapan DPL
Setelah dilakukan survai lokasi DPL, maka ditetapkanlah Daerah
Perlindungan Laut dan diberi suatu nama yakni Yenmangkwan yang artinya
adalah pasir panjang. Penetapan DPL dikukuhkan dengan peraturan kampung No.
001/DPL/KP-SPKRN/2010 tentang Pengelolaan Daerah Perlindungan Laut
Berbasis Masyarakat (DPL-BM).
Berdasarkan peraturan kampung yang telah disepakati bersama,
pembentukan DPL ini bertujuan untuk menjaga terumbu karang dan ekosistem di
dalam laut serta mensejahterakan masyarakat. Proses penetapan DPL melibatkan
beberapa pihak khususnya masyarakat, dan saat itu masyarakat diminta
menandatangani surat persetujuan atau kesepakatan bersama sebagai bukti
pengesahan pembentukan DPL.
60
5.4 Institusi Pengelolaan Daerah Perlindungan Laut
5.4.1 Batasan Wilayah (Territorial Boundary)
Pembatasan wilayah Daerah Perlindungan Laut Yenmangkwan dimulai dari
pangkal rataan terumbu yang berupa garis pantai hingga ke ujung tubir terumbu,
sehingga bentuk wilayahnya tidak begitu berbentuk persegi pada umumnya. Pada
garis pantai, bentuk batas DPL mengikuti lekuk garis pantai dan pada wilayah
tubir terumbu polanya mengikuti bentuk batas terumbu. Pemasangan tanda batas
dengan pelampung dilakukan pada empat titik penempatan sehingga nantinya
membentuk formasi persegi panjang. Pemasangan batas pelampung menggunakan
dana yang diberikan untuk proses pembentukan Daerah Perlindungan Laut.
Namun saat ini, hingga peneliti melakukan penelitian, batas-batas tersebut tidak
nampak lagi karena dicabut oleh orang-orang yang tidak dikenal pada saat
masyarakat tidak dalam penjagaan (saat masyarakat lokal tertidur). Batas-batas
tersebut kemudian digantikan dengan batangan kayu panjang yang menancap di
keempat titik tersebut.
Pembatasan wilayah DPL Yenmangkwan membuat perubahan pada wilayah
tangkap nelayan Saporkren. Namun, sejak pembentukan DPL hingga saat ini tidak
terjadi konflik yang besar terkait perubahan wilayah tangkap para nelayan. Hal ini
dikarenakan masyarakatlah yang menjadi penentu dalam pembuatan batas-batas
DPL. Adapun gambaran perubahan wilayah tangkapan nelayan Saporkren
sebelum dan sesudah adanya DPL dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
Gambar 10. Perubahan Wilayah Tangkap Nelayan Saporkren
Sebelum DPL Setelah DPL
61
Gambar 10 menggambarkan wilayah tangkap nelayan Saporkren sejak
sebelum terbentuknya DPL dan setelah adanya DPL. Gambar tersebut diperoleh
melalui kegiatan FGD (Focus Group Discussion) diantara masyarakat.
Masyarakat berkumpul lalu menggambarkan pemataan wilayah tangkap mereka
sebelum DPL dan setelah adanya DPL. Sebelum DPL terbentuk, nelayan bebas
menangkap di seluruh wilayah laut khususnya bagian laut yang dekat dengan
perkampungan. Namun setelah adanya DPL nelayan tidak dengan bebas melaut
karena ada batasan yang tidak boleh dilanggar, dan para nelayan hanya bisa
melaut di sekitar DPL dan bahkan akan menangkap di daerah yang lebih jauh
misalnya di daerah Tanjung Pisang. Namun, jika terjadi angin kencang maka
wilayah tangkap alternatif bagi nelayan adalah wilayah laut yang berdekatan
dengan Pulau Urai.
5.4.2 Peraturan (Rules)
Pengelolaan Daerah Perlindungan Laut tidak terlepas dari aturan-aturan
yang diberlakukan. Sejak pembentukan DPL Yenmangkwan, masyarakat duduk
bersama untuk mendiskusikan aturan yang akan ditetapkan sebagai peraturan
dalam pengelolaan kawasan ini. Berdasarkan Perkam (Peraturan kampung) No.
001/DPL/KP-SPKRN/2010 tentang Pengelolaan Daerah Perlindungan Laut
Berbasis Masyarakat (DPL-BM), adapun hal-hal yang dilarang untuk dilakukan
adalah sebagai berikut :
1. Pemboman ikan dan bius/potas
2. Penambangan karang dan pasir
3. Pembuangan limbah rumah tangga, industri, dan kapal
4. Reklamasi dan buang jangkar
5. Penebaran jala, pukat, atau sejenisnya
6. Memancing segala jenis ikan
7. Menangkap ikan dengan menggunakan alat panah/kalawai (tombak)
8. Pengambilan kerang-kerangan dan jenis biota lainnya
9. Menggunakan perahu berlampu (balobe)
10. Berjalan di atas terumbu karang
62
11. Mengambil biota laut yang dilindungi oleh undang-undang
12. Melintas di atas DPL
Berdasarkan keputusan bersama antara pihak Coremap II dengan
masyarakat, peraturan nomor 12 saat ini tidak diberlakukan lagi dengan alasan
area DPL adalah area bagi masyarakat untuk menuju Waisai ataupun sebaliknya.
Apabila aturan tersebut tetap diberlakukan, masyarakat harus menempuh jarak
yang lebih jauh. Oleh karena itu, siapapun berhak melintas di atas DPL tetapi
tidak boleh melakukan aktivitas apapun.
Adapun kegiatan yang diperbolehkan di lokasi DPL yaitu :
1. Kegiatan penelitian ilmiah/pendidikan
2. Kegiatan pariwisata atau penyelaman terbatas
3. Kegiatan monitoring atau pengawasan oleh kelompok pengelola
5.4.3 Hak (Rights)
Hak nelayan Saporkren sebelum adanya Daerah Perlindungan Laut terdiri
dari hak akses, hak pemanfaatan, hak pengelolaan, dan hak ekslusi, sedangkan
untuk hak alienasi tidak dikenal di dalam masyarakat karena menurut masyarakat
setempat, laut adalah milik bersama. Artinya, tidak ada satu orang pun yang
berhak menjual atau menyewakan hak yang dimiliki masyarakat kepada orang
lain diluar masyarakat setempat. Kemudian sejak adanya DPL, seperangkat hak
nelayan mengalami sedikit perubahan yakni perubahan pada hak pemanfaatan,
karena DPL telah ditetapkan sebagai zona inti dari Kawasan Konservasi Laut
Daerah (KKLD) dan itu artinya DPL merupakan area larang ambil. Ketiga tipe
hak lainnya yaitu hak untuk mengakses, mengelola, dan hak ekslusi tidak
mengalami perubahan.
5.4.4 Kewenangan (Authority)
Sistem pengelolaan Daerah Perlindungan Laut dikelola secara penuh oleh
masyarakat, dengan asumsi masyarakat lokal yang lebih paham akan kondisi laut.
Masyarakat memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengelola DPL dengan
menerapkan kearifan lokal yang telah dipegang sejak zaman dahulu. Masyarakat
63
bersama pemerintah daerah bekerjasama dalam proses perencanaan, pelaksanaan,
dan evaluasi, artinya masyarakat juga memiliki kewenangan penuh untuk terlibat.
Terkait sistem pengelolaan, adapula lembaga pengelola DPL yang dibentuk
sebagai pihak yang bertanggung jawab terhadap DPL, yaitu MK (Motivator
Kampung), LPSTK (Lembaga Pengelola Sumberdaya Terumbu Karang), dan
Pokmaswas (kelompok masyarakat pengawas). Ketiga lembaga tersebut dibentuk
berdasarkan pemilihan masyarakat dan anggotanya adalah masyarakat Kampung
Saporkren. MK (Motivator Kampung) berperan sebagai fasilitator masyarakat
khususnya terkait program DPL, menjadi pemandu masyarakat dalam
melaksanakan tahapan pengelolaan berbasis masyarakat di kampung, dan
memberikan laporan pengelolaan DPL kepada SETO yang bertanggung jawab di
tingkat distrik. Sedangkan LPSTK dan Pokmaswas di Kampung Saporkren
digabung menjadi satu kesatuan yang beranggotakan lima orang dan bertugas
sebagai pengelola di lapang atau langsung di area DPL, serta wajib memberikan
laporan kepada MK terkait pengelolaan DPL.
5.4.5 Pengawasan (Monitoring)
Pengawasan dan pengelolaan Daerah Perlindungan Laut Yenmangkwan
diberikan kepada masyarakat lokal sebagai pemilik sumberdaya laut tersebut.
Siapapun berhak mengawasi, tetapi tanggung jawab sepenuhnya diberikan kepada
Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmaswas) yang sekaligus menjadi anggota
LPSTK. Teknik pengawasan yang diterapkan di kampung Saporkren adalah
patroli dengan menggunakan perahu oleh anggota Pokmaswas/LPSTK. Mereka
menjalankan tugasnya baik pada siang hari maupun malam hari sesuai jadwal
pengawasan yang telah disusun bersama. Biasanya petugas mengawasi DPL
sekaligus mereka menangkap ikan di luar area DPL. Selain anggota
LPSTK/Pokmaswas, masyarakat yang non-anggota juga mengawasi DPL. Cara
masyarakat mengawasi adalah memantau dari kampung dan ketika mereka sedang
menangkap ikan di laut.
Teknik pengawasan yang dilihat nampak sederhana tetapi cukup efektif
dalam pengelolaan DPL. Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa
responden dinyatakan bahwa banyak kasus yang mereka temui terkait pelanggaran
64
aturan dan pelakunya adalah nelayan dari kampung lain atau anak-anak kecil yang
tidak mengetahui akan keberadaan DPL. Bagi pelanggar aturan akan diberikan
sanksi yang telah disepakati oleh masyarakat Saporkren.
5.4.6 Sanksi (Sanctions)
Terkait aturan yang telah ditetapkan dalam proses penjagaan DPL, apabila
ada yang melanggar peraturan-peraturan tersebut, maka sanksi yang diberikan
adalah teguran oleh Pokmaswas, dimana teguran ini berupa teguran I, II, dan III,
oleh MK atau LPSTK sebagai pihak yang bertanggung jawab penuh. Apabila
tersangka telah mendapatkan tiga kali teguran dan tetap melakukannya maka
sanksi yang lebih berat akan diberikan yakni diserahkan ke kantor polisi dan
penyitaan alat tangkap.
Menurut responden, sejak ditetapkan peraturan untuk pengelolaan DPL,
pelanggaran terhadap aturan tersebut tetap terjadi. Namun, hal itu lebih sering
terjadi saat awal pembentukan DPL, khususnya bagi pihak yang kontra dan
merasa hak mereka untuk menangkap ikan di DPL berubah secara drastis.
Tindakan tersebut dianggap sebagai salah satu tindakan nelayan yang tidak
menyetujui adanya Daerah Perlindungan Laut. Jika dibandingkan dengan
intensitas pelanggaran di awal pembentukan DPL, saat ini sudah berkurang. Jika
konflik terjadi hanyalah skala kecil, yaitu pelanggaran oleh nelayan dari kampung
lain. Hal ini disebabkan oleh perubahan persepsi nelayan yang telah menerima
keberadaan DPL Yenmangkwan. Apabila ada pelanggaran terjadi, pelakunya
adalah nelayan dari kampung lain yang belum mengetahui keberadaan DPL. Salah
satu kasus yang pernah dialami oleh salah satu responden, DS (29 tahun):
“…sa pernah dapat satu orang yang lagi tangkap ikan dengan jaring,
terus sa pergi tegur dia dan lapor dia ke LPSTK di kampung. nelayan ini
orang dari Waisai yang lagi ambil ikan pas di DPL, padahal waktu itu sa
baru pulang jual ikan dari Waisai, baru sa dapat dia. Pace ini tara mau ikut tapi sa paksa dia untuk ikut ke kampung sini supaya dapat tegur
sedikit dulu, habis tanda besar-besar begini masa da tara liat.”
65
BAB VI
DAMPAK PENETAPAN DPL TERHADAP KONDISI SOSIAL NELAYAN
6.1 Analisis Stakeholder
Pengelolaan kawasan konservasi baik laut maupun darat tidak terlepas dari
konteks hak kepemilikan atau hak pengelolaan para pihak yang berkepentingan
(stakeholders). Masing-masing pihak memiliki peranan dan kepentingan yang
berbeda, dan perbedaan itu memungkinkan terjadinya konflik ketika tidak adanya
kejelasan akan wilayah yang menjadi bagiannya. Oleh karena itu, dalam proses
pengelolaan diperlukan kejelasan akan hak milik yang akan menentukan dan
membatasi sejauh mana pihak tersebut dapat berperan dalam proses pengelolaan.
Daerah Perlindungan Laut yang dibentuk melibatkan banyak pihak dalam
proses perencanaan, pengelolaan, hingga evaluasi, dan masing-masing pihak
memiliki tugas dan dan tanggung jawab yang berbeda. Adapun pihak-pihak yang
terlibat antara lain, pemerintah pusat, pemeritah daerah, Coremap II, dan
masyarakat. Hal terpenting yang diharapkan dari semua stakeholder adalah
kerjasama yang dapat menjamin pengelolaan yang berkelanjutan.
6.1.1 Pemerintah Daerah
Peran pemerintah daerah dalam proses pembentukan dan pengelolaan
Daerah Perlindungan Laut (DPL) adalah menetapkan peraturan daerah terkait
kawasan konservasi laut dalam hal ini adalah KKLD. Pelaku-pelaku dari pihak
Pemda Kabupaten Raja Ampat meliputi, Bupati, Bappeda, DKP, Dinas
Pendidikan dan Pengajaran, Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup, Dinas
Kebudayaan dan Pariwisata, Kepala Bagian Hukum, Kepala Distrik Waigeo
Selatan dan Barat, Kepala Distrik Meos Mansar, dan Kepala Distrik Selat
Sagawin. Namun secara keseluruhan tugas dan tanggung jawab dari Pemerintah
Daerah tentang kawasan perairan dan khususnya konservasi laut diberikan kepada
Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kabupaten Raja Ampat. DKP memiliki
kewenangan untuk mengatur KKLD yang berada di Kabupaten Raja Ampat dan
bersama Coremap II bekerjasama dalam pengelolaan setiap DPL. DKP juga setiap
66
tahun membuat anggaran bagi kawasan-kawasan konservasi laut yang ada di Raja
Ampat baik dana pelaksanaan dan dana bantuan bagi masyarakat lokal sekitar
kawasan konservasi. Pemerintah daerah bertanggung jawab dalam bentuk bantuan
teknis pendanaan dan persetujuan aturan-aturan pengelolaan DPL yang telah telah
disepakati bersama masyarakat, misalnya surat persetujuan pengelolaan DPL atau
sering disebut Perkam DPL.
6.1.2 Coremap
Coral reef rehabilitation and management program (program pengelolaan
dan rehabilitasi terumbu karang) adalah perpanjangan tangan dari Dinas Kelautan
dan Perikanan Raja Ampat. Adapun tahapan Coremap di Raja Ampat terbagi
dalam tiga tahap yaitu, tahap pertama disebut tahap inisiasi (1998-2003), tahap
kedua, akselerasi (2004-2009), dan tahap ketiga pelembagaan (2010-2015). Saat
ini Coremap tahap II yang menjadi penanggung jawab di Kabupaten Raja Ampat.
Coremap II terbentuk di Raja Ampat sejak Tahun 2005 dengan alasan
dibutuhkan suatu program yang dianggap dapat melindungi sumberdaya laut yang
dimiliki Raja Ampat dari berbagai upaya yang dapat merusak. Visi dari Coremap
II adalah tercapainya kesejahteraan masyarakat dan kesehatan terumbu karang di
Kabupaten Raja Ampat.
Gambar 11. Penangggung Jawab Pengelolaan DPL Raja Ampat
Tingkat Kabupaten
Tingkat Distrik
Tingkat Kampung
Tingkat Kampung
SETO
Motivator
Kampung
POKMASWAS LPSTK
COREMAP II DKP
67
Lembaga Coremap sebagai perpanjangan tangan dari DKP memiliki
tanggung jawab untuk mengatur setiap DPL-DPL yang berada di Kabupaten Raja
Ampat. Kegiatan yang telah dilakukan adalah melakukan Sosialisasi-Sosialisasi
ke semua kampung yang menjadi target dari program DPL, melakukan kegiatan
pendidikan lingkungan hidup, pengawasan melalui LPSTK yang berada di
kampung-kampung DKP, melakukan monitoring terumbu karang di DPL,
pemantauan hasil tangkapan nelayan setiap bulan, membangun pondok informasi
di setiap kampung yang memiliki DPL, dan memberi dana bantuan bagi
pembangunan sarana dan prasarana kampung.
Coremap II Raja Ampat juga membagi tugas dan tanggung jawabnya
kebeberapa pihak baik di distrik maupun kampung. Penanggung jawab di tingkat
distrik disebut SETO yang bertugas mengkoordinasikan kegiatan-kegiatan yang
dilakukan di beberapa kampung. Masing-masing distrik memiliki satu atau dua
SETO, misalnya Distrik Waigeo Selatan yang terdiri dari beberapa kampung
termasuk Kampung Saporkren dipercayakan pada satu orang sebagai pihak yang
bertanggung jawab nantinya kepada Coremap. SETO yang hanya terdiri dari satu
atau dua orang saja menyebabkan mereka tidak setiap saat berada di kampung
karena tugasnya adalah mengelilingi setiap kampung untuk melihat
perkembangan pengelolaan DPL. Oleh karena itu, penanggung jawab di tingkat
kampung diserahkan kepada MD atau MK (Motivator Desa/Kampung). MD atau
MK ini dibentuk oleh masyarakat sendiri, berada dibawah pengawasan SETO, dan
bertugas sebagai fasilitator masyarakat khususnya terkait dengan program DPL.
MD akan menjadi pemandu masyarakat dalam mengikuti atau melaksanakan
tahapan pengelolaan berbasis masyarakat di kampung. Selain itu, dibentuk pula
LPSTK dan Pokmaswas sebagai lembaga pengelola DPL di lapangan. Pada
Kampung Saporkren, motivator kampungnya terdiri dari empat orang, sedangkan
LPSTK dan Pokmaswas digabung menjadi satu kesatuan dan dipercayakan pada
lima orang sebagai pengelola di lapangan. Sistem pengelolaan di lapangan adalah
masyarakat secara bersama memiliki hak untuk menjaga dan melarang siapapun
yang hendak melakukan aktivitas di lokasi DPL, sedangkan LPSTK dan
Pokmaswas adalah penanggung jawab di DPL, dimana mereka akan melakukan
patroli dan akan selalu akan memberikan laporan kepada MD/MK sebagai
68
fasilitator di masyarakat. Laporan tersebut nantinya akan dilanjutkan kepada
SETO dan disampaikan pada Coremap II sebagai pihak yang memiliki tanggung
jawab penuh kepada DKP.
Dewan Pemberdayaan masyarakat Pesisir atau Coastal Community
Empowerment Board (CCEB) terdiri dari beberapa instansi terkait dan perwakilan
pemangku kepentingan seperti masyarakat, LSM yang diwakili secara berimbang,
dan dibentuk oleh Bupati sebagai upaya untuk melakukan pembinaan
pengembangan peran serta masyarakat. Gambar 13, adalah gambar struktur
kelembagaan Coremap di suatu daerah.
Sumber : DKP Raja Ampat (2009)
Gambar 13. Struktur Kelembagaan Coremap Dewan Pemberdayaan
Masyarakat Pesisir
Monitoring,
Controling, and
Surveillance
(MCS)
Bupati
Pengelolaan Berbasis
Masyarakat
(PBM)
Dewan Pemberdayaan Masyarakat
Pesisir Pemda, Bappeda, Dinas
KP, KSDA, LSM, Adat dan pihak
terkait lainnya
Project Management
Unit (PMU)
Public
Awareness
(PA)
Pengelolaan
Kawasan
Konservasi
(MCA)
Coral Reef
Information
And Training Center
(CRITC)
Kampung
SETO (Fasilitator Masyarakat)
Motivator Desa
69
Bupati memiliki posisi tertinggi sebagai ketua atau pemilik tanggung jawab
penuh dalam program pemberdayaan masyarakat pesisir, dan pembagian
selanjutnya diberikan kepada dinas-dinas yang terkait seperti DKP Kabupaten,
Bappeda, KSDA, LSM, dan adat. Unit ini bertugas untuk melaksanakan sistem
kegiatan Coremap II secara teknis sesuai dengan komponen dan sub komponen
yang telah ditetapkan. Tanggung jawab kemudian diberikan kepada PMU atau
PMU Coremap II yang bertanggung jawab terhadap program-program unit antara
lain, CRITC, PBM, MCS, PS, dan MCA. Apabila program tersebut sampai hingga
ke kampung maka diberikan tanggung jawab lagi kepada Motivator Desa dan
dalam pengawasannya diserahkan pada SETO sebagai fasilitator masyarakat di
lapangan (Coremap II Raja Ampat 2009).
6.1.3 Masyarakat
Fokus utama dari pembentukan Daerah Perlindungan Laut yang
membedakan dengan kawasan konservasi lainnya adalah pengelolaan secara
penuh oleh masyarakat. Daerah Perlindungan Laut merupakan daerah laut dimana
masyarakat lokal sebagai pemilik utama oleh karena itu masyarakat bertanggung
jawab sebagai pengelola utama (DPL-BM). Pengaturan, pembatasan, dan larangan
yang berlaku di DPL ditetapkan oleh masyarakat dan pemerintah setempat dalam
bentuk peraturan kampung. Intinya adalah dari masyarakat, oleh masyarakat, dan
untuk masyarakat. Tujuan dari penyerahan tanggung jawab sepenuhnya pada
masyarakat adalah karena laut merupakan sumber kehidupan bagi masyarakat
pesisir, dan masyarakatlah yang paling memahami kondisi laut jadi lebih mudah
dalam proses penjagaannya. Selain itu, pemberian tanggung jawab sepenuhnya
kepada masyarakat adalah untuk mendidik masyarakat dalam hal perlindungan
sumberdaya laut sehingga dapat meningkatkan rasa tanggung jawab dan
kewajiban masyarakat. Masyarakat bertanggung jawab dalam menentukan lokasi
DPL, luasan DPL, tujuan pengelolaan, mengelola, dan membuat peraturan-
peraturan DPL atau disebut dengan peraturan kampung (Perkam).
Secara umum, peran masing-masing stakeholders yang terlibat dalam proses
pengelolaan DPL Yenmangkwan Kampung Saporkren ditunjukkan pada tabel
berikut :
70
Tabel 13. Peranan Stakeholders DPL Yenmangkwan Kampung Saporkren
No. Stakeholders Peran
1. Bupati Kab. Raja Ampat Penanggung jawab KKLD dan DPL,
Mengesahkan setiap peraturan terkait kawasan konservasi di Kab. Raja Ampat termasuk DPL
1. Dinas Kelautan dan
Perikanan (DKP) Kab.
Raja Ampat
Pengelola dan penanggung jawab Coremap II
Kab. Raja Ampat
2. PMU Coremap II Raja
Ampat
- Menyusun rencana tahunan
- Mengkoordinasikan dan melaksanakan
kegiatan Coremap II di kabupaten
- Memonitor dan mengevaluasi kegiatan di
masing-masing kampung dan melaporkan
pada DKP
- Melaksanakan kegiatan penelitian terumbu karang dan pelatihan LH
- Melaksanakan kegiatan penguatan SDM dan
kelembagaan pengelolaan terumbu karang
berbasis masyarakat, penyadaran
masyarakat, pengelolaan kawasan DPL dan monitoring, control, and surveillance (MCS)
3. Pemerintah kampung - Mendorong masyarakat untuk berperan aktif
dalam program pengelolaan terumbu karang
di kampung sejak perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi
- Mengangkat MD dan Pokmaswas sesuai
hasil musyawarah dan kesepakatan bersama
- Mengesahkan Perkam yang terkait dengan pembentukan DPL
4. LPSTK - Membantu penyusunan Rencana
Pengelolaan Terumbu Karang (RPTK)
- Membantu melakukan identifikasi seluruh
potensi yang ada di kampung
- Mengelola pondok informasi masyarakat
5. Pokmaswas - Melakukan patroli secara teratur di DPL
- Mengamati, mencatat, dan melaporkan
pelanggaran yang terjadi di DPL kepada MD
- Melakukan perawatan berbagai peralatan patroli dan tanda batas DPL
6. SETO (Fasilitator senior) - Menjalankan fungsi manajerial pengelolaan
DPL di setiap kampung.
- Mengarahkan, mendukung, dan membantu
71
kelancaran pelaksanaan seluruh kegiatan.
7. MD/MK (Motivator
desa/motivator kampung)
- Memandu masyarakat dalam melaksanakan
tahapan pengelolaan DPL-BM di kampung
- Menjadi penanggung jawab di tingkat
kampung dan akan memberikan laporan
kepada SETO terkait pengelolaan DPL
8. Masyarakat Menentukan lokasi DPL, luas DPL, membuat
Perkam, dan mengelola serta menjaga DPL berdasarkan Perkam
Tabel 13 menunjukkan peran dari semua pihak yang terlibat dalam proses
pengelolaan Daerah Perlindungan Laut di Kampung Saporkren. Aktor-aktor yang
terlibat meliputi Pemerintah Daerah (Bupati dan DKP), PMU Coremap II,
Pemerintah Kampung Saporkren, LPSTK, Pokmaswas, SETO, MK, dan
Masyarakat.
6.2 Sikap Masyarakat Terhadap Penetapan DPL
Respons masyarakat lokal terhadap penetapan Daerah Perlindungan Laut
Yenmangkwan dapat diukur dengan sikap mereka. Variabel dari sikap masyarakat
dilihat dari beberapa variabel, yaitu pengetahuan dan afeksi masyarakat terhadap
DPL.
Pengetahuan masyarakat terhadap Daerah Perlindungan Laut dapat dijadikan
salah satu bagian dari pengukuran respons nelayan sejak adanya DPL. Asumsinya
adalah jika masyarakat mampu menjelaskan dan memahami akan keberadaan
DPL dan beragam pengetahuan yang mendukung akan pemahaman tehadap
masyarakat maka dapat dikatakan respons mereka positif. Selain itu pengukuran
respons para nelayan akan adanya DPL dapat diukur dengan afeksi nelayan.
Asumsinya jika nelayan menjawab “Ya” dan mampu memberi alasan terhadap
jawaban tersebut dari beberapa pertanyaan yang diajukan, maka nelayan merasa
perlu dan penting akan adanya daerah perlindungan hasil laut.
Berdasarkan hasil analisis, dari delapan pertanyaan yang diajukan, diperoleh
hasil bahwa sebanyak 29 orang menjawab “Ya” artinya responden memiliki sikap
positif terhadap pembentukan Daerah Perlindungan Laut (DPL). Skor dari
jawaban setiap responden berada di atas rataan skor, artinya respons responden
72
positif. Responden lainnya, sebanyak 10 responden dianggap memiliki sikap
negatif terhadap pembentukan Daerah Perlindungan Laut dengan menjawab
“Tidak”.
Ketika masyarakat secara keseluruhan mampu menjawab “Ya”
menunjukkan bahwa mereka telah memahami esensi dari pembentukan DPL.
Secara tidak langsung responden yang memiliki respons positif menyetujui
pembentukan DPL, hal ini tergambarkan dengan pemahaman mereka akan tujuan,
larangan, aturan, dan sanksi yang berlaku di Daerah Perlindungan Laut. Bagi
responden yang menjawab “Tidak” dianggap memiliki respons yang negatif
terhadap pembentukan DPL, dengan perolehan skor masing-masing individu di
bawah skor rata-rata. Responden ini belum mau menerima adanya DPL yang
menyebabkan wilayah tangkap mereka terbatas. Berdasarkan hasil wawancara
dengan beberapa nelayan, dinyatakan oleh FS (59 tahun):
“…mereka yang tidak tahu tujuan DPL, maksud pembentukannya apa, dan sebagainya adalah mereka yang masa bodoh dengan DPL dan kegiatan-
kegiatan yang mendukung penjagaan DPL.”
Tabel 14. Jumlah dan Persentase Responden menurut Respons Responden
Terhadap Pembentukan DPL
Respon Masyarakat
Frekuensi Persen Valid
Percent
Persentase Total
Valid Negatif 10 25.6 25.6 25.6
Positif 29 74.4 74.4 100
Total 39 100 100
Rendahnya pemahaman nelayan akan keberadaan DPL dapat dipengaruhi
oleh rendahnya minat keikutsertaan responden sejak awal perencanaan hingga
pada pelaksanaan, misalnya nelayan enggan mengikuti rapat-rapat yang
mendiskusikan Daerah Perlindungan Laut Yenmangkwan dan pada akhirnya
mereka tidak antusias untuk terlibat dalam pelaksanaannya. Oleh karena itu,
diperlukan upaya yang ekstra untuk membangkitkan minat nelayan lain untuk
meresponi kegiatan-kegiatan tersebut.
73
6.3 Dampak DPL terhadap Seperangkat Hak (Bundles of right) Nelayan
Pada umumnya masyarakat Raja Ampat bermata pencaharian sebagai
nelayan dan menggantungkan hidup mereka pada laut. Laut dianggap sebagai
warisan nenek moyang yang sangat berharga dan wajib dijaga dan dilindungi.
Berdasarkan hasil wawancara dengan responden, sebagian besar menyatakan
bahwa laut adalah hidup mereka karena warisan leluhur dan sejak jaman dahulu
nelayan bebas melaut di daerah mana pun, sebagaimana seperti pendapat YM (55
tahun):
“…saya punya nenek moyang bilang laut itu punya bersama dan bisa
ambil ikan sepuasnya dimana saja dan kapan saja kita suka.”
Pernyataan di atas menunjukkan bahwa kebebasan memiliki dan mengelola
sumberdaya pesisir adalah milik bersama artinya siapapun berhak mengambil
hasil laut tanpa batasan dan tanpa memperhitungkan waktu. Nelayan Saporkren
mayoritas adalah nelayan lokal dan telah ada di kampung ini sejak mereka
dilahirkan. Berdasarkan hasil wawancara rata-rata responden merupakan
penduduk asli Kampung Saporkren dan telah menetap lebih dari 10 tahun. Oleh
karena itu, setiap nelayan merasa memiliki hak yang besar untuk mengatur,
menjaga, memanfaatkan, dan mengelola sumberdaya yang terkandung di
dalamnya. Hak kepemilikan seseorang atas sumberdaya menjadi hal yang penting
untuk diketahui dengan tujuan untuk mengurangi konflik kepentingan atau konflik
pemanfaatan atas sumberdaya yang ada.
Teori Ostrom dan Schlager tentang hak pengelolaan yang dikutip oleh Satria
(2009), menyatakan bahwa terdapat lima tipe hak yaitu, a) hak akses, b) hak
pemanfataan, c) hak pengelolaan, d) hak ekslusi, dan e) hak pengalihan. Secara
teori, kelima hak tersebut semestinya dimiliki oleh pemilik sumberdaya, tetapi
bisa mengalami perubahan ketika suatu program diberikan. Nelayan pun memiliki
hak-hak tersebut walau tidak semuanya, sifatnya tergantung pada tipe sumberdaya
alam yang berada di masing-masing daerah. Artinya, hak nelayan bisa berbeda
dengan hak petani, tergantung pada tipe sumberdaya yang dimiliki, apakah
sifatnya yang mudah dikelola, seperti lahan dan sifatnya cenderung individu, atau
sifatnya yang sulit untuk dikelola/dijaga seperti laut dan cenderung milik bersama.
74
6.3.1 Sebelum adanya DPL
Area yang dijadikan Daerah Perlindungan Laut Yenmangkwan adalah area
yang merupakan wilayah tangkapan nelayan Saporkren sehari-hari. Posisi DPL
tidak jauh dari perkampungan nelayan dan merupakan kawasan perlintasan
perahu-perahu masyarakat menuju Waisai. Sebelum pembentukan Daerah
Perlindungan Laut para nelayan Saporkren bebas menangkap di area mana saja
termasuk area yang menjadi DPL saat ini.
Jika dianalisis berdasarkan teori hak Ostrom dan Schlager dikutip Satria
(2009), nelayan Saporkren memiliki empat tipe hak yaitu hak untuk mengakses,
hak untuk memanfaatkan sumberdaya, hak untuk mengelola sumberdaya alam,
dan hak ekslusi, sedangkan tipe hak kelima tidak dimiliki oleh nelayan karena
terkait hak menjual atau menyewakan sumberdaya laut tidak berlaku di kampung
ini. Hal ini juga didukung dengan keterkaitan hak kepemilikan dengan rezim
kepemilikan yang berlaku di Kampung Saporkren yakni rezim komunal atau
masyarakat. Masyarakat setempat menganggap sumberdaya laut adalah warisan
turun temurun dari nenek moyang dan peraturan yang berlaku adalah peraturan
lokal berdasarkan pengetahuan lokal (sasi), oleh karena itu hak pengelolaan
adalah milik bersama dan bukan individu. Tidak ada seorang pun yang memiliki
hak individu untuk menjual atau menyewakan seluruh atau sebagian hak akses,
hak pemanfaatan, hak pengelolaan, dan hak ekslusi.
Masyarakat Saporkren terlebih dahulu telah memiliki sistem pengelolaan
sumberdaya laut sebelum adanya DPL. Sistem pengelolaan tersebut dikenal
dengan Sasi. Sasi laut yang diterapkan di kampung ini merupakan Sasi Gereja,
artinya peraturan terkait pengelolaan laut ditentukan atau dibuat oleh tokoh-tokoh
Gereja. Sasi Gereja adalah model sistem pengelolaan laut tradisional yang
diterapkan bagi semua masyarakat Saporkren dengan tujuan menjaga kelestarian
sumberdaya laut dan ekosistemnya. Aturan Sasi melarang masyarakat untuk
mengambil sumberdaya laut secara khusus teripang dan lola, karena banyak kasus
yang terjadi terkait pengambilan berlebihan yang dilakukan oleh nelayan dengan
menggunakan akar bore (sejenis tanaman beracun). Teripang dan lola dianggap
memiliki nilai jual yang sangat tinggi dan kuantitasnya yang lebih sedikit
dibandingkan ikan tangkapan sehari-hari, sehingga menjadi incaran para nelayan.
75
Ketika Sasi diterapkan, nelayan Saporkren dapat mengakses, dapat memanfaatkan
(terkecuali saat laut “ditutup”), mengelola, dan dapat menentukan siapa yang
boleh mengakses, mengambil hasil laut di wilayah perairan Kampung Saporkren.
Penerapan Sasi membuat nelayan terbatas untuk mengambil hasil laut di wilayah
yang telah ditetapkan untuk “ditutup”. Laut akan “ditutup” selama setahun tetapi
tidak menutup kemungkinan melebihi waktu tersebut, semua tergantung
kesepakatan bersama dan melihat kondisi hasil laut, apakah semakin sedikit
jumlah hasil laut atau tidak. Jika hasil laut semakin berkurang jumlahnya, maka
laut akan ditutup lebih dari satu tahun. Laut ditutup artinya kegiatan mengambil
hasil laut dihentikan pada wilayah laut tertentu dan dikhususkan pada jenis hasil
laut yang akan dilindungi, misalnya nelayan selama setahun dilarang mengambil
teripang dan lola boleh mengambil jenis ikan apapun, tetapi aturan itu bisa
berubah di tahun akan datang tergantung pada kondisi hasil laut.
6.3.2 Setelah adanya DPL
Daerah Perlindungan Laut Yenmangkwan yang berlokasi di Kampung
Saporkren dibentuk pada Tahun 2007 dengan luas 32,2 ha. Berdasarkan hasil
wawancara dengan salah satu anggota MD di kampung, alasan pembentukan DPL
di kampung ini adalah adanya jenis terumbu karang terbaik di wilayah laut
Kampung Saporkren. Hal tersebut didukung pula dengan hasil penelitian yang
dilakukan oleh pihak Coremap II untuk melihat tutupan karang yang ada di Raja
Ampat, dan ternyata potensi karang di DPL ini termasuk dalam kategori “sedang”,
oleh karena itu diperlukan adanya kegiatan perlindungan demi menjamin
keberlanjutan terumbu karang dan hasil laut lainnya..
Penetapan suatu kawasan yang awalnya bebas untuk diakses kemudian
menjadi area larangan ambil tentu berdampak terhadap perubahan seperangkat
hak-hak para nelayan. Hasil penelitian menunjukkan adanya perubahan
seperangkat hak (bundles of right) para nelayan di Saporkren sejak adanya Daerah
Perlindungan Laut. Perubahan hak tersebut sangat dirasakan oleh nelayan yang
sejak awalnya menjadikan area itu sebagai daerah tangkapan mereka. Para
nelayan yang awalnya memiliki empat tipe hak yaitu hak akses, hak pemanfaatan,
hak pengelolaan, dan hak ekslusi menjadi tiga tipe hak yaitu hak akses, hak
76
pengelolaan, dan hak ekslusi. Perubahan hak yang terjadi adalah perubahan tipe
hak kedua, dimana masyarakat tidak lagi memiliki hak untuk memanfaatkan
sumberdaya di area DPL. Seluruh masyarakat Saporkren dilarang untuk
melakukan berbagai kegiatan yang sifatnya mengambil ataupun memanfaatkan
sumberdaya laut yang ada.
Hal yang menarik disini adalah perubahan hak pemanfaatan tidak
menyebabkan konflik yang besar terkait kepemilikan sumberdaya laut diantara
para aktor yang terlibat. Hal ini didasarkan pada beberapa hal yaitu :
1. Sifat pengelolaan Daerah Perlindungan Laut yang berbasis pada masyarakat
lokal. Prinsip yang diterapkan dalam pengelolaan DPL adalah dari
masyarakat, oleh masyarakat, dan untuk masyarakat.
2. Dukungan pemerintah daerah dan kampung melalui penglegitimasian
Perkam DPL Yenmangkwan No.001/DPL/KP-SPKRN/2010 tentang
Pengelolaan Daerah Perlindungan Laut Berbasis Masyarakat.
3. Adanya kompensasi dari DKP melalui Coremap II bagi kampung untuk
mendukung penyediaan fasilitas-fasilitas umum, seperti mendirikan pondok
informasi, mendirikan beberapa MCK, dan pembuatan pagar di depan rumah
penduduk. Menurut koordinator Coremap II, pemberian dana baru diberikan
pada akhir tahun lalu sebesar Rp. 80 juta untuk kegiatan penyediaan sarana
dan prasarana di kampung.
4. Pengalaman sistem pengelolaan laut tradisional yakni Sasi yang telah
diterapkan masyarakat lokal. Hal ini telah membiasakan masyarakat untuk
tidak melakukan kegiatan penangkapan di area yang telah dilarang. Alhasil
ketika DPL dibentuk, nelayan tidak mengalami kesulitan untuk
menerapkannya.
5. Dukungan positif oleh tokoh-tokoh masyarakat termasuk tokoh agama
sebagai penanggung jawab dari sistem pengelolaan Sasi. Saat pembentukan
DPL, sistem Sasi tidak berjalan lagi, tetapi larangan untuk tidak mengambil
Lola dan Teripang tetap berlangsung karena menjadi salah satu larangan
dalam Perkam DPL Yenmangkwan. Walaupun Sasi tidak diterapkan lagi,
tidak menimbulkan dampak yang negatif bagi proses penerapan DPL, karena
77
masyarakat dan pihak Gereja sebagai penanggung jawab saat Sasi
diterapkan ikut mendukung pengelolaan DPL.
Secara ringkas perbandingan model pengelolaan Sasi (sebelum DPL) dan
model pengelolaan DPL dapat dilihat pada tabel berikut ini :
Tabel 15. Perbandingan Model Pengelolaan Sasi dan Model Pengelolaan DPL di
Kampung Saporkren
No. Indikator Sasi DPL
1. Sistem Tradisional Modern
2. Tujuan Melindungi hasil-hasil laut
dan menjaga kelestarian
sumberdaya laut
Melindungi hasil laut baik
karang, ikan, dan lain-lain
guna menjamin ekosistem
yang berkelanjutan
3. Latar
belakang
pembentukan
- Berkurangnya hasil laut
khususnya Lola dan
Teripang
- Kerusakan laut akibat
penggunaan akar bore dan potassium
Kondisi tutupan karang di
daerah DPL termasuk dalam kategori “sedang”
4. Penanggung
jawab
Pihak Gereja Pihak Pemda Raja Ampat,
Coremap II, MK, LPSTK,
Pokmaswas, dan
masyarakat
5. Aturan yang
berlaku
Dilarang mengambil lola dan
teripang serta hasil laut yang
mulai berkurang jumlahnya
selama waktu yang ditentukan
(biasanya satu tahun) “laut
ditutup”
Dilarang melakukan
aktivitas apapun di dalam
area DPL terkecuali
melintas di atas DPL
6. Sanksi - Hasil tangkapan diambil
- Dilarang melaut untuk
beberapa hari sesuai
keputusan pihak Gereja
Diberikan tiga kali teguran
oleh penanggung jawab
DPL di lapangan, dan jika
tetap melakukan akan
dilakukan penyitaan alat tangkap
7. Bundles of
rights
- Hak akses
- Hak pemanfaatan
- Hak pengelolaan
- Hak ekslusi
- Hak akses
- Hak pengelolaan - Hak ekslusi
78
Jika dibandingkan antara sistem pengelolaan sebelum DPL dengan sistem
pengelolaan DPL, keduanya memiliki tujuan yang sama yakni melindungi
sumberdaya laut demi keberlanjutan ekosistem dimasa akan datang. Perbedaan
yang ada hanya pada penerapan dari masing-masing model pengelolaan tersebut.
Tetapi perubahan model tersebut memberi dampak terhadap perubahan
seperangkat hak nelayan (bundles of rights). Adapun perubahan seperangkat hak
para nelayan dapat terlihat pada gambar 13.
Gambar 13. Seperangkat Hak Nelayan Sebelum dan Setelah Penetapan DPL
Gambar 13 menunjukkan seperangkat hak-hak nelayan sejak sebelum
penetapan DPL dan sesudah DPL. Sebanyak 39 orang responden menyatakan
bahwa sebelum dan sesudah adanya DPL, mereka memiliki kebebasan untuk
melintas di atas lokasi DPL dengan menggunakan perahu. Artinya hak akses yang
dimiliki nelayan tidak mengalami perubahan. Pada kategori hak kedua yaitu hak
pemanfaatan, terlihat sangat jelas perubahan yang terjadi. Sebesar 39 orang
menyatakan dahulu sebelum adanya DPL mereka dapat mengambil hasil laut apa
saja yang ada di lokasi DPL, dan mereka dapat berenang tanpa ada larangan.
Tetapi setelah adanya DPL, hak tersebut tidak dimiliki lagi, hal ini diperkuat
dengan tidak adanya pernyataan bahwa mereka dapat mengambil hasil laut.
Kategori ketiga adalah hak pengelolaan, dimana seluruh responden menyatakan
bahwa mereka terlibat dalam pengelolaan sumberdaya laut baik sebelum dan
Hak AksesHak
PemanfaatanHak
PengelolaanHak Ekslusi
Sebelum DPL 100% 100% 100% 100%
Setelah DPL 100% 0% 100% 100%
0%
20%
40%
60%
80%
100%
120%
Pre
sen
tase
Re
spo
nd
en
79
setelah adanya DPL. Masyarakatlah yang menjaga, membuat aturan pengelolaan,
dan menegur jika ada yang melanggar aturan. Hal ini didorong dengan alasan laut
telah menjadi bagian hidup mereka dari dahulu kala, jadi sistem pengelolaan harus
melibatkan masyarakat. Tipe hak terakhir yang berlaku di kampung ini adalah hak
ekslusi. Sebanyak 39 responden atau seluruh responden menyatakan bahwa hak
ekslusi itu dimiliki oleh masyarakat. Mereka memiliki kewenangan untuk
menentukan siapa yang boleh melintas di atas DPL, berhak memberikan ijin jika
ada pihak yang hendak melakukan kegiatan yang diperbolehkan dilakukan di DPL
seperti studi penelitian ilmiah, dan kegiatan penyelaman terbatas. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa perubahan hak para nelayan hanya mengalami
perubahan pada tipe hak kedua yaitu hak pemanfaatan, sedangkan untuk tipe hak
akses, hak pengelolaan, dan hak ekslusi tetap dimiliki oleh seluruh nelayan dan
semua masyarakat pada umumnya.
6.4 Konflik
Proses penetapan Daerah Perlindungan Laut sejak perencanaan,
pelaksanaan, hingga proses evaluasi dilakukan sejauh ini tidak menyebabkan
konflik yang besar antara pihak yang bersangkutan. Konflik yang masih terjadi
hingga kini hanyalah konflik yang sifatnya kecil. Hal ini didukung dengan
pernyataan salah satu anggota Pokmaswas dan LPSTK yaitu LM (32 tahun):
“…sekarang tara ada konflik yang terlalu besar lagi, paling hanya
nelayan kampung laut yang didapat menangkap di DPL terus ditegur dan diselesaikan secara kekeluargaan.”
Selain itu, konfik yang sempat terjadi menurut salah satu informan adalah
pada awal penetapan DPL terdapat dua kelompok yang pro dan kontra terhadap
program ini. Kelompok yang pro terhadap DPL berasumsi bahwa program
pembentukan DPL adalah hal yang sangat baik bagi pemeliharaan terumbu karang
dan beragam ikan serta hasil laut lainnya. Tetapi kelompok yang kontra terhadap
pembentukan DPL memiliki pandangan bahwa jika wilayah laut tersebut dibatasi
maka nelayan akan mengalami kesulitan mencari ikan karena aktivitas harian
mereka berlangsung di area tersebut. Artinya wilayah tangkap para nelayan akan
80
semakin sempit dan mendorong mereka mencari di area yang lebih jauh. Namun,
hingga kini kelompok yang awalnya tidak menyetujui akan adanya penetapan
DPL mulai memahami tujuan sesungguhnya dan telah menyetujuinya.
81
BAB VII
DAMPAK PENETAPAN DPL TERHADAP KONDISI EKONOMI
NELAYAN
7.1 Pola Produksi Nelayan
7.1.1 Armada dan Peralatan Tangkap
Armada yang digunakan oleh masyarakat Kampung Saporkren untuk
kegiatan penangkapan ikan hingga saat ini adalah berupa perahu tradisional yang
disebut perahu katingting, perahu dayung, dan perahu bermesin jhonson dengan
kekuatan lebih dari 15 PK. Antara ketiga jenis perahu tersebut, perahu katingting
adalah perahu yang paling banyak dimiliki oleh nelayan, kemudian diikuti oleh
perahu dayung, dan perahu bermesin jhonson. Perahu katingting adalah perahu
semang (penyeimbang yang terbuat dari kayu) yang menggunakan mesin tempel
berkekuatan kurang dari 15 PK dengan bahan bakar bensin. Perahu jhonson
adalah perahu yang menggunakan mesin berkekuatan lebih dari 15 PK dan
memiliki panjang badan dua kali panjang dari pada perahu katingting. Rata-rata
penggunaan bahan bakar (bensin) yang digunakan oleh para nelayan dalam satu
kali melaut mencari tangkapan yaitu lima liter bensin perhari, termasuk juga
penggunaan untuk menjual hasil tangkapan di Waisai.
Tabel 16. Jumlah Armada Responden menurut Jenis Perahu dan Status
Jenis Perahu Jumlah (Unit) Status
Perahu Dayung 11 Milik sendiri
Perahu Katingting 28 Milik sendiri
Perahu Jhonson - -
Total 39
Tabel 16 menunjukkan jenis dan jumlah perahu yang dimiliki oleh nelayan
yang menjadi responden penelitian. Sebanyak 11 responden adalah nelayan yang
melaut dengan menggunakan perahu dayung, sebanyak 28 orang menggunakan
perahu katingting, sedangkan yang menggunakan perahu jhonson tidak ada.
82
Peralatan tangkap yang digunakan oleh nelayan Saporkren umumnya berupa
pancing atau nilon dan kalawai atau tombak. Alat pancing nilon adalah alat
pancing yang menggunakan nilon atau senar dengan nomor 10, 15, 20, 25, dan 30.
Senar atau nilon tersebut akan dikaitkan pada gulungan yang berbeda-beda
ukurannya. Pancing nilon terdiri dari beberapa tipe, diantaranya adalah, nilon
tonda, nilon dasar, nilon pompa, dan masing-masing menggunakan jenis nilon
atau tali senar yang berbeda. Alat pancing lainnya yang biasa digunakan adalah
kalawai atau tombak. Alat pancing ini berbentuk kayu sepanjang dua meter dan
memiliki ujung yang tajam berbentuk pisau. Kalawai biasanya digunakan oleh
para nelayan jika melaut di malam hari dengan menggunakan perahu berlampu.
Penggunaan jaring di Kampung Saporkren merupakan hal yang sangat dilarang
untuk digunakan, karena penggunaan jaring saat menangkap ikan dianggap akan
merusak terumbu karang dan ikan-ikan kecil akan ikut terambil.
Tabel 17. Jenis Alat Tangkap dan Jenis Tangkapan Nelayan Saporkren
Jenis alat tangkap Jenis tangkapan
Pancing Nilon Nilon tonda Ikan Tenggiri, ikan
Cakalang
Nilon dasar
Nilon Pompa
Ikan Mubara, ikan
Geropah, ikan Gutila,
ikan Merah
Ikan Mubara, ikan Oci
Kalawai Ikan apa saja tetapi pada
malam hari
Alat pancing nilon tonda sering digunakan untuk menangkap ikan Tenggiri
dan ikan Cakalang, nilon dasar untuk jenis ikan Bubara, ikan Geropah, ikan
Gutila, dan ikan Merah, sedangkan kalawai digunakan untuk jenis ikan apa saja
tetapi digunakan hanya pada malam hari dengan menggunakan perahu berlampu
petromax (Balobe)7.
7 teknik menangkap ikan pada malam hari dengan menggunakan perahu berlampu
83
7.1.2 Musim Penangkapan Ikan
Pemanfaatan wilayah laut sebagai penghasil sumberdaya perikanan tangkap
tidak hanya membutuhkan kemampuan nelayan serta armada yang digunakan
untuk memperoleh tangkapan, tetapi juga membutuhkan pertimbangan faktor
cuaca dan iklim untuk melaut. Pada suatu komunitas nelayan biasanya terdapat
musim penangkapan ikan yang ditetapkan sendiri oleh para nelayan tersebut
dengan menyesuaikan kondisi cuaca ataupun iklim serta keberadaan ikan-ikan di
wilayah penangkapan mereka. Faktor-faktor iklim tersebut yang selama ini
mempengaruhi kegiatan melaut para nelayan Saporkren adalah musim hujan,
musim kemarau, angin kencang (selatan), angin teduh (barat), dan tingginya
gelombang.
Nelayan Saporkren mengenal tiga musim yang berlaku yaitu musim
gelombang kuat atau angin selatan, musim gelombang teduh atau angin barat dan
musim pancaroba yaitu peralihan musim selatan dan musim barat. Jika musim
gelombang kuat terjadi, nelayan biasanya mengurangi waktu melaut, dan
mengganti profesi dengan berkebun untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Tetapi ada juga nelayan yang memberanikan diri untuk melaut, dan keberanian ini
didorong oleh keinginan mengejar pendapatan nelayan. Apabila musim angin
barat atau laut teduh maka hasil tangkapan nelayan akan melimpah dan jika
musim pancaroba, menurut nelayan kondisi laut tidak dapat dipastikan,
adakalanya laut teduh namun tiba-tiba laut bergelombang kuat.
Tabel 18. Kalender Musim Tangkap Nelayan Saporkren
No.
Jenis
musim
Bulan Lokasi
Penangkapan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
1. Musim
gelombang
lemah
(Barat)
Tanjung
Pisang dan
sekitar kampung
2. Musim
pancaroba
Daerah sekitar
kampung
3. Musim
gelombang
kuat
(Selatan)
Wilayah
sekitar
kampung dan Pulau Uray
84
Saat musim gelombang lemah atau angin barat terjadi, nelayan dapat
menangkap dengan lebih mudah hingga menempuh jarak yang jauh dari
perkampungan, seperti Tanjung Pisang, tetapi juga menangkap ikan di sekitar
perkampungan. Pada musim gelombang kuat atau angin selatan, masyarakat
merasa kesulitan untuk melakukan penangkapan ikan karena kencangnya angin,
sehingga nelayan tidak berani menangkap ikan hingga pada jarak yang jauh dan
sebagai pilihan alternatif lainnya adalah Pulau Uray. Cuaca yang buruk juga
mendorong sebagian nelayan beralih profesi untuk berkebun. Namun saat ini
penentuan musim berdasarkan hitungan bulan sulit untuk diprediksi.
Memburuknya kondisi alam saat ini juga berpengaruh pada arah angin laut yang
menjadi dasar penentuan musim tersebut. Saat ini arah angin ke utara ataupun ke
selatan dapat berubah-ubah hanya dalam hitungan hari. Sama halnya ketika
melakukan penelitian cuaca tidak menentu, misalnya pada hari senin udara sangat
baik untuk melaut tetapi keesokan harinya angin yang sangat kencang datang dan
membuat nelayan sulit untuk melaut dan masyarakat pun tidak bisa melakukan
kegiatan di mana-mana. Hal inilah yang membuat nelayan mengalami kesulitan
dalam memprediksi kondisi laut, bahkan berdasarkan hasil wawancara salah satu
responden SM (56 tahun) menyatakan:
“…sekarang kami susah jawab kalau ditanya musim ikan melimpah dan
musim angin kencang, karena kondisi dulu sangat berbeda dengan kondisi musim sekarang. Kami jadi dibuat bingung, dan susah untuk
memperkirakan jenis ikan yang melimpah dibandingkan masa dulu.”
7.1.3 Lokasi Penangkapan Nelayan
Areal penangkapan ikan dan sumberdaya perairan lainnya di Kabupaten
Raja Ampat pada umumnya adalah di pesisir dan daerah teluk. Bagi nelayan
Saporkren pada umumnya melakukan kegiatan penangkapan hanya di perairan
sekitar tempat tinggal mereka, tetapi jika angin kencang terjadi maka nelayan
dapat menempuh hingga jarak yang lebih jauh hingga Pulau Uray.
Kegiatan penangkapan nelayan Saporkren dilakukan 5-6 hari dalam satu
minggu, dan dengan lama waktu menangkap adalah 6-8 jam per hari. Aktivitas
nelayan selain menangkap ikan adalah menjualkan hasil tangkapan mereka ke
85
daerah pemerintahan Kab. Raja Ampat yaitu Waisai. Terkait dengan aktivitas
menjual hasil tangkapan, peran istri sangat berpengaruh.
7.1.4 Jenis-jenis Hasil Tangkapan
Hasil tangkapan nelayan Saporkren terdiri dari beragam jenis ikan, yaitu
ikan Cakalang, ikan Merah, ikan Bubara, ikan Gutila, ikan Tenggiri, ikan Oci, dan
ikan Geropah. Ikan hasil tangkapan nelayan sebagian besar untuk dijual, dan
sebagian kecilnya untuk dikonsumsi. Beberapa jenis ikan tertentu atau ikan
bernilai ekonomis akan dijual dengan sistem pertali (kisaran satu kg) dan per ekor,
sedangkan untuk ikan tertentu seperti ikan Puri, Oci atau ikan Kembung akan
dikonsumsi. Adapun kisaran harga jual untuk jenis ikan hasil tangkapan nelayan
seperti tabel 19.
Tabel 19. Harga Jual Ikan menurut Jenisnya
No. Jenis Ikan Harga Jual
Per ekor (Rp) Per tali (Rp)
Kecil Sedang Besar
1. Gutila - 30.000 50.000 20.000
2. Geropah - 30.000 50.000 20.000
3. Tenggiri - 40.000-50.0000 70.000 -
4. Cakalang 20.000 30.000 50.000 -
5. Ikan Merah 20.000 40.000 60.000 -
6. Bubara - 20.000 40.000 20.000
Tabel 19 menunjukkan harga jual ikan yang berlaku di Kampung Saporkren
berdasarkan jenis ikan yang didapatkan. Sistem penjualan yang berlaku di
Kampung Saporkren adalah sistem penjualan per tali dan per ekor. Harga tersebut
sudah merupakan harga baku yang digunakan oleh para nelayan Saporkren. Para
nelayan Saporkren tidak mengenal sistem jual perkilo. Besar atau kecilnya ukuran
ikan yang didapatkan hanya diperkirakan saja.
Jenis ikan Tenggiri, ikan Cakalang, dan ikan Merah biasanya dijual per ekor
dan penentuan harga jual disesuaikan dengan ukuran ikan tersebut. Untuk jenis
ikan Gutila, Bubara, dan Geropah biasanya di jual pertali dengan kisaran satu tali
86
3-5 ekor, jika ketiga jenis ikan tersebut memiliki ukuran yang besar maka akan
dijual per ekor, tetapi pada umumnya kebanyakan dijual per tali karena ukuran
besar sulit didapatkan.
Selain ikan, hasil tangkapan lainnya adalah udang dan cumi-cumi atau
sotong. Harga jual udang lobster yang berlaku adalah Rp. 150.000 per tali
sedangkan cumi-cumi ataupun sotong akan dijual dengan harga Rp. 20.000 per
tali dengan jumlah empat cumi. Udang yang umumnya tertangkap adalah jenis
lobster (Ponulirus sp.), kemudian akan ditampung dalam satu keranjang khusus
dengan istilah lokal akan ditabung. Seperti yang dinyatakan oleh salah satu
anggota LPSTK yang juga merangkap nelayan, OS(43 Tahun):
“…sa sering tangkap lobster, tapi nanti ditampung dulu baru sampai banyak baru saya jual supaya untungnya lebih besar.”
7.2 Biaya Investasi
Biaya investasi merupakan biaya yang dikeluarkan oleh investor untuk
membeli barang-barang yang diperlukan dalam melaksanakan suatu unit usaha.
Berdasarkan hasil wawancara dengan 39 nelayan di Kampung Saporkren,
kegiatan usaha penangkapan memerlukan biaya investasi yang tidak begitu besar.
Biaya tersebut digunakan untuk pengadaan perahu, mesin perahu, dan kotak
pendingin (cool box). Khusus bagi nelayan yang menggunakan perahu dayung
tidak menginvestasikan dananya untuk pengadaan mesin.
Pada Tabel 20 disajikan komponen investasi usaha penangkapan nelayan
Saporkren.
Tabel 20. Rataan Biaya Investasi Perikanan Responden menurut Jenisnya
No. Jenis Investasi Rataan Biaya Investasi
(Rp)
1. Perahu 937.500
2. Mesin 1.892.300
3. Kotak Pendingin (cool box) 138.700
TOTAL 2.968.500
87
Biaya investasi untuk kegiatan perikanan di Kampung Saporkren meliputi
investasi untuk perahu, mesin, dan kotak pendingin. Responden penelitian ini
terdiri dari 39 orang dan yang memiliki perahu bermesin berjumlah 28 orang dan
11 orang merupakan nelayan yang menggunakan perahu dayung. Hampir semua
nelayan (31 orang) memiliki perahu tanpa mengeluarkan biaya atau tidak
membeli, karena perahu yang dimiliki adalah perahu buatan sendiri, sedangkan
sebanyak 8 orang membeli perahu dengan kisaran rata-rata biaya satu perahu
adalah Rp. 937.500.
Nelayan yang memiliki mesin berjumlah 28 orang dan terdiri dari nelayan
yang membeli mesin sebanyak 18 orang, sedangkan 10 orang mendapatkan mesin
perahu dengan dana bantuan yang diberikan oleh Coremap II Raja Ampat. Biaya
yang harus dikeluarkan oleh nelayan yang membeli mesin adalah Rp. 1.892.300,
sedangkan investasi nelayan untuk kotak pendingin atau cool box tidak dimiliki
oleh semua nelayan Saporkren, hanya 21 orang nelayan yang mengeluarkan biaya
investasi untuk kotak dengan rataan harga per kotak adalah Rp. 138.700. Data
pada tabel di atas menunjukkan secara keseluruhan total investasi dana nelayan
untuk pembelian perahu, mesin, dan box ikan adalah sebesar Rp. 2.968.500.
7.3 Biaya Tetap
Biaya tetap adalah biaya yang jumlahnya tetap, tidak tergantung pada
perubahan tingkat kegiatan dalam menghasilkan tingkat pengeluaran atau produk
dalam interval waktu tertentu.
Tabel 21. Rataan Biaya Tetap Perikanan Responden menurut Jenisnya
No. Jenis Biaya Tetap Rataan Biaya Tetap (Rp)
1. Perawatan perahu 97.900
2. Perawatan mesin 145.500
3. Alat pancing 31.700
TOTAL 275.100
88
Tabel 21 menunjukkan total biaya tetap yang dikeluarkan untuk kegiatan
melaut para nelayan Saporken. Jenis biaya tetap terdiri dari tiga yaitu, biaya
perawatan perahu, biaya perawatan mesin, dan biaya alat pancing untuk satu
bulan.
Rataan biaya yang dikeluarkan responden untuk perawatan perahu adalah
Rp.97.900, dimana biaya tersebut digunakan untuk membeli cat perahu. Dari
seluruh jumlah responden yang ada, terdapat 19 orang yang melakukan
pengecatan perahu sedangkan sebanyak 20 orang tanpa mengecat perahu.
Pengeluaran bagi perawatan mesin dilakukan hanya oleh responden yang
menggunakan perahu bermesin dan rata-rata biaya tersebut adalah Rp.145.500 per
individu. Sedangkan biaya tetap untuk kategori alat pancing dikeluarkan oleh
seluruh responden dengan rataan Rp. 7.600 per individu. Perhitungan biaya tetap
dilakukan saat responden menghadapi musim pancaroba yaitu pada bulan Maret
sampai dengan bulan April.
7.4 Biaya Variabel
Biaya variabel adalah biaya yang jumlahnya mengalami perubahan sesuai
dengan tingkat produksi yang dilakukan (Soeharto 1999 dalam Lee Won Jae
2010). Penghitungan biaya variabel nelayan Saporkren dilakukan selama sebulan
peneliti berada di lapangan. Rincian biaya variabel kegiatan penangkapan nelayan
Saporkren disajikan pada tabel 22.
Tabel 22. Rataan Biaya Variabel Perikanan Responden menurut Jenisnya
No. Jenis Biaya Variabel Rataan Biaya Variabel (Rp)
1. BBM Perahu (bensin) 895.000
2. Rokok 285.500
3. Makan/Biskuit 234.000
4. Es 422.600
5. Oli mesin 36.400
Total 1.873.500
89
Jenis biaya variabel terdiri dari lima kategori yaitu BBM, rokok,
makan/biskuit, es, dan oli mesin. Perhitungan biaya ini berdasarkan pengeluaran
individu setiap satu bulan. Diantara kelima jenis biaya, proporsi biaya untuk
pembelian BBM (bensin) lebih besar daripada biaya yang lain. Kemudian diikuti
oleh pengeluaran untuk pembelian es, dimana responden biasanya menggunakan
10-20 es balok per hari. Sedangkan biaya untuk rokok dan makan berkisar pada
rataan dua ratus ribu, dan biaya untuk pembelian oli adalah Rp. 36.500.
Penggunaan oli adalah satu liter per satu bulan. Setiap jenis variabel dikonversi ke
dalam hitungan biaya per satu bulan, misalnya biaya rokok dan makan setiap hari
dikalikan dengan waktu melaut dalam satu bulan (biaya perhari x waktu tangkap
dalam satu bulan). Setelah itu dikalkulasikan untuk mendapat total pengeluaran
biaya variabel setiap responden.
7.5 Pendapatan dan karakteristik usaha
Perhitungan pendapatan kegiatan usaha penangkapan dilakukan dengan
mengkombinasikan hasil wawancara dan hasil tangkapan yang peneliti temukan di
lapangan selama sebulan, kemudian dikonversi dan disesuaikan dengan data hasil
wawancara. Berdasarkan metode tersebut diperoleh kesamaan antara tingkat
pendapatan berdasarkan wawancara dan hasil konversi pendapatan nelayan
selama di lapangan (hasil tangkapan x harga).
Berdasarkan hasil di lapangan dimana peneliti mendatangi responden yang
habis melaut dan melihat hasil tangkapan diperoleh hasil bahwa rata-rata tingkat
pendapatan bersih yang diterima oleh nelayan Saporkren dalam satu bulan adalah
Rp. 896.800. Saat perhitungan pendapatan ini dilakukan, nelayan menghadapi
musim sedang atau pancaroba yang berada diantara bulan Maret sampai dengan
bulan Juni. Perhitungan biaya dilakukan dengan menggunakan rumus total
penerimaan dikurangi total biaya pengeluaran.
Keterangan : µ = Keuntungan (Rp)
TR = Total biaya penerimaan (Rp)
TC = Total biaya pengeluaran (Rp)
µ = TR-TC
90
Perhitungan pendapatan bersih nelayan dari kegiatan penangkapan ikan
diperoleh dari pengurangan hasil biaya penerimaan responden dalam satu bulan
(maret-april 2011) terhadap total biaya pengeluaran responden dalam satu bulan.
Tabel 23. Pendapatan Rata-rata Nelayan Per Bulan
Rata-rata per individu (Rp)
Total Reveneu (TR) 3.045.400
Total Cost (TC) 2.148.600
Profit (µ) 896.800
Tabel 23 menunjukkan data rata-rata biaya penerimaan, biaya pengeluaran,
dan biaya bersih dari aktivitas nelayan dalam satu bulan. Data tersebut adalah data
yang diperoleh dari penghasilan 39 responden. Secara keseluruhan biaya total
penerimaan bersih dari aktivitas per individu adalah Rp.896.800 per satu bulan.
Biaya yang diterima nelayan dari aktivitas melaut dalam satu bulan adalah Rp.
3.045.400, sedangkan biaya pengeluaran yang mencakup total biaya tetap dan
biaya variabel dalam satu bulan adalah Rp. 2.148.600. Perhitungan tersebut
berlaku saat musim pancaroba di bulan Maret hingga bulan April Tahun 2011.
Keuntungan responden dari kegiatan penangkapan ikan diperoleh dari
pengurangan biaya penerimaan (jumlah tangkapan x harga jual) terhadap biaya
pengeluaran untuk proses operasional saat menangkap ikan yang mencakup biaya
tetap dan biaya variabel. Perhitungan biaya investasi tidak dimasukkan dalam total
biaya pengeluaran karena sifatnya yang dikeluarkan tidak dalam hitungan
perbulan. Melalui perhitungan tersebut diperoleh pendapatan bersih dari kegiatan
menangkap ikan untuk setiap individu adalah Rp.896,800.
Perolehan rataan biaya keuntungan masing-masing responden kemudian
digolongan berdasarkan struktur pendapatan. Struktur pendapatan dalam
penelitian ini dikategorikan menjadi dua kategori yaitu, rendah (<rata-rata) dan
tinggi (>rata-rata). Data pada gambar 16 menunjukkan penggolongan responden
berdasarkan pendapatan per bulan.
91
Gambar 14. Penggolongan Responden menurut Tingkat Pendapatan Rata-rata
Kampung Saporkren
Gambar 14 menunjukkan penggolongan hasil pendapatan responden, dimana
sebanyak 7 orang tergolong pada kategori rendah dengan jumlah pendapatan
bersih dari kegiatan melaut kurang dari pendapatan rata-rata (< Rp. 896.800).
Sedangkan sebanyak 32 orang termasuk dalam kategori tinggi yang memiliki
pendapatan lebih dari rata-rata pendapatan kegiatan melaut (> Rp.896.800).
7.6 Hubungan Penetapan DPL Terhadap Pendapatan Nelayan
Keterkaitan antara pembentukan Daerah Perlindungan Laut terhadap
pendapatan nelayan dapat ditunjukkan dengan Persentase pernyataan responden
menanggapi hal tersebut. Selain itu didukung pula dengan data jumlah tangkapan
dan pendapatan nelayan sebelum dan setelah adanya DPL. Data jumlah tangkapan
dan pendapatan nelayan sebelum penetapan DPL diperoleh dengan sistem “recall”
atau daya ingat para nelayan dan diperkuat dengan data yang diperoleh oleh
Coremap II saat melakukan pendataan awal pembentukan DPL terkait hasil dan
jumlah tangkapan para nelayan.
Data jumlah tangkapan dan pendapatan nelayan setelah pembentukan DPL
didapatkan dari hasil penelitian ini selama sebulan di lapangan dan diperkuat
dengan data creel tahun lalu terkait hasil tangkapan dan penghitungan pendapatan
0
5
10
15
20
25
30
35
Rendah Tinggi
Ju
mla
h R
esp
on
den
< Rp.896.800 > Rp.896.800
92
nelayan yang dilakukan oleh pihak Coremap II Raja Ampat. Selain itu, diperkuat
pula dengan hasil wawancara dengan responden dan informan.
7.6.1 Sebelum Penetapan DPL
Sebelum pembentukan Daerah Perlindungan Laut di Kabupaten Raja
Ampat, secara khusus di Kampung Saporkren, Coremap wajib melakukan
perencanaan program yang didukung oleh data dasar yaitu aspek sosial ekonomi.
Untuk mendapatkan data dasar tersebut maka perlu dilakukan baseline studi
social economi yang bertujuan mengumpulkan data tentang kondisi sosial
ekonomi di suatu kampung tempat DPL itu dibentuk. Hasil baseline ini
merupakan titik awal (T0) yang menggambarkan kondisi sosial maupun kondisi
ekonomi di suatu kampung sebelum adanya DPL (Coremap 2008).
Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil studi awal kondisi ekonomi
nelayan yang dilakukan oleh Coremap fase I pada awal Tahun 2007 pendapatan
nelayan dari kegiatan melaut adalah Rp. 735.600 per bulan (CRITC-LIPI 2007).
Perhitungan pendapatan nelayan saat itu dilakukan pada bulan Januari atau diawal
Tahun 2007, artinya saat nelayan menghadapi musim gelombang lemah atau laut
dalam kondisi teduh.
Menurut pendapat responden, hasil tangkapan dan pendapatan mereka
sebelum adanya DPL berkisar 3-5 tali sehari (3 kg – 5 kg) untuk jenis ikan
Bubara, Gutila, Lakorea, Mubara yang berukuran kecil dan sedang, sedangkan
hasil tangkapan untuk ikan besar tidak tetap selalu dapat. Penerimaan rata-rata
yang di dapatkan Rp.500,000. Kisaran pendapatan tersebut merupakan jawaban
responden secara kualitatif dengan mengingat kembali penghasilan mereka
sebelum adanya DPL, dan telah diperkirakan dengan pengeluaran untuk biaya
yang harus dikeluarkan selama melaut. Seperti yang dinyatakan oleh salah satu
responden, LS (45 tahun):
“…kalo dulu itu kita memang bebas menangkap ikan dimana saja kita pu
mau, tapi pendapatan kalau dibandingkan dengan sekarang, mending sekarang karena bertambah, dan kalau hitung pendapatan, hitung saja
satu bulan bisa dapat Rp, 1.500.000 terus dikasih keluar lagi untuk beli
bensin, rokok, sama biskuit yah bisa tinggal Rp.500.000, pokoknya tinggal sedikit saja.“
93
7.6.2 Setelah Penetapan DPL
Coremap fase II yang telah dimulai sejak Tahun 2004 di Kabupaten Raja
Ampat bertujuan menciptakan pengelolaan ekosistem terumbu karang agar
sumberdaya laut dapat direhabilitasi, diproteksi, dan dikelola secara
berkesinambungan yang pada gilirannya dapat meningkatkan kesejahteraan
masyarakat dan mengurangi kemiskinan. Begitupula dengan salah satu aspek yang
diharapkan berpengaruh dari pembentukan DPL adalah aspek ekonomi yakni
terjadinya peningkatan pendapatan penduduk dari kegiatan penangkapan ikan
karena meningkatnya kuantitas ikan di daerah DPL dan menyebar ke luar DPL.
Keberadaan DPL diharapkan akan berpengaruh pada pendapatan dan hasil
tangkapan nelayan di lokasi penangkapan sekitar perkampungan. Berdasarkan
wawancara yang dilakukan tentang pendapatan dan hasil tangkapan nelayan,
dapat dikatakan bahwa keberadaan DPL telah dapat meningkatkan pendapatan
dan jumlah tangkapan nelayan. Gambar di bawah ini menunjukkan pernyataan
nelayan terhadap peningkatan hasil tangkapan dan pendapatan mereka.
Gambar 15. Pernyataan Nelayan Atas Hasil Tangkapan
Gambar 15 menunjukkan pernyataan masyarakat terkait pengaruh
pembentukan DPL terhadap hasil tangkapan mereka. Setelah adanya pembentukan
0,00%
10,00%
20,00%
30,00%
40,00%
50,00%
60,00%
70,00%
80,00%
90,00%
Berkurang Bertambah Sama saja
Per
sen
tase
Pernyataan Nelayan Atas Hasil Tangkapan
Berkurang
Bertambah
Sama saja
94
Daerah Perlindungan Laut, nelayan mengalami perubahan wilayah tangkapan dan
mempengaruhi jumlah tangkapan para nelayan. Berdasarkan hasil, ditemukan
bahwa sebesar 76,9 persen responden menyatakan bahwa hasil tangkapan dan
pendapatan mereka bertambah dengan adanya Daerah Perlindungan Laut.
Menurut mereka, ikan di sekitar wilayah tangkapan dan terlebih khusus di sekitar
perkampungan semakin banyak, sebagaimana diungkapkan oleh SM (50 tahun):
“…sekarang to ikan tambah banyak, anak-anak ikan juga semakin
bertambah, apalagi di daerah yang dekat dengan DPL. Karna DPL itu tempat ikan berkembang biak, makanya ikan yang keluar juga semakin
banyak, dan saya jadi mudah tangkap ikan sekarang.”
Hal senada juga diungkapkan oleh DM (42 tahun) selaku ketua LPSTK dan
merangkap sebagai responden:
“…DPL ini punya konsep seperti bank ikan, artinya tempat ikan berkembang biak. Nanti kalo sudah banyak secara otomatis samua ikan da
keluar trus nelayan bisa tangkap. Kalo liat sa punya pengalaman, ikan di sekitar DPL itu semakin banyak saja, itu karna ikan rasa aman tinggal di
DPL.”
Daerah Perlindungan Laut dianggap menjadi lokasi ikan untuk berkembang
biak atau dengan istilah nelayan Saporkren, DPL adalah tempat tabungan ikan.
Secara otomatis ikan akan merasa terlindungi di dalam daerah tersebut, hal ini
dikarenakan karang terjaga dan ketika ikan semakin bertambah maka ikan
tersebut akan keluar dari area DPL dan berenang ke luar. DPL di Kabupaten Raja
Ampat tidak hanya satu tetapi 19 DPL, dan untuk kasus Kampung Saporkren,
bertambahnya jumlah pasokan ikan di laut dipengaruhi juga dengan DPL-DPL
yang berada di kampung sebelah seperti Yenbeser. Kemudian sebesar 7,7 persen
nelayan menyatakan bahwa hasil tangkapan mereka berkurang sejak adanya
Daerah Perlindungan Laut. Menurut mereka, lokasi DPL adalah tempat mereka
menangkap ikan sebelum daerah itu dilarang, dan ketika DPL dibentuk maka
wilayah tangkap mereka pun berkurang atau terbatas, alhasil berpengaruh
terhadap penurunan jumlah tangkapan dan pendapatan mereka. Kemudian sebesar
15,4 persen nelayan menyatakan bahwa tidak terjadi perubahan sebelum dan
sesudah adanya DPL. Mereka merasa bahwa hasil tangkapan dan pendapatan
95
mereka sama saja dari dulu hingga sekarang, artinya bahwa tidak ada pengaruh
apapun dari pembentukan Daerah Perlindungan Laut.
Peningkatan hasil tangkapan dan pendapatan nelayan setelah adanya DPL
diperkuat dengan pernyataan pihak Coremap II Raja Ampat sebagai penanggung
jawab dan yang telah melakukan monitoring setiap tahunnya di daerah DPL.
Seperti yang dinyatakan koordinator Coremap II Raja Ampat ibu M (43 tahun):
“…DPL yang telah ada selama empat tahun sudah menyediakan suplai ikan ke luar wilayah DPL yang banyak, sehingga suplai ikan tersebut
memudahkan nelayan yang menangkap di daerah luar DPL mendapatkan ikan lebih banyak dibandingkan dulu.”
Pada dasarnya prinsip yang dipegang dalam Daerah Perlindungan Laut
adalah, ketika DPL dibentuk maka ikan-ikan kecil dari area yang berdekatan dari
DPL akan masuk untuk mencari makan dan berkembang biak. Kemudian ikan-
ikan kecil yang terbawa oleh arus selanjutnya akan menetap di area DPL dan
berkembang biak. Setelah membesar dan menjadi semakin padat dengan kuantitas
ikan kecil dan besar, maka tidak menutup kemungkinan ikan di dalam DPL mulai
berenang ke luar dan menetap di area luar DPL yang akhirnya akan ditangkap
oleh nelayan. Konsep ekologis penerapan DPL yang berlaku di Raja Ampat dapat
dilihat pada gambar 16.
Sumber : DKP Raja Ampat (2009)
Gambar 16. Konsep Ekologis DPL Raja Ampat
96
Berdasarkan hasil lapangan yang telah diolah, rataan penghasilan dari
kegiatan penangkapan ikan para nelayan per individu adalah sebesar Rp.896.800
per bulan dengan jumlah tangkapan rata-rata 6-8 kg perhari atau 156-208 kg per
bulan. Perhitungan pendapatan tersebut dilakukan saat nelayan menghadapi
musim pancaroba, artinya jika musim laut teduh (musim barat) hasil tangkapan
dan pendapatan bisa melebihi rataan biaya tersebut. Selain itu data terakhir yang
menunjukkan pendapatan dan hasil tangkapan nelayan Saporkren adalah pada
Tahun 2009 (data creel). Data creel tersebut menunjukkan grafik hasil tangkapan
nelayan perbulan pada bulan Juli, Agustus, dan September 2009. Rata-rata hasil
tangkapan nelayan Saporkren perbulan adalah 116,8 kg (Coremap II Raja Ampat
2009). Adapun grafik hasil tangkapan nelayan Saporkren pada Tahun 2009 sejak
bulan Juli, Agustus, hingga September dapat dilihat pada gambar di bawah ini :
Gambar 17. Grafik Hasil Tangkapan Per bulan Nelayan Saporkren Tahun 2009
Jika dibandingkan dengan sebelum penetapan DPL, maka dapat dinyatakan
bahwa penetapan DPL memberikan pengaruh yang positif terhadap hasil
tangkapan dan pendapatan para nelayan. Hal ini didukung dengan perbandingan
hasil tangkapan dan rata-rata pendapatan nelayan sebelum dan setelah adanya
DPL. Rataan hasil tangkapan nelayan Saporkren perbulan pada Tahun 2009
adalah 116,8 kg (Coremap II 2009), sedangkan pada Tahun 2011 hasil tangkapan
0
20
40
60
80
100
120
140
Hasi
l T
an
gk
ap
an
(K
g)
Bulan
Juli Agustus September
97
perbulan yang diperoleh berkisar antara 156-208 kg (data di lapangan). Kemudian
rataan pendapatan bersih dari kegiatan penangkapan ikan sebelum adanya DPL
adalah Rp.735.600 (CRITC-LIPI 2007) pada musim angin barat/laut teduh,
sedangkan setelah adanya DPL pendapatan bersih yang didapatkan adalah sebesar
Rp.896.800 per bulan (data dilapangan) saat nelayan menghadapi musim
pancaroba, artinya pada musim laut teduh pendapatan yang diperoleh lebih besar
lagi. Kesimpulannya adalah pembentukan Daerah Perlindungan Laut
Yenmangkwan menjadi salah satu faktor yang berpengaruh positif terhadap
peningkatan jumlah hasil tangkapan dan pendapatan nelayan Kampung
Saporkren.
98
BAB VIII
PENUTUP
8.1 Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan
bahwa :
1. Sebesar 74 persen responden menyatakan respon yang positif terhadap
pembentukan DPL. Artinya bahwa sebagian besar nelayan lokal menyetujui
adanya DPL Yenmangkwan di Kampung Saporkren. Hal ini terlihat dari
minimnya konflik yang terjadi terkait hak kepemilikan, minimnya
pelanggaran yang terjadi, dan tingginya keterlibatan nelayan untuk menjaga
dan mengawasi DPL.
2. Pembentukan Daerah Perlindungan Laut Yenmangkwan menyebabkan hak
masyarakat terbatas untuk memanfaatkan sumberdaya laut yang ada dalam
area DPL. Berdasarkan tipe seperangkat hak nelayan yang dikemukakan
oleh Ostrom, hanya tipe pemanfaatan saja yang berubah setelah adanya
DPL, sedangkan tipe hak untuk mengakses, mengelola, dan hak ekslusi
masih dimiliki oleh masyarakat lokal. Untuk tipe mengakses dalam
penelitian ini adalah hak nelayan untuk melintas di atas DPL tanpa
melakukan kegiatan apapun.
3. Sebesar 76,9 persen responden menyatakan bahwa hasil tangkapan nelayan
dan pendapatan nelayan bertambah sejak adanya Daerah Perlindungan Laut.
Hal ini dipengaruhi dengan bertambahnya kuantitas berbagai jenis ikan di
DPL dan menyebar ke luar DPL sehingga hasil tangkapan nelayan pun
bertambah. Kemudian diperkuat dengan hasil evaluasi dan monitoring yang
dilakukan oleh Coremap II terkait penghitungan jumlah tangkapan nelayan
setiap tiga bulan berturut-turut dalam setahun.
99
8.2 Saran
Saran yang dapat peneliti sampaikan terkait penelitian ini antara lain :
1. Peningkatan partisipasi seluruh masyarakat dalam pengelolaan DPL
sehingga ketika Coremap II berakhir, masyarakat dapat mengelola secara
berkelanjutan seperti penguatan kelembagaan, pengawasan, penegakan
aturan, monitoring, dan evaluasi DPL.
2. Pemerintah daerah dan pemerintah kampung perlu mengupayakan kegiatan
yang tetap menjamin terjadinya dampak positif dari pembentukan DPL dan
meminimalkan dampak negatif misalnya dengan cara penguatan institusi
yang didukung dengan regulasi yang tepat.
3. Perlu dilakukan penelitian secara berkala setiap satu tahun untuk
mendapatkan data yang lebih lengkap dari pelaksanaan DPL serta dampak
yang ditimbulkan baik dari segi ekologi, sosial, maupun ekonomi.
xxi
DAFTAR PUSTAKA
Bengen, Dietriech G, editor. 2001. Ekosistem dan Sumberdaya Pesisir dan Laut
serta Pengelolaan Secara Terpadu dan Berkelanjutan. Prosiding: Bogor 29
Oktober s/d 3 November 2001. Bogor [ID]: Pusat kajian sumberdaya pesisir
dan lautan, IPB.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2001. Statistik Kesejahteraan Rakyat 2001. Survai
Sosial Ekonomi Nasional. Jakarta [ID]: Biro Pusat Statistik.
[BPS] Badan Pusat Statistik Raja Ampat. 2010. Kabupaten Raja Ampat Dalam
Angka 2009. Kabupaten Raja Ampat [ID]: Badan Pusat Statistik Kabupaten
Raja Ampat Kerjasama Badan Perencanaan Pembangunan Daerah.
[BPS] Badan Pusat Statistik Raja Ampat. 2010. Produk Domestik Regional Bruto
Kabupaten Raja Ampat 2009. Kabupaten Raja Ampat [ID]: Kabupaten Raja
Ampat Kerjasama Badan Perencanaan Pembangunan Daerah.
Coremap II. 2009. Data Creel: Laporan Pemantauan Perikanan Berbasis
Masyarakat Kabupaten Raja Ampat. Raja Ampat [ID]: Coremap Raja
Ampat.
2008. Baseline Terumbu Karang Daerah Perlindungan Laut Raja
Ampat. Jakarta [ID]: LIPI.
CRITC, LIPI. 2007. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat di Lokasi Coremap II;
Kasus Kabupaten Raja Ampat. Jakarta [ID]: LIPI.
[DKP] Dinas Kelautan dan Perikanan Raja Ampat. 2009. Profil Jejaring Kawasan
Konservasi Laut Daerah Kabupaten Raja Ampat. Pemda Raja Ampat [ID]:
Kerjasama DKP dengan Pemda Raja Ampat.
Hardjasoemantri, Koesnadi. 1991. Hukum Perlindungan Lingkungan Konservasi
SDA Hayati dan Ekosistemnya. Yogyakarta [ID]: UGM Press.
Huberman, A. Michael, dan Matthew B. Miles. 2009. Manajemen Data dan
Metode Analisis, Handbook of Qualitative Research (Norman K. Denzin
dan Yvonna S. Lincoln, Eds.). Yogyakarta [ID]: Pustaka Pelajar.
xxii
Ibrahim, Hasan. 2007. Analisis Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan
Kesejahteraan Keluarga di Kabupaten Lembata, NTT. [tesis]. Bogor [ID]:
Institut Pertanian Bogor.
Kamarijah, Siti. 2003. Analisis Dampak Pengembangan Pelabuhan Perikanan
Nusantara (PPN) Pelabuhan Ratu Terhadap Tingkat Kesejahteraan
Masyarakat Pesisir. [tesis]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor.
Karim, M. 2005. Analisis Kemiskinan dan Kesenjangan Pembangunan di
Kawasan Pesisir Kabupaten Karawang dan Sukabumi Jawa Barat. [tesis].
Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor.
[KKP] Kementrian Kelautan dan Perikanan. 2009. Kelautan dan Perikanan dalam
Angka 2009. [Internet]. [dikutip 30 Januari 2011]. Dapat diunduh dari :
http://www.scribd.com/doc/33204136/Kelautan-Dan-Perikanan-Dalam-
Angka-2009.
Lee Won Jae. 2010. Pengaruh Periode Hari Bulan Terhadap Hasil Tangkapan dan
Tingkat Pendapatan Nelayan Bagan Tancap di Kabupaten Serang. [tesis].
Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor.
Manoppo, Norma M. P. 2002. Kajian Zonasi Taman Nasional Laut Karimunjawa,
Suatu Pendekatan Cell Based Modeling. [tesis]. Bogor [ID]: Institut Pertanian
Bogor.
Mustamin, Andi. 2003. Analisis Dampak Co-Manajemen Terhadap Tingkat
Kesejahteraan Nelayan di Kecamatan Pulau Sembilan, Kabupaten Sinjai,
Sulawesi Selatan. [tesis]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor.
Nikijuluw, Victor P. H. 2005. Politik Ekonomi Perikanan: Bagaimana dan
Kemana Bisnis Perikanan. Jakarta [ID]: FERACO.
Pemda Raja Ampat. 2006. Atlas Sumberdaya Pesisir Kabupaten Raja Ampat,
Provinsi Irian Jaya Barat. Raja Ampat [ID]: Kerjasama Pemda Raja Ampat
dengan Konsorsium Atlas Sumberdaya Pesisir Kab. Raja Ampat.
Putra, Drama Panca. 2001. Pendekatan Ekologi-Ekonomi dalam Penetapan
Kawasan Konservasi Ekosistem Terumbu Karang di Perairan Pulau Sebesi
Kabupaten Lampung Selatan. Tesis. Tidak dipublikasikan.
xxiii
Ruddle, Kenneth, A. Satria. 2010. Managing Coastal and Inland Waters, Pre-
existing Aquatic Management Systems In Southeast Asia. Germany [GM]:
Springer.
Rumfaker, Maurits K. 2010. Analisis Pembayaran Jasa Lingkungan di Kawasan
Konservasi Laut Daerah Kabupaten Raja Ampat. [tesis]. Bogor [ID]: Institut
Pertanian Bogor.
Saad, Sudirman. 2003. Politik Hukum Perikanan Indonesia. Jakarta [ID]: Dian
Pratama Printing.
Satria, Arif. 2002. Pengantar Sosiologi Masyarakat Pesisir. Jakarta [ID]: PT.
Pustaka Cidesindo.
2009. Pesisir dan Laut untuk Rakyat. Bogor [ID]: IPB Press.
Setianingsih, Anita 2010. Kajian Implementasi Pengelolaan Daerah Perlindungan
Laut di Desa Mittiro Deceng, Kab. Pangkep, Provinsi Sulsel. [tesis]. Bogor
[ID]: Institut Pertanian Bogor.
Singarimbun Masri, Sofian Effendi. 2006. Metode Penelitian Survai. Jakarta [ID]:
LP3ES.
Walgito, Bimo. 2003. Psikologi Sosial: Edisi kedua. Yogyakarta [ID]. ANDI.
xxiv
LAMPIRAN
xxv
Lampiran 1. Lokasi Penelitian
Peta Kabupaten Raja Ampat
Kampung Saporkren, Distrik Waigeo Selatan, Kabupaten Raja Ampat
xxvi
Lampiran 2. Jumlah dan Luasan Kawasan Konservasi Laut di Indonesia Tahun 2009
Provinsi TNL (Taman
Nasional Laut)
TWAL (Taman
Wisata Alam Laut)
SML (Suaka
Margasatwa Laut)
CAL (Cagar Alam
Laut)
KKLD (Kawasan
Konservasi Laut
Daerah)
CKKLD (Calon
Kawasan Konservasi
Laut Daerah)
DPL (Daerah
Perlindungan
Laut)
SUAKA
PERIKANAN
Jumlah Luas (Ha) Jumlah Luas (Ha) Jumlah Luas
(Ha)
Jumlah Luas
(Ha)
Jumlah Luas (Ha) Jumlah Luas (Ha) Jumlah Luas
(Ha)
Jumlah Luas
(Ha)
Jumlah-
Total
7 4.045.049 18 767.610 7 339.218 9 274.215 24 3.155.572 19 13.591.406 2 2.086 3 453
Nanggroe
Aceh
Darussalam
2 231.400 1 50.000 1 1.518
Sumatera
Barat
1 39.900 4 51.276
Riau 1 66.867
Bengkulu 1 36.000
Lampung 1 13.735 1 96.061
Kep.
Bangka
Belitung
1 662.794
Kep. Riau 3 589.505 1 400.000
DKI.
Jakarta
1 107.489
Jawa Barat 1 1.228 1 90 3 2.320 1 720 1 27.663
Jawa
Tengah
1 111.625 1 6.800 1 12
Jawa
Timur
1 370
Banten
Bali 1 101.784
xxvii
Provinsi TNL (Taman Nasional
Laut)
TWAL (Taman
Wisata Alam Laut)
SML (Suaka
Margasatwa Laut)
CAL (Cagar
Alam Laut)
KKLD(Kawasan
Konservasi Laut
Daerah)
CKKLD(Calon
Kawasan
Konservasi Laut
Daerah)
DPL(Daerah
Perlindungan
Laut)
SUAKA
PERIKANAN
Jumlah Luas (Ha) Jumlah Luas (Ha) Jumlah Luas
(Ha)
Jumlah Luas
(Ha)
Jumla
h
Luas
(Ha)
Jumlah Luas
(Ha)
Jumlah Luas
(Ha)
Jumlah Luas
(Ha)
Nusa Tenggara
Barat
3 11.554 2 49.557 1 1.317 1 71
Nusa Tenggara
Timur
3 119.350 1 2000 1 21.850 1 11.000.
000
Kalimantan Barat 1 77.000 1 15.300 1 186.643
Kalimantan Timur 1 280 1 220 2 1.321.40
7
1 2.095
Kalimantan Selatan 1 22.099
Sulawesi Utara 1 89.065 2 1.624 1 769
Sulawesi Utara* 1 41.227
Gorontalo 1 2.460
Sulawesi Tengah 1 362.605 3 389.320
Sulawesi Selatan 1 530.765
Sulawesi Tenggara 1 1.390.000 3 167.800 2 30.936
Maluku 3 13.098 1 2.000 2 116.50
0
Papua Barat 3 65.278 1 26.796 1 644.678
Papua 1 1.453.500 1 183.000 1 271.630 1 62.660 1 900.000
Sumber : KKP (2009)
Lampiran 2. Jumlah dan Luasan Kawasan Konservasi Laut di Indonesia Tahun 2009 (Lanjutan)
xxviii
Lampiran 3. Jadwal Pelaksanaan Penelitian Tahun 2011
Kegiatan Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
Penyusunan
proposal
skripsi
Kolokium
Pengambilan
data
lapangan
Pengolahan dan analisis
data
Penulisan draft skripsi
Sidang skripsi
Perbaikan laporan
penelitian
xxix
Lampiran 4. Kerangka Sampling
No. Nama Keterangan No. Nama Keterangan
1. OS 29. SS *
2. DM * 30. PK
3. EO 31. JD *
4. HS * 32. KS *
5. RS * 33. FD
6. YD 34. JW *
7. YM * 35. NM *
8. YD * 36. JD
9. SM * 37. AD *
10. TD 38. YM *
11. YM * 39. YM *
12. LM 40. YW *
13. AM * 41. MM *
14. DS * 42. PD *
15. HS * 43. YM
16. MM * 44. FS
17. HM * 45. LM *
18. BM 46. PD *
19. MM * 47. RM
20. AM 48. LS *
21. SS * 49. YM
22. EW * 50. AM *
23. AM * 51. SM
24. YB * 52. NM *
25. YM 53. SM *
26. ES * 54. MS *
27. FM * 55. DD
28. MR * 56. MM *
Keterangan : * = Responden
xxx
Lampiran 5. Daftar Responden
No. responden Nama responden Usia
1. YB 42
2. LS 45
3. DM 42
4. FS 59
5. SS 42
6. AM 25
7. HS 30
8. DS 29
9. AD 26
10. MM 35
11. SM 50
12. EW 38
13. JW 39
14. LM 32
15. YD 33
16. MM 39
17. YM 39
18. YM 30
19. AM 55
20. AM 53
21. PD 67
22. YM 55
23. JD 28
24. SS 37
25. MS 26
26. NM 41
27. ES 28
28. SM 56
29. RS 35
30. MM 32
31. YW 26
32. YM 39
33. NM 25
34. MM 34
35. HM 36
36. FM 27
37. MR 50
38. PD 52
39. KS 42
xxxi
Lampiran 6. Dokumentasi Penelitian
Kampung Saporkren
Darmaga
Poliklinik
Kantor Kampung
Toilet Umum
Sumur Umum
Sarana dan Prasarana Kampung Saporkren
xxxii
Perahu Katingting
Proses Pembuatan Perahu
Nelayan Bersiap Melaut
Nelayan Menggunakan Perahu Dayung
Posisi Perahu Saat Tidak Digunakan
Proses Pengecatan Perahu
Aktivitas Melaut Nelayan Saporkren
xxxiii
Pancing Nilon Dasar
Pancing Nilon Tonda Tipe 1
Mesin Perahu Katingting
Pancing Nilon Pompa
Pancing Nilon Tonda Tipe 2
Responden Saat Melaut
Jenis Alat Tangkap Nelayan Saporkren
xxxiv
Responden Setelah Melaut
Hasil Tangkapan Ikan Gutila
Hasil Tangkapan Ikan Cakalang dan Ikan
Geropah
Hasil Tangkapan Ikan Tenggiri (5KG)
Hasil Tangkapan Satu Kali Melaut
Ikan yang dijual Pertali
Hasil Tangkapan Nelayan Saporkren
xxxv
Peta DPL Yenmangkwan
Lokasi DPL dilihat dari Perkampungan
Gambaran Berbagai Kegiatan LPSTK
Nelayan yang Melaut
Gambaran Rangkaian Kegiatan Pengelolaan
DPL
Bukti Pengesahan DPL Yenmangkwan
Tiang Pembatas DPL Yenmangkwan
Daerah Perlindungan Laut Yenmangkwan (1)
xxxvi
Dokumentasi Penandatangan Bukti
Persetujuan oleh Masyarakat
Pondok Informasi DPL
Yenmangkwan
Peraturan Kampung Pengelolaan
DPL Yenmangkwan
Bersama Masyarakat dan Pengurus
LPSTK, MK, dan Pokmaswas
Daerah Perlindungan Laut Yenmangkwan (2)
xxxvii