ANALISIS NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK
DALAM AL-QURAN SURAT AN NAHL AYAT 90-91
SKRIPSI
Diajukan untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Pendidikan (S.Pd.)
Oleh
MAULIA RAHMAWATI
NIM 11112112
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
SALATIGA
2016
MOTTO
نهمخلقاأ اناأ حس إيم لالمؤمنين كم
“ Orang mukmin yang sempurna imannya adalah yang paling
baik akhlaknya” (HR. ImamTirmidzi no. 1187)
PERSEMBAHAN
Skripsi ini penulis persembahkan untuk:
1. Kedua orang tuaku tersayang Bapak Mubasir & Ibu Sriwati yang telah
membesarkan ku dengan penuh cinta dan kesabaran serta selalu menjadi
motivasi dalam setiap langkah hidupku.
2. Adikku Yusuf Dwi Arifianto, yang selalu menghibur dikala sedang sedih
dan sakit, terimakasih atas dukungannya dan motivasinya. Semoga kita
bisa membahagiakan bapak dan ibu.
3. Kepada sahabat-sahabatku yang selalu memberi semangat, Aminah &
Ni‟mah yang selalu nebengi saat pulang pergi kuliah, juga kepada selvi
yang selalu memerikan motivasi.
4. Kepada adik sepupuku Devia Herdiani yang selalu menjadi tempat curhat,
semoga bisa wisuda tahun depan.
5. Kepada seluruh keluargaku terimakasih atas dorongan dan semangatnya.
6. Kepada teman-teman seperjuangan angkatan 2012 khususnya kelas PAI D
yang telah memberi motivasi dan semangat belajar.
7. Kepada teman-teman PPL, Aminah, Hayu, Mbak Elfa, Mbak Wardati,
Mbak Siwi, Mbak Badariah, pak Tri Hartono, pak Wildan, pak Sholikin,
pak Bayu, dan pak Sokhi, terimakasih atas motivasi dan semangatnya.
8. Kepada teman-teman KKN 2016 posko 10, Desi, Fitri, Afi, Mbak Nanda,
Mbak Dian, Yudhi dan Hakim yang gokil-gokil dan selalu bikin kangen,
terimakasih atas semangat dan kebersamaannya.
9. Kepada calon partnerku yang kelak akan menjadi imamku.
KATA PENGANTAR
Segala Puji bagi Allah SWT atas karunia-Nya sehingga penulis dapat
meyelesaikan skripsi yang berjudul “ANALISIS NILAI-NILAI PENDIDIKAN
AKHLAK DALAM AL-QUR’AN SURAT AN NAHL AYAT 90-91”
walaupun jauh dari kata sempurna. Sholawat dan salam semoga senantiasa selalu
tercurah kepada Nabiullah Muhammad SAW
Penulis menyadari dalam penulisan skripsi ini masih jauh dari kata
sempurna, dan masih banyak kekurangan baik dalam metode penulisan maupun
dalam pembahasan materi. Hal tersebut dikarenakan keterbatasan kemampuan
yang dimiliki penulis. Terselesaikannya skripsi ini berkat motivasi, bantuan dan
bimbingan dari berbagai pihak, sehingga pada kesempatan ini dengan segala
kerendahan hati dan penuh rasa hormat, penulis mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya bagi semua pihak yang telah memberikan bantuan baik langsung
maupun tidak langsung dalam penyusunan skripsi ini. Penulis mengucapkan
banyak terimakasih kepada:
1. Bapak Dr. Rahmat Haryadi, M. Ag., sebagai Rektor IAIN Salatiga.
2. Bapak Suwardi, M. Pd., selaku Dekan Fakultas Tarbiyyah.
3. Ibu Hj. Siti Rukhayati, M. Ag., selaku Kepala Jurusan Pendidikan Agama
Islam.
4. Bapak Dr. M. Gufron, M. Ag., selaku Dosen Pembimbing yang bersedia
meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan.
5. Ibu Peni Susapti, M.Si., selaku dosen pembimbing akademik
6. Kepada bapak dan ibu dosen yang telah mendidik dan memberikan ilmu
dan pengalaman dengan penuh kesabaran, serta bagian akademik IAIN
Salatiga yang telah memberikan layanan dan bantuannya kepada penulis.
7. Bapak dan ibu tercinta yang telah memberikan segala kebutuhan
lahiriyyah maupun batiniyyah.
8. Kepada adikku yang selalu menghibur dan menyemangati disaat susah dan
penat dalam mengerjakan skripsi ini.
9. Seluruh keluarga dan teman-temanku yang telah memberi motivasi,
semangat dan bantuannya sehingga penulis dapat menyelesaikan
penyusunan skripsi ini.
10. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Salatiga, 28 Agustus 2016
Penulis
Maulia Rahmawati
NIM : 111-12-112
ABSTRAK
Rahmawati, Maulia. 2016. Analisis Nilai-Nilai Pendidikan Akhlak Dalam Al-
Qur’an Surat An Nahl ayat 90-91. Skripsi. Fakultas Tarbiyah dan
Ilmu Keguruan. Jurusan Pendidikan Agama Islam. Institut Agama
Islam Negeri Salatiga. Pembimbing: Dr. M. Gufron, M.Ag.
Kata Kunci: Analisis Nilai-Nilai Pendidikan Akhlak
Penulis meneliti tentang “Analisis Nilai-Nilai Pendidikan Akhlak
dalam al-Qur‟an Surat an Nahl ayat 90-91” yang mana peneliti akan
membahas mengenai pesan pendidikan yang terkandung dalam Surat an
Nahl ayat 90-91. Pertanyaan yang akan dijawab oleh peneliti adalah: 1.
Bagaimana nilai-nilai pendidikan akhlak yang terkandung dalam surat an
Nahl ayat 90-91. 2. Bagaimana implementasi nilai-nilai pendidikan
akhlak yang ada dalam surat an Nahl ayat 90-91. Untuk menjawab dari
pertanyaan tersebut maka kajian ini menggunakan penelitian library
research. Sumbernya data yang digunakan berasal dari Kitab Tafsir Al
Misbah, Kitab Tafsir Ibnu Katsir, Kitab Tafsir Al Maraghi, Alqur‟an dan
buku-buku yang ada relevansinya dengan pembahasan serta sumber lain
yang mendukung tentang pendidikan akhlak yang terkandung dalam Al-
Qur‟an surat an Nahl ayat 90-91. Adapun metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah metode analisisi isi yaitu teks yang dianalisis sesuai
dengan isinya atau pesan yang terkandung dalam teks tersebut.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa nilai-nilai pendidikan
akhlak dalam surat an Nahl ayat 90-91 terdapat akhlak yang baik dan
buruk, diantaranya: keadilan, berbuat ihsan, memberi bantuan kepada
kaum kerabat, tidak berbuat keji, mungkar dan permusuhan, menepati
janji dan tidak melanggar sumpah. Implementasi atau penerapannya
adalah dengan membiasakan akhlak-akhlak baik tersebut dalam
kehidupan dan selalu menyadari perbuatan yang kita lakukan akan
dimintai pertanggungjawaban sehingga perbuatan buruk dapat kita
hindari.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ........................................................................................ i
HALAMAN PERSETUJUAN ......................................................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN .......................................................................... iii
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN .................................................... iv
MOTTO ........................................................................................................... v
PERSEMBAHAN ............................................................................................ vi
KATA PENGANTAR ..................................................................................... vii
ABSTRAK ....................................................................................................... ix
DAFTAR ISI .................................................................................................... x
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1
A. Latar Belakang ................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .............................................................................. 7
C. Tujuan Penelitian ............................................................................... 7
D. Kegunaan Penelitian .......................................................................... 7
E. Metode Penelitian .............................................................................. 8
F. Penegasan Istilah ................................................................................ 11
G. Sistematika Penulisan ........................................................................ 13
BAB II LANDASAN TEORI ........................................................................ 15
A. Pengertian Pendidikan Akhlak ........................................................... 15
B. Materi Pendidikan Akhlak ................................................................. 17
C. Ruang Lingkup Pendidikan Akhlak ................................................... 20
D. Tujuan Pendidikan Akhlak ................................................................ 26
BAB III DESKRIPSI SURAT AN NAHL AYAT 90-91 ............................. 28
A. Surat an Nahl dan Terjemahannya ..................................................... 28
B. Penafsiran Surat an Nahl ayat 90-91 Menurut Para Mufassir........... 35
BAB IV ANALISIS DAN PENERAPAN SURAT AN NAHL 90-91 ......... 42
A. Analisis Nilai-Nilai Pendidikan Akhlak ............................................ 42
B. Penerapan dalam Kehidupan Sehari-hari ........................................... 55
BAB V PENUTUP .......................................................................................... 63
A. KESIMPULAN .................................................................................. 63
B. SARAN-SARAN ............................................................................... 67
C. PENUTUP.......................................................................................... 68
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Islam adalah agama yang sempurna. Islam banyak membimbing
umat manusia dengan berbagai amalan, dari amalan hati seperti aqidah
hingga amalan fisik seperti ibadah. Semua amalan itu merupakan sarana
pembentuk kepribadian manusia beriman. Sasaran umat dari seluruh
perintah Allah di dunia ini adalah dalam rangka membentuk karakter
manusia beriman agar bertutur kata, berpikir, dan berperilaku yang islami.
Maka secara jelas Rasulullah SAW mengatakan bahwa misi yang beliau
emban dalam berjuang di dunia ini adalah membentuk akhlak mulia
umatnya (Ahmadi, 2004: 29).
Seluruh ajaran dalam Islam bersumber dari wahyu Ilahi yang tidak
bisa berubah-ubah sampai kapanpun. Allah SWT telah memberi aturan-
aturan yang rici. Dengan aturan-aturan tersebut seluruh masalah makhluk-
Nya dapat terselesaikan. Aturan-aturan tersebut telah dijelaskan di dalam
al Qur‟an dan as Sunnah.
Al-Qur‟an senantiasa memberi petunjuk, bimbingan, isyarat,
arahan dan didikan bagi setiap manusia dalam menjalankan kehidupannya
termasuk bidang pendidikan dalam mengusahakan terwujudnya kehidupan
manusia yang sesuai dengan eksistensi dirinya dalam kehidupan. Al-
Qur‟an memiliki gagasan mendasar yang amat luas dalam berbagai bidang
kehidupan manusia yang kesemuanya dapat dan harus dijadikan landasan
dasar utama dalam pengembangan pendidikan Islam (Abdullah, 2001: 68).
Dalam mengembangkan akhlak pada seseorang, tentunya tidak
terlepas dari proses pendidikan. Baik pendidikan dalam keluarga maupun
sekolah. Akhlak mulia seseorang adalah sifat-sifat manusia yang terdidik.
Jadi, jika seseorang memiliki sifat yang buruk berarti mereka tidak
mendapatkan pendidikan dalam mengembangkan akhlak nya.
Seseorang dikatakan baik jika perilaku atau sifat-sifatnya juga
baik. Bagaimana perilaku atau sikapnya kepada orang-orang di sekitar
merupakan cerminan dari akhlak dari orang tersebut. seperti yang
dijelaskan dalam hadits:
( ١هسلن: ) خلاقاأ كن أحاس كن ر خياإى هي
“Sebaik-baiknya orang diantara kalian ialah orang yang akhlaknya baik.”
(HR. Muslim no. 232, tth: 1810 ).
Jika diperhatikan akhir-akhir ini banyak orang yang telah
mengabaikan pembinaan akhlak anak. Akhlak anak merupakan dasar dan
landasan yang kokoh untuk kehidupan manusia, karena dengan pendidikan
akhlak akan menjadikan hidup manusia bermanfaat baik di rumah, sekolah
maupun masyarakat.
Banyak dijumpai orang-orang Muslim yang memegang teguh
aturan ibadah yang sangat kuat, namun sering kali akhlaknya kurang
diperhatikan dan kurang diamalkan secara baik. Akhirnya masyarakat
Islam yang ada sering tidak mencerminkan masyarakat yang terbimbing
dengan nilai-nilai luhur akhlakul karimah.
Manusia telah banyak yang kehilangan pegangan hidup, hawa
nafsu dan ambisi duniawi telah berpengaruh besar terhadap sikap hidup
manusia, arahan akhlak Islam sangat perlu disebarluaskan untuk
membentuk masyarakat yang maju dalam bidang apapun.
Pada kenyataan lapangan, usaha-usaha pembinaan akhlak melalui
berbagai lembaga pendidikan dan melalui berbagai macam metode terus
dikembangkan. Ini menunjukkan bahwa akhlak memang perlu dibina, dan
pembinaan ini ternyata membawa hasil berupa terbentuknya pribadi-
pribadi Muslim yang berakhlak mulia, taat kepada Allah dan Rasul-Nya,
hormat kepada ibu bapak, sayang kepada sesama makhluk Tuhan dan
seterusnya. Keadaan sebaliknya menunjukkan bahwa anak-anak yang tidak
dibina akhlaknya atau dibiarkan tanpa bimbingan, arahan dan pendidikan
ternyata menjadi anak yang nakal, mengganggu masyarakat, melakukan
berbagai perbuatan tercela dan seterusnya (Nata, 2002: 155).
Seiring dengan perkembangan zaman, terutama kemajuan dalam
bidang iptek, maka pembinaan akhlak sangat perlu dilakukan terutama
bagi anak-anak karena peristiwa baik dan buruk dengan mudah dapat
dilihat melalui teknologi seperti sekarang ini. Keadaan tersebut
menunjukkan bahwa akhlak perlu dibina sejak dini pada anak-anak agar
mereka dapat memilah-milah mana perbuatan baik yang dapat dijadikan
pelajaran dan mana perbuatan buruk yang harus ditinggalkan.
Manusia memiliki potensi untuk menjadi bermoral, yaitu hidup
dengan tatanan nilai dan norma. Potensi ini dapat dikembangkan melalui
bantuan orang tua atau orang dewasa dalam keluarga, sekolah dan
masyarakat. Dengan kata lain, perlu adanya pendidikan moral. Ketika lahir
manusia dalam keadaan fitrah, suci, bagaikan kertas putih yang belum
terrnodai oleh tinta. Pada akhirnya dia terkontaminasi dan terbentuk oleh
lingkungan dan keluarga, terutama orang-orang terdekat. Setiap orang
sebaiknya berperan serta dalam proses pendidikan moral dan memperbaiki
moral masyarakat. Karena itu, bahwa pendidikan akhlak dapat membentuk
watak seseorang. Ia bisa berkembang secara sistematis dan harmonis
sesuai dengan perkembangan hidupnya (Damanhuri, 2014: 47).
Agar manusia memiliki moral yang baik maka pembinaan akhlak
diajarkan dengan melatih jiwa dengan tingkah laku yang mulia. Akhlak
berkaitan dengan baik dan buruk. Sesuatu yang baik harus diamalkan dan
sesuatu yang buruk harus ditinggakan atau dihindari. Sesuatu yang
mempunyai nilai kebenaran pasti akan mendatangkan kebaikan pada diri
seseorang. Sesuatu yang baik juga akan memberikan kesenangan dan
kepuasan sesuai dengan apa yang diharapkan. Jika seseorang
mengharapkan memiliki sifat yang jujur, adil amanah atau akhlak mulia
lainnya, maka usaha yang harus dilakukan adalah melatih jiwa untuk
membiasakan perilaku tersebut dalam kehidupan.
Dalam pendidikan, tanggung jawabnya yaitu diselenggarakan
dengan kewajiban mendidik. Secara umum mendidik ialah membantu anak
didik di dalam perkembangan dari daya-dayanya dan di dalam penetapan
nilai-nilai. Bantuan atau bimbingan itu dilakukan dalam pergaulan antara
pendidik dan anak didik dalam situasi pendidikan yang terdapat dalam
lingkungan rumah tangga, sekolah maupun masyarakat (Drajat, 1996: 34).
Akhlak dapat dibentuk melalui pembinaan dan pendidikan.
Dengan pendidikan, seseorang akan mengetahui akhlak-akhlak yang perlu
diterapkan dalam kehidupannya. Pendidikan memiliki fugsi yang sangat
besar dalam kehidupan manusia yaitu memberikan pengetahuan dan
pemahaman kepada mereka terhadap suatu hal.
Menurut Abdul Kadir dkk, (2013: 81), pendidikan berfungsi untuk
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak, kepribadian serta
peradaban yang bermartabat dalam hidup dan kehidupan atau dengan kata
lain pendidikan berfungsi memanusiakan manusia agar menjadi manusia
yang benar sesuai dengan norma yang dijadikan landasannya.
Pembinaan akhlak yang sesuai dengan tuntunan al-Qur‟an dan
menurut syariat Islam, yang pertama adalah pembinaan pada diri sendiri,
kedua pembinaan pada lingkungan keluarga dan yang terakhir pembinaan
di lingkungan masyarakat. Keluarga merupakan bagian dari masyarakat
maka semua anggota keluarga menjadi bagian yang harus diperhatikan
pembinaan akhlaknya dalam bentuk hak serta tanggung jawab masing-
masing anggota keluarga.
Akhlak merupakan masalah penting yang tidak bisa diabaikan
manusia dalam kehidupannya baik sebagai individu, anggota masyarakat
dan sebagai bangsa, sebab jatuh bangunnya, jaya hancurnya, sejahtera
rusaknya suatu bangsa dan masyarakat adalah tergantung bagaimana
akhlaknya suatu bangsa atau masyarakat tersebut.
Akhlak merupakan pondasi atau dasar karakter pada diri manusia.
Akhlak juga yang membedakan karakter manusia dengan makhluk
lainnya. Manusia yang tidak memiliki akhlak akan kehilangan derajat
sebagai hamba Allah yang paling terhormat. Dalam kehidupan, sebab
utama yang menyebabkan kemerosotan atau kemunduran umat Islam
adalah hilangnya akhlakul karimah (akhlak terpuji) dalam diri manusia.
Dalam lingkungan keluarga, orang tua merupakan pendidik utama
dan pertama bagi anak-anak mereka, karena dari merekalah anak-anak
mula-mula menerima pendidikan. Dengan demikian bentuk pertama dari
pendidikan terdapat dalam kehidupan keluarga (Drajat, 1996: 35).
Orang tua memiliki kewajiban memberikan pendidikan pada
anak-anaknya yaitu dengan membina atau memberi bimbingan dan
petunjuk yang benar agar anak-anak terbiasa dengan adat dan kebiasaan
yang baik.
Berkaitan dengan hal tersebut, di dalam al-Qur‟an surat an Nahl
ayat 90-91 terdapat nilai-nilai akhlak yang harus diterapkan dalam diri
manusia sebagai bekal hidupnya.
Berdasarkan fenomena di atas maka penulis ingin melakukan
penelitian dengan mengambil judul “ANALISIS NILAI-NILAI
PENDIDIKAN AKHLAK DALAM AL-QUR’AN SURAT
AN NAHL AYAT 90-91”.
B. Rumusan Masalah
Mengacu dari uraian di atas, maka selanjutnya penulis
merumuskan pokok permasalahan yang akan dibahas lebih lanjut. Hal
tersebut antara lain:
1. Bagaiman nilai-nilai pendidikan akhlak yang ada dalam surat an-Nahl
ayat 90 dan 91?
2. Bagaimana implementasi nilai-nilai pendidikan akhlak yang ada
dalam surat an-Nahl ayat 90 dan 91dalam kehidupan sehari-hari?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui nilai-nilai pendidikan akhlak yang ada dalam surat
an-Nahl ayat 90 dan 91.
2. Untuk mengetahui bagaimana implementasi nilai-nilai pendidikan
akhlak yang ada dalam surat an-Nahl ayat 90 dan 91dalam kehidupan
sehari-hari?
D. Kegunaan Penelitian
Dari hasil penelitian ini, diharapkan memiliki manfaat sebagai berikut:
1. Manfaat teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat secara teoritis,
dapat berguna sebagai sumbangan pemikiran dalam dunia pendidikan
khususnya pendidikan Islam.
2. Manfaat praktis
a. Bagi Penulis
Menambah wawasan penulis mengenai nilia-nilai
pendidikan akhlak anak yang dapat dijadikan sebagai pedoman
dalam bersikap dan berperilaku. Dapat juga dijadikan sebagai
bekal untuk menerapkan nilai-nilai pendidikan akhlak tersebut
kepada anak didiknya.
b. Bagi Pembaca
Memberikan pengetahuan mengenai betapa pentingnya
nilai-nilai pendidikan akhlak yang harus diterapkan dalam
kehidupannya.
E. Metode Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini, digunakan beberapa teknik untuk
sampai pada tujuan penelitian. Teknik tersebut meliputi:
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang penulis lakukan adalah penelitian
kepustakaan (library research), karena semua yang digali adalah
bersumber dari pustaka (Hadi, 1981: 3).
Dimana data-data yang digunakan penulis dalam penelitian ini
adalah berbagai tulisan yang temanya sama dengan judul yang penulis
angkat.
Adapun sumber data yang digunakan penulis adalah:
a. Sumber data primer
Sumber data primer merupakan sumber data yang berkaitan
langsung dengan penelitian yaitu al Qur‟an suat an Nahl ayat 90-
91beserta tafsirannya menurut para Ulama‟ diantaranya Tafsir al-
Misbah karya Quraisy Shihab, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir karya
Muhammad Nasib ar-Rifa‟i dan Tafsir Al Maraghi karya Ahmad
Mustafa Al Maraghi.
b. Sumber data skunder atau studi dokumen
Studi dokumen adalah pengumpulan data yang dicari di
dalam dokumen atau sumber pustaka. Data tersebut adalah data
skunder yang telah tertulis atau diolah oleh orang lain (Wirartha,
2006: 36). Data skunder merupakan sumber data yang
mengandung dan melengkapi sumber-sumber data primer. Sumber
data skunder diambil dengan cara mencari, menganalisis buku-
buku, internet dan informasi lainnya yang berkaitan dengan judul
skripsi.
2. Pendekatan penelitian
Dalam penelitian ini menggunakan pendekatan hermeneutics,
yaitu pendekatan untuk menganalisis dan menginterpretasikan data
yang berpusat pada makna data kualitatif khususnya data teks (Sarosa,
2012: 77).
Hermeneutika bertugas untuk menjembatani distansi antara
penulis dan pembaca yang antara keduanya dihubungkan dengan teks,
agar sebuah statemen tidak menyesatkan pembaca (Kuswaya, 2011:
41)
Pendekatan ini digunakan penulis untuk menganalisis nilai-
nilai pendidikan akhlak yang ada dalam surat an Nahl 90-91 sesuai
dengan teks yang ada.
3. Teknik pengumpulan data
Untuk memperoleh data dalam penelitian ini, penulis
menggunakan teknik dokumentasi, yaitu mencari data-data mengenai
hal-hal atau variabel yang berupa catatan, transkip, buku, surat kabar,
majalah, prasasti, notulen rapat, ledger, agenda dan sebagainya
(Arikunto, 2010: 274)
Teknik ini penulis gunakan untuk mencari data dengan cara
membaca, menelaah, mengkaji buku-buku tafsir al-Qur‟an dan Hadist
serta buku-buku yang berkaitan dengan tema pembahasan. Setelah data
terkumpul kemudian dilakukan analisis data. Analisis data adalah cara-
cara analisis dengan memanfaatkan data yang telah terkumpul untuk
digunakan dalam memecahkan masalah penelitian (Wirartha, 2006:
42).
Berkaitan dengan tema yang penulis angkat, maka setelah data
kemudian dianalisis untuk mendapatkan kandungan al Qur‟an surat an
Nahl mengenai nilai-nilai pendidikan akhlak yang ada dalam surat an-
Nahl ayat 90-91.
4. Metode Analisis
Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode
analisis isi (content analysis). Menurut Sumadi Suryabrata (2010: 85),
metode analisi isi adalah data deskriptif atau textular yang sering
dianalisis menurut isinya atau pesan yang terkandung dalam teks
tersebut.
Metode ini digunakan penulis untuk mendeskripsikan isi atau
kandungan yang ada dalam al-Qur‟an surat an Nahl ayat 90-91
mengenai nilai-nilai akhlak apa saja yang terkandung dalam ayat
tersebut.
F. Penegasan Istilah
1. Nilai Pendidikan Akhlak
Nilai berasal dari bahasa latin Vale’re yang artinya berguna,
mampu akan, berdaya, berlaku, sehingga nilai diartikan sebagai
sesuatu yang dipandang baik, bermanfaat dan paling benar menurut
keyakinan seseorang atau sekelompok orang. Menurut Steeman (Eka
Darmaputera, 1987: 65) nilai adalah sesuatu yang memberi makna
pada hidup, yang memberi acuan, titik tolak dan tujuan hidup. Nilai
adalah sesuatu yang dijunjung tinggi, yang dapat mewarnai dan
menjiwai tindakan seseorang. Nilai itu lebih dari sekedar keyakinan,
nilai selalu menyangkut pola pikir dan tindakan, sehingga ada
hubungan yang amat erat antara nilai dan etika (Adisusilo, J.R., 2012:
56)
Pendidikan berasal dari kata bahasa arab yaitu Tarbiyah. Kata
tersebut memiliki arti yang berbeda-beda yang mengacu pada arti
pengembangan, peningkatan, ketinggian, kelebihan serta perbaikan.
Bengan demikian kata Tarbiyah itu mempunyai arti yang sangat luas
dan bermacam-macam dalam penggunaannya, dan dapat diartikan
menjadi makna “pendidikan, pemeliharaan, perbaikan, peningkatan,
pengembangan, penciptaan dan keagungan yang kesemuanya itu
menuju dalam rangka kesempurnaan sesuatu sesuai dengan
kedudukannya”(Abdullah, 2001: 28-29).
Dilihat dari sudut bahasa (etimologi), perkataan akhlak (bahasa
Arab) adalah bentuk jamak dari Khulk. Khulk di dalam kamus Al-
Munjid berati budi pekerti, perangai tingkah laku atau tabiat. Dari
pengertian tersebut dapat diketahui bahwa akhlak ialah sifat-sifat yang
dibawa manusia sejak lahir yang tertanam dalam jiwanya dan selalu
ada padanya (Asmaran As., 2002: 1).
Akhlak merupakan suatu sistem yang lengkap terdiri dari
karakteristik-karakteristik akal atau tingkah laku yang membuat
seseorang menjadi istimewa. Karakteristik-karakteristik ini
membentuk kerangka psikologi seseorang dan membuatnya berlaku
sesuai dengan dirinya dan nilai yang cocok dengan dirinya dalam
kondisi yang berbeda-beda (Mahmud, 2004: 27).
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa nilai
pendidikan akhlak adalah sesuatu yang dijunjung tinggi oleh
masyarakat maupun bangsa yang dilakukan untuk mengetahui,
mengembangkan dan menciptakan sifat atau tingah laku pada
seseorang untuk berlaku sesuai dengan nilai dan norma yang ada.
2. Surat an Nahl
Surat an-Nahl terdiri atas 128 ayat, termasuk golongan surat
makiyyah. Surat ini dinamakan “An Nahl” yang berarti “Lebah” karena
di dalamnya terdapat firman Allah SWT ayat 68 yang artinya “ Dan
Tuhanmu yang mewahyukan kepda lebah”(Departemen Agama RI,
1967: 1)
Penulis membatasi telaah surat An-Nahl beberapa ayat. Dalam
hal ini yang dimaksud adalah ayat 90 dan 91, karena ayat tersebut ada
kaitannya dengan pendidikan akhlak.
G. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan skripsi merupakan penjabaran tentang hal-
hal yang akan ditulis dan disusun secara sistematis, sehingga
menghasilkan kerangka skripsi yang sistematis dan mudah dipahami.
Sistematika yang akan ditulis oleh penulis akan dijelaskan sebagai
berikut:
Pada halaman pembuka mencakup halaman judul, halaman nota
pembimbing, halaman pengesahan, halaman pernyataan keaslian tulisan,
halaman motto, halaman persembahan, kata pengantar, abstrak dan daftar
isi.
BAB I : Pendahuluan, pada bab ini berisi: latar belakang
masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian,
kegunaan penelitian, metode penelitian, penegasan
istilah dan sistematika penulisan.
BAB II : Landasan teori, yang meliputi: pengertian
pendidikan akhlak, materi pendidikan akhlak,
ruang lingkup pendidikan akhlak dan tujuan
pendidikan akhlak,.
BAB III : Membahas tentang tafsir surat an-Nahl secara
umum dan tafsir surat an-Nahl ayat 90 dan 91
menurut beberapa mufassirin.
BAB IV : Menganalisis tentang Pendidikan Akhlak dalam
al-Qur‟an surat an-Nahl ayat 90-91 yang
mencakup: analisis nilai-nilai pendidikan Akhlak
yang terdapat dalam surat an-Nahl ayat 90-91dan
implementasinya dalam kehidupan sehari-hari.
BAB V : Penutup menguraikan tentang kesimpulan dan
saran.
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Pengertian Pendidikan Akhlak
Menurut Marimba (1989: 19) yang dikutip oleh Ahmad Tafsir
(2008: 24), mengatakan bahwa pendidikan adalah bimbingan atau
pimpinan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan
rohani anak didik menuju terbentuknya kepribadian yang utama
Pendidikan merupkan hal terpenting dalam kehidupan. Tanpa
pendidikan nasib suatu bangsa dan negara akan hancur karena dibodohi
oleh negara lain yang berkuasa melalui pengetahuan dan pendidikan yang
mereka miliki. Selain pendidikan, akhlak suatu bangsa juga perlu
ditingkatkan, karena akhlak merupakan kunci dari kejayaan atau
kehancurannya bangsa tersebut.
Menurut Asmaran As. (2002: 1), Akhlak merupakan sifat-sifat
yang dibawa manusia sejak lahir yang tertanam dalam jiwanya dan selalu
ada padanya. Namun akhlak yang ada pada seseorang belum sempurna dan
perlu dilakukan penbinaan untuk membentuk akhlak yang mulia.
Akhlak dapat tumbuh melalui pengetahuan jika dapat
memahaminya, selanjutnya dengan pembiasaan sebab ilmu dapat diperoleh
melalui belajar dan akhlak juga dapat diperoleh melalui pembiasaan.
Dalam al-Qur‟an dijelaskan bahwa Islam telah menjadikan
Rasulullah sebagai sumber teladan yang baik dalam berakhlak. Sebagai
orang muslim kita wajib meneladaninya, sebagaimana firman Allah surat
Al Ahzab ayat 21:
Artinya: “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan
yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat)
Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut
Allah (Al Qur‟an dan Terjemahannya, 2010: 420).
Ayat di atas merupakan suatu penegasan bahwa Rasulullah SAW
adalah contoh yang harus kita ikuti, sebab dengan mengikuti dan
mencontoh jejak dan perilaku beliau kita akan memperoleh keridlaan
Allah dan Allah menjamin kebahagian hidup kita di hari kemudian.
Menurut Abuddin Nata (2013: 29) pendidikan akhlak atau
pendidikan akhlak mulia adalah proses internalisasi nilai-nilai akhlak
mulia ke dalam diri sesorang atau peserta didik, sehingga nilai-nilai
tersebut tertanam kuat dalam pola pikir, ucapan dan perbuatannya serta
dalam interaksinya dengan Tuhan, manusia serta lingkungan alam jagad
raya.
Pendidikan akhlak dalam Islam terangkum dalam berpegang atas
kebajikan dan kebaikan, menjauhkan diri dari kejelekan dan kemungkaran
(Hafidz & Kastolani, 2009: 110).
Pendidikan akhlak dalam Islam mencakup jiwa manusia melalui
proses pembelajaran dan pembiasaan dengan mempertimbangkan
kemampuan individu dan potensi-potensinya serta menanamkan dalam
jiwanya. Seruan untuk berakhlak yang mulia dalam kehidupan merupakan
keharusan atau belajar melalui kehidupan nyata. Keistimewaan pendidikan
akhlak dalam Islam bahwasanya akhlak itu merupakan pendidikan praktis,
siap untuk diaplikasikan dalam kehidupan bagi individu dan manusia
seluruhnya walaupun berbeda bahasa, warna, tempat dan waktu (Hafidz
dan Kastolani, 2009: 119-120).
Sudah jelas bahwa pendidikan akhlak merupakan suatu pendidikan
wajib bagi setiap manusia dan diaplikasikannya dalam kehidupan agar
dapat berinteraksi dengan baik terhadap lingkungan sekitarnya.
Pendidikan akhlak terkait dengan perubahan perilaku, maka dalam
penerapannya dilakukan dengan cara pemberian contoh, latihan dan
pembiasaan dalam kehidupan sehari-hari, mulai dari lingkungan keluarga
hingga ke lingkungan yang lebih luas, sehingga pelaksanaan akhlak
tersebut terasa ringan untuk dilakukan. Jika akhlak baik sudah melekat
pada diri seseorang dan mereka selalu konsisten dengan sikap tersebut
maka kehidupannya akan terasa aman dan tenteram.
B. Materi Pendidikan Akhlak
Secara garis besar al-Qur‟an berisi perintah bagi setiap orang untuk
memiliki akhlak yang mulia dan berisi larangan untuk berperilaku tercela.
Perintah untuk berakhlak mulia dan larangan berperilaku tercela
dimaksudkan agar manusia sebagai individu dan sebagai masyarakat
mampu mendapatkan kebahagiaan di dunia dan di akhirat (Mahmud, 2004:
170).
Dalam buku Akhlak Yang Mulia karya Humaidi Tatapangarsa,
materi pendidikan akhlak diantaranya adalah akhlak terpuji dan akhlak
tercela.
1. Akhlak terpuji (Akhlak Mahmudah)
Menurut Tatapangarsa (1980: 147), Akhlak terpuji atau
akhlak mahmudah ialah akhlak yang baik, yang berupa semua
akhlak yang baik-baik yang harus dianut dan dimiliki oleh setiap
orang.
Akhlak terpuji dapat membawa kestabilan dan ketenteraman
yang dengannya manusia akan mendapatkan kemuliaan. Contoh
akhlak terpuji diantaranya adalah:
a. Benar/ Jujur, adalah sesuainya sesuatu dengan kenyataan yang
sesungguhnya, tidak saja berupa perkataan tetapi juga perbuatan
(Tatapangarsa, 1980: 149).
b. Ikhlas, adalah sifat dimana ketika melakukan pekerjaan
dilakukannya semata-mata karena Allah saja, mengharap ridla
Nya dan pahala-Nya (Tatapangarsa, 1980: 151).
c. Qana‟ah, adalah menerima dengan rela apa yang ada atau merasa
cukup dengan apa yang dimiliki (Tatapangarsa, 1980: 153).
2. Akhlak tercela
Akhlak tercela atau akhlak madzmumah merupakan akhlak
yang harus dihindari oleh seseorang. Perilaku tercela akan membawa
dampak buruk bagi yang melakukannya dan akan mendatangkan
kehancuran bagi dirinya. Contoh akhlak tercela diantaranya:
a. Takabur, adalah merasa dirinya besar, hebat, tinggi atau mulia
dan selalu menganggap dirinya lebih sedangkan orang lain
dipandang rendah (Tatapangarsa, 1980: 159).
b. Dengki, adalah rasa atau sikap tidak senang atas kenikmatan
yang diperoleh orang lain, dan berusaha menghilangkan
kenikmatan itu dari orang lain tersebut, baik dengan maksud
supaya kenikmatan itu berpindah ketangan sendiri atau tidak
(Tatapangarsa, 1980: 161).
Jadi pendidikan akhlak yang harus diajarkan kepada manusia
diantaranya adalah akhlak terpuji dan tercela. Akhlak terpuji
diajarkan agar manusia selalu melakukan perbuatan yang mulia yang
diperintahkan oleh Allah dalam al-Qur‟an dan Hadits, sedangkan
materi akhlak tercela diajarkan agar manusia menghindari perilaku
tersebut, mengetahui dampak dari perilaku tercela dan dijadikan
pelajaran agar tidak menerapkannya dalam kehidupan.
C. Ruang Lingkup Pendidikan Akhlak
Dilihat dari ruang lingkupnya, akhlak islami dibagi menjadi dua
bagian yaitu akhlak terhadap Khalik (Allah SWT) dan akhlak terhadap
makhluq (ciptaan Allah). Akhlak terhadap makhluk masih dirinci lagi
menjadi beberapa macam, seperti akhlak terhadap manusia, akhlak
terhadap makhluk hidup selain manusia (seperti tumbuhan dan binatang),
serta akhlak terhadap benda mati. (Zuchdi dkk, 2009: 88)
1. Akhlak kepada Allah
Manusia sebagai seorang hamba memiliki sejumlah kewajiban
kepada Tuhannya. Menurut Salamullah, beberapa akhlak yang harus
dimiliki seorang hamba kepada Allah diantaranya adalah:
Pertama beribadah kepada Allah. Ibadah terbagi menjadi tiga,
yaitu ibadah hati, lisan, dan anggota badan. Ibadah yang dikaitkan
dengan hati seperti rasa khauf (takut), raja’ (mengaharap), mahabbah
(cinta), tawakal (ketergantungan), dan rahbah (takut). Ibadah yang
dikaitkan dengan lisan seperti tasbih, tahlil, tahmid dan syukur.
Sedangkan ibadah yang dikaitkan dengan fisik atau perbuatan seperti
shalat, zakat, haji dan jihad (Salamullah, 2008: 4).
Kedua yaitu cinta kepada Allah. Mencitai Allah SWT. bisa
dipupuk melalui perenungan terhadap tanda-tanda kebesaran-Nya
yang tersebar di seluruh ufuk alam semesta. Pada saat yang sama,
kecintaan kepada Allah bisa dimanifestasikan ke dalam bentuk amal
saleh dan akhlakul karimah di dalam segenap aspek kehidupan.
Mencintai manusia dengan setulus hati merupakan bagian dari bentuk
cinta kepada Allah ( Salamullah, 2008: 12).
Ketiga, mengesakan Allah. Setelah mempercayai keberadaan
Tuhan, setiap muslim wajib beriman bahwa Tuhan itu esa
(Salamullah, 2008:15). Sebagaimana firman Allah dalam QS. al Kahfi
110:
“. . . Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan Yang Esa”.
Hubungan seorang hamba dengan Allah bersifat vertikal, maka
sikap di atas merupakan sebagian contoh kewajiban yang harus
dimiliki seseorang terhadap Tuhannya.
2. Akhlak kepada Rasulullah
Akhlak terhadap sesama manusia harus dimulai dari akhlak
terhadap Rasulullah, sebab Rasulullah yang paling berhak dicintai,
baru dirinya sendiri. Di antara bentuk akhlak kepada Rasulullah
adalah cinta kepada Rasul dan memuliakannya (taubah:24), taat
kepadanya (an nisa‟: 59), serta mengucapkan shalawat kepadanya (al
ahzab: 56). (Zuchdi, 2009: 88).
Akhlak tersebut adalah akhlak yang harus dimiliki oleh
seseorang untuk membuktikan bahwan ia benar-benar meneladani
sikap beliau dan dijadikan dasar untuk bersikap dan berperilaku.
3. Akhlak kepada Orang Tua
Allah memerintahkan kepada kita supaya senantiasa berbuat
baik kepada kedua orang tua. Mereka telah banyak berjasa kepada kita
mulai dari kita sebelum lahir hingga kita dewasa. Tak pernah
sedetikpun kasih sayangnya terlewatkan untuk kita (Salamullah, 2008:
61).
Manusia harus memiliki akhlak yang harus ditujukan kepada
orang tuanya yang dapat diwujudkan seperti di bawah ini.
Pertama, mencukupi kebutuhan orang tua. Allah
memerintahkan kepada kita untuk mencukupi apa yang dibutuhkan
orang tua. Setiap harta yang kita peroleh wajib dinafkahkan kepada
orang-orang yang berada di bawah tanggungan kita, termasuk kepada
orang tua. Akhlak ini berlaku kepada anak yang sudah mandiri dan
memiliki penghasilan sendiri. Sekalipun orang tua tidak meminta
nafkah karena mungkin merasa sudah cukup dan mapan secara
ekonomi, tetapi selayaknya sang anak tetap menyisihkan sebagian
penghasilannya untuk orang tuanya (Salamullah, 2008: 68).
Kedua, melayani orang tua ketika dibutuhkan. Melayani orang
tua memiliki bobot ibadah kepada Allah, terutama ketika orang tua
sangat membutuhkan. Sudah semestinya sang anak selalu siaga untuk
melayani orang tuanya, meski tidak dibutuhkan (Salamullah, 2008:
71).
Ketiga, patuh menjalankan perintah orang tua. Sepanjang
perintah orang tua mengandung unsur kebaikan, wajib hukumnya bagi
sang anak memenuhi perintah tersebut. Misalnya orang tua menyuruh
mengaji, sekolah dan membantu pekerjaannya, kita wajib memenuhi
perintah tersebut. Akan tetapi jika perintah tersebut menjurus kepada
kemaksiatan, maka anak tidak wajib taat kepada mereka (Salamullah,
2008: 75).
Keempat, mendoakan orang tua. Mendoakan orang tua adalah
kewajiban seorang anak baik ketika mereka masih hidup atau sudah
meninggal dunia. Hubungan psikologi anak dengan orang tua begitu
dekat sehingga sangat besar kemungkinan doa dipanjatkan dengan
khusyuk. Doa yang khusyuk mudah dikabulkan oleh Allah SWT
(Salamullah, 2008: 79).
Sikap-sikap di atas menunjukkan bahwa kita wajib berbakti
kepada kedua orang tua kita. Sikap tersebut tidak hanya ditujukan
kepada orang tua kita saja, namun juga kepada orang lain yang
umurnya lebih tua dari kita.
Jika kita mampu bersikap baik kepada orang tua berarti kita
telah menciptakan kebahagiaan bagi mereka. Allah pasti akan
meberikan pahala yang berlimpah bagi siapa saja yang mampu
bersikap baik dan membahagiakan orang lain.
4. Akhlak kepada lingkungan
Allah memerintahkan kepada kita untuk berbuat baik kepada
lingkungan. Yang dimaksud dengan lingkungan disini adalah segala
sesuatu yang ada di sekitar manusia, baik binatang, tumbuh-tumbuhan
maupun benda yang tidak bernyawa.
Binatang, tumbuh-tumbuhan dan benda-benda tak bernyawa
semua diciptakan oleh Allah SWT dan menjadi milik-Nya, serta
semuanya memiliki ketergantungan kepada-Nya. Keyakinan ini
mengantarkan seorang Muslim untuk menyadari bahwa semua adalah
“umat” Tuhan yang harus diperlakukan secara wajar dan baik (Nata,
2002: 150).
Dengan demikian seluruh yang ada di lingkungan manusia
memiliki fungsi dan eksistensinya di dunia. Mereka memiliki peran
masing-masing dan saling membutuhkan satu sama lain.
5. Akhlak terhadap kerabat
Kerabat adalah orang-orang yang mempunyai pertalian
keluarga dengan kita, baik melalui jalur hubungan darah ataupun
perkawinan. Kita harus menjaga hubungan kekerabatan tersebut
supaya tetap terjalin kuat dan tidak terputus. Sebab apabila tali
kekerabatan terputus, maka tatanan keluarga kita akan berantakan
(Salamullah, 2008: 26).
Islam telah menggariskan beberapa tata cara (akhlak) dalam
menjaga ikatan kekerabatan, diantaranya:
Pertama, sering bersilaturrahmi. Menyambung silaturrahmi
tidak hanya ditunjukkan kepada mereka yang sudah menjadi keluarga
dan sahabat kita. Tetapi yang lebih hakiki adalah apabila kita mampu
menyambung tali silaturrahmi dengan orang-orang yang telah
memutuskan tali kekerabatan dengan kita (Salamullah, 2008: 29).
Kedua, berbuat baik kepada kerabat. Memperhatikan kaum
kerabat hendaknya lebih dikedepankan daripada yang lain. Apabila
kaum kerabat dalam kondisi lemah dan kekurangan maka jadikanlah
mereka sebagai golongan pertama yang harus kita bantu (Salamullah,
2008: 35).
Ketiga, berlaku adil. Berlaku adil disini artinya apabila mereka
berbuat salah maka kita harus mampu mengadili secara benar dan
jujur. Tidaklah adil jika kita membela secara mati-matian terhadap
kerabat yang benar-benar terbukti melakukan kesalahan (Salamullah,
2008: 38).
Jadi keadilan itu harus ditegakkan meskipun terhadap keluarga
atau kerabatnya sendiri walaupun itu pahit. Sikap tersebut dapat
menyelamatkan mereka bahkan kita dari api neraka.
6. Akhlak kepada diri sendiri
Nasib hidup seseorang di akhirat ditentukan oleh perilakunya
selama di dunia. Dengan mengerjakan kebaikan berarti ia telah
menanam benih yang baik. Akan tetapi jika ia lebih senang
menceburkan dirinya kepada kemaksiatan, maka ia telah mananam
benih yang buruk dan akan menanggung akibatnya.
Akhlak terhadap diri sendiri diantaranya adalah memelihara
diri baik lahir maupun batin. Orang yang dapat memelihara dirinya
dengan baik akan selalu berupaya untuk berpenampilan sebaik-
baiknya dihadapan Allah khususnya dan dihadapan manusia pada
umumnya dengan memperhatikan tingkah lakunya, bagaimana
penampilan fisiknya, dan bagaimana pakaian yang dipakainya.
Pemeliharaan kesucian seseorang tidak hanya terbatas pada hal yang
bersifat fisik (lahir) tetapi juga pemeliharaan yang bersifat nonfisik
(batin) (Zuchdi, 3009: 91).
Dalam hal pemeliharaan nonfisik adalah membekali akal
dengan berbagai ilmu yang mendukungnya untuk dapat melakukan
berbagai aktivitas dalam kehidupan sehari-hari. Berbagai upaya yang
mendukung ke arah pembekalan akal harus ditempuh, misalnya
melalui pendidikan yng dimulai dari lingkungan rumah tangganya
kemudian melalui pendidikan formal hingga mendapatkan
pengetahuan yang memadai untuk bekal hidupnya (Zuchdi, 3009: 91-
92).
Jadi, sikap-sikap dan perilaku mulia yang telah dimiliki oleh
seseorang harus diupayakan secara bertahap dan berkesinambungan,
sehingga terwujud pribadi yang berkarakter dengan kepribadian yang
utuh dan mulia di tengah-tengah kehidupan masyarakat.
D. Tujuan Pendidikan Akhlak
Tujuan utama pendidikan akhlak dalam Islam adalah agar manusia
berada dalam kebenaran dan senantiasa berada di jalan yang lurus, jalan
yang telah digariskan oleh Allah SWT. Inilah yang akan mengantarkan
manusia kepada kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
Secara garis besar, pendidikan akhlak Islam ingin mewujudkan
masyarakat yang senantiasa berjalan di atas kebenaran. Masyarakat yang
konsisten dengan nilai-nilai keadilan, kebaikan dan musyawarah
(Mahmud, 2004: 161).
Akhlak mulia merupakan tujuan pokok dalam pendidikan akhlak
Islam. Akhlak seseorang akan dianggap mulia jika perbuatannya
mencerminkan nilai-nilai yang terkandung dalam al-Qur‟an (Mahmud,
2004: 160).
Seseorang dikatakan baik jika memiliki akhlak atau tingkah laku
yang baik. Perilaku dan akhlaknya yang baik tersebut dapat dijadikan
tanda bahwa dia memiliki iman yang kuat. Karena iman yang kuat
mewujudkan akhlak yang mulia dalam dirinya, sedangkan iman yang
lemah mewujudkan akhlak yang jahat dan buruk, mudah terjerumus dalam
perbuatan yang merugikan dirinya sendiri dan orang lain.
Dengan demikian peran akhlak Islam sangat besar bagi manusia,
karena ia cocok dengan realitas kehidupan mereka dan sangat penting
dalam mengantarkan mereka menjadi umat yang paling mulia di isi Allah.
BAB III
DESKRIPSI SURAT AN NAHL AYAT 90-91
A. Surat An Nahl dan Terjemahan
1. Redaksi Ayat dan Terjemahan
90. Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat
kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari
perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi
pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.
91. dan tepatilah Perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan
janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah(mu) itu, sesudah
meneguhkannya, sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai
saksimu (terhadap sumpah-sumpahmu itu). Sesungguhnya Allah
mengetahui apa yang kamu perbuat (Al-Qur‟an dan Terjemahannya,
2010: 277).
2. Tafsir Surat An Nahl secara umum
Surah ini terdiri dari 128 ayat, termasuk kelompok surah-surah
Makiyyah, kecuali tiga ayat terakhir. Ayat-ayat ini turun pada waktu
Rasulullah SAW kembali dari peperangan uhud. Surah ini dinamakan
an-Nahl yang berarti “lebah” karena di dalamnya terdapat firman
Allah ayat 68 yang artinya, “ Dan Tuhanmu yang mewahyukan
kepada lebah”. Lebah adalah makhluk yang sangat berguna bagi
manusia. Ada persamaan hakikat antara madu yang dihasilkan lebah
dengan intisari yang terdapat di dalam al-Qur‟an. Madu berasal dari
bunga dan menjadi obat bagi manusia. Sedangkan al-Qur‟an
mengadung itisari dari kitab-kitab yang telah diturunkan kepada Nabi
terdahulu ditambah dengan ajaran-ajaran yang diperlukan oleh semua
bangsa sepanjang masa untuk mencapai kebahagiaan dunia dan
akhirat (Departemen Agama RI, 2009: 277).
Pokok-pokok isinya:
a. Keimanan:
Kepastian akan adanya hari kiamat; keesaan Allah; kekuatan-Nya
dan kesempurnaan ilmu-Nya serta dalil keesaan-Nya; dan
pertanggungjawaban manusia kepada Allah atas segala apa yang
telah dikerjakannya.
b. Hukum:
Beberapa hukum tentang makanan dan minuman yang diharamkan
dan dihalalkan: kebolehan memakai perhiasan yang bahannya
berasal dari dalam laut seperti mutiara dan merjan; dibolehkan
memakan makanan yang diharamkan dalam keadaan terpaksa; bulu
binatang dari hewan yang halal dimakan di padang suci bila
diambil ketika binatang itu masih hidup atau sesudah disembelih;
kewajiban memenuhi perjanjian dan larangan mempermainkan
sumpah; larangan mengada-adakan hukum yang tak ada dasarnya;
perintah membaca isti’azah,yang berarti meminta perlindungan
kepada Allah SWT dari setan-setan yang terkutuk; dan larangan
membalas siksa melebihi siksa yang diterima.
c. Kisah:
Kisah Nabi Ibrahim AS.
d. Lain-lain
Asal kejadian manusia; madu adalah untuk kesehatan manusia;
nasib orang-orang yang mengajak kejahatan dihari kiamat,
pandangan orang Arab zaman jahiliah terhadap anak perempuan;
ajaran moral dalam Islam; dan pedoman dakwah Islam
(Departemen Agama RI, 2009: 277-278)
3. Asbabun Nuzul
Secara etimologi, kata asbab al-nuzul berarti turunnya ayat-
ayat al-Qur‟an yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Muhammad
SAW secara berangsur-angsur bertujuan untuk memperbaiki aqidah,
ibadah, akhlak dan pergaulan manusia yang sudah menyimpang dari
kebenaran. Karena itu dapat dikatakan bahwa terjadinya
penyimpangan dan kerusakan dalam tatanan manusia merupakan
sebab turunnya al-Qur‟an. Asbab al-nuzul (sebab turun ayat) di sini
dimaksudkan sebab-sebab yang secara khusus berkaitan dengan
turunnya ayat-ayat tertentu. Sedangkan menurut sebagian ulama
seperti Imam Asy-Sya‟bi mengatakan turunnya al-Qur‟an ke Baitul
Izzah pertama-tama dimulai dari malam qadar. Setelah itu diturunkan
secara berangsur-angsur, sedikit demi sedikit dalam berbagai
kesempatan dari beberapa waktu yang berlainan (Abdul Djalal, 2012:
51-55).
Dalam kaitannya dengan surat an Nahl ayat 91, ketika itu
Rasulullah apabila menerima seseorang memeluk agama Islam
langsung dibaiat (diadakan janji setia). Sehubungan dengan itu maka
Allah SWT menurunkan ayat 91 sebagai ketegasan bahwa bagi
mereka yang sudah dibaiat dengan Rasulullah SAW jangan sekali-kali
mengingkari baiat itu. Ayat ke-91 diturunkan untuk memberi perintah
agar kaum muslimin berbaiat kepada Rasulullah SAW yakni berjanji
setia untuk mempertahankan panji-panji Islam dan memeluk Islam
dengan penuh konsekuen (Mahali, 1989: 257-258).
4. Munasabah ayat dan surat
Munasabah secara etimologi berarti kedekatan (al-
muqarrabah) dan kemiripan atau keserupaan (al-musyakalah). Ia juga
bisa berarti hubungan atau persesuaian. Secara terminologi
munasabah adalah ilmu al-Qur‟an yang digunakan untuk mengetahui
hubungan antar ayat atau surat dalam al-Qur‟an secara keseluruhan
dan latar belakang penempatan tertib ayat dan suratnya. Menurut
Shihab sebagaimana yang dikutip Baidan bahwa munasabah adalah
kemirip-miripan yang terdapat pada hal-hal tertentu dalam al-Qur‟an
baik surat maupun ayat-ayatnya yang menghubungakan uraian satu
dengan yang lainnya (Baidan, 2010: 184-185).
Dalam memahami atau menafsirkan ayat-ayat al-Qur‟an,
khususnya yang berkaitan dengan penafsiran secara ilmiah seseorang
dituntut untuk memperhatikan segi-segi bahasa al-Qur‟an serta
korelasi antar ayatnya.
a. Munasabah ayat
Surat an Nahl ayat 90-91 memiliki munasabah (korelasi)
dengan ayat sebelumnya dan sesudahnya. Dalam surat an Nahl ayat
89 menjelaskan tentang kesaksian para Nabi terhadap umatnya
dihari kebangkitan, dan Nabi Muhammad SAW akan bersaksi atas
umat yang sekarang ini dan juga akan bersaksi atas saksi-saksi dari
umat-umat yang lain (Imani, 2005: 633).
Kemudian dilanjutkan ayat 90, dijelaskan bahwa Allah
memerintahkan manusia agar menegakkan keadilan dan bermurah
hati serta memaafkan anggota-anggota keluarga dan orang-orang
yang ada di sekitar kita. Setelah itu dijelaskan lagi mengenai tiga
prinsip negatif yang harus dijauhi manusia, diantaranya adalah:
perbuatan keji (fakhsya) mengisyaratkan pada dosa-dosa yang laten
dan tersembunyi, sedangkan kata munkar (perbuatan menjijikkan)
merujuk pada perbuatan dosa terang-terangan, sementara baghy
(keangkuhan) merujuk pada apapun pelanggaran yang dilakukan
terhadap hak-hak diri sendiri, serta penindasan dan pengagungan
diri sendiri dalam kaitannya dengan orang lain (Imani, 2005: 637).
Di akhir ayat, ditekankan kembali agar manusia
menjalankan prinsip-prinsip tersebut, yaitu Prinsip Kebangkitan
Kembali dan revitalisasi prinsip keadilan, kemurahan hati dan
pemberian hak-hak kaum kerabat, serta penentangan terhadap tiga
penyimpangan berupa perbuatan keji, kemungkaran, serta
penindasan, di tingkat dunia memberikan alasan yang cukup untuk
menciptakan kehidupan dunia yang tenang dari segala jenis
malapetaka dan kerusakan (Imani, 2005: 638).
Dilanjutkan pada ayat 91, bahwa Allah menyuruh manusia
untuk menepati janji dan melarang untuk membatalkan sumpah
yang sudah diikrarkan. Masalah sumpah (ayman, jamak dari
yamin) yang disebutkan dalam ayat tersebut memiliki makna
komprehensif yang mencakup baik sumpah yang dilakukan
manusia dengan Allah maupun mereka lakukan dengan sesamanya
dengan nama Allah. Dengan kata lain, setiap jenis komitmen yang
dibuat dengan nama Allah dan dengan sumpah yang menyertakan
nama-Nya (Imani, 2005: 641).
Pada ayat 92 dijelaskan bahwa perumpamaan orang yang
melanggar sumpah seperti perempuan yang menguraikan
benangnya yang sudah dipintal dengan kuat kemudian hasil
pintalannya dicerai-beraikan kembali (merujuk pada kisah seorang
wanita suku Quraisy yang bernama Ra‟ithih di masa Jahiliyah).
Selanjutnya pada ayat ini, Allah melarang manusia menggunakan
sumpah sebagai sarana penipuan dan kerusakan. (Imani, 2005:
643).
b. Munasabah Surat
1.) Munasabah surat an Nahl dengan surat sebelumnya (al Hijr)
Pada bagian akhir Surah al-Hijr (ayat 92-93), Allah
menyatakan bahwa manusia akan dimintai
pertanggungjawaban pada hari kiamat atas apa yang
dikerjakannya di dunia. Pada awal surah an-Nahl, Allah
menegaskan kepastian datangnya hari kiamat dan pada ayat 93
an-Nahl ditegaskan lagi pertanggungjawaban manusia itu.
Pada bagian pertama Surah al-Hijr, Allah menerangkan tentang
kebenaran al-Qur‟an serta jaminan-Nya untuk untuk
memeliharanya, sedang dalam Surah an-Nahl terdapat
ancaman bagi mereka yang mendustakan kebenaran al-Qur‟an
itu (Departeman Agama RI, 2009: 278).
2.) Surat an Nahl dengan surat sesudahnya (al Isra‟)
Dalam surah an Nahl, Allah menyebutkan perselisihan
orang-orang Yahudi tentang hari sabat, kemudian pada surah al
Isra‟ dijelaskan syariat orang Yahudi yang ditetapkan bagi
mereka dalam Taurat.
Sesudah Allah SWT menganjurkan kepada Nabi
Muhammad SAW dalam surah an Nahl agar bersabar dan
melarang beliau bersedih atau berkecil hati disebabkan tipu
daya orang-orang musyrik, maka pada surah al Isra‟ Allah
menerangkan kemuliaan Nabi Muhammad SAW serta
martabatnya yang tinggi dihadapan Allah SAW.
Dalam surah an Nahl Allah menerangkan bermacam-
macam nikmatNya, dimana kebanyakan manusia tidak
mensyukurinya. Dalam surah al Isra‟ disebutkan lagi nikmat
Allah yang lebih besar yang diberikan kepada Bani Israil.
Tetapi mereka tidak mensyukurinya, bahkan mereka berbuat
kerusakan di muka bumi.
Dalam surah an Nahl, Allah mengatakan bahwa madu
yang keluar dari lebah merupakan minuman yang mengandung
obat bagi mansia. Dalam surah al Isra‟ diterangkan bahwa al-
Qur‟an pun menjadi obat dalam penyembuhan penyakit hati,
dan rahmat bagi orang-orang yang beriman (Departemen
Agama RI, 2009: 426).
B. Penafsiran Al-Qur’an Surat an-Nahl Ayat 90-91 Mengenai Nilai-Nilai
Pendidikan Akhlak
Al-Qur‟an diturunkan dalam bahasa arab. Oleh sebab itu banyak
cara untuk memahami serta mengetahui isi kandungan al-Qur‟an, kita bisa
mempelajarinya melalui kitab-kitab karya para ulama ahli tafsir yang
beraneka ragam. Diantaranya adalah ringkasan tafsir al-Misbah dan
ringkasan tafsir Ibnu Katsir yang akan penulis uraikan sebagai berikut:
1. Penafsiran Ayat ke 90
90. Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat
kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari
perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi
pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran (Al-
Qur‟an dan Terjemahannya, 2010: 277).
Menurut Quraish Shihab (2002: 323), dalam ayat ini Allah
berfirman sambil mengukuhkan dan menunjuk langsung diriNya
dengan nama yang teragung guna menekankan pentingnya pesan-
pesan-Nya bahwa: Sesungguhnya Allah secara terus menerus
memerintahkan siapapun diantara hamba-hamba-nya untuk berlaku
adil dalam sikap, ucapan dan tindakan, walau terhadap diri sendiri
dan menganjurkan berbuat ihsan yakni yang lebih utama dari
keadilan, dan juga pemberian apapun yang dibutuhkan dan
sepanjang kemampuan lagi dengan tulus kepada kaum kerabat,
dan Dia yakin Allah melarang segala macam dosa, lebih-lebih
perbuatan keji yang amat dicela oleh agama dan akal sehat seperti
zina dan homo seksual; demikian juga kemungkaran yakni hal-hal
yang bertentangan dengan adat istiadat yang sesuai dengan nilai-
nilai agama dan melarang juga penganiayaan yakni segala sesuatu
yang melampaui batas kewajaran. Dengan perintah dan larangan
ini Dia memberi pengajaran dan bimbingan kepada kamu semua,
menyangkut segala aspek kebajikan agar kamu dapat selalu ingat
dan mengambil pelajaran yang berharga.
Sedangkan menurut Muhammad Nasib Ar-Rifa‟i (1999:
1056), dalam ayat ini Allah menerangkan bahwa Dia menyuruh
hamba-hamba-Nya berlaku adil, yaitu bersikap tengah-tengah dan
seimbang, serta dianjurkan berbuat ihsan.
Firman Allah, “ dan memberi kepada kaum kerabat” berarti
menyuruh supaya bersilaturahmi kepada kerabat. Hal ini selaras
dengan firman Allah surat al Isra‟: 26, “ dan berikanlah kepada
keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin
dan orang yang dalam perjalanan.”
“Dan Allah melarang dari perbuatan keji dan mungkar.“
Fawahisy ialah berbagai perbuatan yang diharamkan. Munkarat
berarti perbuatan haram yang dilakukan seseorang dengan terang-
terangan.
Dalam kitab Tafsir Al Maraghi, ayat tersebut menjelaskan
bahwa Allah menyuruh kepada kaumnya untuk berlaku adil. Tidak
ada keadilan yang lebih baik daripada mengakui siapa yang telah
melimpahkan nikmat-nikmat-Nya kepada kita, bersyukur kepada-
Nya atas karunia-Nya dan memuji-Nya karena Dia berhak untuk
itu, kemudian kita wajib bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain
Allah (Al Maraghi,1994: 238).
Selain berbuat adil, Allah juga menyuruh umatnya untuk
berbuat ihsan. Martabat ihsan yang paling tinggi adalah berbuat
baik kepada orang yang berbuat buruk. Bukan berbuat baik kepada
orang yang berbuat baik kepada kita (Al Maraghi,1994: 239).
Dalam ayat tersebut juga terdapat anjuran kepada kita untuk
memberi kepada kaum kerabat apa yang mereka butuhkan. Dalam
ayat tersebut juga terdapat petunjuk untuk mengadakan hubungan
kekerabatan dan silaturrahim, serta dorongan untuk bersedekah
kepada mereka. Meskipun pemberian ini termasuk ihsan yang telah
disebutkan, maka pengkhususan di sini menunjukkan adanya
perhatian yang besar terhadapnya (Al Maraghi,1994: 240).
Setelah menyajikan tiga perkara yang diperintahkan-Nya,
selanjutnya Allah menjadikan tiga perkara yang dilarang. Melarang
untuk berlebihan cenderung mengikuti perbuatan syahwat, seperti
berzina, meminum khamar, mencuri dan tamak terhadap harta
orang lain. Allah melarang melakukan perbuatan yang dapat
diingkari oleh akal, berupa keburukan-keburukan yang lahir dari
kemarahan, seperti memukul, membunuh dan menganiaya
manusia. Allah juga melarang manusia berlaku zalim
(permusuhan) terhadap orang lain, menyombongkan diri terhadap
manusia dan memalingkan muka dari mereka (Al Maraghi,1994:
240).
Allah menyuruh kalian untuk melakukan tiga perkara dan
melarang dari tiga perkara tersebut, agar kalian dapat mengambil
pelajaran lalu kalian mengerjakan apa yang mengandung keridaan
Allah Ta‟ala dan kemaslahatan kalian di dunia serta di akhirat (Al
Maraghi,1994: 240).
2. Penafsiran ayat 91
91. dan tepatilah Perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan
janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah(mu) itu, sesudah
meneguhkannya, sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai
saksimu (terhadap sumpah-sumpahmu itu). Sesungguhnya Allah
mengetahui apa yang kamu perbuat (Al-Qur‟an dan Terjemahannya,
2010: 277).
Ayat ini memerintahkan tepatilah perjanjian yang telah
kamu ikrarkan dengan Allah apabila kamu berjanji, dan janganlah
kamu membatalkan sumpah-sumpah sesudah kamu
mengukuhkannya yakni perjanjian-perjanjian yang kita akui
dihadapan pesuruh Allah. Demikian juga sumpah-sumpah yang
menyebut nama-Nya. Betapa kamu tidak menepatinya sedang
kamu telah menjadikan Allah sebagai saksi dan pengawas atas diri
kamu terhadap sumpah-sumpah dan janji-janji itu. Sesungguhnya
Allah mengetahui apa yang kamu perbuat, baik niat, ucapan
maupun tindakan, baik itu bersifat nyata maupun rahasia (Shihab,
2002: 330).
Yang dimaksud dengan ( اتقضى ) tanqudhu/membatalkan
adalah melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kandungan
sumpah/janji.
Yang dimaksud dengan (بعهد الله) bi’ahd Allâh/perjanjian
Allah dalam konteks ayat ini antara lain bahkan terutama adalah
bai‟at yang mereka ucapkan di hadapan Nabi Muhammad SAW
untuk tidak mempersekutukan Allah serta tidak melanggar perintah
Nabi SAW yang mengakibatkan mereka durhaka. Redaksi ayat ini
mencakup segala macam janji dan sumpah serta ditunjukkan
kepada siapa pun dan dimana pun mereka berada (Shihab, 2002:
330).
Sedangkan menurut ar Rifa‟i (1999: 1059-1060), dalam
ayat ini dijelaskan bahwa Allah mememerintahkan untuk menepati
janji dan ikatan serta memelihara sumpah yang telah dikuatkan.
Karena itu Allah berfirman, “ dan janganlah kamu membatalkan
sumpah-sumpahmu itu sesudah mengukuhkannya. Yang dimaksud
dengan al aimaan adalah melanggar janji dan ikatan yang menipu,
bukan sumpah-sumpah yang biasa diucapkan untuk bertekad
melakukan sesuatu atau tidak melakukannya serta anjuran untuk
melanggar sumpah yang menghambat kebaikan dengan membayar
kifarat.
Dalam tafsir Al Maraghi, surat an Nahl ayat 91 dijelaskan
bahwa: Penuhilah janji Allah jika kalian mengadakannya, dan
ikatan-Nya jika kalian mengikatnya. Dengan demikian kalian telah
mewajibkan atas diri kalian sendiri suatu hak bagi siapa yang
mengadakan perikatan dan perjanjian dengannya. Janganlah kalian
melanggar sumpah-sumpah yang telah kalian ikat dan wajiblah atas
diri kalian untuk memenuhinya, lalu kalian melanggar, berdusta
dan merusaknya setelah menguatkannya, sedang dalam pemenuhan
janji itu kalian telah menjadikan Allah sebagai pengawas siapa
diantara kalian yang memenuhi janji itu dan siapa yang
melanggarnya, bahwa Dia akan memberi balasan atas perbuatan
masing-masing (Al Maraghi,1994: 241).
Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kalian perbuat
terhadap janji-janji untuk memenuhinya dan sumpah-sumpah yang
kalian kuatkan atas diri kalian. Apakah kalian akan memenuhi
ataukah akan merusaknya? Dia mencatat semua itu dan akan
menanyai kalian mengenai apa yang telah kalian perbuat
terhadapnya (Al Maraghi,1994: 241).
BAB IV
ANALISIS NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK SURAT AN NAHL
AYAT 90-91 DAN IMPLEMENTASINYA
A. Analisis Nilai-Nilai Pendidikan Akhlak
Berkaitan dengan pendapat para mufassir yang telah dijelaskan
dalam bab sebelumnya, maka dalam Al qur‟an Surat an Nahl ayat 90-91
terdapat beberapa nilai-nilai pendidikan yang harus dimiliki oleh manusia
dan diaplikasikan dalam kehidupannya baik terhadap dirinya, keluarganya,
masyarakat dan negara. Nilai-nilai tersebut diantaranya adalah:
1. Keadilan
Kata (العدل) al-‘adl terambil dari kata (عدل) ‘adala yang
terdiri dari huruf ‘ain, dâl dan lâm. Rangkaian huruf-huruf ini
mengandung dua makna yang bertolak belakang, yakni lurus dan sama
serta bengkok dan berbeda. Seseorang yang adil adalah yang berjalan
lurus dan sikapnya selalu menggunakan ukuran yang sama, bukan
ukuran ganda. Persamaan itulah yang menjadikan seseorang yang adil
tidak berpihak kepada salah seorang yang berselisih (Shihab,2002:
324).
Menurut Ahmadamin (1995: 238), adil ialah memberi hak
kepada yang mempunyai hak, karena tiap-tiap orang sebagai anggota
masyarakat mempunyai hak untuk merasakan kebaikan yang didapat
oleh masyarakat. Bila orang mengambil haknya dengan tidak melebihi
dan memberi hak-hak orang dengan tidak mengurangi hak orang lain
maka itu adalah adil.
Dalam Islam manusia itu sama dihadapan Tuhan, tidak ada
perbedaan orang kulit putih dan orang kulit hitam, antara anak raja
dengan anak rakyat, semua sama dalam perlakuan hukum.
Melaksanakan keadilan hukum dipandang oleh Islam sebagai
melaksanakan amanat.
Keadilan mempunyai beberapa faktor asasi, yang terpenting
diantaranya adalah pembagian yang merata, keputusan hukum yang
adil, perkataan yang bijak, pengarahan yang baik, seimbang dalam
pemasukan dan pengeluaran juga dalam penerimaan dan penolakan,
sikap kebersamaan diantara manusia tanpa membedakan unsur agama,
aliran, golongan, etnis, asal-usul, hubungan darah, kelompok sosial,
pro atau kontra dan yang semisalnya (Az-Zuhaili, 2014: 115).
Misalnya, pengadilan dalam memberikan hukuman kepada
seseorang hendaklah berlaku adil sesuai dengan ketentuan yang telah
ditetapkan. Tidak boleh membeda-bedakan antara orang kaya dan
miskin, berpangkat atau tidak, bahkan sekalipun yang diberi hukuman
itu adalah saudaranya sendiri maka keadilan tetap harus ditegakkan
sesuai dengan undang-undang yang berlaku.
Banyak orang yang berlaku berat sebelah dalam menegakkan
keadilan, sehingga mereka memberi hukuman yang salah, sedangkan
ia tidak merasa berlaku berat sebelah. Seperti contoh ketika seseorang
mengadili orang yang masih ada ikatan saudara dengan nya dihadapan
orang lain pasti akan merasa berat dalam menetapkan hukum karena
rasa kasihan yang muncul dalam hati mereka. Dalam kaitanya dengan
hal tersebut, maka keadilan tetap harus ditegakkan walaupun itu berat,
apalagi kalau perbuatannya merugikan banyak orang.
2. Berbuat Kebajikan
Kata (الإحساى) digunakan untuk dua hal; pertama, memberi
nikmat kepada pihak lain, dan yang kedua adalah perbuatan baik.
Karena itu –lanjutannya-kata ihsân lebih luas dari sekedar “memberi
nikmat atau nafkah”. Maknanya bahkan lebih tinggi dari kandungan
makna “adil”, karena adil adalah “memperlakukan orang lain sama
dengan pelakunya terhadap Anda”, sedang ihsân adalah
memperlakukannnya lebih baik dari perlakuannya terhadap Anda”.
Adil adalah mengambil semua hak Anda atau memberi semua hak
orang lain, sedang ihsân adalah memberi lebih banyak daripada yang
harus Anda beri dan mengambil lebih sedikit dari yang harusnya Anda
ambil (Shihab, 2002: 325).
Kebajikan berasal dari bahasa arab “ hasan, ihsan” yang berarti
baik. Ihsan berarti berbuat sesuatu secara baik, tidak asal berbuat.
Ihsan berarti juga mengerjakan sesuatu secara profesional atau
berkualitas (Ahmadi, 2004: 165)
Amal yang ihsan menyangkut semua amalan, baik amalan hati,
lisan maupun fisik. Orang yang bertutur kata sopan, baik dan tidak
menyakiti orang lain maka itu dinamakan ihsan dalam lisan.
Sedangkan orang yang melakukan perbuatan yang terpuji dan
mendatangkan manfaat bagi orang lain maka itu dinamakan ihsan
dalam bertindak atau perbuatan.
Dalam buku Al Qur‟an dan Tafsirannya (2009: 378), Al Ihsan
dibagi dalam tiga kategori:
a. Al Ihsan dalam ibadah adalah jika kita beribadah kepada Allah
seolah-olah Allah melihat kita, tetapi jika kita tidak melihat-Nya
maka sesungguhnya Allah melihat kita.
b. Al Ihsan dalam balasan dan sanksi dengan seimbang, dan
menyempurnakan hak dalam pembunuhan dan luka dengan qisas.
c. Al Ihsan dalam menepati hak atau hutang dengan membayarnya
tanpa mengulur waktu atau disertai tambahan yang tidak
bersyarat.
Tingkatan al ihsan yang tertinggi ialah berbuat kebaikan
terhadap orang yang bersalah. Bukan al ihsan bila kamu berbuat baik
kepada orang yang berbuat baik kepadamu.
Ihsan merupakan prinsip kualitas amal termasuk beribadah
kepada Allah. Ibadah yang ihsan merupakan ibadah yang dikerjakan
dengan sungguh-sungguh, bukan sekedar untuk menggugurkan
kewajiban kita kepada Allah SWT namun juga untuk mendapatkan
dampaknya.
Dapat disimpulkan bahwa dalam perbuatan ihsan di atas
terdapat nilai-nilai pendidikan akhlak diantaranya yaitu nilai
keyakinan atau kepercayaan dalam kaitannya beribadah kepada Allah.
Nilai keadilan dalam kaitannya dengan balasan sanksi yang seimbang
dan nilai tanggung jawab dalam kaitannya dengan menepati hak atau
pembayaran hutang tepat waktu.
3. Memberi Bantuan
Kata (إيتاء) îtâ’/pemberian, terambil dari kata kerja ( -آتى
îtâ’ merupakan bentuk masdar (kata (إيتاء) yang mana kata ,(يؤتي
jadian) dari kata kerja tersebut (Shihab, 2002: 326).
Memberi bantuan merupakan kewajiban bagi setiap muslim
terhadap kerabat mereka yang kekurangan. Bantuan tersebut bisa
berupa materi dan non materi. Bantuan yang berupa materi merupakan
bantuan dalam bentuk harta yang berwujud uang, sedangkan yang non
materi bisa berupa jasa, misalnya gotong royong dalam pembuatan
rumah, membantu dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh
kerabat kita dan lain sebagainya.
Kita semua mengakui bahwa harta adalah nikmat yang sangat
menggiurkan dan semua orang menyukainya, karena dengan harta
seseorang bisa membeli apa saja yang mereka inginkan. Namun di sisi
lain kita juga harus menyadari bahwa diluar sana ada hak seseorang
atas harta yang kita miliki terutama kerabat kita sendiri.
Bantuan yang kita berikan sangat berarti bagi mereka yang
membutuhkan. Dengan bantuan tersebut berarti kita telah membantu
meringankan beban yang mereka pikul. Dalam hadits dijelaskan:
ه عي البي صلى الله عليه وسلن قال هي ضيرة رعي أبي هر ي الله ع
ه كربت هي كرب يا، فس الله ع فس عي هؤهي كربت هي كرب الد
يا والآخرة، يىم الق ر على هعسر، يسرالله عليه في الد ياهت، وهي يس
يا والآخرة، والله في عىى عبد وهي ستر هسلوا، سترالله في الد
(٠٢: هسلن)هاكاى في عىى أخيه.
Terjemah:
Dari Abu Hurairah RA. Nabi SAW. bersabda, “Barang siapa yag
melapangkan satu kesusahan dunia dari seorang mukmin, maka Allah
melapangkan darinya satu kesusahan di hari Kiamat. Barang siapa
memudahkan (urusan) orang yang kesulitan (dalam masalah hutang),
maka Allah akan memudahkan baginya (dari kesulitan) di dunia dan
di akhirat. Barang siapa menutupi (aib) seorang muslim, maka Allah
akan menutupi (aib)nya di dunia dan diakhirat. Allah senantiasa
menolong seorang hamba selama hamba tersebut menolong
saudaranya. (HR. Muslim no. 2699: 2064).
Dari hadits tersebut telah jelas bahwa jika seseorang ingin
dengan mudah dan cepat dalam menyelasaikan urusannya, maka
mereka harus membantu meringankan beban yang dialami orang lain.
Keluarga Islam adalah keluarga yang kuat, saling menjaga,
saling membantu, dan saling menyayangi. Hal itu tidak lain berkat
ajaran Islam yang menyeru umatnya untuk menebarkan kasih sayang
dan melarang mereka memutuskan tali silaturrahmi. Pada hubungan
silaturrahmi itulah terdapat nikmat yang besar. Sesorang akan
merasakan besarnya nikmat itu kala ditimpa musibah (Az-Zuhaili,
2014: 214).
Tolong menolong diantara dua orang yang bertetangga
merupakan suatu keutamaan dalam ajaran Islam. Sebab hal itu bisa
mewujudkan kebaikan bagi kedua belah pihak, mencegah marabahaya
yang mungkin menimpa keduanya, dan menghindarkan mereka dari
benturan-benturan yang mungkin akan berdampak buruk (Az-Zuhaili,
2014: 229).
Berbuat baik kepada tetangga dapat berupa saling berkunjung,
memberi makanan, meminjamkan uang ketika dibutuhkan, membantu
kebutuhan hidup, meminjamkan peralatan, menjenguk ketika ada yang
sakit, mengadakan acara penyambutan, memberi saat diminta,
berterimakasih atas kebaikan, memaafkan atas kesalahan, menebarkan
kebaikan, tidak menebarkan keburukan, dan memberikan makanan
bila ada yang kelaparan (Az-Zuhaili, 2014: 229).
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa dalam
memberi bantuan terdapat nilai kasih sayang dan solidaritas sehingga
tercipta kerukunan bagi mereka, juga mempererat tali persaudaraan di
antara mereka. Dengan demikian, ketika kita memberi bantuan
kepada kerabat berarti kita telah meringankan beban yang telah
mereka pikul serta menciptakan kebahagiaan bagi orang lain. Jika
sikap tersebut sudah menjadi bagian dari hidup seseorang maka
kehidupan orang yang telah memberi bantuan tersebut akan lebih
bermakna dan bermanfaat bagi orang lain.
4. Tidak Berbuat Keji, Mungkar dan Permusuhan
Kata (الفحشاء) al-fahsyâ / keji adalah nama dari segala
perbuatan atau ucapan bahkan keyakinan yang dinilai buruk oleh jiwa
dan akal yang sehat serta mengakibatkan dampak yang buruk bukan
saja bagi pelakunya tetapi juga bagi lingkungannya. Sedangkan kata
dari segi كر al munkar / kemungkaran berasal dari kata (الوكر)
bahasa berarti sesuatu yang tidak dikenal sehingga diingkari. Itu
sebabnya ia diperhadapkan dengan kata al-ma’ruf/yang dikenal.
Dalam bidang budaya kita dapat membenarkan ungkapan: “Apabila
ma‟ruf sudah jarang dikerjakan, ia bisa beralih menjadi mungnkar,
sebaliknya bila munkar sudah sering dikerjakan ia menjadi ma‟ruf
(Shihab, 2002: 327).
Sementara kata (البغي) al baghy/ penganiayaan terambil dari
kata (بغا) baghâ menurut bahasa berarti meminta/menuntut hak pihak
lain dengan cara aniaya/tidak wajar. Kata tersebut mencakup segala
pelanggaran hak dalam bidang interaksi sosial, baik pelanggaran itu
lahir tanpa sebab seperti perampokan, pencurian, maupun dengan
dalih yang tidak sah, bahkan walaupun dengan tujuan penegakan
hukum tetapi dalam pelaksanaannya melampaui batas (Shihab, 2002:
328).
Berbuat keji (fakhsya’) yaitu perbuatan-perbuatan yang
didasarkan pada pemuasan hawa nafsu seperti zina, minum minuman
yang memabukkan dan mencuri. Sedangkan kata munkar yaitu
perbuatan buruk yang berlawanan dengan pikiran yang waras seperti
membunuh dan merampok hak orang lain. Sementara baghy
(permusuhan) yaitu perbuatan sewenang-wenang terhadap orang lain
(Departemen Agama, 2009: 378).
Perbuatan-perbuatan di atas merupakan perbuatan yang harus
dihindari oleh setiap orang, karena dapat mendatangkan keburukan
bagi kehidupannya. Allah melarang semua perbuatan tersebut karena
di dalamnya terdapat nilai sosial kemasyarakatan, dimana dalam
lingkungan akan tercipta kehidupan yang aman dan tentram jika
masyarakatnya dapat mengindari perbuatan-perbuatan tercela tersebut.
5. Menepati Janji
Kata بعهد berasal dari kata العد yang menurut bahasa adalah
akad (ikatan). Menurut syariat Islam, janji merupakan ikatan yang
wajib dipenuhi dan ditepati sesuai dengan kesepakatan kedua pihak
yang mengadakan akad perjanjian, baik mengenai waktu maupun
batang yang dijanjikan dalam perjanjian tersebut (http://bungapadi-
sanggar.blogspot.co.id/2011/06/begitumudah-mengingkari-janji.html).
Janji adalah ketetapan yang dibuat oleh diri kita sendiri dan
untuk dilaksanakan oleh kita sediri baik itu janji terhadap Allah
maupun orang lain (Al Gazali, 1985: 161).
Menunaikan janji merupakan kewajiban bagi setiap orang yang
mengikrarkan janji tersebut selama janjinya itu mengenai kebaikan
dan kebenaran. Menepati janji juga merupakan salah satu bentuk dari
nilai tanggung jawab, yaitu tanggung jawab atas apa yang telah
diucapkannya. Akan tetapi jika janji itu berupa maksiat dan dosa maka
janji tersebut hukumnya haram dan tidak sah untuk ditunaikan.
Menepati janji merupakan identitas mulia bagi seorang mukmin.
Ketika seseorang menepati secara tidak langsung ia telah
menghormati janji-janjinya, komitmen dengan ucapannya, dan
mempercayakan sepenuhnya kepada teman yang diajak membuat
kesepakatan atau perjanjian. Berbeda dengan yang sering kita
saksikan dewasa ini, banyak sekali jenis kesepakatan, perjanjian,
persetujuan, namun dengan mudah melanggarnya dan tidak
melaksanakan hak dan kewajibannya. Mereka tidak ubahnya seperti
orang-orang munafik dan termasuk golongan yang paling buruk (Az-
Zuhaili, 2014: 375).
Menunaikan janji adalah termasuk ketakwaan dan keimanan
kepada Allah dan merupakan perbuatan yang disenangi Allah SWT.
Kewajiban memenuhi janji terdapat dalam firman Allah surat al Isra‟
ayat 34 :
Artinya: “dan penuhilah janji; Sesungguhnya janji itu pasti diminta
pertanggungan jawabnya (Al Qur‟an dan Terjemahannya,
1967: 429).
Telah jelas bahwa janji yang telah diucapkan harus ditepati,
karena semuanya akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat kelak.
Jika kita mengingkari janji yang telah diucapkan berarti kita telah
berbuat khianat. Khianat merupakan perbuatan keji yang dibenci
Allah.
Untuk bisa mendapatkan keuntungan dari sebuah perjanjian,
seseorang kadang kala berani berbuat khianat, yaitu membatalkan
perjanjiannya yang telah diikatnya tanpa memeperdulikan keutamaan-
keutamaan dari perjanjian yang dibuat. Pembatalan tersebut kadang
kala menimbulkan keburukan atau kerugian dari salah satu pihak juga
dapat menimbulkan pertikaian dan permusuhan di antara mereka.
Demikian pula yang sering terjadi terhadap suatu bangsa dan
negara yang membatalkan perjanjiannya dengan bangsa dan negara
lain, hanya karena ingin mengejar kepentingan yang lain demi
menguntungkan bangsa dan negaranya.
6. Larangan Membatalkan Sumpah
Dalam bahasa Arab sumpah disebut dengan الايواى jamak dari
kata اليويي (tangan kanan), karena orang Arab di zaman Jahiliyah
apabila bersumpah satu sama lain saling berpegangan tangan kanan.
Kata اليويي secara etimologis dikaitkan dengan tangan kanan yang
bisa berarti kekuatan dan sumpah. Dikaitkan dengan kekuatan karena
orang yang ingin mengatakan atau menyatakan sesuatu yang
dikukuhkan dengan sumpah pernyataannya akan lebih kuat
sebagaimana tangan kanan lebih kuat dari tangan kiri
(http://mukjizatislam.blogspot.co.id/2012).
Imam malik berpendapat bahwa hukum asal sumpah adalah
„jaiz‟ (boleh). Hukumnya bisa menjadi sunnah apabila dimaksudkan
untuk menekankan suatu masalah keagamaan atau untuk mendorong
orang melakukan sesuatu yang diperintahkan agama, atau melarang
orang berbuat sesuatu yang dilarang oleh agama
(http://mukjizalislam.blogspot.co.id/2012. )
Menurut ar Rifai yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya,
apabila seseorang bersumpah, kemudian sumpahnya itu dilanggar,
maka dia wajib membayar kifarat atau denda. Kifarat ini boleh
memilih antara tiga perkara seperti yang dijelaskan dalam Al Qur‟an
surat al Maidah ayat 89:
Artinya: “Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-
sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi
Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang
kamu sengaja, Maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah
memberi Makan sepuluh orang miskin, Yaitu dari makanan
yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi
pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak.
barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian,
Maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. yang demikian itu
adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah
(dan kamu langgar). dan jagalah sumpahmu. Demikianlah
Allah menerangkan kepadamu hukum-hukum-Nya agar
kamu bersyukur (kepada-Nya) (Al Qur‟an dan
Terjemahannya, 2010: 122).
Pelanggaran terhadap bai’at perjanjian atau sumpah berarti
menjadikan sumpah sebagai alat penipuan sesama manusia. Jika
seseorang melakukan penipuan dengan bersumpah atas nama Allah
berarti mereka berbuat kebohongan dan tidak jujur dengan perbuatan
yang telah mereka lakukan. Sebab jika satu golongan atau seseorang
membuat perjanjian dengan golongan lain yang lebih kuat dari
padanya untuk menentramkan hati mereka, kemudian jika ada
kesempatan dia menghianati perjanjian itu maka tingkah laku seperti
itu dipandang sebagai penipuan. (Departemen Agama, 2009: 379).
Hanya Allah yang dapat dijadikan saksi dalam sumpah. Jika
seseorang bersumpah atas nama selain Allah berarti mereka telah
melakukan syirik dan itu merupakan perbuatan dosa besar.
Sudah jelas bahwa Allah SWT melarang seseorang melanggar
atau mengingkari sumpah yang telah diikrarkan. Perbuatan demikian
termasuk perbuatan yang dapat merugikan orang lain dan mendapatkan
dosa dari Allah. Ketika seseorang mengucapkan sumpah atas nama
Allah tanpa adanya unsur penipuan atau kebohongan berarti mereka
telah mewujudkan salah satu bentuk nilai kejujuran, dimana mereka
telah menguatkan kesaksian terhadap sesuatu dengan sumpah yang
mereka ucapkan.
B. Implementasi Dalam Kehidupan Sehari-Hari
Sejarah telah membuktikan bahwa pendidikan akhlak mulia sangat
ampuh dalam melakukan peranannya sebagai praktek akhlak bangsa.
Bangsa-bangsa di masa lalu yang mencapai kejayaan dan kemakmuran,
karena ditopang oleh kemuliaan akhlak bangsanya. Sebaliknya bangsa-
bangsa yang mengalami kehancuran ternyata bermula dari kehancuran
akhlak bangsanya (Nata, 2013: 214).
Pendidikan akhlak mulia secara histori merupaka respon terhadap
adanya kemerosotan akhlak pada masyarakat dengan karakter budaya kota,
yaitu masyarakat cenderung ingin serba cepat, tergesa-gesa, pragmatis,
hedonistik, materialistik, penuh persaingan yang tidak sehat dan
menghadapi berbagai masalah: sosial, politik ekonomi, budaya, ilmu
pengetahuan, dan sebagainya. Masyarakat yang hidup dalam budaya kota
tersebut merupakan perhatian utama dalam pendidikan akhlak. Lahirnya
agama Islam di Makkah dan berkembang di Madinah merupakan sampling
yang representative tentang perlunya agama ini mampu membentuk akhlak
masyarakat pada budaya kota tersebut. (Nata, 2013: 213)
Dari fenomena di atas yang terjadi di sekitar kita menunjukkan
bahwa kehidupan yang ada diukur dari segi materi, sehingga akhlak yang
seharusnya dimiliki dan diaplikasikan dalam kehidupan seseorang sudah
tidak diperhatikan lagi. Dalam kaitannya dengan surat an Nahl, penulis
akan memaparkan bagaimana mengimplementasikan akhlak-akhlak yang
ada dalam surat an Nahl ayat 90-91 dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam surat an Nahl ayat 90-91 sebagaimana telah dipaparkan
adalah sangat sesuai dengan kedaan saat ini dimana nilai-nilai religius
yang sudah mulai bergeser dengan arus modernisme dan arus globalisasi.
Maka dalam ayat tersebut telah dijelaskan segala bentuk perintah dan
larangan yang harus dilakukan oleh manusia dalam kehidupannya.
Islam dalam menetapkan nilai-nilai akhlak tidak hanya pada teori
saja, melainkan juga menuntut umatnya untuk mengaplikasikan atau
mempraktikkan akhlak tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
Penerapannya dalam kehidupan berawal dari sebuah pendidikan.
Sebagaimana telah kita ketahui bahwa pendidikan merupakan sesuatu yang
sangat penting bagi manusia, maka hal yang harus ditempuh bahkan
merupakan sebuah kewajiban adalah menuntut ilmu atau mendapatkan
pendidikan. Seseorang yang dapat menerapkan akhlak-akhlak yang ada
dalam surat an Nahl ayat 90-91 merupakan mereka yang memperoleh
pendidikan mengenai akhak-akhlak tersebut, sehingga mereka mengetahui
mana akhlak yang harus diterapkan dan ditinggalkan dalam kehidupannya
sehingga dapat berinteraksi dengan baik terhadap sesama makhluk ciptaan
Allah.
Dalam suarat an Nahl ayat 90-91 terdapat beberapa akhlak tarpuji
yang harus diterapkan dalam kehidupan sehari-sehari dan akhlak yang
harus ditinggalkan dalam kehidupan, diantaranya adalah:
1. Akhlak terpuji yang merupakan perintah
Pertama yaitu berlaku adil. Dalam mempraktikkan atau
membiasakan perilaku adil dimulai dengan berperilaku adil
terhadap diri sendiri. Setelah kita manpu bersikap adil pada diri
sendiri, kita akan mampu berbuat adil terhadap orang lain.
Misalnya, kita sebagai pelajar/peserta didik memiliki kewajiban
untuk belajar. Belajar secara maksimal merupakan sebuah keadilan
terhadap potensi dan bakat yang diberikan Allah kepada umat-Nya
untuk ditumbuhkembangkan secara optimal dan seimbang, karena
adil adalah berbuat sesuatu secara seimbang.
Setelah kita dapat bersikap adil kepada diri sendiri maka
selanjutnya kita harus bisa bersikap adil kepada orang lain, itu
artinya kita dalam memberikan atau memperlakukan sesuatu
terhadap orang lain harus sesuai porsinya, tidak boleh bersikap
pilih kasih dan berat sebelah. Berlaku adil kepada seseorang juga
dapat dibuktikan dengan pengakuan dan perlakuan antara hak dan
kewajiban kita terhadap orang lain. Jika kita mengakui bahwa
orang lain mempunyai hak terhadap sesuatu, maka kewajiban kita
adalah memberikan kesempatan kepada mereka untuk memenuhi
haknya. Misalnya, biasanya setiap tahun lembaga IAIN Salatiga
menyediakan beasiswa miskin berprestasi bagi mahasiswanya,
maka bagi mahasiswa yang merasa sudah mampu berkewajiban
untuk memberikan kesempatan bagi teman-temannya yang kurang
mampu untuk mendapatkan beasiswa tersebut. Itu merupakan salah
satu contoh sikap adil yang perlu diterapkan dalam kehidupan.
Dengan keadilan, dunia akan terasa tentram dan makmur,
harta-benda akan berkembang dan bertambah karena tidak ada
pejabat-pejabat yang korupsi, dalam pemerintahan akan tercipta
hubungan yang harmonis dan berkesinambungan antara penguasa
negara dan rakyatnya.
Kedua, berbuat Ihsan. Ihsan yang bersifat wajib misalnya
berbakti kepada kedua orang tua dan bersikap adil dalam
bermuamalah. Sedangkan ihsan yang bersifat sunnah misalnya
memberikan bantuan kepada tetangga sesuai kemampuan kita dan
selalu membangun hubungan baik dengan tetangga atau orang lain
dengan menyambung tali silaturrahmi.
Penerapannya dalam kehidupan sehari-hari dilakukan
dengan membiasakan perilaku ihsan tersebut dalam segala bentuk
aktivitasnya, karena perilaku ihsan mempunyai pengaruh besar
dalam membentuk perilaku seseorang. Di sekolah misalnya
dilakukan dengan membina dan meningkatkan kualitas keimanan
dan pengetahuan kepada siswa dan selalu mendorong serta
menuntut agar siswa selalu berbuat baik, baik itu dilakukan dengan
hati, ucapan maupun perbuatannya.
Ketiga, memberikan bantuan kepada kaum kerabat.
Penerapannya juga sama yaitu dengan membiasakan dalam
kehidupan sehari-hari yaitu selalu memberi bantuan kepada mereka
yang membutuhkan jika kita kelebihan sesuatu. Misalnya memberi
makanan, pakaian dan harta atau uang yang kita miliki.
Memberi bantuan dengan materi (uang) termasuk dalam
perbuatan bersedekah. Bersedekah kepada kerabat yang
kekurangan merupakan kewajiban bagi setiap muslim. Dalam
bersedekah, kita harus memperhatikan apakah ada kerabat dekat
yang masih memerlukan pertolongan atau tidak. Jika masih ada
maka kita lebih utama bersedekah kepada kerabat dekat dari pada
kepada orang lain. Amat disayangkan jika kita mampu bersedekah
kepada orang lain dan ternyata masih ada kerabat kita yang juga
sangat membutuhkan maka sedekah tersebut tidak akan diterima
oleh Allah SWT.
Allah berfirman dalam surat al Baqarah ayat 177 yang
berbunyi sebagai berikut:
Artinya: . . .”dan memberikan harta yang dicintainya kepada
kerabatnya. . .”
Dari ayat di atas telah jelas bahwa manusia memiliki
kewajiban memberikan bantuan yang berupa harta kepada karib
kerabatnya yang membutuhkan, karena memeberikan bantuan atau
bersedekah kepada keluarga dan karib kerabat lebih besar
pahalanya dari pada bersedekah kepada orang lain yang juga
membutuhkan.
Keempat, menepati janji. Berjanji itu mubah atau boleh dan
menepatinya merupakan sebuah kewajiban. Menepati janji
mengajarkan kepada seseorang untuk konsisten dengan apa yang
diucapkannya. Oleh karena itu, kita harus berhati-hati dengan janji
yang telah terucap karena jika kita tidak dapat memenuhi janji
tersebut kita akan mendapatkan dosa yang sangat besar.
Misalnya, janji seorang guru kepada siswanya, “ bagi siswa
yang UASnya mendapat nilai 100 nanti akan saya beri hadiah”. Itu
merupakan salah satu contoh perjanjian yang wajib ditepati.
Penerapannya agar seseorang mau menepati janji yang telah
mereka ucapkan adalah dengan selalu mengingat bahwa janji itu
ibarat hutang yang harus dibayar, mengingat bahwa jika janji itu
tidak ditepati berarti telah melanggar perintah Allah dan selalu
berpikir terlebih dahulu ketika membuat perjanjian, apakah bisa
menepatinya atau tidak. Jika tidak, sebaiknya kita urungkan janji
tersebut.
2. Akhlak tercela yang merupakan larangan
Pertama, larangan berbuat keji dan mungkar. Allah
melarang perbuatan tersebut karena dapat menimbulkan berbagai
dampak buruk bagi diri sendiri, orang lain, masyarakat bahkan
negara.
Penerapannya dalam kehidupan sehari-hari agar terhindar
dari perbuatan keji dan mungkar dapat dilakukan dengan
menyadari bahwa perilaku buruk yang dilakukan akan berdampak
pada pelakunya itu sendiri baik di dunia maupun di akhirat,
menyadari bahwa perbuatan buruk yang dilakukan akan
menimbulkan hati tidak tenang, menyadari bahwa setiap perbuatan
baik dan buruk yang kita lakukan di dunia akan dicatat dan
dipertanggungjawabkan di akhirat.
Kedua, larangan membatalkan sumpah. Bersumpah
biasanya dilakukan agar orang lain yakin dan percaya dengan apa
yang kita lakukan atau perbuat.
Maka penerapannya dalam kehidupan sehari-hari, kita tidak
boleh sembarangan dalam mengucapkan sumpah atas nama Allah,
sebelum mengucapkan sumpah kita harus mengetahui dan
menyadari apakah sumpah yang akan kita ucapkan memang benar
dan untuk kebaikan atau tidak. Agar kita terhindar dari dosa dan
mendapatkan adzab dari Allah.
BAB V
PENUTUP
Dalam bab ini, penulis sajikan ringkasan mengenai pembahasan yang
telah penulis paparkan di atas dengan judul “Analisis Nilai-Nilai Pendidikan
Akhlak dalam Al Qur‟an Surat an Nahl Ayat 90-91” serta merupakan jawaban
dari rumusan masalah yang merupakan fokus pembahasan dari penelitian.
penulis juga menyajikan saran-saran yang dapat dijadikan pertimbangan ke
depan bagi pendidik, lembaga pendidikan dan bagi peneliti selanjutnya.
A. Kesimpulan
Dari pembahasan pada bab-bab sebelumnya bahwa dapat
disimpulkan sebagai berikut:
1. Nilai-nilai pendidikan akhlak yang ada dalam Al Qur‟an surat an Nahl
ayat 90-91:
a. Keadilan
Adil ialah memberi hak kepada yang mempunyai hak,
karena tiap-tiap orang sebagai anggota masyarakat mempunyai
hak untuk merasakan kebaikan yang didapat oleh masyarakat.
Bila orang mengambil haknya dengan tidak melebihi dan
memberi hak-hak orang dengan tidak mengurangi hak orang lain
maka itu adalah adil.
b. Berbuat kebajikan
Ihsan berarti berbuat sesuatu secara baik, tidak asal
berbuat. Ihsan berarti juga mengerjakan sesuatu secara
profesional atau berkualitas. Amal yang ihsan menyangkut semua
amalan, baik amalan hati, lisan maupun fisik. Orang yang bertutur
kata sopan, baik dan tidak menyakiti orang lain maka itu
dinamakan ihsan dalam lisan. Sedangkan orang yang melakukan
perbuatan yang terpuji dan mendatangkan manfaat bagi orang lain
maka itu dinamakan ihsan dalam bertindak atau perbuatan.
c. Memberi Bantuan kepada Kaum Kerabat
Memberi bantuan merupakan kewajiban bagi setiap
muslim terhadap kerabat mereka yang kekurangan. Bantuan
tersebut bisa berupa materi dan non materi. Bantuan yang berupa
materi merupakan bantuan dalam bentuk harta yang berwujud
uang, sedangkan yang non materi bisa berupa jasa.
d. Tidak Berbuat Keji dan Mungkar
Berbuat keji (fakhsya’) yaitu perbuatan-perbuatan yang
didasarkan pada pemuasan hawa nafsu seperti zina, minum
minuman yang memabukkan dan mencuri. Sedangkan kata
munkar yaitu perbuatan buruk yang berlawanan dengan pikiran
yang waras seperti membunuh dan merampok hak orang lain.
Sementara baghy (permusuhan) yaitu perbuatan sewenang-
wenang terhadap orang lain
e. Menepati Janji
Janji adalah ketetapan yang dibuat oleh diri kita sendiri
dan untuk dilaksanakan oleh kita sediri. Terhadap janji, meskipun
kita sendiri yang membuatnya, kita tidak terlepas dari padanya,
meski kita tepati dan kita tunaikan. Memunaikan janji merupakan
kewajiban bagi setiap orang yang mengikrarkan janji tersebut
selama janjinya itu mengenai kebaikan dan kebenaran. Tetapi jika
janji itu berupa maksiat dan dosa maka janji tersebut hukumnya
haram atau tidak sah untuk ditunaikan.
f. Tidak Melanggar Sumpah
Pelanggaran terhadap bai’at perjanjian atau sumpah
berarti menjadikan sumpah sebagai alat penipuan sesama
manusia. Sebab jika satu golongan atau seseorang membuat
perjanjian dengan golongan lain yang lebih kuat dari padanya
untuk menentramkan hati mereka, kemudian jika ada kesempatan
dia menghianati perjanjian itu maka tingkah laku seperti itu
dipandang sebagai penipuan.
2. Implementasi dalam kehidupan sehari-hari
Di era modern ini, akhlak yang seharusnya dimiliki oleh
seseorang dan diaplikasikan dalam kehidupannya sekarang tidak
diperhatikan lagi, karena kebanyakan masyarakat memiliki karakter
budaya kota yang cenderung serba cepat, tergesa-gesa, materialistik
dan penuh dengan persaingan yang tidak sehat. Dalam surat an Nahl
ayat 90-91 terdapat beberapa akhlak yang perlu bahkan harus
diaplikasikan dalam kehidupan serta akhlak yang yang harus
ditinggalkan dan dapat dijadikan sebagai pelajaran.
a. Akhlak terpuji yang harus diaplikasikan
Sikap adil, ihsan, memberi bantuan kepada kerabat dan
menepati janji merupakan perintah Allah yang harus diterapkan
dalam kehidupan. Penerapannya dapat dimulai dari diri sendiri
baru diterapkan kepada orang lain dengan cara membiasakan
sikap-sikap tersebut dalam aktivitas sehari-hari, selalu berhati-hati
dalam mengucapkan janji dan dapat dilakukan dengan
memberikan contoh sikap tersebut dihadapan orang lain.
Ketika seseorang sudah terbiasa dengan sikap terpuji
diatas, sudah pasti sikap tersebut akan menjadi bagian dari
hidupnya atau menjadi kepribadian dalam dirinya.
Jika seeseorang sudah mampu menjadikan sikap-sikap
tersebut sebagai kepribadian dalam dirinya maka kehidupannya
akan terasa tenang, tentram dan bermanfaat bagi diri sendiri
maupun orang lain.
b. Akhlak tercela yang harus dihindari
Dalam surat an Nahl ayat 90-91 terdapat beberapa
larangan bagi manusia yaitu larangan berbuat keji, mungkar,
permusuhan dan larangan membatalkan sumpah. Perbuatan-
perbuatan tersebut merupakan larangan yang harus dihindari oleh
manusia karena dapat menimbulkan keburukan bagi dirinya dan
juga orang lain. Cara menghindari perilaku keji, mungkar dan
permusuhan dalam kehidupan sehari-hari dapat dilakukan dengan
menyadari bahwa perilaku buruk yang dilakukan akan berdampak
pada pelakunya itu sendiri baik di dunia maupun di akhirat,
menyadari bahwa perbuatan buruk yang dilakukan akan
menimbulkan hati tidak tenang, menyadari bahwa setiap
perbuatan baik dan buruk kita di dunia akan dicatat dan
dipertanggungjawabkan di akhirat, serta ketika ingin
mengucapkan sesuatu kita harus menyadari apakah perkataan
yang kita ucapkan baik dan benar atau tidak, apalagi kalau itu
menyangkut sumpah atas nama Allah.
B. Saran-saran
Beberapa saran dari penulis ditujukan bagi:
1. Bagi pendidik
Dari pemaparan mengenai nilai-nilai pendidikan akhlak di atas,
diharapkan dapat dijadikan rujukan dalam mengajarkan akhlak pada
peserta didik sehingga mampu diterapkan dalam lingkungan keluarga,
sekolah dan masyarakat.
2. Bagi lembaga pendidikan
Lembaga pendidikan merupakan lembaga yang menyediakan fasilitas
dimana terdapat interaksi antara pendidik dan peserta didik dalam
proses pembelajaran, maka dalam hal ini lembaga pendidikan dituntut
agar mampu memberikan pendidikan yang berkualitas termasuk
memberikan pendidikan akhlak kepada anak didiknya agar memiliki
kepribadian yang baik dan sesuai dengan harapan masyarakat karena
lembaga sekolah disebut sebagai lembaga pencetak generasi bangsa.
Kemajuan suatu negara tergantung pada akhlak bangsa tersebut.
3. Bagi peneliti
Hasil dari analisis nilai-nilai pendidikan akhlak dalam surat an Nahl
ayat 90-91 ini masih banyak kekurangan, maka dari itu diharapkan
bagi peneliti baru dapat mengkaji ulang dari penulisan ini.
C. Penutup
Alhamdulillahirobbil’aalamiin, puji syukur penulis panjatkan
kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kekuatan, semangat, rahmat
dan hidayah-Nya. Shalawat serta salam semoga senantiasa selalu tercurah
kepada Nabi Muhammad SAW, akhirnya penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini dengan lancar. Penulis menyadari meskipun dalam penelitian ini
sudah berusaha semaksimal mungkin, namun dalam penulisan masih
banyak kesalahan dan kekeliruan. Hal itu semata-mata merupakan
keterbatasan ilmu dan kemampuan yang dimiliki penulis. Maka dari itu,
penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari berbagai pihak demi
kesempurnaan skripsi ini. Akhirnya penulis hanya berharap semoga skripsi
ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang
memperlancar penelitian ini, baik berupa tenaga maupun do‟a. Semoga
Allah memberkahi dan memberikan balasan yang berlipat ganda. Aamiin.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Abd. Rahman. 2001. Aktualisasi Konsep Dasar PENDIDIKAN ISLAM:
Rekonstruksi Pemikiran dalam Tinjauan Filsafat Pendidikan Islam.
Yogyakarta: UII Press.
Adisusilo, J.R, Sutarjo. 2012. PEMBELAJARAN NILAI – KARAKTER
Konstruktivisme dan VCT Sebagai Inovasi Pendekatan Pembelajaran
Afektif. Akarta: PT Raja Grafindo.
Ahmadi, Wahid. 2004. RISALAH AKHLAK: Panduan Perilaku Muslim Modern.
Solo: Era Intermedia.
Amin, Ahmad. 1995. ETIKA ILMU AKHLAK. Jakarta: Bulan Bintang.
Al Gazali, Muhammad. 1985. AKHLAK seorang muslim. Semarang: Wicaksana.
Al Maraghi, Ahmad Mustafa.1994. Tafsir Al – Maraghi. Semarang: CV. Toha
Putra Semarang.
Arikunto, Suharsimi. 2010. PROSEDUR PENELITIAN SUATU PENDEKATAN
PRAKTIK. Jakarta: PT. RINEKA CIPTA.
Ar Rifa‟i, Muhammad Nasib. 1999. Ringkasan Tafsir ibnu Katsir. Jakarta: Gema
Insani Press.
Asmaran As., M.A. 2002. Pengantar Studi Akhlak EDISI REVISI. Jakarta:
RajaGrafindo Persada.
Baidan, Nashruddin. 2010. Wawasan Baru Ilmu Tafsir. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Damanhuri. 2014. AKHLAK Perspektif Tasawuf Syeikh Abdurrauf As-Singkili.
Jakarta: Lectura Press.
Departemen Agama RI. 2009. AL QUR’AN dan Tafsirannya. Jakarta: Departemen
Agama RI.
Departemen Agama RI. 2010. AL QUR’AN dan Terjemahannyaa. Bandung:
Diponegoro.
Djalal, Abdul. 2012. Ulumul Qur’an. Surabaya: Dunia Ilmu.
Drajat dkk, Zakiah 1996. ILMU PENDIDIKAN ISLAM. Jakarta: Bumi Aksara.
Faqih Imani, Allamah Kamal. 2005. TAFSIR NURUL QUR’AN Sebuah Tafsir
Sederhana Menuju Cahaya Al qur’an. Jakarta: Al Huda.
Hadi, Sutrisno. 1981. METODOLOGI RESEARCH untuk Penulisan Paper,
Skripsi, Thesisi dan Desertasi.cet XII. Yogyakarta: Yayasan Penerbitan
Fakultas Psikologi UGM.
Hafidz, Muhammad & Kastolani. 2009. Pendidikan Islam Antara Tradisi dan
Modernilas. Salatiga: STAIN Salatiga Press
Kadir dkk, Abdul. 2013. Dasar-dasar pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada
media grup.
Kuswaya, Adang. 2011. METODE TAFSIR KONTEMPORER Model Pendekatan
Hermeneutika Sosio-Tematik dalam Tafsir Al-Qur;an Hassan Hanafi.
Salatiga: STAIN Salatiga Press.
Mahmud, Ali Abdul Halim. AKHLAK mulia. 2004. Jakarta: Gema Insani Press.
Mahali, A. Mujab. 1989. ASBABUN NUZUL Studi Pendalaman Al Qur’an.
Jakarta: Rajawali Press.
Muslim. Tth. Shahih Muslim. Indonesia: Maktabah Rikhlan
Nata, Abuddin. 2002. Akhlak Tasawuf. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Nata, Abuddin. 2013. Kapita Selekta Pendidikan Islam (Isu-isu kontemporer
tentang pendidikan Islam. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Salamullah, M. Alaika. 2008. Akhlak Hubungan Vertikal. Yogyakarta: Pustaka
Insan Madani
Salamullah, M. Alaika. 2008. Akhlak Hubungan Horizontal. Yogyakarta: Pustaka
Insan Madani.
Sarosa, Samiaji. 2012. PENELITIAN KUALITATIF Dasar-Dasar. Jakarta: PT
Indeks.
Shihab, M. Quraish. 2002. TAFSIR AL-MISBAH Pesan, Kesan dan Keserasian
Al-Qur’an. Jakarta: Lentera Hati.
Shihab, M. Quraish. 2012. AL-LUBAB makna, tujuan dan pelajaran dari surah-
surah Al-Qur’an. Tanggerang: Lentera Hati.
Suryabrata, Sumadi. 2010. METODOLOGI PENELITIAN. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada.
Tafsir, Ahmad. 2008. Ilmu Pendidikan dalam Perspktif Islam. Bandung: PT
Remaja Rosdakarya.
Tatapangarsa, Humaidi. 1980. AKHLAQ YANG MULIA. Surabaya: PT Bina Ilmu.
Wirartha , I Made. 2006. PEDOMAN PENULISAN Usulan Penelitian, Skripsi dan
Tesis Dilengkapi Contoh-contoh dan Analisis Data. Yogyakarta: ANDI.
zuchdi, dkk, Darmiyati. 2009. Pendidikan karakter (grand design dan nilai-nilai
target). Yogyakarta: UNY Press.
(http://mukjizatislam.blogspot.co.id/2012) diakses tangan 15 agustus 2016 jam
19.36
(http://bungapadi-sanggar.blogspot.co.id/2011/06/begitumudah-mengingkari-
janji.html) diakses tangan 15 agustus 2016 jam 19.40