ANALISIS PENILAIAN EKONOMI DAN KEBIJAKAN
PEMANFAATAN SUMBERDAYA DANAU YANG
BERKELANJUTAN
(STUDI KASUS DANAU MANINJAU SUMATERA BARAT)
A S N I L
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI
DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Analisis Penilaian Ekonomi dan
Kebijakan Pemanfaatan Sumberdaya Danau yang Berkelanjutan (Studi Kasus
Danau Maninjau Sumatera Barat) adalah karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Januari 2012
Asnil
NRP P062050291
3
ABSTRACT
ASNIL. Economic assessment and management policy of lake resources
sustainability (Case study in Maninjau Lake of West Sumatera) Guided by
Kooswardhono Mudikdjo, Soedodo Hardjoamidjojo, and Ahyar Ismail
Maninjau Lake that lays in the Tanjung Raya district, Agam Regency,
West Sumatra Province, has potential in nature resources and environment that
can be used for supporting the economic in this regency. The economic function
i.e as water sources for irrigation, fisheries ( Catch and mariculture), Local or
international tourism, domestic needs, and as an electrics generator that produce
energy 205 MW annualy. The objectives of this research are : (1) Knowing total
economics value of Maninjau Lake utility, (2) Knowing perception of society
around the lake on Maninjau lake utility, (3) Formulating policy to preserve
Nature resoure functions that be conected to Maninjau Lake utility. This research
shown Total Economic Value of Maninjau Lake amount Rp 350,921,949,238,
This value consist direct use value (DUV) Rp. 339,527,739,838,-, indirect use
value (IUV) Rp 5,121,289,600,-, option value (OV) Rp 3,237,103,800 and non
use value (NUV) Rp. 3,035,816,000,-. The result of Analysis public perception
about the existence of the Maninjau lake varies greatly. This variation relate to
the characteristics of the communities. Characteristics of the communities that
have a significant relationship with the perception, namely: age, educational
level, and type of the work. Bureau of Maninjau Lake Territory Management
(BPKDM), Nagari Government and Central Government as the key variable that
influenced another lower level institution in the hierarchy below. Sub elements
that have high moving power to the successful management of natural resources
and environment of Maninjau lake are understanding values about the lake to
the public society, biodiversity maintenance, maintenance of hydrological and
ecological functions, and maintaining Environmental Hygiene. Strong driving
for the successful management program of Maninjau Lake are increasing
knowledge and awarness public about the Lake, expanding alternative economic
opportunity and increasing income of society around the Maninjau lake,
increasing participation of society on the management of lake and making good
management strategy for a fishery with society and empowerman organizational
management of the lake. The ultimate obstacle are the low understanding about
the values of the lake as the God creation that needs conservation sustainability,
less coordinations among instantional on the management maninjau lake, The
low active of public role in conserving the lake,yet of collective willingness on
lake maintaining, unclear about responsibility of lake property, and not active
monitoring of changes about lake water quality.
Key words: Economic assessment , total economic value, sustainability,
Maninjau Lake
4
RINGKASAN
ASNIL. Analisis Penilaian Ekonomi dan Kebijakan Pemanfaatan Sumberdaya
Danau yang Berkelanjutan (Studi Kasus Danau Maninjau Sumatera Barat). Di
bawah bimbingan Kooswardhono Mudikdjo, Soedodo Hardjoamidjojo, and
Ahyar Ismail
Danau Maninjau yang terletak di Kecamatan Tanjung Raya, Kabupaten
Agam, Sumatra Barat mempunyai peran yang penting bagi kehidupan. Danau
Maninjau mempunyai fungsi ekonomi, yaitu sebagai sumber air untuk irigasi,
perikanan, budidaya ikan dengan keramba apung maupun dengan menangkap di
perairan danau, pariwisata lokal maupun pariwisata internasional, dan
kebutuhan domestik. Fungsi ekonomi terbesar adalah sebagai pembangkit
tenaga listrik yang menghasilkan energi rata-rata tahunan sebesar 205 MW.
Dengan adanya manfaat yang diberikan oleh danau, maka dapat
dikuantifikasikan nilai manfaat tersebut dalam bentuk uang dan akan diperoleh
nilai ekonomi total (total economic value). Nilai ekonomi total ini akan dapat
dijadikan bahan pertimbangan dalam formulasi kebijakan pengelolaan danau
Maninjau secara berkelanjutan.
Tujuan penelitian ini adalah : (1) Menghitung nilai ekonomi total
pemanfaatan Danau Maninjau, (2) Mengetahui persepsi masyarakat di sekitar
Danau terhadap pemanfaatan Danau Maninjau, (3) Merumuskan kebijakan untuk
melestarikan fungsi SDAL yang berkaitan dengan pemanfaatan Danau
Maninjau.
Penelitian dilakukan selama 1 (satu) tahun di Danau Maninjau Kabupaten
Agam Provinsi Sumatera Barat. Responden penelitian dari kalangan pemerintah,
swasta,LSM, dan masyarakat sekitar danau Maninjau.Pemilihan responden
dilakukan dengan cara purposive sampling yakni memilih pihak-pihak yang
memahami masalah penelitian. Teknik pengumpulan data: wawancara,
kuesioner, dokumentasi.Teknik pengolahan dan analisis data yaitu data diperoleh
dilakukan analisis terhadap data tersebut melalui 3 jalur kegiatan secara
bersamaan, yakni reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan data
diperoleh dilakukan analisis terhadap data tersebut melalui 3 jalur kegiatan
secara bersamaan, yakni reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan
Penelitian ini mengungkapkan bahwa dari hasil pemanfaatan Danau
Maninjau oleh masyarakat diperoleh Nilai Ekonomi Total (NET) sebesar Rp
354.675.887.453,09,- yang terdiri dari Nilai Guna Langsung Danau Maninjau
(NGL) untuk pemanfaatan perikanan, pemanfaatan irigasi, pemanfaatan
pembangkit listrik, pemanfaatan rekreasi, dan pemanfaatan kebutuhan domestik
adalah sebesar Rp 339,527,739,838,- Nilai Guna Tidak Langsung (NGTL)
sebesar Rp 5.272.883.139.59,- Nilai Pilihan (NP) adalah sebesar Rp
5.378.340.802.39,- dan Nilai Bukan Guna (NBG) adalah sebesar Rp
4.496.923.673,11,-
Dari hasil analisis data yang telah dilakukan, diketahui bahwa persepsi
masyarakat terhadap keberadaan Danau Maninjau sangat bervariasi. Variasi
persepsi tersebut berhubungan dengan karakteristik masyarakatnya. Karakteristik
masyarakat yang memiliki hubungan yang signifikan dengan persepsinya adalah
umur, tingkat pendidikan, dan jenis pekerjaan
5
BPKDM dan Pemerintahan Nagari serta Pemerintah Pusat merupakan
peubah kunci yang mempengaruhi lembaga lain pada hirarki di bawahnya. Sub
elemen yang memiliki daya penggerak terbesar terhadap keberhasilan
pengelolaan SDAL Danau Maninjau adalah : pemahaman nilai-nilai yang
dimiliki danau kepada masyarakat, terpeliharanya keanekaragaman hayati,
terpeliharanya fungsi hidrologi dan ekologi, menjaga kebersihan lingkungan.
Program yang diperlukan dalam keberhasilan pengelolaan Danau Maninjau
yang memiliki daya penggerak yang kuat adalah peningkatan pengetahuan dan
kepedulian masyarakat terhadap danau, pengembangan peluang ekonomi
alternatif masyarakat di sekitar Danau Maninjau dan peningkatan
pendapatan masyarakat sekitar danau, peningkatan peran serta masyarakat
dalam pengelolaan danau serta membuat strategi pengelolaan perikanan yang baik
bersama masyarakat dan pemberdayaan organisasi pengelola danau. Kendala utama
yang memiliki daya penggerak yang kuat adalah rendahnya pemahaman nilai-
nilai danau sebagai ciptaan tuhan yang maha esa yang perlu dilindungi
kelestariannya dan kurangnya koordinasi a n t a r i n s t a n s i dalam pengelolaan
D a n a u Ma n i n j a u , masih rendahnya peranaktif masyarakat menjaga
kelestarian danau, belum terwujudnya kemauan bersama dalam memelihara
danau, tanggungjawab kepemilikan danau tidak jelas, dan belumadanya
monitoring secara aktif terhadap perubahan kualitas air danau.
Kata Kunci: Penilaian Ekonomi, Nilai Ekonomi Total, Keberlanjutan, Danau
Maninjau
6
© Hak Cipta Milik IPB, tahun 2012
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
7
ANALISIS PENILAIAN EKONOMI DAN KEBIJAKAN
PEMANFAATAN SUMBERDAYA DANAU YANG
BERKELANJUTAN
(STUDI KASUS DANAU MANINJAU SUMATERA BARAT)
A S N I L
Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor
pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
8
Judul Disertasi : Analisis Penilaian Ekonomi dan Kebijakan Pemanfaatan
Sumberdaya Danau yang Berkelanjutan (Studi Kasus Danau
Maninjau Sumatera Barat).
N a m a : Asnil
NRP : P 062050291
Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL)
Disetujui
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Kooswardhono Mudikdjo, M.Sc
Ketua Prof. Dr. Ir. Soedodo Hardjoamidjojo, M.Sc. Dr. Ir. Ahyar Ismail, M.Agr.
Anggota Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Pengelolaan Dekan Sekolah Pascasarjana
Sumberdaya Alam dan Lingkungan Institut Pertanian Bogor
Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, M.S. Dr. Ir. Dahrul Syah,
MSc.Agr.
9
Tanggal Ujian : 24 Januari 2012 Tanggal Lulus :
10
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala
rahmat dan karunia-Nya sehingga disertasi ini dapat diselesaikan. Topik dalam
penelitian ini adalah kebijakan pengelolaan danau dengan judul penelitian
Analisis Penilaian Ekonomi dan Kebijakan Pemanfaatan Sumberdaya Danau
yang Berkelanjutan (Studi Kasus Danau Maninjau Sumatera Barat).
Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Ir. Kooswardhono mudikdjo, M.Sc, selaku ketua komisi
pembimbing atas perhatian tulus yang telah dicurahkan kepada penulis
selama pembimbingan, sejak penyusunan usulan penelitian, pelaksanaan
penelitian sampai penyusunan disertasi ini. Berkat bimbingan, kesabaran dan
ketulusan beliau, penulis dapat menyelesaikan disertasi ini dengan baik.
2. Prof. Dr. Ir. Soedodo Hardjoamidjojo, M.Sc, selaku anggota komisi
pembimbing atas segala arahan dan bimbingan selama penyusunan disertasi.
Berkat dukungan semangat beliau, penulis termotivasi untuk dapat
menyelesaikan disertasi ini.
3. Dr. Ir. Ahyar Ismail,M.agr, selaku anggota komisi pembimbing atas segala
arahan dan bimbingan selama penyusunan disertasi ini. Berkat dorongan
semangat beliau, penulis dapat menyelesaikan disertasi ini.
4. Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, M.S, selaku Ketua Program Studi Pengelolaan
Sumberdaya Alam dan Lingkungan IPB yang telah memberikan arahan
dalam proses penyusunan disertasi dan penyelesaian studi.
5. Kepala Bappeda Prov. Sumatera Barat, Kepala Bapedalda Provinsi Sumatera
Barat, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Sumatera Barat, Kepala Kantor
Lingkungan Hidup Kab.Agam, Kepala Bappeda Kab.Agam, Kepala Dinas
Kelautan dan Perikanan Kab.Agam, Kepala Dinas Pariwisata
Kab.Agam,Limnologi Perwakilan di Danau Maninjau, Camat Tanjung Raya.
6. Isteri tercinta dan anak-anak serta, kakak-kakak dan famili tercinta atas do’a
dan segala dukungannya.
7. Seluruh teman mahasiswa Program Studi PSL-IPB atas segala saran dan
masukannya selama penyusunan disertasi ini.
11
Semoga hasil penelitian ini bermanfaat dan memberikan kontribusi
terhadap perkembangan ilmu pengetahuan di bidang pengelolaan sumberdaya
alam dan lingkungan.
Bogor, Januari 2012
Asnil
12
RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir di Padang, Sumatera Barat pada tanggal 10 Agustus 1966,
sebagai anak kelima dari pasangan Jaliluddin (alm) dan Asnah (alm). Pada tahun
1993, penulis menyelesaikan pendidikan S1 pada Fakultas Ekonomi Universitas
Bung Hatta Sumatera Barat, dan pada tahun 2001 menyelesaikan pendidikan S2
di Program Studi Ekonomi Pembangunan, Sekolah Pascasarjana UGM. Tahun
2005 penulis menempuh pendidikan S3 pada Program Studi Pengelolaan
Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana IPB.
Pada tahun 1994, penulis diangkat sebagai Pegawai Negeri Sipil pada
Pemda Kota Bukittinggi, dan pada tahun 2007 penulis pindah tugas ke Pemda
Kota Padang. Penulis menikah dengan Yessy Priska Dona, SE, MM yang
bekerja pada Pemda Kabupaten Tanah Datar Provinsi Sumatera Barat. Penulis
dikaruniai tiga orang anak yaitu Putri Ingá Lestari dan Alysa Faustina Pandita
serta Obama Falencio Nilsy.
13
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
DAFTAR TABEL iv
DAFTAR GAMBAR v
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang 1
1.2. Perumusan Masalah 4
1.3. Tujuan Penelitian 6
1.4.
1.5
Kerangka Berpikir
Hipotesis
. 6
11
1.6 Manfaat Penelitian . 11
1.7. Novelty 11
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 EkosistemDanau 15
2.2 Penelitian Sumberdaya Air 16
2.3 Konflik Pengelolaan Sumberdaya Alam 17
2.4 Analisis Kebijakan Publik 17
2.5 Analisis Biaya Manfaat Dalam Kebijakan Publik 20
2.6 Status Kepemilikan Sumberdaya Air 23
2.7.
Pendekatan Dalam Penilaian Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan
28
2.8.
Kebijakan Dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
40
2.9 Teori Tentang Persepsi Masyarakat 44
III. METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian 51
3.2 Responden Penelitian 51
3.3 Teknik Pengumpulan Data 51
3.4 Teknik Pengolahan dan Analisis Data 51
14
3.4.1. Perhitungan Nilai Ekonomi Total SDAL
Danau Maninjau
52
3.4.1.1. Nilai Guna Langsung 52
3.4.1.1.1. Nilai Ekonomi Perikanan 53
3.4.1.1.2. Nilai Ekonomi Pemanfaatan Irigasi 54
3.4.1.1.3. Nilai Ekonomi Rekreasi 55
3.4.1.1.4. Nilai Ekonomi Pemanfaatan Domestik 58
3.4.1.1.5. Nilai Ekonomi Listrik 59
3.4.1.2. Nilai Guna Tidak Langsung 59
3.4.1.3. Nilai Pilihan 60
3.4.1.4. Nilai Bukan Guna 60
3.4.3. Analisis Persepsi Masyarakat 60
3.4.5. Perumusan Rancangan Kebijakan 61
IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN
4.1 Sejarah terbentuknya Danau Maninjau 62
4.2 Letak Geografis 63
4.3 Fisiografi 64
4.4 Hidrologi 65
4.5 Biologi 71
4.6.
Kondisi Umum Adminstrasi Administrasi Danau Maninjau
73
V HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Perhitungan Nilai Ekonomi Danau Maninjau 87
5.1.1. Nilai Ekonomi Perikanan 87
5.1.1.1. Nilai Ekonomi KJA 87
5.1.1.2. Nilai Ekonomi Perikanan Tangkap 90
5.1.2. Nilai Ekonomi Pemanfaatan Irigasi 91
5.1.3. Nilai Ekonomi Listrik 93
5.1.4. Nilai Ekonomi Rekreasi 94
5.1.5. Nilai Ekonomi Domestik 99
5.2. Nilai Guna Tidak Langsung 100
15
5.3. Nilai Pilihan 101
5.4. Nilai Bukan Guna 101
5.5. Persepsi Masyarakat Terhadap Keberadaan Danau Maninjau
101
5.5.1. Status Kepemilikan Danau Maninjau 102
5.5.2. Hak Pemanfaatan Danau untuk Perikanan 103
5.5.3. Hak Pemanfaatan Danau Untuk Pariwisata 105
5.5.4. Hak Pemanfaatan Danau untuk Irigasi 106
5.5.5. Hak Pemanfaatan Danau Untuk Kebutuhan
Domestik
108
5.5.6. Hak untuk Mengatur Pengelolaan Danau
Maninjau
110
5.5.7. Kondisi Pengelolaan Eksisting Danau Maninjau 111
5.5.8. Dampak Usaha Perikanan KJA terhadap
Masyarakat
113
5.5.9. Dampak Operasional PLTA terhadap
Masyarakat
114
5.6. Rancangan Kebijakan Untuk Melestarikan Fungsi Berkaitan Dengan Pemanfaatan Danau Maninjau
117
5.6.1. Lembaga Yang Terlibat Untuk Melestarikan
Fungsi Danau Maninjau
119
5.6.2. Tujuan Yang Ingin Dicapai Untuk Melestarikan
Fungsi Danau Maninjau
122
5.6.3. Kebutuhan Program 125
5,6,4, Elemen Kendala Dalam Melestarikan Fungsi
Danau Maninjau
127
V KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan 131
6.1.1. Nilai Ekonomi Total Pemanfaatan Danau
Maninjau
131
6.1.2. Persepsi Masyarakat Terhadap Pemanfaatan
Danau Maninjau
131
6.1.3. Rancangan Kebijakan 132
16
6.2. Saran 134
DAFTAR PUSTAKA 135
17
DAFTAR TABEL
Tabel
Halaman
1. Taksonomi Penilaian Yang Relevan 33
2. Hubungan Kontekstual Antar Sub Elemen pada Teknik ISM
49
3 Morfometri Danau Maninjau 65
4 Rata-rata Curah Hujan Danau Maninjau 66
5 Neraca Air Danau Maninjau 67
6 Jenis Ikan Danau Maninjau 71
7 Jumlah Penduduk Kec.Tanjung Raya 73
8 Luas Panen dan Produksi Pertanian dan Perkebunan Menurut Jenis Tanaman
75
9 Jumlah KJA 76
10 Data Perikanan Tangkap Danau Maninjau 77
11 Kondisi Umum PLTA 78
12 Jumlah Kunjungan Wisata Ke Kab.Agam 1999 sd 2009 79
13 Jumlah Pembudidaya KJA tahun 2009 87
14 Distribusi Persentase Usia Responden Rumah Tangga petani KJA di Sekitar Danau Maninjau
88
15 Distribusi Persentase Pendidikan Responden Rumah Tangga Petani KJA di Sekitar Danau Maninjau
89
16 Distribusi Persentase Usia Responden Rumah Tangga Nelayan Tangkap di Sekitar Danau Maninjau
91
17 Jumlah sampel Dususn Rumah Tangga Petani Pemanfaat Air Irigasi Aliran Sungai Antokan Danau Maninjau
92
18 Produksi Listrik dan Pemakaian Air Danau Maninjau dari Tahun 2001 – 2010
93
19 Pengunjung yang Datang berwisata ke Danau Maninjau
Berdasarkan Usia
94
20 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan
95
18
21 Jumlah Pengunjung Rata-rata, Lama Kunjungan dan Biaya Rata-rata Perjalanan dari Masing-masing Zona Kunjungan
96
22 Jumlah Kunjungan per 1000 orang penduduk per tahun 97
23 Hasil Penghitungan Nilai Ekonomi Wisata Danau Maninjau 98
24 Karakteristik Responden Berdasarkan Jarak Tempat Tinggal
Dengan Danau
99
25 Persepsi Masyarakat terhadap Kepemilikan Danau Maninjau 102
26 Hubungan Persepsi Masyarakat Terhadap Status Kepemilikan Danau Maninjau Dengan Karakteristik Responden
103
27 Persepsi Masyarakat terhadap Hak Pemanfaatan SDAL
Danau Maninjau Untuk Perikanan 104
28 Hubungan Persepsi Masyarakat terhadap Hak Pemanfaatan SDAL Danau Maninjau Untuk Perikanan
104
29 Persepsi Masyarakat terhadap Hak Pemanfaatan SDAL
Danau Maninjau Untuk Pariwisata 105
30 Hubungan Persepsi Masyarakat terhadap Hak Pemanfaatan SDAL Danau Maninjau Untuk Pariwisata
106
31 Persepsi Masyarakat terhadap Hak Pemanfaatan SDAL
Danau Maninjau Untuk Irigasi 107
32 Hubungan Persepsi Masyarakat terhadap Hak Pemanfaatan SDAL Danau Maninjau Untuk Irigasi
107
33 Persepsi Masyarakat terhadap Hak Pemanfaatan SDAL
Danau Maninjau Untuk Domestik 108
34 Hubungan Persepsi Masyarakat terhadap Hak Pemanfaatan SDAL Danau Maninjau Untuk Domestik
109
35 Persepsi Masyarakat terhadap Hak Untuk Mengatur Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Danau Maninjau
110
36 Hubungan Persepsi Masyarakat terhadap Hak Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Danau Maninjau
111
37 Persepsi Masyarakat terhadap Kondisi Pengelolaan
Eksisting Danau Maninjau 112
38 Hubungan Persepsi Masyarakat terhadap Pengelolaan
Eksisting Danau Maninjau 112
39 Dampak Usaha Perikanan Keramba Jaring Apung Terhadap 113
19
Masyarakat
40 Persepsi Masyarakat terhadap Dampak Usaha Perikanan
Keramba Jaring Apung
114
41 Persepsi Masyarakat terhadap Damapak Operasional PLTA
Terhadap Masyarakat
115
42 Persepsi Masyarakat terhadap Pengelolaan Dampak Operasional PLTA oleh PLN Telah Dilakukan Dengan Baik
116
43 Lembaga Yang Terlibat untuk Melestarikan Fungsi SDAL Dalam Pemanfaatan Danau Maninjau
120
44 Tujuan yang ingin dicapai untuk melestarikan fungsi SDAl Danau Maninjau
123
45 Kebutuhan Program untuk melestarikan fungsi SDAl Danau Maninjau
125
46 Sub elemen kendala dalam pengelolaan SDAL Danau Maninjau
127
20
DAFTAR GAMBAR
Gambar
Halaman
1. Skema Kerangka Pemikiran 10
2. Analisis Kebijakan Yang Berorientasi Pada Masalah 20
3. Pengelompokan Atribut Nilai Ekonomi Untuk Penilaian Lingkungan
30
4. Peningkatan Manfaat Dengan Perbaikan Kualitas Aset Lingkungan
31
5. Alokasi Sumberdaya Milik Bersama 41
6. Kurva permintaan Wisata Danau Maninjau 99
7. Struktur sistem elemen lemabag yang terlibat 120
8. Matriks driver power-dependence sub-elemen pada elemen sektor lembaga yang terpengaruhi
121
9 Strukuts system elemen tujuan 123
10 Matriks driver power-dependence sub-elemen pada elemen Tujuan
124
11 Struktur sistem elem program yan dibutuhkan 126
12 Matriks Driver Power (DP) dan Dependence (D)
sub elemen program yang dibutuhkan.
127
13 Diagram hierarki kendala utama dalam melestarikan SDAL 128
14 Matriks Driver Power (DP) dan Dependence (D) sub elemen kendala utama
129
21
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Danau adalah salah satu bentuk ekosistem yang menempati daerah yang
relatif kecil pada permukaan bumi dibandingkan dengan laut dan daratan. Bagi
manusia, kepentingan danau jauh lebih berarti dibandingkan dengan luas
daerahnya. Keberadaan ekosistem danau memberikan fungsi yang
menguntungkan bagi kehidupan manusia (rumahtangga, industri, dan pertanian).
Beberapa fungsi danau secara ekosistem adalah sebagai berikut: (1) sebagai
sumber plasma nuftah yang berpotensi sebagai penyumbang bahan genetik ikan;
(2) sebagai tempat berlangsungnya siklus hidup jenis flora/fauna yang penting,
(3) sebagai sumber air yang dapat digunakan langsung oleh masyarakat
sekitarnya (rumahtangga, industri dan sebagai sumber air yang paling praktis dan
murah untuk kepentingan domestik maupun industri,pertanian); (4) sebagai
tempat penyimpanan kelebihan air yang berasal dari air hujan, aliran permukaan,
sungai-sungai atau dari sumber-sumber air bawah tanah; (5) memelihara iklim
mikro, di mana keberadaan ekosistem danau dapat mempengaruhi kelembaban
dan curah hujan setempat; (6) sebagai sarana tranportasi untuk memindahkan
hasil-hasil pertanian dari satu tempat ke tempat lainnya; (7) sebagai penghasil
energi listrik melalui PLTA; (8) sebagai sarana rekreasi dan obyek pariwisata;
(9) sebagai sistem pembuangan yang memadai dan paling murah (Connell &
Miller 1995).
Dalam Undang-undang Nomor 07 Tahun 2004 tentang Pengelolaan
Sumber Daya Air pada Pasal 1 dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan sumber
daya air ialah sumber air dan daya air yang terkandung di dalamnya.
Pengelolaan danau sebagai salah satu sumber air, tidak dapat berdiri sendiri,
harus diintegrasikan ke dalam pengelolaan DAS sebagai kesatuan wilayah,
begitu pula pemanfaatannya
Indonesia memiliki lebih dari 700 danau dengan luas keseluruhan lebih
dari 5.000 Km2
atau sekitar 0,25% luas daratan Indonesia (Davies et al., 1995),
namun kondisi sebagian besar danau tersebut akhir-akhir ini sudah sangat
memprihatinkan. Danau terluas di Indonesia adalah Danau Toba (110.260 ha) di
22
Sumatera Utara, dan danau yang dalam adalah Danau Matano (600 m) di
Sulawesi Selatan. Hal ini disebabkan oleh terjadinya pemanfaatan sumberdaya
danau yang tidak terkendali dan lemahnya koordinasi antar sektor dan antar
wilayah .
Munculnya masalah lingkungan merupakan suatu akibat yang tidak
diniatkan atau akibat yang tidak dapat dielakkan dan bahkan akibat yang tidak
terduga sebelumnya dari hasil interaksi antara aktivitas ekonomi dengan
eksistensi sumberdaya alam dan lingkungan (SDAL), baik produksi, distribusi.
maupun konsumsi. Interaksi yang dapat menimbulkan munculnya masalah
lingkungan tersebut adalah interaksi yang berlangsung secara tidak seimbang
dan tidak harmonis. Makin tinggi tingkat interaksi tersebut, maka dampaknya
terhadap degradasi SDAL juga akan makin tinggi. Masalah lingkungan bersifat
sangat kompleks karena menyangkut dimensi ruang dan waktu. Dalam dimensi
ruang, masalah lingkungan bisa berdampak lokal, setempat, wilayah tertentu,
negara, internasional, dan bahkan global, sedangkan dalam dimensi waktu,
masalah lingkungan dapat berdampak jangka pendek, jangka panjang, sesaat,
dan ada yang berkelanjutan.
Danau merupakan salah satu SDAL yang penting bagi kehidupan
manusia. Dilihat dari jenis barang dan kepemilikannya, danau merupakan barang
publik (public goods) yang dimiliki bersama oleh masyarakat (common
property), sehingga semua orang terbuka untuk memanfaatkannya (open access)
secara bebas sesuai dengan kebutuhannya. Keadaan ini akan mengakibatkan
sumberdaya danau akan cenderung dimanfaatkan sesuai dengan kebutuhan
masyarakat di sekitarnya, tanpa memperhitungkan kepentingan orang lain dan
kelestariannya. Pada gilirannya akan muncul suatu kondisi yang tidak dapat
dihindari yaitu konflik kepentingan, baik dalam pemanfaatan maupun
kewenangan dalam pengelolaannya, sehingga dapat mengancam kelestarian
sumberdaya tersebut (Ginting, 1998).
Salah satu danau penting di Indonesia adalah Danau Maninjau terletak
pada 0° 17' – 07.04" LS dan 100° - 09' .58.0" BT dengan ketinggian 461,5 meter
di atas permukaan laut yang merupakan danau tipe vulkanis yaitu berasal dari
letusan gunung berapi. Pada saat ini Danau Maninjau digunakan sebagai sumber
23
air untuk pembangkit tenaga listrik dengan energi Iistrik tahunan rata-rata
sebesar 205 MW, sebagai sumber air irigasi, lahan budidaya ikan dalam
keramba, dan merupakan salah satu tujuan wisata. Hasil pemetaan batimetri
menunjukkan bahwa kedalaman maksimum danau 165 m, panjang garis pantai
52,68 km, luas permukaan air 9.737,50 ha, panjang maksimum 16.46 km, lebar
maksimum 7,5 km dan volume air 10.226.001.629,2 m3. Berdasarkan data curah
hujan dan Stasiun Maninjau tahun 1994 - 2004 menunjukkan bahwa pola hujan
bulanan relatif merata sepanjang tahun, dengan curah hujan bulanan rata-rata
sebesar 299 mm dan curah hujan tahunan rata-rata 3.588 mm.
Danau Maninjau yang terletak di Kecamatan Tanjung Raya, Kabupaten
Agam, Sumatra Barat mempunyai peran yang penting bagi kehidupan. Danau ini
mempunyai tiga macam fungsi, yaitu ekologi, sosial, dan ekonomi. Fungsi
ekologi Danau Maninjau merupakan habitat bagi organisme, mengontrol
keseimbangan air tanah, dan mengontrol iklim mikro. Fungsi sosial antara lain
tempat masyarakat untuk mandi cuci kakus (MCK), dan memberikan
pemandangan indah. Fungsi ekonomi, sebagai sumber air untuk irigasi,
perikanan, budidaya ikan dengan keramba apung maupun dengan menangkap di
perairan danau, pariwisata lokal maupun pariwisata internasional, dan fungsi
ekonomi terbesar adalah sebagai pembangkit tenaga listrik yang menghasilkan
energi rata-rata tahunan sebesar 205 MW. Melihat fungsi-fungsi tersebut, maka
Danau Maninjau perlu dilestarikan.
Di Danau Maninjau hidup berbagai jenis ikan antara lain; ikan
rinuak/asang (Ostrochilus brochynopterus CV), turik (Cyclocheilichthys dezwain
CV), sasau (Hampala sp.) dan berbagai jenis ikan air tawar lainnya. Ikan tersebut
ditangkap oleh masyarakat dengan menggunakan alahan, jaring insang, bubu,
jala, pancing, dan kadang-kadang ada juga yang rnenggunakan bahan peledak
serta arus listrik. Hasil tangkapan ini selain dikonsumsi secara lokal, juga
diekspor dalam bentuk olahan (Syandri, 1996). Selain ikan tangkap yang ada,
masyarakat sekitar juga memanfaatkan Danau Maninjau untuk budidaya
Keramba Jaring Apung yang telah dikembangkan sejak tahun 1992, dan setiap
tahunnya terjadi peningkatan jumlah budidaya Keramba Jaring Apung.
Berdasarkan data yang dihimpun pada tahun 2006 berjumlah 8.955 petak
24
Keramba Jaring Apung. Danau Maninjau memiliki pemandangan yang indah,
sehingga dapat dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai objek rekreasi. Setiap hari
orang yang berkunjung ke sana untuk tujuan rekreasi, yaitu untuk melihat
pemandangan yang indah, menghirup udara yang segar, memancing, bermain-
main, berolah raga, dan sebagainya. Pada umumnya pengunjung yang banyak
adalah pada akhir pekan, yaitu hari Sabtu dan Minggu, sementara kunjungan
yang paling banyak adalah pada masa liburan dan masa lebaran. Masyarakat
yang tinggal disekitar danau tersebut masih banyak yang memanfaatkan untuk
memenuhi berbagai kebutuhan domestik seperti untuk sumber air minum, mandi,
dan mencuci.
Ada sembilan sungai besar dan kecil yang mengalir masuk danau
(inflow), dan hanya satu sungai sebagai tempat pembuangannya (outflow) yaitu
sungai Antokan. Besar debit outflow di hulu Sungai Antokan rata-rata 59,6
m3/detik yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat petani yang tinggal pada
daerah Sub-DAS Antokan sejak dahulu kala untuk mengairi pertanian dan
mengolah padi menjadi beras dengan menggunakan teknologi sederhana berupa
“kincir air”. Namun sejak tahun 1970an pemanfaatan kincir hanya terbatas
untuk irigasi saja, karena untuk mengolah padi menjadi beras telah berkembang
teknologi baru berupa mesin penggiling padi (rice milling).
1.2. Perumusan Masalah
Dilihat dari topografinya, Danau Maninjau terletak pada posisi 461,5
meter di atas permukaan laut dan adanya outflow yang relatif besar dari danau
tersebut, sehingga dipandang berpotensi untuk digunakan sebagai pembangkit
energi listrik. Kemungkinan pemanfaatan potensi tenaga air Danau Maninjau
untuk pembangkit tenaga listrik telah dilakukan studi oleh berbagai konsultan
sejak tahun 1965-1980, yang akhirnya sampai pada suatu kesimpulan bahwa air
Danau Maninjau dapat dimanfaatkan untuk pembangkit tenaga listrik.
Berdasarkan hasil studi tersebut diambil suatu kebijakan pengembangan
pemanfaatan Danau Maninjau melalui pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga
Air (PLTA), dengan menggunakan pompa sebanyak 20 unit dengan kapasitas
0,5m3 per detik per unit untuk pemenuhan kebutuhan listrik Sumatera Barat dan
25
Riau. Pembangunan PLTA dimulai sejak tahun 1982 dan mulai beroperasi sejak
tahun 1992.
Setelah PLTA mulai beroperasi muncul berbagai tuntutan dari
masyarakat baik yang tinggal di sekitar danau maupun masyarakat yang tinggal
di Sub-DAS Antokan. Pada musim hujan masyarakat yang tinggal di sekitar
danau lahannya di genangi air akibat pembendungan pada hulu sungai Antokan
yang menyebabkan naiknya elevasi danau melebihi keadaan normal, dan
masyarakat yang berada di Sub-DAS Antokan kelebihan debit air yang
mengakibatkan banyaknya peralatan dan perlengkapan irigasi sederhana (kincir)
hanyut dibawa arus air yang besar akibat pintu bendungan dibuka. Pada musim
kemarau, masyarakat yang tinggal di sekitar danau Maninjau mengeluh karena
sumur-sumur mereka mengalami kekeringan akibat turunnya elevasi danau dan
masyarakat yang tinggal di Sub-DAS Antokan juga mengeluh karena
kekurangan debit air untuk menggerakkan kincirnya.
Pertumbuhan pemukiman di sekitar danau mengakibatkan pemanfaatan
ruang tumpang tindih. Pemanfaatan lahan untuk pemukiman di DAS yang
bermuara ke danau membawa limbah domestik masuk ke danau melalui sungai,
serta endapan erosi akibat pembukaan lahan pemukiman. Pesatnya pemanfaatan
ruang di sekitar danau berdampak masuknya limbah cair dan limbah padat ke
danau yang menyebabkan terjadinya perubahan kualitas air dan ekosistem danau
terutama kelengkapan struktur rantai makanan dan energi alamiah danau.
Besarnya kontribusi limbah padat yang masuk ke danau disebabkan belum
adanya sarana dan prasarana pengolahan sampah di sekitar danau. Disamping itu
kualitas sumberdaya manusia setempat masih rendah, sehingga masyarakat tidak
mengetahui pentingnya kelestarian ekosistem danau di masa datang (PSLH,
2002). Berbagai aktivitas masyarakat disempadan danau, seperti pemukiman,
perhotelan, pertanian dan peternakan merupakan sumber bahan pencemar yang
masuk ke perairan danau.
Danau maninjau pada saat ini dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan
yaitu: domestik, pertanian, industri, rekreasi, akuakultur, estetika dan sumber
energi. Hal ini menimbulkan permasalahan pencemaran perairan, penurunan
kualitas air, dan penurunan debit air. Pemanfaatan Danau Maninjau melalui
26
pembangunan PLTA untuk menghasilkan energi listrik telah menimbulkan
masalah eksternal. Masalah eksternal yang muncul bersifat positif maupun
negatif. Bila masalah eksternal ini tidak diambil kebijakan, maka kegiatan
pembangunan yang diharapkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat
justru menurunkan tingkat kesejahteraannya.
Pemanfaatan danau sebagai daerah tujuan wisata telah menyebabkan
masuknya limbah cair dan padat ke danau. Tumbuhnya pemukiman dan
pengembangan fasilitas fisik di sekitar danau menyebabkan pemanfaatan tata
ruang tumpang tindih. Penurunan kualitas air pada Danau Maninjau antara lain
adalah akibat dari kegiatan perikanan Keramba Jaring Apung (KJA) yang sudah
melampaui daya dukung perairan danau (Bapedalda Sumatera Barat 2001).
Bila tidak diintervensi dengan reformasi kebijakan, maka kondisi di atas
akan berlanjut terus sehingga kegiatan pengelolaan Danau Maninjau akan
merusak danau dan berdampak kepada penurunan kesejahteraan masyarakat.
Oleh sebab itu perlu dilakukan suatu penelitian untuk mengkaji dampak dari
pemanfaatan Danau Maninjau melalui kajian valuasi ekonomi terhadap tingkat
kesejahteraan masyarakat yang ada disekitarnya dan kelestarian danau, sehingga
dapat dirumuskan beberapa alternatif kebijakan untuk mengatasi permasalahan
tersebut.
Secara rinci permasalahan yang akan dijawab dari penelitian ini
dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah pemanfaatan Danau Maninjau dapat memberikan nilai
ekonomi bagi masyarakat yang ada di sekitarnya ?
2. Bagaimana persepsi masyarakat di sekitar Danau Maninjau terhadap
eksistensi Danau Maninjau?
3. Kebijakan apa yang sebaiknya dilakukan untuk melestarikan fungsi
SDAL berkaitan dengan pemanfaatan Danau Maninjau ?.
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah :
1. Untuk menghitung nilai ekonomi total pemanfaatan Danau Maninjau.
27
2. Untuk membuktikan persepsi masyarakat di sekitar Danau terhadap
pemanfaatan Danau Maninjau.
3. Merumuskan kebijakan untuk melestarikan fungsi SDAL yang berkaitan
dengan pemanfaatan Danau Maninjau.
1.4. Kerangka Berpikir
Setiap sumberdaya memiliki nilai, karena dapat digunakan oleh manusia
untuk memenuhi berbagai kebutuhan baik secara langsung maupun tidak
langsung, masa sekarang maupun masa yang akan datang. Besar nilai
sumberdaya sangat ditentukan oleh sampai sejauh mana kemajuan teknologi dan
peradaban manusia dalam mengambil manfaat yang disediakan oleh sumberdaya
tersebut. Makin tinggi kemajuan teknologi dan peradaban manusia, maka akan
makin tinggi pula nilai yang diberikan terhadap suatu sumberdaya.
Danau Maninjau sebagai suatu sumberdaya dapat dimanfaatkan oleh
masyarakat di sekitarnya untuk memenuhi berbagai kebutuhan. Pertama, berupa
produk yang dapat dikonsumsi secara langsung seperti ikan sebagai bahan
makanan, air untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga (domestik), sumber
energi listrik, irigasi, petanian, dan keindahan alamnya untuk rekreasi. Kedua,
danau dapat bermanfaat secara tidak langsung, dalam bentuk manfaat fungsional
berupa fungsi ekologi, hidrologi, pengendali banjir dan fungsi perlindungan
lainnya. Ketiga, danau dapat memberikan manfaat langsung dan tidak langsung
untuk masa yang akan datang, berupa media penyimpanan keanekaragaman
hayati dan habitat yang terkonservasi. Keempat, danau dapat memberikan
manfaat dari eksistensinya yang dapat dipertahankan seperti habitat dan spesies
langka.
Dengan adanya manfaat yang diberikan oleh danau tersebut, maka dapat
dikuantifikasikan nilai manfaat tersebut dalam bentuk uang. Untuk
mengkuantifikasikan nilai manfaat tersebut dapat digunakan beberapa
pendekatan, yang pada hakekatnya didasarkan pada konsep kesediaan untuk
membayar atau willingness to pay (WTP) dari individu. Dalam penggunaan
konsep WTP ini dapat didasarkan pada perilaku individu yang aktual dan yang
potensial. Jika pasar konvensional maupun pasar implisit tidak tersedia, maka
28
dapat diciptakan pasar yang dibangun. Penetapan teknik penilaian yang akan
dipakai bergantung pada pertimbangan karakteristik dari sumberdaya yang akan
dinilai.
Setelah melakukan penilaian terhadap seluruh manfaat suatu
sumberdaya, maka akan diperoleh nilai ekonomi total (total economic value).
Nilai ekonomi total ini akan dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam
formulasi kebijakan pengelolaan danau Maninjau secara berkelanjutan.
Kebijakan yang diambil akan berdampak positif (manfaat) dan dampak
negatif (kerugian) bagi masyarakat. Kebijakan yang akan dipilih tentu saja
kebijakan yang memberikan manfaat yang lebih besar dari pada kerugiannya.
Bila dilihat dari sudut kepentingan kelompok masyarakat tertentu, suatu
kebijakan akan memberikan manfaat yang lebih besar dari pada kerugiannya,
sedangkan bila dilihat dari sudut kelompok masyarakat lainnya akan
memberikan kerugian yang besar dari pada manfaatnya.
Pada tahap penentuan kebijakan baru, analisis kebijakan dilakukan
dengan pendekatan prospektif yaitu dengan cara mensintesakan informasi untuk
dipakai dalam merumuskan alternatif dan preferensi kebijakan yang dinyatakan
secara komparatif dalam bahasa kuantitatif dan kualitatif sebagai landasan dalam
pengambilan keputusan kebijakan. Secara sederhana pendekatan prospektif
digunakan untuk menentukan apa yang akan terjadi dan apa yang harus
dilakukan berkaitan dengan suatu kebijakan yang akan diambil, sedangkan
setelah suatu kebijakan diambil, analisis kebijakan harus dilakukan dengan
pendekatan retrospektif untuk menciptakan dan mentransformasikan informasi
sesudah aksi kebijakan dilakukan.
Pada kasus pemanfaatan Danau Maninjau digunakan analisis kebijakan
retrospektif untuk mendapatkan informasi tentang apakah manfaat yang diterima
lebih besar dari kerugian yang diderita setelah aksi kebijakan dijalankan, dan
aksi-aksi apa yang perlu dilakukan berkaitan dengan informasi tersebut. Manfaat
tersebut adalah setiap kondisi yang dapat menambah kesejahteraan masyarakat
baik dalam bentuk tambahan pendapatan maupun dalam bentuk pengurangan
biaya, sedangkan biaya atau kerugian adalah setiap kondisi yang dapat
mengurangi tingkat kesejahteraan masyarakat baik dalam bentuk hilangnya
29
kesempatan untuk memperoleh pendapatan maupun munculnya tambahan biaya
setelah kebijakan dilaksanakan.
Berdasarkan pemikiran di atas, maka yang termasuk ke dalam manfaat
dari kebijakan pemanfaatan Danau Maninjau adalah meningkatnya produksi
pertanian pada daerah pembuangan air pemutar turbin, sedangkan yang termasuk
biaya atau kerugian adalah peningkatan biaya irigasi pertanian dan pengurangan
produksi pertanian pada daerah aliran sungai Antokan serta pengurangan jumlah
tangkapan ikan pada perairan umum Danau Maninjau. Baik manfaat maupun
biaya dapat dinyatakan dalam satuan ukuran yang sama yaitu moneter (rupiah).
Setelah manfaat dan biaya dinyatakan dalam satuan ukuran yang sama,
kemudian diperbandingkan untuk menentukan apakah yang terjadi peningkatan
atau penurunan tingkat kesejahteraan masyarakat. Berdasarkan informasi ini
akan dirumuskan tindakan-tindakan apa yang dapat dilakukan untuk
memperbaiki keadaan atau menciptakan kondisi menjadi semakin lebih baik.
Namun sebelum alternatif-alternatif tindakan dirumuskan, perlu
dilakukan analisis terhadap kondisi lingkungan danau terutama kualitas fisik,
kimia dan biologi danau, dan persepsi masyarakat terhadap eksistensi Danau
Maninjau serta respon yang diberikan oleh masyarakat berkaitan dengan
kebijakan pemanfaatan Danau Maninjau yang telah dilakukan pada masa yang
lalu. Semua informasi ini menentukan akar persoalan, sehingga keputusan
diambil dapat memecahkan permasalahan yang sedang dihadapi.
Secara skematis berbagai permasalahan yang dijadikan objek penelitian
dan bagaimana interaksi satu dengan yang lainnya diringkas pada Gambar 1.
30
Gambar 1 Skema Kerangka Pemikiran
Pengelolaan dan Pemanfaatan
Sumberdaya Danau Maninjau
Perikanan Irigasi Rekreasi Domestik PLTA
Nilai Ekonomi Total
Danau Maninjau
Persepsi
Masyarakat
Kebijakan Pengelolaan
Danau Maninjau
Penilaian Ekonomi
Nilai Guna Nilai Bukan Guna
Nilai Guna
Langsung
Nilai Guna Tidak
Langsung Nilai Pilihan Nilai Eksistensi
Ika
n Air Keindahan
Analisis
Peraturan,
Perundangaan
31
1.5. Hipotesis
1. Nilai Ekonomi Irigasi Danau Maninjau lebih besar dibandingkan dengan
Nilai Ekonomi Sumberdaya danau lainnya.
2. Kebijakan pemerintah dalam pengelolaan Sumberdaya Danau Maninjau
selama ini sudah berpihak kepada kepentingan masyarakat di sekitar
Kawasan danau Maninjau.
1.6. Manfaat Penelitian
1. Bagi pemerintah sebagai sumber informasi untuk pengambilan
keputusan yang tepat dalam mengatasi permasalahan lingkungan yang
sedang dihadapi dan untuk pengelolaan SDAL danau secara
berkelanjutan.
2. Bagi masyarakat, sebagai sumber informasi untuk menentukan
besarnya kompensasi yang dapat diklaimnya atas kerugian yang
ditimbulkan akibat pemanfaatan Danau Maninjau.
3. Sebagai sumber informasi untuk menentukan besarnya kewajiban atau
kompensasi yang seharusnya dibayarkan kepada masyarakat yang
menderita kerugian sebagai akibat operasionalnya.
4. Sebagai sumber informasi untuk pengembangan ilmu pengelolaan
SDAL pada masa mendatang, khususnya dalam pengembangan
pemanfaatan SDAL danau secara berkelanjutan.
1.7. Novelty
Secara garis besar, penelitian-penelitian yang telah dilakukan dalam
upaya mengkaji lebih dalam tentang eksistensi sumberdaya air sebagai input
produksi pertanian dan untuk kebutuhan domestik dapat diklasifikasikan atas 3
aspek, yaitu (1) aspek ekonomi, (2) aspek sosial kelembagaan, dan (3) aspek
teknis.
Pada umumnya penelitian lebih banyak dititik beratkan pada eksistensi
sistem irigasi dan pengaruhnya terhadap kesejahteraan masyarakat petani,
sedangkan penelitian yang dititik beratkan pada penentuan nilai ekonomi air
serta pendugaan kurva permintaannya masih relatif sedikit
32
Penelitian-penelitian yang dilakukan di Danau Maninjau selama ini
masih bersifat sporadik dan parsial. Kebaruan utama dalam penelitian ini
terdapat pada pemanfaatan Danau Maninjau dari berbagai aspek khususnya yang
berkaitan dengan ekonomi lingkungan.
Berikut ini akan dikemukakan beberapa penelitian yang terkait dengan
aspek ekonomis, sebagai berikut;
1) Wardin (1989) telah melakukan penelitian untuk mengetahui kemampuan
petani dalam membayar biaya operasional dan pemeliharaan irigasi di
Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan. Dari penelitian tersebut diperoleh
kesimpulan bahwa besarnya biaya irigasi untuk daerah irigasi sederhana
ternyata lebih mahal apabila dibandingkan dengan daerah irigasi teknis.
Penelitian tersebut pendekatan perhitungan investasi melalui amortisasi pada
berbagai tingkat suku bunga dan kemampuan petani untuk membayar iuran
irigasi yang tercermin dari kebutuhan hidup minimum dan adanya kelebihan
pendapatan dari usaha taninya, maka disimpulkan bahwa sebenarnya petani
mampu untuk membayar iuran irigasi. Dari pengujian efisiensi irigasi
disimpulkan bahwa pada daerah irigasi teknis variable yang mempunyai
pengaruh besar terhadap keuntungan adalah: upah tenaga kerja pria, ternak,
dan obat-obatan. Pada daerah irigasi sederhana, variable yang berpengaruh
adalah kesuburan lahan. Pada daerah irigasi teknis menunjukkan tingkat
efisiensi teknis yang lebih baik jika dibandingkan dengan daerah irigasi
sederhana.
2) Ismintarti (1992) dalam penelitiannya yang bertujuan untuk menduga faktor-
faktor yang mempengaruhi permintaan air rumah tangga, membuat kurva
permintaan air dan menduga nilai air sebagai salah satu manfaat hidrologi
Gunung Gede Pangrango khususnya dari sektor rumah tangga. Dari
penelitian yang dilakukan di Sub-DAS Cisokan Tengah-Hilir DAS Citarum,
Jawa Barat ditemukan bahwa ada tiga faktor yang mempengaruhi pemintaan
air untuk keperluan rumah tangga, yaitu biaya pengadaan air, tingkat
pendapatan dan jumlah anggota rumah tangga. Dengan anggapan perubah
bebas lainnya tetap (cateris paribus), maka hubungan antara jumlah air yang
dikonsumsi dengan biaya pengadaannya pada periode tertentu diestimetkan
33
sebagai ln Y = 8,647 – 0,550- ln X1. Kurya permintaan air yang dibatasi oleh
tingkat biaya minimum berdasarkan perhitungan biaya secara langsung dan
biaya maksimum berdasarkan hasil wawancara terhadap penawaran
kesediaan membayar untuk satu satuan air, maka nilai air dapat diduga
sebesar Rp 146,9 milyar dan surplus konsumen sebesar Rp 131,9 milyar.
Berarti keberadaan Gunung Gede Pangrango dilihat dari fungsi hidrologi
khususnya dari segi produk air yang dikonsumsi masyarakat untuk keperluan
rumah tangga di Sub-DAS Cisokan Tengah-Hilir DAS Citarum, Jawa Barat
bernilai ekonomi sebesar Rp 146,9 milyar dan keuntungan yang dapat
dinikmati oleh masyarakat setempat adalah sebesar surplus konsumen yaitu
sebesar Rp 131,9 milyar. Sedangkan berdasarkan metode kontingensi nilai
air sebagai manfaat hidrologi adalah sebesar kesediaan masyarakat untuk
membayar terhadap sejumlah air yang dikonsumsi yaitu Rp 1,11 triliyun dan
sebesar kesediaan masyarakat untuk menerima kompensasinya sebesar Rp
1,16 triliyun.
3) Darusman (1991), dalam penelitiannya telah mengkaji nilai ekonomi air
untuk keperluan pertanian dan rumah tangga di daerah Taman Nasional
Gunung Gede Pangrango. Dengan menggunakan pendekatan willingness to
pay dirumuskan kurva permintaan untuk aktivitas pertanian dan rumah
tangga. Dari hasil analisis regresi dengan menggunakan model logaritma
linear diperoleh hasil bahwa permintaan air untuk rumah tangga sangat nyata
dipengaruhi oleh faktor-faktor; (a) biaya pengadaan air, (b) tingkat
pendapatan keluarga, dan (c) jumlah anggota keluarga. Untuk aktivitas
pertanian, permintaan air sangat nyata dipengaruhi oleh faktor-faktor (a)
biaya pengadaan air, (b) luas lahan pertanian, dan (c) jenis usaha tani. Dari
studi tersebut dihasilkan kurya permintaan untuk kedua aktivitas yang dikaji,
sehingga dapat diperkirakan (manfaat) air dan juga besarnya surplus
konsumen yang terjadi. Perkiraan nilai manfaat ekonomi air dari Taman
Nasional Gunung Gede Pangrango untuk keperluan rumah tangga sebesar Rp
4,181 milyar dan pertanian sebesar Rp 4,248 milyar.
4) Idris (2002) dalam penelitiannya telah mengkaji pemanfaatan sumberdaya
danau singkarak yang terdapat di Provinsi Sumatera Barat diperoleh Nilai
34
Ekonomi Total Rp 175,21 milyar pertahun terdiri dari nilai ekonomi
pemanfaatan perikanan Rp 7,59 milyar, nilai ekonomi pemanfaatan irigasi
Rp 0,78 milyar, nilai ekonomi pemanfaatan rekreasi Rp 4,18 milyar, nilai
ekonomi untuk pemanfaatan kebutuhan domestik Rp 7,72 milyar, dan nilai
ekonomi pemanfaatan listrik Rp 154,95 milyar.
5) Ismail (2007), dalam penelitiannya penilaian ekonomi dan kebijakan
pengelolaan lingkungan waduk dalam pembangunan studi kasus Waduk
Ir.H.Juanda Hasil penelitian dari pemanfaatan langsung sumberdaya waduk
diperoleh Nilai Ekonomi Total adalah Rp 160.197.824.439 dari nilai guna
langsung, nilai pemanfaatan tertinggi yaitu dari listrik yaitu Rp
72.131.819.815, disusul berturut-turut hasil dari pemanfaatan perikanan Rp
44.524.512.963, pemanfaatan untuk irigasi Rp 27.427.796.000, pemanfaatan
untuk transportasi air Rp 3.081.045.600, pemanfaatan untuk industri Rp
1.477.723.900, pemanfaatan untuk rekreasi Rp 652.912.510, nilai terkecil
adalah pemanfaatan air baku bernilai negatif Rp 29.421.032.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Ekosistem Danau
Ekosistem merupakan suatu sistem ekologi yang terdiri atas komponen-
komponen yang saling berinteraksi sehingga membentuk suatu kesatuan. Nelson
(1973) menyatakan bahwa danau adalah tempat genangan air yang luas di
pedalaman, dimana terdapat aliran tersendiri dengan air berwarna jernih atau
keruh. Genangan air yang terdapat pada danau dapat bersumber dari mata air atau
aliran sungai. Jumlah air yang masuk pasti lebih besar dari air yang keluar.
Kandungan nutrien di perairan akan mempengaruhi produktivitas danau.
Produktivitas yang tinggi terjadi di perairan yang eutrofik, dimana perairan
tersebut banyak menerima nutrien dari kegiatan manusia. Dengan meningkatnya
kegiatan biologi dalam danau per unit waktu dan volume air tertentu, maka
produksi sampah organikpun akan meningkat dan akhirnya mengendap di dasar
danau sehingga dapat terjadi pendangkalan (Watt, 1974).
Di dalam ekosistem danau terdapat unsur abiotic, primary producer,
consumers and decomposers yang membentuk suatu hubungan timbal balik dan
saling mempengaruhi. Semua organisme yang ada di danau akan menggunakan air
sebagai alat transportasinya. Keadaan dan jumlah organisme danau ditentukan
oleh tiga hal yaitu asal mulanya terjadi danau, erosi, dan letak geografisnya
(Golterman, 1975).
Pada danau eutrofik umumnya memiliki perairan yang dangkal. Tumbuhan
litoral melimpah, kepadatan plankton besar, sering terjadi blooming alga dan
tingkat penetrasi cahaya umumnya rendah. Pada danau oligotrofik biasanya
memiliki perairan yang dalam, dengan hypolimnion lebih luas dari epilimnion.
Tumbuhan litoral jarang dan kepadatan plankton rendah, tetapi jumlah spesiesnya
tinggi. Konsentrasi nutriennya rendah dan blooming plankton jarang terjadi,
sehingga air danau memiliki penetrasi cahaya yang besar (Jorgensen, 1983).
Danau sebagai suatu ekosistem, secara fisik merupakan suatu tempat yang
luas yang mempunyai air yan tetap, jernih atau beragam dengan aliran tertentu
(Lincoln et al., 1984).
36
Berdasarkan proses terbentuknya, danau dapat dibagi atas dua, yaitu danau
alam dan danau buatan. Danau alam terbentuk sebagai akibat dari kegiatan
alamiah, seperti bencana alam, kegiatan vulkanik, dan kegiatan tektonik (Odum.
1993), sedangkan danau buatan terbentuk oleh kegiatan manusia dengan sengaja
untuk tujuan-tujuan tertentu dengan jalan membuat bendungan pada daerah
dataran rendah.
Menurut Ekspedisi Sunda yang dilakukan pada tahun 1928 - 1929, Danau
Maninjau dikategorikan sebagai danau vulkanis, yaitu bekas letusan gunung
berapi yang pada masa Kwarter dimana ditemukan jenis batu-batuan beku
vulkanis dan instrusi hampir seluruh daerah disekitar danau tersebut. Daerah
tebing dekat pintu Barat dan Timur danau dilalui oleh dua jalur geseran yang
menandakan daerah tersebut tidak stabil.
Danau Maninjau memiliki luas 9.737,50 ha dengan panjang maksimum
16,46 km, lebar maksimum 7,5 km. Sebagai suatu sumberdaya alam dan
lingkungan, Danau Maninjau memiliki arti yang penting bagi kehidupan manusia,
baik bagi masyarakat yang tinggal disekitar danau maupun bagi masyarakat yang
tinggal pada daerah aliran sungai tempat air danau keluar serta masyarakat lain
pada umumnya.
Bila tidak ada intervensi manusia, maka volume air danau relatif tetap
yang ditunjukkan oleh tingkat elevasinya. Sumber air danau dapat berasal dari
sungai, air rembesan (air tanah), dan air hujan. Sebaliknya kehilangan air danau
dapat melalui saluran pengeluaran (oulflow), sungai, rembesan, serta evaporasi
(Payne, 1986). Danau selalu menerima masukan air dari daerah sekitarnya (DAS),
dengan demikian danau cenderung menerima bahan-bahan terlarut yang terangkut
bersamaan dengan air yang masuk. Menurut Payne (1986) konsentrasi ionik
perairan danau merupakan resultante ionik dari air yang masuk. Kualitas air danau
sangat tergantung pada pengelolaan daerah aliran sungai yang mengalir ke danau
tersebut.
2.2. Penelitian Sumberdaya Air
Penelitian-penelitian yang telah dilakukan dalam upaya mengkaji lebih
dalam tentang eksistensi sumberdaya air sebagai input produksi pertanian dan
37
untuk kebutuhan domestik dapat diklasifikasikan atas 3 aspek, yaitu (1) aspek
ekonomi,(2) aspek sosial kelembagaan, dan (3) aspek teknis. Umumnya penelitian
lebih banyak dititik beratkan pada eksisten sistem irigasi dan pengaruhnya
terhadap kesejahteraan masyarakat petani, sedangkan penelitian yang menitik
beratkan pada penelitian nilai ekonomi air serta pendugaan kurva permintaannya
masih relatif sedikit.
2.3. Konflik Pengelolaan Sumberdaya Alam
Persyaratan terjadinya interaksi sosial adalah kontak sosial dan adanya
komunikasi. Proses interaksi yang pokok adalah proses asosiatif dan proses dis-
asosiatif. Bentuk proses asosiatif adalah kerjasama dan akomodasi, sedangkan
proses dis-asosiatif adalah persaingan, kontroversi dan pertentangan atau konflik
(Sukanto, 1990).
Fisher (2001), mendefinisikan konflik sebagai hubungan antara dua pihak
atau lebih yang memiliki atau yang merasa memiliki sasaran-sasaran yang satu
sama lain tidak sejalan. Konflik adalah pertentangan antara banyak kepentingan,
nilai, tindakan atau arah serta merupakan bagian yang menyatu sejak kehidupan
ada. Oleh karena itu, konflik adalah sesuatu yang tak terelakkan yang dapat
bersifat positif /negatif.
Dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan, konflik dapat
diartikan sebagai sengketa lingkungan. Untuk menyelesaikan konflik tersebut
dapat ditempuh melalui pengadilan atau diluar pengadilan berdasarkan pilihan
sukarela dari pihak-pihak yang berkonflik. Penyelesaian konflik diluar pengadilan
dilakukan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk tindakan penyelesaian
guna menjamin tidak terjadi atau terulangnya dampak negatif terhadap lingkungan
hidup.
2.4. Analisis Kebijakan Publik
Analisis kebijakan adalah aktivitas untuk menciptakan pengetahuan
tentang dalam proses pembuatan kebijakan (Lasswell, 1971, di dalam Dunn,
1994). Tujuan kebijakan publik adalah menyelesaikan berbagai masalah publik
yang mencakup dan berdampak kepada kehidupan publik. Kebijakan publik
38
merupakan agenda kebijakan yang dirumuskan oleh pemerintah yang merupakan
tanggapan terhadap lingkungan atau masalah publik. Dalam menyelesaikan
masalah publik yang terpenting adalah hubungan yang normative antara pejabat
publik dengan masyarakat yang dipimpinnya. Seorang pejabat publik harus
memahami kebutuhan masyarakat yang dipimpinnya.
Thoha (1986: 56-57) memberikan dua aspek pokok Public Policy, yaitu:
(1) Policy merupakan praktika sosial, bukan event yang tunggal atau terisolir.
Dengan demikian sesuatu yang dihasilkan pemerintah berasal dari segala kejadian
dalam masyarakat dan digunakan pula untuk kepentingan masyarakat; (2) Policy
adalah suatu peristiwa yang ditimbulkan oleh baik untuk mendamaikan “claim”
dari pihak-pihak yang konflik atau untuk menciptakan “incentive” bagi tindakan
bersama.
Dye (1992) memberikan definisi Public Policy is whatever government
choose to do or not to do. Kebijakan pemerintah untuk melakukan sesuatu atau
tidak melakukan sesuatu. Islamy (1992), menyatakan sesuatu yang tidak
dilaksanakan oleh pemerintah pun termasuk kebijakan publik. Hal ini disebabkan
karena “sesuatu yang tidak dilakukan oleh pemerintah akan mempunyai pengaruh
(dampak) yang sama besarnya dengan sesuatu yang dilakukan pemerintah. Udoji
(dalam Wahab:1991) mendefinisikan Kebijakan Publik sebagai suatu tindakan
bersanksi yang mengarah pada suatu tujuan tertentu yang dipusatkan pada suatu
masalah atau sekelompok masalah tertentu yang saling berkaitan dan
mempengaruhi sebagian besar warga masyarakat. Dari pendapat para pakar di atas
dapat disimpulkan kebijakan publik adalah berbagai tindakan untuk memecahkan
masalah yang dihadapi oleh masyarakat.
Menurut Parker (dalam Santoso, 1998:4), Kebijakan Publik adalah suatu
tujuan tertentu atau serangkaian tindakan yang dilakukan oleh suatu pemerintah
pada periode tertentu dalam hubungannya dengan suatu subjek atau tanggapan
pada suatu krisis. Menurut William Dunn (1981:70) kebijakan publik adalah
serangkaian pilihan yang kurang lebih berhubungan (termasuk keputusan untuk
tidak berbuat) yang dibuat oleh badan badan atau kantor-kantor pemerintah,
diformulasikan dalam bidang-bidang issue yaitu arah tindakan actual atau
39
potensial dari pemerintah yang didalamnya terkandung konflik diantara kelompok
masyarakat.
Masalah kebijakan publik tidak hanya masalah organisasi publik semata,
tetapi merupakan masalah kehidupan masyarakat secara menyeluruh, oleh karena
itu untuk memecahkan masalah publik tersebut diperlukan berbagai disiplin ilmu.
Dengan demikian dalam memecahkan masalah publik seorang analis tidak bekerja
sendirian tetapi dibantu oleh tim yang terdiri dari berbagai disiplin ilmu.
Dalam membuat analisis kebijakan publik, seorang analis akan melalui
tahap-tahap kerangka pemikiran sebagaimana yang dikemukakan oleh Dunn
(2000), yaitu:
a. Merumuskan masalah-masalah kebijakan, yaitu kebutuhan, nilai-nilai, atau
kesempatan-kesempatan yang tidak terealisir tetapi yang dapat dicapai
melalui tindakan publik.
b. Meramal masa depan kebijakan. Peramalan (forecasting) adalah suatu
prosedur untuk membuat informasi faktual tentang situasi sosial masa depan
atas dasar informasi yang telah ada tentang masalah kebijakan.
c. Rekomendasi aksi-aksi kebijakan. Prosedur analisis-kebijakan dari
rekomendasi memungkinkan analis menghasilkan informasi tentang
kemungkinan serangkaian aksi dimasa mendatang untuk menghasilkan
konsekuensi yang berharga bagi individu, kelompok, atau masyarakat
seluruhnya. Didalamnya terkandung informasi mengenai aksi-aksi kebijakan,
konsekuensi di masa depan setelah melakukan alternatif tindakan, dan
selanjutnya ditentukan alternatif mana yang akan dipilih.
d. Pemantauan dalam analisis kebijakan, merupakan prosedur analisis kebijakan
yang digunakan untuk memberikan informasi tentang sebab dan akibat dari
kebijakan publik. Mengevaluasi Kinerja Kebijakan adalah prosedur analisis-
kebijakan yang digunakan untuk menghasilkan informasi mengenai nilai atau
manfaat dari serangkaian aksi di masa lalu dan atau masa depan.
40
Suatu kebijakan yang baik, menurut Dunn (1994) harus melalui tahap-
tahap kegiatan. Tahap-tahap kegiatan tersebut adalah sebagai berikut : 1) Agenda
Setting, 2) Policy Formulating, 3) Policy Adoption, 4) Policy Implementation, 5)
Policy Assessment. Dunn (1998), menggambarkan proses suatu kebijakan publik
dibuat, yaitu sebagai berikut (Gambar 2).
Sumber : Dunn (1998)
Gambar 2 Analisis Kebijakan yang Berorientasi pada Masalah
Gambar tersebut merupakan prosedur analisis kebijakan publik yang
harus dilalui oleh analis kebijakan, sebagai alat untuk menunjukkan keterkaitan
antara metode-metode dan teknik-teknik analisis kebijakan.
Dunn (2000) menyatakan untuk menentukan alternatif terpilih ada 3 hal
yang harus diperhatikan, yaitu : (1) Efektivitas, apakah alternatif kebijakan
tersebut efektif untuk memecahkan masalah kebijakan (2) Efisiensi, apakah
alternatif tersebut efisien untuk memecahkan masalah kebijakan (3) Adequacy,
apakah proporsi alternatif kebijakan tersebut cukup mampu mengatasi masalah
kebijakan.
2.5. Analisis Biaya Manfaat Dalam Kebijakan Publik
Metode analisis biaya manfaat diterapkan untuk menciptakan informasi
yang bersifat evaluatif dan normatif. Analisis biaya manfaat dapat menilai
kebijakan yang telah diambil atau dilaksanakan telah meningkatkan atau
Pemantauan
Evaluasi Peramalan
Rekomendasi
Kinerja Kebijakan
Masalah Kebijakan
Aksi Kebijakan
Hasil
Kebijakan
Masa
Depan
Kebijakan
Perumusanan
Masalah
Perum
usan Masal
ah
Perum
usan Masal
ah
Perumusa
41
menurunkan kesejahteraan masyarakat dan selanjutnya merekomendasikan
alternatif tindakan memperbaiki keadaan, bila yang terjadi adalah penurunan
tingkat kesejahteraan.
Banyak analisis biaya manfaat moderen diterapkan dalam Ekonomi
kesejahteraan yang secara khusus diarahkan pada cara investasi publik dapat
memberikan kontribusi untuk memaksimalkan pendapatan bersih sebagai ukuran
agregat kepuasan (kesejahteraan) dalam masyarakat.
Menurut Dunn (1994), pada saat diterapkan di sektor publik, maka analisis
biaya manfaat akan memiliki beberapa ciri khusus, yaitu;
1. Berusaha mengukur semua biaya dan manfaat bagi masyarakat yang
kemungkinan dihasilkan dari program publik, termasuk berbagai hal yang
tidak terlihat (bersifat intangible) dalam bentuk uang (moneter). Ukuran
untuk biaya dan manfat adalah nilai ekonomis dan bukan nilai finansial.
karena harga pasar tidak selalu sama dengan nilai ekonomis (Hufschmidt et
al., 1983).
2. Secara tradisional melambangkan rasionalitas ekonomi, karena kriteria
ditentukan dengan pengukuran efisiensi ekonomi secara global. Suatu
kebijakan dikatakan efisien bila manfaat bersih (total manfaat dikurangi total
biaya) lebih besar dari nol dan lebih tinggi dari manfaat bersih yang mungkin
dapat dihasilkan dari sejumlah alternatif investasi lainnya.
3. Masih menggunakan pasar swasta sebagai titik tolak didalam memberikan
rekomendasi, misalnya dalam menentukan biaya kemungkinan dari suatu
investasi selalu dihitung berdasarkan manfaat bersih apa yang mungkin dapat
diperoleh dengan menginvestasikannya di sektor swasta,
4. Analisis biaya manfaat kontemporer atau analisis biaya manfaat sosial. dapat
juga digunakan untuk mengukur pendistribusian kembali manfaat.
Dalam penggunaan analisis biaya manfaat untuk menganalisis suatu
kebijakan yang telah diambil pada masa lalu, sangat penting untuk
mempertimbangkan semua biaya dan manfaat yang timbul dalam masyarakat
baik yang memiliki kaitan secara langsung maupun tidak langsung dengan
kebijakan tersebut, baik internal maupun eksternal dan baik yang terukur secara
langsung maupun terukur secara tidak langsung.
42
Lebih lanjut Dunn (1994), mengemukakan bahwa metode analisis biaya
manfaat sebagai suatu metode dalam analisis kebijakan publik memiliki beberapa
keunggulan dan keterbatasan. Keunggulannya adalah meliputi: (1) biaya maupun
manfaat dinyatakan dalam satuan ukuran yang sama (uang); (2) memungkinkan
untuk melihat manfaat dan biaya pada masyarakat secara keseluruhan, dan ; (3)
memungkinkan analisis yang dapat membandingkan program secara luas dalam
lapangan yang berbeda.
Keterbatasan Analisa Biaya Manfaat meliputi : (1) tekanan yang terlalu
eksklusif pada efisiensi ekonomi yang dapat berarti bahwa kriteria keadilan
menjadi tidak berarti atau tidak dapat diterapkan. Dalam pelaksanaannya kriteria
Kaldor-Hick telah mengabaikan masalah-masalah redistribusi manfaat. Sementara
kriteria pareto jarang memecahkan konflik antara efisiensi dan keadilan; (2) nilai
uang tidak cukup untuk mengukur daya tanggap, karena adanya variasi
pendapatan masyarakat; (3) ketika harga pasar tidak ada bagi suatu barang yang
penting, analisis sering memaksa diri untuk membuat harga bayangan berdasarkan
pendekatan kesediaan membayar atau WTP yang bersifat subjektif.
Semua manfaat dan biaya yang timbul dari suatu kebijakan harus
diperhitungkan secara lengkap, namun dalam penerapannya sulit untuk dilakukan,
besar kemungkinan akan terabaikan. Untuk mengurangi kesalahan tersebut
dilakukan klasifikasi biaya dan manfaat atas: internalitas terhadap ekstemalitas;
nyata terhadap tidak nyata; primer terhadap sekunder,efisien bersih terhadap
efisiensi semu.
Dalam analisis kebijakan restrospektif pemanfaatan Danau Maninjau, tipe
ABM yang akan diperbandingkan adalah yang bersifat eksternalitas, karena yang
bersifat internalitas telah diperhitungkan secara lengkap pada saat analisis
prospektif. Manfaat dan biaya eksternalitas yang akan diperbandingkan adalah
mencakup semua jenis biaya baik yang dapat terukur secara langsung maupun
tidak langsung dengan cara penaksiran atas dasar dasar harga pasar yang tidak
berhubungan langsung dengan sasaran pokok program (sekunder). Hasil
perbandingan manfaat dan biaya menimbulkan kenaikan dalam agregat
43
pendapatan atau hanya akan menghasilkan pergeseran pendapatan diantara
berbagai kelompok dalam masyarakat
Menurut Dunn (1994), ada empat cara untuk menilai seberapa jauh suatu
kebijakan dapat memaksimalkan kesejahteraan sosial, yaitu:
1. Memaksimalkan kesejahteraan individu secara simultan,yangmenuntut agar
peringkat preferensi transitif tunggal dikonstruksikan berdasarkan nilai semua
Individu. Berdasarkan Dalil Kemustahilan Arrow, hal ini tidak mungkin
untuk dicapai.
2. Melindungi kesejahteraan Minimum, didasarkan pada kriteria Pareto yang
menyatakan suatu keadaan sosial dikatakan lebih baik dari yang lainnya jika
paling tidak ada satu orang yang diuntungkan dan tidak ada satu orangpun
yang dirugikan. Pareta optimum adalah suatu keadaan sosial di mana tidak
mungkin membuat satu orang diuntungkan (better off) tanpa membuat yang
lain dirugikan (worse off).
3. Memaksimalkan kesejahteraan bersih, didasarkan pada kritetia Kaldor-Hicks
yang menyatakan bahwa suatu keadaan sosial lebih baik dari yang lainnya
jika terdapat perolehan bersih dalam efisiensi (manfaat total dikurangi biaya
total) dan jika mereka yang memperoleh manfaat dapat mengganti mereka
yang kehilangan.
4. Memaksimalkan kesejahteraan redistributif, berusaha memaksimalkan
manfaat redistributif untuk kelompok-kelompok yang terpilih, seperti secara
rasial tertekan, miskin atau sakit.
2.6. Status Kepemilikan Sumberdaya Air
Sebagai suatu sumberdaya milik bersama, Danau Maninjau dapat
dimanfaatkan secara bebas oleh siapa saja atau bersifat bebas (common good). Air
bisa diperoleh tanpa membayar sehingga mengarah pada sumberdaya milik
bersama (common property resource) yang pemanfaatannya berdasarkan prinsip
(first come first served). Karena bersifat terbuka dan menjadi milik umum, maka
sumberdaya danau mudah sekali mengalami perubahan dalam kuantitas dan
kualitasnya sebagai akibat dari ketidak jelasan hak-hak atas pengelolaan dan
pemanfaatannya.
44
Status kepemilikan sumberdaya akan menentukan apakah pengalokasian
sumberdaya tersebut efisien atau tidak. Menurut Tietenberg (1992), status
kepemilikan sumberdaya untuk dapat menghasilkan pengalokasian yang efisien
dalam mekanisme pasar harus memilki 4 ciri penting yaitu; (1) universality,
artinya suatu sumberdaya dimiliki secaraa pribadi dan hak-hak yang melekat dari
kepemilikan tersebut dapat diungkapkan secara lengkap dan jelas, (2) exclusivity,
artinya semua manfaat dan biaya yang timbul dari kepemilikan dan pemanfaatan
sumberdaya tersebut, baik secara langsung maupun tidak, hanya dimiliki oleh
pemilik sumberdaya tersebut, (3) transferability, artinya seluruh hak
kepemilikannya itu dapat dipindah tangankan dari satu pemilik ke pihak lain
melalui transaksi yang bebas, dan (4) enforceability, artinya hak kepemilikan
tersebut tidak dapat dirammpas atau diambil alih oleh pihak lain secara paksa. Jika
salah satu dari keempat faktor ini tidak terpenuhi, maka pengalokasian
sumberdaya tersebut akan menjadi tidak efisien.
Lebih lanjut Tietenberg (1994) menyatakan bahwa agar air permukaan
merata maka ada dua hal yang perlu diperhatikan, yaitu (a) keseimbangan antara
penggunaan-penggunaan yang saling bersaing, dan (b) variabilitas air yang
seimbang dari waktu ke waktu dan dapat memenuhi kebutuhan manusia akan
sumberday air. Sumberdaya air harus dialokasikan dengan baik sehingga manfaat
bersih marjinal (Marginal net benefit) adalah sama untuk semua penggunanya, di
mana manfaat bersih marjinal adalah jarak vertikal antara kurva permintaan
terhadap air dengan kurva biaya marjinal dari ekstraksi dan distribusi air dari unit
terakhir air yang dikonsmsi.
Dengan demikian wajar kalau pihak yang terlibat dalam pemanfaatan
sumberdaya milik bersama tidak memiliki kendali dan tanggung jawab yang jelas
terhadap kualitas sumberdaya tersebut. Sumberdaya ini tidak dikuasai oleh
individu atau agen ekonomi tertentu, sehingga terhadap sumberdaya ini tidak
dibatasi, yang pada gilirannya akan mendorong terjadinya pengeksploitasian yang
berlebihan yang dapat berdampak negatif terhadap kelanjutan lingkungan. Setiap
orang cenderung untuk mengeksploitasi tanpa memperhitungkan kepentingan
orang lain. Hal ini didasarkan pada suatu persepsi, bahwa orang lain yang punya
kesempatan untuk mengeksploitasi sumberdaya tersebut juga akan bertindak
45
demikian. Maka terjadilah tragedi massal atau the tragedy of the commons
(Hardin, 1977). Hardin mengilustrasikan dengan sebuah kasus pada padang
penggembalaan umum. Tiap peternak akan menggembalakan ternaknya dalam
jumlah yang sesuai dengan kemampuannya, tanpa mempertimbangkan
ketersediaan rumput bagi peternak lainnya sehingga timbul penggembalaan secara
berlebihan.
Bila dikaitkan dengan sumberdaya danau, maka hal tersebut dapat juga
terjadi dimana setiap nelayan akan menangkap ikan dengan berbagai cara dan
macam tanpa mempertimbangkan jumlah ketersediaan ikan dan kepentingan
nelayan lain, sehingga pada suatu saat akan terjadi kelangkaan dan bahkan
kepunahan terhadap berbagai jenis ikan tertentu. Kondisi semacam ini disebut
sebagai penangkapan ikan secara berlebihan atau overfishing.
Anwar (1999), mengemukakan bahwa sumberdaya air memiliki beberapa
karakteristik khusus, yaitu (a) mobilitas air, di mana air bersifat cair mudah
mengalir, menguap dan meresap di berbagai media, sehingga sulit untuk
melaksanakan penegasan hak atas sumberdaya tersebut secara eksklusif agar dapat
dipertukarkan dalam sistem ekonomi pasar; (b) sifat skala ekonomi yang melekat,
di mana dalam penyimpanan, penyampaian dan distribusi air terjadi skala
ekonomi yang melekat pada komoditas air,sehingga menyebabkan penawaran air
bersifat monopoli alami (natural monopoly ), (c) penawaran air berubah-ubah
menurut waktu, ruang dan kualitasnya, dimana dalam keadaan kekeringan dan
banjir sumberdaya air ini hanya dapat ditangani oleh pementah untuk kepentingan
umum; (d) kapasitas dan daya asimilasi dari badan air, di mana zat cair
mempunyai daya larut untuk mengasimilasikan berbagai zat padat (pencemar)
tertentu selama daya asimilasinya tidak terlampaui, sehingga mengarah kepada
komoditas yang bersifat umum di mana setiap orang menganggapnya sebagai
keranjang sampah, (e) penggunaannya bisa dilakukan secara beruntun (sequential
use), dimana ketika mengalir dari hulu ke hilir sampai ke laut, dan dengan
beruntunnya penggunaan selama perjalanan alirannya akan merubah kuantitas dan
kualitasnya,sehingga menimbulkan eksternalitas, (f) penggunaan yang
serbaguna,dimana dengan kegunaannya yang banyak tersebut maka pihak
individu (swasta) dapat memanfaatkannya dan sisanya menjadi barang umum
46
yang dapat menimbulkan eksternalitas, (g) berbobot besar dan memakai
tempat,ditambah dengan biaya tinggi untuk mewujudkan hak kepemilikannya,
menjadikan sumberdaya air bersifat akses terbuka (open access), (h) nilai kultural
yang melekat pada sumberdaya air,sebagian besar masyarakat masih mempunyai
nilai-nilai yang menganggap air sebagai barang bebas anugerah Tuhan yang tidak
patut dikomersialisasikan, sehingga menjadi kendala dalam alokasinya ke dalam
pasar.
Tietenberg (1992) mengemukakan bahwa pengalokasian sumberdaya air
dikatakan efisien apabila telah memperhatikan dua hal pokok yaitu (a)
keseimbangan antara penggunaan-penggunaan yang saling bersaing, dan (b)
variabilitas air yang seimbang dari waktu ke waktu dan dapat memenuhi
kebutuhan manusia akan sumberdaya air. Dalam pengalokasian sumberdaya air,
manfaat bersih marjinal adalah sama untuk semua penggunaan, dengan manfaat
bersih marjinal adalah jarak vertikal antara kurva permintaan terhadap air dengan
kurva biaya marjinal dari ekstraksi dan distribusi air dari unit terakhir yang
dikonsumsi. Jika manfaat bersih marjinal tidak merata, sering terjadi kenaikan
manfaat bersih dengan adanya transfer air dari pemanfaatan yang memberikan
manfaat bersih yang rendah ke penggunaa yang memberikan manfaat yang lebih
tinggi.
Cara pemanfaatan dan pengembangan suatu SDAL sangat ditentukan oleh
peraturan perundangan baik formal maupun non formal yang mengatur tentang
status kepemilikan dan hak pemanfaatannya. Undang-undang Dasar 1945 sebagai
dasar konstitusional Negara mengamanatkan bahwa bumi dan air serta kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya dipergunakan sebesar-besarnya untuk
kemakmuran rakyat. McKean (1992) mengelompokkan pemilikan sumberdaya
alam atas 6 bagian yaitu; (a) tanpa pemilik, (b) milik masyarakat tertentu, (c)
milik pemerintah yang tidak boleh dimasuki oleh orang sembarangan, (d) milik
pemerintah yang boleh dimasuki oleh khalayak umum, (e) milik swasta
perusahaan, (f) milik pribadi. Berdasarkan pembagian di atas maka pola pemilikan
dan penguasaan SDAL dapat dibagi atas 4 kelompok, yaitu;
(a) Tanpa pemilik adalah milik semua orang atau tidak jelas status
kepemilikannya. Tidak ada seorangpun yang berhak untuk memanfaatkannya
47
sumberdaya tersebut demi kepentingan pribadi atau kelompoknya serta tidak
bisa mempertahankannyaagar tidak digunakan orang lain.
(b) Milik masyarakat atau komunal adalah milik sekelompok masyarakat yang
telah melembagadengan norma-norma atau hukum adat yang mengatur
pemanfaatan SDAL dan dapat melarang pihak lain untuk mengeksploitasinya.
(c) Milik pemerintah adalah milik dibawah kewenangan pemerintah sesuai
dengan peraturan perundangan yang berlaku. Individu atau kelompok orang
dapat memanfaatkan SDAL tersebut atas izin, persetujuan, lisensi atau hak
pengelolaan dari pemerintah sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan.
(d) Milik pribadi/swasta adalah milik perorangan atau sekelompok orang secara
sah yang ditunjukkan oledh bukti-bukti kepemilikannya yang memiliki
kekuatan hukum.Pemilik dijamin secara hukum dan sosial untuk menguasai
dan memanfaatkannya dan dapat melarang pihak lain untuk
menggunakannya.
Undang-undang Dasar 1945 sebagai dasar konstitusional Negara Repoblik
Indonesia telah mengamanatkan bahwa bumi dan air serta kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran
rakyat. Kemakmuran rakyat tersebut haruslah dapat dimiliki oleh generasi masa
kini dan generasi masa datang secara berkelanjutan. Sumberdaya alam bukanlah
merupakan warisan yang kita terima begitu saja dari nenek moyang kita, akan
tetapi harus disadari bahwa sumberdaya alam tersebut merupakan titipan yang
harus dijaga dan dipelihara kelestariannya agar dapat dinikmati oleh anak cucu
kita pada masa depan.
Undang-undang Dasar 1945 maupun Undang-undang Nomor 23 tahun
1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup tidak merumuskan secara jelas
tentang status kepemilikan sumberdaya alam, melainkan hanya menggariskan
masalah hak pemanfaatannya.
Untuk masalah SDAL di Provinsi Sumatera Barat, sebenarnya di dalam
hukum adat (Hukum adat Minangkabau), telah ada ketentuan-ketentuan yang
mengatur masalah status kepemilikan dan hak pemanfaatan sumberdaya alam.
Dalam hukum adat minangkabau dikenal “ tanah ulayat” dengan hiraki; (a) hak
ulayat kaum, di bawah pengawasan mamak sebagai kepala waris; (b) hak ulayat
48
suku, yang berada di bawah pengawasan penghulu suku; (c) hak ulayat nagari, di
bawah pengawasan dewan penghulu nagari; (d) hak ulayat rajo, yang
penguasaannya di bawah majelis penghulu dari federasi nagari-nagari (Hakimy
1988). Ulayat mengandung arti bahwa masyarakat adat hanya boleh mengambil
hasil dan menikmati hasil dari tanah yang dikuasai, hanya boleh menguasai saja,
tapi tidak memiliki.
Hak yang paling tinggi atas tanah di minangkabau adalah “hak ulayat” dan
hak ulayat ini hanya bisa dimiliki bersama dan tidak boleh dimiliki perorangan.
Oleh sebab itu yang mempunyai hak ulayat adalah nagari, persekutuan dari nagari,
kampuang, suku dan kaum. Prinsip yang dianut dalam hukum pertanahan
mengenai hak ulayat, yaitu keterpisahan antara tanah dengan ulayat. Hak ulayat
dimiliki oleh masyarakat hukum adat, sedangkan anggota masyarakat, perorangan
atau badan usaha lainnya hanya boleh memetik hasilnya.
2.7. Pendekatan dalam Penilaian Ekonomi Sumberdaya Alam dan
Lingkungan
Pembangunan ekonomi yang ada di negara maju maupun negara
berkembang pada umumnya bertumpu pada sumberdaya alam dan produktivitas
sistem alami (lingkungan). Tujuan yang ingin dicapai dari pembangunan ekonomi
tersebut adalah untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat melaiui produksi
barang-barang dan jasa konvensional dengan memanfaatkan sumberdaya alam
sebagai konsekuensi dari pembangunan itu akan terjadi pertumbuhan ekonomi.
Pada sisi lain pertumbuhan ekonomi tersebut sering diikuti oleh tekanan yang
makin berat pada sistem alami (sumberdaya alam) dan dampak negatif pada
kualitas lingkungan (degradasi). Oleh sebab itu untuk meghindarai dampak
negatif yang tidak diinginkan itu, maka pembangunan ekonomi harus
dilaksanakan sedemikian rupa, sehingga dapat melestarikan produktivitas jangka
panjang sistem alami.
Dixon (1986), baik di negara maju maupun di negara berkembang kegiatan
pembangunan ekonomi masih belum diberikan perhatian yang cukup untuk
memelihara sistem alami dari kualitas lingkungan. Hal ini disebabkan oleh suatu
pandangan, bahwa antara pertumbuhan ekonomi dan kualitas lingkungan
merupakan alternatif-alternatif kerusakan dalam kualitas lingkungan merupakan
49
biaya yang harus dibayar dari adanya pertumbuhan ekonomi yang cepat. Dengan
kata lain terjadinya degradasi lingkungan adalah merupakan biaya yang harus
dibayar dengan adanya pertumbuhan ekonomi. Pandangan ini adalah pandangan
yang menyesatkan, sebab kalau pembangunan ekonomi dan kualitas lingkungan
diberikan perhatian yang seimbang, maka kondisi tersebut tidak akan terjadi.
Pada hakekamya kemunduran yang terjadi pada sistem alami dan kualitas
lingkungan adalah merupakan kehilangan kesempatan untuk memanfaatkannya
atau munculnya tambahan biaya memanfaatkannya. Hal inilah yang disebut oleh
Field (1997) sebagai konsep opportunity cost, yaitu biaya yang harus
diperhitungkan akibat hilangnya kesempatan untuk memanfaatkan suatu
sumberuaya tertentu atau munculnya tambahan untuk memanfaatkannya, karena
sumberdaya tersebut telah diputuskan untuk digunakan pada tujuan yang lain.
Untuk menentukan nilai moneter dari hilangnya kesempatan untuk memanfaatkan
suatu sumberdaya dan lingkungan atau timbulnya tambahan biaya untuk
memanfaatkannya, perlu dilakukan pendekatan yang hati-hati
Penilaian ini sangat penting artinya, karena akan menentukan apakah suatu
kebijakan lingkungan efektif atau tidak dan menjadi dasar yang penting untuk
mengembangkan pembangunan yang berwawasan lingkungan, disamping faktor-
faktor sosial, ekonomi, dan politik yang menyertainya (Yakin, 1997).
Menurut Munasinghe (1992), secara koseptual nilai ekonomi total (total
economic value) dari suatu sumberdaya terdiri atas; (1) nilai guna (use value), dan
(2) nilai bukan guna (non-use value). Nilai guna termasuk didalamnya nilaiguna
langsung (direct use value), nilai guna tak langsung (indirect use value), dan nilai
pilihan (option value), nilai guna potensial (potential use value) Sehingga secara
matematis nilai ekonomi total dapat ditulis dalam persamaan sebagai berikut:
NET = NG + NBG
NET = (NGL + NGTL + NP) + NBG
di mana:
NET =Nilai Ekonomi Total
NG = Nilai Guna
NBG = Nilai Bukan Guna
NGL = Nilai Guna Langsung
50
NGTL = Nilas Guna Tak Iangsung
NP =Nilai Pilihan
Secara skematis pengelompokan nilai ekonomi suatu sumberdaya bila
dikaitkan dengan tingkat tengabilitas penilaian individu dapat dibuat seperti
gambar berikut ini (Gambar 3).
Gambar 3 Pengelompokan atribut nilai ekonomi untuk penilaian lingkungan
(diadopsi dari Pearce 1994)
Nilai guna langsung ditentukan oleh kontribusi suatu asset lingkungan
membuat produksi dan konsumsi sekarang. Nilai guna tidak langsung adalah
keuntungan yang diperoleh secara mendasar dari fungsi jasa yang disediakan
lingkungan untuk mendukung produksi dan konsumsi sekarang. Selanjutnya nilai
pilihan secara mendasar adalah kelebihan yang mana konsumen bersedia untuk
membayar atas suatu asset yang tidak digunakan, untuk menghindari resiko dan
Nilai Pilihan Nilai
Keberadaan
Nilai Non
Guna Lain
Manfaat
fungsional
Nilai guna langsung
dan tak langsung
Masa Y.a.d
Nilai dari
keberadaan yang
dipertahankan
Hasil yang
dapat
dikumsumsi
secara
langsung
• Makanan
• Biomassa
• Rekreasi
• Kesehatan
• Fungsi Ekologi
• Flood Control
• Storm
Protection
• Keanekaragaman
Hayati
• Habitat
tekonservasi
• Habitat
• Spesies langka
Nilai Ekonomi Total
Nilai Guna Nilai Bukan Guna
Nilai Guna
Langsung
Nilai Guna Tak
Langsung
Peningkatan Tangibilitas nilai
51
ketidak bersediaanya pada masa yang akan datang. Akhirnya nilai eksistensi
adalah nilai yang diberikan oleh individu terhadap keberadaan barang lingkungan
tertentu yang didasarkan pada etika norma tertentu.
Selanjutnya Opschor (1989 di dalam Yakin, 1997) menambahkan satu
kelompok/kategori nilai yaitu nilai masa depan (Begues value), nilai masa depan
diberikan oleh seorang individu terhadap sumberdaya karena sumberdaya tersebut
dapat digunakan untuk generasi yang akan datang, misalnya spesies, alam dan
sebagainya.
Teknik Penilaian
Konsep dasar dari hakekat penilaian ekonomi dari semua teknik yang ada
bertumpu pada kesediaan membayar atau WTP dari individu untuk suatu jasa
liungkungan atau sumberdaya alam. Kesediaan untuk membayar itu sendiri
didasarkan pada daerah yang berada di bawah kurva permintaan seperti
diilustrasikan pada gambar berikut ini (Gambar 4).
Nilai D
A
p E B C
D(S1)
F G D(So)
0 X0 X1
Gambar 4 Peningkatan manfaat dengan perbaikan kualitas asset
lingkungan
Gambar 4 memperlihatkan bahwa kurva D (So) mengindikasikan
permintaan untuk suatu sumberdaya lingkungan (misalnya jumlah kunjungan
perbulan), Xo adalah tingkat permintaan original pada harga p (misalnya biaya
perjalanan termasuk nilai dari waktu yang dikeluarkan untuk perjalanan). Total
WTP atau nilai dari jasa yang disediakan oleh sumberdaya lingkungan diukur oleh
52
daerah OABF yang teriri dari dua komponen utama, yaitu daerah OEBF atau
(pXo), yang menggambarkan biaya total, dan dua yaitu daerah EBA yang disebut
sebagai daerah surplus konsumen atau keuntungan bersih. Titik A menunjukan
harga batas pada permintaan 0 atau tidak ada.
Selanjutnya jika kualitas lingkungan diperbaiki,maka sebagai responnya
permintaan akan meningkat, dimana kurva D (So) akan berpindah ke D (S1),
tingkat permintaan yang baru adalah X1 (diasumsikan harga tetap P), maka total
WTP sama dengan daerah ODCG dan keuntungan bersih yang baru adalah
sebesar daerah EDC. Dengan demikian maka perbaikan kualitas lingkungan akan
menghasilkan suatu tambahan peningkatan nilai sumberdaya lingkungan sebesar
daerah ABCD.
Untuk melakukan penilaian terhadap SDAL sampai sekarang telah banyak
teknik yang berkembang dalam pemilihan teknik yang akan digunakan harus
disesuaikan dengan karakteristik sumberdaya dan sistem alam yang akan dinilai.
Menurut Hufschmidt, et al.(1983), secara garis besarnya penilaian manfaat
dari perubahan kualitas lingkungan dapat dibaigi atas tiga katagori, yaitu (1)
teknik yang langsung didasarkan pada nilai pasar atau produktivitas, (2) teknik
yang menggunakan nilai pasar barang substitusi atau pelengkap/komplementer,
dan (3) pendekatan yang menggunakan teknik survey.
Dalam menggunakan teknik penilaian ini, pertama-tama harus dilihat
apakah nilai pasar dari suatu sumberdaya tersedia atau tidak. Jika tersedia, maka
sebaiknya menggunakan nilai pasar tetapi jika tidak tersedia maka dapat
digunakan nilai pasar barang substitusi. Bila penggunaan nilai pasar substitusi
belum bisa dilakukan, maka baru digunakan teknik survey.
Berkaitan nilai pasar atau produktivitas lebih menitik beratkan pada nilai
ekonomi dampak kualitas lingkungan pada sistem alami atau sistem buatan
manusia. Dampak pada sistem ini dicerminkan oleh tingkat produktivitas sistem
(komponen fisik dan manusia) dan dalam produk yang berasal dari padanya dan
yang masuk dalam transaksi pasar. Sedangkan yang termasuk kedalam kategori
pasar pengganti adalah barang/jasa yang dipasarkan sebagai pengganti jasa
lingkungan, nilai milik, biaya perjalanan dan nilai pasar yang lain.
53
Teknik penilaian berdasarkan survai mempercayakan kepada survai
langsung kesediaan konsumen untuk membayar (WTP) untuk menentukan nilai
suatu sistem alami atas jasa lingkungan. Pendekatan ini mencari ukuran pilihan
konsumen dalam situasi hipotesis dan bukan berdasarkan pada perilaku konsumen
dalam situasi nyata. Yang termasuk dalam pendekatan ini adalah pendekatan
permainan penawaran,pendekatan permainan alih tukar, pendekatan pilihan tanpa
biaya, teknik penilaian prioritas dan teknik penilaian Delpi.
Selanjutnya Munasinghe (1992) telah menyusun matrik taksonomi dari
teknik penilaian SDAL berdasarkan perilaku yang aktual dan yang potensial
seperti Tabel 1
Tabel 1 Taksonomi Teknik Penilaian Yang Relevan (Diadopsi dari Manasinghe
1992)
Keterangan Pasar
Konvensional Pasar Implisit
Pasar Yang
Dibangun
Berdasarkan
Perilaku yang
aktual
Efek Produksi
Efek Kesehatan
Biaya Depensif
Biaya Preventif
Biaya Perjalanan
Perbedaan Upah
Nilai Kepemilikan
Barang Pasar
Pengganti
Pasar Artifisial
Berdasarkan
Perilaku
potensial
Biaya Pengganti
Proyek Bayangan
Penilaian Konti-
Ngensi
Lain-lain
Penjelasan:
• Teknik Efek Produksi adalah suatu teknik penilaian ekonomi terhadap jasa
lingkungan yang didasarkan pada perubahan yang terjadi pada produksi, baik
bersifat peningkatanmaupunpenurunan. Berdasarkan teknik ini nilai jasa
perbaikan lingkunan adalah sebesar tambahan produksi yang terjadi (dalam
unit) akibat adanya upaya perbaikan kualitas lingkungan dikali dengan harga
per unit atau sebesar nilai kerugian yang dapat dihindari dari upaya perbaikan
kualitas lingkungan tersebut. Harga per unit yang dimaksud disini adalah
harga pengganti (replacement cost), bukan harga jual, karena dalam harga jual
sudah termasuk keuntungan yang diharapkan.
54
• Teknik Efek Kesehatan adalah suatu teknik penilaian jasa lingkungan yang
dikaitkan dengan kondisi kesehatan masyarakat. Berdasarkan metode ini nilai
jasa lingkungan dihitung sebesar biaya berobat (biaya dokter, beli obat-obatan,
dll) yang dikeluarkan masyarakat untuk penyembuhan penyakit yang
ditimbulkan oleh penurunan kualitas lingkungan.
• Teknik Biaya Pertahanan adalah suatu teknik penilaian jasa lingkungan yang
dikaitkan dengan jumlah biaya dikeluarkan untuk mempertahankan kualitas
berada pada suatu tingkat tertentu.
• Teknik Biaya Pencegahan adalah suatu teknik penilaian jasa lingkungan
berdasarkan jumlah biaya yang dikeluarkan untuk mencegah terjadinya
degradasi lingkungan.
• Teknik Biaya Perjalanan adalah suatu teknik penilaian jasa lingkungan untuk
sumberdaya rekreasional. Penggunaan metode ini memanfaatkan informasi
tentang waktu dan pengeluaran moneter yang dilakukan oleh para pengunjung
suatu tempat rekreasi untuk mengadakan perjalanan ke dan dari tempat
rekreasi. Teknik ini adalah untuk memprediksi kurva permintaan untuk
pemakaian suatu tempat rekreasi baik yang menggunakan pungutan masuk
maupun tidak.
• Teknik Perbedaan Upah adalah suatu teknik penilaian jasa lingkungan yang
dikaitkan dengan kondisi lingkungan kerja. Upah yang tinggi akan diberikan
pada pekerja yang bekerja pada daerah yang kualitas lingkungan tempat (kota)
kerja yang kurang baik, sebagai perangsang agar orang mau bekerja di sana.
Teknik ini pertama kalli digunakan oleh Mayer dan Leone (1977) di dalan
Hufschmidt et al.,(1983) yang didasarkan pada suatu pandangan bahwa
perbedaan dalam upah berbagai kota ditafsirkan sebagai cerminan WTP
(dalam bentuk upah lebih rendah) untuk hidup dan bekerja di kota dengan
kondisi lingkungan dan kenikmatan lain yang lebih tinggi, atau Willingness to
accept (WTA) (dalam bentuk upah lebih tinggi) untuk hidup dan bekerja di
kota dengan kondisi lingkungan yang kurang baik.
• Teknik Nilai Milik adalah suatu teknik penilaian jasa lingkungan yang
didasarkan pada anggapan bahwa perubahan dalam kualitas lingkungan sekitar
akan mempengaruhi aliran manfaat milik pada waktu yang akan datang
55
(diasumsikan faktor-faktor yang lain tetap) atau harga jualnya akan mengalami
perubahan. Menurut Rosen (1970, di dalam Hufschmidt et al., 1983), harga
kenikmatan didefenisikan sebagai harga tersirat karakteristik suatu milik
(misalnya luas, lokasi, kualitas, dan karakteristik unit perumahan) dan
dipertanyakan pada para pelaku ekonomi dari harga berbagai milik yang
diamati dan jumlah tertentu karakteristik yang berhubungan dengan hak
tersebut.
• Teknik Barang Pasar Pengganti, adalah suatu teknik penilaian jasa
lingkungan yang didasarkan pada nilai atau harga barang untuk penyediaan
barang-barang sebagai pengganti jasa lingkungan atau sumberdaya alam.
• Teknik Pasar Artifisial, adalah suatu teknik penilaian jasa lingkungan dengan
jalan menciptakan pasar tiruan untuk menentukan WTP untuk suatu barang
atau jasa lingkungan.
• Teknik Biaya Pengganti, adalah suatu teknik yang dapat digunakan bila
manfaat sosial bersih pemanfaatan tertentu tak dapat diperkirakan secara
langsung. Berdasarkan metode ini, nilai barang atau jasa lingkungan dihitung
sebesar biaya yang harus dikeluarkan untuk mengganti atau membuat barang
atau jasa lingkungan dapat memberikan manfaat yang setara dengan
sebelumnya.
• Teknik Proyek bayangan, adalah suatu teknik penilaian untuk mengukur nilai
lingkungan yang terkena dampak dari proyek asli dengan jalan membuat
sebuah proyek bayangan untuk mengganti aset lingkungan tersebut.
Pariwisata
Gilbert (1990), dalam Vanhove, (2005) meyebutkan bahwa pariwisata
adalah kegiatan wisata yang meliputi kegiatan perjalanan ketempat tujuan atau
komonitas yang terkenal dalam jangka waktu singkat dalam rangka mwujudkan
kepuasan konsumen untuk satuatau kombinasi kegiatan
Rekreasi
Menurut Soekadijo (2000) rekreasi adalah kegiatan menyenangkan yang
dimaksudkan untuk memulihkan kesegaran jasmani dan rohani manusia, kegiatan
tersebut bisa olahraga, membaca, mengerjakan hobi juga bisa dengan tamasya
singkat.
56
Permintaan Rekreasi
Permintaan rekreasi adalah banyaknya kesempatan rekreasi yang
diinginkan oleh masyarakat atau gambaran keseluruhan partisipasi masyarakat
dalam kegiatan rekreasi secara mum yang dapat diharapkan (Douglas 1970).
Permintaan dalam rekreasi dapat berupa benda bebas yang didapat tanpa
membelinya, tetapi menjadi daya tarik bagi wisatawan sebagai objek pariwisata,
misalnya pemandangan yang indah, cahaya matahari, danau, pantai.
Menurut Wahab (1992) permintaan rekreasi dapat dibagi dalam dua
bagian, yaitu: 1) Permintaan potensial, yaitu sejumlah orang yang memenuhi
unsur-unsur pokok suatu perjalanan dan karena itu mereka dalam kondisi yang
siap untuk berpergian. 2) Permintaan aktual, yaitu orang-orang yang secara nyata
berpergian ke suatu daerah tujuan wisata.
Hedonic Price Method
Metode HDM adalah melakukan estimasi nilai implisit karakteristik atau
atribut yang melekat pada suatu produk dan mengkaji hubungan antara
karakteristik yang dihasilkan dengan permintaan barang dan jasa (Fauzi,2004).
Misal permintaan rumah di tepi danau banyak ditentukan oleh karakteristik yang
dihasilkan dari danau tersebut. Metode biaya hedonik dapat digunakan untuk
estimasi manfaat ekonomi atau biaya ekonomi yang berhubungan dengan : 1)
kualitas lingkungan meliputi polusi udara, polusi air dan polusi suara. 2)
keindahan lingkungan seperti pemandangan yang indah/estetis atau kedekatan
dengan tempat rekreasi (King. M.D. dan Mazzota, 2000).
Metode HDM mempunyai asumsi-asumsi dasar sebagai berikut (Turner et
al., 1994): 1) harga yang diamati merupakan cermin kondisi keseimbangan pasar
yang sesungguhnya. 2) baik pihak penjual maupun pembeli mempunyai
pengetahuan yang sempurna mengenai komponen-komponen yang ada, baik
barang yang ada pasarnya maupun barang yang tidak ada pasarnya, serta
menganggap bahwa konsumen dalam hal ini adalah pengunjung akan bereaki
terhadap perubahan-perubahan yang berpengaruh pada tempat wisata tersebut. 3)
bahwa kesediaan membayar dari individu untuk suatu atribut tidak dipengaruhi
oleh atribut yang lain.
57
Kesulitan metode biaya hedonik adalah (1) pengukuran manfaat rekreasi
dilihat dari perubahan lingkungan selalu menimbulkan bias dari nilai sebenarnya,
(2) metode biaya hedonik hanya dapat diaplikasikan bila rumahtangga atau
responden yang tingal di tempat itu mengetahui biaya atau manfaat tanda-tanda
lingkungan dan mereka mampu membatasi lokasi tempat mereka untuk memilih
atau kombinasi sifat lingkungan yang mereka inginkan.
Contingent Valuation Method
Metode CVM merupakan sebuah metode dalam mengumpukan informasi
mengenai preferensi individu atau kesediaan membayar atau WTP dengan
pertanyaan secara langsung (Haab dan McConnel, 2002). Pendekatan ini disebut
contingent (tergantung) karena pada prakteknya informasi yang diperoleh sangat
tergantung pada hipotesis yang dibangun (Fauzi,2004) CVM pertama kali
diperkenalkan oleh Davis (1963) dalam penelitian mengenai perilaku perburuan di
Miami. Pendekatan ini populer pertengahan 1970-an ketika pemerintah Amerika
Serikat mengadopsi pendekatan ini untuk studi-studi sumberdaya alam.
Metode CVM sering digunakan untuk mengukur nilai pasif (nilai non
pemanfaatan) sumberdaya alam atau nilai keberadaan. CVM bertujuan untuk
mengetahui keinginan membayar atau WTP dan keinginan menerima
(Willingness to accept) terhadap kerusakan lingkungan (Fauzi, 2004).
Menurut Garrod dan Willis (1999), Metode Kontingensi (CVM) adalah
suatu metode yang digunakan untuk memperoleh tanggapan terhadap WTP
sesorang untuk kualitas lingkungan yang berdasarkan pada kondisi hypothetical
market. Metode ini menanyakan berapa kesediaan membayar mereka untuk
memperoleh suatu manfaat. CVM memiliki dua kelebihan, yaitu 1) pada kasus
tertentu metode ini merupakan satu-satunya teknik yang dapat mengukur suatu
manfaat, 2) Metode ini dapat diaplikasikan pada berbagai kebijakan lingkungan.
Pendekatan CVM lebih fleksibel dan dapat digunakan bila data biaya
perjalanan tidak dapat diperoleh. Namu CVM memiliki beberapa kelemahan .
Kelemahan yang utama adalah timbulnya bias (Fauzi, 2004). Bias ini terjadi jika
nilai yang overstate dan understate secara sistematis dari nilai yang sebenarnya.
Sumber bias terutama disebabkan oleh dua hal, yaitu :
58
1. Bias yang disebabkan oleh strategi yang keliru. Hal ini terjadi karena pada saat
dilakukan wawancara dan dalam kuisioner dinyatakan bahwa responden akan
dipungut fee untuk perbaikan lingkungan, sehingga akan timbul
kecenderungan pada responden untuk memberi nilai understate dari nilai fee
tersebut, dan sebaliknya.
2. Bias yang disebabkan oleh rancangan penelitian. Biasini bisa terjadi jika
informasi yang diberikan kepada responden mengandung hal-hal yang
kontroversial.
Tujuan dari CVM adalah untuk menghitung nilai atau penawaran
sumberdaya yang tidak dapat dipasarkan yang mendekati nilai sebenarnya, jika
pasar dari sumberdaya non-market tersebut benar-benar ada. Pasar hipotetik
sedapat mungkin mendekati kondisi pasar yang sebenarnya. Responden harus
mengenal dengan baik barang yang ditanyakan dalam kuesioner dan alat hipotesis
yang digunakan untuk pembayaran.
Asumsi dasar dari metode CVM adalah, bahwa individu-individu
memahami benar pilihan mereka dan bahwa mereka cukup familiar konsidi
lingkungan yang dinilai, dan bahwa apa yang dikatakan orang adalah sungguh-
sungguh apa yang akan mereka lakukan jika pasar untuk sumberdaya non-market
(lingkungan) benar-benar terjadi.
Tahapan-tahapan yang dilakukan dalam metode CVM ada enam (Hanley
dan Spash, 1993) :
1. Membuat pasar hipotesis
2. Memberikan tawaran
3. Mengestimasi nilai tengah WTP atau WTA
4. Estimasi kurva penawaran
5. Mengagregasi data
6. Evaluasi penggunaan CVM
Travel Cost Method (TCM)
Metode biaya perjalanan dapat dikatakan metode yang tertua untuk pengukuran
nilai ekonomi tidak langsung terhadap sumberdaya alam. Metode ini kebanyakan
digunakan untuk menganalisis permintaan terhadap rekreasi di alam terbuka.
59
Prinsip dari metode ini mengkaji biaya-biaya yang dikeluarkan setiap individu
untuk mendatangi tempat-tempat rekreasi tersebut.
Metode biaya perjalanan dapat digunakan unuk mengukur manfaat dan
biaya akibat (Fauzi, 2004) :
a. Perubahan biaya akses (tiket masuk) bagi suatu tempat rekreasi
b. Penambahan tempat rekreasi baru
c. Perubahan kualitas lingkungan tempat rekreasi
d. Penutupan tempat rekreasi yang ada
Tujuan dari TCM adalah ingin mengetahui nilai kegunaan (use value) dari
sumberdaya alam melalui pendekatan Proxy. Biaya yang dikeluarkan untuk
mengkonsumsi jasa dari sumberdaya alam digunakan sebagai Proxy untuk
menentukan harga dari sumberdaya alam (Fauzi, 2004). Waktu dan biaya
perjalanan yang dikeluarkan pengunjung merupakan harga untuk masuk ke tempat
rekreasi. Keinginan membayar seseorang dapat diduga berdasarakan jumlah
perjalanan yang disebabkan biaya perjalanan tiap pengunjung yang berbeda-beda,
analisis ini digunakan untuk menduga WTP seseorang berdasarkan jumlah
permintaan pada tiap harga yang berbeda.
Pendekatan biaya perjalanan berhubungan dengan tempat khusus dan
mengukur nilai dari tempat tertentu dan bukan dari rekreasi pada umumnya .
Pendekatan biaya perjaanan (TCM) adalah suatu cara menilai barang yang tidak
memiliki harga (Hufschimdt et al ., 1987). Asumsi mendasar yang digunakan
pada pendekatan TCM adalah bahwa utilitas dari setiap konsumen terhadap
aktivitas, misalnya bersifat dapat dipisahkan. Artinya, fungsi permintaan dari
kegiatan-kgiatan yang berlangsung di lokasi yang menjadi objek penelitian tidak
dipngaruhi oleh permintaan kegiatan rileks, seperti menonton televisi, dan belanja
(Fauzi, 2004).
Secara umum, terdapat dua teknik sederhana yang digunakan untuk
menentukan nilai ekonomi berdasarkan TCM (Fauzi, 2004), yaitu:
1. Pendekatan sederhana melalui zonasi, yaitu pendekatan yang relatif simpel
dan murah karena data yang diperlukan relatif lebih banyak menggunakan
data sekunder dan beberapa data sederhana dariresponden saat survey. Tempat
rekreasi dibagi dalam beberapa zona kunjungan dan diperlukan data jumlah
60
pengunjung per tahun untuk memperoleh data kunjungan per 1000 penduduk.
Dengan memperoleh data ini dan jarak, waktu perjalanan, serta biaya setiap
perjalanan per satuan jarak (km), maka diperoleh biaya perjalanan secara
keseluruhan dan kurva permintaan kunjungan ke tempat wisata.
2. Pendekatan indvidual TCM dengan menggunakan data sebagian besar dari
survey, metodologi pendekatan individual TCM secara prinsip sama dengan
sistem zonasi, namum pada pendekatan ini analisis lebih didasarkan pada data
primer yang diperoleh melalui survey dan teknik statistik yang relatif
kompleks. Kelebihan metode ini adalah hasil yang lebih akurat.
Kelebihan metode biaya perjalanan (TCM) menurut King dan Mazzotta
tahun 2000, adalah : 1) metode biaya perjalanan menggunakan teknik empiris
konvensional, yang digunakan oleh ahli ekonomi untuk mengukur nilai-nilai
ekonomi berdasarkan harga pasar, 2) metode biaya perjalanan mengacu pada
sikap dan tindakan yang nyata dan benar-benar pengunjung lakukan pada
situasi hipotetik, 3) metode ini mudah dilakukan, 4) survey di tempat akan
mendapatkan contoh yang benar, 5) hasil dari metode ini mudah untuk
dijelaskan.
Metode biaya perjalanan memeiliki beberapa kelemahan diantaranya :1)
Metode biaya perjalanan (TCM) dibangun berdasarkan asumsi bahwa setiap
individu hanya memiliki satu tujuan untuk mengunjungi tempat wisata yang
dituju, 2) Metode biaya perjalanan tidak membedakan individu yang memang
dating dari kalangan pelibur (holiday makers) dan mereka datang dari wilayah
setempat, 3) pengukuran nilai dari waktu
2.8. Kebijakan dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Adanya keterpaduan antara pembangunan ekonomi dan lingkumgan
adalah merupakan syarat mutlak untuk melaksanakan pengendalian masalah
lingkungan dan penilaian keberhasilan pembangunan secara efektif. Untuk
mencapai keterpaduan tersebut diperlukan berbagai aturan atau kebijakan-
kebijakan yarg memungkinkan dilakukan untuk pencegahan dan pengurangan
tindakan-tindakan pengrusakan lingkungan. Berbagai alternatif instrumen
kebijakan telah dikembangkan, dianalisa, dan dipraktekkan untuk menghadapi
masalah-masalah lingkungan tersebut.
61
Ada beberapa instrumen kebijakan yang dapat digunakan untuk
menangani masalah lingkungan, yaitu ( l ) pendekatan negosiasi langsung antara
pihak-pihak yang terlibat; (2) pendekatan perintah dan pengendalian; dan (3)
pendekatan mekanisme pasar.Tidak ada satu pendekatan yang dapat digunakan
untuk segala macam situasi, karena masing-masing pendekatan tersebut cocok
untuk suatu masalah dan tidak untuk yang lain(Tietenberg, 1992).
Pendekatan Negosiasi
Pendekatan negosiasi ini cocok digunakan bila pihak-pihak yang terlibat
relatif sedikit sehingga negosiasi bisa berlangsung dengan efisien. Untuk
menjelaskan bagaimana penggunaan pendekatan ini, Tietenberg (1992),
mengilustrasikan sebuah kasus di mana seseorang memutar kaset yang
menghasilkan suara musik stereo dengan keras sehingga mengganggu tetangganya
berupa polusi suara. Bagaimana hubungan antara harga suara perdecible dengan
kuantiatas suara per decible dilukiskan pada Gambar 5.
Harga Suara S’
D B
E
p C F
S D
G
0 q’ q Kualitas Suara (decible)
Gambar 5 :Alokasi Sumberdaya Milik Bersama
Gambar 5 memperlihatkan bahwa kurva DD’ adalah menggambarkan
permintaan tingkat suara oleh pemilik stereo, sedangkan kurva SS’
menggambarkan biaya marginal dari tingginya suara bagi tetangga. Bila pemilik
stereo tidak memperhitungkan kenyamanan tetangganya, maka dia pasti akan
memilih kuantitas suaranya sebesar q, yaitu tingkat suara yang hanya semata-mata
ditentukan oleh pemilik stereo sesuai dengan kenyamanannya, walaupun tingkat
suara yang efisien sebesar q’,yaitu tingkat keuntungan bersih yang maksimum.
Melalui negosiasi tingkat atau kuantitas suara yang efisien (q’) dapat
dicapai dengan jalan tetangga menawarkan pembayaran sebesar p untuk setiap
62
secible suara yang dikurangi. Pemilik stereo akan mau mengurangi volume
stereonya pada tingkat q’ dengan demikian pemilik stereo akan kehilangan
keuntungan sebesar q’Eq dan memperoleh keuntungan sebesar Efq. Dilain pihak
tetangga akan menjadi lebih baik dari sebelumnya, walau membayar sebesar Efq,
tetapi tidak lagi memikul biaya yang lebih besar yaitu seluas daerah Ebqq’.
Secara teori kelihatannya sangat mudah, tetapi dalam kenyataanya sulit
untuk diterapkan, karena terbentur dalam masalah hak kepemilikan (property
right), sehingga terjadi konflik kepentingan. Untuk mengatasi masalah ini salah
satu jalan yang dapat ditempuh adalah melalui proses pengadilan guna
menetapkan aturan hak kepemilikan (properti rules) ataupun aturan liabilitas atau
pertanggungjawaban. Pengaturan hak akan menentukan siapa yang memegang
hak, sedangkan pengaturan pertanggung jawaban akan menentukan siapa yang
bertanggungjawab terhadap perbuatan yang mengganggu orang.
Dalam kasus ini menurut teori Caos (Caos, 1960 di dalam Yakin, 1997)
dikatakan bahwa kegagalan pasar dalam mengalokasikan sumberdaya tidak akan
terjadi kalau semua hak-hak telah didefenisikan dengan jelas.Selanjutnya
dikatakan bahwa di dunia di mana informasi lengkap, biaya transaksi atau
negosiasi rendah, serta pelaksanaan kontrak yang ketat,distorsi akibat eksternalitas
bisa dipecahkan dengan pendefinisian yang jelas tentang hak-hak tersebut.
Dikatakan bahwa alokasi sumberdaya yang efisien bisa juga dicapai terlepas dari
alokasi hak-hak diantara pihak-pihak yang bermasalah. Pengadilan bisa
mengalokasikan hak pada pihak-pihak yang bermasalah dan suatu alokasi yang
efisien bisa dicapai.
Bila negosiasi tidak tercapai maka pengadilan dapat beralih ke
pemberlakuan aturan pertanggungjawaban liabilitas. Dengan aturan ini pihak yang
terkena dampak akibat tindakan pihak tertentu, berhak menerima kompensasi
kerusakan sebesar kerugian yang dideritanya. Dengan demikian pada kasus di
atas, tetangga mengalami gangguan sebesar area di bawah garis EB. Jika pemilik
stereo menaikkan volume sampai pada tingkat q, maka pemilik stereo harus
membayar sebesar daerah Ebq. Bila pemilik stereo tahu akan membayar sebesar
daerah tersebut, maka dia akan menurunkan volume stereonya pada titik efisien
q’.
63
Pendekatan Regulasi (Command and Control Approach)
Dalam pendekatan ini pemerintah mengeluarkan intruksi atau aturan yang
harus dilaksanakan untuk menghindari terjadinya kerusakan lingkungan atau
sumberdaya alam, kemudian melakukan pengendalian untuk memastikan apakah
ketentuan atau aturan-aturan yang telah ditetapkan dilaksanakan atau tidak. Jika
tidak maka pemerintah dapat memberikan sangsi hukum kepada setiap pelanggar.
Ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh pemerintah dapat dibentuk standar
tertentu yang tidak boleh dilanggar, artinya sesuatu yang dikeluarkan oleh pelaku
ekonomi tidak boleh melebihi suatu ukuran tertentu. Pemerintah juga dapat
melakukan pelarangan atau pembatasan dalam penggunaan bahan-bahan dan
peralatan-peralatan tertentu untuk menghindari terjadinya kerusakan lingkungan.
Pendekatan Mekanisme Pasar
Pada dekade ini pendekatan mekanisme pasar menjadi perhatian yang
serius baik oleh praktisi lingkungan maupun pengambil kebijakan. Hal ini
disebabkan karena pendekatan ini lebih murah biayanya, bila dibandingkan
dengan pendekatan lainnya, tetapi lebih efektif. Pendekatan ini menggunakan
instrumen ekonomi untuk mencapai efisiensi dalam alokasi SDAL. Ada beberapa
instrumen ekonomi yang dapat digunakan, yaitu (1) pajak, (2) subsidi, (3) denda,
(4) pembatasan penggunaan input, (5) pembatasan terhadap output, dan (6) izin
emisi yang bisa diperjualbelikan.
2.9. Teori Tentang Persepsi Masyarakat
Persepsi adalah merupakan suatu proses pengamatan individu yang berasal
dari komponen kognisi, yang dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti
pengalaman,pendidikan, umur, kebudayaan, agama/kepercayaan dan sebagainya.
Manusia mengamati sesuatu objek psikologik yang berupa peristiwa, ide atau
situasi tertentu dengan kacamata yang diwarnai oleh nilai kepribadiannya. Pada
tahap selanjutnya komponen konasi yang menentukan kesediaan/kesiapan
jawaban berupa tindakan terhadap objek. Atas dasar tindakan ini, maka situasi
semula kurang/tidak seimbang menjadi seimbang. Keseimbangan ini mengandung
64
arti bahwa antara objek yang dilihat sesuai dengan penghayatannya dimana unsur
nilai dan norma dirinya dapat menerima secara rasional dan emosional.
Menurut Krech (1975), persepsi atau pemaknaan individu terhadap suatu
objek kemudian akan membentuk struktur kognisi di dalam dirinya. Data yang
diperoleh terhadap suatu objek tertentu akan masuk ke dalam kognisi mengikuti -
prinsip organisasi kognitif yang sama dan proses ini tidak hanya berkaitan dengan
penglihatan tetapi juga melalui semua indera manusia.
Persepsi dapat diartikan sebagai tanggapan daya memahami sesuatu.
Asngari (1996), persepsi adalah interpretasi seseorang mengenai suatu objek yang
diinformasikan kepadanya.
2.10 Pemodelan Interpretasi Struktural
Salah satu teknik permodelan yang dikembangkan untuk
perencanaan kebijakan strategis adalah Teknik Permodelan Interpretasi Struktural
(Interpretative Structural Modelling – ISM). Menurut Eriyatno (2003) ISM
merupakan proses pengkajian kelompok yang berguna untuk memberikan
gambaran perihal yang kompleks dari suatu sistem dan melalui pola yang
dirancang secara saksama dengan menggunakan grafis dan kalimat akan
menghasilkan model-model struktural. Teknik ISM meskipun utamanya
ditujukan untuk pengkajian oleh sebuah kelompok, tetapi bisa juga
digunakan oleh seorang peneliti dengan melibatkan pakar multi disiplin.
Teknik ISM merupakan salah satu teknik permodelan sistem untuk
menangani kebiasaan yang sulit diubah dari perencana jangka panjang yang
sering menerapkan secara langsung teknik penelitian operasional dan atau
aplikasi statistik deskriptif.
Menurut Saxena et al., (1992), analisis sistematis dari suatu program
atau objek secara holistik sangat bermanfaat agar tujuan program dapat
diimplementasikan dengan efektif dan memberikan manfaat bagi masyarakat
karena memenuhi kebutuhannya saat ini maupun masa mendatang. ISM
merupakan interpretasi dari suatu program atau objek yang utuh dan
mentransformasikan model mental yang tidak terang dan lemah penjelasannya
65
menjadi model sistem yang terdefinisikan secara jelas hingga dapat dimanfaatkan
untuk perencanaan strategik dan formulasi kebijakan.
ISM merupakan salah satu metode permodelan berbasis komputer yang
dapat membantu kelompok untuk mengidentifikasi hubungan antara ide dan
struktur tetap pada isu yang kompleks. ISM dapat digunakan untuk
mengembangkan beberapa tipe struktur, termasuk struktur pengaruh, struktur
prioritas, ataupun kategori ide. ISM merupakan sebuah metode yang interaktif
dan diimplementasikan dalam sebuah wadah kelompok sehingga metode ini
memberikan lingkungan yang sangat sempurna untuk memperkaya dan
memperluas pandangan dalam konstruksi yang cukup kompleks. ISM
menganalisis elemen-elemen sistem dan memecahkannya dalam bentuk grafis
dari hubungan langsung antar elemen dan tingkat hierarki. Elemen-elemen
dapat merupakan tujuan kebijakan, target organisasi, maupun faktor-faktor
penilaian. Sedangkan hubungan langsung dapat dalam konteks yang beragam
(Marimin 2005). Menurut Kanungo and Bhatnagar (2002), Eriyatno (2003)
dan Marimin (2005), langkah-langkah permodelan dengan menggunakan ISM
mencakup:
1) Identifikasi elemen: Elemen sistem diidentifikasi dan didaftar. Identifikasi
elemen dapat diperoleh melalui penelitian, diskusi curah pendapat
maupun cara yang lainnya.
2) Hubungan kontekstual: Sebuah hubungan kontekstual antar elemen
dibangun berdasarkan pada tujuan dari permodelan.
3) Matriks interaksi tunggal terstruktur (Structural Self Interaction Matrix
– SSIM): Matriks ini mewakili elemen persepsi responden terhadap
hubungan elemen yang dituju.
Empat simbol yang digunakan untuk mewakili tipe hubungan yang terdapat
antar dua elemen dari sistem yang dikaji adalah:
• V ..... hubungan dari elemen Ei terhadap Ej, dan tidak sebaliknya
• A ..... hubungan dari elemen Ej terhadap Ei, dan tidak sebaliknya
• X ..... hubungan interrelasi antara Ei dan Ej, dan dapat sebaliknya
• O ..... menunjukkan bahwa Ei dan Ej tidak berkaitan
4) Matriks Reachability (Reachability Matrix – RM) : Sebuah RM yang
66
dipersiapkan kemudian mengubah simbol-simbol SSIM ke dalam sebuah
matriks biner. Konversi SSIM menjadi SM menggunakan aturan-aturan
berikut,
• Jika hubungan Ei terhadap Ej = V dalam SSIM maka elemen Eij = 1 dan
Eji = 0 dalam RM.
• Jika hubungan Ei terhadap Ej = A dalam SSIM maka elemen Eij = 0 dan
Eji = 1 dalam RM.
• Jika hubungan Ei terhadap Ej = X dalam SSIM maka elemen Eij = 1 dan
Eji = 1 dalam RM.
• Jika hubungan Ei terhadap Ej = O dalam SSIM maka elemen Eij = 0 dan
Eji = 0 dalam RM.
RM awal dimodifikasi untuk menunjukkan seluruh direct dan
indirect reachability, yaitu jika Eij = 1 dan Ejk = 1 maka Eik = 1.
5) Tingkat partisipasi dilakukan untuk mengklasifikasi elemen-elemen
dalam level-level yang berbeda dari struktur ISM. Untuk tujuan ini, dua
perangkat diasosiasikan dengan tiap elemen Ei dari sistem: Reachability set
(Ri) adalah sebuah set dari seluruh elemen yang dapat dicapai dari
elemen Ei, dan Antecedent Set (Ai) adalah sebuah set dari seluruh elemen
dimana elemen Ei dapat dicapai. Pada iterasi pertama seluruh elemen,
dimana Ri = Ri ∩ Ai adalah elemen-elemen level 1. Pada iterasi-iterasi
berikutnya elemen-elemen diidentifikasi seperti elemen-elemen level dalam
iterasi-iterasi sebelumnya dihilangkan, dan elemen-elemen baru diseleksi
untuk level-level berikutnya dengan menggunakan aturan yang sama.
Selanjutnya, seluruh elemen-elemen sistem dikelompokkan ke dalam level-
level yang berbeda.
6) Matriks Canonnical: Pengelompokan elemen-elemen dalam level yang
sama mengembangkan matriks ini. Matriks resultan memiliki sebagian
besar dari elemen-elemen triangular yang lebih tinggi adalah 0 dan terendah
1. Matriks ini selanjutnya digunakan untuk mempersiapkan digraph.
7) Digraph adalah konsep yang berasal dari Directional Graph, yaitu sebuah
grafik dari elemen-elemen yang saling berhubungan secara langsung dan
67
level hierarki. Digraph awal dipersiapkan dalam basis matriks canonical.
Graph awal tersebut selanjutnya dipotong dengan memindahkan semua
komponen yang transitif untuk membentuk digraph akhir.
8) Interpretive Structural Model: ISM dibangkitkan dengan memindahkan
seluruh jumlah elemen dengan deskripsi elemen aktual. Oleh sebab itu ISM
memberikan gambaran yang sangat jelas dari elemen-elemen sistem dan
alur hubungannya.
Eriyatno (2003) menyatakan bahwa metode dan teknik ISM
dibagi menjadi dua bagian, yaitu penyusunan hierarki dan klasifikasi sub
elemen. Prinsip dasarnya adalah identifikasi dari struktur di dalam suatu
sistem yang memberikan nilai manfaat yang tinggi guna meramu sistem
secara efektif dan untuk pengambilan keputusan yang lebih baik. Struktur dari
suatu sistem yang berjenjang diperlukan untuk lebih menjelaskan pemahaman
tentang perihal yang dikaji. Menentukan jenjang dapat dilakukan dengan
berbagai pendekatan, namun harus memenuhi kriteria: a) kekuatan pengikat
dalam dan antar kelompok atau tingkat, b) frekuensi relatif dari oksilasi
dimana tingkat yang lebih rendah lebih cepat terguncang dari yang diatas, c)
konteks dimana tingkat yang lebih tinggi beroperasi pada jangka waktu
yang lebih lambat daripada ruang yang lebih luas, d) liputan dimana tingkat
yang lebih tinggi mencakup tingkat yang lebih rendah, dan e) hubungan
fungsional, dimana tingkat yang lebih tinggi mempunyai peubah lambat
yang mempengaruhi peubah cepat tingkat dibawahnya. Teknik ISM dapat
memberikan basis analisis program dimana informasi yang dihasilkan sangat
berguna dalam formulasi kebijakan dan perencanaan strategis. Selanjutnya,
Saxena et al. (1992) menyatakan bahwa penggunaan ISM dalam analisis,
program dapat dibagi menjadi sembilan elemen utama:
1) Sektor masyarakat yang terpengaruh
2) Kebutuhan dari program
3) Kendala utama program
4) Perubahan yang diinginkan
5) Tujuan dari program
6) Tolok ukur untuk menilai setiap tujuan
68
7) Aktivitas yang dibutuhkan guna perencanaan tindakan
8) Ukuran aktivitas untuk mengevaluasi hasil yang dicapai setiap aktivitas
9) Lembaga yang terlibat dalam pelaksanaan program
Untuk setiap elemen dari program yang dikaji, selanjutnya dijabarkan
menjadi sejumlah sub-elemen. Kemudian ditetapkan hubungan kontekstual antara
sub-elemen yang mengandung adanya suatu pengarahan pada perbandingan
berpasangan. Hubungan kontekstual pada teknik ISM selalu dinyatakan dalam
terminologi sub-ordinat yang menuju pada perbandingan berpasangan antar sub-
elemen yang mengandung suatu arahan pada hubungan tersebut. Menurut
Eriyatno (2003) hubungan kontekstual dapat bersifat kualitatif atau kuantitatif.
Keterkaitan antar sub-elemen dapat meliputi berbagai jenis hubungan seperti
disajikan pada Tabel 2.
Berdasarkan hubungan kontekstual tersebut, maka disusun Structural
SelfInteraction Matrix dengan menggunakan simbol:
V jika eij = 1 dan eji = 0
A jika eij = 0 dan eji = 1
V jika eij = 1 dan eji = 1
V jika eij = 0 dan eji = 0
69
Tabel 2 Hubungan kontekstual antar sub-elemen pada teknik ISM
No Hubungan Interpetasi
1.
2.
3.
4.
5.
Pembandingan
(comparative)
Pernyataan
(definitive)
Pengaruh
(influence)
Keruangan
(spatial)
Kewaktuan
(temporal/time scale)
A lebih penting/besar/indah dari B
A 20% lebih berat dari B
A adalah atribut B
A termasuk di dalam B
A mengartikan B
A menyebabkan B
A adalah sebagian penyebab B
A mengembangkan B
A menggerakkan B
A meningkatkan B
A adalah
selatan/utara B A
diatas B
A sebelah kiri B
A mendahului B
A mengikuti B
Nilai eij = 1 berarti ada hubungan kontekstual antara elemen ke-i dan
elemen ke-j, sedangkan eij = 0 adalah tidak ada hubungan kontekstual antara
elemen ke-i dan elemen ke-j.Hasil penilaian ini kemudian dibuat dalam
Structural Self Interaction Matrix yang berbentuk tabel Reachability Matrix
(RM) dengan mengganti V, A, X, dan O menjadi bilangan 1 dan 0. Matriks
RM selanjutnya dikoreksi sampai menjadi matriks tertutup yang memenuhi
kaidah transitivitas.
Matriks RM yang telah memenuhi kaidah transitivitas kemudian
diolah untuk mendapatkan nilai Driver-Power (DP) dan nilai Dependence (D)
70
untuk menentukan klasifikasi sub elemen. Eriyatno (2003) menyebutkan bahwa
untuk mengetahui peran masing-masing sub elemen, sub elemen
dikelompokkan ke dalam 4 sektor:
Sektor 1: Weak driver-weak dependent variables (Autonomous), sub elemen
yang berada pada sektor ini umumnya tidak berkaitan dengan
sistem,mungkin mempunyai hubungan yang sedikit walaupun
hubungan tersebut bisa saja kuat.
Sektor 2 : Weak driver-strongly dependent variables (Dependent), sub elemen
yang berada pada sektor ini umumnya sub elemen yang tidak bebas
atau dipengaruhi oleh sub elemen lain.
Sektor 3 : Strong driver-strongly dependent variables (Linkage), sub elemen
yang berada pada sektor ini perlu dikaji secara hati-hati sebab
hubungan antar sub elemen tidak stabil. Setiap tindakan pada
sub elemen tersebut akan memberikan dampak terhadap peubah
lain dan umpan balik pengaruhnya bisa memperbesar dampak.
Sektor 4 : Strong driver-weak dependent variables (Independent), sub
elemenyang berada pada sektor ini umumnya merupakan sub
elemen bebas yang memiliki kekuatan penggerak yang besar
terhadap sub elemen lain dalam sistem.
III. METODE PENELITIAN
3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan selama 1 (satu) tahun di Danau Maninjau Kabupaten
Agam Provinsi Sumatera Barat yang meliputi survei pemanfaatan danau untuk
perikanan, pemanfaatan irigasi, rekreasi dan domestik serta pemanfaatan PLTA.
Untuk lebih jelasnya berikut ini adalah peta lokasi penelitian. (Gambar 6)
3.2. Teknik Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data dilakukan dengan berbagai cara, yaitu:
a) Wawancara. Wawancara dilakukan terhadap sumber informasi dengan
menggunakan pedoman wawancara yang bersifat terbuka.
b) Kuesioner, yaitu memberikan pertanyaan tertutup terhadap responden.
c) Dokumentasi. Penggunaan teknik dokumentasi ditujukan untuk
memperoleh data yang berasal dari arsip laporan, dan dokumen tertulis
lainnya seperti literatur-literatur yang berkaitan dengan topik penelitian.
3.3. Teknik Pengolahan dan Analisis Data
Data yang diperoleh dikelompokkan menjadi dua jenis, yakni data primer
dan sekunder. Data primer diperoleh dengan menggunakan wawancara,
kuesioner dan observasi, sedangkan data sekunder dikumpulkan dengan
penelusuran dokumen atau instansi yang berkaitan dengan topik penelitian.
Setelah data diperoleh dilakukan analisis terhadap data tersebut melalui 3
jalur kegiatan secara bersamaan, yakni reduksi data, penyajian data, dan
penarikan kesimpulan (Miles & Huberman, 1992:16). Reduksi data adalah
proses pemilihan, penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data “kasar”
yang muncul dari catatan tertulis di lapangan. Penyajian data merupakan
kegiatan analisis data berupa penyusunan/penggabungan sekumpulan informasi
yang memberikan kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan
tindakan. Sedangkan penarikan kesimpulan adalah tahapan dalam analisis data
untuk menguji kebenaran atau validitas data .
72
Gambar 6 Peta lokasi penelitian
73
3.3.1. Perhitungan Nilai Ekonomi Total SDAL Danau Maninjau
Untuk menentukan nilai ekonomi total Danau Maninjau sebagai suatu
SDAL, dilakukan identifikasi pemanfaatannya. Dari studi pendahuluan telah
diidentifikasi bahwa pemanfaatan Danau Maninjau adalah meliputi Nilai Guna
Langsung (NGL), Nilai Guna Tidak Langsung (NGTL), Nilai Pilihan (NP), dan
Nilai Bukan Guna (NBG). Nilai Guna Langsung dihitung berdasarkan nilai
pasar. Nilai Guna Tidak Langsung, Nilai Pilihan dan Nilai Bukan Guna dihitung
berdasarkan kesediaan masyarakat untuk membayar (Willingness to Pat = WTP)
Atas dasar pemanfaatan di atas, maka Nilai Guna Langsung (NGL)
Danau Maninjau diformulasikan sebagai berikut :
3.3.1.1. Nilai Guna Langsung (NGL)........................................... (1)
NGL = NEP + NEI + NER + NED + NEL
Dimana :
NGL = Nilai Guna Langsung
NEP = Nilai Ekonomi Perikanan
NEI =Nilai Ekonomi Irigasi
NER = Nilai Ekonomi Rekreasi
NED = Nilai Ekonomi Domestik
NEL = Nilai Ekonomi Listrik
3.3.1.1.1. Nilai Ekonomi Perikanan
Untuk menentukan nilai ekonomi perikanan, dikumpulkan data primer
dari masyarakat sebagai pembudidaya dan nelayan penangkap ikan. Pemanfaatan
untuk perikanan terdiri dari dua bentuk yaitu budidaya Keramba Jala Apung
(KJA) dan ikan yang tumbuh secara alami (non-budidaya). Ikan yang tumbuh
secara alami ini ditangkap dan dipancing oleh nelayan dengan persyaratan yang
telah ditetapkan. Penentuan sampel untuk Petani Keramba Jala Apung dan
nelayan tangkap dilakukan metode simple random sampling yakni berdasarkan
usaha yang mereka jalankan. Sealanjutnya dilakukan wawancara terhadap
responden yang terpilih, yang tersebar di sekitar danau.
Nilai ekonomi perikanan adalah merupakan kumulatif dari seluruh
74
manfaat yang dapat didefinisikan dari sumberdaya perikanan. Perhitungan nilai
ekonomi dengan menggunakan Analisis Manfaat Biaya (Gittinger, 1986) dimana
Manfaat bersih adalah berupa keuntungan dirumuskan sebagai berikut :
Keuntungan = Penerimaan - Biaya
Dengan demikian nilai ekonomi perikanan total dapat dihitung dengan
formulasi:
NEP = NEKJA + NENT .................................................(2)
NEP = NEKJA + NENT + NENP
NEP = (MBKJA x PKJA) + (MBNT x PNT) + (MBNP x PNT)
Dimana:
NEP = Nilai Ekonomi Perikanan
MBKJA=Manfaat bersih berupa keuntungan rata-rata petani per kg ikan
(Rp/kg)
PKJA= Produksi ikan dari KJA selama setahun (kg)
MBNT = Manfaat bersih berupa keuntungan rata-rata nelayan tangkap per
kg ikan (Rp/kg)
PNT = Hasil tangkapan ikan selama setahun (kg)
MBNP = Manfaat bersih berupa keuntungan rata-rata pemancing per kg
ikan(Rp/kg)
PNP = Hasil tangkapan memancing ikan selama setahun (kg)
3.3.1.1.2. Nilai Ekonomi Pemanfaatan Irigasi
Dalam menentukan nilai ekonomi pemanfaatan irigasi diperlukan data
primer dan data sekunder. Data primer adalah berkaitan dengan semua biaya atau
pengorbanan untuk mendapatkan air guna mengairi sawah mulai dari pengolahan
awal sampai panen. Data primer dikumpulkan dari para petani di Daerah Aliran
Sungai (DAS) Antokan yang memanfaatkan air sungai Antokan sebagai
sumberdaya untuk irigasi pertanian. Data sekunder yang dibutuhkan adalah luas
areal sawah yang dapat diairi oleh Sub-Daerah Aliran Sungai (DAS) Antokan
yang didapat dari instansi terkait dan hasil penelitian terdahulu yang relevan.
75
Untuk menentukan nilai manfaat irigasi digunakan metode biaya
pengadaan yang bertumpu pada WTP. Berdasarkan pendekatan ini maka semua
pengorbanan untuk dapat memanfaatkan air irigasi pertanian diasumsikan
sebagai kesediaannya untuk membayar. Jumlah pengorbanan yang dimaksud
adalah untuk iuran irigasi, perbaikan tanggul dan saluran irigasi, tenaga kerja
yang dibayar maupun yang diperhitungkan dan pengeluaran peralatan lain untuk
keperluan irigasi.
Seluruh biaya yang dikalkulasikan dari masing-masing rumahtangga
petani distandarisasi kedalam biaya pengadaan air irigasi per ha yaitu dengan
membagi seluruh biaya yang telah diperhitungkan dengan luas areal yang
dimilikinya, dengan rumus sebagai berikut;
NEI = BPA x LAI x IPR .......................................................(3)
Dimana:
NEI = Nilai Ekonomi Irigasi
BPA = Biaya pengadaan air/ha (Rp/tahun)
LAI = Luas areal sawah irigasi (Ha)
IPR = Intensitas Penanaman Rata-rata (kali/tahun)
3.3.1.1.3. Nilai Ekonomi Rekreasi
Untuk menentukan nilai ekonomi rekreasi digunakan pendekatan biaya
perjalanan (travel cost) dengan memanfaatkan informasi tentang waktu dan
pengeluaran uang yang dilakukan oleh pengunjung untuk perjalanan ke dan dari
danau (Fauzi, 2004). Dari informasi ini akan dapat digunakan untuk menghitung
surplus konsumen yang dinikmati oleh para pengunjung danau tersebut.
Pendekatan ini akan diasumsikan bahwa : (1) biaya dalam bentuk uang dan
waktu yang digunakan untuk mengadakan perjalanan ketempat rekreasi yang
tidak dipungut bayaran merupakan pencerminan dari kesediaan masyarakat
untuk membayar (WTP) tempat tersebut, (2) sehubungan dengan anggapan
pertama maka perubahan dalam biaya perjalanan akan merubah permintaannya
terhadap rekreasi tersebut.
Data yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah data primer dan data
sekunder. Data primer yang dihimpun yaitu karakteristik pengunjung, jumlah
pengunjung perhari, biaya perjalanan ketempat rekreasi, waktu yang
76
dikorbankan, serta penghasilan rata-rata pengunjung. Data sekunder yang
dihimpun adalah data tentang jumlah penduduk disetiap zona kunjungan.
Populasi dalam penentuan nilai ekonomi rekreasi ini adalah pengunjung
yang datang ketempat rekreasi selama tahun 2009. Penentuan sampel dari
populasi pengunjung dilakukan dengan menggunakan rumus Slovin yaitu
sebagai berikut (Umar, 2003)
n = N/ (1+Ne2)..........................................................(4)
Keterangan
n = Jumlah sampel (orang)
N = Jumlah populasi (orang)
e = Persen kelonggaran ketidaktelitian karena kesalahan contoh yang
tidak bisa ditoleransi.
Pengumpulan data dilakukan dengan cara accidential sampling yaitu
pengambilan sampel secara kebetulan berdasarkan kesediaan pengunjung untuk
diwawancarai. Untuk pengunjung yang berkelompok/rombongan diambil
beberapa orang sebagai perwakilan. Data yang telah dikumpulkan selanjutnya
dikelompokkan berdasarkan daerah asal (zona) pengunjung.
Untuk mengetahui kurva permintaan dilakukan pengolahan data dengan
membuat regresi antara jumlah kunjungan per seribu penduduk dari daerah asal
(zona) pengunjung dengan biaya perjalanan dan faktor sosial ekonomi
pengunjung. Untuk menentukan fungsi permintaan rekreasi ini adalah sebagai
berikut (Hufschmidt,1983) dan penelitian Widada, 2004) :
1) Menentukan kurva permintaan dengan meregresikan antara permintaan (Y),
yaitu jumlah kunjungan per seribu penduduk dari masing-masing zona
dengan biaya perjalanan (X1), dan variabel sosial ekonomi lainnya (X2,
X3,... Xn)
Yw = β0 + β1X1 + β2X2 + β3X3 + β4X4 + β5X5 + µ…………..(5)
Keterangan:
Yw = Jumlah kunjungan per seribu penduduk (orang)
β0 = Intersep
X1 = Biaya perjalanan rata-rata (Rp)
β1,2,3,4,5 = Koefisien regresi
77
X2,3,4,5 = Variabel sosial ekonomi
µ = Galat
Y = a + b1X 1+ b2X2 + b3X3 + b4X4 + b5X5 + Є…………..(6)
Dimana masing-masing variabel adalah :
Y = Kunjungan per 1000 penduduk
X1 = Total rata-rata biaya perjalanan dari masing-masing zona (Rp/orang)
X2 = Rata-rata umur pengunjung
X3 = Pendapatan rata-rata (Rp/kapita/tahun)
X4 = Tingkat pendidikan
X5 = Lama kunjungan
Є = Galat
Jumlah kunjungan per seribu penduduk per tahun dihitung dengan rumus
sebagai berikut :
JK1000i = {(JSi/JSt) JPdm2009 x 1000} / JPi
Keterangan :
JK1000i = Jumlah kunjungan per seribu penduduk per tahun dari zona ke-i
JSi = Jumlah sampel yang tersensus ddari zona ke-i
JSt = Total jumlah sampel yang disensus
JPdm2009 = Jumlah kunjungan ke lokasi rekreasi Danau Maninjau pada
tahun 2009
JPi = Jumlah penduduk zona ke-i pada tahun 2009
2) Menentukan intersep baru β0’ fungsi permintaan dalam keadaan peubah
bebas lain (X2,X3 ... Xn) tetap yaitu nilai rata-rata.
Y = β0 + β1X1 + β2X2 + + β3X3 + ... + + βnXn
Y = (β0 + β2X2 + + β3X3 + ... + + βnXn) + β1X1
Y = β0’ + β1X1
3) Menginversi persamaan fungsi asal sehingga X1 menjadi peubah tidak bebas
dan Y sebagai peubah bebas :
Y = β0’ + β1X1 → X1 = (Y- β0’ ) / β1
4) Menduga rata-rata total biaya perjalanan per seribu penduduk dari seluruh
zona dengan menggunakan persamaan matematik sebagai berikut :
U = ∫ f(Y)õ Y
78
Keterangan :
U = Rata-rata total biaya perjalanan
F(Y) = Fungsi permintaan rekreasi
a = Rata-rata jumlah kunjungan per seribu penduduk
5) Menentukan nilai X1 (biaya perjalanan) pada saat Y rata-rata dengan
mensubtitusikan nilai Y rata-rata pada persamaan :
X1 = (Y - β0’ ) / β1
6) Menentukan rata-rata nilai yang dikeluarkan untuk biaya perjalanan dengan
mengalikan X1 rata-rata pada langkah ke-5 di atas dengan Y rata-rata.
7) Menentukan surplus konsumen per seribu penduduk yaitu :
Surplus konsumen = Total kesediaan membayar – Nilai yang
dibayarkan
8) Memntukan Total Nilai Ekonomi Rekreasi yaitu terdiri dari kesediaan
membayar, nilai yang dibayarkan dan surplus konsumen wisatawan yang
berkunjung ke lokasi rekreasi Danau Maninjau dengan cara mengkonversi
nilai tersebut dengan total jumlah penduduk di seluruh zona pengunjung
dengan rumus sebagai berikut :
TNER = (Nilai rata-rata x Jumlah penduduk) / 1000
3.3.1.1.4. Nilai Ekonomi Pemanfaatan Domestik
Untuk menentukan nilai ekonomi pemanfaatan domestik digunakan dua
metode yaitu: (1) Metode berdasarkan jumlah waktu yang dikorbankan dan (2)
Metode penilaian kontingensi. Dalam penggunaan metode berdasarkan waktu
yang dikorbankan, data dikumpulkan dari masyarakat yang memanfaatkan air
danau untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti minum, mandi, dan
mencuci. Untuk memenuhi kebutuhan domestik tersebut masyarakat tidak perlu
mengeluarkan biaya, yang diperlukan hanya pengorbanan waktu untuk pergi dan
pulang mengambil air, untuk minum, mandi, dan mencuci. Hal ini didasarkan
pada asumsi bahwa pengorbanan waktu tersebut mencerminkan kesediaan
konsumen untuk membayar (WTP) dalam rangka menikmati manfaat domestik.
Manfaat ekonomi domestik ini dihitung dengan rumus:
NPD = P x t x Ht x 360 ......................................................(7)
Dimana:
79
P = Jumlah Penduduk yang memanfaatkan air untuk kebutuhan domestik
T = Waktu (menit) yang dibutuhkan untuk pergi dan pulang ke/dari
danau
Ht = Harga waktu permenit
Data dikumpulkan dari penduduk yang tinggal di sekitar danau Maninjau
yang berpotensi memanfaatkan air untuk penggunaan domestik.
3.3.1.1.5. Nilai Ekonomi Listrik
Untuk mengetahui Nilai Ekonomi listrik ditentukan dengan cara
mengalikan jumlah energi listrik yang dihasilkan PLTA pertahun dengan harga
tarif dasar listrik.
Energi listrik yang dihasilkan per tahun ditentukan berdasarkan pola
pengoperasian PLTA Maninjau yang didasarkan pada prinsip keseimbangan air
pada tahun normal dengan langkah-langkah sebagai berikut: Pertama,
menghitung ketersediaan volume air yang dapat dipergunakan untuk pemutar
turbin, Kedua, menghitung energi listrik yang dapat dihasilkan dengan cara
membagi jumlah volume air yang tersedia untuk pemutar turbindengan nilai
SWC (standar untuk menghasilkan 1 kwh listrik = 1,583m3 air). Ketiga,
menentukan nilai ekonomi listrik dengan cara mengalikan energi listrik yang
dapat dihasilkan dengan tarif listrik per kWh yang berlaku pada saat studi
dilakukan.
3.3.1.2. Nilai Guna Tidak Langsung (NGTL)
Untuk menghitung Nilai Guna Tidak Langsung dilakukan dengan
menggunakan pendekatan kesediaan membayar atau WTP dari masyarakat
untuk membiayai upaya pelestarian danau. Nilai guna tidak langsung merupakan
mafaat fungsional dari proses ekologi dari sumberdaya danau diantaranya
sebagai pengendali banjir, tempat pembesaran ikan peliharaan, pemijahan dan
tempat mencari makan biota, wahana penelitian dan pendidikan konservasi.
80
3.3.1.3. Nilai Pilihan
Nilai pilihan merupakan manfaat di masa yang akan datang dari
sumberdaya danau dengan penilaian berapa besarnya seorang individu atau
masyarakat sanggup membayar atau WTP untuk melindungi sumberdaya danau
untuk kepentingan masyarakat di masa depan.
3.3.1.4. Nilai Bukan Guna
Nilai bukan guna danau dihitung berdasarkan nilai eksistensi yaitu berapa
manfaat yang diperoleh dan dirasakan oleh masyarakat dari keberadaan
sumberdaya danau, setelah manfaat lainnya dihilangkan, sehingga nilai yang
diperoleh merupakan cerminan nilai ekonomi keberadaan suatu komponen
sumberdaya.
3.3.2. Analisis Persepsi Masyarakat
Analisis ini untuk mengetahui bagaimana persepsi masyarakat sekitar
Danau Maninjau terhdap eksistensi SDAL Danau Manijau dan dampak PLTA
Danau Maninjau, yaitu meliputi; (a) status kepemilikan SDAL Danau Maninjau;
(b) hak pemanfaatan SDAL Danau Maninjau untuk perikanan; (c) hak
pemanfaatan SDAL Danau Maninjau untuk pariwisata; (d) hak pemanfa atan
SDAL Danau Maninjau untuk irigasi; (e) hak pemanfaatan SDAL Danau
Maninjau untuk keperluan domestic; (f) kewajiban menjaga kelestarian Danau
Maninjau; (g) hak mengatur pengelolaan Danau Maninjau; (h) kondisi
pengelolaan eksisting Danau Maninjau; (i) pengelolaan dampak PLTA Maninjau
oleh PLN. Persepsi masyarakat tersebut dilihat dari karakteristik masyarakat
tersebut. Karakteristik masyarakat dapat dilihat dari beberapa factor, yaitu: (1)
umur, (2) tingkat pendidikan, (3) jenis pekerjaan, (4) pendapatan, dan (5) jarak
tempat tinggal dengan danau. Untuk melihat hubungan antara persepsi
masyarakat dengan karakteristiknya digunakan analisis Chi-Kuadrat. Bila
hubungan signifikan akan dilanjutkan dengan uji keeratan hubungan dengan
menentukan koefisien kontingensi.
81
3.3.3. Perumusan Rancangan Kebijakan
Untuk merumuskan rancangan kebijakan perlu perumusan masalah
secara tepat. Rumusan masalah tersebut dilanjutkan dengan penetapan tujuan
dan sasaran yang ingin dicapai sebagai ukuran dari kinerja kebijakan.
Selanjutnya dilakukan peramalan tentang situasi dan kondisi yang akan terjadi
pada masa yang akan dating.
Metode pengumpulan data: data yang diperlukan berupa data primer dan
data sekunder. Data primer yang diperlukan dalam penyusunan rancangan
kebijakan pengelolaan danau berkelanjutan dilakukan dengan wawancara,
diskusi, kuisioner, dan survey lapangan dengan responden di wilayah studi yang
terdiri dari tokoh masayarakat di lingkungan danau, pembudidaya ikan,
pedagang pengumpul ikan, kelompok LSM, dan pejabat setempat, serta
wawancara dengan berbagai pakar dan stakeholder yang terkait dengan kegiatan
tersebut.
Pengumpulan data sekunder diperoleh dari beberapa sumber kepustakaan
dan dokumen dari beberapa instansi yang terkait yaitu dari Dinas Perikanan,
Dinas Pertanian, Dinas Tataruang, Dinas Pariwisata, Dinas Meteorologi dan
Geofisika, Dinas Lingkungan Hidup, serta PLN.
Metode Analisis data: Data yang telah dikumpulkan baik data primer
maupun sekunder diolah dengan menggunakan program software ISM.
IV GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN
4.1. Sejarah terbentuknya Danau Maninjau
Danau maninjau merupakan danau tipe vulkano tektonik, yang diduga
masih terdapat aktivitas vulkanik di daerah tersebut dengan ditandai munculnya
belerang pada saat tertentu. Bentuk kaldera yang memanjang menunjukkan masa
erupsi yang lama pada waktu terjadi pergeseran lateral kanan pada jalur patahan
utama Sumatera. Gunung Maninjau tidak memperlihatkan sebuah gunung api
sempurna, hanya berbentuk kerucut terpancung. Puncak-puncak gunung yang
tinggi hampir mengelilingi kaldera maninjau, terutama di utara dengan
ketinggian mencapai 1.500 meter (Gn.Rangkian) dan di selatan dengan
ketinggian mencapai 1.252 meter (Gn.Tanjung Balit).
Daerah Danau Maninjau merupakan bagian dari sistem patahan besar
Sumatera. Pada bagian tengah merupakan patahan utama yang aktif. Pergerakan-
pergerakan pada patahan ini pada saat ini sudah diketahui di beberapa tempat
seperti yang terakhir berasosiasi dengan gempa bumi tanggal 9 Maret 1997 di
wilayah Pasaman, sekitar 75 km utara Maninjau. Tubuh raksasa gunung api
Maninjau diperkirakan berasal dari gunung api yang berbeda atau dari sebuah
gunung api kompleks yang tersusun dengan arah utara – selatan. Berdasarkan
bukti-bukti geomorfologi dan kemiripan fenomena, maka aktivitas gunung api
Maninjau berangsur-angsur bergeser dari utara ke selatan.
Tahapan pembentukan danau Maninjau adalah sebagai berikut:
� Pra Aktivitas Gunung Api
Tahap ini adalah suatu masa ketika tekanan tektonik yang meningkat di
sepanjang kawasan bagian barat Sumatera dan diikuti oleh pembentukan
patahan-patahan. Di bagian barat sepanjang Zona Patahan Besar Sumatera
muncul patahan-patahan yang merencong dan berarah vertikal, khususnya di
daerah Maninjau.
Pra Pembentukan Kaldera
Naiknya magma telah melahirkan sejumlah gunung api, salah satu
diantaranya adalah Gn. Maninjau, yang dapat mencapai ketinggian 3.000
83
meter. Pipa kepundannya secara berangsur-angsur berpindah-pindah dari
utara ke selatan, yang juga merupakan pusat-pusat letusan. Melalui cara-cara
tersebut sebuah gunung api kompleks terbentuk, dan gunung api pertama
terbentuk di utara mempunyai kerucut tertinggi dan terbesar, sebagaimana
dapat dideduksi dari geomorfologinya. Dengan cara yang sama aktifitas
vulkanik ke arah selatan ini juga telah mengakibatkan lahirnya gunung api
kembar yaitu Gunung Singgalang dan Gunung Tandikat.
� Endapan Tufa di Sumatera Barat
Endapan merupakan hasil erupsi celah Sistem Patahan Besar Sumatera.
Kaldera Maninjau merupakan hasil dari tiga letusan utama yang meledakkan
sampai hancur inti gunung api sentral tersebut dan mengubur daerah
sekitarnya dengan tufa.
� Pembentukan Kaldera Maninjau dan Ganesa Lembah Antokan
Setelah magma asam disembur, tubuh raksasa gunung api Maninjau
terbongkar dari penyangganya dan mulai tenggelam. Gunung api tersebut
berlokasi dekat dengan dapur magmanya. Oleh karena itu, kaldera Maninjau
adalah juga sisa gunung api Maninjau yang telah mengalami perubahan
amat besar sebagai hasil amblasan dan runtuhan. Bersamaan dengan
terjadinya perubahan-perubahan bentuk-bentuk lain di kedalaman dan
ditambah dengan rekahan-rekahan konsentris yakni kerusakan-kerusakan
radial di bagian barat dari tunuh gunung api tersebut, serta diikuti oleh
pelengkungan dan perosotan bagian permukaan yang membentuk lobang
terobosan Antokan, maka selanjutnya terjadi proses lembah Antokan.
Fenomena tubo belerang dimana munculnya belerang yang di danau
Maninjau pada waktu yang lalu diperkirakan tidak lepas dari sisa-sisa
kegiatan vulkanis pada masa lalu seperti dikemukakan di atas.
4.2. Letak Geografis
Danau Maninjau sendiri terletak di Kecamatan Tanjung Raya, Kabupaten
Agam – Sumatera Barat (Gambar 2.1) dan posisinya terletak pada 100' 08'
53,84" BT - 100' 14' 02,39" BT dan 0' 14' 52,50" - 0' 24' 12,17" LS. Berdasarkan
peta iklim oleh Oldman (1979) dan hidroklimat dasar oleh Bakosurtanal (1987),
84
Kabupaten Agam dibagi atas 4 kelas curah hujan (Kabupaten Agam, 2001).
Kabupaten Agam termasuk dalam daerah dengan curah hujan mencapai 2.500 –
3.500 mm/tahun dengan bulan kering selama 1 – 2 bulan berturut-turut. Dengan
didasari pada pengamatan hujan 1983 – 2004, wilayah Danau Maninjau secara
klimatologis berdasarkan Schmid dan Fergusson sangat basah dan berdasarkan
klasfikasi Mohr termasuk wilayah basah.
4.3. Fisiografi
Kondisi fisiografi Danau Maninjau meliputi kondisi topografi, kemiringan
lereng, morfologi dan jenis tanah. Kondisi tersebut tergantung pada proses
pembentukannya seperti letusan gunung api longsoran pada danau, sedimentasi,
kebocoran karena perlarutan pada batuan atau adanya sesar. Kawasan Maninjau
dan sekitarnya terletak pada ketinggian 461,50 meter diatas permukaan laut
(mdpl). Dominasi kondisi topografi di kawasan Maninjau adalah datar
(kemiringan 0 – 2%) seluas 115,51 Ha dan merupakan wilayah sempadan danau
dimana terdapat permukiman (perumahan, hotel, restoran dan sebagainya) dan
persawahan. Sedangkan wilayah perbukitan dengan lereng > 15% seluas 95,79
ha dimana sebagian berupa hutan, disamping itu juga ada persawahan. Danau
Maninjau terletak di wilayah pegunungan yang terbentuk dari 2 jalur utama,
yaitu Basin Batang Agam di bagian utara dan Batang Antokan di bagian selatan.
Morfologi dataran pembentuk danau Maninjau berupa endapan alluvium sungai
dan danau, yang berupa bahan- bahan lepas dan berukuran lempung hingga
kerakal serta endapan kipas alluvium. Selain morfologi dataran, daerah danau
Maninjau juga termasuk ke dalam satuan morfologi gunung api strato dengan
kemiringan terjal hingga melandai ke arah barat sekitar Lubuk Basung dan
sungai Limau. Bahan induk tanahnya terdiri dari tuf vulkanik, baik yang telah
lapuk maupun segar. Tanah yang terbentuk adalah kelompok inceptisol, entiso,
dan oxisol atau yang dikenal dengan andosol dan latosol.
85
4.4. Hidrologi
Berdasarkan peta batimetri Danau Maninjau dari LIPI (2001), morfometri
Danau Maninjau dapat dilihat pada Tabel 3
Tabel 3 Morfometri Danau Maninjau
No. Parameter Satuan Nilai
1. Luas permukaan air Ha 9.737,50
2. Panjang maksimum Km 16,46
3. Lebar maksimum Km 7,50
4. Kedalaman maksimum M 168,00
5. Kedalamam rata-rata M 105,20
6. Panjang garis pantai Km 52,68
7. Volume air m3 10.226.001.629,20
8. Catchment area Ha 13.260,00
Sumber: RTRW Kabupaten Agam 2004
Dari Tabel di atas, Danau Maninjau berkedudukan memanjang arah utara –
selatan dengan panjang 16,46 Km dan lebar 7,5 km, dan memiliki outlet yaitu
sunhai Batang Antokan yang mengalir ke arah Barat. Direktorat Geologi Tata
Lingkungan (1997) menyebutkan Danau Maninjau merupakan kaldera yang
berada di bagian tengah gunung Maninjau yang berukuran panjang 20 km dan
lebar 8 km. Di dalam danau terdapat beberapa pulau kecil dengan luas hanya
beberapa ratus m2. Semakin ke arah selatan danau kedalaman semakin
meningkat dengan kemiringan dasar yang semakin curam. Titik-titik terdalam
dari danau ini berada di wilayah bagian selatan. Daerah bagian barat danau
memiliki kedalaman lebih dari 20 meter dengan dasar danau yang terjal. Dinding
kaldera secara keseluruhan hampir berupa tangga (undak-undak), khususnya di
bagian selatan dan tenggara, yang merupakan hutan primer. Dibagian utara
relatif landai dan terbuka, merupakan areal persawahan penduduk.
Sumber Air Danau
Keberadaan Danau Maninjau tidak terlepas dari siklus hidrologis. Air yang
masuk ke danau berasal dari:
1) Air hujan yang langsung masuk danau
86
Dengan didasari pada pengamatan hujan selama 1983 – 2004, rata-rata curah
hujan bulanan di Maninjau dapat dilihat pada Tabel 4. Dari Tabel 4 tersebut,
wilayah Danau Maninjau secara klimatologis berdasarkan Schmidt dan
Fergusson sangat basah.
Tabel 4 Rata-Rata Curah Hujan Danau Maninjau (dalam mm) Tahun
1983 – 2004
No. Bulan Curah Hujan (mm)
1 Januari 261
2 Pebruari 169
3 Maret 277
4 April 309
5 Mei 260
6 Juni 167
7 Juli 271
8 Agustus 256
9 September 317
10 Oktober 320
11 Nopember 473
12 Desember 338
Rata-Rata Tahunan 3.418
Neraca air danau (inflow dan outflow serta evaluasi muka air danau) erat
kaitannya dengan curah hujan seperti terlihat pada Tabel 4.
2) Air permukaan
Air permukaan yang mengalir melalui penyaluran yang telah terbentuk,
berdasarkan data yang ada (Laporan Rencana Tata Ruang Danau Maninjau,
2003) ada 88 sungai-sungai kecil yang bermuara di Danau Maninjau dan 33
sungai yang senantiasa berair sepanjang tahun. Sisanya hanya berair pada
musim hujan. Berdasarkan laporan LIPI (2001), fluktuasi permukaan air
danau adalah sebanding dengan pola curah hujan. Hal ini mengindikasikan
bahwa curah hujan yang jatuh ke danau maupun yang mengalir melalui pola
penyaluran memiliki kontribusi sangat besar. Jadi komponen yang terkait
87
dengan aliran permukaan (run off) mempunyai pengaruh yang signifikan
terhadap kuantitas dan kualitas air Danau Maninjau.
Tabel 5 Necara Air Danau Maninjau 2001 – 2005
N
o.
Neraca Air Bulan
Jan Peb Mar April Mei Juni Juli Agus Sept Okt Nop Des
I Tahun
2001
1. Curah
Hujan (mm)
169 257 160 159 200 193 99 224 200 428 278 115
2. Inflow (m3/dtk)
13.40 29.56 16.12 17.84 14.12 12.91 7.35 8.28 11.23 10.44 13.40 11.12
3. Outflow
(m3/dtk)
12.79 34.31 22.69 12.90 15.75 15.67 17.01 12.36 12.59 12.00 13.02 13.49
4. Elevasi
(mdpl)
463.98 463.82 463.55 463.88 463.23 463.37 463.34 463.05 462.71 463.71 463.02 463.33
II Tahun
2002
1. Curah
Hujan
(mm)
144 88 188 400 387 255 288 150 435 368 441 409
2. Inflow
(m3/dtk)
9.43 6.41 7.17 11.83 15.70 10.51 11.28 9.70 14.96 18.04 17.04 17.84
3. Outflow
(m3/dtk)
8.82 9.03 4.44 4.00 6.49 5.50 10.56 15.73 18.43 21.40 10.60 9.14
4. Elevasi (mdpl)
462.57 462.38 462.48 462.88 463.23 463.23 463.34 463.05 462.71 462.71 463.02 463.33
II
I
Tahun
2003
1. Curah
Hujan
(mm)
503 56 432 554 203 131 26 347 207 165 208 288
2. Inflow
(m3/dtk)
12.09 7.70 13.56 33.64 19.22 9.48 9.24 15.14 17.55 19.20 22.24 28.48
3. Outflow
(m3/dtk)
7.91 8.37 6.58 22.57 28.54 8.25 9.56 12.53 18.87 17.03 18.45 25.16
4. Elevasi
(mdpl)
463.48 463.42 463.50 464.05 463.66 463.61 463.61 463.69 463.62 463.67 463.81 463.84
I
V
Tahun
2004
1. Curah Hujan
(mm)
29 165 96 238 90 36 163 61 240 361 163 361
2. Inflow
(m3/dtk)
20.12 17.29 15.91 11.82 11.77 6.59 9.84 6.38 9.93 11.77 16.35 6.38
3. Outflow
(m3/dtk)
20.27 17.29 15.99 11.75 13.60 13.07 14.81 11.87 11.67 11.16 10.63 11.93
4. Elevasi
(mdpl)
463.39 463.30 463.08 463.34 463.27 463.03 462.84 462.63 462.54 462.84 463.11 463.45
V Tahun
2005
1. Curah
Hujan (mm)
290 185 162 238 90 36 163 81 241 361 163 163
2. Inflow
(m3/dtk)
13.80 5.60 9.80 12.30 8.40 2.80 5.10 14.60 24.10 20.05 19.50 18.00
3. Outflow
(m3/dtk)
12.89 9.89 7.32 7.04 7.47 7.78 8.86 12.86 19.13 20.76 24.26 22.83
4. Elevasi
(mdpl)
463.45 463.47 463.31 463.39 463.57 463.59 463.50 463.34 463.39 463.56 463.49 463.29
Sumber: Laporan PLTA-Maninjau – Tahun 2005
88
Sungai-sungai yang bermuara di Danau Maninjau memiliki perbedaan tipe.
Sungai-sungai yang bermuara di utara danau memiliki pola linier (tidak
bercabang) dan yang sungai-sungai yang bermuara di sebelah barat danau
berpola dendritik. Artinya di daerah yang sungai berpola linier, keterbatasan
air menjadi persoalan. Sementara itu di daerah dengan pola dendritik,
pembukaan lahan lebih cepat terjadi.
3) Air tanah
Pada dasarnya air tanah merupakan air permukaan yang tertampung dalam
bumi dan terakumulasi pada lapisan batuan pembawa air atau yang disebut
sebagai akuifer. Berdasarkan peta hidrogeologi Indonesia tahun 1990 dapat
diketahui bahwa daerah sekitar Danau Maninjau termasuk dalam satuan
morfologi gunung api strato yang tersusun terutama atas litologi andesit dan
tufa batu apung. Dengan satuan litologi seperti diatas, maka sistim akuifer
daerah ini dikelompokkan kedalam sistim akuifer dengan aliran melalui
ruang antar butir dan rekahan. Struktur hidrogeologi seperti diatas juga
menyebabkan di beberapa daerah sekitar Danau Maninjau merupakan daerah
dengan ketersediaan air tanah langka.
Kondisi hidrologi seperti diatas berimplikasi pada pemenuhan kebutuhan
air penduduk. Makin mendekati bibir danau, maka penduduk di sekitar danau
akan cenderung untuk langsung mengambil air danau dan memanfaatkannya.
Danau Maninjau mempunyai daerah resapan seluas 13.260 Ha. Luas daerah
resapan tersebut relatif kecil dibandingkan dengan luas permukaan air danau
(9.737,50 Ha) dengan volume air danau sebesar 10.226.001.629,2 m3 dimana
Volume Quotient dan Area Quotient masing-masing sebesar 0,013 dan 1,38
(LIPI, Juli 2001). Hal ini merupakan indikator peranan aliran air tanah cukup
besar.
Erosi dan Sedimentasi
Dengan melihat pentingnya air permukaan dan air tanah sebagai pemasok
air Danau Maninjau, maka pengelolaan daerah tangkapan (catchment area)
menjadi kunci dalam pengelolaan dan pemanfaatan Danau Maninjau.
Penggunaan tanah pada daerah tangkapan, disamping berpengaruh terhadap
neraca air (water balance) juga berpengaruh terhadap kualitas air danau seperti
89
penggunaan pupuk dan pestisida dari kegiatan pertanian, dan sampah domestic
yang berasal dari permukiman sekitar danau serta pakan dari keramba apung.
Pola pemanfaatan tanah di kawasan danaupun mengalami perubahan yang cukup
signifikan selama 20 tahun terakhir. Tekanan ekonomi menyebabkan migrasi
petani ke lereng-lereng gunung sehingga menyebabkan terjadinya erosi akibat
kerusakan hutan, perubahan pola tata air.
Spot penyebaran pembukaan dan pemanfaatan lahan terlihat semakin
meluas di daerah sebelah utara dan timur danau. Berdasarkan kenampakan citra
satelit, penggunaan tanah existing didominasi oleh kegiatan lading, hutan, sawah
dan semak belukar. Kegiatan yang sifatnya produktif adalah lahan basah dan
persawahan. Semak belukar mengindikasikan adanya lahan terlantar di kawasan
danau, penggunaan lahan juga tersebar di dalam kawasan.
Dampak dari penggunaan tanah diatas bahwa kalau pada tahun 1929
kedalaman maksimum danau Maninjau 169 meter (Thienemann, 1957), maka
kedalaman maksimum pada tahun 2001 (Laporan LIPI, Nop 2001) adalah 165
meter. Berarti dalam jangka waktu 72 tahun terjadi perubahan kedalaman
maksimum danau Maninjau sebesar 4 meter. Perubahan ini karena adanya
endapan sediment akibat erosi karena terbukanya lahan-lahan di sekitar danau
Maninjau.
Kualitas Air Danau
Kajian mengenai kualitas air danau Maninjau yang dilaksanakan oleh
Tim Geologi dan Sumberdaya Mineral, Kanwil Deptamben Sumatera Barat
tahun 1997 di 8 titik lokasi air permukaan sekitar danau Maninjau dan pada
kedalaman 10 meter terlihat bahwa kondisi keasaman (pH) di 8 lokasi adalah
normal. Hanya Nitrit di lokasi yakni Muko-Muko yang melebihi nilai ambang
batas, sementara 6 lokasi lainnya tidak terdeteksi. Kadar oksigen cukup baik, dan
kandungan sulfide dan asam sulfat tidak terdeteksi. Tingginya konsentrasi asam
tersebut tidak terlepas dari fenomena tubo belerang. Fenomena tubo belerang
merupakan sebuah fenomena alam. Dalam sejarah geologi pembentukan danau
Maninjau bahwa di dasar terdapat deposit senyawa belerang sebagai sisa-sisa
kawah/kaldera gunung api. Kandungan belerang yang terendapkan di kedalaman
yang tidak memungkinkan cahaya masuk telah mengakibatkan terjadinya proses
90
anaerob oleh bakteri, sehingga belerang yang sebelumnya tidak membahayakan
bereaksi membentuk senyawa kimia beracun. Senyawa inilah yang
menyebabkan matinya ikan-ikan jala apung di Danau Maninjau.
Hampir setiap tahun di kala musim angin kencang (angin darek istilah
lokal) yaitu bulan Desember, Januari, dan Pebruari, tubo belerang keluar dari
bagian dasar danau dan menghantam tempat-tempat tertentu di permukaan
danau. Seringnya tubo belerang naik ke permukaan menyebabkan matinya ikan
dalam jumlah yang besar. Pada tahun 1997 jumlah ikan yang mati sebanyak 30,5
ton. Daerah perairan bagian barat Danau Maninjau pada umumnya terhindar dari
bencana itu. Sebelum budidaya ikan dalam jala apung berkembang di danau
Maninjau, justru tubo belerang sangat menguntungkan bagi penduduk karena
dapat mengambil ikan yang telah mabok akibat tubo belerang dengan mudah.
Disamping kasus tubo belerang juga terjadi kasus blooming microcytis dimana
permukaan danau dipenuhi oelh ganggang microcytis yang mengapung dan
menyebabkan air danau menjadi berwarna hijau. Kasus itu diindikasikan adanya
eutrofikasi air danau, yaitu penumpukan unsure hara secara berkelebihan pada
badan air danau. Bentuk morfologi danau dengan kedalaman mencapai 165
meter menyebabkan tidak terhindarinya endapan bahan organic dari pakan ikan
yang terendapkan di dasar danau yang secara alamiah akan terdegradasi secara
anaerobic (degradasi mikrobiologis pada kondisi tanpa adanya udara) yang akan
menghasilkan beberapa gas, diantaranya menimbulkan bau dan beracun. Gas ini
akan keluar pada periode tertentu tergantung seberapa besar akumulasi gas di
dasar danau.
Penelitian mengenai kualitas air Danau Maninjau oleh Universitas Bung
Hatta memperlihatkan bahwa sebelum bulan Desember 1999 ternyata suhu air,
kecerahan, pH, O2, CO2, NH3, H2SO dan PO4 mendukung aktivitas budaya ikan
keramba apung. Namun kualitas air Danau Maninjau pada bulan Desember 1999
sangat jelek, karena pada waktu itu terjadi peristiwa umbalan (pembalikan masa
air) akibat hujan, angina dan arus air yang kencang sehingga air permukaan
mengalami Sindrom Oksigen Terlarut /SOT (Hafrijal Sandri, 2004) yang diikuti
meningkatnya kandungan CO2 bebas, NH3, dan turunnya pH, terlepasnya gas
beracun H2S dan kekeruhan sangat tinggi.
91
4.5. Biologi
Berkaitan dengan kehidupan biota yang ada di danau Maninjau, ada 3
jenis yang utama yakni:
• Jenis ikan ekonomis penting
• Kelimpahan Fitoplankton
• Enceng gondok yang tumbuh subur di Danau Maninjau
Jenis ikan ekonomis penting
Program pengelolaan perikanan berbasis budidaya (Culture Based
Fisheries) adalah pengelolaan perikanan tangkap di Danau Maninjau oleh
kelompok masyarakat setempat dengan dukungan kegiatan pembenihan dari
kegiatan budidaya. Tujuan dasar pengelolaan perikanan berbasis budaya adalah :
(1) penambahan atau mempertahankan satu atau sejumlah spesies ikan, (2)
peningkatan produksi total spesies yang diinginkan sampai tingkatan aman bagi
keberadaan stok.
Tabel 6 Jenis Ikan Danau Maninjau Hasil Penelitian
No Jenis Ikan Tahun 1984 Jenis Ikan Hasil
Pemantauan 2005
Nama
Indonesia
Nama Lokal
1. Osteochilus haselti CV Osteochilus haselti CV Nilam Asang
2. Rasbora lateristriata Rasbora lateristriata Rasbora Bada
3. Puntius swanefeldi * Lampam Kapiek
4. Puntius fasciatus * Kparas Sipareh
5. Labeobarbus tambroides * Garing Garieng
6. Hampala macrolepidota Hampala macrolepidota Hampal Barau
7. Tilapia musambica * Mujair Mujaie
8. Macrones numerus * Baung Baung
9. Osphronemus gurami * Gurami Kalai
10. Anabas tertudineus Anabas tertudineus Betok Puyu
11. Dermogenya pussilus Dermogenya pussilus * Ideh-ideh
12. Anguilla mauritiana * Sidat Kaelan/Panjang
13. Ophicephalus stritus Ophicephalus stritus Chana Kiuang
14. * * Rinuk Rinuek
Keterangan:
* : tidak ditemukan
Data 1984 : Hasil Studi PSL Unand 1984
Data 2005 : Hasil Studi LPPM Bung Hatta ( Syandri dkk, 2005)
Dari hasil penelitian seperti disajikan pada Tabel 6, ternyata jenis ikan
lokal yang terdapat di Danau Maninjau sudah berkurang dari 14 spesies menjadi
7 spesies. Penyebab berkurangnya ikan lokal antara lain oleh penangkapan yang
tidak terkendali, perubahan kualitas air, adanya ikan pemakan telur dan
92
terputusnya ruayanya ikan antara sungai dengan danau yang disebabkan oleh
weir PLTA. Jenis ikan yang terputus ruayanya akibat weir antara lain ikan
eel/sidat (ikan panjang), dan ikan garing. Ikan sidat dan ikan garing memiliki
nilai ekonomis. Tingkah laku ikan panjang (sidat) tergolong unik, pada stadia
juvenil sampai dewasa, ikan ini hidup di air tawar seperti pernah ditemukan di
danau Maninjau. Proses pematangan gonad dimulai di danau dan selama
perjalanan di sungai menuju laut dalam. Kemudian ikan ini akan memijah di laut
dalam, setelah memijah induk ikan panjang akan mati, sedangkan larva dan
anakannya akan kembali ke Danau Maninjau melalui batang Antokan, akibat
dari adanya weir ikan panjang tidak dapat melaksanakan siklus hidupnya karena
ruayanya terputus.
Kelimpahan Fitoplankton
Jenis-jenis fitoplankton yang terdapat di Danau Maninjau berdasarkan
hasil penelitian yang telah dilakukan tahun 2005 terdiri dari 70 jenis yang
tergolong kedalam 5 devisi yaitu Cyanophyta, terdiri dari 20 jenis, Chlorophyta
35 jenis, Bacillariophyta terdiri dari 12 jenis, Eulenophyta 2 jenis dan
Phyrophyta 1 jenis. Perairan Danau Maninjau dinyatakan tergolong eutrof.
Tingginya kelimpahan plankton disebabkan karena banyak terdapat budidaya
ikan dengan keramba jarring apung, limbah pellet yang tidak termakan oleh ikan
hasil eksresi dapat meningkatkan kandungan hara berupat Nitrat dan Fospat.
Hasil dekomposisi selalu mengandung nutrient (N dan P) yang dapat memacu
pertumbuhan fitoplankton yang ada, dan jika suplai nutrient terjadi secara
continue bias terjadi blooming yang pada gilirannya akan merugikan kehidupan
semua organisme yang ada dalam badan air tersebut termasuk ikan yang
dibudidayakan. Menurut Michael (1984) nitrat dan fospat merupakan dua unsure
hara yang dibutuhkan oleh fitoplankton dan merupakan factor pembatas untuk
pertumbuhan plankton.
Realitas Tumbuhan Air (Enceng Gondok) di Danau Maninjau
Enceng gondok (Eichornia crassipes) di Danau Maninjau mulai terjadi
peningkatan pertumbuhannya sejak tahun 1998. Dipicu oleh terjadi penyuburan
perairan dari unsur Fospor yang berasal dari limbah KJA, limbah pertanian dan
limbah detergen yang berasal dari penduduk sekitarnya. Manfaat enceng gondok
93
di Danau Maninjau dari segi pencegahan pencemaran dapat merubah nutrient
anorganik menjadi bahan organic, melalui aktifitas fotosintesa, enceng gondok
memproduksi oksigen ke lingkungan sekitarnya. Selain itu juga dapat
menyediakan naungan bagi biota ikan local dan sebagai sumber makanan bagi
ikan herbivore.
Untuk menjaga tumbuhan air (enceng gondok) agar mempunyai nilai estetika
yang baik, maka langkah-langkah yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut:
1. Penebaran ikan Grass Carp untuk memanen secara biologis enceng gondok.
2. Pemanfaatan enceng gondok sebagai makanan ternak dalam bentuk kompos,
karena enceng gondok mempunyai nilai nutrisi yang baik.
3. Pembatasan pemasukan unsur Fosfor ke danau yang berasal dari budidaya
ikan dengan KJA, limbah pertanian dan limbah detergen.
4. Membuat perangkap/batas penyebaran enceng gondok pada kawasan yang
ditumbuhi enceng gondok.
4.6. Kondisi Umum Administrasi Danau Maninjau
Secara administrasi, sebagian besar catchment area Danau Maninjau
termasuk dalam Kecamatan Tanjung Raya Kabupaten Agam. Jumlah penduduk
Kecamatan Tanjung Raya dapat dilihat pada Tabel 7
Tabel 7 Jumlah Penduduk Kecamatan Tanjung Raya Tahun 2009
No. Nagari Jumlah Penduduk
1. Maninjau 3.676
2. Bayur 5.442
3. Duo Koto 3.283
4. Paninjauan 1.742
5. Koto Kaciak 3.541
6. Koto Gadang 2.020
7. Koto Malintang 3.577
8. Tanjung Sani 4.766
9. Sungai Batang 4.951
Total 32.998
Dengan bertambahnya penduduk, maka jumlah kebutuhan akan lahan dan
pemanfaatan penggunaan air danau akan meningkat dan limbah domestikpun
akan meningkat pula.
94
Pola penggunaan tanah di Kecamatan Tanjung Raya adalah untuk
permukiman, persawahan, kebun campuran, semak belukar, hutan dan perairan
umum.
Permukiman
Sebaran kawasan permukiman di sekitar Danau Maninjau Kecamatan
Tanjung Raya adalah sebagai berikut:
• Kawasan terbangun terkonsentrasi tertinggi di bagian utara dan timur Danau
Maninjau (Nagari Koto Kaciak hingga Sungai Batang) karena fisiografi
relatif datar.
• Wilayah bagian timur merupakan tempat konsentrasi kegiatan, sekaligus
ibukota Kecamatan Tanjung Raya. Sebagai konsekuensi konsentrasi
kegiatan, maka aktifitas yang berkembang adalah perdagangan, jasa,
pelayanan dan fasilitas untuk memenuhi kebutuhan penduduk skala
kecamatan.
• Kawasan yang terletak di bagaian barat dan selatan Danau Maninjau (Nagari
Tanjung Sani) dimana permukimannya relative besar dan kepadatan
bangunan masih jarang mengingat fisiografinya sebagian besar merupakan
bukit dengan lereng yang terjal.
Pertanian
Kegiatan pertanian yang ada disekitar Danau Maninjau adalah bersawah,
berkebun dan beternak. Kegiatan bersawah merupakan kegiatan sebagian besar
di kawasan Simpang Maninjau. Komoditi utama adalah padi, dan komoditi
lainnya adalah jagung, tomat, terung kacang-kacangan (kedelai, kacang tanah)
dan umbi-umbian. Perkebunan yang ada adalah perkebunan rakyat, komoditi
utamanya adalah pala dan kayu manis, seperti terlihat pada Tabel 8
95
Tabel 8 Luas Panen dan Produksi Pertanian dan Perkebunan Menurut
Jenis Tanaman
No. Jenis Tanaman Luas Panen (ha) Produksi (ton)
1 Padi Sawah 4.848 24.427
2 Jagung 90 332
3 Ubi Jalar 11 147
4 Kacang Tanah 110 219
5 Kacang Hijau 53 93
6 Kelapa 173 573
7 Karet 3 4
8 Cengkeh 149 3
9 Kulit Manis 579 1022
10 Kopi 251 84
11 Kemiri 72 567
12 Pinang 79 106
13 Pala 445 1258
Sumber : Kec Tanjung Raya dalam Angka 2010
Dari tabel di atas terlihat bahwa untuk sektor pertanian produksi terbesar
adalah padi sawah pada tahun 2009 adalah sebesar 24.427 ton dengan luas lahan
4.848 ha, sedangkan untuk sektor perkebunan adalah pala dan kulit manis, pada
tahun 2009 produksi kulit manis adalah 1.022 ton untuk luas lahan 579 ha,
sedangkan pala produksi tahun 2009 adalah 1.258 dengan luas lahan 445 ha.
Perikanan
Kegiatan perikanan berupa Keramba Jaring Apung (KJA) dan perikanan
tangkap seluruhnya berada di Danau Maninjau. Jumlah Keramba Jala Apung
dapat dilihat pada Tabel 9
96
Tabel 9 Jumlah Keramba Jala Apung di Danau Maninjau (unit)
Tahun Keramba Jaring Apung (petak) Keterangan (Sumber Data)
1992 12 Universitas Bung Hatta (UBH)
1997 2.854 UBH & Dinas Perikanan Sumbar
1998 2.952 LPPM UBH
1999 3.500 LPPM UBH
2000 3.150 LPPM UBH
2001 3.184 LPPM UBH
2002 3.608 APBIAT, PAPERLA
2003 3.205 LPPM UBH
2005 4.920 PLTA Maninjau
2006 8.955 PLTA Maninjau
Berdasarkan tabel di atas terlihat bahwa jumlah keramba jaring apung
pada tahun 1992 hanya 12 petak, sedangkan pada tahun 2006 berjumlah 8.955,
terjadi peningkatan yang sangat tinggi setiap tahunnya, hal ini disebabkan oleh
karena selama ini usaha keramba jaring apung menghasilkan keuntungan yang
menjanjikan.
Pada bulan Januari 2009, terjadi musibah di Danau Maninjau yaitu
matinya ikan-ikan budidaya Keramba Jaring Apung (KJA) diperkirakan
mencapai 13.500 ton dengan kerugian Rp150 miliar, musibah ini adalah yang
terbesar selama Danau Maninjau dijadikan tempat usaha budidaya Keramba
Jaring Apung. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Badan Limnologi LIPI yang
ada di Danau Maninjau, penyebab matinya ikan-ikan KJA adalah akibat tubo
belerang dan sisa-sisa pakan ikan naik kepermukaan air danau saat musim angin
kencang yang biasanya terjadi pada bulan Desember sampai dengan Februari.
Untuk Perikanan Tangkap yang dilakukan oleh masyrakat sekitar Danau
Maninjau sebagai mata pencaharian terlihat pada Tabel 10.
97
Tabel 10 Data Perikanan Tangkap Danau Maninjau Kec.Tanjung Raya
Kab.Agam tahun 2009
No. Nagari Jumlah Nelayan Jaring
1 Koto Malintang 23 17
2 Koto Kaciak 50 50
3 Koto Gadang 12 8
4 II Koto 35 33
5 Maninjau 2 2
6 Tanjung Sani 155 155
7 Sungai Batang 32 32
Jumlah 309 297
Data : Dinas Perikanan dan Kelautan Kab.Agam
PLTA Maninjau
PLTA Maninjau sebagai pusat pembangkit listrik mempunyai arti yang
sangay penting dan strategir dikaitkan dengan kebutuhan masyarakat akan energi
listrik yang semakin meningkat dari tahun ke tahun. Energi listrik sudah menjadi
kebutuhan pokok masyarakat. Sejak operasi tahun 1983, PLTA Maninjau telah
memberikan sumbangan yang cukup besar bagi ketersediaan energi listrik untuk
masyarakat sekitar dan Sumatera Barat pada umumnya. Dengan dibangunnya
PLTA Maninjau membantu industri pariwisata maupun pertanian dan perikanan
yang akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan juga memberikan
kontribusi terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Agam. Kondisi
umum PLTA Maninjau dapat dijelaskan Tabel 11.
98
Tabel 11 Kondisi umum PLTA Maninjau.
No Kondisi Umum Keterangan
1 Nama PLTA PLTA Maninjau
2 Lokasi Operasi Sebelah Barat Daya Danau Maninjau
3 Tahun Operasi September 1983
4 Jumlah Unit 4 Unit Turbin dan Generator
5 Kapasitas Pembangkit 4 x 17 MG = 68 MG
6 Tipe PLTA Dam (Single function)
7 Reservior Waduk alami
8 Catchment Area 23.500 ha
9 Luas Genangan pd EL.Maks 9.400 ha (danau vulkanik)
10 Debit pembangkit (total) 4 x 8,7 m3/dt
11 Debit efektif 16,2 m3/dt
12 Debit Maks 164 m3/dt
13 Elevasi maks.operasi 464 masl
14 Elevasi normal operasi 464 – 463 masl
15 Elevasi darurat operasi 463 – 462,5 masl
16 Elevasi Intake Gate 458,5 masl
17 Bendungan Tinggi 2 meter, lebar 60 meter
18 Panjang terowongan utama 4.300 meter
Pariwisata
Sektor Pariwisata adalah salah satu sektor unggulan di Kabupaten Agam
karena memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap pertumbuhan
perekonomian masyarakat melalui kunjungan wisatawan. Wisatawan yang
masuk ke Kabupaten Agam dapat dilihat pada Tabel 12
99
Tabel 12 Jumlah Kunjungan Wisatawan ke Kabupaten Agam
tahun 1999 sd 2009
Tahun Wisatawan
Mancanegara
Wisatawan
Nusantara Jumlah
1999 15.837 26.921 42.758
2000 14.254 23.537 37.791
2001 15.503 24.612 40.115
2002 12.451 19.690 32.141
2003 7.535 18.356 25.891
2004 11.264 21.646 32.910
2005 13.423 22.734 36.157
2006 9.896 20.973 30.869
2007 12.912 67.377 80.289
2008 7.848 69.895 77.743
2009 8.623 151.311 159.934
Pada Tabel 12 terlihat bahwa wisatawan nusantara yang datang
berkunjung ke Kabupaten Agam cenderung mengalami peningkatan setiap
tahunnya. Pada tahun 1999, jumlah wisatawan nusantara yang datang
berkunjung ke Kabupaten Agam berjumlah 26.921 orang dan pada tahun 2009,
meningkat menjadi 151.311 orang. Wisatawan Mancanegara yang datang
berkunjung ke Kabupaten Agam pada tahun 1999 adalah 15.837 orang dan pada
tahun 2009, berjumlah 8.623 orang,terjadi penurunan kunjungan yang dilakukan
oleh wisatawan mancanegara hal ini disebabkan oleh kondisi sosial politik di
Indonesia yang kurang stabil.
Danau Maninjau merupakan salah satu tujuan tujuan wisata di Kabupaten
Agam oleh wisatawan baik domertik maupun internasional selain udaranya yang
sejuk juga ditambah dengan pemandangan alamnya yang sangat indah . Terdapat
beberapa objek wisata yang tersedia di Danau Maninjau diantaranya :
1. Panorama Danau Maninjau
2. Pantai Tepian Danau
3. Pemandian Air Panas
4. Wisata perkotaan
100
5. Bangunan Budaya dan Bersejarah
6. Makam Ulama
7. Wisata Bukit Berhutan
8. Wisata Agro
9. Bangunan Mesjid
10. Bangunan Budaya dan Bersejarah
11. Atraksi Wisata
Sosial Budaya
Selain kondisi fisik, sebaran permukimann dan pemanfaatan lahan dalam
arti yang lebih luas juga dipengaruhi oleh budaya masyarakat setempat. Tanah
Minang sangat terkenal di Indonesia, bahkan di dunia, sebagai wilayah yang
kaya akan budaya. Terdapat 2 budaya di kawasan Danau Maninjau, yaitu Nagari
dan Matrilineal.
A. Fisiologi Masyarakat Minang
Masyarakat Minangkabau secara tradisional telah memiliki beberapa
prinsip fisiologis yang mengatur konsepsi hidup dan kehidupan masyarakatnya.
Filosofi adat Minang tersebut adalah Alam Takambang Jadi Guru (Filosofi
alam). Masyarakat Minang telah memasukkan alam sebagai bagian dari
kehidupan mereka secara integral. Mereka belajar dari alam untuk kemudian
menjadikannya sebagai inspirasi bagi prinsip hidup dan kehidupannya. Dengan
memahami sepenuhnya prinsip hubungan sebab akibat dalam fenomena alam
(dikenal dengan bakarano bakajadian). Pemahaman mereka akan substansi
alamiah seperti air, udara, tanah dan api sebagai unsur bebas di alam dibarengi
dengan pemahaman yang cukup mengenai bagaimana unsur-unsur bebas
tersebut dapat bersatu dan membentuk sebuah kesatuan universal, yaitu dunia.
Mereka memahami bagaimana justru perbedaan yang memungkinkan dunia ini
berkembang secara dinamis dan saling melengkapi satu sama lain. Pemahaman
filosofi seperti ini diyakini telah melekat pada pribadi orang Minang, melalui
konsepsi keberadaan seseorang dan umat manusia secara umum.
101
Beberapa filosofi hidup dalam masyarakat Minang antara lain adalah:
o Tagak samo tinggi duduak samo randah. Filosofi ini mengajarkan
masyarakat Minang bersikap egaliter terhadap sesama. Namun di sisi lain,
mereka mengakui adanya perbedaan peran seorang (individu) dalam
masyarakat berdasarkan kemampuannya. Filosofi ini pula yang mengajarkan
masyarakat Minang untuk selalu siap bersaing.
o Mambangkik batang tarandam. Mendukung usaha setiap individu untuk
meraih sukses, terutama karena ada keinginan untuk mengemban
kabanggaan (gengsi) keluarga.
o Awak samo awak. Atau dapat diartikan sebagai kekitaan. Prinsip ini
dipengaruhi oleh struktur komunal masyarakat. Prinsip yang menganggap
orang lain sebagai bagian dari diri kita sendiri. Secara singkat, prinsip ini
sarat dengan makna solidaritas, baik sesuku, senagari, bahkan se-Alam
Minangkabau. Prinsip solidaritas ini sangat penting, karena membentuk
paradigma di kalangan masyarakat Minang untuk membantu siapapun yang
masih berdarah Minang (beridentitas sama) ketika mengalami kesulitan.
o Saiyo sakato. Prinsip seiya sekata dalam masyarakat komunal secara
sosiologis sangat penting karena keinginan seseorang berkaitan dengan
kepentingan masyarakat secara umum. Oleh karena itu, keputusan dibuat
secara bersama, melalui mekanisme musyawarah. Kesepakatan yang
kemudian dicapai dikenal sebagai istilah mufakat.
o Di ma bumi dipijak, di sinan langit dijunjuang. Prinsip ini mengajarkan
sikap mampu beradaptasi secara harmonis. Sebagaimana hukum alam yang
memperlihatkan bahwa dunia selalu dalam proses perubahan, pertambahan
waktu dan kemajuan jaman sangat mempengaruhi hidup manusia.
Masyarakat Minang memiliki semangat dan optimisme yang besar dalam
mengantisipasi perubahan. Hal ini terlihat dalam di ma bumi dipijak, di
sinan langit dijunjuang. Sebuah petitih yang sarat dengan makna.
Filosofi masyarakat tersebut merupakan sekelumit saja dari sekian
banyak prinsip hidup adat Minang. Apabila ditelaah secara lebih mendalam, adat
Minang pada dasarnya membuat sistem hidup masyarakatnya komunal, hidup
selaras dengan alam dan sangat memperhatikan dinamika serta keharmonisan
102
hubungan antarwarganya. Sebagai sebuah norma kehidupan, filosofi masyarakat
Minang relatif lebih efektif mempengaruhi sikap dan kepatuhan terhadap
pengaturan hubungan antar elemen masyarakat, jika dibandingkan dengan aturan
baku pemerintahan. Hal ini tidak terlepas dari peran Nagari (sebagai konsep
pemrintahan tradisional ala Minang).
B. Sistem Nagari
Dalam historis ketatanegaraan NAGARI merupakan sebutan sebuah desa
dijaman dahulu, dari sistem filosofinya, memiliki makna yang berbeda. Nagari
menurut Muchtar Naim, merupakan lambang mikrokosmik dari sebuah tatanan
yang lebih luas. Di dalam konsep nagari tersebut terkandung makna sebuah
negara dalam artian miniatur. Ikatan bernagari di Minangkabau, dahulunya,
bukan saja ikatan daerah dan kekerabatan adat sifatnya tetapi juga struktural
fungsional dalam artian toritorial-pemerintahan yang efektif. Oleh karena itu
kaitannya ke atas, ke luhak dan ke alam, dan ke samping antara sesama nagari,
terutama adalah kaitan emosional. Nagari bersifat self=contained, otonom, dan
mampu membenahi diri sendiri. Perangkat pemerintahan nagari juga mencakup
unsur legislatif, eksekutif dan yudikatif seperti layaknya sebuah negara , dimana
unsur tersebut merupakan kesatuan holostik bagi berbagai perangkat tatanan
sosual budaya lainnya.
Konsep Nagari dapat menjadi dasar pemanfaatan dan pengelolaan lahan,
terutama yang berkaitan dengan hak kepemilikan tanah ulayat. Tanah ulayat
didasari pada prinsip kepemilikan komunal yang penggunaan dan
pendistribusiannya tunduk kepada hukm adat. Semua keputusan menyangkut
penggunaan dan pendistribusian lahan didasari pada persetujuan Kerapatan Adat
Nagari. Secara umum, lembaga pemerintahan suatu nagari terdiri dari:
1. KAN Merupakan Lembaga ninik mamak yang dalam adat minangkabau
merupakan orang yang dianggap sebagai pemimpin dalam sukunya masing-
masing. Sebagai pemimpin terdepan dalam suatu suku. Ninik mamak
mempunyai peran untuk menggali aspirasi anak kemenakan dan
mensosialisasikan peraturan-peraturan yang dihasilkan di tingakat nagari
103
2. BPN. Merupakan Lembaga Legislatif yang terdiri dari unsur-unsur yang ada
dalam masyarakat, oleh karena BPN merupakan wakil-wakil unsur dalam
masyarakat, maka kebijakan-kebijakan yang akan diterapkan atau diusulkan
dalam Nagari adalah usulan masyarakat secara umum, sehingga ketentuan-
ketentuan/kebijakan tingkat Nagari akan dengan mudah untuk diterapkan
dalam masyarakat.
3. MTTS. Merupakan lembaga pertimbangan atau pensehat yang terdiri dari
unsur Ninik Manak, Alim Ulama dan Cerdik Pandai. Lembaga MTTS
mempunyai peran untuk menilai dan mempertimbangkan
kebijakan/ketentuan yang akan diterapkan dalam masyarakat.
4. Pemerintahan Nagari. Merupakan lembaga pelaksana pada
kebijakan/ketentuan yang telah diusulkan dan dinilai oelh lembaga yang ada
dalam Nagari, serta diterapkan sebagai suatu ketentuan dalam Nagari atau
berbentuk peraturan nagari (PERNA).
Dengan memperhatikan komposisi lembaga-lembaga kenagarian, maka
dapat disimpulkan bahwa masing-masing lembaga mempunyai andil dalam
kebijakan ditingkat Nagari sebagai:
• Lembaga Pengusul dan Pensosialisasi Kebijakan (KAN)
• Lembaga Pengawas Kebijakan (BPN)
• Lembaga Penilai/Penasehat Kebijakan (MTTS)
• Lembaga Pelaksana Kebijakan (Pemerintahan Nagari)
Kewenangan pengambilan keputusan strategis dalam sebuah Nagari
berada di tangan seorang pemimpin yang dikenal dengan sebutan Wali Nagari
melalui mekanisme Majelis Musyawarah Adat dan Syara’ Nagari, yang
melibatkan komponen yang ada di dalam masyarakat. Karena prinsip dasar
dalam komunitas Nagari adalah Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah,
maka peraturan Nagari tidak boleh bertentangan dengan adat dan syarak,
kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Peraturan yang dibuat oleh Nagari tidak memerlukan pengesahan Bupati untuk
pemberlakuannya. Dalam hal ini terlihat jelas kewenangan mutlak yang dimiliki
oleh pemerintahan Nagari dalam kehidupan masyarakat Minang.
104
Berdasarkan ketentuan hukum Peraturan Daerah Kabupaten Agam
Nomor 31 tahun 2001 tentang Pemerintahan Nagari, sebuah Nagari memiliki
kewenagang (Pasal 11): (a) kewenangan yang sudah ada berdasarkan asal usul
Nagari, (b) kewenangan yang oleh Peraturan Perundangan yang berlaku belum
dilaksanakan oleh Kabupaten, Provinsi dan Pemerintah, serta (c) Pemerintah,
Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten dapat memberikan tugas
pembantuan kepada Pemerintah Nagari. Beberapa sumber kekayaan Nagari
antara lain Nagari, tanah lapang atau tempat rekreasi Nagari, bahkan termasuk
diantaranya adalah danau yang menjadi ulayat Nagari, pasal :
Ketentuan pasal 62 ayat 2 Perda Kabupaten Agam No.31 Tahun 2001
tersebut secara jelas telah membatasi kewenangan Pemerintah Pusat, Provinsi
maupun Daerah dalam pengelolaan sumberdaya alam yang berada dalam wilayaj
ulayat Nagari. Persoalannya adalah ketika sebuah sumberdaya alam merupakan
aset negara, dan sifatnya sebagai public space (ruang publik), maka seharusnya
sumberdaya tersebut dapat dinikmati pula manfaatnya oleh sebanyak-banyaknya
anggota masyarakat, bukan hanya oleh Nagari tertentu saja.
Dalam pasal 119 ayat 1 Perda tersebut dikemukakan, bahwa Pemerintah
Daerah dapat membatalkan Peraturan Nagari dan Keputusan Wali Nagari yang
bertentangan dengan kepentingan umum atau peraturan perundangan yang lebih
tinggi dengan Keputusan Kepala Daerah.
Dimensi lain dari sistem pemerintahan Nagari adalah perlunya alokasi
ruang untuk memenuhi kebutuhan pelayanan pemerintahan Nagari. Berdasarkan
Perda Kabupaten Agam No.31 Tahun 2001 tentang Pemerintahan Nagari pasal 6
ayat 2 disebutkan bahwa dalam pemerintahan Nagari harus memenuhi syarat-
syarat adanya:
Pasal 62
(2) Sumber pendapatan Nagari yang telah dimiliki dan dikelola oleh Nagari
tidak dibenarkan diambil alih oleh Pemerintah, Pemerintah Provinsi atau
Pemerintah Daerah.
Sumber: Peraturan Daerah Kabupaten Agam No.31 Tahun 2001 tentang
Pemerintahan Nagari
105
1. babalai bamusajik
2. balabuah batapian
3. basawah baladang
4. babanda buatan
5. batanaman nan bapucuak
6. mamaliaro nan banyao
7. basuku basako
8. niniak Mamak nan ampek suku
9. baadat balimbago
10. bapandam pakuburan
11. bapamendanan
12. kantua Nagari
Di Kawasan Danau Maninjau terdapat 7 buah Nagari (sekarang
dimekarkan menjadi 9 buah Nagari), Nagari II Koto, Koto Kaciak, III Koto,
Bayur, Maninjau, Sei Batang, dan Tanjung Sani. Secara administratif, masing-
masing Nagari terdiri atas jorong-jorong, yang mana salah satunya menjadi pusat
Nagari. Di dalam Nagari terdapat suku-suku yang cukup bderagam. Secara
keseluruhan di Kabupaten Agam terdapat 73 Nagari dan 224 Desa pada tahun
2001.
Di kawasan danau maninjau terdapat 7 buah nagari, masing-masing
nagari membutuhkan fasilitas tersebut, perlu perencanaan yang baik untuk
alokasi ruang yang tepat. Konsep nagari saat ini digunakan untuk mengelola
hutan di Desa Koto Malintang , Kanagarian Duo Koto Kabupaten Agam. Pada
pengelolaan ini, bagian hulu hutan dibiarkan menjadi kawasan lindung (hutan
suaka alam wilayah Maninjau utara hingga selatan), sedangkan di bawah
kawasan suaka alam dijadikan hutan penyangga. Di bagian tengah dimanfaatkan
sebagai kawasan permukiman dan budidaya hutan, sedangkan di hilir berupa
pengembangan Danau Maninjau, termasuk pengembangan pariwisata.
106
C. Matrilineal
Konsep matrilineal merupakam turunan dari konsep keluarga (sistem
kekerabatan) yang mengikuti garis keturunan ibu. Menurut Tsuyoshi Kato
(1989)4, terdapat 4 ciri nasab matrilineal, yaitu 1) keturunan melalui nasab
perempuan, 2) satu kumpulan keturunan bersatu di bawah penghulu lelaki, 3)
pola tempat tinggal bercorak matrilokal atau tepatnya dwilokal, dan 4)
kekuasaan satu kumpulan terletak di tangan mamak. Pengaruh konsep ini
terhadap penggunaan lahan terutama dalam hal pola menetap (bermukim),
dimana keluarga akan cenderung berkumpul dekat dengan keluarga ibu (seperti
membentuk koloni), sehingga akhirnya konsentrasi permukiman akan kurang
menyebar. Namun dalam kehidupan sehari-hari, pembagian tugas antara wanita
dan pria tetap sama dengan masyarakat lainnya, dimana wanita tinggal di rumah
atau bertani, sedangkan pria bepergian jauh untuk bisnis atau berdagang.
Berdasarkan uraian mengenai tradisi masyarakat Minangkabau di atas
dapat ditarik sebuah kesimpulan awal bahwa dilihat dari segi kemasyarakatan,
tata aturan nilai dan lembaga pemerintahan yang mengaturnya, masyarakat adat
Minang sangat terbuka terhadap dinamika dan progress (kemajuan) yang terjadi
di wilayahnya. Selain itu, sebagai sebuah lembaga pemerintahan yang diakui
oleh masyarakat setempat, Pemerintahan Nagari akan membutuhkan alokasi
ruang tertentu untuk melayani masyarakat. Memperhatikan kajian tradisi
masyarakat Minang tersebut, maka dapat dikatakan bahwa sistem Pemerintahan
Nagari merupakan salah satu kegiatan lokal yang berpengaruh terhadap Kawasan
Danau Maninjau.
Budaya yang kuat dan kental ini mengindikasikan perlunya identifikasi
lebih lanjut menyangkut aspek-aspek budaya apakah yang perlu diakomodir
dalam ruang yang direncanakan nantinya. Aspek-aspek budaya ini akan menjadi
komponen yang akan ikut “mewarnai” ruang Kawasan Danau Maninjau,
diantaranya perlunya alokasi ruang bagi kawasan perkantoran Nagari, penentuan
tanah pusako, dan lain-lain.
V HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Perhitungan Nilai Ekonomi Danau Maninjau
5.1.1. Nilai Ekonomi Perikanan
5.1.1.1. Nilai Ekonomi KJA
Berdasarkan data dari Dinas Kelautan dan Perikanan tahun 2009, jumlah
Keramba jaring Apung di sekitar Danau Maninjau berjumlah 10.243 petak dan
jumlah pembudidaya sebanyak 1548 kepala keluarga yang tersebar di delapan
nagari dari sembilan nagari yang berada di sekitar kawasan Danau Maninau.
Petani KJA di Danau Maninau melakukan bidaya ikan nila, berdasarkan
pengalaman petani budidaya KJA setempat bahwa ketahanan fisik ikan nila lebih
kuat dibandingkan ikan mas pada saat terjadinya upwelling dan juga benih ikan
nila lebih mudah didapat karena para petani yang mmbudidayakan benih ikan
nila banyak terdapat disekitar kawasan danau maninjau dan juga didatangkan
dari daerah tetangga yaitu Rao Kabupaten Pasaman. Untuk jumlah KJA dan
Petani KJA yang terdapat di sekitar kawasan danau maninjau dapat dilihat pada
Tabel 13.
Tabel 13 Jumlah Pembudidaya Keramba Jaring Apung (KJA) Danau Maninjau
Tahun 2009
No Nama Nagari Jumlah KJA
(Petak)
Jumlah
Pembudidaya
1 Koto Malintang 1934 64
2 Koto Kaciak 659 41
3 Koto Gadang 84 10
4 II Koto 503 32
5 Bayur 878 86
6 Maninjau 679 45
7 Tanjung Sani 4188 391
8 Sungai Batang 1318 90
Jumlah 10.243 759
Data:Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Agam 2010.
108
Dari tabel di atas terlihat bahwa jumlah petani KJA yang terbesar berada
di Nagari Tanjung Sani yaitu 391 pembudidaya dengan jumlah KJA yaitu 4188
petak, hal ini disebabkan oleh letak Nagari Tanjung Sani berada di pinggir danau
maninjau dan kondis lahan yang datar serta akses jalan yang tersedia serta
pedagang pakan ikan yang terbesar berada di Nagari Tanjung Sani.
Karakteristik responden yang dijadikan sampel dalam penelitian ini
meliputi usia, pendidikan, dan jumlah tanggungan. Untuk mengetahui usia para
petani usaha KJA di sekitar Danau Maninjau dapat dilihat pada Tabel 14.
Tabel 14 Distribusi Persentase Usia Responden Rumah Tangga petani KJA
di Sekitar Danau Maninjau
No Usia (tahun) Jumlah Persentase
1 21 – 30 12 13
2 31 – 40 30 33
3 41 – 50 36 38
4 51 – 60 10 11
5 61 – 70 4 5
92 100
Berdasarkan tabel di atas terlihat bahwa jumlah petani KJA yang
terbanyak berada pada usia 41 – 50 yaitu sebanyak 36 orang (38%) dan yang
paling sedikit yaitu usia 61 – 70 sebanyak 4 orang (5%) . Hal ini menunjukkan
bahwa masyarakat yang melakukan usaha KJA di danau maninjau adalah mereka
yang sudah bekeluarga dan berada dalam usia kerja dan produktif, meskipun
demikian masih ada sebanyak 5% diantara mereka yang sudah memiliki usia tua.
Untuk karakteristik pendidikan dari responden petani KJA ini dapat
disajikan pada Tabel 15.
109
Tabel 15 Distribusi Persentase Pendidikan Responden Rumah Tangga Petani KJA
di Sekitar Danau Maninjau
No Pendidikan Jumlah Persentase
1 SD 18 17
2 SLTP 31 35
3 SLTA 39 42
4 Diploma 2 2
5 S1 4 4
Total 92 100
Tabel 15 memperlihatkan bahwa para petani KJA memiliki latar
belakang pendidikan yang cukup bagus dan beragam , dan terbanyak tamat
SLTA sebanyak 39 orang (42%) dan malahan dianatar mereka ada yang
berpendidikan relatif tinggi(sarjana) sebanyak 4 orang. Hal ini membuktikan
bahwa usaha KJA sangat diminati oleh seluruh lapisan masyarakat karena
menguntungkan dan usaha KJA tidak sulit untuk dipelajari.
Nilai Ekonomi KJA dihitung dengan melakukan survey kepada petani
KJA di delapan nagari (Lampiran 2) yang berada di sekitar kawasan danau
maninjau. Jumlah responden diambil secara acak sederhana sebanyak 92 orang
yang tersebar di delapan nagari. Berdasarkan hasil penelitian dilapangan seperti
disajikan pada Lampiran 1, didapat informasi bahwa lama pemeliharaan ikan nila
berkisar antara 4-5 bulan dan produksi ikan dua kali selama 1 tahun. Produksi
ikan nila rata-rata 4283 kg/petak/tahun dengan luas petak KJA 6 x 6 meter) dan
tingkat keberhasilan 85% yaitu rata-rata 3641 kg/petak/tahun dengan harga rata-
rata perkilogram Rp 16352.
Biaya produksi yang harus dikeluarkan selama pemeliharaan oleh petani
KJA yaitu, pembelian benih ikan rata-rata 400 kg/petak/tahun dengan harga rata-
rata Rp 16318, Pakan ikan/tahun rata-rata Rp 31226404, biaya tenaga kerja/tahun
rata-rata Rp 4506400, biaya transportasi/tahun rata-rata Rp 3431900, penyusutan
jaring/tahun Rp 300000, biaya listrik/tahun rata-rata Rp 326957. Untuk biaya
pemasaran yaitu, pembelian plastik/tahun Rp 1256478 , penyediaan
oksigen/tahun Rp 826913, dan karet untuk pengikat plastik/tahun Rp 50202.
110
Berdasarkan data di atas, maka untuk menghitung nilai ekonomi KJA
yang terdapat di Danau Maninjau adalah:
Produksi rata-rata/pertahun adalah = 3641 kg/petak/tahun
Harga/kg = Rp 16352
Jumlah Produksi seluruhnya = 3641 kg/ptk/tahun x 10243 ptk
= 37294763kg/tahun x Rp 16 352
= Rp 609.843.964.576
Biaya Produksi :
Jumlah biaya prod. Seluruh = Rp 470.306.187.541
Biaya Pemasaran :
Jumlah biaya pemasaran = Rp 21.854.393.099
Total biaya = Rp 492.160.580.640
Nilai ekonomi KJA = Rp 117.683.383.936
5.1.1.1. Nilai Ekonomi Perikanan Tangkap
Dari hasil survey dan wawancara yang dilakukan di lapangan dengan
jumlah responden 77 orang, diperoleh informasi bahwa masyarakat yang bekerja
dibidang perikanan tangkap di danau maninjau sangat tergantung kehidupannya
sehari-hari dari hasil penangkapan ikan di danau, karena masyarakat tersebut
kebanyakan tidak memiliki keahlian atau keterampilan lain untuk mencari
nafkah dan kebanyakan diatara mereka hanya berpendidikan sekolah dasar atau
sekolah lanjutan pertama. Petani perikanan tangkap yang ada di Danau
Maninjau adalah orang-orang yang berada dalam usia produktif yaitu rata-rata 41
tahun seperti terlihat pada tabel 16.
Tabel 16 Distribusi Persentase Usia Responden Rumah Tangga Nelayan
Tangkap di Sekitar Danau Maninjau
No Usia Jumlah Persentase
1 21 – 30 11 14,3
2 31 – 40 25 32,5
3 41 – 50 31 40,3
4 51 – 60 10 12,9
Jumlah 77 100
111
Dari tabel 16 di atas dapat dilihat bahwa nelayan perikanan tangkap
terbesar yaitu usia 41 – 50 tahun sebanyak 31 orang (40,3%), dan yang paling
sedikit yaitu usia 51 – 60 tahun sebanyak 10 orang (12,9%). Untuk usia 21 – 30
hanya 11 orang (14,3%), hal ini disebabkan oleh masyarakat di kawasan Danau
Maninjau terkenal dengan budaya merantau bagi generasi muda , motivasi
mereka beragam diantaranya, mencari pekerjaan yang lebih baik di kota,
berdagang, menuntut ilmu dan lain-lain dan sangat banyak tokoh nasional yang
sudah berhasil di rantau saat ini.
Untuk menghitung Nilai Ekonomi Perikanan Tangkap dilakukan
wawancara dengan responden dan didapat data bahwa peralatan yang
dipergunakan untuk menangkap ikan adalah jaring dan ikan yang didapat adalah
ikan bilih, para nelayan perikanan tangkap melakukan penangkapan ikan dalam
satu minggu rata-rata 5 hari dengan hasil tangkapan setiap harinya rata-rata
sebanyak 3,39 kg/hari dan dalam satu minggu adalah 17,45/minggu. Para
nelayan melakukan penangkapan ikan dalam satu tahun hanya delapan bulan.
Harga ikan bilih rata-rata Rp 9500/kg. Biaya yang dikeluarkan oleh para nelayan
pada saat menangkap ikan adalah biaya konsumsi Rp 24500/hari, biaya
penyusutan jaring Rp 640700/tahun dan penyusutan perahu Rp 377200/tahun.
Dengan demikian nilai ekonomi perikanan tangkap (lampiran 3) adalah,
hasil penangkapan ikan dalam setahun Rp 1 639 183 200, dikurang biaya yang
dikeluarkan oleh nelayan untuk menangkap ikan selama satu tahun Rp 6 897
900, =Rp 1632 285 300.
Nilai Ekonomi SDAL danau maninjau untuk pemanfaatan perikanan
pertahun adalah Rp 119.315.669.236
5.1.2. Nilai Ekonomi Pemanfaatan Irigasi
Untuk menghitung nilai ekonomi irigasi telah dilakukan survai terhadap
para petani yang berada disekitar aliran sungai Antokan yang memanfaatkan air
irigasi. Survey ini bertujuan untuk mengumplkan data tentang biaya pengadaan
air per hektar per tahun.
112
Survai ini dilakukan terhadap petani sebanyak 98 orang Rumah Tangga
Petani dari tujuh dusun dengan wawancara dengan menggunakan kusioner yang
telah disiapkan. Dusun-dusun yang dijadikan sampel disajikan pada Tabel 17
Tabel 17 Jumlah sampel Dusun Rumah Tangga Petani Pemanfaat Air
Irigasi Aliran Sungai Antokan Danau Maninjau
No Dusun Jumlah RTP
1 Parit Panjang 41
2 Bandar Baru 4
3 Lumbuk Basung 24
4 Buwaan 7
5 Balai Akat 17
6 lumbuk Kumbuk 1
7 Koto Batu 4
Jumlah 98
Dari hasil wawancara dan survai yang dilakukan terhadap para petani
bahwa mereka tergabung ke dalam Perhimpunan Petani Pemakai Air (P3A),
kelompok tani cukup aktif mengadakan pertemuan untuk berdiskusi tentang
permasalahan yang dihadapi. Intensitas penanaman padi yang dilakukan oleh
petani setiap tahunnya rata-rata dua kali.
Biaya pengadaan air irigasi yang dibebankan kepada petani di setiap
dusun berbeda-beda tergantung dari hasil kesepakatan yang diperoleh dari rapat
kelompok tani. Biaya yang dibebankan kepada petani biasanya digunakan untuk
,perbaikan saluran yang rusak, ada juga yang digunakan untuk ritual tolak bala,
digunakan untuk warung kelompok yang menjual obata-obat tanaman, untuk
gotong royong mengeruk saluran yang sudah dangkal dan membersihkan semak-
semak sekitar irigasi. Iuran yang dibebankan kepada para petani biasanya
disepakati berdasarkan luas lahan pertanian yang dimiliki dan dibayarkan pada
saat setelah panen dilakukan dengan hitungan gantang. Untuk saat ini satu
gantang tersebut dikonversi ke rupiah adalah Rp 5000. Untuk luas lahan 1 ha
biasanya dikenakan iuran kepada petani sebesar 20 gantang/musim panen.
Berdasarkan data yang diperoleh di lapangan dan diolah, maka biaya
pengadaan air adalah = Rp 3.620.000/35 ha
113
= Rp 103 429/ha/musim
Nilai Ekonomi Irigasi = Rp 103 429 x 3471ha
= Rp 359.002.059/musim
Nialai Ekonomi Irigasi 1 tahun =Rp 359.002.059 x 2 = Rp 718.004.118
5.1.3. Nilai Ekonomi Listrik
Untuk menghitung nilai ekonomi listrik digunakan data sekunder yang
diperoleh dari PLTA Danau Maninjau. PLTA Maninjau merupakan pembangkit
listrik tenaga air yang memamanfaatkan air dari danau maninjau melalui sungai
antokan. Pola pengoperasian PLTA maninjau diatur oleh Unit Pengatur Beban
(UPB) yang mengacu kepada data tahun hidrologi, yang terdiri dari musim
kemarau, basah dan basah sekali.
PLTA Maninjau dioperasikan sesuai dengan kapasitas air yang tersedia
yaitu pada elevasi 464 – 463 Msal. Produksi listrik dan pemakaian air danau
maninjau dari tahun 2001 – 2010, dapat dilihat pada Tabel 18.
Tabel 18. Produksi listrik dan pemakaian air Danau Maninjau dari tahun
2001 – 2010
Elevasi
Tahun Produksi
MWT Maksimum
Masl
Minimum
Masl
Fluktuasi
(m)
Outflow turbin
(m3/tahun)
2001 237177 464,98 464,57 1,41 438478.488
2002 173607 463,37 462,38 0.99 320954118
2003 230025 464,05 462,92 1,13 425256303
2004 226810 463,84 462,53 1,31 419312606
2005 230203 463,59 463,29 0,30 425585379
2006 205592 463,21 462,95 0,90 507532606
2007 242099 464,22 462,24 0,98 43665974
2008 316117 463,04 462,76 1,30 436659329
2009 214964 463,52 462,17 1,51 495473278
Rataan 230733 463,76 462,87 390324231
114
Dari tabel di atas terlihat bahwa rata-rata jumlah produksi listrik yang
dihasilkan oleh PLTA maninjau adalah 230733mwh/tahun dengan elevasi rata-
rata 463,76 Msal. Produksi yang dihasilkan tersebut dijual ke PLN sebesar97%,
sedangkan 3% dipergunakan sendiri oleh PLTA sebagai pembangkit dan
ditambah losses. PLN menjual kepada masyarakat 89%, sedangkan 8%
dipergunakan oleh PLN bagian pembangkit, bagian penyalur dan bagian
distribusi ditambah losses. PLN menetapkan harga jual kepada masyarakat Rp
480/kwh. Nilai ekonomi listrik pertahun adalah = 230733.000 kwh x 89%
=205352370 kwh x R 480
= Rp 98.569.137.600.
5.1.4. Nilai Ekonomi Rekreasi.
Untuk menghitung nilai ekonomi rekreasi ini telah dilakukan wawancara
dengan menggunkan kusioner yang telah ditetapkan kepada pengunjung yang
datang ke Danau Maninau sebanyak 97 orang. Dari data yang diperoleh dapat
dikemukakan beberapa karakteristik responden yang dijadikan sampel dalam
penelitian ini yang meliputi, usia, pendidikan, pekerjaan, penghasilan per bulan,
status perkawinan, tanggungan keluarga, waktu luang perminggu, pengalokasian
uang wisata secara rutin, sumber informasi. Karakter pengunjung yang datang
berwisata ke Danau Maninjau berdasarkan usia dapat dilihat pada Tabel 19
Tabel 19 Pengunjung yang Datang berwisata ke Danau Maninjau Berdasarkan
Usia
No Usia Jumlah Persentase
1 21-30 16 16,49
2 31-40 46 47,42
3 41-50 32 32,99
4 51-60 3 3,09
Jumlah 97 100
Berdasarkan data di atas terlihat bahwa usia pengunjung yang terbanyak
datang untuk berwisata ke Danau Maninjau adalah usia 31 – 40 tahun yaitu
sebanyak 46 orang (47,42%). Pada usia ini sebagian besar responden sudah
bekeluarga dan bekerja. Untuk usia 41 – 50 tahun sebanyak 32 orang (32%),
115
sedangkan usia pengunjung yang terkecil yaitu usia 51 – 60 tahun yaitu sebanyak
3 orang (3,09%). Pengunjung yang datang berwisata ke Danau Maninjau
kebanyakan beserta keluarga untuk menghilangkan kepenatan dan kejenuhan
dalam aktivitas pekerjaan sehari-hari. Para remaja yang berusia 21 – 30 tahun
banyak menikmati keindahan panorama kelok 44 dan olah raga paralayang yang
terdapat di sekitar Danau Maninjau.
Karakteristik responden yang datang berkunjung untuk rekreasi ke Danau
Maninjau berdasarkan pendidikan dapat disajikan pada tabel 20.
Tabel 20 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan
No Pendidikan Jumlah Persentase
1 SD 5 5,15
2 SLTP 11 11,34
3 SLTA 52 53,61
4 PT 29 29,90
Jumlah 97 100
Tabel 20 memperlihatkan bahwa pengunjung yang datang berwisata ke
Danau Maninjau adalah masyarakat yang berpendidikan SLTA dengan jumlah
52 orang (53,61%), diteruskan dengan tingkat pendidikan Perguruan Tinggi
dengan jumlah 29 orang (29,90 %), dan SLTP yaitu sebanyak 11 orang (11,34%)
serta yang berpendidikan SD sebanyak 5 orang (5,15%). Data di atas
menunjukkan bahwa Danau Maninjau merupakan tempat wisata yang
pengunjungnya memiliki latar belakang pendidikan yang beragam.
Untuk menghitung nilai ekonomi rekreasi digunakan metode biaya
perjalanan (Fauzi, 2004) dengan didasarkan pada asumsi:
1. Kunjungan wisata ke lokasi rekreasi Danau Maninjau merupakan tujuan
utama tanpa melakukan kunjungan ke tempat lain.
2. Semua pengunjung memiliki preferensi yang sama terhadap objek wisata
Danau Maninjau, sehingga biaya yang dikeluarkan mendapatkan nilai
kepuasan yang sama.
3. Biaya perjalanan dari suatu zona mencerminkan harga dari wisata dan
jumlah kunjungan per seribu penduduk dari suatu zona mencerminkan
permintaan wisata, dengan demikian berdasarkan teori permintaan semakin
116
besar biaya perjalanan maka jumlah kunkungan per seribu penduduk akan
semakin menurun.
Jumlah pengunjung rata-rata, lama kunjungan dan biaya rata-rata
perjalanan dari masing-masing zona kunjungan dapat dilihat pada tabel 21.
Tabel 21 Jumlah Pengunjung Rata-rata, Lama Kunjungan dan Biaya
Rata-rata Perjalanan dari Masing-masing Zona Kunjungan
No Zona Jarak
(km)
Jumlah
Kunjungan
(orang)
Rata-rata
biaya
Kunjungan
Rata-rata
waktu
kunjungan
(menit)
1 Padang 114 15 111667 314
2 Pariaman 58 12 64583 283
3 Bukittinggi 63 8 61250 271
4 Payakumbuh 96 9 80000 267
5 Padang Panjang 88 6 120000 277
6 Batusangkar 104 5 113000 250
7 Painan 191 7 231429 463
8 Lubuk Sikaping 159 11 226364 481
9 Sawahlunto 110 6 160000 280
10 Muaro Sijunjung 195 12 271667 367
11 Solok 138 3 185000 290
12 Kayoaro 154 3 203333 340
Jumlah 97
Berdasarkan data di atas trlihat bahwa jumlah pengunjung terbanyak
adalah datang dari Kota Padang yaitu sebanyak 15 orang, hal ini disebabkan oleh
Kota Padang sebagai Ibukota Provinsi Sumatera Barat juga merupakan pusat
perekonomian terutama perdagangan sehingga tingkat kesejahteraan
masyarakatnya juga lebih tinggi dibandingkan dengan masyarakat di
Kabupaten/Kota lain yang ada di Sumatera Barat , seperti daerah lain yang ada di
Indonesia ini bahwa setiap Ibukota Provinsi disana juga terdapat pusat
perekonomian terutama perdagangan. Selanjutnya Pariaman dan Sijunjung
dengan jumlah pengunjung 12 orang.
117
Untuk menghitung nilai ekonomi wisata maka dilakukan penghitungan
jumlah kunjungan per 1000 orang penduduk per tahun seperti disajikan pada
Tabel 22.
Tabel 22. Jumlah Kunjungan per 1000 orang penduduk per tahun
Sampel
No Zona
Jumlah
Penduduk
(orang) orang %
Prediksi
jumlah
pengunjung
Dari Zona
(orang)
Kunjungan
per 1000
penduduk
(orng/th)
1 Padang 335.926 15 15,5 10.809 32,176729
2 Pariaman 387.195 12 12,4 8.646,8 22,3319
3 Bukittinggi 106.045 8 8,2 5.765 54,363714
4 Payakumbuh 105994 9 9,3 6.485 61,182708
5 Padang Panjang 54.218 6 6,2 4.323 79,733668
6 Batusangkar 335.926 5 5,2 3.603 10,725576
7 Painan 442.257 7 7,2 5.044 11,405133
8 Lubuk Sikaping 333.192 11 11,3 7.926 23,788086
9 Sawahlunto 54.307 6 6,2 4.323 79,602998
10 Muaro Sijunjung 202.275 12 12,4 8.647 42,748733
11 Solok 58.473 3 3,1 2.161,7 36,969199
12 Kayoaro 355.105 3 3,1 2.162 6,0883401
Jumlah 2.770.913 97 100 69.895
Sumber : BPS tahun 2009
Jumlah pengunjung tahun 2008 adalah 69.895 orang.
Dari kunjungan per 1000 penduduk (Y), dan biaya perjalanan serta
peubah-peubah sosial ekonomi X) diregresikan menggunakan persamaan sebagai
berikut :
Y = a +b1X1 + b2X2 + b3X3 + b4X4 + b5X5 + E………………(6)
Dimana :
Y = Kunjungan per 1000 penduduk
X1 = Total biaya perjalanan dari masing-masing zona (Rp/orang)
X2 = Rata-rata umur pengunjung
X3 = Pendapatan rata-rata (Rp juta/kapita/tahun)
X4 = Tingkat pendidikan
118
X5 = Lama kunjungan
E = Galat
Hasil pengolahan data dengan menggunakan program SPSS versi 17,
didapat persamaan permintaan wisata Danau Maninjau adalah :
Y = -86,5506 – 0,002X1 + 5,2792X2 + 0,1318X3 – 7,0214X4 – 10,0792X5
Hasil persamaan di atas mempunyai nilai koefisien diterminan (R2)
sebesar 89,8 persen. Dari hasil ini terlihat bahwa jumlah kunjungan wisata ke
Danau Maninjau per 1000 penduduk di masing-masing zona berkorelasi negatif
dengan total biaya perjalanan dan berkorelasi positif dengan pendapatan rata-
rata. Untuk nilai koefisien diterminan (R2) sebesar 89,8 persen menggambarkan
bahwa fungsi di atas dapat menjelaskan sebesar 89,8 persen.
Untuk menentukan nilai ekonomi total wisata Danau Maninjau (nilai
kesediaan membayar, nilai yang dibayarkan dan surplus konsumen) didasarkan
pada biaya perjalanan dengan menganggap peubah-peubah lainnya tetap dengan
persamaan sebagai berikut :
Y = 72,2241 – 0,0002X1
Persamaan tersebut di atas diinfersi menjadi X1 = -98000,50 –
4126,05Y, dan selanjutnya diintegralkan dengan batas bawah Y = 0 dan batas
atas Y = nilai rata-rata. Dari hasil perhitungan diperoleh rata-rata kesediaan
membayar, nilai yang dibayarkan dan surplus konsumen seperti terlihat pada
Tabel 23 dan Gambar 7
Tabel 23. Hasil Penghitungan Nilai Ekonomi Wisata Danau Maninjau
Nilai Ekonomi
Rata per 1000
penduduk
(Rp/kunjungan)
Populasi
Nilai Total
(2)x(3)/1000
(Rp/tahun)
(1) (2) (3) (4)
Kesediaan membayar
Nilai yang dibayarkan
Surplus konsumen
35,66
35,66
158.183,00
139.817,50
3.147.860
5.640.806
2.492.946
119
X1 = -4126,05Y + 29800,50
-
50.000,00
100.000,00
150.000,00
200.000,00
250.000,00
300.000,00
350.000,00
0 20 40 60 80
Nilai yang
dibayarkanS eries 1
L inear (S eries 1)
Jumlah kunjungan per 1000 penduduk
Gambar 7 Kurva permintaan Wisata Danau Maninjau
5.1.5. Nilai Ekonomi Pemanfaatan Domestik
Hasil wawancara yang dilakukan kepada masyarakat yang tinggal di
sekitar Danau Maninjau, diperoleh data yang berkaitan dengan pemanfaatan
domestik (mandi, mencuci, dan mengambil air minum) sebanyak 169 responden.
Karakteristik responden berdasarkan jarak tempat tinggal dengan danau dapat
dilihat pada Tabel 24.
Tabel 24. Karakteristik Responden Berdasarkan Jarak Tempat Tinggal dengan
Danau
Jarak (meter) Frekwensi Persentase
≤ 100 32 18,93
101 – 200 61 36,09
201 – 300 42 24,85
301 – 400 28 16,57
≥ 401 6 3,55
Jumlah 169 100
Berdasarkan Tabel 24 di atas dapat dilihat bahwa jarak tempat tinggal
penduduk yang dapat memanfaatkan air Danau Maninjau untuk kebutuhan
sehari-hari sangat bervariasi, penduduk yang paling banyak memanfaatkan air
Danau Maninjau untuk kebutuhan sehari-hari yaitu penduduk yang memiliki
120
jarak pemukimam dengan danau 101 – 200 meter sebanyak 61 orang ( 36,09 %)
dan yang terkecil yaitu jarak ≥ 401meter sebanyak 6 orang (3,55 %).
Dari hasil survey yang dilakukan, diperoleh rata-rata waktu yng
dikorbankan setiap hari oleh masyarakat untuk pergi dan pulang ke Danau
Maninjau sebanyak 21,12 menit. Untuk setiap menit waktu yang dikorbankan
dihargai Rp 104,- (upah harian yang berlaku di daerah sekitar Danau Maninjau
Rp.50.000,-). Jumlah masyarakat yang memanfaatkan air danau untuk kebutuhan
domestik 30% dari jumlah penduduk di sekitar Danau Maninjau. Nilai ekonomi
pemanfaatan domestik berdasarkan nilai waktu yang dikorbankan dapat dihitung.
Nilai Ekonomi Domestik = 32.998 x 30% x 21,12 x 360 x Rp104,-
7.827.780.280,-
Dengan menggunakan metode kontingensi diketahui rata-rata kesediaan
masyarakat membayar untuk setiap hari untuk mempertahankan agar tetap
dapat memanfaatkan danau untuk kebutuhan sehari-hari sebesar Rp 908,88.
Maka nilai ekonomi domestik dapat dihitung sebagai berikut.
Nilai Ekonomi Domestik = 32.998 x 30% x 360 x 908 =Rp 3.239.052.002.
Untuk menentukan nilai ekonomi domestik digunakan nilai berdasarkan
waktu yang dikorbankan, karena hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa
masyarakat belum memiliki pengetahuan dan pemahaman yang cukup untuk
memberikan penilaian.
5.2. Nilai Guna Tidak Langsung
Dari hasil wawancara dengan responden kesediaan membayar
masyarakat (Willingness to pay) terhadap Nilai Guna Tidak Langsung yaitu
fungsi ekologis danau dengan pekerjaan dan variabel sosial ekonomi lainnya
diperoleh persamaan
WTP NGTL = 155200
Maka nilai WTP NGTL total dikalikan jumlah penduduk sekitar Danau
Maninjau 32998 orang = 155200 x 32998
= 5,121,289,600.00
121
5.3. Nilai Pilihan
Dari hasil wawancara dengan responden kesediaan membayar
masyarakat (Willingness to pay) terhadap Nilai Pilihan, yaitu mempertahankan
eksistensi danau dengan pekerjaan dan variabel sosial ekonomi lainnya diperoleh
persamaan
WTP NP = 98100
Maka nilai WTP NP total dikalikan jumlah penduduk sekitar Danau Maninjau
32998 orang = 98100 x 32998 = 3,237,103,800.00
5.4. Nilai Bukan Guna
Dari hasil regresi kesediaan membayar masyarakat (Willingness to pay)
terhadap Nilai Bukan Guna, yaitu danau sebagai warisan dengan pekerjaan dan
variabel sosial ekonomi lainnya diperoleh persamaan
WTP NBG = 92000
Maka nilai WTP NBG total dikalikan jumlah penduduk sekitar Danau Maninjau
32998 orang = 92000 x 32998 = 3,035,816,000.00
5.5. Persepsi Masyarakat terhadap keberadaan Danau Maninjau
Untuk mengetahui persepsi masyarakat terhadap sumberdaya alam dan
lingkungan Danau Maninjau telah dilakukan survey terhadap 169 responden
masyarakat yang berdomisili di sekitar Danau Maninjau. Karakteristik responden
yang dijadikan sampel dalam penelitian ini telah dijelaskan pada bagian
penghitungan nilai ekonomi pemanfatan domestik terdahulu.
Persepsi masyarakat terhadap sumberdaya alam dan lingkungan Danau
Maninjau dapat dilihat dari beberapa aspek diantaranya : a) status kepemilikan
SDAL Danau Mainjau, b) hak pemanfaatan Danau Maninjau untuk perikanan, c)
hak pemanfaatan Danau Maninjau untuk irigasi, d) hak pemanfaatan Danau
Maninjau untuk pariwisata, e) hak pemanfaatan Danau Maninjau untuk
kebutuhan domestik, f) kewajiban untuk menjaga kelestarian Danau Maninjau,
g) hak untuk mengatur pengelolaan Danau Maninjau, h) kondisi eksisting Danau
Maninjau, i) dampak PLTA terhadap masyarakat sekitar Danau Maninjau, j)
dampak perikanan budidaya keramba jaring apung terhadap masyarakat, k)
pengelolaan dampak PLTA Maninjau oleh PLN.
122
5.5.1. Status Kepemilikan Danau Maninjau
Hasil survey tentang persepsi masyarakat di sekitar Danau Maninjau
terhadap status kepemilikan sumberdaya alam dan lingkungan Danau Maninjau
disajikan pada Tabel 25
Tabel 25 Persepsi Masyarakat terhadap Kepemilikan Danau Maninjau
No Status Kepemilikan
Danau Maninjau Frekuensi Persentase
1
2
3
4
Semua Orang
Pemerintah
Masyarakat Setempat
Ragu-Ragu
41
29
81
18
24,3
17,2
47,9
10,7
Jumlah 169 100
Berdasarkan tabel di atas terlihat bahwa 47,9% atau sebanyak 81 orang
responden menyatakan bahwa status kepemilikan sumberdaya alam dan
lingkungan Danau Maninjau adalah milik masyarakat yang ada di sekitar Danau
Maninjau. Responden yang menyatakan bawa sumberdaya alam dan lingkungan
Danau Maninjau adalah milik bersama (common property right) adalah 24,3%
atau 41 orang dan responden yang menyatakan bahwa sumberdaya alam dan
lingkungan Danau Maninjau milik pemerintah dalah 17,2%, serta ragu-ragu
adalah 10,7% atau 18 orang, ragu-ragu.
Terjadinya perbedaan persepsi masyarakat terhadap status kepemilikan
Sumberdaya Alam dan Lingkungnan Danau Maninjau dapat dilihat dari
karakteristik masyarakat itu. Hasil uji Chi-Square dapat dilihat pada Tabel 26
123
Tabel 26 Hubungan Persepsi Masyarakat Terhadap Status Kepemilikan Danau
Maninjau Dengan Karakteristik Responden
No Karakteristik
Responden Value Asyp.Sig
Contigency
Coeficient
1
2
3
4
5
Jarak tempat tinggal
Jenis Pekerjaan
Umur
Pendidikan
Pendapatan
18,678
21,054
6,394
24,535
10,808
0,028
0,135
0,700
0,017
0,289
0,315
0,333
0,191
0,356
0,245
Keterangan : ** nyata pada p<0,05
***nyata pada p<0,2
Berdasarkan Tabel 26 di atas terlihat bahwa hubungan antara antara
jarak tempat tinggal dengan danau, jenis pekerjaan dan tingkat pendidikan
masyarakat dengan persepsi terhadap status kepemilikan sumberdaya alam dan
lingkungan Danau Maninjau terdapat hubungan yang signifikan seperti
ditunjukkan oleh Asym. Sig < 0,05 (Pendidikan dan Jarak tempat tinggal) dan
Asymp. Sig. < 0.2 (Pekerjaan). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa berbeda
jarak tempat tinggal, jenis pekerjaan dan pendidikan, maka akan berbeda pula
persepsinya terhadap status kepemilikan sumberdaya alam dan lingkungan
Danau Maninjau. Dilihat dari keeratan hubungannya antara jarak tempat tinggal
dengan danau, jenis pekerjaan dan pendidikan dengan persepsinya terhadap
status kepemilikan sumberdaya alam dan lingkungan Danau Maninjau tidak
terdapat hubungan yang erat, karena koefisien kontigensinya < 0,50.
5.5.2. Hak Pemanfaatan SDAL Danau Maninjau Untuk Perikanan
Berdasarkan hasil survey yang dilakukan terhadap responden tentang
persepsi masyarakat yang berkaitan dengan pemanfaatan sumberdaya alam dan
lingkungan Danau Maninjau untuk perikanan disajikan pada Tabel 27
124
Tabel 27 Persepsi Masyarakat terhadap Hak Pemanfaatan SDAL Danau
Maninjau Untuk Perikanan
No Hak Pemanfaatan Danau Maninjau
Untuk Perikanan Frekuensi Persentase
1
2
3
4
Semua Orang
Pemerintah
Masyarakat Setempat
Ragu-Ragu
49
9
105
7
28,4
5,3
62,1
4,1
Jumlah 169 100
Berdasarkan Tabel 27 di atas terlihat bahwa 62,1% atau sebanyak 105
orang responden menyatakan bahwa yang berhak memanfaatkan sumberdaya
alam dan lingkungan Danau Maninjau untuk perikanan adalah masyarakat
setempat dan 28,4% atau sebanyak 49 orang menyatakan bahwa yang berhak
memanfaatkan sumberdaya alam dan lingkungan Danau Maninjau untuk
perikanan adalah semua orang sedangkan 5,3% atau 9 orang menyatakan bahwa
yang berhak memanfaatkan untuk perikanan adalah pemerintah serta 4,1% atau 7
orang menyatakan ragu-ragu.
Adanya perbedaan persepsi masyarakat terhadap hak pemanfaatan
sumberdaya alam dan lingkungan Danau Maninjau untuk perikanan dapat dilihat
hubungannnya dengan karakteristik masyarakat tersebut. Hasil uji Chi-Square
disajikan pada Tabel 28
Tabel 28 Hubungan Persepsi Masyarakat terhadap Hak Pemanfaatan SDAL
Danau Maninjau Untuk Perikanan
No Karakteristik
Responden Value Asyp.Sig
Contigency
Coeficient
1
2
3
4
5
Jarak tempat tinggal
Jenis Pekerjaan
Umur
Pendidikan
Pendapatan
3.500
15.265
5.620
37.905
1.197
0,744
0,123
0,467
0,000
0,977
0,142
0,288
0,179
0,428
0,084
Keterangan : * Sangat nyata p<0,01
** nyata pada p<0,05
***nyata pada p<0,2
125
Berdasarkan Tabel 28 di atas terlihat bahwa hubungan antara jenis
pekerjaan dan tingkat pendidikan masyarakat dengan persepsi terhadap hak
pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan Danau Maninjau untuk perikanan
terdapat hubungan yang signifikan seperti ditunjukkan oleh Asym. Sig < 0,01
(Pendidikan) dan Asym. Sig < 0,2 (Pekerjaan). Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa berbeda jenis pekerjaan dan pendidikan, maka akan berbeda
pula persepsinya terhadap hak pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan
Danau Maninjau untuk perikanan. Dilihat dari keeratan hubungannya antara
jarak tempat tinggal dengan danau, jenis pekerjaan dan pendidikan dengan
persepsinya terhadap hak pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan Danau
Maninjau untuk perikanan tidak terdapat hubungan yang erat, karena koefisien
kontigensinya < 0,50.
5.5.3. Hak Pemanfaatan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Danau
Maninjau untuk Pariwisata
Hasil survey tentang persepsi masyarakat di sekitar Danau Maninjau
terhadap pemanfaatan Sumberdaya alam dan lingkungan Danau Maninjau untuk
pariwisata disajikan pada Tabel 29
Tabel 29 Persepsi Masyarakat terhadap Hak Pemanfaatan SDAL Danau
Maninjau Untuk Pariwisata
No Hak Pemanfaatan Danau
Maninjau Untuk Pariwisata Frekuensi Persentase
1
2
3
4
Semua Orang
Pemerintah
Masyarakat Setempat
Ragu-Ragu
62
43
57
8
36,1
25,4
33,7
4,7
Total 169 100
Tabel 29 menunjukkan bahwa 36,1% atau sebanyak 62 responden
menyatakan bahwa yang berhak memanfaatkan sumberdaya alam dan
lingkungan Danau Maninjau untuk pariwisata adalah semua orang. 33,7% atau
57 orang responden mengatakan bahwa yang berhak memanfaatkan sumberdaya
alam dan lingkungan danau untuk pariwisata adalah masyarakat setempat serta
126
25,4% atau 43 oarng menyatakan yang berhak adalah pemerintah serta 4,7%
atau 8 orang ragu-ragu.
Perbedaan persepsi masyarakat terhadap pemanfaatan sumberdaya alam
dan lingkungan Danau Maninjau untuk pariwisata dapat dilihat pada uji Chi-
quare pada Tabel 30
Tabel 30 Hubungan Persepsi Masyarakat terhadap Hak Pemanfaatan SDAL
Danau Maninjau Untuk Pariwisata
No Karakteristik
Responden Value Asyp.Sig
Contigency
Coeficient
1
2
3
4
5
Jarak tempat tinggal
Jenis Pekerjaan
Umur
Pendidikan
Pendapatan
7,208
19,352
10,663
5,967
6,327
0,615
0,198
0,300
0,918
0,707
0,202
0,321
0,244
0,185
0,190 Keterangan : ***nyata pada p<0,2
Dari Tabel 30 di atas terlihat bahwa antara antara jenis pekerjaan dan
persepsi terhadap hak pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan Danau
Maninjau untuk pariwisata terdapat hubungan yang signifikan seperti
ditunjukkan oleh Asym. Sig < 0,2. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
berbeda jenis pekerjaan, maka akan berbeda pula persepsinya terhadap hak
pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan Danau Maninjau untuk
pariwisata. Dilihat dari keeratan hubungannya antara jenis pekerjaan dengan
persepsinya terhadap hak pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan Danau
Maninjau untuk pariwisata tidak terdapat hubungan yang erat, karena koefisien
kontigensinya < 0,50.
5.5.4. Hak Pemanfaatan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Danau
Maninjau untuk Irigasi
Berdasarkan hasil survey di lapangan tentang persepsi masyarakat di
sekitar Danau Maninjau yang berhubungan dengan hak pemanfaatan sumberdaya
alam dan lingkungan Danau Maninjau untuk irigasi dapat dilihat pada Tabel 31
127
Tabel 31 Persepsi Masyarakat terhadap Hak Pemanfaatan SDAL Danau Maninjau
Untuk Irigasi
No Hak Pemanfaatan Danau Maninjau
Untuk Irigasi Frekuensi Persentase
1
2
3
4
Semua Orang
Pemerintah
Masyarakat Setempat
Ragu-Ragu
38
56
70
5
22,5
33,1
41,4
3,0
Total 169 100
Dari Tabel 31 di atas terlihat bahwa 41,4% atau sebanyak 70 orang
responden menyatakan bahwa yang berhak memanfaatkan sumberdaya alam dan
lingkungan Danau Maninjau untuk irigasi adalah masyarakat setempat dan
33,1% atau sebanyak 56 orang menyatakan bahwa yang berhak memanfaatkan
sumberdaya alam dan lingkungan Danau Maninjau untuk perikanan adalah
pemerintah sedangkan 22,5% atau 38 orang menyatakan bahwa yang berhak
memanfaatkan untuk perikanan adalah semua orang serta 3% atau 5 orang
menyatakan ragu-ragu.
Adanya perbedaan persepsi masyarakat terhadap hak pemanfaatan
sumberdaya alam dan lingkungan Danau Maninjau untuk irigasi dapat dilihat
dalam kaitannya dengan karakteristik masyarakat tersebut. Hasil uji asosiasi Chi-
Square pada Tabel 32
Tabel 32 Hubungan Persepsi Masyarakat terhadap Hak Pemanfaatan SDAL
Danau Maninjau Untuk Irigasi
No Karakteristik
Responden Value Asyp.Sig
Contigency
Coeficient
1
2
3
4
5
Jarak tempat tinggal
Jenis Pekerjaan
Umur
Pendidikan
Pendapatan
12,284
27,799
13,766
10,876
7,509
0,198
0,023
0,131
0,540
0,584
0,260
0,376
0,274
0,246
0,206
Keterangan : ** nyata pada p<0,05
***nyata pada p<0,2
128
Dari Tabel 32 di atas memperlihatkan bahwa terdapat hubungan antara
jarak tempat tinggal, pekerjaan dan umur dengan persepsinya terhadap hak
pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan Danau Maninjau untuk irigasi
terdapat hubungan yang signifikan seperti ditunjukkan oleh Asym.Sig < 0,05
(Pekerjaan) dan Asym.Sig. <0,2 (Jarak tempat tinggal dan Umur). Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa berbeda jarak tempat tinggal, pekerjaan dan
umur maka berbeda pula persepsinya terhadap hak pemanfaatan sumberdaya
alam dan lingkungan Danau Maninjau untuk irigasi. Dilihat dari keeratan
hubungannya, antara jarak tempat tinggal, pekerjaan dan umur dengan
persepsinya terhadap pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan untuk
irigasi tidak terdapat hubungan yang erat karena koefisien kontigensinya < 0,50.
5.5.5. Hak Pemanfaatan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Danau
Maninjau untuk Kebutuhan Domestik
Persepsi masyarakat yang berada di sekitar Danau Maninjau yang
berkaitan dengan hak pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan untuk
kebutuhan domestik dapat dilihat pada Tabel 33.
Tabel 33 Persepsi Masyarakat terhadap Hak Pemanfaatan SDAL Danau
Maninjau Untuk Domestik
No Hak Pemanfaatan Danau Maninjau
Untuk Kebutuhan Domestik Frekuensi Persentase
1
2
3
4
Semua Orang
Pemerintah
Masyarakat Setempat
Ragu-Ragu
70
29
58
12
41,4
17,2
34,3
7,1
Total 169 100
Tabel 33 terlihat bahwa 41,4% atau sebanyak 70 responden menyatakan
bahwa yang berhak memanfaatkan sumberdaya alam dan lingkungan Danau
Maninjau untuk kebutuhan domestik adalah semua orang, dan 34,3% atau 58
orang responden mengatakan bahwa yang berhak memanfaatkan sumberdaya
alam dan lingkungan danau untuk pariwisata adalah masyarakat setempat serta
129
17,2% atau 29 oarng menyatakan yang berhak adalah pemerintah serta 7,1%
atau 12 orang ragu-ragu.
Untuk melihat adanya perbedaan persepsi masyarakat terhadap
pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan Danau Maninjau untuk
kebutuhan domestik dapat dilihat dalam kaitannya dengan karakteristik
masyarakat tersebut pada hasil uji asosiasi Chi-Square pada Tabel 34
Tabel 34 Hubungan Persepsi Masyarakat terhadap Hak Pemanfaatan SDAL
Danau Maninjau Untuk Domestik
No Karakteristik
Responden Value Asyp.Sig
Contigency
Coeficient
1
2
3
4
5
Jarak tempat tinggal
Jenis Pekerjaan
Umur
Pendidikan
Pendapatan
7,417
30,699
12,626
11,697
13,235
0,594
0,010
0,180
0,470
0,152
0,205
0,392
0,264
0,254
0,269
Keterangan : ** nyata pada p<0,05
***nyata pada p<0,2
Berdasarkan Tabel 34 di atas terlihat bahwa hubungan antara antara
pekerjaan, umur dan pendapatan masyarakat dengan persepsi terhadap hak
pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan Danau Maninjau untuk
kebutuhan domestik terdapat hubungan yang signifikan seperti ditunjukkan oleh
Asym. Sig < 0,05 (Pekerjaan) dan Asyp. Sig. < 0,2 (Umur dan Pendapatan).
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa berbeda jenis pekerjaan, umur dan
pendapatan, maka akan berbeda pula persepsinya terhadap hak pemanfaatan
sumberdaya alam dan lingkungan Danau Maninjau untuk kebutuhan domestik.
Dilihat dari keeratan hubungannya antara jenis pekerjaan, umur dan pendapatan
dengan persepsinya terhadap pemanfaatan sumberdaya alam dan lungkungan
Danau Maninjau untuk kebutuhan domestik Maninjau tidak terdapat hubungan
yang erat, karena koefisien kontigensinya < 0,50.
130
5.5.6. Hak Untuk Mengatur Pengelolaan Sumberdaya Alam dan
Lingkungan Danau Maninjau
Hasil survey yang dilakukan kepada masyarakat di sekitar Danau
Maninjau yang berkaitan dengan hak untuk mengatur pengelolaan Danau
Maninjau dapat dilihat pada Tabel 35
Tabel 35 Persepsi Masyarakat terhadap Hak Untuk Mengatur Pengelolaan
Sumberdaya Alam dan Lingkungan Danau Maninjau
No Hak Untuk Mengatur Pengelolaan
Danau Maninjau Frekuensi Persentase
1
2
3
4
Semua Orang
Pemerintah
Masyarakat Setempat
Ragu-Ragu
19
58
79
13
11,2
34,3
46,7
7,7
Total 169 100
Dari Tabel 35 terlihat bahwa 46,7% atau sebanyak 79 orang responden
menyatakan bahwa yang berhak mengatur pengelolaan sumberdaya alam dan
lingkungan Danau Maninjau adalah masyarakat setempat, dan 34,3% atau 58
orang responden mengatakan bahwa yang berhak mengatur pengelolaan
sumberdaya alam dan lingkungan Danau Maninjau adalah pemerintah serta
11,2% atau 19 oarng menyatakan yang berhak adalah semua orang,sedangkan
7,7% atau 13 orang ragu-ragu.
Adanya perbedaan persepsi masyarakat terhadap hak pengelolaan
sumberdaya alam dan lingkungan Danau Maninjau dapat dilihat dalam kaitannya
dengan karakteristik masyarakat tersebut. Hasil uji asosiasi Chi-Square pada
tabel 36.
131
Tabel 36 Hubungan Persepsi Masyarakat terhadap Hak Pengelolaan
Sumberdaya Alam dan Lingkungan Danau Maninjau
No Karakteristik
Responden Value Asyp.Sig
Contigency
Coeficient
1
2
3
4
5
Jarak tempat tinggal
Jenis Pekerjaan
Umur
Pendidikan
Pendapatan
12.202
10.802
9.113
5.026
2.714
0,058
0,373
0,167
0,755
0,844
0,259
0,245
0,226
0,170
0,126 Keterangan : ***nyata pada p<0,2
Dari Tabel 36 di atas memperlihatkan bahwa terdapat hubungan antara
jarak tempat tinggal dan umur dengan persepsinya terhadap hak pengelolaan
sumberdaya alam dan lingkungan Danau Maninjau terdapat hubungan yang
signifikan seperti ditunjukkan oleh Asym.Sig < 0,2. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa berbeda jarak tempat tinggal dan umur maka berbeda pula
persepsinya terhadap hak pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan Danau
Maninjau. Dilihat dari keeratan hubungannya, antara jarak tempat tinggal dan
umur dengan persepsinya terhadap hak pengelolaan sumberdaya alam dan
lingkungan tidak terdapat hubungan yang erat karena koefisien kontigensinya <
0,50.
5.5.7. Kondisi Pengelolaan Eksisting Danau Maninjau
Hasil survey tentang persepsi masyarakat di sekitar Danau Maninjau
terhadap pemanfaatan Sumberdaya alam dan lingkungan Danau Maninjau untuk
pariwisata disajikan pada Tabel 37
132
Tabel 37 Persepsi Masyarakat terhadap Kondisi Pengelolaan Eksisting
Danau Maninjau
No Kondisi Pengelolaan Pemanfaatan
Danau Maninjau Saat ini Frekuensi Persentase
1
2
3
4
5
Sangat Teratur
Teratur
Ragu-Ragu
Kurang Teratur
Tidak Teratur
9
20
12
91
37
5,3
11,8
7,1
53,8
21,9
Total 169 100
Dari Tabel 37 di atas terlihat bahwa 53,8% atau sebanyak 91 orang
responden menyatakan bahwa kondisi eksisting Sumberdaya Alam dan
Lingkungan Danau Maninjau kurang teratur dan 21,9% atau sebanyak 37 orang
menyatakan bahwa kondisi eksisting Sumberdaya Alam dan Lingkungan Danau
Maninjau tidak teratur serta 11,8% atau 20 orang menyatakan bahwa kondisi
eksisting Sumberdaya Alam dan Lingkungan Danau Maninjau teratur, 7,1% atau
12 orang menyatakan ragu-ragu, dan 5,3% atau sebanyak 9 orang menyatakan
sangat teratur.
Terdapat perbedaan persepsi masyarakat terhadap pengelolaan eksisting
Danau Maninjau dapat dilihat dalam kaitannya dengan karakteristik masyarakat
tersebut. Hasil uji asosiasi Chi-Square pada Tabel 38
Tabel 38 Hubungan Persepsi Masyarakat terhadap Pengelolaan Eksisting Danau
Maninjau
No Karakteristik
Responden Value Asyp.Sig
Contigency
Coeficient
1
2
3
4
5
Jarak tempat tinggal
Jenis Pekerjaan
Umur
Pendidikan
Pendapatan
4,893
12,711
13,548
8,671
0,299
0,961
0,889
0,330
0,926
0,168
0,168
0,264
0,272
0,221
0,299
Keterangan : ***nyata pada p<0,2
133
Berdasarkan Tabel 38 di atas terlihat bahwa hubungan pendapatan
masyarakat terhadap persepsi pengelolaan eksisting Danau Maninjau terdapat
hubungan yang signifikan seperti ditunjukkan oleh Asym. Sig < 0,2. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa berbeda pendapatan, maka akan berbeda pula
persepsinya terhadap pengelolaan eksisting sumberdaya alam dan lingkungan
Danau Maninjau. Dilihat dari keeratan hubungannya antara pendapatan dengan
persepsinya terhadap pengelolaan eksisiting sumberdaya alam dan lungkungan
Danau Maninjau tidak terdapat hubungan yang erat, karena koefisien
kontigensinya < 0,50.
5.5.8. Dampak Usaha Perikanan Keramba Jaring Apung terhadap
Masyarakat
Persepsi masyarakat yang berada di sekitar Danau Maninjau yang
berkaitan dengan dampak usaha perikanan keramba jaring apung terhadap
masyarakat dapat dilihat pada Tabel 39
Tabel 39 Dampak Usaha Perikanan Keramba Jaring Apung Terhadap
Masyarakat
No
Dampak Usaha Perikanan
Keramba Jaring Apung Terhadap
Masyarakat
Frekuensi Persentase
1
2
3
4
5
Sangat Menguntungkan
Menguntungkan
Kurang Menguntungkan
Merugikan
Sangat Merugikan
60
92
13
3
1
35,5
54,4
7,7
1,8
0,6
Total 169 100
Dari Tabel 39 di atas terlihat bahwa 54,48% atau sebanyak 92 orang
responden menyatakan bahwa dampak usaha keramba jaring apung
menguntungkan, dan 35,5% atau sebanyak 60 orang menyatakan bahwa dampak
usaha keramba jaring apung sangat menguntungkan, serta 7,7% atau 13 orang
menyatakan bahwa dampak usaha keramba jaring apung kurang menguntungkan,
1,8% atau 3 orang menyatakan merugikan, dan 0,63% atau sebanyak 1 orang
menyatakan sangat merugikan.
134
Untuk melihat adanya perbedaan persepsi masyarakat terhadap dampak
usaha perikanan keramba jaring apung dapat dilihat dalam kaitannya dengan
karakteristik masyarakat tersebut. Hasil uji asosiasi Chi-Square pada Tabel 40
Tabel 40 Persepsi Masyarakat terhadap Dampak Usaha Perikanan Keramba
Jaring Apung
No Karakteristik
Responden Value Asyp.Sig
Contigency
Coeficient
1
2
3
4
5
Jarak tempat tinggal
Jenis Pekerjaan
Umur
Pendidikan
Pendapatan
11,454
20,935
18,214
24,875
9,299
0,490
0,401
0,109
0,072
0,677
0,252
0,332
0,312
0,358
0,228
Keterangan ***nyata pada p<0,2
Berdasarkan Tabel 40 di atas terlihat bahwa hubungan antara, umur dan
pendididkan masyarakat dengan persepsi terhadap dampak usaha perikanan
keramba jaring apung terdapat hubungan yang signifikan seperti ditunjukkan
oleh Asym. Sig < 0,2. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa berbeda, umur
dan pendidikan, maka akan berbeda pula persepsinya terhadap dampak usaha
perikanan keramba jaring apung. Dilihat dari keeratan hubungannya antara umur
dan pendidikan dengan persepsinya terhadap dampak usaha keramba jaring
apung tidak terdapat hubungan yang erat, karena koefisien kontigensinya < 0,50.
5.5.9. Dampak Operasional PLTA terhadap Masyarakat
Hasil survey tentang persepsi masyarakat di sekitar Danau Maninjau
terhadap pengelolaan dampak operasional PLTA oleh PLN telah dilakukan
dengan baik disajikan pada Tabel 41
135
Tabel 41 Persepsi Masyarakat terhadap Damapak Operasional PLTA Terhadap
Masyarakat
No
Pengelolaan Dampak Operasional
PLTA Maninjau Oleh PLN telah
dilakukan dengan Baik
Frekuensi Persentase
1
2
3
4
5
Sangat Setuju
Setuju
Ragu-Ragu
Kurang Setuju
Tidak setuju
22
31
46
43
27
13,0
18,3
27,2
25,4
16,0
Total 169 100
Berdasarkan Tabel 41 di atas terlihat bahwa 27,2% atau sebanyak 46
orang responden menyatakan ragu-ragu bahwa pengelolaan dampak operasional
PLT oleh PLN telah dilakukan dengan baik, 25,4% atau sebanyak 43 orang
menyatakan kurang setuju bahwa pengelolaan dampak operasional PLT oleh
PLN telah dilakukan dengan baik, dan 18,3% atau 31 orang menyatakan setuju
bahwa dampak operasional PLT oleh PLN telah dilakukan dengan baik,serta16%
atau 27 orang menyatakan ragu-ragu bahwa pengelolaan dampak operasional
PLT oleh PLN telah dilakukan dengan baik, 13% atau sebanyak 22 orang
menyatakan sangat setuju bahwa pengelolaan dampak operasional PLT oleh
PLN telah dilakukan dengan baik.
Terdapat perbedaan persepsi masyarakat terhadap pengelolaan dampak
operasional PLTA oleh PLN telah dilakukan dengan baik dapat dilihat dalam
kaitannya dengan karakteristik masyarakat tersebut pada hasil uji Chi-Square
pada Tabel 42
136
Tabel 42 Persepsi Masyarakat terhadap Pengelolaan Dampak Operasional
PLTA oleh PLN Telah Dilakukan Dengan Baik
No Karakteristik
Responden Value Asyp.Sig
Contigency
Coeficient
1
2
3
4
5
Jarak tempat tinggal
Jenis Pekerjaan
Umur
Pendidikan
Pendapatan
25,875
26,122
5,702
15,320
8,384
0,011
0,162
0,930
0,501
0,754
0,364
0,366
0,181
0,288
0,217
Keterangan : ** nyata pada p<0,05
***nyata pada p<0,2
Berdasarkan Tabel 42 di atas terlihat bahwa hubungan antara, jarak
tempat tinggal dan pekerjaan dengan persepsi masyarakat terhadap pengelolaan
dampak operasional PLTA telah dilakukan dengan baik terdapat hubungan yang
signifikan seperti ditunjukkan oleh Asym. Sig < 0,05 ( Jarak tempat tinggal) dan
Asymp.Sig. <0,2 ( Pekerjaan). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa berbeda
jarak tempat tinggal dan pekerjaan, maka akan berbeda pula persepsinya
terhadap pengelolaan dampak operasional PLTA telah dilakukan dengan baik.
Dilihat dari keeratan hubungannya antara jarak tempat tinggal dan pekerjaan
dengan persepsinya terhadap pengelolaan dampak operasional PLTA telah
dilakukan dengan baik tidak terdapat hubungan yang erat, karena koefisien
kontigensinya < 0,50.
Dari hasil analisis data yang telah dilakukan, diketahui bahwa persepsi
masyarakat terhadap keberadaan Danau Maninjau sangat bervariasi. Variasi
persepsi tersebut berhubungan dengan karakteristik masyarakatnya. Karakteristik
masyarakat yang memiliki hubungan yang signifikan dengan persepsinya adalah
umur, tingkat pendidikan, dan jenis pekerjaan. Menurut Krech (1975), masuknya
objek persepsi selalu melalui dua faktor, yaitu factor structural dan faktor
fungsional. Faktor struktural terkait dengan tingkat pendidikannya melalui sistem
syaraf manusia secara biologik, dan factor fungsional terkait dengan pengalaman
yang direpresentasikan oleh umurnya dan kebutuhannya direpresentasikan
melalui jenis pekerjaannya.
137
Menurut Hamilton (1985, di dalam Jordan & Elnagheeb 1993), anggota
masyarakat yang berusia lebih muda akan memberikan perhatian yang lebih
terhadap kualitas lingkungan. Lowe et al (1980) dan Liere & Dunlap (1980), di
dalam Jordan & Elnagheeb (1993) mengemukakan bahwa anggota masyarakat
yang berpendidikan lebih tinggi cenderung lebih memperhatikan upaya-upaya
pelestarian kualitas lingkungan dibandingkan dengan yang berpendidikan lebih
rendah.
5.6. Rancangan Kebijakan Untuk Melestarikan Fungsi SDAL Berkaitan
Dengan Pemanfaatan Danau Maninjau.
Danau adalah unsur lingkungan hidup yang diatur pengelolaanya dalam
UU No.23 tahun 1997, tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan PP No. 82
tahun 2001, tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran air
Berdasarkan UU No.7 tahun 2004, tentang Sumberdaaya Air, yang terdiri tiga
komponen utama yaitu konservasi, pemanfaatan dan pengendalian daya rusak
air, danau merupakan sumber daya air yang telah banyak mengalami penurunan
fungsi dan kerusakan ekosistem. Hal ini disebabkan oleh karena pengelolaan
danau yang banyak mengalami kendala karena permasalahannya bersifat
kompleks.
Tujuan yang ingin dicapai dari rancangan kebijakan yaitu, untuk
melestarikan fungsi SDAL berkaitan pemanfaatan Danau Maninjau, sehingga
dapat dipergunakan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran masyarakat secara
keseluruhan. Hal ini sejalan dengan tujuan pengelolaan lingkungan hidup yang
diatur dalam UU No 23 tahun 1997, tentang pengelolaan lingkungan hidup.
Metode ISM digunakan untuk menganalisis keterkaitan dan
ketergantungan antar elemen yang membentuk r a n c a n g a n k e b i j a k a n
u n t u k m e l e s t a r i k a n f u n g s i S D A L b e r k a i t a n p e ma n f a a t a n
D a n a u M a n i n j a u dan mengidentifikasi peubah kunci serta driver power
masing-masing elemen serta struktur/hirarki elemen dalam model. Untuk
mencapai tujuan tersebut, berdasarkan hasil diskusi dengan pakar dan hasil
analisa lapangan maupun studi literatur, dipilih 4 elemen yang dipakai untuk
melestarikan fungsi SDAL Danau Maninjau yaitu:
138
1. Lembaga yang terlibat dalam pengelolaan Danau Maninjau,
2. Tujuan yang ingin dicapai
3. Kebutuhan program yang diperlukan,
4. Kendala progam.
Dari elemen yang diperoleh akan diuraikan menjadi beberapa sub
elemen dalam Kebijakan pengelolaan Danau Maninjau. Pada penelitian ini
diperoleh 14 lembaga yang terlibat yaitu :Pemerintah Pusat, Bapedalda Provinsi
Sumatera Barat, Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sumatera Barat, Kantor
Lingkungan Hidup Kabupaten Agam, Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten
Agam, PLTA, Dinas Pertanian Kabupaten Agam, Akademisi, Perbankan,
Pengusaha Pariwisata, LSM, Lembaga Keuangan Mikro, Koperasi,
Pemerintahan Nagari.
Tujuan yang ingin dicapai dalam kebijakan pengelolaan Danau
Maninjau ada 12 yaitu : Pemahaman nilai-nilai yang dimiliki danau kepada
masyarakat, terpeliharanya keanekaragaman hayati danau, terpeliharanya fungsi
hidrologi dan ekologi danau, penyesuaian tataletak KJA, terjaganya debit air
danau yang dimanfaatkan PLTA, memperluas lapangan kerja dan meningkatkan
kesempatan kerja, terpeliharanya kebersihan lingkungan, pengelolaan perikanan
yang baik bersama masyarakat, peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar
danau, terpeliharanya kualitas air danau, penegakan regulasi,terlaksananya
koordinasi kelembagaan antar instansi terkait.
Kendala utama dalam pelaksanaan program ada 12 yaitu : kurangnya
pemahaman nilai-nilai tentang danau, penetapan zonasi KJA tidak jelas,
rendahnya kemampuan untuk pengelolaan bersama, belum adanya partisipasi
aktif masyarakat, belum adanya pengaturan penggunaan air danau oleh PLTA,
tanggungjawab kepemilikan danau tidak jelas, kerjasama lintas sektoral masih
lemah, kurangnya penyuluhan kepada masyarakat, belum adanya monitoring
secara aktif terhadap pengaruh setiap intervensi, belum adanya strategi
pengelolaan perikanan, tidak adanya ketegasan penegakan regulasi, tidak ada
koordinasi yang sinergis antar instansi.
Kelompok masyarakat yang terkena dampak dalam pemanfaatan danau
ada 14 yaitu: petani KJA, petani perikanan tangkap, masyarakat setempat,
139
masyarakat perkotaan, pemerintah, wisatawan, investor, pedagang penyedia
pakan ikan, pedagang penyedia bibit ikan, tenaga kerja yang bergerak di bidang
pariwisata, pedagang alat perikanan, pedagang hasil kerajinan rakyat, petugas
penyuluhan, pengusaha jasa pariwisata.
Berdasarkan pengolahan matriks yang telah memenuhi kaidah
transitivitas maka keluaran model struktural dari masing-masing elemen akan
memberikan gambaran hirarki dari masing-masing sub-elemen.
5.6.1. Lembaga Yang Terlibat untuk Melestarikan Fungsi SDAL Dalam
Pemanfaatan Danau Maninjau
Kelembagaan merupakan suatu tatanan dan pola hubungan antar
anggota atau kelompok masyarakat yang saling mengikat dan diwadahi dalam
suatu organisasi atau lembaga dengan faktor-faktor pengikat dan pembatas
berupa norma, aturan formal maupun informal sebagai pengendali perilaku
sosial dan insentif untuk bekerjasama untuk mencapai tujuan bersama. Dengan
demikian, kelembagaan dapat dilihat sebagai organisasi dan sekaligus juga
mengandung pengertian aturan main. Kebijakan merupakan unsur penting
dalam lembaga dan dapat diturunkan dalam bentuk strategi, rencana,
peraturan, kesepakatan, konsensus maupun program yang merupakan
landasan untuk tindakan-tindakan nyata (Djogo et al. 2003).
Lembagaan yang tel ibat dalam pengelolaan Danau Maninjau
merupakan sistem yang kompleks karena menyangkut aspek ekologi, sosial
ekonomi, politik maupun teknologi. Berdasarkan pemikiran serta hasil
pendapat pakar, elemen lembaga yang berperan dalam pengelolaan Danau
Maninjau dijabarkan menjadi 14 sub elemen seperti Tabel 43.
140
Tabel 43 Lembaga yang terlibat dalam pemanfaatan Danau Maninjau
Sub Elemen
1 Pemerintah pusat
2 Bapedalda Provinsi Sumatera Barat
3 Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sumatera Barat
4 Kantor Lingkungan Hidup Kabupaten Agam
5 Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Agam
6 PLTA
7 Dinas Pertanian Kabupaten Agam
8 Akademisi
9 Perbankan
10 Pengusaha Pariwisata
11 LSM
12 Koperasi
13 Pemerintahan Nagari
14 BPKDM
Struktur hirarki dari masing-masing sub elemen disajikan dalam
Gambar 8.
2 3
9 10 12
11
8
6 7
4 5
1 13 14
Gambar 8 Struktur sistem elemen lemabaga yang terlibat
Struktur hirarki peubah lembaga yang terlibat terdiri dari 7
tingkat. Lembaga yang terlibat dan menempati hirarki yang tertinggi adalah
Badan Pengelola Kawasan Danau Maninjau (BPKDM) dan Pemerin tahan
141
Nagar i se r ta Pemerin tah Pusa t . BPKDM dan Pemerintahan Nagari serta
Pemerintah Pusat merupakan peubah kunci yang mempengaruhi lembaga lain
pada hirarki di atasnya. Badan Pengelola Kawasan Danau Maninjau (BPKDM)
merupakan institusi yang ditunjuk untuk melakukan pengelolaan Danau
Maninjau yang dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Bupati Agam No.620
tahun 2009, namun sampai saat ini keberadaan BPKDM belum bisa berfungsi
dengan maksimal karena kepengurusan badan ini tingkat ketergantungan kepada
penguasa sangat tinggi. Level 6 terdiri dari Dinas Kelautan dan Perikanan
Kabupaten Agam, Kantor Lingkungan Hidup Kabupaten Agam. Level 5 terdiri
dari PLTA, Dinas Pertanian. Level 4 adalah Akademisi. Level 3 adalah LSM.
Level 2 adalah Perbankan, Koperasi dan Pengusaha Pariwisata. Sedangkan level
1 adalah Bapedalda Provinsi Sumatera Barat dan Dinas Kelautan dan Perikanan
Sumatera Barat.
Gambar 9 menunjukkan klasifikasi masing-masing sub elemen
berdasarkan driver power dan dependence.
1, 13, 14
2, 3
4, 5
6, 7
8
9, 10, 12
11
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Gambar 9 Matriks driver power-dependence sub-elemen pada elemen
sektor lembaga yang terpengaruhi
Berdasarkan Gambar 9 terlihat bahwa sub elemen yang termasuk
dalam kuadran independent adalah kelompok: 1)Pemerintah Pusat, 2)
BPKDM, 3) Pemerintahan Nagari, 4) Kan tor Lingkungan Hidup
Kab .Agam, 5) Dinas Ke lau tan dan Pe r ikanan Kab .Agam, 6)
Independent Linkage
Dependent Autonomous
142
PLTAdan 7) Dinas Pertanian Kab.Agam. Sedangkan kelompok sub
elemen yang berada dalam kuadran dependent meliputi: 1) Aka demis i , 2)
LSM, 3) Pe rb an kan , 4) Pen gu sa ha pa r i wi sa t a , 5) Koperasi, 6)
Bapedalda Provinsi Sumatera Barat, dan 7) Dinas Keluatan dan
Perikanan Provinsi Sumatera Barat. Berdasarkan matriks tersebut, tidak ada
sub elemen yang termasuk dalam kuadran linkage dan Autonomous.
Kelompok masyarakat yang merupakan peubah dependent, seperti
Akademisi, LSM, Perbankan, Pengusaha pariwisata, Koperasi dan lainnya.
Posisi ini memberikan gambaran bagi pengambil kebijakan agar sub elemen
yang berada pada sektor tersebut dikaji secara seksama dan hati-hati, sebab
interaksi antar sub elemen dapat berpengaruh terhadap keberhasilan pengelolaan
Danau Maninjau, dalam konteks dampak pengelolaan merupakan kelompok
yang dipengaruhi oleh kelompok masyarakat yang merupakan peubah
independent, seperti Pemerintah Pusat, BPKDM, Pemerintahan Nagari
dan yang lainnya.
5.6.2. Tujuan yang Ingin Dicapai untuk Melestarikan Fungsi SDAL dalam
Pemanfaatan Danau Maninjau
Tujuan yang ingin dicapai untuk melestarikan fungsi SDAL dalam
pemanfaatan Danau Maninjau untuk kesejahteraan masyarakat. Berdasarkan
hasil diskusi dengan pihak-pihak yang berkepentingan dan konsultasi pakar,
elemen p rogra m dijabarkan menjadi 12 sub elemen seperti ditampilkan pada
Tabel 44. Untuk hubungan kontekstual yang digunakan untuk menganalisis
keterkaitan antar peubah p r o g r a m adalah hubungan pengaruh, yaitu suatu
p r o g r a m akan membantu tercapainya program yang lainnya. Struktur
hirarki dari dalam elemen yang menggambarkan posisi masing-masing sub
elemen disajikan pada Gambar 8. Sedangkan Gambar 9 menunjukkan
klasifikasi masing-masing sub elemen berdasarkan driver power dan
dependence.
143
Tabel 44. Tujuan yang ingin dicapai untuk melestarikan fungsi SDAL Danau
Maninjau
No. Sub Elemen
1 Pemahaman nilai-nilai yang dimiliki danau kepada masyarakat
2 Terpeliharanya keanekaragaman hayati
3 Terpeliharanya fungsi hidrologi dan ekologi
4 Penyesuaian tataletak dan rasionalisasi KJA
5 Terjaganya debit air danau
6 Memperluas lapangan kerja dan kesempatan kerja
7 Menjaga Kebersihan Lingkungan
8 Pengelolaan perikanan yang baik bersama masyarakat
9 Peningkatan kesejahteraan masyarakat danau
10 Terpeliharanya kualitas perairan danau
11 Penegakan regulasi pemerintah
12 Terlaksananya koordinasi kelembgaan antar instansi terkait
9
6 8
11 12
4 5 10
2 3 7
1
Gambar 10 Strukutur system elemen tujuan
Dari hasi analisis ISM dari 12 sub elemen yang ada, diperoleh 6 level
hirarki tujuan yang ingin dicapai untuk mempertahankan fungsi SDAl Danau
Maninjau. level 6 adalah pemahaman nilai-nilai yang disampaikan oleh tokoh-
tokoh agama kepada masyarakat bahwa danau itu adalah ciptaan tuhan yang
maha esa yang perlu dijaga kelestariannya dan tidak boleh serakah dalam
pemanfaatannya. Level 5 adalah melestarikan keanekaragaman hayati,
menjamin terpeliharanya fungsi hidrologi dan ekologi serta menjaga kebersihan
lingkungan di sekitar danau oleh masyarakat. Level 4 adalah penyesuaian
144
tataletak dan rasionalisasi KJA, terjaganya debit air danau dan terpeliharanya
kualitas peraian danau. Level 3 adalah penegakan regulasi pemerintah dan
terlaksananya koordinasi kelembagaan antar instansi terkait dalam pengelolaan
danau. Level 2 adalah memperluas lapangan kerja dan pengelolaan perikanan
yang baik bersama masyarakat. Level 1 adalah peningkatan kesejahteraan
masyarakat sekitar danau.
1
2, 3, 7
4, 5, 10
6, 8
9
11, 12
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Gambar 11 Matriks driver power-dependence sub-elemen pada elemen
Tujuan
Dari Gambar 11 terlihat hasil analisis ISM berdasarkan Driver Power
(DP) dan Dependence ke 12 sub elemen kebutuhan program dikelompokkan ke
dalam 4 sektor. Sub elemen yang masuk ke dalam sektor independent (IV)
adalah (1) Pemahaman nilai-nilai yang dimiliki danau kepada masyarakat, (2)
terpeliharanya keanekaragaman hayati, (3) Terpeliharanya fungsi hidrologi dan
ekologi, (7) Menjaga Kebersihan Lingkungan. Hal ini berarti bahwa ke 4 sub
elemen tersebut memiliki kekuatan penggerak yang besar terhadap keberhasilan
pengelolaan SDAL Danau Maninjau. Sub elemen yang masuk ke dalam sektor
lingkage (III) adalah (1) Penyesuaian tataletak dan rasionalisasi KJA, (2)
Terjaganya debit air danau dan (3) Terpeliharanya kualitas perairan danau .
Posisi ini memberikan gambaran bagi pengambil kebijakan agar sub elemen
yang berada pada sektor tersebut dikaji secara seksama dan hati-hati, sebab
interaksi antar sub elemen dapat berpengaruh terhadap keberhasilan pengelolaan
Independent Linkage
Autonomous Dependent
145
danau. Sedangkan yang masuk ke dalam sektor dependent (II) adalah (1)
Memperluas lapangan kerja dan kesempatan kerja, (2) Pengelolaan perikanan
yang baik bersama masyarakat, (3) Peningkatan kesejahteraan masyarakat
danau, (4) Penegakan regulasi pemerintah, (5) Terlaksananya koordinasi
kelembgaan antar instansi terkait. Sub elemen yang berada pada sektor ini
umumnya sub elemen yang tidak bebas atau dipengaruhi oleh sub elemen lain.
4.6.3. Kebutuhan Program
Program yang diperlukan dalam pengelolaan SDAL D anau
Maninj au diuraikan menjadi 12 sub elemen seperti ditampilkan pada Tabel
45.Struktur hirarki dari dalam elemen yang menggambarkan posisi masing-
masing sub elemen disajikan dalam Gambar 12. Sedangkan Gambar 11
menunjukkan klasifikasi masing-masing sub elemen berdasarkan driver power
dan dependence.
Tabel 45. Kebutuhan Program untuk melestarikan fungsi SDAl Danau Maninjau
No. Sub Elemen
1. Peningkatan pengetahuan dan kepedulian masyarakat terhadap
danau
2. Peningkatan peran serta masyarakat dalam pengelolaan Danau
3. Peningkatan dan pengembangan pemanfaatan sumber daya hayati
d a n a u
4. Penentuan zonasi KJA
5. Pengembangan peluang kegiatan ekonomi alternatif di sekitar
kawasan danau
6. Penentuan Regulasi yang jelas tentang kepemilikan danau
7. Peningkatan pendapatan masyarakat lokal di sekitar danau
8. Pengelolaan sampah domestic
9. Membuat strategi pengelolaan perikanan bersama masyarakat
10. Monitoring perubahan perairan danau
11. Pemberdayaan organisasi pengelola danau
12. Peningkatan pengetahuan/kesadaran pejabat/pegawai pemerintah
daerah
146
Struktur hirarki elemen program yang diperlukan dalam
pengelolaan Danau Maninjau terdiri dari 3 tingkat.
3 4 6 8 10 12
2 9 11
1 5 7
Gambar 10 Struktur sistem elemen program yan dibutuhkan
Berdasarkan gambar 12 terlihat bahwa Program peningkatan
pengetahuan dan kepedulian masyarakat terhadap danau, pengembangan
peluang ekonomi alternatif masyarakat di sekitar Danau Maninjau dan
peningkatan pendapatan masyarakat sekitar danau yang berada pada
tingkat tiga merupakan peubah kunci dari elemen program yang diperlukan.
Peubah kunci ini menjadi penggerak utama dan mempengaruhi peubah
pada tingkat di bawahnya.
Pengklasifikasian sub elemen program yang diperlukan berdasarkan
pada driver power dan dependence menunjukkan bahwa program
peningkatan pengetahuan dan kepedulian masyarakat terhadap danau,
pengembangan peluang ekonomi alternatif masyarakat di sekitar Danau
Maninjaudan peningkatan pendapatan masyarakat sekitar danau, peningkatan
peran serta masyarakat dalam pengelolaan danau serta membuat strategi
pengelolaan perikanan yang baik besera masyarakat dan pemberdayaan organisasi
pengelola danau masuk ke sektor merupakan peubah independent. Sub elem
peningkatan dan pengembangan pemanfaatan sumberdaya hayati, penetapan
zonasi KJA, penentuan regulasi yang jelas tentang kepemilikan danau,
pengelolaan smpah domestik, monitoring perubahan perairan danau dan
peningkatan pengetahuan pegawai pemerintah daerah masuk ke sektor
dependent. Hal ini memberikan makna sub elemen ini merupakan variabel yang
tergantung atau dipengaruhi oleh variabel lain.
147
1, 5, 7
2, 9, 11
3, 4, 6, 8, 10, 12
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Gambar 12 Matriks Driver Power (DP) dan Dependence (D) sub elemen
program yang dibutuhkan.
4.6.4. Elemen Kendala Dalam Melestarikan Fungsi SDAL Berkaitan
Dengan Pemanfaatan Danau Maninjau.
Untuk mengetahui kendala utama dalam melestarikan fungsi
SDAL Danau Maninjau dijabarkan menjadi 12 sub elemen seperti
ditampilkan pada Tabel 46.
Tabel 46. Sub elemen kendala dalam pengelolaan SDAL Danau Maninjau
No. Sub Elemen
1 Rendahnya pemahaman nilai-nilai danau sebagai ciptaan tuhuan
yang maha esa oleh masyarakat
2 Masih rendahnya peranaktif masyarakat menjaga kelestarian danau
3 Belum terwujudnya kemauan bersama dalam memelihara danau
4 Belum adanya penentuan zonasi peruntukan usaha KJA
5 Tanggungjawab kepemilikan danau tidak jelas
6 Belumadanya monitoring secara aktif terhadap perubahan kualitas
air danau
7 Kurangnya peluang usaha ekonomi alternatif masyarakat sekitar
danau
8 Kurangnya penyuluhan oleh aparat terkait kepada masyarakat
9 Minimnya alokasi dana untuk pengelolaan danau
10 Kurangnya kepedulian pejabat daerah dalam pengelolaan danau
11 Penegakan regulasi masih rendah
12 Kurangnya koordinasi antar instansi terkait dalam pengelolaan
danau
Independent Linkage
Autonomous Dependent
148
8 10 11
7
4 9
2 3 5 6
1 12
Gambar 13 Diagram hierarki kendala utama dalam melestarikan SDAL Danau
Maninjau
Berdasarkan Hasil wawancara dengan pakar dan pengisian kuesioner
yang dilakukan berdasarkan teknik ISM Struktur hirarki elemen kendala
utama terdiri dari 5 l e v e l s e p e r t i t e r l i h a t p a d a G a m b a r 1 1 .
Rendahnya pemahaman nilai-nilai danau sebagai ciptaan tuhan yang maha esa
yang perlu dilindungi kelestariannya dan Kurangnya koordinasi a n t a r
i n s t a n s i dalam pengelolaan D a n a u Ma n i n j a u berada pada tingkat 5
merupakan peubah kunci elemen kendala utama. Level 4 adalah masih
rendahnya peranaktif masyarakat menjaga kelestarian danau, belum
terwujudnya kemauan bersama dalam memelihara danau, tanggungjawab
kepemilikan danau tidak jelas, dan belumadanya monitoring secara aktif
terhadap perubahan kualitas air danau. Level 3 adalah belum adanya penentuan
zonasi peruntukan usaha KJA, minimnya alokasi dana untuk pengelolaan
danau. Level 2 adalah kurangnya peluang usaha ekonomi alternatif masyarakat
sekitar danau. Untuk level 1 adalah kurangnya penyuluhan oleh aparat terkait
kepada masyarakat, kurangnya kepedulian pejabat daerah dalam pengelolaan
danau, penegakan regulasi masih rendah ,
149
1, 12
2, 3, 5, 6
4, 9
7
8, 10, 11
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Dambar 14 Matriks Driver Power (DP) dan Dependence (D) sub
elemen kendala utama
Dari Gambar 14 terlihat bahwa Pengklasifikasian sub elemen kendala
utama yang didasarkan pada driver power dan dependence menunjukkan
bahwa Rendahnya pemahaman nilai-nilai danau sebagai ciptaan tuhan yang
maha esa yang perlu dilindungi kelestariannya dan Kurangnya koordinasi
a n t a r i n s t a n s i dalam pengelolaan D a n a u M a n i n j a u , Masih rendahnya
peranaktif masyarakat menjaga kelestarian danau, Belum terwujudnya kemauan
bersama dalam memelihara danau, Tanggungjawab kepemilikan danau tidak
jelas, dan Belumadanya monitoring secara aktif terhadap perubahan kualitas air
danau merupakan peubah independent. Sedangkan peubah Belum adanya
penentuan zonasi peruntukan usaha KJA, Minimnya alokasi dana untuk
pengelolaan danau, Kurangnya peluang usaha ekonomi alternatif masyarakat
sekitar danau, Kurangnya penyuluhan oleh aparat terkait kepada masyarakat,
Kurangnya kepedulian pejabat daerah dalam pengelolaan danau, Penegakan
regulasi masih rendah merupakan peubah dependent. Dalam elemen kendala
utama ternyata tidak ada sub elemen yang masuk ke dalam kuadran linkage
maupun autonomous.
Secara umum hasil pengklasifikasian sub elemen memberikan arti
bahwa kendala utama rendahnya pemahaman nilai-nilai danau sebagai ciptaan
150
Tuhan Yang Maha Esa yang perlu dilindungi kelestariannya dan kurangnya
koordinasi a n t a r i n s t a n s i dalam pengelolaan Da na u Ma n i n j a u ,
masih rendahnya peranaktif masyarakat menjaga kelestarian danau, belum
terwujudnya kemauan bersama dalam memelihara danau, tanggungjawab
kepemilikan danau tidak jelas, dan belumadanya monitoring secara aktif
terhadap perubahan kualitas air danau, merupakan peubah bebas yang
mempengaruhi kendala belum adanya penentuan zonasi peruntukan usaha
KJA, minimnya alokasi dana untuk pengelolaan danau, Kurangnya peluang
usaha ekonomi alternatif masyarakat sekitar danau, kurangnya penyuluhan oleh
aparat terkait kepada masyarakat, kurangnya kepedulian pejabat daerah dalam
pengelolaan danau, penegakan regulasi masih rendah.
VI KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
6.1.1. Nilai Ekonomi Total Pemanfaatan Danau Maninjau
Dari hasil pemanfaatan Danau Maninjau oleh masyarakat diperoleh Nilai
Ekonomi Total (NET) sebesar Rp 350,921,949,238,- yang terdiri dari
Nilai Guna Langsung Danau Maninjau (NGL) untuk pemanfaatan
perikanan, pemanfaatan irigasi, pemanfaatan pembangkit listrik,
pemanfaatan rekreasi, dan pemanfaatan kebutuhan domestik adalah
sebesar Rp 339,527,739,838,- Nilai Guna Tidak Langsung (NGTL)
sebesar Rp 5,121,289,600,- Nilai Pilihan (NP) adalah sebesar Rp
3,237,103,800,- dan Nilai Bukan Guna (NBG) adalah sebesar Rp
3,035,816,000,-
6.1.2. Persepsi Masyarakat terhadap pemanfaatan Danau Maninjau
Dari hasil analisis data yang telah dilakukan, diketahui bahwa persepsi
masyarakat terhadap keberadaan Danau Maninjau sangat bervariasi.
Variasi persepsi tersebut berhubungan dengan karakteristik
masyarakatnya. Karakteristik masyarakat yang memiliki hubungan yang
signifikan dengan persepsinya adalah tingkat pendidikan, umur, dan jenis
pekerjaan. Karakteristik lain yang mempengaruhi persepsi yaitu
pendapatan dan jarak rumah responden ke danau .Berdasarkan hasil
analisis Persepsi masyarakat terhadap sumberdaya alam dan lingkungan
Danau Maninjau dapat dilihat dari beberapa aspek diantaranya : a) status
kepemilikan SDAL Danau Mainjau, b) hak pemanfaatan Danau
Maninjau untuk perikanan, c) hak pemanfaatan Danau Maninjau untuk
irigasi, d) hak pemanfaatan Danau Maninjau untuk pariwisata, e) hak
pemanfaatan Danau Maninjau untuk kebutuhan domestik, f) kewajiban
untuk menjaga kelestarian Danau Maninjau, g) hak untuk mengatur
pengelolaan Danau Maninjau, h) kondisi eksisting Danau Maninjau, i)
dampak PLTA terhadap masyarakat sekitar Danau Maninjau, j) dampak
perikanan budidaya keramba jaring apung terhadap masyarakat, k)
pengelolaan dampak PLTA Maninjau oleh PLN.
152
6.1.3. Rancangan Kebijakan
1. Lembagaan yang telibat dalam pengelolaan Danau Maninjau
adalah Pemerintah pusat, Bapedalda Provinsi Sumatera Barat, Dinas
Kelautan dan Perikanan Provinsi Sumatera Barat, Kantor Lingkungan
Hidup Kabupaten Agam, Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten
Agam, PLTA, Dinas Pertanian Kabupaten Agam, Akademisi, Perbankan,
Pengusaha Pariwisata, LSM, Koperasi, Pemerintahan Nagari, BPKDM.
Lembaga yang terlibat dan menempati hirarki yang tertinggi adalah
Badan Pengelola Kawasan Danau Maninjau (BPKDM) dan
Pemerintahan Nagar i se r ta Pemerintah Pusa t . BPKDM dan
Pemerintahan Nagari serta Pemerintah Pusat merupakan peubah kunci
yang mempengaruhi lembaga lain pada hirarki di bawahnya.
2. Tujuan yang ingin dicapai untuk melestarikan fungsi SDAL dalam
pemanfaatan Danau Maninjau adalah Pemahaman nilai-nilai yang
dimiliki danau kepada masyarakat, terpeliharanya keanekaragaman
hayati, terpeliharanya fungsi hidrologi dan ekologi, penyesuaian tataletak
dan rasionalisasi KJA, Terjaganya debit air danau, Memperluas lapangan
kerja dan kesempatan kerja, menjaga Kebersihan Lingkungan,
Pengelolaan perikanan yang baik bersama masyarakat, Peningkatan
kesejahteraan masyarakat danau, terpeliharanya kualitas perairan danau,
penegakan regulasi pemerintah.terlaksananya koordinasi kelembgaan
antar instansi terkait. Sub elemen yang memiliki daya penggerak terbesar
terhadap keberhasilan pengelolaan SDAL Danau Maninjau adalah :
Pemahaman nilai-nilai yang dimiliki danau kepada masyarakat,
terpeliharanya keanekaragaman hayati, terpeliharanya fungsi hidrologi
dan ekologi, menjaga Kebersihan Lingkungan.
3. Program yang diperlukan dalam pengelolaan SD A L D an au M an in jau
ad a l ah Peningkatan pengetahuan dan kepedulian masyarakat
terhadap danau, peningkatan peran serta masyarakat dalam pengelolaan
Danau, Peningkatan dan pengembangan pemanfaatan sumber daya
hayati d a n a u , penentuan zonasi KJA, pengembangan peluang
kegiatan ekonomi alternatif di sekitar kawasan danau, Penentuan
153
Regulasi yang jelas tentang kepemilikan danau, Peningkatan pendapatan
masyarakat lokal di sekitar danau, Pengelolaan sampah domestic,
Membuat strategi pengelolaan perikanan bersama masyarakat,
Monitoring perubahan perairan danau, Pemberdayaan organisasi
pengelola danau, Peningkatan pengetahuan/kesadaran pejabat/pegawai
pemerintah daerah. Program yang diperlukan dalam keberhasilan
pengelolaan Danau Maninjau yang memiliki daya penggerak yang kuat
adalah peningkatan pengetahuan dan kepedulian masyarakat
terhadap danau, pengembangan peluang ekonomi alternatif masyarakat
di sekitar Danau Maninjau dan peningkatan pendapatan
masyarakat sekitar danau, peningkatan peran serta masyarakat dalam
pengelolaan danau serta membuat strategi pengelolaan perikanan yang baik
besera masyarakat dan pemberdayaan organisasi pengelola danau.
4. Kendala utama dalam melestarikan fungsi SDAL Danau
Maninjau adalah Rendahnya pemahaman nilai-nilai danau sebagai
ciptaan tuhuan yang maha esa oleh masyarakat, Masih rendahnya
peranaktif masyarakat menjaga kelestarian danau, Belum terwujudnya
kemauan bersama dalam memelihara danau, Belum adanya penentuan
zonasi peruntukan usaha KJA, Tanggungjawab kepemilikan danau tidak
jelas, Belumadanya monitoring secara aktif terhadap perubahan kualitas
air danau, Kurangnya peluang usaha ekonomi alternatif masyarakat
sekitar danau, Kurangnya penyuluhan oleh aparat terkait kepada
masyarakat, Minimnya alokasi dana untuk pengelolaan danau,
Kurangnya kepedulian pejabat daerah dalam pengelolaan danau,
Penegakan regulasi masih rendah, Kurangnya koordinasi antar instansi
terkait dalam pengelolaan danau. Kendala utama yang memiliki daya
penggerak yang kuat adalah Rendahnya pemahaman nilai-nilai danau
sebagai ciptaan tuhan yang maha esa yang perlu dilindungi
kelestariannya dan Kurangnya koordinasi a n t a r i n s t a n s i dalam
pengelolaan D a n a u M a n i n j a u , Masih rendahnya peranaktif
masyarakat menjaga kelestarian danau, Belum terwujudnya kemauan
bersama dalam memelihara danau, Tanggungjawab kepemilikan danau
154
tidak jelas, dan Belum adanya monitoring secara aktif terhadap
perubahan kualitas air danau.
6.1. Saran
1. Perlunya peran aktif para tokoh masyarakat, pemuka adat dan pemuka
agama dalam memberikan pemahaman tentang nilai-nilai tentang danau
sebagai ciptaan tuhan yang maha esa.
2 Peran aktif Pemerintah Daerah untuk memediasi permasalahan yang
timbul dalam pemanfaatan Danau Maninjau.
3. Keseriusan Pemerintah dalam penetapan regulasi yang bertanggungjawab
dalam pengelolaan danau .
155
DAFTAR PUSTAKA
Agustiyani, D. 2004. Proses Terjadinya Penyuburan dan Dampaknya di Perairan. Di
dalam Maryanto, I., dan R. Ubaidilah, [Editor]. Manajemen Bioregional
Jabodetabek Profil & Strategi Pengelolaan Sungai & Aliran Sungai. LIPI.
Cibinong Bogor.
Anonim, 2004. Undang-Undang Pengelolaan Sumberdaya Air. Fokusmedia. Bandung.
Anwar, A. 1999. Masalah Pengembangan Sumberdaya Air dan Pembiayaan Investasi
Irigasi. Makalah disajikan Pada Pendidikan dan Pelatihan Teknik dan Manajemen
Kebijakan Publik Angkatan III dan IV Di Lembaga Administrasi Negara. Jakarta.
Anwar, A, 2002. Peranan Pengembangan Ekonomi Komunitas sebagai Komplemen
Terhadap Ekonomi Pasar dan Ekonomi Publik. Makalah Panduan Bagi Kegiatan
Mahasiswa. Bogor.
Arnold, Frank S. 1995, Economic Analysis of Environmental Policy And Regulation
John wiley & Sons, Inc. Canada
Asdak, Chay. 2002. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gajah Mada
University Press. Yogyakarta.
Berck, Peter and Michael Robert. 1996. Natural Resource Prices: Will they ever Turn
Up? Journal Of Environmental Economics And Management 31, Artikel
No.0032, Academic Press Inc.
Charles W. 1986. Natural Resource Economics: Issues, Analysis and Policy, J.W. &
Sons. New York.
Connell, D.W. & G.J. Miller. 1995 Kimia dan Ekotoksikologi Pencemaran (terjemahan
Yanti Koestoer). Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press). Jakarta.
Darusman, Dudung. 1991. Nilai Ekonoi Air Untuk Pertanian dan Rumah Tangga di
daerah Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Lembaga Penelitian IPB. Tidak
Dipublikasikan. Bogor.
Davies, J., G. Claridge, dan Nirarita. 1995. Manfaat Lahan Basah: Potensi Lahan Basah
dalam Mendukung dan Memelihara Pembangunan. Asean Wetland Bureau.
Dinas Kelautan dan Perikanan Sumatera Barat. 2008. Buku Statistik 2008. Dinas
Kelautan dan Perikanan Kabupaten Agam.
Direktorat Geologi Tata Lingkungan. 1997. Audit Lingkungan dan Kajian Sosial Danau
Maninjau. Bapedalda Sumatera Barat.
156
Dixon, John A and Maynard M. Hufschmidt. 1986. Economic Valuation Techniques For
The Environment. A Case Study Work-Book, The Johns Hopkins University
Press.
Djajaningrat, Surna T. 1997. Pengantar Ekonomi Lingkungan. LP3ES. Jakarta.
Djogo T, Sunaryo, Suharjito D, Sirait M. 2003. Kelembagaan dan Kebijakan
Dalam Pengembangan Agroforestri. Bogor: World Agroforestry
Centre (ICRAF).
Douglass, RW. 1970. Forest Recreation. Pergamon Press. New York.
Dunn, WN. 1981. Public Policy Analysis: An Introduction, Prentice-Hall, Inc.
Englewood Cliffs, New Jersey.
Dunn, WN. 1994. Public Policy Analysis: An Introduction, Second Edition, Prentice-
Hall, Inc. Englewood Cliffs, New Jersey.
Dunn, WN. 1998. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Edisi Kedua. Gadjahmada
University Press. Yogyakarta.
Dye, Thomas R. 1992. Understnding Public Policy. Prentice- Hall.Inc. Englewood Cliffs,
New Jersey.
Ekaputra, E. 2000. Perspektif Terpadu Dalam Pengelolaan Sumberdaya Air di Era
Otonomi Jurnal VISI No.18 Pusat Studi Irigasi, Sumberdaya Air, Lahan dan
Pembangunan Universitas Andalas. Padang.
Eriyatno. 2003. Ilmu Sistem: Meningkatkan Mutu dan Efektivitas Manajemen. Bogor:
IPB Press.
Fauzi, Noer. 2001. Otonomi Daerah : Sumber Daya Alam – Lingkungan. Lapera Pustaka
Utama. Yogyakarta
Fauzi, A. 2004. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan. PT. Gramedia Pustaka
Utama. Jakarta.
Field, Barry C. 1997. Environmental Economic, An Introduction. The McGraw-Hill
Companies, Inc. Published by Zed Book Ltd., U.K. SMK Grafika Desa Putra.
Jakarta.
Fisfher, S. 2001. Mengelola Konflik: Keterampilan dan Strategi untuk Bertindak (edidi
bahasa Indonesia); Judul asli Working with Conflict: Skill and Strategies for
Action.
157
Garrod, G and Kennet G.Willis.1999. Economics Valuation of the Environment. Edward
Elgar Publitions Limited. Northampton, MA.USA.
Giesen, W. & A. Julia 2000. Introduction to Danau Sentarum National Park West
Kalimantan. Borneo Research Bulletin 31: 5-28 Indonesia.
Ginting, S.P. 1998. Konflik Pengelolaan Sumberdaya Kelautan di Sulawesi Utara dapat
mengancam kelestarian pemanfaatannya. Jurnal Pengelolaan Sumberdaya Pesisir
& Kelautan IPB Vol.1 No.2.
Gittinger, J.P. 1986. Analisis Ekonomi Proyek-Proyek Pertanian. UI Press-Johns
Hopkins. Jakarta.
Golterman,. H.L. 1975. Physicological Limnology. Elsevier SPC. Amsterdam
Gray, Clive. 1993. Pengantar Evaluasi Proyek. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Haab, T.C., and K.E. McConnel.2002. Valuing Environmental and Natural Resources :
The Economics of Non-Market Valuation. Edward Elgar Publitions, USA.
Haeruman, H. 1999. Kebijakan Pengelolaan Danau dan Waduk Ditinjau dari Aspek Tata
Ruang. Semiloka Nasional Pengelolaan dan Pemanfaatan Danau dan Waduk.
Kerjasama PPLH-IPB dengan Ditjen Bangda Depdagri. Ditjen Pengairan dan
Kantor Kementerian Negara Lingkungan Hidup. Bogor 30 Nopember 1999.
Hakimy, I. 1988. Rangkaian Mustika Adat Basandi Syarak Di Minangkabau. CV. Remaja
Karya. Bandung.
Hanley, N dan C.L. Spash. 1993. Cost Benefit Analysis and environmental. Edward Elger
Publishing . England.
Hardin, Garret. 1977. The Tragedy of Commons. W.H. Freeman and co. San Fransisco
Hardoy, J., D. Mitlin & D. Satterthwaite. 2001. Environmental Problem in an Urbanizing
World. Earthscan. London.
Hayami, Kikuchi. 1987. Dilema Ekonomi Desa Suatu Pendekatan Ekonomi terhadap
Perubahan Kelembagaan di Asia. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.
Helmi, Ifdal, E. Ekaputra, Osmet dan Sugianto.2000. Studi Penggunaan dan Pengelolaan
Air Sub-DAS Ombilin. PSI-SDAL Universitas Andalas.
Hufschmidt, M., D.E. James, A.D. Meister, Blair,T. Brower.J.A. Dixson. 1983.
Environmental, Natural Sistems, and Development-An Economics Valuation
Guide. Published by The Johns Hopkins University Press.
158
Hufschmidt, M., D.E. James, A.D. Meister, Blair,T. Brower.J.A. Dixson. 1987.
Lingkungan, Sistem Alami, dan Pembangunan : Pedoman Penilaian Ekonomis
(Reksohadiprojo, S. Penterjemah). Gajah Mada University Press.Yogyakarta.
Idris. 2002. Analisis Kebijakan Pengembangan Pemanfaatan Sumberdaya Alam dan
Lingkungan Danau. Disertasi Program Pasca Sarjana IPB Bogor.
Islamy. 1992. Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijakan Negara. Bumi Aksara. Jakarta.
Ismail, 2007. Penilaian Ekonomi dan Kebijakan Pengelolaan Lingkungan Waduk Dalam
Pembangunan. Disertasi Program Pascasarjana IPB Bogor.
Ismintarti. 1992. Studi Permintaan Air Rumah Tangga sebagai Manfaat Hidrologi
Gunung Gede Pangrango di Sub-DAS Cisokan Tengan-Hilir DAS Citarum Jawa
Barat. Tesis Program Pasca Sarjana IPB Bogor.
Jorgensen, S.E. 1983. Lake Management. Pergamon Press. New York.
Kanungo S, Bhatnagar VK. 2002. Beyond generic models for information system
quality, the use of Interpretive Structural Modelling (ISM). Syst Res 19:531-
549.
Kartodirdjo, S. & Surjo. 1991. Sejarah Perkebunan di Indonesia; Kajian Sosial Ekonomi.
Aditya Media. Jogyakarta.
Kartodihardjo, H. 2001. Reorientasi Sistem Perijinan dan Pengesahan: Menuju Perubahan
Budaya Pengelolaan Hutan Skala Besar. Bahan Seri Jurnal Komuniti Forestri
LATIN . Bogor.
Kementrian Lingkungan Hidup. 1997. Agenda 21 Indonesia
King.M.D. and M. Mazzotta. 2000. Travel Cost Method.
www.ecosystemvaluation.org/travel-cost.htm.[ 17 Juni 2009].
Krech. D. C. 1975. Theory and Problem of Social Psycology, New Delhi. Mc.Grow Hill.
Lincoln, R.J., B. Shall, & G.A. Clark. 1984. A. Dictionary of Ecology Evolution and
Systematics. Reprinted Cambridge University Press. Melborne Australia.
Limnologi LIPI.2009. Musibah Budidaya Keramba Jaring Apung 2009. Padang Ekspres.
MacKinnon, J., K. MacKinnon, G. Child & J. Thorsell. 1990. Pengelolaan Kawasan yang
dilindungi di Daerah tropika, terjemahan dari: Managing Protected Areas in the
Tropics (1986). UGM Press. Jogyakarta.
159
Mc.Kean, M.A. 1992. Management of Traditional Common Land in Japan. Institute for
Company Press. San Fransisco.
Marimin. 2005. Teknik dan Aplikasi Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk.
Jakarta: Grasindo.
Miles, Huberman. 1992. Analisis Data Kualitatif : Buku Sumber tantang metode-metode
baru. UI Press. Jakarta
Munasinghe, M. 1992. Environmental Economics and Valuation in Development
Decisionmaking. The World Bank. Washington.D.C.
Mangkoesoebroto, Guritno. 1997. Ekonomi Publik. BPFE Jogyakarta.
[NRTEE] National Round Table on The Environment and the Economiy. 1998.
Sustainable Strategies foe oceans: A Co-management Guide. NRTEE. Ontario.
Nelson, A., & K.D. Nelson. 1973. Dictionary and Water Engineering. Ist. Published.
Butterwarths. London.
Odum, E.P. 1993. Fundamental of Ecology. Saunders & Toppan. Tokyo.
Omara, O. 1991. Resource Management in Developing Countries. Harlow. Longman.
Ortolano, L. 1984. Environment Planning and Decision Making. John Wiley & Sons Inc.
Canada.
Payne, A.I. 1986. The Ecology of Tropical Lakes and Rivers. John Wiley and Sons
Singapore.
Pearce, David & Dominic Moran. 1994. The Economic Value of Biodiversity, Earthscan
Publication Limited. Canada.
PSLH. 2002. Kajian Ekosistem Danau Singkarak. Pusat Studi Lingkungan Hidup
Universitas Andalas Padang.
Ramdan H. 2006. Pengelolaan Sumber Air Minum Lintas Wilayah di Kawasan Gunung
Ciremai Provinsi Jawa Barat. Disertasi Pascasarjana IPB Bogor.
Reksohadiprodjo, S. dan A. B. P. Brodjonegoro. 1992. Ekonomi Lingkungan Suatu
Pengantar. BPFE. Yogyakarta
Redclift, M. 1987. Sustainable Development. Exploring the Contradictions Routledge.
New York.
Santoso, 1998. Analisis Kebijakan Publik. PT. Tiara Wacana. Yogyakarta
160
Saxena JP, Sushil, Vrat P. 1992. Hierarchy and classification of program plan
elements using Interpretive Structural Modeling: a case study of energy
conservation in the Indian Cement Industry. Syst Practice 5(6):651-670.
Serageldin, I. 1996. Sustainable and Wealth of Nation First Step in an ongoing Journey.
Environmentally Sustainable Development Studies and Monograph Series No. 5
The World Bank, Washington, D.C.
Soekadijo, R.G. 2000, Anatomi Pariwisata: Memahami Pariwisata sebagai Sistemic
Lingkagr. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta
Sukanto, S. 1990. Sosiologi Suatu Pengantar. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Supriatna, J., A. Sanjaya, I. Setiawati & M.R. Syachrizal. 2000. Ekowisata Sebagai
Usaha Pemanfaatan yang Berkelanjutan di Kawasan Lindung. Makalah
Disampaikan Dalam Workshop Komisi Koordinasi Pemanfaatan Objek Wisata
Alam, Balikpapan. 6-8 Maret 2000. Balikpapan: Departemen Kehutanan.
Syandri, H. 1996. Aspek Reproduksi Ikan Bilih (Mystacoleus Padangenis) dan
Kemungkinan Pembenihannya di Danau Singkarak. Program Pascasarjana IPB
Bogor.
Thoha. 1986. Perilaku Organisasi Konsep Dasar dan Aplikasi. CV. Rajawali. Jakarta.
Tietenberg, T. 1992. Innovation in environmental Policy : Economic and Legal Aspects
of Recent Development in environmental Enforcement and Liability. Edward
Elgar. Vermont USA.
Tietenberg, T. 1994. Environmental and Natural Resources Economics. Harper Collins
Publishers. New York USA.
Turner, K.D. Pearce and Bateman. 1994. Environmental Economics : An Elementary
Introduction. Centre For Social and Economic Research on the Global
Environment University of East Anglia and Universty College London.
Vanhove, N. 2005. The Economics of Turism Destination, Elsevvier, Burington.
Wahab. 1991. Analisis Kebijaksanaan dari Formulasi ke Implementasi Kebijaksanaan
Negara. Bumi Aksara. Jakarta.
Wahab, 1992. Manajemen Pariwisata. Paradya Paramita. Jakarta
Wardin, A. 1989. Analisis Pemanfaatan Beragam Sistem Irigasi dan Kemampuan Petani
Dalam Rangka Membayar Iyuran Operasi dan Pemeliharaan Irigasi. Thesis
Program Pascasarjana IPB Bogor.
161
Watt, K. E. F. 1974. Principles of Environmental Science. McGraw-Hillm. New York.
Yakin, A. 1997. Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan Teori dan Kebijakan
Pembangunan Berkelanjutan. Akademika Presindo. Jakarta.