ANALISIS PERBANDINGAN ANTARA BIAYA PELAYANAN PASIEN RAWAT JALAN DAN RAWAT INAP BERDASARKAN TARIF RUMAH
SAKIT DENGAN TARIF INA-CBG PADA PROGRAM JAMINAN KESEHATAN NASIONAL DI RSU ZAHIRAH BULAN PELAYANAN
JANUARI HINGGA MEI 2014
Ni Nengah Ayu Padmawati1, Pujiyanto2
1Manajemen Asuransi Kesehatan, Program Studi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan
Masyarakat, Universitas Indonesia, Depok, 16424 2Departemen Administrasi dan Kebijakan Kesehatan, Fakultas Kesehatan Masyarakat,
Universitas Indonesia, Depok, 16424
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perbandingan antara tarif rumah sakit pasien rawat jalan
dan rawat inap dengan tarif INA-CBG di RSU Zahirah pada program Jaminan Kesehatan Nasional 2014. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa 772 kasus dari total 1231 kasus memiliki tarif rumah sakit yang lebih besar dari tarif INA-CBG dengan total biaya pelayanan berdasarkan tarif rumah sakit sebesar Rp 1.240.959.426 dan total tarif INA-CBG sebesar Rp 1.191.920.289 sehingga rumah sakit merugi sebesar Rp 49.039.137 serta terdapat beberapa hambatan dalam penerapan tarif INA-CBG pada program JKN 2014 yakni kesalahan penulisan diagnosis penyakit, ketidaklengkapan persyaratan peserta, belum adanya clinical pathway, dan masih adanya urun biaya bagi pasien.
Kata Kunci: tarif rumah sakit, tarif INA-CBG, Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)
COMPARISON ANALYSIS BETWEEN COST OF OUTPATIENT AND INPATIENT THAT BASED ON HOSPITAL’S RATE AND INA-CBG’S RATE IN THE
NATIONAL HEALTH INSURANCE PROGRAM IN ZAHIRAH GENERAL HOSPITAL FROM JANUARY UNTIL MAY 2014
Abstract
This study aims to analyze the comparison between outpatient and inpatient that based
on hospital’s rates and INA-CBG’s rates in Zahirah General Hospital in the National Health Insurance program 2014. The result revealed that 772 cases from 1231 total cases had larger
Analisis perbandingan…, Ni Nengah Ayu Padmawati, FKM UI, 2014
hospital’s rate than INA-CBG’s rate with total cost of service based on hospital’s rate is Rp 1.240.959.426 and based on INA-CBG’s rate is Rp 1.191.920.289, so that the hospital losses of Rp 49.039.137. There are some obstacles in the application of INA-CBG rates on the National Health Insurance 2014. There are writing error the diagnosis of disease, lack of compliance with requirements of participants, the absence of clinical pathways in Zahirah Hospital, and the persistence of con costs for patients.
Keywords: hospital’s rate, INA-CBG’s Rate, the National Health Insurance
Pendahuluan
Di Indonesia, upaya Universal Health Coverage (UHC) diselenggarakan oleh sebuah
badan pengelola seperti yang diamanatkan Undang-Undang Badan Pengelola Jaminan Sosial
(BPJS) Bidang Kesehatan yang telah dimulai sejak awal tahun 2014 kini sebagai tindak lanjut
Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang akan membawa konsekuensi
perubahan pada berbagai aspek khususnya pada sistem upaya pelayanan kesehatan, baik
Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) maupun Upaya Kesehatan Perorangan (UKP).
Konsekuensi perubahan akan meliputi kepesertaan, pengorganisasian, pembiayaan, dan
metode pembayaran pelayanan kesehatan yang diselenggarakan dalam program Jaminan
Kesehatan Nasional (JKN).
Berdasarkan rilis media yang dituliskan beberapa redaksi media cetak Indonesia,
Komite Pengawas BPJS (BPJS Watch) menyatakan hasil evaluasi tiga bulan pelaksanaan
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) masih belum begitu memuaskan. Dalam evaluasi
tersebut, BPJS Watch mendapatkan laporan bahwa berbagai masalah masih banyak terjadi di
lapangan yang mengakibatkan hak peserta untuk mendapatkan pelayanan kesehatan
maksimal masih belum bisa terwujud. Tercatat keluhan masyarakat terhadap BPJS Kesehatan
yang dimulai pada saat proses pendaftaran berupa lamanya proses pendaftaran peserta BPJS.
Dari sederet permasalahan yang muncul dalam pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional
(JKN) 2014, pembiayaan kesehatan menjadi isu yang paling menyita perhatian banyak pihak
yang terlibat dalam penyelenggaraan jaminan kesehatan masyarakat. Masalah pembiayaan
kesehatan di Indonesia selama ini memang selalu menjadi dilema, termasuk JKN 2014.
Masalah pembiayaan kesehatan yang ada saat ini datang dari Provider Pelayanan Kesehatan
(PPK).
Sistem pembayaran prospektif untuk PPK inilah yang menjadi permasalahan
pembiayaan kesehatan dalam pelaksanaan JKN 2014 kini. Sistem pembayaran kapitasi untuk
Analisis perbandingan…, Ni Nengah Ayu Padmawati, FKM UI, 2014
PPK tingkat pertama hampir bisa diterima karena kontrak kerja sama yang memang
mewajibkan seluruh puskesmas yang notabene dibawah pemerintahan untuk dapat
memberikan pelayanan tingkat pertama kepada peserta. Selain itu juga untuk klinik, dokter
keluarga, dan lainnya juga cukup menyetujui sistem pembayaran kapitasi.
Reaksi berbeda ternyata dimunculkan oleh pihak PPK Tingkat Lanjut yang tak lain
adalah rumah sakit. Menjelang implementasi JKN 2014, banyak pihak rumah sakit yang
menentang sistem pembayaran INA-CBG yang dinilai merugikan pihak rumah sakit dan
besarannya yang tidak dapat disamakan untuk setiap rumah sakit yang sudah jelas memiliki
tipe dan akreditasi yang berbeda. Berkaca dari pengalaman Kartu Jakarta Sehat (KJS) yang
dianggap sebagai percontohan dari JKN 2014 dan menggunakan INA-CBG sebagai sistem
pembayaran Rumah Sakit juga menuai protes dari berbagai rumah sakit di Jakarta. Sempat
beredar berita dalam media cetak maupun elektronik bahwa ada 16 rumah sakit yang
mengundurkan diri dari kontrak kerja sama sebagai PPK Kartu Jakarta Sehat (KJS). Dilansir
oleh media Tempo, 16 rumah sakit itu adalah RS Thamrin, RS Admira, RS Bunda Suci, RS
Mulya Sari, RS Satya Negara, RS Paru Firdaus, RS Islam Sukapura, RS Husada, RS Sumber
Waras, RS Suka Mulya, RS Port Medical, RS Puri Mandiri Kedoya, RS Tri Dipa, RS JMC,
RS Mediros, dan RS Restu Mulia.
Terlihat dari sekian banyak rumah sakit yang berniat mengundurkan diri, semuanya
berasal dari rumah sakit swasta. Dan pada akhirnya hanya dua rumah sakit yang benar-benar
mundur dalam kontrak kerja sama KJS yakni Rumah Sakit Thamrin dan Rumah Sakit
Admira. Beberapa alasan dikemukakan oleh kedua rumah sakit mengenai keputusan untuk
mundur sebagai PPK KJS. Kedua rumah sakit ini merasa tidak sanggup mengikuti sistem
pembayaran INA-CBG. Dilansir dalam media Kompas, Wakil Direktur Utama Rumah Sakit
MH Thamrin Salemba, Abdul Barry Radjak menyatakan bahwa pihaknya secara prinsip tidak
menolak dan tetap mendukung program KJS hanya saja tidak sanggup dengan tarif INA-
CBG. Rumah sakit juga merasa dirugikan karena biaya pelayanan pasien hanya digantikan
sebesar 30 persen (30%) dari jumlah tagihan klaim seluruhnya. Sementara, pasien KJS yang
membutuhkan pertolongan semakin membeludak saat itu sehingga rumah sakit tidak sanggup
menutupi biaya pelayanan pasien.
Rumah sakit swasta yang terlibat kontrak kerja sama dengan KJS pada masa itu
memang cukup dirugikan. Pertama karena rumah sakit swasta melakukan segala kegiatan
operasional rumah sakit secara swadaya, tidak ada subsidi dari pemerintah. Selain itu,
besaran tarif INA-CBG pada masa Kartu Jakarta Sehat (KJS) masih dibedakan berdasarkan
beberapa 4 daerah regional dengan dua jenis tarif yakni tarif RS Pemerintah dan tarif RS
Analisis perbandingan…, Ni Nengah Ayu Padmawati, FKM UI, 2014
Swasta untuk tipe A,B,C,D, dan khusus. Berdasarkan kontribusi data costing oleh National
Casemix Center, untuk rumah sakit swata memang jauh lebih kecil dibandingkan dengan
rumah sakit pemerintah. Dengan perbandingan yang sedemikian jauh, tentu rumah sakit
swasta kesulitan untuk menangani pasien KJS dengan tarif INA-CBG.
Kerugian pada masa KJS semakin terlihat dengan adanya selisih antara antara total
biaya yang dikeluarkan untuk setiap pelayanan di rumah sakit dengan tarif INA-CBG.
Perbedaan atau selisih memang tidak terlihat di semua instalasi pelayanan rumah sakit.
Berdasarkan hasil pengamatan kegiatan prakesmas di PT Askes (Persero) Cabang Jakarta
Selatan, dengan melihat hasil rekapan klaim masuk dari beberapa rumah sakit yang
menangani KJS, terlihat bahwa untuk instalasi rawat inap terdapat perbandingan biaya yang
relatif berbeda, terutama rumah sakit tipe B,C,D, dan E. Lain halnya dengan instalasi rawat
jalan di rumah sakit yang secara prakteknya tidak memerlukan banyak biaya sehingga
kebanyakan tarif INA-CBG untuk kasus rawat jalan justru lebih besar dibandingkan total
biaya yang harus dikeluarkan rumah sakit.
Namun untuk JKN 2014 kini, dengan melihat pelaksanaan KJS sebelumnya,
pemerintah melakukan perbaikan terhadap tarif INA-CBG yang dapat diterapkan untuk
rumah sakit pemerintah dan swasta tanpa ada selisih yang signifikan. Jika dalam
penghitungan sebelumnya INA-CBG hanya menggunakan rumah sakit pemerintah sebagai
dasar penghitungan, kini rumah sakit swasta juga digunakan dalam dasar penghitungan tarif.
Berdasarkan perbaikan tarif yang dilakukan pihak National Casemix Center untuk tarif JKN
2014, terdapat draft tarif yang berisi contoh kenaikan tarif pada 15 kasus terbesar di rumah
sakit kelas C dengan severity level I. Kenaikan mulai dari 4% hingga 151%.
Dengan perubahan dan perbaikan yang sedemikian rupa diharapkan seluruh PPK yang
terlibat kerja sama dengan BPJS Kesehatan dapat memberikan pelayanan kesehatan yang
komprehensif kepada peserta. Hal ini juga khusus dilakukan untuk menarik minat rumah
sakit swasta dalam menjalin kerja sama sebagai PPK BPJS Kesehatan.
Namun sebaik apapun perbaikan dan penyesuaian tarif INA-CBG yang direncanakan
akan mampu menarik rumah sakit untuk bergabung sebagai PPK BPJS Kesehatan. Pada
kenyataannya, setelah beberapa bulan berjalan sejak januari 2014 lalu, sistem pembayaran
dengan INA-CBG tetap menjadi permasalahan bagi PPK tingkat lanjut terutama rumah sakit
swasta. Setelah dimulainya JKN 2014 ini, ternyata masih banyak rumah sakit yang memang
enggan bergabung dengan BPJS kesehatan dikarenakan merasa terbebani dengan sistem
pembayaran INA-CBG. Sesuai dalam sebuah artikel Berita Kementerian Kesehatan, saat
awal pelaksanaannya, BPJS telah berhasiil merangkul 1.710 RS dari total 2300 RS di
Analisis perbandingan…, Ni Nengah Ayu Padmawati, FKM UI, 2014
Indonesia (swasta maupun pemerintah). Dengan demikian masih terdapat 590 rumah sakit
yang belum terlibat dalam penyelenggaraan JKN 2014.
Untuk semakin menunjukkan kurangnya minat rumah sakit untuk bergabung sebagai
PPK BPJS Kesehatan dapat dilihat dari jumlah rumah sakit yang menjadi PPK BPJS
Kesehatan di DKI Jakarta. Dilansir dalam Merdeka.com, dari 152 rumah sakit yang ada, saat
ini terdapat 81 rumah sakit yang melayani peserta JKN. Sementara 71 rumah sakit lainnya
yang rata-rata adalah rumah sakit swasta menolak bergabung dengan BPJS Kesehatan karena
tarif yang diberlakukan untuk JKN dianggap masih kurang sesuai dan berbeda dengan tarif
rumah sakit. Rumah sakit khawatir bahwa pendapatan mereka akan berkurang dengan
menggunakan tarif INA-CBG dibandingkan saat menggunakan tarif rumah sakit. Jika
sebagian penggalan artikel tersebut menyatakan bahwa masih banyak rumah sakit yang
enggan untuk bergabung sebagai provider BPJS Kesehatan dikarenakan merasa tarif
pembayaran tidak sesuai dan dianggap merugikan, namun bagi kedua rumah sakit ini justru
merasa diuntungkan dengaan sistem pembayaran INA-CBG.
Dengan melihat perbedaan pendapat tersebut maka perlu dilakukan penelitian yang
mencoba untuk melihat perbandingan antara tarif pelayanan rumah sakit dengan tarif INA-
CBG pada JKN 2014 untuk pelayanan rawat jalan maupun rawat inap. Selisih atau hasil
perbandingan nanti akan menunjukkan bagaimana sebenarnya dampak sistem pembayaran
tarif INA-CBG terhadap keuangan atau pendapatan rumah sakit, menguntungkan atau justru
memang masih merugikan bahkan setelah adanya perbaikan dan penyesuaian tarif INA-CBG
untuk JKN 2014. Selain itu, penerapan clinical pathway (jalur perawatan, jalur kritis, jalur
perawatan terpadu, atau peta perawatan) sebagai alat untuk mengelola kualitas dalam
perawatan kesehatan mengenai standarisasi proses perawatan juga perlu mendapat perhatian.
Hingga saat ini hampir keseluruhan rumah sakit di Indonesia masih belum menerapkan
clinical pathway dalam sistem pembayaran INA-CBG.
Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Umum Zahirah, Jakarta
Selatan karena statusnya yang merupakan rumah sakit swasta tipe C yang kemungkinan
banyak menghadapi kendala dalam penerapan tarif INA-CBG. Penelitian juga akan
difokuskan pada pelayanan rawat jalan dan rawat inap dengan melihat perbandingan antara
besar biaya pelayanan kesehatan rumah sakit berdasarkan tarif rumah sakit dengan tarif INA-
CBG untuk kasus yang terjadi selama bulan pelayanan Januari hingga Mei 2014 (lima bulan
berjalan JKN dengan sistem pembayaran INA-CBG).
Analisis perbandingan…, Ni Nengah Ayu Padmawati, FKM UI, 2014
Tinjauan Teoritis
Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) adalah suatu program pemerintah dan
masyarakat yang bertujuan untuk memberikan kepastian jaminan kesehatan yang menyeluruh
bagi setiap rakyat Indonesia agar penduduk Indonesia dapat hidup sehat, produktif, dan
sejahtera. Peserta adalah setiap orang, termasuk orang asing yang bekerja paling singkat 6
(enam) bulan di Indonesia, yang telah membayar iuran. Manfaat adalah faedah jaminan
sosial yang menjadi hak peserta dan/atau anggota keluarganya. Setiap peserta berhak untuk
memperoleh memperoleh Jaminan Kesehatan yang bersifat komprehensif (menyeluruh) yang
terdiri dari:
a. Pelayanan kesehatan pertama, yaitu Rawat Jalan Tingkat Pertama (RJTP) dan Rawat Inap
Tingkat Pertama (RITP)
b. Pelayanan kesehatan rujukan tingkat lanjutan, yaitu Rawat Jalan Tingkat Lanjutan (RJTL)
dan Rawat Inap Tingkat Lanjutan (RITL)
c. Pelayanan persalinan
d. Pelayanan gawat darurat
e. Pelayanan ambulan bagi pasien rujukan dengan kondisi tertentu antar fasilitas kesehatan
f. Pemberian kompensasi khusus bagi peserta di wilayah tidak tersedia fasilitas kesehatan
memenuhi syarat
Sitem pembayaran yang digunakan dalam program JKN adalah sistem pembayaran
prospektif atau pra upaya dengan menggunakan tarif kapitasi pada PPK Tingkat 1 dan pola
tarif INA-CBG untuk PPK tingkat lanjut. Menurut Peraturan Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial Kesehatan Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Penyelenggaraan Jaminan Kesehatan, tarif
Indonesian - Case Based Groups yang selanjutnya disebut Tarif INA-CBG’s adalah besaran
pembayaran klaim oleh BPJS Kesehatan kepada Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjutan atas
paket layanan yang didasarkan kepada pengelompokan diagnosis penyakit. Dalam Peraturan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 69 Tahun 2013 Tentang Standar Tarif
Pelayanan Kesehatan Pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama Dan Fasilitas Kesehatan
Tingkat Lanjutan Dalam Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan Pasal 4, tarif INA-
CBG’s meliputi:
a. tarif pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh rumah sakit kelas A, kelas B,kelas C dan
kelas D dalam regional 1;
Analisis perbandingan…, Ni Nengah Ayu Padmawati, FKM UI, 2014
b. tarif pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh rumah sakit kelas A, kelas B,kelas C dan
kelas D dalam regional 2;
c. tarif pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh rumah sakit kelas A, kelas B,kelas C dan
kelas D dalam regional 3;
d. tarif pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh rumah sakit kelas A, kelas B,kelas C dan
kelas D dalam regional 4;
e. tarif pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh rumah sakit kelas A, kelas B,kelas C dan
kelas D dalam regional 5;
f. tarif pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh rumah sakit umum rujukannasional; dan
g. tarif pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh rumah sakit khusus rujukan nasional.
Dalam permenkes tersebut terdapat daftar besaran tarif INA-CBG sesuai daerah regional di
atas dan tipe rumah sakit.
Menurut Gani (1996), analisis penetapan tarif rumah sakit merupakan kegiatan setelah
diperoleh informasi biaya satuan rumah sakit. Pada langkah sebelumnya telah didapatkan
hasil biaya satuan aktual (riil) sesuai kondisi rumah sakit tersebut selama setahun, terlepas
dari apakah puskesmas tersebut memberikan pelayanan dengan kualitas seperti apa, karena
bagaimanapun rumah sakit beroprasi dengan segala keterbatasan yang ada baik dari segi
finansial, tenaga, sarana, maupun demand masyarakat sendiri terhadap pelayanan rumah sakit
tersebut. Analisis penetapan tarif yang berdasarkan atas biaya satuan aktual mungkin saja
belum efesien karena pemanfaatan yang rendah, sehingga kemungkinan implikasinya adalah
tarif yang terlalu tinggi. Atau sebaliknya, rumah sakit memiliki tingkat utilisasi yang terlalu
tinggi sehingga sebetulnya dibutuhkan sarana prasarana tambahan. Untuk mengantisipasi hal
tersebut perlu pula dihitung biaya satuan normatif, yaitu biaya yang mempertimbangkan
kapasitas produksi optimal dari unit tersebut.
Penyesuaian tarif yang mempertimbangkan kemampuan masyarakat merupakan suatu
upaya mobilisasi dana masyarakat guna meningkatkan pendapatan rumah sakit untuk
mengatasi kesehatan di kabupaten. Pada tarif yang diharapkan akan mengacu pada
perhitungan yang akurat mempertimbangkan berbagai faktor. Bagi anggota masyarakat yang
benar-benar tidak mampu kebijakan penyesuaian tarif ini perlu didukung dengan kebijakan
Kartu Sehat. Kegiatan lain yang relevan dengan upaya mobilisasi dana penyesuaian tarif
adalah program JPKM, Dana Sehat dimana diharapkan barier masyarakat untuk membeli jasa
pelayanan rumah sakit akan dapat teratasi.
Analisis perbandingan…, Ni Nengah Ayu Padmawati, FKM UI, 2014
Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian survei deskriptif yaitu penelitian yang dilakukan terhadap
sekumpulan objek yang biasanya bertujuan untuk melihat gambaran dan mendeskripsikan
fenomena termasuk di bidang kesehatan yang terjadi di dalam suatu populasi tertentu.
Penelitian yang bertujuan untuk mengetahui perbandingan tarif pelayanan kesehatan rawat
jalan dan rawat inap terhadap tarif INA-CBG pada program JKN 2014 di RSU Zahirah ini
merupakan penelitian dengan metode kuantitatif serta kualitatif yang dilakukan melalui
wawancara mendalam (indepth interview) sebagai penunjang untuk mengetahui hambatan
yang terjadi dalam penerapan tarif INA-CBG pada program JKN 2014 kini di RS Zahirah.
Data primer dalam penelitian ini adalah hasil wawancara mendalam yang dilakukan
terhadap beberapa staf rumah sakit yang menggunakan instrument penelitian berupa pedoman
wawancara dan alat perekam. Data sekunder dalam penelitiaan diperoleh melalui data laporan
individual pasien JKN rawat jalan dan rawat inap hasil pengkodingan oleh software INA-
CBG.
Hasil Penelitian dan Pembahasan
Dari hasil penelitian diketahui beberapa hasil dibawah ini :
A. Distribusi Frekuensi Penyakit di Unit Pelayanan Rawat Jalan Per Kode Diagnosis
INA-CBG
Diketahui berdasarkan hasil pengelompokkan bahwa dari jumlah total 1.088 kasus
pasien yang mendapatkan pelayanan kesehatan rawat jalan untuk bulan pelayanan Januari
hingga Mei 2014, kasus terbanyak pertama dengan persentase sebesar 50% untuk 544 kasus
adalah pasien untuk pelayanan prosedur dialisis dengan kode diagnosis N-3-15-0. Sementara
di urutan terbanyak kedua dengan persentase 36% untuk 390 kasus merupakan pasien dengan
kode diagnosis Q-5-44-0 untuk penyakit kronis kecil lain-lain. Urutan ketiga terbanyak
adalah pasien rawat jalan dengan kode diagnosis Q-5-42-0 untuk Penyakit Akut Kecil Lain-
Lain dengan jumlah 69 kasus atau sebesar 6% dari total keseluruhan kasus rawat jalan yang
terjadi. Selebihnya adalah kode diagnosis penyakit yang dengan jumlah kejadian yang jauh
lebih sedikit yakni 2% (24 kasus) untuk Penyakit Kronis Besar Lain-Lain, serta beberapa
Analisis perbandingan…, Ni Nengah Ayu Padmawati, FKM UI, 2014
kode diagnosis dengan persentase 1% (7 kasus), bahkan 0% (1 kasus) dari total keseluruhan
kasus rawat jalan yang dilayani pada bulan pelayanan Januari hingga Mei 2014.
Terkait dengan dominasi jumlah pasien rawat jalan yang menggunakan prosedur
dialisis (cuci darah), maka hal ini dapat dikaitkan dengan adanya kepemilikan jaminan
kesehatan nasional yang kini dapat dimiliki oleh seluruh masyarakat Indonesia. Dengan
jaminan kesehatan tentu akan semakin memudahkan akses setiap orang terhadap pelayanan
kesehatan. Hal ini sesuai dengan karya tulis Hasbullah Thabrany tentang “Strategi Pendanaan
Jaminan Kesehatan Indonesia Dalam SJSN” yang menyatakan bahwa sebelum ada program
askeskin, banyak penduduk miskin (bahkan yang tidak miskin sekalipun) yang meninggal
karena tidak mampu membayar biaya cuci darah yang paling sedikit harus dilakukan dua kali
seminggu dengan biaya paling murah Rp 450 ribu per kali. Artinya, seseorang yang
menderita gagal ginjal harus membayar paling sedikit Rp 3,6 juta sebulan. Mudah dipahami,
mereka yang bergaji Rp 4 juta sebulan pun tidak mampu hidup lebih lama, tanpa jaminan.
Sejak program Askeskin diluncurkan, sebanyak 4.862 kasus hemodialisa ditangani, 380
operasi jantung, dan 780 operasi kanker telah dilaksanakan. Dengan adanya pernyataan
demikian, prosedur dialisis yang merupakan prosedur untuk penyakit kronis urinari (gagal
ginjal) yang dalam jangka panjang memang akan menelan banyak biaya apabila masyarakat
menggunakan sistem pembayaran out of pocket, maka dengan dimulainya era JKN ini,
masyarakat yang tadinya tidak mampu menanggung biaya pengobatan hemodialisis kini
dapat menjalankannya dengan rutin dan teratur. Selain itu juga jumlah pasien hemodialisis
(HD) yang cukup tinggi di Indonesia setiap tahunnya. Tercatat dalam 4th Report Of
Indonesian Renal Registry tahun 2011 bahwa jumlah pasien HD aktif yang ditanggung askes
hingga tahun 2011 adalah sebanyak 2.150 pasien. Dapat disimpulkan bahwa dengan
menjamin seluruh warga negara Indonesia maka jumlah pasien HD untuk peserta JKN juga
pasti akan bertambah terutama dari yang sebelumnya tidak menadapat jaminan dari program
Askes.
Dalam INA-CBG juga terdapat severity level yang menunjukkan tingkat keparahan
suatu penyakit. Untuk kode diagnosis rawat jalan, tingkat keparahan penyakit ditunjukkan
dengan “0”. Disebutkan dalam ketentuannya oleh National Casemix Center bahwa untuk
tingkat keparahan penyakit dalam kode diagnosis INA-CBG terletak pada digit terakhir yakni
kode keempat dengan kode “0” untuk semua pelayanan rawat jalan sementara kode severity
level “I,II, dan III” untuk pelayanan rawat inap.
Analisis perbandingan…, Ni Nengah Ayu Padmawati, FKM UI, 2014
B. Distribusi Frekuensi Penyakit di Unit Pelayanan Rawat Inap (Kelas I,II, dan III)
Per Diagnosis INA-CBG
Jumlah kasus per diagnosis untuk total jumlah pelayanan rawat inap kelas I terdistribusi
hampir sama rata dengan persentase untuk 15 kode diagnosis yang 13 diantaranya masing-
masing 1 kasus atau sebesar 5% dari total keseluruhan yakni 19 kasus. Sementara 2 kode
diagnosis, N-4-10-III dan J-1-02-IIImemiliki persentase 11% dengan jumlah masing-masing
2 kasusdari total pelayanan rawat inap kelas I yang ada selama bulan pelayanan Januari
hingga Mei 2014. Dalam pelayanan rawat inap, kode diagnosis INA-CBG tentu disertai
denganseverity level atau tingkat keparahan penyakit. Sesuai dengan tabel hasil di atas,
diketahui bahwa terdapat 3 kasus kunjungan rawat inap pasien yang memiliki severity level
“I” dan 8 jumlah kasus kunjungan rawat inap pasien yang sama-sama memilikiseverity level
“II” dan “III”. Dengan demikian, untuk unit pelayanan rawat inap kelas I didominasi oleh
diagnosa dengan severity level II dan III.
Dari total keseluruhan kasus pelayanan rawat inap kelas II yakni sebanyak 29 kasus
yang terjadi pada bulan pelayanan Januari hingga Mei 2014, terdapat 17 pengelompokan
penyakit berdasarkan kode diagnosa INA-CBG. Kasus terbanyak terdapat pada kode
diagnosis A-4-13-I untuk Infeksi Non Bakteri Ringan dengan jumlah 5 kasus atau sebesar
17% dari total keseluruhan. Sementara diagnosis lainnya memiliki persentase yang sama
yakni 10% (3 kasus) untuk 3 kode diagnosis, 7% (2 kasus) untuk 2 kode diagnosis, dan 3% (1
kasus) untuk 11 kode diagnosisyang dapat dilihat pada tabel di atas. Untuk tingkat keparahan
penyakit, terdapat 14 kasus pasien yang memiliki tingkat keparahan penyakit I, 13 kasus
dengan tingkat keparahan II, dan 2 kasus dengan tingkat keparahan III.Dengan demikian,
untuk unit pelayanan rawat inap kelas II didominasi oleh diagnosa dengan severity level I dan
II.
Berdasarkan tabel hasil penelitian, diketahui bahwa untuk pelayanan kesehatan rawat
inap kelas III bulan pelayanan Januari hingga Mei 2014 terjadi 95 kasus pasien yang
dikelompokkan menjadi 48 kode diagnosis yang sesuai dengan kode INA-CBG. Kasus
terbanyak pertama yaang menempati ruang perawatan kelas III adalah pasien dengan kode
diagnosis A-4-13-I untuk penyakit infeksi non bakteri ringan dengan jumlah 13 kasus atau
sebesar 14% dari total keseluruhan. Kemudian di urutan terbanyak kedua dengan kode
diagnosa A-4-13-II untuk penyakit infeksi non bakteri sedang dengan jumlah 8 kasus atau
sebesar 8% dari total keseluruhan. Selebihnya adalah kode diagnosis dengan jumlah di bawah
8 kasus yang dapat dilihat dalam tabel. Dalam ruang pelayanan rawat inap kelas III ini
Analisis perbandingan…, Ni Nengah Ayu Padmawati, FKM UI, 2014
terdapat 53 kasus dengan severity level I, 27 kasus untuk severity level II, dan 15 kasus
dengan severity level III. Sesuai dengan jumlahnya, rawat inap kelas II ini didominasi oleh
diagnosa dengan severity level I dan II.
C. Perbandingan Antara Tarif Rumah Sakit Dengan Tarif INA-CBG
Berikut adalah hasil perbandingan antara tarif rumah sakit dengan tarif INA-CBG: Tabel 1. Perbandingan Jumlah Keseluruhan Kasus Rajal dan Ranap
Dari tabel di atas diketahui bahwa total jumlah kunjungan atau kasus pasien JKN di
RSU Zahirah keseluruhan untuk bulan pelayanan Januari hingga Mei 2014 adalah 1231
kasus. Dari 1231 kasus, 459 (37%) kasus memiliki besaran tarif rumah sakit yang lebih kecil
dari tarif INA-CBG dan 772 kasus (63%) dengan tarif rumah sakit yang lebih besar dari tarif
INA-CBG. Melalui penjabaran di atas, dapat disimpulkan bahwa secara keseluruhan untuk
bulan pelayanan Januari hingga Mei 2014 pada unit pelayanan kesehatan rawat jalan, rawat
inap kelas I, II, maupun III, rumah sakit masih mengalami kerugian dengan sistem
pembayaran INA-CBG. Kerugian dalam hal ini adalah dari perspektif rumah sakit karena
memang fungsinya yang masih sebagai rumah sakit swasta yang berorientasi pada laba.
Dengan dasar penelitian sebelumnya menurut Sendika dan Eni (2010) serta Musarovah, Sri,
dan Moch (2011) dan data kunjungan pasien rawat jalan dan rawat inap yang lengkap dengan
kode diagnosis serta tarif maka peneliti akan membahas tiga faktor penting yakni lama hari
rawat, tingkat keparahan penyakit, dan keberadaan diagnosis sekunder dan adanya tindakan
atau prosedur medis.
ALOS (Average Length of Stay) adalah rata-rata lama rawat seorang pasien. Diketahui
dari hasil perhitungan bahwa ALOS rumah sakit januari hingga mei 2014 untuki pasien rawat
inap kelas I,II, dan III adalah 4 hari.
No. Pelayanan Kesehatan
Tarif Rumah Sakit ≤ Tarif INA-CBG
Tarif Rumah Sakit >Tarif INA-CBG Total Pasien
∑ % ∑ % ∑ %
1 Rawat Jalan 379 35% 709 65% 1088 88%
2 Rawat Inap Kelas I 7 37% 12 63% 19 2%
3 Rawat Inap Kelas II 15 52% 14 48% 29 2%
4 Rawat Inap Kelas III 58 61% 37 39% 95 8%
Jumlah 459 37% 772 63% 1231 100%
Analisis perbandingan…, Ni Nengah Ayu Padmawati, FKM UI, 2014
Tabel 2. ALOS Rumah Sakit
Jika dibandingkan dengan standar ideal ALOS menurut Huffman (3-12 hari), maka ALOS
rumah sakit dianggap sudah sesuai dengan standar ideal yang ada. Sementara apabila
dibandingkan dengan standar ideal ALOS milik Depkes (6-9 hari), maka ALOS rumah sakit
masih berada di bawah standar. Length of Stay (LOS) tertinggi untuk bulan pelayanan
Januari hingga Mei 2014 ini adalah 15 hari dan terendah adalah 1 hari.
Menurut Sudra (2009), lama hari rawat dilihat dari aspek medis dan aspek ekonomis.
Aspek medis dinyatakan bahwa semakin panjang lama dirawat maka dapat menunjang
kualitas kerja medis kurang baik karena pasien harus dirawat lebih lama. Sebaliknya bila
lama dirawat semakin pendek dapat diambil pengertian bahwa kualitas kinerja medis baik.
Aspek ekonomis dinyatakan bahwa semakin panjang lama dirawat berarti semakin tinggi
biaya yang nantinya harus dibayar oleh pasien atau pihak keluarga.
Hal tersebut hanya berlaku pada tarif rumah sakit saja, sedangkan pada tarif paket INA-
CBG, panjang atau pendek lama dirawat tidak berpengaruh terhadap besarnya biaya yang
nantinya akan dibayarkan pihak pembayar.
Tabel 3. Severity Level Pasien Unit Rawat Inap
Tarif INA-CBG akan meningkat sesuai dengan tingkat keparahan penyakit pasien.
Berdasarkan National Casemix Center (2013), tarif rumah sakit akan semakin besar untuk
diagnosa dengan tingkat keparahan II dan III. Dalam Permenkes Nomor 69 Tahun 2013 juga
telah ditetapkan bahwa kenaikan tarif INA-CBG dibedakan sesuai dengan Kelas perawatan
I,II, dan III dengan tingkat keparahan I,II, dan III.
Ranap Kelas I Ranap Kelas II Ranap Kelas III Jumlah
LOS 106 124 379 609
Jumlah Pasien 19 29 95 143
ALOS 6 4 4 4
Ranap Kelas I Ranap Kelas II Ranap Kelas III Jumlah
Severity Level “I” 3 14 53 70
Severity Level “II” 8 13 27 48
Severity Level “III” 8 2 15 25
Jumlah 19 29 95 43
Analisis perbandingan…, Ni Nengah Ayu Padmawati, FKM UI, 2014
Untuk indikator diagnosis sekunder, rawat inap kelas III memiliki 2 pasien dengan
diagnosa sekunder terbanyak yakni J-4-15-II (D649, K30, E871, K769) dan K-4-15-III
(D649, A165, J90, K85). Dari total kasus di unit rawat inap kelas III, 27 kasus menggunakan
tindakan medis dengan seluruhnya merupakan prosedur bedah. Banyaknya diagnosis
sekunder dan tindakan akan berbanding lurus dengan lama perawatan dan penentuan severity
level pasien.
D. Indikasi Kecurangan Penerapan Pola Tarif INA-CBG
Peneliti menganalisa adanya kemungkinan kecurangan rumah sakit yang terlihat dari
laporan indivisual pasien hasil keluaran software INA-CBG bahwa rumah sakit ternyata
banyak menetapkan tarif rumah sakit yang berbeda untuk satu kode diagnosis penyakit.Hal
itu menunjukkan bahwa rumah sakit seolah bermaksud untuk mengcover biaya pelayanan
untuk kode diagnosis yang memiliki tarif paket yang jauh dari biaya aktual yang dikeluarkan
rumah sakit. Tabel 4. Penetapan Tarif Rumah Sakit yang Berbeda di Unit Pelayanan Rawat Jalan
No. Diagnosa Tarif INA-CBG Tarif Rumah Sakit Selisih
1 N-3-15-0 893.318 905.000 (11.682)
2 N-3-15-0 893.318 705.000 188.318
3 Q-5-44-0 160.474 183.015 (22.541)
4 Q-5-44-0 160.474 132.260 28.214
5 Q-5-44-0 160.474 117.070 43.404
6 Q-5-44-0 160.474 205.000 (44.526)
7 Q-5-25-0 135.319 110.000 25.319
8 Q-5-25-0 135.319 200.000 (64.681)
9 Q-5-42-0 137.259 115.976 21.283
10 Q-5-42-0 137.259 156.218 (18.959)
Analisis perbandingan…, Ni Nengah Ayu Padmawati, FKM UI, 2014
Tabel 5. Selisih Total Tarif Rumah Sakit dengan Tarif INA-CBG
No.
Pelayanan Kesehatan Total Tarif Rumah Sakit Total Tarif INA-CBG Total Selisih Persentase
Selisih
1 Rawat Jalan Rp562.901.233 Rp574.329.972 Rp11.428.739 2%
2 RawatInap Kelas I Rp 179.846.154 Rp146.814.509 Rp(33.031.645) -22%
3 Rawat Inap Kelas II Rp 143.316.056 Rp 129.393.077 Rp(13.922.979) -11%
4 Rawat Inap Kelas III Rp354.895.983 Rp341.382.731 Rp(13.513.252) -4%
Total Rp 1.240.959.426 Rp1.191.920.289 Rp (49.039.137) -4%
Berdasarkan hasil perhitungan, diketahui total tarif rumah sakit yang dikeluarkan untuk
pemberian pelayanan kepada pasien JKN mulai dari rawat jalan hingga rawat inap kelas I,II,
dan III. Apabila semua unit pelayanan mulai dari rawat jalan hingga rawat inap digabungkan
maka diketahui bahwa total keseluruhan tarif rumah sakit atau biaya yang dikeluarkan rumah
sakit untuk pemberian pelayanan kesehatan di keempat unit pelayanan tersebut adalah Rp
1.240.959.426. Sementara total tarif INA-CBG adalah Rp 1.191.920.289,00. Jadi besar
selisih secara keseluruhan untuk bulan pelayanan Januari hingga Mei 2014 sebesar Rp
(49.039.137) atau -4% dari tarif INA-CBG. Selisih bernilai negatif karena total biaya
pelayanan yang dikeluarkan oleh rumah sakit untuk unit rawat jalan dan rawat inap lebih
besar dibandingkan total tarif INA-CBG yang dibayarkan BPJS Kesehatan.
Berdasarkan hasil observasi diketahui bahwa RSU Zahirah melakukan penrhitungan
tarif rumah sakit berdasarkan benchmarking dan kenaikan berkala setiap tahun. Khusus tarif
untuk tindakan terhadap pasien dengan perhitungan unit cost. Dengan melihat metode
perhitungan yang digunakan, akan lebih baik jika rumah sakit melakukan metode perhitungan
tarif dengan metodeActivity Based Costing (ABC). Metode ABC ini adalah salah satu metode
perhitungan tarif dengan unit cost. Hal ini sesuai dengan pernyataan Heru (2010) bahwa tarif
yang tidak akurat akan memberikan informasi biaya yang terdistorsi yaitu undercosting atau
overcosting yang mengakibatkan kesalahan pengambilan keputusan dan kelangsungan
organisasi. Menyadari adanya kelemahan dalam sistem penentuan tarif tradisional, maka
perlu diterapkan sistem penentuan berdasarkan aktivitas atau lebih dikenal dengan metode
Activity Based Costing (ABC). Perbedaan utama penghitungan harga pokok produk antara
akuntansi biaya tradisional dengan ABC adalah jumlah cost driver (pemicu biaya) yang
Analisis perbandingan…, Ni Nengah Ayu Padmawati, FKM UI, 2014
digunakan, dalam sistem penentuan harga pokok produk dengan metode ABC menggunakan
cost driver dalam jumlah lebih banyak dibandingkan dalam sistem akuntansi biaya tradisional
yang hanya menggunakan satu atau dua cost driver berdasarkan unit (Amin,2010) Activity
Based Costing (ABC) dinilai dapat mengukur secara cermat biaya biaya yang keluar dari
setiap aktivitas, hal ini disebabkan karena banyaknya cost driver yang digunakan dalam
pembebanan biaya overhead, sehingga dalam Activity Based Costing (ABC) dapat
meningkatkan ketelitian dalam perincian biaya, dan ketepatan pembebanan biaya lebih
akurat.(Mulyadi,2003)
E. Hambatan dalam Penerapan Pola Tarif INA-CBG
1. Masih adanya kesalahan penulisan diagnosis penyakit baik oleh dokter maupun koder
yang tidak sesuai dengan kode ICD-10 maupun ICD-9 CM. Menurut Permenkes
Nomor 40 Tahun 2012 Bab IV, bahwa pada pelayanan tingkat lanjut untuk memenuhi
kesesuaian tarif INNA-CBG maka dokter berkewajiban untuk melakukan penegakan
diagnosis yang tepat dan jenis sesuai dengan ICD-10 dan ICD-9 CM.
2. Ketidaklengkapan persyaratan peserta saat berobat ke rumah sakit sebagai peserta
jaminan. Menurut Permenkes Nomor 71 Tahun 2013 pada lampirannya tentang
prosedur dan tata laksana pelayanan kesehatan bagi peserta JKN bahwa untuk
mendapatkan pelayanan kesehatan sebagai peserta jaminan, maka peserta wajib
melengkapi syarat administrasi berkas seperti kartu peserta, surat eligibilitas peserta,
dan lainnya sesuai dengan ketentuan yang ada.
3. Masih adanya urun biaya bagi pasien untuk kelebihan biaya pelayanan kesehatan yang
tidak ditangggung dalam tarif INA-CBG. Berdasarkan Peraturan BPJS Kesehatan
Nomor 1 Tahun 2014 tentang penyelenggaraan jaminan kesehatan bahwa tidak ada
lagi urun biaya bagi peserta dalam hal apapun
4. Belum adanya clinical pathway di RSU Zahirah. Padahal menurut Undang-Undang RI
Nomor 29 Tahun 2004 bahwa kewajiban menyelenggarakan program kesehatan yang
memiliki kendali mutu dan kendali biaya. Sementara dalam Undang-Undang
RI Nomor 44 Tahun 2010 tentang rumah sakit pada pasal 33 bahwa rumah sakit adalah
organisasi yang efektif, efisien, dan kompatibel.
Analisis perbandingan…, Ni Nengah Ayu Padmawati, FKM UI, 2014
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian mengenai analisis perbandingan antara tarif rumah sakit
dengan tarif INA-CBG Program Jaminan Kesehatan Nasional di RSU Zahirah bulan
pelayanan Januari hingga Mei 2014 diperoleh kesimpulan bahwa total pengeluaran rumah
sakit atau besar tarif rumah sakit dalam penyelenggaraan jaminan kesehatan ternyata lebih
besar dari total tarif INA-CBG yang dibayarkan pihak BPJS Kesehatan selama 3 bulan
pelayanan. Total tarif rumah sakit dari unit pelayanan rawat jalan dan rawat inap untuk bulan
pelayanan Januari hingga Mei 2014 adalah 63% lebih bebesar dari tarif INA-CBG. Rumah
sakit juga mengalami kerugian sebesar 4% di mana total tarif rumah sakit ternyata lebih besar
dibandingkan total tarif INA-CBG. Dan juga terdapat beberapa hambatan dalam penerapan
tarif INA-CBG di rumah sakit pada program JKN yang megakibatkan penerapannya belum
optimal antara lain kesalahan penulisan diagnosis penyakit, ketidaklengkapan persyaratan
peserta, belum adanya clinical pathway di RSU Zahirah, dan masih adanya urun biaya bagi
pasien.
Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di RSU Zahirah, maka guna memberi masukan
kepada pihak rumah sakit, dapat diajukan saran sebagai berikut:
a. Sosialisasi yang rutin dan berkelanjutan di internal rumah sakit, mulai dari jajaran tenaga
medis maupun non medis.
b. Mempercepat proses pembuatan clinical pathway yang merangkum setiap langkah
pelayanan yang diberikan kepada pasien untuk diagnosis penyakit tertentu, khususnya
untuk kasus penyakit terbanyak, kronis dan biaya tinggi sehingga lebih efisien dalam
memberikan pelayanan. Selain itu, pihak manajemen rumah sakit, komite medis maupun
profesi dokter yang terlibat dalam pembuatan clinical pathway ini harus meningkatkan
kerja sama dan bersinergi dalam menyelesaikan clinical pathway.
c. Meningkatkan penggunaan dan pemanfaatan penulisan diagnosis serta tindakan secara
benar dan lengkap oleh para dokter dengan kode ICD-10 dan ICD-9 CM sehingga
mempermudah proses pengkodingan diagnosis penyakit. Selain itu, peningkatan
kompetensi para kode menjadi penting untuk menghindari banyaknya kesalahan input
Analisis perbandingan…, Ni Nengah Ayu Padmawati, FKM UI, 2014
kode diagnosis oleh para koder rumah sakit. Peningkatan ini dilakukan dengan
mengadakan pelatihan untuk para dokter maupun koder seputar penulisan diagnosis dan
tindakan dengan ICD-10 maupun ICD-9 CM.
d. Menambah dan meningkatkan sosialisasi mengenai kelengkapan persyaratan untuk
berobat sebagai peserta BPJS Kesehatan sehingga kedatangan pasien untuk memperoleh
pelayanan tidak sia-sia misalkan memasang pengumuman di depan rumah sakit baik
dalam bentuk papan pengumuman maupun spanduk atau baliho yang berisi syarat
kelengkapan administrasi yang harus dilengkapi peserta saat akan berobat di rumah sakit
sebagai peserta BPJS Kesehatan.
e. Menerapkan sistem perhitungan untuk mengetahui biaya satuan aktual yang dikeluarkan
rumah sakit sehingga diharapkan rumah sakit dapat mengalokasikan biaya yang ada
dengan efektif dan efisien.
f. Pihak manajemen dapat mengatur keuangan dengan melakukan efisiensi dan subsisdi
silang kasus dengan tarif rumah sakit yang terkadang memang lebih besar maupun lebih
kecil dari tarif INA-CBG.
g. Pengaturan harga obat dan alat kesehatan secara nasional oleh pemerintah serta subsidi
biaya operasional dalam upaya memperingan biaya pelayanan kesehatan yang bermutu.
Diperlukan data yang lebih besar dan akurat melalui penelitian multicenter untuk
menyempurnakan penyusunan tarif INA-CBG’s serta penghitungan yang lebih cermat untuk
biaya riil pelayanan khususnya penyakit yang memerlukan biaya tinggi dengan metode yang
lebih tepat di Rumah Sakit.
Daftar Referensi
Adisasmito, W. (2008). Case Study : Analisis Kebijakan Kesehatan, Kebijakan Standar
Pelayanan Medik dan Diagnosis Related Group (DRG), Kelayakan Penerapannya di
Indonesia. Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia dari:
http://staff.blog.ui.ac.id/wiku-a/files/2009/02/kebijakan-standar-pelayanan-medik-
drg_edited.pdf (Diakses pada Tanggal 18 Mei 2014)
Alamsyah, D. (2011). Manajemen Pelayanan Kesehatan. Yogyakarta: Nuha Medika
Amin, AC. (2010). Penghitungan Biaya per Unit (Unit Cost) Pelayanan Rumah Sakit,
Workshop Penghitungan Tarif Berbasis Unit Cost di Rumah Sakit. Jakarta
Analisis perbandingan…, Ni Nengah Ayu Padmawati, FKM UI, 2014
Apriyanti. (2007). Diagnostic Related Groups Mengendalikan Tarif Rumah Sakit. Fakultas
Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia dari: pkko.fik.ui.ac.id/files/tugas%20ppko.doc
(diakses pada tanggal 19 Mei 2014)
Ariati, N. (2013). Mencegah Korupsi di Jaminan Kesehatan Nasional. Jakarta: Litbang KPK
Azhar, R. (2011). Modul Mata Kuliah Ekonomi Layanan Kesehatan. Universitas Sriwijaya :
Fakultas Kesehatan Masyarakat
Azwar, Azrul. (1996). Pengantar Administrasi Kesehatan. Jakarta: Binarupa Aksara
Bustan,M.N. (2006). Pengantar Epidemiologi. Jakarta: PT RinekaCipta
Department of Health and Human Services. (2012). Medicare Fraud and Abuse : Prevention ,
Detection , and Reporting.
Firmanda, D. 2005. Integrated Clinical Pathway (ICP): Peran Profesi Medis dalam Rangka
Menyusun Sistem DRG-Casemix di Rumah Sakit, disampaikan dalam Evaluasi Penyusun
Clinical Pathway di Departemen Kesehatan. Desember 2005
Firmanda, D. 2008. Clinical Pathway Dalam Rangka Kendali Mutu dan Biaya Melalui
Sistem DRG Casemix. RSUP Fatmawati Jakarta
Firmanda, D. 2009. Pengenalan Sistem Pembiayaan Casemix. RSUP Fatmawati Jakartali
Firmanda, D. 2009. Tekhnik Penyusunan Clinical Pathway. RSUP Fatmawati. Jakarta
Gani, A. (1997). Analisis Biaya Rumah Sakit. Makalah Seri Manajemen Keuangan Pelayanan
Kesehatan. Jakarta
Gani, A dan Nadjib, M. (1996). Analisis Biaya Rumah Sakit (Pedoman-Pedoman Pokok
Analisis Biaya Rumah Sakit). Disajikan pada pelatihan penyusunan pola tarif rumah
sakit pemerintah di lingkungan dirjen pelayanan medik tahun anggaran 1996/1997.
Cisarua, Bogor
Hendrartini, Y. (2013). Deteksi dan Investigasi Fraud dalam Asuransi Kesehatan :
Bagaimana di Indonesia ?. Jakarta
Heru, Atiek. (2010). Langkah-Langkah Strategis Penghitungan Analisis Biaya (Perhitungan
Unit Cost) di Rumah Sakit. Workshop Penghitungan Tarif Berbasis Unit Cost di Rumah
Sakit. Jakarta
Koentjoro, T. (2007). Regulasi Kesehatan Indonesia. Yogyakarta: Andi
Analisis perbandingan…, Ni Nengah Ayu Padmawati, FKM UI, 2014
PT. Lucky Dion Perkasa. (2012). Company Profile Rumah Sakit Zahirah. Jakarta
Mulyadi. (2003). Activity Based Cost System Sistem Informasi Biaya untuk Pengurangan
Biaya. Yogyakarta
Notoatmodjo, S. (2010). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: PT Rineka Cipta
Office of Inspector General. (2013). Office of Inspector General Work Plan Fiscal Year
2013. Dari: https://oig.hhs.gov (Diakses pada tanggal 7 Juli 2014)
Pohan, Imabalo S. (2006). Jaminan Mutu Layanan Kesehatan. Jakarta: ECG
Republik Indonesia. (2008). Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 129 Tahun 2008 Tentang
Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit. Jakarta
Republik Indonesia. (2013). Keputusan Menteri Kesehatan Nomor
328/Menkes/SK/VIII/2013 Tentang Formularium Nasional. Jakarta
Republik Indonesia. (2014). Peraturan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan
Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Penyelenggaraan Jaminan Kesehatan. Jakarta
Republik Indonesia. (2013). Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 69 Tahun 2013 Tentang
Standar Tarif Pelayanan Kesehatan Pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama Dan
Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjutan Dalam Penyelenggaraan Program Jaminan
Kesehatan. Jakarta
Republik Indoensia. (2013). Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 71 Tahun 2013 Tentang
Pelayanan Kesehatan Pada Jaminan Kesehatan Nasional. Jakarta
Republik Indonesia. (2012). Peraturan Pemerintah. Nomor 101 Tahun 2012 tentang Penerima
Bantuan Iuran (PBI). Jakarta
Republik Indonesia. (2013). Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan
Kesehatan
Republik Indonesia. (2011). Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Jakarta
Republik Indonesia. (2004). Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan
Sosial Nasional (SJSN). Jakarta
Siregar, C.J.P. (2003). Farmasi Rumah Sakit: Teori dan Penerapan. Jakarta : ECG
Analisis perbandingan…, Ni Nengah Ayu Padmawati, FKM UI, 2014
Suardana, K dan Labir, K. (2009). Model Diagnosis Related’s Group (DRG) Sebagai Bentuk
Reformasi Sistem Pembayaran Pelayanan Kesehatan. Jurnal Ilmiah Keperawatan, Vol.
2, No.1, Juni 2009 dari: http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/21092328.pdf (diakses
pada tanggal 4 Mei 2014)
Trisnantoro, L. (2009). Memahami Penggunaan Ilmu Ekonomi Dalam Manajemen Rumah
Sakit. Yogyakarta: Gajah Mada University Press
Wibowo, B. (2012). Rencana Revisi INA-CBG. Kementerian Kesehatan RI: National
Casemix Centre
Wibowo, B. (2013). Tarif INA-CBG untuk JKN 2014. Jakarta: National Casemix Centre
Wijayanti, A. (2011). Analisis perbedaan tarif riil dengan tarif INA-CBG pada pembayaran
klaim jamkesmas pasien rawat inap di RSUD Kabupaten Sukoharjo. Skripsi. Surakarta:
Universitas Muhammadiyah
Analisis perbandingan…, Ni Nengah Ayu Padmawati, FKM UI, 2014