Universitas Indonesia
UNIVERSITAS INDONESIA
ANALISIS PRAKTEK KLINIK KEPERAWATAN
KESEHATAN MASYARAKAT PERKOTAAN PADA NENEK Y
DENGAN MASALAH HAMBATAN MOBILITAS FISIK DI
WISMA BUNGUR SASANA TRESNA WERDHA KARYA
BHAKTI
KARYA ILMIAH AKHIR
INDRYANI DEWY
NPM: 1006823311
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
PROGRAM PROFESI
DEPOK
JULI 2013
Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
UNIVERSITAS INDONESIA
ANALISIS PRAKTEK KLINIK KEPERAWATAN
KESEHATAN MASYARAKAT PERKOTAAN PADA NENEK Y
DENGAN MASALAH HAMBATAN MOBILITAS FISIK DI
WISMA BUNGUR SASANA TRESNA WERDHA KARYA
BHAKTI
KARYA ILMIAH AKHIR NERS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Ners
INDRYANI DEWY
1006823311
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
PROGRAM PROFESI
DEPOK
JULI 2013
i
Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
HALAMAN PERNYATAAN ORISINILITAS
Karya Ilmiah Akhir ini adalah hasil karya sendiri,
dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk
telah peneliti nyatakan dengan benar.
Nama : Indryani Dewy
NPM : 1006823311
TandaTangan :
Tanggal : 10 Juli 2013
ii
Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
HALAMAN PENGESAHAN
Skripsi ini diajukan oleh :
Nama : Indryani Dewy
NPM : 10068023311
Program Studi : Ilmu Keperawatan
Judul :Analisis Praktek Klinik Keperawatan Kesehatan
Masyarakat Perkotaan Pada Nenek Y Dengan Masalah
Hambatan Mobilitas Fisik Di Wisma Bungur Sasana
Tresna Werdha Karya Bhakti
Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima
sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Ners
pada Program Studi Ekstensi Fakultas Keperawatan Universitas Indonesia
DEWAN PENGUJI
Pembimbing :Widyatuti,S.Kp.,MKes.,Sp.Kom (______________________)
Penguji : Ns. Ibnu Abas,S.Kep (______________________)
Ditetapkan di : Depok
Tanggal : 10 Juli 2013
iii
Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat dan hidayah-Nya, sehingga karya ilmiah akhir Ners yang berjudul
“Analisis Praktek Klinik Keperawatan Kesehatan Masyarakat Perkotaan Pada
Nenek Y Dengan Masalah Hambatan Mobilitas Fisik Di Wisma Bungur STW
Karya Bakti RIA Pembangunan Cibubur” dapat dilaksanakan dengan baik. Saya
menyadari dalam penyusunan karya ilmiah akhir ini terdapat banyak hambatan
dan kesulitan. Namun, atas bantuan dari berbagai pihak akhirnya saya dapat
menyelesaikan karya ilmiah akhir ini tepat waktu. Oleh karena itu, dalam
kesempatan ini saya ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Ibu Widyatuti S.Kp.,MKes.,Sp.Kom selaku pembimbing yang tidak
pernah bosan memberikan bimbingan, masukan;
2. Ibu Dwi Nurviyandari, S.Kep., MN selaku dan coordinator peminatan
keperawatan gerontik;
3. Bapak Ns. Ibnu Abas, S.Kep. selaku kepala perawatan dan pembimbing
lapangan di Sasana Tresna Werdha Karya Bhakti, dan seluruh staf
dilingkungan Sasana Tresna Werdha yang telah mendukung seluruh
kegiatan yang diadakan mahasiswa;
4. Kedua orang tua dan keluarga saya yang telah memberikan dukungan baik
secara materi maupun motivasi serta mendoakan saya demi kelancaran
penyelesaian karya ilmiah akhir ini.
5. Sahabat dan teman-teman saya ekstensi 2010 dan rekan satu bimbingan
(Rizky, Aul, Mita, Jusy, P. Naedie seluruh pihak yang tidak dapat
disebutkan satu per satu namun sangat membantu penulisan ini.
Saya menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan
yang harus diperbaiki.Saran dan kritik yang membangun sehingga di masa
yang akan datang dapat membuat penelitian yang lebih baik.
Depok,10 Juli 2013
Penulis
iv
Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertandatangan di
bawah ini:
Nama : Indryani Dewy
NPM : 10068623311
Program Studi : Profesi Keperawatan
Fakultas : Ilmu Keperawatan
Jeniskarya : Karya Ilmiah Akhir Ners
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan
kepadaUniversitas Indonesia Hak Bebas Royalti Non eksklusif (Non-exclusive
Royalty-Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul : “Analisis Praktek
Klinik Keperawatan Kesehatan Masyarakat Perkotaan Pada Nenek Y
Dengan Masalah Hambatan Mobilitas Fisik Di Wisma Bungur Sasana
Tresna Werdha Karya Bhakti ”
Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Non
eksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalih media/
formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan
mempublikasikan skripsi saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai
penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di : Depok
Padatanggal : 10 Juli 2013
Yang menyatakan
( Indryani Dewy )
v
Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
vi
ABSTRAK
Nama : Indryani Dewy
Program Studi : Profesi Keperawatan
Judul : Analisis Praktek Klinik Keperawatan Kesehatan Masyarakat
Perkotaan Pada Nenek Y Dengan Masalah Hambatan Mobilitas
Fisik Di Wisma Bungur Sasana Tresna Werdha Karya Bhakti
Perubahan fisik pada lansia menyebabkan terjadinya penurunan pada berbagai
fungsi tubuh termasuk pada sistem muskuloskeletal yang menyebabkan
penurunan kekuatan otot dan keseimbangan. Penurunan kekuatan otot ini dapat
menghambat mobilitas fisik pada lansia yang menyebabkan ketergantungan
kepada orang lain. Peran perawat sangat penting dalam mencegah terjadinya
komplikasi akibat penurunan kekuatan otot dengan memberikan latihan
pergerakan sendi (ROM). Setelah memberikan asuhan keperawatan selama tujuh
minggu menunjukkan peningkatan kekuatan otot pada klien dan komplikasi dari
imobilisasi dapat dicegah.
Kata Kunci:
Perubahan fisik, hambatan mobilitas fisik, latihan pergerakan rentang sendi /ROM
Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
vii
ABSTRACT
Name : Indryani Dewy
Study Program : Nursing Profession
Title : Clinical Practice Analysis of Urban Problems Health Nursing at
Grandma Y With Impaired Physical Mobility at Bungur’s
homestead Sasana Tresna Werdha Karya Bhakti
Physical changes in the elderly cause a decrease in the various functions of the
body including the musculoskeletal system that causes a decrease in muscle
strength and balance. This decline in muscle strength can inhibit physical mobility
in the elderly that causes dependence on others. Nurse's role is very important in
preventing complications due to decreased muscle strength by providing training
joint motion (ROM). After providing nursing care for seven weeks showed an
increase in muscle strength in the client and preventable complications of
immobilization.
Keywords: Physical changes, physically impaired mobility, ROM/ Range Of Motion exercises
Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
viii Universitas Indonesia
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .............................................................................................. i
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ................................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................ iii
KATA PENGANTAR .......................................................................................... iv
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ........................................................... v
ABSTRAK ............................................................................................................ vi
DAFTAR ISI ........................................................................................................ viii
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................... x
BAB 1 PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ........................................................................................... 1
1.2 Tujuan ......................................................................................................... 9
1.3 Manfaat Penelitian ..................................................................................... 9
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................... 11
2.1 Lansia ....................................................................................................... 11
2.1.1. Pengertian ............................................................................................. 11
2.1.2.Permasalahan Kesehatan Pada Lansia ................................................... 12
2.1.3. Pelayanan Geriatri Terpadu .................................................................. 14
2.2. Asuhan Keperawatan Klien dengan Hambatan Mobilitas Fisik .............. 15
2.2.1.Pengertian Mobilitas dan Imobilitas .................................................... 15
2.2.2. Penyebab Hambatan Mobilitas Fisik .................................................... 16
2.2.3. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Mobilitas Fisik ............................. 16
2.2.4. Kemandirian Pada Lansia ..................................................................... 20
2.2.5. Aktivitas Sehari-Hari Pada Lansia ....................................................... 21
2.3. ROM (Range Of Motion) ........................................................................ 26
2.3.1. Pengertian ROM (Range Of Motion/ Rentang Gerak Sendi) ........................ 26
2.3.2.Tujuan ROM ......................................................................................... 26
2.3.3.Jenis-Jenis ROM .................................................................................... 27
2.3.4. Jenis Gerakan ....................................................................................... 27
2.3.5. Indikasi ROM ....................................................................................... 27
BAB 3 LAPORAN KASUS KELOLAAN UTAMA ....................................... 28
3.1 . Gambaran Kasus ..................................................................................... 28
3.2. Rencana Intervensi Keperawatan ........................................................... 30
3.3. Implementasi Keperawatan ..................................................................... 31
3.4. Evaluasi Keperawatan dan Rencana Tindak Lanjut .............................. 32
BAB 4 ANALISIS SITUASI ............................................................................... 36
4.1 Profil Sasana Tresna Werdha Karya Bhakti ............................................ 36
4.2 Analisis Masalah Konsep Penuaan ........................................................... 38
4.3 Analisis Masalah terkait Konsep Lansia di Panti ..................................... 39 4.4. Analisis Tindakan ROM (Range Of Motion) .......................................... 43
4.5. Analisis Tindakan Balance Exercise ....................................................... 44
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................... 47
5.1 Simpulan ................................................................................................... 47
5.2 Saran ......................................................................................................... 48
Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
ix Universitas Indonesia
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 49
LAMPIRAN .......................................................................................................... x
Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
1
Universitas Indonesia
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Manusia sejak dalam kandungan terus tumbuh dan berkembang seiring dengan
bertambahnya usia. Masa usia tua (lansia) dimulai setelah pensiun, biasanya
antara usia 65 dan 75 tahun (Potter & Perry, 2005). Meningkatnya usia harapan
hidup merupakan salah satu indikator dalam keberhasilan pembangunan
khususnya dalam bidang kesehatan. Peningkatan usia harapan hidup mencermin
kan panjangnya masa hidup lanjut usia (BPS,2004). Menurut Depkes RI, (2007)
rata-rata usia harapan hidup tertinggi adalah di Jepang yaitu 80,93 tahun (pria
77,63 tahun dan wanita 84,41 tahun), Amerika serikat 77,14 tahun (pria 74,37
tahun dan wanita 80,05 tahun), sedangkan menurut Badan Pusat Statistik (BPS)
perkiraan lansia di Indonesia yang berusia lebih dari 65 tahun sebanyak 7,18%
pada tahun 2000 dan diperkirakan naik menjadi 8,5% pada tahun 2020 penduduk
lansia di Indonesia sebanyak 28,8 juta atau 11,34 %, dan merupakan lansia yang
terbesar didunia (Nurviyandari, 2011)
Seiring dengan pertambahan usia, lansia mengalami kemunduran fisik dan mental
yang menimbulkan banyak konsekuensi. Semakin bertambahnya usia, maka
seseorang akan rentan terhadap suat penyakit karena adanya penurunan pada
sistem tubuhnya. Penurunan dan perubahan struktur fungsi, baik fisik maupun
mental pada sistem muskuloskeletal dapat mempengaruhi mobilitas fisik pada
lansia yang mengakibatkan gangguan pada mobilitas fisik pada lansia yang akan
mempengaruhi kemampuan seseorang untuk tetap beraktivitas.
Mobilitas adalah pergerakan yang memberikan kebebasan dan kemandirian bagi
seseorang dan pusat untuk berpartisipasi dalam menikmati kehidupan. Walaupun
jenis aktivitas berubah sepanjang kehidupan manusia, mempertahankan mobilitas
optimal sangat penting untuk kesehatan mental dan fisik semua lansia. Lansia
yang mempunyai mobilitas fisik yang tinggi akan meningkatkan kontrol
keseimbangan fisiknya, sehingga resiko jatuh sangat rendah (Guccione, 2000).
Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
2
Universitas Indonesia
Penurunan aktivitas akan menyebabkan kelemahan, atropi sehingga akan
mengakibatkan kesulitan untuk mempertahankan serta menyelesaikan suatu
aktivitas. Selain itu, berbagai kondisi medis yang lebih prevalen di saat usia lanjut
cenderung akan menghambat aktivitas rutin pada individu tersebut (Taslim,
2001).
Hambatan imobilitas atau intoleransi aktivitas untuk sebagian besar orang tidak
terjadi secara tiba-tiba, bergerak dari mobilitas penuh sampai ketergantungan fisik
total atau ketidakaktifan, tetapi lebih berkembang secara perlahan dan tanpa
disadari. Intervensi yang dapat dilakukan yaitu dengan diarahkan pada
pencegahan ke arah konsekuensi-konsekuensi imobilisasi dan ketidakaktifan
dapat menurunkan kecepatan penurunannya jika tidak diatasi atau aktivitas tidak
dipertahankan akan menghambat mobilitas fisik.
Hambatan mobilitas fisik adalah keterbatasan dalam pergerakan fisik mandiri dan
terarah pada tubuh atau satu ekstremitas atau lebih (Wilkinson dan Ahern, 2012).
Hambatan mobilitas fisik yang terjadi pada lansia mempengaruhi perubahan-
perubahan dalam motorik yang meliputi menurunnya kekuatan dan tenaga yang
biasanya menyertai perubahan fisik yang terjadi karena bertambahnya usia,
menurunnya kekerasan otot, kekakuan pada persendian, gemetar pada tangan,
kepala dan rahang bawah. Hambatan mobilitas fisik umumnya disebabkan oleh
adanya gangguan pada muskuloskeletal. Perubahan fisik akan mempengaruhi
tingkat kemandirian lansia.
Kemandirian adalah kebebasan untuk bertindak, tidak bergantung pada orang lain,
tidak terpengaruh pada orang lain dan bebas mengatur diri sendiri atau aktivitas
seseorang baik individu maupun kelompok dari berbagai kesehatan atau penyakit
(Lerner, 1976). Orem, (2001) menggambarkan lansia sebagai unit yang juga
menghendaki kemandirian dalam mempertahankan hidup, kesehatan dan
kesejahteraannya. Penurunan tingkat kemandirian lansia, salah satunya dapat
disebabkan karena adanya gangguan pada sistem muskuloskeletal.
Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
3
Universitas Indonesia
Kelemahan otot ekstemitas bawah dapat menyebabkan gangguan keseimbangan
tubuh sehingga mengakibatkan kelambanan bergerak, langkah pendek-pendek,
kaki tidak dapat menapak dengan kuat dan terlambat mengantisipasi bila
terpeleset atau tersandung (Darmojo, 2004 dalam Nurviyandari, 2011). Kane dan
Ouslander (dalam Siburian, 2007) menjelaskan urutan tiga teratas dari masalah
kesehatan yang sering terjadi pada lansia, yaitu immobility (kurang bergerak),
instability (berdiri dan berjalan tidak stabil atau mudah jatuh), incontinence (beser
buang air kecil dan atau buang air besar). Bahaya fisik yang ada di dalam
komunitas dan tempat pelayanan kesehatan menyebabkan lansia beresiko
mengalami cedera.
Cedera atau jatuh merupakan penyebab utama kematian akibat kecelakaan pada
klien yang berusia 75 tahun atau lebih (Accident Facts,1993 dalam Potter &
Perry,2005). Bahaya fisik khususnya yang mengakibatkan jatuh, dapat
diminimalkan melalui pencahayaan yang adekuat, pengurangan penghalang fisik,
pengontrolan bahaya yang mungkin ada di kamar mandi, dan tindakan
pengamanan. Bagi lansia, keselamatan dan keamanan merupakan kebutuhan yang
sama pentingnya dengan kebutuhan fisiologis dasar, seperti makanan dan air
(Stockslager & Schaeffer, (2008). Beberapa ahli yaitu Burbank, Butler, Evans,
Nied & Franklin dan Wilmore meresepkan olahraga bagi lansia yang berunsur
memadukan gerak untuk melatih keseimbangan, dengan pembebanan yang
memacu kekuatan otot, peregangan untuk meningkatkan kelenturan badan, dan
kontraksi otot-otot badan (Budiharjo, 2005). Hal ini sesuai dengan penelitian yang
dilakukan oleh Mira Koniyo, (2011) menyimpulkan bahwa 75% tindakan ROM
pasif mampu mengatasi konstipasi pada pasien stroke dan penelitian Wuri yang
menyimpulkan dengan seringnya seseorang melakukan ROM sangat bermanfaat
menjaga kebugaran tubuh pada lansia.
Latihan fisik berupa ROM (Range of Motion) aktif dan pasif perlu diberikan
kepada lansia, karena dianggap memberi pengaruh yang lebih signifikan, antara
lain: fleksibilitas untuk melatih keadekuatan gerakan sendi, dan kekuatan. Pada
klien dengan DM dapat terjadi komplikasi mikrovaskuler dan makrovaskuler.
Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
4
Universitas Indonesia
Resiko ketrebatasan fisik 2-3 lipat pada lansia penderita DM, dan risiko ini lebih
besar pada wanita. Dampak semua ini adalah lebih banyak lansia wanita penderita
DM yang mengalami jatuh dan fraktur Brown, 2007). Mobilitas yang baik dapat
diperoleh dengan melakukan latihan fisik yang berguna untuk menjaga agar
fungsi sendi-sendi dan postur tubuh tetap baik agar tidak terjadi kekakuan sendi.
Latihan dilakukan secara bertahap, disesuaikan dengan kemampuan lansia
(Siburian, 2006; Martono, 2009).
Aktivitas fisik dapat memberikan pengaruh yang baik bagi kesehatan tubuh pada
lansia salah satunya adalah melatih kemampuan otot sendi pada lansia. Lansia
yang masih terus melakukan latihan fisik, masih mempunyai koordinasi dan
keterampilan fisik yang lebih baik dibanding yang tidak melakukan latihan fisik.
Aktivitas ringan sampai sedang secara teratur dapat meningkatkan kekuatan dan
efisiensi kontraksi jantung serta menaikkan ambilan oksigen oleh otot jantung dan
skeletal serta terbukti menurunkan keletihan, meningkatkan energi sehingga dapat
membantu meningkatkan kemandirian dan kesejahteraan psikologis (Smeltzer,
dan Bare, 2002). Riset menunjukkan bahwa olahraga teratur dapat mencegah
osteoporosis, termasuk patah tulang karena osteoporosis dan jatuh. Olahraga dapat
meningkatkan massa tulang, kepadatan, dan kekuatan pada lansia. Olahraga juga
melindungi melawan patuh tulang panggul (Megan, 2008).
Peningkatan jumlah lansia harus diiringi oleh pembinaan kesejahteraan lanjut usia
yang ditangani oleh Depsos yang bertujuan meningkatkan derajat kesehatan dan
mutu kehidupan untuk mencapai masa tua yang bahagia dan berdaya guna dalam
kehidupan keluarga dan masyakat sesuai dengan keberadaannya dalam strata
kemasyarakatan, sehingga lansia dapat menikmati sisa hidupnya dengan tenang,
aman dan sejahtera baik lahir maupun batin. Namun masih ditemukan lansia di
Indonesia yang terlantar, dari 18 juta lansia,tercatat sebanyak 2,8 juta orang dan
lansia rawan telantar 4,6 juta orang, hal ini terjadi karena faktor ekonomi, gaya
hidup, ataupun budaya (Salim, 2013 dalam tempo.co, 2013).
Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
5
Universitas Indonesia
Perubahan nilai-nilai keluarga dipengaruhi akibat tehnologi informasi dan
derasnya budaya luar yang masuk ke Indonesia. Perubahan -perubahan yang cepat
akibat modernisasi menyebabkan masalah psikologis yang dihadapi lansia.
Perubahan masyarakat agraris ke masyarakat industri menyebabkan persaingan
kerja yang tinggi dan peningkatan mobilitas penduduk yang cepat. Proses
konversi lahan pertanian menjadi perumahan dan industri juga terus meningkat,
hal ini mendorong penduduk usia produktif meninggalkan daerah pertanian
menuju ke pusat-pusat industri. Kondisi ini membuat lansia frustasi karena
perhatian anak merawat lansia berkurang.
Merawat orang tua pada masyarakat pedesaan adalah pekerjaan yang mulia.
Bahkan ada kepercayaan jika orang tua yang dirawat sang anak meninggal, anak
tersebut seperti menerima berkah, masyarakat di pedesaaan tidak mengenal panti
jompo. Pada masa mendatang kecenderungan bentuk extended family berubah
menjadi nuclear family, dengan konsekuensi terjadi perubahan dalam nilai-nilai
keluarga (Kartomo, 1994). Keadaan keluarga pada masyarakat perkotaan yang
kurang kondusif dan ketidakmampuan keluarga mengurus lansia akan memicu
alternatif penitipan lansia pada satu hunian khusus lansia yang banyak terdapat
didaerah perkotaan yaitu panti werdha. Lansia dapat memilih untuk tetap tinggal
bersama keluarga atau tinggal di institusi. Latar belakang dilakukannya pelayanan
dan pembinaan terhadap lansia di PSTW oleh Pemda DKI Jakarta, antara lain
karena semakin tergesernya nilai-nilai pola keluarga kecil yang mengakibatkan
terlantarnya sebagian lansia ( Nataprawira, 2012).
Salah satu satu program pemerintah dalam mengatasi peningkatan jumlah lansia
ialah dengan adanya pembangunan Panti Sosial Tresna Werdha (PSTW) dan
merupakan salah satu pemecahan masalah perkotaan yang dilakukan oleh
pemerintah untuk menghadapi masalah lansia yang jumlahnya akan terus
meningkat. Keberadaan panti ditengah masyarakat perkotaan bisa membantu
masyarakat perkotaaan untuk membantu merawat orang tua dan memberi
kesempatan mereka beraktivitas dan bertemu teman baru yang sebaya. Sasana
Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
6
Universitas Indonesia
tresna werdha yang berarti menyayangi atau mencintai orang tua merupakan salah
satu pemecahan masalah yang dihadapi kelompok usia lanjut dalam menapaki hari
akhor kehidupannya (Ihromi, 1999). Panti jompo atau panti werdha adalah
mereka yang terlantar dan tidak mempunyai keluarga yang merawat. Pelayanan
dalam panti selain dalam bentuk makan, minum dan tempat tidur juga pelayanan
kerohanian seperti belajar agama dan rekreasi, sedangkan pelayanan diluar panti
adalah pelayanan lansia dimasyarakat/keluarga (Depsos,2002).
Sasana wredha adalah tempat dimana berkumpulnya orang-orang yang telah
lanjut usia, baik yang secara sukarela maupun diserahkan keluarga untuk diurus
segala keperluannya, yang dikelola baik oleh yayasan maupun dikelola oleh
pemerintah, dan sudah menjadi kewajiban negara untuk menjaga dan memelihara
setiap warga negaranya seperti tercantum dalam peraturan pemerintah No 43
tahun 2004 tentang Pelaksanaan Upaya Peningkatan Kesejahteraan Lanjut Usia,
yang mencakup pelayanan keagamaan, mental, spiritual, pelayanan kesehatan dan
pelayanan umum serta kemudahan dalam penggunaaan fasilitas umum bagi lansia
(menkokesra, 2005).
Salah satu contoh panti werdha yang ada didaerah perkotaan yaitu Sasana Tresna
Werdha Karya Bakti RIA Pembangunan sebagai salah satu pilihan hunian lansia
saat ini merupakan suatu institusi milik organisasi RIA Pembangunan yang
sudah mempersiapkan sasana werdha bagi para lansia yang berpendidikan baik
dan masih produktif. Sasana Tresna Werdha Karya Bakti RIA Pembangunan
dilengkapi oleh fasilitas hunian klinik, fasilitas penunjang kesehatan, sehingga
diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan lansia. Dukungan dari berbagai
pihak diharapkan dapat menciptakan kehidupan yang mandiri dan sejahtera bagi
lansia. Dengan demikian mereka dapat menjalani kehidupan sebagai lansia yang
mandiri, sehat, dan produktif, tanpa membebani atau tergantung pada orang lain.
Hal ini sesuai dengan sasaran Healthy City yaitu terwujudnya tempat yang
mampu menjalin kerjasama antar masyarakat, pemerintah daerah dan pihak
swasta, serta dapat menampung aspirasi masyarakat dan kebijaksanaan
Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
7
Universitas Indonesia
pemerintah secara seimbang dan berkelanjutan dalam mewujudkan sinergi
pembangunan yang baik.,terselenggaranya upaya peningkatan kualitas lingkungan
fisik, sosial dan budaya yang dapat mengikatkan kesehatan dan mencegah
terjadinya resiko penyakit dengan memaksimalkan seluruh potensi sumber daya di
kota secara mandiri. dan terselenggaranya pelayanan kesehatan yang adil dan
merata bermutu sesuai dengan standard dan etika profesi.(Barton, . 2000).
Perawat memiliki peranan yang penting dalam memberikan asuhan keperawatan
keparawatan pada lansia yang memutuskan tinggal di satu tempat/sasana dengan
melakukan pengkajian aspek biopsikososiospiritual. Asuhan keperawatan untuk
mengatasi hambatan mobilitas fisisk adalah megajarkan cara penggunaan alat
bantu jalan, membantu dalam ambulasi klien, mengajarkan cara melakukan
latihan rentang gerak sendi untuk memepertahankan kekuatan dan fleksibilitas
sendi klien, memberikan kompres yang hangat pada area yang nyeri/kaku
(Wilkinson dan Ahern, 2012). Hambatan dalam mobilitas fisik dapat
mengakibatkan tingkat ketergantungan kepada orang lain menjadi tinggi. Salah
satu Pengkajian keperawatan mengenai kemandirian menggunakan indeks katz
atau Barthel indeks. Hal ini sesuai dengan teori Orem yang menyatakan bahwa
lansia juga menghendaki kemandirian dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari
sesuai kemampuannya.Namun akibat proses penuaan yang terjadi pada lansia
mengakibatkan tingkat kemandirian lansia menjadi berkurang sehingga lansia
menjadi tergantung kepada orang lain
Hasil pengkajian dan penelitian sebelumnya tentang keterbatasan rentang gerak
sendi di STW Karya Bhakti khususnya di Wisma Bungur, didapatkan delapan dari
14 lansia (44,4 %) memiliki keterbatasan rentang gerak sendi, tujuh diantaranya
memiliki ketergantungan sebagian, sedangkan satu lansia memiliki
ketergantungan total. Masalah keterbatasan sendi dikarenakan rasa nyeri saat
sendi digerakkan, kekakuan sendi, serta penurunan fungsi yang akhirnya
menyebabkan suatu kondisi keterbatasan dalam pergerakan.
Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
8
Universitas Indonesia
Observasi yang dilakukan di STW KBRP, Kegiatan untuk melatih kekuatan otot
dan fleksibilitas sendi sudah menjadi kebijakan STW untuk melatih kekuatan otot
werdha sehingga diharapkan tingkat kemandirian juga meningkat. Kegiatan rutin
yang dilakukan setiap hari meliputi senam bugar lansia, senam GLO (Gerak latih
Otak) disebut dengan triloka, senior fitnes, senam bersama, serta senam jantung
yaitu senam pagi, namun tidak semua lansia mengikuti kegiatan senam yang
diadakan dengan optimal, hal ini disebabkan berbagai kondisi seperti lansia yang
memiliki riwayat jatuh sehingga mengikuti senam diatas kursi roda, tidak
seriusnya lansia mengikuti gerakan yang diinstruksikan, keterbatasan sumber daya
manusia yang memantau latihan senam yang dilakukan oleh lansia, akibat
kelemahan organik (impairment), keterbatasan kemampuan (disability), dan
ketidakmampuan melakukan kegiatan (handicap), dan tidak semua lansia
berpartisipasi dalam kegiatan senam tersebut. Sementara pengkajian tingkat
kemandirian melalui indeks katz tidak dilakukan pemantauan secara rutin. Jika
tingkat kemandirian lansia yang tinggal di STW ini terganggu baik karena faktor
penuaan ataupun karena riwayat jatuh sehingga mengakibatkan ketergantungan
lansia menjadi tinggi, maka STW menjadi fasilitator dalam menyediakan tenaga
sosial/caregiver yang membantu lansia memenuhi kebutuhan sehari-hari
Hal ini sesuai dengan data yang didapatkan dari salah satu penghuni wisma
Bungur STW Bakti RIA Pembangunan adalah hambatan mobilitas fisik, dimana
nenek Y mengalami keterbatasan dalam kemandirian mengurus dirinya sendiri,
sehingga nenek Y sanagat bergantung kepada orang lain (caregiver),
menggunakan alat bantu ambulasi berupa kursi roda, tongkat, atau walker. Nenek
Y juga mengalami penurunan kekuatan otot, hasil penilaian indeks Katz : 1=
gangguan fungsional berat (ketergantungan tinggi)/ skala E, dimana aktivitas
seperti mandi, toileting, kontinen,berpindah tempat masih bergantung terhadap
orang lain sehingga diberikan skor 0, dan aktivitas makan dapat dilakukan secara
mandiri walaupun masih perlu disiapkan oleh orang lain, oleh karena itu
diberikam nilai 1. Nenek Y juga mempunyai riwayat jatuh sebanyak empat kali
serta mengalami masalah neuropati perifer akibat penyakit diabetes mellitus.
Berdasarkan fenomena dan data diatas menjadikan penulis merasa tertarik untuk
Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
9
Universitas Indonesia
mempelajari dan mengetahui bagaimana asuhan keperawatan pada nenek Y
dengan masalah hambatan mobilitas fisik, disertai dengan penurunan sensasi rasa
kebas karena neuropati perifer akibat komplikasi dari penyakit DM yang dialami.
1.2. Tujuan Penulisan
1.2.1. Tujuan Umum
Terpaparnya asuhan keperawatan pada nenek Y dengan masalah
hambatan mobilitas fisik di Wisma Bungur STW Karya Bakti RIA
Pembangunan
1.2.2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus dari penulisan ini adalah teridentifikasinya:
a. Data pengkajian yang mendukung penegakan diagnosa hambatan
mobilitas fisik pada nenek Y
b. Penetapan diagnosa hambatan mobilitas fisik pada nenek Y
c. Rencana intervensi terhadap diagnosa hambatan mobilitas fisik pada
nenek Y
d. Implementasi masalah hambatan mobilitas fisik berupa latihan ROM
(Range Of Motion) dan senam kaki di Wisma Bungur STW Karya
Bakti RIA Pembangunan (KBRP)
e. Evaluasi hasil tindakan yang telah dilakukan dan mendokumentasikan
asuhan keperawatan pada nenek Y dengan masalah hambatan mobilitas
fisik.
1.3. Manfaat Penulisan
1.3.1. Bagi Pengelola STW Karya Bakti RIA Pembangunan (KBRP)
Penulisan karya ilmiah akhir ini dapat dijadikan masukan dan data awal
terhadap evaluasi pencapaian kegiatan senam lansia untuk melatih
kekuatan otot werdha yang tinggal di sasana, sehingga kekuatan otot dan
rentang gerak sendi nenek Y dapat meningkat dengan rutin melakukan
Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
10
Universitas Indonesia
ROM. Selain itu dengan terbatasnya sumber daya manusia yang ada di
STW KBRP dapat memanfaatkan caregiver yang membantu nenek Y
dengan memberikan pelatihan dasar latihan gerak sendi ( ROM)
1.3.2. Bagi Institusi Keperawatan.
Hasil penulisan karya ilmiah akhir ini diharapkan bisa menjadi data yang
mendukung bahwa hambatan mobilitas fisik adalah masalah utama yang
banyak ditemukan pada lansia akibat perubahan fisik dan penyakit, selain
itu hasil penulisan ini bisa menjadi data dasar untuk mengembangkan
intervensi dalam mengatasi masalah hambatan mobilitas fisik pada lansia,
sehingga kekuatan otot lansia dan fleksibilitas sendi meningkat sehingga
diharapkan tingkat kemandirian lansia dapat meningkat dan ketergantung
an kepada orang lain berkurang
Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
11 Universitas Indonesia
BAB 2
TINJAUAN TEORI
2.1. Lansia
2.1.1. Pengertian Lansia dan Proses Penuaan
Lanjut Usia (lansia ) adalah seseorang yang telah berumur 60 tahun ke yang
rentan terhadap bermacam masalah kesehatan (Beni, 2001; KKBI, 2010). Badan
Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), mendefinisikan lansia
adalah seseorang yang telah menjalani proses penuaan, dalam arti menurunnya
daya tahan fisik yang ditandai dengan semakin rentannnya terhadap serangan
berbagai penyakit yang dapat menyebabkan kematian (Prihastuti, 2001). Undang-
Undang no 23 tahun 1992 mendefinisikan lansia adalah seseorang yang karena
usianya mengalami perubahan biologik, fisik, kejiwaan dan sosial. Perubahan ini
akan memberikan pengaruh pada aspek kehidupan termasuk kesehatannya. Lanjut
usia (lansia) adalah tahap masa tua dalam perkembangan individu dengan batasan
usia 60 tahun ke atas. Berbagai definisi diatas dapat disimpulkan bahwa lansia
adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun atau lebih, dimana telah
terjadi perubahan biologik, fisik dan mental dan rentan terjadi berbagai penyakit.
Kesejahteraan individu lansia tergantung pada faktor fisik, mental, sosial dan
lingkungan. Perubahan fisiologis bervariasi pada setiap klien yang bukan
merupakan proses yang patologis. Perubahan ini terjadi pada setiap orang tetapi
dengan kecepatan yang berbeda dan bergantung pada keadaan dalam kehidupan.
Berbagai teori menjelaskan tentang proses penuaan. Teori biologis
mendefinisikan penuaan sebagai akhir suatu proses yang menyebabkan perubahan
di dalam sel dan jaringan tubuh. Salah satu teori biologis adalah wear and tear
theory yang menjelaskan bahwa tubuh akan mengalami kerusakan sesuai jadwal.
Teori ini juga menjelaskan bahwa akumulasi sampah metabolik atau zat nutrisi
dapat merusak sintesis DNA, sehingga mendorong malfungsi molekular dan
akhirnya malfungsi fungsi tubuh (Stanley dan Beare, 2007). Proses penuaan
(degeneratif) dapat menyebabkan atrofi. Atrofi dapat terjadi pada otot, kerangka
tulang, kulit, otak, hati, ginjal serta jantung.
Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
12
Universitas Indonesia
Atrofi pada sistem muskuloskeletal disebabkan karena kurang aktif dari organ
tersebut, tidak cukup nutrisi, dan kurang stimulasi hormonal (osteoporosis wanita
menopause), dan kehilangan sel. Atrofi pada otot menimbulkan tungkai mengecil
(menjadi lebih kurus) karena berkurangnya massa otot, terutama mengenai serabut
otot tipe II, tenaga berkurang/menurun. Atrofi pada saraf menyebabkan saraf
kehilangan serabut myelin, sehingga kecepatan hantaran saraf berkurang serta
refleks menjadi lebih lambat (Hanafiah, 2008). Atrofi otot dan saraf bersamaan
menyebabkan gerakan menjadi lebih kaku (seperti robot), dan gangguan
keseimbangan berdiri, kondisi ini akan mengakibatkan resiko terjadinya jatuh.
Atrofi pada kerangka tulang, tulang menjadi lebih rapuh sehingga mudah
mengalami patah tanpa cedera yang berarti, terutama pada wanita dimana terjadi
penurunan kalsium yang berdampak berkurangnya kepadatan tulang sehingga
tinggi badan berkurang karena tulang punggung yang memendek serta hilangnya
cairan pada lempeng (diskus) antar tulang belakang. Tulang punggung juga akan
bertambah bongkok yang mengakibatkan tinggi badan semakin berkurang,
osteoporosis yang lebih lanjut menyebabkan nyeri, deformitas dan fraktur
(Hanafiah, 2008; Pudjiastuti dan Utomo, 2003). Hal ini dapat menyebabkan
penurunan kekuatan otot terutama otot ekstremitas bawah, ketahanan, dan
koordinasi serta terbatasnya range of motion (ROM) (Miller, 2004). Kelemahan
otot ekstemitas bawah dapat menyebabkan gangguan keseimbangan tubuh
sehingga mengakibatkan kelambanan bergerak, langkah pendek-pendek, kaki
tidak dapat menapak dengan kuat dan terlambat mengantisipasi bila terpeleset
atau tersandung (Darmojo, 2004 dalam Nurviyandari, 2010).
2.1.2. Permasalahan Kesehatan Pada Lansia
Proses menjadi tua adalah proses alamiah, yang berarti seseorang telah melewati
tiga tahap kehidupan yaitu: anak, remaja, dan dewasa. Tahap kehidupan ini
berbeda baik secara biologis maupun secara psikologis. Lansia akan mengalami
berbagai masalah kesehatan. Masalah kesehatan terbagi dalam tiga kategori yaitu:
disease ( aspek pato- fisiologis), illness ( aspek psikologis) dan sicknesss (aspek
sosial). Tribudi & Yudarini, (2001) menggambarkan konseptual menurut Blum,
bahwa status kesehatan lansia dipengaruhi empat kelompok faktor sebagai
Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
13
Universitas Indonesia
berikut: status kesehatan lansia, pengaruh berbagai faktor terhadap kesehatan
lansia, upaya pelayanan kesehatan lansia, dan pembinaan kesehatan usia lanjurt
dimasyarakat.
Faktor pertama yaitu status kesehatan lansia: meskipun secara perorangan terlihat
sebagai kemunduran fisik dan penyakit yang spesifik, namun secara kelompok
perlu dipelajari proporsi dan distribusi kesehatan lansia ditinjau dari berbagai
faktor seperti jenis kelamin, gaya hidup dan lain-lain. Gaya hidup kurang gerak
banyak terjadi pada lansia penghuni panti yang dapat disebabkan oleh faktor
eksternal seperti tingkat mobilitas dan perilaku dari kelompok teman sebaya yang
kurang gerak ataupun anjuran untuk penggunaan kursi roda pada penghuni yang
pasif (Stanley dan Beare, 2007).
Faktor kedua yaitu pengaruh berbagai faktor terhadap status kesehatan lansia:
faktor-faktor yang berpengaruh dalam kejadian penyakit meliputi: pola diet,
kurang olah raga, kebiasaan merokok, dan diabetes mellitus. Lansia sangat rentan
terhadap konsekuensi fisiologis dan psikologis. Lansia yang mengalami
penurunan kemampuan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya akan bertumpu
pada keluarganya. Keluarga dapat menjadi support system utama bagi lansia
dalam mempertahankan kesehatannya agar mereka tetap bahagia dan sejahtera.
Peran keluarga dalam perawatan lansia antara lain menjaga atau merawat lansia,
mempertahankan atau meningkatkan status mental mental, mengantisipasi
perubahan sosial dan ekonomi, serta memberikan motivasi dan memfasilitasi
kebutuhan spiritual bagi lansia (maryam, 2008).
Upaya pelayanan kesehatan lansia merupakan faktor ketiga yang mempengaruhi
kesehatan lansia. Upaya pelayanan kesehatan meliputi kegiatan promotif/preventif
seperti penyuluhan gizi dan olahraga, fisioterapi dan tindakan rehabilitatif,
pengobatan, dan pelayanan laboratorium. Pembinaan kesehatan lanjut usia di
masyarakat merupakan faktor ke empat yang mempengaruhi kesehatan lansia.
Departemen kesehatan telah mengeluarkan kebijakan tentang pembinaan
kesehatan lansia dengan harapan agar lansia mampu mandiri selama mungkin dan
Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
14
Universitas Indonesia
keluarga dapat memahami dan berperan serta dalam pembinaan lansia.
Keberadaan panti ditengah masyarakat perkotaan bisa membantu meringankan
tugas keluarga untuk merawat lansia dan memberi kesempatan mereka
beraktivitas dan bertemu teman baru yang sebaya. Sasana tresna werdha yang
berarti tempat menyayangi atau mencintai orang tua merupakan salah satu
pemecahan masalah kelompok usia lanjut dalam menapaki hari akhir
kehidupannya (Ihromi, 1999). Jenis pembinaan mengetahui sedini mungkin proses
penuaaan, pentingnya pemeriksaan berkala, latihan jasmani, diet yang seimbang,
kegiatan sosial, juga perlu diajarkan penggunaan alat bantu sesuai dengan
kebutuhan
Bagan1.Pengaruh Berbagai Faktor Terhadap Status kesehatan Lansia
Sumber: Blum dalam Tribudi & Yudarini, (2001) (telah diolah kembali)
2.1.3. Pelayanan geriatri terpadu
Pelayanan geriatri terpadu dapat dilaksanakan diberbagai tingkat pelayanan
seperti rumah sakit, puskesmas, klinik swasta, panti wredha dan di rumah
pasien/keluarganya. Fasilitas pelayanan untuk pasien geriatri dikategorikan
sebagai berikut: a) pelayanan sederhana (hanya memiliki fasilitas poliklinik), b),
pelayanan sedang (memiliki fasilitas poliklinik dan klinik siang (day hospital),
c),pelayanan lengkap (memiliki fasilitas poliklinik dan klinik siang,ruang rawat
Faktor dalam diri lansia: jenis
kelamin, gaya hidup, pendidikan,
pekerjaan, status pekerjaan, status
perkawinan, perumahan, upaya
pengobatan
Faktor Lingkungan: biologis,
fisik, sosial- budaya
Faktor keluarga: jenis
kelamin, jumlah generasi,
sikap dan praktek, kehidupan
beragama, tingkat sosial
Status Kesehatan lansia
Faktor Pelayanan kesehatan
Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
15
Universitas Indonesia
akut dan kronik), d) pelayanan paripurna (merupakan pelayanan lengkap ditambah
fasilitas panti wredha) (Riley, Abeles, Teitelbaum, 1982 dalam Tribudi &
Yudarini, (2001).
2.2. Asuhan keperawatan Klien dengan Hambatan Mobilitas Fisik
2.2.1. Pengertian Mobilitas Fisik Dan Imobilitas Fisik
Mobilitas secara langsung banyak bergantung pada sistem muskuloskeletal, tetapi
mobilitas yang aman dipengaruhi oleh beberapa aspek fungsi tubuh seperti
perubahan kemampuan sensoris dan perubahan akibat perubahan pada sistem
muskuloskeletal, penglihatan, pendengaran terutama bila lansia tidak mengenal
dengan baik lingkungan dipanti (Miller, 2004).
Mobilitas merupakan pergerakan yang memberikan kebebasan dan kemandirian
bagi seseorang, yang jenisnya berubah-ubah sesuai dengan rentang kehidupan
manusia. Mempertahankan kemampuan mobilisasi optimal sangat penting untuk
kesehatan mental dan fisik semua lanjut usia (Stanley dan Beare, 2007). Mobilitas
fisik merupakan kemampuan seseorang untuk bergerak dengan bebas, dan
immobilisasi mengacu pada ketidakmampuan seseorang untuk bergerak dengan
bebas (Perry & Potter, 2005), sementara menurut NANDA, (2011) menyatakan
hambatan mobilitas fisik adalah keterbatasan pada pergerakan fisik tubuh satu
atau lebih ektremitas secara mandiri dan terarah, meliputi tingkat 0: mandiri total;
tingkat 1: memerlukan penggunaan peralatan atau alat bantu; tingkat 2:
memerlukan bantuan dari orang lain untuk pertolongan, pengawasan atau
pengajaran; tingkat 3: memerlukan bantuan orang lain dan peralatan atau alat
bantu; tingkat 4: ketergantungan: tidak berpartisipasi dalam aktivitas, yang
ditandai dengan penurunan waktu reaksi, kesulitan membolak balikkan posisi,
dispnea setelah beraktivitas, perubahan cara berjalan, pergerakan gemetar,
keterbatasan kemampuan untuk melakukan keterampilan motorik halus,
keterbatasan rentang pergerakan sendi, tremor akibat pergerakan, ketidakstabilan
postur, pergerakan lambat, pergerakan tidak terkoordinasi.
Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
16
Universitas Indonesia
2.2.2. Penyebab Hambatan Mobilitas Fisik
Keletihan dan kelemahan menjadi penyebab paling umum yang sering terjadi dan
menjadi keluhan bagi lanjut usia. Sekitar 43% lanjut usia telah diidentifikasi
memiliki gaya hidup kurang gerak yang turut berperan terhadap intoleransi
akivitas fisik dan penyakit, sekitar 50% penurunan fungsional pada lanjut usia
dikaitkan dengan kejadian penyakit sehingga mengakibatkan mereka menjadi
ketergantungan kepada orang lain (Stanley dan Beare, 2007). Sementara menurut
Hadiwinoto dan Setiabudi (1999) menyebutkan bahwa depresi merupakan salah
satu faktor yang mempengaruhi penurunan ADL pada lanjut usia.
2.2.3 Faktor -Faktor Yang Berpengaruh Pada Mobilitas Fisik
Berbagai penyebab dari imobilitasi fisik dapat dihubungkan dengan lingkungan
internal dan eksternal.
a) Faktor Internal
Faktor internal yang dapat menyebabkan imobilitas atau gangguan aktivitas
adalah:
Penurunan fungsi muskuloskeletal: Otot (adanya atrofi, distrofi, atau
cedera), tulang (adanya infeksi, fraktur, tumor, osteoporosis, atau
osteomalaisa, Sendi (adanya artritis dan tumor)
Perubahan fungsi neurologis: misalnya adanya infeksi atau ensefalitis,
tumor, trauma, obat-obatan, penyakit vaskuler seperti stroke, penyakit
demielinasi seperti sklerosis multiple, penyakit degeneratif, terpajan produk
racun, gangguan metabolik atau gangguan nutrisi.
Nyeri: dengan penyebab yang multiple dan bervariasi seperti penyakit
kronis dan trauma.
Defisit perseptual: berkurangnya kemampuan kognitif
Jatuh
Perubahan fungsi sosial
Aspek psikologis
b) Faktor Eksternal
Banyak faktor eksternal yang mengubah mobilitas pada lansia. Faktor tersebut
adalah:
Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
17
Universitas Indonesia
Program terapeutik: Program penanganan medis memiliki pengaruh yang
kuat terhadap kualitas dan kuantitas pergerakan pasien. Misalnya pada
program pembatasan yang meliputi faktor-faktor mekanis dan
farmakologis, tirah baring, dan restrain.
Faktor-faktor mekanis dapat mencegah atau pergerakan tubuh atau
bagian tubuh dengan penggunaan peralatan eksternal (misalnya gips
dan traksi) atau alat-alat (misalnya yang dihubungkan dengan
pemberian cairan intravena, pengisapan gaster, kateter urine, dan
pemberian oksigen).
Agens farmakologik seperti sedatif, analgesik, transquilizer, dan
anastesi yang digunakan untuk mengubah tingkat kesadaran pasien
dapat mengurangi pergerakan atau menghilangkannya secara
keseluruhan.
Tirah baring dapat dianjurkan atau merupakan akibat dari penanganan
penyakit cedera. Sebagai intervensi yang dianjurkan, istirahat dapat
menurunkan kebutuhan metabolik, kebutuhan oksigen, dan beban kerja
jantung. Selain itu, istirahat dapat memberikan kesempatan pada sistem
muskuloskeletal untuk relaksasi menghilangkan nyeri, mencegah iritasi
yang berlebihan dari jaringan yang cedera, dan meminimalkan efek
gravitasi. Tirah baring dapat juga merupakan akibat dari faktor-faktor
fisiologis atau psikologis.
Restrain fisik dan pengamanan tempat tidur biasanya digunakan pada
lansia yang diinstitusionalisasi. Alat-alat ini turut berperan secara
langsung terhadap imobilitas dengan membatasi pergerakan ditempat
tidur dan secara tidak langsung terhadap peningkatan resiko cedera
ketika seseorang berusaha untuk memperoleh kebebasan dan
mobilitasnya.
Karakteristik tempat tinggal: tingkat mobilitas dan pola perilaku dari
kelompok teman sebaya klien dapat mempengaruhi pola mobilitas dan
perilakunya. Dalam suatu studi tentang status mobilitas pada penghuni
panti jompo, mereka yang dapat berjalan dianjurkan untuk
Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
18
Universitas Indonesia
menggunakan kursi roda karena anggapan para staf untuk penghuni
yang pasif.
karakteristik staf: Karakteristik dari staf keperawatan yang
mempengaruhi pola mobilitas adalah pengetahuan, komitmen, dan
jumlah. Pengetahuan dan pemahaman tentang konsekuensi fisiologis
dari imobilitas dan tindakan-tindakan keperawatan untuk mencegah
atau melawan pengaruh imobilitas penting untuk mengimplementasikan
perawatan untuk memaksimalkan mobilitas. Jumlah anggota staf yang
adekuat dengan suatu komitmen untuk menolong lansia
mempertahankan kemandiriannya harus tersedia untuk mencegah
komplikasi imobilitas.
Sistem pemberian asuhan keperawatan: jenis sitem pemberian asuhan
keperawatan yang digunakan dalam institusi dapat mempengaruhi
status mobilitas penghuninya. Alokasi praktik fungsional atau tugas
telah menunjukkan dapat meningkatkan ketergantungan dan komplikasi
dari imobilitas.
Hambatan – hambatan: Hambatan fisik dan arsitektur dapat
mengganggu mobilitas. Hambatan fisik termasuk kurangnya alat bantu
yang tersedia untuk mobilitas, pengetahuan dalam menggunakan alat
bantu mobilitas tidak adekuat, lantai yang licin, dan tidak adekuatnya
sandaran untuk kaki. Sering kali, rancangan arsitektur rumah sakit atau
panti jompo tidak memfasilitasi atau memotivasi klien untuk aktif dan
tetap dapat bergerak.
Kebijakan - kebijakan institusional: faktor lingkungan lain yang
penting untuk lansia adalah kebijakan-kebijakan dan prosedur-prosedur
institusi. Praktik pengaturan yang formal dan informal ini
mengendalikan keseimbangan antara perintah institusional dan
kebebasan individu. Semakin ketat kebijakan, semakin besar efeknya
pada mobilitas.
Sementara Faktor yang berpengaruh dalam mobilitas fisik menurut Long et al,
(1993 dalam Potter& Perry, 2005) meliputi perubahan metabolik, perubahan
sistem muskuloskeletal. Perubahan metabolik akibat defisiensi kalori dan protein
Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
19
Universitas Indonesia
yang mengalami penurunan selera makan sekunder akibat imobilisasi. Jika terjadi
defisiensi protein menyebabkan pemecahan asam amino yang dieksresikan
daripada yang dimakan, sehingga tubuh mengalami keseimbangan negatif,
kehilangan berat badan, penurunan masa otot terutama pada hati, jantung, paru-
paru, saluran pencernaan dan sistem kekebalan dan kelemahan akibat katabolisme
jaringan Usia lanjut mamiliki risiko malnutrisi yang tinggi karena terjadi
penurunan asupan makanan yang disebabkan oleh perubahan fungsi usus,
metabolisme yang tidak efektif, kegagalan homeostatis dan defek utilisasi nutrien.
( Thomas, 2003)
Perubahan pada sistem muskuloskeletal dapat mempengaruhi imobilisasi melalui
kehilangan daya tahan, penurunan massa otot, dan penurunan stabilitas. Pengaruh
lain dari keterbatasan mobilisasi yang mempengaruhi sistem skeletal adalah
gangguan metabolisme kalsium dan gangguan mobilisasi sendi (Potter& Perry,
2005).
Pemberian asuhan keperawatan dilakukan dengan menggunakan proses
keperawatan yang meliputi pengkajian, menegakkan diagnosis keperawatan
berdasarkan analisis data, merencanakan intervensi keperawatan, melaksanakan
tindakan keperawatan sesuai intervensi/rencana yang ada, dan melakukan evaluasi
berdasarkan respon klien terhadap tindakan keperawatan yang dilakukan.
Pengkajian merupakan tahap pertama dari proses keperawatan. Pengkajian klien
dengan hambatan mobilitas fisik dapat diperoleh baik melalui data subyektif
maupun data obyektif. Data subyektif yang perlu digali antara lain riwayat gejala
seperti kelelahan, nyeri, kelemahanotot, riwayat gangguan sistemik pada
neurologis, muskuloskeletal, riwayat trauma seperti fraktr, cedera kepala, atau
pembedahan abdomen. Sedangkan data obyektif yang perlu dikaji adalah fungsi
motorik pada lengan atau tungkai, kemampuan mobilitas, gaya berjalan, alat bantu
jalan, rentang gerak sendi, tekanan darah pernafasan, sirkulasi perifer, serta
motivasi dari individu itu sendiri (Carpenito, 2009).
Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
20
Universitas Indonesia
Meningkatkan mobilitas pergerakan yang optimal, meningkatkan mobilitas
ektremitas dengan latihan rentang gerak sendi (ROM), memberikan kompres
hangat untuk meredakan nyeri, memposisikan tubuh yang sejajar untuk mencegah
komplikasi, membantu klien dalam berpindah dan mempertahankan kesejajaran
tubuh yang baik saat menggunakan alat bantu adalah intervensi yang dapat
dilakukan dalam mengatasi masalah hambatan mobilitas fisik (Carpenito, 2009)
2.2.4. Kemandirian Pada Lansia
Kemandirian berarti tanpa pengawasan, pengarahan atau bantuan pribadi yang
masih aktif. Seseorang lansia yang menolak untuk melakukan fungsi dianggap
sebagai tidak melakukan fungsi, meskipun dianggap mampu. (Maryam,2008).
Kemandirian adalah kemampuan atau keadaan dimana individu mampu mengurus
atau mengatasi kepentingannya sendiri tanpa bergantung dengan orang lain
(Zulfajri, 1995).
Lansia yang mandiri adalah lansia yang kondisinya sehat dalam arti luas masih
mampu untuk menjalankan kehidupan pribadinya (Partini, 2005). Kemandirian
pada lansia meliputi kemampuan lansia dalam melakukan aktifitas sehari – hari ,
seperti : mandi, berpakaian rapi, pergi ke toilet, berpindah tempat, dapat
mengontrol BAK, atau BAB, serta dapat makan sendiri(Ranah,2006). Dorethea
Orem, (1959) mengembangkan teori yang dikenal dengan teori Capable Of Self
Care (mampu merawat diri sendiri) dibidang keperawatan dan menekankan pada
kebutuhan klien tentang keperawatan diri sendiri dengan tujuan untuk
meningkatkan kemampuan klien memenuhi kebutuhan secara mandiri. Teori Self
Care mengungkapkan hubungan antara tindakan untuk merawat diri sendiri
dengan perkembangan fungsi individu. Hal ini sesuai dengan penelitian yang
dilakukan oleh Eka, (2012) yang menyimpulkan bahwa sebagian besar lansia
memiliki tingkat kemandirian yang tinggi disebabkan olehh kondisi panti dan
keterbatasan caregiver, walaupun sudah tidak mampu untuk berjalan dengan
normal. Teori Self Care Deficit mengungkapkan ketidakmampuan individu
(lansia) dalam merawat diri (Gallo, 1998). Fokus dari teori ini mempertahankan
kehidupan, kesehatan dan kesejahteraan klien, dalam hal ini lansia.
Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
21
Universitas Indonesia
2.2.4.1 Faktor Yang Mempengaruhi Kemandirian Pada Lansia
Kemandirian pada lansia dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor meliputi: usia,
imobilitas dan mudah jatuh (Lueckenotte, 1996). Lansia yang telah memasuki usia
70 tahun memiliki penurunan dalam beberapa hal termasuk dalam penurunan
kemandirian. Penurunan kemandirian pertama disebabkan oleh usia. Badan
Kesehatan Dunia (WHO), 2012 membagi empat batasan umur lansia meliputi usia
perteengahan (Middle age): kelompok usia 45-59 tahun, lanjut usia (Elderly):
kelompok usia antara 60-74 tahun, lanjut usia (Old): kelompok usia antara 75- 90
tahun, dan usia sangat tua (Very Old): kelompok usia diatas 90 tahun.
Berdasarkan pembagian usia diatas dikatakan usia lanjut jika seseorang telah
mencapai umur 60 tahun.
Imobilitas adalah faktor kedua yang mempengaruhi kemandirian lansia.
Imobillisasi didefinisikan sebagai suatu keadaan ketika individu mengalami atau
beresiko mengalami keterbatasan gerak fisik (Kim et all,1995 dalam Potter
&Perry, 2005). Penyebab imobilisasi gangguan pada jantung, pernafasan,
gangguan sendi dan tulang, penyakit rematik seperti pengapuran atau patah
tulang, stroke/ penyalit saraf, parkinson dan gangguan penglihatan.
Jatuh adalah faktor ketiga yang mempengaruhi kemandirian pada lansia. Jatuh
pada lansia adalah masalah yang paling sering terjadi (Stanley, 2006). Jatuh
adalah sebuah keadaan yang tidak bisa diperkirakan, dimana kondisi lansia berada
di bawah atau lantai tanpa disengaja, dengan atau tanpa saksi (Kobayashi, et. al.
2009, dalam Nurviyandari, 2011). Kemampuan fisik dan mental yang menurun
sering menyebabkan jatuh pada lansia, yang akan mengakibatkan penurunan
aktivitas dalam kemandirian,
2.2.5. Aktifitas Kehidupan sehari - hari pada Lansia (Activity Daily Living)
Aktivitas kehidupan sehari-hari (AKS) adalah aktivitas yang biasa dilakukan
dalam sepanjang hari normal yang mencakup: ambulasi, makan, berpakaian,
mandi, menyikat gigi dan berhias. Kondisi yang mengakibatkan kebutuhan untuk
Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
22
Universitas Indonesia
bantuan dalam AKS dapat bersifat akut, kronis, temporer, permanen atau
rehabilitatif (Perry & Potter, 2005; Hardywinito & Setiabudi, 2005). AKS adalah
Suatu bentuk pengukuran kemampuan seseorang untuk melakukan aktifitas
kehidupan sehari – hari secara mandiri. Maryam.R,Siti, (2008) menyimpulkan
penentuan kemandirian fungsional dapat mengidentifikasi kemampuan dan
keterbatasan klien sehingga memudahkan pemilihan intervensi yang tepat.
Pengkajian ADL penting untuk mengetahui tingkat ketergantungan atau besarnya
bantuan yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari. Pengukuran kemandirian
ADL akan lebih mudah dinilai dan dievaluasi secara kuantitatif dengan sistem
skor yang sudah banyak dikemukakan oleh berbagai penulis ADL dasar, sering
disebut ADL saja, yaitu ketrampilan dasar yang harus dimiliki seseorang untuk
merawat dirinya meliputi berpakaian, makan & minum, toileting, mandi, berhias.
Ada juga yang memasukkan kontinensi buang air besar dan buang air kecil dalam
kategori ADL dasar ini. Dalam kepustakaan lain juga disertakan kemampuan
mobilitas (Sugiarto, 2005).
Kemampuan ADL adalah kemampuan dasar yang seharusnya dapat dilakukan
oleh manusia sehat dengan menggunakan indeks kemandirian Katz untuk AKS
yang berdasarkan pada evaluasi fungsi mandiri atau bergantung dari klien dalam
hal makan, kontinen (BAB/BAK), berpindah ke kamar mandi dan berpakaian
dapat diberi penilaian dalam melakukan aktifitas sehari – hari sebagai berikut
(Toni, 2001) :
a. Makanan: kemampuan untuk menyiapkan makanan untuk dirinya yang
sederhana meliputi kemampuan untuk menyendokkan nasi dalam piring,
memilih lauk, kemandirian dalam menghabiskan makanan serta kebersihan
piring/gelas serta kerapihan meletakan peralatan makanan.
Mandiri: mengambil makanan dari piring dan menyuapinya sendiri.
Bergantung : bantuan dalam hal mengambil makanan dari piring dan
menyuapinya, tidak makan sama sekali, dan makan parenteral atau melalui
naso gastrointestinal tube (NGT).
Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
23
Universitas Indonesia
b. Berpakaian: kemampuan untuk mengenakan pakaian dari gantungan baju atau
setelah mandi, mengambil serta baju dari rak, mengenakan serta menancing
atau membuka/melepaskannya
Mandiri: mengambil baju dari lemari, memakai pakaian, melepaskan pakaian,
mengancing / mengikat pakaian.
Bergantung: tidak dapat memakai baju sendiri atau hanya sebagian.
c. Berpindah: kemampuan bepergian
Mandiri : berpindah dari tempat tidur, bangkit dari kursi sendiri.
Bergantung : bantuan dalam naik atau turun dari tempat tidur atau kursi, tidak
melakukan sesuatu atau perpindahan
d. Ke kamar kecil: kemampuan mengatur hajat besardan kecil seperti masuk dan
keluar WC, mencopot serta merapihkan pakaina serta kemampuan untuk cebok
atau membersihkan alat vitalnya
Mandiri : masuk dan keluar dari kamar kecil kemudian membersihkan genitalia
sendiri.
Bergantung : menerima bantuan untuk masuk kekamar kecil dan menggunakan
pispot.
e. Mandi: kemampuan untuk menyiram tempat yang tertentu, menyabuni serta
menggosok daki ditempat tertentu, menyirami kembali anggota tubuh yang
terkena sabun, menggunakan handuk sampai mengeringkan tubuh.
Mandiri: bantuan hanya pada satu bagian mandi (seperti punggung atau
ektremitas yang tidak mampu) atau mandi sendiri sepenuhnya.
Bergantung : bantuan mandi lebih dari satu bagian tubuh , bantuan masuk dan
keluar dari bak mandi, serta tidak mandi sendiri.
f. Kontinen: apakah dalam melakukan hajat kecil atau hajat besar, pasien tersebut
mengalami kesulitan atau masih dapat mengaturnya secara mandiri
Mandiri : BAB dan BAK seluruhnya dikontrol sendiri.
Bergantung : inkontinesia persial atau total : menggunakan kateter dan pispot,
enema dan pembalut / pempers.
Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
24
Universitas Indonesia
2.2.5.1. Indeks Katz
Pengkajian kemandirian pada lansia dapat menggunakan indeks katz, yang
meliputi aktivitas mandi, berpakaian, toileting, berpindah tempat, kontinen dan
makan. Kemandirian berarti tanpa pengawasan, pengarahan, atau bantuan orang
lain. Pengkajian ini didasarkan pada status aktual dan bukan pada kemampuan.
Alat ini secara luas dapat mengukur kemampuan fungsional lansia di lingkungan
klinis dan rumah (Wallace & Shelkey, 2008).
Indeks Katz membentuk suatu kerangka kerja untuk mengkaji kebutuhan hidup
mandiri lansia atau bila ditemukan suatu penurunan fungsi, maka akan disusun
titik fokus perbaikannnya. Indeks Katz telah menetapkan skala dalam ADL oleh
dua kemandirian yaitu kemandirian tinggi (indeks A,B,C, D ), dan kemandirian
rendah (E, F)
2.2.5.2 Barthel Indeks / Indeks Barthel (IB)
Salah satu alat pengukuran kemandirian lansia yang umum digunakan adalah
menurut Indeks Barthel yang mengukur kemandirian fungsional dalam hal
perawatan diri dan mobilitas. IB tidak mengukur ADL instrumental, komunikasi
dan psikososial. Item-item dalam IB dimaksudkan untuk menunjukkan tingkat
pelayanan keperawatan yang dibutuhkan oleh pasien. IB merupakan skala yang
diambil dari catatan medik penderita, pengamatan langsung atau dicatat sendiri
oleh pasien. Dapat dikerjakan dalam waktu kurang dari 10 menit (Sugiarto, 2005).
IB versi 10 item terdiri dari 10 item dan mempunyai skor keseluruhan yang
berkisar antara 0-100, dengan kelipatan 5, skor yang lebih besar menunjukkan
lebih mandiri.
Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
25
Universitas Indonesia
Tabel 2.1.Indeks Barthel (IB)
No. Item yang dinilai Dibantu Mandiri
1. Makan (bila makanan harus dipotong-potong
dulu = dibantu) 5 10
2. Transfer dari kursi roda ke tempat tidur dan
kembali (termasuk duduk di bed) 5-10 15
3. Hygiene personal (cuci muka, menyisir,
bercukur jenggot, gosok gigi) 0 5
4. Naik & turun kloset/ WC (melepas/memakai
pakaian, cawik, menyiram WC) 5 10
5. Mandi 0 5
6. Berjalan di permukaaan datar
(atau bila tidak dapat berjalan, dapat mengayuh
kursi roda sendiri)
10
0
15
5
7. Naik & turun tangga 5 10
8. Berpakaian(termasuk memakai tali sepatu,
menutup resleting) 5 10
9. Mengontrol anus 5 10
10. Mengontrol kandung kemih 5 10
Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
26
Universitas Indonesia
Tabel 2.2.Penilaian Skor Indeks Barthel (IB)
Penulis Interpretasi
Shah dkk 0-20 Dependen Total
21-60 Dependen Berat
61-90 Dependen Sedang
91-99 Dependen Ringan
100 Independen/Mandiri
Lazar dkk 10-19 Dependen Perawatan
20-59 Perawatan diri, dibantu
60-79 Kursi roda, dibantu
80-89 Kursi roda, independen/mandiri
90-99 Ambulatori, dibantu
100 Independen/Mandiri
Granger 0-20 Dependen Total
21-40 Dependen Berat
41-60 Dependen Sedang
61-90 Dependen Ringan
91-100 Mandiri
Sumber: (Sugiarto, 2005) telah diolah kembali.
2.3. ROM (Range Of Motion/ Rentang Gerak Sendi)
2.3.1. Pengertian ROM (Range Of Motion/ Rentang Gerak Sendi)
Latihan gerak (Range of Motion) merupakan terapi latihan untuk memelihara
atau meningkatkan kekuatan otot (Brunner&Sudarth,2002). Pengertian Range Of
Motion (ROM) atau biasa dikenal dengan rentang gerak sendi adalah
latihan/aktivitas fisik untuk meningkatkan kesehatan dan mempertahankan sendi
yang mungkin dilakukan pada salah satu dari potongan tubuh: sagital, frontal dan
transversal (Perry & Potter, 2005)
2.3.2. Tujuan ROM (Range Of Motion/ Rentang Gerak Sendi)
Meningkatkanataumempertahankan fleksibilitas dan kekuatan otot.
Mempertahankan fungsi jantung dan pemapasan.
Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
27
Universitas Indonesia
Mencegah kontrakur dankekakuan pada sendi.
2.3.3. Jenis-jenis ROM (Range Of Motion/ Rentang Gerak Sendi)
RomAktif : Perawat memberikan motivasi, dan membimbing klien dalam
melaksanakan pergerakan sendi secara mandiri sesuai dengan rentang gerak sendi
normal (klien aktif. Kekuatan otot 75%). Sendi yang digerakan pada ROM aktif
yaitu seluruh tubuh dari kepala sampai ujung jari kaki oleh klien sendri secara
aktif. Jenis gerakan fleksi, ekstensi,hiper ekstensi,rotasi, sirkumduksi, supinasi
pronasi, abduksi, aduksi
Rom Pasif : Perawat melakukan gerakan persendian klien sesuai dengan rentang
gerak yang normal (klien pasif). Kekuatan otot 50 %. Sendi yang digerakkan pada
ROM pasif seluruh persendian tubuh atau hanya pada ekstremitas yang terganggu
dan klien tidak mampu melaksanakannya secara mandiri.
2.3.4. Jenis gerakan
a. Leher: fleksi, ekstensi, fleksi lateral, hipertekstensi, rotasi
b. Bahu tangan kanan dan kiri: fleksi, ekstensi, hiperekstensi, abduksi,
adduksi, rotasi dalam, rotasi luar.
c. Siku tangan kanan dan kiri:fleksi, ekstensi, pronasi, supinasi.
d. Pergelangan tangan :fleksi, ekstensi, hiperekstensi,abduksi, adduksi.
e. Jari-jari tangan:fleksi, ekstensi, abduksi, adduksi, oposisi.
f. Pinggul: fleksi,ekstensi,hiperekstensi, abduksi, adduksi, rotasi dalam,
rotasi luar. abduksi,adduksi, rotasi internal/ eksternal.
g. Lutut: fleksi, ekstensi
h. Pergelangan kaki:dorsofleksi,plantarfleksi, inversi, eversi.
i. Jari kaki: fleksi,ekstensi, abduksi, adduksi.
2.3.5. Indikasi ROM (Range Of Motion/ Rentang Gerak Sendi)
a. Stroke atau penurunan tingkat kesadaran
b. Kelemahanotot
c. Fase rehabilitasi fisik
d. Klien dengan tirah baring lama
Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
28
Universitas Indonesia
BAB 3
LAPORAN KASUS KELOLAAN UTAMA
Bab ini akan menjelaskan asuhan keperawatan yang telah diberikan pada klien
kelolaan utama pada nenek Y , yang dimulai dari pengkajian sampai evaluasi.
Data diperoleh melalui data subyektif dan data obyektif diperoleh melalui
pemeriksaan fisik dan data sekunder yang didapat status kesehatan klien. asuhan
keperawatan pada nenek Y telah dilakukan selama 7 minggu dan dituangkan
dalam bentuk laporan.
3.1. Gambaran Kasus
Nenek Y, 81 tahun, lahir di Padang Panjang, 24 Oktober 1932, Islam, status
perkawinan: janda, pendidikan terakhir:SMA, pekerjaan saat ini tidak bekerja,
alamat rumah: Duta Kranji Blok C No 52 Bintara bekasi Barat. Diagnosa
Medis:Hipertensi, katarak, riwayat NIDDM
Alasan nenek Y tinggal di STW pada awalnya dibawa ke STW Karya Bakti RIA
pembangunan oleh anaknya, yang menurutnya anaknya tidak mau dibebani oleh
orang tuanya. Setelah beberapa bulan nenek Y merasa kerasan tinggal di panti dan
tidak mau lagi kembali ke rumah anaknya, kecuali hanya sekedar menginap
beberapa hari, karena ia merasa kesepian anaknya sibuk bekerja sementara
cucunya sibuk sekolah.
Masalah Kesehatan yang pernah dialami adalah nenek Y pernah mengalami jatuh
sebanyak empat kali kali,yaitu sebelum masuk STW KBRP, setelah tinggal di
STW nenek Y mengalami jatuh pada tanggal 15/8/2012, 10/11/12 dan tanggal
5/4/13, mata sebelah kiri tidak bisa melihat karena mengalami katarak sejak tahun
1990,riwayat NIDDM dan dirasakan saat ini nenek Y mengeluh tangan dan kaki
terasa kebas/baal, badan terasa lemas, bila berdiri tidak kuat sehingga harus
dibantu tongkat/ walker, dalam ambulasi lebih banyak menggunakan kursi roda,
dan dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari ia difasilitasi oleh anak-anaknya
dengan menyediakan dua orang caregiver yang menjaganya secara bergantian. Ia
Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
29
Universitas Indonesia
juga mengikuti kegiatan yang diadakan STW seperti senam dan pengajian yang
diadakan di wisma Bungur. Pada saat kegiatan itu ia lakukan diatas kursi roda
Nenek Y mengatakan selama di STW tidak melakukan sholat 5 berjamaah di
mushola STW, karena ia merasa kesulitan dalam pergerakananya bila
melaksanakan ibadah sholat berjamaah di mushola. Hasil pemeriksaan fisik
didapatkan keadaan umum sedang, postur tubuh nenek Y semampai, kulit putih,
berambut pendek dan beruban. Tingkat kesadaran compos mentis, Suhu 36 0C,
Nadi: 80x/menit, Tekanan darah: 120/80 mmHg, Pernafasan: 20x/menit, Tinggi
badan: 155 cm, Berat badan: 60 kg, IMT: 24,97, LILA: 20 cm
Pemeriksaan sistematik dan kebersihan perorangan pada kepala didapatkan
rambut memiliki rambut yang tebal dan beruban, terdistribusi merata, kebersihan
kepala bersih, tidak mudah tercabut, tidak ada lesi. Pada mata kiri ada katarak,ia
mengatakan kedua kaki dan tangan terasa kebas sejak 1 tahun yang lalu. Oedema
pada tungkai tidak ada, untuk membantu dalam aktivitas sehari-hari nenek Y
menggunakan lebih banyak menggunakan kursi roda. Kekuatan otot 4444 5555
4444 5555
Hasil pengkajian pada lansia: Geriatric Depression Scale (GDS): 12 = depresi
ringan, Mini Mental State Examination (MMSE): 26, Pengkajian Tingkat
Kemandirian Indeks Katz: 1 ( gangguan fungsional berat/ ketergantungan tinggi),
Pengkajian Risiko jatuh: Morse fail Scale (MFS)/ Skala Jatuh dari Morse: 80 =
risiko jatuh tinggi dan hasil pegkajian Berg Balance Test (BBT): 22. Interpretasi:
lansia memiliki risiko jatuh sedang dan perlu menggunakan alat bantu jalan
seperti tongkat, kruk dan walker.
Hasil laboratorium tanggal 12/10/2012 GD N: 115 mg/dl, GD 2jam PP: 226
Tanggal 14/5/13 GDS: 113 mg/dl, asam Urat: 4,3 mg/dl. Sementara hasil foto
pelvis AP tanggal 14/1/13 disimpulkan tidak tampak fraktur/dislokasi
Terapi Medis yang pernah didapatkan Glukopag 500 mg 1x1, Simvastatin 1 x10
mg (malam) namun saat ini tidak diberikan lagi. Obat yang saat ini masih
dikonsumsi nenek Y Leparson 2 x ½ tablet, Lapibal/methycobalt 1 x 500 mg,
Amplodipine 1x5 mg. Berdasarkan hasil pengkajian langkah selanjutnya adalah
Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
30
Universitas Indonesia
menganalisis data untuk menunjang tegaknya diagnosa keperawatan dapat dilihat
pada lampiran1. Berdasarkan analisis data yang telah dilakukan, mahasiswa
menyimpulkan dua prioritas utama masalah keperawatan pada nenek Y yaitu
hambatan mobilitas fisik dan risiko jatuh. Pengkajian lengkap dapat dilihat pada
lampiran 1 langkah selanjutnya adalah menyusun rencana asuhan keperawatan
untuk menyelesaikan masalah tersebut.
3.2. Rencana Keperawatan
Diagnosa Keperawatan pertama yaitu: hambatan mobilitas fisik. Tujuan umumnya
adalah mobilitas fisik meningkat setelah diberikan tindakan keperawatan selama 7
minggu. Adapun tujuan khusus adalah a) klien mampu melakukan ROM, b)
mendemonstrasi ulang sesuai dengan instruksi yang diberikan, c) klien melakukan
latihan untuk meningkatkan kekuatan otot dan sendi secara mandiri 2x sehari, d) klien
mampu melakukan gerakan senam kaki minimal 1x/hari, e) klien mampu melakukan
ADL sesuai kemampuannya secara mandiri dengan pengawasan.f). Kekuatan Otot
meningkat
Intervensi :
Rencana tindakan yang dibuat dalam mengatasi masalah hambatan mobilitas fisik
meliputi:a) monitor kemampuan mobilitas secara fungsional setiap pagi, b)
motivasi klien dalam mempertahankan atau mengembalikan mobilitas sendi dan
otot, c) diskusikan dengan klien tentang masalah kekakuan sendi dan otot yang
dialami klien, d) diskusikan bersama klien mengenai perawatan yang dilakukan
untuk mengurangi nyeri sendi, e) ajarkan klien dan pantau penggunaan alat bantu
mobilitas misalnya tongkat, walker, kruk atau kursi roda, f) ajarkan dan bantu
klien dalam proses berpindah misalnya dari tempat tidur ke kursi, g) ubah klien
yang imobilisasi minimal setiap dua jam, h) berikan penguatan positif, i) bantu
klien menggunakan alas kaki anti selip yang mendukung untuk berjalan, j) ajarkan
dan latih ROM aktif atau pasif, k) motivasi klien mempraktekkan latihan ROM
yang telah diajarkan bersama-sama, l) motivasi klien melakukan latihan ROM tiap
pagi setelah bangun tidur dan sore hari sebelum mandi, m) ajarkan dan latih klien
senam kaki, n) motivasi klien melakukan latihan senam kaki secara mandiri, 0)
Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
31
Universitas Indonesia
dokumentasikan tingkat kekuatan otot klien dan senam kaki. P) Intervensi
kolaborasi yang penulis buat adalah konsultasikan ke ahli terapi fisik dan okupasi,
q) berikan analgesik sebelum memulai latihan fisik, kolaborasi untuk melakukan
pemeriksaan gula darah.
Diagnosa keperawatan yang kedua adalah risiko jatuh. Tujuan umumnya adalah
setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 7 minggu, tidak terjadi jatuh.
Adapun tujuan khususnya adalah : a) klien dapat mempertahankan keseimbangan
tubuh, b)klien tidak jatuh ketika berpindah tempat dari tempat tidur ke kursi atau
sebaliknya, c) klien tidak mengeluh pusing.
Rencana tindakan yang dibuat dalam mengatasi masalah risiko jatuh meliputi: a)
pantau keadaan umum dan tanda-tanda vital, b) kaji kekuatan otot, c) lakukan
penilaian risiko jatuh dengan FMS, d) kaji kemampuan klien dalam
kegiatan/latihan., e) motivasi lansia untuk mengikuti kegiatan senam panti sesuai
dengan kemampuan lansia, f) orientasikan lingkungan , g)beri peringatan pada
tempat-tempat berbahaya, h) atur tata letak barang yang mudah dijangkau oleh
klien, i) anjurkan klien menggunakan alas kaki yang tidak licin.
Pada direct care yang dilakukan: j)bantu klien saat ambulasi, k) latih klien
balance exercise, l) latih lansia untuk ROM aktif asistif, m) dokumentasikan
tingkat kekuatan otot klien dan latihan balance exercise. Intervensi kolaborasi
yang penulis rencanakan adalah: n) kolaborasi dengan pihak panti dalam
memodifikasi lingkungan klien, o) pemberian medikasi untuk menunjang
kekuatan tulang. Rencana asuhan klien secara lengkap dapat dilihat pada lampiran
2.
3.3. Implementasi
Implementasi keperawatan dalam hambatan mobilitas fisik yang penulis lakukan
adalah: a) memonitor kemampuan mobilitas secara fungsional setiap pagi, b)
memotivasi klien dalam mempertahankan atau mengembalikan mobilitas sendi
dan otot, c) mendiskusikan dengan klien tentang masalah kekakuan sendi dan otot
yang dialami klien, d) mendiskusikan bersama klien mengenai perawatan yang
dilakukan untuk mengurangi nyeri sendi, e) mengajarkan klien dan memantau
Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
32
Universitas Indonesia
penggunaan alat bantu mobilitas misalnya tongkat, walker, kruk atau kursi roda, f)
mengajarkan dan membantu klien dalam proses berpindah misalnya dari tempat
tidur ke kursi, g) mengubah klien yang imobilisasi minimal setiap dua jam, h)
memberikan penguatan positif, i) membantu klien menggunakan alas kaki anti
selip yang mendukung untuk berjalan, j) mengajarkan dan latih ROM aktif atau
pasif, k) memotivasi klien mempraktekkan latihan ROM yang telah diajarkan
bersama-sama, l) memotivasi klien melakukan latihan ROM tiap pagi setelah
bangun tidur dan sore hari sebelum mandi, m) mengajarkan dan latih klien senam
kaki, n) motivasi klien melakukan latihan senam kaki secara mandiri, 0)
mendokumentasikan tingkat kekuatan otot klien dan senam kaki. P) Intervensi
kolaborasi untuk melakukan pemeriksaan gula darah.
Implementasi keperawatan dalam mencegah risiko jatuh yang penulis lakukan
adalah : a) memonitor keadaan umum dan tanda-tanda vital, b) mengkaji kekuatan
otot, c) melakukan penilaian risiko jatuh dengan FMS, d) mengkaji kemampuan
klien dalam kegiatan/latihan., e) memotivasi lansia untuk mengikuti kegiatan
senam panti sesuai dengan kemampuan lansia, f) mengorientasikan lingkungan,
g)memberi peringatan pada tempat-tempat berbahaya, h) membantu mengatur
tata letak barang yang mudah dijangkau oleh klien, i) memganjurkan klien
menggunakan alas kaki yang tidak licin, j)membantu klien saat ambulasi, k)
melatih klien balance exercise, l) melatih lansia untuk ROM aktif asistif, m)
mendokumentasikan tingkat kekuatan otot klien dan melatih balance exercise,
mengajarkan dan melatih ROM aktif atau pasif.
3.4. Evaluasi dan Rencana Tindak Lanjut
Minggu pertama praktek adalah awal pertemuan dengan klien. Klien terlihat
ramah dan kooperatif menjawab semua pertanyaan yang diajukan oleh mahasiswa
dan tindakan yang dilakukan terhadapnya. Setelah dilakukan kesepakatan tentang
tindakan keperawatan yang akan dilakukan berupa latihan RPS yang bertujuan
untuk mengatasi masalah hambatan mobilitas fisik yang terjadi. Bentuk latihan
yang dilakukan adalah ROM aktif yang dilakukan selama enam kali dalam
seminggu. Latihan dimulai dari pergerakan daerah kepala dan leher sampai pada
Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
33
Universitas Indonesia
gerakan kaki. Masing-masing gerakan dilakukan pengulangan sebanyak sepuluh
kali. Pada minggu ini juga dilakukan kesepakatan tentang latihan senam kaki
yang bertujuan untuk mengatasi masalah kebas/baal pada daerah kaki, dan klien
setuju untuk melakukan senam kaki.
Minggu kedua praktik, kemampuan klien dalam latihan RPS belum mengalami
perubahan yang berarti. Klien masih terlihat melakukan gerakan dengan duduk
diatas tempat tidur sehingga RPS daerah pinggul tidak bisa dilakukan denagn
optimal. Namun untuk RPS anggota gerak lain dapat dilakukan klien dengan
sesuai instuksi yang diberikan, namun klien perlu dibantu pada saat klien
melakukan fleksi lateral dan rotasi daerah leher. Pada minggu ini latihan senam
kaki juga belum menunjukkan perubahan terhadap rasa kebas yang dialami klien.
Selain melatih ROM dan senam kaki, mahasiswa juga melatih klien menggunakan
alat bantu jalan berupa walker untuk mobilisasi jalan dan memantau penggunaan
alat bantu jalan. Rencana tindak lanjut yaitu melatih klien RPS aktif, memberikan
motivasi agar melakukan RPS dan senam kaki secara mandiri, memantau
kemampuan mobilitas klien secara fungsional.
Minggu ketiga mahasiswa praktik, klien mampu melakukan RPS dengan lebih
baik, gerakan dilakukan klien sesuai dengan instruksi yang diberikan. RPS pada
daerah pinggul masih belum dilakukan oleh karena klien masih merasa cemas bila
dimotivasi berdiri, dan klien melakukan RPS daerah pinggul masih dengan posisi
duduk diatas tempat tidur. Senam kaki masih tetap dilakukan dan di evaluasi pada
minggu ketiga masih mengeluh kebas pada kaki serta masih belum mampu
melakukan gerakan ke sepuluh senam kaki yaitu merobek-robek kertas koran
dengan kaki. Rencana tindak lanjut: pantau kemampuan mobilitas klien secara
fungsional, motivasi klien melakukan latihan RPS dan senam kaki secara mandiri,
kolaborasi untuk melakukan tes gula darah
Minggu keempat mahasiswa praktik, klien mampu melakukan RPS dengan lebih
baik, gerakan dilakukan klien sesuai dengan instruksi yang diberikan, namun klien
mengeluh nyeri saat melakukan gerakan rotasi bahu kanan. Senam kaki dilakukan
sesuai intruksi yang diberikan, klien masih merasa kesulitan dalam merobek-
robek kertas koran. Rencana tindak lanjut: kolaborasi dengan dokter untuk
Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
34
Universitas Indonesia
memberi terapi analgesik, kompres dengan air hangat sebelum melakukan RPS,
motivasi klien untuk latihan RPS dan senam kaki secara mandiri, kolaborasi
untuk melakukan tes gula darah
Minggu kelima mahasiswa praktik, mahasiswa memberikan kompres sebelum
latihan RPS dilakukan. Klien mengatakan enakan setelah dilakukan kompres
hangat, klien mampu melakukan RPS dengan baik, rasa nyeri pada bahu kanan
masih ada. RPS daerah pinggul masih belum maksimal. Senam kaki mampu
dilakukan oleh klien, namun klien tetap mengeluh kebas pada daerah kaki.
Gerakan merobek-robek kertas belum mampu dilakukan oleh klien. Rencana
tindak lanjut: kompres dengan air hangat sebelum melakukan RPS, kolaborasi
dengan dokter untuk pemberian analgetik dan tetap motivasi klien melakukan
RPS dan senam kaki.
Minggu keenam mahasiswa praktik,mahasiswa tetap memberikan kompres
hangat didaerah bahu sebelum latihan RPS dilakukan. Klien mengatakan tidak
rutin melakukan kompres hangat karena tidak nyeri bila tidak digerakkan.
Gerakan ROM pada rotasi bahu dapat klien lakukan lebih baik, RPS daerah
pinggul masih belum maksimal. Senam kaki mampu dilakukan oleh klien, namun
klien tetap mengeluh kebas pada daerah kaki. Gerakan merobek-robek kertas
belum mampu dilakukan oleh klien. Rencana tindak lanjut: motivasi klien
melakukan RPS dan senam kaki
Minggu ketujuh mahasiswa praktik, klien mobilisasi masih dengan bantuan
caregiver, dan kekuatan otot meningkat dengan nilai 5555 5555
5555 5555
Kaki dirasakan klien sudah mulai ada perubahan sedikit. Rencana tindak lanjut:
motivasi terus klien untuk melatih kekuatan otot dan RPS/ rentang pergerakan
sendi 1x/hari selama 30 menit, latih klien senam kaki untuk memperkuat dan
memperlancar aliran darah didaerah kaki 1x/hari/ selang seling dengan latihan
ROM, kolaborasi dengan perawat untuk mengevaluasi kemandirian klien setiap
minggu setelah 2 minggu, kolaborasi dengan ahli terapi fisik untuk meningkatkan
kekuatan otot dan fleksibilitas sendi klien.
Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
35
Universitas Indonesia
Evaluasi yang didapatkan setelah melakukan intervensi dalam mengatasi risiko
jatuh adalah dengan melakukan balance exercise, dimulai pada minggu ke empat
praktek. sebelum dilakukan balance exercise klien tidak mampu menahan
tubuhnya, setelah dilakukan latihan balance exercise klien mampu melakukan
berdiri tegak dalam satu garis tangan disamping tubuh mata terbuka pandangan
ke depan, klien mampu menekuk kebelakang kaki kanan menahan 10 detik,
bergantian kaki kiri dengan berpegangan pada kursi selama 5 menit. Klien
mampu melakukan melacak mata dengan meletakkkan ibu jari dengan jarak 10
cm dari wajah oleh mata tanpa menggerakan bagian tubuh lain setelah 2 x latihan,
klien masih terlihat sempoyongan ketika berdiri lama, klien mengatakan lebih
suka menggunakan tongkat dibanding walker bila berjalan didalam
kamarnya,karena dengan menggunakan walker dirasakan terlalu sempit bila
digunakan didalam kamar serta tidak ada kejadian jatuh selama mahasiswa
praktek. Rencana tindak lanjut lakukan modifikasi lingkungan (meletakkan
barang yang rapi, pencahayaan kamar yang terang, memasang pengaman/hand
rail, dan jaga lantai jangan licin dan memasang tanda garis yang berbeda warna
untuk membedakan ketinggian lantai). Kolaborasi dengan perawat ruangan untuk
mengkaji ulang penilaian FMS tiga bulan mendatang. Kolaborasi dengan perawat
ruangan melakukan latihan keseimbangan tubuh/balance exercise
Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
BAB 4
ANALISIS SITUASI
Bab ini akan dijelaskan mengenai pembahasan hasil asuhan keperawatan terkait
hambatan mobilitas fisik yang telah dilakukan selama tujuh pekan kepada salah
satu nenek yang ada di STW Karya Bhakti RIA Pembangunan. Pembahasan yang
dilakukan berupa pembahasan terkait profil STW dan analisa asuhan keperawatan,
analisa satu intervensi yang telah diimplementasikan. Pembahasan hasil asuhan
keperawatan akan dilakukan sesuai dengan teori yang disampaikan pada Bab 2.
Pada Bab ini juga akan dijelaskan mengenai keterbatasan yang dialami penulis
selama melakukan asuhan keperawatan, serta implikasi hasil implementasi
terhadap profesi keperawatan
4.1. Profil lahan praktek
Sasana Tresna Werdha Karya Bakti RIA Pembangunan (STW KBRP) terletak
diwilayah Kecamatan Cibubur Kotamadya Jakarta Timur. Sasana Tresna Werdha
Karya Bhakti Ria Pembangunan dimiliki dan dikelola oleh Yayasan RIA
Pembangunan yang diprakarsai oleh Ibu Hj. Siti Hartinah Soeharto dan
diresmikan pada tanggal 14 Maret 1984. Kata “RIA” merupakan kepanjangan dari
“Rukun Ibu Ampera”. Sejak diambil alih oleh suatu yayasan yang bernama
Yayasan Karya Bakti perlahan-lahan STW RIA Pembangunan mulai tertata dan
menjadi hunian yang asri dan nyaman bagi lansia.
Sasana Tresna Werdha merupakan sebuah sarana tempat tinggal bagi sekelompok
orang yang berusia lanjut yang dahulu orang lebih mengenalnya dengan sebutan
panti werdha. Awal didirikannya Sasana Tresna Werdha Karya Bhakti RIA
Pembangunan dilatarbelakangi oleh keinginan untuk memenuhi kebutuhan
aktualisasi diri para lansia sekaligus untuk menghapus paradigma masyarakat
dahulu yang menganggap bahwa wisma atau panti werdha merupakan tempat
pengucilan orang tua yang menjadi beban bagi keluarganya. Mereka pun
menyadari bahwa lansia juga membutuhkan teman sebaya sebagai tempat saling
mengadu dan berbagi cerita, merajut semangat agar tetap saling merasa bermakna
Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
dan bermanfaat bagi kehidupan. Berkurangnya peran sosial kemasyarakatan dan
menurunnya tuntutan tanggung jawab rutin dalam keluarga, kadang membuat
kehidupan lansia menjadi kurang bermakna apabila hanya duduk berdiam diri di
rumah.
Sasana Tresna Werdha Karya Bhakti RIA Pembangunan merupakan institusi yang
bergerak di bidang pelayanan kesejahteraan khusus kepada generasi lanjut usia.
Pelayanan yang ada di Sasana Tresna Werdha Karya Bhakti RIA Pembangunan
bagi para lansia untuk menjaga kualitas hidup meliputi pelayanan kesehatan
berupa konsultasi ahli, asuhan keperawatan, fisioterapi, farmasi, rawat jalan, rawat
inap, rujukan RS dan kegawatdaruratan, pelayanan sosial berupa pembinaan
mental spiritual sesuai keyakinan, senam, seni tradisional (angklung), bernyanyi,
kegiatan keterampilan membuat anyaman atau menyulam, berkebun, dan kegiatan
bincang-bincang dengan beberapa tokoh atau instansi. Selain itu, di sasana tresna
werdha ini lansia dapat memanfaatkan hobi yang dapat dilakukan dan ada rekreasi
bersama; pelayanan harian lanjut usia melalui pemeriksaan kesehatan harian
berupa pemeriksaan tanda-tanda vital, pelayanan individu dan pelayanan
kelompok sesuai kebutuhan lansia
Sasana Tresna Werdha Karya Bhakti RIA Pembangunan memiliki slogan sebagai
hunian pilihan lanjut usia masa kini. Oleh karena itu, terdapat beberapa
persyaratan bagi lansia yang ingin menetap di STW RIA Pembangunan. Adapun
syaratnya antara lain: berusia di atas 60 tahun, sehat jasmani maupun rohani,
mandiri, ingin tinggal di STW atas keinginan sendiri, memiliki penanggung jawab
keluarga, dan yang terpenting adalah tidak ada paksaan. STW RIA Pembangunan
dilengkapi oleh sarana dan prasarana, antara lain fasilitas hunian, klinik werdha,
fasilitas penunjang kesehatan lansia, dan fasilitas lain yang mendukung. Fasilitas
hunian meliputi wisma Aster kapasitas 18 kamar VIP, Wisma Bungur kapasitas 25
kamar, Wisma Cempaka kapasitas 26 kamar, dan Wisma Dahlia kapasitas 8
kamar. Fasilitas klinik werdha antara lain Wisma Wijaya Kusuma kapasitas 3
kamar VIP, bangsal rawat inap 15 tempat tidur, pelayanan 24 jam. Fasilitas
penunjang pelayanan lansia antara lain Wisma Soka, Wisma Mawar, Wisma
Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
Kamboja, dan Wisma Kenanga. Fasilitas lain pendukung bagi kehidupan lansia
antara lain dapur, ruang cuci, ruang serba guna, perpustakaan, pendopo, ruang
pemeriksaan kesehatan.
Salah satu wisma yang terdapat di STW KBRP adalah Wisma Bungur yang
memiliki kapasitas 25 tempat tidur yang masing-masing kamar ada kamar
mandinya. Fasilitas yang ada di Wisma Bungur, antara lain: ruang TV yang juga
bisa digunakan sebagai ruang kegiatan lansia di Wisma Bungur, ruang makan
bersama, 2 buah kulkas, dapur, taman yang asri dan teras, serta ada ruang setrika.
Wisma ini diperuntukkan bagi lansia yang sehat dan mampu memenuhi
kebutuhannya secara mandiri. Lansia yang parsial care juga boleh tinggal di
wisma ini, tetapi harus memiliki caregiver pribadi untuk membantu kebutuhan
lansia tersebut.
STW KBRP telah memiliki kebijakan untuk mempertahankan kekuatan dan
mobilitas sendi yang dilakukan kepada para wredha yang tinggal dengan program
aktivitas fisik berupa senam pagi yang dilakukan setiap hari. Pada hari senin
lansia melakukan senam bugar lansia, selasa senam gerak latih otot yang disebut
triloka, rabu senam senior fitnes, dan kamis lansia melakukan senam relaksasi.
4.2 Analisis Masalah Konsep Penuaan
Asuhan keperawatan diberikan selama tujuh pekan ditujukan pada nenek Y
dengan diagnosa hambatan mobilitas fisik dan resiko jatuh. Klien kelolaan utama
yang diberikan asuhan keperawatan di wisma Bungur selama tujuh pekan ialah
Nenek Y, saat ini berusia 81 tahun. Berdasarkan WHO usianya nenek Y sudah
dikategorikan sebagai lansia dengan usia tua (old). Seiring dengan pertambahan
usia, lansia mengalami kemunduran fisik dan mental yang menimbulkan banyak
konsekuensi. Proses penuaan adalah hal yang alamiah, sebagai akibat dari proses
metabolisme yang terus menerus, sehingga pada suatu saat proses perbaikan tidak
dapat mengimbangi proses kerusakan yang terjadi sehingga akan menyebabkan
perubahan anatomis, fisiologis dan biokemis pada jaringan tubuh yang pada
Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
akhirnya akan mempengaruhi fungsi dan kemampuan badan secara keseluruhan
serta mengakibatkan penurunan fungsi tubuh secara perlahan, progresif dan
irreversible (Depkes 2000). Hal ini seseuai dengan teori Tear and Wear yang
menyatakan proses penuaan terjadi karena usang dan tidak dapat memperbaiki diri
(Hayflick, 1988 dalam Miller, 2004). Proses menjadi tua disebabkan oleh faktor
biologik yang terdiri dari tiga fase yaitu fase progresif, fase stabil dan fase
regresif (Depkes 2000). Fase regresif merupakan mekanisme lebih ke arah
kemunduran yang dimulai dari dalam sel, komponen terkecil dari tubuh manusia.
Sel-sel menjadi aus karena lama berfungsi sehingga mengakibatkan kemunduran
yang dominan dibandingkan terjadinya pemulihan. Didalam struktur anatomik
proses menjadi tua terlihat sebagai kemunduran didalam sel. Manifestasi proses
menua antara lain: rambut rontok dan memutih, permukaan kulit keriput, banyak
gigi yang tanggal (ompong), daya penglihatan dan pendengaran berkurang,
perubahan sistem saraf pusat, sistem endokrin, dan lain-lain (Hanafiah, 2008).
4.3. Analisis Masalah terkait Konsep Lansia di Panti
Perubahan-perubahan yang cepat akibat modernisasi menyebabkan masalah
psikologis yang dihadapi lansia. Perubahan masyarakat agraris ke masyarakat
industri menyebabkan persaingan kerja yang tinggi dan peningkatan mobilitas
penduduk yang cepat. Perubahan masyarakat diperkotaan yang memiliki
kompetisi yang sangat tinggi menjadikan waktu untuk merawat lansia semakin
sedikit, yang menyebabkan lansia merasa kesepian. Hal ini pula yang dialami oleh
nenek Y yang tinggal di STW KBRP, pada awalnya datang ke STW atas saran
anaknya yang memiliki keterbatasan merawat orang tuanya. Nenek Y merasa saat
itu ia di minta tinggal di STW karena anaknya tidak mau dibebani oleh tanggung
jawab merawat dirinya.
Hal ini akibat perubahan nilai-nilai keluarga dan akibat proses industrialisasi
menyebabkan kesempatan mengurus orang tua semakin berkurang dan lansia
merasa kesepian (Wiyono, 1994), dan semakin tergesernya nilai-nilai pola
keluarga kecil yang mengakibatkan terlantarnya sebagian lansia (Nataprawira,
Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
2012). Keberadaan panti werdha ditengah masyarakat perkotaan bisa membantu
masyarakat perkotaaan untuk membantu merawat orang tua dan memberi
kesempatan mereka beraktivitas dan bertemu teman baru yang sebaya. Sasana
tresna werdha yang berarti menyayangi atau mencintai orang tua merupakan salah
satu pemecahan masalah yang dihadapi kelompok usia lanjut dalam menapaki hari
akhir kehidupannya (Ihromi, 1999). Menkokesra, (2005) yang mendefinisikan
sasana wredha adalah tempat dimana berkumpulnya orang-orang yang telah lanjut
usia, baik yang secara sukarela maupun diserahkan keluarga untuk diurus segala
keperluannya, yang dikelola baik oleh yayasan maupun dikelola oleh pemerintah.
Alasan masuk nenek Y ada beberapa yang sesuai dengan konsep STW yaitu
berusia minimal 60 tahun, dapat mengurus sendiri (dalam hal ini karena
keterbatasan fisik nenek Y, keluarga memfasilitasi dengan menyediakan
caregiver), lulus tes kesehatan dan memiliki sponsor/penjamin selama nenek Y
tinggal di STW. Konsep STW merupakan hunian masa kini yang terdapat di
wilayah perkotaan sebagai tempat pelayanan kepada para lansia yang ingin
mengaktualisasikan diri.
Nenek Y telah mengalami klien masalah kesehatan perkotaan yaitu riwayat
menderita penyakit diabetes Mellitus (DM) akibat perubahan dalam sistem
endokrin. Selama di sasana tresna werdha, nenek Y mengalami riwayat terjatuh
sebanyak tiga kali, mata mengalami gangguan penglihatan/ katarak dan kurangnya
kemampuan nenek dalam mengurus dirinya sendiri, hal ini yang mendorong
keluarganya meminta bantuan petugas sosial/social worker untuk membantu
keutuhannya sehari-hari. Hal ini sesuai dengan pendapat Burduli, 2009; Brown,
2007; Sclatter,2003 yang menyatakan DM pada lansia seringkali kelemahan
kelemahan, letargi, perubahan tingkah laku, menurunnya status kognitif atau
kemampuan fungsional (antara lain delirium, demensia, depresi, agitasi, mudah
jatuh, dan inkontinensia urin ada perubahan pada kemampuan lansia di dalam
mengurus diri sendiri.
.
Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
Dibandingkan dengan lansia lainnnya, resiko keterbatasan fisik 2-3 kali lipat pada
lansia penderita DM, dan risiko ini lebih besar pada wanita. Dampak semua ini
adalah lebih banyak lansia wanita penderita DM yang mengalami jatuh dan
fraktur. Neuropati yang dialami oleh nenek Y yang mengeluh kebas (baal) pada
kaki merupakan komplikasi dari penyakit DM yang dideritanya. Hal ini tidak
sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Dhora, (2007) yang menyimpulkan
pemeriksaan sensorik kaki pada pasien diabetes melitus tipe 2, didapatkan hasil
sebagian besar (60,87%) responden memiliki sensasi kaki normal.
Hambatan mobilitas fisik yang dialami nenek Y dapat diakibatkan oleh faktor
internal maupun faktor eksternal. Faktor internal yang ada meliputi penurunan
dalam sisem muskuloskeletal, riwayat jatuh, sedangkan faktor ekternal dapat
disebabkan oleh lingkungan STW itu sendiri yang memicu terjadinya imobilisasi
atau akibat agen farmakologik. Mobilisasi nenek Y terbatas di kursi roda.
Penelitian Purwaningsih (2000) dalam Setiyawan (2008) menyimpulkan pada
pasien immobilisasi post operasi fraktur yang mengalami tirah baring menyatakan
bahwa dari 78 orang pasien tirah baring yang dirawat sebanyak 15,8% mengalami
luka dekubitus. Penelitian yang sama pada pasien immobilisasi post operasi
fraktur yang mengalami tirah baring di Rumah Sakit Moewardi Surakarta, dimana
kejadian luka dekubitus sebanyak 38,2% (Setiyajati, 2000 dalam Setiyawan,
2008).
Kemandirian akan menurun bila penurunan imobilitas tidak diatasi dan tingkat
aktivitas tidak ditingkatkan (Stanley dan Beare, 2007). Hal itu sesuai dengan data
yang didapatkan dari nenek Y yang mengalami penurunan tingkat kemandirian
sehingga ketergantungan kepada orang lain/ caregiver menjadi tinggi. Hasil
pengkajian indeks katz nenek Y mengalami gangguan fungsional berat/
ketergantungan tinggi dimana skor yang didapatkan pada saat pengkajian adalah 1
sehingga kebutuhan sehari-hari nenek Y tergantung oleh caregiver. Kemandirian
berarti tanpa pengawan, pengarahan, atau bantuan orang lain. Pengkajian ini
didasarkan pada status aktual dan bukan pada kemampuan. Alat ini secara luas
dapat mengukur kemampuan fungsional lansia di lingkungan klinis dan rumah
(Wallace & Shelkey, 2008). Hal ini tidak sejalan dengan penelitian Kobayashi
Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
(2009) yang menyimpulkan bahwa responden lansia yang tinggal diinstitusi
memiliki tingkat kemandirian yang tinggi dalam ADL, dan penelitian Eka
Ediawati (2012) yang menyimpulkan lansia memiliki kemandirian dalam
aktivitas seperti mandi (96,5%), ke kamar mandi (96,5%), makan (100%),
berpindah tempat/berjalan (95,1%).
Penelitian Marie-Claire menyimpulkan hubungan status gizi dengan tingkat
kemandirian dapat memprediksi lamanya waktu perawatan. Sebanyak 54,2%
penderita yang mengalami malnutrisi dan risiko malnutrisi mempunyai tingkat
kemandirian rendah yang dilihat dari indekz Katz pada skala D-G. Hal ini sesuai
dengan hasil penelitian Covinsky et al, (1999) menjelaskan adanya hubungan
antara kajian klinis status gizi dengan tingkat kemandirian dengan nilai p = 0,03
dan dapat digunakan untuk memprediksi angka mortalitas. Sementara penelitian
siti Zulaeha,2009) meyimpulkan bila diketahui status gizinya maka dapat
diprediksikan tingkat kemandirian pada aktifitas kehidupan sehari-hari penderita
Jatuh yang pernah dialami oleh nenek Y karena mengalami gangguan fungsi
tungkai bawah, gangguan keseimbangan, dan kemampuan gerak. Jatuh adalah
sebuah keadaan yang tidak bisa diperkirakan, dimana kondisi lansia berada di
bawah atau lantai tanpa disengaja, dengan atau tanpa saksi (Kobayashi, et. al.
2009). Berdasarkan survei di masyarakat AS, terdapat sekitar 30% lansia berumur
lebih dari 65 tahun jatuh setiap tahunnya (Fuller,2007). Separuh dari angka
tersebut mengalami jatuh berulang, lima persen dari penderita jatuh ini mengalami
patah tulang atau memerlukan perawatan di rumah sakit (Fuller,2007, Kane
Oslander, 2009). Hasil penelitian Eka, (2012) menyimpulkan sebanyak 63 orang
(44%) pada lansia yang tinggal di PTSW Budi Mulya mempunyai resiko jatuh
yang tinggi. Kekuatan otot nenek Y yang kurang dikarenakan adanya penurunan
massa otot, perubahan distribusi darah ke otot, otot menjadi lebih kaku dan ada
penurunan kekuatan otot. Olah raga dapat meningkatkan kekuatan otot, massa
otot, perfusi otot dan kecepatan konduksi saraf ke otot. Tulang, sendi, dan otot
saling terkait. Jika sendi tidak dapat digerakkan, maka otot yang melintasi sendi
akan memendek dan mengurangi ROM. Latihan fleksibilitas sendi dan otot dapat
Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
meningkatkan dan mempertahankan kekuatan otot yang melintasi sendi, sehingga
ROM bisa dipertahankan
4.4. Analisis Tindakan ROM (Range Of Motion)
Satu intervensi yang diterapkan oleh mahasiswa dalam mengatasi masalah
hambatan mobilitas fisik dan masalah neuropati perifer ialah latihan ROM dan
senam kaki. ROM aktif merupakan salah satu latihan / aktifitas fisik yang
dilakukan oleh individu itu sendiri sesuai dengan kemampuan untuk
menggerakkan sendinya. Dengan latihan rutin paling sedikitnya 2-3 kali setiap
minggunya dalam waktu 20-30 menit mampu memberikan manfaat yang berarti
diantaranya dapat meningkatkan kekuatan otot dan menurunkan keletihan, dalam
hal ini dikhususkan pada lansia yang mengalami penurunan massa otot serta
kekuatannya untuk melakukan mobilisasinya. Latihan/aktifitas fisik dapat
membuat kondisi tubuh lebih baik, meningkatkan kesehatan dan mempertahankan
kesehatan jasmani. Hal ini juga digunakan sebagai terapi membetulkan deformitas
atau mengembalikan seluruh tubuh ke status kesehatan maksimal (Perry & Potter,
2005).
Program latihan bermanfaat bagi lansia yang sehat maupun lansia yang
mempunyai masalah fisik karena dapat meningkatkan tingkat energi,
mempertahankan mobilitas dan meningkatkan kemampuan pulmonal dan
kardiovaskuler (Stanley dan Beare, 2007). Jika seseorang latihan (excercise),
maka akan terjadi perubahan fisiologis dalam sistem tubuh. Dengan demikian
dapat disimpulkan dengan seringnya seseorang melakukan latihan aktifitas fisik
seperti halnya ROM aktif sangat bermanfaat untuk menjaga kebugaran tubuh pada
lansia sehingga otot-otot dalam tubuh tetap terjaga elastisitasnya dan sendi dapat
melakukan pergerakannya dengan baik, terutama dalam kemampuan mobilisasi.
Keuntungan fungsional atas latihan bertahanan (resistance training) berhubungan
dengan hasil yang didapat atas jenis latihan bertahanan, antara lain yang mengenai
kecepatan gerak sendi, luas lingkup gerak sendi (range of motion) dan jenis
kekuatan yang dihasilkannya ( pemendekan atau pemanjangan). Keuntungan yang
Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
didapat akan sangat besar bila kemampuan maksimum atas jenis latihan akan
meningkat sebagai akibat latihan tersebut (Hadi-Martono, 2004). Penelitian yang
dilakukan oleh Wuri, (2009) menyimpulkan bahwa ada pengaruh latihan rom aktif
terhadap kemampuan mobilisasi sebelum dan sesudah latihan rom aktif. Hasil
penelitian yang dilakukan oleh Afifka dan Warsito, (2012) menyimpulkan senam lansia
efektif mengatasi nyeri lutut pada lansia dengan nilai signifikansi p-value 0,001 yang
berarti sig <α=(0,05).
4.5. Analisis Tindakan Balance Exercise
Jatuh terjadi ketika sistem kontrol postural tubuh gagal mendeteksi pergeseran dan
tidak mereposisi pusat gravitasi terhadap landasan penopang pada waktu yang
tepat untuk menghindari hilangnya keseimbangan. Kegagalan ini antara lain
disebabkan oleh pergeseran pusat gravitasi tubuh yang besar, cepat, dan tiba-tiba,
gangguan lingkungan, serta faktor intrinsik seperti hilang atau berkurangnya
sistem sensorik yang esensial untuk mendeteksi gerakan pusat gravitasi tubuh,
gangguan sistem saraf pusat untuk mengorganisasikan dan menghantarkan respon
postural yang tidak efektif akibat terganggunya sistem neuromuskular, gaya
berjalan abnormal, refleks postural tidak memadai, instabilitas sendi, dan
kelemahan otot.
Menurunnya sistem muskuloskeletal berpengaruh terhadap keseimbangan tubuh
lansia karena terjadinya atropi otot yang menyebabkan penurunan kekuatan otot,
terutama otot ekstremitas bawah sehingga mengakibatkan perubahan-perubahan
keseimbangan seperti kelambanan bergerak, langkah pendek-pendek, penurunan
irama, kaki tidak dapat menapak dengan kuat dan cenderung mudah goyah, susah
atau terlambat mengantisipasi bila terpeleset atau tersandung (Tinetti, 1992; Kane,
1994; Reuben, 1996; Campbell & Brocklehurst, 1987 dalam Darmojo, 2004).
Gangguan keseimbangan postural jika tidak dikontrol, maka akan dapat
meningkatkan resiko jatuh Gunarto (2005). Gangguan keseimbangan postural
merupakan hal yang sering terjadi pada lansia (Siburian, 2006). Jatuh merupakan
gangguan keseimbangan yang terjadi pada 31% - 48% lansia (Kane,1994).
Berdasarkan survei di masyarakat AS, Tinetti (1992) mendapatkan sekitar 30%
Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
lansia yang berumur lebih dari 65 tahun jatuh setiap tahunnya, separuh dari angka
tersebut mengalami jatuh berulang. Insiden di rumah-rumah perawatan (nursing
home) 3 kali lebih banyak.Gerakan ataupun senam untuk melatih meningkatkan
kekuatan otot dan keseimbangan bagi lansia dengan tujuan khusus yang dilakukan
selama waktu yang ditentukan.
Teori yang dikemukakan oleh Nyman (2007) bahwa latihan (balance exercise)
dapat menimbulkan adanya kontraksi otot, hal ini sesuai teori dari Guyton (1997)
menjelaskan ketika otot sedang berkontraksi, sintesa protein kontraktil otot
berlangsung jauh lebih cepat daripada kecepatan penghancurannya, sehingga
menghasilkan filamen aktin dan miosin yang bertambah banyak secara progresif
di dalam miofibril. Kemudian miofibril itu sendiri akan memecah di dalam setiap
serat otot untuk membentuk miofibril yang baru. Peningkatan jumlah miofibril
tambahan yang menyebabkan serat otot menjadi hipertropi. Dalam serat otot yang
mengalami hipertropi terjadi peningkatan komponen sistem metabolisme
fosfagen, termasuk ATP dan fosfokreatin. Hal ini mengakibatkan peningkatan
kemampuan sistem metabolik aerob dan anaerob yang dapat meningkatkan energi
dan kekuatan otot.
Peningkatan kekuatan otot inilah yang membuat lansia semakin kuat dalam
menopang tubuh dan melakukan gerakan, hal ini sesuai dengan teori yang
dikemukakan oleh American College of Sport Medicine, latihan yang dapat
meningkatkan kekuatan otot yang pada akhirnya akan meningkatkan
keseimbangan postural lansia dapat dilakukan 3-4 minggu latihan dengan
frekuensi 3 kali seminggu. tentunya hal ini perlu dilakukan secara teratur dan
tidak memaksakan diri. Waktu yang dianjurkan sebagai tahapan awal melakukan
latihan adalah dua kali dalam sepekan dengan durasi 30 menit setiap latihan
(Nurviyandari,2011; Nyman, 2007; Guyton, 2007). Hasil penelitian yang
dilakukan oleh Kusnanto,Indarwati, dan Nisfil Mufidah (2007) menyimpulkan
bahwa ada pengaruh latihan balance exercise terhadap peningkatan keseimbangan
postural lansia di UPSTW Bangkalan dan terdapat variasi peningkatan
keseimbangan postural pada tiap-tiap lansia setelah dilakukan intervensi latihan
Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
balance exercise. Hal ini mungkin dapat disebabkan karena tiap-tiap lansia
berbeda dalam memaksimalkan setiap gerakan dalam balance exercise.
4.6. Keterbatasan
Keterbatasan waktu dalam memberikan asuhan keperawatan pada klien dengan
masalah hambatan mobilitas fisik merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi tingkat keberhasilan mobilitas fisik klien, dimana mahasiswa
hanya melakukan implementasi pada saat dinas, sementara untuk mencapai hasil
yang optimal latihan rentang gerak sendi sebaiknya dilakukan 2-3x/hari dengan
waktu selama 30 menit,sehingga untuk mencapai tujuan yang diharapkan yaitu
meningkatkan mobilitas fisik dengan memberikan penguatan kepada klien agar
melakukan pengulangan latihan secara mandiri agar dapat meningkatkan kekuatan
dan fleksibilitas sendi secara optimal.
Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
Beranjak dari tujuan khusus yang telah diidentifikasi, maka dapat disimpulkan
beberapa hal sebagai berikut:
1. Hambatan mobilitas fisik adalah masalah utama yang banyak ditemui pada
lansia, karena proses penuaan dimana tubuh mengalami penurunan berbagai
fungsi tubuh termasuk dalam sistem muskuloskeletal. Faktor yang
mempengaruhi mobilitas fisik yang perubahan metabolik, perubahan sistem
muskuloskeletal
2. Perubahan milai-nilai dalam keluarga mempengaruhi keluarga dalam
merawat lansia, akibat industrilisasi dan moderinisasi menyebabkan waktu
merawat lansia semakin sempit.
3. Panti adalah salah satu upaya meningkatkan kesejahteraan lansia. STW
KBRP merupakan hunian masa kini yang terdapat di wilayah perkotaan
sebagai tempat pelayanan kepada para lansia yang ingin mengaktualisasikan
diri, dengan persyaratan lulus tes kesehatan, mandiri, mempunyai penjamin,
yang didukung oleh sarana dan prasarana yang menunjang seperti klinik,
fasilitas penunjang.
4. Panti wredha sebagai community base artinya peranannya tidak terlepas dari
peran serta keluarga dan masyarakat.
5. Hasil pengkajian yang dilakukan terhadap nenek Y, yaitu terdapatnya
hambatan mobilitas fisik didukung oleh ketidakmampuan klien dalam
melakukan kebutuhan sehari-hari sehingga harus dibantu oleh caregiver,
kekuatan otot yang menurun, ketidakmampuan untuk mandi, berpindah,
toileting, kontinen, sehingga tingkat ketergantungan sangat tinggi kepada
orang lain, mengeluh kebas yang dirasakan sudah lama seta gangguan pada
mata yaitu klien mengalami katarak yang mengakibatkan mata kiri sudah
tidak mampu melihat serta menggunakan alat bantu berupa kursi roda,
tongkat dan walker.
6. Rencana asuhan keperawatan disusun sesuai dengan diagnosis yang telah
ditegakkan yaitu, monitor kemampuan mobilitas secara fungsional setiap
Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
pagi, motivasi klien dalam mempertahankan atau mengembalikan mobilitas
sendi dan otot, ajarkan klien dan pantau penggunaan alat bantu mobilitas
misalnya tongkat, walker, kruk atau kursi roda, ajarkan dan bantu klien dalam
proses berpindah misalnya dari tempat tidur ke kursi, ajarkan dan latih ROM
aktif atau pasif, motivasi klien mempraktekkan latihan ROM yang telah
diajarkan bersama-sama, ajarkan dan latih klien senam kaki, kolaborasi untuk
melakukan pemeriksaan gula darah.
7. Implementasi dilakukan dengan latihan rentang gerak sendi, melatih senam
kaki, melatih penggunaan alat bantu jalan
Evaluasi menunjukkan adanya peningkatan kemandirian lansia, dari nilai 1
menjadi nilai 2,kekuatan otot meningkat dari 4444 5555 menjadi 5555 5555
4444 5555 5555 5555
.
5.2 Saran
1. Latihan ROM sebaiknya dilakukan secara teratur 2-3x/minggu agar kekuatan
otot dan fleksibiltas sendi bertambah.
2. Perlu upaya yang terus menerus untuk mengatasi keluhan neuropati yang
dialami nenek Y dengan melakukan senam kaki agar peredaran darah perfer
dapat lancar
3. Balance exercise perlu dilakukan agar keseimbangan tubuh meningkat
sehingga risiko jatuh dapat diihindari.
4. Modifikasi lingkungan seperti mengatur tata letak kamar dan pencahayaan
yang cukup terang agar klien dapat melakukan mobilisasi dengan alat bantu
yang tepat, serta dapat menghindari risiko jatuh.
5. Kolaborasi dengan perawat agar melakukan pemeriksaan FMS tiga bulan
mendatang
6. Kolaborasi dengan perawat STW agar melakukan observasi yang ketat
terutama pada pada lansia yang mempunyai risiko jatuh yang tinggi
Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
49
Universitas Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
Ayu ,Dyah. A., Warsito, Bambang E. ( 2012). Pemberian Intervensi Senam
Lansia Pada Lansia Dengan Nyeri Lutut. Jurnal Nursing Studies. Volume
1, Nomor 1 Tahun 2012, Halaman 60 – 65 . http://ejournal
s1.undip.ac.id/index.php/jnursing diakses tgl 13 /5/13 jam 23.15)
Aristo Farabi. (2007). Hubungan Tes “Time Up and Go” dengan Frekuensi Jatuh
Pasien Lanjut Usia. Artikel Karya Tulis Ilmiah. Fakultas Kedokteran
Universitas Dipenegoro Semarang
Barton, Hugh.( 2000). Healthy Urban Planning. WHO; London.
Budiharjo, dkk. (2005). Pengaruh Senam Aerobic Low Impact Intensitas Sedang
Terhadap Kelenturan Badan Pada Wanita Lanjut Usia Terlatih. Berkala
Ilmu Kedokteran. 37(4:178)
Burduli M. (2009). The Adequate Control of Type 2 Diabetes Mellitus in an
Elderly Age. Available from: http://www.gestosis.ge/Diabetes Melitus
Tipe 2 pada Usia Lanjut. Majalah Kedokteran Indonesia, Volum: 60,
Nomor: 12, Desember 2010
Brian J. Sharkey. (2003). Kebugaran dan Kesehatan. Jakarta: PT. Rajagrafindo
Persada
Brown AF, Mangione CM, Saliba D, Sarkisian CA. (2003) Guidelines for
Improving the Care of the Older Person with Diabetes Mellitus.
JAGS;51:S265-75.http://www.american- geriatrics.org/products/ position
papers/JAGSfinal05.pdf
Carpenito, L.J.(2009). Diagnosis Keperawatan: Aplikasi pada Praktek Klinis edisi
9. Jakarta: EGC
Depkes RI. (2000). Pembinaan Kesehatan Usia Lanjut Bagi Petugas Kesehatan.
Jakarta
Eka, Ediawati. (2012). Gambaran Tingkat Kemandiorian Dalam Activity Of Daily
Living (ADL) Dan Resiko Jatuh Pada Lansia Di Panti Sosial Tresna
Wredha Budi Mulya 01 Dan 03 Jakarta Timur. Skripsi. FIK UI
Fuller GF. (2007). Falls in The Elderly. Diakses tanggal 3 Juli 2013:
http://www.aafp.org/afp/20000401/2159.html
Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
50
Universitas Indonesia
Gazotti C. (2000). Clinical Usefulness Of The Mini Nutritional Assessment Scale
In Geriatric Medicine. J Nutr Health aging, 4(3):176-81
Gholamreza V.(2010). Association Between Socio-Demographic Factors and
Diabetes Mellitus in The North Of Iran: A Population-Based Study.
International Journal of Diabetes Mellitus 154–157.
Guccione, A.A. (2000). Geriatric physical therapy. 2nd edition. Philadelpia:
Mosby. Hal: 45, 102, 285, 461
Gunarto, Sigit. 2005. Pengaruh Latihan Four Square Step Terhadap
Keseimbangan Pada Lansia. Tesis. Tidak dipublikasikan. Program
Pendidikan Ilmu Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi Medik FKUI.
Jakarta.
Guyton, Arthur C. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC. Hal:
104-105, 1346
Hamid, A. (2007). Penduduk Lanjut Usia Di Indonesia Dan Masalah
Kesejahteraannya.http://www.kemsos.go.id/modules.php?name=News&f
ile=print&sid=522 diunduh pada tanggal 24 Juni 2013
Hanafiah, H. (2008).Kelainan Muskulo Skeletal Pada Lanjut Usia. Pidato
Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Bedah pada
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
Ihromi, T. (1999). Bunga Rampai Sosiologi Keluarga. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia
Kane RL, Ouslander JG, Abrass RB, Resnick B. (2009). Essentials of Clinical
Geriatrics. 6th ed. New York: McGraw Hill.p.363- 70.
Kobayashi, N.,Nurviyandari,D.,Yammamoto,M., Sugiyama,T., Sugai. (2009).
Severity Of Dementia As A Risk Factor For Repeat Fall Among The
Institutionalized Elderly In Japan. Journal Of Nursing and Health
Sciences
Leli, Mulyati. (2012). Pengaruh Masase Kaki Secara Manual Terhadap Sensasi
Proteksi, Nyeri Dan Ankle Brachial Index (Abi) Pasien Diabetes Mellitus
Tipe 2 Di RSUD Curup Bengkulu. Akademi Kesehatan Sapta Bakti
Bengkulu
Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
51
Universitas Indonesia
Lueckenotte. (1996). Pengkajian Gerontologi. Ahli bahasa oleh: Aniek
maryunani. Jakarta: EGC
Martono, Hadi. (2009). Buku Ajar Geriatri Ilmu Kesehatan Usia Lanjut.Jakarta:
Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Martono, Hadi. & Darmojo, Boedhi, R. (2004). Ilmu kesehatan usia lanjut. edisi 3
Jakarta: FIK-UI
Maryam, S. (2008). Mengenal Usia Lanjut dan Perawatannya.Jakarta: Salemba
Medika. 2008.
Mira,A.K. (2011). Efektifitas ROM Pasif Dalam Mengatasi Konstipasi Pada
Pasien Stroke di Ruang Neuro Badan Layanan Umum Daerah Gorontalo
RSU DR.M.M. Dunda Kabupaten Gorontalo. Jurnal Haealth & Sport,
Vol 3,Nomer 1
Miller, A.C. (2004). Nursing care of older adult theory and practices. (2nd
ed).Philadelphia: JB. Lippincott Company
Nataprawira, I. (2012). Strategi Customer Relations Panti Sosial Tresna Werdha
Budi Mulia V Jelambar Jakarta Barat Melalui Pendekatan Model
Communicative Competence. Universitas Indonesia: Skripsi
Nurhadi, Wiyono. (1994). Lansia Sebagai Modal Permbangunan: Peluang dan
Tantangan. Warta Demografi tahun ke 24 N0 1
Nurviyandari, D. (2010). Modul: Program Pencegahan Jatuh Pada Lanjut Usia.
Hibah Pengabdian Masyarakat Universitas Indonesia tahun 2010 Iptek
bagi Masyarakat (IbM). Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas
Nyman. 2007. Why Do I Need To Improve My Balance?.
www.balancetraining.org.uk. Diakses tanggal 13 Juni 2013.
Potter,P. A & Perry, A.G. (2005). Fundamental Keperawatan (Konsep, Proses,
dan Praktik). Edisi 4. Volume 1. Jakarta:EGC.
Pinkstaff SM. (2004) Aging with Diabetes-An Underappreciated Cause of
Progressive Disability and Reduced Quality of Life. http://www.
clinicalgeriatrics. com/article/3441 20
Rahman S, Rahman T, Ismail A, Rashid.(2007). Diabetes-associated
macrovasculopathy: pathophysiology and pathogenesis, Diabetes Obes
Metab9(6): 767–80. 5. Indonesia Keilmuan Keperawatan Komunitas.
Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
52
Universitas Indonesia
Rachmah,.L.A Aktivitas Fisik pada Lansia. Staf Pengajar FIK.Universitas Negeri
Jogyakarta. File PDF. Diakses tanggal 27/6/2013
Romanus, Beni. (2001). Kesejahteraan Lansia Masa Depan: Sehat, Produktif dan
Mandiri. Warta Demografi tahun ke 31 no 21, 2001
Rahardjo, Tri.Budi,W., Priyotomo,Y. (1994). Permasalahan Kesehatan Lansia
dan Upaya Pelayanan Melalui Pembinaan Kesehatan Usia Lanjut. Warta
Demografi tahun ke 24 N0 1, 1994
Riyadi, Sujono, Sukarmin. (2008). Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan
Gangguan Eksokrin dan Endokrin pada Pankreas. Yogyakart: Graha
Ilmu
Sclatter A. (2003) Diabetes in the Elderly: The Geriatrician’s Perspective. Can J
Diab.;27(2):172-5.http:// www.diabetes.ca/files/ElderlySclaterJune03.pdf
Shoba S.(2005). Preventing Of Falls In Older Patients. Diakses tanggal 3 Juli
2013 di: http://www.aafp.org/afp/20050701/81.html
Siti Zulaekah dan Dyah Widowati (2009) . Hubungan Status Gizi (Mini
Nutritional Assesment) Dengan Tingkat Kemandirian (Indeks Katz)
Penderita Di Divisi Geriatri Rumah Sakit Dokter Kariadi Semarang.
jurnal kesehatan, issn 1979-7621, vol. 2, no. 2, Desember 2009 hal 131-
136 Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surakarta
Siburian, P. (2007). Empat Belas Masalah Kesehatan Utama Pada Lansia.
http://www.waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=
article&catid=28:kesehatan&id=3812:empat-belas-masalah-kesehatan-
utama-pada-lansia pada tanggal 24 Juni 2013
Subramaniam I, Gold JL.(2005.) Diabetes Mellitus in Elderly. J Indian Acad
Geri.: http://www.jiag.org/ sept/diabetes.pdf
Stanley, M.& Beare, P. G. (2007). Buku ajar keperawatan gerontik. Jakarta: EGC
Smeltzer, S.C., Bare,B.G. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah.
Brunner & Suddarth (edisi 8). Volume 1. Diterjemahkan oleh Waluyo,
A. Jakarta : EGC
Stocklager, Jaime & Schaeffer, Liz. (2008). Buku Saku Asuhan Keperawatan
Geriatrik Edisi 2. Alih Bahasa: Nike Budhi Subekti. Jakarta: EGC.
Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
53
Universitas Indonesia
Taslim, H. (2001). Gangguan Muskuloskeletal pada Usia Lanjut.
http://www.tempo.co.id/medika/arsip/072001/pus-1.htm (diakses tgl
13/5/13 jam 23.00)
http://www.tempo.co/read/news/2013/05/26/173483297/28-Juta-Lansia-
Indonesia-Telantar diakses tagnggal 8 JUli 2013
Wilkinson,J.M; Ahern,N.R. (2012). Buku Saku Diagnosis Keperawatan:
Diagnosis NANDA, Intervensi NIC, Kriteria Hasil NOC. Edisi 9. Jakarta:
EGC.
Wuri U. (2009). Pengaruh Latihan Rom Aktif Terhadap Kemampuan Mobilisasi
Pada Lansia Dengan Gangguan Muskuloskeletal Di Panti Sosial Tresna
Werdha Budi Mulia 03 Ciracas Jakarta Timur. Jurnal Ilmiah Kesehatan
Keperawatan, Volume 5, No. 3, Oktober 2009
Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
x Universitas Indonesia
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Pengkajian dan Analisis Data
Lampiran 2 Rencana Asuhan Keperawatan
Lampiran 3 Hasil Pengkajian MMSE
Lampiran 4 Hasil Pengkajian GDS
Lampiran 5 Hasil Pengkajian FMS
Lampiran 6 Hasil Pengkajian Indeks Katz
Lampiran 7 Hasil pengkajian BBT
Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
LAPORAN PKKMP GERONTIK
NAMA :INDRYANI DEWY
NPM : 1006823311
PROGRAM PROFESI NERS
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN UI
PENGKAJIAN
Nama Panti : STW Karya Bakti RIA Pembangunan
Alamat Panti : Jl. Karya Bakti No 2 Cibubur Jakarta Timur
Tanggal Masuk: 18 November 2011
No Register :
I. IDENTITAS
a. Nama : Nenek Y
b. Jenis kelamin : Perempuan
c. Umur : 81 tahun/ Padang Panjang, 24 Oktober 1932
d. Agama : Islam
e. Status perkawinan : Janda
f. Pendidikan terakhir : SMA
g. Pekerjaan : Tidak bekerja
h. Alamat rumah : Duta Kranji Blok C No 52 Bintara bekasi Barat
II. ALASAN KUNJUNGAN KE PANTI
Nenek Y awalnya dibawa ke STW Bakti RIA pembangunan oleh anaknya,
yang menurutnya anaknya tidak mau dibebani oleh orang tuanya. Setelah
beberapa bulan nenek Y merasa kerasan tinggal di panti dan tidak mau lagi
kembali ke rumah anaknya, kecuali hanya sekedar menginap beberapa hari
III. RIWAYAT KESEHATAN
A. Masalah Kesehatan yang pernah dialami dan dirasakan saat ini
Masalah kesehatan yang pernah dialami adalah nenek Y pernah
mengalami jatuh sebanyak 3 kali, mata sebelah kiri tidak bisa melihat
karena mengalami katarak sejak tahun 1990,riwayat NIDDM . saat ini
nenek Y mengeluh tangan dan kaki terasa kebas, badan terasa lemas,
bila berdiri tidak kuat sehingga harus dibantu tongkat/ walker
B. Masalah kesehatan keluarga/keturunan
Nenek Y tidak mampu mengingat penyakit yang diderita oleh anggota
keluarganya
Lamp 1
Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
IV. KEBIASAAN SEHARI-HARI
A. Biologis
1. Pola makan
Nenek Y makan teratur selama di STW3x sehari, yaitu maan pagi,
makan siang dan makan sore. Nenek Y menyukai semua makanan
yang dihidangkan. Porsi makanan yang bisa dihabiskan hanya ½
porsi
2. Pola minum
Nenek Y memiliki kebiasaan minum hanya ketika makan, dalam 1
hari hanya 3-4 gelas (@ 200 cc), selain itu nenek Y hanya sedikit-
sedikit saja.
3. Pola tidur
Nenek Y mengatakan kebiasaan tidur siang tidak menentu, terkadang
nenek Y tertidur siang ketika menonton televisi. Kebiasaan tidur
malam mulai pukul 21-05 pagi
4. Pola eliminasi
Pola eliminasi BAB tidak teratur biasanya 2 hari sekali, sedangkan
pola eliminasi BAK dalam sehari sekitar 3-4 kali/hari karena nenek
Y takut sering BAK. Bila malam hari nenek Y memakai panpres
untuk mencegah ngompol
5. Aktivitas sehari-hari
Kegiatan yang dilakukan nenek Y setelah bangun pagi adalah sholat
subuh, mandi, sarapan, lalu nenek Y mengikuti kegiatan yang ada di
STW seperti senam pagi, pengajian. Sedangkan bila tidak ada
kegiatan nenek Y berdiam diri di kamar. Untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari nenek Y dibantu oleh caregiver
6. Rekreasi
Nenek Y mengatakan kegiatan rekreasi yang dilakukan sehari-hari
adalah menonton televisi, sedangkan kegiatan rekreasi yang
dilakukan diluar STW hanya bila dijemput oleh anak/cucunya
B. Psikologis
1. Keadam emosi
Keadaan emosi nenek Y cukup stabil, nenek Y masih mengenang
suaminya dengan terus mengulang pertemuan pertama dengan alm.
suaminya. Nenek Y sering mengulang pembicaraan tentang lawan
jenis misalnya ingin mencari pria yang mau mengawininya.
C. Sosial
1. Dukungan keluarga
Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
Keluarga mendukung nenek Y tinggal di STW, setiap akhir
pekan/hari libur keluarga rutin mengunjungi nenek Y. Keluarga juga
memperhatikan keterbatasan fisik orangtuanya sehingga keluarga
menyiapkan tenaga caregiver untuk membantu kebutuhan
orangtuanya
2. Hubungan antar keluarga
Keluarga nenek Y merupakan keluarga besar. Nenek Y mengatakan
ada seorang anaknya yang sudah menikah dan tinggal di Belanda,
komunikasi yang terjalin antar anggota keluarga terjalin baik dan
berlangsung dua arah.
3. Hubungan dengan orang lain
Nenek Y cukup akrab dengan penghuni wisma Bungur lain, nenek Y
juga orang yang sangat ramah bahkan terhadap orang yang baru
dikenalnya.
D. Spiritual/kultural
Nenek Y melaksanakan sholat 5 waktu dikamar, karena nenek Y merasa
kesulitan bila melaksanakan ibadah sholat berjamaah di mushola. Nenek
Y juga aktif mengikuti pengajian yang dilaksanakan di panti maupun
yang dilakukan sendiri.
E. Pemeriksaan fisik
1. Tanda vital
a. Keadaan umum : postur tubuh nenek Y semampai, kulit
putih,gaya
berjalan diseret dan agak membungkuk
b. Kesadaran : Compos mentis
c. Suhu : 36 0C
d. Nadi : 80x/menit
e. Tekanan darah : 120/80 mmHg
f. Pernafasan : 20x/menit
g. Tinggi badan : 155 cm
h. Berat badan : 60 kg
i. IMT : 24,97
j. LILA : 20 cm
2. Pemeriksaan sistematik dan kebersihan perorangan
a. Kepala
Rambut :
Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
Nenek Y memiliki rambut yang tebal dan beruban,
terdistribusi merata, kebersihan kepala bersih, tidak mudah
tercabut, tidak ada lesi
Mata :
Keadaan dan penampilan struktur mata: alis mata sejajar dan
simetris. Konjunctiva tidak anemis, sklera tidak ikterik. Pada
mata kiri ada katarak. Nenek Y tidak bisa melihat pada mata
kirinya. Nenek Y masih mampu melihat dengan jarak yang
sangat dekat hanya dengan mata kanannya
Hidung :
Hidung mancung, tidak ada pengeluaran cairan dan
peradangan/polip
Mulut :
Mukosa mulut lembab, lidah dan gigi bersih, gigi banyak
yang tanggal hanya bersisa 8 buah gigi.
Telinga :
Keadaan dan penampilan struktur telinga: telinga sejajar
mata, tidak ada lesi, pengeluaran cairan dan serumen tidak
ada.
b. Leher :
Tidak ada pembesaran KGB dan vena jugolaris dileher
c. Dada/thorax
Dada :
Dada simetris, penggunaan otot bantu nafas tidak ada
Paru-paru:
Suara nafas vesikuler, ronkhi - /-, wheezing - / -
Jantung :
Warna kulit sama, penonjolan mata disekitar preiorbital tidak
ada, tidak ada pembesaran KGB dan vena jugolaris. BJ I-II
normal, murmur tidak ada, gallop tidak ada
d. Abdomen :
Abdomen lemas, tidak tampak striae, BU (+)
6x/menit,pembesaran hati dan limfa tidak teraba.
e. Muskuloskeletal
Nenek Y mempunyai masalah pada sistem muskuloskelal,
mengeluh kedua kaki dan tangan terasa kebas sejak 1 tahun yang
lalu. Oedema pada tungkai tidak ada, untuk membantu dalam
aktivitas sehari-hari nenek Y menggunakan tongkat/walker.
Kekuatan otot 4444 5555
5555 5555
Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
f. Lain-lain
g. Keadaan lingkungan :
Kamar tertata rapi dan bersih, kamar mandi tidak licin
V. INFORMASI PENUNJANG
a. Diagnosa Medis : Hipertensi, katarak, riwayat NIDDM
b. Laboratorium :
Tanggal 12/10/2012
HB : 11,35 gr/dl (12-14)
Leukosit : 5,75 ribu/uL (5000 -10.000)
Trombosit : 261.000ribu/uL (150-400.000)
Eritrosit : 3,78 juta/uL (4.00 – 5.00)
Hematokrit : 33% (32-37)
Prot total : 7,1 gr/dl (6,6 – 8,7)
Albumin : 4,5 gr/dl (3,2 – 5,2)
Globulin : 2,6 gr/dl (2,3 – 3,5)
Bil. Direk : 0,7 mg/dl ( 0,3- 1,0)
Bil. Indirek : 0,4 mg/dl ( < 0,6)
SGOT : 18 iu/L (6-21)
SGPT : 8 iu /L (4-20)
Gamma GT : 16 iu/L ( < 50)
Ureum : 36 mg/dl (10-50)
Creatinin : 1,3 mg/dl (0,5- 1,5)
Asam urat : 3,3 mg/dl (2,5 -6,6)
GD N : 115 mg/dl ( 60 -100)
GD 2jam PP : 226 mg/dl ( < 140)
Natrium : 133,8 mMol (135-145)
Kalium : 4,1 mMol (3,8-5,3)
Chol. Total : 245
HDL : 48
LDL : 119
Tanggal 14/5/13
GDS : 113 mg/dl
A. Urat : 4,3 mg/dl
Hasil foto pelvis AP tanggal 14//1/13:
Kesan : tidak tampak fraktur / dislokasi (RS Medika BSD)
c. Terapi Medis:
Leparson 2 x ½
Lapibal/methycobalt 1 x 500 mg
Amlodipine 1x5 mg
Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
PENGKAJIAN PADA LANSIA
a. Geriatric Depression Scale (GDS): 12 = depresi ringan
b. Mini Mental State Examination (MMSE): 26
c. Pengkajian Tingkat Kemandirian Indeks Katz: 1 ( gangguan fungsional
berat/ kemandirian tinggi)
d. Pengkajian Resiko Jatuh: Morse fail Scale (MFS)/ Skala Jatuh dari Morse:
80 = resiko jatuh tinggi
e. Berg Balance Test (BBT): 22. Interpretasi: lansia memiliki resiko jatuh
sedang dan perlu menggunakan alat bantu jalan seperti tongkat, kruk dan
walker.
Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
ANALISA DATA
NO DATA FOKUS MASALAH
1. DS:
- Nenek Y mengatakan tidak melakukan
sholat ke mushola karena tidak kuat
berjalan jauh
- Nenek Y mengatakan untuk melakukan
aktivitas sehari-hari dibantu caregiver
atau menggunakan tongkat/walker
- Nenek Y mengatakan pernah
mengalami riwayat jatuh selama dipanti
sebanyak 3 kali
- Nenek Y mengatakan bila tidak ada
kegiatan lebih suka rebahan dikamar
- Nenek Y mengatakan mata kiri tidak
bisa melihat karena katarak sejak tahun
1990
- Nenek Y mengatakan bila berpindah
dari tempat tidur ke kursi atau
sebaliknya perlu didampingi oleh orang
lain/caregiver
- mempunyai riwayat jatuh sehingga
takut bila melakukan aktivitas sendiri
- kebutuhan sehari hari seperti makan
masih dapat dilakukan sendiri, namun
perlu disiapkan, untuk aktivitas
toileting dan mandi ia dibantu oleh
caregiver,
DO:
- Dalam memenuhi kebutuhan sehari-
hari nenek Y dibantu caregiver
- Hasil BBT (Berg Balance Test): 22
- Hasil indeks Katz: 1: gangguan
fungsional berat
- Untuk ambulasi nenek Y
menggunakan tongkat/walker
- Untuk perubahan posisi nenek Y dari
tidur ke posisi duduk atau berdiri
nenek Y membutuhkan bantuan orang
lain
- klien mengalami penurunan kognitif
(sering lupa)
- klien mendapat terapi leparson 2x ½
tablet
- mata kiri klien tidak mampu melihat
klien dalam melakukan ambulasi
menggunakan kursi roda,
walker/tongkat dan dibantu oleh
caregiver
Hambatan mobilitas fisik
Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
- klien mengalami penurunan sensasi rasa.
- Nenek Y terlihat sempoyongan ketika
ambulasi berjalan
2. DS:
- Nenek Y mengatakan pernah
mengalami riwayat jatuh selama dipanti
sebanyak 3 kali yaitu pada tanggal
15/8/2012. 10/11/12 dan tanggal 5/4/13
- Nenek Y mengatakan tidak mampu
berdiri lama karena gemetar/
sempoyongan
- Nenek Y mengatakan didalam kamar
selalu menggunakan sandal yang tidak
licin
- Nenek Y mengatakan kaki dan tangan
terasa kebas.
DO
- Nenek Y terlihat sempoyongan ketika
ambulasi berjalan
- Hasil pengkajian MFS: 80= resiko jatuh
tinggi
- Nenek Y sudah memakai sandal karet
didalam maupun di luar kamar
- Cara bejalan nenek Y diseret dan posisi
tubuh agak membungkuk
- Nenek Y mendapat obat Leparson 2 x ½
tab
- Nenek Y menderita katarak dan tidak
bisa melihat pada mata kiri
- Hasil BBT (Berg Balance Test): 22=
lansia memiliki riwayat jatuh sedang
dan perlu menggunakan alat bantu jalan
berupa tongkat, kruk atau walker.
Resiko jatuh
3. DS:
- Nenek Y mengatakan tangan dan kaki
terasa kebas
- Nenek Y mengatakan pernah menderita
kencing manis, tetapi sekarang tidak
minum obat kencing manis lagi
- Nenek Y mengatakan makanan yang
disajikan habis ½ porsi
- Nenek Y mengatakan
DO:
- Nenek Y mendapat terapi Lapibal 1 x
500 mg
- Nenek Y riwayat menderita NIDDM
- Hasil GDS tanggal 14/5/13: 113 mg/dl
dan asam urat 4,3 mg/dl
Resiko ketidakstabilan kadar glukosa
darah
Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
NO Diagnosis Keperawatan Tujuan Kriteria Evaluasi Intervensi Rasional
Hambatan mobilitas
fisik
TUM:
Hambatan mobilitas fisik
meningkat setelah diberikan
tindakan keperawatan dalam
waktu 7 minggu
TUK:
1. Teridentifikasinya tingkat
kekuatan otot dan
kemampuan mobilitas fisik
residen
2. Residen dapat mendemostra
sikan tindakan-tindakan
untuk meningkatkan mobili
tas fisik dan mencegah
kekakuan sendi
3. Residen mampu melakukan
latihan untuk meningkatkan
kekuatan otot dan sendi
secara mandiri
Individu akan:
- Memperlihatkan
penggunaan alat bantu
secara benar dengan
pengawasan
- Meminta bantuan untuk
aktivitas mobilisasi jika
diperlukan
- Berjalan dengan
menggunakan langkah
sejauh 50-100 meter
- Mampu berpindah dari
tempat tidur ke kursi atau
berjalan
MANDIRI
Kaji kemampuan mobilitas
secara fungsional setiap pagi
Evaluasi dan validasi
keadaan residen saat ini
Kaji tingkat motivasi pasien
untuk mempertahankan atau
mengembalikan mobilitas
sendi dan otot
Diskusikan dengan residen
tentang masalah kekakuan
sendi dan otot yang dialami
klien
Diskusikan bersama residen
mengenai perawatan yang
dilakukan untuk mengurangi
nyeri sendi
Ajarkan pasien dan pantau
penggunaan alat bantu
mobilitas misalnya tongkat,
walker, kruk atau kursi roda
Ajarkan dan bantu pasien
dalam proses berpindah
misalnya dari tempat tidur ke
kursi
Ubah pasien yang imobilisa
si minimal setiap dua jam
Berikan penguatan positif
Bantu pasien menggunakan
- Menentukan pilihan intervensi yang tepat
pada residen
- Intervensi yang dilakukan sesuai dengan
keadaan residen saat ini
- Motivasi yang kuat untuk mempertahankan
atau mengembalikan mobilitas sendi dan
otot mempercepat proses penyembuhan dan
meningkatkan partisipasi residen dalam
melakukan aktivitas
- Untuk mengetahui secara jelas penyebab
kekakuan pada sendi dan otot yang dialami
- Mengetahui sejauh mana usaha residen
menyelesaikan masalah
- Mendukung alat mobilitas yang tepat
- Mengajarkan pasien menggunakan postur
tubuh dan mekanika tubuh yang benar
- Mencegah terjadinya penekanan pada kulit
dan mencegah terjadinya dekubitus
- Meningkatkan motivasi dan harga diri
pasien
Lamp 2
Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
alas kaki anti selip yang
mendukung untuk berjalan
Ajarkan dan latih dalam
latihan ROM aktif atau pasif
Motivasi residen memprak
tekkan latihan ROM yang
telah diajarkan bersama-
sama
Motivasi residen melakukan
latihan ROM tiap pagi
setelah bangun tidur dan sore
hari sebelu mandi
Dokumentasikan tingkat
kekuatan otot residen
KOLABORASI
Konsultasikan ke ahli terapi
fisik dan okupasi
Berikan analgesik sebelum
memulai latihan fisik
- Mencegah terjadinya cedera jatuh saat
ambulasi
- Meningkatkan pengetahuan residen dalam
mmpertahankan dan meningkatkan
kekuatan dan ketahanan otot serta
meningkatkan sirkulasi
- Meningkatkan dan mempertahankan
kekuatan otot dan sendi serta meningkatkan
sirkulasi secara berkelompok
- Meningkatkan dan mempertahankan
kekuatan otot dan sendi serta meningkatkan
sirkulasi secara mandiri
- Melihat perkembangan sebelum dan
sesudah dilakukan intervensi
- Sumber untuk mengembangkan
perencanaan aktivitas pasien
- Membantu mengurangi nyeri sebelum
melakukan mobilitas
Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
NO Diagnosis Keperawatan Tujuan Kriteria Evaluasi Intervensi Rasional
Resiko jatuh TUM:
Resiko jatuh tidak terjadi
setelah diberikan tindakan
keperawatan dalam waktu
7x24 jam
TUK:
1. Meningkatnya pengetahuan
residen tentang resiko jatuh
2. Meningkatnya kekuatan
otot dan keseimbangan
pada residen
3. Meningkatnya kebersihan
dan kerapihan kamar
4. Meningkatnya kekuatan
otot dan keseimbnagan
pada residen
5. Meningkatnya kewaspada
an resiko jatuh pada residen
Pasien tidak jatuh ketika:
Berdiri tegak
Berjalan
Duduk
Berpindah tempat
Dari tempat tidur
Menaiki anak tangga
Menuruni anak tangga
MANDIRI
Identifikasi karakteristik
lingkungan yang dapat
meningkatkan resiko jatuh
Lakukan pengkajian resiko
jatuh pada pasien yang
masuk panti
Berikan penjelasan pada
residen tentang resiko jatuh
dan kondisi ruangan yang
menyebabkan resiko jatuh
Kaji kemampuan penglihat
an dan ingatkan untuk
menggunakan kacamata
ketika ambulasi
Kaji adanya dan atasi
inkontinensia urin
Pantau cara berjalan,
keseimbangan, dan tingkat
keletihan saat ambulasi
Bantu pasien saat ambulasi
secara aman dengan atau
tanpa alat bantu bila perlu
Sediakan alat bantu berjalan
misalnya tongkat, walker
dan demonstrasikan cara
berpegangan pada handrail
untuk mencegah jatuh
Jauhkan bahaya lingkungan
misalnya menyediakan
- Menentukan dan memantau lingkungan
fisik untuk meningkatkan kewaspadaan
residen terhadap resiko jatuh
- Memberikan pengawasan yang ketat
terhadap pasien yang memiliki resiko
tinggi jatuh
- Meningkatkan pengetahuan tentang resiko
jatuh sehingga meningkatkan kerjasama
klien dalam mencegah jatuh
- Mencegah terjadinya resiko jatuh akibat
gangguan penglihatan
- Peningkatan resiko jatuh meningkat dengan
keadaan inkontinensia urin
- Mengetahui resiko jatuh pada pasien saat
ambulasi
- Menghindari resiko cedera jatuh
- Penggunaan alat bantu jalan membantu
pasien dalam ambulasi dengan menjaga
keseimbangan tubuh
- Lingkungan yang aman menurunkan resiko
jatuh pada pasien
Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
penerangan yang adekuat,
lantai yang tidak licin,
tersdianya handrail dikamar
dan kamar mandi
Bantu pasien menggunakan
alas kaki anti selip yang
mendukung untuk berjalan
Motivasi residen mengikuti
senam lansia untuk
meningkatkan kekuatan otot
dan keseimbangan
Motivasi residen untuk
melakukan ROM dikamar
baik dalam keadaan
berbaring atau duduk
Lakukan kerjasama sama
dengan caregiver/residen
untuk merapikan kamar
Jelaskan pada residen agar
mengganti keset kaki lama
yang telah aus dengan keset
kaki yang memiliki alas
karet dibawahnya
Beri tanda”area licin dan
basah ” dengan warna terang
dan ukuran besar pada lantai
yang sedang dipel atau lantai
yang tergenang air
KOLABORASI
Konsultasikan ke ahli fisio
terapi
- Mencegah terjadinya cedera jatuh saat
mobilitas
- Meningkatkan kekuatan otot dan
keseimbangan
- Meningkatkan kekuatan otot dan
keseimbangan
- Kamar yang rapi memudahkan residen
berjalan dan mengurangi resiko tersandung
- Keset kaki yang telah aus bagian karetnya
cenderung mudah bergeser dan tertekuk
sehingga meningkatkan resiko jatuh
- Menghindari resiko jatuh akibat tergelincir
- Melatih cara berjalan dan latihan fisik
untuk memperbaiki mobilitas, keseimbang
an, dan kekuatan.
Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
Mini Mental State Examination (MMSE)
Max Score
Orientation
5 ( 4 ) Sebutkan (tahun) (bulan) (tanggal) (hari) (musim/ jam)?
5 ( 5 ) Dimanakah kita sekarang (kamar) (wisma) (kota)
(provinsi) (negara)?
Registration
3 ( 3 ) Sebutkan 3 ojek benda.: 1 detik utuk menyebutkan masing-
masing. Kemudian tanyakan kepada lansia setelah kita
menyebutkan 3 benda tersebut. Beri nilai 1 untuk masing-
masing jawaban yang benar. Ulangi sampai lansia dapat
menyebutkan semuanya. HItung berapa kali lansia mencoba
menyebutkan. Mencoba __lemari, meja kursi____
Attention and Calculation
5 ( 4 ) Menghitung kelipatan 7 sampai 5 kali, atau jika tidak
mampu dengan hitungan uang. Atau jika tidak bias
memakai angka minta nenek menyebutkan bacaan kebalik
dari satu kata
Recall
3 ( 3 ) Sebutkan kembali 3 benda yang disebutkan di awal. Beri 1
poin untuk jawaban yg benar
Language
2 ( 2 ) Menyebutkan 2 benda yang ada di meja/sekitar
1 ( 1 ) Buat/Ulangi satu kalimat tidak boleh ada penghubung
(jangan lebih dari 5 kata).Contoh matahari terbit dari timur
3 ( 3 ) Ikuti 3 Perintah “ Ambil kertas di tangan mu, lipat menjadi
dua dan letakan diatas lantai”
1 ( 0 ) Baca dan ikuti perintah: Tutup matamu
1 ( 1 ) Tulis kalimat
1 ( 0 ) Gambarkan kembali gambar berikut. (yang dinilai jumlah
sisi dan ada yang beririsan)
Lamp 3
Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
Interpretasi Hasil
Nilai hasil: 26
Nilai maksimal 30
Nilai < 23 : gangguan kognitif
Nilai 23-30 : Normal
Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
PENGKAJIAN PADA LANSIA
Geriatric Depression Scale
Beri tanda ceklist (√) antara jawaban ya atau tidak pada tiap pertanyaan.
Beri tanda silang ( √ ) di Kolom yang telah diberikan Ya Tidak
1. Apakah anda puas dengan kehidupan anda? V
2. Apakah anda mengurangi banyak aktivitas dan hobi anda? V
3. Apakah anda merasa kehidupan anda terasa hampa? V
4. Apakah anda senantiasa bosan? V
5. Apakah anda memiliki harapan pada masa depan? V
6. Apakah anda terganggu dengan pikiran yang tidak dapat
dilupakan?
V
7. Apakah anda bersemangat setiap waktu? V
8. Apakah anda takut tentang sesuatu yang buruk yang akan
menimpa anda?
V
9. Apakah anda merasa bahagia setiap waktu? V
10. Apakah anda merasa tidak berdaya? V
11. Apakah anda merasa gelisah dan gugup? V
12. Apakah anda lebih memilih di dalam rumah daripada
berjalan-jalan ke luar dan melakukan sesuatu yang baru?
V
13. Apakah anda selalu khawatir akan masa depan anda? V
14. Apakah anda memiliki masalah pada ingatan? V
15. Apakah anda berfikir bahwa luar biasa anda diberikan
kehidupan sampai sekarang?
V
16. Apakah anda selalu merasa kecewa dan sedih? V
17. Apakah anda merasa tidak berguna? V
18. Apakah anda mengkhawatirkan masa lalu anda? V
19. Apakah anda menemukan kehidupan yang menyenangkan? V
20. Apakah anda memiliki kesulitan untuk memulai hal yang
baru?
V
21. Apakah anda memiliki energi maksimal? V
Lamp 4
Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
22. Apakah anda merasa situasi anda saat ini tidak tertolong? V
23. Apakah anda berfikir bahwa orang lain lebih baik dari
anda?
V
24. Apakah anda selalu menangisi hal-hal kecil? V
25. Apakah anda selalu merasa ingin menangis? V
26. Apakah anda memiliki kesulitan dalam berkonsentrasi? V
27. Apakah anda menikmati suasana bangun di pagi hari? V
28. Apakah anda lebih memilih untuk menghindari
perkumpulan sosial?
V
29. Apakah anda mudah untuk membuat keputusan? V
30. Apakah pikiran anda jernih? V
Total nilai : 5
Interpretasi Hasil
Nilai 0-9 : normal
Nilai 10-19 : depresi ringan
Nilai 20-30 : depresi berat
Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
D. Pengkajian Resiko Jatuh: Morse Fall Scale (MFS) Skala Jatuh dari Morse
Pengkajian Skala Nilai
1. Riwayat jatuh; apakah lansia pernah jatuh dalam
3 bulan terakhir
Tidak 0
Ya 25
0
__________
2. Diagnosa sekunder; apakah lansia memiliki lebih
dari satu penyakit
Tidak 0
Ya 15
15
__________
3. Alat bantu jalan;
- Bed rest/ dibantu perawat
- Kruk/ tongkat/ walker
- Berpegangan pada benda-benda di sekitar
(kursi, lemari, meja)
0
15
30
30
________
4. Terapi intravena; apakah saat ini lansia terpasang
infus?
Tidak 0
Ya 20
0
__________
5. Gaya berjalan/ cara berpindah
- Normal/ bed rest/ immobile (tidak dapat
bergerak sendiri)
- Lemah (tidak bertenaga)
- Gangguan/ tidak normal (pincang/
diseret)
0
10
20
10
_________
6. Status Mental
- Lansia menyadari kondisi dirinya sendiri
- Lansia mengalami keterbatasan daya
ingat
0
15
__0_______
Total Nilai 55
Interpretasi Hasil
Nilai 0-24 : Tidak memiliki risiko jatuh
Nilai 25-50: Risiko jatuh rendah
Nilai ≥51 : Risiko jatuh tinggi
Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
Pengkajian Resiko Jatuh: Morse Fall Scale (MFS) Skala Jatuh dari Morse
Pengkajian Skala Nilai
1. Riwayat jatuh; apakah lansia pernah jatuh dalam
3 bulan terakhir
Tidak 0
Ya 25
25
__________
2. Diagnosa sekunder; apakah lansia memiliki lebih
dari satu penyakit
Tidak 0
Ya 15
15
__________
3. Alat bantu jalan;
- Bed rest/ dibantu perawat
- Kruk/ tongkat/ walker
- Berpegangan pada benda-benda di sekitar
(kursi, lemari, meja)
0
15
30
15
________
4. Terapi intravena; apakah saat ini lansia terpasang
infus?
Tidak 0
Ya 20
0
__________
5. Gaya berjalan/ cara berpindah
- Normal/ bed rest/ immobile (tidak dapat
bergerak sendiri)
- Lemah (tidak bertenaga)
- Gangguan/ tidak normal (pincang/
diseret)
0
10
20
15
_________
6. Status Mental
- Lansia menyadari kondisi dirinya sendiri
- Lansia mengalami keterbatasan daya
ingat
0
15
__15_____
Total Nilai 80
Interpretasi Hasil
Nilai 0-24 : Tidak memiliki risiko jatuh
Nilai 25-50: Risiko jatuh rendah
Nilai ≥51 : Risiko jatuh tinggi
Lamp 5
Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
A. Pengkajian Tingkat Kemandirian: Indeks Katz
Aktivitas
Skor (1 atau 0)
Mandiri
(Skor 1) Tanpa pengawasan,
pengarahan, atau
bantuan orang lain.
Tergantung
(Skor 0) Dengan
Pengawasan, pengarahan,
dan bantuan orang lain.
MANDI
Skor:
_0______
(Skor 1) Melakukan mandi
secara mandiri atau
memerlukan bantuan hanya
untuk bagian tertentu saja
misalnya punggung atau
bagian yang mengalami
gangguan.
(Skor 0) Perlu bantuan lebih
dari satu bagian tubuh, perlu
bantuan total.
BERPAKAIAN
Skor:
__0_______
(Skor 1) Bisa memakai
pakaian sendiri, kadang perlu
bantuan untuk menalikan
sepatu.
(Skor 0) Perlu bantuan lebih
dalam berpakaian atau
bahkan perlu bantuan total.
KE TOILET
Skor:
___0______
(Skor 1) Bisa pergi ke toilet
sendiri , membuka
melakukan BAB BAK
sendiri.
(Skor 0) Perlu bantuan
dalam eliminasi
BERPINDAH
Skor:
____0_____
(Skor 1) Bisa berpindak
tempat sendiri tanpa bantuan,
alat bantu gerak
diperkenankan
(Skor 0) Perlu bantuan
dalam berpindah dari bed ke
kursi roda, bantuan dalam
berjalan.
KONTINEN
Skor:
_____1_____
(Skor 1) Bisa mengontrol
eliminasi
(Skor 0) inkontinensia
sebagian atau total baik
bladder maupun bowel.
MAKAN
Skor:
______1____
(Skor 1) bisa melakukan
makan sendiri. Makanan
dipersiapkan oleh orang lain
diperbolehkan.
(Skor 0) Perlu bantuan
dalam makan, nutrisi
parenteral
Lamp 6
Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
Total Skor:___1__
Interpretasi Hasil
Nilai 6 : Kemandirian penuh
Nilai 4: Gangguan fungsional sebagian (kemandirian sebagian)
Nilai 0-2 : Gangguan fungsional berat (Ketergantungan tinggi)
Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
BERG BALANCE SCALE (BBS)
Perintah dalam Berg Balance Scale
1. Duduk ke berdiri
Instruksi: tolong berdiri, cobalah untuk tidak menggunakan tangan sebagai
sokongan
( ) 4 mampu berdiri tanpa menggunakan tangan
( v ) 3 mampu untuk berdiri namun menggunakan bantuan tangan
( ) 2 mampu berdiri menggunakan tangan setelah beberapa kali
mencoba
( ) 1 membutuhkan bantuan minimal untuk berdiri
( ) 0 membutuhkan bantuan sedang atau maksimal untuk berdiri
2. Berdiri tanpa bantuan
Instruksi: berdirilah selama dua menit tanpa berpegangan
( ) 4 mampu berdiri selama dua menit
( v ) 3 mampu berdiri selama dua menit dengan pengawasan
( ) 2 mampu berdiri selama 30 detik tanpa bantuan
( ) 1 membutuhkan beberapa kali untuk mencoba berdiri selama 30
detik tanpa bantuan
( ) 0 tidak mampu berdiri selama 30 detik tanpa bantuan
3. Duduk tanpa sandaran punggung tetapi kaki sebagai tumpuan di lantai
Instruksi: duduklah sambil melipat tangan Anda selama dua menit
(v ) 4 mampu duduk dengan aman selama dua menit
( ) 3 mampu duduk selama dua menit di bawah pengawasan
( ) 2 mampu duduk selama 30 detik
( ) 1 mampu duduk selama 10 detik
( ) 0 tidak mampu duduk tanpa bantuan selama 10 detik
4. Berdiri ke duduk
Instruksi: silahkan duduk
( v ) 4 duduk dengan aman dengan pengguanaan minimal tangan
( ) 3 duduk menggunakan bantuan tangan
( ) 2 menggunakan bantuan bagian belakan kaki untuk turun
Lamp 7
Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
( ) 1 duduk mandiri tapi tidak mampu mengontrol pada saat dari berdiri
ke duduk
( ) 0 membutuhkan bantuan untuk duduk
5. Berpindah
Instruksi: buatlah kursi bersebelahan. Minta klien untuk berpindah ke kursi
yang memiliki penyagga tangan kemudian ke arah kursi yang tidak
memiliki penyangga tangan
( ) 4 mampu berpindah dengan sedikit penggunaan tangan
( ) 3 mampu berpindah dengan bantuan tangan
( ) 2 mampu berpindah dengan isyarat verbal atau pengawasan
( v ) 1 membutuhkan seseorang untuk membantu
( ) 0 membutuhkan dua orang untuk membantu atau mengawasi
6. Berdiri tanpa bantuan dengan mata tertutup
Instruksi: tutup mata Anda dan berdiri selama 10 detik
( ) 4 mampu berdiri selama 10 detik dengan aman
( v ) 3 mampu berdiri selama 10 detik dengan pengawasan
( ) 2 mampu berdiri selama 3 detik
( ) 1 tidak mampu menahan mata agar tetap tertutup tetapi tetap berdiri
dengan aman
( ) 0 membutuhkan bantuan agar tidak jatuh
7. Berdiri tanpa bantuan dengan dua kaki rapat
Instruksi: rapatkan kaki Anda dan berdirilah tanpa berpegangan
( ) 4 mampu merapatkan kaki dan berdiri satu menit
( v ) 3 mampu merapatkan kaki dan berdiri satu menit dengan
pengawasan
( ) 2 mampu merapatkan kaki tetapi tidak dapat bertahan selama 30 detik
( ) 1 membutuhkan bantuan untuk mencapai posisi yang diperintahkan
tetapi mampu berdiri selama 15 detik
( ) 0 membutuhkan bantuan untuk mencapai posisi dan tidak dapat
bertahan selama 15 detik
Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
8. Meraih ke depan dengan mengulurkan tangan ketika berdiri
Instruksi: letakkan tangan 90 derajat. Regangkan jari Anda dan raihlah
semampu Anda (penguji meletakkan penggaris untuk mengukur jarak
antara jari dengan tubuh)
( ) 4 mencapai 25 cm (10 inchi)
( ) 3 mencapai 12 cm (5 inchi)
( ) 2 mencapai 5 cm (2 inchi)
( ) 1 dapat meraih tapi memerlukan pengawasan
( v ) 0 kehilangan keseimbangan ketika mencoba/memerlukan bantuan
9. Mengambil objek dari lantai dari posisi berdiri
Instruksi: Ambilah sepatu/sandal di depan kaki Anda
( ) 4 mampu mengambil dengan mudah dan aman
( ) 3 mampu mengambil tetapi membutuhkan pengawasan
( ) 2 tidak mampu mengambil tetapi meraih 2-5 cm dari benda dan dapat
menjaga keseimbangan
( ) 1 tidak mampu mengambil dan memerlukan pengawasan ketika
mencoba
( v ) 0 tidak dapat mencoba/membutuhkan bantuan untuk mencegah
hilangnya keseimbangan atau terjatuh
10. Melihat ke belakang melewati bahu kanan dan kiri ketika berdiri
Instruksi: tengoklah ke belakang melewati bahu kiri. Lakukan kembali ke
arah kanan
( ) 4 melihat ke belakang dari kedua sisi
( ) 3 melihat ke belakang hanya dari satu sisi
( ) 2 hanya mampu melihat ke samping tetapi dapat menjaga
keseimbangan
( ) 1 membutuhkan pengawasan ketika menengok
(v ) 0 membutuhkan bantuan untuk mencegah ketidakseimbangan atau
terjatuh
Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
11. Berputar 360 derajat
Instruksi: berputarlah satu lingkaran penuh, kemudian ulangi lagi dengan
arah yang berlawanan
( ) 4 mampu berputar 360 derajat dengan aman selama 4 detik atau
kurang
( ) 3 mampu berputar 360 derajat hanya dari satu sisi selama empat
detik atau kurang
( ) 2 mampu berputar 360 derajat, tetapi dengan gerakan yang lambat
( ) 1 membutuhkan pengawasan atau isyarat verbal
( v ) 0 membutuhkan bantuan untuk berputar
12. Menempatkan kaki secara bergantian pada sebuah pijakan ketika beridiri
tanpa bantuan
Instruksi: tempatkan secara bergantian setiap kaki pada sebuah pijakan.
Lanjutkan sampai setiap kaki menyentuh pijakan selama 4 kali.
( ) 4 mampu berdiri mandiri dan melakukan 8 pijakan dalam 20 detik
( ) 3 mampu berdiri mandiri dan melakukan 8 kali pijakan > 20 detik
( ) 2 mampu melakukan 4 pijakan tanpa bantuan
( ) 1 mampu melakukan >2 pijakan dengan bantuan minimal
( v ) 0 membutuhkan bantuan untuk mencegah jatuh/tidak mampu
melakukan
13. Berdiri tanpa bantuan satu kaki di depan kaki lainnya
Instruksi: tempatkan langsung satu kaki di depan kaki lainnya. Jika merasa
tidak bisa, cobalah melangkah sejauh yang Anda bisa
( ) 4 mampu menempatkan kedua kaki (tandem) dan menahan selama
30 detik
( ) 3 mampu memajukan kaki dan menahan selama 30 detik
( ) 2 mampu membuat langkah kecil dan menahan selama 30 detik
( ) 1 membutuhkan bantuan untuk melangkah dan mampu menahan
selama 15 detik
( v ) 0 kehilangan keseimbangan ketika melangkah atau berdiri
Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013
14. Berdiri dengan satu kaki
Instruksi: berdirilah dengan satu kaki semampu Anda tanpa berpegangan
( ) 4 mampu mengangkat kaki dan menahan >10 detik
( ) 3 mampu mengangkat kaki dan menahan 5-10 detik
( ) 2 mampu mengangkat kaki dan menahan >3 detik
( ) 1 mencoba untuk mengangkat kaki, tidak dapat bertahan selama 3
detik tetapi dapat berdiri mandiri
( v ) 0 tidak mampu mencoba
Total Skor:___22_____
Interpretasi Hasil
Nilai 0-20 : Lansia memiliki risiko jatuh tinggi dan perlu menggunakan alat antu
jalan berupa kursi roda
Nilai 21-40 : Lansia memiliki risiko jatuh sedang dan perlu menggunakan alat
bantu jalan seperti tongkat, kruk dan walker
Nilai 41-56 : Lansia memiliki risiko jatuh rendah dan tidak memerlukan alat bantu
Analisis praktik..., Indryani Dewy, FIK UI, 2013