1
BAB 1
PENDAHULUAN
1. PERMASALAHAN
1.1. Latar Belakang Permasalahan
Konteks Global Dewasa Ini
Masa sekarang ini akrab dikenal sebagai masa postmodern. Kalau kita artikan
secara harfiah maka masa postmodern adalah masa setelah era modern. Namun yang
umum dimengerti mengenai masa postmodernitas adalah suatu reaksi terhadap
modernitas dan segala dampaknya. Ada yang memahami reaksi tersebut sebagai
evaluasi, namun ada pula yang memaknainya sebagai perlawanan terhadap
modernitas. Satu Hal yang pasti bahwa postmodern bukan berarti telah berlalunya
modernitas. Justru sebaliknya, modernitas dan segala cirinya seperti : rasionalitas,
kebebasan individu, demokrasi, pembangunan, globalisasi, superioritas negara Barat
atas negara dunia ketiga dan sebagainya masih ada dan menjadi pilihan hidup hampir
setiap orang di belahan bumi ini.
Kembali ke hal postmodern, penulis akan mengutip defenisi yang dipakai oleh
I. Bambang Sugiharto. Menurut Sugiharto, masa postmodern bisa diartikan sebagai
ketidakpercayaan terhadap segala bentuk narasi besar; penolakan filsafat metafisis,
filsafat sejarah dan segala bentuk pikiran yang mentotalisasi seperti Hegelianisme,
Liberalisme, Marxisme atau apapun. Di samping menolak pemikiran yang totaliter,
postmodernisme juga menghaluskan kepekaan kita terhadap perbedaan dan
memperkuat kemampuan toleransi kita terhadap kenyataan yang tak terukur1.
1 Sugiharto I. Bambang, Postmodernisme, Tantangan Bagi Filsafat, Yogyakarta, Kanisius, 1996, hal. 28.
2
Melengkapi defenisi di atas, postmodern ditandai dengan gejala
postmodernitas. Menurut Daniel J. Adams2, gejala tersebut antara lain: pertama,
penolakan terhadap superioritas dunia Barat atas budaya-budaya setempat di seluruh
belahan dunia. Dengan kata lain, budaya Barat hanyalah salah satu jenis budaya di
muka bumi ini yang sama dan sejajar dengan budaya lainnya. Kedua,
dipertanyakannya seluruh konsep-konsep yang pada zaman modern memiliki otoritas
yang tidak terbantahkan. Salah satu contoh konsep tersebut adalah ‘pembangunan’.
Pada masa ini kata ‘pembangunan’ bukan lagi otomatis positif mengingat dampak
negatif yang ditimbulkannya seperti kemiskinan dan kerusakan lingkungan hidup
yang sangat parah3. Ketiga, masa postmodern juga ditandai dengan bebasnya budaya,
agama dan seluruh sumber informasi dari kontrol kaum intelektual dan elit politik.
Sehingga saat ini tidak ada lagi pengekangan-pengekangan seperti halnya orangtua
tidak lagi mengekang anaknya, guru tidak mengekang muridnya atau bahkan pendeta
tidak lagi mengekang jemaatnya. Keempat, masa postmodern ditandai dengan upaya
dekonstruksi terhadap seluruh wacana. Saat ini tidak ada lagi kebenaran yang mutlak
benar dan obyektif. Sebagai gantinya, seluruh wacana terbuka untuk ditafsirkan.
Menurut Adams, keempat karakteristik di atas memunculkan empat
konsekuensi pula pada bidang teologi yaitu : bergesernya epistemologi teologi dari
dominasi deduktif menjadi induktif, di mana tiap konteks menjadi sangat berharga
dan unik. Kedua, ditolaknya kebebasan mutlak manusia sebagai individu. Manusia
harus dipahami sebagai bagian dari kelompok sosial yang lebih besar dan juga bagian 2 Adams Daniel J., Doing Theology In Postmodern Times, Hanil University Press, Korea, 2006, p. 14-20 3 Selain kata ‘pembangunan’, Adams juga menyebutkan kata ‘rasio’ sebagai nilai yang tidak boleh dimutlakkan lagi. Menurut Adams, rasio bukan lagi satu-satunya nilai yang dipakai dalam mengambil suatu keputusan. Di samping rasio, unsur perasaan atau emosi seseorang harus turut berperan. Berdasarkan hal ini jugalah, Adams mengajak gereja-gereja reformed (yang menurutnya identik dengan modernitas) untuk tidak lagi mengutamakan rasio dalam memahami Alkitab dan sejarah, melainkan harus mulai mempertimbangkan unsur ikon dan menyeimbangkan keduanya. Dengan kata lain Adams hendak menekankan bahwa unsur rasio harus diseimbangkan dengan unsur spiritual. Band. Adams, Ibid, p. 67.
3
dari sistem budaya, ekonomi, agama dan sebagainya. Ketiga, teologi lebih
menekankan pada praksis yang terkait dengan konteks daripada teori dan dogma.
Keempat adalah munculnya penolakan yang sangat kuat terhadap dominasi pemikiran
teologi Barat atas pemikiran teologi lokal. Dengan kata lain, teologi lokal yang sadar
akan konteks dan berdialog dengan konteks diakui sebagai cara berteologi yang lebih
tepat dan bijaksana4.
Seluruh pemikiran ini sesungguhnya muncul sebagai tanggapan atas masalah
modernitas yang berdampak buruk kepada manusia dan seluruh ciptaan. Modernitas
yang merupakan produk pencerahan dunia Barat telah menjadikan manusia sebagai
makhluk-makhluk individu yang bersaing untuk keuntungan pribadi tanpa peduli
pada bencana yang diakibatkannya bagi dunia. Di Indonesia, dampak dari modernitas
telah membawa negara ini pada titik kemiskinan yang sangat parah, kerusakan
lingkungan hidup, konflik agama yang berkepanjangan dan penderitaan yang
semakin berat terutama bagi kaum marginal5.
Itulah sebabnya, Adams berpendapat bahwa dalam berteologi, terutama dalam
konteks Asia, bukan lagi dogma yang paling penting melainkan tindakan etis.
Sependapat dengan Adams, Emanuel Gerrit Singgih mengatakan bahwa tindakan etis
yang dibutuhkan saat ini adalah tindakan etis yang didasari atas kesadaran global dan
yang memberi penekanan pada sisi kemanusiaan (humaneness)6. Instansi-instansi
keagamaanpun diharapkan memberikan perhatian yang besar terhadap sisi
kemanusiaan ini di samping hal-hal yang bersifat ritus. Di sini dapat kita pahami
bahwa kedua tokoh di atas berusaha menyadarkan para pemeluk agama di Asia agar
4 Ibid, p. 21-23 5 Singgih Emanuel Gerrit Pdt. Ph.D. Mengantisipasi Masa Depan, Berteologi Dalam Konteks di Awal Milenium III, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2004, hal. 56-73 6 Singgih Emanuel Gerrit, Ibid hal. 17
4
berhenti untuk sekedar berwacana dan mulai melakukan tindakan kemanusiaan
kepada korban-korban modernitas, terutama penderita kemiskinan yang sangat parah.
Singgih mencontohkan bahwa di Indonesia, 450 anak kecil meninggal dunia
setiap hari akibat menderita kelaparan. Apa tindakan orang Kristen Indonesia
terhadap permasalahan ini? Bukankah tugas setiap orang Kristen, baik di zaman
pramodern, modern dan postmodern adalah membuat kehadiran Allah benar-benar
dapat dilihat (menjadi terang) dan dirasakan (menjadi garam) oleh orang-orang yang
sedang mengalami penderitaan? Untuk itu, gereja harus mulai memikirkan makna
keberadaannya dalam situasi yang demikian. Apakah gereja masih teguh pada
pendirian bahwa tanda keberadaan gereja cukup pada 3 hal saja yaitu : adanya
pemberitaan Firman, dilakukannya sakramen (baptisan kudus dan perjamuan kudus)
dan diberlakukannya siasat gereja?7
Dalam bukunya, ‘Do we need the church?8’, Richard P. McBrien mengatakan
bahwa gereja tidak bermakna apabila gereja memahami dirinya sebagai ‘Kerajaan
Allah pada dirinya sendiri’ dan ‘keselamatan’ hanya didapat apabila seseorang
menjadi anggota dari gereja tersebut. McBrien mengistilahkan cara bergereja seperti
ini dengan istilah ‘Ptolemaic Church’ dan juga ‘Pre-Einstein Church’ yang
memandang gereja sebagai pusat dari dunia ini. Sebaliknya, dia menyarankan agar
gereja memahami dirinya sebagai ‘tanda’ dari kerajaan Allah (bukan kerajaan Allah
itu sendiri). Sebagai tanda, para anggotanya harus berusaha menghadirkan dan
memperkenalkan Allah kepada orang-orang di sekitar tanda tersebut. Dengan
demikian, menjadi anggota gereja berarti harus ‘bekerja’. Bekerja dengan orang lain
dalam 3 wujud aktifitas yaitu : diakonia, koinonia dan marturia.
7 The Book of Concord, The Confessions of the Evangelical Lutheran Church, Tappert G. Theodore (Ed), dalam bahasa Indonesia berjudul, Buku Konkord, Konfesi Gereja Lutheran, Jakarta, BPK. Gunung Mulia, 2004, hal. 40. 8 McBrien P. Richard, Do We Need The Church, London, Collin Clear-Type Press, 1969, p.228-230.
5
Khusus untuk konteks Indonesia, sebegitu parahnya kemiskinan yang melanda
sehingga dari ketiga tugas panggilan gereja tersebut, maka diakonialah yang harus
didahulukan. Gereja di Indonesia mutlak harus berdiakonia, bukan hanya kepada
sesama anggota jemaat melainkan juga berdiakonia kepada orang lain yang bukan
anggota jemaat. Gerrit Singgih bahkan menyimpulkan bahwa bermisi di Indonesia
tidak lain adalah berdiakoni9. Sedangkan lebih jauh Banawiratma memperjelas bahwa
untuk konteks Indonesia, tidak lagi cukup hanya melakukan diakonia secara karitatif
dan reformatif, melainkan harus berjuang sampai pada taraf transformatif. Gereja
harus memberdayakan masyarakat miskin untuk menyadari kemiskinannya dan
berusaha keluar dari keadaan tersebut10.
Dari penjelasan di atas kita memang mendapatkan kesan bahwa gereja di
Indonesia lebih menekankan pada salah satu tri tugas panggilan gereja saja yaitu
diakonia (pelayanan ke dalam dan keluar jemaat) dan melupakan dua tugas yang lain
yaitu koinonia (persekutuan jemaat) dan marturia (kesaksian). Namun sesungguhnya
bukanlah demikian. Gereja tidak dapat menjalankan fungsi diakonia dan
meninggalkan koinonia dan marturia, sebab sesungguhnya diakonia tanpa koinonia
dan marturia bukanlah diakonia yang Alkitabiah. Pelayanan harus selalu identik
dengan persekutuan dan kesaksian. Melalui kesaksian, pelayanan kepada orang
miskin dikumandangkan dan melalui pelayanan, persekutuan diteguhkan.
Noordegraaf menyebutnya dengan istilah ‘persekutuan diakonal’ dan ‘diakonal
sebagai kesaksian’.11
9 Singgih E. Gerrit, Doing Theology In Indonesia, Sketches For An Indonesian Contextual Theology, Philippines, ATESEA, 2003, p. 129 10 Banawiratma J.B., 10 Agenda Pastoral Transformatif Menuju Pemberdayaan Kaum Miskin Dengan Perspektif Adil Gender, HAM dan Lingkungan Hidup, Kanisius, Jogjakarta, 2002, hal. 15. 11 Noordegraaf A. Dr., Orientasi Diakonia Gereja, Teologi Dalam Perspektif Reformasi, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2004, hal. 58-74.
6
Jelaslah bahwa dalam konteks Indonesia, permasalahan utama yang dihadapi
oleh gereja adalah kemiskinan dan penderitaan yang cukup parah yang diakibatkan
oleh ekonomi kapitalis. Hal ini diperburuk lagi dengan rusaknya lingkungan hidup
akibat dari proyek-proyek pembangunan yang menguntungkan segelintir orang kaya
saja. Dalam keadaan seperti ini, gereja sangat tidak etis apabila hanya memikirkan
diri sendiri dan organisasinya. Gereja yang manusiawi adalah gereja yang
memikirkan kualitas anggotanya lebih dari pada kuantitas anggotanya. Dengan
demikian, konsep pembangunan jemaat dalam konteks Indonesia tidak terutama
difokuskan pada koinonia. Untuk konteks Indonesia, fokus gereja adalah pada
diakonia (di mana jemaat dimampukan untuk melayani dan mengatasi kemiskinan
melalui koinonia dan marturianya).
Setelah berbicara mengenai tugas gereja sebagai tanda kerajaan Allah melalui
3 tugas panggilannya, maka pembicaraan bergeser pada pertanyaan ‘bagaimana cara
yang paling efektif dan efisien dalam mewujudkan 3 tugas panggilan tersebut?
Menurut Gerald A. Arbuckle, gereja harus memiliki visi dan misi yang jelas tentang
apa yang mau dituju dan dikerjakan. Dan yang paling penting, visi dan misi itu harus
terus-menerus dikomunikasikan kepada seluruh anggota agar benar-benar menyatu
dengan kehidupan mereka. Dengan demikian, Arbuckle sampai pada kesimpulan,
gereja sebagai sebuah ‘persekutuan besar’ tidak akan bisa efektif dan efisien
mengkomunikasikan visi dan misi kepada angotanya. Gereja harus dipecah menjadi
kelompok-kelompok kecil agar proses pengkomunikasian visi dan misi dapat berjalan
dengan lancar12.
Pertanyaannya kemudian adalah, mengapa harus ada pengkomunikasian visi
dan misi? Mungkin anggota-anggota gereja di Indonesia juga akan sedikit heran
12 Arbuckle A. Gerald, Refounding The Church, Dissent for leadership, London, Geoffrey Chapman, 1993, p. 101-102.
7
dengan hal ini sebab sebahagian besar anggota gereja di Indonesia sesungguhnya
tidak tahu apa visi dan misi gerejanya dan merasa tidak perlu tahu. Mungkin mereka
mengira bahwa urusan visi dan misi adalah urusan para pejabat ataupun pelayan
tahbisan di gereja. Dengan demikian mereka juga mungkin mengira bahwa urusan
pelayanan juga adalah urusan para pengurus di gereja. Tugas mereka sebagai jemaat
yang baik adalah hanya akan mengikuti secara sambil lalu saja program-program
pelayanan yang sudah mereka rencanakan.
Pandangan inilah yang mau ditentang oleh Arbuckle. Dia mengatakan bahwa
tugas pelayanan harus diambil alih oleh seluruh anggota jemaat. Beliau mengutip
cerita Alkitab mengenai Musa yang merasa putus asa dengan orang Israel. Kemudian
mertuanya, Jethro menasehatinya dengan berkata bahwa Musa hanya akan kelelahan
dengan pekerjaan berat yang dia tanggung. Bukan hanya Musa yang kelelahan,
melainkan umat Israel yang bersama dengan dia juga akan kelelahan (Kel. 18:18).
Jethro kemudian menyarankan Musa untuk tidak bekerja sendiri dan mencoba
mengangkat orang-orang yang akan membantunya bekerja.
Dengan demikian, Arbuckle menekankan bahwa pekerjaan pelayanan bukan
lagi milik satu dua orang saja. Sebab jemaat justru akan merasa kelelahan bila hanya
mengikuti pelayan mereka yang kelelahan karena bekerja sendiri. Agar jemaat juga
merasa bahagia, mereka harus dilibatkan untuk melakukan diakonia. Tugas pejabat
gereja adalah memampukan jemaat untuk itu. Sehingga tugas pelayanan pejabat
gereja pada masa global ini tidak lagi hanya mengawasi dan menggembalakan,
melainkan yang lebih utama adalah memimpin dengan kepemimpinan (leadership)
yang tepat (memiliki visi dan misi, strategi dan kemampuan yang sesuai dengan
tugasnya)13.
13 Arbuckle A. Gerald, Op. Cit, p. 101-104
8
Penyusun beranggapan, mungkin ini jugalah ide dasar yang mengawali
tindakan-tindakan pembentukan kelompok-kelompok kecil oleh gereja di berbagai
belahan bumi ini. Kita tahu bahwa di Brazil muncul komunitas-komunitas basis yang
akrab disebut dengan Basic Christian Communities (BCC). Sedangkan di Afrika
bermunculan komunitas yang disebut Small Christian Communities (SCC). Dalam
konteks Asia dan juga Indonesia juga muncul seruan-seruan untuk menghidupkan
komunitas-komunitas kecil ini. Tentunya dengan kesadaran akan konteks Asia dan
Indonesia, komunitas itu tidak sepenuhnya sama dengan yang ada di Afrika dan di
Amerika Latin.
Banawiratma misalnya mengusulkan 3 jenis komunitas basis yang harus
dilakoni oleh warga gereja di Indonesia yaitu : komunitas basis gerejawi (dari dan di
dalam gereja tertentu), komunitas basis Kristiani yang ekumenis yang berdasarkan
Kristus dan komunitas basis antar-iman. Hal ini terutama didasari oleh kesadaran
bahwa orang-orang Kristen di Indonesia merupakan golongan minoritas dan dengan
demikian harus berinteraksi dengan umat beragama lain dalam upaya menjawab
masalah-masalah sosialnya.14 Gerrit Singgih juga mengusulkan dibentuknya
komunitas yang setara dengan BCC dan SCC di Asia. Usulan beliau hampir senada
dengan usulan Banawiratma yang memperhatikan konteks pluralitas beragama.
Singgih mengatakan bahwa orang-orang Kristen di Asia Tenggara harus bekerja sama
dengan saudara-saudara dari agama yang berbeda untuk membangun Komunitas
Basis Manusiawi atau Basic Human Communities (BHC)15.
14 Banawiratma, 2002, Op Cit, hal. 11 15 Singgih E. Gerrit, 2003, Op. Cit, p. 133.
9
HKBP Sebagai Bagian Dari Konteks
HKBP (Huria Kristen Batak Protestan, selanjutnya peny. akan memakai
singkatan untuk menyebut gereja ini) sebagai salah satu gereja arus utama di
Indonesia, sudah sejak awalnya memiliki kelompok-kelompok kecil yang menjadi
basis terkecil dari gereja. Kelompok kecil tersebut sering dinamakan wijk atau
kring16. Wijk dalam konteks HKBP adalah bagian terkecil dari persekutuan jemaat
yang terdiri dari beberapa keluarga yang dikelompokkan berdasarkan teritorial tempat
tinggal mereka. Sehingga wijk adalah persekutuan beberapa keluarga HKBP dalam
satu teritorial tertentu yang dipimpin oleh satu atau lebih sintua. Sehingga pelayanan
sintua di HKBP sesungguhnya lebih terkait pada pelayanan di wijk daripada
pelayanan administrasi dan pelayanan altar di gereja.
Apabila dikaitkan dengan penjelasan atas konteks global dan konteks
Indonesia di atas, maka wijklah yang akan menjadi tulang punggung HKBP dalam
upaya menghadirkan kerajaan Allah di dunia ini sebab wijklah yang memenuhi syarat
sebagai kelompok yang paling efisien dan efektif untuk tujuan tersebut17. Dengan
demikian, seorang sintua di HKBP memiliki tugas tambahan tetapi sangat urgen yaitu
tugas kepemimpinan. Sintua HKBP dituntut untuk memampukan jemaatnya (yang
terdiri dari beberapa KK) untuk melakukan diakonia. Seorang sintua yang
16 HKBP adalah gereja yang berpusat di Pearaja, Tarutung yang mayoritas pemeluknya adalah suku Batak Toba. Wilayah pelayanan terbesar HKBP adalah sinode HKBP itu sendiri yang terdiri dari sekitar 27 distrik. Sedangkan berturut-turut kemudian ke yang paling kecil adalah distrik yang diketuai oleh praeses. Distrik terdiri dari beberapa resort yang diketuai oleh pendeta resort. Resort terdiri dari beberapa jemaat lokal yang dipimpin oleh seorang pendeta atau guru jemaat. Sedangkan jemaat lokal terdiri dari beberapa wijk (gabungan dari beberapa rumahtangga di satu teritori yang relatif kecil di mana seluruh anggotanya dimungkinkan untuk saling mengenal dan saling mengunjungi) yang dipimpin oleh satu atau lebih sintua. 17 Menurut A. Margana, ada beberapa kondisi yang membuat komunitas basis menjadi sangat kondusif. Kondisi tersebut adalah persekutuan umat yang relatif kecil, saling mengenal, tinggal berdekatan atau memiliki kepentingan bersama dan secara berkala mengadakan pertemuan untuk berdoa, membaca dan mengadakan sharing Alkitab. Band. Margana A., Komunitas Basis, Gerak Menggereja Kontekstual, Jogjakarta, Kanisius, 2004, hal. 12. Kondisi ini sangat pas dengan konsep wijk yang ada di HKBP. Mungkin hanya satu kondisi yang penyusun ragukan ada di wijk yaitu kesadaran anggota tentang kepentingan bersama atau kesadaran tentang hakekat keberadaan mereka sebagai satu wijk.
10
notabenenya adalah pelayan dari kaum awam ternyata memiliki tugas yang sangat
berat sekaligus mulia yaitu : tugas kepemimpinan. Apakah sintua di HKBP menyadari
dan melaksanakannya? Inilah keprihatinan yang akan penyusun jadikan sebagai
bahasan dalam tulisan ini.
Secara detail tugas sintua yang ada di tata ibadah pengangkatan mereka yang
dibacakan saat menahbiskan sintua adalah :
1. Mengamat-amati anggota jemaat yang dipercayakan kepada mereka dan
meneliti perilakunya. Apabila mengetahui seseorang tidak berperangai yang
baik, dia harus ditegor dan diberitahukan kepada pendeta untuk dinasehati.
2. Mengajak anggota jemaat untuk datang beribadah dan meneliti alasan-alasan
orang-orang yang tidak mengikutinya.
3. Mengajak para anak remaja untuk rajin bersekolah.
4. Mengunjungi orang sakit dan memberi bantuan sesuai dengan
kemampuannya, namun yang terpenting adalah mengingatkan mereka akan
Firman Allah dan mendoakannya.
5. Menghibur orang yang berdukacita, merawat orang yang susah dan orang
miskin.
6. Membimbing penyembah berhala, orang sesat, supaya turut serta memperoleh
hidup dalam Yesus Kristus.
7. Membantu pengumpulan dana dan tugas pelayanan Kerajaan Allah.
8. Sebagai imam dalam ibadah minggu dan ibadah persekutuan rumahtangga di
HKBP.
9. Sebagai pengambil keputusan di tingkat jemaat bersama dengan para pelayan
tahbisan lainnya18.
18 Berdasarkan Tata Ibadah HKBP untuk penahbisan Sintua.
11
Dari tugas di atas, kita tidak melihat fungsi kepemimpinan dalam tugas sintua
(yaitu memampukan jemaat untuk berdiakonia). Tugas tersebut diwarnai oleh tugas-
tugas yang bersifat pengawasan dan penggembalaan. Padahal di sisi lain, dengan
tugas yang demikian sajapun seorang sintua di HKBP sudah sangat berat. Walaupun
sintua bukan pelayan fulltime, namun kualitas tugas yang diemban oleh seorang
sintua menuntut mereka untuk bekerja seperti halnya seorang pelayan fulltime. Di
zaman sekarang ini, di mana pengaruh modernitas begitu kuatnya melanda setiap
individu terutama di daerah perkotaan, sangat jarang seseorang memiliki waktu untuk
melakukan tugas-tugas pelayanan yang tentunya tidak mendatangkan keuntungan
material. Secara khusus pada diri seorang sintua Batak yang nilai hidup ke-Batak-an
nya sangat dekat dengan budaya modernitas, maka seakan-akan ada dua nilai yang
bertentangan yang tidak mungkin didamaikan yang berpotensi menghambat
pelayanannya. Untuk itu penyusun akan membahas sekilas tentang nilai hidup orang
Batak.
Penjelasan Singkat Mengenai Nilai Hidup Orang Batak Toba.
Bebicara tentang orang Batak tidak pernah lepas dari dua hal, yaitu : adat dan
agamanya. Mayoritas orang Batak Toba identik sebagai penganut dan pelaksana adat
Batak yang kuat tetapi juga sekaligus sebagai penganut agama Kristen yang taat.
Dalam pembahasannya mengenai teori Richard Niebuhr (Christ and Culture), Gerrit
Singgih mengkategorikan HKBP (sebagai gereja yang anggotanya adalah orang
Batak Toba) sebagai gereja yang dualistik. Artinya, orang Kristen Batak adalah warga
masyarakat sekaligus warga kerajaan Allah. Tetapi di antara kerajaan Allah dan
masyarakat tidak ada sangkutpaut apapun. Menurut Gerrit lagi, nilai-nilai yang
berhubungan dengan wilayah-wilayah ini masing-masing tidak pernah dapat
12
dibayangkan berhubungan satu dengan yang lain19. Untuk itu, dalam pembahasan
mengenai sintua sangat penting bagi kita untuk melihat nilai adat yang hidup dalam
diri para sintua di HKBP.
Nilai hidup orang Batak yang paling menonjol ada tiga yaitu : Hagabeon
(memiliki anak laki-laki dan perempuan dan memiliki cucu dari anak laki-laki dan
perempuan), Hamoraon (kaya raya) dan Hasangapon (kekuasaan)20. Ketiga nilai
inilah yang menjadi tujuan hidup setiap orang Batak. Ketiganya dianggap sebagai
yang bernilai, luhur, berharga dan mulia sehingga pantas untuk diperjuangkan dan
digapai. Itu sebabnya ketiga nilai ini sudah sangat berakar dalam diri setiap orang
Batak, baik yang masih tinggal di kampung halaman maupun bagi mereka yang sudah
hidup di perantauan.
Menurut Pdt. Dr. Andar Lumbantobing, pada prinsipnya ketiga nilai hidup ini
memiliki tujuan yang sangat positif yaitu untuk kepentingan hidup bersosialisasi.
Orang Batak adalah suku yang suka besosialisasi karena orang Batak percaya mereka
berasal dari satu nenek moyang yaitu : Si Raja Batak21. Oleh sebab itu orang Batak
sangat suka menerima tamu karena tamu adalah saudara dan tamu yang banyak akan
menaikkan sahala22 orang Batak. Gelar yang diberikan kepada orang yang suka
menerima tamu adalah paramak na so balunon (orang yang tikarnya tidak pernah
digulung karena selalu menerima tamu) dan partataring na so mahiang (orang yang
19 Singgih, Emanuel Gerrit Pdt. Ph.D., Membangun Sebuah Teologi Budaya Pasca Niebuhr Di Dalam Era Reformasi, dalam Jurnal Teologi Gema Duta Wacana, Edisi 54 tahun 1998, hal. 42-43 20 Harahap, Basyral H. dan Siahaan, Hotman, Orientasi Nilai-Nilai Budaya Batak Toba, Suatu Pendekatan Terhadap Perilaku Batak Toba dan Mandailing, Sanggar Willem Iskandar, Jakarta, 1987, hal. 181 21 Lumbantobing, Andar Pdt. Dr., Makna Wibawa Jabatan Dalam Gereja Batak, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1996, hal. 29 22 Menurut Lance Castles, sahala adalah kualitas tertentu dari tondi (jiwa) seseorang. Lihat: Castles, Lance Tapanuli, Kehidupan Politik Suatu Keresidenan di Sumatera (1915-1940), Kepustakaan Populer Gramedia, 2001, hal. 10. Andar Lumbantobing memberikan contoh konkret dari sahala. Menurut beliau sahala mencakup : kewibawaan, kekayaan harta bendadan keturunan, keberanian, kegagahan, kecerdasan, kecerdikan, kemahiran berbicara, keluhuran budi, rasa keadilan, kesaktian dalam ilmu gaib, wawasan yang luas dan lain sebagainya. Lih. Andar Lumbantobing, Op Cit, hal. 21
13
periuknya tidak pernah kering karena selalu dipakai memasak untuk tamu)23. Setiap
orang Batak sangat senang menerima gelar tersebut.
Namun dalam pandangan Bungaran Anthonius Simanjuntak, tidak semua nilai
ideal berlaku sejalan dengan apa yang dipraktekkan di kenyataan. Mengutip
pandangan Ogburn (1950) tentang teori Cultural lag, Simanjuntak menjelaskan
bahwa secara ideal nilai-nilai yang terkandung di dalam kebudayaan tampak indah
mengesankan dan mengandung pengharapan. Namun dalam
pengoperasionalisasiannya, ada kesan bahwa pendukung kebudayaan kurang dan
tidak setia pada nilai luhur tersebut. Kesetiaan hanya terungkap pada pengakuan oral,
tetapi dalam perwujudannya cenderung terjadi pengingkaran, sehingga terjadi
perbedaan antara perbuatan dan keinginan, kenyataan dan idealisme (das Sein dan das
Sollen)24.
Dalam penelitiannya tentang praktek adat Batak dalam kehidupan orang Batak
Toba sehari-hari, Simanjuntak berpendapat bahwa telah terjadi pergeseran
pelaksanaan nilai hidup (hamoraon, hagabeon dan hasangapon) dari yang positif
tradisional berubah ke arah modern. Nilai hidup tersebut tetap diperjuangkan (dan
kecenderungannya semakin kuat diperjuangkan) tetapi tujuannya adalah untuk
kepentingan individu. Hal ini dibuktikan oleh Simanjuntak dengan menunjukkan sifat
tradisional yang sesungguhnya sangat menonjol dalam diri orang Batak bahkan
sebelum datangnya agama Kristen yaitu : late (cemburu), elat (dengki). Sifat late dan
elat diejawantahkan ke dalam bentuk toal (suka bersaing) dan teal (suka pamer).
Bahkan, menurut Simanjuntak, orang Batak telah terbiasa menjalani
ketegangan antara status dan role (peranan) dalam diri mereka. Dari segi status, orang
23 Andar Lumbantobing, Op Cit hal. 29. 24 Simanjuntak, B. Anthonius, Konflik Status dan Kekuasaan Orang Batak Toba, Yogyakarta, Jendela, 2002, hal. 157.
14
Batak dikenal sebagai orang Kristen dan orang Batak yang berjiwa sosial, namun
peranan yang sesungguhnya dimainkan adalah orang Batak yang memuja kekayaan
dan kekuasaan untuk kepentingan diri sendiri25. Ketegangan ini semakin menjadi-jadi
akibat pengaruh modernisasi.
Kesan yang penyusun dapatkan setelah membaca kesimpulan Simanjuntak
adalah, orang Batak di HKBP tidak lagi bersifat dualistik seperti yang diperkirakan
Gerrit di awal tadi. Penyusun berpendapat bahwa HKBP jadi cenderung bersikap
sintetik (seperti halnya orang Katolik). Namun kebalikan dari penjelasan Gerrit,
dalam HKBP bukan iman yang mengatasi adat tetapi adat yang mengatasi iman. Iman
akan dijalankan sepanjang hal itu tidak menghambat pada usaha mencapai kekayaan
dan kekuasaan.
Kesimpulan sementara ini penyusun ambil berdasarkan penelitian
Simanjuntak tentang pengaruh hamoraon, hasangapon dan hagabeon dalam praktek
bergereja di HKBP yang sarat dengan warna teal, elat, toal dan late. Nilai hidup
tersebut telah berperan kuat dalam melahirkan konflik-konflik dan perpecahan-
perpecahan yang terjadi di HKBP selama ini26. Sehubungan dengan nilai hamoraon,
para pelayan di HKBP telah cenderung lebih mengutamakan unsur kekayaan daripada
unsur pelayanan. Dan dalam hubungannya dengan hasangapon, pelayanan di HKBP
(dari mulai tingkat paling atas sampai pada sintua) lebih dipahami sebagai jabatan
daripada fungsi pelayanan.
Dari penjelasan di atas, maka tidak heran apabila muncul kesan terhadap para
pelayan di HKBP yang cenderung bersifat sebagai penguasa daripada pelayan dan
cenderung mengekang daripada mengarahkan/menggairahkan jemaat. Apabila
berhubungan dengan jabatan (juga dalam pelayanan) di gereja, para pelayan bisa
25 Simanjuntak, B.A. Op Cit hal. 158 26 Simanjuntak, B.A. Ibid hal. 429-438
15
menjadi sangat tradisional dalam arti kaku terhadap gagasan-gagasan baru dan lebih
suka mempertahankan nilai-nilai lama demi menegaskan kekuasaannya27.
1.2. Rumusan Permasalahan.
Dari pembahasan di atas jelaslah bahwa di dalam diri tiap orang Batak ada
ketidaksinkronan yang cenderung mengarah ke pertentangan antara nilai budaya
Batak (hamoraon, hasangapon dan hagabeon) yang begitu kuat dipengaruhi oleh
elat, late, teal dan toal dengan nilai keKristenan yang dituntut pada zaman
postmodernitas ini yaitu menjadi orang Kristen yang peka dengan kemiskinan dan
aktif melakukan pelayanan kepada orang miskin. Ketidaksinkronan ini menjadi
semakin hebat terjadi dalam diri pelayan HKBP yang dituntut untuk menjadi orang
pertama yang mampu menjalankan tugas keKristenan tersebut dan juga bersedia
memampukan orang lain untuk melakukannya.
Dengan demikian, fokus permasalahan dalam tulisan ini melihat bagaimana
kepemimpinan dan pelayanan sintua HKBP yang notabenenya bukan pelayan fulltime
menjalankan tugas kepemimpinan dan kepelayanan tersebut di tengah jemaat. Dalam
kepemimpinan dan pelayanan sintua HKBP terletak masa depan dari visi dan misi
HKBP.
Pertanyaan yang ingin dicari jawabannya oleh penulis adalah tugas pelayanan
apakah yang sekarang harus menjadi prioritas sintua HKBP di Jakarta? Apakah tetap
tugas tradisional yaitu tugas pengawasan dan penggembalaan ataukah justru harus
bergeser kepada tugas kepemimpinan? Bagaimana keterkaitan tugas-tugas
pengawasan, penggembalaan dan kepemimpinan dalam pelayanan sintua di HKBP?
Apakah dimungkinkan seorang pelayan awam untuk mengemban tugasnya sebagai
27 Hutauruk, J.R. Pdt. Dr., Huria Kristen Batak Protestan dan Tahun 2002 Sebagai Tahun Rancangan Damai Sejahtera Tuhan, Kantor Pusat HKBP Pearaja, Tarutung, 2002, hal. 6-7
16
gembala dan pemimpin sekaligus? Untuk itu, seluruh masalah ini akan disatukan
dalam satu pertanyaan penelitian yaitu:
Peran28 apakah yang kontekstual untuk dijalankan oleh sintua HKBP selaku
pelayan Batak-Kristen di kota Jakarta pada masa postmodern ini?
1.3. Batasan Permasalahan.
Walaupun berangkat dari pandangan Jan Hendriks tentang teori 5 faktor yang
saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya, namun penyusun membatasi
pembahasan tesis ini hanya kepada faktor kepemimpinan saja. Tentu dalam beberapa
hal yang memang perlu, penulis akan melakukan pembahasan atas faktor
kepemimpinan ini dalam hubungannya dengan keempat faktor yang lain. Teori
kepemimpinan dari Jan Hendriks juga akan didiskusikan dengan teori-teori
kepemimpinan dari teolog-teolog di Indonesia terutama E.Gerrit Singgih dan juga
dengan sifat kepemimpinan dari budaya Batak Toba untuk menjadikan teori Jan
Hendriks yang berlatar Eropa menjadi lebih membumi di Indonesia ini, terutama
dalam konteks Batak. Perbandingan antar teori kepemimpinan ini juga akan
didialogkan dengan konteks global dan lokal yang dihadapi oleh masyarakat di kota
Jakarta. Dengan demikian, bahasan ini diharapkan mampu menemukan bentuk
kepemimpinan dari sintua yang pas untuk konteks HKBP di Jakarta saat ini.
28 Pdt. Prof. Dr. F.H.Sianipar, selaku mantan sekjend HKBP di era awal 80 an menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan sintua di HKBP adalah apa yang diartikan oleh kata presbuteros/oi dalam tradisi gereja mula-mula. Band. Sianipar F.H. Tohonan Sintua, Pematang Siantar, Yayasan STT HKBP, 1996, hal. 11. Sedangkan apabila kita meneliti makna atau peran dari presbuteros/oi dalam sejarah gereja mula-mula, kita tidak akan menemukan satu peran yang pasti. Bornkamm dalam The Dictionary Of The New Testament (TDNT) menyebutkan beberapa peran dari presbuteros/oi yaitu : sebagai kelompok pengawas pelaksana tradisi (seperti halnya kelompok saduki) dalam tradisi jemaat di Yerusalem dan sekitarnya. Di samping itu dalam tradisi jemaat Paulus, kata ini bisa mengacu kepada peran pengawas sekaligus gembala dan juga guru. Sedangkan pada tradisi kitab pastoral, kata ini bisa mengacu kepada peran gembala dan juga pemimpin. Lih. Bornkamm, TDNT, Kittel G. (ed), Michigan, Grand Rapids, p. 651-683.
17
2. Dasar Teori
Seperti sudah disebutkan dalam latar permasalahan di atas bahwa dunia
sekarang sering disebut dengan dunia yang global. Istilah globalisasi
mengindikasikan bahwa dunia bukan lagi berupa tempat-tempat terpisah yang bersifat
partikular dan tidak kait-mengkait satu sama lain. Sebaliknya, dunia saat ini sudah
bersifat universal dalam arti hal-hal yang terjadi di satu tempat bisa dengan cepat
berpengaruh ke tempat lainnya dan nilai-nilai yang berasal dari tempat tertentu akan
dapat dengan mudah dijalankan oleh orang di tempat lain yang jauh sekali jaraknya.
Namun di sisi lain, globalisasi bukan berarti hilangnya nilai-nilai asli yang
melekat di satu komunitas tertentu (walaupun kecenderungan ini ada). Sebaliknya
menurut Gerrit Singgih, secara dialektis globalisasi adalah kontekstualisasi. Itu
sebabnya, universalitas boleh saja terjadi tetapi universalitas tersebut idealnya harus
dibentuk melalui partikularitas29. Hal ini mengakibatkan universalitas bukanlah
menjadikan dunia homogen tetapi justru heterogen. Dengan demikian, Singgih
mengusulkan dua hal penting dalam era globalisasi yaitu : (1) selalu mencoba
melihat secara kritis asumsi-asumsi baru yang diterima dan (2) dalam upaya
membangun komunitas kita harus memaknai kembali apa arti menjadi komunitas
dalam sebuah budaya yang berbeda serta heterogen. Meminjam istilah Sindhunata,
dengan demikian globalisasi juga berarti glokalisasi.30
Dalam hal ini, perlu digarisbawahi istilah dialektis atau dialogis. Pada bagian
pendahuluan dalam buku Heitink31, Heselaars Hartono S.J. menjelaskan bahwa
kontekstualisasi adalah upaya menghayati iman akan kabar baik mengenai Yesus
Kristus dalam tata budaya atau situasi lingkungan yang konkret. Hubungan antara 29 Singgih, Emanuel Gerrit, 2004, Op Cit, hal. 417. 30 Sindhunata, “Dilema Globalisasi” dalam Majalah Basis No. 01-02, Tahun ke-52, Januari – Februari 2003, hal. 8 31 Heitink, Gerben Dr., Teologi Praktis, Pastoral Dalam Era Modernitas-Postmodernitas, Kanisius, Yogyakarta, 1999, hal. 18-19.
18
keduanya adalah dialog. Tetapi berdasarkan penjelasan Singgih di atas, dialog tidak
hanya terjadi antara Iman dan Budaya. Dialog juga terjadi di dalam budaya itu sendiri
yaitu antara nilai modernitas dan nilai tradisional budaya. Sehingga upaya
kontekstualisasi harus melibatkan dialog yang kreatif antara nilai Alkitab, nilai
modernitas dan nilai budaya tradisional. Dengan demikian, terkait dengan
pembahasan mengenai kepemimpinan dan pelayanan sintua di HKBP penyusun akan
tetap melihat model kepemimpinan ideal menurut Jan Hendriks. Namun penulis sadar
bahwa model kepemimpinan Hendriks ini harus didialogkan dengan model
kepemimpinan ideal menurut nilai keKristenan dan model kepemimpinan ideal
menurut adat Batak Toba.
Kepemimpinan Yang Menggairahkan32
Kata kunci dalam pembahasan Jan Hendriks mengenai jemaat yang vital dan
menarik adalah ‘jemaat yang pastisipatif’. Hendriks memahami sebuah jemaat
sebagai kumpulan subyek-subyek yang satu dengan lainnya memiliki posisi yang
sejajar. Dengan demikian, komunikasi yang terjalin di antara mereka adalah
komunikasi yang sejajar pula. Setiap orang diharapkan mau melakukan tugas dengan
senang hati sesuai dengan potensi masing-masing. Sedangkan gereja akan menjadi
fasilitator bagi tiap subyek untuk mengaktualisasikan diri dan potensinya.
Terhadap jemaat yang demikian, Hendriks berpendapat bahwa model
kepemimpinan yang baik adalah model kepemimpinan yang mendelegasikan.
Kepemimpinan sebagai pelayan berarti membagi-bagikan kuasa terutama lewat
32 Hendriks Jan, Jemaat Vital dan Menarik, Membangun Jemaat Dengan Menggunakan Metode Lima Faktor, Yogyakarta, Kanisius, 2002, hal. 66-91.
19
delegasi tugas dan kewenangan untuk menjalankan tugas tersebut33. Itu sebabnya,
fungsi kepemimpinan yang partisipatif diwujudkan dalam empat hal yaitu :
1. Memberikan dukungan artinya pimpinan selalu menganggap bahwa seluruh
anggotanya penting dan pemimpin harus peka terhadap pendapat, pandangan
dan problem mereka.
2. Memberikan bantuan. Dalam upaya mendukung partisipasi anggotanya maka
pemimpin harus siap untuk membantu terutama yang terkait dengan
informasi-informasi. Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang mampu
memberikan informasi yang dibutuhkan anggotanya. Dalam hal ini, penting
sekali kompetensi pemimpin sehingga seorang pemimpin yang baik tidak
hanya ingin memberikan dukungan namun juga mampu untuk membantu.
3. Menekankan pentingnya tujuan-tujuan. Pemimpin harus selalu mengingatkan
anggotanya terhadap visi dan misi organisasi secara keseluruhan dan menaruh
tuntutan tinggi kepada dirinya sendiri dan kepada anggota bahwa mereka
mampu mencapai visi dan misi tersebut.
4. Meningkatkan kerjasama antara pemimpin dan anggota serta antara anggota
dengan anggota. Sehingga stimulasi yang terbentuk adalah bersama-sama
mencari jawaban atas permasalahan bersama dan saling menolong dalam
upaya pencarian tersebut.
Untuk menjalankan fungsi kepemimpinan tersebut, Hendriks menawarkan
gaya ‘kepemimpinan yang melayani’. Gaya kepemimpinan yang melayani
berbanding terbalik dengan gaya kepemimpinan yang otoriter. Sedangkan yang cocok
dengan kepemimpinan yang melayani adalah kepemimpinan yang kooperatif. Dalam
kepemimpinan otoriter diasumsikan bahwa status kepemimpinan merupakan jabatan.
33 Hendriks Jan, Op Cit, hal. 69
20
Dengan demikian, kepemimpinan otoriter sangat identik dengan jarak dan susunan
hierarkis. Bagi kepemimpinan yang kooperatif justru rundingan bersama yang
diutamakan sehingga kepemimpinan ini identik dengan kedekatan dan susunan yang
datar.
Hendriks menambahkan bahwa gaya kepemimpinan di gereja harus
menyeimbangkan antara relasi dan usaha. Kepemimpinan yang memperhitungkan
usaha tanpa memperhatikan relasi mudah menghasilkan proses konflik yang
destruktif. Sebaliknya perhatian bagi relasi tanpa melibatkan usaha menghasilkan
kegiatan dan pertemuan yang kurang inspiratif dan akhirnya membosankan.
Akhirnya, Hendriks mengingatkan bahwa tugas pimpinan di gereja bukan hanya
masalah administrasi (government). Mengacu kepada Yeh. 34:3-4, pemimpin gereja
memiliki tugas untuk menggembalakan domba-domba, menguatkan yang lemah,
mengobati yang sakit, membalut yang terluka, membawa pulang yang tersesat dan
mencari yang terhilang.
3. Pemilihan Judul
3.1 Rumusan Judul
Pembahasan terhadap masalah yang sudah dijabarkan di atas akan dilakukan di
bawah sebuah judul :
KEPEMIMPINAN SINTUA DI HKBP PADA MASA POSTMODERNITAS
(Suatu tinjauan pembangunan jemaat terhadap kepemimpinan sintua HKBP di
Jakarta)
21
3.2. Alasan Pemilihan Judul
Sebagaimana telah disebutkan di atas, sintua di HKBP adalah pelayan
tahbisan di jemat lokal HKBP yang diangkat dari antara jemaat dan mereka bukanlah
pelayan fulltime. Sintua adalah wakil pendeta untuk membimbing dan mengawasi
jemaat-jemat HKBP yang ada di sekitar tempat tinggalnya. Namun selain
pembimbing dan pengawas, sintua juga merupakan pengambil keputusan dalam
organisasi gereja lokal HKBP. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sintua adalah
perwakilan jemaat dalam menyampaikan usulan-usulan mereka terhadap gereja
secara keseluruhan. Sehingga seorang sintua sebenarnya adalah seorang pemimpin
dari jemaat-jemaat yang ada di sekitar tempat tinggalnya.
Sebagai pemimpin Batak dan Kristen, seorang sintua diharapkan dapat
mempraktekkan nilai-nilai ideal dari kedua unsur tersebut dalam pelayanannya.
Namun terutama akibat pengaruh modernitas, sebagaimana orang Batak pada
umumnya, sintua HKBP diasumsikan tidak mampu mempraktekkan nilai ideal Batak
dan Kristen tersebut dalam kepemimpinannya. Justru kecenderungan yang terjadi
adalah mereka juga terpengaruh untuk menjadikan tahbisan sintua sebagai jabatan
dan alat kekuasaan untuk bersikap otoriter. Dengan demikian, seorang sintua HKBP
terjebak dalam dua kondisi dalam dirinya yaitu keinginan untuk berkuasa dan
tuntutan untuk melayani.
Itu sebabnya, pembahasan dalam tesis ini akan difokuskan untuk melihat
kinerja sintua HKBP yang berada di antara dua tuntutan yang berbeda yaitu tuntutan
untuk berkuasa dan tuntutan untuk melayani. Dengan demikian penyusun
menganggap judul di atas tepat untuk mengakomodir permasalahan dan pembahasan
dalam tesis ini.
22
4 Metode Penelitian.
Metode yang dipakai dalam penelitian mencakup :
Penelitian Literatur
Penelitian literatur akan dilakukan untuk mendapatkan teori-teori yang diperlukan
terkait dengan topik Pembangunan Jemaat, baik itu teori pembangunan jemaat itu
sendiri, konteks sosial jemaat HKBP perkotaan, budaya HKBP, konteks sosial
Indonesia dan sebagainya. Penelitian literatur juga dipakai untuk memudahkan
menjalankan penelitian lapangan dan proses penafsiran atas hasil-hasil penelitian
lapangan tersebut.
Penelitian Lapangan.
Penelitian lapangan akan dilakukan dengan melakukan wawancara (model
penelitian kualitatif) dan juga penyebaran angket (model penelitian kuantitatif).
Penelitian kualitatif berupa wawancara akan dilakukan terhadap para sintua sendiri
dan anggota jemaat yang ada di jemaat tempat penyusun meneliti. Tentunya jenis
pertanyaan untuk sintua akan berbeda dengan pertanyaan yang penyusun ajukan
kepada jemaat. Dalam menentukan sintua yang diwawancarai, penyusun akan
menggunakan sistem acak. Sedangkan responden yang dipilih untuk pengisian angket
akan mencakup seluruh kategori jemaat baik umur (orangtua dan pemuda), jenis
kelamin (perempuan dan laki-laki), partisipasi (aktif dan tidak aktif), jabatan
(pengurus dan non pengurus) dan juga sebisa mungkin ekonomi (kaya dan miskin).
Hal ini bertujuan untuk mendapatkan pemetaan masalah yang konprehensif tentang
pelayanan sintua di jemaat tersebut.
23
Pengolahan Data
Data-data dari penelitian kuantitatif akan penyusun olah dengan memakai
program SPSS (statistical Product and Service Solutions) versi 13 dan program
excel34.
Analisa Data
Data-data dari penelitian kuantitatif akan penyusun analisis berdasarkan teori
Jan Hendriks35 yaitu dengan memakai metode survey guided development di mana
akan dihitung selisih kondisi kenyataan dan harapan yang diinginkan oleh responden
terhadap satu rumusan pertanyaan tertentu. Sedangkan kriteria-kriteria jawaban
responden akan penyusun urutkan dari kategori yang paling lemah, netral dan sampai
yang paling kuat dengan pilihan jawaban kuesioner antara 0 sampai dengan 5.
Sedangkan untuk data-data kualitatif, penyusun akan mengolahnya
berdasarkan kategori-kategori yang berasal dari perspektif penyusun sendiri
berdasarkan pemahaman penyusun atas teori-teori kepemimpinan yang penyusun
pakai dalam tesis ini dan juga berdasarkan pembagian tugas sintua yang ada dalam
dokumen HKBP.
5 Tujuan Penulisan.
Tesis ini berangkat dari keprihatinan tidak maksimalnya peran sintua dalam
menjalankan kepemimpinan dan pelayanannya. Sintua diduga terjebak dalam
tuntunan modernitas dan di sisi lain tuntutan pelayanan yang menuntut sintua
mengorbankan kepentingan pribadi. Untuk itu, tesis ini bertujuan melihat masalah
yang sesungguhnya terjadi dalam kepemimpinan sintua di perkotaan dan mencoba
34 Sarwono Jonathan, “Analisa Data Penelitian Menggunakan SPSS”, Jogjakarta, Penerbit Andi, 2006, hal. 71. 35 Hendriks Jan, Jemaat Vital dan Menarik, Op.Cit, hal. 218-240
24
menemukan penyebab utama masalah tersebut. Pada akhirnya tesis ini hendak
mencoba menemukan bentuk kepemimpinan dan pelayanan sintua HKBP yang lebih
aktual pada masa postmodern ini.
6 Sistematika Penulisan.
BAB 1 : Pendahuluan. Bagian ini akan berisi tentang latar belakang permasalahan,
rumusan permasalahan, dasar teori, pemilihan judul, metode penulisan dan
sistematika penulisan.
BAB 2 : Bagian ini akan berisi deskripsi tentang HKBP dan hakekat kepelayanan di
dalamnya, termasuk pembahasan detail mengenai keberadaan dan tugas sintua.
Pembahasan kemudian akan difokuskan pada konteks Jakarta dan jemaat-jemaat yang
diteliti.
BAB 3 : Bagian ini akan membahas laporan dan diagnosa empiris dari penelitian
yang penyusun lakukan terhadap praktek pelayanan sintua di empat jemaat HKBP di
kota Jakarta.
BAB 4 : Bagian ini akan membahas dan menganalisa praktek kepemimpinan sintua
dari sisi nilai-nilai Batak dan nilai-nilai kepemimpinan dalam Pembangunan Jemaat
dan tentunya dihubungkan dengan konteks kota Jakarta.
BAB 5 : Bagian ini akan berisi kesimpulan dan saran-saran terhadap kepemimpinan
sintua HKBP dalam globalisasi dan postmodernisasi saat ini.