BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengertian TB Paru
TB Paru ialah suatu penyakit infeksi kronik jaringan paru yang disebabkan
oleh basil Mycobacterium tuberculosae. Sebagian besar basil Mycobacterium
tuberculosae masuk ke dalam jaringan paru melalui airborne infection dan
selanjutnya mengalami proses yang dikenal sebagai fokus primer dari Ghon. Kuman
tersebut biasanya masuk ke dalam tubuh manusia melalui udara pernafasan kedalam
paru, kemudian menyebar dari paru ke organ tubuh lainnya melalui sistem peredaran
darah, sistem saluran limfa, melalui saluran pernafasan (bronchus) atau penyebaran
langsung ke bagian lainnya.
2.2. Cara Penularan
kuman Mycobacteriun tuberculosis ditularkan melalui udara (droplet nuclei)
saat seorang pasien tuberkulosis batuk dan percikan ludah yang mengandung bakteri
terhirup oleh orang lain saat bernapas. Sumber penularan adalah pasien tuberkulosis
paru BTA positif, bila penderita batuk, bersin, atau berbicara saat berhadapan dengan
orang lain, basil tuberkulosis tersembur kemudian terhisap ke dalam paru orang sehat,
serta dapat menyebar ke bagian tubuh lain melalui peredaran darah pembuluh limfe
atau langsung ke organ terdekat. Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000
percikan dahak. Masa inkubasinya selama 3-6 bulan. Tuberkulosis paru pada manusia
dapat dijumpai dalam 2 bentuk, yaitu Tuberkulosis primer, bila penyakit terjadi pada
infeksi pertama kali dan Tuberkulosis paska primer, bila penyakit timbul setelah
beberapa waktu seseorang terkena infeksi dan sembuh. Tuberkulosis paru ini
merupakan bentuk yang paling sering ditemukan. Dengan ditemukannya kuman
dalam dahak, penderita adalah sumber penularan (Notoatmodjo, 2007).
2.3. Morfologi dan Fisiologi Kuman TB Paru
Basil tuberkulosis berukuran sangat kecil berbentuk batang tipis, agak
bengkok, bergranular, berpasangan yang hanya dapat dilihat di bawah mikroskop.
Panjangnya 1- 4 mikron dan lebarnya antara 0,3-0,6 mikron. Basil tuberkulosis akan
tumbuh secara optimal pada suhu sekitar 37°C dengan tingkat pH optimal (pH 6,4-
7,0). Untuk membelah dari 1-2 kuman membutuhkan waktu 14-20 jam.12 Kuman
tuberkulosis terdiri dari lemak lebih dari 30% berat dinding kuman, asam strearat,
asam mikolik, mycosides, sulfolipid serta Cord factor dan protein terdiri dari
tuberkuloprotein (tuberkulin). TB Paru pada orang dewasa biasanya disebabkan oleh
reaktivasi infeksi sebelumnya sedangkan pada anak-anak menunjukkan penularan
aktif M. tuberculosis.
Berdasarkan sifat metabolisme basil, terdapat 4 jenis populasi basil tuberkulosis,
yaitu:
1. Populasi A, yang terdiri atas kuman yang secara aktif berkembang biak dengan
cepat, kuman ini banyak terdapat pada dinding kavitas atau dalam lesi yang
mempunyai pH netral.
2. Populasi B, terdiri atas kuman yang tumbuhnya sangat lamban dan berada dalam
lingkungan pH yang rendah. Lingkungan asam ini yang melindunginya terhadap obat
anti-tuberkulosis tertentu.
3. Populasi C, yang terdiri atas kuman tuberkulosis yang berada dalam keadaan
dormant hampir sepanjang waktu. Kuman yang terdapat dalam dinding kavitas ini
jarang mengadakan metabolisme secara aktif dalam waktu yang singkat.
4. Populasi D, terdiri atas kuman-kuman yang sepenuhnya bersifat dormant sehingga
sama sekali tidak bisa dipengaruhi oleh obat-obat antituberkulosis.
Berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya ada beberapa tipe penderita TB Paru,
yaitu:
a. Kasus baru
Kasus baru adalah penderita yang belum pernah mendapat pengobatan dengan OAT
atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan. Dimana OAT yang
diberikan adalah OAT yang mempunyai efek dapat mencegah pertumbuhan kuman-
kuman resisten seperti, isoniazid (H), rifampisin (R) dan pirazinamid (Z).
b. Kasus kambuh (relaps)
Kasus kambuh adalah penderita TB Paru yang sebelumnya pernah mendapat
pengobatan TB Paru dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap,
kemudian kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA. Sebelum ada
hasil uji resistensi dapat diberikan 2 RHZES/ 1 RHZE. Fase lanjutan sesuai dengan
hasil uji resistensi. Bila tidak terdapat hasil uji resistensi dapat diberikan obat RHE
selama 5 bulan.
c. Kasus defaulted atau drop out
Kasus drop out adalah penderita yang telah menjalani pengobatan ≥ 1 bulan dan tidak
mengambil obat 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa pengobatannya
selesai.
d. Kasus gagal
Kasus gagal adalah penderita BTA positif yang masih tetap positif atau kembali
menjadi positif pada akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir pengobatan) atau
akhir pengobatan. Sejak BTA dalam sputum negatif, dengan memakai tiga obat setiap
hari dalam jangka waktu 3-4 bulan pertama (yang belum pernah diberikan
sebelumnya): RMP- EMB- PZA- atau SM – PAS – PZA. Obat lain seperti etambutol
atau prothionamid, sikloserin, thiaketazone atau kanamisin dan kapreomisin dapat
dipertimbangkan untuk diberikan.
e. Kasus kronik
Kasus kronik adalah penderita dengan hasil pemeriksaan BTA masih positif setelah
selesai pengobatan ulang dengan pengobatan ulang dengan pengobatan kategori II
dengan pengawasan yang baik. Pengobatan kasus kronik, jika belum ada hasil uji
resistensi diberikan RHZES. Jika telah ada hasil uji resistensi, sesuaikan dengan hasil
uji resistensi ditambah dengan obat lini 2 seperti kuinolon, betalaktam, makrolid dll.
Jika tidak mampu dapat diberikan INH seumur hidup.
2.4. Resiko Penularan
Resiko penularan setiap tahun (Annual Risk of Tuberkulosis Infection = ARTI) di
Indonesia dianggap cukup tinggi dan bervariasi antara 1-3%. Pada daerah dengan
ARTI sebesar 1% berarti setiap tahun di antara 1000 penduduk terdapat 10 (sepuluh)
orang akan terinfeksi. Sebagian besar orang yang terinfeksi tidak akan menjadi
penderita TBC, hanya sekitar 10% dari yang terinfeksi yang akan menjadi penderita
TBC. Dari keterangan di atas dapat diperkirakan pada daerah dengan ARTI 1% maka
di antara 100.000 penduduk rata-rata terjadi 100 (seratus) penderita tuberculosis
setiap tahun, di mana 50 penderita adalah BTA Positif.
2.5. Riwayat terjadinya Tuberkulosis paru
Penyakit ini diawali oleh infeksi primer pada seseorang terpapar pertama kali dengan
kuman TB Paru. Infeksi dimulai saat kuman TB Paru berhasil berkembang biak
dengan cara pembelahan diri di paru sehingga mengakibatkan peradangan di dalam
paru. Saluran limfe di sekitar hilus paru, hal ini berlangsung sekitar 4-6 minggu.
Setelah infeksi primer terjadi, perkembangan penyakit tergantung dari banyaknya
kuman yang masuk dan besarnya respons daya tahan tubuh. Ada kuman persisten
atau dormant (tidur) dan akan aktif ketika daya tahan tubuh tidak mampu
melawan kuman tersebut, sehingga terjadilah penderita TB Paru, waktu yang
diperlukan untuk proses ini diperkirakan sekitar 6 bulan.
2.6. Gejala dan Tanda
a. Gejala utama
Batuk terus menerus dan berdahak selama 3 (tiga) minggu atau lebih.
b. Gejala tambahan, yang sering dijumpai :
Dahak bercampur darah
Batuk darah
Sesak nafas dan rasa nyeri dada
Badan lemah
Nafsu makan menurun
Berat badan turun
Rasa kurang enak badan (malaise)
Berkeringat malam walaupun tanpa kegiatan
Demam meriang lebih dari sebulan.
2.7. Diagnosis Penyakit Tuberkulosis Paru
Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat tergantung luas kelainan struktur paru.
Pada awal perkembangan penyakit umumnya tidak menemukan kelainan. Kelainan
paru pada umumnya terletak di daerah lobus superior terutama daerah apeks dan
segmen posterior, serta daerah apeks lobus inferior. Pada pemeriksaan jasmani dapat
ditemukan antara lain suara napas melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan paru,
diafragma dan mediastinum.
Diagnosis tuberkulosis pada orang dewasa dapat ditegakkan dengan ditemukannya
BTA pada pemeriksaan dahak secara mikroskopis. Hasil pemeriksaan dinyatakan
positif apabila dua dari tiga spesimen SPS BTA hasilnya Positif. Bila hanya satu
spesimen yang positif perlu dilakukan pemeriksaan lebih lanjut yaitu foto rontgen
dada atau pemeriksaan dahak SPS diulang. Pada pemeriksaan foto toraks,
tuberkulosis dapat memberi gambaran bermacam-macam bentuk (multiform). Kalau
hasil rontgen mendukung TBC maka penderita didiagnosis sebagai penderita TBC
BTA positif, kalau hasil rontgen tidak mendukung TBC, maka pemeriksaan dahak
SPS diulangi.
2.8. Pencegahan
2.8.1. Pencegahan Primer
a. Meningkatkan daya tahan tubuh dengan cara:
i. Makan makanan yang mengandung 4 sehat 5 sempurna
ii. Usahakan setiap hari tidur cukup dan teratur
iii. Lakukanlah olahraga di tempat-tempat yang mempunyai udara segar.
iv. Meningkatkan kekebalan tubuh dengan vaksinasi BCG.
b. Kebersihan Lingkungan
i. Lengkapi perumahan dengan ventilasi yang cukup
ii. Memberi penyuluhan kepada masyarakat tentang cara-cara penularan dan
pemberantasan serta manfaat penegakan diagnosa dini.
iii. Mengurangi dan menghilangkan kondisi sosial yang meningkatkan risiko
terjadinya infeksi, misalnya kepadatan hunian.
2.8.2 Pencegahan Sekunder
a. Case finding
i. X-foto toraks yang dikerjakan secara massal
ii. Uji tuberkulin secara Mountoux
iii. Bagi imigran yang datang dari negara-negara dengan prevalensi TB Paru yang
tinggi dilakukan skrining dengan foto toraks, tes PPD, pemeriksaan BTA dan kultur,
bekerjasama dengan WHO.
b. Perawatan khusus penderita dan mengobati penderita.
Penderita tuberkulosis yang baru didiagnosa, diberikan Obat Anti Tuberkulosis
(OAT) yang mempunyai efek sterilisasi sekaligus mempunyai efek yang dapat
mencegah pertumbuhan kuman-kuman resisten seperti isoniazid (H), rifampisis (R)
dan pirazinamid (Z).
2.8.3. Pencegahan Tertier
a. Membuat stategi menyembuhkan penderita TB Paru yaitu pemberian paduan obat
efektif dengan konsep Directly Observed Treatment Short-course (DOTS).
b. Penderita dengan initial drug resitance yang tinggi terhadap INH diberi obat
etambutol karena jarang initial resitance terhadap INH. Streptomisin dapat dipakai
pada populasi tertentu untuk meningkatkan complance pengobatan.
c. Memberi pengobatan secara teratur dan supervisi yang ketat dalam jangka waktu 9-
12 bulan pada acquired resistance (penderita kambuh setelah pengobatan).
2.9. Pengobatan
Paduan obat TB Paru dapat dibagi atas 4 kategori, yaitu:
1. Kategori I:
Kasus: TB paru BTA +, BTA -, lesi luas
Pengobatan: 2 RHZE/ 4 RH atau 2 RHZE/ 6 HE; 2RHZE/ 4R3H3.
2. Kategori II:
Kasus: Kambuh
Pengobatan: RHZES/ 1RHZE/ sesuai hasil uji resistensi atau 2RHZES/ 1RHZE/
5RHE.
Kasus: Gagal pengobatan
Pengobatan: kanamisin, ofloksasin, etionamid, sikloserin/ ofloksasin, etionamid,
sikloserin atau 2RHZES/ 1RHZE/ 5RHE.
Kasus: TB Paru putus berobat
Pengobatan: 2RHZES/ !RHZE/ 5R3H3E3.
3. Kategori III:
Kasus: TB paru BTA – lesi minimal
Pengobatan: 2 RHZE/ 4RH atau 6 RHE atau 2RRHZE 4 R3H3.
4. Kategori IV:
Kasus: Kronik
Pengobatan: RHZES/ sesuai hasil uji resistensi (minimal OAT yang sensitif) + obat
lini 2 (pengobatan minimal 18 bulan).
Kasus: MDR TB
Pengobatan: Sesuai uji resistensi+ OAT lini 2 atau H seumur hidup.
2.10. Komplikasi
a. Pleuritis dan Empiema
Pleuritis adalah peradangan jaringan tipis yang meliputi paru-paru dan melapisi
rongga dinding rongga dada bagian dalam (pleura). Empiema adalah berkumpulnya
atau timbunan pus (nanah) di dalam suatu kavitas organ berongga yaitu paru-paru.
Keadaan pleura yang merupakan bagian dari sistem pernapasan, dapat dipengaruhi
melalui tiga cara yang berbeda:
i. Cairan yang dibentuk dalam waktu beberapa bulan setelah terjadinya infeksi
primer.
ii. Cairan yang dibentuk akibat penyakit paru pada orang dengan usia lebih lanjut.
Keadaan ini bisa berlanjut menjadi nanah (empiema) walaupun jarang terjadi.
iii. Memecahnya kavitas TB Paru dan keluarnya udara ke dalam rongga pleura.
Keadaan ini memungkinkan udara masuk ke dalam ruang antara paru dan dinding
dada. TB Paru dari kavitas yang memecah mengeluarkan efusi nanah (empiema).
Udara dengan nanah bersamaan disebut piopneumotoraks.
b. Pneumotoraks Spontan
Pneumotoraks adalah masuknya udara atau gas secara abnormal ke dalam paru
dimana gas tersebut memisahkan pleura viseralis dan pleura parietalis sehingga
jaringan paru tertekan dan kesulitan bernapas. Pneumotoraks spontan dapat terjadi
bila udara memasuki rongga pleura sesudah terjadi robekan pada kavitas tuberkulosis.
Hal ini mengakibatkan rasa sakit pada dada secara akut dan tiba-tiba bersamaan
dengan sesak napas. Ini dapat berlanjut menjadi suatu empiema tuberkulosis.
c. Laringitis Tuberkulosis
Laringitis tuberkulosis adalah radang pangkal tenggorokan dengan gejala serak,
perubahan suara dan gatal pada kerongkongan. Keganasan pada laring jarang
menimbulkan rasa sakit. Sputum biasanya positif, tetapi diagnosis mungkin perlu
diitegakkan dengan biopsi pada kasus-kasus yang sulit. Tuberkulosis laring
memberikan respon yang sangat baik terhadap kemoterapi. Bila terdapat nyeri hebat
yang tidak cepat hilang dengan pengobatan, tambahkan prednisolon selama 2-3
minggu.
d. Kor Pulmonale
Kor pulmonale adalah suatu bentuk penimbunan cairan di dalam paru (abses paru).
Gagal jantung kongestif karena tekanan balik akibat kerusakan paru dapat terjadi bila
terdapat destruksi paru yang sangat luas. Keadaan ini dapat terjadi walaupun penyakit
tuberkulosis sudah tidak aktif lagi, dimana banyak meninggalkan jaringan parut.
Pengobatan dini terhadap penyakit TB Paru dengan jelas dapat mengurangi
komplikasi ini.
e. Apergilomata
Apergilomata adalah kavitas tuberkulosis yang sudah diobati dengan baik dan sudah
sembuh terinfeksi jamur Aspergillus fumigatus. A. fumigatus yaitu spesies jamur
lingkungan yang menghasilkan spora yang terdapat di dalam udara dengan dihirup
secara terus menerus. Pada sinar rontgen dapat dilihat semacam bola terdiri atas
fungus yang berada dalam kavitas. Keadaan ini kadang-kadang menyebabkan
hemoptisis (batuk darah) yang berat bahkan fatal. Fungsi paru sudah sering rusak
berat karena tuberkolosis lama sehingga tidak dapat lagi dioperasi
2.9. Penemuan penderita Tuberkulosis Paru
Penemuan penderita dilakukan secara pasif artinya penjaringan tersangka penderita
dilaksanakan pada mereka yang datang berkunjung ke unit pelayanan kesehatan.
Penemuan secara pasif tersebut didukung dengan penyuluhan secara aktif, baik oleh
petugas kesehatan maupun masyarakat, untuk meningkatkan cakupan penemuan
tersangka penderita. Cara ini biasa dikenal dengan sebutan passive promotive case
dinding (penemuan penderita secara pasif dengan promosi yang aktif). Selain itu,
semua kontak penderita TBC Paru BTA positif dengan gejala sama harus diperiksa
dahaknya.
2.11. Program penanggulangan Tuberkulosis Paru
Program pemberantasan penyakit menular mempunyai peranan dalam menurunkan
angka kesakitan dan kematian adapun tujuan penanggulangan tuberkulosis paru
adalah :
a. Jangka Panjang
Menurunkan angka kesakitan dan angka kematian penyakit TB dengan cara
memutuskan mata rantai penularan, sehingga penyakit TB tidak lagi merupakan
masalah kesehatan masyarakat Indonesia.
b. Jangka Pendek
Tercapainya angka kesembuhan minimal 85% dari semua penderita baru BTA positif
yang ditemukan dengan menggunakan strategi DOTS dan tercapainya cakupan
penemuan penderita sesuai dengan target CDR yang ditetapkan oleh pemerintah yaitu
sebesar 70% secara bertahap
2.12. Faktor-faktor Resiko
Faktor resiko adalah suatu determinan yang diperlukan sehingga dapat mengurangi
kemungkinan timbulnya masalah kesehatan atau penyakit. Karakteristik tertentu dari
golongan penduduk yang mempunyai resiko untuk terjangkitnya penyakit TB lebih
besar bila dibandingkan dengan golongan lain. faktor resiko tersebut adalah :
a. Umur
Sampai pada usia pubertas antara anak laki-laki dan perempuan tidak ada perbedaan
kejadian TB Paru. Namun setelah melewati usia pubertas hingga dewasa terdapat
perbedaan yang beragam di berbagai negara. Penyakit TB sebagian besar (± 75%)
menyerang kelompok usia produktif, kelompok ekonomi dan tingkat pendidikan yang
rendah.
b. Jenis Kelamin
Di Eropa dan Amerika Utara insiden tertinggi TB Paru biasanya mengenai usia
dewasa muda. Angka pada pria selalu cukup tinggi pada semua usia tetapi angka pada
wanita cenderung menurun tajam sesudah melampaui usia subur. Wanita sering
mendapat TB Paru sesudah bersalin. Sementara di Afrika dan India tampaknya
menunjukkan pola yang sedikit berbeda. Prevalensi TB Paru tampaknya meningkat
seiring dengan peningkatan usia pada jenis kelamin. Pada wanita prevalensi
menyeluruh lebih rendah dan peningkatan seiring dengan usia adalah kurang tajam di
bandingkan dengan pria. Pada wanita prevalensi maksimum pada usia 40-50 tahun
dan kemudian berkurang. Pada pria prevalensi terus meningkat sampai sekurang
kurangnya mencapai 60 tahun. Untuk melihat besarnya pengaruh usia dan jenis
kelamin terhadap kejadian TB dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 2.1 Besarnya pengaruh Usia dan Jenis Kelamin terhadap TB Paru
Usia dan Jenis Kelamin Pasien cenderung untuk berkembang
menjadi:
Usia dibawah satu tahun TB milier ++
Meningitis TB
Usia 1 tahun sampai pubertas Lesi paru-paru primer
TB Kronis menyebar, misalnya tulang
dan
persendian +
TB milier + TB meningitis
Adolesen atau dewasa
Muda
TB BTA +++
Usia pertengahan
a. Pria
b. Wanita
TB paru ++
TB Paru +++
TB Paru +++
Usia lanjut
a. Pria
b. Wanita
TB Paru ++
TB Paru +-
Keterangan : Bila infeksi terjadi pada usia ini (kolom kiri), jumlah tanda + pada
kolom kanan menunjukkan berapa besar kemungkinan pasien itu akan berkembang
menjadi jenis TB tertentu.
c. Kekebalan
Kekebalan dibagi menjadi dua macam, yaitu: kekebalan alamiah dan buatan.
Kekebalan alamiah didapatkan apabila seseorang pernah menderita tuberkulosis paru
dan secara alamiah tubuh membentuk antibodi, sedangkan kekebalan buatan
diperoleh sewaktu seseorang diberi vaksin BCG (Bacillus Calmette Guerin). Tetapi
bila kekebalan tubuh lemah, kuman tuberkulosis paru akan mudah menyebabkan
penyakit tuberkulosis paru.
Hubungan kekebalan (status imunisasi) dengan kejadian tuberkulosis bahwa anak
yang divaksinasi BCG memiliki risiko 0,6 kali untuk terinfeksi tuberkulosis (95% CI
0,43-0,83, p = 0,003), dibandingkan dengan anak-anak yang belum divaksin.
Ditegaskan oleh Setiarini (2008) bahwa walaupun imunisasi BCG tidak mengegah
infeksi tuberkulosis namun dapat mengurangi risiko tuberkulosis berat seperti
meningitis tuberkulosa dan tuberkulosis milier.
d. Status gizi
Kekurangan gizi atau malnutrisi bisa disebabkan karena asupan gizi yang tidak
seimbang baik dari kualitas dan kuantitas, bisa juga karena penyakit infeksi. Gizi
kurang atau buruk dapat menyebabkan menurunnya imunitas/kekebalan tubuh.
Kekebalan tubuh yang menurun akan menyebabkan seseorang mudah terkena
penyakit infeksi, seperti tuberkulosis. Demikian juga sebaliknya, seseorang yang
menderita penyakit kronis, seperti tuberkulosis paru, umumnya status gizinya
mengalami penurunan.
Menurut Badan Litbang Depkes RI (2012), proporsi tuberkulosis paru ditemukan
sedikit lebih besar pada yang mengkonsumsi buah sayur kurang dari 5 porsi/hari.
Proporsi tuberkulosis paru yang besar juga ditemukan pada kondisi status gizi kurus.
Menurut Narasimhan et al. (2012), malnutrisi (baik mikro dan makro-defisiensi)
meningkatkan risiko tuberkulosis karena adanya respon kekebalan yang terganggu.
Penyakit tuberkulosis dapat menyebabkan kekurangan gizi itu sendiri karena
penurunan nafsu makan dan perubahan dalam proses metabolisme. Hubungan antara
malnutrisi dan tuberkulosis telah ditunjukkan dengan uji vaksin BCG yang dilakukan
di Amerika Serikat pada tahun 1960 dan memperkirakan bahwa anak-anak
kekurangan gizi akan berisiko dua kali untuk terkena penyakit tuberkulosis daripada
anak-anak yang gizinya baik.
e. Penyakit lain
Penyakit lain khususnya penyakit infeksi seperti HIV/AIDS lebih mudah terserang
penyakit TB Paru karena penderita mengalami daya tahan tubuh menurun sehingga
tidak dapat mengendalikan kuman yang masuk ke dalam tubuh.Di beberapa negara di
Afrika sub-Sahara 20-70% pasien dengan tuberkulosis menunjukkan HIV positif.
Penyakit lain yang mempengaruhi TB Paru juga adalah penyakit kronis lain (seperti
Diabetes Melitus).
f. Perilaku
Menurut Skiner perilaku merupakan respons atau reaksi seseorang terhadap stimulus
atau rangsangan dari luar. Berdasarkan batasan peilaku dari Skiner, maka perilaku
kesehatan adalah suatau respons seseorang (organisme) terhadap stimulus atau objek
yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan dan
minuman serta lingkungan.
g. Kondisi Sanitasi Rumah
Rumah merupakan salah satu kebutuhan dasar atau pokok manusia yang berfungsi
sebagai tempat tinggal atau tempat hunian yang digunakan untuk berlindung dari
gangguan iklim dan makhluk hidup lainnya. Kondisi rumah yang baik penting untuk
mewujudkan masyarakat yang sehat. Rumah dikatakan sehat apabila memenuhi
persyaratan empat hal pokok berikut :
1. Memenuhi kebutuhan fisiologis seperti pencahayaan, penghawaan, ruang gerak
yang cukup dan terhindar dari sebisingan yang mengganggu.
2. Memenuhi kebutuhan Psikologis seperti “Privace” yang cukup dan komunikasi
yang baik antar penghuni rumah
3. Memenuhi persyaratan pencegahan penyakit menular yang meliputi penyediaan air
bersih,pembuangan tinja dan air limbah rumah tangga,bebas dari vektor penyakit dan
tikus,kepadatan hunian yang tidak berlebihan,sinar matahari yang cukup, makanan
dan minuman yang terlindung dan pencemaran serta pencahayaan dan penghawaan
yang cukup.
Dari beberapa penelitian yang dilakukan terdapat beberapa parameter fisik rumah
yang ada kaitannya dengan kejadian penularan penyakit TB Paru, dan parameter fisik
yang peneliti teliti disesuaikan dengan kerangka konsep antara lain:
1. Kepadatan hunian
Kepadatan hunian (in house overcrowding) diketahui akan meningkatkan resiko dan
tingkat keparahan penyakit berbasis lingkungan. Persyaratan kepadatan hunian untuk
seluruh rumah biasanya dinyatakan dengan m2 /orang. Luas minimum per orang
sangat relatif, tergantung dari kualitas bangunan dan fasilitas yang tersedia. Untuk
rumah sederhana minimum 10 m2/orang, sehingga untuk satu keluarga yang
mempunyai 5 orang anggota keluarga dibutuhkan luas rumah minimum 50m2,
sementara untuk kamar tidur diperlukan luas lantai minimum 3m2/orang. Dalam
hubungan dengan penularan TB Paru, maka kepadatan hunian dapat menyebabkan
infeksi silang ( Cross infektion ). Adanya penderita TB paru dalam rumah dengan
kepadatan cukup tinggi, maka penularan penyakit melalui udara ataupun “droplet”
akan lebih cepat terjadi. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Djasio Sanropie dkk
(1991) bahwa kondisi rumah yang tidak memenuhi syarat seperti tidak sebandingnya
luas lantai kamar, jenis lantai, penghuni rumah yang menyebabkan kurangnya
konsumsi oksigen, di mana bila salah satu anggota keluarga terkena penyakit infeksi
seperti TB Paru, maka akan mudah menular kepada anggota keluarga lain.
2. Ventilasi atau Penghawaan
Ventilasi adalah suatu usaha untuk memelihara kondisi atmosphere yang
menyenangkan dan menyehatkan bagi manusia. Untuk mendapatkan ventilasi atau
penghawaan yang baik bagi suatu rumah atau ruangan, maka ada beberapa syarat
yang harus dipenuhi yaitu :
a. Luas lubang ventilasi tetap, minimum 5% dari luas lantai ruangan. Sedangkan luas
lubang ventilasi insidental (dapat dibuka dan di tutup) minimum 5% dari luas lantai.
Hingga jumlah keduanya 10% dari luas lantai ruangan.
b. Udara yang masuk harus udara yang bersih, tidak di cemari oleh asap dari sampah
atau dari pabrik, knalpot kendaraan, debu dan lain – lain.
c. Aliran udara tidak menyebabkan penghuninya masuk angin. Untuk itu tidak
menempatkan tempat tidur persis pada aliran udara, misalnya di depan jendela atau
pintu.
3. Jenis lantai
Jenis lantai yang baik adalah kedap air dan muah dibersihkan, jenis lantai rumah yang
ada di Indonesia bermacam –macam tergantung kondisi daerah dan tingkat ekonomi
masyarakat, mulai dari jenis lantai tanah, papan, plesetan semen sampai kepada
pasangan lantai keramik. Dari beberapa jenis lantai diatas, maka jenis lantai tanah
jelas tidak baik dari segi kesehatan, mengingat lantai tanah ini lembab dan menjadi
tempat yang baik untuk berkembang biaknya kuman TB Paru.
4. Kelembaban Udara
Kelembaban udara dalam ruangan untuk memperoleh kenyamanan, dimana
kelembaban yang optimum berkisar 60% dengan temperatur kamar 22° – 30°C.
Kuman TB Paru akan cepat mati bila terkena sinar matahari langsung, tetapi dapat
bertahan hidup selama beberapa jam di tempat yang gelap dan lembab .
5. Pencahayaan
Pencahayaan dalam rumah sangat berkaitan erat dengan tingkat kelembaban didalam
rumah. Pencahyaan yang kurang akan menyebaban kelembaban yang tinggi di dalam
rumah dan sangat berpotensi sebagai tempat berkembang biaknya kuman TBC.
Pencahayaan langsung dan tidak langsung atau buatan harus menerangi seluruh
ruangan dan mmpunyai itensitas minimal 60 lux dan tidak menyilaukan.