9
BAB 2
LANDASAN TEORI
2.1 Teknik Industri
Menurut Wignjosoebroto (2003:1), industri atau pabrik adalah setiap
tempat dimana faktor-faktor seperti manusia, mesin, material, energi, uang,
informasi, dan sumber daya alam dikelola secara bersama-sama dalam suatu
sistem produksi untuk menghasilkan suatu produk atau jasa secara efektif,
efisien, dan aman.
Menurut Gaspersz (2001:1), proses industri harus dipandang sebagai
suatu perbaikan terus menerus, yang dimulai dari sederet siklus sejak adanya
ide-ide untuk menghasilkan suatu produk, pengembangan produk, proses
produksi, sampai distribusi kepada pelanggan.
Dari kedua pengertian industri tersebut, disimpulkan bahwa definisi
teknik industri adalah, suatu ilmu yang mempelajari cara merancang,
memperbaiki dan menginstalasi sistem produksi dengan mengintegrasikan
manusia, material, informasi, mesin, uang, dan energi.
2.1.1 Waktu Baku
Menurut Cudney (2009:57), waktu baku adalah waktu yang dibutuhkan
oleh seseorang untuk menyelesaikan sebuah tugas atau operasi. Perhitungan
dilakukan berdasarkan waktu dari pekerjaan yang distandarisasi, dan
memperhitungkan kelonggaran yang sesuai untuk kelelahan, dan faktor-
faktor lain yang tidak dapat diperhatikan saat pencatatan waktu siklus.
10
Menurut Sutalaksana, Anggawisastra, & Tjakraatmadja (1979:122)
definisi dari waktu siklus adalah waktu penyelesaian satu satuan produk sejak
bahan baku mulai diproses ditempat kerja yang bersangkutan.
Menurut Heizer & Render (2006:536-537), perhitungan waktu siklus
biasanya dirumuskan dengan:
Menurut Heizer & Render (2006:536), perhitungan waktu normal yang
didefinisikan sebagai waktu pengamatan, yang telah disesuaikan lajunya,
biasanya dirumuskan dengan:
Waktu normal = (waktu siklus pengamatan rata-rata) x (faktor penyesuaian)
Menurut Cudney (2009:57), perhitungan waktu baku biasanya
dirumuskan dengan formula:
2.1.1.1 Penyesuaian
Menurut Sutalaksana, Anggawisastra, & Tjakraatmadja (1979:138),
setelah pengukuran berlangsung, pengukur harus mengamati kewajaran kerja
yang ditunjukan operator. Ketidakwajaran dapat saja terjadi misalnya bekerja
tanpa kesungguhan, sangat cepat seolah-olah diburu waktu, atau karena
menjumpai kesulitan-kesulitan seperti karena kondisi ruangan yang buruk.
11
Menurut Sutalaksana, Anggawisastra, & Tjakraatmadja (1979:138),
Sebab-sebab seperti ini mempengaruhi kecepatan kerja yang berakibat terlalu
singkat atau terlalu panjangnya waktu penyelesaian. Hal ini jelas tidak
diinginkan. Karena waktu baku yang dicari adalah waktu yang diperoleh dari
kondisi dan cara kerja yang baku, yang diselesaikan secara wajar.
Menurut Sutalaksana, Anggawisastra, & Tjakraatmadja (1979:139),
salah satu cara menentukan penyesuaian, adalah dengan metode
westinghouse. Berikut ini, adalah tabel penyesuaian menurut Westinghouse.
Tabel 2.1 Penyesuaian menurut Westinghouse
Faktor Kelas Lambang Penyesuaian
Keterampilan
SuperskillA1 0.15A2 0.13
ExcelentB1 0.11B2 0.08
GoodC1 0.06C2 0.03
Average D 0
FairE1 -0.05E2 -0.1
PoorF1 -0.16F2 -0.22
Konsistensi
Perfect A 0.04Excellent B 0.03
Good C 0.01Average D 0
Fair E -0.02Poor F -0.04
Kondisi Kerja
Ideal A 0.06Excellent B 0.04
Good C 0.02Average D 0
Fair E -0.03Poor F -0.07
Tabel 2.2 Penyesuaian menurut Westinghouse (lanjutan)
12
Faktor Kelas Lambang Penyesuaian
Usaha
ExcessiveA1 0.13A2 0.12
ExcellentB1 0.1B2 0.08
GoodC1 0.05C2 0.02
Average D 0
FairE1 -0.04E2 -0.08
PoorF1 -0.12F2 -0.17
Sebagai contoh perhitungan, berdasarkan Sutalaksana, Anggawisastra,
& Tjakraatmadja (1979:146), jika waktu siklus rata-rata adalah 124,6 detik
dan waktu itu dicapai dengan keterampilan pekerja yang dinilai fair (E1),
usaha good (C2), kondisi excellent (B), dan konsistensi poor (F), maka
tambahan terhadap p = 1 adalah :
Keterampilan : Fair (E1) = - 0,05
Usaha : Good (C2) = + 0,02
Kondisi : Excellent (B) = + 0,04
Konsistensi : Poor (F) = - 0,04
----------------------------------
Jumlah : - 0,03
Jadi p = (1 – 0.03) atau p = 0,97, sehingga waktu normalnya:
Wn = 124,6 x 0,97 = 120,9 detik
2.1.1.2 Kelonggaran
13
Menurut Cudney (2009:57), faktor kelonggaran memperhitungkan
kondisi kerja. Sebagai contoh, jika seseorang harus berdiri sepanjang hari
untuk melakukan pekerjaannya, maka hal ini akan mempengaruhi tingkat
kelelahan pekerja tersebut, sehingga pekerja akan melakukan istirahat sejenak
untuk menghilangkan kelelahan tersebut.
Menurut Sutalaksana, Anggawisastra, & Tjakraatmadja (1979:149),
kelonggaran diberikan untuk tiga hal, yaitu kebutuhan pribadi,
menghilangkan kelelahan, dan kelonggaran yang tidak dapat dihindarkan.
Tabel 2.3 Besarnya kelonggaran berdasarkan faktor tenaga yang dikeluarkan
FaktorKelonggaran (%)
Ekivalen beban Pria Wanita
A. Tenaga yang dikeluarkan
1. Dapat diabaikan tanpa beban 0.0 - 6.0 0.0 - 6.02. Sangat ringan 0.00 - 2.25 kg 6.0 - 7.5 6.0 - 7.53. Ringan 2.25 - 9.00 7.5 - 12.0 7.5 - 16.04. Sedang 9.00 - 18.00 12.0 - 19.0 16.0 - 30.05. Berat 19.00 - 27.00 19.0 - 30.0 6. Sangat berat 27.00 - 50.00 30.0 - 50.0 7. Luar biasa berat diatas 50 kg
Tabel 2.4 Besarnya kelonggaran berdasarkan faktor sikap kerja
Faktor Kelonggaran (%)
B. Sikap kerja
1. Duduk 0.00 - 1.02. Berdiri diatas dua kaki 1.0 - 2.53. Berdiri diatas satu kaki 2.5 - 4.04. Berbaring 2.5 - 4.05. Membungkuk 4.0 – 10
Tabel 2.5 Besarnya kelonggaran berdasarkan faktor gerakan kerja
14
Faktor Kelonggaran (%)
C. Gerakan kerja
1. Normal 02. Agak terbatas 0 – 53. Sulit 0 – 54. Pada anggota-anggota badan terbatas 5 – 10
5. Seluruh anggota badan terbatas 10 – 15
Tabel 2.6 Besarnya kelonggaran berdasarkan faktor kelelahan mata
Faktor Kelonggaran (%)
D. Kelelahan mata Pencahayaan baik Buruk
1. Pandangan yang terputus- putus 0.0 - 6.0 0.0 - 6.0
2. Pandangan yang hampir terus menerus 6.0 - 7.5 6.0 - 7.5
3. Pandangan terus menerus dengan fokus yang berubah-ubah
7.5 - 12.0 7.5 - 16.0
12.0 - 19.0 16.0 - 30.0
4. Pandangan terus menerus dengan fokus tetap
19.0 - 30.030.0 - 50.0
Tabel 2.7 Besarnya kelonggaran berdasarkan faktor keadaan temperatur kerja
Faktor Kelonggaran (%)
E. Keadaan temperatur tempat kerja Temperatur Kelemahan
normal Berlebihan
1. Beku Dibawah 0 diatas 10 diatas 122. Rendah 0 - 13 10 – 0 12 – 53. Sedang 13 - 22 5 – 0 8 – 04. Normal 22 - 28 0 – 5 0 – 85. Tinggi 28 - 38 5 - 40 8 – 1006. Sangat tinggi diatas - 38 diatas 40 diatas 100
Tabel 2.8 Besarnya kelonggaran berdasarkan faktor keadaan atmosfer
15
Faktor Kelonggaran (%)
F. Keadaan atmosfer
1. Baik 02. Cukup 0 – 53. Kurang baik 5 – 104. Buruk 10 – 20
Tabel 2.9 Besarnya kelonggaran berdasarkan faktor keadaan lingkungan
Faktor Kelonggaran (%)
G. Keadaan lingkungan yang baik
1. Bersih, sehat, cerah dengan kebisingan rendah 0
2. Siklus kerja berulang ulang antara 5 - 10 detik 0 – 1
3. Siklus kerja berulang- ulang antara 0 - 5 detik 1 – 3
4. Sangat bising 0 – 55. Jika faktor-faktor yang berpengaruh dapat menurunkan kualitas
0 – 5
6. Terasa adanya getaran lantai 5 – 10
7. Keadaan-keadaan yang luar biasa (bunyi, kebersihan, dll)
5 – 15
Menurut Sutalaksana, Anggawisastra, & Tjakraatmadja (1979:153),
besarnya kelonggaran untuk kebutuhan pribadi bagi pria antara 0 - 2,5 %, dan
bagi wanita 2 – 5 %.
Menurut Sutalaksana, Anggawisastra, & Tjakraatmadja (1979:154),
untuk menentukan kelonggaran yang tidak dapat dihindarkan, harus
menggunakan pengukuran khusus seperti work sampling.
Sebagai contoh perhitungan, berdasarkan Sutalaksana, Anggawisastra,
& Tjakraatmadja (1979:154), misalkan suatu pekerjaan yang sangat ringan
16
yang dilakukan sambil duduk dengan gerakan-gerakan yang terbatas,
membutuhkan pengawasan mata terus-menerus dengan pencahayaan yang
kurang memadai, temperatur dan kelembapan ruangan normal, siklus udara
baik, dan tidak bising. Dari tabel kelonggaran yang telah diberikan,
didapatkan persentase kelonggaran sebagai berikut:
(7 + 0 + 3 + 5 + 2,5 + 0 + 2) % = 19,5 %
Berdasarkan Sutalaksana, Anggawisastra, & Tjakraatmadja (1979:154),
jika dari work sampling didapatkan besar kelonggaran yang tidak dapat
dihindarkan sebesar 5 %, maka kelonggaran total yang harus diberikan untuk
pekerjaan itu adalah 19,5 % + 5 % = 24,5 % .
Jika waktu normal telah dihitung sama dengan 5,5 menit, maka waktu
bakunya adalah:
Wbaku = 5,5 + (5, 5 x 24,5 %)
= 5,5 + 1,35
= 6,85 menit
2.1.1.3 Applikasi Penggunaan Perhitungan Waktu Baku
Penggunaan perhitungan waktu baku dengan perhitungan waktu normal
dan waktu siklus, masih digunakan hingga saat ini. Contoh jurnal edukasi
yang memiliki perhitungan waktu baku sebagai isi bahasannya adalah jurnal
“Ask The Expert” karya Cudney, E., Armendariz, L., & Mehta, M.
2.1.2 Rute Produksi
17
Menurut Wignjosoebroto (2003:95), rute produksi atau production
routing adalah urutan langkah-langkah operasi secara spesifik, yang harus
dilakukan dalam suatu operasi manufakturing sebuah produk.
Berikut ini, diberikan suatu contoh mengenai production routing dari
pembuatan mechanical jack stand berdasarkan Wignjosoebroto (2003:96).
Tabel 2.10 Contoh production routing mechanical jack stand
Production RoutingNama Benda Kerja Jack Stand No. Gambar 562Janis Material Besi Tuang Kelabu
No.Operasi Kerja Operasi Kerja
Mesin Yang
DipakaiTools
Waktu Standar
(jam/unit)
1
Membuat permukaan atau membuat lubang senter dengan centre drill
Turret Lathe
Chuck, form tools
0,019
2Membubut / menghaluskan bagian atas, bawah dan sisi
820 Logan Lathe
Chuck, Form Tools
0,064
3Melebarkan lubang, membuat ulir dalam, dan counter bore.
2 L. Gisholt Lathe
Square Thread Boring
0,042
Menurut Wignjosoebroto (2003:95), beberapa informasi yang harus ikut
menyertai didalam langkah ini, yaitu sebagai berikut:
1. Nama dan nomor komponen yang akan dibuat.
2. Nomor gambar kerja dari komponen tersebut.
3. Macam operasi kerja dan nomor operasinya.
4. Mesin dan / atau peralatan produksi yang dipakai.
5. Waktu baku yang ditetapkan untuk masing-masing operasi kerja.
18
Menurut Wignjosoebroto (2003:95), proses routing akan menyimpulkan
langkah-langkah operasi yang diperlukan untuk merubah bahan baku menjadi
produk yang dikehendaki.
2.1.3 Perencanaaan Kapasitas
Menurut Gaspersz (2001:125), perencanaan kapasitas (capacity
planning) digunakan untuk menentukan sumber-sumber daya atau tingkat
yang dibutuhkan oleh operasi manufakturing untuk memenuhi jadwal
produksi yang diinginkan, membandingkan kebutuhan produksi dengan
kapasitas yang tersedia, dan menyesuaikan tingkat kapasitas atau jadwal
produksi. Salah satu sumber daya yang dicakup dalam perencanaan kualitas
adalah kapasitas jam mesin.
Menurut Gaspersz (2001:127), sistem manufakturing tidak dapat
memproduksi sesuai jadwal yang diinginkan tanpa memiliki kapasitas yang
cukup.
2.1.3.1 Metode Pengukuran Kapasitas
Menurut Gaspersz (2001:208), pada dasarnya terdapat tiga metode
pengukuran kapasitas, yaitu:
1. Theoritical capacity, dimana kapasitas maksimum yang mungkin dari
sistem manufakturing didasarkan pada asumsi mengenai adanya kondisi
ideal seperti tiga shift per hari, tujuh hari perminggu, tidak ada downtime
mesin, dll.
19
2. Demonstrated capacity, dimana kapasitas maksimum yang diharapkan
berdasarkan pada pengalaman, yang mengukur produksi secara aktual
dari pusat kerja di waktu lalu.
3. Rated capacity, dimana kapasitas maksimum yang diharapkan
berdasarkan pada penyesuaian kembali kapasitas aktual. Kapasitas aktual
tersebut didapatkan dari perhitungan pada demonstrated capacity.
Penyesuaian dilakukan dengan menggandakan waktu kerja yang tersedia
dengan faktor utilisasi dan efisiensi.
2.1.3.2 Teknik Perencanaan Kapasitas
Menurut Gaspersz (2001:127), salah satu tingkat perencanaan kapasitas
adalah rough cut capacity planning (RCCP).
Menurut Gaspersz (2001:128), RCCP menentukan apakah sumber daya
yang direncanakan adalah cukup untuk melaksanakan master production
schedule (MPS).
2.1.3.3 Rough Cut Capacity Planning
Menurut Gaspersz (2001:173), pada dasarnya terdapat empat langkah
yang diperlukan untuk melaksanakan RCCP, yaitu:
1. Memperoleh informasi tentang rencana produksi dari MPS
2. Memperoleh informasi tentang struktur produk dan waktu tunggu (lead
times).
3. Menentukan bill of resources.
4. Menghitung kebutuhan sumber daya spesifik dan membuat laporan
RCCP.
20
Berikut ini, diberikan contoh laporan kebutuhan kapasitas mesin
berdasarkan analisis RCCP berdasarkan Gaspersz (2001:175).
Tabel 2.11 Contoh laporan RCCP tentang kebutuhan kapasitas mesin
Deskripsi Minggu 32
Minggu 33
Minggu 34
Minggu 35 Total
(1) Jam Standar Mesin 61,56 61,56 52,92 40,82 216,86
(2) Tingkat Efisiensi (Kondisi Aktual) 0,95 0,95 0,95 0,95 -
(3) Kebutuhan Aktual = (1) / (2) 64,80 64,80 55,71 42,97 228,28
(4) Kapasitas Tersedia (Demonstrated)
58,25 58,25 58,25 58,25 233,00
(5) Kekurangan / Kelebihan Kapasitas = (4) - (3)
- 6,55 - 6,55 + 2,54 + 15,28 + 4,72
2.1.4 Penjadwalan Produksi
Menurut Pinedo (2008:1), penjadwalan adalah proses pembuatan
keputusan yang dilakukan secara rutin pada banyak industri manufakturing
dan jasa. Penjadwalan berhubungan dengan alokasi sumber daya yang harus
dikerjakan dalam periode waktu tertentu dan bertujuan mengoptimalkan satu
obyektif atau lebih.
Menurut Pinedo (2008:6), salah satu kendala penjadwalan pada industri
bersifat jasa adalah masalah sumber daya yang tersedia. Model penjadwalan
yang digunakan akan berbeda dari yang biasa digunakan pada perusahaan
produksi umumnya.
Menurut Masahiro, Masahiko, & Ichiro (2003:81), pada industri make-
to-order, prioritas utama dalam melakukan penjadwalan produksi adalah
memenuhi batas pengiriman yang dijanjikan pada setiap pelanggan.
21
Menurut Masahiro, Masahiko, & Ichiro (2003:81), pada perusahaan
make-to-order, yang biasanya terjadi pada lingkungan produksi job shop.
Tidaklah mudah untuk memenuhi seluruh janji pengiriman tersebut. Hal itu
dikarenakan seluruh pekerjaan, yang semestinya memiliki batas pengiriman
berbeda-beda dari satu dengan yang lainnya, memiliki proses dan waktu
produksi yang berbeda juga. Sehingga kebutuhan kapasitas pada setiap pusat
kerja akan berbeda.
2.1.4.1 Teknik Penjadwalan
Menurut Gaspersz (2001:245) dan Stevenson (2009:741) pada dasarnya
terdapat dua metode atau teknik penjadwalan, yaitu forward scheduling dan
backward scheduling.
Menurut Gaspersz (2001:247), teknik-teknik penjadwalan seharusnya
dipilih agar sesuai dengan lingkungan manufakturing. Untuk manufaktur
make-to-order dan assemble-to-order, gunakan forward scheduling untuk
membuat janji penyelesaian pesanan kepada pelanggan (due date).
2.1.4.2 Forward Scheduling
Menurut Gaspersz (2001:245), forward scheduling (forward
alghorithm) dimulai dari start date pada operasi pertama, kemudian
menghitung operation date ke depan (forward) untuk setiap operasi (sampai
operasi terakhir) guna menentukan finish date. Berdasarkan perhitungan ini
akan diketahui start date untuk setiap langkah.
22
Menurut Gaspersz (2001:246), pada dasarnya forward scheduling
menjawab pertanyaan, berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk
menyelesaikan suatu pesanan.
2.1.4.3 Backward Scheduling
Menurut Gaspersz (2001:245), backward scheduling (backward
alghorihtm) dimulai dengan tanggal atau waktu dimana suatu pesanan yang
dibutuhkan itu harus diselesaikan (due date), kemudian menghitung mundur
(backward) guna menentukan waktu yang tepat untuk mengeluarkan pesanan
itu (start date).
Menurut Gaspersz (2001:246), backward scheduling menjawab
pertanyaan, kapan harus memulai mengerjakan suatu pesanan agar dapat
diselesaikan sesuai dengan waktu yang diinginkan itu.
2.1.4.4 Bidirectional Scheduling
Menurut Yoosefzadeh, Tareghian, & Farahi (2010:361), forward dan
backward scheduling digabungkan pada bidirectional scheduling untuk
membuat jadwal dari dua arah secara simultan.
2.1.4.5 Applikasi Penggunaan Metode Forward dan Backward Scheduling
Penjadwalan dengan metode forward dan backward scheduling masih
digunakan pada penjadwalan di masa sekarang. Hal ini ditunjukan oleh masih
banyaknya jurnal-jurnal pendidikan yang menggunakan metode forward dan
backward scheduling.
23
Beberapa contoh jurnal yang membahas forward scheduling antara lain
jurnal “Tri-directional Scheduling Scheme” karya Yoosefzadeh, H. R.,
Tareghian, H. R. dan Farahi, M. H., jurnal “Parallel Batch Scheduling of
Equal-Length Jobs With Release and Due Dates” karya Condotta, A., Knust,
S., & Shaklevich, N. V., jurnal “A Study of A Heuristic Capacity Planning
Alghorithm For Weapon Production System” karya Chen, J. C. et al, dan
jurnal “Understanding and using the capabilities of finite scheduling” karya
Dumond, E. J.
2.1.4.6 Perhitungan Total Waktu Istirahat
Pada perhitungan waktu produksi dengan menggunakan forward
scheduling, waktu produksi hanya menggunakan input berupa kuantitas
produk dan waktu baku dalam perhitungannya. Sedangkan pada produk-
produk yang memiliki waktu proses lama (baik diakibatkan oleh jumlah
kuantitas pesanan atau tidak), waktu istirahat tentu saja harus diperhitungkan.
Waktu istirahat tiap perusahaan tentu saja berbeda, baik dari interval istirahat,
dan juga lama istirahat.
Lain halnya dengan perusahaan umum yang tidak bergerak pada bidang
manufaktur, perhitungan waktu istirahat akan sangat berpengaruh terhadap
kapasitas produksi perusahaan manufaktur. Untuk itu diperlukan suatu
perhitungan waktu istirahat yang dapat digunakan dalam perhitungan waktu
produksi suatu pesanan.
Perhitungan total waktu istirahat akan dirumuskan sebagai berikut:
24
Dimana Wb adalah waktu istirahat, Wi adalah waktu interval antara
istirahat, atau dapat diartikan waktu kerja produktif, dan Wp adalah waktu
produksi yang diperlukan berdasarkan perhitungan waktu baku.
Sebagai contoh perhitungan, misalkan sebuah perusahaan memiliki
waktu istirahat 5 menit setiap 55 menit bekerja. Pada perusahaan tersebut, ada
pesanan produk dengan waktu produksi 128 menit berdasarkan waktu baku.
Maka perhitungan waktu istirahat akan seperti berikut:
= 10 menit
Jadi, adalah 10 menit, sehingga waktu produksi dengan
mempertimbangkan waktu istirahat (Wpb) adalah:
Wpb = +
= 128 + 10
= 138 menit
2.1.4.7 Dispatching System
Menurut Gaspersz (2001:248), dispatch list dapat diciptakan untuk job
shop manufacturing, guna menunjukan sekuens dari kerja yang akan
dilakukan oleh setiap pusat kerja. Dispatch list adalah dokumen kerja yang
biasanya direvisi setiap hari atau untuk setiap shift.
Berikut ini, diberikan tabel contoh jadwal beban kerja satu pusat kerja
berdasarkan Dumond (2005:519).
25
Tabel 2.12 Contoh jadwal beban kerja satu pusat kerja
Work Center
Start Date
Start Time
Finish Date
Finish Time
Job Number Quantity
Lathe
6-Jan-03 630 6-Jan-03 825 24250.30 5506-Jan-03 930 6-Jan-03 1020 24253.10 2306-Jan-03 1020 7-Jan-03 920 24244.12 2007-Jan-03 920 7-Jan-03 1256 24247.10 127-Jan-03 1256 8-Jan-03 947 24251.10 578-Jan-03 947 9-Jan-03 1247 24244.12 2009-Jan-03 1023 9-Jan-03 1241 24247.10 12
2.1.4.8 Operation Sequencing
Menurut Gaspersz (2001:248), operation sequencing adalah proses
menspesifikasikan dalam susunan atau urutan bagaimana tugas-tugas atau
operasi itu dikerjakan pada setiap pusat kerja.
Menurut Gaspersz (2001:248), sequencing mengacu kepada aturan-
aturan prioritas untuk penugasan (priority rules for dispatching jobs). Aturan
priotitas itu antara lain critical ratio (CR), shortest processing time (SPT),
first come first serve (FCFS), earliest due date (EDD), dan longest processing
time (LPT).
2.2 Sistem Informasi
Menurut Satzinger, Jackson, & Burd (2005:7), sistem informasi adalah
kumpulan dari komponen-komponen yang tidak berhubungan yang
mengumpulkan, memproses, menyimpan, dan menyediakan output informasi
yang dibutuhkan untuk menyelesaikan suatu tugas bisnis.
Menurut Regan, & O’Connor (2002:17), sistem informasi memiliki
peranan dan fungsi sebagai pendukung dalam sebuah perusahaan
26
2.2.1 Pemodelan Proses Bisnis
Menurut Satzinger, Jackson, & Burd (2005:144), cara
mendokumentasikan proses bisnis yang paling efektif adalah dengan
menggunakan diagram dan model. Salah satu keuntungan utama
menggunakan diagram dan model adalah mereka dapat menjadi alat
komunikasi yang bagus diantara anggota tim dan para pengguna sistem.
Menurut Satzinger, Jackson, & Burd (2005:144), banyak analis
menggunakan suatu tipe diagram workflow dalam mendokumentasikan
workflow, yaitu activity diagram.
2.2.1.1 Activity Diagram
Menurut Satzinger, Jackson, & Burd (2005:144-145), activity diagram
adalah diagram workflow sederhana yang menggambarkan berbagai aktivitas
pengguna, orang yang melakukan tiap aktivitas tersebut, dan urutan alur dari
tiap aktivitas.
Gambar 2.1 Simbol activity diagram
27
Menurut Satzinger, Jackson, & Burd (2005:145), bentuk oval mewakili
tiap aktivitas pada sebuah workflow. Panah penghubung mewakili urutan
antara aktivitas. Lingkaran hitam digunakan untuk menunjukan awal dan
akhir dari workflow. Bentuk wajik mewakili lokasi keputusan, dimana hasil
keputusan akan menentukan arah jalur proses workflow akan bergerak.
Menurut Satzinger, Jackson, & Burd (2005:145), garis tebal adalah
synchronization bar, yang mungkin membagi workflow menjadi beberapa
jalur, atau menggabungkan jalur-jalur yang terpisah. Swimlane mewakili
pelaku (manusia) yang melakukan aktivitas.
2.2.2 Identifikasi Kebutuhan - Use Case
Menurut Satzinger, Jackson, & Burd (2005:166), kebutuhan fungsional
suatu sistem yang akan dikembangkan perlu dijadikan model. Secara umum,
seluruh pemodelan kebutuhan fungsional dalam pengembangan sistem,
dimulai dari konsep use case.
Menurut Satzinger, Jackson, & Burd (2005:166), beberapa metode
direkomendasikan untuk mengidentifikasikan use cases. Metode-metode
tersebut antara lain, actor list, dan event table.
2.2.2.1 Actor List
Menurut Satzinger, Jackson, & Burd (2005:166), salah satu pendekatan
untuk mengidentifikasi use case adalah dengan membuat tabel seluruh
pengguna (actor list), dan menuliskan apa yang mereka butuhkan dari sebuah
sistem, untuk membantu pekerjaan mereka.
28
Berikut ini, diberikan contoh actor list berdasarkan Satzinger, Jackson,
& Burd (2005:166).
Tabel 2.13 Contoh actor list
User / Actor User Goal
Bagian penerimaan permintaanMelihat ketersediaan barangMembuat permintaan baruMeng-update permintaan
Bagian pengirimanMencatat pemenuhan permintaanMencatat back-order
Manajer penjualanMembuat promosi specialMembuat laporan aktivitas katalog
2.2.2.2 Event Table
Menurut Satzinger, Jackson, & Burd (2005:174), ketika melakukan
pencatatan event, analis harus mencatat informasi tambahan tiap event untuk
digunakan nantinya. Informasi yang paling penting untuk diketahui adalah,
use case yang dibutuhkan oleh sistem untuk merespon terhadap event yang
terjadi. Informasi tersebut dapat didokumentasikan dalam event table.
Menurut Satzinger, Jackson, & Burd (2005:174), event table adalah
sebuah katalog yang mendaftar event pada baris, dan informasi tentang event
tersebut pada kolom. Salah satu informasi pada tiap event yang terdapat pada
event table adalah use case.
Menurut Satzinger, Jackson, & Burd (2005:174), event table merupakan
sebuah cara yang praktis, untuk mencatat informasi utama, tentang
kebutuhan-kebutuhan (use cases) bagi sistem.
Berikut ini, diberikan contoh event table berdasarkan Satzinger,
Jackson, & Burd (2005:175).
29
Tabel 2.14 Contoh event table
Event Trigger Source Use Case Response DestinationPelanggan
ingin mengecek
ketersediaan barang
Pemerik-saan
barang
Pelang-gan
Mencari keterse-diaan
barang
Rincian keterse-diaan
barang
Pelanggan
2.2.3 Identifikasi Kebutuhan - Domain Classes
Menurut Satzinger, Jackson, & Burd (2005:178), salah satu konsep lain
yang digunakan untuk mendefiniskan kebutuhan sistem adalah dengan
memahami dan memodelkan hal-hal yang berhubungan dengan pekerjaan
penguna di dalam problem domain.
Menurut Satzinger, Jackson, & Burd (2005:183), pada pendekatan
object-oriented, hal-hal (informasi) yang berhubungan dengan pekerjaan
pengguna di dalam problem domain, disebut dengan problem domain classes.
Menurut Satzinger, Jackson, & Burd (2005:184), pemodelan problem
domain classes dapat dilakukan dengan menggunakan domain model class
diagram.
2.2.3.1 Domain Model Class Diagram
Menurut Satzinger, Jackson, & Burd (2005:184), domain model class
diagram adalah sebuah UML class diagram yang menunjukan problem
domain classes, hubungan antara class, dan attribut class.
Berikut ini, diberikan gambar simbol class pada domain model class
diagram dengan tiga bagian, berdasarkan Satzinger, Jackson, & Burd
(2005:185).
30
Gambar 2.2 Simbol class pada domain model class diagram
Menurut Satzinger, Jackson, & Burd (2005:185), pada domain model
class diagram, method tidak ditunjukan. Bahkan pada kenyataannya, simbol
class biasanya ditunjukan hanya dengan dua bagian untuk menunjukan
bahwa class diagram tersebut adalah domain model class diagram.
Menurut Satzinger, Jackson, & Burd (2005:182), mengerti dasar dari
tiap hubungan asosiasi, dalam pengertian jumlah asosiasi, juga merupakan hal
yang penting.
Menurut Satzinger, Jackson, & Burd (2005:182), jumlah asosiasi yang
terjadi disebut dengan multiplicity. Multiplicity dapat berupa hubungan one-
to-one atau one-to-many.
Menurut Satzinger, Jackson, & Burd (2005:186), analis tidak
menentukan multiplicity yang terdapat pada domain model class diagram,
pengguna sistem dan manajemen yang menentukan
Berikut ini, diberikan tabel notasi multiplicity berdasarkan Satzinger,
Jackson, & Burd (2005:186).
31
Tabel 2.15 Notasi multiplicity
Notasi Multiplicity Keterangan0..1 zero or one1 one and only one
1..1 one and only one alternate0..* zero or more* zero or more alternate
1..* one or more
Menurut Satzinger, Jackson, & Burd (2005:189), ada dua cara tambahan
agar seseorang dapat menyampaikan pengertian mereka terhadap, problem
domain classes di dunia nyata. Cara tambahan tersebut adalah hirarki
spesialisasi/generalisasi dan hirarki whole-part.
Menurut Satzinger, Jackson, & Burd (2005:67), hirarki
generalisasi/spesialisasi adalah sistem klasifikasi yang mengurutkan classes
dari superclass yang lebih umum kepada subclass yang lebih khusus.
Sebagai contoh, berikut ini diberikan gambar penggunaan hirarki
generalisasi/spesialisasi berdasarkan Satzinger, Jackson, & Burd (2005:190).
Gambar 2.3 Contoh hirarki generalisasi/spesialisasi
32
Menurut Satzinger, Jackson, & Burd (2005:190), hirarki whole-part
adalah hirarki yang membangun class berdasarkan komponen asosiasi class
tersebut.
Berikut ini, diberikan contoh penggunaan hirarki whole-part
berdasarkan Satzinger, Jackson, & Burd (2005:191).
Gambar 2.4 Contoh hirarki whole-part
2.2.4 Identifikasi Hubungan Use Cases dan Domain Classes
Menurut Satzinger, Jackson, & Burd (2005:197), mengetahui distribusi
sistem merupakan hal yang penting. Salah satu cara mengetahuinya adalah
dengan mengidentifikasikan hubungan antara use cases dan domain classes.
2.2.4.1 CRUD Matrix
Menurut Satzinger, Jackson, & Burd (2005:199), CRUD matrix atau
use-case domain class matrix, adalah sebuah tabel yang menunjukan use case
mana yang membutuhkan akses pada setiap domain class.
33
Berikut ini diberikan contoh tabel CRUD matrix berdasarkan Satzinger,
Jackson, & Burd (2005:200).
Tabel 2.16 Contoh CRUD matrix
Use CasesDomain Classes
Pelanggan Inventory Item Order
Mencari ketersediaan barang - R -
Membuat permintaan baru CRU RU C
Meng-update permintaan RU RU RUD
Menurut Satzinger, Jackson, & Burd (2005:199), huruf C memiliki arti
bahwa use case membuat data baru, R memiliki arti bahawa use case
membaca data, U memiliki arti bahwa use case meng-update data, dan D
memiliki arti bahwa use case mungkin menghapus data.
2.2.5 Identifikasi Kebutuhan Sistem dan Pemodelan Use Case
Menurut Satzinger, Jackson, & Burd (2005:211), dengan hanya
mengetahui use cases dan domain models baru merupakan pengenalan dari
pemodelan kebutuhan.
Menurut Satzinger, Jackson, & Burd (2005:211), dasar utama dari
pemodelan kebutuhan adalah pengertian. Pengertian terhadap kebutuhan
pengguna, pengertian terhadap bagaimana proses bisnis dijalankan, dan
pengertian bagaimana suatu sistem akan digunakan untuk mendukung proses
bisnis tersebut (kebutuhan sistem).
Menurut Satzinger, Jackson, & Burd (2005:212), untuk memodelkan
kebutuhan sistem, analis menggunakan sekumpulan model berdasarkan use
cases dengan pendekatan OO.
34
Menurut Satzinger, Jackson, & Burd (2005:212), model tersebut antara
lain, use case diagram, use case descriptions, activity diagram, dan system
sequence diagram.
2.2.5.1 Use Case Diagram
Menurut Satzinger, Jackson, & Burd (2005:213), use case diagram
adalah diagram yang menunjukan berbagai peran dari pengguna, dan cara
pengguna tersebut berinteraksi dengan sistem.
Berikut ini, diberikan notasi pemodelan use case diagram berdasarkan
Satzinger, Jackson, & Burd (2005:215).
Gambar 2.5 Notasi use case
Menurut Satzinger, Jackson, & Burd (2005:216), seringkali ketika
dalam melakukan pemodelan use case diagram, dijumpai lebih dari satu use
case untuk menggunakan use case pendukung yang sama. Untuk kasus
seperti ini, digunakan hubungan <<include>>.
35
Menurut Satzinger, Jackson, & Burd (2005:216), hubungan ini dapat
disebut dengan hubungan <<include>>, atau dapat juga disebut dengan
hubungan <<uses>>.
Berikut ini, diberikan contoh hubungan <<include>> berdasarkan
Satzinger, Jackson, & Burd (2005:219).
Gambar 2.6 Contoh hubungan <<include>>
2.2.5.2 Use Case Description
Menurut Satzinger, Jackson, & Burd (2005:220), membuat use case
diagram hanya merupakan satu bagian dari analisa use case. Penggunaan use
case diagram memang membantu mengidentifikasikan berbagai proses yang
dilakukan oleh pengguna, dan proses tersebut harus didukung oleh sistem
baru.
36
Menurut Satzinger, Jackson, & Burd (2005:220), meskipun demikian,
pengembangan sistem yang baik, memerlukan identifikasi kebutuhan dengan
tingkatan yang lebih rinci. Berikut ini, diberikan contoh use case description
berdasarkan Satzinger, Jackson, & Burd (2005:223).
Tabel 2.17 Contoh use case description
Use Case Name Membuat pemesanan baru
Scenario Membuat pemesanan baru melalui webTriggering Event
Pelanggan log on dengan website RMO dan meminta pembelian barang
Brief Description
Pelanggan log in dan meminta surat pemesanan baru. Pelanggan mencari katalog online dan membeli barang melalui katalog.Sistem menambahkan barang yang dibeli kedalam pemesanan.Diakhir, pelanggan memasukan informasi credit card.
Actors PelangganRelated Use Case
Includes: Mendaftar pelanggan baru, Mengecek ketersediaan barang
Stakeholders
Bagian penjualan : menyediakan informasi utamaBagian pengiriman: verifikasi bahwa informasi cukup untuk pengirimanBagian pemasaran: mengumpulkan statistik pelanggan guna pembelajaran pola beli
Preconditions Katalog, produk, dan barang di gudang ada untuk barang yang diminta
Postconditions
Pemesanan dan daftar barang yang dipesan harus dibuatTransaksi pemesanan harus dibuat untuk pembayaran pemesananJumlah barang digudang harus diupdatePemesanan harus dihubungkan dengan pelanggan
Flow of Events
Actor System1. Pelanggan membuka halaman pemesanan
2. Jika pelanggan baru, pelanggan membuat akun pelanggan
2.1 Membuat data pelanggan baru
dst dst
Exception Conditions
4.1 Jika barang tidak ada pada stok, maka pelanggan dapat …. Dst
2.2.5.3 System Sequence Diagram (SSD)
37
Menurut Satzinger, Jackson, & Burd (2005:226), system sequence
diagram adalah suatu tipe interaction diagram. System sequence diagram
digunakan untuk menggambarkan alur dari informasi yang masuk dan keluar
dari sistem.
Menurut Satzinger, Jackson, & Burd (2005:226), system sequence
diagram mendokumentasikan input, output, dan mengidentifikasikan
interaksi antara aktor dan sistem.
Menurut Satzinger, Jackson, & Burd (2005:226), pada system sequence
diagram atau interaction diagram lainnya, bukannya menggunakan notasi
class, analis menggunakan notasi objek. Notasi objek mengindikasikan
bahwa kotak akan mewakili sebuah objek individu, dan bukan sebuah class
seluruh objek yang serupa.
Berikut ini, diberikan notasi SSD berdasarkan Satzinger, Jackson, &
Burd (2005:229).
Gambar 2.7 Notasi system sequence diagram
38
Menurut Satzinger, Jackson, & Burd (2005:230), seringkali, pesan yang
sama dikirimkan berulang-kali. Sebagai contoh, ketika seorang aktor
memasukan barang kedalam pemesanan, pesan untuk menambahkan barang
kepada pemesanan mungkin dilakukan berulang-kali. Untuk kejadi seperti
ini, digunakan notasi pengulangan.
Berikut ini, diberikan contoh penggunaan dua notasi pengulangan
berdasarkan Satzinger, Jackson, & Burd (2005:230).
Gambar 2.8 Notasi pengulangan pada SSD
39
Menurut Satzinger, Jackson, & Burd (2005:230), kedua notasi tersebut
digunakan untuk menggambarkan kejadian pengulangan. Pada notasi pertama
(detailed notation), kotak bertuliskan loop for all items menunjukan bahwa
pesan didalam kotak akan terulang beberapa kali atau, diasosiasikan dengan
beberapa instansi. Pada notasi kedua (alternate notation), simbol bintang (*)
juga menunjukan pengulangan pesan, dan braket [ ] menunjukan true/false
condition. Jika kondisi dinyatakan benar (terpenuhi), maka pesan akan
dijalankan.
Menurut Satzinger, Jackson, & Burd (2005:231), penjelasan dari
alternate notation pada gambar diatas adalah:
* [true/false condition] return-value := message-name (parameter-list)
2.2.5.4 Statechart Diagram
Menurut Satzinger, Jackson, & Burd (2005:214), statechart diagram
adalah diagram yang menunjukan siklus hidup dari sebuah objek dalam
notasi state dan transition.
Berikut ini, diberikan notasi statechart diagram berdasarkan Satzinger,
Jackson, & Burd (2005:237).
Gambar 2.9 Notasi statechart diagram
40
Menurut Satzinger, Jackson, & Burd (2005:244), selain simbol yang
digambarkan pada notasi diatas, ada satu lagi simbol yang digunakan dalam
notasi statechart diagram yaitu simbol final pseudostate. Simbol final
pseudostate digambarkan dengan bentuk titik hitam yang dilingkari. Simbol
ini mewakili keadaan penghapusan objek dari sistem.
2.2.6 Mendesain Sistem
Menurut Satzinger, Jackson, & Burd (2005:262), setelah
mengidentifikasi seluruh kebutuhan, langkah selanjutnya adalah mendesain
sistem. Menurut Satzinger, Jackson, & Burd (2005:264), Salah satu tahap
dalam mendesain sistem tersebut adalah, dengan merealisasikan use case.
Menurut Satzinger, Jackson, & Burd (2005:293), dalam merealisasikan
use case perlu dibuat model object oriented design yang rinci (design
models). Model tersebut yang akan digunakan oleh programmers untuk
membuat sistem.
Menurut Satzinger, Jackson, & Burd (2005:293), pada pemodelan
design model, model akan dibuat berdasarkan three-layer design. Three layer
design tersebut antara lain domain layer, view layer, dan data access layer.
Menurut Satzinger, Jackson, & Burd (2005:293), dua model yang paling
penting dan harus dibuat adalah design class diagrams dan sequence
diagram.
2.2.6.1 Design Class Diagram
Menurut Satzinger, Jackson, & Burd (2005:302), design class diagram
merupakan pengembangan dari domain model class diagram.
41
Menurut Satzinger, Jackson, & Burd (2005:302), pengembangan
tersebut antara lain penambahan method, menambahkan rincian attribute, dan
menambahkan class yang berada diluar problem domain.
Menurut Satzinger, Jackson, & Burd (2005:303), empat tipe design
classes yang umum digunakan adalah, entity class, boundary class, control
class, dan data access class.
Berikut ini, diberikan tipe-tipe design classes beserta notasi stereotype
masing-masing class, berdasarkan Satzinger, Jackson, & Burd (2005:303).
Gambar 2.10 Tipe-tipe design classes
Berikut ini, diberikan gambar simbol class yang digunakan pada design
class diagram berdasarkan Satzinger, Jackson, & Burd (2005:304).
Gambar 2.11 Simbol class pada design class diagram
42
Menurut Satzinger, Jackson, & Burd (2005:306), untuk satu objek
melakukan interaksi dengan objek lain, objek tersebut harus mengirimkan
pesan. Agar pesan tersebut sampai, objek pertama harus terlihat oleh objek
kedua. Pada konteks tersebut, navigation visibility merupakan notasi yang
digunakan untuk mewakili kemampuan sebuah objek untuk melihat dan
berinteraksi dengan objek lain.
Berikut ini, contoh penggunaan navigation visibility berdasarkan
Satzinger, Jackson, & Burd (2005:340).
Gambar 2.12 Contoh navigation visibility
2.2.6.2 Sequence Diagram
Menurut Satzinger, Jackson, & Burd (2005:316), sequence diagram
menggunakan semua elemen yang sama seperti SSD. Perbedaannya adalah
pada sequence diagram objek sistem digantikan dengan seluruh pesan dan
objek internal yang ada didalam sistem.
Berikut ini, diberikan contoh notasi sequence diagram berdasarkan
Satzinger, Jackson, & Burd (2005:318).
43
Gambar 2.13 Notasi sequence diagram
Menurut Satzinger, Jackson, & Burd (2005:319), pada perancangan
design model sequence diagram berdasarkan three layer design, perlu
dirancang user interface classes dan data access classes.
Berikut ini, diberikan contoh notasi class yang digunakan pada design
model sequence diagram berdasarkan Satzinger, Jackson, & Burd (2005:323).
Gambar 2.14 Notasi class pada sequence diagram
44
Menurut Satzinger, Jackson, & Burd (2005:323), pada sequence
diagram, kotak mewakili objek, bukan class. Nama pada kotak digaris
bawahi untuk mengindikasikan objek.
Menurut Satzinger, Jackson, & Burd (2005:323), umumnya tidaklah
penting untuk memberikan identitas pada sebuah objek, sehingga notasi yang
diberikan hanya berupa : Person . Tetapi, suatu saat, pemberian identitas
kepada sebuah objek tertentu merupakan hal yang penting. Pada saat tersebut,
notasi akan menjadi Mary:Person. Titik dua berfungsi sebagai pembagi
antara nama objek dengan identitas objek (class).
2.2.6.3 Use Case Controller
Menurut Satzinger, Jackson, & Burd (2005:314), biasanya, setiap use
case dapat memiliki berbagai pesan masuk yang datang dari aktor. Untuk
memudahkan pengumpulan, dan pemrosesan seluruh pesan untuk sebuah use
case, perancang sistem seringkali membuat sebuah class baru, yang
digunakan sebagai titik pengumpulan pesan yang masuk. Class tersebut
disebut dengan use case controller.
2.2.6.4 Package Diagram
Menurut Satzinger, Jackson, & Burd (2005:339), package diagram
adalah diagram tingkat tinggi yang memungkinkan perancang sistem untuk
mengasosiasikan class-class dari kelompok yang berhubungan.
Menurut Satzinger, Jackson, & Burd (2005:340), pada package
diagram, classes akan diletakan kedalam package, berdasarkan layer yang
sesuai.
45
Berikut ini, diberikan contoh notasi package diagram berdasarkan
Satzinger, Jackson, & Burd (2005:341).
Gambar 2.15 Notasi package diagram
2.2.6.5 Deployment Diagram
Menurut Satzinger, Jackson, & Burd (2005:379), deployment diagram
adalah sebuah tipe diagram implementasi yang berfungsi menunjukan
penyebaran dari berbagai komponen-komponen fisik di lokasi-lokasi yang
berbeda.
Berikut ini, diberikan notasi deployment diagram berdasarkan
Satzinger, Jackson, & Burd (2005:380).
46
Gambar 2.16 Notasi deployment diagram
2.2.6.6 Relational Databases
Menurut Satzinger, Jackson, & Burd (2005:407), relational databases
adalah sistem pengaturan database, yang mengorganisasikan data menjadi
suatu tabel atau hubungan (relations).
Menurut Satzinger, Jackson, & Burd (2005:407), tabel pada relational
databases mirip dengan tabel pada database umumnya, namun penamaan
yang digunakan berbeda. Pada tabel relational databases, sebuah baris
disebut dengan record, dan kolom disebut dengan field.
Menurut Satzinger, Jackson, & Burd (2005:408), setiap tabel pada
relational database harus memiliki key yang unik.
Berikut ini, diberikan contoh tabel relational database berdasarkan
Satzinger, Jackson, & Burd (2005:408).
Tabel 2.18 Contoh tabel relational database
ID Produk Vendor Gender Deskripsi1244 Laki Trouser Kasual1245 Laki Jaket1246 Laki Jaket V-Tech1247 Laki Baju
47
2.3 Manajemen Bisnis
Menurut Madura (2001:2), bisnis atau perusahaan adalah suatu badan
hukum yang menghasilkan barang atau jasa yang diperlukan pelanggan.
Menurut Madura (2001:213), arti manajemen pada bisnis adalah
pendayagunaan sumberdaya manusia dan sumber daya lain dengan cara yang
paling baik, agar dapat mencapai rencana-rencana dan sasaran-sasaran
perusahaan.
Menurut Madura (2001:214), manajemen yang efektif dapat
meningkatkan kinerja perusahaan, dan oleh karena itu dapat meningkatkan
nilai perusahaan, bagi para pemegang saham.
2.3.1 Tanggung Jawab Kepada Pelanggan
Menurut Madura (2001:71), tanggung jawab perusahaan kepada
pelanggan jauh lebih luas daripada menyediakan barang atau jasa. Perusahaan
mempunyai tanggung jawab ketika memproduksi dan menjual produknya.
Salah satu tanggung jawab tersebut adalah tanggung jawab dalam proses
penjualan.
Menurut Madura (2001:71), perusahaan perlu petunjuk yang membuat
karyawan tidak berani menggunakan strategi penjualan yang terlalu agresif,
atau pemasaran yang menyesatkan. Mereka juga menggunakan survei
kepuasan pelanggan, untuk meyakinkan bahwa pelanggan diperlakukan
dengan semestinya, oleh karyawan bagian penjualan.
Menurut Madura (2001:70), praktik bisnis yang tidak etis dapat sangat
berpengaruh tidak baik pada nilai perusahaan. Hal tersebut berdampak
terhadap penurunan nilai perusahaan, yang diukur dengan harga saham.
48
2.3.2 Strategi Respons Terhadap Permintaan Pelanggan
Menurut Gaspersz (2001:8), strategi respons terhadap permintaan
pelanggan, memiliki definisi bagaimana suatu perusahaan industri
manufaktur, akan memberikan tanggapan atau respons terhadap pemesanan
pelanggan. Strategi respons terhadap permintaan pelanggan tersebut antara
lain design-to-order dan make-to-order.
2.3.2.1 Design-to-Order
Menurut Gaspersz (2001:8), design-to-order atau kadang-kadang
disebut sebagai engineer-to-order, adalah strategi dimana perusahaan tidak
membuat produk itu sebelumnya. Dengan demikian, perusahaan yang
memilih strategi ini tidak akan mempunyai sistem inventory, karena produk
baru akan didesain dan diproduksi setelah ada permintaan pelanggan.
Menurut Gasperz (2001:8), biasanya pihak pelanggan akan meminta
proposal yang berkaitan dengan biaya, dan waktu pembuatan produk, dari
perusahaan. Apabila ada pesanan dari pelanggan, perusahaan akan
mengembangkan desain untuk produk yang diminta, kemudian menerima
persetujuan tentang desain itu dari pihak pelanggan, selanjutnya akan
memesan material-material yang dibutuhkan untuk pembuatan produk, dan
mengirimkan produk itu ke pelanggan.
2.3.2.2 Make-to-Order
Menurut Gaspersz (2001:8), make-to-order adalah strategi, dimana
perusahaan hanya memiliki desain produk dan beberapa material standar
dalam sistem inventory, dari produk-produk yang telah dibuat sebelumnya.
49
Menurut Gaspersz (2001:8), aktivitas proses pembuatan produk bersifat
khusus, yang disesuaikan dengan setiap pesanan dari pelanggan. Siklus
pesanan dimulai ketika pelanggan menspesifikasikan produk yang dipesan,
dalam hal ini perusahaan dapat membantu pelanggan, untuk menyiapkan
spesifikasi kebutuhan pelanggan itu. Proses pengajuan proposal dalam
strategi make-to-order, tentu saja lebih sederhana dan akan lebih murah,
apabila dibandingkan dengan pengajuan proposal pada strategi design-to-
order.
2.3.3 Pengelolaan Pemesanan
Menurut Baroto (2002:15), perencanaan dan pengendalian produksi
memiliki fungsi yang sama. Salah satu fungsinya adalah mengelola pesanan
(order) dari pelanggan. Para pelanggan memasukkan pesanan-pesanan untuk
berbagai produk. Pesanan-pesanan ini kemudian dimasukkan dalam MPS.
Pengelolaan ini biasanya dilakukan bila jenis produksinya make-to-order.
Menurut Heizer & Render (2006:376), dalam pengelolaan permintaan,
walaupun terdapat peramalan yang baik dan fasilitas yang dibangun sesuai
dengan peramalan tersebut, dapat terjadi ketidakcocokan antara permintaan
aktual dan kapasitas yang tersedia. Ketidakcocokan ini dapat berarti
permintaan melebihi kapasitas atau kapasitas melebihi permintaan.
Menurut Heizer & Render (2006:376), jika permintaan melebihi
kapasitas, perusahaan dapat mengatasi permintaan dengan menaikkan harga,
membuat penjadwalan dengan lead time yang panjang (yang mungkin tak
dapat diabaikan), dan mengurangi bisnis dengan keuntungan marginal.
50
Menurut Heizer & Render (2006:376), walaupun demikian, karena
fasilitas yang tidak mencukupi ini mengurangi keuntungan di bawah yang
mungkin dicapai, solusi jangka panjang biasanya dilakukan dengan cara
meningkatkan kapasitas.
2.3.4 Job Shop
Menurut Gaspersz (2001:11), strategi desain proses manufakturing
mendefinisikan bagaimana suatu produk industri dibuat atau diproses. Salah
satu strategi desain proses manufakturing tersebut adalah job shop.
Menurut Gaspersz (2001:12), dalam suatu job shop atau jumbled flow
process, produk dibuat dalam batch pada interval intermittent. Job shop
mengorganisasikan peralatan dan tenaga kerja dalam pusat-pusat kerja
berdasarkan jenis pekerjaan.
Menurut Gaspersz (2001:12), dalam job shop process, aliran produk
dan pekerjaan hanya terdapat dalam pusat-pusat kerja dimana mereka
dibutuhkan, sehingga membentuk pola aliran tercampur (jumbled flow
pattern). Karena job shop process menggunakan peralatan bersama dan
tenaga kerja berketerampilan tinggi, operasi job shop sangat fleksibel
terhadap perubahan dalam desain atau volume produk.
2.3.5 Mass Customization
Menurut Mitchell & Jiao (2001:685), mass customization memiliki arti
memproduksi barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan individual
pelanggan dengan efisiensi mendekati produksi massal (mass production).
51
Menurut Mitchell & Jiao (2001:697), tantangan dari pengalokasian
sumber daya manufakturing pada mass customization mencakup:
1. Jumlah jenis produk pada sistem manufaktur yang sangat banyak.
2. Prediksi produksi untuk tiap lini produk biasanya tidak tersedia.
3. Sistem harus mampu melakukan respon yang cepat terhadap perubahan
pasar.
4. Sistem harus mudah dikonfigurasikan.
5. Penambahan dan pengurangan sumber daya atau pekerjaan dapat
dilakukan dengan sedikit perubahan sistem penjadwalan.
2.3.6 Non-Value-Added Activities
Menurut Guan, Hansen, & Mowen (2009:432), non value added
activities (aktivitas tidak menambah nilai) merupakan aktivitas yang tidak
diperlukan dan tidak dinilai oleh bagian dalam perusahaan maupun dari pihak
luar (pelanggan).
Menurut Guan, Hansen, & Mowen (2009:433), penjadwalan adalah
salah satu dari aktivitas utama yang tidak menambahkan nilai. Untuk itu
diperlukan analisa aktivitas, untuk mencari cara memproduksi produk tanpa
harus melakukan aktivitas penjadwalan.
Menurut Guan, Hansen, & Mowen (2009:433), salah satu manajemen
aktivitas yang dapat dilakukan untuk mengurangi biaya adalah dengan
melakukan activity reduction (pengurangan aktivitas).
Menurut Guan, Hansen, & Mowen (2009:434), activity reduction
adalah penurunan waktu dan sumber daya yang dibutuhkan dari sebuah
aktivitas.
52
Menurut Guan, Hansen, & Mowen (2009:434), Pendekatan
pengurangan aktivitas ini, lebih ditujukan pada peningkatan efisiensi dari
aktivitas yang dibutuhkan, atau sebagai langkah untuk memindahkan non
value added activity ke arah activity elimination (penghapusan aktivitas).
2.3.7 Finite Scheduling
Menurut Dumond (2005:506), finite scheduling atau dapat juga disebut
finite capacity scheduling, merupakan sebuah metode penjadwalan produksi
yang menggunakan metode finite loading.
Menurut Dumond (2005:523), finite scheduling harus dipertimbangkan
lebih dari sekedar alat penjadwalan. Selain penjadwalan tersebut memang
memungkinkan untuk sebuah perusahaan membuat jadwal produksi, sesuai
dengan keinginan pelanggan. Finite scheduling akan lebih bermanfaat
sebagai alat menajemen.