Transcript

MK : ARSITEKTUR BALI 1

2011

BAB II KAJIAN TEORI

Penduduk Bali yang jumlahnya 2.300.000 jiwa menempati area seluas 5632,86 Km2. Rata-rata kepadatannya 410 jiwa/Km2 merupakan kepadatan yang tinggi,

terutama di Kota Denpasar. Keramah-tamahan penduduk dan rasa kekeluargaan yang akrab menjadikan solidaritas yang tinggi dan bentuk-bentuk kegotong-royongan di berbagai sektor. Ajaran-ajaran agama Hindu yang dianut oleh penduduknya menjiwai dan melatarbelakangi arsitekturnya. Penduduk yang cenderung bertempat tinggal di ruang-ruang modern, untuk keperluan aktivitas adat dan agama tetap memerlukan bangunan-bangunan dengan arsitektur tradisional. Agama, adat dan kepercayaan, melatar belakangi ilmu-ilmu pengetahuan dan ilmu pengetahuan melandasi agama bila agama dianut untuk stabilitas kepercayaan yang ilmiah. Jelas bahwa agama dan ilmu pengetahuan merupakan perimbangan dalam sistem-sistem religi dan pengetahuan yang harmonis. Sistem religi berpedoman pada Panca Srada sebagai pokok-pokok kepercayaan dan Panca Yadnya sebagai pokok-pokok pelaksanaan upacara keagamaan. Dari Panca Srada timbul sistem religi yang memupuk stabilitas kepercayaan dan sistem pengetahuan yang mengilmiahkan kepercayaan , adat dan ajaran agama. Dari Panca Yadnya timbul sistem religi yang menganut tata cara, tata nilai dan simbol-simbol religi yang menuju sasaran. Sistem pengetahuan yang mengajarkan proses, elemen dan sarana sebagai sistem komunikasi ritual yang diilmiahkan. Agama perlu dipelajari dan pengetahuan perlu dilandasi warna-warna agama. Dalam kehidupan masyarakat di Bali, kesenian adalah sebagian dari kehidupannya. Kesenian sebagai bagian dari kebudayaan, sebagaimana kebudayaan kesenian juga lahir dari hubungan manusia dengan alamnya. Kesenian dengan cabang-cabangnya seni rupa, seni bangunan, seni suara, dan seni gerak, 1 Dokumentasi Tri Kahyangan Desa Pakraman Ubung Denpasar

MK : ARSITEKTUR BALI 1

2011

perwujudannya juga mencerminkan manusia dan alam lingkungannya. Seni dalam perwujudannya ada yang ditampilkan dalam bentuk satu dua cabang, ataupun gabungan dari beberapa cabang. Misalnya seni tari, padanya terbangun seni bangunan, seni rupa, seni suara dan lain-lain. 1 II.1 Konsep Pemujaan dalam Agama Hindu Ciri pokok kehidupan beragama adalah percaya dan bhakti pada Tuhan Yang Maha Esa. Kemahakuasaan Tuhan tidak terbatas. Oleh karena itu manusia yang terbatas tidak mungkin mampu menjangkau ke-Maha Kuasaa Tuhan yang tiada terbatas itu. Meskipun demikian manusia yang terbatas inipun berusaha mendekatkan dirinya pada ke-Maha Kuasaan Tuhan. Upaya untuk mendekatkan diri pada ke-Maha Kuasan Tuhan bertujuan agar manusia dapat mendayagunakan kepercayaannya pada Tuhan Yang Maha Kuasa itu untuk meningkatkan mutu hidupnya. Meskipun ke-Maha Kuasaan Tuhan itu tiada terbatas, dilukiskan pula beberapa ke-Maha Kuasaan dalam kitab Wrhaspati Tattwa. Dalam kitab ini ada empat ke-Maha Kuasaan yang dapat disadari oleh penganut agama Hindu. Empat ke-Maha Kuasaan Tuhan itu disebut Cadu Sakti, yaitu : 1. Prabhu Sakti ialah : Tuhan itu menguasai segala-galanya. Tidak ada yang tidak terjangkau oleh kekuasaan Tuhan. 2. Wibhu Sakti ialah : Tuhan itu maha ada, Tuhan itu ada dimana-mana. Tidak ada ruang dan waktu di luar Tuhan. Bahkan ruang dan waktu itu ciptaan Tuhan dan berada di dalam Tuhan. 3. Jnyana Sakti ialah : Tuhan yang Mahatau. Tidak ada yang dtidak diketahui oleh Tuhan. 4. Krya Sakti ialah : Tuhan itu Maha Kerja. Tidak ada pekerjaan yang tidak dapat dikerjakan oleh Tuhan. Itulah empat kemahakuasaan Tuhan yang diyakini oleh umat Hindu. Manusia dengan alam semesta ini diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Dalam Bhagawadgita III, 10 dijelaskan Tuhan atau Prajapati menciptakan manusia (1

Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Bali Dinas Kebersihan dan Pertamanan, Taman Rumah Tinggal Tradisionil Bali, 1996: 12-14

2

Dokumentasi Tri Kahyangan Desa Pakraman Ubung Denpasar

MK : ARSITEKTUR BALI 1

2011

Praja) berdasarkan Yadnya. Tuhan menciptakan alam (kamadhuk) sebagai sumber kehidupan manusia. Keharmonisan itu akan terjadi apabila Tuhan atau Prajapati, Praja (manusia) dan alam (kamadhuk) berhubungan secara timbal balikberdasarkan Yadnya. Manusia dapat hidup karena yadnya Tuhan dan alam. Karena itulah manusia harus kembali pada Tuhan berdasarkan Yadnya. Salah satu cara untuk kembali mendekatkan diri pada Tuhan adalah dengan jalan menuju Tuhan itu sendiri. Dalam diri manusia ada atma yang merupakan percikan Tuhan (Paramatma). Puncak perjuangan manusia kembali pada Tuhan adalah bersatunya Atma dengan Paramatma. Sehubungan dengan itu ada istilah yang disebut dengan manusia suci. Manusia yang suci bila telah meninggalkan kehidupan dunia ini, rohnya (atmanya) diyakini berada di alam Ketuhanan. Atma yang telah mencapai alam Ketuhanan yaitu : atma yang lepas dari ikatan jasmaninya (stula sarira) dan ikatan badan astral (suksma sarira). Atma yang demikian itu disebut dalam berbagai pustaka sebagai Dewa Pitara. Dewa Pitara itu ialah Pitara yang telah mencapai alam kedewaan. Dewa Pitara inilah dapat dipuja oleh manusia hidup di dunia ini menurut ajaran agama Hindu. Pemujaan Dewa Pitara ini juga bertujuan untuk membantu manusia menuju bersatunya Atma dengan Paramatma. Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa umat Hindu pada prinsipnya memuja Tuhan dengan segala manifestasinya dan memuja roh suci (Dewa Pitara). Umat Hindu dalam memuja Tuhan Yang Maha Esa akan dirasakan mudah apabila dilakukan sesuai dengan bentuk kehidupan mereka masing-masing. Oleh karena itu seorang petani akan memuja Tuhan dalam fungsinya melindungi kaum tani, demikian pula seterusnya. Hal inilah yang menyebabkan adanya bermacam-macam bentuk tempat pemujaan. Di dalam kitab suci Weda Sruti dalam berbagai syairnya disebutkan kewjiban untuk memuja Tuhan Yang Maha Kuasa dengan segala manifestasinya. Disamping memuja Tuhan, Weda membenarkan pula memuja orang suci atau roh suci leluhur.

3

Dokumentasi Tri Kahyangan Desa Pakraman Ubung Denpasar

MK : ARSITEKTUR BALI 1

2011

Di bawah ini merupakan kutipkan syair kitab suci Weda yang tergolong kitab suci Weda Sruti yakni kitab Sweta Swatara Upanisad, II, 5 dan 17, sebagai berikut : 5. Yuje wam brahma purwyam Nambir wisloka etu patheya sureh Sruwantu wiswe amrtasya Putra ae dhamani diwyani tasthuh yang artinya : Puja kami tujukan kepada Brahma yang paling kami muliakan Semoga doa dan puja kami seperti yang telah diucapkan Oleh orang-orang suci yang bijaksana dapat didengar oleh Brahma, oleh Prajapati, serta oleh putra-putra yang maha abadi yang menempati surga sebagai tempat tinggalnya 17. yo dewo gnau yo psu yo wiswam bhu wanam awiwisa ya asodhisu yo wanas patisutasmai dewaya namonamah. yang artinya : Kepada seorang mahasuci yang seperti seorang Mahadewa, yang ada di dalam api, ada di dalam air, yang telah memasuki alam semesta, yang ada di dalam tanaman obat-obatan yang tumbuh setiap tahun, yang ada di daerah-daerah hutan, yang ada di dalam pohon-pohonan, kepada orang suci ini sampaikanlah persembahanmu, pujalah dia. Dua syair Upanisad ini merupakan sekelumit syair dari banyak syair-syair Weda yang mengajarkan tentang pemujaan Tuhan (Brahman) dengan segala manifestasinya. Disamping itu dibenarkan pula adanya pemujaan roh suci seseorang. Roh suci itu karena telah mencapai alam Ketuhanan bahkan telah luluh bersatu dengan kesucian Tuhan wajib disembah dan dipuja. Hal inilah yang menyebabkan pemujaan yang dilakukan oleh umat Hindu ditujukan kepada Tuhan dan manifestasinya serta roh suci leluhur. 4 Dokumentasi Tri Kahyangan Desa Pakraman Ubung Denpasar

MK : ARSITEKTUR BALI 1

2011

Bahkan Tuhan lebih banyak dipuja sesuai dengan fungsiNya. Di dalam kekawin Ramayana 1,3 ada disebutkan sebagai berikut : Gunamanta sang Dasaratha Wruh sira ring Weda bhakti ring dewa Tar malupeng pitra puja Masih ta sireng swagotra kabeh yang artinya : Amat utama sang Dasaratha Beliau pandai tentang Weda dan bakti kepada Dewa (Tuhan) Tidak pernah lupa memuja leluhur Amat kasih Beliau dengan seluruh keluarganya. Kutipan kekawin Ramayana ini merupakan pertanda bahwa pemujaan Tuhan dan leluhur dilaksanakan pula oleh umat Hindu di Indonesia. Kenyataan umat Hindu dimanapun berada selalu memuja Tuhan, dewa-dewa dan roh suci. 2

II.2

Tempat Pemujaan di Bali Tempat-tempat suci yang di dalam agama Hindu disebut Pura Kahyangan, Candi, atau Mandira itu ada dua macam, yaitu : 1. Pura tempat untuk memuja dan mengagungkan kebesaran Tuhan Hyang Widhi Wasa dengan berbagai manifestasinya disebut Pura Kahyangan.

2

Wiana, Ketut, Palinggih di Pamerajan, milik Pemda Tingkat I Bali Proyek Penyuluhan dan Penerbitan Buku Agama, 1989: 1-4

5

Dokumentasi Tri Kahyangan Desa Pakraman Ubung Denpasar

MK : ARSITEKTUR BALI 1

2011

2. Pura atau tempat suci untuk memuja roh leluhur yang sudah dipandang suci atau roh para Rsi yang dianggap telah menjadi dewa-dewa atau bhatara bhatari ini disebut Pura Dadia, Pura Kawitan atau Pura Pedharman. Tujuan dan fungsi dari pura sebagai tempat suci yang dibangun secara khusus menurut peraturan-peraturan yang telah ditentukan secara khusus pula ialah untuk menghubungkan diri dengan Sang Hyang Widhi serta prabhawanya untuk mendapatkan waranugraha. Juga pura itu merupakan tempat kegiatan-kegiatan sosial dan pendidikan dalam hubungan agama. Adapun pura atau kahyangan itu terdiri dari pada Pura / Kahyangan Tiga, Pura / Kahyangan Jagat. Yang disebut Pura Kahyangan Tiga ialah pura tempat memuja Hyang Widhi didalam manifestasinya sebagai triwisesa, yaitu Pura Desa/Bale Agung untuk Brahma sebagai pencipta, Pura Puseh atau Sagara untuk Wisma sebagai pemelihara, dan Pura Dalem untuk Bhatari Duarga sebagai manifestasi Hyang Widhi dalam fungsinya sebagai Pralina. Itulah sebabnya Pura Dalem terletak dekat kuburan sebagai simbol peleburan atau pralina. Dan setiap kuburan mempunyai tempat penujaan dinamai Prajapati.Disamping kahyangan-kahyangan ituada juga tempat-tempat pemujaan yang berfungsi sosial ekonomis, yaitu : Pura Subak yang disebut Ulun Suwi dan Ulun Danu. Kahyangan ini khusus untuk memuja dan mengagungkan Hyang Widhi dalam manifestasinya sebagai Sakti Wisnu (Dewi Sri), yaitu prabhawa Sang Hyang Widhi yang melingdungi dan memberi kesejahteraan terhadap semua makhluk. Yang disebut Pura Kahyangan Jagat ialah pura-pura Kahyangan Agung terutama yang terdapat di delapan penjuru angin dan pusat Pulau Bali yaitu : a. Pura Lempungan tempat Hyang Wdhi dalam perwujudannya sebagai Iswara, diujung timur Pulau Bali. b. Pura Andakasa tempat memuja Hyang Widhi dalam perwujudannya sebagai Brahma terletak di Selatan Pulau Bali. c. Pura Batukaru tempat memuja Hyang Widhi dalam perwujudannya sebagai Mahadewa, terletak di bagian Barat Pulau Bali.

6

Dokumentasi Tri Kahyangan Desa Pakraman Ubung Denpasar

MK : ARSITEKTUR BALI 1

2011

d. Pura Batur Ulun Danu, yang mempunyai fungsi sebagai pura ulun danu tempat memuja Hyang Widhi dalam perwujudannya sebagai Wisnu terletak di utara Pulau Bali. e. Pura Goa Lawah tempat memuja Hyang Widhi dalam perwujudannya sebagai Maheswara terletak di tenggara Pulau Bali. f. Pura Ulu Watu tempat memuja Hyang Widhi dalam perwujudannya sebagai Rudra terletak di barat daya Pulau Bali. g. Pura Bukit Pangelengan yang disebut juga pura di Gunung Mangu, tempat memuja Hyang Widhi dalam perwujudannya sebagai Sangkara terletak di barat laut Pulau Bali. h. Pura Besakih tempat memuja Hyang Widhi dalam perwujudannya sebagai Sambhu terletak di timur laut Pulau Bali. Disamping merupakan Pura Kahyangan Jagat tempat sambhu Pura Besakih juga merupakan pura suci pusat dari semua pura Kahyangan Agung penyungsungan jagat di Bali. Kalau dihitung maka semua Kahyangan Agung penyungsungan jagat di Bali ini berjumlah sembilan buah yang terletaj di kedelapan penjuru mata angin pulau Bali, dimana Besakih menjadi tempat dua Kahyangan Agung yaitu tempat Sambhu dan juga merupakan tempat Siwa. Dari sembilan pura tadi diambil tiga pura Kahyangan, yaitu : 1. Pura batur Ulun Danu sebagai tempat memuja Wisnu 2. Andakasa sebagai tempat memuja Brahma 3. Besakih sebagi pusar kahyangan-kahyangan agung tempat memuja Siwa yaitu yang merupajabn pelinggih-pelinggih atau tempat pemujaan Tri Murti. Sad berarti enam dan Kahyangan berarti pura pelinggih untuk memuja Hyang Widhi. Sad Kahyangan ialah kahyangan-kahyangan agung penyungsungan jagat yang jumlahnya enam yang terletak di penjuru-penjuru mata angin Pulau Bali yang terletak di : a. Timur b. Tenggara c. Barat daya d. Barat 7 - Lempuyang, tempat Iswara - Goa lawah, tempat Maheswara - Ulu watu, tempat Rudra - Watukaru, tempat Mahadewa

Dokumentasi Tri Kahyangan Desa Pakraman Ubung Denpasar

MK : ARSITEKTUR BALI 1

2011

e. Barat Laut f. Timur Laut

- Bukit Pangelengan atua Gunung Mangu, tempat Sangkara - Besakih tempat Sambhu (bukan Besakih tempat Siwa)

Adapun fungsi dari Kahyangan-kahyangan Agung penyungsungan jagat yang terletak di seluruh penjuru mata angin Pulau Bali itu ialah sebagai perlambang untuk menjaga keseimbangan alam semesta. Semua para dewa atau bhatara-bhatara yang distanakan atau disemayamkan di pelinggih-pelinggih atau pura Kahyangn Agung itu adalah personifikasi atau perwujudan dari kemahakuasaan Sang Hyang Widhi(Siwa) yang delapan jumlahnya (asthaiswarya) yang disimbolkan dengan dewa-dewa atau bhatara-bhatara yang bersemayam di kedelapan penjuru mata angin, sehingga digambarkan sebagai bunga padma-asta-dala atau teratai berdaun bungan delapan. Padmasana itu adalah lambang kemahakuasaan Sang Hyang Widhi yang dibuat berbentuk tempat bersemayam yang menjulang tinggi yaitu simbol dari gunung Mahameru atau gunung Mandara yang merupakan sadhana terdapatnya Amrta (air suci kehidupan). Jadi fungsi padmasana ialah untuk memuja Hyang Wdhi dengan mengenangkan perjuangan hidup dengan kebebasan abadi (moksa), sebagai tujuan hidup, dharama (kebenaran) merupakan landasan serta artha dan khama sebagai alat.

II.3

Pengertian Kahyangan Tiga Secara etimologi kata Kahyangan Tiga terdiri dari dua kata, yaitu kahyangan dan tiga. Kahyangan berasal dari kata Hyang yang berarti suci, mendapat awalan ka dan akhiran an. An menunjukkan tempat dan tiga artinya tiga. Arti selengkapnya adalah tiga buah tempat suci, yaitu Pura Desa atau sering disebut Pura Bale Agung, Pura Puseh dan Pura Dalem. Kahyangan Tiga terdapat pada setiap desa Adat Di Bali. Apabila jumlah desa Adat di Bali 1456 buah, maka jumlah Pura Kahyangan Tiga akan menjadi tiga kali lipatnya. Pada beberapa desa Adat di Bali kadang kala penempatan Pura Puseh

8

Dokumentasi Tri Kahyangan Desa Pakraman Ubung Denpasar

MK : ARSITEKTUR BALI 1

2011

digabungkan dengan Pura Desa sehingga nampak menjadi satu pura, namun sebenarnya tetap menjadi dua pura. 3 Desa Adat sebagai lembaga sosial tradisional adalah pengelompokkan sosial berdasarkan kesatuan teritorial ditandai mereka bertempat tinggal dalam wilayah yang sama, mempunyai tugas dalam kegiatan gotong royong dan melaksanakan tugas pasuka-dukaan. Pengelompokkan yang lain berdasarkan geneologis seperti apa yang disebut tunggal kawitan, tunggal sanggah, pengelompokkan sosial yang disebut sisyayang didasarkan atas siapa yang dijadikan pimpinan di dalam suatu upacara keagamaan. Lembaga sosial tradisional yang lain adalah subak(kesatuan petani yang sawahnya menerima air dari satu sumber irigasi yang sama), dan sekaha (kesatuan suka rela). Keseluruhan lembaga tradisional tadi sangat fungsional bagi upaya preservasi dan transformasi kebudayaan Bali yang dibangun atas dasar landasan konsepsi.Tri Hita Karana (tiga penyebab kesejahteraan hidup) yaitu parhyangan, pawongan dan palemahan. Kahyangan Tiga merupakan salah satu unsur dari Tri Hita Karana, yaitu unsur parhyangan dari setiap desa adat di Bali. Pada Kahyangan Tiga, masyarakat desa memohon keselamatan dan kesejahteraan untuk desa dan masyarakatnya. Unsur yang ke dua dan tiga dari Tri Hita Karana disebut dengan palemahan dan pawongan. Dengan demikian, maka di dalam mewujudkan rasa aman, tentram, sejahtera lahir dan batin dalam kehidupan desa adat berlandaskan tiga hubungan harmonis, yaitu hubungan manusia dengan alam atau hubungan krama desa dengan wilayah desa adat, hubungan manusia yang satu dengan manusia yang lainnya dalam desa adat dan hubungan krama desa dengan Hyang Widhi sebagai pelindung. Dengan tercakupnya unsur ke-Tuhanan dalam kehidupan desa adat di Bali, maka desa adat di Bali mencakup pula pengertian sosio-religious. Maka dari itu implikasi antara adat dengan agama Hindu di Bali adalah erat sekali sehingga sulit memisahkan secara tegas unsur-unsur adat dengan unsur agama, karena adat-istiadat di Bali dipencari oleh agama Hindu dan aktifitas agama Hindu didukung oleh adatistiadat di Bali.3

Ardana, I Gst Gde, Pura Kahyangan Tiga, Pemda Tk I Bali Proyek Penyuluhan dan Penerbitan Buku Agama,1989: 7

9

Dokumentasi Tri Kahyangan Desa Pakraman Ubung Denpasar

MK : ARSITEKTUR BALI 1

2011

II.4

Sejarah Kahyangan Tiga Membicarakan masalah Kahyangan Tiga pada setiap desa adat di Bali, belum diketahui dengan pasti, karena sumber tertulis yang menyebutkan dengan jelas belum ditemukan. Tetapi kemungkinan sekali pada jaman Bali Kuno ketiga pura tersebut telah ada di tengah-tengah masyarakat Bali karena dipakai kata Kahyangan untuk menyebut pura terebut. Di dalam prasasti-prasasti Bali Kuno belum diketemukan kata Pura untuk menyebut tempat suci tapi yang dipakai adalah kata hyang atau kahyangan. Sebelum masa pemerintahan raja suami-istri Udayana dan

Gunapriyadharmapatni tahun 989-1011 M di Bali berkembang banyak sekta-sekta keagamaan seperti : Pasupata, Bhairawa, Wesnawa, Boddha, Brahmana, Rsi, Sora, Ganapatya dan Siwa Siddhanta. Di antara penasehat pemerintah Udayana, tersebut nama senapati Kuturan disamping sebagai ketua majelis Pusat Pemerintahan yang disebut Pakiran-kiran i jro makabehan. Empu Kuturan sebagai seorang senopati dan ahli dalam masalah keagamaan, berhasil dalam menanamkan pengertian di bidang keagamaan dan menyempurnakan sistem kemasyarakatan di Bali. Dalam karangan Purana Tattwa, Dewa Tattwa, dan Widisastra, memberikan pelajaran tentang sejarah para Pendeta, Dewa-Dewa dan bagaimana caranya memuja Dewa-Dewa, dan caranya membangun pura dengan pedagingannya. Seorang sarjana Belanda yang lama tinggal di Bali yakni Dr. R. Goris mengatakankecerdasan Empu Kuturan sebagai seorang filosof besar dan negarawan yang bijaksana. Dalam lontar Raja Purana menyebutkan usaha Empu Kuturan untuk membangun tempat-tempat suci beserta upacaranya sebagai berikut : Ngaran Dewa ring kahyangan pewangunan Empu Kuturan kapastikan saking Pura Silayukti, muwang ngewangun seraya karya, ngadegang raja purana, muang nangun karya nganteg linggih bhatara ring Bali, kaprateka antuk sira Empu Kuturan, Ngeraris nangun catur agama, catur lokika bhasa, catur gila, makadi ngewangun Sanggah Kamulan, ngewangunn Kahyangan Tiga, Pura Desa, Puseh muang Dalem. 10 Dokumentasi Tri Kahyangan Desa Pakraman Ubung Denpasar

MK : ARSITEKTUR BALI 1

2011

terjemahannya : Adapun dewa di Kahyangan diciptakan atau dibangun oleh Empu Kuturan, direncanakan dari Pura Silayukti dan menyelenggarakan segala pekerjaan sehubungan dengan pembangunan pura-pura kahyangan jagat, demikian pula mengadakan pemelaspasan dan mengisi pedagingan linggih bhatara-bhatari di Bali diatur oleh Empu Kuturan. Selanjutnya dibuat peraturan agama, empat cara-cara berbahasa, empat ajaran pokok dalam kesusilaan dan lima tattwa agama, seperti mengajar membuat sanggah Kemulan, Kahyangan, Pura Desa, Puseh dan Dalem. Sehubungan dengan pembangunan tempat-tempay suci, oleh Empu Kuturan, babad Gajah Mada menyebutkan sebagai berikut : Sira ta Empu Kuturan sang sida moksah ring Silayukti sira ta umara marahing tumitahing Bali Aga, sira ngawe paryangan pangastawan kabuyutan, ibu, dadia, ring Bali Aga kabeh, apan Bali gung guna sucaya. terjemahannya : Beliau Empu Kuturan yang Moksa di Silayukti, dia yang mengajarkan membuat pemujaan di Bali, termasuk tempat suci pemujaan untuk roh suci leluhur paibon atau dadya, sehingga Bali menjadi jaya dan sejahtera. Adanya banyak sekta-sekta di Bali menimbulkan perbedaan kepercayaan di masyarakat sehingga sering menimbulkan pertentangan dan perbedaan pendapat di antara sekta yang satu dengan yang lainnya. Akibat adanya pertentangan ini membawa pengaruh buruk terhadap jalannya roda pemerintahan kerajaan dan mengganggu kehidupan masyarakat. Menyadari keadaan yang demikian itu maka raja Udayana menugaskan Empu Kuturan untuk mengadakan pesamuhan (pertemuan) para tokoh-tokoh agama di Bali. Pesamuan para tokoh agama itu bertempat di Desa Bedaulu Kabupaten Daerah Tingkat II Gianyar. Pertemuan para tokoh-tokoh agama dari berbagai sekta yang ada di Bali berhasil menetapkan dasar keagamaan yang disebut Tri Murti yang berarti tiga perwujudan dari Hyang Widhi yaitu Dewa Brahma, Dewa Wisnu, dan Dewa Siwa. 11 Dokumentasi Tri Kahyangan Desa Pakraman Ubung Denpasar

MK : ARSITEKTUR BALI 1

2011

Tempat pesamuan yang menghasilkan dasar keagamaan Tri Murti disebut Samuan Tiga dimana sekarang berdiri Pura Samuan Tiga di Desa Bedaulu. Pada pura ini tersimpan banyak peninggalan purbakala seperti lingga, Arca Ganesa, Arca Durga, arca perwujudan bhatara-bhatari. Tiga kekuatan di atas yang merupakan prabawa Hyang Widhi dapat dirasakan dan dialami dalam kehidupan di dunia ini sebagai suatu siklus, yaitu: lahir, hidup dan mati. Demikian seterusnya berputar sebagai suatu lingkaran yang tiada terputus sepanjang zaman, karena ia kodrat alam dan hukum Tuhan. Ketiga kodrat alam ini disebut tri kona (segi tiga). Kesaktian untuk menciptakan (Utpati), kesaktian untuk memelihara (Stiti) dan kesaktian untuk mengembalikan ke asalnya (Pralina) merupakan tiga sifatyang absolut dan diwujudkan dengan dewa Tri Murti. Di dalam Weda, Tri Murti berarti tiga Dewa, yaitu: Dewa Brahma, Dewa Wisnu dan Dewa Iswara (Siwa), yang diwujudkan dengan aksara Ang melambangkan Dewa Brahma dengan warna merah dan senjata Gada. Aksara Unga melambangkan Dewa Wisnu dengan warna hitam dan senjata Cakra, dan aksara Mang melambangakan Dewa Siwa dengan warna putih dan senjatanya Padma. Ketiga aksara Ang Ung Mang jika disatukan akan menjadi AUM. Dalam persenyawaan huruf A dan U disandikan menjadi O sehingga AUM menjadi OM, yaitu lambang aksara Hyang Widhi. Dari uraian tersebut di atas, dapat diperkirakan bahwa Kahyangan Tiga pada setiap Desa Adat di Bali dirintis oleh Empu Kuturan ketika pemerintahan raja suamiistri Udayana dan Gunapriyadharmapatni pada abad 10 M. Perkiraan ini diperkuat dengan adanya ungkapan dalam babad Pasek yang menyebutkan: Nguni duk pamadegan sira Sri Gunapriyadharmapatni/Udayana

Warmadewa, hana pesamuan agung Siwa Budha kalawan Bali Aga, ya etunya hana desa pekraman mwang Kahyangan Tiga maka kraman ikang desa para desa Bali Aga. terjemahannya:

12

Dokumentasi Tri Kahyangan Desa Pakraman Ubung Denpasar

MK : ARSITEKTUR BALI 1

2011

Dahulu tatkala bertahtanya Sri Gunapriyadharmapatni dan suaminya Udayana Warmadewa, ada musyaearah besar Siwa Budha dengan pihak Bali Aga, itulah asal mulanya ada desa pakraman dan Kahyangan Tiga sebagai tatanan kehidupan dari masing-masing desa Bali Aga. Dari uraian di atas dapat diduga bahwa pengelompokan masyarakat ketika itu disebut desa pakraman dan dalam perkembangannya mengalami perubahan yang akhirnya disebut desa adat yang dilengkapi dengan peraturan-peraturan yang disebut awig-awig. Awig-awig ini mempunyai kedudukan sebagai stabilisator yang mengatur kegiatan dan aspek kehidupan masyarakat. Tujuannya adalah agar suasana kehidupan desa menjadi tetap terpelihara secara sensasi dan harmonis dengan ketertiban yang mantap. Keserasian dan keharmonisan kehidupan masyarakat dapat diukur dengan sistem cara berpikir yang luas dan dan tidak mengadakan perbedaan-perbedaan dalam masyarakat. Dengan cara berpikir yang demikian itu akan melahirkan suasana senasib sepenanggungan yang lebih dikenal dengan istilah suka duka sebagai salah satu warisan budaya yang tidak ternilai harganya. 4

II.5

Fungsi Pura Kahyangan Tiga Untuk lebih memantapkan dan memasyarakatkan konsep Tri Murti yang telah disepakati sebagai dasar keagamaan di Bali, maka pada setiap desa adat didirikan Kahyangan Tiga. Ketiga Kahyangan tersebut adalah: 1. Pura Desa, tempat pemujaan Dewa Brahma dalam fungsinya sebagai pencipta alam semesta. 2. Pura Puseh, sebagai tempat pemujaan Dewa Wisnu dalam fungsinya sebagai pemelihara.

4

Ardana, I Gst Gde, Pura Kahyangan Tiga, Pemda Tk I Bali Proyek Penyuluhan dan Penerbitan Buku Agama,1989:8

13

Dokumentasi Tri Kahyangan Desa Pakraman Ubung Denpasar

MK : ARSITEKTUR BALI 1

2011

3. Pura Dalem, tempat memuja Dewa Siwa dalam wujud Dewi Durga dengan fungsinya sebagai pemralina alam semesta. Di samping Pura Kahyangan Tiga yang dimiliki oleh tiap-tiap desa, maka setiap pekarangan rumah orang Bali yang beragama Hindu didirikan tempat beribadat yang disebut Sanggah atau Pemrajan. Perkataan Sanggah berasal dari kata sanggar yang berarti tempat suci, karena perubahan huruf dari r menjadi h maka menjadi sanggah. Secara etimologis adalah berasal dari kata sa dan angga (sa berarti satu dan angga berarti badan). Jadi berarti satu badan atau penunggalan suksma sarira dengan stula sarira atau penunggalan rohani dan jasmani untuk dapat memusatkan pikiran kehadapan Hyang Widhi, melalui roh suci leluhur. Sedangkan kata Pemrajan berasal dari kata pa yang menunjukkan tempat dan mara yang berarti dekat dan ja dari kata jati, yang berarti lahir. Jadi arti dari kata pemrajan adalah tempat mendekatkan diri pada asal kelahiran. Bangunan suci di Sanggah yang berfungsi untuk pemujan roh suci leluhur adalah Kamulan. Secara etimologis kata Kamulan berasal dari kata mula yang berarti asal dan mendapat awalan ka dan akhiran an yang menunjukkan tempat, sehingga berarti tempat asal yaitu leluhur. Bentuknya adalah sebagai Gedong tetapi di dalamnya dibagi atas tiga ruang yaitu ruang tengah, ruang samping kanan dan ruang samping kiri. Mengenai fungsi masing-masing ruang adalah sebagai berikut: 1. 2. 3. Ruang samping kanan adalah pemujaan untuk Purusa atau Bapanta. Ruang samping kiri adalah pemujaan untuk Pradana atau Ibunta Ruang tengah adalah pemujaan untuk Raganta atau Siwatma. Pelaksanaan puja di Sanggah Kemulan disebut Guru Stawa, dan dijelaskan puji-pujian kepada roh suci, atau disebut Guru Rupaka. Adapun kutipan mantranya adalah sebagai berikut: 1. Om dewa-dewi devanam, tri murti lingatmanam tri purusa sudha-nityam, sarvajagat jiwatmanam. 2. Om guru dewa, guru rupam, guru padyam, guru purvam, guru pantaram devam, guru dewa suddha nitya. 14 Dokumentasi Tri Kahyangan Desa Pakraman Ubung Denpasar

MK : ARSITEKTUR BALI 1

2011

terjemahannya: 1. Ya Tuhan, para Dewa dari tiga dewa, Tri Murti tiga perwujudan simbol Siwa, Paramasiwa, Sadasiwa dan Siwa, suci selalu, nyawa dari alam semesta. 2. Ya Tuhan, gurunya dari Dewa, Gurunya bhatara-bhatari, junjungan guru permulaan, guru perantara dewa-dewa, gurunya Dewa yang selamanya suci. Konsep Tri Murti nampak pula tercemin di Pura Besakih sebagai Pura Sad Kahyangan Bali. Di sini jelas nampak kehadiran tiga buah pura yang besar yang penempatannya berjajar tiga dari Utara ke Selatan. Pura yang paling Selatan adalah Pura Kiduling Kreteg, sebagai stana Dewa Brahma. Pura Penataran Agung terletak di tengah stana Dewa Siwa dengan tiga kemahakuasaan yang disebut tri purusa yaitu Paramasiwa, Sadasiwa dan Siwa dan Pura Batumadeg di sebelah Utara sebagai stana Dewa Wisnu. Stana pemujaan Dewa Siwa di Penataran Agung berbentuk Padma Tiga dan stana pemujaan Dewa Brahma dan Dewa Wisnu berbentuk Meru bertingkat sebelas. Apabila ketiga pura tersebut di atas; Pura Kiduling Kreteg, Penatarana Agung dan Batu Madeg ditambah dengan dua buah Ulun Kulkul masing-masing sebagai penjaga arah mata anginTimur dan Barat maka lengkaplah penerapan konsep Catur Lokapala. Pura Gelap tempat memuja Dewa Iswara dan Pura Ulun Kulkul tempat memuja Dewa Mahadewa. Kahyangan Tiga yang merupakan unsur parhyangan dari Tri Hita Karana, penempatannya pada desa adat diatur sebagai berikut: Pura Desa biasanya dibangun di tengah-tengah pada salah satu sudut dari Catur Pata atau perempatan agung. Pada sudut yang lain terdapat bale wantilan (bale desa) rumah pejabat desa, pasar dengan Pura Melanting. Pura Puseh dibangun pada bagian arah Selatan dari desa yang mengarah ke pantai karena itu Pura Puseh sering disebut dengan Pura Segara di Bali Utara. Pura Dalem dibangun mengarah ke arah Barat Daya dari desa karena arah Barat Daya adalah arah mata angin yang dikuasai oleh Dewa Rudra yaitu aspek Siwa yang berfungsi mempralina segala yang hidup. 5

5

Ardana, I Gst Gde, Pura Kahyangan Tiga, Pemda Tk I Bali Proyek Penyuluhan dan Penerbitan Buku Agama,1989:12

15

Dokumentasi Tri Kahyangan Desa Pakraman Ubung Denpasar

MK : ARSITEKTUR BALI 1

2011

II.6

Nama-Nama Bangunan dari Pura Kahyangan Tiga Pura untuk tempat pemujaan warga sedesa yang terdiri dan beberapa banjar disebut Kahyangan Tiga, tiga Unit pura yang merupakan bagian dari desa. Dalam pengertian Desa-desa adat di Bali, Tri Hita Kharana merupakan perwujudan suatu Desa. Tri Hita Kharana tiga unsur, yang menjadikan adanya Desa, masing-masing Kahyangan Tiga sebagai jiwanya Desa, Desa Pakraman teritorial Desa sebagai fisik Desa dan Sima Krama atau warga Desa sebagai tenaga Desa. Dengan adanya ketiga unsur jiwa, fisik dan tenaga, sempurnalah suatu kehidupan manusia, keluarga, desa atau wilayah. Kahyangan Tiga, masing-masiug Pura Desa, Pura Puseh dan Pura Dalem dengan fungsinya masing-masing sebagai tempat pemujaan Tuhan Yang Maha Esa dalam manifestasinya sebagai Brahma, Wisnu dan Siwa. Pura Desa dan Pura Puseh terletak di pusat Desa di bagian zoning utama, kaja kangin dari perempatan pusat desa. Pura Dalem terletak di dekat kuburan di bagian teben Desa pada arah kelod atau kelod kauh. Upacara pemujaan di Pura-pura disebut odalan, pujawali atau patirtan. Di Pura-pura Kahyangan Tiga pujawali umumnya sekali setahun di masing-masing Kahyangan Tiga. Di beberapa Desa ada pula yang melakukan pujawali dua kali setahun dan kebanyakan pula sudah diubah menjadi sekali dalam setahun. Hari-hari baik atau hari-hari suci melakukan upacara pujawali umumnya dipilih Purnama pada bulan atau sasih kadasa sekitar bulan April. Purnama sasih Kapat sekitar bulan Oktober. Purnama Sasih kelima sekitar bulan Nopember. Untuk upacara pecaruan dilakukan pada bulan, atau sasih kepitu atau kasangan. Upacara melasti dan pecaruan Desa pada pergantian tahun baru laka sekitar bulan Maret dilakukan di pantai laut ; sungai atau danau dari Kahyangan Tiga yang dipusatkan di Pura Desa. Upacaraupacara pujawali, melasti, ngusaba Desa dan hari-hari raya tertentu seperti Galungan dan Kuningan, Kahyangan Tiga merupakan tempat pemujaan sembahyangan bersama umat sedesa.

16

Dokumentasi Tri Kahyangan Desa Pakraman Ubung Denpasar

MK : ARSITEKTUR BALI 1

2011

Di Pura-pura Kahyangan Tiga warga sedesa dari semua kasta dapat melakukan persembahyangan, berbeda dengan Pura keluarga hanya untuk keluarga seketurunan. 6 1. PuraDesa. Tempatnya di Pusat desa di bagian kaja kangin dari perempatan Desa dalam pekarangan yang dibatasi tembok penyengker. Tata zoning pekarangannya dibagi dua atau tiga, jaba sisi, jaba tengah dan jeroan. Bangunan utamanya adalah Bale Agung sehingga ada juga yang menyebutnya Pura Bale Agung. Bangunan-bangunan lainnya seperti pada gambar denah. Bangunan bale kulkul merupakan bangunan yang menempati sudut-sudut depan pekarangan Pura. Bangunan wantilan dengan luas yang cukup besar dibangun di jaba sisi untuk kegiatan bersama pada upacara di Pura Desa. Pintu masuk memakai candi bentar dari jaba sisi ke jaba tengah dan kori agung dari jaba tengah ke jeroan. Ada pula yang dilengkapi pintu betelan ke arah samping untuk hubungan dengan bangunanbangunan samping. 2. Pura Puseh. Tempatnya di pusat Desa berdekatan atau menjadi satu bersebelahan dengan pura Desa. Tata zoning pekarangannya dibagi dua atau tiga, jaba sisi, jaba tengah dan jeroan. Pekarangannya ada yang merupakan area tersendiri ada pula yang menjadi satu bersebelahan dengan Pura Desa. Umumnya Pura Desa atau Bale Agung ditempatkan di bagian depan dari Pura Puseh, ada pula yang bersisian ke arah samping. Di desa Sempidi Kabupaten Badung Ketiga Pura, Pura Desa, Pura Puseh dan Pura Dalem dan Kahyangan tiganya terletak dalam satu komplek. Di beberapa desa, ada pula yang menata kahyangan tiganya dengan pola-pola khusus di luar ketentuan tradisional yang berlaku umum. 3. Pura Dalem Tempatnya di dekat kuburan, ditepi Desa atau di luar Desa. Pekarangan Pura dibatasi tembok penyengker sekelilingnya dengan candi bentar didepan dan Kori Agung di jeroan. Bangunan pemujaan lainnya yang merupakan hulu kuburn adalah

6

Glebet, I Nym, Arsitektur Tradisonal Daerah Bali, Depdikbud,1986

17

Dokumentasi Tri Kahyangan Desa Pakraman Ubung Denpasar

MK : ARSITEKTUR BALI 1

2011

prajapati. Kahyangan tiga masing-masing Pura Desa untuk pemujaan dewa Brahma dan Pura Puseh untuk pemujaan Dewa Wisnu. Pura Dalem untuk pemujaan Dewa Siwa. Sebagaimana upacara pujawali di Pura Desa dan Pura Puseh, pujawali di Pura Dalem umumnya juga dilakukan sekali setahun di bulan Purnama pada salah satu bulan atau sasih. Bangunan-bangunan di Pura Dalem disesuaikan dengan fungsinya. Upacara-upacara pemujaan di Pura Desa, Pura Puseh dan Pura Dalem dipimpin seorang atau beberapa Pemangku yang ditetapkan oleh warga Desa. Upacara-upacara besar sewaktu-waktu dipimpin oleh Pedanda bersama para pemangku. Persembahyangan di pura-pura Kahyangan tiga oleh umat desa pada harihari pujawali umumnya dilangsungkan selama tiga hari untuk memberi kesempatan kepada semua warga Desa. Untuk pelaksanaan persembahyangan bersama tidak diharuskan dalam satu gelombang massal. Persembahyangan dengan kelompokkelompok bergantian sehingga tidak memerlukan ruangan halaman yang terlalu luas. Pola ruang, tata bangunan dan penyelesaian arsitektur kahyangan tiga umumnya dikerjakan dengan baik untuk kebanggaan Desa, kebahagiaan dan ketentraman bersama. Penyelenggaraan upacara pujawali di Pura-pura Kahyangan Tiga tidak bersamaan. Di beberapa Desa ada pula pujawali di Pura Desa dan Pura Puseh pada hari yang sama sedangkan pujawali di Pura Dalem pada hari lainnya. Upacara-upacara keluarga manusa yadnya, pitra yadnya, resi yadnya dan dewa yadnya ada pula bagian-bagian yang dilakukan di Pura Desa, Puna Puseh atau Pura Dalem. Bangunan-bangunan utama seperti Bale Agung, palinggih Puseh, palinggih Dalem dan beberapa palinggih lainnya ada di semua kahyangan tiga. Bangunanbangunan tambahan atau pelengkap lainnya disesuaikan dengan keadaan masingmasing Desa yang merupakan bagian dari Kahyangan tiga adalah Pura Dalem yang ada atau didekat kuburan Desa.

II.6.1 Pura Desa Pura ini disebut dengan nama Pura Desa karena pura ini lazim ditempatkan di pusat desa yaitu pada salah satu sudut dan catus pata (perempatan agung). Catus 18 Dokumentasi Tri Kahyangan Desa Pakraman Ubung Denpasar

MK : ARSITEKTUR BALI 1

2011

merupakan perubahan ucapan dan kata catur artinya tempat. Perubahan wianjana r menjadi s memang sering terjadi seperti dursila menjadi dusila menjadi susila, nirkala menjadi niskala dan lain-lain. Pata merupakan perubahan ucapan dan kata pada yang berarti dunia/alam. Dengan demikian catus pata adalah daerah bertemunya pengaruh yang datang dari empat buah alam yang ada di sekitar dunia mi (Timur, Selatan Barat dan Utara). Wujud konkritnya sebuah catus pata adalah jalan simpang empat atau perempatan. Masyarakat tradisional Bali selaku kelompok masyarakat budaya dalam mengatur desa selaku daerah pemukiman dengan kelengkapannya seperti : pura, bale banjar, pasar, rumah, jalan, diatur dalam satu tata ruang. Filosofis pengaturan tata ruang tadi berdasarkan konsep catus pata dan luan teben, misalnya : pasar, wantilan, Pura Desa, rumah pembesar desa ditempatkan pada sudut-sudut dari catus pata. Pura Desa menjadi tempat pusat kegiatan pelaksanaan upacara untuk kepentingan desa seperti upacara Ngusabha Desa, pesamuan bhatara setelah upacara melis yang dilaksanakan sebelum upacara Penyepian. Pada beberapa daerah di Bali, Pura Desa disebut pula dengan nama Pura Bale Agung. Nama ini kemungkinan diambil dan nama bangunan Bale Agung yang terdapat pada bagian halaman pertama dari pura tersebut. Pura Desa mempunyai denah yang terbagi atas tiga bagian, tetapi lebih umum denah pertama dan kedua digabung menjadi satu, sehingga nampak mempunyai dua denah yaitu : Jaba sisi (halaman pertama) dan jaba jeroan (halaman kedua). Kedua halaman dikelilingi dengan tembok dengan pintu masuk yang disebut candi bentar dan kori agung. Masing-masing halaman tersebut disertai dengan bangunan-bangunan dengan fungsi yang berbeda-beda. Mengenai jumlah bangunan-bangunan yang ada di halaman pertama dan kedua dari Pura Desa adalah berbeda-beda, tetapi pada tulisan ini dikemukakan bangunan-bangunan pokok yang harus ada pada setiap pura Kahyangan Tiga. Sebagai pedoman pendirian bangunan tersebut diambil dari hasil

19

Dokumentasi Tri Kahyangan Desa Pakraman Ubung Denpasar

MK : ARSITEKTUR BALI 1

2011

seminar kesatuan tafsir aspek-aspek agama Hindu yang pertama yang diselenggarakan di Amlapura pada tahun 1974. 7 Bangunan-bangunan minimal yang ada pada halaman pertama adalah sebagai berikut: 1. Candi Bentar Bentuknya belah dua yang berfungsi untuk pintu masuk ke halaman pertama dari pura. Untuk memasuki halaman kedua (jeroan pura) melalui candi kurung atau kori agung dengan berbagai macam bentuk variasi dan hiasannya. 2. Bale Kulkul Letaknya di sudut depan dari halaman pertama. Bentuk bangunannya dibuat tinggi sebagai menara dengan kulkul atau kentongan yang bergantung di atasnya. Fungsi dari kentongan berkaitan dengan pelaksanaan upacara seperti ketika nedunang bhatara dan ketika nyimpen. Fungsi yang lain adalah sebagai tanda bahwa pertemuan antara krama pura akan segera dimulai yang membicarakan berbagai masalah tentang pura seperti : persiapan piodalan, rencana perbaikan pura dan lain-lainnya. 3. Bale Agung Bangunan berbentuk bale panjang dengan dasar bangunannya yang agak tinggi dan atapnya disangga beberapa buah tiang. Bangunan ini berfungsi sebagai tempat pesamuan (pertemuan) para bhatara ketika berlangsung upacara Ngusabha dan setelah upacara mekiis (upacara penyucian pratima dari bhatara). 4. Bale Gong Bangunan ini berfungsi sebagai tempat gambelan, yang ditabuh ketika upacara piodalan berlangsung untuk menunjang jalannya upacara di pura. Bangunan yang terdapat pada halaman kedua (jeroan) dan Pura Desa adalah :7

Ardana, I Gst Gde, Pura Kahyangan Tiga, Pemda Tk I Bali Proyek Penyuluhan dan Penerbitan Buku Agama,1989:15

20

Dokumentasi Tri Kahyangan Desa Pakraman Ubung Denpasar

MK : ARSITEKTUR BALI 1

2011

1.

Sanggar Agung Bangunan ini disebut pula dengan nama Sanggar Surya. Penempatannya pada bagian arah hulu dan denah jeroan pura. Bangunan ini pada bagian atas terbuka, yang berfungsi sebagai stana Hyang Raditya / Hyang Widhi.

2.

Gedong Agung Bangunannya berbentuk gegedongan yang di bagi atas tiga bagian yaitu, dasar gedong, badan gedong dengan tembok keliling pada keempat sisi, sehingga pada badan gedong berbentuk sebuah ruangan. Ruangan ini dapat dicapai melalui pintu pada bagian sisi depan dari gedong. Bagian atap dari gedong dibuat bersusun dengan atap dari daun ijuk. Bangunan mi berfungsi sebagai stana Dewa Brahma, dalam wujud pratima dan tidak memakai laksana (ciri) Dewa Brahma sebagai lazimnya dalam seni arca. Dalam seni arca Dewa Brahma biasanya digambarkan, berkepala empat yang menghadap ke semua arah mata angin, bertangan empat yang masing-masing memegang tasbih, cemara, kendi dan buah yang berbentuk bulat. Sakti dari Dewa Brahma bernama Dewi Saraswati dengan wahana angsa.

3.

Ratu Ketut Petung Bangunan berbentuk gedong berfungsi sebagai tempat pepatih atau pendamping dan Dewa yang berstana di pura tersebut.

4.

Ratu Ngerurah Bangunan dibuat berbentuk tugu yang berfungsi sebagai penjaga dan bertanggung jawab atas keamanan dan pura.

II.6.2 Pura Dalem Kata dalem secara harfiah berarti jauh atau sulit dicapai. Disebut demikian karena dalam kenyataannya Dewa Siwa adalah sulit dicapai oleh manusia karena beliau adalah niskala, wyapi-wyapaka. Sakti dari Dewa Siwa adalah Dewi Durga, di

21

Dokumentasi Tri Kahyangan Desa Pakraman Ubung Denpasar

MK : ARSITEKTUR BALI 1

2011

mana kata Durga berarti jangan mendekat, sebagi wujud kroda dan Dewa Siwa yang berfungsi mapralina alam ciptaan Tuhan. Alam seni arca Siwa diwujudkan dalam berbagai-bagai bentuk sesuai dengan fungsi yang dijalankan. Siwa sebagai Mahadewa, Siwa sebagai Maha Guru Siwa sebagai Mahakala dan saktinya adalah Dewi Durga. Siwa sebagai Mahadewa laksana atau cirinya adalah ardhacandrakapala yaitu bulan sbit di bawah sebuah tengkorak, yang terdapatkan pada mahkota, mata ketiga di dahi, upawita ular naga, tangannya empat masing-masing memegang cemara, aksamala, kamandalu dan trisula. Siwa sebagai guru atau di Bali disebut Bhatara Guru laksananya dalah kemandalu, Trisula, perutnya gendut berkumis dan berjanggut panjang. Sedangkan sebagai Mahakala rupanya menakutkan sperti : raksasa, bersenjatakan gada. Durga sebagai saktinya Siwa dilukiskan sebagai Mahisasuramardini ini. Ia berdiri di atas seekor lembu yang ditaklukkan. Lembu ini adalah penjelmaan raksasa (asura) yang menyerang Kahyagah dan dibasmi oleh Durga, Durga digambarkan bertangan 8,10 atau 12, masing-masing tangannya memegang senjata. Arca Durga yang terkenal dari Bali adalah Durgamahisasuramardini dari Pura Bukit Dharm Desa Kutri Gianyar. Arca ini adalah arca perwujudan dari Gunapriyadharmapatni Ibunda dari Airlangga. Laksana dari arca ini adalah bertangan delapan tetapi yang tinggal utuh hanya enam buah, tangan kanan masing-masing memegang cakra, anak panah, kapak, sedangkan tangan kirinya masing- masing memegang kerang bersayap, busur dan tameng. Putra dari Dewa Siwa adalah Ganesa yang digambarkan berkepala gajah dengan empat buah tangan, yang masing-masing memegang mangkok, pecahan taring, aksamala dan kapak. Ganesa disembah sebagai Dewa penyelamat dari segala rintangan dan juga sebagai Dewa Ilmu Pengetahuan. Mengenai denah dari Pura Dalem pada garis besarnya dapat dibagi atas dua bagian yaitu : Jabaan (halaman pertama) dan Jeroan (halaman kedua). Masing-masing halaman tersebut disertai dengan bangunan-bangunan dengan fungsinya masingmasing. Bangunan-bangunan yang didirikan di halaman pertama adalah hampir sama, 22 Dokumentasi Tri Kahyangan Desa Pakraman Ubung Denpasar

MK : ARSITEKTUR BALI 1

2011

dengan bangunan-bangunan yang ada di Pura Desa. Perbedaannya di halaman pertama Pura Dalem tidak terdapat Bale Agung. Beberapa bangunan di halaman pertama adalah candi bentar, bale kulkul, bale gong, pwaregan, apit lawang, candi kurung (paduraksa). 8 Pada halaman kedua yang merupakan halaman yang tersuci, terdapat beberapa jenis bangunan dengan fungsinya masing-masing, seperti : 1. Sanggar Agung. Bangunan suci ini ditempatkan pada bagian arah Timur Laut (kaja kangin) dari denah halaman kedua. Bangunan ini berfungsi sebagai tempat pemujaan Hyang Raditya (Tuhan Yang Maha Esa). 2. Gedong Agung. Bangunan ini berbentuk gegedongan dengan memakai atap dari ijuk. Pada bagian badan dan gedong terdapat ruangan yang berfungsi sebagai tempat pratima (Arca) dan Dewa. Gedong Agung berfungsi sebagai tempat pemujaan Dewa Siwa dalam wujud sebagai Dewi Durga yaitu sakti dan Dewa Siwa. 3. Ratu Ketut Petung. Bangunannya berbentuk gedong tetapi ukurannya lebih kecil dari gedong bata. Bangunan ini mempunyai fungsi sebagai tempat dan pepatih (pendamping) dan Dewa. 4. Ratu Ngerurah. Bangunannya berbentuk tugu, hanya bagian atas terbuat dan konstruksi batu padas, sedangkan kalau gedong bagian kepala dari bangunan terbuat dari konstruksi kayu dengan atap alang-alang atau ijuk. Bangunan ini berfungsi sebagai penjaga dan bertanggung jawab atas keamanan dari pura.

II.6.3 Pura Puseh

8

Ardana, I Gst Gde, Pura Kahyangan Tiga, Pemda Tk I Bali Proyek Penyuluhan dan Penerbitan Buku Agama,1989:22

23

Dokumentasi Tri Kahyangan Desa Pakraman Ubung Denpasar

MK : ARSITEKTUR BALI 1

2011

Kata Puseh adalah berasal dari kata puser yang berarti pusat. Kata pusat disini mengandung makna sebagai pusatnya kesejahteraan dunia yang mendatangkan kemakmuran dan kebahagiaan bagi umat manusia, sehingga upacara-upacara yang berhubungan dengan kesuburan dunia dilaksanakan di dunia. Dewa Wisnu sebagai dewa pemelihara dari ciptaan Hyang Widhi dalam seni arca digambarkan dengan laksana atau ciri bertangan empat yang masing-masing memegang cakra, sangka, dan buah atau kuncup teratai. Vahana adalah garuda, sedangkan saktinya adalah Sri atau Laksmi (Dewi kebahagiaan) Mengenai denah dari pura Puseh dapat dibagi menjadi 2 bagian sebagaimana denah dari Pura Desa. Pembagian atas 2 bagian tersebut adalah: halaman pertama atau disebut dengan jabaan dari pura dan halaman kedua disebut jeroan dari pura. Pada halaman pertama terdapat beberapa buah bangunan, seperti candi bentar, bale kul-kul, pewaregan, Bale Gong, Apit Lawang dan Candi Kurung. Mengenai fungsi dari bangunan-bangunan tersebut diatas adalah sama dengan bangunan-bangunan yang terdapat pada halaman pertama dari pura Desa. 9 Pada halaman kedua atau jeroan Pura terdapat pula beberapa bangunan dengan fungsinya masing-masing seperti : 1. Sanggar Agung Bangunan suci ini pada bagian puncaknya terbuka yang berfungsi sebagai tempat memuja Hyang Raditya atau Hyang Widhi Wasa. Pada bagian puncaknya dibuat terbuka karena Hyang Widhi tidak terbatas memenuhi alam semesta. 2. Meru Tumpang lima atau tujuh atau sebelas Bangunan Meru ini berfungsi sebagai Stana Dewa Wisnu yang dipuja di Puseh. Di sini menjadi tanda tanya kenapa meru dipakai sebagai stana Dewa Wisnu dan kenapa tidak Gedong sebagai di Pura Desa dan Dalem. Mengenai hal ini belum diketahui secara pasti tetapi kemungkinan karena Meru adalah

9

Ardana, I Gst Gde, Pura Kahyangan Tiga, Pemda Tk I Bali Proyek Penyuluhan dan Penerbitan Buku Agama,1989:20

24

Dokumentasi Tri Kahyangan Desa Pakraman Ubung Denpasar

MK : ARSITEKTUR BALI 1

2011

lambang gunung yaitu Gunung Mahameru sebagai stana para Dewa. Gunung dengan hutannya adalah merupakan sumber mata air yang nantinya mengalir menjadi sungai-sungai. Air inilah yang memberikan kesejahteraan atau Amerta kepada umat manusia. 3. Ratu Made Jelawung Bangunannya berbentuk gedong, berfungsi sebagai tempat pepatih

(pendamping) dari Dewa yang berstana di Meru 4. Sedahan Pengrurah Bangunan ini berbentuk tugu dengan fungsi sebagai penjaga keselamatan dan keamana dari pura. 5. Gedong Pertiwi Bangunan ini berfungsi sebagai stana dari ibu pertiwi 6. Batur Sari Bangunan ini berfungsi sebagai stana dari Dewi Danuh yang berkaitan dengan kesuburan.

II.7

Upacara. Pura yang termasuk kelompok Kahyangan Tiga, masing-masing mempunyai hari piodalan (hari ulang tahun) tersendiri. Hari ulang tahun dari suatu pura ditentukan melalui hari diresmikan pura tersebut. Hari peresmian biasanya dipilih hari yang baik sesuai dengan petunjuk dari pendeta dan selanjutnya ditetapkan sebagai hari piodalan. Kata piodalan adalah berasal dan kata wedal yang artinya lahir mendapat awalan pa dan akhiran an yang berarti tempat lahir atau kelahiran. Waktu pelaksanaan hari piodalan pada tiap-tiap pura berbeda-beda, ada setiap nam bulan atau 210 hari, tetapi ada pula yang dilaksanakan setiap tahun. Upacara piodalan dan pura digolongkan pada upacara Dewa Yadnya yang merupakan salah satu dan lima jenis upacara atau Panca Yadnya. Yadnya berasal dan kata jaj yang

25

Dokumentasi Tri Kahyangan Desa Pakraman Ubung Denpasar

MK : ARSITEKTUR BALI 1

2011

artinya sembahyang. Dan akar kata ini lalu menjadikata yadnya yang berarti persembahan kepada Hyang Widhi dan manifestasinya. Pelaksanaan upacara di Pura Kahyangan Tiga dilakukan secara berkala pada hari-hari tertentu, seperti upacara tiap bulan sekali yang disebut rerainan yang jatuh harinya sesuai dengan hari piodalan dan juga setiap hari Purnama dan Tilem. Upacara yang diadakan berkala setiap 210 hari disebut hari piodalan dengan upacara yang lebih besar dan rerainan. Jenis upacara berkala yang lebih besar adalah karya ngusaba, karya mamungkah dan lain-lainnya. Pada umumnya tiap-tiap pura Kahyangan Tiga mempunyai kekayaan khusus yang disebut laba pura atau kalau di Jawa pada zaman Hindu disebut tanah perdikan dan suatu Candi. Laba Pura biasanya dalam bentuk tanah yang luasnya tergantung pada kemampuan dari desa adat. Hasil dan penggarapan tanah dimanfaatkan untuk kepentingan biaya upacara rerainan, piodalan dan juga untuk biaya memperbaiki kerusakan dan bangunan-bangunan yang ada di dalam pura. Kelompok orang yang bertanggung jawab atas penyelenggaraan suatu pura disebut : Krama pura. Untuk menunjukkan rasa baktinya kepada Hyang Widhi dan Bhatara Bhatari, ketika upacara piodalan masyarakat menghaturkan sesajen yang disebut banten piodalan dan banten perseorangan dari anggota krama pura. Banten piodalan dapat dibedakan atas beberapa jenis seperti banten sor, catur dan lainnya. Jenis bebanten mana yang akan dilaksanakan tergantung pada kemampuan dari para krama pura. Selain menghaturkan sesajen ketika upacara piodalan berlangsung, diiringi pula dengan gamelan dan tari-tarian suci keagamaan. Jenis tarian yang dipentaskan adalah; tail sangyang, pendet, berbagai jenis baris. Tujuan dan pementasan tarian ini adalah untuk menyambut kedatangan kekuatan suci dimana pada saat ini masyanakat akan mengadakan kontak dan mohon keselamatan bagi warganya. Karena itu sering dikatakan, munculnya jenis-jenis tariaan di Bali pada mulanya adalah diabdikan untuk kepentingan agama dan baru kemudian berkembang menjadi seni kemasyarakatan yang ditandai munculnya kreasi-kreasi baru dalam seni tari di Bali. Upacara piodalan dan jenis-jenis upacana berkala di Pura Kahyangan Tiga diantarkan oleh seorang Pendeta tetapi upacara kecil yang disebut rerainan diantarkan (diselesaikan) oleh seorang pemangku dari pura itu sendiri. Untuk desa-desa kuna 26 Dokumentasi Tri Kahyangan Desa Pakraman Ubung Denpasar

MK : ARSITEKTUR BALI 1

2011

upacara diselesaikan oleh seorang jero gede atau semacam pemangku. Ketika pendeta memuja, para krama pura sudah siap dihalaman dalam/untuk melaksanakan pemujaan. Setelah selesai memuja maka pendeta menuntun jalannya

persembahyangan hingga selesai. Pemakaian puja atau stawa oleh pendeta pada masing-masing pura dari Kahyangan Tiga adalah berbeda-beda seperti di Pura Desa memakai puja Brahma Stawa, di Pura Puseh memakai Wisnu Stava dan di Piira Dalem mempergunakan Durga Stawa. Sebagai contoh dikutipkan Brahma Stava sebagai berikut: Om Ang Brahma namas catur-mukham Brahmagni rakta-varnan ca shpatika varna dewata, sarva bhusana raktakam. Danda astra maha tiksna, atma rakx nabhi-sthana, adyageni surya sphatika, sarua satru vinasanam. terjemahannya : Hyang Widhi Ang Dewa Brahma yang mulia, mempunyai empat muka, Brahma adalah Agni, dengan warna merah, Dewa yang berwarna berkilauan, mempunyai hiasan serba merah. Mempunyai senjata bernama gada yang amat sakti, menjaga atma yang berada di nabi, awal dan api, surya dengan cahaya berkilauan menghancurkan semua musuh-musuh.

Untuk pemujaan kepada Dewa Wisnu di Pura Puseh, pendeta mempergunakan Wisnu Stava, kutipannya sebagai berikut: Om Ung namo Wisnu tri mukhanam, trinayanam Catur-bhujam, krsna varnam sphatikantam, sarva bhusana kresnam, Cakra astra ,mahatiksnam, atma raksam ampru sthanam, amrtah jivano devah, sarva satru vinasanam. terjemahanhya : 27 Dokumentasi Tri Kahyangan Desa Pakraman Ubung Denpasar

MK : ARSITEKTUR BALI 1

2011

Hyang Widhi Ung Dewa Wisnu, tiga muka, tiga mata dan empat tangan, warna hitam yang berkilauan, semua hiasan hitam. Senjta cakra yang amat tajam, melindungi atma, yang tilnggal dihati, dewa memberikan kehidupan, semua musuh dihancurkan. Puja atau stava yang dipergunakan oleh pendeta di Pura Dalern disebut Durga Stava dan disini akan disampaikan kutipannya sebagai berikut: 1. Om Giri - putri deva-devi, lokasraya mahadewi Uma Gangga Saraswai Gayatri Vaisnawi Dewi. 2. Catur Divya mahasakti, catur asrama Bhatari Siva jagat pati devi, Durga Masayrira dewi. 3. Sarva jagat pranamyanam jagad vighna vimurcanam Durga bhucara moksanam sarva duhka vimoksanam. 4. Anugraha amerta bhumi vighna dosa vinasanam sarva papa vinasanam sarva pataka nasanam. 5. Om Deva-devi maha jnanam suddha vighna bhvanesvari sarva jagat pratisthanam sarva devanugrahakam. terjemahannya : 1. Hyag Widhi Dewa-dewi, Giri Putri yang melindungi dunia Dewi Uma, Gangga, Saraswati, Gayatri, dan sakti Dewa Wisnu. 2. Empat kekuatan mahasakti dan Bhatari dipuja dalam empat lingkungan hidup Sakti dan Dewa Siwa, penguasa dunia, Durga yang berbadan Dewi. 3. Dia dihormati oleh seluruh dunia dunia, Dewi mempunyai Durga kekuatan

menghilangkan

rintangan

mendatangkan

keselamatan dari gangguan para danawa yang membawa kebebasan dari rintangan dan kesalahan. 4. Dia memberi karunia, air kehidupan untuk dunia, menghancurkan segala rintangan dan dosa-dosa. 5. Dewi dari Dewa sebagai kebebasan yang maha besar, Dewi dari dunia yang menghilangkan penderitaan. Menolong seluruh dunia, dan menyatu dengan dewa-dewa yang lain serta memberi karunia.

28

Dokumentasi Tri Kahyangan Desa Pakraman Ubung Denpasar

MK : ARSITEKTUR BALI 1

2011

29

Dokumentasi Tri Kahyangan Desa Pakraman Ubung Denpasar


Recommended