5
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Chronic Kidney Disease (CKD)
2.1.1 Definisi
Adalah suatu proses patofisiologis dengan etiologi yang beragam,
mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan pada umumnya
berakhir dengan gagal ginjal. Gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang
ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang irreversible, pada suatu derajat yang
memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis atau transplantasi
ginjal. Kriteria CKD seperti yang tertulis di Tabel 2.1.
Tabel 2.1 Kriteria CKD
1. Kerusakan ginjal yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan structural atau
fungsional, dengan atau tanpa manfaat penurunan Glomerulus Filtration Rate
(GFR), dengan manifestasi:
- kelainan patologis
- terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam komposisi darah
atau urin, atau kelainan dalam tes pencitraan (imaging test)
2. Laju GFR kurang dari 60 ml/menit/1,73m2 selama 3 bulan, dengan atau tanpa
kerusakan ginjal
(Sudoyo et al, 2009)
Pada keadaan tidak terdapat kerusakan ginjal lebih dari 3 bulan, dan LG
sama atau lebih dari 60 ml/menit/1,73m2, tidak termasuk kriteria CKD.
2.1.2 Klasifikasi
Klasifikasi CKD didasarkan atas dua hal yaitu, atas dasar derajat (stage)
penyakit dan atas dasar diagnosis etiologi.
Klasifikasi atas dasar derajat penyakit, dibuat atas dasar GFR, yang dihitung
menggunakan rumus Kockcroft-Gault sebagai berikut:
6
GFR pria(ml/menit/1,73 m2) = (140−𝑢𝑚𝑢𝑟) 𝑋 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑏𝑎𝑑𝑎𝑛
72 𝑋 𝑘𝑟𝑒𝑎𝑡𝑖𝑛𝑖𝑛 𝑝𝑙𝑎𝑠𝑚𝑎 (𝑚𝑔
𝑑𝑙)
GFR wanita(ml/menit/1,73 m2) = (140−𝑢𝑚𝑢𝑟) 𝑋 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑏𝑎𝑑𝑎𝑛
72 𝑋 𝑘𝑟𝑒𝑎𝑡𝑖𝑛𝑖𝑛 𝑝𝑙𝑎𝑠𝑚𝑎 (𝑚𝑔
𝑑𝑙)
𝑥 0,85
Tabel 2.2 Klasifikasi CKD berdasarkan Derajat Penyakit
Derajat Penjelasan GFR (ml/mnt/1.73m2)
1 Kerusakan ginjal dengan
GFR normal atau
meningkat
≥ 90
2 Kerusakan ginjal dengan
GFR menurun ringan
60 - 89
3 Kerusakan ginjal dengan
kerusakan GFR menurun
sedang
30 - 59
4 Kerusakan ginjal dengan
kerusakan GFR menurun
berat
15 - 29
5 Gagal Ginjal < 15 atau dialisis
(Sudoyo et al, 2009)
2.1.3 Epidemiologi
Di Amerika serikat, data tahun 1995-1999 menyatakan insidens CKD
diperkirakan 100 kasus perjuta penduduk pertahun, dan angka ini meningkat
sekitar 8% setiap tahunnya. Di Malaysia, dengan populasi 18 juta diperkirakan
terhadap 1800 kasus baru gagal ginjal pertahunnya. Di Negara-negara
berkembang lainnya, insiden ini diperkirakan sekitar 40-60 kasus perjuta
penduduk per tahun. (Sudoyo et al., 2009)
7
2.1.4 Etiologi
Etiologi CKD sangat bervariasi antara satu Negara dengan Negara lain.
Diagram 1 menunjukkan penyebab gagal ginjal dari pasien yang menjalani
hemodialisis di Indonesia pada tahun 2011 (Pernefri, 2011)
(Pernefri, 2011)
Gambar 2.1
Etiologi gagal ginjal dari pasien yang hemodialisis di Indonesia pada tahun 2011
2.1.5 Patofisiologi
Patofisiologi CKD pada awalnya tergantung pada penyakit yang
mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang
lebih sama. Pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi structural dan
fungsional nefron yang masih tersisa (surviving nephrons) sebagai upaya
kompensasi, yang diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin dan growth
factors. Hal ini mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti oleh
peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini
berlangsung singkat, akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi berupa sclerosis
nefron yang masih tersisa. Proses ini akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi
E114%
E227%
E31%
E434%
E51%
E62%
E78%
E86%
E96%
E101%
Keterangan: E1= Glumeropati Primer
E2= Nefropati Diabetika
E3= Nefropati lupus
E4= Penyakit Ginjal Hipertensi E5= Ginjal Polikistik
E6= Nefropati Asam Urat E7= Nefropati Obstruksi E8= Pielonefritis Chronic
E9= lain-lain
E10= tidak diketahui
8
nefron yang progresif, walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi. Adanya
peningkatan aktifitas renin-angiotensin-aldosteron intrarenal , ikut memberikan
kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sclerosis dan progresifitas tersebut.
Aktivitas jangka panjang aksis renin-angiotensin-aldosteron, sebagian diperantarai
oleh growth factor seperti transforming growth factor 𝛽 (TGF- 𝛽).
Pada stadium paling dini CKD, terjadi kehilangan daya cadang ginjal (renal
reserve), pada keadaan mana basal GFR masih normal atau malah meningkat.
Kemudian secara perlahan tapi pasti, akan terjadi penurunan fungsi nefron yang
progresif, yang ditandai dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin serum.
Sampai pada GFR sebesar 60%, pasien masih belum merasakan keluhan
(asimtomatik), tapi sudah terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin serum.
Sampai pada GFR sebesar 30%, mulai terjadi keluhan pada pasien seperti,
nokturia, badan lemah, mual, nafsu makan kurang dan penurunan berab badan.
Sampai pada GFR dibawah 30% pasien memperlihatkan gejala dan tanda uremia
yang nyata seperti, anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan metabolism
fosfor dan kalsium, pruritus, mual, muntah dan lain sebagainya. Pasien juga
mudah terkena infeksi seperi infeksi saluran kemih infeksi saluran napas, maupun
infeksi saluran cerna. Juga akan terjadi gangguan keseimbangan air seperti hipo
atau hypervolemia, gangguan keseimbangan air seperti hipo atau hypervolemia,
gangguan keseimbangan elektrolit antara lain natrium dan kalium. Pada GFR di
bawah 15% akan terjadi gejala dan komplikasi yang lebih serius, dan pasien sudah
memerlukan terapi pengganti ginjal (renal replacement therapy) antara lain
dialisis atau transplantasi ginjal. Pada keadaan ini pasien dikatakan sampai pada
stadium gagal ginjal. (Sudoyo et al., 2008)
9
2.1.6 Penatalaksanaan
Tabel 2.3 Rencana tatalaksana CKD sesuai dengan derajatnya
Derajat GFR (ml/mnt/1,73 m2) Rencana tatalaksana
1 ≥90 Terapi penyakit dasar,
kondisi komorbid, evaluasi
pemburukan fungsi ginjal,
memperkecil resiko
kardiovaskular
2 60-89 Menghambat pemburukan
fungsi ginjal
3 30-59 Evaluasi dan terapi
komplikasi
4 15-29 Persiapan untuk terapi
pengganti ginjal
5 <15 Terapi pengganti ginjal
(Suwitra, 2009)
Penatalaksanaan CKD meliputi:
1. Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya
2. Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid
3. Memperlambat pemburukan fungsi ginjal
4. Pencegahan dan terapi terhadap komplikasi
5. Terapi pengganti ginjal berupa dialisis atau transplantasi ginjal
Perencanaan tatalaksana CKD sesuai dengan derajatnya, dapat dilihat pada
tabel berikut iniWaktu yang paling tepat untuk menerapi penyakit dasar adalah
pada saat penurunan GFR belum terjadi atau pada saat fungsi ginjal belum terjadi
10
pemburukan. Pada ukuran ginjal. Apabila GFR sudah menurun sampai 20-30%
dari normalnya maka terapi untuk penyakit dasar sudah tidak banyak bermanfaat.
Oleh karena itu, penting sekali untuk mngikuti dan mencatat penurunan GFR
beserta kecepatan penurunannya. Karena dengan melihat hal ini dapat mengetahui
kondisi komorbid yang dapat memperburuk pasien. Oleh karena itu lebih baik
untuk mengetahui kondisi-kondisi komorbid ini sejak dini untuk memberikan
upaya pencegahan dan terapi apabila sudah terjadi kondisi komorbid seperti
gangguan keseimbangan cairan, obstruksi traktus urinarius, obat-obatan
nefrotoksik, atau peningkatan aktivitas penyakit lainnya. Selain itu terapi untuk
gagal ginjal kronis lainnya adalah dengan menghambat faktor utama penyebab
perburukan fungsi ginjal seperti hiperfiltasi glomerulus yang dpat terjadi karena
nefropati, peran angiotensin II, dan hipertensi sistemik.
Pembatasan asupan protein merupakan salah satu cara untuk mengurangi
terjadinya hiperfiltrasi glomerulus. Pembatasan asupan protein mulai dilakukan
saat GFR ≤ 60 ml/mnt. Protein diberikan 0,6-0,8/kgBB/hari, dengan 0,35-0,50 gr
di antaranya merupakan protein dengan nilai biologi yang tinggi.Selama
pembatasan ini harus dilakukan pemantauan yang teratur terhadap kondisi nutrisi
pasien. Apabila terjadi malnutrisi, jumlah asupan kalori dan protein dapat
ditingkatkan. Pembatasan asupan protein ini merupakan terapi yang penting pada
penderita CKD, karena apabila konsumsi protein berlebihan dapat menyebabkan
penimbunan substansi nitrogen dan ion anorganik lain, sehingga menyebabkan
gangguan klinis dan metabolic yang disebut sindrom uremik. Selain itu konsumsi
protein yang berlebih dapat mengakibatkan peningkatan aliran darah dan tekanan
intraglomerulus pada ginjal sehingga menyebabkan progesifitas pemburukan
11
fungsi ginjal. Selain dengan membatasi asupan protein, terapi farmakologis
seperti pemberian obat-obatan antihipertensi juga dapat menghambat terjadinya
pemburukan fungsi ginjal. Obat-obatan antihipertensi terutama Penghambat
Enzim Konverting Angiotensin (Ace Inhibitor) dapat mengurangi terjadinya
hipertensi intraglomerulus dan sebagai antiproteinuria sehingga dapat
menghambat pemburukan fungsi ginjal.
Tabel 2.4 Pembatasan Asupan Protein dan Fosfat pada CKD
GFR
(ml/menit)
Asupan Protein
(g/kg/hari)
Fosfat
(g/kg/hari)
≥ 60 Tidak dianjurkan Tidak dibatasi
25-60 0,6-0,8/kg/hari, termasuk ≥0,35 gr/kg/hari
nilai biologi tinggi
≤ 10 g
5-25 0,6-0,8/kg/hari, termasuk ≥0,35 gr/kg/hari
protein nilai biologi tinggi atau tambahan 0,3
g asam amino esensial atau asam keton
≤ 10 g
< 60 (sindrom
nefrotik)
0,8/kg/hari (+1 gr protein/ g proteinuria atau
0,3 g/kg tambahan asam amino esensial atau
asam keton
≤ 9 g
(Suwitra K., 2009)
Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular juga merupakan
tata laksana yang penting karena kematian sebagian penderita CKD disebabkan
oleh penyakit kardiovaskuler. Pengendalian diabetes, hipertensi, dyslipidemia,
anemia, hiperfosfatemia, dan terapi kelebihan cairan merupakan usaha
pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskuler dan komplikasi CKD
secara keseluruhan. Apabila derajat CKD pasien telah memasuki stadium akhir
12
atau stadium 5 dengan GFR <15 ml/menit, maka terapi yang dapat diberika
kepada pasien adalah terapi pengganti ginjal. Terapi pengganti ginjal dapat berupa
hemodialisis, peritoneal dialisis, atau transplantasi ginjal. (Suwitra K., 2009)
2.1.7 Komplikasi
Komplikasi yang umumnya dialami oleh penderita CKD adalah anemia.
Anemia terjadi pada 80-90% pasien CKD. Anemia ini disebabkan karena
defisiensi dari eritropoietin. Defisiensi besi, kehilangan darah atau masa hidup
darah yang pendek sehingga mengakibatkan hemolisisi, defisiensi asam folat,
penekanan sumsum tulang oleh substansi uremik dan proses inflamasi yang aku
mapun kronik merupakan pencetus terjadinya anemia. Evaluasi terhadap anemia
dilakukan saat kadar hemoglobin ≤ 10g% atau hematocrit ≤ 30%, dengan
mengevaluasi serum iron, total iron binding capacity, mencari apabila ada usmber
perdarahan, melihat morfologi eritrosit dan mencari kemungkinan penyebab
hemolysis lainnya. Penatalaksanaan untuk anemia selain dari mencari factor
penyebabnya adlaah dengan pemberian eritropoeitin (EPO). Transfusi darah dapat
dilakukan dengan indikasi yang tepat dan pada pasien CKD harus dilakukan
secara hati-hati dengan pemantauan yang cermat. Karena transfuse darah yang
dilakukan dengan tidak cermat dapat menyebabkan kelehbihan cairan tubuh,
hyperkalemia, sehingga memperburuk fungsi ginjal.
Berikut adalah daftar-daftar komplikasi yang banyak dialami oleh pasien CKD
menurut derajatnya pada tabel 2.5
13
Tabel 2.5 Komplikasi CKD
Derajat Penjelasan GFR
(ml/menit)
Komplikasi
1 Kerusakan ginjal
dengan GFR normal
≥90
2 Kerusakan ginjal
dengan penurunan
GFR ringan
60 - 89 Tekanan darah mulai
3 Penurunan GFR
sedang
30-59 - Hiperfosfatemia
- Hipokalcemia
- Anemia
- Hiperparatiroid
- Hipertensi
- Hiperhomosistinemia
4 Penurunan GFR
berat
15-29 - Malnutrisi
- Asidosis metabolic
- Hiperkalemia
- Dislipidemia
5 Gagal Ginjal <15 - Gagal jantung
- Uremia
(Suwitra K, 2009)
2.2 Terapi Pengganti Ginjal
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada CKD stadium 5, yaitu pada GFR
kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat berupa hemodialisis, dialisis
peritoneal, dan transplantasi ginjal (Suwitra, 2009).
14
2.2.1 Dialisis Peritoneal
2.2.1.2 Definisi
Dialisis peritoneal (DP) adalah salah satu bentuk dialisis untuk membantu
penanganan pasien CKD maupun pasien gagal ginjal akut, dengan menggunakan
membrane peritoneum yang semipermeable.
2.2.1.3 Cara Kerja Dialisis Peritoneal
DP biasa menggunakan styletcatheter (kateter peritoneum) untuk dipasang
pada abdomen hingga masuk kedalam kavum peritoneum, sehingga ujung kateter
memasuki kavum Douglasi. Kateter tersebut dimasukkan dengan cairan dialisat
sebanyak 2 liter setiap kali waktu dilakukannya DP Membran peritoneum
bertinfak sebagai membrane dialisis yang memisahkan antara cairan dialisis
dalam kavum peritoneum dan plasma darah dalam pembuluh darah di peritoneum.
Pada keadaan faal ginjal yang terganggu, sisa-sisa metabolisme seperti ureum,
kreatinin, kalium, dan toksin laik akan tertimbun dalam plasma darah. Karena
kadarnya yang tinggi akan mengalami difusi melalui membrane peritoneum dan
akan masuk dalam cairan dialisat dan dari sana akan dikeluarkan dari tubuh.
Sementara itu setiap waktu cairan dialisat dikeluarkan dengan cairan dialisat yang
baru.
2.2.1.4 Perbedaan DP dan HD
Dialisis pada pasien dengan gagal ginjal akut dapat dilakukan dengan DP
atay HD tergantung pada kondisi atau keadaan pasien dan fasilitas yang tersedia.
Pada pasien dengan gagal ginjal akut ditemukan bahwa 20% lebih baik dilakukan
DP, 20% lebih baik dilakukan HD, dan 60% lainnya sama baiknya apabila
dilakukan DP dan HD.
15
Tindakan pada DP lebih sederhana, baik alat, maupun prosedur
pelaksanaannya. Cepat dilakukan dengan tanpa persiapan sebelumnya dan dapat
dilakukan beberapa menit setelah dilakukan keputusan untuk melakukan dialisis.
2.2.2 Hemodialisis
2.2.2.1 Definisi
Hemodialisis merupakan suatu proses terapi pengganti ginjal dengan
membuang elemen tertentu dari darah dengan memanfaatkan perbedaan kecepatan
difusi melalui membran semipermeabel yang dilakukan menggunakan
hemodialyzer (Suwitra K, 2009)
2.2.2.2 Epidemiologi
Menurut Indonesian Renal Registry pada laporan tahunan 2014,
didapatkan bahwa di Indonesia telah terdapat 358 unit renal yang terdaftar di IRR.
Total jumlah pasien yang terdaftar di Indonesia adalah sebanyak 11.689 pasien
aktif. Dengan jumlah 55,77% adalah pasien laki-laki dan 44,23% adalah pasien
perempuan. Lebih dari setengah pasien tersebut berusia ≥ 50 tahun. Pada unit-unit
tersebut pelayanan yang diberikan untuk terapi pengganti ginjal adalah
Hemodialisis (82%), kemudian, transplantasi (2,6%), dan CAPD (12,8%) serta
CRRT (2,3%). (Pernefri, 2014)
Untuk melakukan hemodialisis dibutuhkan alat dialiser, di Indonesia per
tahun 2014 jumlah dialiser baru yang terpakai mencapai 23000 dialiser. Angka
pemakaian dialiser baru ini selalu meningkat tiap tahunnya dan sesuai dengan
pertambahan pasien HD baru. Sedangkan durasi tindakan HD yang paling banyak
digunakan di Indonesia adalah 3-4 jam. Hal ini masih dibawah standar durasi HD
yang sebaiknya dilakukan selama 5 jam dengan frekuensi 2 kali seminggu.
16
2.2.2.3 Indikasi Hemodialisis
Indikasi hemodialisis dibedakan menjadi 2 yaitu : hemodialisis emergency
atau hemodialisis segera dan hemodialisis kronik. Keadaan akut tindakan dialisis
dilakukan pada : Kegawatan ginjal dengan keadaan klinis uremik berat,
overhidrasi, oliguria (produksi urine <200 ml/12 jam), anuria (produksi urine <50
ml/12 jam), hiperkalemia (terutama jika terjadi perubahan EKG, biasanya K >6,5
mmol/I), asidosis berat (PH <7,1 atau bikarbonat <12 meq/I), uremia (BUN >150
mg/dL), ensefalopati uremikum, neuropati/miopati uremikum, perikarditis
uremikum, disnatremia berat (Na>160 atau <115 mmol/I), hipertermia, keracunan
akut (alkohol, obat-obatan) yang bisa melewati membran dialisis. (Daugirdas et
al., 2007)
Indikasi hemodialisis kronis adalah hemodialisis yang dilakukan
berkelanjutan seumur hidup penderita dengan menggunakan mesin hemodialisis,
dialisis dimulai jika GFR <15 ml/mnt, keadaan pasien yang mempunyai GFR <15
ml/mnt tidak selalu sama, sehingga dialisis dianggap baru perlu dimulai jika
dijumpai salah satu dari : 1) GFR <15 ml/mnt, tergantung gejala klinis, 2) gejala
uremia meliputi: lethargi, anoreksia, nausea dan muntah, 3) adanya malnutrisi
atau hilangnya massa otot, 4) hipertensi yang sulit dikontrol dan adanya kelebihan
cairan, 5) komplikasi metabolik yang refrakter (Daugirdas et al., 2007; Levy, J et
al., 2016).
2.2.2.4 Cara Kerja Hemodialisis
Pada CKD, hemodialisis dilakukan dengan mengalirkan darah ke dalam
suatu tabung ginjal buatan yang dinamakan dialiser. Dialiser terbagi dalam dua
17
kompartemen yang terpisah. Darah pasien dipompa dan dialirkan ke kompartemen
darah yang dibatasi oleh selaput semipermeabel buatan (artifisial) dengan
kompartemen dialisat. Kompartemen dialisat dialiri cairan dilaisis yang bebas
priogen, berisi larutan dengan komposisi elektrolit mirip serum normal dan tidak
mengandung sisa metabolisme nitrogen. Cairan dialisis dan darah yang terpisah
akan mengalami perubahan konsentrasi karena zat terlarut berpindah dari
konsentrasi yang tinggi ke arah konsentrasi yang rendah sampai terjadi difusi
sehingga konsentrasi zat terlarut sama di kedua kompartemen. Pada proses
dialisis, air juga dapat berpindah dari kompartemen darah ke kompartemen cairan
dialisat dengan cara menaikkan tekanan hidrostatik negatif pada kompartemen
cairan dialisat. Perpindahan air ini disebut ultrafiltrasi yang dapat dilihat pada
gambar 2.2
(Rahardjo et al., 2009)
Gambar 2.2
Ultrafiltrasi
Besar pori pada selaput akan menentukan besar molekul zat terlarut yang
berpindah. Molekul dengan berat molekul lebih besar akan berdifusi lebih lambat
dibanding molekul dengan berat molekul lebih rendah. Kecepatan perpindahan zat
terlerut tersebut makin tinggi bila:
18
1. Perbedaan konsentrasi di kedua kompartemen makin besar
2. Diberi tekanan hidrolik di kompartemen darah
3. Tekanan osmotik di kompartemen cairan dialisis lebih tinggi
Cairan dialisis ini seperti pada gambar 2.3 mengalir berlawanan arah
dengan darah untuk meningkatkan efisiensi Perpindahan zat terlarut pada awalnya
berlangsung cepat etatpi kemudian melambat samapi konsentrasinya sama di
kedua kompartemen. (Rahardjo et al,. 2009; Levy et al,. 2016)
(Rahardjo et al,. 2009)
Gambar 2.3
Bagan Hemodialisis
Pada saat melakukan hemodialisis, pasien akan menggunakan dua jarum
dengan fungsi yang berbeda yang tertera pada gambar 2.4. Terdapat jarum untuk
mengalirkan darah sebelum masuk ke dialiser dan setelah masuk ke dialiser.
Darah akan dipompa menuju dialiser menggunakan pompa darah dengan tujuan
untuk mengambil darah tiap satu ons pada satu waktu.
19
(NIDDK, 2016)
Gambar 2.4
Hemodialisis
2.2.2.5 Komplikasi Hemodialisis
Hemodialisis merupakan tindakan untuk mengganti sebagian dari fungsi
ginjal. Tindakan ini rutin dilakukan pada penderita penyakit ginjal tahap akhir
stadium akhir. Walaupun tindakan hemodialisis saat ini mengalami perkembangan
yang cukup pesat, namun masih banyak penderita yang mengalami masalah medis
saat menjalani hemodialisis. Komplikasi yang sering terjadi pada penderita yang
menjalani hemodialisis adalah gangguan hemodinamik. Tekanan darah umumnya
menurun dengan dilakukannya ultrafiltrasi atau penarikan cairan saat
hemodialisis. Hipotensi intradialitik terjadi pada 5-40% penderita yang menjalani
hemodialisis regular, namun sekitar 5-15% dari pasien hemodialisis tekanan
darahnya justru meningkat. Kondisi ini disebut hipertensi intradialitik atau
intradialytic hypertension (Agarwal & Light, 2010).
20
2.2.2.5.1 Komplikasi Akut
Komplikasi akut hemodialisis adalah komplikasi yang terjadi selama
hemodialisis berlangsung. Komplikasi yang sering terjadi diantaranya adalah
hipotensi, kram otot, mual dan muntah, sakit kepala, sakit dada, sakit punggung,
gatal, demam, dan menggigil (Bieber & Himmelfarb, 2013; Sudoyo et al., 2009).
2.2.2.5.2 Komplikasi kronik
Komplikasi kronik yang terjadi pada pasien hemodialisis yaitu penyakit
jantung, malnutrisi, hipertensi/volume excess, anemia, Renal osteodystrophy,
Neurophaty,disfungsi reproduksi, komplikasi pada akses, gangguan perdarahan,
infeksi, amiloidosis, dan Acquired cystic kidney disease. Terjadinya gangguan
pada fungsi tubuh pasien hemodialisis, menyebabkan pasien harus melakukan
penyesuaian diri secara terus menerus selama sisa hidupnya. Bagi pasien
hemodialisis, penyesuaian ini mencakup keterbatasan dalam memanfaatkan
kemampuan fisik dan motorik, penyesuaian terhadap perubahan fisik dan pola
hidup, ketergantungan secara fisik dan ekonomi pada orang lain serta
ketergantungan pada mesin dialisa selama sisa hidup. (Bieber & Himmelfarb,
2013)
2.2.2.6 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan HD
Keberhasilan hemodialisis terpengaruh dari adekuat atau tidaknya suatu
proses hemodialisis dan kepatuhan dari pasien sendiri. Adekuasi hemodialisis
berkaitan dengan frekuensi hemodialisis, durasi hemodialisis, luas permukaan
dialyzer (ginjal pengganti), kecepatan aliran dialisat dan kecepatan aliran darah
yang maksimal. Sedangkan kepatuhan pasien berhubungan dengan faktor-faktor
21
seperti usia, lama menjalani hemodialisis, motivasi pasien serta dukungan sosial
dari lingkungan sekitar pasien tersebut
2.2.2.6.1 Adekuasi Hemodialisis
Adekuasi hemodialisis dapat dilihat dengan mengukur RRU. RRU adalah
presensi nilai ureum yang turun pada setiap tindakan hemodialisis. Nilai minimal
RRU yang disarankan oleh PERNEFRI dan NDDKI adalah 65%. Berikut adalah
beberapa faktor yang dapat mempengaruhi adekuasi dari hemodialisis:
1. Luas membran dialyzer
NIDDK menyatakan luas permukaan membran dialyzer berpengaruh
terhadap pembersihan ureum, agar adekuasi meningkat maka harus
meningkatkan pula luas permukaan membran dialyzer
2. Kecepatan aliran darah
Kecepatan aliran darah dalam hemodialisis juga memiliki peran dalam
keberhasilan suatu proses HD. Menurut NIDDK Kecepatan aliran darah
diatas 300 ml/menit merupakan kecepatan aliaran darah yang ideal untuk
mencapai adekuasi hemodialisis yang diharapkan yaitu Kt/V > 1,2 dan
RRU > 65%.
3. Kecepatan dialisat
Kecepatan cairan dialisat yang lebih tinggi juga dapat meningkatkan RRU
sehingga adekuasi hemodialisis lebih tinggi. Pada sebuah penelitian
didapatkan bahwa dengan meningkatkan kecepatan dialisat dari 500
22
mL/menit menjadi 800 mL/menit menunjukan adanya peningkatan pada
RRU sehingg adekuasi juga meningkat.
4. Frekuensi dan durasi hemodialisis
Frekuensi menjalani tindakan hemodialisis yang sering akan menurunkan
angka mortalitas pasien CKD karena bisa mengontrol kondisi kelebihan
cairan, kekurangan albumin, hipertensi dan hyperphosphatemia.Pernefri
merekomendasikan waktu minimal tindakan hemodialisis yang baik setiap
minggu adalah antara 10 samapi dengan 15 jam yang terbagi minimal
dalam 2 kali tindakan hemodialisis
2.2.2.6.2 Kepatuhan Pasien
Kepatuhan pasien juga merupakan faktor yang dapat menentukan
adekuasi hemodialisis. Kepatuhan pasien dapat dipengaruhi dari usia pasien, lama
menjalani hemodialisis, motivasi, dan dukungan sosial. Sebuah penelitian
menyatakan bahwa semakin bertambahnya usia maka akan semakin meningkat
pula kedewasaannya atau kematangannya baik secara teknis, psikologis, maupun
spiritual, sehingga meningkatkan pula kemampuan seseorang dalam mengambil
keputusan dan berfikir rasional. Dengan demikian semakin bertambahnya usia
juga dapat mempengaruhi seseorang dalam memberika keputusan dalam program-
program terapi yang berdampak untuk kesehatannya. Pada pasien hemodialisis
didapatkan hasil riset yang memperlihatkan perbedaan kepatuhan pada pasien
yang sakit kurang dari 1 tahun dengan yang lebih dari 1 tahun. Semakin lama
sakit yang diderita, maka resiko penurunan tingkat kepatuhan semakin tinggi.
Motivasi tinggi yang berasal dari diri pasien juga dapat meningkatkan kepatuhan
23
pasien dalam menjalani proses terapi. Sedangkan dukungan sosial dari lingkungan
sekiatr pasien seperti keluarga, teman, maupun petugas kesehatan di sekitar pasien
dapat meningkatkan kepatuhan pasien, umumnya di negara-negara dengan tingkat
sosial yang tinggi seperti Indonesia.
2.2.2.7 Outcome HD
Hasil yang diharapkan dalam melakukan hemodialisis yang adekuat adalah
pasien merasa lebih nyaman setelah melakukan hemodialisis sehingga pasien
merasa ada peningkatan dalam kondisi fisiknya seperti saat sebelum mengikuti
HD, kualitas hidup pasien meningkat. Menjalani hemodialisis yang adekuat dapat
meningkatkan angka harapan hidup pasien CKD. Akan tetapi HD sendiri
memiliki komplikasi seperti elektrolit penting yang ada dalam tubuh ikut keluar
bersama darah saat melalui proses HD, sehingga menyebabkan kesehatan fisik
pasien tidak berangsur membaik secara signifikan sehingga menyebabkan pasien
yang semakin lama menjalani HD maka kualitas hidupnya juga akan semakin
buruk karena kesehatan fisiknya semakin terganggu. (Jaar, 2013)
2.3.2 Transplantasi Ginjal
2.3.2.1 Definisi
Merupakan salah satu terapi pengganti utama pada pasien gagal ginjal tahap
akhir dengan mentransplantasi ginjal penderita untuk diganti dengan ginjal lain
yang berasal dari donor. Transplantasi ginjal dapat memanfaatkan ginjal donor
yang sehat ataupun ginjal donor jenazah.
2.3.2.2 Keuntungan Transplantasi Ginjal
24
Manfaat dari transplantasi ginjal sudah jelas terbukti dalam meningkatkan
kualitas hidup pada pasien CKD dibandingkan dengan dialisis. Karena dialisis
hanya mengatasi sebagian akibat dari penurunan fungsi ginjal. Selain itu
transplantasi ginjal juga meningkatkan harapan hidup dari pasien CKD khususnya
pada pasien usia muda dan pasien dengan diabetes mellitus. Akan tetapi
transplantasi ginjal juga memiliki beberapa kerugian seperti, biaya yang
dikeluarkan untuk melakukan transplantasi cukup banyak, susah untuk
mendapatkan donor hidup ataupun donor yang tepat bagi resipien. Transplantasi
ginjal juga memiliki komplikasi yaitu besarnya angka infeksi pada resipien,
dikarenakan pasca operasi resipien harus meminum obat immunosupresan.
Kemudian transplantasi ginjal tersebut dapat menjadi gagal atau tidak berhasil
karena apabila membran sel ginjal transplan memiliki antigen yang tidak sesuai
dengan resipien, akan terjadi destruksi sel ginjal transplan oleh sel limfosit T
sehingga dapat menyebabkan thrombosis pembuluh darah.
Tabel dibawah ini menunjukkan keuntungan dari transplantasi ginjal
dibandingkan dengan hemodialisis kronik
Tabel 2.6 Keuntungan Transplantasi Ginjal Dibandingkan dengan Hemodialisis
Kronik
Transplantasi ginjal Hemodialisis kronik
Prosedur Satu kali (biasanya) Seumur hidup
Kualitas hidup (jika
berhasil)
Baik sekali Cukup baik
Ketergantungan pada
fasilitas medik
Minimal Besar
Jika gagal Dapat dihemodialisis atau
transplantasi ulang
Meninggal
Angka kematian per tahun 4-8% 20-25%
(Susalit, E. 2009)
25
2.4 Kualitas hidup
2.4.1 Definisi
Setiap individu memiliki kualitas hidup yang berbeda tergantung dari
masing-masing individu dalam menyikapi permasalahan yang terjadi dalam
dirinya. Jika menghadapi dengan positif maka akan baik pula kualitas hidupnya,
tetapi lain halnya jika menghadapi dengan negatif maka akan buruk pula kualitas
hidupnya. Kualitas hidup diartikan sebagai persepsi individu mengenai
keberfungsian mereka di dalam bidang kehidupan. Lebih spesifiknya adalah
penilaian individu terhadap posisi mereka di dalam kehidupan, dalam konteks
budaya dan system nilai dimana mereka hidup dalam kaitannya dengan tujuan
individu, harapan, standar serta apa yang menjadi perhatian individu (Nofitri,
2009).
Kualitas hidup didefenisikan sebagai persepsi individu sebagai laki-laki
atau wanita dalam hidup, ditinjau dari konteks budaya dan system nilai dimana
mereka tinggal, dan berhubungan dengan standar hidup, harapan, kesenangan, dan
perhatian mereka.Hal ini merupakan konsep tingkatan, terangkum secara
kompleks mencakup kesehatan fisik, status psikologis, tingkat kebebasan,
hubungan social dan hubungan kepada karakteristik lingkungan mereka (WHO,
1994)
Di dalam bidang kesehatan dan aktivitas pencegahan penyakit, kualitas
hidup dijadikan sebagai aspek untuk menggambarkan kondisi kesehatan. Kualitas
hidup adalah tingkatan yang menggambarkan keunggulan seorang individu yang
26
dapat dinilai dari kehidupan mereka. Kualitas hidup individu tersebut biasanya
dapat dinilai dari kondisi fisiknya, psikologis, hubungan sosial dan lingkungannya
(Larasati, 2012)
Kualitas hidup ditetapkan secara berbeda dalam penelitian lain. Namun
dalam penelitian ini kualitas hidup adalah tingkatan yang menggambarkan
keunggulan kualitas hidup seorang individu yang dapat dinilai berdasarkan
konsep WHOQOL Group (1998) dari kesehatan fisik, psikologis, hubungan sosial
dan lingkungan. (Larasati, 2012)
2.4.2 Faktor-faktor Kualitas Hidup
1. Usia
Usia adalah salah satu faktor yang mempengaruhi kualitas hidup. Usia
terkait dengan aspek-aspek kehidupan yang penting bag indinvidu.
Individu dengan usia dewasa mengekspresikan kesejahteraan yang lebih
tinggi daripada usia madya dan pada faktor usia tua memiliki kontribusi
terhadap kualitas hidup (Campos et al., 2014; Nofitri 2009)
2. Kesehatan fisik (physical health)
Hal-hal yang terkait didalamnya meliputi: aktivitas sehari-hari,
ketergantungan pada bahan-bahan medis atau pertolongan medis, tenaga
dan kelelahan, mobilitas, rasa sakit dan ketidaknyamanan, tidur dan
istirahat, serta kapasitas bekerja.
27
3. Kesehatan psikologis (psychological health)
Seperti body image dan penampilan, perasaan-perasaan negatif dan positif,
kepercayadirian, spiritualitas/kepercayaan personal, pikiran, belajar,
memori dan konsentrasi.
4. Hubungan sosial (social relationship)
Meliputi hubungan personal, hubungan sosial serta dukungan sosial dan
aktivitas seksual. Dukungan sosial adalah keberadaan, kesediaan,
kepedulian dari orang-orang yang dapat diandalkan, menghargai, dan
menyayangi kita. Dukungan sosial yang diterima seseorang dalam
lingkungannya, baik berupa dorongan semangat, perhatian, penghargaan,
bantuan maupun kasih sayang membuatnya akan memiliki pandangan
positif teradap diri dan lingkungannya.
5. Lingkungan (environment)
Berhubungan dengan sumber-sumber finansial; kebabasan, keamanan dan
keselamatan fisik; perawatan kesehatan dan sosial (aksesibilitas dan
kualitas); lingkungan rumah; kesempatan untuk memperoleh informasi
dan belajar keterampilan baru; berpartisipasi dan kesempatan untuk
rekreasi atau memiliki waktu luang; lingkungan fisik (polusi, kebisingan,
lalu lintas, iklim); serta transportasi.
2.5 Penelitian Yang Sejenis
Penelitian tentang hemodialisis dan kualitas hidup telah dilakukan
dibeberapa negara. Penelitian yang dilakukan oleh Cooper BA dilakukan pada
pasien dengan CKD di Australia dan Selandia Baru. Sample disini dilihat secara
acak dengan 2 kelompok yaitu pasien yang memulai dialisis dengan lebih awal
28
dan pasien yang memlulai dialisis lebih terlambat, didefinisikan sebagai GFR
pada masing-masing kelompok diperkirakan antara 10-14 ml / menit / 1,73 m2
dan 5-7 ml / menit / 1,73 m2, pmasing-masing. Hasil dari penelitian tersebut
didapatkan diantara dua kelompok tersebut tidak terdapat perbedaan dalam hal
kelangsungan hidup atau efek samping, termasuk komplikasi dialisis terkait,
infeksi, dan kejadian kardiovaskular. Selain itu dari penelitian ini didapatkan hasil
tidak ada perbedaan kualitas hidup diantara 2 kelompok sample tersebut. (Cooper
BA, 2010; Cohen SD, 2013)
Penelitian lain yang menyangkut kualitas hidup pada pasien yang
menjalani hemodialisis adalah penelitian yang dilakukan oleh Mandoorah dengan
hasil penelitian didapatkan bahwa pasien yang berumur lebih dari 60 tahun
memiliki kualitas hidup yang paling rendah. Pada penelitianya juga didaptkan
bahwa kualitas hidup pasien hemodialisis berkorelasi dengan umur pasien.
Kemudian, penelitian yang dilakukan oleh Gerasimoula di Yunani pada tahun
2015 memberikan hasil bahwa durasi pasien menjalani hemodialisis juga
berkorelasi dengan kualitas hidup sample pada penelitian tersebut. (Mandoorah,
2014; Gerasimoula K, 2015)