7
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Dasar Supervisi
2.1.1 Pengertian
Supervisi berasal dari kata super (bahasa latin yang berarti di atas) dan
videre (bahasa latin yang berarti melihat). Bila dilihat dari asal kata aslinya,
supervise berarti “melihat dari atas”. Pengertian supervisi merupakan
pengamatan secara langsung dan berkala oleh “atasan” terhadap pekerjaan yang
dilakukan “bawahan” untuk kemudian bila ditemukan masalah, segera diberikan
bantuan yang bersifat langsung guna mengatasinya (Marquis & Huston, 2010).
Supervisi adalah segala bantuan dari pemimpin/ penanggung jawab
kepada perawat yang ditujukan untuk perkembangan para perawat dan staf
lainnya dalam menscapai tujuan asuhan keperawatan. Kegiatan supervisi
semacam ini merupakan dorongan, bimbingan dan kesempatan bagi pertumbuhan
perkembangan keahlian dan kecakapan para perawat (Mangkunegara, 2012).
Supervisi pelayanan keperawatan adalah kegiatan interaksi dan komunikasi
antar supervisor dengan perawat pelaksana, dimana perawat tersebut menerima
bimbingan, dukungan, bantuan dan dipercaya sehingga perawat dapat
meningkatkan keselamatan pasien dan kualitas pelayanan kesehatan.
2.1.2 Manfaat Supervisi
Manfaat supervisi menurut Suarli & Bahtiar (2015) yaitu:
1. Supervisi dapat meningkatkan efektifitas kerja. Peningkatan efektifitas
kerja erat hubungannya dengan peningkatan pengetahuan dan ketrampilan
8
2. bawahan, serta makin terbinanya hubungan dan suasana yang lebih harmonis
antara atasan dan bawahan.
3. Supervisi dapat lebih meningkatkan efisiensi kerja. Peningkatan efisiensi
kerja erat kaitannya dengan makin berkurangnya kesalahan yang dilakukan
bawahan, sehingga pemakaian sumber daya (tenaga, harta, dan sarana) yang
sia-sia akan dapat dicegah.
2.1.3 Sasaran Supervisi
Mengemukakan bahwa supervisi yang dilakukan memiliki sasaran dan
target tertentu yang akan dicapai. Sasaran yang menjadi target dalam supervisi
yaitu:
1. Penggunaan alat yang efektif dan ekonomis
2. Sistem dan prosedur yang tidak menyimpang
3. Pembagian tugas dan wewenang yang proporsional
4. Pelaksanaan tugas keperawatan yang berkualitas
5. Penyimpangan/ penyelewengan kekuasaan, kedudukan, dan keuangan
tidak terjadi dalam rumah sakit. (Mangkunegara, 2012)
2.1.4 Supervisi Keperawatan
Menurut Suyanto dan Nursalam (2014) supervisor dalam keperawatan
yaitu:
1. Kepala Ruangan
Bertanggungjawab untuk melakukan supervisi pelayanan keperawatan yang
diberikan pada pasien di ruang perawatan yang dipimpinnya. Kepala ruang
mengawasi perawat pelaksana dalam memberikan asuhan keperawatan baik
secara langsung maupun tidak langsung disesuaikan dengan metode penugasan
9
yang diterapkan di ruang perawatan tersebut. Kepala ruang merupakan ujung
tombak penentu tercapai atau tidaknya tujuan pelayanan kesehatan di rumah
sakit.
2.Pengawas Keperawatan (Supervisor)
Ruang perawatan dan unit pelayanan yang berada di bawah unit pelaksana
fungsional (UPF) mempunyai pengawas yang bertanggungjawab mengawasi
jalannya pelayanan keperawatan. Pengawas ini bertanggungjawab dalam
mensupervisi pelayanan kepada kepala ruangan yang ada di instalasinya.
3. Kepala Seksi Keperawatan
Mengawasi instalasi dalam melaksanakan tugas secara langsung dan
seluruh perawat secara tidak langsung.
2.1.5 Kompetensi Supervisor
Suryanto (2009) menerangkan seorang supervisor keperawatan dalam
menjalankan tugasnya sehari-hari harus memiliki kemampuan dalam:
1. Memberikan pengarahan dan petunjuk yang jelas, sehingga dapat di
mengerti oleh staf dan pelaksana keperawatan
2. Memberikan solusi, saran, nasehat, dan bantuan kepada staf dan
pelaksana keperawatan
3. Memberikan latihan dan bimbingan yang diperlukan oleh staf dan
pelaksana keperawatan
4. Melakukan penilaian terhadap penampilan kerja perawat (kinerja)
5. Memberikan motivasi untuk meningkatkan semangat kerja kepada staf
dan pelaksana keperawatan
10
6. Melakukan pengamatan atau observasi kepada perawat yang
memberikan asuhan keperawatan pada pasien.
2.1.6 Langkah Supervisi
Supervisi dilakukan secara bertahap, menurut Nursalam langkah-
langkah dalam menerapkan supervisi yaitu:
1) Prasupervisi
a) Supervisor menetapkan kegiatan yang akan disupervisi
b) Supervisor menetapkan tujuan
2) Pelaksanaan supervisi
a) Supervisor menilai kinerja perawat berdasarkan alat ukur atau instrumen
yang telah disiapkan
b) Supervisor mendapat beberapa hal yang memerlukan pembinaan
c) Supervisor memanggil PP dan PA untuk mengadakan pembinaan
dan klarifikasi permasalahan
d) Pelaksanaan supervisi dengan inspeksi, wawancara, dan memvalidasi
data sekunder
(1) Supervisor mengklarifikasi permasalahan yang ada
(2) Supervisor melakukan tanya jawab dengan perawat
3) Pascasupervisi (3F)
a) Supervisor memberikan penilaian supervise (F-fair)
b) Supervisor memberikan feedback dan klarifikasi
c) Supervisor memberikan reinforcement dan follow up perbaikan.
11
2.1.7 Alat Ukur Supervisi
Alat untuk mengukur supervisi pelayanan keperawatan yang telah diuji
validitas dan reliabilitasnya adalah The Manchester Clinical Supervision Scale.
Kuisioner ini dikembangkan oleh White & Wainstanley (2000) kemudian
direvisi lagi oleh White & Wainstanley (2011). Versi asli kuisioner ini adalah
berbahasa inggris, kemudian telah dialihkan bahasakan dibeberapa negara seperti
prancis, norwegia, spanyol, denmark, swedia, portugis, dan finlandia. Kuisioner
ini terbagi menjadi tiga komponen yang merupakan pengembangan dari model
proctor yaitu:
1. Komponen Normatif (mempertahankan kinerja dan meningkatkan
profesionalisme)
Berisi item pernyataan finding time (waktu yang tersedia dari supervisor
untuk melakukan supervisi), item pentingnya supervisi dan item
kepercayaan/ hubungan.
2. Komponen Formatif (meningkatkan pengetahuan dan
ketrampilan)
Komponen formatif berisi item pernyataan meningkatkan pelayanan dan
ketrampilan dan item masalah pribadi serta refleksi diri.
3. Komponen Restoratif (memberikan dukungan)
Komponen restoratif berisi item pernyataan dukungan dan nasehat
supervisor.
12
2.2 Konsep Dasar Perilaku Keperawatan
2.2.1 Pengertian
Perilaku perawat dalam pelayanan keperawatan merupakan suatu
tanggapan dan tindakan terhadap kebutuhan dan keinginan dari para pasien
(Anjaryani, 2009). Perilaku keperawatan sering kali diuraikan dengan pengertian
Caring. Caring merupakan inti dari praktik keperawatan yang baik, karena
caring bersifat khusus dan bergantung pada hubungan perawat - klien (Potter &
Perry, 2009). Caring memfasilitasi kemampuan perawat untuk mengenali klien,
mengetahui masalah klien, mencari dan melaksanakan solusinya. Perilaku seorang
perawat yang caring terhadap klien, dapat memperkuat mekanisme coping klien
sehingga memaksimalkan proses penyembuhan klien (Sitorus, 2006).
Watson (1979 dalam Tomey & Alligood, 2006), menyatakan bahwa caring
merupakan perwujudan dari semua faktor yang digunakan perawat dalam
memberikan pelayanan kesehatan pada klien. Perilaku caring perawat dapat
diwujudkan dalam pemberian pelayanan keperawatan pada klien, bila perawat
dapat memahami pengertian dari caring itu sendiri, mengetahui teori tentang
caring, mengetahui caring dalam praktek keperawatan, memahami sepuluh faktor
carative caring.
Caring adalah sentral untuk praktek keperawatan karena caring merupakan
suatu cara pendekatan yang dinamis, dimana perawat bekerja untuk lebih
meningkatkan kepeduliannya kepada klien. Watson (2005, dalam Tomey &
Alligood, 2006) menyatakan bahwa caring merupakan etik dan ideal moral dari
keperawatan yang memerlukan kualitas interpersonal dan humanistik. Caring
merupakan konsep yang kompleks yang memerlukan pengembangan
13
pengetahuan, ketrampilan, keahlian, empati, komunikasi, kompetensi klinik,
keahlian teknik dan ketrampilan interpersonal. Caring juga merupakan sebuah
proses interpersonal esensial yang mengharuskan perawat melakukan aktivitas
peran yang spesifik dalam sebuah cara dengan menyampaikan ekspresi emosi
tertentu pada klien (Morrison & Burnard, 2009). Leininger (1973, dalam Potter &
Perry, 2009) menyatakan caring merupakan cara seseorang bereaksi terhadap
sakit, penderitaan dan berbagai kekacauan yang terjadi. (Potter & Perry, 2009)
mendefinisikan caring sebagai suatu cara pemeliharaan berhubungan dengan
menghargai orang lain, disertai perasaan memiliki dan tanggung jawab. Pelayanan
keperawatan dengan caring sangat penting dalam membuat hasil positif terhadap
kesehatan dan kesejahteraan klien.
Beberapa pengertian tentang caring diatas, maka dapat disimpulkan bahwa
caring merupakan ideal moral keperawatan yang dalam penerapannya pada klien
memerlukan pengembangan pengetahuan, ketrampilan, keahlian, empati,
komunikasi, kompetensi klinik, keahlian teknik dan ketrampilan interpersonal
perawat, serta adanya rasa tanggung jawab perawat untuk menerapkannya pada
klien. Caring juga merupakan dasar dalam melaksanakan praktek keperawatan
profesional untuk meningkatkan mutu pelayanan keperawatan yang dapat
memberikan kepuasan pada klien.
1. Praktik Keperawatan Caring merupakan hasil dari kultur, nilai – nilai,
pengalaman dan hubungan perawat dengan klien. Saat perawat berurusan dengan
14
kesehatan dan penyakit dalam praktiknya, maka kemampuan perawat dalam
pelayanan akan semakin berkembang. Sikap perawat dalam praktik keperawatan
yang berhubungan dengan caring adalah dengan kehadiran, sentuhan kasih
sayang, selalu mendengarkan dan memahami klien (Potter & Perry, 2009).
Kehadiran adalah suatu pertemuan antara perawat dengan klien yang merupakan
sarana untuk lebih mendekatkan dan menyampaikan manfaat caring. Kehadiran
perawat meliputi hadir secara fisik, berkomunikasi dengan pengertian. Kehadiran
juga merupakan sesuatu yang ditawarkan perawat pada klien dengan maksud
memberikan dukungan, dorongan, menenangkan hati klien, mengurangi rasa
cemas dan takut klien karena situasi tertentu, serta selalu ada untuk klien (Potter
& Perry, 2009). Sentuhan merupakan salah satu cara pendekatan yang
menenangkan, dimana perawat dapat mendekatkan diri dengan klien untuk
memberikan perhatian dan dukungan. Sentuhan caring merupakan suatu bentuk
komunikasi non verbal yang dapat mempengaruhi kenyamanan dan keamanan
klien, meningkatkan harga diri klien, serta memperbaiki orientasi tentang
kenyataaan. Pengungkapan sentuhan harus berorientasi pada tugas dan dapat
dilakukan dengan cara memegang tangan klien, memberikan pijatan pada
punggung, menempatkan klien dengan hati – hati dan ikut serta dalam
pembicaraan (Potter & Perry, 2009). Pembicaraan dengan klien harus benar –
benar didengarkan oleh perawat. Mendengarkan merupakan kunci dari hubungan
perawat dengan klien, karena dengan mendengarkan kisah/ keluhan klien akan
membantu klien mengurangi tekanan terhadap penyakitnya. Hubungan pelayanan
perawat dengan klien yaitu dengan membangun kepercayaan, membuka topik
pembicaraan, mendengarkan dan mengerti apa yang klien katakan.
15
Perawat yang mendengarkan klien dengan sungguh – sungguh, akan mengetahui
secara benar dan merespon apa yang benar – benar berarti bagi klien dan
keluarganya (Potter & Perry 2009). Mendengarkan juga termasuk memberikan
perhatian pada setiap perkataan yang diucapkan , nada suara, ekspresi wajah, dan
bahasa tubuh klien. Hal ini akan membantu perawat dalam mendapatkan petunjuk
untuk membantu menolong klien mencari cara mendapatkan kedamaian. Bulfin
(2005, dalam Potter & Perry, 2009) mengemukakan bahwa memahami klien akan
membantu perawat dalam merespon apa yang menjadi persoalan klien.
Memahami klien berarti perawat menghindari asumsi, fokus pada klien, dan ikut
serta dalam hubungan caring dengan klien yang memberikan informasi dan
memberikan penilaian klinis. Memahami klien adalah sebagai inti suatu proses
yang digunakan perawat dalam membuat keputusan klinis. Perawat yang
membuat keputusan klinis yang akurat dengan konteks pemahaman yang baik,
akan meningkatkan hasil kesehatan klien, klien akan mendapatkan pelayanan
pribadi, nyaman, dukungan, dan pemulihan.
2. Pengukuran Caring.
Pengukuran perilaku caring perawat dapat dilakukan menggunakan
beberapa alat ukur diantaranya adalah:
a. Caring Behavior Inventory (CBI) merupakan alat ukur dengan menggunakan
konsep dasar caring Watson. Alat ukur ini dikembangkan oleh Wolf, et al
(1998) dan mengkatagorikan sepuluh faktor karatif caring Watson menjadi
16
lima dimensi perilaku caring. Alat ukur ini terdiri dari 43 item pernyataan
dengan alternatif jawaban menggunakan skala Likert 4 point.
b. Caring Reflective Behavior Index (CRBI) merupakan alat ukur yang digunakan
untuk mengukur bagaimana perawat mengekspresikan perilaku caring pada
klien dengan kebutuhan khusus (Nurachmah, 2000). Instrumen pengukuran
terdiri dari 30 item pernyataan yang di kembangkan dari sepuluh carative
caring Watson dan masing – masing faktor carative terdiri dari 3 item
pernyataan.
c. Measuring of Nurse Caring Behavior (MNCB) merupakan alat ukur yang
digunakan untuk meningkatkan perilaku caring perawat (Anjaswarni, 2002).
Alat ukur ini merupakan pengembangan dari Caring Reflective Behavior
Inventory yang disusun oleh Nurachmah (2000). Instrumennya terdiri dari 50
item pernyataan yang berhubungan dengan sepuluh carative caring Watson.
Setiap carative caring berisi 4 sampai 8 item pernyataan. Setiap item diukur
dan diberi skor 1 – 4. Pengukuran caring dilakukan untuk melihat sejauh
mana perilaku perawat dalam menerapkan carative caring pada klien.
Perilaku manusia (perawat) merupakan aktifitas yang timbul karena adanya
stimulus atau respon yang dapat diamati secara langsung dan tidak langsung
(Notoatmodjo, 2010), sehingga dapat disimpulkan bahwa perilaku caring
perawat merupakan aktifitas perawat terhadap penerapan carative caring
dalam memberikan asuhan keperawatan pada klien. Perilaku caring dapat
diterapkan dengan baik, bila perawat memiliki pemahaman yang tinggi
tentang perilaku caring tersebut. Pemahaman perawat tentang perilaku caring
dapat diperoleh salah satunya melalui pelatihan, karena pelatihan merupakan
17
metode terorganisasi yang memastikan bahwa seseorang mempunyai
pengetahuan dan ketrampilan untuk tujuan khusus dan mereka mendapatkan
pengetahuan yang di butuhkan untuk melakukan tugas kerja (Marquis &
Huston, 2010). Hal ini sesuai dengan pendapat Watson yang menyatakan
bahwa caring merupakan karakteristik interpersonal yang tidak diturunkan
melalui genetik tetapi dipelajari melalui suatu pendidikan dalam hal ini
pelatihan. Hal ini juga diperkuat dengan hasil penelitian Glembocki & Dunn
(2010) tentang membangun budaya caring melalui pelatihan, mereka
menyatakan adanya peningkatan pengetahuan perawat tentang perilaku
caring sebelum dan sesudah pelatihan.
Perilaku caring juga baru dapat diterapkan bila perawat memiliki motivasi
yang tinggi untuk menerapkannya, karena caring juga merupakan suatu dorongan
motivasi bagi perawat untuk dapat memberikan pelayanan terbaik bagi klien dan
menjadi kepuasan tersendiri bagi perawat bila dapat membuat perubahan pada
kliennya (Potter & Perry, 2009). Perilaku caring tidak akan dapat diterapkan, bila
perawat tidak termotivasi untuk menerapkannya, karena motivasi individu akan
timbul, bila individu tersebut memahami pekerjaan yang akan dilakukan . Hal ini
juga sesuai dengan hasil penelitian Sobirin (2006) yang menyatakan bahwa
perawat dengan motivasi tinggi mempunyai peluang 35,25 kali lebih caring
dibandingkan perawat dengan motivasi rendah.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa perilaku caring dapat
diterapkan setelah perawat memahami tentang perilaku caring tersebut.
Peningkatan pemahaman perawat tentang perilaku caring, salah satunya dapat
dilakukan melalui pelatihan. Perawat yang telah memiliki pemahaman yang tinggi
18
tentang perilaku caring, diharapkan dapat termotivasi untuk menerapkan perilaku
caring tersebut pada klien.
2.2 Konsep Dasar Motivasi
2.3.1 Pengertian
Motif berasal dari bahasa latin movee yang berarti bergerak atau to move.
Motif diartikan sebagai kekuatan yang terdapat dalam organisme ( hal ini
manusiawi ) yang mendorong untuk berbuat sesuatu atau merupakan driving
force. Tindakan manusia dipengaruhi faktor dari luar dan dari dalam.Motif
merupakan dorongan, keinginan, hasrat, dan tenaga penggerak lainnya yang
beraal dari dalam diri seseorang untuk melakukan sesuatu.Motif member tujuan
dan arah pada tingkah laku manusia (Notoatmojo, 2010).
Motivasi adalah tenaga penggerak dan kadang-kadang dilakukan dengan
menyampingkan hal-hal yang dianggap kurang bermanfaat dalam mencapai
tujuan. Motivasi murni adalah motivasi yang betul-betul didasari akan pentingnya
suatu perilaku dan didasarkan sebagai suatu kebutuhan (Irwanto, 2008).
Motivasi adalah upaya untuk menimbulkan rangsangan, dorongan,
ataupun pembangkit tenaga pada seseorang ataupun pada kelompok masyarakat
tersebut mau berbuat dan bekerjasama secara optimal melaksanakan sesuatu yang
telah direncanakan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Untuk
terlaksananya program harus ada motivasi dari diri sendiri.
2.3.2 Klasifikasi Motivasi
1. Motivasi kuat
Motivasi dikatan kuat apabila dalam diri seseorang dalam kegiatan-
kegiatan sehari-hari memiliki harapan yang positif, mempunyai harapan yang
19
tinggi, dan memiliki keyakinan yang tinggi bahwa penderita akan menyelesaikan
pengobatannya tepat pada waktu yang telah ditentukan.
2. Motivasi sedang
Motivasi dikatakan sedang apabila dalam diri manusia memiliki keinginan
yang positif, mempunyai harapan yang tinggi, namun memiliki keyakinan yang
rendah bahwa dirinya dapat bersosialisasi dan mampu menyelesaikan persoalan
yang dihadapi.
3. Motivasi lemah
Motivasi dikatakan lemah apabila didalam diri manusia memiliki harapan
dan keyakinan yang rendah, bahwa dirinya dapat berprestasi. Misalnya bagi
seseorang dorongan dan keinginan mempelajari pengetahuan dan keterampilan
baru merupakan mutu kehidupannya maupun mengisi waktu luangnya agar lebih
produktif dan berguna (Irwanto, 2008).
2.3.3. Unsur-Unsur Motivasi
Menurut Dirgagunarsa (1996), tingkah laku bermotivasi dapat dirumuskan
sebagai tingkah laku yang dilatarbelakangi oleh adanya kebutuhan dan diarahkan
pada pencapaian pada suatu tujuan, agar suatu kebutuhan terpenuhi dan suatu
kehendak terpuaskan (Sobur, 2011).
1.Kebutuhan
Motif pada dasarnya bukan hanya dorongan fisik, tetapi juga orientasi
kognitif elementer yang diarahkan pada pemuasan kebutuhan.
2.Tingkah laku
Sebenarnya semua perilaku merupakan serentetan kegiatan. Sebagai
manusia kita selalu melakukan sesuatu seperti berjalan-jalan, berbicara, makan,
20
tidur, bekerja, dan sebagainya. Semua itu pada dasarnya ditujukan untuk
mencapai tujuan.
3.Tujuan
Unsur ketiga dari motivasi ialah tujuan yang berfungsi untuk memotivasikan
tingkah laku. Sebab, selain ditentukan oleh motif dasar tingkah laku juga
ditentukan oleh keadaan dari tujuan. Jika tujuannya menarik, ndividu akan lebih
aktif bertingkah laku.
2.3.4 Komponen Motivasi
1. Keinginan (Valency)
Valence juga dapat didefinisikan setiap hasil mempunyai nilai atau daya tarik
bagi orang tertentu.
2. Keyakinan (outcome expectancy)
outcome expectancy berarti setiap individu percaya bahwa individu
berperilaku dengan cara tertentu dan akan memperoleh hal tertentu.
3. Harapan (effort expectancy)
effort expectancy berarti setiap hasil berkaitan dengan suatu persepsi mengenai
seberapa sulit mencapai hasil tersebut (Sobur, 2011).
2.3.5 Fungsi dan Manfaat motivasi
Motivasi berfungsi untuk mengarahkan, mendorong, dan menggerakkan
seseorang untuk melakukan sesuatu. Motivasi dapat ditempuh melalui cara
mengusahakan terciptanya suatu keadaan yang dapat menumbuhkan dorongan
batin seseorang agar bergerak hanya untuk bertingkah laku (Basuki, 2009).
Memberikan pengertian pada individu atau kelompok agar mereka terdorong
untuk melakukan sesuatu setelah dia mengerti.
21
Motivasi mempunyai beberapa manfaat, yaitu sebagai unsure penggerak
atau pendorong, unsure pemantapan, unsure pengayoman, unsure penggerak
semangat (Basuki, 2009). Dari empat manfaat tersebut dapat dikatakan bahwa
dengan motivasi seseorang bisa menjadi tergerak atau terdorong untuk melakukan
sesuatu, merasa lebih mantap, merasa terayomi, merasa terampil untuk ikut serta.
2.3.6 Jenis Motivasi
Menurut Purwanto (2010) dan Notoatmojo (2010), berdasarkan sumber
dorongan terhadap perilaku, motivasi dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu:
1. Motivasi instrinsik
Motivasi instrinsik adalah motivasi yang berasal dari dalam diri manusia,
biasanya timbul dari perilaku yang dapat memenuhi kebutuhan sehingga manusia
menjadi puas.
2. Motivasi ekstrinsik
Motivasi ekstrinsik adalah motivasi yang berasal dari luar yang merupakan
pengaruh dari orang lain atau lingkungan. Perilaku yang dilakukan dengan
motivasi ekstrinsik penuh dengan kekhawatiran, kesangsian apalagi tidak
mencapai kebutuhan.
2.3.7 Ciri-ciri Motivasi
Menurut Irwanto (2008) ada lima ciri-ciri motivasi :
1. Penggerakan perilaku menggejela dalam bentuk tanggapan-tanggapan yang
bervariasi. Motivasi tidak hanya merangsang suatu perilaku tertentu saja,
tetapi merangsang berbagai kecenderungan berperilaku yang memungkinkan
tanggapan yang berbeda-beda.
22
2. Kekuatan dan efisiensi perilaku mempunyai hubungan yang bervariasi dengan
kekuatan determinan. Rangsangan yang lemah mungkin menimbulkan reaksi
hebat atau sebaliknya.
3. Motivasi mengarahkan perilaku pada tujuan tertentu.
4. Penguatan positif (positive reinforcement) menyebabkan suatu perilaku terilaku
tertentu cenderung untuk diulangi kembali.
5. Kekuatan perilaku akan melemah bila akibat dari perbuatan itu bersifat tidak
enak.
2.3.8 Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Motivasi
Menurut Sudrajat (2008) ada dua faktor yang mempengaruhi motivasi
yaitu faktor instrinsik dan faktor ekstrinsik. Faktor instrinsik adalah faktor yang
timbul dari dalam individu, seperti usia, pendidikan dan pengetahuan. Sedangkan
faktor ekstrinsik adalah faktor yang mempengaruhi dari luar diri individu seperti
pekerjaan, status social budaya.
1. Faktor – Faktor Instrinsik
a. Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil tahu dari manusia.Apabila pengetahuan itu
mempunyai sasaran yang tertentu, mempunyai metode atau pendekatan unuk
mengkaji objek tersebut sehingga memperoleh hasil yang dapat disusun secara
sistematis dan diakui secara universal, maka terbentuklah disiplin ilmu.
b. Usia
Faktor usia sangat mempengaruhi motivasi seseorang, motivasi yang
sudah berusia lanjut lebih sulit dari orang yang masih muda. Dapat diperkirakan
bahwa IQ akan menurun sejalan dengan bertambahnya usia, khususnya pada
23
beberapa kemampuan yang lain seperti kosa kata dan pengetahuan umum. Pada
usia dewasa muda (20-30 tahun) merupakan periode pertumbuhan fungsi tubuh
dalam tingkat yang optimal, dibarengi tingkat kematangan emosional, intelektual
dan sosial, sedangkan dewasa pertengahan ( 41-50 tahun ) secara umum
merupakan puncak kejayaan sosial, kesejahteraan, sukses ekonomi dan stabilisasi,
jadi usia sangat berpengaruh terhadap motivasi seseorang dalam berbagai kegiatan
termasuk dalam pencegahan osteoporosis.
c. Persepsi seseorang mengenai dirinya sendiri, pemahaman dan evaluasi
seseorang pada dirinya sendiri.
Persepsi ataupun sebuah mekanisme pengorganisasian, sebagai proses
seleksi atau screani berarti, bahwa beberapa informasi akan diproses dan lainnya
tidak dproses.
d. Harga diri, perasaan menjaga pada harga diri dan jati diri.
Harga diri rendah merupakan evaluasi diri dari perasaan tentang diri atau
kemampuan diri yang negatif baik langsung maupun tidak langsung (Sudrajat,
2008).
e. Harapan pribadi, keinginan dan motivasi seseorang pada masa yang akan
datang.
Ideal diri adalah persepsi individual tentang bagaimana keinginan atau
nilai pribadi tertentu. Sering disebut bahwa ideal diri sama dengan cita-cita,
keinginan, harapan tentang diri sendiri.
f. Kebutuhan, sesuatu yang dibutuhkan secara fisiologis dalam pemenuhan
kelangsungan hidup seseorang.
24
Kebutuhan akan sangat mempengaruhi dorongan atau motivasi seseorang
untuk mempersiapkan stimulus yang ada. Ada tiga jenis kebutuhan manusia
menurut Mc Clelland, yaitu kebutuhan untuk berprestasi,kebutuhan untuk
kekuasaan, dan kebutuhan untuk berafiliasi.
1. Kebutuhan akan prestasi
Kebutuhan ini pada hirarki maslow terletak antara kebutuhan akan
penghargaan dan kebutuhan akan aktualisasi diri. Ciri-ciri individu yang
menunjukan orientasi tinnggi antara lain bersedia menerima resiko yang
relatif tinggi keinginan untuk mendapatkan umpan balik tentang hasil
kerja mereka, keinginan mendapatkan tanggung jawab pemecahan
masalah.
Motivasi untuk berprestasi, karena itu karyawan akan berusaha mencapai
prestasi tertingginya, pencapaian tujuan tersebut bersifat realitis tetapi
menantang, dan kemajuan dalam pekerjaan.
Karyawan perlu mendapat umpan balik dari lingkungannya sebagai
bentuk pengakuan terhadap prestasinya tersebut.
2. Kebutuhan akan kekuasaan
Kebutuhan akan kekuasan adalah kebutuhan untuk memebuat orang lain
berperilaku dalam suatu cara di mana orang-orang itu tanpa di paksa
tidak akan berperilaku demikian atau suatu bentuk ekspresi individu
untuk mengendalikan dan mempengaruhi orang lain. Kebutuhan ini teori
maslow terletak antara kebutuhan akan penghargaan dan kebutuhan
aktualisasi diri. Mc Clelland menyatakan bahwa kebutuhan akan
25
kekuasaan sangat berhubungan dengan kebutuhan untuk mencapai suatu
posisi kemampun.
Motivasi terhadap kekuasaan karyawan memiliki motivasi untuk
berpengaruh terhadap lingkunggannya, memiliki karakter kuat untuk
memimpin dan memiliki ide-ide untuk menang. Ada juga motivasi untuk
peningkatan status dan prestise pribadi.
3. Kebutuhan untuk berafiliasi
Kebutuhan akan afiliasi adalah hasrat untuk berhubungan antara pribadi
yang ramah dan akrab. Individu merefleksikan keinginan untuk
mempunyai hubungan yang erat, koperatif dan penuh sikap persahabatan
dengan pihak lain. Individu yang mempunyai kebutuhan afiliasi yang
tinggi umumnya berhasil dalam pekerjaan yang memerlukan interaksi
sosial yang tinggi.
McClelland mengatakan bahwa kebanyakan orang memiliki kombinasi
karakteristik tersebut, akibatnya akan mempengaruhi perilaku karyawan
dalam pekerjaan atau mengelola organisasi
g. Keinginan, sebuah tujuan dari seseorang untuk dicapai. Keinginan adalah
segala kebutuhan lebih terhadap barang ataupuan jasa yang ingin di penuhi
setiap manusia pada sesuatu hal yang di anggap kurang. Keinginan tidak
bersifat mengikat dan tidak memiliki keharusan untuk segera terpenuhi.
Keinginan lebih bersifat tambahan, ketika kebutuhan pokok telah terpenuhi.
26
h. Pendidikan
Semakin tinggi tingkat pendidikan maka makin tinggi pula tingkat motivasi
seseorang. Disini jelas bahwa faktor pendidikan besar pengaruhnya terhadap
peningkatan motivasi seseorang. Pendidikan adalah suatu proses dimana manusia
membina perkembangan manusia lain secara sadar dan berencana.
2. Faktor – Faktor Ekstrinsik
a. Pekerjaan
Jenis dan sifat pekerjaan yang dianggap sesuai oleh seseoran akan
dijalaninya dengan penuh tanggung jawabdan kebesaran hati.
b. Status budaya
Kebudayaan dalam tatanan masyarakat merupakan suatu sistem atau
aturan yang dipegang teguh oleh masyarakat, tidak ada sanksi hukm yang tegas
bagi yang melanggarnya, hanya berupa teguran dan sanksi moral berupa
dikucilkan
c. Imbalan
Penghargaan dapat diartikan sebagai kekuatan dari suatu kecenderungan
untuk bertindak dengan suatu cara tertentu tergantung pada kekuatan dari suatu
penghargaan bahwa tindakan itu akan diikuti oleh suatu keluaran tertentu dan
pada daya tarik dari keluaran bagi individu tersebut.
d. Lingkungan
Sesuatu yang asing bagi lingkungan tertentu sering dipersepsikan salah,
sehingga perlu pemahaman yang mendalam tentang hal-hal yang baru, juga perlu
mempertimbangkan social budaya daerah tersebut.
27
1. Pengukuran Motivasi (menurut Notoatmodjo, 2012). Ada beberapa cara
mengukur motivasi, yaitu dengan:
a. Tes proyektif
Apa yang kita katakana merupakan cerminan dari apa yang ada dalam diri
kita. Dengan demikian untuk memahami apa diinterprestasikan. Salah satu teknik
proyektif yang banyak digunakan adalah Thematik Apperception Test
(TAT).Dalam tes tersebut klien diberikan gambar dan klien diminta untuk
membuat cerita dari gambar tersebut.Dalam teori Mc Leland dikatakan, bahwa
manusia memiliki tiga kebutuhan yaitu kebutuhan untuk berprestasi (n-ach);
kebutuhan untuk berafilisasi (n-off).Dari isi cerita tersebut kita dapat menelaah
motivasi yang mendasari diri klien berdasarkan konsep kebutuhan diatas.
b. Kuesioner
Salah satu cara untuk mengukur motivasi melalui kuesioner adalah dengan
meminta klien untuk mengisi kuesioner yang berisi pertanyaan-pertanyaan yang
dapat memancing motivasi klien.
c. Observasi perilaku
Cara lain untuk mengukur motivasi adalah dengan membuat situasi
sehingga klien dapat memunculkan perilaku yang mencerminkan motivasinya.
Misalnya, untuk mengukur keinginan untuk berprestasi, klien diminta untuk
memproduksi origami dengan batas waktu tertentu.Perilaku yang di observasi
adalah apakah klien menggunakan kualitas daripada kualitas kerja (Notoatmodjo,
2012).
25
d. Alat ukur (motivasi) menggunakan skala Likert dengan 4 pilihan jawaban, yaitu SS
(Sangat Setuju), S (Setuju), TS (Tidak Setuju), dan STS (Sangat Tidak Setuju).