5
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pneumonia
Pneumonia adalah infeksi yang menyebabkan paru-paru meradang. Kantung-
kantung kemampuan menyerap oksigen menjadi berkurang. Kekurangan oksigen
membuat sel-sel tubuh tidak bekerja. Inilah penyebab penderita pneumonia dapat
meninggal, selain dari penyebaran infeksi ke seluruh tubuh. (Misnadiarly, 2008)
Pneumonia adalah inflamasi yang mengenai jaringan parenkim paru. Sebagian
besar disebabkan oleh mikroorganisme (virus atau bakteri) dan sebagian kecil
disebabkan oleh hal lain (aspirasi, radiasi dll). (Said M, 2015) Pneumonia merupakan
infeksi akut parenkim paru yang meliputi alveolus dan jaringan interstisial. (Callistania
C dan Indrawati W, 2014)
2.1.1 Pneumonia Balita
Anak Bawah Lima Tahun atau sering disingkat sebagai Anak Balita adalah anak
yang telah menginjak usia di atas satu tahun atau lebih popular dengan pengertian usia
anak di bawah lima tahun atau biasa digunakan perhitungan bulan yaitu usia 12–59
bulan. (DEPKES, 2015)
Keluhan meliputi demam, menggigil, batuk, sakit kepala, anoreksia, dan kadang-
kadang keluhan gastrointestinal seperti muntah dan diare. Secara klinis
6
ditemukan gejala respiratori seperti takipnea, retraksi subkosta (chest
indrawing), nafas cuping hidung, ronki, dan sianosis. (Said M, 2015)
2.1.2 Epidemiologi
Pneumonia masih merupakan masalah kesehatan utama dan menyebabkan
lebih dari 5 juta kematian per tahun pada anak balita di negara berkembang. Penyakit
ini juga merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas anak berusia <5 tahun.
Insidens pneumonia pada anak berusia <5 tahun adalah 10–20 kasus/100 anak/ tahun
di negara berkembang dan 2-4 kasus/anak/tahun di negara maju. (Callistania C dan
Indrawati W, 2014)
Pneumonia hingga saat ini masih tercatat sebagai masalah kesehatan utama
pada anak di negara berkembang. Pneumonia merupakan penyebab utama morbiditas
dan mortalitas anak berusia di bawah lima tahun . Diperkirakan hampir seperlima
kematian anak diseluruh dunia, lebih kurang 2 juta anak balita, meninggal setiap tahun
akibat pneumonia, sebagian besar terjadi di Afrika dan Asia tenggara. Menurut survei
kesehatan nasional (SKN) 2001, 27,6% kematian bayi dan 22,8% kematian balita di
Indonesia disebabkan oleh penyakit sistem respiratori, terutama pneumonia. (Said M,
2015)
2.1.3 Etiologi
Usia pasien merupakan faktor yang memegang peranan penting pada perbedaan
dan kekhasan pneumonia anak, terutama dalam spektrum etiologi, gambaran klinis,
dan strategi pengobatan. Spektrum mikroorganisme penyebab pada neonatus dan bayi
kecil berbeda dengan anak yang lebih besar. Pada bayi yang lebih besar dan anak balita,
pneumonia sering disebabkan oleh infeksi Streptoccus pneumoniae, Haemophillus
7
influenzae tipe B, dan Staphylococcus aureus. Secara klinis, umumnya pneumonia
bakteri sulit dibedakan dengan pneumonia virus. Demikian juga dengan pemeriksaan
radiologis dan laboratorium, biasanya tidak dapat menentukan etiologi. (Said M, 2015)
2.1.4 Etiologi berdasarkan tempat terjadinya pneumonia
Berdasarkan tempat terjadinya infeksi, dikenal dua bentuk pneumonia, yaitu:
pneumonia-komunitas (Community-Acquired Pneumonia), bila infeksinya terjadi di
masyarakat, dan pneumonia nosokomial (Hospital-Acquired Pneumonia), bila infeksi
terjadi di rumah sakit. Selain berbeda dalam lokasi tempat terjadinya infeksi, kedua
bentuk pneumonia ini juga berbeda dalam spektrum etiologi, gambaran klinis, penyakit
dasar atau penyakit penyerta dan prognosisnya. (Said M, 2015)
2.1.5 Pneumonia komunitas
Pada pneumonia komunitas jenis patogen tidak diketahui pada 40% kasus.
Dilaporkan adanya Str. Pneumoniae pada (9-20%), M. pneumoniae (13-37%),
Clamydia pneumoniae (17%). Patogen pada pneumonia komunitas rawat inap. Pada
20-70% tidak diketahui penyebabnya, Str. Pneumoniae dijumpai pad 20-60%, H.
influezae (3-10%), dan oleh S. aureus, gram negatif enterik, M. pneumoniae, C.
pneumoniae dan virus sebesar sp 10%. Kejadian infeksi kuman atipikal mencapai 40-
60%. Infeksi patogen gram negatif bisa mencapai 10% terutama pada pasien dengan
komorbiditas penyakit lain seperti disebut di atas. Ps, Aeruginosa dilaporkan sebesar
4%. Penelitian pneumonia komunitas rawat di Asia misalnya Indonesia atau Malasyia
mendapatkan patogen yang bukan Str. Pneumoniae sebagai penyebab tersering
pneumonia komunitas, antara lain KI. Pneumoniae. (Dahlan Z, 2015)
8
2.1.6 Pneumonia nosokomial
Pada kelompok pneumonia nosokomial etiologi tergantung pada 3 faktor yaitu:
tingkat berat sakit, adanya risiko untuk jenis patogen tertentu, dan masa menjelang
timbul onset pneumonia. Patogen Str. Pneumoniae memiliki faktor risiko koma, cedera
kepala, influenza, pemakaian obat IV, DM, gagal ginjal dan patogen Ps, Aeruginosa
memiliki faktor risiko pernah dapat antibiotik, ventilator >2 hari, lama dirawat di ICU,
terapi steroid/antibiotik, kelainan struktur paru-paru, malnutrisi. (Dahlan Z, 2015)
2.1.7 Patofisiologi
Umumnya mikroorganisme penyebab terhisap ke paru bagian perifer melalui
saluran respiratori. Mula-mula terjadi edema akibat reaksi jaringan yang
mempermudah proliferasi dan penyebaran kuman ke jaringan sekitarnya. Bagian paru
yang terkena mengalami konsolidasi, yaitu terjadi serbukan sel PMN, fibrin, eritrosit,
cairan edema, dan ditemukannya kuman di alveoli. Stadium ini disebut stadium
hepatisasi merah. Selanjutnya, deposisi fibrin semakin bertambah, terdapat fibrin dan
leukosit PMN di alveoli dan terjadi proses fagositosis yang cepat. Stadium ini disebut
stadium hepatisasi kelabu. Selanjutnya, jumlah makrofag meninkat di alveoli, sel akan
mengalami degenerasi, fibrin menipis, kuman dan debris menghilang. Stadium ini
disebut stadium resolusi. Sistem bronkopulmoner jaringan paru yang tidak terkena
akan tetap normal. (Said M, 2015)
2.1.8 Gejala
Sebagian besar gambaran klinis pneumonia pada anak berkisar antara ringan
hingga sedang, sehingga dapat berobat jalan saja. Hanya sebagian kecil yang berat,
9
mengancam kehidupan, dan mungkin terdapat komplikasi sehingga memerlukan
perawatan di RS. Gambaran klinis pneumonia pada bayi dan anak bergantung pada
berat-ringannya infeksi, tetapi secara umum adalah sebagai berikut : (Said M, 2015)
• Gejala infeksi umum, yaitu demam, sakit kepala, gelisah, malaise, penurunan
nafsu makan keluhan gastrointestinal seperti mual, muntah atau diare, kadang-
kadang ditemukan gejala infeksi ekstrapulmoner. (Said M, 2015)
• Gejala gangguan respiratori, yaitu batuk, sesak nafas, retraksi dada, takipnea,
nafas cuping hidung, air hunger, merintih, dan sianosis. (Said M, 2015)
10
2.1.9 Diagnosis
Gambar 2.1 klasifikasi balita batuk dan atau kesukaran bernafas (DEPKES, 2012)
Diagnosis pneumonia berat untuk kelompok umur kurang 2 bulan ditandai
dengan adanya napas cepat, yaitu frekuensi pernapasan sebanyak 60 kali per menit atau
lebih, atau adanya penarikan yang kuat pada dinding dada sebelah bawah kedalam.
Rujukan penderita pnemonia berat dilakukan dengan gejala batuk atau kesukaran
bernapas yang disertai adanya gejala tidak sadar dan tidak dapat minum. Diagnosisnya
adalah batuk pilek biasa (common cold), pharyngitis, tonsilitis, otitis atau penyakit non-
pnemonia lainnya jika klasifikasinya bukan pneumonia (DEPKES, 2012).
2.1.10 Komplikasi
Komplikasi pneumonia pada anak meliputi empiema torasis, perikarditis
purulenta, pneumothoraks, atau infeksi ekstrapulmoner seperti meningitis purulenta.
11
Empiema torasis merupakan komplikasi tersering yang terjadi pada pneumonia
bakteri. Ilten F dkk, melaporkan mengenai komplikasi miokarditis (tekanan sistolik
ventrikel kanan meningkat, kreatinin kinase meningkat, dan gagal jantung) yang cukup
tinggi pada seri pneumonia anak berusia 2-24 bulan. Oleh karena miokarditis
merupakan keadaan yang fatal, maka di anjurkan untuk melakukan deteksi dengan
teknik noninvasif seperti EKG, ekokardiografi, dan pemerikasaan enzim. (Said M,
2015)
2.2 Aplikasi Model Epidemiologi dan Konsep Model Hendrik L. Blum pada
Analisis Faktor Risiko Kejadian Pneumonia pada Balita.
2.2.1 Pendekatan model segitiga epidemologi
Model segitiga epidemiologi menggambarkan interaksi tiga komponen
penyakit yaitu manusia (Host), penyebab (Agent) dan lingkungan (Environment).
Menurut Hockennberry dan Wilson, 2009 penyakit dapat terjadi karena adanya
ketidakseimbangan antara faktor agent, host, dan environment. Dalam model ini faktor
agent adalah yang bertanggung jawab terhadap penyebab penyakit meliputi infectious
agent yaitu organisme penyebab penyakit, physical agent dan chemical agent. Faktor
penjamu (Host) adalah individu atau populasi yang berisiko terpajan penyakit meliputi
faktor genetik atau gaya hidup. Faktor lingkungan (Enviroment) adalah tempat dimana
host hidup termasuk cuaca dan faktor-faktor yang berhubungan dengan rumah,
tetangga dan sekolah. (Hartati S, 2011)
12
Gambar 2.2 The Epidemiologic triangel (Hockenberry and Wilson, 2009)
Gambar diatas memperlihatkan segitiga dalam status keseimbangan (ekuilibrium) yang
normal. Keseimbangan bukan menandakan kesehatan yang optimum, tetapi pola biasa
yang sederhana dari kondisi sehat dan sakit dalam populasi. Berbagai perubahan yang
terjadi pada salah satu sisi (agent, host, dan environment) akan menghasilkan
ketidakseimbangan. (Hartati S, 2011)
Berikut adalah penjabaran hubungan 3 komponen yang terdapat dalam model segitiga
epidemiologi dengan faktor risiko terjadinya infeksi pneumonia pada balita :
1. Faktor penyebab (agent) adalah penyebab dari penyakit pneumonia yaitu
berupa virus dan bakteri. Berdasarkan faktor penyebab (Agent) pneumonia
dibedakan menjadi 1) pneumonia bakterial/tipikal yaitu pneumonia yang dapat
terjadi pada semua usia, 2) pneumonia atipikal adalah pneumonia yang
disebabkan oleh mycoplasma, legionella dan chlamydia, 3) pneumonia virus
adalah pneumonia yang disebabkan oleh virus (Hartati S, 2011)
Host
Agent Environment
13
2. Faktor Manusia (host) adalah manusia atau pasien. Faktor risiko dalam hal ini
adalah anak balita meliputi: Usia, jenis kelamin, berat badan lahir, riwayat
pemberian ASI, status gizi, riwayat pemberian vitamin A, riwayat imunisasi,
status sosial ekonomi. (Said M, 2015)
3. Faktor Lingkungan (environment) adalah yang dapat menjadi faktor risiko
terjadinya pneumonia pada balita meliputi kepadatan tumah, polusi udara,
cuaca, kelembaban. (Hartati S, 2011)
2.2.2 Konsep model Hendrik L Blum
Menurut teori Hendrik L. Blum (1974) dalam Hartati (2011), status kesehatan
dipengaruhi secara simultan oleh empat faktor penentu yang saling berinteraksi satu
sama lain. Keempat faktor penentu tersebut adalah lingkungan, perilaku (gaya hidup),
keturunan dan pelayanan kesehatan. Bagan kerangka pikir Hendrik L. Blum dapat
dilihat pada gambar dibawah ini:
Gambar 2.2 Faktor yang mempengaruhi status kesehatan (Hendrik L Blum, 1974)
LINGKUNGAN PELAYANAN KESEHATAN
KETURUNAN
PERILAKU
STATUS KESEHATAN
14
Makna panah berdasarkan model Hendrik L Blum yang menuju kepada status
kesehatan memiliki ukuran yang berbeda, dimana perilaku memiliki ukuran panah
paling besar. Hal ini disebabkan karena perilaku memiliki peranan yang paling besar,
karena dapat di intervensi dengan mudah kemudian yang kedua adalah lingkungan dan
yang ketiga adalah pelayanan kesehatan. Genetik atau keturunan tidak dapat di
intervensi oleh sebab itu memiliki panah dengan ukuran paling kecil (Endra Febri,
2015) Gambar diatas memperlihatkan sehat tidaknya seseorang tergantung 4 faktor
yaitu keturunan, lingkungan, perilaku dan pelayanan kesehatan. Faktor tersebut
berpengaruh langsung pada kesehatan dan juga berpengaruh satu sama lain. Status
kesehatan akan tercapai optimal jika empat faktor tersebut kondisinya juga optimal.
Bila salah satu faktor terganggu, status kesehatan tergeser kearah di bawah optimal.
Keempat faktor risiko yang mempengaruhi kejadian pneumonia pada balita adalah:
(Hartati, 2011)
1. Faktor genetik atau keturunan
Keturunan (genetik) merupakan faktor yang telah ada dalam diri manusia yang
dibawa sejak lahir, misalnya dari golongan penyakit keturunan seperti diabetes
melitus dan asma bronchial. Keturunan adalah faktor risiko yanng tidak
mungkin kita hindari. (Endra Febri, 2015) Penyakit yang dapat diturunkan dari
orang tua dan menjadi faktor risiko pneumonia adalah penyakit asma. (Hartati,
2011)
2. Faktor pelayanan kesehatan
Pelayanan kesehatan merupakan faktor ketiga yang mempengaruhi derajat
kesehatan masyarakat karena keberadaan fasilitas kesehatan sangat
15
menentukan dalam pelayanan pemulihan kesehatan, pencegahan terhadap
penyakit, pengobatan dan keperawatan serta kelompok dan masyarakat yang
memerlukan pelayanan kesehatan. Ketersediaan fasilitas kesehatan dipengaruhi
oleh lokasi, apakah dapat dijangkau atau tidak. Yang kedua adalah tenaga
kesehatan pemberi pelayanan kesehatan itu sendiri apakah sesuai dengan
kebutuhan masyarakat yang memerlukan. (Endra Febri, 2015)
Pelayanan kesehatan yang berkualitas sangatlah dibutuhkan. Masyarakat
membutuhkan posyandu, puskesmas, rumah sakit dan pelayanan kesehatan
lainnya untuk membantu dalam mendapatkan pengobatan dan perawatan
kesehatan. Terutama untuk pelayanan kesehatan dasar yang memang banyak
dibutuhkan masyarakat. Kualitas dan kuantitas sumber daya manusia di bidang
kesehatan juga mesti ditingkatkan. Puskesmas sebagai garda terdepan dalam
pelayanan kesehatan masyarakat sangat besar peranannya, sebab di puskesmas
akan ditangani masyarakat yang membutuhkan edukasi dan perawatan primer.
(Endra Febri, 2015)
Hasil penelitian Djaja (2001), menjelaskan bahwa ibu dengan pendidikan yang
lebih tinggi akan lebih banyak membawa anaknya untuk berobat ke fasilitas
kesehatan, tetapi ibu dengan pendidikan rendah akan lebih memilih anaknya
untuk berobat ke dukun atau mengobati sendiri. (Hartati S, 2011)
3. Faktor perilaku
Perilaku merupakan faktor pertama yang mempengaruhi derajat kesehatan
masyarakat karena sehat atau tidak sehatnya lingkungan kesehatan individu,
keluarga dan masyarakat sangat tergantung pada perilaku manusia itu sendiri.
16
Di samping itu, juga dipengaruhi oleh kebiasaan, adat istiadat, kepercayaan,
pendidikan sosial ekonomi, dan perilaku-perilaku yang melekat pada dirinya.
(Endra Febri, 2015)
Perilaku, baik individu maupun masyarakat dalam menjaga kesehatan
memegang peranan sangat penting untuk mewujudkan Indonesia Sehat 2015.
Hal ini dikarenakan budaya hidup bersih dan sehat harus dapat dimunculkan
dari dalam diri sendiri maupun masyarakat untuk menjaga kesehatannya.
Individu dan masyarakat yang berprilaku hidup bersih dan sehat akan
menghasilkan budaya menjaga lingkungan yang bersih dan sehat. pembuatan
peraturan tentang berperilaku sehat juga harus dibarengi dengan pembinaan
untuk menumbuhkan kesadaran pada individu dan masyarakat. Pembinaan
dapat dimulai dari lingkungan keluarga, sekolah dan msayarakat. Tokoh-tokoh
masyarakat sebagai role model harus diajak turut serta dalam menyukseskan
program-program kesehatan. Faktor perilaku, seperti pada penjelasan
sebelumnya, mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap tercapainya
derajat kesehatan. Perilaku dapat mempengaruhi lingkungan, pemanfaatan
terhadap pelayanan kesehatan yang telah disiapkan maupun terhadap
kemungkinan masalah genetik yang timbul. (Endra Febri, 2015)
Faktor perilaku kesehatan yang berpengaruh terhadap kejadian pneumonia pada
anak balita yaitu perilaku lingkungan keluarga dimana terdapat kebiasaan-
kebiasaan dari anggota keluarga yang dapat mempengaruhi kesehatan anak
balita yaitu kebiasaan merokok anggota keluarga. (Hartati, 2011)
17
4. Faktor Lingkungan
Lingkungan memiliki pengaruh cukup besar. Lingkungan sangat bervariasi,
umumnya digolongkan menjadi tiga kategori, yaitu yang berhubungan dengan
aspek fisik, biologi dan sosial. (Endra Febri, 2015)
a. Lingkungan fisik
Bersifat abiotik atau benda mati seperti air, udara, tanah, cuaca, makanan,
rumah, panas, sinar, radiasi, dan lain-lain. Lingkungan fisik ini berinteraksi
secara konstan dengan manusia sepanjang waktu dan masa serta memegang
peranan penting dalam proses terjadinya penyakit pada masyarakat.
Lingkungan yang memiliki kondisi sanitasi buruk dapat menjadi sumber
berkembangnya penyakit. Hal ini jelas membahayakan kesehatan
masyarakat kita. Terjadinya penumpukan sampah yang tidak dapat dikelola
dengan baik, polusi udara, air dan tanah juga dapat menjadi penyebab.
(Endra Febri, 2015)
b. Lingkungan biologis
Bersifat biologis atau benda hidup misalnya tumbuh-tumbuhan, hewan,
virus, bakteri, jamur, parasit, serangga, dan lain-lain yang dapat berperan
sebagai agen penyakit, reservoir infeksi, vektor penyakit, dan hospes
intermediate. Hubungan manusia dengan lingkungan biologisnya bersifat
dinamis dan pada keadaan tertentu saat terjadi ketidakseimbangan di antara
hubungan tersebut, manusia akan menjadi sakit. (Endra Febri, 2015)
18
c. Lingkungan sosial
Lingkungan sosial merupakan hasil interaksi antar manusia seperti
kebudayaan, pendidikan, ekonomi, dan sebagainya. Berupa kultur, adat
istiadat, kebiasaan, kepercayaan, agama, sikap, standar, gaya hidup,
pekerjaan, kehidupan kemasyarakatan, organisasi sosial dan poolitik.
Manusia dipengaruhi oleh lingkungan sosial melalui berbagai media seperti
radio, TV, pers, seni, literatur, cerita, lagu, dan sebagainya. Bila manusia
tidak dapat menyesuaikan dirinya dengan lingkungan sosial, akan terjadi
konflik kejiwaan dan menimbulkan gejala psikosomatik seperti stres,
insomnia, depresi, dan lain-lain. (Endra Febri, 2015)
Upaya menjaga lingkungan menjadi tanggungjawab semua pihak untuk
itulah perlu kesadaran semua pihak. (Endra Febri, 2015) Faktor lingkungan
yang dapat mempengaruhi risiko pneumonia pada anak balita adalah status
sosial ekonomi orang tua, pengetahuan orang tua serta persepsi orang tua
tentang penyakit pneumonia pada anak balita. (Hartati S, 2011)
2.3 Hubungan Faktor Risiko dengan Kejadian Pneumonia Balita
Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan tingginya angka mortalitas
pneumonia pada anak balita di negara berkembang. Faktor risiko tersebut adalah:
pneumonia yanng terjadi pada masa bayi, berat badan lahir rendah, tidak mendapat
imunisasi, tidak mendapat ASI yang adekuat, malnutrisi, defisiensi vitamin A dan
tingginya pajanan terhadap polusi udara (asap rokok). (Said M, 2015)
19
2.3.1 Pengaruh usia balita terhadap kejadian pneumonia balita
Berdasarkan penelitian Hartati 2011, hubungan antara usia balita dengan
kejadian pneumonia menunjukkan bahwa balita yang berusia≤12 bulan mempunyai
peluang 3,24 kali untuk menderita pneumonia di banding balita yang berusia>12 bulan-
<60 bulan dan dari hasil uji statistik menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara
usia balita dengan kejadian pneumonia (p value= 0,002). Hasil penelitian ini sejalan
dengan penelitian yang dilakukan hananto 2004 di jelaskan bahwa anak usia≤12 bulan
mempunyai risiko pneumonia sebesar 2,27 kali di banding responden yang berusia>12
bulan. (Hartati S, 2011)
Usia dini yaitu usia di bawah lima tahun ditengarai menjadi satu-satunya faktor
risiko yang berperan penting dalam kejadian pneumonia, usia juga digunakan sebagai
indikator penting untuk memprediksi etiologi pneumonia pada balita. (Wiliams J.D,
Shah S.S, 2012)
Berdasarkan penelitian temuan kasus 2008 hingga 2009 yang dilakukan Tatiana
et al (2011) sebagian besar kasus pneumonia terjadi pada anak-anak usia 12 bulan
hingga 60 bulan (Gandolfi Tatiana et al, 2011)
2.3.2 Pengaruh status gizi terhadap kejadian pneumonia balita
Berdasarkan penelitian Hartati pada tahun 2011, hasil uji statistik menjelaskan
ada hubungan yang signifikan antara status gizi balita kurang dengan kejadian
pneumonia dengan (p value= 0,000) dan responden yang memiliki status gizi kurang
berpeluang untuk terjadinya pneumonia sebesar 6,52 kali dibanding responden yang
berstatus gizi baik. Temuan penelitian ini sejalan dengan Sunyataningkamto, dkk
20
(2004) didapatkan bahwa anak-anak dengan gizi buruk mempunyai pneumonia sebesar
2,6 kali dibanding dengan anak yang mempunyai gizi baik. (Hartati S, 2011)
Malnutrisi berat berpengaruh terhadap infeksi pernafasan akut berat, anak dengan
gizi buruk memiliki kemungkinan terkena pneumonia tiga kali dibandingkan dengan
anak yang tidak gizi buruk. (Ujunwa F.A, Ezeonu C.T, 2014)
2.3.3 Pengaruh status imunisasi terhadap kejadian pneumonia balita
Balita yang tidak mendapatkan imunisasi campak mempunyai peluang
mengalami pneumonia sebanyak 3,21 kali dibanding dengan balita yang mendapatkan
imunisasi campak dan hasil uji statistik menunjukkan ada hubungan antara riwayat
pemberian imunisasi campak pada balita dengan kejadian pneumonia (p value=0,002).
Sedangkan balita yang tidak mendapatkan imunisasi DPT lengkap mempunyai peluang
mengalami pneumonia sebanyak 2,34 kali dibanding dengan balita yang mendapat
imunisasi DPT lengkap dengan (p value=0,049). (Hartati S, 2011)
Imunisasi yang buruk sangat berpengaruh signifikan terhadap kejadian infeksi
pernafasan akut. Hal ini didukung berdasarkan penelitian yang menunjukkan bahwa
anak dengan imunisasi yang adekuat akan mencegah dari komplikasi misalnya
komplikasi pneumonia seperti Tuberculosis, pertusis, dan measles. (Ujunwa F.A,
Ezeonu C.T, 2014)
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Ujunwa di Enugu Nigeria Tenggara pada
anak di bawah lima tahun, bentuk infeksi pernafasan akut yang berat seperti pneumonia
ditemukan sangat berpengaruh secara significant terhadap malnutrisi, tidak asi
eksklusif, imunisasi yang buruk, lingkungan yang kumuh, pada kejadian pneumonia
dengan nilai (p value= <0,01). (Ujunwa F.A, Ezeonu C.T, 2014)
21
2.3.4 Pengaruh berat badan lahir terhadap kejadian pneumonia balita
Dalam buku ajar respirologi anak, faktor risiko terjadinya pneumonia pada balita
adalah pneumonia yang terjadi pada masa bayi, berat badan lahir rendah (BBLR), tidak
mendapat imunisasi, tidak mendapat ASI yang adekuat, malnutrisi, defisiensi vitamin
A, tingginya prevalensi kolonisasi bakteri patogen nasofaring, dan tingginya pajanan
terhadap polusi udara (polusi industri atau asap rokok). (Said M, 2015)
Hasil penelitian Herman (2002) di sumatera selatan menjelaskan balita yang
mempunyai riwayat berat badan lahir rendar (<2500 gram) memiliki risiko 1,9 kali
untuk terkena pneumonia dibandingkan dengan bayi yang mempunyai riwayat berat
badan normal (≥2500 gram). (Hartati, 2011)
2.3.5 Pengaruh pemberian vitamin A terhadap kejadian pneumonia balita
Berdasarkan penelitian Hartati (2011) Balita yang tidak mendapatkan vitamin
A mempunyai peluang mengalami pneumonia sebanyak 1,58 kali dibanding dengan
balita yang mendapatkan vitamin A, namun hasil uji statistik menunjukkan tidak ada
hubungan antara riwayat pemberian vitamin A dengan kejadian pneumonia (p
value=0,298) (Hartati, 2011)
Walaupun hasill penelitian ini menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna antara
riwayat pemberian vitamin A dengan kejadian pneumonia, perlu diperhatikan bahwa
proporsi anak balita yang mendapat vitamin A dan menderita pneumonia masih lebih
tinggi. Hal ini perlu dikaji lebih lanjut oleh petugas kesehatan bagaimana vitamin A itu
diberikan kepada balita. (Hartati, 2011)
22
Temuan berdasarkan penelitian Joseph l mathew (2010) menjelaskan bahwa
vitamin A tidak memiliki peranan terhadap kejadian pneumonia pada balita (Mathew
J. L, 2010)
2.3.6 Pengaruh pemberian ASI eksklusif terhadap kejadian pneumonia balita
Anak balita yang tidak mendapatkan ASI eksklusif mempunyai peluang
mengalami pneumonia sebanyak 4,47 kali dibanding dengan balita yang mendapatkan
ASI eksklusif dan hasil uji statistik didapat hubungan yang bermakna antara riwayat
pemberian ASI eksklusif balita dengan kejadian pneumonia (p value=0,003). (Hartati
S, 2011)
Anak dengan pemberian ASI yang rendah, hal ini turut mempengaruhi kejadian
malnutrisi. Hal ini secara signifikan mempengaruhi prevalensi pneumonia. (Ujunwa
F.A, Ezeonu C.T, 2014)
2.3.7 Pengaruh kepadatan penghuni dalam rumah terhadap kejadian pneumonia
balita
Berdasarkan penelitian Hartati (2011), menunjukkan ada hubungan antara
kepadatan hunian rumah anak balita dengan kejadian pneumonia dengan (p
value=0,037) dan balita yang tinggal di kepadatan hunian tinggi mempunyai peluang
mengalami pneumonia sebanyak 2,20 kali dibanding dengan balita yang tidak tinggal
di kepadatan hunian tinggi. (Hartati, 2011)
Penelitian yang dilakukan oleh Tomoyuki Shibata di makassar, menunjukkan
pendapatan rumah tangga yang rendah berubungan dengan tinggal ditempat yang
kumuh dan anggota keluarga yang banyak dalam satu rumah juga merupakan faktor
risiko pneumonia pada balita. (Shibata T et al, 2014)
23
2.3.8 Pengaruh asap rokok dalam rumah terhadap kejadian pneumonia balita
Hasil penelitian Naowarut Charoence et al pada anak di tahiland, menunjukkan
bahwa kondisi infeksi saluran pernafasan akut seperti bronkhitis, pneumonia, dan asma
bronkhial diperberat dalam rumah, dimana terdapat 3–4 orang dewasa memiliki
kebiasaan merokok didalam rumah sambil membawa anaknya (Charoenca N et al,
2013).
Prevalensi perokok dengan status ekonomi tinggi lebih rendah dibandingkan
status ekonomi rendah dan sedang. Perokok pasif berbahaya terhadap kesehatan sistem
respirasi anak. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Nursan Cinar et al, anak yang
masuk rumah sakit diakibatkan pneumonia dan bronkhitis dua kali lebih banyak jika
orang tuanya merokok. (Cinar N, et al, 2010)
Kandungan kimia berbahaya dalam asap rokok tidak hanya berdampak buruk
terhadap perokok, namun juga orang di sekitarnya. Organ pernapasan anak-anak masih
belum berfungsi secara maksimal, sehingga lebih rentan terhadap paparan asap rokok
dan lebih mudah menderita penyakit pernapasan (WHO, 2008).
2.3.9 Pengaruh ventilasi rumah terhadap kejadian pneumonia balita
Berdasarkan penelitian Hartati (2011), dimana balita yang tinggal di rumah
yang tidak ada ventilasi udara rumah mempunyai peluang mengalami pneumonia
sebanyak 2,5 kali dibanding balita yang tinggal di rumah yang memiliki ventilasi udara.
Hasil uji statistik menjelaskan ada hubungan antara ventilasi udara rumah dengan
kejadian pneumonia (p value=0,018). (Hartati, 2011)
24
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Murray et al (2012), menemukan bahwa
ventilasi alami, terutama jendela, memunculkan peran penting terhadap terjadinya
acute respiratory lower infection. Kamar tidur anak yang memiliki ≥2 jendela
berhubungan dengan penurunan 25% risiko acute respiratory lower infection. (Murray
E L et al, 2012)
2.3.10 Pengaruh status sosial ekonomi keluarga terhadap kejadian pneumonia
balita
Risiko penularan penyakit infeksi juga dapat diakibatkan oleh status sosial
ekonomi suatu keluarga. Status sosial ekonomi yang rendah dapat meningkatkan risiko
terjadinya infeksi suatu penyakit. Hal ini juga dipengaruhi oleh tempat tinggal di
lingkungan padat penduduk, gaya hidup tidak sehat, serta asupan nutrisi yang tidak
memadai. (Hartati, 2011)
Berdasarkan penelitian Hartati (2011) hasil uji statistik menjelaskan ada
hubungan antara tingkat penghasilan rendah orang tua balita dengan kejadian
pneumonia (p value=0,028). Orang tua berpenghasilan rendah berpeluang anak
balitanya mengalami pneumonia sebesar 0,42 kali dibanding orang tua yang
berpenghasilan tinggi. (Hartati, 2011)
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Seham fathy abdel hameed azab et al (2014)
didapatkan hasil statistik yang signifikan antara kejadian pneumonia anak-anak di
mesir dengan penghasilan orang tua dengan nilai p ( < 0,01). (Azab Seham et al, 2014)
2.3.11 Pengaruh pengetahuan ibu terhadap kejadian pneumonia balita
Berdasarkan penelitian Hartati (2011), hasil uji statistik menjelaskan ada
hubungan antara tingkat pengetahuan ibu balita yang rendah dengan kejadian
25
pneumonia (p value=0,024). Ibu balita yang berpengetahuan rendah berpeluang anak
balitanya mengalami pneumonia sebesar 0,4 kali dibanding ibu balita dengan
pengetahuan tinggi. (Hartati, 2011)
Pengetahuan primer yang kurang memiliki pengaruh negative terhadap kebiasaan
ibu untuk hidup bersih dan hasilnya meningkatkan penyakit seperti pneumonia pada
anak. (Shibata T et al, 2014)
2.3.12 Pengaruh penggunaan pelayanan kesehatan terhadap kejadian pneumonia
pada balita
Dari hasil analisis dimana diperoleh balita yang tidak menggunakan pelayanan
kesehatan mempunyai peluang mengalami pneumonia sebanyak 1,47 kali dibanding
dengan balita yang menggunakan pelayanan kesehatan walaupun secara statistik tidak
ada hubungan bermakna antara pelayanan kesehatan balita dengan kejadian pneumonia
(p value=0,763). (Hartati, 2011)
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Seham fathy abdel hameed azab et al (2014)
didapatkan hasil statistik yang signifikan antara kejadian pneumonia anak-anak di
mesir dengan penggunaan fasilitas kesehatan dengan nilai p ( < 0,01). (Azab Seham et
al, 2014)
2.4 Faktor Genetik yang Berhubungan dengan Pneumonia
Berdasarkan penelitian tesis Hartati 2011, balita yang mempunyai riwayat asma
mempunyai peluang mengalami pneumonia sebanyak 1,83 kali dibanding dengan
balita yang tidak mempunyai riwayat asma namun hasil uji statistik menunjukkan tidak
26
ada hubungan antara riwayat asma balita dengan kejadian pneumonia (p value=0,366).
(Hartati S, 2011)
2.5 ICD-10 Untuk Pneumonia Pada Balita
Berdasarkan Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter Di Fasilitas Pelayanan
Kesehatan Primer untuk pneumonia pada anak yaitu bronkhopneumonia dengan no.
ICD-10 : J18.0 Bronkhopneumonia, unspecified. (Abidin Zaenal, 2014)