5
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Organ Reproduksi Pria
Testis adalah organ genetalia utama pada pria yang memiliki struktur berbentuk
oval dan memiliki panjang 4 cm dan diameter 2,5 cm (Sherwood, 2016) Testis
dibungkus oleh jaringan ikat padat berwarna putih yang disebut tunica albuginea,
dimana testis dibagi ke dalam kompartemen kecil atau lobules. Pada tiap-tiap
lobules, terdapat tubulus seminiferus yang berfungsi untuk menghasilkan sperma
dari proses spermatogenesis (Rizzo, 2016). Testis bertugas untuk menghasilkan
sperma dan hormon testosteron. Sebanyak 80% masa testis terdiri dari tubulus
seminiferus yang berfungsi untuk tempat berlangsungnya spermatogenesis
(Sherwood, 2016)
(Guyton, 2016) Gambar 2.1
Sistem Reproduksi
6
Diantara tubulus seminiferus terdapat jaringan intersisium yang berisi sel
interstisium atau sel Leydig yang memiliki tugas untuk menghasilkan hormon
testosteron dan sel Sertoli yang memiliki tugas untuk membentuk sawar darah-
testis agar benda asing tidak dapat masuk ke dalam lumen tubulus seminiferus,
memberi nutrisi bagi sperma, bersifat fagositik sitoplasma yang dikeluarkan dari
spermatid pada proses remodeling dan menghancurkan germinativum yang cacat,
mengeluarkan cairan tubulus seminferus ke lumen untuk membawa sperma menuju
epididymis, serta bertugas sebagai protein pengikat androgen yaitu testosteron
sehingga hormon tetap tinggi (Sherwood, 2016).
2.1.1 Sel Leydig
Sel Leydig berada pada jaringan interstisial testis di antara tubulus
seminiferus. Sel Leydig berfungsi untuk menghasilkan hormon testosteron
dengan rangsangan dari gonadotropin pituitary luteinizing hormon (LH)
yang berperan dalam proses permatogenesis dan mempengaruhi
karakteristik seks sekunder laki-laki (Oh, 2014). Sel interstisial Leydig
berbentuk polygonal atau ovoid, Sel Leydig memiliki diameter 20 µm,
berukuran relative besar dibandingkan dengan sel lainnya serta memiliki
sitoplasma yang eusinofilik dan mengandung tetesan lipid. Pada mikroskop
elektron, sitoplasma sel Leydig memiliki bentukan kristal yang khas berupa
kristal Reinke, sel Leydig juga memiliki retikulum endoplasma elastis (sER)
yang berkaitan dengan enzim yang diperlukan untuk sintesis testosteron dari
kolesterol. Mitokondria dengan krista tubulovesicular, karakteristik lain
dari sel yang menyekresi steroid, juga terdapat pada sel Leydig (Ross et al,
2015).
7
Sel Leydig berdiferensiasi dan menyekresi testosterone selama awal
kehidupan janin dan juga diperlukan selama perkembangan embrio, pematangan
seksual dan fungsi reproduksi. Sel Leydig aktif dalam berdiferensiasi pada awal
janin pria dan mulai mengalami inaktif yang di mulai sekitar 5 bulan kehidupan
janin, bentuk Sel Leydig yang tidak aktif sulit dibedakan dengan fibroblast. Ketika
sel Leydig terpapar stimulasi gonadotropik saat pubertas, sel akan aktif menjadi sel
yang mensekresi androgen dan tetap aktif sepanjang kehidupan (Ross et al, 2015).
(Ross et al, 2015)
Gambar 2.2
Sel Leydig
8
(Cui et al, 2013)
Gambar 2.3
Sel Leydig
(Cui et al, 2013)
Gambar 2.4
Sel Leydig
Sel Leydig dewasa (ALCs) memiliki 4 tahap perkembangan yaitu: Stem
Leydig Cell (SLC), progenitor Leydig Cell (PLCs), Immature Leydig Cells (ILCs),
dan Adult Leydig Cells (ALCs). SLC berbentuk spindle pada intersisium testis,
terutama pada lapisan peritubular dan mengeliling pembuluh darah. Sebagai sel
induk, SLC mampu memperbaharui diri dan berdiferensiasi menjadi PLCs. Tahap
PLCs, memproduksi testosteron tingkat rendah, metabolisme testosteron tingkat
tinggi, dan memiliki aktivitas mitosis yang tinggi pula. PLC kemudian berubah
bentuk dari gelendong menjadi bulat dan memperoleh banyak inklusi lipid sehingga
membentuk populasi ILCs. ILC memiliki sel-sel untuk mengembangkan
9
peningkatan kapasitas produksi dan metabolisme testosteron yang berkembang
menjadi ALC dengan produk utama berupa testosteron (Chen et al, 2017).
Biosintesis testosteron dikendalikan oleh gonadotropin pituitari luteinizing
hormone (LH) dengan mengikat reseptor spesifik pada permukaan sel Leydig dan
merangsang produksi AMP siklik (cAMP) yang memiliki dua aktivitas utama
dalam pengendalian steroidogenesis sel Leydig (Oh, 2014):
Pertama yaitu menstimulasi biosintesis testosteron akut melalui mobilisasi
kolesterol dan transportasi ke jalur steroidogenik. Protease protein kinase cAMP-
dependent mengaktifkan mobilisasi kolesterol dari kolesterol pools intraselular dan
sumber lipoprotein ekstraseluler atau sintesis kolesterol de novo dari asetat. StAR
awalnya diidentifikasi sebagai fosfoprotein 30/32-kDa yang terakumulasi dalam
mitokondria sel Leydig sebagai respons terhadap cAMP dengan cara paralel dengan
pembentukan steroid kemudian gen StAR di kloning dan 30 kDa diproses dari
protein prekursor sitosiklik 37 kDa yang mengandung urutan penargetan pada
mitokondria (Oh, 2014).
Kedua yaitu rangsangan kronis ekspresi dan aktivitas gen enzim
steroidogenik pada sel Leydig. Kolesterol ditransfer ke mitokondria, sitokrom P450
(P450scc) dari membran inti dalam mitokondria dan diubah menjadi pregnenolone.
Pregnenolone berdifusi pada retikulum endoplasma yang halus, kemudian diubah
menjadi progesteron oleh isomerase 3β-hidroksisteroid dehidrogenase (3β-HSD).
17α-hydroxylase / C17-20 lyase (P450c17) yang mengubah progesteron menjadi
17α-hydroxy progesteron, kemudian androstenedion, 17β-hydroxysteroid
dehydrogenase (17β-HSD) dan androstenedion berubah menjadi testosteron (Oh,
2014).
10
2.2.Radikal Bebas
2.2.1. Definisi
Radikal bebas adalah sekelompok bahan kimia yang mengandung
satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan. Elektron yang tidak
berpasangan yaitu yang menempati orbital atom atau molekul dengan
sendiri tanpa memiliki pasangan (Halliwell et al, 2015).
2.2.2. Mekanisme Pembentukan
Radikal bebas dapat terbentuk ketika molekul kehilangan satu
elektron maupun mendapat tambahan satu elektron dari non-radikal,
sehingga terdapat elektron yang tidak berpasangan. Pembentukan radikal
bebas terjadi secara terus menerus di dalam tubuh, dapat dibentuk melalui
jalur enzimatik atau metabolik.
Radikal bebas pada umumnya mengikat molekul besar seperti lipid,
protein, maupun DNA (pembawa sifat). Apabila hal tersebut terjadi, maka
akan mengakibatkan kerusakan sel atau pertumbuhan sel yang tidak bisa
dikendalikan (Seyuti, 2015). Mekanisme biokimia manusia pada keadaan
normal cenderung untuk memiliki elektron yang berpasangan, sehingga
elektron yang tidak berpasangan tersebut akan berusaha untuk mencari
pasangan. Hal ini yang terkadang menyebabkan radikal bebas menjadi
sangat reaktif. (Motherwell et al, 2013).
Terbentuknya radikal bebas dapat secara in-vivo dan in-vitro dengan
proses pemecahan satu molekul normal secara homolitik menjadi dua, hal
ini memerlukan tenaga yang tinggi dari sinar ultraviolet, panas, dan radiasi
ion. Cara berikutnya dengan kehilangan satu elektron dari molekul normal,
11
dan yang terakhir dengan penambahan elektron pada molekul normal
(Sayuti, 2015).
2.2.3. Tipe Radikal Bebas
Radikal bebas dalam tubuh manusia berasal dari dua sumber, yaitu
endogen dan eksogen. Sumber radikal bebas endogen berasal dari respirasi
sel dan hasil sampingan proses metabolik tubuh. Ketika proses respirasi sel,
terjadi transfer elektron yang berturut-turut, oksigen kehilangan
elektronnya sehingga jumlah elektron pada oksigen ganjil. Beberapa enzim
seperti xanthine oxidase, nitric oxide synthetase, p450 cytochromes dan
organel seperti mitokondria serta piroksisom menghasilkan ROS sebagai
produk sampingan proses metabolik tubuh (Halliwell et al, 2015). Sumber
radikal bebas eksogen berasal dari polusi, alkohol, asap rokok, bahan
metalik, bahan industri, pestisida dan beberapa obat seperti halotan,
parasetamol, dan radiasi (Phaniendra et al, 2015).
Radikal bebas terpenting dalam tubuh adalah radikal derivat dari
oksigen yang disebut kelompok reactive oxygen species (ROS). ROS
adalah senyawa pengoksidasi turunan oksigen yang bersifat sangat reaktif,
lebih reaktif dari oksigennya itu sendiri. Terdiri atas kelompok radikal
bebas dan kelompok nonradikal. ROS kelompok radikal bebas yaitu
Superoksida (O2*-), hidroksil (OH*), hidropiroksil (HO2
*), karbonat (CO3*-
), peroksil (RO2*), alkoksil (RO*), serta karbon dioksida (CO2
*-).
Sedangkan kelompok non-radikal yaitu hidrogen peroksida, peroksinitrat,
dan lain sebagainya (Halliwell et al, 2015).
12
2.2.4. Reaksi Perusakan Oleh Radikal Bebas
Pada keadaan normal, produksi ROS yang toksik akan diimbangi
oleh pertahanan antioksidan tubuh. Ketika keseimbangan ini terganggu,
produksi ROS melebihi kemampuan pertahanan antioksidan maka disebut
stres oksidatif. Stress oksidatif dapat merusak atau menyebabkan degradasi
lengkap (peroksidase) dari molekul kompleks penting dalam sel, termasuk
molekul lemak, protein, dan DNA (Al-Dalaen et al, 2014).
1. Peroksidasi Lemak
Membran sel kaya akan sumber poly unsaturated fatty acid (PUFA),
yang mudah dirusak oleh bahan-bahan pengoksidasi. Proses tersebut
dinamakan peroksidasi lemak. Peroksidasi lemak menyebabkan
penurunan fluiditas membran dan penurunan fungsi barrier membran.
Banyak produk peroksidasi lipid seperti hidroperoksida atau turunan
aldehidnya menghambat sintesis protein, aksi makrofag darah dan
mengubah sinyal chemotactic dan aktivitas enzim (Al-Dalaen et al,
2014).
Ketika kadar ROS dalam sel tinggi, ROS akan menyerang
PUFA, menyebabkan kaskade reaksi kimia yang disebut Lipid
Hydroperoxide (LPO). Sekitar 50% dari asam lemak di spermatozoa
manusia terdiri dari DHA dengan ikatan 22-karbon dan enam ikatan
rangkap cis. DHA memainkan peran utama dalam mengatur
spermatogenesis dan fluiditas membran. Sebagai hasil kaskade LPO di
sperma, hampir 60% dari asam lemak yang hilang dari membran,
mempengaruhi fungsinya dengan menurunnya fluiditas, meningkatnya
13
permeabilitas ion non-spesifik, dan menonaktifkan ikatan reseptor
membran dan enzim (Ashok et al, 2014).
2. Kerusakan Protein
Diantara asam - asam amino penyusun protein yang paling rawan
adalah sistein yang mengandung gugus sulfhidril. Oksidasi kelompok
sulfhidril (R-SH) atau residu metionin dari protein menyebabkan
perubahan konformasi, perubahan pembentukan protein, serta
degradasi protein. Selain itu, ROS dapat menyebabkan fragmentasi
rantai peptida, perubahan muatan listrik protein, perubahan cross-
linking protein, dan oksidasi asam amino tertentu, menyebabkan
peningkatan kemungkinan proteolisis. Yaitu degradasi oleh protease
spesifik. (Al-Dalaen et all, 2014). Fosforilasi dan ATP juga
berpengaruh terhadap status redoksidasi, NADPH yang terstimulasi
dapat mempengaruhi pengaturan akrosom melalui fosforilasi tirosin
sehingga terjadi proses peningkatan fungsi sperma, apabila terjadi
reduksi akan terjadi proses sebaliknya (Agarwal et al, 2014).
ROS juga merubah struktur dan fungsi spermatozoa sehingga
meningkatkan kerentanan terhadap struktur dan fungsi spermatozoa
serta meningkatkan kerentanan terhadap serangan makrofag. Selain itu
status redoksidasi juga berpengaruh terhadap fosforilasi dan ATP yang
dihasilkan. Stimulasi NADPH pada sperma mengatur reaksi
akromosom melalui fosforilasi tirosin, pada keadaan oksidasi terjadi
peningkatan fosforilasi protein dan juga peningkatan fungsi sperma,
14
sedangkan pada kondisi reduksi bersafat sebaliknya (Ashok et al,
2014).
3. Kerusakan DNA
ROS dapat menyebabkan modifikasi DNA dengan beberapa cara.
Melibatkan degradasi dasar, pemecahan rantai tunggal atau ganda
DNA, modifikasi purin dan pirimidin, penghapusan atau translokasi
pada hubungan silang dengan protein-protein DNA. Hal dapat
mengubah pengikatan faktor transkripsi sehingga mengubah ekspresi
gen terkait apabila tidak dapat diatasi, dan terjadi sebelum replikasi
maka akan terjadi mutasi. (Al-Dalaen et all, 2014). Kromatin yang
terdapat pada inti sperma rentan terhadap kerusakan oksidatif yang
akan mengacu pada modifikasi dan frgmentasi DNA. Kerusakan DNA
juga dapat diamati pada testis, epididymis, dan ejakulasi spermatozoa
manusia (Agarwal et al, 2014). DNA lebih rentan terhadap stress
oksidatif dan menghasilkan basa secara bebas, delesi, mutasi bentuk,
DNA cross link, dan penyusunan ulang kromosom. DNA yang rusak
dapat diamati pada testis, epididimis, dan ejakulasi spermatozoa
manusia. Teori lain mengenai kerusakan DNA sperma dan gangguan
pembuahan adalah tidak berhasilnya apoptosis. Apoptosis, dikenal
sebagai kematian sel yang terprogram. Diamati bahwa spermatozoa
matang dari pasangan infertil dengan peningkatan jumlah ROS secara
signifikan didapatkan apoptosis yang meningkat daripada spermatozoa
yang matang (Ashok et al, 2014).
15
2.3.Rokok
2.3.1 Definisi Rokok
Rokok adalah produk dari tanaman tembakau berupa rokok kretek,
rokok putih, cerutu, dan bentuk lainnya yang berasal dari tanaman
Nicotiana tobaccum, Nicotiana rustica, dan spesies atau sintesis lainnya
yang mengandung zat kimia berupa nikotin, tar, dengan atau tanpa
tambahan lainnya. Rokok berbentuk silindris dari kertas dengan panjang
kira-kira antara 70-120 mm dengan diameter sekitar 10 mm yang berisi
daun tembakau yang telah diolah (Kemenkes, 2015) .
2.3.2 Jenis – jenis Rokok
Jenis-jenis rokok berdasarkan bahan baku dan isi yaitu:
1. Rokok putih, rokok yang bahan baku dan isinya adalah hanya bahan
tembakau yang diberi saus untuk mendapatkan efek rasa dan aroma
tertentu.
2. Rokok kretek, rokok yang bahan baku dan isinya adalah bahan
tembakau dan cengkeh yang diberi saus untuk mendapatkan efek rasa dan
aroma tertentu.
3. Rokok Klembak, rokok yang bahan baku dan isinya adalah bahan
tembakau, cengkeh dan kemenyan yang diberi saus untuk mendapatkan
efek rasa dan aroma tertentu (Sari, 2014).
2.3.3 Kandungan Rokok
Asap tembakau atau rokok mengandung sekitar lebih dari 4000 jenis
bahan kimia termasuk nikotin, tar, karbon monoksida, hidrokarbon
16
aromatik polisikli, zat radioaktif, logam berat, dan lainnya yang
berbahaya bagi kesehatan (Dai et al, 2015).
Nikotin merupakan senyawa alkaloid yang sangat adiktif, sehingga
mampu memberi efek stimulant dan depresan (Papathanasiou et al,
2014). Nikotin menderegulasi fungsi otonom jantung, meningkatkan
aktivasi simpatik, meningkatkan denyut jantung, menyebabkan
vasokonstriksi koroner dan perifer, meningkatkan beban kerja miokard,
dan merangsang pelepasan katekolamin adrenal dan neuron. Nikotin
dikaitkan dengan resistensi insulin, peningkatan kadar lipid serum, dan
peradangan intravaskular yang berkontribusi terhadap perkembangan
aterosklerosis (Papathanasiou et al, 2014).
Selain itu nikotin memiliki efek meningkatkan aktifitas simpatis
berupa peningkatan tingkat sirkulasi katekolamin, hormon
adrenokortikotropik, kortisol, prolatin, beta-endorfin dan menurunkan
kadar estrogen. Namun aktivitas tersebut berpengaruh terhadap
penurunan produksi hormon insulin dan memperlambat katabolisme di
dalam tubuh sehingga dapat meningkatkan terjadinya resistensi insulin
(Papathanasiou et al, 2014).
Karbon monoksida (CO) berasal dari pembakaran zat yang
mengandung karbon secara tidak sempurna, seperti tembakau.
Konsentrasi karbon monoksida di dalam asap rokok sekitar 3-6% lebih
tinggi dibandingkan konsentrasi pada atmosfer (Papathanasiou et al,
2014). Karbon monoksida yang berlebihan mengakibatkan kesadaran
menurun, sakit kepala, pusing, gangguan penglihatan, mual, muntah,
17
malaise, mengantuk, stroke, koma, aritmia, dan henti jantung yang
disebabkan sistem saraf pusat dan kardiovaskular sangat rentan terhadap
terjadinya hipoksia yang berkaitan dengan keracunan monoksida (Kara
et al, 2015).
Cadmium (Cd) dapat menjadi toksin akumulatif pada tubuh manusia
karena memiliki masa paruh biologis yang sangat panjang (20-40 tahun).
Peningkatan Cd ditemukan pada perokok dan kebiasaan merokok,
paparan Cd menyebabkan toksisitas reproduksi berupa pengurangan
jumlah sel sperma, motilitas sel sperma dengan peningkatan dalam
fragmentasi DNA dan abnormalitas sperma (Dai et al, 2015).
Benzo(a)pyrene yang berasal dari tar tembakau dihasilkan oleh
pembakaran tembakau yang bersifat mutagen dan karsinogen. Diol
epoxide utama (DE-I) mengikat secara kovalen pada rantai DNA dan
membentuk produk tambahan yang disebut benzo(a)pyrene diol epoksida
DNA. Adduct merupakan mutasi dari nukleotida nukosomik yang
berpotensi sebagai karsinogenik. Penelitian mengatakan bahwa
benzo(a)pyrene dapat mengurangi presentase pembentukan haloakrosom
dan dianggep sebagai peran utama kerusakan DNA pada perokok (Dai et
al, 2015).
18
2.3.5 Hubungan Asap Rokok terhadap Stress Oksidatif
Asap rokok mengandung radikal bebas dan senyawa seperti
superoksida dan oksida nitrat (Al-Dalaen et al, 2014). Superoksida dan
spesies oksigen reaktif lainnya (ROS) secara normal diproduksi oleh
rantai transpor elektron mitokondria selama proses fosforilasi oksidatif
(Beattie et al, 2013). Paparan asap rokok kronis menyebabkan
melemahnya mekanisme pertahanan dari antioksidan yang mengatur
radikal bebas yang tinggi pada asap rokok dan mengakibatkan
peningkatan stress oksidatif (Papathanasiou et al, 2014). Perubahan
keseimbangan oksidan dan antioksidan dapat menyebabkan ROS
meningkat dan terjadi akumulasi kerusakan oksidatif pada berbagai
molekul intraselular, termasuk protein, lipid, dan DNA (Beattie et al,
2013).
Adanya peningkatan ROS mengakibatkan perubahan karakteristik
penuaan pada berbagai jenis sel, termasuk sel Leydig dan dapat
menyebabkan defisit fungsional . Penelitian mengatakan bahwa ada bukti
korelatif bahwa perubahan status oksidan / antioksidan sel defisit
terkaitan dengan usia yang terjadi pada jalur steroidogenik sel Leydig.
Dengan demikian, molekul pertahanan antioksidan superoksida
dismutase-1 dan -2, glutathione peroxidase, dan glutathione (GSH)
berkurang secara signifikan seiring usia sel Leydig. Selain itu, kandungan
superoksida mitokondria sel Leydig penuaan meningkat secara signifikan
dibandingkan dengan sel Leydig muda, seperti peroksidasi lipid. ROS
19
juga memiliki efek penghambatan pada steroidogenesis (Beattie et al,
2013).
2.4 Antioksidan
2.4.1 Definisi Antioksidan
Antioksidan adalah senyawa pemberi elektron yang dapat
menangkal atau meredam dampak negatif oksidan. Antioksidan
dibutuhkan tubuh sebagai pelindung terhadap serangan radikal bebas.
Reaksi oksidan menghasilkan radikal bebas yang dapat memulai reaksi
rantai ganda sehingga menyebabkan kerusakan atau kematian pada sel
(Shebis et al, 2013). Antioksidan bekerja dengan mendonorkan satu atau
lebih elektron kepada senyawa yang bersifat oksidan sehingga senyawa
oksidan tersebut dapat dihambat. Antioksidan secara kimiawi dapat
bereaksi dengan ROS untuk mengikat radikal bebas. Antioksidan
mengikat radikal bebas dengan mengeliminasi reaksi rantai oksidatif,
mengambil, atau mengurangi pembentukan ROS (Ristow, 2014).
Terdapat dua kelompok utama antioksidan dalam sel yaitu enzimatik
dan non enzimatik. Antioksidan enzimatik berupa superoksida dismutase
(SOD), katalase dan glutation peroksidase (GSH.Prx) sedangkan
antioksidan non enzimatik terbagi menjadi dua yaitu alami dan buatan
diantaranya vitamin (A,C,E), kofaktor enzim, mineral, peptide, phenolic
acid, dan nitrogen compounds (Shebis, 2013). Berdasarkan sumber
perolehannya ada dua macam antioksidan, yaitu antioksidan alami dan
antioksidan buatan (sintetik). Tubuh manusia tidak mempunyai cadangan
antioksidan dalam jumlah berlebih, sehingga jika terjadi paparan radikal
20
bebas berlebih tubuh akan membutuhkan antioksidan eksogen (Agrawal
et al, 2014).
2.4.2 Likopen
Antioksidan adalah salah satu senyawa yang berpotensi untuk
menghambat ROS dengan cara mengikat radikal dan molekul yang
sangat reaktif Reaksi oksidan menghasilkan radikal bebas yang dapat
memulai reaksi rantai ganda sehingga menyebabkan kerusakan atau
kematian pada sel (Shebis, 2013).
Likopen adalah isomer asiklik dari beta karoten tanpa aktivitas
vitamin A yang tidak di sintesis dalam tubuh. Hidrokarbon dengan rantai
lurus tak jenuh ganda, memiliki total 13 ikatan rangkap, dimana 11 di
konjugasi dan menjadikannya sebagai salah satu antioksidan yang
efektif. Kemampuan likopen dalam memadamkan molekul singlet
oksigen dibandingkan beta karoten dan 10 kali lipat dibandingkan alpha
tochoperol (Preedy, 2014) Likopen juga merupakan antioksidan alami
paling poten yang terdapat pada buah-buhan dan sayuran (Nimse & Pal,
2015).
Lebih dari 80% dari total karotenoid tomat mengandung likopen
(Stajčić et al, 2015). Proses pemanasan buah tomat juga berpengaruh
terhadap sifat bioavabilitas, jumlah likopen yang meningkat setelah
pemasakan karena likopen berikatan dengan struktur sel tomat dan
perubahan suhu pada proses pengolahan dapat melepaskan likopen dari
struktur sel (Agrawal et al, 2014). Pengolahan berupa pemanasan mampu
mengubah likopen dari bentuk all trans menjadi konfigurasi cis-isomerik,
21
sehingga likopen dapat diserap lebih efektif dan efisien dalam bentuk
produk tomat yang diolah dibandingkan tomat mentah (Preedy, 2014).
Berdasar penelitian Ahmad et al (2014) menyatakan bahwa didapatkan
ekstrak aseton tomat ceri mengandung 105,17 mg/kg likopen. Data ini
menyebutkan kadar likopen semangka dan tomat biasa lebih rendah
dibandingkan tomat ceri yaitu 74,53mg/kg dan 55,84mg/kg.
2.5 Tomat Ceri
2.5.1 Klasifikasi
Kingdom :Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Kelas :Magnoliopsida
Ordo :Solanales
Family :Solaneceae
Genus :Solanum
Spesies :Solanum Lycopersicum var. cerasiforme
Sinonim :Lycopersicum escelintum var. cerasiforme (Ahmad
et al, 2014)
22
(Ahmad et al, 2014)
Gambar 2.5
Tomat Ceri
2.5.2 Kandungan Kimia
Tomat merupakan salah satu buah terpopuler di dunia. Terdapat
berbagai nutrisi yang terkandung didalam buah tomat dan beberapa
metabolit sekunder berupa folat, kalium, vitamin C dan E, flavonoid, β-
karoten, serta kandungan likopen yang sangat penting bagi kesehatan
manusia. Tomat ceri berukuran lebih kecil dari tomat lainnya, bentuk tomat
ceri umumnya bulat dengan berat 10-30 gram, dan memiliki rasa yang lebih
manis serta warna yang kuat. Tomat ceri mengandung asam askorbat,
vitamin E, flavonoid, asam fenolik, berbagai mineral, fiber, keratonoid,
serta kandungan utama berupa likopen yang sangat penting bagi kesehatan
manusia (Ahmad et al, 2014). Menurut penelitian Ahmad et al, Tomat ceri
mengandung likopen lebih tinggi dibandingkan varian tomat lain dan
semangka yaitu 105,17 mg/kg.
23
Tabel 2.1 Kandungan Likopen dalam Tomat, Semangka, dan Tomat Ceri
(Ahmad et al, 2014)
No Fruit Lycopene mg/kg
1 Tomato 71,68
2 Cherry Tomato 105.17
3 Watermelon 87,03