50
BAB 3
PEMBAHASAN
Nyeri kepala adalah kondisi umum yang selalu mengganggu. Gangguan yang
diakibatkan oleh nyeri kepala mulai dari yang ringan seperti gangguan fungsional
sampai yang berat (mengancam nyawa). Dan menurut beberapa ahli dan atau sumber,
nyeri kepala adalah suatu gejala penyerta dari beberapa penyakit (Hidayati, 2016).
Menurut World Health Organization (WHO) nyeri kepala biasanya dirasakan
berulang kali oleh penderita sepanjang hidupnya. Kurang lebih dalam satu tahun 90%
dari populasi dunia mengalami paling sedikit satu kali nyeri kepala (Sjahrir, 2008).
Salah satu penyebab terjadinya nyeri kepala adalah akibat penggunaan media
elektronik. Penggunaan media elektronik juga merupakan salah satu penyebab
timbulnya nyeri kepala. Penelitian yang dilakukan Busch, Kries, Thomas et al (2010)
terhadap 1.025 remaja dengan usia 13-17 tahun, ditemukan bahwa sebagian besar dari
remaja menggunakan teknologi informasi dan komunikasi berupa penggunaan
komputer (85%), menonton televisi (TV) (90%) atau mendengarkan musik (90%),
menggunakan telepon genggam (23%) dan hanya 25% bermain game setiap harinya,
dari penelitian ini didapatkan hasil berupa adanya hubungan statistik yang signifikan
antara mendengarkan musik dengan nyeri kepala dan untuk tipe nyeri kepala sendiri
tidak didapatkan hubungan yang signifikan.
Soderqvist, Carlberg, Hardell (2008) mengemukakan bahwa penggunaan
telepon genggam pada remaja di Swedia dengan rentang usia 15-19 tahun lebih sering
mengeluhkan nyeri kepala, kelelahan, stres, cemas, susah berkonsentrasi dan
51
gangguan tidur. Hal ini didukung juga dengan penelitian dari Chia, Chia, Tan (2000)
tentang prevalensi penggunaan telepon genggam di Singapura dari hasil penelitian
didapatkan bahwa 808 laki-laki dan perempuan antara berusia 12-70 tahun yang
tinggal dalam satu komunitas sekitar 44,8% diantaranya menggunakan telepon
genggam dan gejala yang umumnya dialami oleh para pengguna telepon genggam
adalah nyeri kepala dan ada peningkatan yang signifikan antara prevalensi nyeri
kepala dengan peningkatan durasi penggunaannya (dalam menit per hari).
Teknologi informasi dan komunikasi (TIK) telah menjadi bagian sentral dari
keseharian kehidupan anak-anak dan remaja. Penggunaan komputer untuk belajar,
bermain game, mencari informasi di internet dan berkomunikasi melewati telepon
genggam dapat dilakukan dimanapun dan kapanpun mereka inginkan. Penelitian di
Finlandia yang dilakukan pada 7292 remaja menunjukkan bahwa anak laki-laki
sering bermain game digital dan menggunakan internet dibandingkan anak
perempuan yang lebih sering menggunakan telepon genggam (Herwinto, Akbar,
2008).
Di negara yang maju seperti sekarang ini anak-anak lebih senang
menghabiskan waktu untuk menonton televisi. Survei menunjukkan bahwa anakanak
dan remaja menghabiskan waktu untuk menonton televisi melebihi waktu yang
dihabiskan disekolah. Peningkatan menonton televisi oleh anak-anak dan remaja ini
menimbulkan kekhawatiran akan efek buruk pada kesehatan (Hancox, Milne, Richie,
Vember et al, 2004).
Studi in-vitro menunjukkan bahwa EMF dapat menyebabkan perubahan
dalam permeabilitas BBB dan gangguan dalam transpor aktif ion , dan
52
pelepasan ion oleh membran selular (Hamada, Singh, Agarwal, 2011). Aktivasi
atau phosporilasi dari hsp27 oleh radiasi telepon selular (molecular system)
menyebabkan regulasi polimerasi dan stabilisasi stress fibers yang meningkat
sehingga berefek terhadap permeabilitas BBB yang juga meningkat. (Leszcynski,
Joenvaara, Reininen et al, 2002).
Perubahan pada Blood brain barrier (BBB) akibat meningkatnya
permeabilitas menyebabkan unsur albumin, ion, metal, zat kimia, virus mudah
melewati susunan serabut saraf sehingga dalam waktu singkat akan berakibat
terbentuknya mikrooedema, inflamasi yang kemudian menimbulkan gejala berupa
nyeri kepala. Jika hal ini berkelanjutan secara terus menerus dapat menyebabkan
oedema serebri, peningkatan tekanan intrakranial dan kerusakan otak yang
irreversibel. Zat toksik dari sirkulasi darah dapat melewati neuron sehingga
peningkatan permeabilitas BBB secara transient bisa menyebabkan kerusakan
permanent pada jaringan saraf (Nibby, 2009).
Paparan EMF secara terus menerus dapat membangkitkan membran shock
dan beberapa efek lainnya yang bila voltase gelombang elektromagnetik membran
melebihi ambang rangsang dapat menyebabkan melebarnya pori-pori dari membran
sel. Fenomena ini disebut dengan elektroforasi. Sebagai hasilnya plasma membran
menjadi bocor yang kemufdian menyebabkan hilangnya molekul intraselular, ion dan
makromolekul juga termasuk kalsium didalamnya (Hamada, Singh, Agarwal, 2011).
Posisi duduk yang tidak benar khususnya fleksi leher dan sikap tubuh yang
statis juga berhubungan dengan nyeri leher dan nyeri kepala dimana otot-otot leher
53
juga berperan penting pada patogenesis migren juga memfasilitasi dari sensitisasi
sentral (Shevel, Spiering, 2004).
Faktor pencetus yang dimungkinkan dapat menjadi pencetus terjadinya nyeri
kepala primer adalah stress psikososial, hormonal pada wanita, gangguan tidur, bau
menyengat, stres otot, cahaya terang, alkohol, pekerjaan yang melelahkan, aktifitas
seksual, dan lain-lain (Sjahrir, 2008).
Dalam beberapa teori sudah banyak yang mulai menghubungkan antara
lamanya penggunaan media elektronik dengan nyeri kepala, Leszcynski, Joenvaara,
Reininen et al (2002) mulai mengobservasi tentang stress respon dan meningkatnya
permeabilitas BBB segera setelah paparan gelombang elektromagnetik. Jika hal ini
berulang secara terus menerus (hari) pada akhirnya dalam jangka waktu yang panjang
(tahun) akan terjadi akumulasi kerusakan jaringan otak. Penelitian Nibby (2009),
menunjukkan bahwa penggunaan telepon genggam dapat menyebabkan permeabilitas
BBB meningkat dengan segera setelah paparan radiasi, jika keadaan ini terjadi secara
terus menerus (2 jam paparan radiasi) maka pada akhirnya akan terjadi kerusakan
neuron.
Dalam studi in-vitro yang dilakukan oleh Bortkiewicz (2001) dan Hamada,
Singh, Agarwal (2011) menunjukkan bahwa EMF dapat menyebabkan perubahan
pada permeabilitas dari BBB dan gangguan dalam transport aktif , dan
pelepasan ion oleh membran selular. Paparan EMF dapat membangkitkan
membran shock dan beberapa efek lainnya. Apalagi bila gelombang elektromagnetik
membran melebihi ambang rangsang, maka pori-pori pada membran akan melebar
54
sehingga pada akhirnya plasma membran menjadi bocor dan molekul intraselular
hilang, ion dan makromolekul juga termasuk kalsium akan ikut hilang bersamanya
(Hamada, Singh, Agarwal, 2011).
Menurut America Cancer Assosiation, efek radiasi pada anak dan remaja
dengan usia < 17 tahun jauh lebih besar karena saat usia tersebut otak masih dalam
keadaan berkembang sehingga rentan untuk terjadinya kanker otak akibat radiassi.
Environment for working group di Amerika juga mengemukaan bahwa anak dan
remaja dengan usia < 17 tahun mempunyai tulang tengkorak yang belum tebal
sehingga radiasi yang diserap 2 kali lipat (Ruediger, 2009).
Selain itu faktor otot juga ikut berperan penting dalam patogenesis dari nyeri
kepala. Para pengguna komputer dengan durasi > 56 jam/minggu akan meningkatkan
terjadinya beban terhadap otot-otot yang kemudian dapat menyebabkan terjadinya
nyeri leher atau nyeri bahu dan bahkan keduanya selain itu juga akan tampak
kelelahan pada mata (Palm, Risberg, Mortimer et al, 2007).
Dari penelitian Punamaki (2006), yang dimana penelitiannya dilakukan pada
7292 remaja pengguna telepon genggam dan komputer didapatkan peningkatan resiko
nyeri kepala (p< 0.05). Soderqvist, Carlberg, Hardell (2008) yang juga meneliti pada
2000 remaja di Swedia didapati hasil bahwa 99,6% orang yang menggunakan telepon
genggam dan menonton televisi tejadi peningkatan odd rasio dengan meningkatnya
frekuensi penggunaannya.
Otot-otot pada leher juga berperan penting pada patogenesis migren yang
dimana memfalisitasi dari sensitisasi sentral (Shevel, Spiering, 2004). Menurut
Hardell, Carlberg, Mild (2009), penelitiannya yang dilakukan pada 131 pelajar 40%
55
posisi duduk yang tidak benar khususnya fleksi leher dan sikap tubuh yang statis
mempunyai hubungan yang bermakna dengan nyeri leher dan nyeri kepala. Hal ini di
dukung oleh penelitian dari Torsheim, Eriksson, Schnohr et al (2009), penelitian yang
dilakukan pada 31022 anak-anak usia sekolah menunjukan hasil bahwa terdapatnya
hubungan yang bermakna antara menggunakan komputer dan menonton televisi
dengan nyeri bahu dan nyeri kepala (p = 0.01).
Dari beberapa sumber dan penelitian yang sudah terbahas di BAB
sebelumnya, terdapat bermacam-macam informasi tentang faktor resiko yang bisa
mengakibatkan terjadinya nyeri kepala terhadap pelajar tingkat SMA, diantaranya
bisa disebabkan dari pola hidup yang salah, bisa dari sekolah itu sendiri (mulai dari
teman-teman sekolah maupun dari guru-guru di sekolah) dan bisa dari kejiwaan si
anak tersebut.
Berikut adalah pembagian faktor-faktor resiko terjadinya nyeri kepala
menurut penelitian dari Straube, Heinen, Ebinger et al (2013) yang membagi dalam 3
(tiga) kategori, sebagai berikut ulasan faktor-faktor resiko yang bisa menyebabkan
terjadinya nyeri kepala pada kalangan pelajar atau remaja pada umumnya diantaranya
tersebut adalah sebagai berikut:
Kategori Terhadap
Terjadinya Nyeri
Kepala
Faktor-faktor Resiko Terjadinya Nyeri Kepala
Pola hidup
a. Mengkonsumsi kandungan kafein terlalu banyak atau
mengkonsumsi kopi secara teratur
b. Mengkonsumsi alkohol (koktail) secara teratur
c. Merokok atau penggunaan bahan bahan nikotin secara
teratur
d. Tidak ada waktu luang dan atau kurangnya aktivitas fisik
atau aktivitas yang terlalu sedikit
56
e. Mendengarkan musik
f. Obesitas atau kegemukan
Bersekolah
a. Stres di sekolah
b. Caci maki antar sesama pelajar dan atau dari guru ke pelajar
c. Perilaku intimidasi
d. Diperlakukan tidak adil oleh guru
e. Harapan dan tuntutan dari ke-dua orang tua yang terlalu
tinggi
Kejiwaan
a. Ke-dua orang tua (ekspektasi keluarga yang sangat besar)
b. konflik di dalam keluarga, terutama pada anak laki-laki
(kekerasan fisik terhadap ke-dua orang tua, perceraian
terhadap ke-dua orang tua)
c. Pengalaman pribadi yanng buruk
Kemudian di sisi lain menurut sebuah penelitian yang sudah dilakukan oleh
Tandaju, Runtuwene, Kembuan (2016), terdapat stres adalah salah satu pencetus
serangan nyeri kepala terbanyak, dan ada juga faktor pencetus terjadinya nyeri kepala
yang paling sedikit ditemukan ialah perubahan cuaca yang mempengaruhi 34 orang di
dalam penelitiannya tersebut. Berikut adalah penjabaran dari distribusi faktor resiko
pencetus terjadinya nyeri kepala pada remaja diantaranya:
Pencetus Frekuensi %
Stress
Perubahan pola tidur
Melewatkan waktu malam
Menstruasi
Asap rokok
Perubahan cuaca
Menonton / bermain laptop
149
110
74
66
68
34
56
84,6
62,5
42
37,5
38,6
19,3
31,8
Nyeri kepala adalah rasa nyeri atau rasa tidak mengenakkan pada daerah
kepala dengan batas bawah dari dagu sampai kedaerah belakang kepala (area
oksipital dan sebagian daerah tengkuk) (Sjahrir, 2008). International Headache
Society (IHS) pada tahun 1988 telah membagi nyeri kepala menjadi dua yaitu, nyeri
kepala primer dan nyeri kepala sekunder. Nyeri kepala primer adalah nyeri kepala
57
tanpa disertai adanya penyebab struktural organik sedangkan nyeri kepala sekunder
adalah nyeri kepala yang disertai penyebab struktural organik (Price, Silvia, 2006).
Segi-segi klinis sakit kepala ditinjau dari pendekatan-pendekatan yang praktis
dan efektif terhadap kasus “sakit kepala” dapat ditempuh dengan sikap yang positif,
yang dilandaskan atas:
a. Pengetahuan tentang mekanisme “sakit kepala”
b. Pengetahuan tentang kepribadian penderita “sakit kepala”, dan
c. Pengetahuan integral dari ilmu kedokteran umum (Sidharta, 2012).
Menurut Sidharta (2012), pengetahuan integral ilmu kedokteran umum itu
mencakup kemampuan untuk memikirkan dan menentukan adanya keadaan-keadaan
patologik yang tersebut di bawah ini:
1. Kaku kuduk yang timbul pada meningitis, meningoensefalitis,
perdarahan subarakhnoidal dan herniasi tonsilar. Keadaan ini harus
ditentukan dengan test dari Kernig dan Brudzinski (Gambar 3.1).
58
(Sidharta, 2012)
Gambar 3.1 A. Brudzinzki I, B. Brudzinzki II, C. Kernig
59
Kaku kuduk dapat disebabkan oleh berbagai macam proses patologik. Untuk
membedakan kaku kuduk karena perangsangan terhadap selaput otak (meningitis,
meningo-ensefalitis) dan kaku kuduk akibat spondilosis servikal, harus dilakukan
tindakan dari Brudzinski dan Kernig. Tanda Brudzinski dan Kernig adalah positif bila
terdapat fleksi tungkai pada sendi lutut dan panggul hasil pemeriksaan pada saraf
otak-saraf otak. Penarikan itu dapat dilakukan dengan tindakan Brudzinski I, II dan
Kernig. Adapun tindakan Brudzinski II (A) adalah sebagai berikut. Pada posisi
telentang salah satu tungkai dalam posisi lurus diangkat setinggi-tingginya. Bila ada
perangsangan terhadap meningen, maka tungkai sisi kontralateral berfleksi di sendi
lutut dan panggul. Reaksi yang sama dapat juga dibangkitkan dengan menekuk leher,
sehingga dagu penderita sampai di atas dadanya. Inilah yang dikenal sebagai tindakan
Brudzinski I (B). Reaksi yang positif berupa fleksi ke-dua tungkai di sendi lutut dan
panggul. Pada tindakan Kernig, salah satu tungkai ditekuk pada sendi panggul,
sehingga tungkai atas tegak lurus terhadap badan yang berbaring telentang. Kemudian
tungkai bawah diluruskan pada sendi lutut (C). Tanda Kernig adalah positif, jika
tungkai sisi kontralateral berfleksi pada sendi lutut dan panggul, sama seperti reaksi
tungkai sisi kontralateral yang terlihat pada gambar 3.1 (Sidharta, 2012).
2. Tahapan intra-okular yang meninggi pada glaukoma dan koma
hipoglikemik.
3. Disfungsi saraf otak-saraf otak, yang dapat dijumpai pada proses
patologik intra-kranial dan di sekitar baseos kranii.
60
4. Papiledema / papilitis / papilatrofi yang hanya dapat ditetapkan
dengan jalan funduskopi dan yang timbul akibat proses desak ruang
atau infeksil intoksikasi intrakranial.
5. Sinusitis paranasal / frontal / etmoidal.
6. Otitis media / mastoiditis yang dapat terungkap dengan otoskopi.
7. Sindroma dari Horner yang banyak memberikan informasi tentang
disfungsi saraf ortosimpatetik di leher baseos kranii.
8. Tanda dari Lhermitte, yang mengungkapkan adanya saraf servikal
yang terjepit (Gambar 3.2).
(Sidharta, 2012)
Gambar 3.2 Pemeriksaan Tanda Lhermitte
61
Tanda Lhermitte adalah positif bila nyeri / perasa “kontak listrik” radikular
terasa pada saat penekanan sejenak dilakukan pada kepala dalam posisi tertentu.
Tindakan pemeriksaan tanda Lhermitte adalah sebagai berikut. Terlebih dahulu
kepala ditempatkan pada posisi terputar ke kanan / kiri (A), atau miring ke kanan /
kiri (B), atau pun menunduk / menengadah (C). Pada setiap posisi tersebut, dicoba
menimbulkan nyeri / perasa “kontak listrik” radikular dengan jalan menekan sejenak
pada kepala menurut poros tubuh (Sidharta, 2012).
9. Kelainan di paru dan mediastinum yang dapat menyumbat aliran darah
balik dari otak ke jantung.
10. Kelainan kardiovaskuler yang menentukan “cerebral blood flow”.
11. Kepribadian dan perangai psikoneurotik.
Adapun kepribadian dan perangai psikoneurotik tersebut di atas ialah sifat
yang dimiliki kebanyakan penderita “sakit kepala”. Orang-orang yang cenderung
“sakit kepala” memperlihatkan sifat kepribadian yang tidak banyak berbeda. Dan oleh
karena sifat-sifat itulah, maka mereka justru mudah dan sering menderita “sakit
kepala”. Mereka rata-rata tergolong dalam kelompok yang mempunyai perasaan yang
kurang mantap, selalu sangsi akan kemampuan diri sendiri dan mudah menjadi gentar
dan tegang. Karena watak itu, maka mereka memperlihatkan pola sikap hidup yang
serta kaku, sangat berhati-hati, cermat sekali serta menginginkan segala-galanya serba
sempurna (perfeksionistik) dan juga cenderung untuk mendendam. Pola itu
berkembang sejak masa kanak-kanak. Perasaan kurang (insufisiensi) pada diri sendiri
merupakan sumber kekuatan ceria. Dengan bekerja keras dan lebih sempurna dari
pada kawan-kawan mereka sering berhasil menduduki tempat baik dalam waktu yang
62
singkat. Mereka mengejar keadaan sempurna untuk menciptakan lingkungan yang
aman dan sentosa bagi diri sendiri. Tetapi sifat kurang mantap dan selalu sangsi
menggoyahkan ketenteraman jiwa mereka, walaupun sebenarnya sudah berada pada
keadaan aman sentosa. Sebagai reaksi terhadap perasaan kurang aman, maka usaha
untuk menyentosakan diri diperbesar dan diperluas. Dalam usaha mengejar sukses
dan menciptakan kesentosaan, mereka memperluas tanggung jawab. Mereka pun
lebih dikagumi, tapi sekaligus tidak disenangi orang banyak. Kesadaran dan
pengetahuanakan akan hal-hal itu menimbulkan kegelisahan yang akan bertambah
seiring dengan meningkatnya sukses. Pada umumnya, tenaga dan semangat masih
dapat melayani kebutuhan ambisi. Tetapi dengan meningkatnya tekanan jiwa dan
menurunnya tenaga, adalah sukar untuk melaksanakan sesuatu dengan ambisi. Pada
saat itulah mereka terganggu dan ketidakpuasan membangkitkan reaksi afektif pada
otot-otot kepala-leher-bahu serta vaskularisme kepala, sehingga timbul “sakit
kepala”. Jenis “sakit kepala” ini dinamakan “tension headache” atau “muscular
headache” yang bersifat berdenyut / vaskular (Sidharta, 2012).
Suatu fenomena psikoneurotik lain adalah hal yang akan diuraikan di bawah
ini. Bagi kebanyakn orang “kepala” menduduki posisi yang maha penting. Akal-budi,
niat, minat dan semangat dianggap bersumber di otak yang berada di dalam kepala.
Sebagai kelanjutan dari pandangan itu, maka kegagalan dan kekecewaan dalam usaha
dan pekerjaan mudah dinilai sebagai hasil dari fungsi otak yang terganggu. Anggapan
ini pada gilirannya, sedikit demi sedikit menyususn ketegangan mental, karena
berbagai macam hal diterka dan diduga sebagai penyebab dari disfungsi otak.
Keadaan demikian yang berlarut-larut mudah menimbulkan ketegangan pada otot
63
kepala-leher-bahu. Dan keadaan itulah yang mendasari “sakit kepala” yang bersifat
“tension headache” (Sidharta, 2012).
Memiliki pengetahuan tentang kaitan antara pola mental tersebut di atas dan
mekanisma psiko-organik “tension headache” berarti bahwa secara praktis sebagian
besar dari orang-orang yang mengeluh “sakit kepala” sudah dapat dikenal. Dengan
demikian para pengeluh “sakit kepala” dapat dibagi dalam dua kelompok dengan pola
banding yang jelas:
I. Kelompok pertama mencakup para penderita “sakit kepala” yang
menyajikan “sakit kepala” sebagai keluhan utama dan tunggal dengan
sedikit tanda-tanda keorganikan dan banyak manifestasi psikoneurotik.
II. Kelompok ke-dua terdiri dari para penderita yang mempunyai “sakit
kepala” sebagai gejala-bagian suatu dengan banyak tanda-tanda
keorganikan dan sedikit manifestasi psikogenik (Sidharta, 2012).
Menurut Sidharta (2012), adapun ke-dua kelompok tersebut di atas ialah:
Kelompok I
1. “Sakit kepala” psikoneurotik atau
“tension headache”.
2. “Sakit kepala” pada spondiloartrosis
deformans servikalis.
3. “Sakit kepala” pasca trauma kapitis.
4. “Sakit kepala” pasca pungsi lumbal,
pneumoensefalografi.
5. Sindroma migraine.
Kelompok II
6. Migraine klasik.
7. Migraine komplikata.
8. “Cluster headache”.
9. Arterrtis temporalis.
10. “Sakit kepala” pada meningitis
/ ensefalitis.
11. “Sakit kepala” pada tumor
serebri dan proses desak ruang
64
intrakranial lain.
12. “Sakit kepala” pada CVD.
13. “Sakit kepala” pada penyakit
umum.
Sakit kepala sangat beragam dan banyak jenisnya. Oleh karena itu organisasi
Sakit Kepala Internasional atau International Headache Society (IHS)
mengelompokkan sakit kepala menjadi beberapa kategori baku. Klasifikasi dari sakit
kepala ini adalah patokan dasar bagi dokter dan para tenaga kesehatan untuk
menganalisa dan membuat diagnosis dari sakit kepala kepala yang diderita oleh
pasiennya. Oleh IHS, sakit kepala dikelompokkan menjadi 3 kategori umum, yaitu
sakit kepala primer (Primary Headache), sakit kepala sekunder (Secondary
Headache), dan sakit kepala neuralgis kranial tengah beserta nyeri wajah primer
lainnya (Cranial Neuralgias Central and Primary Facial Pain and Other
Headaches).
Pada kriteria diagnostik untuk sakit kepala sekunder, sakit kepala terjadi
dalam hubungan temporal yang dekat dengan gangguan lain dan / atau ada bukti lain
dari hubungan kausal. Sakit kepala biasanya akan mereda atau sembuh dalam 3 bulan
setelah pengobatan atau remisi spontan terhadap penyebab gangguan berhasil.
Dengan mengetahui detail sakit kepala, maka kita dapat memperoleh
informasi diagnosis yang lebih rinci. Berikut ini adalah klasifikasi sakit kepala
menurut International Headache Society (IHS):
65
Tabel 3.1 Klasifikasi Sakit Kepala Menurut International Headache Society (IHS)
Klasifikasi (tingkat 1) Klasifikasi (tingkat 2) Klasifikasi (tingkat 3)
I. Primer
1. Migrain
a. Migrain tanpa aura
b. Migrain dengan aura
c. Sindroma migraine
d. Childhood perodik
e. Migrain retina
f. Komplikasi migrain
2. Sakit kepala karena
ketegangan
a. Sakit kepala karena
tegang
b. Sakit kepala tipe
tegang episodik
c. Nyeri kronis
3. Sakit kepala cluster dan
cephalagias otonom
trigeminal lainnya
a. Sakit kepala Cluster
b. Hemicrania
paroksimal
c. Serangan unilateral
neuralgi dengan injeksi
dan merobek
konjungtiva (SUNCT).
4. Sakit kepala primer
lainnya
a. Sakit kepala tertusuk
b. Sakit kepala akibat
batuk
c. Sakit kepala exertional
primer
d. Sakit kepala primer
berhubungan dengan
aktivitas seksual
e. Sakit kepala hypnic
f. Continua hemicranias
g. Sakit kepala harian-
persistent (NDPH)
66
II. Sekunder
1. Sakit kepala yang
disebabkan trauma kepala
dan / atau leher
a. Sakit kepala akut
pasca-trauma
b. Sakit kepala kronis
pasca-trauma
c. Sakit kepala akut
disebabkan cedera
whiplash
d. Sakit kepala kronis
dikaitkan dengan
cedera whiplash
e. Sakit kepala
disebabkan hematoma
intrakranial traumatik
f. Sakit kepala
disebabkan trauma
lainnya
g. Sakit kepala Post-
kraniotomi
2. Sakit kepala disebabkan
gangguan pembuluh
darah kranial atau serviks
a. Sakit kepala
disebabkan stroke
iskemik atau transient
ischemic attck
b. Sakit kepala
disebabkan perdarahan
intrakranial non
c. Sakit kepala
disebabkan malformasi
vaskular unruptured
d. Sakit kepala
disebabkan arteritis
e. Nyeri karotis atau
arteri vertebralis
67
f. Sakit kepala
disebabkan trombosis
vena serebral
g. Sakit kepala
disebabkan gangguan
pembuluh darah
intrakranial lainnya
3. Sakit kepala disebabkan
gangguan intrakranial
non-vaskular
a. Sakit kepala
disebabkan tekanan
cairan serebrospinal
tinggi
b. Sakit kepala
disebabkan tekanan
cairan serebrospinal
yang rendah
c. Sakit kepala
disebabkan penyakit
radang non infeksi
d. Sakit kepala
disebabkan neoplasma
intracranial
e. Sakit kepala
disebabkan injeksi
intrakranial
f. Sakit kepala
disebabkan kejang
epilepsy
g. Sakit kepala
disebabkan Chiari
malformasi tipe I
h. Sindrom sakit kepala
sementara dan Defisit
68
neurologis dengan
Limfositosis cairan
serebrospinal (Handl)
i. Sakit kepala
disebabkan gangguan
intrakranial non-
vaskular lainnya
4. Sakit kepala disebabkan
oleh beban atau tarikan
a. Sakit kepala akut yang
disebabkan oleh
penggunaan atau
paparan narkoba
b. Sakit kepala akibat
obat berlebihan
c. Sakit kepala sebagai
efek samping dikaitkan
dengan obat kronis
d. Sakit kepala
disebabkan oleh zat
lain
5. Sakit kepala disebabkan
infeksi
a. Sakit kepala
disebabkan infeksi
intracranial
b. Sakit kepala
disebabkan infeksi
sistemik
c. Sakit kepala
disebabkan HIV /
AIDS
d. Sakit kepala pasca-
infeksi
6. Sakit kepala disebabkan
gangguan homoeostasis
a. Sakit kepala
disebabkan hipoksia
69
dan / atau hiperkapnia
b. Sakit kepala akibat
dialysis
c. Sakit kepala
disebabkan arteri
hipertensi
d. Sakit kepala
disebabkan
hipotiroidisme
e. Sakit kepala
disebabkan puasa
f. Sakit kepala
disebabkan puasa
g. Cephalalgia jantung
h. Sakit kepala
disebabkan gangguan
homoeostasis lain
7. Sakit kepala atau nyeri
wajah dikaitkan dengan
gangguan tempurung
kepala, leher, mata,
telinga, hidung, sinus,
gigi, mulut atau struktur
wajah atau kranial
lainnya
a. Sakit kepala
disebabkan gangguan
tulang tengkorak
b. Sakit kepala
disebabkan gangguan
leher
c. Sakit kepala
disebabkan gangguan
mata
d. Sakit kepala
disebabkan gangguan
telinga
e. Sakit kepala
disebabkan
rinosinusitis
70
f. Sakit kepala
disebabkan gangguan
gigi, rahang atau
terkait struktur
g. Sakit kepala atau nyeri
wajah dikaitkan
dengan gangguan
sendi
temporomandibular
(TMJ)
8. Sakit kepala disebabkan
gangguan kejiwaan
a. Sakit kepala
disebabkan gangguan
somatisasi
b. Sakit kepala
disebabkan gangguan
psikotik
III. Sakit kepala neuralgis
kranial tengah beserta
nyeri wajah primer
lainnya
1. Neuralgia kranial dan
penyebab utama nyeri
wajah
a. Neuralgia trigeminal
b. Neuralgia
glossopharyngeal
c. Intermedius nervus
neuralgia
d. Neuralgia nasociliary
e. Neuralgia supraorbital
f. Neuralgia cabang
terminal lain
g. Oksipital neuralgia
h. Sakit kepala kompresi
eksternal
i. Nyeri konsta akibat
kompresi
j. Iritasi atau distorsi dari
saraf kranial atau akar
71
serviks dengan lesi
struktural
k. Neuritis optic
l. Neuropati diabetes
ocular
m. Nyeri wajah dikaitkan
dengan herpes zoster
n. Sindrom Tolosa-Hunt
o. Oftalmoplegia
migraine
p. Neuralgia kranial lain
2. Sakit kepala lainnya,
neuralgia tengkorak,
pusat atau nyeri wajah
utama
a. Sakit kepala tidak
terklasifikasi
b. Sakit kepala yang
tidak ditentukan
Menurut Bahrudin (2013), di dalam bukunya menyatakan bahwa secara garis
besar, nyeri kepala dibagi menjadi dua macam: primer dan sekunder. Berdasarkan
klasifikasi Internasional Nyeri Kepala Edisi 2 dari IHS (International Headache
Society) yang terbaru tahun 2004, Nyeri Kepala Primer terdiri atas Migraine, Tension
Type Headache; Cluster Headache dan trigeminal-otonomic cephalalgias dari Other
Primary Headaches.
Pembagian nyeri kepala primer dan sekunder secara terinci menurut Bahrudin
(2013), yang dikutip dari bukunya diantaranya ialah:
I. Nyeri Kepala Primer
Nyeri kepala primer terdiri dari:
A. Migrain
72
Berdasarkan klasifikasi dari International Headache Society, migrain
dibagi menjadi:
1. Migrain tanpa aura (migrain umum / common migraine)
2. Migrain dengan aura (migrain klasik)
a. Migrain dengan aura yang tipikal
b. Migrain dengan aura yang diperpanjang
c. Migrain hemiplegia familial
d. Nigrain basilaris
e. Migrain aura tanpa nyeri kepala
f. Migrain dengan awitan aura akut
3. Migrain oftalmoplegik
4. Migraine retinal
5. Migraine yang berhubungan dengan gangguan intrakranial
6. Migraine dengan komplikasi
a. Status migrain
Tanpa kelebihan penggunaan obat
Kelebihan penggunaan obat
b. Infark migrain
7. Migrain yang tidak terklasifikasikan
B. Tension Type Headache
C. Neuralgia horton (Cluster Headache)
D. Trigeminal Neuralgia
73
E. Arteritis Temporalis
F. Benign Intra Cranial Hypertension (BIH) / pseudo tumor cerebri
II. Nyeri Kepala Sekunder
Nyeri kepala sekunder terdiri dari:
A. Nyeri kepala pada meningitis
B. Nyeri kepala pada Sub Arachnoid Haemorhage (SAH)
C. Nyeri kepala pada tumor otak
D. Nyeri kepala pada Arthritis servical
Kemudian menurut buku dari Bahrudin (2013), secara umum nyeri kepala
(Headache) merupakan keluhan utama yang paling sering dijumpai oleh dokter. Dan
menurut penelitian dari Hidayati (2016), nyeri kepala adalah salah satu keluhan yang
paling umum dikeluhkan oleh pasien saat datang ke dokter perawatan primer dan
neurolog.
Oleh karena itu, menurut penelitian dari Hidayati (2016), Meskipun sebagian
besar nyeri kepala adalah jinak (tidak membahayakan), namun dokter dihadapkan
pada tugas penting untuk membedakan gangguan nyeri kepala yang jinak dan yang
berpotensi mengancam nyawa. Sehingga, mengingat banyak penyakit sering disertai
dengan keluhan nyeri kepala, dan perlu pendekatan yang terfokus dan sistematis
untuk memfasilitasi diagnosis dan pengobatan yang tepat pada berbagai jenis nyeri
kepala.
Kemudian menurut Hidayati (2016), hubungan yang baik antara dokter dan
pasien diperlukan pada pengelolaan nyeri kepala. Komunikasi efektif yang disertai
dengan keterampilan interpersonal merupakan bagian integral dalam manajemen
74
pasien dengan nyeri kepala. Dan menurut Bahrudin (2013); Hidayati (2016), ada
beberapa langkah dalam manajemen pasien dengan nyeri kepala, seperti bidang ilmu
kedokteran lainnya, pertama, tentu saja, secara umum adalah anamnesis dan
pemeriksaani-pemeriksaan. Secara umum pemeriksaan pasien nyeri kepala terdiri
dari:
A. Anamnesis
B. Pemeriksaan obyektif
C. Pemeriksaan dengan alat
D. Pemeriksaan laboratorium
A. Anamnesis
Menurut Bahrudin (2013), anamnesis sangat penting karena pada pasien nyeri
kepala gejala obyektif sering hanya sedikit. Menurut Hidayati (2016), anamnesis
merupakan langkah pertama dalam manajemen nyeri kepala. Peran anamnesis
memegang posisi paling penting dalam manajemen nyeri kepala, mengingat pada
pemeriksaan fisik dan neurologis pada pasien dengan nyeri kepala sering ditemukan
normal. Ada beberapa langkah dalam anamnesis pasien dengan nyeri kepala.
Beberapa langkah anamnesis pasien dengan nyeri kepala ini secara sistematis
tersusun dalam tabel 2.3 sesuai yang sudah dijelaskan di BAB sebelumnya, yang
disingkat dengan “H. SOCRATESS”. Tanpa anamnesis riwayat nyeri kepala yang
cukup, intervensi diagnostik dan pengobatan yang kita berikan pada pasien dengan
nyeri kepala bisa keliru.
Dalam anamnesis akan dinyatakan: kualitas nyeri, intensitas, lokasi, durasi,
frekuensi, gejala yang menyertai, serta perjalanan penyakitnya. Nyeri kepala yang
75
berlangsung kronik dan sering kambuh tentu berbeda dengan nyeri yang akut. Nyeri
kronik dan sering kambuh cenderung ke penyebab vaskuler dan psikogenik,
sedangkan yang akut dan berat mungkin mempunyai latar belakang yang lebih serius
(meningitis, perdarahan subarakhnoid) (Bahrudin, 2013).
Dan ada kalanya pemeriksaan penunjang yang seharusnya tidak perlu
dilakukan dapat dilakukan, atau sebaliknya uji diagnostik atau laboratorik yang
penting malah tidak dilakukan. Sebelum melakukan anamnesis pada pasien dengan
nyeri kepala, data dasar perlu diambil terlebih dahulu.
B. Pemeriksaan obyektif
Menurut Bahrudin (2013), pemeriksaan obyektif mencakup pemeriksaan
kesadaran (GCS), pemeriksaan nervus kranialis, dan pemeriksaan neurologis lainnya.
Pemeriksaan ini terutama ditujukan ke arah dugaan tentang tipe nyeri kepala sesuai
dengan anamnesis. Adanya defisit neurologi merujuk kepada nyeri kepala sekunder.
Menurut Hidayati (2016), sebagian besar pasien dengan nyeri kepala pada
pemeriksaan fisiknya ditemukan normal. Hanya sebagian kecil saja yang tidak
normal. Apabila ditemukan ketidaknormalan pada pemeriksaan fisik pasien dengan
nyeri kepala, maka hal ini merupakan tanda bahaya (red flags), seperti yang sudah
dijelaskan pada BAB sebelumnya (tabel 2.5). Adanya tanda bahaya (red flags)
mewajibkan dokter melakukan tindakan lebih lanjut.
Apabila dokter umum menemukan tanda bahaya (red flags), maka tindakan
selanjutnya adalah segera merujuk pasien ke neurolog. Apabila dokter neurolog yang
menemukan tanda bahaya (red flags), maka tindakan selanjutnya adalah segera
76
melakukan pemeriksaan penunjang dan memberi terapi sesuai dengan diagnosis yang
telah ditetapkan (Hidayati, 2016).
Menurut Hidayati (2016), perubahan kulit dapat dikaitkan dengan berbagai
etiologi nyeri kepala. Bintik café-au-lait merupakan tanda neurofibromatosis.
Neurofibromatosis ini terkait dengan meningioma intrakranial dan schwannoma.
Kulit kering, alopesia (kebotakan), dan pembengkakan terlihat pada hipotiroidisme.
Lesi melanotik ganas mungkin berhubungan dengan penyakit metastasis ke otak.
Menurut Hidayati (2016), auskultasi bising di daerah karotis dan arteri
vertebral dan orbit dapat memperingatkan klinisi akan potensi stenosis arteri atau
diseksi, atau malformasi arteriovenous.
Pemeriksaan saraf kranial dapat menjadi petunjuk etiologi nyeri kepala.
Gangguan penciuman tersering disebabkan oleh trauma kepala. Gangguan penciuman
menunjukkan adanya gangguan pada alur penciuman (olfactory groove), misalnya
tumor frontotemporal. Pada pemeriksaan funduskopi, adanya perdarahan atau
papilledema mengharuskan dilakukannya imejing yang cepat untuk menyingkirkan
kemungkinan lesi desak ruang. Pemeriksaan lapang pandang yang menunjukkan
defek lapang pandang bitemporal ditemukan pada tumor hipofisis (Hidayati, 2016).
Selama serangan nyeri kepala klaster, dokter dapat menemukan adanya
lakrimasi ipsilateral, rhinorrhea, ptosis, miosis, dan wajah berkeringat pada pasien.
Kelainan gerakan mata bisa disebabkan oleh gangguan saraf okulomotor akibat
peningkatan tekanan intrakranial. Saraf kranial lainnya dapat dipengaruhi oleh
berbagai penyebab. Jika keterlibatan bersifat tidak menyeluruh, asimetris, dan
77
progresif, maka penyebab infiltratif seperti neoplasma, meningitis TB, dan
sarkoidosis harus dipertimbangkan (Hidayati, 2016).
C. Pemeriksaan dengan alat
Pemeriksaan dengan alat sangat tergantung pada hasil pemeriksaan klinis dan
ada atau tidaknya defisit neurologis. Pemeriksaan tambahan tidak selalu diperlukan.
Pada kebanyakan kasus diagnosis cukup ditegakkan dengan pemeriksaan klinis saja.
Beberapa alat yang bisa digunakan antara lain:
1. Elektroensefalografi (EEG)
Menurut Bahrudin (2013), pemeriksaan ini berguna untuk mengetahui lokasi
dari proses, bukan untuk mengetahui etiologisnya. Pemeriksaan dapat dilakukan
dengan serial, dan biaya masih dapat dijangkau oleh sebagaian besar masyarakat.
2. CT scan
Menurut Bahrudin (2013), dengan pemeriksaan ini dapat diketahui tidak
hanya letak dari proses tapi sering juga etiologi dari proses tersebut. Sayangnya,
biaya pemeriksaan masih mahal.
D. Pemeriksaan Laboratorium
Menurut Bahrudin (2013), pemeriksaan ini dikerjakan hanya bila ada indikasi:
a. Darah, bila diduga adanya infeksi atau gangguan penyakit dalam
(anemia, gangguan metabolik).
b. Cairan serebro spinal (CSS) bila pada pemeriksaan klinis dicurigai
adanya meningitis.
78
Secara ringkas yang sudah dibahas pada BAB sebelumnya, dapat disimpulkan
bila pasien mengeluh nyeri kepala pastikan ada tanda meningeal atau tidak bila ada
tanda meningeal lakukan pemeriksaan CT scan (Bahrudin, 2013).
Kemudian untuk pengobatan dari nyeri kepala itu sendiri yang dikutip
menurut buku dari Bahrudin (2013), sebelum memberikan terapi pada pasien nyeri
kepala, diagnosis harus ditegakkan lebih dahulu. Pemberian obat-obat simtomatis
kadang-kadang diperlukan untuk meringankan keluhan pasien. Jika nyeri kepala
tersebut merupakan gejala yang berhubungan dengan penyakit yang mendasarinya,
maka pengobatan harus diberikan sesuai dengan etiologinya (CEMENTED COAT).
Kemudian menindaklanjuti persoalan faktor-faktor yang beresiko
menyebabkan nyeri kepala, perlu pendekatan-pendekatan khusus oleh dokter keluarga
yang berada di sekolah-sekolah tingkat SMA, yaitu termasuk pemeliharaan dan
peningkatan kesehatan (promotive), pencegahan penyakit dan proteksi khusus
(preventive & spesific protection), pemulihan kesehatan (curative), pencegahan
kecacatan (disability limitation) dan rehabilitasi setelah sakit (rehabilitation) dengan
memperhatikan kemampuan sosial serta sesuai dengan medicolegal etika kedokteran.
Pelayanan ini meliputi: (1) pelayanan medis strata pertama untuk semua orang, (2)
pemeliharaan dan peningkatan kesehatan, (3) pencegahan penyakit dan proteksi
khusus, (4) deteksi dini, (5) kuratif medik, (6) rehabilitasi medik dan sosial, (7)
kemampuan sosial keluarga, dan (8) etik medikolegal.
Menurut dari peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 39
tahun 2016 tentang pedoman penyelenggaraan program Indonesia sehat dengan
pendekatan keluarga, memutuskan dan menetapkan peraturan Menteri Kesehatan
79
tentang penyelengaraan program Indonesia sehat dengan pendekatan keluarga, pada
pasal 1 penyelenggaraan program Indonesia sehat dengan Pendekatan Keluarga
bertujuan untuk pada poin pertama dinyatakan sebagai berikut, yakni tujuan
meningkatkan akses keluarga beserta anggotanya terhadap pelayanan kesehatan yang
komprehensif, meliputi pelayanan promotif dan preventif serta pelayanan kuratif dan
rehabilitatif dasar.
Tindakan-tindakan dan atau upaya-upaya awal oleh dokter keluarga melalui
pendekatan secara komprehensif dan holistik perlu ditegakkan dan dilakukan untuk
meningkatkan taraf pengetahuan tentang upaya kesehatan terhadap faktor-faktor
resiko yang bisa menimbulkan gejala nyeri kepala pada pelajar tingkat SMA melalui
pelayanan-pelayanan yang tersebut diatas dan tertuju mulai dari para pelajar, guru,
maupun ke-dua orang tua wali dari pelajar tersebut juga perlu dilkukan upaya
pelayanan pendekatan. Adapun penjabaran adalah sebagai berikut:
1. Pelayanan kesehatan promotif
Untuk para pelajar perlu adanya penyuluhan-penyuluhan khusus terkait
faktor-faktor resiko terhadap terjadinya gejala nyeri kepala seperti penyuluhan dan
pengenalan terhadap efek dari mengkonsumsi kandungan kafein terlalu banyak atau
mengkonsumsi kopi secara teratur, mengkonsumsi alkohol (koktail) secara teratur,
merokok atau penggunaan bahan bahan nikotin secara teratur, tidak ada waktu luang
dan atau kurangnya aktivitas fisik atau aktivitas yang terlalu sedikit, mendengarkan
musik, obesitas atau kegemukan, tingkat stres di sekolah, caci maki antar sesama
pelajar, perilaku intimidasi sesama pelajar, pengalaman pribadi yanng buruk. Serta
penjelasan terkait stress, perubahan pola tidur, sering melewatkan waktu malam,
80
dampak dari menstruasi, paparan asap rokok, perubahan cuaca, menonton atau
bermain laptop yang terlalu lama juga termasuk pencetus terjadinya serangan gejala
nyeri kepala.
Untuk para guru juga perlu penyuluhan dan pendekatan secara seksama terkait
gejala nyeri kepala yang bisa timbul kapan saja terhadap pelajar mereka. Upaya
penyuluhan dan pengenalan tersebut bisa meliputi perilaku tidak adil oleh guru,
perilaku intimidasi oleh guru, serta turut serta memantau aktifitas para pelajar selama
mengikuti proses pembelajaran di sekolah. Serta memberikan informasi terkait
bagaimana cara mendidik dan atau mengasuh anak dengan benar, serta perlu
pemantauan khusus ketika anak-anak berada di dalam rumah maupun di luar rumah.
Kemudian untuk para ke-dua orang tua pelajar di rumah juga penting
dilakukan penyuluhan dan pendekatan terkait anak-anak mereka, seperti dampak
yang ditimbulkan, dari ke-dua orang tua para pelajar sendiri (seperti meliputi
ekspektasi keluarga yang sangat besar), konflik di dalam keluarga, terutama pada
anak laki-laki (seperti meliputi, kekerasan fisik terhadap ke-dua orang tua maupun
perceraian terhadap ke-dua orang tua).
2. Pelayanan kesehatan preventif
Seperti halnya pelayanan kesehatan promotif, pelayanan kesehatan preventif
juga perlu ditegakkan dan dilakukan. Sasaran utama yakni, para pelajar tingkat SMA,
para guru di sekolah, maupun para ke-dua orang tua para pelajar tingkat SMA.
Di sekolah tindakan pendekatan oleh dokter keluarga perlu ditekankan pada
para pelajar dan para guru sekolah tingkat SMA terkait hal-hal yang perlu dihindari
terkait yang bisa berdampak pada terjadinya gejala nyeri kepala tersebut. Tidak lupa
81
pula ketika para pelajar berada di rumah dan atau di luar sekolah para ke-dua orang
tua pelajar juga perlu dilakukan pendekatan serupa agar para pelajar terhindar dari
gejala tersebut.
3. Pelayanan kesehatan kuratif
Perlu dilakukan pengobatan secara berkala terhadap pelajar yang terkena
gejala nyeri kepala akibat faktor-faktor resiko yang ditimbulkan. Dan butuh
pemantauan secara kontinyu oleh dokter keluarga terkait gejala tersebut, karena pada
umumnya sering timbul di kalangan pelajar tingkat SMA.
4. Pelayanan kesehatan rehabilitatif
Untuk pelayanan kesehatan rehabilitatif perlu juga ditekankan dan dilakukan
agar para pelajar terhindar dari gangguan maupun gejala yang timbul akibat faktor-
faktor resiko yang sering muncul di kalangan para pelajar terkait dari gejala nyeri
kepala tersebut. Agar tidak muncul untuk keluhan yang sama, sehingga proses belajar
dan mengajar di sekolah tingkat SMA bisa berjalan dengan lancar dan tertib.