57
Universitas Indonesia
BAB 4
PELAKSANAAN MEMBUKA KERAHASIAAN BANK DALAM TAHAP PENYIDIKAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG
4.1. Pembukaan Informasi yang Dilindungi Oleh Ketentuan Rahasia Bank dalam Suspicious Transaction Report (STR)
Lembaga perbankan mempunyai peranan yang penting untuk mencegah
atau mendeteksi arus uang kotor yang mencoba masuk ke dalam sistem keuangan
suatu negara. Peran lembaga perbankan itu tunduk dan diatur pada ketentuan UU
No. 25 Tahun 2003 dan UU No.15 Tahun 2002. Dalam undang-undang tersebut
bank sebagai salah satu penyedia jasa keuangan diwajibkan berperan aktif
menyampaikan laporan kepada Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan
(PPATK) bilamana bank menaruh curiga terhadap transaksi perbankan yang
dilakukan oleh nasabahnya.78 Selain wajib menyampaikan laporan transaksi
mencurigakan, bank diwajibkan pula menyampaikan laporan yang berkenaan
dengan transaksi keuangan yang dilakukan oleh nasabahnya secara tunai dalam
jumlah kumulatif lima ratus juta rupiah atau lebih atau dalam mata uang asing
yang nilainya setara, baik dalam satu kali transaksi maupun beberapa kali
transaksi dalam satu hari kerja.79 Kewajiban pelaporan tersebut berlaku sejak
Oktober 2003 dengan mengacu pada pedoman pelaporan yang dikeluarkan oleh
PPATK.80 Kewajiban pelaporan dan pemberian informasi ini dilindungi oleh
undang-undang sehingga bank dan petugas pelapor tidak melanggar ketentuan
78Indonesia, Undang-Undang No. 25 Tahun 2003, Pasal 13 ayat (1).
79Ibid., Pasal 13 ayat (2)
80Kewajiban pelaporan tidak hanya dibebankan kepada lembaga perbankan. Kewajiban ini dibebankan kepada setiap penyedia jasa keuangan. Kewajiban pelaporan tersebut diatur dalam Lampiran Keputusan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan No.2/1/KEP.PPATK/2003, Pedoman I. Bab 3 huruf C angka 3 hal. 13.
Pembukaan rahasia..., Muchlis Kusetianto, FHUI, 2009
58
Universitas Indonesia
ketentuan rahasia bank.81 Adanya perlindungan tersebut bertujuan agar bank tidak
ragu untuk mengungkapkan informasi-informasi yang berkenaan dengan
nasabahnya yang berdasarkan ketentuan rahasia bank wajib untuk dilindungi.
Informasi yang berkenaan dengan nasabah yang diungkapkan oleh bank dalam
laporan transaksi keuangan mencurigakan (Suspicious Transaction Report/STR)
adalah meliputi identitas nasabah yang melakukan transaksi dan rincian tentang
transaksi keuangan mencurigakan. Pengungkapan informasi-informasi yang
bersifat pribadi yang berkenaan dengan nasabahnya hanya boleh disampaikannya
oleh bank kepada PPATK dalam laporan transaksi keuangan mencurigakan.
Direksi, pejabat atau pegawai bank dilarang memberitahukan kepada siapapun
baik secara langsung ataupun tidak langsung dengan cara apapun mengenai
laporan tersebut,82 adapun alasannya adalah karena nasabah yang dilaporkan
tersebut belum tentu terlibat tindak kejahatan. Kecurigaan yang dituangkan oleh
bank dalam laporan transaksi mencurigakan dibuat oleh bank semata-mata karena
adanya penyimpangan pola transaksi nasabah yang mana belum tentu disebabkan
karena hal-hal yang memiliki keterkaitan dengan suatu tindak kejahatan. Bilamana
laporan itu kemudian berlanjut kepada proses persidangan di pengadilan, identitas
bank yang membuat laporan transaksi keuangan mencurigakan tidak akan
diungkapkan, hal ini dilakukan untuk melindungi bank agar tidak ditinggalkan
nasabahnya. Jika bank merasa terlindungi, bank tidak akan ragu untuk melaporkan
transaksi keuangan mencurigakan kepada PPATK. Oleh sebab itu, PPATK yang
merupakan Financial Inteligent Unit dilarang mempergunakan informasi yang
diperolehnya dari laporan transaksi mencurigakan sebagai alat bukti di
pengadilan. Hal ini disebabkan karena informasi yang terdapat dalam laporan
tersebut adalah informasi inteligent. Dalam persidangan kasus money laundering,
81Indonesia, Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 Pasal 14 jo Undang-Undang No. 25 Tahun 2003 Pasal 15.
82Indonesia, Undang-Undang No. 25 Tahun 2003, op. cit., Pasal 17A.
Pembukaan rahasia..., Muchlis Kusetianto, FHUI, 2009
59
Universitas Indonesia
PPATK harus mempergunakan informasi lain yang diperolehnya bukan dari
laporan transaksi mencurigakan. Informasi yang terdapat dalam laporan transaksi
mencurigakan dipergunakan oleh PPATK hanya sebagai informasi awal untuk
melakukan penyidikan lebih lanjut bekerjasama dengan aparat penegak hukum.83
Selain kewajiban berperan aktif dalam kegiatan pelaporan, bank juga
diwajibkan membantu penyidik, penuntut umum atau hakim di dalam
melaksanakan tugas penegakan hukum untuk kepentingan pemeriksaan dalam
perkara pidana money laundering. Bantuan yang wajib diberikan oleh bank adalah
memberikan informasi yang diminta penyidik, penuntut umum atau hakim
mengenai harta kekayaan setiap orang yang telah dilaporkan oleh PPATK,
tersangka atau terdakwa.84 Untuk meminta bank membuka rahasia bank
sehubungan dengan adanya dugaan praktik money laundering, penyidik dapat
melakukannya tanpa harus berdasarkan laporan yang diberikan terlebih dahulu
oleh PPATK kepadanya, penyidik tidak pula harus memperoleh izin dari dari
pimpinan Bank Indonesia untuk dapat meminta bank membuka rahasia bank
dalam hal adanya dugaan praktik money laundering, dengan catatan hal ini hanya
dapat dilakukan apabila nasabah itu telah dijadikan sebagai tersangka praktik
money laundering. Akan tetapi jika untuk kepentingan peradilan dalam perkara
pidana, permintaan membuka rahasia bank harus dilakukan dengan terlebih
dahulu meminta izin dari pimpinan Bank Indonesia. Hal ini ditetapkan dalam
Pasal 42 Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan atas Undang-
Undang No. 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan.
Berdasarkan Pasal 33 Undang-Undang No. 25 Tahun 2003 ditetapkan
bahwa pemberian informasi hanya boleh dipenuhi jika permintaan untuk
83Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan Bapak Fitriyadi Muslim , Directorate of
Law and Regulation, di kantor PPATK Jl. Ir. H. Juanda No. 35. Jakarta 10120, pada tanggal 26 November 2008.
84Undang-Undang No. 25 Tahun 2003, op.cit., Pasal 33 ayat (1).
Pembukaan rahasia..., Muchlis Kusetianto, FHUI, 2009
60
Universitas Indonesia
memperoleh informasi tersebut diajukan secara tertulis. Dalam surat permintaan
harus pula disebutkan secara jelas nama dan jabatan penyidik, penuntut umum
atau hakim, identitas setiap orang yang telah dilaporkan oleh PPATK, tersangka
atau terdakwa serta tindak pidana yang dipersangkakan atau didakwakan, dan
tempat harta kekayaan berada, kemudian harus ditandatangani oleh pejabat yang
berwenang. Pejabat yang berwenang menandatangani surat permintaan untuk
memperoleh informasi adalah Kepala Kepolisian Republik Indonesia atau Kepala
Kepolisian Daerah dalam hal permintaan diajukan oleh penyidik. Jika permintaan
diajukan oleh penuntut umum, surat permintaan untuk memperoleh informasi
tersebut harus ditandatangani oleh Jaksa Agung Republik Indonesia atau Kepala
Kejaksaan Tinggi. Sementara itu, apabila pengungkapan informasi yang
berkenaan dengan rahasia bank telah sampai pada proses persidangan di
pengadilan, Hakim Ketua Majelis yang memeriksa perkara yang bersangkutan
berwenang menandatangani surat permintaan untuk memperoleh informasi.85
Dengan adanya permintaan yang diajukan secara tertulis dengan ditandatangani
oleh pejabat yang berwenang, pengungkapan informasi dilakukan secara
bertanggungjawab. Mengingat bahwa informasi yang berkenaan dengan rahasia
bank merupakan hak pribadi nasabah, sudah semestinya informasi ini dihormati.
Bilamana permintaan informasi dilakukan secara lisan, bank wajib
mengabaikannya. Permintaan yang dilakukan secara tertulis dengan tidak
ditandatangani oleh pejabat yang berwenang, bank dapat dipersalahkan jika bank
memenuhi permintaan tersebut karena telah melanggar ketentuan rahasia bank.
Untuk menyikapi hal itu, bank biasanya mengambil inisiatif membuat laporan
transaksi keuangan mencurigakan yang disampaikannya kepada PPATK. Hal ini
dilakukan agar PPATK dapat menindaklanjuti laporan tersebut.86
85Ibid., Pasal 33.
86Informasi ini diperoleh dari hasil wawancara penulis dengan legal officer dari salah satu bank swasta nasional di Jakarta, pada hari rabu, tanggal 29 Oktober 2008.
Pembukaan rahasia..., Muchlis Kusetianto, FHUI, 2009
61
Universitas Indonesia
Meskipun ketentuan rahasia bank dikecualikan bagi penyidik, penuntut
umum atau hakim di dalam melaksanakan tugas penegakan hukum, informasi
yang merupakan rahasia bank tidak dapat dipergunakan untuk keperluan lain di
luar kewajiban yang ditetapkan oleh undang-undang. Pejabat PPATK, penyidik,
penuntut umum atau hakim yang memperoleh dokumen dan/atau keterangan
dalam rangka pelaksanaan tugas memberantas praktik money laundering
diwajibkan untuk merahasiakan dokumen dan/atau keterangan yang merupakan
rahasia bank kecuali untuk memenuhi kewajiban yang diberikan oleh undang-
undang kepada mereka.87 Dengan adanya kewajiban untuk merahasiakan
dokumen dan/atau keterangan yang diperolehnya, undang-undang menunjukkan
bahwa perlindungan terhadap hak privasi seseorang masih diberikan.
4.2. Beberapa Kelemahan Peraturan Rahasia Bank di Indonesia Pengaturan masalah rahasia bank terdapat dua alternatif. Pertama,
alternatif yang menganggap rahasia bank itu bersifat mutlak. Kedua, pendapat
yang menganggap rahasia bank bersifat relatif. Pendapat yang menyatakan rahasia
bank bersifat mutlak, artinya keterangan tentang nasabah dan keadaan
keuangannya harus dirahasiakan dalam segala situasi dan kondisi tanpa kecuali.
Sebaliknya yang berpendapat rahasia bank bersifat relatif mengakui bahwa
keterangan tentang nasabah dan keadaan keuangannya harus dirahasiakan dalam
batas-batas tertentu dan terdapat kemungkinan untuk menerobosnya dengan alasan
tertentu, misalnya untuk kepentingan umum. Hal ini perlu dilakukan mengingat
kerahasiaan yang tidak perlu dapat mengurangi nilai-nilai keadilan, mengancam
keamanan masyarakat dan tidak sejalan dengan prinsip-prinsip demokrasi.88
87Indonesia, Undang-Undang No. 25 Tahun 2003, op. cit., Pasal 10 A ayat (1).
88Nicole Schultheis dan Arthur Bryant, “Unnecessary Secrecy in Civil Litigation: Combatting the Threat to Effective Self-Governance”, Maryland, Vol. III, No.1, (Fall, 1991), hal. 64.
Pembukaan rahasia..., Muchlis Kusetianto, FHUI, 2009
62
Universitas Indonesia
Pengaturan rahasia bank di Indonesia didasarkan pada konsep bahwa
rahasia bank itu tidak mutlak, tetapi relatif. Artinya terdapat kemungkinan untuk
menerobosnya untuk kepentingan umum. Terdapat tujuh alasan untuk menerobos
atau dikecualikan dari ketentuan rahasia bank. Pertama, untuk kepentingan
perpajakan. Kedua, untuk kepentingan penyelesaian piutang bank yang sudah
diserahkan kepada Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara/Panitia Urusan
Piutang Negara. Ketiga, untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana.
Keempat, untuk kepentingan perkara perdata antara bank dan nasabah di
pengadilan. Kelima, untuk kepentingan tukar menukar informasi antar bank.
Keenam, untuk kepentingan nasabah penyimpan atas dasar permintaan,
persetujuan tertulis atau kuasa dari nasabah tersebut. Ketujuh, untuk kepentingan
ahli waris yang sah dari nasabah penyimpan dana yang meninggal dunia.89
Sesuai dengan ketentuan Pasal 41, Pasal 41A, dan Pasal 42 Undang-
Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang No. 10 Tahun 1998, perintah/izin untuk membuka rahasia bank
diberikan dengan alasan untuk kepentingan perpajakan, untuk penyelesaian
piutang bank yang sudah diserahkan kepada Badan Urusan Piutang dan Lelang
Negara/Panitia Urusan Piutang Negara dan untuk kepentingan peradilan perkara
pidana. Untuk kepentingan perpajakan, penerobosan rahasia bank dilakukan
dengan perintah tertulis dari Pimpinan Bank Indonesia kepada bank, agar
memberikan keterangan dan memperlihatkan bukti-bukti tertulis serta surat-surat
mengenai keadaan keuangan nasabah penyimpan tertentu kepada pejabat bank.
Sementara untuk kepentingan penyelesaian piutang bank kepada BUPLN/PUPN
dan untuk kepentingan peradilan perkara pidana, penerobosan rahasia bank
dilakukan dengan izin dari Pimpinan Bank Indonesia kepada pejabat
BUPLN/PUPN, Polisi, Jaksa atau Hakim untuk memperoleh keterangan dari bank
mengenai simpanan tersangka atau terdakwa pada bank. Berdasarkan perumusan
beberapa ketentuan tersebut di atas terlihat bahwa jenis informasi yang dapat
89Pasal 41-45 Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.
Pembukaan rahasia..., Muchlis Kusetianto, FHUI, 2009
63
Universitas Indonesia
diperoleh pejabat bank lebih luas, yaitu keterangan, bukti tertulis dan surat-surat
mengenai keadaan keuangan tersangka. Sementara jenis keterangan yang dapat
diperoleh pejabat BUPLN/PUPN, Polisi, Jaksa atau Hakim lebih sempit, yaitu
keterangan dari bank mengenai simpanan debitur/tersangka/terdakwa pada bank.
Pengaturan yang berbeda antara Pasal 41 dan Pasal 42 Undang-Undang No. 7
Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
No. 10 Tahun 1998 menunjukkan adanya inkonsistensi pada Undang-Undang
Perbankan.
Selanjutnya terdapat permasalahan yang berkaitan dengan perintah/izin
untuk memberikan keterangan yang bersifat rahasia bank dapat dilihat dari
beberapa hal sebagai berikut:
a. Nama kantor bank tidak disebut secara spesifik
Dalam permohonan yang diajukan oleh Kepala Kepolisian atau Jaksa
Agung RI, kadangkala tidak menyebutkan secara spesifik mengenai tempat/lokasi
kantor bank dimana tersangka/terdakwa memiliki rekening. Yang disebutkan
hanyalah bank “X” di wilayah Jawa Barat atau di wilayah Jakarta, Bogor,
Tanggerang dan Bekasi. Hal ini diajukan dengan alasan tersangka/terdakwa telah
memindahkan uangnya, atau dengan alasan polisi atau jaksa belum memiliki
informasi mengenai dimana saja tersangka atau terdakwa memiliki rekening.
Sudah tentu permohonan semacam ini sulit untuk dikabulkan, karena apabila hal
tersebut dikabulkan dapat dengan mudah disalahgunakan dan kurang memberikan
perlindungan kepada industri perbankan. Dalam praktik, adakalanya jaksa
cenderung memaksa untuk meminta izin guna meminta keterangan pada bank-
bank, yang belum tentu memelihara rekening tersangka/terdakwa. Secara
sederhana dapat dijelaskan bahwa sebelum meminta izin seharusnya jaksa, polisi
atau hakim mengetahui dimana tersangka/terdakwa memiliki rekening. Setelah hal
tersebut diketahui, kemudian dapat ditindaklanjuti dengan mengajukan izin.
Bukan sebaliknya meminta izin terlebih dahulu, kemudian baru berupaya untuk
mengetahui dimana tersangka/terdakwa memiliki rekening.
Pembukaan rahasia..., Muchlis Kusetianto, FHUI, 2009
64
Universitas Indonesia
b. Keterangan yang diminta berlebihan
Adakalanya permohonan izin yang diajukan polisi dan jaksa juga meminta
keterangan tentang keadaan keuangan dan surat-surat yang berkaitan dengan
rekening tersangka atau terdakwa. Sebelumnya, berdasarkan Undang-Undang No.
7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang No. 10 Tahun 1998, izin yang diberikan kepada polisi atau jaksa sering
dirumuskan demikian, sehingga polisi atau jaksa meminta juga keterangan tentang
nasabah lain yang ada kaitannya dengan rekening tersangka atau terdakwa.
Sebagian bank menerima dan sebagian menolak untuk memberikan keterangan
tentang nasabah lain yang bukan merupakan tersangka atau terdakwa.
Setelah berlakunya Undang-Undang No. 10 Tahun 1998, izin yang
diberikan hanyalah untuk meminta keterangan mengenai rekening simpanan
tersangka atau terdakwa saja. Oleh karena itu, seharusnya keterangan yang
diminta polisi atau petugas kejaksaan hanya merupakan keterangan mengenai
rekening simpanan tersangka saja. Guna mengurangi lamanya pemberian izin
membuka rahasia bank dalam perkara tindak pidana korupsi, Pasal 29 ayat (3)
Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001
menyatakan bahwa izin membuka rahasia bank wajib diberikan oleh Gubernur
Bank Indonesia dalam waktu 3 (tiga) hari kerja. Untuk perkara tindak pidana
pencucian uang dan terorisme tidak diperlukan lagi izin dari Gubernur BI. Dengan
demikian Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan dapat langsung meminta
keterangan dari bank.90 Apabila prosedur izin membuka rahasia bank ini tidak
dipenuhi oleh penyidik, besar kemungkinan alat bukti yang dipergunakan
penyidik atau penuntut umum akan ditolak di pengadilan terutama apabila pihak
terdakwa mempermasalahkannya.
90Pasal 33 Undang-Undang No. 15 Tahun 2002; Pasal 29 PERPU No. 1 Tahun 2002 yang
telah ditetapkan menjadi Undang-Undang No. 15 Tahun 2003.
Pembukaan rahasia..., Muchlis Kusetianto, FHUI, 2009
65
Universitas Indonesia
Rekapitulasi permohonan izin dari pihak eksekutif (Menteri Keuangan,
Dirjen Piutang dan Lelang Negara, Kepala Kepolisian RI dan Jaksa Agung)
kepada Gubernur Bank Indonesia selama tahun 2001 dan 2002 terlihat pada tabel
berikut ini:91
Tabel 1 Data Rekapitulasi Izin Pembukaan Rahasia Bank Tahun 2001
No.
Pihak yang mengajukan
permohonan izin pembukaan rahasia
bank:
Jumlah permohonan yang diajukan dan
diproses:
Jumlah izin yang dikeluarkan oleh
GBI:
Jumlah permohonan yang ditolak:
1 Menteri Keuangan (vide Pasal 41 UU
Perbankan)
66 permohonan tertulis
818 surat perintah
pembukaan rahasia bank
5 permohonan tertulis
2
Kepala Badan Urusan Piutang dan Lelang
Negara/Ketua Panitia Urusan Piutang Negara
(vide Pasal 41 A UU Perbankan)
2 permohonan tertulis
4 surat izin pembukaan rahasia bank
1 permohonan tertulis
3
Kepala Kepolisian Republik Indonesia (vide Pasal 42 UU
Perbankan)
142 permohonan tertulis
234 surat izin pembukaan rahasia bank
12 permohonan
tertulis
4 Jaksa Agung Republik Indonesia (vide Pasal
42 UU Perbankan)
55 permohonan tertulis
190 surat izin pembukaan rahasia bank
6 permohonan tertulis
TOTAL : 265 permohonan
tertulis
1246 surat izin/perintah pembukaan rahasia bank
24 permohonan
tertulis
Sumber: Direktorat Hukum Bank Indonesia.
91Yunus Husein, op.cit., hal. 275.
Pembukaan rahasia..., Muchlis Kusetianto, FHUI, 2009
66
Universitas Indonesia
Tabel 2 Data Rekapitulasi Izin Pembukaan Rahasia Bank Tahun 2002
No.
Pihak yang mengajukan
permohonan izin pembukaan rahasia
bank:
Jumlah permohonan yang diajukan dan
diproses:
Jumlah izin yang dikeluarkan oleh
GBI:
Jumlah permohonan yang ditolak:
1 Menteri Keuangan (vide Pasal 41 UU
Perbankan)
40 permohonan tertulis
425 surat perintah
pembukaan rahasia bank
5 permohonan tertulis
2
Kepala Badan Urusan Piutang dan Lelang
Negara/Ketua Panitia Urusan Piutang Negara
(vide Pasal 41 A UU Perbankan)
3
Kepala Kepolisian Republik Indonesia (vide Pasal 42 UU
Perbankan)
146 permohonan tertulis
302 surat izin pembukaan rahasia bank
16 permohonan
tertulis
4 Jaksa Agung Republik Indonesia (vide Pasal
42 UU Perbankan)
47 permohonan tertulis
199 surat izin pembukaan rahasia bank
6 permohonan tertulis
TOTAL : 233 permohonan
tertulis
926 surat izin/perintah pembukaan rahasia bank
27 permohonan
tertulis
Sumber: Direktorat Hukum Bank Indonesia.
Berdasarkan kedua tabel tersebut dapat disimpulkan hal-hal sebagai
berikut: Pertama, tidak ada permintaan izin membuka rahasia bank yang berasal
dari Ketua Mahkamah Agung untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana
seperti diatur dalam Pasal 42 Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 10 Tahun
Pembukaan rahasia..., Muchlis Kusetianto, FHUI, 2009
67
Universitas Indonesia
1998. Hal ini menunjukkan bahwa pengaturan ketentuan Pasal 42 tersebut yang
mewajibkan Ketua Mahkamah Agung untuk mengajukan permohonan izin
membuka rahasia bank kepada Gubernur Bank Indonesia tidak dapat diterapkan
karena tidak sesuai dengan ketentuan ketatanegaraan yang berlaku. Kedua, tidak
semua permohonan izin untuk membuka rahasia bank dikabulkan karena masih
ada yang tidak memenuhi syarat sebagaimana diatur Undang-Undang Perbankan,
misalnya permohonan tidak menyebutkan nama tersangka. Ketiga, izin terbanyak
diberikan kepada Menteri Keuangan untuk kepentingan perpajakan (818 perintah
membuka rahasia bank), disusul dengan izin kepada Kapolri (234 izin membuka
rahasia bank), dan Jaksa Agung (190 izin membuka rahasia bank), dan Dirjen
Piutang dan Lelang Negara (4 izin membuka rahasia bank). Data ini menunjukkan
bahwa upaya penagihan pajak dilakukan cukup intensif.
Menurut Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998, yang dapat dipidana karena
melanggar ketentuan rahasia bank hanyalah: komisaris, direksi, pegawai bank,
pihak terafiliasi dan orang yang memaksa bank untuk memperoleh keterangan
yang bersifat rahasia bank. Batasan rahasia bank menjadi masalah bagi Lembaga
Penyidik. Makin ketat ketentuan rahasia bank, makin sulit bagi petugas untuk
melakukan penyidikan yang berkaitan dengan rahasia bank. Sebaliknya makin
longgar ketentuan rahasia bank, makin mudah petugas untuk melakukan
penyidikan. Namun hal ini menimbulkan pertanyaan: sejauhmanakah ketentuan
rahasia bank tidak merupakan penghambat di dalam proses penyidikan?
Sebagaimana diketahui, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
menetapkan bahwa mereka yang karena pekerjaan, harkat atau jabatannya
diwajibkan menyimpan rahasia dapat minta dibebaskan dari kewajiban untuk
memberi keterangan sebagai saksi, yaitu tentang hal yang dipercayakan kepada
mereka.92 Pihak-pihak tersebut antara lain, komisaris, direksi, pegawai dan pihak
terafiliasi dari bank yang oleh undang-undang diwajibkan untuk merahasiakan
92Pasal 170 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Pembukaan rahasia..., Muchlis Kusetianto, FHUI, 2009
68
Universitas Indonesia
keterangan tentang nasabah penyimpan dana dan simpanan nasabahnya itu.
Kewajiban menyimpan rahasia tersebut juga berlaku ketika masing-masing pihak
tersebut sudah pensiun atau kontrak kerja yang berlaku sudah selesai.
Ketentuan tersebut tidak berlaku dalam perkara tindak pidana korupsi,
kecuali hanya untuk pendeta agama katolik.93 Di samping itu, ketentuan rahasia
bank di Indonesia relatif ketat dengan pengecualian yang bersifat limitatif. Para
penyidik yang ingin memperoleh keterangan yang bersifat rahasia bank, harus
memperoleh izin dari Menteri Keuangan (sebagai catatan, sejak berlakunya
Undang-Undang No. 10 Tahun 1998, 10 November 1998, izin dimaksud diberikan
oleh Pimpinan Bank Indonesia) melalui Kepala Kepolisian RI untuk Polisi dan
melalui Jaksa Agung untuk Jaksa, serta melalui Ketua Mahkamah Agung untuk
hakim.
Kewenangan untuk meminta izin tersebut tidak dapat didelegasikan
kepada aparat bawahannya, seperti Kepala Kepolisian Daerah atau Kepala
Kejaksaan Tinggi. Seringkali izin ini memakan waktu yang relatif lama, sehingga
dapat membawa dampak pada penyidikan, misalnya kewenangan penyidik untuk
melakukan penahanan dibatasi oleh undang-undang. Untuk mengatasi masalah ini,
adakalanya penyidik menempuh jalan pintas untuk memperoleh keterangan
keterangan yang bersifat rahasia bank, yaitu dengan cara meminta nasabah yang
menjadi tersangka untuk memberikan kuasa kepada penyidik guna meminta
keterangan dari bank. Cara lain yang dapat dilakukan adalah meminta nasabah
untuk memberikan kuasa kepada bank untuk memberikan keterangan tentang
keadaan keuangan kepada pihak penyidik.94
Sampai sekarang peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang
pemblokiran dan penyitaan rekening di bank masih belum memadai. Peraturan
93Penjelasan Pasal 36 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001.
94Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan Bapak Yunus Husein, Kepala PPATK pada hari Kamis, 20 November 2008 di kantor PPATK Jl. Ir. H. Juanda No. 35. Jakarta 10120.
Pembukaan rahasia..., Muchlis Kusetianto, FHUI, 2009
69
Universitas Indonesia
yang ada berupa surat dari Jaksa Agung dan Panglima Angkatan Kepolisian
kepada masing-masing jajarannya tentang tata cara penyitaan dan pemblokiran
rekening. Surat tersebut diteruskan dengan Surat Edaran Bank Indonesia kepada
bank-bank.95 Sehubungan dengan itu, maka pada November 1997 diterbitkan
Keputusan Bersama Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian RI dan
Gubernur Bank Indonesia, yang dalam Pasal 5 ketentuan tersebut diatur tentang
pemblokiran rekening yang dapat dilakukan atas dasar permintaan Kepolisian atau
Kejaksaan, dengan tembusan kepada Bank Indonesia. Kemudian masalah
pemblokiran ini diatur lagi dalam Pasal 29 ayat (4) Undang-Undang No. 31 Tahun
1999 dan penjelasannya. Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak
Pidana Pencucian Uang dan PERPU No. 1 Tahun 2002 yang telah ditetapkan
menjadi Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 yang membolehkan Polisi, Jaksa,
dan Ketua Majelis Hakim untuk memblokir rekening dan memperoleh keterangan
dari bank tanpa izin Gubernur BI.
Masalah yang sering timbul dalam penyidikan adalah apabila dana hasil
kejahatan disimpan pada rekening milik orang lain, bukan tersangka atau
terdakwa. Hal ini akan menyulitkan upaya penyidik untuk mengungkapkan dan
membuktikan tindak pidana yang dilanggar, karena polisi atau jaksa atau hakim
tidak bisa meminta izin untuk memeriksa rekening bukan tersangka. Sesuai
dengan ketentuan pasal 42 Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998, yang dapat diperiksa
hanyalah rekening tersangka saja. Untuk mengatasi masalah ini pihak penyidik
seringkali mengajukan izin pemeriksaan keadaan keuangan tersangka kepada
Pimpinan Bank Indonesia dengan rumusan untuk pemeriksaan keadaan keuangan
dan surat-surat yang ada hubungannya dengan rekening atas nama tersangka.
Dengan cara ini pihak penyidik melakukan pemeriksaan juga pada rekening lain
95Surat dari KAPOLRI No. 4/260/TPC/DEOP/X/70 tgl. 30 Januari 1971 diteruskan
dengan Surat Edaran BI No. 3/843 UPPB/PbB tgl. 30 Januari 1971, sementara Surat dari Kejaksaan Agung No. B.278/D.2/6/69 tgl. 26 Juni 1969 disampaikan dengan Surat Edaran BI No. 2/376/UPPB/PbB tanggal 11 September 1969.
Pembukaan rahasia..., Muchlis Kusetianto, FHUI, 2009
70
Universitas Indonesia
yang ada hubungannya dengan rekening tersangka, walaupun hal ini sebenarnya
tidak memiliki dasar hukum.96
Pada saat pihak penyidik ingin meminta keterangan tentang rekening
nasabah lain yang ada kaitannya dengan rekening tersangka, sebagian bank
menolak memberikan keterangan karena bertentangan dengan ketentuan yang
berlaku.97 Sebagaimana diketahui, Pasal 42 Undang-Undang No. 10 Tahun 1998
hanya memberikan pengecualian ketentuan rahasia bank kepada penyidik dengan
cara mengetahui keadaan keuangan dari para tersangka saja. Dapat ditambahkan,
menurut Z.A. Maulani mantan Kepala Badan Koordinasi Intellijen (BAKIN) yang
juga sebagai ketua BAKOLAK berdasarkan Inpres No. 6 Tahun 1971, untuk
menanggulangi masalah narkotika, sebaiknya Undang-Undang Perbankan di
Indonesia ditinjau kembali, karena telah mempersulit aparat penanggulangan
narkotik untuk membongkar kejahatan pencucian uang (money laundering).
Ditambahkannya pula, money laundering cukup sulit untuk dibongkar oleh aparat
penanggulangan narkotik karena terbentur pada ketentuan rahasia bank.98 Dalam
perkembangan selanjutnya, Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak
Pidana Pencucian Uang sudah mengakomodir usulan Z.A. Maulani tersebut.
4.3. Kaitan antara rahasia bank dengan penyidikan Kaitan antara rahasia bank dengan penyidikan sering memiliki warna
politis yang cukup kuat. Hal tersebut dapat dilihat dari contoh berikut ini: setelah
Presiden Soeharto mundur dari jabatan Presiden pada tanggal 21 Mei 1998,
berbagai kalangan masyarakat mendesak agar dilakukan pengusutan terhadap
96hasil wawancara penulis dengan Bapak Yunus Husein, op.cit.
97Sebagai contoh, salah satu bank milik pemerintah dengan suratnya No. 443-SSS/HKM/PLH/11/1998 tanggal 20 November 1998 mempertanyakan tindakan bank tersebut yang menolak memberikan keterangan tentang nasabah-nasabah lain yang diduga ada kaitannya dengan tersangka.
98Media Indonesia, 9 April 1999, hal. 2.
Pembukaan rahasia..., Muchlis Kusetianto, FHUI, 2009
71
Universitas Indonesia
harta kekayaan mantan Presiden tersebut. Aspirasi masyarakat tersebut
dimanifestasikan dalam Pasal 4 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat No.
XI/MPR/1998 yang menetapkan bahwa upaya pemberantasan korupsi, kolusi dan
nepotisme harus dilakukan secara tegas terhadap siapapun juga, baik pejabat
negara, mantan pejabat negara, keluarga dan kroninya, maupun pihak
swasta/konglomerat, termasuk mantan Presiden Soeharto dengan tetap
memperhatikan prinsip praduga tak bersalah dan hak-hak asasi manusia.
Sebagai pelaksanaan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat tersebut,
Presiden B.J. Habibie mengeluarkan Instruksi Presiden No. 30 Tahun 1998
tanggal 2 Desember 1998 yang ditujukkan kepada Jaksa Agung untuk melakukan
tindakan, pertama, segera mengambil tindakan proaktif, efektif dan efisien dalam
memberantas korupsi, kolusi dan nepotisme guna memperlancar dan
meningkatkan pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka terwujudnya
tujuan nasional bangsa Indonesia. Kedua, segera mengambil tindakan hukum
memeriksa mantan Presiden Soeharto yang diduga telah melakukan praktik
korupsi, kolusi dan nepotisme dengan tetap berpegang teguh pada prinsip praduga
tak bersalah dan menghormati hak asasi manusia.
Sebelum diterbitkannya Instruksi Presiden tersebut, Jaksa Agung
mengeluarkan Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia No. KEP-
092/JA/10/1998 tentang Pembentukan Tim Penelitian dan Klarifikasi Serta Tim
Penyelidikan Harta Kekayaan Soeharto (mantan Presiden RI) tanggal 1 Oktober
1998. Dari tim-tim yang dibentuk tersebut, tim yang banyak berkaitan dengan
bank adalah Tim Penelitian dan Klarifikasi yang tugasnya antara lain: pertama,
mencari dan menemukan harta kekayaan Soeharto yang disimpan pada bank-bank
di dalam maupun di luar negeri; kedua, menindaklanjuti hasil penelitian dan
klarifikasi dengan upaya penyerahan harta kekayaan dimaksud oleh Soeharto
kepada negara.
Sejalan dengan itu, pada tanggal 14 Oktober 1998 Bambang Subianto
selaku Menteri Keuangan Republik Indonesia memberikan kuasa khusus dengan
hak substitusi kepada Jaksa Agung, H.A.M. Ghalib, untuk melakukan penelitian
Pembukaan rahasia..., Muchlis Kusetianto, FHUI, 2009
72
Universitas Indonesia
yang mendalam terhadap kemungkinan terdapatnya harta dan/atau rekening atas
nama Soeharto, beralamat di Jl. Cendana No. 8 Jakarta, pada bank-bank dalam
negeri. Surat kuasa tersebut kemudian disubstitusikan kepada Jaksa Agung Muda
Perdata dan Tata Usaha Negara, Soehandjono. Penyelidikan dilakukan dengan
bantuan Bank Indonesia dengan cara Bank Indonesia mengumpulkan bank-bank
untuk meminta bantuan bank agar menjawab pertanyaan apakah di bank yang
bersangkutan terdapat harta/rekening mantan Presiden Soeharto. Bank diminta
untuk menandatangani surat pernyataan apakah mantan Presiden memiliki/tidak
memiliki harta/rekening di banknya. Kemudian pernyataan tersebut dikumpulkan
oleh petugas Bank Indonesia dan pihak Kejaksaan Agung. Dari hasil penelitian
dan klarifikasi ditemukan kekayaan mantan Presiden Soeharto di 4 (empat) bank
sebanyak Rp 23.250.556.531,04 (Dua puluh tiga miliar dua ratus lima puluh juta
lima ratus lima puluh enam ribu lima ratus tiga puluh satu rupiah empat sen).
Kemudian hasil penelitian ini dipublikasikan secara umum kepada publik melalui
media massa tanpa menyebut secara spesifik bank yang memelihara rekening
mantan Presiden Soeharto.
Suatu hal yang menarik adalah, salah satu Direktur (sekarang disebut
Deputi Gubernur) Bank Indonesia menyatakan bahwa proses penelitian kekayaan
harta/rekening mantan Presiden Soeharto itu tidak melanggar ketentuan rahasia
bank karena Jaksa Agung memperoleh kuasa dari Menteri Keuangan yang selama
ini juga memberikan izin untuk pengecualian ketentuan rahasia bank. Walaupun
demikian, sebagian bank menganggap hal tersebut bertentangan dengan ketentuan
rahasia bank karena Pasal 42 Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan
memberikan pengecualian dari ketentuan rahasia bank untuk pihak Kejaksaan
dalam rangka proses peradilan pidana. Keberatan dari sebagian bank diajukan
dengan alasan pengusutan harta Soeharto tersebut tidak mempunyai dasar hukum
yang kuat. Cara pengusutan seperti itu belum memberikan jaminan kepada bank
untuk tidak mengalami tuntutan nasabah di kemudian hari. Sebagian bankir
Pembukaan rahasia..., Muchlis Kusetianto, FHUI, 2009
73
Universitas Indonesia
menilai dengan cara pengusutan seperti itu, bank dijadikan bumper atas keputusan
politis pemerintah.99 Dalam hal ini, Kejaksaan melalui Jaksa Agung dapat
memeriksa rekening seorang tersangka atas izin Menteri Keuangan, bukan atas
dasar pemberian kuasa. Dengan demikian masih dapat dipertanyakan, apa yang
menjadi dasar bagi Menteri Keuangan untuk memberikan kuasa kepada Jaksa
Agung untuk mengusut harta Soeharto yang ada di bank. Di samping itu,
pengusutan terhadap harta mantan Presiden Soeharto dianggap belum memenuhi
ketentuan Undang-Undang Perbankan karena orang yang dimintai keterangan
tentang keadaan keuangannya pada waktu itu belum berstatus sebagai tersangka.
Sementara itu sebagai kelanjutan pemberitaan di majalah Time edisi Mei
1999 tentang kekayaan mantan Presiden Soeharto dan keluarganya, Pemerintah
bermaksud mengadakan penyelidikan lebih lanjut. Namun demikian, pengusutan
harta mantan Presiden Soeharto di luar negeri ternyata banyak mengalami
hambatan karena menurut Menteri Luar Negeri, Ali Alatas (ketika itu), jajaran
Departemen Luar Negeri tidak bisa memasuki bank, kecuali melalui prosedur
tertentu. Pada bank terdapat aturan kerahasiaan bank yang tidak dapat diatasi
kecuali kalau memenuhi prosedur tertentu, misalnya yang bersangkutan sudah
diadili atau menjadi tersangka.100
Menurut Duta Besar Swiss di Indonesia, Gerrad Fonjallaz, Pemerintah
Swiss bersedia membantu Pemerintah Indonesia dalam melacak kemungkinan
adanya harta mantan Presiden Soeharto di Swiss, sepanjang Indonesia
mengajukan permintaan resmi dan terlebih dahulu ada proses hukum terhadap
mantan Presiden Soeharto. Apabila proses dimaksud tidak dilaksanakan,
Pemerintah Swiss tidak bisa minta bantuan bank di Swiss untuk melakukan
investigasi. Pemerintah Swiss dapat membantu dalam konteks International Legal
Assistance (ILA) atau bantuan hukum internasional. Tanpa adanya permintaan
99Lihat antara lain Neraca, 19 November 1998 yang memuat pemberitaan berjudul
”Kalangan Bankir Sesalkan Prosedur Pengusutan Rekening Soeharto”.
100Republika, 20 Mei 1999, hal. 3.
Pembukaan rahasia..., Muchlis Kusetianto, FHUI, 2009
74
Universitas Indonesia
bantuan hukum internasional dari Pemerintah Indonesia, Pemerintah Indonesia
tidak memiliki dasar hukum. Menurut Fonjallaz, apabila ada permintaan, maka hal
itu harus dipenuhi dan Pemerintah Swiss menyelidiki rekening tertentu yang
dijamin kerahasiaannya. Lebih jauh Duta Besar Swiss tersebut mengemukakan,
bahwa Pemerintah Swiss juga tidak mengharapkan ada uang bermasalah disimpan
di Swiss, karena hal itu menyangkut reputasi Swiss.101 Swiss Law on International
Mutual Legal Assistance (IMAC) yang berlaku sejak tahun 1981 memberikan
kesempatan kepada setiap negara, termasuk Indonesia, untuk memperoleh legal
assistance dari Pemerintah Swiss dengan syarat: Pertama, kejahatan yang
dituduhkan terhadap Soeharto harus merupakan perbuatan yang dapat dihukum di
Swiss (double criminality). Kedua, ada beberapa pengecualian yang tidak
termasuk dalam “legal assistance” ini, misalnya untuk kasus yang bersifat politis,
militer dan ketidakmampuan membayar pajak.
Tampaknya kasus ini diperlakukan Pemerintah RI sebagai kasus tindak
pidana dan bukan sebagai kasus politis, sehingga Pemerintah Swiss bersedia untuk
membantu. Kesediaan Pemerintah Swiss untuk membantu ditegaskan oleh Juru
Bicara Kementerian Luar Negeri Swiss, Livio Zanolari, pada hari Kamis, 4
Januari 2001, saat bertemu dengan Menteri Luar Negeri Indonesia. Janji
membantu ini akan dilaksanakan secepatnya segera setelah ada permohonan resmi
dari Jakarta.102
Untuk memecahkan masalah tersebut, Presiden Habibie mengirimkan
Menteri Kehakiman dan Jaksa Agung untuk melakukan penelitian kekayaan
mantan Presiden Soeharto di Swiss dan Austria, tetapi nampaknya belum
membawa hasil yang diharapkan. Walaupun demikian, menurut Menteri
Kehakiman, Pemerintah Swiss dan Austria berjanji untuk memberikan bantuan.
Di samping itu, Kejaksaan Agung juga menyampaikan surat kepada Gubernur
Bank Indonesia tangal 1 Juni 1999 yang meminta data transfer uang dari
101Republika, 30 Mei 1999, hal. 1.
102Kompas, 5 Januari 2001, hal. 1.
Pembukaan rahasia..., Muchlis Kusetianto, FHUI, 2009
75
Universitas Indonesia
Indonesia ke Swiss/Austria atas nama mantan Presiden Soeharto atau putra-
putrinya maupun oleh kroninya. Surat tersebut hanya ditandatangani oleh Jaksa
Agung Muda Pembinaan, atas nama Jaksa Agung. Secara yuridis permintaan
tersebut tidak dapat dipenuhi karena tidak sesuai dengan ketentuan Undang-
Undang Perbankan dan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia tentang
Persyaratan dan Tatacara Pemberian Izin Atau Perintah Membuka Rahasia Bank,
tanggal 31 Desember 1998. Menurut Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia
tersebut, permintaan informasi yang bersifat rahasia bank harus disampaikan oleh
Jaksa Agung dengan mencantumkan: nama jaksa yang menyidik, nama
tersangka/terdakwa, keterangan yang diminta, nama kantor bank tempat
tersangka/terdakwa memiliki rekening, maksud pemeriksaan dan hubungan
perkara pidana dengan keterangan yang diperlukan. Permintaan Kejaksaan Agung
tersebut tidak memenuhi persyaratan dimaksud, misalnya tidak menyebut
tersangka, tidak menyebut jaksa penyidiknya dan tidak ditandatanganinya oleh
Jaksa Agung. Sebagai jalan keluar, sebaiknya mantan Presiden Soeharto, putra-
putrinya dan kroninya memberikan kuasa kepada Kejaksaan Agung untuk
memperoleh informasi mengenai rekening simpanannya di bank atau mantan
Presiden Soeharto dijadikan sebagai tersangka terlebih dahulu.
Pembukaan rahasia..., Muchlis Kusetianto, FHUI, 2009