245
BAB 7
ORANG WOKRWANA DAN PERKEBUNAN
SAWIT: PERSPEKTIF LIVELIHOOD DAN
COLLECTIVE ACTION
Bab ini berisikan analisa dan refleksi mengenai keberadaan
perkebunan kelapa sawit dan kehidupan Orang Kampung Workwana
Distrik Arso, Kabupatan Keerom dalam perspektif Livelihood. Analisa
dan refleksi ini difokuskan pada pengalaman penduduk setempat
memperjuangkan Livelihood yang berkelanjutan disoroti dari dua hal.
Pertama, disajikan sebuah penjelasan dan diskusi mengenai latar
belakang dan bentuk-bentuk resistensi penduduk terhadap sistem
perkebunan kelapa sawit dan dampaknya dilihat dalam rangka
memperjuangkan Livelihood berkelanjutan. Resistensi penduduk
dalam tulisan ini juga mau disoroti dan direfleksikan dalam perspektif
collective action. Kedua, analisa dan refleksi ini mengulas perjuangan
penduduk setempat yang berusaha melakukan strategi coping (coping strategies) dalam memperjuangkan Livelihood-nya. Seluruh bagian
analisa dan refleksi ini diawali dengan mengangkat secara garis besar
visi paradigma pembangunan berkelanjutan dan visi pembangunan
Provinsi Papua.
Pembangunan Berkelanjutan di Papua
Visi pembangunan Papua menuju terwujudnya Papua Baru
menurut Suebu (2007), mengandung prinsip kesinambungan,
keseimbangan, efisiensi, efektivitas, kemandirian dan akuntabilitas.
Prinsip-prinsip pembangunan tersebut sesungguhnya merujuk pada
Undang Undang (UU) R.I, Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi
Khusus Bagi Provinsi Papua. Dalam undang-undang tersebut pasal 63,
TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua
246
terdapat pokok tentang Pembangunan Berkelanjutan dan Lingkungan
Hidup. Pasal ini menyebutkan bahwa pembangunan di Provinsi Papua
dikembangkan berdasarkan prinsip pembangunan berkelanjutan,
pelestarian lingkungan, manfaat dan keadilan dengan memperhatikan
rencana tata ruang wilayah. Kemudian pada pasal 64, tertulis bahwa
pemerintah berkewajiban melakukan pengelolaan lingkungan hidup,
melindungi sumber daya alam, ekosistem, cagar budaya dan
keanekaragaman hayati serta memperhatikan hak-hak masyarakat adat
untuk sebesar-besarnya kesejahteraan penduduk. Jadi secara prinsipil
dapat dikatakan spirit pembangunan Papua berdasarkan UU No. 21
Tahun 2001 mengandung paradigma pembangunan berkelanjutan
(Sustainable Development) sesuai dengan semangat awal The World Commision on Environment and Development (WCED) yang digagasi
oleh Gro Harlem Brundtland [Bdk. Escobar, 1995; Munck & O’Hearn,
(Edit.) 1999; Mahinney, 2002; Willis, 2005; Rist, 2008]. Berkaitan
dengan gagasan-gagasan pembangunan berkelanjutan, di bawah ini
dimuat penjelasan-penjelasan yang menurut hemat penulis relevan
bagi kita.
Mitchell (1997:31-35), menjelaskan konsep pembangunan
berkelanjutan (sustainable development) dipopulerkan oleh World Commission on Environment and Development pada tahun 1987 yang
diketuai oleh Gro Harlem Bruntland, Perdana Menteri Norwegia saat
itu. Oleh sebab itu komisi tersebut kemudian dinamakan komisi
Brundtland. Dalam laporannya tentang Masa Depan Bersama di Sidang
Perserikatan Bangsa-Bangsa, Brundtland mengemukakan dua hal
penting, yaitu, pertama, perlunya strategi lingkungan jangka panjang
untuk mencapai pembangunan berkelanjutan; kedua, mengidentifikasi
bagaimana hubungan antarmanusia, sumber daya, lingkungan dan
pembangunan yang terintegrasi dalam kebijakan nasional dan
internasional.
Pembangunan berkelanjutan sebagai suatu paradigma
pembangunan yang sarat makna, mengandung unsur-unsur
fundamental, berorientasi pada kepentingan baik manusia maupun
lingkungan hidup tempat di mana semua makhluk serta sumber daya
Orang Workwana dan Perkebunan Sawit: Perspektif Livelihood dan Collective Action
247
alam berada dan selalu tercukupkan saat ini dan di masa depan. Berikut
akan dikemukakan beberapa pemikiran atau pandangan para
pemerhati masalah pembangunan dan lingkungan serta sumber daya
alam. Misalnya, Tietenberg (2003:95-96) menyatakan bahwa dalam
konsep pembangunan, ada dua hal penting yang dapat digunakan
untuk menginterpretasikan kembali kriteria berkelanjutan terkait
dengan keberadaan sumber daya alam. Pertama, perihal pengalokasian
atau ketersediaan modal secara total tanpa pengurangan nilai dan
teruji. Kedua, perlunya menganalisis atau membandingkan hasil
produksi yang berkelanjutan sebagai investasi yang tidak berkurang.
Berdasarkan konsern yang demikian, Tietenberg (2003:553-560),
kemudian mencatat paham pembangunan berkelanjutan sebagaimana
yang telah dirumuskan oleh Komisi Brundtland sebagai berikut:
“Sustainable development is development that meets the needs of the present withouth compromising the ability of future generations to meet their own needs”.
Sehubungan dengan paham pembangunan berkelanjutan,
Tietenberg pun menawarkan beberapa skenario yang dapat dilakukan
sehubungan dengan bagaimana mencermati persoalan pembangunan
berkelanjutan dan pertumbuhan. Salah satu skenario yang disebut
antara lain yaitu, konsern bukan saja pada tingkat kesejahteraan saat
ini tetapi kesejahteraan yang bertumbuh secara berkelanjutan.
Selanjutnya ia mengatakan bahwa ada 3 (tiga) hal penting yang perlu
diperhatikan bila berbicara tentang pembangunan berkelanjutan, yaitu:
pertama, aspek kesejahteraan berkelanjutan secara eksistensial; kedua,
aspek besarnya tingkat kesejahteraan berkelanjutan sekarang ini
berkaitan langsung dengan tingkat kesejahteraan yang akan datang;
ketiga, tindakan-tindakan generasi sebelumnya mempunyai sensivitas
tertentu terhadap tingkat kesejahteraan generasi yang akan datang. Di
sisi lain Komisi Brundtland (Mitchell, 2003:31-35) mengungkapkan
juga bahwa, dalam kenyataan kegiatan-kegiatan pembangunan telah
mengakibatkan munculnya banyak kemiskinan dan kemerosotan serta
kerusakan lingkungan sehingga perlu diusahakan suatu jalan baru
pembangunan yang akan membawa kemajuan kemanusiaan bagi
seluruh dunia. Berdasarkan pemikiran tersebut komisi ini mencatat
TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua
248
dua konsep kunci pembangunan berkelanjutan yang perlu
diperhatikan, yaitu pertama, terkait soal kebutuhan, khususnya
kebutuhan para fakir miskin di negara berkembang; kedua, adanya
keterbatasan teknologi dan organisasi sosial berhubungan dengan
kapasitas lingkungan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia
sekarang ini dan di masa depan.
Dengan menyadari hakekat dan implikasi pembangunan
berkelanjutan maka komisi tersebut kemudian merumuskan pokok-
pokok pikiran yang dapat digunakan untuk mengembangkan
kebijakan pembangunan dan lingkungan. Pokok-pokok pikiran
dimaksud adalah memikirkan kembali makna pembangunan,
mengubah kualitas pertumbuhan, memenuhi kebutuhan dasar akan
lapangan kerja, makanan, energi, air dan sanitasi, kemudian menjamin
terciptanya keberlanjutan pada setiap tingkat pertumbuhan penduduk,
mengkonservasi dan meningkatkan sumber daya, mengubah arah
teknologi dan mengelola resiko, memadukan pertimbangan lingkungan
dan ekonomi dalam pengambilan keputusan.
Selain pikiran-pikiran di atas kita juga perlu melihat perspektif
etis pembangunan dan lingkungan. Perspektif etis dimaksud diambil
antara lain dari pikiran-pikiran Denis Goulet dan Sony Keraf. Terkait
dengan pemikiran ke dua ahli etika tersebut, pertama akan dibicarakan
secara singkat pertimbangan-pertimbangan etis Denis Goulet terhadap
masalah-masalah pembangunan pada umumnya. Kemudian
pembahasan dilanjutkan dengan mengedepankan pemikiran Sony
Keraf yang menyoroti masalah pembangunan lingkungan di Indonesia.
Menurut Goulet (1995:11-19) kebijakan-kebijakan pembangunan yang
bersifat etis memperhatikan 3 (tiga) rasionalitas. Menurut Goulet, yang
dimaksud dengan rasionalitas dalam perspektif etika pembangunan
adalah suatu prosedur cara berpikir yang menyeluruh sebagai asumsi-
asumsi berpikir yang bersifat metodologis; suatu bangunan kriteria
yang tetap benar dan valid. Menurutnya rasionalitas ada tiga, yaitu
rasionalitas teknis, rasionalitas politis dan rasionalitas etis. Pertama,
rasionalitas teknis. Tujuan rasionalitas ini ialah menyelesaikan sesuatu
dengan tindakan-tindakan konkret dan menggunakan pengetahuan-
Orang Workwana dan Perkebunan Sawit: Perspektif Livelihood dan Collective Action
249
pengetahuan teknis untuk memecahkan persoalan pembangunan.
Dengan demikian segala sesuatu yang menghalangi tujuan
pembangunan dari sisi kepentingan rasionalitas teknis akan
disingkirkan. Kedua, tujuan rasionalitas politis adalah agar institusi
politik tertentu tetap eksis dan berperan serta dalam mempertahankan
posisi. Pendekatannya ialah melakukan kompromi-kompromi,
negosiasi, akomodasi dengan cara-cara yang ramah dan menarik.
Ketiga, rasionalitas etis ingin mengedepankan nilai-nilai yang berpihak
pada manusia. Pendekatannya adalah memberi pertimbangan tentang
sesuatu itu baik atau buruk, wajar atau tidak wajar, benar atau salah.
Logikanya bisa bersifat keras, bisa pula lunak. Jadi menurut Goulet
apabila pembangunan dilakukan hanya dengan mengutamakan salah
satu rasionalitas, maka akan terjadi proses pereduksian makna antar-
rasionalitas dan akan mengakibatkan terciptanya ketimpangan dalam
pembangunan yang dapat berakibat merugikan manusia. Untuk itu
dibutuhkan suatu interaksi yang mutualistis antar-ketiga rasionalitas
tersebut. Artinya, ketiga rasionalitis hendaknya berperan dan berfungsi
setara, masing-masing rasionalitas mempunyai kontribusi dalam
melihat persoalan pembangunan pada umumnya. Berikut ini akan
diberikan contoh lain tentang perspektif etis dalam pembangunan
berkaitan dengan lingkungan merujuk pada pemikiran Keraf (2006).
Selanjutnya, menurut Keraf (2006:168-173), ada 3 (tiga) hal
penting yang perlu diperhatikan ketika berbicara mengenai
pembangunan yaitu, aspek ekonomi, aspek sosial-budaya dan aspek
lingkungan hidup. Perhatian pada ketiga aspek tersebut
mengisyaratkan adanya suatu cara pandang yang menyeluruh dan
terintegrasi berkaitan dengan berbagai aspek kehidupan manusia yang
saling memengaruhi dan saling menentukan satu terhadap yang lain.
Dikatakan oleh Keraf bahwa pandangan ini ingin menyadarkan kita
bahwa, apabila salah satu aspek saja yang diperhatikan dan diberi posisi
yang dominan sementara aspek lain diabaikan maka, kecenderungan
tersebut akan melahirkan gangguan-gangguan yang berakibat pada
munculnya realitas ketimpangan serta kerusakan baik lingkungan
maupun hidup manusia. Agar tidak terjadi kerusakan dan gangguan
dalam berbagai aspek kehidupan manusia maka paradigma
TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua
250
pembangunan yang integratif dan holistik, mau tak mau harus
ditempatkan dalam semangat dan prinsip pembangunan yang disebut
pembangunan berkelanjutan. Dikatakan juga oleh Keraf (2006:175-
188), suatu paradigma dan praktek pembangunan yang bersifat
berkelanjutan harus ditandai oleh prinsip-prinsip berikut ini. Pertama,
prinsip demokrasi. Prinsip ini menginginkan agar aspirasi masyarakat
menjadi dasar implementasi pembangunan dan bukan kehendak
penguasa atau partai politik tertentu demi terwujudnya kepentingan
bersama dan bukan kepentingan individu atau kelompok. Untuk itu
diperlukan adanya komitmen serta mekanisme politik yang
memungkinkan prinsip pembangunan berkelanjutan diwujudkan atau
direalisasikan. Prinsip ini juga mengandaikan adanya partisipasi
masyarakat dalam merumuskan kebijakan pembangunan agar
kepentingannya diakomodir, agenda pembangunan yang transparan
dan bersifat akuntabilitas. Sejalan dengan Keraf, Soedjatmoko (1985)
menyatakan pembangunan yang demokratis merupakan pembangunan
yang mendukung, kebebasan dan martabat manusia. Kedua, prinsip
keadilan. Prinsip ini mau menempatkan semua orang dan kelompok
dalam peluang yang sama dalam proses pembangunan termasuk
menikmati hasil-hasilnya. Itu berarti dalam menerapkan prinsip
keadilan tidak ada orang dan kelompok yang diperlakukan secara
istimewa oleh negara. Dengan kata lain semua orang atau kelompok
harus mempunyai peluang dan akses yang sama terhadap sumber-
sumber ekonomi yang diatur negara. Pikiran Keraf tentang prinsip
keadilan yang memberi peluang dan akses bagi seseorang atau
sekelompok orang sesuai dengan pikiran Sen (1999). Menurut Sen,
pembangunan sebagai kebebasan memberi akses kepada seseorang atau
sekelompok orang untuk memperoleh pekerjaan, pendidikan,
kesehatan, kehidupan ekonomi dan sosial yang aman dan ada
kesetaraan secara politik. Dalam konteks ini juga berlaku prinsip
bahwa orang atau kelompok yang mendapat manfaat ekonomi paling
besar, harus menanggung kerugian yang besar atau membayar secara
proporsional kerusakan yang diakibatkan oleh apa yang dilakukannya
terhadap lingkungan yang tercemar atau rusak. Ketiga, prinsip
keberlanjutan. Prinsip ini mengandung paham bahwa pembangunan
Orang Workwana dan Perkebunan Sawit: Perspektif Livelihood dan Collective Action
251
yang dilaksanakan harus mempertimbangkan aspek sumber daya
ekonomi, sosial budaya dan lingkungan dalam jangka panjang. Dengan
demikian empat prinsip berikut mengharuskan kita memilih alternatif
pembangunan, yaitu yang hemat terhadap sumber daya, hemat dalam
penggunaan energi, meminimalkan adanya limbah dalam setiap
kegiatan pembangunan dan produksi ekonomi serta adanya prinsip
keadilan bagi generasi-generasi berikutnya secara berkelanjutan.
Sehingga kita terhindarkan dari kerugian-kerugian material, spiritual,
sosial-budaya dan terwujud kehidupan yang bermutu.
Dengan begitu dapat dikatakan Mitchell membicarakan
persoalan pembangunan berkelanjutan dari sisi manajemen sedangkan
Goulet dan Keraf menyorotinya secara etis. Menurut hemat penulis,
pandangan-pandangan tersebut penting untuk dirujuk sebagai dasar-
dasar pertimbangan baik dalam manajemen perencanaan maupun
dalam implementasi pembangunan, serta prinsip-prinsip etis yang
digunakan, karena akan membantu mengarahkan kita baik dalam
gagasan maupun dalam praktek pembangunan sesuai dengan semangat
dan paradigma pembangunan berkelanjutan. Dalam konteks
pembangunan berkelalanjutan inilah gagasan pembangunan Papua
Baru dan pembangunan di Kampung Workwana mau dilihat.
Visi Pembangunan Papua
Realitas kesenjangan hidup yang dialami orang Papua di
kampung-kampung ditandai oleh keadaan tertinggal, miskin, tanpa
akses, tanpa infrastruktur dengan tingkat kemahalan yang luar biasa.
Kondisi yang demikian sesungguhnya berbading terbalik dengan
potensi obyektif alam dan daerah yang amat kaya, sehingga dilukiskan
oleh Suebu (2007) dengan istilah “Paradoks Papua”. Paradoks Papua
dilukiskan sebagai berikut. Di satu sisi realitas Papua yang tertinggal,
miskin, tanpa akses, tanpa infrastruktur dengan tingkat kemahalan
yang luar biasa memiliki keunggulan-keunggulan, yaitu status otonomi
khusus, penduduk sedikit, uang pembangunan tersedia, keadaan alam
yang kaya di sisi lain. Sedangkan Enembe (2015) menyebutnya sebagai
TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua
252
persoalan “7K”, di Papua. Fenomena 7K, ialah kemiskinan,
ketertinggalan, keterisolasian, kemahalan, kebodohan, ketersisihan dan
kematian.
Mengacu pada fenomena paradox Papua dan permasalahan 7K
Papua yang disebut di atas muncul beberapa pertanyaan yang dapat
ditelaah lebih jauh. Misalnya, sejauh mana keunggulan-keunggulan
Papua sudah dimanfaatkan secara maksimal dalam pembangunan
untuk meningkatkan kesejahteraan hidup orang Papua secara
berkelanjutan? Mengapa sampai saat ini persoslan 7K masih merupakan
masalah aktual pembangunan Papua? Apa saja hambatan dalam
pembangunan berkelanjutan di Papua? Paradigma pembangunan apa
yang dominan dikembangkan di Papua dan mengapa demikian?
Strategi pembangunan apa yang dibutuhkan untuk terwujudnya Papua
bangkit, mandiri dan sejahtera dalam perspektif pembangunan
berkelanjutan?
Sesungguhnya masih terdapat banyak pertanyaan penting dan
mendasar yang bisa diangkat terkait dengan permasalahan
pembangunan di Papua. Beberapa pertanyaan yang sudah dimunculkan
di atas ini dapat dianalogikan sebagai puncuk gunung es di atas lautan
persoalan pembangunan yang ada di Papua. Menurut hemat penulis,
berdasarkan fenomena paradox Papua dan permasalahan 7K di atas
secara eksistensial, maka Suebu dan Enembe mencoba menggagasi
orientasi baru pembangunan Papua yang dimulai dari kampung.
Menurut UU No 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua, Bab I,
Ketentuan Umum, Pasal 1 huruf J, menyebutkan istilah kampung
digunakan untuk menggantikan istilah desa. Orientasi dan strategi baru
pembangunan Papua yang lebih adil, bangkit, mandiri dan sejahtera
dilatarbelakangi dua alasan (Muridan, dkk, 2009; Dale & Djonga, 2011,
Suebu, 2011; Tebay, 2012; Enembe, 2016]. Pertama, selama ini kurang
ada perhatian terhadap masyarakat di kampung-kampung yang
menyebabkan masyarakat tetap miskin dan terbelakang. Kedua,
sebagian besar orang asli Papua berdiam di kampung-kampung
terpencil dalam keadaan miskin dan terbelakang.
Orang Workwana dan Perkebunan Sawit: Perspektif Livelihood dan Collective Action
253
Maka gagasan Papua Baru (Suebu, 2007) dirumuskan kembali
oleh Enembe (2016) sebagai visi pembangunan yang disebut Papua
Bangkit, Mandiri dan Sejahtera. Visi pembangunan tersebut ingin
diwujudkan melalui kebijakan-kebijakan strategis yakni melalui
Pengelolaan Dana dan Penataan Otonomi Khusus, Gerbangmas Hasrat
Papua dan Menuju PON XX 2020. Sedangkan salah satu strategi
pembangunan kampung disebut sebagai Program Strategis
Pembangunan Ekonomi Kampung (PROSPEK).
Harapan ke Depan
Suebu (2007), melalui buku, Kami Menanam, Kami Menyiram, Tuhanlah Yang Menumbuhkan, berusaha mengemas pokok-pokok
pikirannya mengenai persoalan pembangunan Papua yang diharapkan
dapat digunakan sebagai salah satu acuan bersama membangun Papua
baru yang lebih adil dan sejahtera. Suebu pun menyatakan harapannya
dalam tulisan tersebut agar para bupati/walikota, pimpinan instansi
pemerintah tingkat provinsi dan kabupaten/kota serta masyarakat
mengetahui dan menggunakannya sebagai salah satu sumber untuk
mengembangkan program pelayanan masyarakat yang semakin baik
khususnya masyarakat yang hidup di kampung-kampung di seluruh
tanah Papua. Kemudian Suebu menggagasi konsep pembangunan
Papua melalui beberapa kebijakan dasar yaitu, pembangunan yang
bertumpu pada pertumbuhan (Growth Centered Development), bertumpu pada kepentingan rakyat (People Centered Development) dan memelihara stabilitas (Development stability) serta
kesinambungan pembangunan (Development Continuity). Kebijakan
dasar tersebut dilaksanakan berdasarkan 6 (enam) prinsip yaitu
kesinambungan, keseimbangan, efisiensi, efektivitas, kemandirian dan
akuntabilitas. Berdasarkan strategi dan prinsip tersebut dicetuskanlah 4
(empat) agenda utama pembangunan Papua yakni, menata kembali
pemerintah daerah (good governance), membangun Tanah Papua yang
damai dan sejahtera secara adil dan merata bagi semua; dengan titik
berat perhatian pada daerah pedesaan, terpencil dan rakyat miskin di
daerah perkotaan; membangun Tanah Papua yang aman dan damai,
TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua
254
disiplin, taat hukum dan menjunjung tinggi hak-hak azasi manusia;
meningkatkan dan mempercepat pembangunan prasarana dasar
(infrastruktur) di seluruh tanah Papua (darat, laut, udara), tersedianya
air bersih, energi dan sistem telekomunikasi yang memadai bagi
seluruh rakyat. Oleh karena itu dengan Paradoks Papua ia mau
mengungkapkan dua realitas yaitu, penduduk yang miskin (80%) di
atas kekayaan alam yang luar biasa. Padahal menurut Suebu, Papua
mempunyai empat keunggulan (status otonomi khusus, jumlah
penduduk yang sedikit, dana pembangunan tersedia, kekayaan alam)
yang dapat dipakai untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk.
Maka salah satu program utama pembangunan di masa
kepemimpinannya ialah pembangunan kampung, yang disebut
Rencana Strategis Pembangunan Kampung (RESPEK). RESPEK
difokuskan pada perbaikan makanan dan gizi, pelayanan kesehatan,
pendidikan dasar, perekonomian rakyat, perumahan dan infrastruktur
kampung. Selain RESPEK, perhatiannya juga tertuju pada
pembangunan sumber daya manusia Papua, infrastruktur dan investasi,
tetap menjadi bagian penting komitmen pembangunannya selama masa
kepemimpinan tahun 2006-2011.
Setelah masa kepemimpinan Suebu dan Hesegem, gagasan
pembangunan mewujudkan wajah baru Papua yang lebih baik ke
depan diteruskan oleh Gubernur Lukas Enembe bersama Wakil
Gubernur Klemen Tinal (20013-2018). Keduanya menggagasi visi
pembangunan, Papua Bangkit, Mandiri dan Sejahtera.Visi tersebut
diuraikan secara luas oleh Lukas Enembe, dalam buku Papua, Antara Uang dan Kewenangan (2016). Menurut Enembe, ada tiga pilar utama
pembangunan Papua, yaitu lembaga pemerintahan sebagai eksekutif
(Gubernur), legislatif (DPR) dan Majelis Rakyat Papua (MRP), sebagai
representasi kultural Orang Asli Papua (OAP). Menurut Enembe,
komunikasi yang lebih intensif diharapkan berlangsung di antara
ketiga lembaga ini karena ketiganya mempunyai peran signifikan
dalam membangun Papua. Ketiga lembaga tersebut diajak Enembe
untuk bersama-sama menggumuli perasaan dan nuansa batin rakyat
Papua yang tinggal di kampung-kampung, rawa-rawa, lembah dan
gunung, pesisir pantai dan pulau-pulau terpencil serta daerah
Orang Workwana dan Perkebunan Sawit: Perspektif Livelihood dan Collective Action
255
perbatasan. Dikatakan oleh Enembe, mereka semua menaruh harapan
besar kepada tiga lembaga ini dan ia merasa berdosa ketika
meninggalkan atau menghancurkan harapan-harapan mereka. Ada
dua agenda besar pembangunan Papua Bangkit, Mandiri dan Sejahtera.
Pertama, bagaimana orang Papua bangkit dan tampil berperan dalam
berbagai sektor kehidupan, berani menghadapi tantangan dan
bertanggung jawab; Kedua, membangun kemandirian yang
bertitiktolak dari membangun kemajuan ekonomi rakyat Papua.
Karena kemandirian mengandaikan saling membutuhkan dan
keterbukaan antara pusat dan daerah. Maka kemandirian di sini berarti
memberi kesempatan kepada rakyat Papua merencanakan,
melaksanakan dan mengelola sumber daya alam di wilayahnya secara
mandiri dan bertanggung jawab untuk kesejahteraan rakyat Papua.
Berdasarkan visi dan agenda pembangunan yang demikian, salah satu
fokus perhatian program pembangunan yang dikembangkan Enembe
ialah mengurangi persoalan yang disebut “7K”, yaitu kemiskinan,
ketertinggalan, keterisolasian, kemahalan, kebodohan, ketersisihan dan
kematian. Menurut Enembe, persoalan 7K tersebar secara merata di
seluruh Papua. Fenomena 7K tersebut dapat dilihat pada Gambar 7.1 di
bawah ini yang ditandai dengan 7 tanda panah, meliputi seluruh
wilayah Provinsi Papua.
Gambar 7.1. Permasalahan 7 K Papua
7 K PAPUA
TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua
256
Maka menurut Enembe, “Gerakan Bangkit Mandiri dan Sejahtera
Harapan Seluruh Rakyat Papua (Gerbangmas Hasrat Papua), berfokus
pada: (1) Generasi Emas Papua (Gemas Papua): prioritas menuntaskan
buta aksara dan tuntutan wajib belajar 9 tahun, jaminan 1000 hari
pertama kehidupan pada kualitas anak dalam pelayanan kesehatan dan
asupan gizi sejak janin dalam kandungan sampai berusia dua tahun,
peningkatan prestasi olahraga, seni dan budaya serta pengembangan
daya saing SDM Papua; (2) Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat
(Berdaya Emas): prioritas pada program strategis pembangunan
ekonomi dan kelembagaan kampung (PROSPEK); (3) Percepatan
Pembangunan Infrastruktur dan Prasarana Dasar; (4) Reformasi
Birokrasi dan Tata Kelola Pemerintahan. Berdasarkan visi, agenda
besar dan strategi pembangunan tersebut di atas dibuatlah kebijakan
skema penggunaan dana OTSUS 80:20, yakni 80% dana dikelola
kabupaten dan 20% dikelola provinsi. Anggaran tersebut digunakan
dengan sasaran, pengembangan dan pelayanan bidang pendidikan,
kesehatan, pemberdayaan ekonomi rakyat dan pemenuhan
infrasrtuktur dasar. Dengan demikian diharapkan dampak
pembangunan akan lebih dirasakan oleh masyarakat Papua yang
berada di daerah, khususnya mereka yang hidup di pelosok-pelosok
kampung bukan yang ada di provinsi. Menurut Enembe, filosofi
PROSPEK bukan sekedar pengalokasian dana ke kampung-kampung
tetapi yang utama ialah menempatkan masyarakat sebagai subyek
pembangunan yang diimplementasikan dengan Pendekatan Kampung
Terpadu (PKT). PKT dilakukan melalui pemetaan komoditas unggulan
daerah, perubahan pola pikir yang terintegrasi tanam, petik, olah dan
jual, melibatkan seluruh SKPD, Kementerian dan Lembaga serta mitra
pembangunan BUMN dan BUMD.
Visi pembangunan Papua Baru, Bangkit Mandiri dan Sejahtera
yang berorientasi pada kampung-kampung dengan strategi Gerakan
Bangkit Mandiri dan Sejahtera Harapan (Gerbangmas Hasrat Papua)
melalui pendekatan PROSPEK dapat dikatakan memberi sejumlah
harapan. Namun menurut penulis harus dikatakan pula sejatinya
terdapat beberapa ganjalan yang bersifat politis dan paradigmatis
tentang pembangunan Papua yang holistik dan berkelanjutan.
Orang Workwana dan Perkebunan Sawit: Perspektif Livelihood dan Collective Action
257
Pertama, belum tersedianya payung hukum sebagai peraturan
pelaksanaan berbentuk Peraturan Daerah Provinsi (PERDASI) maupun
Peraturan Daerah Khusus (PERDASUS) serta aturan turunannya secara
menyeluruh dan terintegrasi di tingkat provinsi, kabupaten dan kota
yang meliputi aspek pembangunan manusia, ekonomi atau
kesejahteraan dan lingkungan hidup sebagai panduan pembangunan
daerah. Kedua, adanya tarik menarik kepentingan politik
pembangunan antara pusat dan daerah serta antara paradigma
pembangunan berkelanjutan dan paradigma pertumbuhan yang
melibatkan intervensi korporasi besar nasional dan transnasional yang
berakibat pada pelanggaran hak-hak dasar masyarakat (Frangky &
Morgan, 2015). Ketiga, terbatasnya pemahaman masyarakat, birokrat,
politisi dan mitra pembangunan lain tentang paradigma pembangunan
berkelanjutan sehingga rasionalitas politis dan teknis lebih menonjol
daripada rasionalitas etis. Keempat, belum diselesaikannya secara
hukum masalah-masalah pelanggaran HAM di Papua dan persoalan
politik Papua melalui dialog Papua Jakarta sehingga menimbulkan
sikap apriori masyarakat terhadap pemerintah. Kelima, Pendekatan
strategi affirmative action yang lebih terbuka dan mandiri melalui
revisi Undang-undang No. 21/2001 tentang Otonomi Khusus Papua
(Enembe, 2016) yang berlarut-larut menimbulkan kecurigaan
masyarakat terhadap pemerintah pusat, yakni pemerintah tidak serius
membangun Papua dan hal ini berdampak pada partisipasi masyarakat
dalam pembangunan.
Berdasarkan latar belakang keadaan, tujuan dan strategi
pembangunan Papua serta kendala-kendala yang ada sebagaimana
digambarkan di atas, studi kasus tentang pengembangan kelapa sawit di
Kampung Workwana mau dianalisis dan direfleksikan dari perspektif
Sustainable Livelihood (Kristian Ansaka dkk., 2009, 329-330; Muridan
S. Widjoyo, dkk., 2009; Dale & Djonga, 2011; Tebay, 2012; Majalah
Honai, 2013).
Sesudah melihat pokok-pokok gagasan pembangunan Papua Baru
menurut Suebu dan Enembe, berikut ini dibuat suatu skema visi
pembangunan Papua Baru dimaksud yang telah dijelaskan di atas.
TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua
258
OTSUS
Gambar 7.2
Latarbelakang dan Tujuan Pembangunan Papua
Workwana dan Realitas Pembangunan
Kampung Workwana sebagai bagian dari Kabupaten Keerom
dan Provinsi Papua diharapkan berkembang juga menuju Papua Baru
yang adil, sejahtera, bangkit dan mandiri. Cita-cita menuju Papua Baru,
didekati dengan pembangunan di bidang ekonomi melalui perkebunan
kelapa sawit, diharapkan berdampak pada aspek kehidupan lain
penduduk setempat. Setelah 32 tahun kelapa sawit dikembangkan di
daerah Keerom, Distrik Arso mengalami perubahan dan perkembangan
sebagai sebuah proses transformasi yang amat berarti dalam berbagai
aspek kehidupan penduduk di daerah tersebut. Akan tetapi
transformasi tersebut sekaligus juga telah menciptakan konflik sosial,
krisis serius yang multidimensi. Krisis tersebut kemudian menjadi
ongkos sosial dan ekonomi yang begitu mahal sebagai beban luar biasa
penduduk setempat. Akibat pendekatan pembangunan yang demikian,
muncullah sikap resistensi penduduk sebagai bentuk sebuah gerakan
sosial masyarakat adat sebagai colletive action. Berikut dibuat suatu
analisa dan refleksi mengenai permasalahan yang disebutkan.
Refleksi atas Resistensi dan Konflik dengan PTPN II
Kesuksesan Indonesia sebagai salah satu negara produsen
minyak kelapa sawit dunia tidak diikuti oleh kisah keberhasilan dan
kesejahteraan masyarakat lokal sebagai petani kelapa sawit atau buruh
Paradoks Papua (Suebu, 2007) & Papua: AntaraUang& Kewenangan (Enembe, 2016)
Papua Baru: adil, damai, sejahtera, bangkit&mandiri
RESPEK (Suebu) dan PROSPEK (Enembe)
Orang Workwana dan Perkebunan Sawit: Perspektif Livelihood dan Collective Action
259
tani pemilik hak ulayat. Justru yang dialami penduduk lokal sebagai
akibat pengembangan industri kelapa sawit ialah terjadinya proses
pemiskinan penduduk asli setempat, pelanggaran hak sosial, ekonomi
dan budaya, hak azasi manusia, kerusakan lingkungan dan konflik-
konflik terkait lahan. Tahun 2010 Sawit Watch mencatat lebih dari 663
warga masyarakat berkonflik dengan lebih dari 172 perusahaan dan
106 orang ditangkap akibat konflik-konflik tersebut.
Konflik sumber daya alam (SDA) karena adanya eksploitasi
yang terjadi baik di Papua maupun di berbagai daerah lain di
Indonesia. Seperti dijelaskan oleh Kompas (16 Februari 2013) bahwa
konflik karena SDA berkaitan dengan usaha pertambangan, kehutanan
dan perkebunan terjadi meluas di 22 provinsi di seluruh Indonesia.
Data berikut menggambarkan konflik SDA dimaksud.
Tabel 7.1
Konflik Sumber Daya Alam di Indonesia
No Bidang Usaha Jumlah Kasus Luas lahan Keterangan
1. 2. 3.
Perkebunan Kehutanan Tambang
119 72 17
415.000 ha 1.3 juta ha 30.000 ha
Sumber: Kompas, 16 Februari 2013
Konflik-konflik terkait SDA sebagaimana digambarkan di atas
ternyata merupakan masalah yang serius karena berkaitan langsung
dengan nasib hidup rakyat, hak atas tanah, dan hutan serta sumber
daya penghidupan yang ada. Aditjondro (2003), juga melihat bahwa
penanganan konflik-konflik SDA cenderung mengidikasikan
terjadinya kekerasan dan bahkan adanya pelanggaran hak asazi
manusia HAM. Konflik berlatarbelakang kepentingan hak-hak
masyarakat setempat pun terjadi di Papua. Konflik-konflik antara
masyarakat dengan pemerintah dan perusahaan berkaitan dengan
penggunaan sumber daya hutan masyarakat dan penggunaan lahan-
lahan untuk pengembangan industri perkebunan, seperti digambarkan
di atas, jauh sebelumnya telah terjadi di daerah Keerom dan
Manokwari. Kedua tempat ini memang banyak mengisahkan persoalan
konflik antara masyarakat dan perusahaan karena pengembangan
kelapa sawit di Tanah Papua berawal dari kedua daerah ini.
TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua
260
Latarbelakang konflik atas tanah sebagaimana digambarkan di
atas dapat dilihat dari penjelasan berikut.Fauzi dan Bachriadi [dalam
Fauzi & Nurjaya (Penyunting), 2000], mengutip Aditjondro (1995),
melihat ada beberapa jenis persoalan konflik tanah di Indoensia. Jenis-
jenis konflik tersebut ialah, (1) konflik mayoritas-minoritas, yang
umum terjadi di Indonesia, (2) konflik antara warga negara dengan
negara, (3) konflik politis-ekologis, (4) konflik antara sistem ekonomi
yang berbeda, (5) konflik antara ekosistem-ekosistem, (6) konflik
antara sistem hukum yang berbeda. Berkaitan dengan konflik lahan
perkebunan masyarakat adat di Workwana dan beberapa kampung di
sekitarnya dengan pemerintah dan perusahaan kelapa sawit, sekurang-
kurangnya mengandung empat jenis konflik, sebagaimana dilihat oleh
Aditjondro. Jenis-jenis konflik tanah di wilayah ini dapat dikatakan
berbentuk, a. konflik antara warga negara dengan negara, b. konflik
politis-ekologis, c. konflik antara sistem-sistem ekonomi yang berbeda
dan d. konflik antara sistem hukum yang berbeda. Selanjutnya akan
direfleksikan konflik-konflik dimaksud dalam perspektif konflik tanah
ulayat penduduk dengan PTPN II dalam pengalaman penduduk di
Workwana.
Pertama, Konflik antara warga negara dan negara. Sebagaimana
diketahui bahwa PTPN II yang beroperasi di wilayah Distrik Arso di
bidang perkebunan sawit, merupakan sebuah badan usaha milik
negara. Sebagai BUMN di daerah PPTPN II, bekerja berdasarkan
regulasi-regulasi, seperti terkait dengan kontrak lahan yang cenderung
tidak berpihak pada rakyat atau masyarakat adat. Sejak awal
berdirinya, dikisahkan oleh penduduk bahwa dari pengalaman terlihat
jelas BUMN ini menggunakan aparat keamanan negara untuk menekan
penduduk memenuhi keinginan perusahaan dan memanfaatkan kuasa
pemerintah memanipulasi luas lahan masyatakat yang digunakan
untuk pengembangan perkebunan kelapa sawit di daerah Distrik Arso.
Fenomena ini terang benderang memperlihatkan wujud perlawanan
negara terhadap warga negara yang bersifat represif dan melanggar
hak-hak ekonomi, sosial dan budaya penduduk setempat (Dale &
Djonga, 2011). Pendekatan-pendekatan tersebut ternyata meninggal-
kan trauma dan luka batin yang mendalam di masyarakat terhadap
Orang Workwana dan Perkebunan Sawit: Perspektif Livelihood dan Collective Action
261
aparat keamaman, rasa benci yang luar biasa terhadap perusahaan dan
pemerintah dan rasa curiga berkepanjagan terhadap kegiatan dan
aktivitas baru dari luar. Gejolak psikologis dan sosial ini berdampak
pada relasi-relasi sosial masyarakat yang menyebakan penduduk
bersikap tertutup terhadap orang lain. Kecuali jika orang yang berelasi
dengan penduduk tersebut dilihat sebagai orang yang jujur, memahami
dan berpihak, orang yang dipercayai dan diyakini pro penduduk
setempat. Kedua, Konflik politik ekologis. Menurut penduduk
setempat pengalihfungsian hutan sebagai lahan sawit merupakan
sebuah kegiatan politik pemerintah di wilayah perbatasan melalui
pendekatan ekonomi. Dikatakan demikian oleh penduduk setempat
karena secara politik daerah ini ada di wilayah perbatasan yang harus
aman dari berbagai gangguan yang dilakukan oleh kelompok separatis
OPM. Karena itu alasan penanaman kelapa sawit merupakan
pendekatan keamaman politik ekologis yang tepat. Dengan kata lain
perkebunan kelapa sawit di daerah ini mempunyai dua fungsi yaitu,
fungsi manifest sebagai kegiatan ekonomi, tetapi juga mengandung
fungsi laten sebagai kegiatan politik bagi keamanan daerah perbatasan.
Dampaknya ialah partisipasi penduduk di bidang pembangunan
ekonomi melalui perkebunan sawit menyisahkan sikap resistensi
penduduk. Karena pendekatan politik ekologis daerah perbatasan ini
telah menimbulkan berbagai krisis dalam kehidupan penduduk
setempat, yaitu krisis ekonomi, krisis lingkungan, krisis kelembagaan
masyarakat, dan krisis sosial budaya dengan ongkos ekonomi dan sosial
yang luar biasa mahal (Sen, 2000; Aditjondro, 2003). c. konflik antara
sistem-sistem ekonomi yang berbeda. Krisis-krisis tersebut di atas, yang
ditimbulkan oleh beroperasinya perkebunan sawit di daerah ini
dilatarbelakangi oleh paradigma dan sistem pendekatan ekonomi
pertumbuhan atau production thingking, yang melihat hutan, tanah
dan manusia sebagai alat dan sumber produksi. Oleh sebab itu kelapa
sawit dilihat sebagai salah satu komoditi unggulan.yang dapat
memenuhi syarat produktivas dan pertumbuhan dimaksud. Dari
cirinya sistem pendekatan ekonomi pertumbuhan cenderung
mengabaikan paradigma pembangunan berkelanjutan karena sifatnya
yang ekstraktif dan mengabaikan sistem ekonomi lain, khusunya
TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua
262
sistem pendekatan ekonomi subsisten (Barnard dan Spencer, 1996, 288-
291)22, penduduk setempat yang memperhatikan aspek keberlanjutan
lingkungan hidup bagi manusia. [Escobar, 1995; Munck & O’Hearn,
(Ed.), 1999; Acemoglu & Robinson, 2014]. d. Konflik antara sistem
hukum yang berbeda. Secara kelembagaan pertikaian atau konflik ini
memperlihatkan adanya pertarungan yang diungguli dan didominasi
oleh hukum positif negara atas tradisi penduduk setempat. Orang
Workwana, Arsokota dan orang Keerom pada umumnya sebenarnya
mempunyai aturan atau tradisi dan kebiasaan-kebiasaan yang dipegang
secara turun-temurun untuk mengatur kehidupan bersama sebagai
suatu masyarakat atau yang dikenal dengan sistem tenurial penduduk
(Patay, 2005; Colchester, at. al., 2007; Marti, dkk., 2008 ). Namun
tradisi tersebut berbenturan dengan hukum positif yang dipakai negara
atau BUMN seperti PTPN II atas nama kepentingan umum atau negara
mengalahkan tradisi atau kebiasaan penduduk setempat. Masalahnya
ialah banyak penduduk tidak memahami aturan hukum yang ada
sehingga masyarakat biasanya menjadi korban atas produk hukum
negara tersebut. Implikasi lain ialah, ketika penduduk menolak hukum
negara, mereka dengan mudah distigma sebagai anti negara, separatis
dan lain-lain. Penggunaan hukum yang berbeda dapat digunakan
penguasa sebagai alat teror dan manipulasi terhadap masyarakat.
Padahal negara seharusnya melindungi atau mengayomi warganya dari
segala bentuk intimidasi dan stigmatisai dan berbagai pendekatan yang
bersifat eksploitatif terhadap penduduk setempat (Bdk. Yunus Ukru,
dkk., 1993; Malak, 2006).
22Menurut Barnard dan Spencer tipe “hunter and gatherer society”memperlihatkan dua hal. Pertama, kelompok ini merupakan suatu kategori sosial, tipe organisasi sosial dan kehidupan ekonomi masyarakat yang subsisten yaitu kehidupan yang bergantung pada tumbuh-tumbuhan serta binatang-binatang liar yang ada di hutan dan menanam berpindah-pindah. Selain itu tipe organisasi sosial masyarakat seperti ini merupakan bentuk masyarakat egalitarian yang sederhana. Kedua, bentuk masyarakat seperti ini dilihat sebagai suatu simbol solidaritas dari gerakan budaya suatu masyarakat. Pandangan ini dapat dikatakan sejalan dengan studi Boelaars (1986), yang melihat budaya masyarakat Papua terbagi ke dalam beberapa tipe budaya yang melatarbelakangi kehidupan sehari-hari. Boelaars membedakan tipe masyarakat yang disebut peramu dan masyarakat petani.
Orang Workwana dan Perkebunan Sawit: Perspektif Livelihood dan Collective Action
263
Berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas dapat dikatakan
bahwa masalah hak ulayat dan tuntutan ganti rugi tanah bukan
merupakan urusan yang mudah seperti membalik telapak tangan,
sebagaimana dijelaskan oleh Wenehen (2005) dan Malak (2006). Dari
catatan-catatan di atas jelas terlihat terjadi beberapa kali pelepasan
tanah adat atau tanah ulayat yang dilakukan oleh masyarakat adat di
Arso, baik yang dilepas oleh pemilik yang sah maupun bukan pemilik
hak ulayat yang sah, dengan total luas mencapai 92.410 hektare. Semua
lahan tersebut dilepas dalam kurun waktu sebelas tahun, dari tahun
1981 sampai 1992 sebagaimana dicatat oleh Rosariyanto dan Ansaka,
dkk., serta berdasarkan penjelasan masyarakat. Dari surat-surat
pelepasan yang ada tidak satupun surat yang terbebas dari klaim.
Rosariyanto dkk., dan Ansaka dkk., menyebut alasan masyarakat
mengklaim surat-surat tentang pelepasan tanah ulayat sebagaimana
disampaikan oleh beberapa tokoh adat yang ditemui penulis, karena
hal-hal berikut: tanah ulayat yang dilepaskan diubah tempatnya baik
untuk areal perkebunan maupun lokasi transmigrasi PIR tanpa
koordinasi, pelepasan dilakukan oleh pemilik yang tidak sah, rekognisi
diserahkan kepada pihak yang tidak berwenang karena bukan pemilik
hak ulayat yang sesungguhnya.
Potret penduduk setempat di Workwana memperlihatkan
wajahnya yang sedang mengalami transformasi atau sedang berproses
dalam perubahan. Perubahan itu ditandai oleh situasi di mana mereka
sedang beranjak dari keadaan subsisten, bergantung pada alam, hutan
dengan segala sumber daya penghidupan yang ada di dalamnya, ke
bentuk kehidupan baru yang lebih produktif, sebagai petani kelapa
sawit, peternak, pedagang, pegawai negeri sipil, pegawai swasta dan
lain-lain diterjang berbagai krisis serius. Situasi demikian itulah yang
dimaksud dengan proses transformasi sosial di Workwana dan
sekitarnya yang berwajah destabilisasi, disparitas pendapatan dan sosial
serta deteritorialisasi kehidupan penduduk asli setempat sebagai
dampak pembangunan. Proses transformasi sosial yang sejatinya
mengembangkan, memajukan dan meningkatkan mutu hidup
penduduk setempat ternyata berdampak menimbulkan krisis serius di
beberapa aspek kehidupan orang Kampung Workwana.
TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua
264
Konflik tersebut tidak berakhir di sini tetapi berlanjut pada
munculnya sikap resistensi penduduk. Seperti telah diuraikan pada Bab
6, resistensi penduduk terhadap PTPN II tidak dilakukan orang
Workwana sebagai penduduk kampung di mana terdapat perkebunan
kelapa sawit tetapi dilakukan secara bersama-sama dengan warga
kampung-kampung tetangga sebagai komunitas masyarakat adat. Oleh
karena itu sikap resistensi penduduk dilihat sebagai colletive action.
Resistensi penduduk dilatarbelakangi oleh berbagai hal berikut.
Adanya kecurigaan penduduk terhadap pemerintah dan perusahaan
yang memanipulasi luas lahan perkebunan sawit dari 5.000 hektare
menjadi 50.000 hektare; kemudian setelah lebih dari 25 tahun masa
tanam ternyata kelapa sawit tidak memberi kesejahteraan kepada
penduduk sebagaimana dijanjikan pada awal pelepasan tanah-tanah
penduduk untuk perkebunan sawit; urusan sawit menimbulkan beban-
beban biaya saat panen, saat memasukkan TBS di pabrik, pemeliharaan
kebun, termasuk penyelesaian beban kredit perusahaan untuk
pengembangan perkebunan sawit, terjadi fluktuasi harga bahkan
sampai mencapai harga terendah yang merugikan penduduk setempat
sebagai petani sawit, hilangnya hutan dan lahan penduduk untuk
mencari nafkah secara subsisten. Keadaan ini kemudian memunculkan
sikap resistensi sebagai collective action penduduk.
Dari perspektif resistensi yang dikembangkan oleh Vinhagen
Stellan (2007) dapat dijelaskan bahwa, resistensi dilihat sebagai sikap
atau tindakan tandingan atas kekuatan-kekuatan dominan dalam
relasi-relasi, proses atau institusi-institusi untuk memperjuangkan
kesetaraan dalam kehidupan bersama. Singkatnya, Vinhagen
menyatakan ada empat hal penting dalam definisi resistensi: (1) ada
suatu tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang;
(2) dalam rangka merespon kekuasaan; (3) menghadapi tantangan
kekuasaan; (4) berisikan kemungkinan mengurangi penguasaan. Ia pun
membedakan dua bentuk resistensi. Resistensi dengan kekerasan yang
pada umumnya digunakan melalui, revolusi, demonstrasi, pemogokan
dan boikot. Sendangkan bentuk-bentuk resistensi tanpa kekerasan
seperti, resistensi diskursif (bentuk simbolik komunikasi dengan
membangun argumen yang baik, atau menyampaikn laporan hasil
Orang Workwana dan Perkebunan Sawit: Perspektif Livelihood dan Collective Action
265
penelitian tandingan, image tandingan, perilaku tandingan); kompetisi,
tidak bekerja sama, bekerja sama selektif, menarik diri, menghentikan
suatu proses, lelucon yang merusakkan.
Bila penduduk di Workwana, Arsokota dan sekitarnya
menunjukkan resistensi mereka dalam berbagai bentuk. Ada protes
melalui surat-menyurat, secara demontrasif berhenti panen (menjual
dan mengontrakan lalan), melakukan pemalangan pabrik dan kebun
Inti perusahaan, mempertahankan wilayah segitiga emas, dan
melakukan upacara adat tanda penghentian kegiatan di perkebunan
sawit. Bila bentuk-bentuk resistensi masyarakat adat ini dibandingkan
dengan bentuk-bentuk resistensi yang disebut Vinhagen, terlihat ada
beberapa perbedaan penting yang dapat disebutkan sebagai berikut.
Resistensi orang Arso berbentuk: tindakan tanpa kekerasan seperti,
menempuh jalur hukum, menjual dan mengontrakan lahan; sedangkan
resistensi dengan kekerasan ialah memalang pabrik dan kebun inti
perusahaan. Bentuk resistensi ketiga ialah upacara adat. Upacara adat
mengandung peringatan, teguran dan sekaligus ancaman. Jadi
reisistensi ketiga mengandung tidak bersifat kekerasan tapi juga
megandung unsur-unsur kekerasan karena terdapat ancaman. Dengan
demikian resistensi dalam kasus ini dapat dikatakan merupakan
colletive action tidak saja dilakukan oleh masyarakat adat Arso tetapi
juga mengikat dan mengandung sanski bagi perusahaan atau pihak lain
yang melanggar apa yang sudah dibuat dalam upacara adat. Selanjutnya
akan direfleksikan dampak kelapa sawit terkait dengan Livelihood
penduduk.
Kelapa Sawit: Tinjauan Livelihood Orang Workwana
Hasil penelitian yang dilakukan penulis di Workwana
memperlihatkan bahwa pembangunan dengan pendekatan production thingking yang mengutamakan pertumbuhan ekonomi, berdampak
memunculkan polarisasi masyarakat. Polarisasi tersebut menjadikan di
satu pihak ada pemerintah, perusahaan dan pemodal sebagai penguasa,
dan di pihak lain ada masyarakat atau penduduk setempat, sebagai
TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua
266
entitas yang dikuasai. Artinya secara sosial terkonstruksi sistem dan
struktur sosial ekonomi dan politik yang didominasi penguasa, dan
korporasi bermodal sebagai penentu kebijakan, berhadapan dengan
masyarakat petani dan buruh tani, nelayan, buruh pabrik, orang desa
dan tenaga upahan lainnya sebagai pelaksana kebijakan. Dampak
polarisasi tersebut memunculkan relasi-relasi sosial ekonomi dan
politik yang disosiatif, mengandung relasi dalam kesenjangan atau
ketimpangan yang luar biasa. Relasi yang disosiatif dan timpang
tersebut bermuara pada resistensi masyarakat seperti yang terjadi
dalam pengalaman kasus perkebunan sawit di Distrik Arso. Selanjutnya
akan dijelaskan berbagai bentuk konflik yang bermuara pada sikap
resistensi masyarakat di wilayah Workwana dan sekitarnya.
Di satu sisi harus diakui bahwa berbagai perubahan dan
perkembangan yang bersifat makro telah terjadi dalam kehidupan
masyarakat di tempat ini secara khusus melalui pengembangan
perkebunan kelapa sawit dan kegiatan pembangunan lainnya. Dari
penuturan penduduk, masa-masa emas hasil kelapa sawit bagi mereka
hanya berlangsung beberapa saat, setelah itu warga kembali mengalami
keterpurukan dalam berbagai aspek kehidupan, terutama sejak
produksi kelapa sawit terus menurun dan warga berhenti mengurus
kelapa sawit sejak tahun 2000.
Di sisi lain harus dikatakan pula bahwa pendekatan
pembangunan seperti yang telah dilakukan selama ini telah
menimbulkan persoalan-persoalan pembangunan yang signifikan
terhadap Livelihood penduduk asli setempat di Kampung Workwana,
termasuk penduduk kampung-kampung tetangga.
Krisis-krisis Akibat Pengembangan Kelapa Sawit
Kehadiran kelapa sawit sebagai komoditas unggulan yang selalu
dibanggakan dan telah menyebar di seluruh Indonesia ternyata
memunculkan masalah serius dalam kehidupan penduduk asli setempat
karena kelapa sawit menyebakan terjadinya sejumlah krisis yang
berdampak luas dan signifikan bagi kehidupan mereka. Studi tentang
Orang Workwana dan Perkebunan Sawit: Perspektif Livelihood dan Collective Action
267
kelapa sawit di Workwana memperlihatkan munculnya berbagai
krisis,yakni krisis ekologi (lingkungan), ekonomi, kelembagaan dan
sosial budaya.
Krisis yang paling konkrit atau nyata diarasakan dan dialami
ialah krisis ekologi, kemudian krisis ekonomi, sesudah itu krisis
kelembagaan dan krisis sosial-budaya yang berkaitan dengan nilai-nilai
hidup penduduk setempat. Berikut ini dibuat penjelasan mengenai
krisis-krisis dimaksud sebagaimana terlihat pada gambar di bawah ini.
Dalam urutan krisis-krisis yang terjadi, krisis lingkungan atau ekologi
di tempatkan paling awal, dan terletak di bawah kemudian disusul
krisis-krisis yang lain.
Gambar 7.3 Jenis-jenis Krisis
Krisis Ekologi (Lingkungan)
Krisis ekologi lebih bersifat krisis material yang langsung
dialami, dan mendasar karena langsung berkaitan dengan unsur
kehidupan yang langsung berkaitan dengan kepentingan hidup
manusia dan berdampak terhadap Livelihood penduduk setempat.
Krisis ekologi atau krisis lingkungan, berkaitan dengan
rusaknya lingkungan dan ekosistem yang berdampak signifikan
merugikan manusia. Untuk menganalisis krisis ekologi, pemikiran-
Sosial-Budaya
Ekonomi
Ekologi
Kelembagaan
TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua
268
pemikiran yang berhubungan dengan persoalan ekologi digunakan
untuk melihat persoalan dimaksud.
Jain (2001) menjelaskan bahwa, lingkungan hidup terdiri dari
tiga komponen dasar yang saling berhubungan dan memengaruhi yaitu
(1) unsur fisik (pohon, tanah, batu, air dan lain-lain); (2) udara, cuaca
dan angin, dan lain-lain; (3) makhluk hidup (manusia, hewan dan
tumbuh-tumbuhan). Ketiga komponen ini membentuk satu jaringan
yang terpadu dan serasi. Masing-masing komponen berada pada
tempatnya dan berperan membentuk suatu ekosistem kehidupan yang
terpadu. Namun masalah ekologi muncul ketika salah satu komponen
dirusakkan. Artinya adanya perubahan pada salah satu bagian dari
ekosistem yang ada akan memengaruhi pula kesimbangan seluruh
ekosistem.
Merujuk pada pemikiran Jain di atas dapat dikatakan bahwa
ekosistem yang terganggu di wilayah perkebunan kelapa sawit di
daerah Workwana dan sekitarnya karena hutan-hutan ditebang dan
tanah masyarakat dialihfungsikan, berdampak menimbulkan krisis
lingkungan hidup [Aditjondro, 2003, 59-103 & 403-425; Frangky &
Morgan (Penyunting), 2015]. Dampak kerusakan ekologi atau
lingkungan ternyata telah menimbulkan krisis berkepanjangan
berkaitan dengan tersingkirnya Livelihood subsisten (Boelaars, 1989)
penduduk asli di sekitar perkebunan kelapa sawit sebagai suatu
persoalan serius pembangunan di daerah, Ansaka dkk. (2009) mencatat
Perseroan Terbatas Perkebunan Nasional (PTPN) II Tanjung Morawa
Medan telah membuka lahan perkebunan kelapa sawit sekitar 51.310
hektare di daerah Kabupaten Keerom. Dengan demikian hasil studi
kasus di Workwana ini memperlihatkan krisis tersebut ditandai oleh
fenomena-fenomena berikut. Pertama, hutan sebagai tempat dan
sumber Livelihood penduduk asli yang di dalamnya terdapat jenis-jenis
flora dan fauna serta berbagai potensi kekayaan alam, hilang. Selain itu
hutan dengan tutupan humus organik dan sebagai daerah serapan air,
sebagai habitat hewan liar dan berbagai tumbuhan yang bermanfaat
bagi penduduk sebagai suatu ekosistem yang terpadu pun berubah
fungsi, tidak dapat dimanfaatkan dan sulit ditemukan oleh penduduk
Orang Workwana dan Perkebunan Sawit: Perspektif Livelihood dan Collective Action
269
di sekitarnya. Kedua, terjadi degradasi dan deforestasi hutan yang
berdampak pada menurunnya kualitas lingkungan alam, tercemarnya
tanah oleh berbagai jenis bahan kimia, meningkatnya bencana banjir di
musim hujan dan kekeringan hebat di musim panas di daerah Distrik
Arso. Fenomena banjir yang parah dialami masyarakat sebagai akibat
degradasi dan deforestasi lingkungan ketika musim hujan, terjadi di
beberapa daerah di wilayah Distrik Arso. Sebaliknya, ketika musim
kemarau daerah ini mengalami kesulitan air bersih untuk konsumsi
dan keperluan rumah tangga. Ketiga, diakui oleh penduduk bahwa
debit air di sumur-sumur masyarakat dari waktu ke waktu terus
menurun dan terjadi peningkatan pencemaran air yang berdampak
pada kesehatan penduduk. Dokter Evi Kepala Balai Pengobatan St
Lusia Workwana menyatakan, air yang keruh itu pada umumnya,
berbau dan terasa asam. Menurut beberapa informan di Workwana,
keadaan air yang sedemikian buruk disebabkan antara lain oleh kelapa
sawit yang ada di daerah ini, yang cukup banyak menyerap air di satu
sisi. Di sisi lain pasokan air terus berkurang akibat hutan-hutan gundul
dan terjadi berbagai pencemaran air karena tanah-tanah mengalami
pencemaran berbagai jenis zat kimia yang digunakan untuk
pemupukan. Menurut informasi penduduk setempat, salah seorang
peniliti asal Jepang beberapa tahun silam menyatakan bahwa di daerah
ini satu pohon sawit setiap hari menyerap air kurang lebih 6 sampai 8
liter. Hal ini dapat dibandingkan dengan hasil Penelitian Lingkungan
Universitas Riau, yang menyebutkan bahwa satu pohon sawit setiap
hari menyerap air sebanyak 12 liter23. Pernyataan-pernyataan tersebut
tentu mengindikasikan bahwa kelapa sawit memang mempunyai
dampak terhadap lingkungan yang memengaruhi ketersediaan air
secara memadai yang dibutuhkan manusia dan makhluk hidup lainnya.
Keempat, sebagaimana dikatakan penduduk, dengan dibabatnya hutan-
23Syaiful Ahmad mengutip hasil Penelitian Lingkungan Universitas Riau yang menyatakan, dalam satu hari satu batang pohon sawit bisa menyerap 12 liter (ST. Ariful Amri MSc, dalam Riau Online, Pekanbaru). Di samping itu dicacat pula bahwa pertumbuhan kelapa sawit mesti dirangsang oleh berbagai macam zat fertilizer sejenis pestisida dan bahan kimia lainnya (https://adekrawie.wordpress.com/2007/07/27/ dampak-ekologi-dan-lingkungan-akibat-perkebunan-sawit-skala-besar/, diunduh 4 November 2016)
TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua
270
hutan, penduduk setempat mengalami kesulitan memperoleh berbagai
jenis bahan baku lokal berupa kayu, rotan dan lain-lain untuk
keperluan membangun rumah, pembuatan pagar dan keperluan rumah
tangga lainnya. Artinya hilangnya bahan-bahan baku dari hutan
berarti hilang pula berbagai sumber penghidupan yang biasa
dimanfaatkan untuk kepentingan hidup penduduk setempat.
Hilangnya berbagai bahan baku lokal mengakibatkan penduduk
setempat semakin tak berdaya dan terpuruk. Sebagai perbandingan
dapat dilihat hasil Studi Kasus di 5 Pulau Besar di Indonesia Periode
1990 s/d 2010, Majalah Sawit Indonesia, 15 Februari-15 Maret 2014,
yang menyebutkan:
Konversi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit yang mengubah tutupan lahan tidak hanya akan mengurangi stok karbon, akan tetapi juga mengancam kerusakan keaneka-ragaman hayati, berkurangnya cadangan air dan kualitas tanah dan berkurangnya habitat satwa yang dilindungi.
Studi ini sebenarnya bertujuan sebagai bahan masukkan bagi
pemerintah Indonesia untuk mengembangkan perkebunan kelapa
sawit yang berkelanjutan dan ramah lingkungan. Karena krisis ekologi
pada dasarnya bertentangan dengan prinsip etika pembangunan
berkelanjutan (Goulet, 1995 dan Keraf, 2006). Dan dalam perspektif
Community Development menurut Ife Jim (2002), secara ekologis,
pembangunan dilihat lebih holistik, berkelanjutan, beragam dan
seimbang antara berbagai kepentingan di mana manusia merupakan
bagian dari sistem ekologi tersebut. Sejalan dengan pemikiran Ife,
Bjorn Hettne (2001, 347-350) menjelaskan bahwa, proses pembangun-
an yang mengancam sistem ekologi suatu kawasan, merupakan
ancaman kultural bagi kelompok etnis yang hidup di tempat ini. Selain
itu juga krisis ekologi di Papua seperti yang diakibatkan oleh
pembangunan, termasuk kerusakan lingkungan akibat kelapa sawit
disoroti Karel Phil. Erari (Prisma, No. 6 Tahun XXVI, Juni-Juli, 1997)
dan Alua (2004) sebagai penghacuran tanah atau bumi sebagai ibu
yang menafkahi manusia dalam pandangan dunia orang Papua.
Orang Workwana dan Perkebunan Sawit: Perspektif Livelihood dan Collective Action
271
Krisis Ekonomi
Dampak lain yang tidak kalah penting dan mengakibatkan terjadinya
krisis berkepanjangan yang langsung menghancurkan kehidupan
penduduk setempat ialah krisis ekonomi. Menurut Bapak Lamber
Welib, salah seorang tokoh masyarakat dan tokoh Gereja setempat:
makanan sehari-hari orang di kampung ini sebenarnya berasal dari usaha berkebun seperti menanam ubi-ubian, keladi, pisang. Ada juga yang dijual dan uang itu untuk membeli beras dan lain-lain. Selain itu orang kampung juga masih pangkur sagu, berburu binatang liar seperti babi, tikus tanah, burung di hutan dan cari ikan di kali. Tetapi saat ini bahan makanan dari kebun di hutan semakin menipis dan sulit karena hutan-hutan dibabat, kayu-kayu diambil oleh pengusaha kayu dan hutan beralihfungsi sebagai kebun kelapa sawit, perumahan dan lain-lain.
Fenomena ini menunjukkan beberapa hal. Pertama, hilangnya
aset dan akses ekonomi subsisten penduduk. Keadaan ini ditanggapi
serius oleh penduduk karena hilangnya hak ulayat dan sistem tenurial
setempat dengan segala kekayaan sumber daya kehidupan yang ada
dikalkulasi sebagai kerugian luar biasa bagi orang Workwana dan
kampung-kampung tetangga di sekitarnya saat ini dan anak-cucu
mereka di masa depan. Menurut penduduk setempat pembabatan dan
pengalifungsian hutan-hutan serta tanah masyarakat sebagai pusat
Livelihood setempat sebagai perkebunan kelapa sawit, menghilangkan
aset-aset ekonomi dan menutup akses penduduk menikmati sumber
daya kehidupan yang mereka miliki [Chambers & Conway, 1991;
Krantz, 2001; Kartodiharjo & Jhamtani, (Ed.,), 2006]. Artinya proses
transformasi melalui pembangunan yang terjadi dengan pendekatan
industri perkebunan kelapa sawit sebagai Livelihood baru tidak
otomatis berdampak meningkatkan kehidupan ekonomi penduduk
setempat. Hal ini dilatarbelakangi oleh keadaan pengetahuan dan
keterampilan susbsiten penduduk lokal yang berfungsi bagi kehidupan
Livelihood yang subsisten pula. Penduduk setempat membutuhkan
proses adaptasi kognitif dan kultural sebagai habitus baru
pengembangan kehidupan ekonomi dan bidang-bidang kehidupan
lainnya. Dengan kata lain pengetahuan dan keterampilan subsisten
TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua
272
menjadi disfungsional terhadap sistem industri perkebunan kelapa
sawit sebagai Livelihood yang baru. Bahkan menurut penduduk
setempat, kondisi yang berujung pada pemutusan hubungan mereka
dalam kesatuannya dengan lingkungan alam sumber Livelihood, dilihat
sebagai proses penyingkiran dan pemiskinan masyarakat. Kedua, krisis
ekonomi ternyata juga menimbulkan krisis psikologis. Penduduk
setempat pun menilai pendekatan pembangunan ini selain
memiskinkan juga menimbulkan kebingungan, tekanan, putus asa dan
trauma dalam hidup. Ungkapan-ungkapan pengalaman penduduk
tersebut dirumuskan oleh John Djonga Pr (Rosariyanto, dkk., 2008),
seorang misionaris yang bekerja sejak tahun 1992 di daerah ini:
Hampir semua orang menjadi bingung, cemas, ragu-ragu dan gelisah karena perubahan yang begitu cepat dan menyeluruh. Tidak sedikit orang yang mengalami shock ekonomi, merasa masa depan suram dan putus asa. Arah hidup menjadi kabur karena tuntutan ekonomi yang luar biasa. Bila hari ini mereka mendapatkan uang maka uang tersebut akan dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan atau keinginan hati saja. Kebiasaan menyimpan uang atau memanfaatkannya untuk hal-hal yang memang dibutuhkan belum tertanam baik dalam tindakan mereka.
Senada dengan Djonga, tokoh adat masyarakat Workwana
Bapak Herman berujar:
“kerja seperti ini merupakan bentuk penipuan karena harta kekayaan alam kami diambil dengan alasan dipakai untuk kepentingan negara padahal masyarakat tidak mendapat apa-apa”.
Menurut Bapak Herman, saat ini masyarakat hidup dalam
keadaan yang makin hancur dengan penipuan-penipuan yang dibuat
melalui usaha perkebunan kelapa sawit. Dikatakannya, “orang Papua
sebagai pemilik tanah, menjadi korban di atas tanahnya sendiri”. Ia pun
berceritera ketika rombongan yang diikutinya bersilahturahmi dengan
Presiden SBY di istana Negara Jakarta, sebagai perwakilan masyarakat
adat Keerom, ia mengatakan, “Tanah Papua tidak diperjualbelikan tapi
hanya kontrak”. Jadi kehadiran perusahaan untuk mensejahterakan
masyarakat melalui pendidikan, pelayanan kesehatan, pengembangan
Orang Workwana dan Perkebunan Sawit: Perspektif Livelihood dan Collective Action
273
ekonomi, perumahan, listrik dan air bersih, semuanya hanya
merupakan janji belaka, karena bila diamati secara cermat dan saksama,
saat ini sesungguhnya baik masyarakat Kampung Arsokota maupun
Kampung Workwana sedang berada dalam keadaan terpuruk di
berbagai aspek kehidupan. Menurutnya sistem pembangunan yang
digunakan ini juga merusak masyarakat karena minuman keras (miras)
dipakai untuk membujuk masyarakat, khususnya orang muda diperalat
untuk kepentingan tertentu. Pendapat serupa juga disampaikan salah
seorang tokoh masyarakat di Workwana bahwa, masyarakat sekarang
sedang mengalami luka di hati yang dalam karena di masa lalu
masyarakat disiksa, ditindas dan dibunuh karena kepentingan kelapa
sawit. Ketika itu masyarakat juga sering diperalat untuk demi
kepentingan pemerintah yang menimbulkan sikap saling curiga di
antara warga. Anak-anak muda juga sekarang gampang sekali diperalat
untuk kepentingan tertentu dengan cara memberi minuman keras.
Pengalaman yang mencemaskan, menggelisahkan, pengalaman
shock ekonomi, arah hidup tidak jelas, bahkan putus asa dan traumatis
ini merupakan ekspresi tentang ketidakpastian akan masa depan bagi
penduduk asli, bukan realitas yang dibuat-buat. Kondisi ini merupakan
realitas kehidupan penduduk asli Workwana yang sedang mengalami
frustrasi dan kebingungan karena saat ini mereka berada dalam
keadaan tanpa aset dan akses untuk membangun hidup yang lebih baik.
Ketiga, ketika perkebunan sawit mulai dikembangkan perusahaan
mengambil kredit bank untuk membiayai penyelenggaraan perke-
bunan. Ketika masa panen, penduduk setempat sebagai petani plasma
dan semua peserta PIR, perusahaan memotong hasil penjualan kelapa
sawit petani sebagai beban yang harus diselesaikan petani. Pembayaran
kredit ini dirasakan sebagai beban ganda yang memberatkan petani
karena mereka pun harus membayar ongkos-ongkos seperti, ongkos
truk yang mengangkat TBS ke pabrik, ongkos buruh tani yang
memetik dan memikul sawit serta ongkos makan, rokok dan sejumlah
setoran wajib yang harus diberikan kepada kelompok tani dan lain-
lain. Pengalaman ini terus berlangsung sampai kredit tersebut lunas
terbayar padahal dari waktu ke waktu hasil panen terus menurun
sehingga sejumlah orang menjual lahannya dan melepas kepada pihak
TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua
274
lain dengan sistem kontrak. Keterlibatan petani Kampung Workwana
sebagai pemilik lahan atau tuan lahan menyelesaikan kredit
perusahaan sebagai suatu proses pertukaran dari sistem yang tidak adil
dan tidak seimbang. Bahkan petani merasa sebagai tuan lahan, mereka
hanya diperas sehingga tak berdaya dan dimiskinkan.
Jadi akselerasi pembangunan melalui pendekatan ekonomi
seperti ini dapat dikatakan telah merongrong hakekat hidup penduduk
lokal yang subsisten dengan kekayaan alam yang mengandung aneka
ragam hayati dan menjadikannya petani perkebunan monokultur yang
tidak beruntung. Pendekatan pembangunan ekonomi yang ekstraktif
(Acemoglu & Robinson, 2014, 77-80) seperti ini ternyata telah
menimbulkan masalah yang serius bagi masa depan manusia Papua.
Lebih dari itu pendekatan ini justru dicurigai oleh penduduk setempat
sebagai realisasi kepentingan dan tujuan politik (fungsi laten)
pembangunan daerah perbatasan atas nama kepentingan dan tujuan
pembangunan ekonomi (fungsi manifest) di daerah. Pandangan dan
penilaian ini muncul di kalangan penduduk setempat karena
pengalaman dengan sistem usaha perkebunan kelapa sawit di wilayah
Workwana telah memosisikan penduduk asli setempat yang semula
merupakan tuan lahan dengan alamnya yang kaya menjadi penduduk
yang tuna lahan dan miskin serta tak berdaya.
Krisis Kelembagaan
Intervensi pembangunan melalui pengembangan perkebunan
kelapa sawit di daerah ini, dalam studi kasus yang dilakukan ternyata
juga memperlihatkan bahwa pembangunan yang dilakukan berdampak
menggusur aspek kelembagaan penduduk asli di Kampung Workwana
dan kampung-kampung sekitarnya. Ketika aspek kelembagaan
masyarakat kampung tergusur akibat pembangunan muncul krisis
serius kelembagaan masyarakat setempat yang sudah terstruktur dalam
hidup masyarakat setempat. Dengan kata lain secara kelembagaan
kampung yang sebelumnya otonom, tidak otonom lagi karena berbagai
intervensi seperti intervensi politik, ekonomi dan lain-lain sebagai
bagian dari sistem dan struktur negara bangsa [Bdk. Kartodiharjo &
Jhamtani (Ed.,), 2006; Kolopaking, (dalam, Satria, dkk., Ed), 2011].
Orang Workwana dan Perkebunan Sawit: Perspektif Livelihood dan Collective Action
275
Krisis kelembagaan yang ditemukan dapat dilihat dari fenomena
berikut: penggunaan undang-undang dan aturan-aturan negara sebagai
dasar hukum untuk pengalihfungsian tanah ulayat demi kepentingan
perkebunan kelapa sawit mengalahkan hukum adat dan hak ulayat
masyarakat setempat; penduduk saling klaim hak ulayat ketika ada
pelepasan tanah adat kepada pihak perusahaan melalui pemerintah
sebagai gejala kapitalisasi tanah adat yang tidak pernah terjadi
sebelumnya; terjadi penggunaan wilayah segi tiga emas oleh oknum-
oknum warga kampung tertentu secara sepihak untuk kepentingan
bisnis pribadi, menimbulkan protes warga kampung tetangga karena
wilayah tersebut merupakan wilayah hutan lindung bersama beberapa
kampung di Distrik Arso. Situasi seperti ini rentan menimbulkan
konflik antarwarga; tokoh-tokoh adat dimanfaatkan oleh PTPN II
sebagai pegawai perusahaan untuk mengamankan kepentingan
perusahaan dari tuntutan-tuntutan masyarakat adat. Hal ini
menimbulkan keadaan dilematis pada tokoh-tokoh adat setempat,
apakah berpihak pada kepentingan masyarakat atau kepentingan
perusahaan; sistem tenurial setempat diabaikan karena dalam transaksi
pelepasan tanah, hak-hak dasar masyarakat di bidang sosial-budaya,
ekonomi dan lingkungan hidup diganti dan dihargai dengan uang serta
barang-barang yang oleh masyarakat dinilai tidak setimpal. Apalagi
cara-cara yang digunakan dalam transaksi tersebut menurut penduduk
setempat bersifat manipulatif, karena janji-janji tidak pernah ditepati
perusahaan, penuh kekerasan dan tidak adil; peran Yuskwondor dan
Sagaiken di wilayah ini sebagai kepala kampung, kepala adat dan
penguasa tanah-tanah yang tidak berpenduduk tidak diperhitungkan
lagi. Dengan begitu dapat dikatakan pendekatan pembangunan yang
dilakukan ternyata bersifat ekstraktif (Acemoglu & Robinson, 2014),
karena kegiatan pembangunan ekonomi tersebut menguras atau
mengeruk kekayaan lingkungan alam sebanyak-banyaknya, meng-
abaikan sistem kelembagaan masyarakat dan sistem sosial-budaya
setempat sehingga berdampak mengakibatkan kerugian besar bagi
penduduk setempat khususnya generasi yang akan datang.
TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua
276
Krisis Sosial-Budaya
Krisis ekologi, ekonomi dan kelembagaan bagi orang Papua
bukanlah aspek-aspek yang berdiri sendiri. Krisis-krisis tersebut secara
langsung berkaitan dengan world view (Geertz, 1973; Mantovani,
1991; Alua, 2004; Franklin, 2007) penduduk asli di mana terdapat
sistem nilai, struktur, kebiasaan dan sistem sosial sebagai kerangka
acuan hidupnya.
Menurut Geertz, di dalam setiap world view terdapat dua hal
pokok. Pertama, ada aspek moral (dan aspek estetika) sebagai unsur
yang bersifat evaluatif, biasanya disadari sebagai etika dalam suatu
masyarakat. Kedua, terdapat aspek kognitif sebagai unsur esensial,
berupa pengetahuan-pengetahuan tentang alam dan manusia yang
menjadi pegangan hidup suatu kelompok masyarakat. Aspek kognitif
seperti ini secara filosofis disebut oleh Fay (1997) sebagai “epistemologi
orang dalam”. Maksudnya pengetahuan kelompok masyarakat tertentu
tentang alam, manusia dan kehidupan sosialnya dalam lingkungan
tertentu. Pengetahuan tersebut hanya diketahui oleh kelompok yang
mempunyai pengetahuan tersebut. Implikasi sosialnya ialah kelompok
luar atau kelompok lain perlu memahami apa yang menjadi
pengetahuan setempat termasuk aspek moral yang menjadikannya
tetap eksis. Konsekuensinya, mengabaikan epistemologi orang dalam
berarti meremehkan eksistensi kelompok atau komunitas setempat.
Sejalan dengan pikiran Geertz dan Fay, Franklin Karl J. (2007), dalam
tulisannya berjudul, Framework For A Melanesian Word View, juga
menyatakan bahwa dalam world view suatu kelompok masyarakat
terhimpun paham tentang nilai-nilai hidup dan nilai-nilai tersebut
biasanya digunakan sebagai prinsip moral dan rujukan dalam
bertingkahlaku serta cara memandang kehidupan dan dunia. Apa yang
dijelaskan Geertz, Fay dan Franklin terkait pengetahuan dan nilai-nilai
masyarakat, diuraikan secara lebih terperinci oleh Mantovani Ennio
(1991) dan Alua (2004).
Untuk menganalisis latar belakang krisis yang dialami orang
Workwana ini, penulis menggunakan penjelasan Mantovani dan Alua
untuk memahami permasalahan tersebut. Menurut Mantovani dan
Orang Workwana dan Perkebunan Sawit: Perspektif Livelihood dan Collective Action
277
Alua, kehidupan orang Melanesia pada umumnya, khusunya orang
Papua, dibangun berdasarkan sistem nilai yang secara tradisional ada
dalam world view yang terdiri dari unsur-unsur penting yaitu
community (hubungan darah dan perkawinan), relationships (dengan
leluhur dan tanah) dan exhcange (resiprositas). Nilai-nilai tersebut
merupakan nilai-nilai yang substansial dalam kehidupan penduduk asli
setempat. Berdasarkan nilai-nilai dasar tersebut, pendekatan
pembangunan melalui perkebunan sawit yang membabat habis hutan
dan terjadi penguasaan serta alih fungsi lahan-lahan masyarakat, sudah
jelas bertentangan dan merusak nilai-nilai dasar orang Papua, yang
mengutamakan community, relationship dan exchange. Dikatakan
community dirusakkan karena penghargaan akan kelompok dan
persekutuan hidup dengan pola hubungan yang seimbang dan saling
menghargai, ditransformasikan ke dalam sistem dan struktur sosial
baru lewat sistem PIR yang berwatak kapitalis (Alatas, 1988, 3-47).
Jadi, relasi yang terbangun dalam kasus kelapa sawit ini dapat
dikatakan sebagai berikut. Pemerintah dan perusahaan kelapa sawit
yang memperalat aparat keamanan untuk menekan penduduk
mengalihfungsikan hak ulayatnya di Arsokota dan Workwana, secara
kelembagaan seharusnya berlangsung dalam posisi setara, saling
menghargai sebagai subyek. Akan tetapi dalam kenyataan urusan
tersebut berlangsung dalam pendekatan subyek-obyek, penuh
intimidasi dan ancaman. Artinya, relasi tersebut berlangsung dalam
posisi di mana pemerintah dan perusahaan sebagai entitas yang
superior sedangkan penduduk setempat merupakan entitas yang
inferior. Dengan kata lain, penduduk setempat sebagai pemilik hak
ulayat hanya menjadi obyek pembangunan sedangkan perusahaan dan
penguasa sebagai subyek atas nama pembangunan negara. Kondisi
seperti ini disebut oleh Galtung sebagaimana diulas oleh Marsana
Windhu (1992), sebagai cara-cara penggunaan kekuasaan struktural,
yang di dalamnya terdapat struktur-struktur yang bersifat eksploitasi,
penetrasi, fragmentasi dan marginalisasi. Hal ini tentu bertentangan
dengan pola hubungan kesetaraan yang menghargai hak-hak dasar
manusia dan bertentangan dengan sistem dan struktur penguasaan
wilayah dan sumber-sumber penghidupan yang dimiliki penduduk asli
TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua
278
setempat sebagaimana digambarkan di atas oleh Mantovani dan Alua.
Kemudian sistem pertukaran atau exchange yang seharusnya
menggambarkan proses resiprositas yang saling menguntungkan tidak
terjadi dalam transaksi jual beli tanah-tanah bahkan seluruh proses
tersebut dianggap tidak adil dan manipulatif yang merugikan pemilik
hak ulayat. Hal-hal inilah yang menjadi latar belakang munculnya
sikap resistensi penduduk.
Dengan demikian dapat dikatakan seluruh sistem baru yang
diintrodusir ke dalam kehidupan penduduk asli di Workwana dan
sekitarnya rentan menimbulkan masalah. Dikatakan rentan karena
exchange tersebut ternyata menimbulkan tuntutan atau klaim-kalim
penduduk setempat atas kepemilikan hutan dan lahan karena
pendekatan yang digunakan pemerintah dan perusahaan tidak
mencerminkan penghargaan baik terhadap lingkungan (sumber hidup),
sistem ekonomi (mata penharian) dan sistem kelembagaan (struktur
sosial dan norma-norma) maupun secara sosio-kultural (nilai-nilai, dan
kebiasaan) terhadap penduduk asli setempat. Contoh, terjadinya klaim-
klaim sebagai bentuk resistensi moral sosial24 penduduk setelah terjadi
pelepasan tanah atas nama kelompok tertentu pada masa-masa awal
pembukaan perkebunan kelapa sawit di daerah ini, yang ditolak oleh
kelompok lainnya. Hal ini mengindikasikan bahwa para pihak terkait
belum semuanya terlibat (Wenehen, 2005) dan sistem pertukaran yang
terjadi tidak saling menguntungkan karena tidak bersifat resiprokal menurut world view setempat. Bahkan kompensasi-kompensasi yang
dibuat perusahaan dan pemerintah terhadap warga masyarakat di
Workwana dan sekitarnya dinilai tidak wajar, tidak seimbang atau
24Perubahan-perubahan yang dihadapi Orang Papua seperti yang dialami Orang Marind di masa lalu dan menimbulkan reaksi tertentu masyarakat digambarkan Boelaars (1986), sebagai moral depression. Keadaan depresi moral muncul dalam sikap apatis, tidak berdaya, keseganan menerima perubahan-perubahan. Pengalaman tersebut berbeda dengan pengalaman Orang Keerom di Workwana, Arsokota dan sekitarnya. Di sini penduduk bereaksi menolak pencaplokan hak ulayat penduduk dan menuntut perlakuan yang lebih adil dari perusahaan dan pemerintah dengan berbagai cara, pemalangan pabrik dan kebun inti serta beberapa upaya lain. Keadaaan ini dapat disebut sebagai moral resistance atau resistensi moral penduduk. Rujukan reisistensi moral ini adalah world view dan etika etnik (Mantovani, 1991).
Orang Workwana dan Perkebunan Sawit: Perspektif Livelihood dan Collective Action
279
tidak sebanding dengan luas lahan yang diberikan. Ketidakseimbangan
itu terlihat dari apa yang dikalkulasi masyarakat berkaitan dengan
luasnya lahan-lahan yang diambil atau dilepas dengan imbalan yang
tidak memadai. Selain itu pengalaman penggunaan segitiga emas pun
oleh masyarakat sebagai milik bersama beberapa kampung di Distrik
Arso menjadi soal ketika dimanfaatkan oleh kelompok tertentu untuk
kepetingannya, diklaim oleh kelompok lain sebagai pelanggaran atau
penyalahgunaan kekayaan milik bersama.
Menurut informan yang ditemui di Workwana, keadaan
ekonomi yang semakin sulit sekarang mendorong warga Kampung
Workwana terlibat mengolah kayu di hutan untuk dijual ke luar
Keerom. Dikatakannya, cara-cara demikian hanya menambah dan
memperluas hilangnya tempat berburu dan mencari makan penduduk
di hutan. Karena saat ini hutan sudah habis, pohon-pohan kayu
ditebang, kayunya diambil dan diolah oleh pengusaha kayu yang
kemudian menjualnya ke luar Keerom atau ke luar Papua sementara
penduduk atau warga kampung tidak mendapat apa-apa. Padahal
sesungguhnya dalam sistem tenurial di wilayah Workwana dan Arso
dikenal pembagian tata ruang lahan yang berfungsi untuk berbagai
aktivitas. Sistem tenurial atau tata ruang lahan terdiri dari, dusun sagu
(Na Numui), hutan tempat berburu binatang (Ma Disih), lahan untuk
berkebun (Ma Mandap) dan kali atau telaga, tempat mencari dan
menangkap ikan (Ubyagey). Sistem tenurial ini hilang begitu saja
akibat pengembangan perkebunan kelapa sawit oleh perusahaan PTPN
II dan penebangan hutan secara masif yang dilakukan para pengusaha
kayu di wilayah ini dan seluruh wilayah Keerom (Gusbager, 2001 dan
Patay, 2005).
Dari sisi world view, Alua (2004), yang mengutip Whiteman
(1984), menyatakan nilai-nilai sentral bagi orang Melanesia pada
umumnya, termasuk orang Papua adalah nilai kelangsungan hidup
(continuation of life), perlindungan atas hidup (protection of life),
pemeliharaan hidup (maintenance of life) dan perayaan atas hidup
(celebration of life) sebenarnya masih dipegang penduduk asli di
Papua. Dengan merujuk pada Whiteman, Alua mau menyatakan
TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua
280
bahwa gambaran kehidupan yang dimiliki orang Papua ialah
kehidupan dalam kesatuannya dengan seluruh komsos atau alam
semesta, terjadi secara berkelanjutan. Karena itu relasi-relasi yang
dibangun harus relasi yang benar dan tepat baik dengan manusia
maupun dengan leluhur serta alam termasuk di dalamnya prinsip
mengumpulkan kekayaan dan tidak bersifat eksploitatif. Dengan
prinsip tersebut kehidupan manusia dibangun dan berlangsung terus
sehingga menjamin pula kehidupan generasi berikut. Berdasarkan
pemahaman Whiteman yang dikutip Alua tersebut, harus dikatakan
penetrasi sistem pembangunan seperti yang dialami penduduk di
Workwana dan sekitarnya merupakan upaya sadar yang telah merusak
jati diri manusia dan nilai-nilai hidup orang Papua di Workwana dan
sekitarnya. Karena itu pendekatan ini dapat dikatakan secara langsung
mengancam kehidupan masa kini dan masa depan penduduk secara
berkelanjutan.
Dengan begitu harus dikatakan bahwa seluruh pendekatan
yang digunakan oleh pemerintah melalui PTPN II, secara paradigmatis
dan riil kontekstual bertentangan dengan visi pembangunan Papua
baru secara berkelanjutan yang diamanatkan oleh UU No.21/2001
tentang Otonomi Khusus Papua. Demikian juga pendekatan tersebut
bertentangan dengan visi pembangunan Papua yang adil dan sejahtera
secara berkelanjutan menurut Suebu (2007) dan visi Papua bangkit,
mandiri dan sejahtera menurut Enembe (2016).
Jadi keterpinggiran dan krisis-krisis yang diakibatkan oleh
pendekatan dan pelaksanaan pembangunan seperti yang dialami orang
Workwana sesungguhnya bertentangan dengan semangat
pembangunan berkelanjutan yang di dalamnya terdapat prinsip-prinsip
human security bagi penduduk setempat (Mahbub Ul Haq, dalam
Kanti Bajpai, 2000: 9-36 & Dan Henk, 2005:92-94). Dan Henk
(2005:92-94) menyatakan bahwa:
The concept of security has for too long been interpreted narrowly: as security of territory from external aggeression, or as prortection of national interests in foreign policy or as global security from the threat of a nuclear holocaust. It has been related more to nation-states than to people….
Orang Workwana dan Perkebunan Sawit: Perspektif Livelihood dan Collective Action
281
Forgotten were the legitimate concerns of ordinary people …. For many of them, security symbolized protection from threat of disease, hunger, unemployment, crime, social conflict, political repression, and environmental hazards”.
Mengingat gagasan mengenai human security begitu penting
maka Kanti Bajpai (2000: 9-36), dalam tulisannya tentang Human Security and Measurement, mengajukan beberapa pertanyaan penting.
Pertama, aman bagi siapa?; kedua, aman dari ancaman-ancaman apa?;
ketiga, aman dalam arti apa?. Untuk menjawab dan menjelaskan
pertanyaan-pertanyaan tersebut, Bajpai mengutip pikiran Haq sebagai
berikut. Dikatakannya, menurut Mahbub ul Haq (Bajpai, 2000:10-17),
human security bukan berkaitan dengan keamanan negara-negara dan
bangsa-bangsa tetapi keamanan bagi individu-individu dan masyarakat.
Karena human security harus mengandung: a. economic security.
Maksud economic security ialah suatu kehidupan ekonomi di mana
setiap individu diharapkan dapat menikmati keadaan hidup yang baik
dan aman dari hasil pekerjaan yang dilakukan atau secara sosial
hubungan-hubungan yang ada dapat melindunginya; b. food security.
Food security adalah suatu keadaan yang mana setiap individu dapat
menikmati pangan yang aman, terlihat dari terdapatnya akses untuk
menikmati pangan melalui kekayaan atau aset-aset, pekerjaan atau
pemasukannya: c. health security. Kemudian health security adalah
keadaan terbebasnya individu dari berbagai macam penyakit dan
kemungkinan adanya penyakit serta adanya akses kesehatan untuk
perawatan diri: d. environmental security. Environmental security
adalah keadaan di mana terintegrasinya tanah, udara dan air yang
memungkinkan manusia hidup dengan aman; e. personal security.
Yang dimaksud dengan personal security ialah suatu keadaan yang
menunjukkan adanya individu yang bebas dari kejahatan dan
kekerasan, khususnya perempuan dan anak yang lebih rentan terhadap
kejahatan dan kekerasan: f. community security. Makna community security adalah keadaan martabat komunitas yang secara kultural
berada dalam situasi damai antar-komunitas, yang di dalamnya
individu dapat hidup dan berkembang: g. political security. Political
TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua
282
security maksudnya ialah suatu situasi di mana ada perlindungan atas
hak-hak azasi manusia dari berbagai kekerasan.
Keterangan:
L.L : Livelihood Lokal (Subsisten)
L.B : Livelihood Baru(Kelapa Sawit)
: Ketergantungan pada livelihoodbaru,industri sawit
: Putusnya hubungan dengan livelihood awal
? : Keadaan tanpa modal-modal dalam LB
Gambar 7.4. Tuan Lahan Menjadi Tunalahan: Perspektif Livelihood
Gambar 7.4 di atas mau menunjukkan posisi penduduk asli
Workwana yang semula dengan Livelihood subsisten mempunyai aset-
aset yang dapat dipakai untuk mengelola hidup (aset atau modal
manusia, finansial, sosial, personal dan alam), mengalami transformasi
sebagai petani kelapa sawit namun justru diterpa krisis ekologi,
ekonomi dan budaya yang menjadikannya penduduk yang hidup
tanpa aset-aset dan tanpa akses. Dengan kata lain proses transformasi
yang terjadi telah memosisikan penduduk asli setempat dari tuan lahan
yang kaya karena alamnya, menjadi penduduk tunalahan tanpa aset
dan akses serta menjebaknya ke dalam kemiskinan tanpa modal-modal
yang seharusnya dimiliki.
Orang Workwana dan Perkebunan Sawit: Perspektif Livelihood dan Collective Action
283
Krisis -krisis Perspektif Sustainable Livelihood
Pada pokok krisis ekologi, ekonomi, kelembagaan dan sosial-
budaya, yang terjadi sebagai dampak dari kehadiran kelapa sawit bagi
penduduk di Workwana dan sekitarnya ingin dilihat dari perspektif
Sustainable Livelihood.
Terkait dengan permasalahan yang disebut di atas, lebih jauh
dikatakan oleh Chambers dan Conway, Krantz dan lain-lain bahwa, di
dalam Livelihood ada yang disebut Sustainable livelihood. Prinsip
Sustainable Livelihood amat konsern terhadap berkelanjutan hidup
bagi generasi yang akan datang, baik jangka pendek maupun jangka
panjang di aras lokal dan global. Dalam paham Sustainable Livelihood aset-aset ada berbagai bentuk dan disebut juga sebagai modal-modal
manusia. Oleh karena itu dalam Sustainable Livelihood aset-aset atau
modal-modal yang dimiliki manusia dilihat sebagai potensi penangkal
(coping) untuk menanggulangi tekanan dan goncangan hidup yang
dialami seseorang atau sekelompok orang (Chambers & Conway, 1991;
Krantz Lasse, 2001;). Berdasarkan kekuatan yang dimiliki Sustainable Livelihood sebagai suatu perspektif tentang kehidupan manusia dan
potensi-potensi yang terintegrasi di dalamnya, krisis-krisis yang
disebutkan di atas mau dianalisa dan direfleksikan. Seperti sudah
dijelaskan sebelumnya Sustainable Livelihood mempunyai sejumlah
kekuatan: pertama, kemampuan untuk melihat secara menyeluruh baik
sumber daya alam maupun sumber daya sosial sebagai modal manusia;
kedua, di dalamnya ada pendekatan-pendekatan yang bersifat mikro
dan makro secara berjejaring, memungkinkan untuk mengatasi
kerentanan-kerentanan yang ada dengan cara mengevaluasi dan
memprogramkan pendekatan-pendekatan terhadap persoalan sosial
ekonomi secara lebih realistis. Itulah sebabnya kekuatan-kekuatan
tersebut ingin digunakan dalam berrefleksi tentang krisis-krisis yang
disebutkan di atas.
Secara singkat dapat dikatakan krisis-krisis ekologi, ekonomi,
kelembagaan dan sosial-budaya ternyata berdampak menimbulkan
keterpinggiran dan kesulitan masyarakat di Workwana dan sekitarnya
dalam mencari nafkah sebagaimana biasa didapatkannya dari kekayaan
TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua
284
alam yang tersedia baginya. Kesulitan hidup ini disebut sebagai
keadaan hidup yang terpinggirkan dan miskin karena tidak ada lagi
Livelihood penduduk yang terdiri aset-aset yang kelihatan (tangible assets) yang dapat diandalkan. Dalam konteks alam Workwana tidak
terdapat lagi berbagai jenis binatang, tumbuh-tumbuhan, buah-
buahan, sagu dan lain-lain sebagai bahan pokok konsumsi sehari-hari
penduduk dan semakin sulit menemukannya di sekitar kampung dan
hutan-hutan yang tersisa. Selain hilangnya tangible asset, hilang pula
hak-hak dan akses-akses (ingtangible assets) karena terjadi alih fungsi
dan alih kepemilikan berbagai asset yang dimiliki. Keadaan ini tentu
menyebabkan penduduk setempat tak berdaya dan terpinggirkan
karena kehilangan Livelihood yang menjadi tumpuan utama hidupnya.
Perubahan-perubahan yang begitu cepat menghilangkan
kebiasaan-kebiasaan yang selama ini masih dijalani dan mendorong
penduduk Workwana menyesuaikan diri, cara berpikir dan bertindak
menurut paradigma production thingking, employment thingking dan
poverty line thinking (Chambers & Conway, 1991). Artinya bila orang
Workwana ingin melanjutkan kehidupannya atau mengembangkan
Livelihood-nya, mereka harus terlibat berproduksi melalui kebun
kelapa sawit. Itu berarti orang Workwana harus menyatu dengan
perkebunan kelapa sawit baik sebagai petani maupun buruh tani.
Karena bila tidak demikian orang Workwana akan tersingkir dan
semakin sulit mencari nafkah karena Livelihood baru menuntutnya
harus mencari nafkah melalui kelapa sawit. Akibatnya ukuran
kesejahteraan bagi penduduk ini ditentukan menggunakan alat ukur
dunia industri, yakni manusia, tanah dan komoditi menjadi alat
produksi melalui usaha perkebunan kelapa sawit. Karena dari
keterangan para informan setempat, seorang pemilik perkebunan
kelapa sawit dituntut membayar biaya-biaya seperti, administrasi,
kredit perusahaan, ongkos sewa buruh, makan minum buruh, sewa
kendaraan pengangkut TBS, pengeluaran-pengeluaraan ekstra pelancar
di pabrik untuk petugas dan berbagai biaya lainnya yang tidak kecil.
Hal-hal yang disebutkan ini ternyata menjadi beban yang berat bagi
petani penduduk setempat. Tuntutan-tuntutan tersebut makin
membuat hidup petani setempat atau orang asli Workwana terpuruk.
Orang Workwana dan Perkebunan Sawit: Perspektif Livelihood dan Collective Action
285
Suasana ini makin terasa ketika hasil panen dari waktu ke waktu
menurun sesuai dengan usia tanam yang lebih dari 32 tahun. Padahal
sebelumnya petani tersebut adalah tuan lahan, pemilik lahan yang
kapan saja ingin mengolah dan memanfaatkan hutan serta lahannya
yang kaya dapat dilakukan sesuai kebutuhannya. Dengan kata lain
tersingkirnya Livelihood setempat menjadikan orang-orang di
Workwana, termasuk juga penduduk di beberapa kampung sekitar,
atau apa yang disebut Sen (2000) berada dalam keadaan deprivasi. Artinya keadaan deprivasi menyebabkan mereka tersingkir dalam
Sustainable Livelihood karena tersingkir pula aset-aset atau modal-
modal yang dimiliki. Padahal menurut Scoones Ian (1998) dan Krantz
(2001) di dalam Sustainable Livelihood terdapat berbagai kapital, yaitu
natural capital (tanah, air, udara, sumber-sumber daya terbarukan dan
jasa lingkungan, seperti sistem peredaran air, pengolahan limbah dan
lain-lain) economic atau financial capital (uang, kredit/debit, tabungan,
dan aset-aset ekonomi lainnya seperti infrastuktur dasar, alat-alat
produksi dan teknologi) human capital (keterampilan, pengetahuan,
kemampuan kerja dan kesehatan yang baik, kemampuan fisik) dan
social capital (jejaring, hak-hak sosial, relasi sosial, afiliasi-afiliasi dan
asosiasi-asosiasi) yang dibutuhkan untuk mengembangkan hidup. Hal
serupa juga dilihat Sachs (2005) dari studi yang dilakukan di beberapa
tempat di dunia. Ia menyatakan manusia mempunyai berbagai kapital
yang seharusnya ada agar seseorang atau sekelompok orang tetap eksis
dan mampu mengaktualisasikan dirinya dan terhindar dari perangkap
kemiskinan. Kapital-kapital tersebut adalah human capital (kesehatan,
gizi dan skil); business capital (mesin-mesin, berbagai fasilitas, alat
transportasi diperlukan untuk kegiatan pertanian dan industri serta jasa
pelayanan lainnya sebagai modal bisnis); infrastructure (infrakstruktur
seperti jalan, listrik, air dan sanitasi, bandara dan pelabuhan laut,
sistem telekomunikasi); natural capital (modal alam berupa tanah yang
subur dan baik untuk ditanami, ketersediaan keanekaragaman hayati,
berfungsinya ekosistem yang baik); public institutional capital (modal
institusi publik berupa hukum dagang, sistem peradilan, institusi
pemerintah serta kebijakan pelayanan dan pembagian kerja);
knowledge capital (ilmu pengetahuan dan teknologi).
TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua
286
Perbedaan antara modal-modal yang disebut Scoones, Krantz
dan Sachs di atas terlihat pada peran institusi publik sebagai salah satu
modal yang tidak dijelaskan lebih rinci oleh Scoones dan Krantz.
Namun menurut penulis unsur modal institusi publik yang disebut
Sachs sebenarnya berkaitan dengan modal sosial yang disebutkan
Scoones dan Krantz sebagai salah satu modal sosial. Karena secara
kelembagaan di dalam modal sosial terdapat jejaring, berbagai asosiasi
dan hak-hak yang diatur dalam lembaga-lembaga publik terkait. Jadi
memang terdapat perbedaan penyebutan, tetapi baik modal sosial
menurut Scoones dan Krantz maupun modal institusi publik menurut
Sachs, mempunyai peran dan fungsi yang sama. Perbedaan lain di
antara Sachs dengan penganjur Sustainable Livelihood ialah, Sachs
menekankan input dari luar, sedangkan penggagas Sustainbale Livelihood mengandalkan human capital dan kapital lainnya dari
orang setempat atau penduduk.
Dari studi kasus di Workwana memang terlihat penduduk ini
sedang berada dalam keadaan tunalahan dan menjadi penduduk yang
hidup tanpa beberapa modal yang seharusnya ada. Dengan kata lain
penduduk ini sedang mengalami krisis karena ketiadaan modal-modal
yang mereka miliki seperti disebutkan dalam Sustainable Livelihood
seperti natural capital, economic atau financial capital, human capital dan social capital. Dalam keadaan tunalahan penduduk Workwana
kehilangan beberapa modal seperti natural capital dan economic capital sebagaimana sudah digambarkan sebelumnya yang
menyebabkan mereka mengalami krisis hidup. Namun dari studi kasus
di Workwana terlihat walaupun penduduk kehilangan beberapa modal
hidup, ternyata modal manusia dan modal sosial masih menjadi
kekuatan yang digunakan untuk mensiasati Sustainable Livelihood
sehingga mereka tetap eksis. Berikut akan dijelaskan beberapa
kelompok penduduk yang mampu menyiasati hidup menggunakan
modal-modal yang ada sehingga tetap eksis sampai saat ini.
Kelompok-kelompok dimaksud adalah kelompok perempuan
dan kelompok berpendidikan serta kaum muda tunakarya. Kelompok-
kelompok ini bukan merupakan bagian dari mayoritas penduduk
Orang Workwana dan Perkebunan Sawit: Perspektif Livelihood dan Collective Action
287
kampung akan tetapi keberadaan kelompok ini memberikan perspektif
baru dalam memperjuangkan Livelihood dan Sustainable Livelihood.
Keterpinggiran Orang Workwana: Sebuah Refleksi
Keterpinggiran orang Kampung Workwana khususnya dan pada
umumnya penduduk Kampung Arsokota serta beberapa kampung lain
di sekitarnya terjadi melalui pendekatan-pendekatan pembangunan,
yang bersifat represif, stigmatisasi, terjadi deforestasi, janji-janji palsu,
permainan harga kelapa sawit, pengalihan kepemilikan lahan, dan
program transmigrasi umum dan trasmigrasi petani PIR. Fenomena
keterpinggiran ini mendorong munculnya sikap resistensi penduduk
sebagaimana telah disebutkan lebih dahulu pada Bab 6.
Pertama, Pendekatan represif. Sejarah masuknya kelapa sawit
di daerah ini menyisahkan sejumlah pengalaman yang disebut
“memoria passionis” bagi penduduk di Kampung Workwana, dan
kampung-kampung di sekitarnya. Dikatakan demikian karena dari
ungkapan-ungkapan penduduk dan data-data lain yang ditemui
penulis, diketahui bahwa pendekatan yang dilakukan pemerintah dan
perusahaan kelapa sawit pada awal tahun 1980-an di daerah ini agar
program perkebunan kelapa sawit dapat dikembangkan dilakukan
dengan pendekatan kekerasan dan ancaman senjata. Dalam kondisi
represif tersebut, tidak ada pilihan lain bagi penduduk selain dengan
terpaksa menyerahkan harta tanah ulayatnya untuk negara dan
perusahaan atas nama pembangunan. Memoria passionis ini dirasakan
amat memojokkan penduduk, membuat orang kampung tak berdaya.
Pendekatan-pendekatan tersebut merupakan bentuk perampasan dan
pemaksaan penguasa terhadap penduduk sipil yang tak berdaya.
Pengalaman yang sangat menyakitkan orang Arso pada umumnya ini
sebagai kenangan pahit, selalu diungkapkan orangtua kepada anak-
anaknya. Dengan demikian pengalaman ini bukan hanya menjadi
pengalaman kaum tua, tetapi secara turun temurun akan terus
dikenang orang setempat sebagai sejarah sosial penduduk (Burke, 2015,
20-30). Kekuatan penguasa menundukkan masyarakat dengan cara-
TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua
288
cara yang licik dan penuh kekerasan menandakan ketidakmampuan
penguasa melakukan negosiasi dengan masyarakat sipil sehingga
bertindak otoriter. Dengan begitu masyarakat setempat menjadi entitas
yang tak berdaya karena ia harus berhadapan dengan tiga kekuatan
yang mempunyai daya tekan amat kuat, yaitu pemerintah, pengusaha
dan militer (Budiardjo C., & Liem S. L., 1988). Hal ini menunjukkan
bahwa setiap bentuk perlawanan penduduk terhadap usaha
perkebunan kelapa sawit, maka akibatnya selalu akan berhadapan
dengan apara keamaman. Kisah Roni Fatagur dari Desa PIR V. Roni
yang pernah ditahan aparat keamanan karena mencoba melarang
perusahaan membuka hutan di daerahnya pada masa-masa awal
perusahaan bergiat membuka lahan perkebunan kelapa sawit walaupun
kemudian ia dikembalikan ke rumahnya oleh seorang anggota polisi
memperlihatkan bahwa, aparat keamanan selalu dipakai sebagai alat
pemukul penguasa. Kisah lain penduduk yang mengalami tekanan luar
biasa di Workwana dan sekitarnya terungkap juga melalui pengalaman
yang diungkapkan oleh jururawat Dimara (KdK.No. 27/Th. V,
Desember 1987), seorang petugas kesehatan, yang dimuat dalam
buletin Kabar dari Kampung.
Kedua, Stigma Separatis. Situasi sosial politik di Papua antara
tahun 1969 sampai tahun 1980-an, boleh dikatakan tidak
menguntungkan bagi orang Papua pada umumnya. Pengalaman
tersebut juga dirasakan oleh orang Keerom yang berada di wilayah
perbatasan bagian utara Papua. Karena ketika itu gerakan-gerakan
Organisasi Papua Merdeka (OPM) berdampak signifikan bagi
penduduk baik di kota-kota maupun di kampung-kampung. Akibatnya
secara sosial politik penduduk selalu dicurigai dan dituduh dengan
stigma sebagai bagian dari OPM. Pengalaman seorang petani kelapa
sawit di Workwana bernama Thomas Wenda memperlihatkan betapa
kuat stigma OPM menyudutkan seseorang atau sekelompok orang. Ia
dituduh oleh aparat keamanan sebagai bagian dari OPM karena
memiliki marga yang sama dengan tokoh OPM Mathias Wenda yang
hidup di sekitar perbatasan. Kecurigaan pihak keamanan membuat
Thomas Wenda ketakutan dan memutuskan untuk keluar dari desa
atau Kampung Workwana. Namun setelah diklarifikasi melalui Bapak
Orang Workwana dan Perkebunan Sawit: Perspektif Livelihood dan Collective Action
289
Lamber Welip di Pos Keamanan Kali Tami, Thomas Wenda
mengurungkan niatnya pulang kampung. Dengan demikian dapat
dikatakan strategi pendekatan stigma membuat penduduk selalu berada
pada posisi tawar yang sangat lemah bahkan tak berdaya.
Ketiga, penghilangan pusat Livelihood penduduk (deforestasi).
Dari Gambar 5.2 tentang Denah Kampung Workwana pada Bab 5,
dalam tulisan ini terlihat jelas bahwa Kampung Workwana nyaris
dikelilingi oleh kebun kelapa sawit. Fenomena ini menunjukkan
bahwa Workwana sedang dikepung oleh kelapa sawit dan dengan
demikain kehilangan hutan tempat penduduk mencari nafkah.
Sehingga penduduk tidak mempunyai pilihan lain untuk berusaha
mencari nafkah karena kehilangan pusat Livelihood susbsisten. Kondisi
ini tentu berdampak pada kehidupan ekonomi rumah tangga dan aspek
kehidupan lainnya. Proses deforestasi berlangsung terhadap hak ulayat
hutan penduduk terjadi setelah pemerintah mengeluarkan berbagai
izin usaha bukan saja untuk pengembangan kelapa sawit di daerah
tetapi juga izin Hak Penguasaan Hutan (HPH) kepada para investor
dari luar Papua. Dampaknya ialah pohon kayu ditebang dan hutan
menjadi gundul, ribuan bahkan jutaan kubik kayu keluar dari
Kabupaten Keerom untuk diekspor. Proses deforestasi masih terus
berlangsung hingga saat ini, terlihat dari setiap hari lebih dari 30 truk
bermuatan kayu olahan melintas dari Keerom ke Kota Jayapura.
Deforestasi juga berdampak bagi penduduk karena membuat penduduk
kehilangan berbagai sumber daya penghidupan, seperti bahan makanan
berupa hewan dan tumbuh-tumbuhan serta berbagai jenis kayu untuk
keperluan rumah tangga. Keadaan ini membuat penduduk semakin tak
berdaya menghadapi berbagai bentuk kegiatan yang bersifat
eksploitatif di kampung dan di sekitarnya.
Keempat, janji-janji yang tidak pernah dipenuhi. Dikatakan
oleh beberapa tokoh masyarakat setempat bahwa tanah ulayat
penduduk diambil perusahaan dengan janji-janji yang menggiurkan.
Dikatakan bahwa perusahaan akan membuat masyarakat hidup
sejahtera, akan dibuatkan rumah sehat, anak sekolah akan dibiayai
sampai ke perguruan tinggi, penduduk kampung akan dijadikan
TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua
290
karyawan perusahaan, rumah-rumah penduduk akan dipasang listrik,
akan disediakan air bersih sampai di rumah-rumah dan akan
disediakan mobil untuk melayani masyarakat. Karena tergiur oleh
bujukan tersebut secara perlahan tapi pasti, lahan-lahan penduduk
dilepas kepada perusahaan sehingga warga setempat kehilangan tempat
mencari nafkah di hutan. Janji-janji manis itupun tak pernah
diwujudkan dan hanya menyisahkan penyesalan yang luar biasa bagi
penduduk. Menurut orang kampung, berbagai infrastruktur yang
sekarang ada dan berkembang di Workwana bukan hasil usaha PTPN
II tetapi merupakan usaha masyarakat dan dukungan pemerintah
daerah. Padahal orang Workwana sama seperti orang Papua lainnya,
memahami konsep janji sebagai sebuah prinsip pertukaran atau
exchange, bersifat resiprokal, timbal balik yang seimbang antara apa
yang diberi dan apa yang diterima (Bdk. Whiteman, 1984; Mantovani,
1993; Alua, 2004). Karena itu sejumlah tokoh adat dan masyatakat
menyatakan, kegiatan-kegiatan ini merupakan bentuk penipuan
terhadap penduduk.
Kelima, harga sawit yang tidak menentu. Menurut Thomas
Lobai, pendamping petani kelapa sawit di wilayah Distrik Arso,
dilakukan sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan pemerintah.
Menurut Thomas, harga kelapa sawit biasanya mengikuti harga mata
uang dolar Amerika, bila dolar menguat harga sawit tinggi. Namun Ia
mencurigai dan menyatakan kemungkinan ada oknum-oknum
tertentu berperan mempermainkan harga kelapa sawit tersebut. Harga
kelapa sawit yang terus merosot di wilayah ini membuat penduduk
tidak tertarik untuk melanjutkan usaha tersebut sehingga terjadilah
penjualan lahan dan mengontrakan lahan. Hal ini membuat penduduk
semakin tak berdaya, karena tidak memiliki lahan usaha dan
bergantung pada hasil kontrak dan jual lahan yang jumlahnya amat
terbatas.
Keenam, kehadiran transmigrasi umum dan PIR, para pencari
kerja dari luar, pedagang dan penduduk lainnya dengan berbagai latar
belakang profesi mempunyai dampak yang besar pada penduduk
setempat. Program transmigrasi yang diharapakan mempercepat proses
Orang Workwana dan Perkebunan Sawit: Perspektif Livelihood dan Collective Action
291
alih pengetahuan dan transfer budaya di bidang pertanian, teknologi
dan ekonomi serta berbagai pengetahuan lain yang diharapkan
mendukung proses pembangunan di daerah, tidak serta merta terjadi
seperti orang membalik telepak tangan. Studi Dale dan Djonga (2011)
di Kabupaten Keerom tentang hak-hak sosial, budaya dan ekonomi
penduduk asli menunjukkan adanya fenomena terabaikan dan
terpinggirkannya penduduk asli setempat di seluruh wilayah
Kabupaten Keerom, termasuk di Workwana dan Arsokota karena
didominasi para transmigran dan generasi keduanya, pencari kerja dari
luar, pedagang dan lain-lain. Keterpinggiran tersebut berkaitan dengan
kegiatan ekonomi, politik, pendidikan, kesehatan, tenaga kerja,
infrastruktur dan lain-lain. Memang harus diakui pula bahwa terdapat
kontribusi signifikan dari kelompok-kelompok yang disebutkan di
atas dalam seluruh proses pembangunan daerah di Kabupaten Keerom
seccara keseluruhan, khususnya di distrik-distrik dan kampung-
kampung. Namun keterpinggiran tersebut dapat dikatakan terjadi
karena adanya persaingan di aspek modal manusia, modal usaha, modal
pengetahuan, modal institusi publik (Sachs, 2005). Modal-modal yang
diharapkan ada ternyata tidak mendukung penduduk setempat
sehingga membuatnya kalah bersaing dengan kelompok-kelompok lain
yang datang di daerah Arso khusunya dan daerah Keerom pada
umumnya. Dari segi usaha atau kegiatan ekonomi misalnya, dapat
dilihat setiap sore hari di pasar Workwana pada Gambar 3.3 dan 3.4
pada Bab 3 tulisan ini. Gambar tersebut menunjukkan kesenjangan
yang besar antara para penjual orang asli Workwana dan penjual-
penjual pendatang dari PIR 1 dan PIR 2 dan sebagainya dilihat dari segi
barang jualan dan modal yang digunakan. Penjual asal Kampung
Workwana umumnya hanya menjual sayur, pinang dan ubi-ubian.
Artinya, modal-modal yang dipunyai golongan penduduk pendatang
berdampak pada kapabilitas yang lebih unggul untuk menguasai aset-
aset daripada penduduk setempat. Gejala kalah bersaing juga terlihat
dari ketidakmampuan sejumlah penduduk setempat dalam memenuhi
kebutuhan sehari-hari sehingga terpaksa harus berutang baik terhadap
pedagang pendatang maupun penjual orang Workwana. Selanjutnya
TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua
292
akan dianalisis dan direflesikan keadaan orang Workwana dalam
perspektif Livelihood.
Dengan melihat fenomena keterpinggiran di atas harus
dikatakan bahwa pendekatan pembangunan yang mengandalkan
pertumbuhan melalui industri perkebunan kelapa sawit seperti yang
terjadi di wilayah Distrik Arso khususnya di Kampung Workwana,
ternyata berkontribusi menghasilkan kesenjangan hidup bahkan terjadi
keterpinggiran penduduk asli dalam berbagai aspek kehidupan.
Seorang informan di Workwana menyatakan kelapa sawit telah
menyebabkan banyak anak kampung putus sekolah dan menikah di
usia muda yang menyebakan mereka menjadi penganggur di kampung.
Setelah Kabupaten Keerom berdiri, banyak dari antara kaum muda
tersebut mulai berpikir dan menyadari pentingnya pendidikan sekolah
serta ijazah dan dampaknya bagi pekerjaan dan hidup. Pengalaman
keterpinggiran bukan hanya terjadi di Workwana dan Arsokota tetapi
terjadi juga di berbagai kampung di wilayah Kabupaten Keerom
(Ansaka dkk., 2009; Dale dan Djonga, 2011), bahkan terjadi pula di
seantero Papua (Suebu, 2007& Widjoyo M.S. dkk., 2009; Ansaka, dkk.,
2009; Tebay, 2012; Enembe, 2016).
Ketujuh. Pengalaman-pengalaman yang meminggirkan orang
Workwana dan penduduk sekitarnya melalui pendekatan-pendekatan
manipulatif perusahaan dan pemerintah ketika itu, tidak hanya
menimbulkan konflik tetapi berujung pada sikap resistensi penduduk
sebagai suatu collective action yang menjadi gerakan moral sosial
penduduk menolak perusahaan kelapa sawit di daerah ini.
Strategi Coping Orang Workwana
Urusan pengolahan kebun kelapa sawit sudah ditinggalkan dan
diserahkan kepada pihak lain. Tetapi urusan livelihood harus
berlangsung terus karena masih ada generasi berikut. Selain itu
sebenarnya terdapat world view orang Papua sebagai bagian dari orang
Melanesia yang berpikir, hidup harus terus berlangsung, hidup harus
dilindungi, hidup harus dirayakan atau dinikmati (Mantovani, 1991 &
Orang Workwana dan Perkebunan Sawit: Perspektif Livelihood dan Collective Action
293
Alua, 2004). Prinsip ini sejalan dengan paradigma Sustainable Livelihood. Selanjutnya, bagian ini merupakan suatu penjelasan
tentang fenomena kekompok masyarakat dilihat dari perspektif
Sustainable Livelihood yang sedang berinisiatif memperjuangkan nasib
keluarga dan dirinya untuk masa depan yang lebih baik.
Kelompok-kelompok Orang Workwana
Sebelum membahas lebih jauh tentang strategi kelompok-
kelompok dalam mengembangkan Livelihood-nya secara
berkelanjutan, penulis ingin membedakan masyarakat Workwana
menurut cara mereka menanggapi dampak transformasi sosial di
kampung halamannya. Kelompok-kelompok tersebut adalah kelompok
kaum tua, kelompok perempuan, kelompok terdidik dan kelompok
tunakarya atau tunaskil.
Pertama, kelompok kaum tua dan dewasa. Kelompok kaum tua
ini pada umumnya terdiri dari kaum laki-laki di kampung yang dari sisi
Livelihood sehari-hari bergumul dengan aktivitas subsisten. Kelompok
ini masih berpegang pada tradisi setempat, beraktivtas melalui
kegiatan-kegiatan subsistensi di wilayah yang memungkinkannya
bergiat mempertahankan hidupnya. Kelompok ini juga termasuk
orang-orang yang berjuang mengelola kebun kelapa sawit 32 tahun
lalu dan mengalami masa-masa sulit di awal-awal perubahan dan
perkembangan daerah ini. Menurut informasi penduduk, sebagian
besar dari kelompok ini telah meninggal dunia. Namun dari antara
kaum tua yang ada, beberapa orang direkrut menjadi karyawan
perusahaan sebagai siasat melibatkan penduduk setempat sekaligus
sebagai simbol kerja sama dan pengakuan masyarakat terhadap
perusahaan. Kedua, kelompok perempuan Workwana. Kelompok ini
ternyata merupakan kelompok potensial yang berinisiatif mencari jalan
terhadap kemandekan Livelihood keluarga di kampungnya. Salah satu
prinsip yang dikemukakan kelompok ini kepada penulis ialah adanya
semangat untuk berjuang yakni, “kalau kita berusaha pasti bisa”.
Kelompok paruh baya ini masih tetap semangat berusaha
menanggulangi persoalan tekanan hidup di kampung agar keluarganya
dapat terus bertahan dalam semangat Sustainable Livelihood. Beberapa
TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua
294
kegiatan yang dilakukan seperti sudah diungkapkan terlebih dahulu
ialah berjualan di pasar Workwana setiap sore hari, mengusahakan kios
dan memelihara ternak di kampung. Dari pengamatan selama
penelitian, pada sore hari di pasar terlihat dengan jelas selain ibu-ibu
paruh baya terdapat juga perempuan-perempuan muda Workwana
berjualan di pasar. Menurut kelompok ini, berjualan di pasar
bermanfaat karena di tempat tersebut ada peluang, barang jualan dibeli
orang dan dengan demikian mereka mendapat uang yang dapat
digunakan untuk keperluan rumah tangga termasuk membiayai anak
sekolah. Selain kegiatan berjualan, terdapat pula sejumlah perempuan
muda dan dewasa bergiat sebagai buruh tani di perkebunan kelapa
sawit di Distrik Arso Timur yang diurus oleh perusahaan Rajawali.
Berkaitan dengan permasalahan hak-hak atas hutan dan tanah yang
terus dipersoalkan masyarakat, menurut kaum perempuan di sini,hal
tersebut merupakan urusan bapak-bapak dan kaum lelaki. Ketiga,
kelompok terdidik atau berpendidikan. Kelompok ini pada umumnya
terdiri dari golongan muda potensial yang berpendidikan sekolah
menengah atas dan perguruan tinggi. Kelompok ini bergiat dalam
berbagai profesi sesuai dengan perkembangan daerah dan peluang yang
ada di Kabupaten Keerom. Terdapat 17 orang, bekerja sebagai pegawai
negeri sipil di Pemda Keerom. Bahkan salah orang putra Workwana
merupakan dosen di sebauh perguruan tinggi negeri di Provinsi Papua
Barat. Mereka ini pada umumnya mempunyai posisi-posisi yang baik di
Pemda Keerom. Ada pula yang bergiat di bidang politik, 1 orang
menjadi anggota legislatif Kabupaten Keerom dan ada pula yang aktif
sebagai pegawai swasta di beberapa lembaga swasta. Selain itu terdapat
pula 5 orang yang berprofesi sebagai pengusaha. Kelompok muda
berpendidikan ini juga menjadi kelompok yang ikut prihatin dengan
situasi daerah, kampungnya dan masyarakat adat terkait perjuangan
warga masyarakat baik di Workwana maupun Arsokota yang terus
menuntut hak atas tanah-tanah yang digunakan sebagai perkebunan
sawit. Hal tersebut menjadi keprihatinan mereka juga karena masalah
hak ulayat berkaitan dengan aset-aset Livelihood orangtua, marga,
keluarga dan masa depan suku atau keretnya. Jadi baik kelompok tua
maupun kelompok muda terdidik sama-sama menyadari betapa
Orang Workwana dan Perkebunan Sawit: Perspektif Livelihood dan Collective Action
295
penting suatu lingkungan hidup berkelanjutan (environmental sustainability) agar sebagai suatu entitas masyarakat terjadi pula
kehidupan sosial yang berkelanjutan (social sustainability) sebagai
unsur-unsur penting Sustainable Livelihood. Keempat, kelompok
tunakarya. Kelompok ini pada umumnya terdiri anak-anak muda yang
tidak bersekolah dan putus sekolah. Kelompok ini pada umumnya
tidak mempunyai keterampilan khusus seperti orangtua mereka
sehingga tidak melanjutkan lagi aktivitas hidup subsisten. Menurut
penuturan informan yang ditemui di Kampung Workwana, kelompok
ini pada umumnya tidak bergiat secara subsisten karena mereka tidak
dibiasakan berburu binatang dan melakukan kegiatan subsisten lainnya
sehingga tidak punya pengalaman seperti orangtua mereka.
Pengalaman seperti orangtua mereka juga tidak diturunkan kepada
kaum muda karena tempat-tempat sumber Livelihood untuk
melakukan aktivitas subsistensi tidak ada lagi. Oleh karena itu mereka
memilih bergiat sebagai tukang ojek, penunggu pos adat yang
menerima setoran dari mobil pengangkut kayu olahan dari berbagai
tempat yang melintas di depan Kampung Workwana dan kegiatan-
kegiatan spontan lain yang dibutuhkan masyarakat. Menurut sekretaris
kampung, kelompok ini juga biasanya melakukan pekerjaan-pekerjaan
tertentu yang diberikan oleh pemerintah kampung seperti
memperbaiki pagar atau memperbaiki rumah warga. Selain itu karena
tanpa keterampilan nampaknya kelompok ini tampil sebagai kelompok
tunakarya yang rentan dipengaruhi dengan minuman keras (miras)
oleh pihak-pihak tertentu yang ingin mengganggu suasana dan
ketenangan masyarakat di kampung.
Strategi Sustainable Livelihood Orang Workwana
Ada berbagai strategi yang ditawarkan dalam mengembangkan
Sustainable Livelihood oleh para penggagas perspektif Livelihood.
Strategi tersebut ingin dilihat dalam pengalaman orang Workwana.
Chambers & Conway, misalnya, menawarkan beberapa strategi
campuran termasuk memanfaatan kebiasaan masyarakat yang
produktif dalam melakukan berbagai usaha. UNDP, menawarkan
strategi adaptasi dengan pendekatan ekonomi yang efektif. Butler &
TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua
296
Mazur mengusulkan melakukan diversifikasi Livelihood agar food security terjamin. Dan Henk mengedapankan aspek security sesuai
dengan apa yang dapat dilakukan untuk menjamin kelangsungan
hidup, sedangkan Ian Scoones menawarkan selain diversifikasi ada juga
intensifikasi dan ekstensifikasi serta migrasi. Sementara itu Saragih
dkk, menekankan strategi manajemen yang integratif yang pada
umumnya digunakan dalam Sustainable Livelihood dengan
memperhatikan hubungan antara unsur-unsur mikro dan makro dalam
masyarakat secara berkelanjutan sehingga Sustainable Livelihood tetap
berlangsung. Nampaknya setiap situasi dan konteks yang berbeda
mempunyai strategi yang berbeda pula di samping strategi yang
umumnya dapat digunakan sebagai strategi Sustainable Livelihood.
Studi kasus di Workwana menunjukkan, strategi yang digunakan
masyarakat untuk menjawab permasalahan Sustainable Livelihood
sebagai berikut. Dari tawaran-tawaran strategi Sustainable Livelihood
yang disebut Chambers dan Conway serta penggagas strategi lainnya,
dalam studi kasus di Workwana terlihat ada dua strategi utama yang
dilakukan masyarakat atau penduduk untuk menghadapi tekanan dan
goncangan hidup. Strategi-strategi tersebut dapat dikategorikan dalam
dua jenis strategi. Pertama, ada strategi resistensi sebagai gerakan moral
sosial penduduk yang dilakukan oleh kelompok otoritas adat dan
penduduk lainnya. Kedua, ada pula strategi coping (coping strategy)
yang dilakukan kaum perempuan dan kelompok berpendidikan atau
terdidik dan kelompok muda tunakarya.
Pertama, strategi resistensi moral sosial berjejaring. Strategi ini
merupakan suatu perjuangan yang berhubungan langsung dengan hak-
hak penduduk atau masyarakat di Workwana dan sekitarnya. Dari
hasil studi kasus jelas terlihat bahwa penduduk setempat tidak berjuang
sendiri tapi mereka melakukan perjuangan berjejaring dengan berbagai
pihak sebagai suatu pergerakan moral sosial bersama masyarakat.
Strategi ini dijalankan masyarakat adat di wilayah Distrik Arso yang
terdiri dari penduduk Kampung Arsokota, Kampung Workwana dan
beberapa kampung di sekitarnya, lembaga hukum perguruan tinggi dan
swasta, Komnas HAM serta pihak Gereja Katolik. Kedua, strategi
coping. Strategi ini pada umumnya dilakukan secara beragam oleh
Orang Workwana dan Perkebunan Sawit: Perspektif Livelihood dan Collective Action
297
kelompok-kelompok yang berbeda dari Kampung Workwana untuk
menanggulangi masalah tekanan dan goncangan hidup rumah tangga
akibat terputusnya usaha-usaha penduduk membangun Sustainbale Livelihood melalui kebun kelapa sawit. Strategi coping di Workwana
dikembangkan bervariasi dan dilakukan oleh kelompok-kelompok,
seperti kelompok perempuan, kelompok berpendidikan dan kekompok
kaum muda tunakarya.
Oleh karena studi kasus ini menggunakan juga pendekatan
studi fenomenologi maka dari fenomena-fenomena yang mencuat
berkaitan dengan perjuangan Sustainable Livelihood penduduk perlu
dicari arti atau makna serta peran dan fungsi dari usaha-usaha
tersebut.
Pertama, strategi resistensi. Strategi ini berisikan bentuk-
bentuk tuntutan terkait dengan batas waktu penggunaan tanah ulayat
penduduk, perlakukan yang adil dalam imbal beli tanah masyarakat
dihubungkan dengan identitas lokal, identitas marga atau keret dan
suku. Resistensi ini dilakukan secara berjejaring dengan cara membuat
pengaduan-pengaduan dan gugatan hukum melalui Lembaga Bantuan
Hukum Universitas Cenderawsih Jayapura, Komnas HAM Perwakilan
Papua yang difasilitasi oleh SKP Jayapura secara berjenjang sampai ke
pusat di Jakarta. Kedua, resistensi moral sosial ini merupakan bentuk
penolakan terhadap kesewenang-wenangan negara dan korporasi besar
yang telah memperalat aparat keamaman untuk membungkam
masyarakat dan memperdayakan penduduk asli setempat agar dapat
memenuhi program pembangunan BUMN atas nama pembangunan
nasional. Dengan demikian resistensi merupakan strategi masyarakat
mendorong penguasa atau pemerintah mengakui hak komunitas
masyarakat adat di wilayahnya. Sikap resistensi ini telah diperjuangkan
sampai ke Jakarta melalui DPR RI di Jakarta bahkan telah disampaikan
pula kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ketika itu.
Ketiga, resistensi moral sosial sebagai sebuah usaha memperjuangkan
kembali hak-hak dan aset-aset sebagai unsur pokok Sustainable Livelihood yang menjamin kesejahteraan dan masa depan generasi
yang akan datang. Masalah yang ditemui di sini antara lain seperti
TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua
298
dikutip Malak (2005), tentang pernyataan Gibb dan Bromley, bahwa
ada tiga jenis klaim terhadap tanah yaitu, klaim negara, klaim pribadi
dan klaim komunal masyarakat adat sebagai pemilik tanah (Wenehen,
2005). Yang lebih rumit lagi menurut Marti Serge (2008), ada beberapa
regulasi yang tidak pro rakyat, misalnya UU No.5/1999 tentang Hak
Guna Usaha (HGU) kepada seseorang atau badan hukum tidak bisa
diklaim masyarakat lokal atas izin negara terhadap HGU tersebut yang
sebelumnya merupakan tanah komunal. Selain itu UU No. 18 Tahun
2004 tentang Perkebunan mengizinkan penggunaan lahan selama 35
tahun dan dapat diperpanjang 3 kali sehingga mencapai 120 tahun.
Kemudian UU No. 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal,
menempatkan hak-hak investor di atas hak-hak masyarakat untuk
memperpanjang HGU awal 60 tahun dan dapat diperpanjang lagi
selama 35 tahu. Menurut Marti, regulasi-regulasi ini berlaku untuk
konsesi pertambangan, perkebunan, industri bubur kertas dan
penebangan kayu. Artinya regulasi-regulasi ini memperumit tuntutan
masyarakat atau penduduk lokal karena tidak pro rakyat tetapi pro
penguasa dan korporasi besar dan pemodal besar. Maka dilihat dari
azas keadilan dan prinsip etika pembangunan yang menjadi prinsip
Sustainable Livelihood terkait hak-hak rakyat di bidang sosial, budaya
dan ekonomi, regulasi-regulasi yang tidak pro-rakyat perlu dikaji lagi
karena ternyata dapat mendorong atau menggiring masyarakat
khususnya penduduk lokal masuk ke dalam perangkap kemiskinan,
hidup tanpa modal-modal atau tangible asset yang seharusnya ada
untuk hidup (Scoones, 1998; Krantz, 2001; Sachs, 2005). Jadi strategi
ini dilakukan karena sebenarnya masyarakat setempat sedang berada
dalam keadaan yang disebut oleh Ferguson dan Muray (2001) serta
Morse & McMara, (2013) sebagai vulnerability context. Vulnerabilty context dalam studi kasus ini ditandai oleh keadaan ketersingkiran dan
krisis-krisis, seperti yang telah disebutkan terlebih dahulu.
Kedua, Strategi Coping. Sebagaimana dijelaskan di atas, strategi
ini pada umumnya dilakukan oleh penduduk Kampung Workwana
dengan beragam usaha kegiatan untuk menanggulangi masalah
tekanan dan goncangan hidup rumah tangga akibat terputusnya usaha-
usaha penduduk membangun Sustainable Livelihood melalui kebun
Orang Workwana dan Perkebunan Sawit: Perspektif Livelihood dan Collective Action
299
kelapa sawit. Strategi Sustainable Livelihood yang dikembangkan
bervariasi dan dilakukan juga oleh berbagai kelompok seperti
kelompok perempuan, kelompok berpendidikan dan kekompok muda
tunakarya dengan cara: Satu, memanfaatkan human capital. Ternyata
krisis yang terjadi tidak membuat semua orang di Workwana putus asa
dan hilang akal. Situasi yang ada justru menyadarkan kelompok-
kelompok seperti kaum perempuan, kaum terdidik dan berpendidikan
banting stir, menangkap peluang yang ada, beruhasa membangun
Sustainable Livelihood dengan berbagai cara. Demikian pula golongan
muda putus sekolah, tunakarya yang minim keterampilan berupaya
memanfaatkan berbagai kemungkinan yang dapat dilakukannya untuk
membangun hidup sesuai dengan kapabilitasnya sebagai orang muda.
Dua, terbebaskan dari perangkap kemiskinan. Usaha mengembangkan
Sustainable Livelihood tentunya memberi pesan bahwa penduduk
setempat tidak ingin terjebak dalam perangkap kemiskinan karena
sedang berada dalam vulnerability context, sebagaimana pada
umumnya terjadi ketika Livelihood penduduk hilang. Karena dalam
keadaan demikian diandaikan semua modal-modal atau aset-aset yang
dipunyai penduduk turut hilang padahal sesungguhnya yang tersisa
ialah intangible assets yang merupakan modal manusia yang penting.
Memang bila dlihat dari ungkapan penduduk ketika diwawancarai saat
penelitian berlangsung dikatakan bahwa saat ini mereka tidak
memegang uang lagi seperti masa-masa awal panen kelapa sawi di
Workwana tapi dapat dilihat dari apa yang diusahakan, ternyata
penduduk setempat mempunyai human capital yang dapat difungsikan
dalam menanggulangi tantangan dan tekanan hidup yang dialami. Tiga,
akibat proses interaksi sosial dengan penduduk lain khususnya kaum
pendatang atau transmigran terjadi proses belajar bersama bagaimana
mengembangkan diversifikasi Livelihood untuk menangkal dan
menanggulangi permasalahan Sustainable Livelihood. Empat,
kelompok perempuan menangkap peluang ekonomi melalui pasar dan
usaha keluarga yang dapat dilakukan di rumah. Sedangkan kaum
berpendidikan melihat peluang lain sesuai dengan perkembangan
daerah untuk berprofesi sebagai pegawai negeri, pengusaha atau
politisi. Sedangkan kelompok muda tunakarya memanfaatkan apa yang
TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua
300
bisa dilakukan bila peluang-peluang yang ada tidak menuntut
keterampilan-keterampilan khusus.
Fenomena yang disebutkan di atas menunjukkan bahwa di satu
sisi hak-hak masyarakat setempat tetap perlu diperjuangkan dan diatur
kembali, imbal beli melalui penyerahan aset-aset berupa hutan, tanah
dan segala kekayaan alam yang ada di atasnya hendaknya diproses dan
ditata kembali agar mengandung unsur-unsur keadilan dan kepantasan
bagi penduduk. Karena menurut penduduk setempat ketidakadilan dan
ketidakpantasan dalam transaksi imbal beli aset-aset Sustainable Livelihood telah menciptakan vulnerability context (Morse &
McMara, 2013) yang dapat mengekalkan kerentanan serta kemiskinan
baik pada aras individu dan lingkungannya maupun pada konteks yang
lebih luas yakni masyarakat di wilayah Keerom.
Usaha memperjuangkan Livelihood berkelanjutan, dilakukan
bersama-sama penduduk di Workwana, dan orang Arsokota serta
penduduk kampung-kampung sekitarnya sebagai masyarakat adat
Arso. Oleh karena itu usaha tersebut ingin dianalisa dan direflesksi
dalam perspektif collective action.
Perjuangan Sustainable Livelihood Sebagai Collective Action
Studi ini menunjukkan pula bahwa usaha atau perjuangan
mempertahankan Sustainable Livelihood, tidak dilalukan secara
individual tetapi dilakukan secara berkelompok. Karena itu seluruh
tindakan resistensi penduduk setempat dapat dikatakan sebagai
collective action karena resistensi menyatukan penduduk Workwana,
Kampung tetangga Arsokota dan beberapa warga kampung lainnya di
Distrik Arso. Jadi collective action penduduk ini sesungguhnya
mengandung makna sebuah perjuangan demiki kepentingan bersama
orang-orang Arso sebagai masyarakat adat.
Dengan demikian resistensi penduduk di daerah ini dilihat
sebagai collective action (tindakan kolektif) karena diorganisir oleh
kelompok masyarakat adat. Menurut Olson (2002), collective action
biasanya dilakukan oleh kelompok-kelompok yang terorganisasi sesuai
dengan interes kelompok. Kelompok terorganisasi Olson berbeda
Orang Workwana dan Perkebunan Sawit: Perspektif Livelihood dan Collective Action
301
dengan kelompok masyarakat adat Arso. Kelompok terorganisasi yang
dibahas Olson berlatarbelakang kepentingan ekonomi dalam
lingkungan masyarakat industri yakni kelompok buruh. Sedangakan
kelompok terorganisasi dalam studi ini merupakan gerakan sosial yang
ditandai oleh colletive action di bawah payung masyarakat adat yang
memperjuangkan kepentigan hak-hak adat tanah ulayat. Namun
kesamaannya ialah tindakan kelompok-kelompok terorganisasi
tersebut termasuk masyarakat adat di Workwana dan kampung
sekitarnya disebut sebagai colletive action karena terfokus pada
perjuangan kepentingan kelompok.
Collective action orang Workwana dan sekitarnya merupakan
sebuah gerakan moral sosial masyarakat, tidak berlangsung atas nama
kelompok kampung tetapi atas nama masyarakat adat Arso. Karena itu
bentuk resistensi ini merupakan collective action, seperti disebut
Vanni (2014) sebagai sebuah kerjasama yang muncul dari masyarakat
bawah yang berjejaring. Collective action di Workwana dan sekitarnya
dapat dikatakan berjejaring karena merupakan gerakan masyarakat
adat yang disebut masyarakat adat Arso, terdiri dari penduduk
kampung-kampung di Distrik Arso yang muncul dari bawah, yakni
dari kalangan masyarakat setempat. Menurut Vanni, collective action
yang berjejaring merupakan social capital masyarakat. Dengan
demikian collective action orang Workwana dan sekitarnya bila dilihat
dari peranan dan tujuan kelompok sebagaimana dijelaskan oleh Schutz
dan Sandy (2011), ingin mencapaiu tujuan tertentu. Kasus collective action masyarakat adat di Arso bertujuan ingin memengaruhi
pemerintah dan perusahaan untuk mengembalikan hak-hak
masyarakat atas hutan dan tanah yang digunakan baik sebagai
perkebunan kelapa sawit. Salah satu taktik collective action yang
terakhir digunakan oleh kelompok masyarakat adat tersebut pada
akhir tahun 2016 ialah melakukan upacara adat peruhasaan menutup
aktivitas perkebunan. Perjuangan penduduk tidak berhenti di situ
karena dalam perspektif sustainable livelihood ada berbagai strategi
yang dapat dilakukan agar terjadi penguatan kapasiltas dan kapabilitas
penduduk. Salah satu aktivitas yang dapat dilakukan ialah adanya program pemberdayaan.
TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua
302
Pemberdayaan: Strategi Sustainable Livelihood
Pemberdayaan sebagai strategi sustainable livelihood yang
dibahas di sini berkaitkan dengan perjuangan orang Workwana agar
tetap eksis menghadapi berbagai tekanan dan goncangan hidup.
Perkebunan industri kelapa sawit sebagai sistem ekonomi pasar
yang kapitalistik masuk dalam kehidupan masyarakat asli di kampung
Workwana Distrik Arso Kabupaten Keerom sebagai sistem livelihood
atau bentuk penghidupan baru. Sistem livelihood baru tersebut
mengandaikan adanya kapabilitas penduduk yang sesuai dengan
tuntutan sistem usaha yang baru pula. Diakui atau tidak pendekatan
tersebut telah menyingkirkan livelihood masyarakat setempat dengan
segala kapabilitas, aset dan aktivitas untuk membangun kehidupannya
secara berkelanjutan dan bermakna baik jangka pendek maupun jangka
panjang. Dengan kata lain, hilangnya semua aset yang dimiliki
masyarakat karena alihfungsi dan alihkepemilikan berdampak pada
livelihood penduduk setempat. Tersingkirnya livelihood berarti pula
tersingkir dan terabaikannya nilai-nilai eksistensial dalam world view masyarakat (Geertz, 1973; Mantovani, 1998; Alua, 2004). Dalam studi
tentang kehidupan penduduk asli di kampung Workwana Distrik Arso
menunjukkan tersingkirnya livelihood setempat identik dengan
tersingkirnya nilai-nilai dasar yang ada dalam world view setempat
seperti, community, life, relations, exchange (Ennio Mantovani, 1993).
Tersingkirnya livelihood setempat berarti pula hilangnya kapabilitas
masyarakat untuk mengaktualisasikan diri sebagaimana mestinyta.
Ketiadaan kapabilitas dalam diri seseorang menimbulkan apa yang
disebut Sen (2000) sebagai bentuk deprivasi. Dengan demikian,
tersingkirnya livelihood dapat mengakibatkan muncunya vulnerability context kemiskinan atau deprivasi penduduk setempat karena
hilangnya berbagai capital yang dimilikinya (Krantz, 2001;Sachs,
2005). Tersingkirnya livelihood mengindikasikan terjadi pula proses
eksklusi sosial (social exclusion) masyarakat. Social exclusion (eksklusi
sosial), menunjukkan adanya situasi eksploitasi, penetrasi, fragmentasi
dan marjinalisasi yang menyebabkan masyarakat tidak eksis
sebagaimana mestinya. Social exclusion merupakan suatu proses di
Orang Workwana dan Perkebunan Sawit: Perspektif Livelihood dan Collective Action
303
mana individu atau komunitas masyarakat secara sistemik dihalangi
hak-hak, peluang dan sumber-sumber (seperti perumahan, pekerjaan,
pemeliharaan kesehatan, hak-hak sebagai warga negara, partisipasi
politik, proses-proses lain yang seharusnya dijalani) yang pada
umumnya ada dalam kehidupan warga dan yang merupakan unsur
penting bagi integrasi sosial masyarakat. Adolfo Figuerros dalam
tulisannya berjudul Social Exclusion and Rural Underdevelopment (1999) menjelaskan, secara teoritis ada tiga tipe aset yang
memungkinkan masyarakat berpartisipasi dalam kehidupan ekonomi
dan perubahan sosial. Aset-aset yang dimaksud adalah aset ekonomi
(tanah, modal fisik, modal uang dan modal manusia); aset politik (hak-
hak yang tidak dapat diganggu gugat sebagai anggota masyarakat); dan
aset budaya sebagai suatu sistem sosial yang menunjukkan karakteristik
tertentu individu (bahasa, ras, seks, sistem keluarga, pendidikan,
pekerjaan, agama dan asal daerah). Menurut Figuerros, aset ekonomi
menunjukkan kepemilikan pribadi, aset politik dan kultural
menunjukkan prestise seseorang, namun dapat menimbulkan stigma
sosial yang memunculkan diskriminasi dan segregasi sosial. Berkaitan
dengan keterbelakangan pembangunan pedesaan, Figuerros
menyatakan pada umumnya keluarga petani pedesaan sebagai suatu
unit kerja mempunyai tanah, modal fisik dan modal kerja yang
terbatas. Akibatnya, petani tidak dapat menabung dan meningkatkan
kapasitas diri bersumber pada modal-modal yang diperlukan sehingga
secara ekonomi pasar, digolongkan sebagai unsur masyarakat miskin.
Di sisi lain, kehidupan petani bisa berkembang sebab dunia kapitalis
memungkinkan petani bekerja dengan teknologi sebagai ruang bagi
petani setempat untuk mengadopsi inovasi-inovasi dan akan
mempercepat pertumbuhan dengan menghasilkan barang-barang yang
dapat dipasarkan. Namun, hal ini tidak terjadi di dunia ketiga dan
bahkan petani mengalami stagnasi sehingga menimbulkan
keterbelakangan. Selain itu, Glenn C. Loury (2000) dalam makalah,
Social Exclusion and Ethnic Groups: The Challenge to Economics menjelaskan bahwa perlu melakukan apa yang disebut development affirmative action kepada masyarakat sesuai dengan kebutuhan untuk
meningkatkan kapabilitas dan akses sehingga masyarakat tersebut juga
TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua
304
mampu bersaing dengan orang lain. Pendekatan development affirmative action merupakan tindakan inklusi sosial (social inclusion)
sebagai suatu tindakan afirmatif, yang mengganti keadaan dan
kebiasaan yang mengarah ke eksklusi sosial. Loury mencatat rumusan
Bank Dunia mengenai definisi inklusi sosial, sebagai proses perbaikan
kemampuan dan keadaan yang merugikan manusia, sebagai peluang
dan penghargaan terhadap identitas manusia untuk menempatkannya
sebagai bagian di dalam masyarakat. Oleh karena itu development affirmative action bisa terjadi bila ada strategi proteksi baik secara
politik, ekonomi, sosial, budaya dan hukum maupun bentuk-bentuk
program dan aksi pemberdayaan masyarakat. Karena melalui
pemberdayaan penduduk setempat dapat ditingkatkan kapabilitasnya
sehingga ia mampu melakukan proses coping yang dapat
membebaskannya dari kerentanan yang menjebaknya ke dalam
perangkap kemiskinan. Untuk itu dibutuhkan cara-cara intervensi
yang tepat sebagaimana disarankan oleh pendekatan sustainable livelihood, yang ciri-cirinya berpusat pada rakyat (people-centered),
holistik, dinamis, membangun kapasitas dan kapabiitas lokal,
memperhatikan hubungan makro dan mikro secara berkelanjutan.
Melalui pendekatan-pendekatan yang berjejaring dengan fokus pada
pengembangan ekonomi skala kecil dan peningkatan knowlwdge capital lainnya sehingga terjadi sebuah proses habitus antara berbagai
kapital digambarkan oleh Bourdieu (1986) sebagai berikut. Proses
habitus yang digambarkan Bourdieu diharapkan terjadi melalui proses
berikut: economic capital dapat menjadi cultural capital, cultural capital menghasilkan social capital dan social capital dikembangkan
sebagai economic capital penduduk setempat. Dengan demikian
konteks situasi penduduk yang rentan dan dapat menjadikannya
terjebak ke dalam kemiskinan dapat di atasi. Dalam konteks
Workwana, rumahtanga-rumahtangga diharapkan bisa
mengembangkan sustainable livelihood karena mempunyai kapabilitas
atau sumber daya manusia (human capital). Pengembangan human capital antara lain berkaitan dengan penggunaan alat-alat teknologi
sebagai pendukung berbagai kegiatan usaha dengan cara berjejaring,
Orang Workwana dan Perkebunan Sawit: Perspektif Livelihood dan Collective Action
305
termasuk menabung, untuk membangun sustainable livelihood yang
baru secara berkelanjutan.
Pemberdayaan Rumah Tangga
Seperti telah dijelaskan di atas visi pembangunan di Papua saat
ini diarahkan baik berdasarkan visi pembangunan nasional maupun
visi pembangunan daerah yang dielaborasi dalam konteks otonomi
khusus Papua. Visi pembangunan Papua saat ini dirumuskan Enembe
ialah, Papua Bangkit, Mandiri dan Sejahtera (Enembe, 2015). Dengan
visi tersebut, agenda utama pembangunan yang digagasi Enembe dalam
masa kepemimpinannya terdiri dari pokok-pokok perhatian berikut.
Pertama, bagaimana Orang Papua bisa berdiri tegak sesuai harkat dan
martabatnya sebagai Orang Indonesia, berperan dalam berbagai sektor
kehidupan yang dimulai dari kebangkitan individu, keluarga-keluarga
dan komunitas-komunitas. Kedua, bagaimana membangun
kemandirian, bertitik tolak dari kemajuan ekonomi untuk
mewujudkan kesejahteraan Orang Papua, melalui perencanaan,
pelaksanaan dan pengelolaan sumber daya alam secara
bertanggungjawab. Menurut hemat penulis selain mengelola sumber
daya alam secara bertanggungjawab, aspek pengembangan sumber daya
manusia secara berkelanjutan merupakan conditio sine qua non dalam
pembangunan. Maka untuk mewujudkan agenda pembangunan
tersebut penulis memberi perhatian pada bentuk intervensi
pembangunan berdasarkan studi kasus di Kampung Workwana sebagai
berikut. Dari perspektif livelihood, penduduk setempat sendiri
berperan sebagai pelaku yang melakukan penguatan kapabilitas
dirinya. Artinya intervensi pemberdayaan pertama-tama hendaknya
terjadi di dalam komunitas penduduk kampung dengan sasaran utama
pada rumahtangga-rumahtangga. Gambar berikut merupakan hal-hal
yang perlu diperhatikan ketika proses pemberdayaan rumahtangga-
rumahtangga dan kelompok-kelompok dilakukan. Ada tiga aspek yang
perlu diperhatikan, yang berperan memengaruhi kehidupan
rumahtangga-rumahtangga di Workwana. Pertama, memahami kondisi
riil penduduk yang mengalami krisis-krisis dan menjadikannya secara
eksistensial tersingkir atau termarjinalisasi. Kedua menggunakan
TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua
306
unsur-unsur pokok sustainable livelihood, berpuat pada penduduk,
menggunakan modal manusia atau kapabilitas, kerja berjejaring,
dengan aktivitas ekonomi skala kecil, memanfaatkan akses yang ada.
Ketiga, dengan demikian penduduk diharapkan akan mampu
melakukan coping secara berkelanjutan, sebagai penduduk yang
mandiri sehingga terjadi diversifikasi, intensifikasi dan ekstensifikasi.
Gambar di bawah ini menggambarkan alur pemberdayaan dimaksud.
Gambar 7.5 Proses Pemberdayaan: Diversifikasi Sustainable Livelihood
Secara konkrit pemberdayaan tersebut dapat dilakukan melalui
rumahtangga-rumahtangga di kampung agar terbentuk rumahtangga-
rumahtangga madiri dan hidup lebih sejahtera. Pemberdayaan
penduduk kampung dapat dilakukan oleh para pihak yang peduli
dengan keadaan penduduk yang rentan terjebak dalam vulnerable context yang dapat memiskinkannya.
• Keadaan termarjinalisasi
• Krisis-krisis
• Aset-aset dan akses
Realitas
•Kapabilitas
•Modal manusia
•Berjejaring
•Aset dan akses
•Aktivitas ekonomi skala kecil
Pemberdayaan penduduk •Coping
berkelanjutan
• Diversifikasi, intensifikasi dan ekstensifikasi
Sustainable Livelihood