1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Olahraga merupakan salah satu elemen penting dalam daur hidup
manusia, khususnya berperan dalam aspek biologis yaitu menjaga kondisi fisik
dan organ tubuh tetap sehat dan dapat bekerja dengan baik. Selain
menyangkut aspek fisik atau jasmani, olahraga juga mempengaruhi secara
tidak langsung terhadap aktivitas manusia dan dapat mendukung aspek
lainnya, seperti aktivitas sosial dan budaya bahkan sampai kepada nilai yang
berlaku di masyarakat umum sebagai media aktualisasi pribadi maupun
golongan.
Lebih jauh lagi, olahraga sangat identik dengan budaya disiplin,
konsistensi, kompetisi, persahabatan, kesatuan dan persatuan. Apabila
olahraga dimaknai dan dihayati secara benar dan baik, maka akan membentuk
karakter suatu bangsa. Pada sisi lain olahraga dapat memfasilitasi setiap
individu untuk membangun dan menumbuhkan karakter positif, karena
olahraga merupakan wahana pembelajaran yang efektif untuk pendidikan
karakter.
Dunia olahraga tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Olahraga tidak hanya sebagai
kebutuhan untuk menjaga kebugaran tubuh seseorang, tetapi juga dapat
menghasilkan prestasi yang akan mengangkat harkat dan martabat baik
individu, kelompok, masyarakat bahkan bangsa dan negara.
Berkaitan dengan hal tersebut, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005
tentang Sistem Keolahragaan Nasional menegaskan bahwa olahraga
merupakan bagian dari proses dan pencapaian tujuan pembangunan nasional,
sehingga keberadaan dan peran olahraga dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara harus ditempatkan pada kedudukan yang jelas
dalam sistem hukum nasional.
Sementara itu penyelenggaraan keolahragaan difungsikan untuk
mengembangkan kemampuan jasmani, rohani, sosial dan membentuk
kesehatan keluarga dengan mernperhatikan atau melakukan aktivitas fisik,
Iatihan fisik dan olahraga, serta membentuk watak dan kepribadian yang
2
bermartabat. Penyelenggaraan keolahragaan menjadi bagian strategis dalam
upaya perwujudan visi dan misi pembangunan daerah.
Artinya, pembangunan dan penyelenggaraan keolahragaan memiliki peran
yang sama pentingnya dengan pembangunan bidang lain seperti pendidikan,
kesehatan, perekonomian dan lain-lain. Oleh karena itu, penyelenggaraan
keolahragaan perlu mendapatkan perhatian khusus, baik dari Pemerintah
maupun Pemerintah Daerah.
Hal tersebut dapat dipahami, karena melalui aktivitas keolahragaan,
disamping mampu meningkatkan kesehatan dan kebugaran jasmani yang
merupakan aspek penting dalam peningkatan kecerdasan yang menopang
keberhasilan pendidikan, keolahragaan juga menjadi pondasi bagi
pengembangan produktivitas manusia, sehingga akan meningkatkan
kemampuan ekonominya.
Pada sisi lain, pencapaian prestasi olahraga menjadi tolok ukur
kemajuan daerah, sehingga perlu berbagai upaya untuk mencapai prestasi
yang optimal. Membangun prestasi olahraga tidak semudah membuat
bangunan fisik. Sosok juara dalam bidang olahraga tidak muncul secara tiba-
tiba, melainkan harus melalui proses yang panjang, disiplin diri yang kuat,
berlatih keras serta bersinambungan sejak usia dini, di bawah binaan dan
bimbingan pelatih yang profesional. Oleh karena itu, upaya pembenahan dan
penguatan kelembagaan, pembinaan dan pelatihan sumber daya manusia,
baik atlet dan pelatih serta pembiayaan keolahragaan harus menjadi program
prioritas dalam pembangunan keolahragaan baik di pusat maupun daerah.
Berbicara masalah prestasi di bidang olahraga, banyak yang
beranggapan bahwa keberhasilan pembinaan olahraga hanya diidentikkan
dengan perolehan medali dalam suatu event. Anggapan tersebut tentu tidak
salah, tetapi tidak seluruhnya benar karena dalam setiap pertandingan
multicabang olahraga (multievent) perolehan medali memang menjadi ukuran
keberhasilan suatu daerah atau negara dalam mengembangkan prestasi
olahraganya. Akan tetapi, medali hanya salah satu aspek dan bukan segala-
galanya. Selain itu, olahraga prestasi hanyalah sebagai salah satu pilar
bangunan olahraga. Yang terpenting disini adalah filosofi dasar yang sangat
esensial dan universal dari keberhasilan pembinaan olahraga adalah
penghormatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan (celebration of humanity).
Dengan filosofi luhur semacam itu, maka upaya primitif-destruktif atas nama
medali menjadikan iklim olahraga tidak kondusif lagi. Seperti penggunaan obat
perangsang (dopping), mencapai kemenangan dengan menghalalkan segala
3
cara, atas nama gengsi usia dan identitas atlet dimanipulasi, perkelahian, dan
atas nama prestasi atlet menjadi budak ambisi.
Dewasa ini permasalahan keolahragaan semakin kompleks dan
berkaitan dengan dinamika sosial, ekonomi serta budaya masyarakat dan
tuntutan perubahan global. Untuk itu, sudah saatnya Pemerintah dan
Pemerintah Daerah memperhatikan bidang keolahragaan secara menyeluruh
dengan memperhatikan semua aspek terkait, serta adaptif terhadap
perkembangan olahraga dan masyarakat, sekaligus menyiapkan instrumen
hukum yang mampu mendukung kelembagaan, pembinaan, pengembangan,
pendanaan keolahragaan dan sebagainya baik untuk saat ini dan masa yang
akan datang.
Dari latar belakang yang telah dijelaskan di atas, Pemerintah Kota
Sukabumi memandang perlu menyusun Rancangan Peraturan Daerah
(Raperda) Kota Sukabumi tentang Penyelenggaraan Keolahragaan, yang
dalam pentahapan perancangannya dibutuhkan kajian yang mendalam dan
komprehensif dalam bentuk Naskah Akademik. Kajian akan dibagi menjadi 5
(lima) bab. Bab I akan membahas Pendahuluan, yang memuat Latar Belakang,
Identifikasi Masalah, Tujuan dan Kegunaan, serta Metode Penelitian. Bab II
akan membahas Kajian Teoritis dan Praktik Empiris, memuat materi yang
bersifat teoretik, asas, praktik, perkembangan pemikiran, serta implikasi sosial,
politik, dan ekonomi, keuangan negara dari pengaturan dalam suatu Peraturan
Daerah. Bab III akan membahas evaluasi dan analisis peraturan perundang-
undangan terkait dengan substansi yang akan diatur dalam Raperda. Bab IV
akan membahas landasan filosofis, sosiologis dan yuridis yang menjadi dasar
pertimbangan disusunnya Raperda. Bab V akan membahas mengenai
jangkauan, arah pengaturan dan ruang lingkup materi muatan. Akhirnya, pada
Bab VI akan diuraikan kesimpulan dan saran.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka permasalahan yang
perlu diidentifikasi adalah :
1. Apa yang menjadi pertimbangan disusunnya Raperda Kota Sukabumi
tentang Penyelenggaraan Keolahragaan?
2. Apa yang menjadi pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis dan
yuridis pembentukan Raperda Kota Sukabumi tentang Penyelenggaraan
Keolahragaan?
4
C. Tujuan dan Kegunaan Penyusunan Naskah Akademik
Sesuai dengan ruang lingkup identifikasi masalah yang dikemukakan di
atas, tujuan penyusunan Naskah Akademik adalah :
1. Merumuskan permasalahan yang dihadapi dalam penyelenggaraan
keolahragaan serta cara-cara mengatasi permasalahan.
2. Merumuskan permasalahan hukum yang dihadapi sebagai alasan
pembentukan Raperda yang menjadi dasar hukum penyelesaian atau
solusi permasalahan dalam penyelenggaraan penyelenggaraan
keolahragaan.
3. Merumuskan pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis dan yuridis
pembentukan Raperda.
4. Merumuskan sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup pengaturan,
jangkauan, dan arah pengaturan dalam Raperda.
Naskah akademik ini merupakan acuan atau referensi dalam
penyusunan dan pembahasan Raperda Kota Sukabumi tentang
Penyelenggaraan Keolahragaan, sebagai penguatan dari aspek hukum yang
kebenarannya dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
D. Metode
Berdasarkan latar belakang dan tujuan penelitian yang telah diuraikan,
maka penelitian difokuskan pada pengkajian bahan-bahan hukum primer
dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
penyelenggaraan pemerintahan, terutama mengenai kewenangan Pemerintah
Kota Sukabumi dalam penyelenggaraan keolahragaan.
Untuk itu, metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode penelitian yuridis normatif, yaitu meneliti hukum sebagai norma positif
dengan menggunakan cara berpikir deduktif dan berdasarkan pada kebenaran
koheren dimana kebenaran dalam penelitian sudah dinyatakan kredibel tanpa
harus melalui proses pengujian atau verifikasi. Disamping itu, dilakukan pula
penelitian sosiologis dan historis agar penelitian bernilai komprehensif, karena
penelitian yang dilakukan memerlukan dukungan data, sehingga harus
dilakukan pendekatan kemasyarakatan.
Dipilihnya metode penelitian hukum normatif berdasarkan pertimbangan
bahwa tujuan penelitian adalah menggambarkan objek yang diteliti. Sebagai
pendukung, digunakan pendekatan sejarah hukum dan perbandingan hukum.
Digunakannya pendekatan ini, mengingat ketentuan mengenai
5
penyelenggaraan pemerintahan daerah tidak dapat dilepaskan dari latar
belakang sejarah. Disamping itu, penelitian ini tidak bisa terlepas dari sudut
pandang analisis hukum, artinya dielaborasi apa yang seharusnya diatur dalam
produk hukum daerah serta ruang lingkup kebebasan bertindak secara mandiri
oleh Pemerintah Kota Sukabumi.
Dengan dilakukannya analisis hukum, akan dapat diperoleh kepastian
terkandungnya elemen positivitas, koherensi dan keadilan dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah, sehingga tetap berada dalam koridor
kewenangan Pemerintah Kota Sukabumi. Sedangkan sejarah hukum penting
dalam penelitian ini karena dalam sejarah hukum dapat diketahui
perkembangan sistem hukum sebagai keseluruhan serta perkembangan
institusi hukum dan kaidah hukum individual tertentu dalam sistem hukum,
sehingga diperoleh pemahaman yang baik tentang hukum yang berlaku pada
masa sekarang dan yang dibutuhkan di masa depan.
Data dikumpulkan melalui studi kepustakaan, kemudian dianalisis
sehingga dapat ditemukan alasan yang rasional mengenai implikasi hukum dari
ketidakperdulian Pemerintah Kota Sukabumi dalam mengatur
penyelenggaraan keolahragaan, yang dikaitkan dengan penyelenggaraan
pemerintahan daerah Kota Sukabumi. Sumber data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah data sekunder, berupa :
1. Sumber hukum formal, yaitu : peraturan perundang-undangan, hukum tidak
tertulis, yurisprudensi dan doktrin.
2. Sumber hukum materiil, yaitu : sumber hukum historis, sumber hukum
sosiologis, dan sumber hukum filosofis.
Data yang terkumpul, selanjutnya diolah melalui tahap pemeriksaan
(editing), penandaan (coding), penyusunan (reconstructing) dan sistematisasi
berdasarkan pokok bahasan dan subpokok bahasan yang diidentifikasi dari
rumusan masalah. Dari hasil pengolahan data tersebut, dianalisis secara
kualitatif dan kemudian dilakukan pembahasan. Berdasarkan hasil
pembahasan, kemudian diambil kesimpulan sebagai jawaban terhadap
permasalahan yang diteliti.
6
BAB II
KAJIAN TEORETIS DAN
PRAKTIK EMPIRIS
A. Kajian Teoretis
1. Pengertian, Jenis, dan Peran Olahraga
Dalam ketentuan Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005
tentang Sistem Keolahragaan Nasional, disebutkan bahwa definisi olahraga
adalah segala kegiatan yang sistematis untuk mendorong, membina, serta
mengembangkan potensi jasmani, rohani, dan sosial.
Kemudian dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang disusun oleh W.J.S
Purwadaminta, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan olahraga adalah latihan
gerak badan untuk menguatkan dan menyehatkan badan seperti fitness,
berenang, senam, aerobik, dan sebagainya.
Sementara itu dalam ensiklopedia Indonesia, olahraga berasal dari kata
“disportare” yang berarti bersenang-senang atau menghibur diri dimana olahraga
diartikan sebagai kegiatan yang melakukan kemampuan fisik tertentu berupa
kekuatan dan ketangkasan serta dilakukan dalam pertandingan atau perlombaan.
Perkembangan olahraga tidak terlepas dari salah satu perkembangan
peradaban manusia. Pada zaman dahulu orang purba sudah mempergunakan
kekuatan dan kepandaian yang dimiliki untuk mempertahankan kelangsungan
hidupnya. Dari setiap gerakan fisik yang mereka lakukan di dalam aktivitasnya
seperti lari dan melompat untuk mengejar dan memburu buruannya, tanpa mereka
sadari ini sudah merupakan olahraga. Mengingat sifat manusia yang ingin melebihi
sesamanya, maka secara tidak disadari terjadi persaingan ketangkasan dalam
menangkap buruannya yang mana pada akhirnya ketangkasan dan kekuatan itu
berkembang menjadi suatu perlombaan olahraga diantara mereka.
Berkaitan dengan hal tersebut, terdapat tujuh fungsi kegiatan olahraga
antara lain1:
a. Pelepasan emosi, olahraga adalah salah satu cara untuk menyatakan emosi
dan mengendurkan tegangan;
1 M. Wilkerson dan Doddde. “What Sport Does for People” Journal of Physical Education, Recreation and
Dance, 1979:50-51.
7
b. Menunjukan identitas, olahraga memberikan kesempatan untuk dikenal orang
dan untuk menunjukan kualitas diri;
c. Kontrol sosial olahraga memberikan cara untuk mengontrol orang, dalam suatu
masyarakat bila ada penyimpangan berlaku;
d. Sosialisasi, olahraga dapat berperan sebagai satu cara untuk terjadi kontak
sosial sesama penggemar olahraga;
e. Agen perubahan, olahraga menghasilkan perubahan sosial, pola perilaku baru,
dan menjadi salah satu faktor pengubah sejarah;
f. Semangat kolektif, olahraga menciptakan semangat yang membuat orang
bersatu untuk mencari tujuan bersama; dan
g. Sukses, olahraga memberikan suatu perasaan berhasil, baik sebagai
pemimpin regu yang memperoleh sukses.
Dalam ketentuan Pasal 17 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005, diatur
bahwa Ruang lingkup olahraga meliputi kegiatan Olahraga pendidikan; Olahraga
rekreasi; dan Olahraga prestasi.
Berkenaan dengan kegiatan olahraga tersebut, Engkos Kosasih (Kosasih,
1985: 8-9) mengelompokkan kegiatan olahraga menjadi 5 jenis, yaitu:
a. Olahraga pendidikan
Tujuan yang ingin dicapai melalui pendidikan adalah meningkatkan
kemampuan kognitif, efektif, dan psikomotorik. Selain itu olahraga pendidikan ini
juga bertujuan membina dan meningkat kan kesegaran jasmani secara
keseluruhan (total fitness), bersifat memupuk sportifitas, dan apresiasi terhadap
olahraga sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari.
b. Olahraga prestasi
Kegiatan olahraga yang bertujuan pada tercapainya peningkatan prestasi
olahraga setinggi-tingginya, sesuai cabang olahraga tertentu.
c. Olahraga rekreasi
Olahraga adalah aktifitas jasmani untuk memperoleh kesegaran jasmani dan
rohani yang dilakukan pada waktu luang. Tujuan utama dari olahraga rekreasi ini
adalah untuk memperoleh kesenangan dan kepuasan.
d. Olahraga massal
Bertujuan menjangkau seluruh lapisan masyarakat misalnya dengan
melakukan gerak jalan dan lain sebagainya.
8
e. Olahraga khusus
Olahraga ini mencakup jenis tertentu yaitu sesuai dengan cacat jasmani
dengan tujuan pada penguasaan dan kemahiran jenis olahraga tertentu, serta
mencakup pula kegiatan olahraga yang bertujuan penyembuhan sebagai terapi
(rehabilitasi).
Olahraga bisa dilakukan oleh siapapun, kapanpun, dan dimanapun tanpa
memandang dan membedakan jenis kelamin, suku, agama, ras, dan sebagainya.
Olahraga mempunyai peran penting dan strategis dalam pembangunan bangsa.
Sejalan dengan hal tersebut, Mutohir (2005) menyatakan bahwa hakekat olahraga
adalah sebagai refleksi kehidupan masyarakat suatu bangsa. Di dalam olahraga
tergambar aspirasi serta nilai-nilai luhur suatu masyarakat, yang terpantul lewat
hasrat mewujudkan diri melalui prestasi olahraga.
Ada pendapat bahwa kemajuan suatu bangsa salah satunya dapat
tercermin dari prestasi olahraganya. Harapannya adalah olahraga di Indonesia
dijadikan alat pendorong gerakan kemasyarakatan bagi lahirnya insan manusia
unggul, baik secara fisikal, mental, intelektual, sosialnya serta mampu membentuk
manusia seutuhnya. Pemahaman tentang konsep olahraga dipengaruhi oleh ilmu
pengetahuan dan teknologi.
Namun demikian, olahraga juga memiliki keterbatasan dalam arti adanya
aturan yang harus dipatuhi, baik itu dalam olahraga yang bersifat play (bermain),
games maupun sport. Aturan dalam olahraga yang bersifat play, tidak terlalu ketat,
karena play merupakan aktivitas fisik yang bersifat sukarela dan dilakukan secara
bebas. Misalnya ketika lari di sore hari/jogging, yang diperhatikan adalah harus
menggunakan pakaian dan lari di tempat yang tidak mengganggu aktivitas orang
lain. Selanjutnya, olahraga yang bersifat games, aturannya sudah mulai ketat.
Karena dibuat oleh pemain yang akan melakukan permainan untuk ditaati
bersama. Misalnya, pada waktu ingin bermain bola voli dengan teman yang lain,
sebelum permainan dimulai, sudah ditentukan kesepakatan atas aturan yang akan
digunakan, baik itu penentuan set, skor, jumlah pemain dan lain sebagainya.
Olahraga dalam bentuk sport , aturan yang harus dipatuhi lebih kompleks lagi,
karena dibuat secara formal oleh organisasinya. Misalnya dalam permainan sepak
bola atau pun permainan lainnya. Ada paraturan/pembatasan ruang, luas, jumlah
pemain dan aturan-aturan lain yang harus dipakai sesuai dengan kesepakatan
yang telah ditentukan sebelumnya. Di dalam olahraga, aturan yang telah dibuat
bukan merupakan suatu hal yang dapat menghambat pengembangan kemampuan
dalam berekspresi atau juga bukan merupakan pengekang kebebasan, melainkan
9
suatu bentuk tindakan untuk menjadikan olahraga itu menjadi lebih baik, penuh
dengan seni dan etika.
Pada zaman modern ini manusia telah berhasil mengembangkan berbagai
macam teknologi termasuk mengembangkan beberapa teknik olahraga, namun
dengan semakin berkembangnya teknologi justru sebagian manusia menjadi
korban dari perkembangan teknologi tersebut karena dengan semakin
berkembangnya teknologi, maka akan mempermudah kinerja seseorang, dengan
kata lain teknologi akan mengurangi aktifitas fisik seseorang. Dengan
berkurangnya aktifitas fisik seseorang maka akan berpengaruh terhadap
kebugaran tubuhnya dan nantinya akan berpengeruh juga terhadap aktifitas fisik
lainnya. Oleh karena hal tersebut disarankan untuk tetap menjaga kesehatan dan
kebugaran dengan cara berolahraga secara baik dan benar.
Olahraga identik dengan gerakan yang memiliki tujuan tertentu. Dalam hal
ini, maka dalam olahraga terdapat koordinasi antara aspek-aspek kognitif,
psikomotor, dan afektif. Secara internal, gerak manusia terjadi secara terus
menerus, dan secara eksternal, gerak manusia dimodifikasikan oleh pengalaman
belajar, lingkungan yang mengitari, dan situasi yang ada. Oleh karena itu, manusia
harus disiapkan untuk memahami fisiologis, psikologis dan sosiologis agar dapat
mengenali dan secara efisien menggunakan komponen-komponen gerak secara
keseluruhan.
Dengan demikian, antara manusia dan aktivitas fisik tidak dapat dipisahkan
dari kehidupannya. Olahraga merupakan kegiatan yang terbuka bagi semua orang
sesuai dengan kemampuan, kesenangan dan kesempatan, tanpa membedakan
hak, status sosial atau derajat dimasyarakat. Dengan kata lain, olahraga dilakukan
oleh berbagai unsur lapisan masyarakat. Olahraga sebagai kegiatan fisik
mempunyai peranan yang sangat penting dalam usaha peningkatan derajat sehat
dan mempunyai manfaat bagi kelangsungan hidup manusia. Derajat sehat yang
tinggi dicerminkan oleh kemampuan melakukan kerja fisik yang lebih berat.
Olahraga juga dapat berperan sebagai sarana untuk pertukaran budaya
dari berbagai negara, berbagi informasi dan mengembangkan pemahaman
budaya timbal balik. Ini berarti olahraga sering menjadi barang ekspor budaya dari
negara maju dan menyatu dengan hidup sehari-hari orang di negara lain.
Partisipasi even olahraga internasional sering bermakna bahwa negara lemah
harus mencari negara tangguh atau yang disebut adikuasa dalam olahraga untuk
mendapat bimbingan dan sumber daya.
10
2. Kewenangan Pemerintah Kota Sukabumi di Bidang Keolahragaan
Berkenaan dengan kewenangan Pemerintah Kota Sukabumi di bidang
keolahragaan, dalam ketentuan Pasal 12 Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun
2007 tentang Penyelenggaraan Keolahragaan, disebutkan bahwa Pemerintah
Kabupaten/Kota mempunyai kewenangan untuk mengatur, membina,
mengembangkan, melaksanakan dan mengawasi penyelenggaraan keolahragaan
di Kabupaten/Kota. Terdapat 16 (enam belas) kewenangan Pemerintah
Kabupaten/Kota dalam bidang keolahragaan, yang diatur dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 16 Tahun 2007, yaitu:
a. penyelenggaraan olahraga pendidikan, olahraga rekreasi, dan olahraga
prestasi;
b. pembinaan dan pengembangan olahraga;
c. pengelolaan keolahragaan;
d. penyelenggaraan kejuaraan olahraga;
e. pembinaan dan pengembangan pelaku olahraga;
f. peningkatan kualitas dan kuantitas prasarana dan sarana olahraga;
g. pendanaan keolahragaan;
h. pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi keolahragaan;
i. peran serta masyarakat dalam kegiatan keolahragaan;
j. pengembangan kerja sama dan informasi keolahragaan;
k. pembinaan dan pengembangan industri olahraga;
l. penerapan standardisasi, akreditasi, dan sertifikasi keolahragaan;
m. pencegahan dan pengawasan terhadap doping;
n. pemberian penghargaan;
o. pelaksanaan pengawasan; dan
p. evaluasi terhadap pencapaian standar nasional keolahragaan.
Dalam melaksanakan 16 (enam belas) kewenangan tersebut, Pemerintah
Kabupaten/Kota dapat mengikutsertakan Komite Olahraga Kabupaten/Kota,
organisasi cabang olahraga tingkat Kabupaten/Kota, organisasi olahraga
fungsional tingkat Kabupaten/Kota, masyarakat, dan/atau pelaku usaha.
Namun demikian, saat ini pembagian urusan pemerintahan konkuren antara
Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah. Urusan Pemerintahan Konkuren dimaksud
termasuk pula di dalamnya urusan di bidang keolahragaan yang menjadi
kewenangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.
11
Dalam Lampiran Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tersebut,
kewenangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota di bidang keolahragaan
direduksi menjadi 5 (lima) urusan, yaitu:
a. Pembinaan dan pengembangan olahraga pendidikan pada jenjang pendidikan
yang menjadi kewenangan Daerah Kabupaten/Kota;
b. Penyelenggaraan kejuaraan olahraga tingkat Daerah Kabupaten/Kota;
c. Pembinaan dan pengembangan olahraga prestasi tingkat Daerah provinsi;
d. Pembinaan dan pengembangan organisasi olahraga tingkat Daerah
Kabupaten/Kota; dan
e. Pembinaan dan pengembangan olahraga rekreasi.
Sesuai asas hukum yang berlaku umum yakni asas lex superiori derogate
legi imperiori, maka secara hierarkhi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah lebih tinggi daripada Peraturan Pemerintah Nomor
16 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Keolahragaan, sehingga urusan yang
diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2007 dikesampingkan oleh
ketentuan urusan konkuren yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2014.
Namun demikian, ketentuan Pasal 408 Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2014 tentang Pemerintahan Daerah menyatakan bahwa: “Pada saat Undang-
Undang ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan
dengan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dinyatakan masih tetap berlaku
sepanjang belum diganti dan tidak bertentangan dengan ketentuan dalam
Undang-Undang ini.”
Oleh karena itu, perlu pencermatan dan pengharmonisasian antara urusan
yang menjadi kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota sebagaimana diatur
dalam Pemerintah Nomor 16 Tahun 2007 dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2014. Mengingat dasar pembentukan Peraturan Daerah (Perda) adalah urusan
yang menjadi kewenangan dari Pemerintah Kabupaten/Kota, yang dalam hal ini
Pemerintah Kota Sukabumi.
Namun, hal perlu digaris bawahi terkait aspek kewenangan yang diatur
dalam Pemerintah Nomor 16 Tahun 2007 dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2014, yaitu bahwa penyelenggaraan kejuaraan olahraga tingkat daerah
Kabupaten/Kota serta pembinaan dan pengembangan olahraga, masih
merupakan kewenangan daerah Kabupaten/Kota, termasuk Kota Sukabumi. Untuk
itu, penyelenggaraan kejuaraan olahraga terebut perlu diatur lebih lanjut dalam
Raperda Kota Sukabumi tentang Penyelenggaraan Keolahragaan. Secara empirik,
12
sampai saat ini masih terdapat kejuaraan olahraga yang ditangani oleh Organisasi
Perangkat Daerah lain. Hal ini disebabkan oleh beragamnya nomenklatur
kelembagaan yang menangani tugas pokok dan fungsi keolahragaan di daerah
Kabupaten/Kota yang bersangkutan.
Selain itu, Pemerintah Kota Sukabumi dalam Raperda dapat mengatur
bidang keolahragaan yang merupakan muatan lokal (local contain), misalnya
olahraga tradisional. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 236 ayat (4) Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2014, yang menyatakan bahwa “selain memuat materi
muatan penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, serta
penjabaran lebih lanjut ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi, Perda dapat memuat materi muatan lokal sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan”.
3. Aspek Kewenangan Pemerintah Daerah dalam Pembentukan Perda
Berkenaan dengan definisi Perda, dalam ketentuan Pasal 1 angka 7 dan 8
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, disebutkan bahwa Perda Kabupaten/Kota, yaitu peraturan
perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten/Kota dengan persetujuan bersama Bupati/Walikota.
Kedudukan Perda Kabupaten/Kota dalam hierarki (tata urutan) peraturan
perundang-undangan, berada pada urutan terbawah. Hal tersebut tercantum
dalam ketentuan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, yang
mengatur mengenai jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan, terdiri
atas:
a. Undang-Undang Dasar 1945;
b. Ketetapan (Tap) MPR;
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Perda Provinsi; dan
g. Perda Kabupaten/Kota.
Kemudian dalam ketentuan Pasal 236 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah, disebutkan bahwa :
(1) Untuk menyelenggarakan Otonomi Daerah dan Tugas Pembantuan, Daerah
membentuk Perda.
13
(2) Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk oleh DPRD dengan
persetujuan bersama kepala Daerah.
(3) Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat materi muatan:
a. penyelenggaraan Otonomi Daerah dan Tugas Pembantuan; dan
b. penjabaran lebih lanjut ketentuan peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi.
(4) Selain materi muatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) Perda dapat
memuat materi muatan lokal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 237 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014,
diatur bahwa :
(1) Asas pembentukan dan materi muatan Perda berpedoman pada ketentuan
peraturan perundang-undangan dan asas hukum yang tumbuh dan
berkembang dalam masyarakat sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
(2) Pembentukan Perda mencakup tahapan perencanaan, penyusunan,
pembahasan, penetapan, dan pengundangan yang berpedoman pada
ketentuan peraturan perundangundangan.
(3) Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam
pembentukan Perda.
(4) Pembentukan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan secara
efektif dan efisien.
Sementara itu menurut Sjachran Basah2, mengemukakan, bahwa
memerintah negara berdasarkan sendi teritorial pada hakekatnya mengenai hak
setiap penguasa (Pemerintah dan atau Pemerintah Daerah) terhadap suatu
daerah tertentu yang menyangkut kewenangan secara umum atas "regeling" dan
"bestuur". Kewenangan secara umum atas "regeling" dan "bestuur" untuk dapat
mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Kemudian Sjachran Basah
juga mengatakan bahwa setiap kebijakan pelayanan publik (termasuk Perda)
harus dapat dipertanggungjawabkan baik secara moral dan secara hukum.
Pertanggungjawaban secara moral langsung kepada Tuhan YME dan
pertanggungjawaban secara hukum; batas atasnya adalah tidak boleh
bertentangan dengan konstitusi dan batas bawahnya tidak boleh nelanggar
prinsip-prinsip hak asasi manusia. Pendapat ini dikenal dengan teori “Pertanggung
Jawaban Hukum Batas Atas dan Batas Bawah”.
2 Sjahran Basah, “Tiga Tulisan Tentang Hukum”, Armico, Bandung, 1986, hlm.29.
14
Berkaitan dengan Perda sebagai bagian dari peraturan perundang-
undangan sebagaimana telah dijelaskan di atas, A. Hamid S. Attamimi3
mengatakan:
“Istilah perundang-undangan (wettelijke regels) secara harfiah dapat diartikan peraturan yang berkaitan dengan undang-undang, baik peraturan itu berupa undang-undang sendiri maupun peraturan lebih rendah yang merupakan atribusi ataupun delegasi undang-undang. Atas dasar atribusi dan delegasi kewenangan perundang-undangan, maka yang tergolong peraturan perundang-undangan di negara kita ialah undang-undang dan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah daripadanya seperti peraturan pemerintah, keputusan presiden yang berisi peraturan, keputusan menteri yang berisi peraturan, keputusan kepala lembaga pemerintah non departemen yang berisi peraturan, keputusan direktur jenderal departemen yang dibentuk dengan undang-undang yang berisi peraturan, perda tingkat I, keputusan gubernur kepala daerah yang berisi peraturan yang melaksanakan ketentuan perda tingkat I, perda tingkat II, dan keputusan bupati/walikota madya kepala daerah berisi peraturan yang melaksanakan ketentuan perda tingkat II”.
Ada beberapa ukuran dasar agar peraturan perundang-undangan
dinyatakan baik. Baik disini dimaksudkan bahwa penaatan terhadap peraturan
perundang-undangan tersebut dilakukan secara spontan (sadar) bukan karena
ada paksaan. Paling tidak ada 4 (empat) dasar agar peraturan perundang-
undangan dinyatakan baik, yaitu menyangkut dasar filosofis, dasar sosiologis,
dasar yuridis, dan menyangkut teknik penyusunan peraturan perundang-
undangan. Apabila perancang peraturan perundang-undangan dalam menyusun
peraturan perundang-undangan memperhatikan dasar-dasar di atas, maka kaidah-
kaidah yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan tersebut sah secara
hukum dan berlaku secara efektif karena dapat diterima secara wajar oleh
masyarakat, dan kemungkinan dapat berlaku untuk jangka waktu yang panjang.
Dasar Filosofis terkait dengan apa yang diharapkan dari peraturan perundang-
undangan, misalnya untuk menjamin keadilan, ketertiban, kesejahteraan, dan
sebagainya. Dasar filosofis biasanya menyangkut masalah cita hukum
(rechtsidee), yang tumbuh dari sistem nilai dalam masyarakat mengenai baik dan
buruk, hubungan individual dan kemasyarakatan, kebendaan, kedudukan wanita,
dan sebagainya. Dasar filosofis peraturan perundang-undangan adalah Pancasila,
oleh karena itu setiap pembentukan peraturan perundang-undangan seharusnya
memperhatikan secara sunguh-sungguh cita hukum atau nilai yang terkandung
dalam Pancasila. Selanjutnya, dasar Sosiologis yang terkait dengan kondisi atau
kenyataan yang hidup dalam masyarakat. Kenyataan yang hidup dalam
masyarakat dapat berupa kebutuhan, tuntutan atau masalah yang dihadapi.
Dengan memperhatikan dasar sosiologis diharapkan peraturan perundang-
3 A. Hamid S. Attamimi, Perbedaan antara Peraturan Perundang-undangan dan Peraturan Kebijakan,
Makalah pada Pidato Dies Natalis PTIK ke 46, Jakarta, 1992, hlm.3
15
undangan yang dibuat akan diterima dan ditaati oleh masyarakat secara wajar,
tanpa ada paksaan. Peraturan perundang-undangan yang diterima dan ditaati
secara wajar akan mempunyai daya laku yang lebih efektif, karena tidak
diperlukan daya paksa dan alat pemaksa. Berikutnya adalah dasar Yuridis. Ada
beberapa hal yang harus diperhatikan terkait dengan dasar yuridis, yaitu Pertama,
keharusan adanya kewenangan dari pembuat peraturan perundang-undangan.
Artinya, setiap peraturan perundang-undangan harus dibuat oleh badan atau
pejabat yang berwenang. Apabila suatu peraturan perundang-undangan dibuat
oleh badan atau pejabat yang tidak berwenang, maka peraturan perundang-
undangan tersebut batal demi hukum. Sebagai konsekuensi hukumnya, peraturan
perundang-undangan tersebut dianggap tidak pernah ada dan segala akibatnya
batal secara hukum. Kedua, keharusan adanya kesesuaian antara bentuk atau
jenis peraturan perundang-undangan dengan materi yang diatur. Ketidaksesuaian
antara jenis dan materi ini dapat menjadi alasan untuk dibatalkannya peraturan
perundang-undangan tersebut. Ketiga, keharusan mengikuti tata cara atau
prosedur tertentu. Apabila tata cara atau prosedur tersebut tidak diikuti, peraturan
perundang-undangan tersebut mungkin batal demi hukum atau tidak/belum
mempunyai kekuatan hukum mengikat. Keempat, keharusan tidak bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya.4
Berkenaan dengan dasar pembentukan peraturan perundang-undangan
yang baik, ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
disebutkan bahwa “Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah
pembuatan peraturan perundang-undangan yang mencakup tahapan
perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan
pengundangan”.
Pembentukan peraturan perundang-undangan (termasuk Perda) diawali
dengan perencanaan, yang dalam hal ini diawali dengan penyusunan naskah
akademik. Sebelum menyusun suatu naskah akademik Perda, maka sebelumnya
sangat perlu dilakukan pengkajian atau penelitian hukum guna memperoleh data
dan informasi yang komprehensif dan relevan dengan materi yang hendak diatur.
Dalam kaitan ini keberadaan Naskah Akademik memiliki nilai yang sangat penting
dan strategis dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik,
karena penyusunan Naskah Akademik diawali dengan riset nilai-nilai yang ada di
masyarakat, sehingga besar kemungkinan peraturan perundang-undangan yang
dibuat berdasarkan Naskah Akademik akan diterima oleh masyarakat karena
4 Kajian Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan dalam Mendukung Pembangunan Nasional,
Direktorat Hukum dan Hak Asasi Manusia Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas Tahun 2005, hlm. 15-16.
16
peraturan yang dibuat bersifat responsif. Naskah akademik merupakan media
nyata bagi peran serta masyarakat dalam proses pembentukan atau penyusunan
peraturan perundang-undangan bahkan inisiatif penyusunan atau pembentukan
naskah akademik dapat berasal dari masyarakat. Naskah akademik akan
memaparkan alasan-alasan, fakta-fakta atau latar belakang masalah atau urusan
sehingga hal yang mendorong disusunnya suatu masalah atau urusan sehingga
sangat penting dan mendesak diatur dalam suatu peraturan perundang-undangan.
Aspek-aspek yang perlu diperhatikan adalah aspek ideologis, politis, budaya,
sosial, ekonomi, pertahanan, dan keamanan. Naskah Akademik merupakan
media konkrit bagi peran serta msyarakat secara aktif dalam pembentukan Perda.
Dengan terlibatnya masyarakat secara aktif dalam proses pembentukan Perda,
maka aspirasi-aspirasi masyarakat akan lebih terakomodasi.5
Efektivitas pemberlakuan hukum (peraturan perundang-undangan) yang
dalam hal ini Perda, sangat terkait dengan dasar filosofis, sosiologis, dan dasar
yuridis sebagaimana telah dikemukakan di atas.
Menurut Soerjono Soekanto, berbicara mengenai negara hukum, maka
tidak terlepas dari kaidah hukum yang terkandung didalamnya. Agar kaidah hukum
dapat berlaku secara efektif maka harus memenuhi syarat berlaku yuridis, berlaku
secara sosiologis dan berlaku secara filosofis. Apabila hanya dilihat dari salah
satu sudut saja maka akan menimbulkan masalah-masalah. Faktor-faktor yang
mempengaruhi berfungsinya kaidah hukum dalam masyarakat ada empat, yaitu
kaidah hukum (peraturan), petugas/penegak hukum, fasilitas, dan masyarakat.6
Suatu perundang-undangan (Perda) dikatakan mempunyai landasan
sosiologis, apabila ketentuan-ketentuannya sesuai dengan keyakinan umum atau
kesadaran hukum masyarakat. Hal ini penting agar perundang-undangan (Perda)
yang dibuat di taati oleh masyarakat, tidak menjadi huruf-huruf mati belaka7. Oleh
karena itu, Perda yang dibuat harus sesuai dengan kenyataan hidup masyarakat
atau hukum yang hidup (living law) di Jawa Barat sebagai tempat Perda
diterapkan.
Produk perundang-undangan tidak sekedar merekam keadaan seketika
(moment opname)8. Dinamika kehidupan masyarakat terus berubah, nilai-nilai pun
terus berubah, untuk itulah kecenderungan dan harapan masyarakat harus dapat
diprediksi dan diakomodasikan dalam Perda yang berorientasi pada masa depan.
5 Hamzah Halim, Cara Praktis Menyusun dan Merancang Peraturan Daerah, Kencana, Jakarta,
2009, hlm. 151 6 Soerjono Soekanto, Sosiologi Hukum dalam Masyarakat, Rajawali Pers, Jakarta 1982 hlm. 9. 7 Amiroeddin Syarif. Perundang-undangan: Dasar, Jenis dan Teknik Membuatnya. Penerbit Bina
Aksara, hlm. 92, 8 Bagir Manan, Dasar-dasar Perundang-undangan Indonesia. IND-HILL.CO, Jakarta, 1992.hlm
15.
17
Landasan sosiologis merupakan pertimbangan atau alasan yang
menggambarkan bahwa Perda yang dibentuk untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat dalam berbagai aspek dan landasan sosiologis, sesungguhnya
menyangkut fakta empiris mengenai perkembangan masalah dan kebutuhan
masyarakat. Landasan sosiologis merupakan pertimbangan atau alasan yang
menggambarkan bahwa Perda yang dibentuk adalah untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat dalam berbagai aspek.
Adapun landasan yuridis adalah landasan hukum (juridische gelding) yang
menjadi dasar kewenangan (bevoegdheid, competentie) pembentukan Perda.
Selain menentukan dasar kewenangan pembentukannya, landasan hukum juga
merupakan dasar keberadaan dari suatu jenis peraturan perundang-undangan.9
Sementara itu, menurut Eni Rohyani,10 kewenangan pemerintah yang
bersumber dari peraturan perundang-undangan, diperoleh melalui atribusi,
delegasi dan mandat. HD. Van Wijk/Willem Konijnenbelt, memberikan batasan
atribusi sebagai pemberian wewenang pemerintah oleh pembuat Undang-Undang
kepada organ pemerintah. Atribusi menurut Algemene Bepalingen van
Administratief Recht adalah wewenang dikemukakan bila undang-undang (dalam
arti material) menyerahkan wewenang tertentu kepada organ tertentu. Dalam
pemberian wewenang secara atribusi pertanggungjawaban mutlak berada pada
organ pemerintah penerima atribusi. Adapun mengenai delegasi, terdapat
batasan bahwa delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dari satu
organ pemerintah kepada pemerintahan lainnya. Philipus M. Hadjon dalam Eni
Rohyani mengemukakan persyaratan pelimpahan wewenang pemerintahan
melalui delegasi, sebagai berikut:
1. Delegasi harus definitif dan pemberi delegasi (delegans) tidak dapat lagi
menggunakan sendiri wewenang yang telah dilimpahkan itu.
2. Delegasi harus berdasarkan peraturan perundang-undangan, artinya delegasi
hanya dimungkinkan kalau ada ketentuan untuk itu dalam peraturan
perundang-undangan.
3. Delegasi tidak kepada bawahan, artinya dalam hubungan hierarki kepegawaian
tidak diperkenakan adanya delegasi.
4. Kewajiban memberikan keterangan (penjelasan), artinya delegans berwenang
untuk meminta penjelasan tentang pelaksanaan wewenang tersebut.
9 Bagir Manan, Ibid. hlm. 16-17 10 Eni Rohyani, “Implikasi Hukum dari Penyalahgunaan Wewenang oleh Pemerintah Daerah dalam
Penyelenggaraan Pemerintahan,” (Desertasi) Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, 2009, hlm. 73.
18
5. Peraturan kebijakasanaan (beleidsregel), artinya delegans memberikan
instruksi (petunjuk) tentang penggunaan wewenang tersebut.
Adapun mandat, HD. Van Wijk/Willem Konijnenbelt memberikan batasan bahwa
yang dimaksud dengan mandat yaitu ketika terjadi ketika organ pemerintahan
mengizinkan kewenangannya dijalankan oleh organ lain atas namanya. Berkaitan
dengan soal tanggungjawab, dalam mandat yang bertanggungjawab dan harus
mempertanggungjawabkan pelaksanaan mandat adalah pemberi mandat,
sedangkan penerima mandat bertanggungjawab kepada pemberi mandat.
Penyebutan istilah “keputusan yang berisi peraturan” harus dibaca sebagai
“peraturan” yang berlaku saat ini, mengingat pada saat A. Hamid S. Attamimi
menulis makalah (1992), dikenal bentuk produk hukum “keputusan yang berisi
penetapan” (beschikking) dan “keputusan yang berisi peraturan” (regeling). Oleh
karena itu, “keputusan yang berisi peraturan” tidak termasuk bagian dari
perbuatan keputusan (beschikkingdaad van de administratie), tetapi termasuk
perbuatan di bidang pembuatan peraturan (regelen daad van de administratie).
Peraturan perundang-undangan memiliki ciri-ciri sebagai berikut : (1) Bersifat
umum dan komprehensif; (2) Bersifat universal dan dibuat untuk menghadapi
peristiwa-peristiwa yang akan datang yang belum jelas bentuk konkretnya; dan (3)
Memiliki kekuatan untuk mengoreksi dan memperbaiki dirinya sendiri. Oleh karena
itu peraturan perundang-undangan bersifat umum-abstrak, karena tidak hanya
berlaku pada waktu tertentu, tempat tertentu, orang tertentu, dan fakta hukum
tertentu.11
Sementara itu dalam negara kesejahteraan (welfare state),12 tugas
pemerintah (daerah) tidak hanya terbatas untuk melaksanakan undang-undang
yang telah dibuat oleh lembaga legislatif. Dalam perspektif welfare state,
11 Eni Rohyani, Ibid, hlm. 94 12 Darwin Ginting dalam buku “Hukum Kepemilikan Atas Tanah (Hak Menguasai Negara dalam
Sistem Hukum Pertanahan Indonesia),” Ghalia Indonesia, Bogor, 2010 hlm. 10, Konsep Negara Kesejahteraan dalam perkembangannya dibedakan antara negara kesejahteraan terdiferensiasi (differensiated welfare state) biasanya disebut sebagai negara kesejahteraan (welfare state) saja dan negara kesejahteraan yang terintegrasi (integrated welfare state) dikenal dengan negara koorporatis (coorporatist welfare state) sebagai pengembangan yang pertama. Konsep negara kesejahteraan yang terdiferensiasi didominasi oleh negara-negara yang menganut sistem ekonomi pasar bebas dan sistem politik plural. Dalam konteks ini, kelompok-kelompok kepentingan bersaing satu sama lain dalam berjuang memengaruhi keputusan politik. Usaha kesejahteraan sosial dipisahkan dari ekonomi, dan usaha kesejahteraan sosial yang dilakukan negara tersebut menjadi bidang yang otonom. Sebaliknya, konsep negara kesejahteraan yang terintegrasi, didominasi oleh negara dengan system politik dan ekonomi yang disebut koorporatisme. Dalam negara koorporasi, pemerintah bekerjasama dengan komunitas bisnis dan serikat pekerja dalam mengatur ekonomi dan mengintegrasikan kesejahteraan sosial ke dalam kebijakan ekonomi dan sosial yang menyeluruh. Idealnya, Indonesia masuk dalam kategori negara kesejahteraan yang koorporasi, karena didasarkan pada tujuan negara yang terdapat dalam Alinea IV Pembukaan UUD 1945 yang menekankan pada tanggung jawab negara terhadap kesejahteraan rakyatnya.
19
pemerintah daerah dibebani kewajiban untuk menyelenggarakan kepentingan
umum atau mengupayakan kesejahteraan rakyat, dan dalam menyelenggarakan
kewajiban itu pemerintah daerah diberi kewenangan untuk melakukan campur
tangan dalam kehidupan masyarakat, dalam batas-batas yang diperkenankan oleh
hukum. Oleh karena itu, pemerintah daerah diberi kewenangan untuk membuat
peraturan perundang-undangan. Dalam pembentukan peraturan perundang-
undangan tersebut, terdapat beberapa persyaratan yang harus dipenuhi, yaitu13:
1. Syarat material, meliputi :
a. Harus dibuat oleh organ atau badan/pejabat yang berwenang membuatnya
(bevoegd);
b. Tidak boleh memuat kekurangan yuridis (geen juridische gebreken in de
wilsvorming) seperti penipuan (bedrog), paksaan (dwang), suap (omkoping)
atau kesesatan (dwaling);
c. Harus berdasarkan keadaan tertentu;
d. Isi dan tujuannya harus sesuai dengan isi dan tujuan peraturan dasarnya
(doelmatig);
e. Harus dapat dilaksanakan dan tidak melanggar peraturan-peraturan lain.
2. Syarat formal, meliputi :
a. Syarat-syarat yang ditentukan berhubung dengan persiapan dibuatnya
keputusan dan cara dibuatnya keputusan;
b. Harus diberi bentuk yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-
undangan yang menjadi dasar dikeluarkannya keputusan;
c. Syarat-syarat, berhubung dengan pelaksanaan keputusan;
d. Jangka waktu harus ditentukan, antara timbulnya hal-hal yang
menyebabkan dibuat dan diumumkannya keputusan.
Disamping itu terdapat asas-asas di dalam peraturan perundang-undangan,
yaitu :
1. Asas hirarki, yaitu suatu peraturan perundang-undangan tidak boleh
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi :
a. peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi derajatnya
mengesampingkan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah
derajatnya (lex superiori derogat legi inferiori).
13 Eni Rohyani, op.cit hlm. 94-95.
20
b. peraturan perundang-undangan hanya dapat dicabut, diubah atau ditambah
oleh atau dengan peraturan perundang-undangan yang sederajat atau yang
lebih tinggi tingkatannya.
c. peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tingkatannya tidak
mempunyai kekuatan hukum dan tidak mengikat apabila bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya.
d. materi muatan yang seharusnya diatur oleh peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi tingkatannya tidak dapat diatur oleh peraturan perundang-
undangan yang lebih rendah tingkatannya.
2. Hak menguji peraturan perundang-undangan :
a. Hak menguji secara materiil, yaitu menguji materi atau isi peraturan
perundang-undangan, apakah sesuai atau bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi derajatnya. (judicial review oleh
Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi)
b. Hak menguji secara formal, yaitu menguji apakah semua formalitas atau
tata cara pembentukan suatu peraturan perundang-undangan sudah
dipenuhi.
3. Undang-undang yang bersifat khusus mengesampingkan undang-undang yang
bersifat umum (lex specialis derogat legi generalis).
4. Undang-undang tidak boleh berlaku surut (asas non retroaktif).
5. Undang-undang yang baru mengesampingkan undang-undang yang lama (lex
posteriori derogat legi priori).14
Pembentukan peraturan perundang-undangan harus merupakan
implementasi dari politik hukum dalam pembentukan sistem hukum dan
penegakannya, antara lain15: (1) Ada satu kesatuan sistem hukum nasional; (2)
Sistem hukum nasional dibangun berdasarkan Pancasila dan UUD 1945; (3) Tidak
ada hukum yang memberikan hak-hak istimewa kepada warganegara tertentu
berdasarkan suku, ras atau agama; (4) Pembentukan hukum memperhatikan
kemajemukan masyarakat; (5) Hukum adat dan hukum tidak tertulis lainnya, diakui
sebagai subsistem hukum nasional, sepanjang nyata-nyata hidup dan
dipertahankan dalam pergaulan masyarakat; (6) Pembentukan hukum
sepenuhnya didasarkan pada partisipasi masyarakat; dan (7) Hukum dibentuk dan
ditegakkan demi kesejahteraan umum atau keadilan sosial bagi seluruh rakyat,
14 Eni Rohyani, ibid, hlm 97. 15 Eni Rohyani, ibid, hlm 98.
21
terwujudnya masyarakat Indonesia yang demokratis dan mandiri, serta
terlaksananya negara hukum yang berkonstitusi.16
Peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh pemerintah daerah
sebagai sumber hukum formal adalah semua produk hukum yang mengikat
langsung seluruh masyarakat di daerah yang bersangkutan. Keseluruhan aturan
hukum yang tercakup di dalam undang-undang dalam arti materil disebut
peraturan perundang-undangan atau regeling, yang tersusun dalam satu hirarki
atau tata urutan yang menunjukkan derajat atau kedudukan peraturan perundang-
undangan. Montesquieu menganggap bahwa peraturan perundang-undangan
merupakan perwujudan akal sehat manusia (’la raison humaine) dan sebagai alat
pelaksanaan nalar manusia (’als ein anordenungsfall dieser raison humain’),
karena salah satu peran penting dari peraturan perundang-undangan adalah
menciptakan kebijakan untuk membimbing perilaku masyarakat dan
penyelenggara negara agar sesuai dan sejalan dengan apa yang diharapkan.
Dengan lahirnya suatu peraturan perundang-undangan dalam tatanan kehidupan
sosial, maka peraturan perundang-undangan tersebut diasumsikan telah
mengemban fungsi ekspresif, yaitu mengungkapkan pandangan hidup, nilai-nilai
budaya dan keadilan. Disamping itu, mengemban pula fungsi instrumental, yaitu
sarana untuk menciptakan dan memelihara ketertiban, stabilitas dan
prediktabilitas, sarana pendidikan serta pengadaban masyarakat, dan sarana
pembaharuan masyarakat (mendorong, mengkanalisasi dan mengarahkan
perubahan masyarakat) 17.
Kualifikasi norma hukum menurut H.D. van Wijk dan Willem Konijnenbelt
yaitu:
1. Umum-abstrak: peraturan umum, contohnya peraturan perundang-undangan
lalu lintas jalan 1990 (suatu Peraturan Pemerintah), peraturan bangunan;
2. Umum-konkret: keputusan tentang larangan parkir pada jalan tertentu,
pernyataan tidak dapat didiaminya suatu rumah;
3. Individual-abstrak: izin yang disertai syarat-syarat yang bersifat mengatur dan
abstrak serta berlaku secara permanen, contohnya izin berdasarkan undang-
undang pengelolaan lingkungan;
4. Individual-konkret: surat ketetapan pajak, pemberian subsidi untuk suatu
kegiatan, keputusan mengenai pelaksanaan paksaan pemerintah. 18
Penggolongan sifat norma hukum yang paling umum menurut J.J.H.
Bruggink yaitu19: (1) Perintah (gebod), yaitu kewajiban umum untuk melakukan
16 Eni Rohyani, ibid, hlm 99. 17 B. Arief Sidharta, Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2000, hlm. 189 18 Eni Rohyani, op.cit hlm. 98.
22
sesuatu; (2) Larangan (verbod), yaitu kewajiban umum untuk tidak melakukan
sesuatu; (3) Pembebasan (vrijstelling), yaitu pembolehan khusus untuk tidak
melakukan sesuatu yang secara umum diharuskan; dan (4) Izin (toestemming),
yaitu pembolehan khusus untuk melakukan sesuatu yang secara umum dilarang.
Kendatipun peraturan perundang-undangan dimaksudkan sebagai
instrumen untuk mengimplementasikan tugas dan wewenang pemerintah daerah
yang ditujukan pada pencapaian kesejahteraan rakyat, namun seringkali peraturan
perundang-undangan dijadikan sebagai alat untuk melakukan perbuatan atau
tindakan penyalahgunaan wewenang. Hal ini menjadi titik rawan dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan, disamping terjadinya
disharmonisasi, inkonsistensi dan disorientasi peraturan perundang-undangan.
Disharmonisasi biasanya terjadi antara peraturan perundang-undangan di pusat,
provinsi dan kabupaten/kota; sedangkan inkonsistensi biasanya terjadi antara
peraturan perundang-undangan dengan peraturan pelaksanaannya. Dalam
beberapa kasus, inkonsistensi bahkan terjadi antar rumusan pasal dalam satu
peraturan perundang-undangan; disorientasi biasanya berupa pembiasan dari
maksud dan tujuan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar
pembentukan Perda.20
Berbicara dasar filosofis dalam pembentukan peraturan perundang-
undangan yang telah dikemukakan di atas, apabila dilihat dari perspektif filsafat
hukum, hal ini terkait dengan pengembanan hukum praktikal, yang diantaranya
meliputi pembentukan hukum yaitu perundang-undangan, putusan konkret
(ketetapan, vonis), dan tindakan nyata. Meuwissen21 menyatakan bahwa
pengembanan hukum praktikal atau penanganan hukum secara nyata dalam
kenyataan kehidupan mengenal 3 (tiga) bentuk, yaitu pembentukan hukum,
penemuan hukum, dan bantuan hukum. Dalam hal ini llmu Hukum Dogmatika
menunjukkan kepentingan praktikalnya secara langsung. Pembentukan hukum
adalah penciptaan hukum baru dalam arti umum. Pada umumnya hal itu berkaitan
dengan perumusan aturan-aturan umum, yang dapat berupa penambahan atau
perubahan aturan-aturan yang sudah berlaku. Di samping itu, pembentukan
hukum juga dapat ditimbulkan dari keputusan-keputusan konkret (hukum preseden
atau yurisprudensi). Juga dapat terjadi berkenaan dengan tindakan nyata, yaitu
dengan suatu tindakan "yang hanya terjadi sekali saja" (einmalig) yang dilakukan
oleh pihak yang berwenang atau organ-organ pusat berdasarkan konstitusi
(pemerintah dan parlemen), misalnya yang menimbulkan perubahan fundamental
19 B. Arief Sidharta, Refleksi tentang Hukum, 1996, hlm. 100. 20 Eni Rohyani, op.cit hlm. 99. 21 Meuwissen, Tentang Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum, dan Filsafat Hukum B. Arief
Sidharta, PT Refika Aditama, Bandung, 2009, hlm. 9-10
23
pada hukum tata negara tanpa perubahan undang-undang atau Undang-Undang
Dasar. Ini bukan hukum kebiasaan, melainkan lebih merupakan sejenis hukum
preseden yang bukan keputusan hakim (niet rechterlijkeprecedentemecius).
Namun, perundang-undangan adalah jenis pembentukan hukum yang paling dan
juga paling modern. Di dalamnya diciptakan suatu model perilaku abstrak, yang di
kemudian hari diharapkan dapat dipergunakan untuk dapat menyelesaikan
masalah-masalah kemasyarakatan konkret. Keabstrakan dari sifat umum
perundang-undangan justru akan menghilang dengan konkretisasi. Dalam
penerapan pada kejadian konkret, maka keumuman dari undang-undang
diwujudkan, dijadikan kenyataan. Masih menurut Meuwissen, pada perundangan-
undangan dapat dibedakan 2 (dua) momen sentral (unsur pokok), yaitu: Pertama
adalah momen politik-idiil. Dengan itu dimaksudkan hal menampilkan isi undang-
undang yang diinginkan (diaspirasikan). Hal ini berkaitan dengan hal
mengartikulasi atau mengolah tujuan-tujuan politik (oleh politisi, pejabat negara,
yuris, dan lain-lain), sehingga penyelesaian-penyelesaian politik tertentu menjadi
dimungkinkan. Hal menciptakan perundang-undangan adalah tindakan politik,
perundangan-undangan adalah tujuan dan hasil proses-proses politik. Tetapi
sesungguhnya perundang-undangan bukan hanya sekedar endapan dari
konstelasi politik empirikal, ia juga memiliki aspek normatif. Unsur idiil perundang-
undangan mengimplikasikan bahwa ia merealisasikan apa yang menurut asas-
asas hukum (ide hukum, cita hukum) seharusnya direalisasikan. Politik dan hukum
saling berkaitan secara erat. Kedua, perundang-undangan memiliki sifat teknikal.
Perundang-undangan mengandaikan kemampuan untuk merumuskan
pemahaman-pemahaman umum ke dalam naskah-naskah normatif yang konkret.
Apa yang dinamakan teknik perundang-undangan telah menjadi suatu keahlian
tersendiri. Berdasarkan semua itu, dapat dikatakan bahwa perundang-undangan
adalah bentuk yang paling sempurna yang didalamnya tidak hanya paham-paham
politik tetapi juga filsafat hukum bagi kita menjadi langsung relevan secara
praktikal. Terutama J.J. Rousseau telah memperlihatkan bagaimana ide hukum
(cita-hukum) memperoleh bentuknya yang khas dalam perundang-undangan,
artinya kebebasan tampil dalam undang-undang yang berlaku sama bagi setiap
orang, jadi dalam suatu bentuk abstrak dan umum. Perundang-undangan
bukanlah sesuatu yanq terjadi begitu saja, melainkan, konform pandangan Barat,
suatu kategori fundamental dari pemikiran filsafat hukum. Menurut Meuwissen,
penemuan hukum ihwalnya adalah berkenaan dengan hal mengkonkretisasikan
produk pembentukan hukum. Penemuan hukum adalah proses kegiatan
pengambilan keputusan yuridik konkret yang secara langsung menimbulkan akibat
hukum bagi suatu situasi individual (putusan-putusan hakim, ketetapan,
24
pembuatan akta oleh notaris, dan sebagainya). Dalam arti tertentu, penemuan
hukum adalah pencerminan pembentukan hukum. Jika pada pembentukan hukum
yang terjadi adalah menetapkan hal umum yang berdasarkan pada saatnya dapat
dijabarkan hal yang khusus, maka pada penemuan hukum hal yang khususlah
yang mengemuka (dimunculkan terlebih dahulu), namun pada saat yang
bersamaan dapat dikonstatasi dampak keberlakuan secara umum. Mengenai
preseden atau pseudo perundang-undangan, berbeda halnya dengan
pembentukan hukum, karena kekhasan dari penemuan hukum telah mendapat
perhatian (pembahasan) yang luas dalam teori hukum dan filsafat hukum.22
Sementara itu Nonet dan Selznick23 (Nonet, Philippe and Selznick, Philip,
Law and Society in Transition: Toward Responsive Law, memperkenalkan 3 (tiga)
tipe hukum, yang salah satunya adalah Hukum Responsif yang menurut penulis
selaras dengan hukum progresif yang dikemukakan oleh Satjipto Rahardjo. Nonet
dan Selznick membedakan 3 (tiga) klasifikasi dasar dari hukum dalam masyarakat,
yaitu: hukum sebagai pelayan kekuasaan represif (hukum represif), hukum
sebagai institusi tersendiri yang mampu menjinakkan represi dan melindungi
integritas dirinya (hukum otonom), dan hukum sebagai fasilitator dari berbagai
respon terhadap kebutuhan dan aspirasi sosial (hukum responsif). Nonet dan
Selznick beranggapan, bahwa hukum represif, otonom, dan responsif bukan saja
merupakan tipe-tipe hukum yang berbeda tetapi dalam beberapa hal juga
merupakan tahapan-tahapan evolusi dalam hubungan hukum dengan tertib sosial
dan tertib politik. Keduanya selanjutnya menyebut tahapan-tahapan evolusi
tersebut sebagai model perkembangan (developmental model). Di antara ketiga
tipe hukum tersebut, Nonet dan Selznick berargumen bahwa hanya hukum
responsif yang menjanjikan tertib kelembagaan yang langgeng dan stabil. Model
perkembangan dapat disusun ulang dengan fokus pada hukum otonom, dengan
menunjuk pada konflik-konflik pada tahapan tersebut yang menimbulkan tidak
hanya risiko kembalinya pola-pola represif namun juga kemungkinan terjadinya
responsivitas yang lebih besar. Hukum responsif berorientasi pada hasil, pada
tujuan-tujuan yang akan dicapai di luar hukum. Dalam hukum responsif, tatanan
hukum dinegosiasikan, bukan dimenangkan melalui subordinasi. Ciri khas hukum
responsif adalah mencari nilai-nilai tersirat yang terdapat dalam peraturan dan
kebijakan. Dalam model hukum responsif ini, mereka menyatakan ketidaksetujuan
terhadap doktrin yang dianggap mereka sebagai interpretasi yang baku dan tidak
fleksibel. Teori hukum responsif adalah teori hukum yang memuat pandangan
kritis. Teori ini berpandangan bahwa hukum merupakan cara mencapai tujuan. 22 Meuwissen, Ibid. hlm. 11. 23 Nonet philippe dan Philip Selznick, Law & Society in Transition: Toward Responsive Law, 1978, Alih
bahasa oleh Rafael Edy Bosco, Hukum Responsif, Pilihan di masa transisi.
25
Hukum tidak hanya rules (logic and rules), tetapi juga ada logika-logika yang lain.
Bahwa memberlakukan jurisprudence saja tidak cukup, tetapi penegakan hukum
harus diperkaya dengan ilmu-ilmu sosial, dan ini merupakan tantangan bagi
seluruh pihak yang terlibat dalam proses penegakan hukum, mulai dari polisi,
jaksa, hakim, dan advokat untuk bisa membebaskan diri dari kungkungan hukum
murni yang kaku dan analitis produk hukum yang berkarakter responsif proses
pembuatannya bersifat partisipasif, yakni mengundang sebanyak-banyaknya
partisipasi semua elemen masyarakat, baik dari segi individu, ataupun kelompok
masyarakat dan juga harus bersifat aspiratif yang bersumber dari keinginan atau
kehendak dari masyarakat. Artinya produk hukum tersebut bukan kehendak dari
penguasa untuk melegitimasikan kekuasaannya.24
Menurut hemat penulis, dalam konteks tersebut hukum yang responsif
adalah hukum yang mampu mengimplementasikan keinginan masyarakat atau
adaptif dengan kebutuhan masyarakat. Untuk membentuk hukum (Perda) yang
responsif, maka aparat penegak hukum dalam memahami dan menjalankan
aturan yang berlandaskan pada prinsip nilai-nilai kemanusiaan yang hidup dan
berkembang dalam masyarakat menjadi sangat penting dan strategis. Aparat
penegak hukum jangan hanya menjadi terompet undang-undang sebagaimana
penganut paham legisme dan positivisme. Untuk itu Indonesia sebagai negara
hukum, harus menyelaraskan hukum dengan nilai-nilai yang terkandung dalam
Pancasila yang merupakan sumber dari segala sumber hukum negara (grund
norm) yang didalamnya mengamokomodasikan nilai-nilai kemanusiaan dan nilai-
nilai keadilan (sila kedua dan kelima Pancasila).
4. Pembentukan Perda sebagai bagian dari Politik Hukum Nasional
Dalam perspektif etimologis, politik hukum merupakan terjemahan dari
istilah hukum Belanda rechtspolitiek, yang merupakan bentukan dari dua kata
rechts dan politiek. Dalam bahasa Indonesia kata Recht berarti hukum, kata
hukum berasal dari kata arab hukm (kata jamaknya ahkam) yang berari putusan
(judgement, verdict, decision), ketetapan (provision), perintah (command),
pemerintah (governant), kekuasaan (authority, power), hukuman (sentencer).25
Adapun dalam kamus bahasa Belanda yang ditulis oleh Vander Tas, kata politiek
mengandung arti beleid. Kata beleid sendiri dalam bahasa Indonesia berati
kebijakan (policy). Dari penjelasan itu bisa dikatakan bahwa politik hukum secara
singkat adalah kebijakan hukum. Adapun kebijakan sendiri dalam kamus Besar
Bahasa lndonesia berarti rangkaian, konsep dan asas yang menjadi garis besar
24 Nonet philippe dan Philip Selznick, Ibid. 25 Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, Dasar-dasar Politik Hukum, Raja Grafindo, Jakarta,
2008, hlm. 6.
26
dan dasar rencana dalam melaksanakan suatu pekerjaan, kepemimpinan dan
cara bertindak. Dengan kata lain politik hukum adalah rangkaian konsep dan asas
yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksaaan suatu pekerjaan,
kepemimpinan, dan cara bertindak dalam bidang hukum.26
Sementara itu, LJ. van Appeldoorn dalam buku Pengantar Ilmu Hukum
menyebut dengan istilah “politik perundang-undangan”.27 Pengertian yang
demikian dapat dimengerti mengingat bahwa di Belanda hukum dianggap identik
dengan undang-undang; hukum kebiasaan tidak tertulis diakui juga akan tetapi
hanya apabila diakui oleh Undang-Undang.28
Menurut Padmo Wahjono, politik hukum adalah kebijakan penyelenggara
negara tentang apa yang dijadikan kriteria untuk menghukumkan sesuatu. Dalam
hal ini kebijakan tersebut dapat berkaitan dengan pembentukan hukum dan
penegakannya.29
Namun kemudian Padmo Wahjono mengoreksi definisi politik hukum
tersebut karena dinilai terlalu abstrak, maka dalam Majalah Forum Keadilan,
Padmo Wahjono mengatakan bahwa politik hukum adalah kebijakan
penyelenggara negara yang bersifat mendasar dalam menentukan arah, bentuk
maupun dari isi hukum yang akan dibentuk dan tentang apa yang menjadi kriteria
untuk menghukumkan sesuatu.30
Terkait dengan politik hukum sebagai implementasi dari pembentukan
substansi hukum (legal substance), seringkali peraturan perundang-undangan
(termasuk Perda) diidentikkan dengan hukum, atau orang sering mengartikan
hukum adalah peraturan perundang-undangan. Sebenarnya, peraturan
perundang-undangan hanya merupakan bagian dari hukum. karena di luar
peraturan perundang-undangan, masih banyak yang dipelajari terkait dengan
hukum. Dalam sistem hukum pun, peraturan perundang-undangan hanya
merupakan salah satu bagian dari sub sistem substansi hukum atau Iegal
substance. Sub sistem yang lain adalah legal structure, dan legal culture31.
Berdasarkan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, hierarkhi peraturan perundang-
26 Ibid, hlm. 7. 27 LJ Van Appeldorn, Pengantar Ilmu Hukum (terjemahan Supomo), Pranadya Paramitha, Cet. Ke-18, 1981,
hlm. 390. 28 A.S.S Tambunan, Politik Hukum Berdasarkan UUD 1945, Puporis Publishers, Jakarta, 2002, hlm.9. 29 Padmowahyono, Indonesia Berdasar atas Hukum, Ghalia Indonesia Cet.II, Jakarta, 1986, hlm. 160. 30 Padmowahyono, Menyelisik Proses Terbentuknya Perundang-undangan, Forum Keadilan Nomor 29 (April
1991), hlm.65. 31 Lawrence M.Friedmann menyatakan ada tiga unsur yang terkait dalam sistem hukum, yaitu struktur
hukum (legal structure), substansi hukum (legal substance), dan kultur hukum (legal culture). Lawrence M. Friedruann, The Legal System : A Sosial Science Perspektive. New lbrk; Russel Sage Foundation. 1969. hlm 16.
27
undangan terdiri dari UUD 1945, Tap MPR, Undang-Undang/Perpu, Peraturan
Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah Provinsi, dan Peraturan
Daerah Kabupaten/Kota.
Masih berkaitan dengan politik hukum, Mahfud MD mengatakan bahwa
hukum adalah perintah dari penguasa (law is a command of the lawgiver), dalam
arti perintah dari mereka yang memiliki kekuasaan tertinggi atau yang memegang
kedaulatan. Sistem hukum akan selalu berkembang dan berubah sesuai dengan
kemajuan bangsa dan Negara, atau konstruksi politik Negara, sebagaimana
diuraikan bahwa salah satu unsur yang penting dari konstruksi politik yang harus
menjiwai sistem hukum adalah falsafah dasar Negara dan pandangan hidup
bangsa.32 Dalam hal ini, hukum Indonesia erat kaitannya dengan politik, yang
kemudian muncul tawar-menawar kekuatan politik di parlemen sangat kuat
dominan memberi warna hukum, khususnya hukum Tata Negara dan Hukum
Administrasi Negara. Dengan demikian sulit dihindari bahwa hukum memang
produk politik. Namun setelah menjadi hukum, maka politik harus tunduk kepada
hokum, karena Indonesia adalah Negara hukum sesuai dengan Pasal 1 ayat (3)
UUD 1945 hasil Amandemen ketiga, yang berbunyi: “ Negara Indonesia adalah
Negara Hukum”.
Sementara itu Sunaryati Hartono33 mengatakan bahwa:
“Pembentukan undang-undang (Perda) yang merupakan proses legislatif mengalami kesulitan dan menghendaki cara dan proses dan cara pembentukan yangsama sekali baru, sebab sebagai akibat pembangunan yang berencana, pembentukan perundang-undangan pun memerlukan perencanaan yang matang yang berorientasi pada masa yang akan datang”.
Perencanaan dimaksud dewasa ini dikenal dengan Program Legislasi Nasional
(Daerah). Dari perspektif politik hukum, Program Legislasi Nasional (Daerah)
merupakan implementasi dari politik hukum Indonesia, khususnya dalam konteks
pembangunan hukum yang berintikan pembuatan dan pembaharuan terhadap
materi-materi hukum agar dapat sesuai dengan kebutuhan.
Program Legislasi Nasional (Daerah) secara sempit dapat diartikan
sebagai penyusunan suatu daftar materi perundang-undangan atau daftar judul
Rancangan Undang-Undang (Perda) yang telah disepakati. Daftar urutan tersebut
dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat atau oleh Pemerintah berdasarkan urgensi
dan prioritas pembentukannya.34
32 Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, LP3ES, Jakarta, 2006. hlm. 3. 33 Sunaryati Hartono dalam buku Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Alumi, Bandung, 1991
hlm.23 34 Naskah Akademik Raperda tentang Penyusunan dan Pengelolaan Prolegda, Biro Hukum dan HAM
Sekretariat Daerah Provinsi Jawa Barat, Tahun 2010, hlm. 15.
28
Dengan demikian Program Legislasi Nasional (Daerah) merupakan
instrumen perencanaan program pembentukan undang-undang yang disusun
secara terencana, terpadu dan sistematis,35 yang secara operasional memuat
daftar Rancangan Undang-Undang (Perda) yang disusun berdasarkan metode
dan parameter tertentu serta dijiwai oleh visi dan misi pembangunan hukum
nasional.
Program Legislasi Nasional (Daerah) diperlukan untuk menata sistem
hukum secara menyeluruh dan terpadu, yang senantiasa harus didasarkan pada
cita-cita proklamasi, dijiwai oleh Pancasila sebagai sumber dari segala sumber
hukum negara dan UUD 1945 sebagai landasan konstitusional (hukum dasar
dalam peraturan perundang-undangan)36.
B. Praktik Empiris
1. Regulasi di Bidang Keolahragaan
Olahraga merupakan bagian dari proses dan pencapaian tujuan
pembangunan nasional, sehingga keberadaan dan peranan olahraga sangat
strategis dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Atas dasar
tersebut, Pemerintah telah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005
tentang Sistem Keolahragaan Nasional. Ditetapkannya undang-undang tersebut
dilatarbelakangi oleh kondisi dimana bidang keolahragaan hanya diatur oleh
peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang, bersifat parsial atau
belum mengatur semua aspek keolahragaan nasional secara menyeluruh, dan
belum mencerminkan tatanan hukum yang tertib di bidang keolahragaan. Selain
itu, permasalahan keolahragaan nasional semakin kompleks dan berkaitan
dengan dinamika sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat dan bangsa serta
tuntutan perubahan global, sehingga diperlukan pengaturan bidang keolahragaan
yang menyeluruh dengan memperhatikan semua aspek terkait, adaptif terhadap
perkembangan olahraga dan masyarakat, sekaligus sebagai instrumen hukum
yang mampu mendukung pembinaan dan pengembangan keolahragaan nasional
pada masa kini dan masa yang akan datang.
Dalam konteks pembinaan dan pengembangan keolahragaan nasional, hal
yang ingin dicapai adalah terjaminnya pemerataan akses terhadap olahraga,
peningkatan kesehatan dan kebugaran, peningkatan prestasi, dan manajemen
keolahragaan yang mampu menghadapi tuntutan perubahan kehidupan nasional.
Dalam hal ini diperlukan sistem keolahragaan yang sifatnya nasional, yang
35 Pasal 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Perundang-undangan. 36 Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Perundang-undangan.
29
mengakar pada nilai-nilai keolahragaan, kebudayaan nasional Indonesia, dan
tanggap terhadap untutan perkembangan olahraga. Hal ini sejalan dengan
pembangunan nasional di bidang olahraga sebagaimana diamanatkan dalam
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional,
yang menyebutkan bahwa: “Pembangunan nasional di bidang olahraga
merupakan upaya meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia secara
jasmaniah, rohaniah, dan sosial mewujudkan masyarakat yang maju, adil,
makmur, sejahtera dan demokratis berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia tahun 1945.”
Sebagai turunan dari Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem
Keolahragaan Nasional, telah dikeluarkan 3 (tiga) paket Peraturan Pemerintah,
yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan
Keolahragaan Nasional, Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2007 tentang
Pekan dan Kejuaraan Olahraga, dan Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2007
tentang Pendanaan Keolahragaan.
Pengaturan penyelenggaraan keolahragaan nasional dilatarbelakangi oleh
tuntutan perubahan global yang semakin kompleks, sehingga sudah saatnya
Pemerintah memperhatikan dan mengaturnya secara terencana, sistematik,
holistik, dan berkesinambungan dan mengelolanya secara profesional sebagai
strategi untuk mencapai tujuan dan sasaran pembangunan nasional.
Penyelenggaraan keolahragaan sebagai bagian dari suatu bangunan sistem
keolahragaan nasional mencakup pembinaan dan pengembangan olahraga
pendidikan, olahraga rekreasi, olahraga prestasi, olahraga amatir, olahraga
profesional, dan olahraga bagi penyandang cacat, sarana olahraga, ilmu
pengetahuan dan teknologi keolahragaan serta standardisasi, akreditasi, dan
sertifikasi.
Dilandasi semangat otonomi daerah, Peraturan Pemerintah ini mengatur
pembagian tugas, tanggung jawab, dan wewenang meliputi Pemerintah, Menteri
dan menteri yang terkait, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota,
gubernur dan bupati/walikota, induk organisasi cabang olahraga, induk organisasi
fungsional olahraga di tingkat pusat, provinsi dan kabupaten/kota, serta
masyarakat umum.
Dengan kejelasan dan ketegasan pengaturan mengenai tugas, tanggung
jawab dan wewenang, Pemerintah dan pemerintah daerah dapat meningkatkan
efektifitas dan efisiensi penyelenggaraan urusan pemerintahan, mutu pelayanan
publik di bidang keolahragaan, dan pembinaan dan pengembangan potensi
30
unggulan daerah melalui partisipasi aktif masyarakat. Peraturan Pemerintah ini
diarahkan untuk mencegah penyelenggaraan industri olahraga profesional
berorientasi pada bisnis semata (business-oriented) yang mengabaikan
kepentingan olahragawan, pelaku olahraga, dan masyarakat luas.
Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2007 merupakan pengaturan bagi
alih status dan perpindahan pelaku olahraga/tenaga keolahragaan baik antar
daerah maupun antarnegara, untuk selanjutnya dapat dijabarkan secara lebih
teknis dan administratif oleh para pelaksana baik ditingkat komite olahraga
nasional, induk organisasi cabang olahraga, induk organisasi olahraga fungsional,
dan organisasi olahraga lainnya.
Pengaturan alih status dan perpindahan pelaku olahraga dititikberatkan
pada 3 pendekatan yaitu:
a. hak dan persyaratan mengingat proses ini berkaitan dengan hak asasi
manusia, keselamatan, kesejahteraan, serta masa depan pelaku olahraga;
b. kerangka pembinaan dan pengembangan olahragawan yang harus berjalan
secara teratur ditinjau dari organisasi maupun administrasi; dan
c. kewajiban tenaga keolahragaan asing untuk menghormati hukum Indonesia.
Untuk terlaksananya tugas pembinaan dan pengembangan serta pengawasan
dan pengendalian olahraga profesional secara efektif, fokus, intensif, dan
berkesinambungan. Peraturan Pemerintah ini memberikan dasar yuridis untuk
membentuk badan olahraga profesional di tingkat nasional yang dapat
dibentuk sampai tingkat provinsi dan menjadi dasar hukum bagi pembentukan
kelembagaan baik oleh Pemerintah/pemerintah daerah maupun masyarakat.
Kelembagaan dimaksud meliputi pembentukan dinas olahraga, lembaga
penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi keolahragaan,
Badan Standardisasi dan Akreditasi Nasional Keolahragaan (BSANK), untuk
memajukan pembinaan dan pengembangan olahraga nasional.
Standardisasi, akreditasi, dan sertifikasi keolahragaan sangat penting untuk
menciptakan iklim penyelenggaraan keolahragaan sesuai Standar Nasional
Keolahragaan sebagai acuan yang harus diperhatikan oleh seluruh komponen
dalam pembinaan dan pengembangan keolahragaan nasional. Dalam Peraturan
Pemerintah ini juga ditur mengenai landasan yuridis bagi Menteri untuk
menetapkan standardisasi dan akreditasi keolahragaan nasional dengan tetap
memperhatikan prinsip transparansi dan akuntabilitas. Selain itu menempatkan
organisasi olahraga berbasis masyarakat sebagai organisasi yang mandiri dan
mitra strategis Pemerintah dan pemerintah daerah dalam membina dan
31
mengembangkan keolahragaan nasional. Peraturan Pemerintah ini mengakui dan
memberikan kepastian hukum bagi organisasi keolahragaan yang melakukan
pembinaan dan pengembangan olahraga pendidikan, olahraga rekreasi, dan
olahraga prestasi, baik di pusat maupun di daerah. Peraturan Pemerintah ini
memberikan kepastian dan jaminan hukum kepada induk organisasi cabang
olahraga, pengurus cabang olahraga tingkat provinsi, pengurus cabang olahraga
tingkat kabupaten/kota, organisasi olahraga fungsional, organisasi olahraga
khusus penyandang cacat, klub/perkumpulan, sasana, sanggar, komite olahraga
nasional, komite olahraga provinsi, komite olahraga kabupaten/kota, dan Komite
Olimpiade Indonesia untuk menyelenggarakan kegiatan keolahragaan sesuai
tugas, kewajiban, wewenang, dan tanggung jawabnya masing-masing.
Bahwa organisasi keolahragaan harus berbadan hukum tidak dimaksudkan
untuk membatasi hak konstitusional dan kemandirian masyarakat dalam
berorganisasi, akan tetapi harus dipahami sebagai strategi nasional untuk
mengembangkan organisasi keolahragaan nasional yang memiliki manajemen
pengorganisasian yang profesional, efektif, dan berdaya saing serta untuk
memudahkannya dalam membina kerjasama dan koordinasi yang efektif, baik
dengan Pemerintah dan pemerintah daerah maupun antar sesama organisasi
olahraga.
Pengaturan larangan rangkap jabatan pengurus komite olahraga nasional,
komite olahraga provinsi, dan komite olahraga kabupaten/kota dengan jabatan
struktural dan/atau jabatan publik, dimaksudkan untuk menghindari kemungkinan
terjadinya konflik kepentingan di dalam kepengurusan yang berpotensi terjadinya
penyalahgunaan kewenangan, dan untuk menjaga kemandirian dan netralitas,
serta menjamin keprofesionalan dalam pengelolaan keolahragaan. Prinsip prinsip
transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi publik dalam penyelenggaraan
keolahragaan diwujudkan antara lain melalui pelaksanaan pengawasan yang
melibatkan semua pihak. Pengawasan dilakukan untuk menjamin berjalannya
mekanisme kontrol, menghindari kekurangan dan penyimpangan, dan evaluasi
kinerja semua pihak yang diberikan kewenangan untuk menangani
penyelenggaraan keolahragaan oleh Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005.
Objek pengawasan dalam Peraturan Pemerintah ini tidak terbatas pada
pelaksanaan tugas, wewenang, dan tanggung jawab instansi
Pemerintah/pemerintah daerah akan tetapi mencakup semua sub sistem
penyelenggaraan olahraga pendidikan, olahraga rekreasi, dan olahraga prestasi.
32
Hal ini dikarenakan pengawasan sebagai subsistem keolahragaan saling
terkait dengan sub sistem lainnya dalam sistem keolahragaan nasional secara
terencana, terpadu, dan berkelanjutan untuk mendukung upaya pencapaian tujuan
keolahragaan nasional.
Efektivitas pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat tergantung pada
keterbukaan dan ketersediaan informasi keolahragaan yang dapat diakses
masyarakat sebagai sumber informasi bagi masyarakat untuk melakukan
penyampaian pendapat, pelaporan atau pengaduan, pengajuan usul, monitoring,
atau peninjauan atas penyelenggaraan keolahragaan. Masyarakat berhak
memperoleh informasi antara lain mengenai pengelolaan anggaran yang
bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)/Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Masyarakat juga dapat mengajukan pelaporan/pengaduan dalam hal
diketemukan penyimpangan atau kekurangan dalam penyelenggaraan
keolahragaan. Peraturan Pemerintah ini memberikan dasar yuridis kepada
Menteri, gubernur, dan bupati/walikota untuk menjatuhkan sanksi administratif
bagi siapa saja yang melakukan pelanggaran/penyimpangan di wilayah yang
menjadi kewenangannya.
Selain Peraturan Pemerintah tentang Penyelenggaraan Keolahragaan,
Pemerintah telah menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2007
tentang Pekan dan Kejuaraan Olahraga.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem
Keolahragaan Nasional mewajibkan setiap penyelenggara kejuaraan olahraga
memperhatikan tujuan keolahragaan nasional serta prinsip-prinsip
penyelenggaraan olahraga. Penyelenggaraan kejuaraan olahraga merupakan
bagian yang integral dari upaya pembinaan olahraga, bahkan penyelenggaraan
kejuaraan olahraga merupakan titik kulminasi dari upaya pembinaan secara
menyeluruh, mulai dari membangkitkan minat, pemanduan bakat, seleksi dan
kompetisi, pembinaan yang berkesinambungan sampai pada pencapaian prestasi
puncak. Dalam pengukuran prestasi puncak inilah diatur tentang penyelenggaran
kejuaraan olahraga. Di dalam dinamika perkembangan olahraga sekarang dan di
masa-masa mendatang penyelenggaraaan kejuaraan olahraga akan berjalan
sedemikian jauh, sehingga penyelenggaraan olahraga akan menjadi ajang
pertarungan martabat dan kehormatan bangsa, bahkan penyelenggaraan
kejuaraan olahraga saat ini sudah merupakan persaingan bisnis dan industri
33
olahraga yang pada akhirnya menciptakan lapangan kerja dan dapat menjadi
salah satu sumberbagi devisa negara.
Intensitas kejuaraan olahraga sekarang ini cukup tinggi dan dilakukan mulai
dari tingkat internasional, tingkat nasional, sampai pada tingkat kabupaten/kota,
diselenggarakan dalam bentuk kejuaraan multi event maupun single event.
Dengan dinamika yang demikian, maka peranan penyelenggaraan kejuaraan
olahraga menjadi amat penting. Jika hal tersebut dilakukan secara berjenjang dan
berkesinambungan akan menjadi ajang seleksi dan pemberian pengalaman
bertanding bagi para olahragawan yang selanjutnya kegiatan tersebut akan
berfungsi sebagai hiburan yang mempunyai nilai komersial.
Dengan cakupan penyelenggaraan kejuaraan yang sedemikian luasnya
dan menyangkut berbagai aspek maka penyelenggaraan kejuaraan olahraga perlu
diatur dalam suatu Peraturan Perundang-undangan agar semua aspek yang
berkaitan dan berpengaruh terhadap penyelenggaraan kejuaraan dapat
menunjang dan saling bersinergi dalam rangka keberhasilan penyelenggaraan
keolahragaan nasional untuk mencapai tujuannya. Sebagai dampak dari proses
globalisasi sekarang ini, penyelenggaraan kegiatan olahraga telah mengalami
perubahan yang sangat signifikan, antara lain terjadinya arus perpindahan dalam
hubungan dengan penggunaan pelaku olahraga asing di Indonesia, penggunaan
prasarana, sarana, dan metoda baru sehingga menimbulkan intensitas yang tinggi
terhadap keterlibatan pelaku olahraga yang pada umumnya berkaitan dengan
olahraga profesional.
Dalam hubungan dengan penyelenggaraan kejuaraan, Peraturan
Pemerintah Nomor 17 Tahun 2007 tentang Pekan dan Kejuaraan Olahraga
mengatur secara jelas hal-hal pokok yang berkaitan dengan pekan olahraga dan
kejuaraan olahraga. Pekan olahraga secara jelas diklasifikasi dalam pekan
olahraga internasional, pekan olahraga nasional, pekan olahraga wilayah, dan
pekan olahraga daerah. Sedangkan kejuaraan olahraga dibagi menjadi kejuaraan
olahraga tingkat internasional, kejuaraan olahraga tingkat nasional, kejuaraan
olahraga tingkat wilayah, kejuaraan olahraga tingkat provinsi, dan kejuaraan
olahraga tingkat kabupaten/kota.
Pengaturan tentang pekan olahraga internasional diatur sesuai dengan
ketentuan yang berlaku dalam Olympic Charter dengan memberikan peran
kepada Komite Olimpiade Indonesia (KOI) sesuai dengan fungsinya. KOI
melaksanakan keikutsertaan Indonesia dalam pekan olahraga internasional
seperti Olimpiade,Asian Games, SEA Games, dan lain-lain. Fungsi ini sebelumnya
34
merupakan bagian dari fungsi Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) dan
dipisahkan dari KONI sesuai dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005
tentang Sistem Keolahragaan Nasional dan Peraturan Pemerintah Nomor 17
Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pekan dan Kejuaraan Olahraga.
Sedangkan pengaturan pekan olahraga yang dilaksanakan di dalam negeri
mulai dari pekan olahraga nasional, wilayah, daerah, penyandang cacat, serta
pelajar, mahasiswa, dan sejenisnya diatur dalam Peraturan Pemerintah ini,
termasuk hal-hal yang berkaitan dengan mekanisme dan koordinasinya.
Pengaturan tentang kejuaraan olahraga diarahkan untuk mencapai tujuan
pemassalan, penjaringan bibit, memberikan pengalaman bertanding,
meningkatkan prestasi dan memelihara persatuan dan kesatuan bangsa.
Dalam setiap pertandingan baik pekan olahraga maupun kejuaraan
olahraga, doping dilarang dalam bentuk apapun sesuai dengan ketentuan anti
doping. Pengawasan doping ini dilakukan oleh Pemerintah yang pelaksanaannya
diserahkan kepada lembaga anti doping nasional.
Berpijak dari latar belakang pemikiran seperti itulah, maka kehadiran
Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2007 sangat diperlukan agar semua
kegiatan dapat diatur secara terpadu dan dapat mendukung upaya keberhasilan
sistem keolahragaan nasional sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2005.
2. Kelembagaan Olahraga
Terdapat berbagai macam nomenklatur kelembagaan keolahragaan di
Provinsi dan Kabupaten/Kota. Ada yang berdiri sendiri seperti Dinas Olahraga dan
Pemuda di Provinsi Jawa Barat, tetapi ada pula yang merupakan bidang atau
bagian keolahragaan yang secara struktural berada di bawah Organisasi
Perangkat Daerah. Misalnya keolahragaan menjadi salah satu bidang dalam
Struktur Organisasi Dinas Pendidikan.
Di kota Sukabumi, nomenklatur kelembagaannya adalah Dinas Pemuda,
Olahraga, Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Kota Sukabumi, yang dibentuk
berdasarkan Peraturan Daerah Kota Sukabumi Nomor 16 Tahun 2012 tentang
Organisasi Perangkat Daerah Kota Sukabumi.
35
Struktur Organisasi dan Tata Kerja Dinas Pemuda, Olahraga, Pariwisata
dan Ekonomi Kreatif Kota Sukabumi adalah sebagai berikut:
1. Kepala Dinas;
2. Sekretariat, membawahkan :
b. Subbagian Umum dan Kepegawaian;
c. Subbagian Keuangan; dan
d. Subbagian Perencanaan Program.
3. Bidang Kepemudaan dan Olahraga, membawahkan :
a. Seksi Bina Organisasi Kepemudaan;
b. Seksi Bina dan Pengembangan Olahraga; dan
c. Seksi Peningkatan Sarana Prasarana Pemuda dan Olahraga.
4. Bidang Pariwisata dan Ekonomi Kreatif membawahkan :
b. Seksi Promosi dan Pengembangan Pariwisata;
c. Seksi Pengembangan Ekonomi Kreatif; dan
d. Seksi Peningkatan Sarana Prasarana Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.
5. UPT; dan
6. Kelompok Jabatan Fungsional.
Visi Dinas Pemuda, Olahraga, Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Kota
Sukabumi adalah “Terwujudnya Sumber Daya Yang Kompetitif Di Bidang Pemuda,
Olahraga, Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Kreatif serta Berdaya Saing Tinggi.”
Adapun Dinas Pemuda, Olahraga, Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Kota
Sukabumi adalah :
1. Mewujudkan sumber daya manusia yang sportif, terampil, handal dan
profesional.
2. Mewujudkan terjangkau di Bidang Pemuda, Olahraga, Pariwisata dan Ekonomi
Kreatif.
3. Mewujudkan Sarana dan Prasarana Berkualitas di Bidang Pemuda, Olahraga,
Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.
4. Mewujudkan Pelestarian dan menggali nilai-nilai seni, pariwisata, sejarah dan
tradisional.
5. Mengembangkan Sumber Daya Alam pendukung Sektor Kepariwisataan
Daerah.
6. Mewujudkan Peningkatan Kualitas Produk Unggulan daerah yang berdaya
saing tinggi.
36
Program Unggulan Dinas Pemuda, Olahraga, Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Kota
Sukabumi adalah sebagai berikut :
1. Program Peningkatan Upaya Penumbuhan Kewirausahaan dan Kecakapan
Hidup Pemuda;
2. Program Pengembangan Kebijakan dan Manajemen Olahraga;
3. Program Pembinaan dan Pemasyarakatan Olahraga;
4. Program Pengembangan dan Pemasaran Pariwisata; dan
5. Program Pengembangan Ekonomi Kreatif berbasis Seni dan Budaya.
Fasilitas Pelayanan Kepada Masyarakat :
1. Pembuatan Surat Rekomendasi Surat Izin Usaha Kewirausahaan;
2. Pembuatan Surat Rekomendasi Kegiatan Kepemudaan dan Olahraga; dan
3. Pembuatan Surat Izin Peminjaman Lapangan Olahraga.
Selain 2 (dua) lembaga Pemerintah dan Pemerintah Daerah tersebut,
terdapat pula kelembagaan olahraga seperti Komite Olahraga Nasional Indonesia
(KONI) Pusat, KONI Provinsi, dan KONI di Kabupaten/Kota.
KONI memiliki tugas pokok merencanakan, mengkoordinasikan dan
melaksanakan pembinaan dan peningkatan prestasi Atlet, kinerja Wasit, Pelatih
dan Manajer, guna mewujudkan prestasi keolahragaan nasional menuju prestasi
internasional, serta turut memperkokoh persatuan dan kesatuan dan ketahanan
nasional dalam rangka mengangkat harkat serta martabat Indonesia. Adapun
fungsi KONI adalah:
a. Meningkatkan kualitas manusia Indonesia dalam rangka memperkokoh
persatuan dan kesatuan bangsa melalui pembinaan olahraga secara nasional;
b. Memasyarakatkan Olahraga yang dibina oleh anggota KONI guna mencapai
prestasi Optimal; dan
c. Membangun dan membina persahabatan antara bangsa melalui kerjasama dan
hubungan keolahragaan, baik pada lingkup bilateral maupun multilateral dalam
konteks keanggotaan organisasi olahraga internasional.
KONI dikukuhkan dengan Keputusan Presiden Nomor 57 Tahun 1967. KONI
merupakan badan mandiri dan non pemerintah, artinya kegiatan olahraga kembali
kepada masyarakat. KONI merupakan mitra pemerintah yang membantu
pembinaan olahraga nasional. KONI tidak dikendalikan kelompok kekuasaan dan
bebas dari kepentingan politik.
37
3. Pendanaan Olahraga
Permasalahan keolahragaan nasional semakin komplek dan berkaitan
dengan antara lain ekonomi dan tuntutan perubahan global, sehingga sudah
saatnya Indonesia memperhatikan semua aspek yang terkait antara lain
kemampuan anggaran untuk mendukung penyelenggaraan keolahragaan nasional
untuk mencapai prestasi yang mampu bersaing pada masa kini dan masa yang
akan datang. Atas dasar inilah Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2007
tentang Pendanaan Keolahragaan ditetapkan sebagai landasan yuridis bagi
pendanaan penyelenggaraan keolahragaan di Indonesia.
Di dalam Peraturan Pemerintah ini diatur prinsip-prinsip pendanaan seperti
prinsip kecukupan dan prinsip berkelanjutan sumber dan alokasi pendanaan,
lingkup kegiatan pendanaan, serta per tanggungjawaban pendanaan
penyelenggaraan keolahragaan.
Keterbatasan sumber pendanaan atau anggaran merupakan permasalahan
khusus dalam penyelenggaraan keolahragaan. Hal ini makin dirasakan dengan
perkembangan olahraga modern yang menuntut pengelolaaan, pembinaan, dan
pengembangan keolahragaan yang perlu didukung oleh anggaran yang memadai.
Untuk itu, pengaturan pengelolaan dan pertanggungjawaban pendanaan
keolahragaan di dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah perlu diatur. Selain itu, sumber daya dan dana
dari masyarakat dan dunia usaha perlu dioptimalkan, antara lain melalui peran
serta masyarakat dalam pengadaan dana, pengadaan atau pemeliharaan
prasarana dan sarana, dan dalam industri olahraga. Guna mendukung pendanaan
keolahragaan, Peraturan Pemerintah ini juga mengamanatkan bahwa Pemerintah
dapat membentuk BUMN yang berkaitan dengan kegiatan keolahragaan sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Keberadaan Peraturan Pemerintah ini merupakan dorongan bagi usaha
kemandirian dalam pendanaan keolahragaan sehingga dapat mengurangi beban
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah. Bahkan, penyelenggaraan keolahragaan yang dilaksanakan oleh
Pemerintah dan pemerintah daerah dapat meningkatkan pendapatan negara atau
pendapatan asli daerah. Dengan demikian diharapkan upaya meningkatkan
prestasi olahraga dapat mengangkat harkat dan martabat bangsa pada tingkat
nasional dan internasional sesuai dengan tujuan dan sasaran pembangunan
nasional yang berkelanjutan.
38
BAB III
EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT
Pembukaan UUD 1945 mengamanatkan untuk melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan
sosial.
Dalam mencerdaskan kehidupan bangsa melalui instrument pembangunan
nasional dilakukan melalui berbagai cara, salah satunya di bidang keolahragaan.
Olahraga diyakini merupakan upaya meningkatkan kualitas hidup manusia
Indonesia secara jasmaniah, rohaniah, dan sosial dalam mewujudkan masyarakat
yang maju, adil, makmur, sejahtera, dan demokratis berdasarkan Pancasila dan
UUD Tahun 1945.
Berdasarkan hal tersebut ditetapkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005,
sebagai legitimasi terhadap pembinaan dan pengembangan keolahragaan
nasional yang dapat menjamin pemerataan akses terhadap olahraga, peningkatan
kesehatan dan kebugaran, peningkatan prestasi, dan manajemen keolahragaan
yang mampu menghadapi tantangan serta tuntutan perubahan kehidupan nasional
dan global.
Dengan demikian maka, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang
Sistem Keolahragaan Nasional merupakan rujukan utama dalam perumusan
Raperda tentang Penyelenggaraan Keolahragaan. Rujukan lainnya adalah
peraturan perundang-undangan lain yang mempunyai keterkaiatan erat dengan
terselenggaranya keolahragaan, antara lain Undang-Undang tentang Sistem
tentang Pendidikan Nasional, Undang-Undang tentang Kesehatan, Undang-
Undang tentang Pemerintahan Daerah, serta Peraturan Pemerintah yang
ditetapkan sebagai ketentuan pelaksana dari perundang-undangan tersebut.
A. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 dibentuk dengan kerangka
pemikiran bahwa UUD 1945 menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum.
Sejalan dengan ketentuan tersebut, segala aspek kehidupan dalam bidang
39
kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan termasuk pemerintahan harus
senantiasa berdasarkan atas hukum.
Olahraga merupakan bagian dari proses dan pencapaian tujuan
pembangunan nasional sehingga keberadaan dan peranan olahraga dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara harus ditempatkan pada
kedudukan yang jelas dalam sistem hukum nasional.
Sebelum Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 ditetapkan, keolahragaan
hanya diatur oleh peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang,
bersifat parsial atau belum mengatur semua aspek keolahragaan nasional secara
menyeluruh, dan belum mencerminkan tatanan hukum yang tertib di bidang
keolahragaan.
Permasalahan keolahragaan nasional semakin kompleks dan berkaitan
dengan dinamika sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat dan bangsa serta
tuntutan perubahan global sehingga sudah saatnya Indonesia memiliki suatu
undang-undang yang mengatur keolahragaan secara menyeluruh dengan
memperhatikan semua aspek terkait, adaptif terhadap perkembangan olahraga
dan masyarakat, sekaligus sebagai instrumen hukum yang mampu mendukung
pembinaan dan pengembangan keolahragaan nasional pada masa kini dan masa
yang akan datang. Atas dasar inilah perlu dibentuk Undang-Undang tentang
Sistem Keolahragaan Nasional sebagai landasan yuridis bagi setiap kegiatan
keolahragaan di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Hal-hal yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005
memperhatikan asas desentralisasi, otonomi, peran serta masyarakat,
keprofesionalan, kemitraan, transparansi, dan akuntabilitas. Sistem pengelolaan,
pembinaan, dan pengembangan keolahragaan nasional diatur dengan semangat
kebijakan otonomi daerah guna mewujudkan kemampuan daerah dan masyarakat
yang mampu secara mandiri mengembangkan kegiatan keolahragaan.
Penanganan keolahragaan tidak dapat lagi ditangani secara sekadarnya tetapi
harus ditangani secara profesional. Penggalangan sumber daya untuk pembinaan
dan pengembangan keolahragaan nasional dilakukan melalui pembentukan dan
pengembangan hubungan kerja para pihak yang terkait secara harmonis, terbuka,
timbal balik, sinergis, dan saling menguntungkan. Prinsip transparansi dan
akuntabilitas diarahkan untuk mendorong ketersediaan informasi yang dapat
diakses sehingga memberikan peluang bagi semua pihak untuk berperan serta
dalam kegiatan keolahragaan, memungkinkan semua pihak untuk melaksanakan
kewajibannya secara optimal dan kepastian untuk memperoleh haknya, serta
memungkinkan berjalannya mekanisme kontrol untuk menghindari kekurangan
40
dan penyimpangan sehingga tujuan dan sasaran keolahragaan nasional dapat
tercapai.
Dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005, sistem keolahragaan
nasional merupakan keseluruhan subsistem keolahragaan yang saling terkait
secara terencana, terpadu, dan berkelanjutan untuk mencapai tujuan
keolahragaan nasional. Subsistem yang dimaksud, antara lain, pelaku olahraga,
organisasi olahraga, dana olahraga, prasarana dan sarana olahraga, peran serta
masyarakat , dan penunjang keolahragaan termasuk ilmu pengetahuan, teknologi,
informasi, dan industri olahraga. Interaksi antarsubsistem perlu diatur guna
mencapai tujuan keolahragaan nasional yang manfaatnya dapat dirasakan oleh
semua pihak.
Seluruh subsistem keolahragaan nasional diatur dengan memperhatikan
keterkaitan dengan bidang-bidang lain serta upaya-upaya yang sistematis dan
berkelanjutan guna menghadapi tantangan subsistem, antara lain, melalui
peningkatan koordinasi antarlembaga yang menangani keolahragaan,
pemberdayaan organisasi keolahragaan, pengembangan sumber daya manusia
keolahragaan, pengembangan prasarana dan sarana, peningkatan sumber dan
pengelolaan pendanaan, serta penataan sistem pembinaan dan pengembangan
olahraga secara menyeluruh.
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 mengatur secara tegas mengenai
hak dan kewajiban serta kewenangan dan tanggung jawab semua pihak
(Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan masyarakat) serta koordinasi yang
sinergis secara vertikal antara pusat dan daerah dan secara horizontal antara
lembaga terkait baik pada tingkat pusat maupun pada tingkat daerah dalam
rangka pengelolaan, pembinaan, dan pengembangan keolahragaan nasional.
Sebagai wujud kepedulian dalam pembinaan dan pengembangan olahraga,
masyarakat dapat berperan serta dengan membentuk induk organisasi cabang
olahraga pada tingkat pusat dan daerah. Organisasi/kelembagaan yang dibentuk
oleh masyarakat itu membutuhkan dasar hukum sehingga kedudukan dan
keberadaannya akan lebih mantap.
Keterbatasan sumber pendanaan merupakan permasalahan khusus dalam
kegiatan keolahragaan di Indonesia. Hal ini semakin terasa dengan
perkembangan olahraga modern yang menuntut pengelolaan, pembinaan dan
pengembangan keolahragaan didukung oleh anggaran yang memadai. Untuk itu,
kebijakan tentang sistem pengalokasian dana di dalam Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dalam bidang
keolahragaan sesuai dengan kemampuan anggaran harus dilaksanakan agar
pembinaan dan pengembangan keolahragaan nasional dapat berjalan lancar.
41
Selain itu, sumber daya dari masyarakat perlu dioptimalkan, antara lain, melalui
peran serta masyarakat dalam pengadaan dana, pengadaan/pemeliharaan
prasarana dan sarana, dan dalam industri olahraga.
Dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 sistem pembinaan dan
pengembangan keolahragaan nasional ditata sebagai suatu bangunan sistem
keolahragaan yang pada intinya dilakukan pembinaan dan pengembangan
olahraga yang diawali dengan tahapan pengenalan olahraga, pemantauan dan
pemanduan, serta pengembangan bakat dan peningkatan prestasi. Penahapan
tersebut diarahkan untuk pemassalan dan pembudayaan olahraga, pembibitan,
dan peningkatan prestasi olahraga pada tingkat daerah, nasional, dan
internasional. Semua penahapan tersebut melibatkan unsur keluarga,
perkumpulan, satuan pendidikan, dan organisasi olahraga yang ada dalam
masyarakat, baik pada tingkat daerah maupun pusat.
Sesuai dengan penahapan tersebut, seluruh ruang lingkup olahraga dapat
saling bersinergi sehingga membentuk bangunan sistem keolahragaan nasional
yang luwes dan menyeluruh. Sistem ini melibatkan tiga jalur, yaitu jalur keluarga,
jalur pendidikan, dan jalur masyarakat yang saling bersinergi untuk memperkukuh
bangunan sistem keolahragaan nasional.
Sistem keolahragaan nasional ditingkatkan, antara lain, melalui penetapan
standar nasional keolahragaan yang meliputi tenaga keolahragaan, isi program
penataran/pelatihan, prasarana dan sarana, penyelenggaraan keolahragaan, dan
pengelolaan organisasi keolahragaan, serta pelayanan minimal keolahragaan.
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 memberikan kepastian hukum bagi
Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat dalam kegiatan keolahragaan,
dalam mewujudkan masyarakat dan bangsa yang gemar, aktif, sehat dan bugar,
serta berprestasi dalam olahraga. Dengan demikian, gerakan memasyarakatkan
olahraga dan mengolahragakan masyarakat serta upaya meningkatkan prestasi
olahraga dapat mengangkat harkat dan martabat bangsa pada tingkat
internasional sesuai dengan tujuan dan sasaran pembangunan nasional yang
berkelanjutan.
Adapun keterkaitan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2005 dengan Raperda
tentang Penyelenggaraan Keolahragaan, adalah berkenaan dengan ketentuan
yang diatur dalam:
a. Pasal 11, yang berbunyi sebagai berikut:
(1) Pemerintah dan pemerintah daerah mempunyai hak mengarahkan, membimbing, membantu, dan mengawasi penyelenggaraan keolahragaan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Pemerintah dan pemerintah daerah berkewajiban memberikan pelayanan dan kemudahan serta menjamin terselenggaranya kegiatan keolahragaan bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi.
42
b. Pasal 12 ayat (2), yang berbunyi sebagai berikut:
Pemerintah daerah mempunyai tugas untuk melaksanakan kebijakan dan
mengoordinasikan pembinaan dan pengembangan keolahragaan serta
melaksanakan standardisasi bidang keolahragaan di daerah.
c. Pasal 13, yang berbunyi sebagai berikut:
Pemerintah daerah mempunyai kewenangan untuk mengatur, membina,
mengembangkan, melaksanakan, dan mengawasi penyelenggaraan
keolahragaan di daerah.
d. Pasal 14, yang berbunyi sebagai berikut:
(1) Pelaksanaaan tugas penyelenggaraan keolahragaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 pada tingkat nasional dilakukan secara terpadu dan berkesinambungan yang dikoordinasikan oleh Menteri.
(2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah dapat melimpahkan sebagian kewenangannya kepada pemerintah daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(3) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2), pemerintah daerah membentuk sebuah dinas yang menangani bidang keolahragaan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
e. Pasal 15, yang berbunyi sebagai berikut:
Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab untuk mewujudkan
tujuan penyelenggaraan keolahragaan nasional.
f. Pasal 19 ayat (4), yang berbunyi sebagai berikut:
Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat berkewajiban menggali,
mengembangkan, dan memajukan olahraga rekreasi.
g. Pasal 20 ayat (4) dan ayat (5), yang berbunyi sebagai berikut:
Ayat (4) :
Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat berkewajiban
menyelenggarakan, mengawasi, dan mengendalikan kegiatan olahraga
prestasi.
Ayat (5) :
Untuk memajukan olahraga prestasi, Pemerintah, pemerintah daerah,
dan/atau masyarakat dapat mengembangkan:
a. perkumpulan olahraga; b. pusat penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
keolahragaan; c. sentra pembinaan olahraga prestasi; d. pendidikan dan pelatihan tenaga keolahragaan; e. prasarana dan sarana olahraga prestasi;
43
f. sistem pemanduan dan pengembangan bakat olahraga; g. sistem informasi keolahragaan; dan h. melakukan uji coba kemampuan prestasi olahragawan padatingkat
daerah, nasional, dan internasional sesuai dengan kebutuhan.
h. Pasal 21, yang berbunyi sebagai berikut:
(1) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib melakukan pembinaan dan pengembangan olahraga sesuai dengan kewenangan dan tanggung jawabnya.
(2) Pembinaan dan pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pengolahraga, ketenagaan, pengorganisasian, pendanaan, metode, prasarana dan sarana, serta penghargaan keolahragaan.
(3) Pembinaan dan pengembangan keolahragaan dilaksanakan melalui tahap pengenalan olahraga, pemantauan, pemanduan, serta pengembangan bakat dan peningkatan prestasi.
(4) Pembinaan dan pengembangan keolahragaan dilaksanakan melalui jalur keluarga, jalur pendidikan, dan jalur masyarakat yang berbasis pada pengembangan olahraga untuk semua orang yang berlangsung sepanjang hayat.
i. Pasal 23 ayat (1), yang berbunyi sebagai berikut:
Masyarakat dapat melakukan pembinaan dan pengembangan olahraga
melalui berbagai kegiatan keolahragaan secara aktif, baik yang
dilaksanakan atas dorongan Pemerintah dan/atau pemerintah daerah,
maupun atas kesadaran atau prakarsa sendiri.
j. Pasal 26, yang berbunyi sebagai berikut:
(1) Pembinaan dan pengembangan olahraga rekreasi dilaksanakan dan diarahkan untuk memassalkan olahraga sebagai upaya mengembangkan kesadaran masyarakat dalam meningkatkan kesehatan, kebugaran, kegembiraan, dan hubungan sosial.
(2) Pembinaan dan pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat dengan membangun dan memanfaatkan potensi sumber daya, prasarana dan sarana olahraga rekreasi.
(3) Pembinaan dan pengembangan olahraga rekreasi yang bersifat tradisional dilakukan dengan menggali, mengembangkan, melestarikan, dan memanfaatkan olahraga tradisional yang ada dalam masyarakat.
(4) Pembinaan dan pengembangan olahraga rekreasi dilaksanakan berbasis masyarakat dengan memperhatikan prinsip mudah, murah, menarik, manfaat , dan massal.
(5) Pembinaan dan pengembangan olahraga rekreasi dilaksanakan sebagai upaya menumbuhkembangkan sanggar-sanggar dan mengaktifkan perkumpulan olahraga dalam masyarakat, serta menyelenggarakan festival olahraga rekreasi yang berjenjang dan berkelanjutan pada tingkat daerah, nasional, dan internasional.
k. Pasal 42, yang berbunyi sebagai berikut:
Setiap penyelenggaraan kejuaraan olahraga yang dilaksanakan oleh
Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat wajib
memperhatikan tujuan keolahragaan nasional serta prinsip
penyelenggaraan keolahragaan.
44
l. Pasal 67, yang berbunyi sebagai berikut:
(1) Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat bertanggung jawab atas perencanaan, pengadaan, pemanfaatan, pemeliharaan, dan pengawasan prasarana olahraga.
(2) Pemerintah dan pemerintah daerah menjamin ketersediaan prasarana olahraga sesuai dengan standar dan kebutuhan Pemerintah dan pemerintah daerah.
m. Pasal 69, yang berbunyi sebagai berikut:
(1) Pendanaan keolahragaan menjadi tanggung jawab bersama antara Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat.
(2) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib mengalokasikan anggaran keolahragaan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
n. Pasal 71 ayat (2), yang berbunyi sebagai berikut:
Dana keolahragaan yang dialokasikan dari Pemerintah dan pemerintah
daerah dapat diberikan dalam bentuk hibah sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
o. Pasal 74, yang berbunyi sebagai berikut:
(1) Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat melakukan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi secara berkelanjutan untuk memajukan keolahragaan nasional.
(2) Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat dapat membentuk lembaga penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi keolahragaan yang bermanfaat untuk memajukan pembinaan dan pengembangan keolahragaan nasional.
(3) Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan melalui penelitian, pengkajian, alih teknologi, sosialisasi, pertemuan ilmiah, dan kerja sama antarlembaga penelitian, baik nasional maupun internasional yang memiliki spesialisasi ilmu pengetahuan dan teknologi keolahragaan.
(4) Hasil pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disosialisasikan dan diterapkan untuk kemajuan olahraga.
p. Pasal 76, yang berbunyi sebagai berikut:
(1) Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat dapat saling bekerja sama dalam bidang keolahragaan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan tujuan keolahragaan nasional dan prinsip keterbukaan, efisiensi, efektivitas, dan akuntabilitas.
(3) Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat dapat menyelenggarakan kerja sama internasional dalam bidang keolahragaan dan dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
45
q. Pasal 77 ayat (1) dan ayat (3), yang berbunyi sebagai berikut:
Ayat (1) :
Pemerintah dan pemerintah daerah menjamin ketersediaan dan
penyebarluasan informasi kepada masyarakat untuk kepentingan
pembinaan dan pengembangan keolahragaan nasional.
Ayat (3) :
Pemerintah daerah berdasarkan kewenangan dan kemampuan yang
dimiliki dapat mengembangkan dan mengelola informasi keolahragaan
sesuai dengan kemampuan dan kondisi daerah.
r. Pasal 86, yang berbunyi sebagai berikut:
(1) Setiap pelaku olahraga, organisasi olahraga, lembaga pemerintah/swasta, dan perseorangan yang berprestasi dan/atau berjasa dalam memajukan olahraga diberi penghargaan.
(2) Penghargaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, organisasi olahraga, organisasi lain, dan/atau perseorangan.
(3) Penghargaan dapat berbentuk pemberian kemudahan, beasiswa, asuransi, pekerjaan, kenaikan pangkat luar biasa, tanda kehormatan, kewarganegaraan, warga kehormatan, jaminan hari tua, kesejahteraan, atau bentuk penghargaan lain yang bermanfaat bagi penerima penghargaan.
s. Pasal 87, yang berbunyi sebagai berikut:
(1) Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat melakukan pengawasan atas penyelenggaraan keolahragaan.
(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas.
B. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 mempunyai keterkaitan dengan
penyelenggaraan keolahragaan, mengingat Undang-Undang tersebut
mengamanatkan pemenuhan prasarana olahraga, serta mewajibkan adanya
kurikulum pendidikan jasmani dan olahraga dalam satuan pendidikan.
Pembentukan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 dilakukan dengan
dasar pemikiran bahwa manusia membutuhkan pendidikan dalam kehidupannya.
Pendidikan merupakan usaha agar manusia dapat mengembangkan potensi
dirinya melalui proses pembelajaran dan/atau cara lain yang dikenal dan diakui
oleh masyarakat. UUD 1945 Pasal 31 ayat (1) menyebutkan bahwa setiap warga
negara berhak mendapat pendidikan, dan ayat (3) menegaskan bahwa
Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan
nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam
46
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang.
Untuk itu, seluruh komponen bangsa wajib mencerdaskan kehidupan bangsa yang
merupakan salah satu tujuan negara Indonesia.
Gerakan reformasi di Indonesia secara umum menuntut diterapkannya prinsip
demokrasi, desentralisasi, keadilan, dan menjunjung tinggi hak asasi manusia
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam hubungannya dengan
pendidikan, prinsip-prinsip tersebut akan memberikan dampak yang mendasar
pada kandungan, proses, dan manajemen sistem pendidikan. Selain itu, ilmu
pengetahuan dan teknologi berkembang pesat dan memunculkan tuntutan baru
dalam segala aspek kehidupan, termasuk dalam sistem pendidikan. Tuntutan
tersebut menyangkut pembaharuan sistem pendidikan, di antaranya pembaharuan
kurikulum, yaitu diversifikasi kurikulum untuk melayani peserta didik dan potensi
daerah yang beragam, diversifikasi jenis pendidikan yang dilakukan secara
profesional, penyusunan standar kompetensi tamatan yang berlaku secara
nasional dan daerah menyesuaikan dengan kondisi setempat; penyusunan
standar kualifikasi pendidik yang sesuai dengan tuntutan pelaksanaan tugas
secara profesional; penyusunan standar pendanaan pendidikan untuk setiap
satuan pendidikan sesuai prinsip-prinsip pemerataan dan keadilan; pelaksanaan
manajemen pendidikan berbasis sekolah dan otonomi perguruan tinggi; serta
penyelenggaraan pendidikan dengan sistem terbuka dan multimakna.
Pembaharuan sistem pendidikan juga meliputi penghapusan diskriminasi antara
pendidikan yang dikelola pemerintah dan pendidikan yang dikelola masyarakat,
serta pembedaan antara pendidikan keagamaan dan pendidikan umum.
Pembaharuan sistem pendidikan nasional dilakukan untuk memperbaharui visi,
misi, dan strategi pembangunan pendidikan nasional. Pendidikan nasional
mempunyai visi terwujudnya sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat
dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga negara Indonesia
berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif
menjawab tantangan zaman yang selalu berubah.
Dengan visi pendidikan tersebut, pendidikan nasional mempunyai misi sebagai
berikut: (1) mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh
pendidikan yang bermutu bagi seluruh rakyat Indonesia; (2) membantu dan
memfasilitasi pengembangan potensi anak bangsa secara utuh sejak usia dini
sampai akhir hayat dalam rangka mewujudkan masyarakat belajar; (3)
meningkatkan kesiapan masukan dan kualitas proses pendidikan untuk
mengoptimalkan pembentukan kepribadian yang bermoral; (4) meningkatkan
keprofesionalan dan akuntabilitas lembaga pendidikan sebagai pusat
pembudayaan ilmu pengetahuan, keterampilan, pengalaman, sikap, dan nilai
47
berdasarkan standar nasional dan global; dan (5) memberdayakan peran serta
masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan berdasarkan prinsip otonomi
dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Berdasarkan visi dan misi pendidikan nasional tersebut, pendidikan nasional
berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,
bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab.
Pembaharuan sistem pendidikan memerlukan strategi tertentu. Strategi
pembangunan pendidikan nasional dalam undang-undang ini meliputi: (1)
pelaksanaan pendidikan agama serta akhlak mulia; (2) pengembangan dan
pelaksanaan kurikulum berbasis kompetensi; (3) proses pembelajaran yang
mendidik dan dialogis; (4) evaluasi, akreditasi, dan sertifikasi pendidikan yang
memberdayakan; (5) peningkatan keprofesionalan pendidik dan tenaga
kependidikan; (6) penyediaan sarana belajar yang mendidik; (7) pembiayaan
pendidikan yang sesuai dengan prinsip pemerataan dan berkeadilan; (8)
penyelenggaraan pendidikan yang terbuka dan merata; (9) pelaksanaan wajib
belajar; (10) pelaksanaan otonomi manajemen pendidikan; (11) pemberdayaan
peran masyarakat; (12) pusat pembudayaan dan pembangunan masyarakat; dan
(13) pelaksanaan pengawasan dalam sistem pendidikan nasional.
Dengan strategi tersebut diharapkan visi, misi, dan tujuan pendidikan nasional
dapat terwujud secara efektif dengan melibatkan berbagai pihak secara aktif
dalam penyelenggaraan pendidikan.
Pembaruan sistem pendidikan nasional perlu pula disesuaikan dengan
pelaksanaan otonomi daerah yang pada saat itu diatur dalam Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
Atas dasar pemikiran tersebut, maka ditetapkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2003 sebagai pembaharuan sekaligus mengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun
1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Berkaitan dengan Raperda tentang Penyelenggaraan Keolahragaan,
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 mengatur ketentuan mengenai olahraga
pendidikan, sebagai berikut:
48
a. Pasal 35 (1) :
Standar nasional pendidikan terdiri atas standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan yang harus ditingkatkan secara berencana dan berkala.
Dalam Penjelasan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003, Pasal 35 ayat (1)
diuraikan sebagai berikut:
Standar sarana dan prasarana pendidikan mencakup ruang belajar, tempat berolahraga, tempat beribadah, perpustakaan, laboratorium, bengkel kerja, tempat bermain, tempat berkreasi dan berekreasi, dan sumber belajar lain yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran, termasuk penggunaan teknologi informasi dan komunikasi.
b. Pasal 37 (1) :
Kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat:
a. pendidikan agama;
b. pendidikan kewarganegaraan;
c. bahasa;
d. matematika;
e. ilmu pengetahuan alam;
f. ilmu pengetahuan sosial;
g. seni dan budaya;
h. pendidikan jasmani dan olahraga;
i. keterampilan/kejuruan; dan
j. muatan lokal.
Pasal 37 ayat (1) dalam Penjelasan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003,
diuraikan sebagai berikut:
Pendidikan agama dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta
berakhlak mulia.
Pendidikan kewarganegaraan dimaksudkan untuk membentuk peserta didik
menjadi manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air.
Bahan kajian bahasa mencakup bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan
bahasa asing dengan pertimbangan:
1. Bahasa Indonesia merupakan bahasa nasional;
2. Bahasa daerah merupakan bahasa ibu peserta didik; dan
3. Bahasa asing terutama bahasa Inggris merupakan bahasa internasional
yang sangat penting kegunaannya dalam pergaulan global.
Bahan kajian matematika, antara lain, berhitung, ilmu ukur, dan aljabar
dimaksudkan untuk mengembangkan logika dan kemampuan berpikir
peserta didik.
Bahan kajian ilmu pengetahuan alam, antara lain, fisika, biologi, dan kimia
dimaksudkan untuk mengembangkan pengetahuan, pemahaman, dan
49
kemampuan analisis peserta didik terhadap lingkungan alam dan
sekitarnya.
Bahan kajian ilmu pengetahuan sosial, antara lain, ilmu bumi, sejarah,
ekonomi, kesehatan, dan sebagainya dimaksudkan untuk mengembangkan
pengetahuan, pemahaman, dan kemampuan analisis peserta didik
terhadap kondisi sosial masyarakat.
Bahan kajian seni dan budaya dimaksudkan untuk membentuk karakter
peserta didik menjadi manusia yang memiliki rasa seni dan pemahaman
budaya. Bahan kajian seni mencakup menulis, menggambar/melukis,
menyanyi, dan menari.
Bahan kajian pendidikan jasmani dan olah raga dimaksudkan untuk
membentuk karakter peserta didik agar sehat jasmani dan rohani, dan
menumbuhkan rasa sportivitas.
Bahan kajian keterampilan dimaksudkan untuk membentuk peserta didik
menjadi manusia yang memiliki keterampilan.
Bahan kajian muatan lokal dimaksudkan untuk membentuk pemahaman
terhadap potensi di daerah tempat tinggalnya.
C. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2009 mempunyai keterkaitan dengan
penyelenggaraan keolahragaan, mengingat Undang-Undang tersebut
mengamanatkan adanya upaya kesehatan olahraga yang ditujukan untuk
meningkatkan kesehatan dan kebugaran jasmani masyarakat oleh Pemerintah
Daerah dan masyarakat.
Pembentukan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 dilakukan dengan
dasar pemikiran bahwa dalam pembukaan UUD 1945 tercantum jelas cita-cita
bangsa Indonesia yang sekaligus merupakan tujuan nasional bangsa Indonesia.
Tujuan nasional tersebut adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan perdamaian abadi serta keadilan sosial.
Untuk mencapai tujuan nasional tersebut diselenggarakanlah upaya
pembangunan yang berkesinambungan yang merupakan suatu rangkaian
pembangunan yang menyeluruh terarah dan terpadu, termasuk di antaranya
pembangunan kesehatan.
Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan
yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Pancasila dan Pembukaan UUD 1945. Oleh karena itu, setiap
kegiatan dan upaya untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang
setinggi-tingginya dilaksanakan berdasarkan prinsip nondiskriminatif, partisipatif,
perlindungan, dan berkelanjutan yang sangat penting artinya bagi pembentukan
50
sumber daya manusia Indonesia, peningkatan ketahanan dan daya saing bangsa,
serta pembangunan nasional.
Upaya untuk meningkatkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya pada
mulanya berupa upaya penyembuhan penyakit, kemudian secara berangsur-
angsur berkembang ke arah keterpaduan upaya kesehatan untuk seluruh
masyarakat dengan mengikutsertakan masyarakat secara luas yang mencakup
upaya promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif yang bersifat menyeluruh
terpadu dan berkesinambungan. Perkembangan ini tertuang kedalam Sistem
Kesehatan Nasional (SKN) pada tahun 1982 yang selanjutnya disebutkan ke
dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1983 dan GBHN 1988 sebagai
tatanan untuk melaksanakan pembangunan kesehatan.
Selain itu, perkembangan teknologi kesehatan yang berjalan seiring dengan
munculnya fenomena globalisasi telah menyebabkan banyaknya perubahan yang
sifat dan eksistensinya sangat berbeda jauh dari teks yang tercantum dalam
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan. Pesatnya kemajuan
teknologi kesehatan dan teknologi informasi dalam era global ini ternyata belum
terakomodatif secara baik oleh Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992.
Perencanaan dan pembiayaan pembangunan kesehatan yang tidak sejiwa dengan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992, yaitu menitikberatkan pada pengobatan
(kuratif), menyebabkan pola pikir yang berkembang di masyarakat adalah
bagaimana cara mengobati bila terkena penyakit. Hal itu tentu akan membutuhkan
dana yang lebih besar bila dibandingkan dengan upaya pencegahan.
Konsekuensinya, masyarakat akan selalu memandang persoalan pembiayaan
kesehatan sebagai sesuatu yang bersifat konsumtif/pemborosan.
Selain itu, sudut pandang para pengambil kebijakan juga masih belum
menganggap kesehatan sebagai suatu kebutuhan utama dan investasi berharga di
dalam menjalankan pembangunan sehingga alokasi dana kesehatan hingga kini
masih tergolong rendah bila dibandingkan dengan negara lain.
Melihat persoalan kesehatan sebagai suatu faktor utama dan investasi berharga
yang pelaksanaannya didasarkan pada sebuah paradigma baru yang biasa
dikenal dengan paradigma sehat, yakni paradigma kesehatan yang
mengutamakan upaya promotif dan preventif tanpa mengabaikan kuratif dan
rehabilitatif. Dalam rangka implementasi paradigma sehat tersebut, dibutuhkan
sebuah undang-undang yang berwawasan sehat, bukan undang-undang yang
berwawasan sakit.
Pada sisi lain, perkembangan ketatanegaraan bergeser dari sentralisasi menuju
desentralisasi yang ditandai dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 32
51
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-
Undang tersebut memuat ketentuan yang menyatakan bahwa bidang kesehatan
sepenuhnya diserahkan kepada daerah masing-masing yang setiap daerah diberi
kewenangan untuk mengelola dan menyelenggarakan seluruh aspek kesehatan.
Sebagai tindak lanjut dari pelaksanaan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004,
Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007
yang mengatur tentang pembagian urusan antara pemerintah, pemerintah provinsi
dan pemerintah kabupaten/kota. Berdasarkan hal tersebut, Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 1992 perlu dilakukan penyesuaian dengan semangat otonomi
daerah.
Dengan demikian Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 dibentuk sebagai
kebijakan umum kesehatan yang dapat dilaksanakan oleh semua pihak dan
sekaligus dapat menjawab tantangan era globalisasi dan dengan semakin
kompleksnya permasalahan kesehatan dalam suatu Undang-Undang Kesehatan
yang baru untuk menggantikan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992, serta
penyesuaian terhadap penyelenggaraan otonomi daerah.
Berkaitan dengan Raperda tentang Penyelenggaraan Keolahragaan,
ketentuan mengenai upaya kesehatan olahraga dalam Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2003, adalah sebagai berikut:
a. Pasal 80:
(1) Upaya kesehatan olahraga ditujukan untuk meningkatkan kesehatan dan kebugaran jasmani masyarakat.
(2) Peningkatan derajat kesehatan dan kebugaran jasmani masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan upaya dasar dalam meningkatkan prestasi belajar, kerja, dan olahraga.
(3) Upaya kesehatan olahraga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui aktifitas fisik, latihan fisik, dan/atau olahraga.
b. Pasal 81:
(1) Upaya kesehatan olahraga lebih mengutamakan pendekatan preventif dan promotif, tanpa mengabaikan pendekatan kuratif dan rehabilitatif.
(2) Penyelenggaraan upaya kesehatan olahraga diselenggarakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat.
52
D. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 secara substansial tidak
mempunyai keterkaitan dengan penyelenggaraan keolahragaan. Namun Undang-
Undang ini merupakan panduan utama dalam pembentukan semua peraturan
perundang-undangan termasuk Raperda dan Perda. Selain itu pula, Undang-
Undang ini memberikan kewenangan kepada Daerah untuk membentuk Peraturan
Daerah guna penyelenggaraan otonomi daerah, tugas pembantuan, menampung
kondisi khusus daerah.
Pembentukan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 dilakukan dengan
dasar pemikiran bahwa negara Indonesia adalah negara hukum. Sebagai negara
hukum, segala aspek kehidupan dalam bidang kemasyarakatan, kebangsaan, dan
kenegaraan termasuk pemerintahan harus berdasarkan atas hukum yang sesuai
dengan sistem hukum nasional. Sistem hukum nasional merupakan hukum yang
berlaku di Indonesia dengan semua elemennya yang saling menunjang satu
dengan yang lain dalam rangka mengantisipasi dan mengatasi permasalahan
yang timbul dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 merupakan penyempurnaan
terhadap kelemahan-kelemahan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, yaitu antara lain: (a)
materi dari Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 banyak yang menimbulkan
kerancuan atau multitafsir sehingga tidak memberikan suatu kepastian hukum; (b)
teknik penulisan rumusan banyak yang tidak konsisten; (c) terdapat materi baru
yang perlu diatur sesuai dengan perkembangan atau kebutuhan hukum dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan; dan (d) penguraian materi sesuai
dengan yang diatur dalam tiap bab sesuai dengan sistematika.
Sebagai penyempurnaan terhadap Undang-Undang tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan sebelumnya, terdapat materi muatan baru yang
ditambahkan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, yaitu antara lain : (a)
penambahan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai salah satu
jenis peraturan perundang-undangan dan hierarkinya ditempatkan setelah UUD;
(b) perluasan cakupan perencanaan peraturan perundang-undangan yang tidak
hanya untuk program legislasi nasional dan program legislasi daerah, melainkan
juga perencanaan peraturan pemerintah, peraturan presiden, dan peraturan
perundang-undangan lainnya; (c) pengaturan mekanisme pembahasan rancangan
undang-undang tentang pencabutan peraturan pemerintah pengganti undang-
53
undang; (d) pengaturan Naskah Akademik sebagai suatu persyaratan dalam
penyusunan rancangan undang-undang atau rancangan peraturan daerah provinsi
dan rancangan peraturan daerah kabupaten/kota; (e) pengaturan mengenai
keikutsertaan perancang peraturan perundang-undangan, peneliti, dan tenaga ahli
dalam tahapan pembentukan peraturan perundang-undangan; (f) dan
penambahan teknik penyusunan Naskah Akademik.
Secara umum Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 memuat materi-
materi pokok yang disusun secara sistematis sebagai berikut: asas pembentukan
peraturan perundang-undangan; jenis, hierarki, dan materi muatan peraturan
perundang-undangan; perencanaan peraturan perundang-undangan; penyusunan
peraturan perundang-undangan; teknik penyusunan peraturan perundang-
undangan; pembahasan dan pengesahan rancangan undang-undang;
pembahasan dan penetapan rancangan peraturan daerah provinsi dan rancangan
peraturan daerah kabupaten/kota; pengundangan peraturan perundang-undangan;
penyebarluasan; partisipasi masyarakat dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan; dan ketentuan lain-lain yang memuat mengenai
pembentukan keputusan presiden dan lembaga negara serta pemerintah lainnya.
Tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan dan
penetapan, serta pengundangan merupakan langkah-langkah yang pada dasarnya
harus ditempuh dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Namun,
tahapan tersebut tentu dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan atau kondisi serta
jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan tertentu yang pembentukannya
tidak diatur dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, seperti pembahasan
rancangan peraturan pemerintah, rancangan peraturan presiden, atau
pembahasan rancangan peraturan perundang-undangan lainnya sesuai di luar
undang-undang dan peraturan daerah.
Selain materi baru tersebut, juga diadakan penyempurnaan teknik
penyusunan peraturan perundang-undangan beserta contohnya. Penyempurnaan
terhadap teknik penyusunan peraturan perundang-undangan tersebut
dimaksudkan untuk semakin memperjelas dan memberikan pedoman yang lebih
jelas dan pasti yang disertai dengan contoh bagi penyusunan peraturan
perundang-undangan, termasuk peraturan perundang-undangan di daerah.
Berkenaan dengan pembentukan Raperda Penyelenggaraan
Keolahragaan, dalam ketentuan Pasal 14 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011,
diatur bahwa :
54
Materi muatan Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota berisi materi muatan dalam rangka penyelenggaraan
otonomi daerah dan tugas pembantuan serta menampung kondisi khusus
daerah dan/atau penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan
yang lebih tinggi.
E. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2009 secara substansial mempunyai
keterkaitan langsung maupun tidak langsung terhadap Raperda penyelenggaraan
keolahragaan. Substansi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2009 yang berkaitan
langsung terhadap Raperda adalah bahwa Undang-Undang tersebut merupakan
dasar utama penyelenggaraan otonomi daerah yang dirinci ke dalam urusan
konkuren, termasuk di dalamnnya adalah Urusan Pemerintahan Wajib yang tidak
berkaitan dengan Pelayanan Dasar yaitu kepemudaan dan olahraga. Namun
demikian, Undang-Undang ini tidak merinci secara detail Urusan Pemerintahan
Wajib yang tidak berkaitan dengan Pelayanan Dasar di bidang olahraga. Dengan
demikian maka, rincian urusan tersebut merujuk kepada peraturan perundang-
undangan di bidang keolahragaan, dengan ketentuan sepanjang tidak
bertentangan dengan Undang-Undang 23 Tahun 2014. Substansi lainnya yang
berkaitan langsung dengan Raperda adalah ketentuan mengenai pemberian hibah
Adapun substansi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 yang tidak
berhubungan langsung dengan materi Raperda adalah mengenai pembentukan
Perda, sekaligus mempertegas kembali alasan pembentukan Perda sebagaimana
telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011.
Pembentukan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 dilakukan dengan
dasar pemikiran bahwa hubungan Pemerintah Pusat dengan Daerah dapat dirunut
dari Alinea Ketiga dan Keempat Pembukaan UUD Tahun 1945. Alinea Ketiga
memuat pernyataan kemerdekaan bangsa Indonesia. Sedangkan Alinea Keempat
memuat pernyataan bahwa setelah menyatakan kemerdekaan, yang pertama kali
dibentuk adalah Pemerintah Negara Indonesia yaitu Pemerintah Nasional yang
bertanggungjawab mengatur dan mengurus bangsa Indonesia. Lebih lanjut
dinyatakan bahwa tugas Pemerintah Negara Indonesia adalah melindungi seluruh
bangsa dan tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum dan
mencerdaskan kehidupan bangsa serta ikut memelihara ketertiban dunia
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Selanjutnya Pasal 1 UUD Tahun 1945 menyatakan bahwa Negara Indonesia
adalah negara kesatuan yang berbentuk Republik. Konsekuensi logis sebagai
Negara kesatuan adalah dibentuknya Pemerintah Negara Indonesia sebagai
55
Pemerintah Nasional untuk pertama kalinya dan kemudian pemerintah nasional
tersebutlah yang kemudian membentuk Daerah sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan. Kemudian Pasal 18 ayat (2) dan ayat (5) UUD Tahun 1945
menyatakan bahwa Pemerintahan Daerah berwenang untuk mengatur dan
mengurus sendiri Urusan Pemerintahan menurut Asas Otonomi dan Tugas
Pembantuan. Pemberian otonomi kepada Daerah diarahkan untuk mempercepat
terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan,
pemberdayaan, dan peran serta masyarakat. Di samping itu melalui otonomi,
dalam lingkungan strategis globalisasi, Daerah diharapkan mampu meningkatkan
dayasaing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan,
keistimewaan dan kekhususan serta potensi dan keanekaragaman Daerah dalam
sistem NKRI.
Pemberian otonomi kepada Daerah dilaksanakan berdasarkan prinsip negara
kesatuan. Dalam negara kesatuan kedaulatan hanya ada pada pemerintahan
negara atau pemerintahan nasional dan tidak ada kedaulatan pada Daerah. Oleh
karena itu, seluas apa pun otonomi yang diberikan kepada Daerah, tanggung jawab
akhir penyelenggaraan pemerintahan Daerah akan tetap ada ditangan Pemerintah
Pusat. Untuk itu pemerintahan Daerah pada negara kesatuan merupakan satu
kesatuan dengan pemerintahan Nasional. Sejalan dengan itu, kebijakan yang dibuat
dan dilaksanakan oleh Daerah merupakan bagian integral dari kebijakan nasional.
Pembedanya adalah terletak pada bagaimana memanfaatkan kearifan, potensi,
inovasi, dayasaing, dan kreativitas Daerah untuk mencapai tujuan nasional tersebut
di tingkat lokal yang pada gilirannya akan mendukung pencapaian tujuan nasional
secara keseluruhan.
Daerah sebagai satu kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai otonomi
berwenang mengatur dan mengurus daerahnya sesuai aspirasi dan kepentingan
masyarakatnya sepanjang tidak bertentangan dengan tatanan hukum nasional dan
kepentingan umum. Dalam rangka memberikan ruang yang lebih luas kepada
Daerah untuk mengatur dan mengurus kehidupan warganya maka Pemerintah
Pusat dalam membentuk kebijakan harus memperhatikan kearifan lokal dan
sebaliknya, Daerah ketika membentuk kebijakan Daerah baik dalam bentuk Perda
maupun kebijakan lainnya hendaknya juga memperhatikan kepentingan nasional.
Dengan demikian akan tercipta keseimbangan antara kepentingan nasional yang
sinergis dan tetap memperhatikan kondisi, kekhasan, dan kearifan lokal dalam
penyelenggaraan pemerintahan secara keseluruhan.
Pada hakikatnya Otonomi Daerah diberikan kepada rakyat sebagai satu kesatuan
masyarakat hukum yang diberi kewenangan untuk mengatur dan mengurus sendiri
Urusan Pemerintahan yang diberikan oleh Pemerintah Pusat kepada Daerah dan
56
dalam pelaksanaannya dilakukan oleh Kepala Daerah dan DPRD dengan dibantu
oleh Perangkat Daerah. Urusan Pemerintahan yang diserahkan ke Daerah berasal
dari kekuasaan pemerintahan yang ada di tangan Presiden. Konsekuensi dari
negara kesatuan adalah tanggung jawab akhir pemerintahan ada di tangan
Presiden. Agar pelaksanaan Urusan Pemerintahan yang diserahkan ke Daerah
berjalan sesuai dengan kebijakan nasional, maka Presiden berkewajiban untuk
melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan Pemerintahan
Daerah.
Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan dibantu oleh Menteri
Negara dan setiap Menteri bertanggungjawab atas Urusan Pemerintahan tertentu
dalam pemerintahan. Sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi tanggung
jawab Menteri tersebut yang sesungguhnya diotonomikan ke Daerah.
Konsekuensi Menteri sebagai Pembantu Presiden adalah kewajiban Menteri atas
nama Presiden untuk melakukan pembinaan dan pengawasan agar
penyelenggaraan Pemerintahan Daerah berjalan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan. Agar tercipta sinergi antara Pemerintah Pusat
dan Daerah, Kementerian/Lembaga Pemerintah Nonkementerian berkewajiban
membuat norma, standar, prosedur, dan kriteria (NSPK) untuk dijadikan pedoman
bagi Daerah dalam menyelenggarakan Urusan Pemerintahan yang diserahkan ke
Daerah dan menjadi pedoman bagi Kementerian/Lembaga Pemerintah
Nonkementerian untuk melakukan pembinaan dan pengawasan. Presiden
melimpahkan kewenangan kepada Menteri sebagai koordinator pembinaan dan
pengawasan yang dilakukan oleh Kementerian/Lembaga Pemerintah
Nonkementerian terhadap penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.
Kementerian/Lembaga Pemerintah Nonkementerian melakukan pembinaan dan
pengawasan yang bersifat teknis, sedangkan Kementerian melaksanakan
pembinaan dan pengawasan yang bersifat umum. Mekanisme tersebut diharapkan
mampu menciptakan harmonisasi antar Kementerian/Lembaga Pemerintah
Nonkementerian dalam melakukan pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah secara keseluruhan.
Berbeda dengan penyelenggaraan pemerintahan di Pusat yang terdiri atas
lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif, penyelenggaraan pemerintahan Daerah
dilaksanakan oleh DPRD dan Kepala Daerah. DPRD dan Kepala Daerah
berkedudukan sebagai unsur penyelenggara pemerintahan Daerah yang diberi
mandat rakyat untuk melaksanakan
Urusan Pemerintahan yang diserahkan kepada Daerah. Dengan demikian maka
DPRD dan Kepala Daerah berkedudukan sebagai mitra sejajar yang mempunyai
fungsi yang berbeda. DPRD mempunyai fungsi pembentukan Perda, anggaran
57
dan pengawasan, sedangkan Kepala Daerah melaksanakan fungsi pelaksanaan
atas Perda dan kebijakan Daerah. Dalam mengatur dan mengurus Urusan
Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah tersebut, DPRD dan Kepala
Daerah dibantu oleh Perangkat Daerah.
Sebagai konsekuensi posisi DPRD sebagai unsur penyelenggara pemerintahan
Daerah, maka susunan, kedudukan, peran, hak, kewajiban, tugas, wewenang, dan
fungsi DPRD tidak diatur dalam beberapa undang-undang namun cukup diatur
dalam undang-undang ini secara keseluruhan guna memudahkan pengaturannya
secara terintegrasi.
Sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945, terdapat Urusan Pemerintahan yang
sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah Pusat yang dikenal dengan istilah
urusan pemerintahan absolut dan ada urusan pemerintahan konkuren. Urusan
pemerintahan konkuren terdiri atas Urusan Pemerintahan Wajib dan Urusan
Pemerintahan Pilihan yang dibagi antara Pemerintah Pusat, Daerah Provinsi, dan
Daerah Kabupaten/Kota. Urusan Pemerintahan Wajib dibagi dalam Urusan
Pemerintahan Wajib yang terkait pelayanan dasar dan Urusan Pemerintahan
Wajib yang tidak terkait pelayanan dasar. Untuk Urusan Pemerintahan Wajib yang
terkait pelayanan dasar ditentukan Standar Pelayanan Minimal (SPM) untuk
menjamin hak-hak konstitusional masyarakat.
Pembagian Urusan Pemerintahan Konkuren antara Daerah Provinsi dengan
Daerah Kabupaten/Kota walaupun Urusan Pemerintahan sama, perbedaannya
akan nampak dari skala atau ruang lingkup Urusan Pemerintahan tersebut.
Walaupun Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota mempunyai Urusan
Pemerintahan masing-masing yang sifatnya tidak hierarki, namun tetap akan
terdapat hubungan antara Pemerintah Pusat, Daerah Provinsi dan Daerah
Kabupaten/Kota dalam pelaksanaannya dengan mengacu pada NSPK yang dibuat
oleh Pemerintah Pusat.
Di samping urusan pemerintahan absolut dan Urusan Pemerintahan Konkuren,
dalam Undang-Undang ini dikenal adanya Urusan Pemerintahan Umum. Urusan
Pemerintahan Umum menjadi kewenangan Presiden sebagai kepala
pemerintahan yang terkait pemeliharaan ideologi Pancasila, UUD 1945, Bhinneka
Tunggal Ika, menjamin hubungan yang serasi berdasarkan suku, agama, ras dan
antar golongan sebagai pilar kehidupan berbangsa dan bernegara, serta
memfasilitasi kehidupan demokratis. Presiden dalam pelaksanaan Urusan
Pemerintahan Umum di Daerah melimpahkan kepada Gubernur sebagai Kepala
Pemerintahan Provinsi dan kepada Bupati/Wali Kota sebagai Kepala
Pemerintahan Kabupaten/Kota.
58
Dalam melaksanakan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah,
Kepala Daerah dan DPRD selaku penyelenggara Pemerintahan Daerah membuat
Perda sebagai dasar hukum bagi Daerah dalam menyelenggarakan Otonomi
Daerah sesuai dengan kondisi dan aspirasi masyarakat serta kekhasan dari
Daerah tersebut. Perda yang dibuat oleh Daerah hanya berlaku dalam batas-batas
yurisdiksi Daerah yang bersangkutan. Walaupun demikian Perda yang ditetapkan
oleh Daerah tidak boleh bertentangan dengan ketentuan peraturan
perundangundangan yang lebih tinggi tingkatannya sesuai dengan hierarki
peraturan perundang-undangan. Disamping itu Perda sebagai bagian dari sistem
peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan kepentingan
umum sebagaimana diatur dalam kaidah penyusunan Perda.
Daerah melaksanakan Otonomi Daerah yang berasal dari kewenangan Presiden
yang memegang kekuasaan pemerintahan. Mengingat tanggung jawab akhir
penyelenggaraan pemerintahan ada di tangan Presiden, maka konsekuensi
logisnya kewenangan untuk membatalkan Perda ada di tangan Presiden. Presiden
melimpahkan kewenangan pembatalan Perda Kabupaten/Kota kepada Gubernur
selaku Wakil Pemerintah Pusat di Daerah. Untuk menghindari terjadinya
kesewenang-wenangan dalam pembatalan Perda, maka Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota dapat mengajukan keberatan pembatalan Perda Kabupaten/Kota
yang dilakukan Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat kepada Menteri. Dari
sisi penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, keputusan yang diambil oleh Menteri
bersifat final.
Dalam rangka menciptakan tertib administrasi pelaporan Perda, setiap Perda yang
akan diundangkan harus mendapatkan nomor register terlebih dahulu. Perda
Kabupaten/Kota mendapatkan nomor register dari Gubernur sebagai Wakil
Pemerintah Pusat. Dengan adanya pemberian nomor register tersebut akan
terhimpun informasi mengenai keseluruhan Perda yang dibentuk oleh Daerah dan
sekaligus juga informasi Perda secara nasional.
Majunya suatu bangsa sangat ditentukan oleh inovasi yang dilakukan bangsa
tersebut. Untuk itu maka diperlukan adanya perlindungan terhadap kegiatan yang
bersifat inovatif yang dilakukan oleh aparatur sipil negara di Daerah dalam
memajukan daerahnya. Perlu adanya upaya memacu kreativitas Daerah untuk
meningkatkan dayasaing Daerah. Untuk itu perlu adanya kriteria yang obyektif yang
dapat dijadikan pegangan bagi Pejabat Daerah untuk melakukan kegiatan yang
bersifat inovatif. Dengan cara tersebut inovasi akan terpacu dan berkembang tanpa
ada kekhawatiran menjadi obyek pelanggaran hukum.
Pada dasarnya perubahan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 ditujukan untuk
mendorong lebih terciptanya dayaguna dan hasil guna penyelenggaraan
59
pemerintahan Daerah dalam menyejahterakan masyarakat, baik melalui peningkatan
pelayanan publik maupun melalui peningkatan dayasaing Daerah. Perubahan ini
bertujuan untuk memacu sinergi dalam berbagai aspek dalam penyelenggaraan
pemerintahan Daerah dengan Pemerintah Pusat.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 melakukan pengaturan yang bersifat afirmatif
yang dimulai dari pemetaan Urusan Pemerintahan yang akan menjadi prioritas
Daerah dalam pelaksanaan otonomi yang seluas-luasnya. Melalui pemetaan tersebut
akan tercipta sinergi Kementerian/Lembaga Pemerintah Nonkementerian yang
Urusan Pemerintahannya didesentralisasikan ke Daerah. Sinergi Urusan
Pemerintahan akan melahirkan sinergi kelembagaan antara Pemerintah Pusat dan
Daerah karena setiap Kementerian/Lembaga Pemerintah nonkementerian akan tahu
siapa pemangku kepentingan (stakeholder) dari Kementerian/Lembaga Pemerintah
Nonkementerian tersebut di tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota secara nasional.
Sinergi Urusan Pemerintahan dan kelembagaan tersebut akan menciptakan sinergi
dalam perencanaan pembangunan antara Kementerian/Lembaga Pemerintah
Nonkementerian dengan Daerah untuk mencapai target Nasional. Manfaat
lanjutannya adalah akan tercipta penyaluran bantuan yang terarah dari
Kementerian/Lembaga Pemerintah Nonkementerian terhadap Daerah-Daerah yang
menjadi stakeholder utamanya untuk akselerasi realisasi target Nasional tersebut.
Sinergi Pemerintah Pusat dan Daerah akan sulit tercapai tanpa adanya dukungan
personel yang memadai, baik dalam jumlah maupun standar kompetensi yang
diperlukan untuk melaksanakan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan
Daerah. Dengan cara tersebut, Pemerintah Daerah akan mempunyai birokrasi karir
yang kuat dan memadai dalam aspek jumlah dan kompetensinya.
Langkah berikutnya adalah adanya jaminan pelayanan publik yang disediakan
Pemerintah Daerah kepada masyarakat. Untuk itu Pemerintah Daerah wajib
membuat “Maklumat Pelayanan Publik”, sehingga masyarakat di Daerah tersebut
tahu jenis pelayanan publik yang disediakan, bagaimana mendapatkan aksesnya,
serta kejelasan dalam prosedur dan biaya untuk memperoleh pelayanan publik
tersebut serta adanya saluran keluhan manakala pelayanan publik yang didapat tidak
sesuai dengan standar yang telah ditentukan.
Langkah akhir untuk memperkuat Otonomi Daerah adalah adanya mekanisme
pembinaan, pengawasan, pemberdayaan, serta sanksi yang jelas dan tegas.
Adanya pembinaan dan pengawasan serta sanksi yang tegas dan jelas tersebut
memerlukan adanya kejelasan tugas pembinaan, dan pengawasan dari
Kementerian yang melakukan pembinaan dan pengawasan umum serta
Kementerian/Lembaga Pemerintah Nonkementerian yang melaksanakan
pembinaan teknis. Sinergi antara pembinaan dan pengawasan umum dengan
60
pembinaan dan pengawasan teknis, akan memberdayakan Daerah dalam
penyelenggaraan pemerintahan Daerah.
Untuk pembinaan dan pengawasan terhadap Daerah Kabupaten/Kota, diperlukan
peran dan kewenangan yang jelas dan tegas dari Gubernur sebagai Wakil
Pemerintah Pusat untuk melaksanakan tugas dan fungsi pembinaan dan
pengawasan terhadap Daerah Kabupaten/Kota.
Berkenaan dengan pembentukan Raperda tentang Penyelenggaraan
Keolahragaan, dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, diatur hal-hal
terkait sebagai berikut:
a. Pasal 12 ayat (2):
Urusan Pemerintahan Wajib yang tidak berkaitan dengan Pelayanan Dasar
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) meliputi:
a. tenaga kerja;
b. pemberdayaan perempuan dan pelindungan anak;
c. pangan;
d. pertanahan;
e. lingkungan hidup;
f. administrasi kependudukan dan pencatatan sipil;
g. pemberdayaan masyarakat dan Desa;
h. pengendalian penduduk dan keluarga berencana;
i. perhubungan;
j. komunikasi dan informatika;
k. koperasi, usaha kecil, dan menengah;
l. penanaman modal;
m. kepemudaan dan olahraga;
n. statistik;
o. persandian;
p. kebudayaan;
q. perpustakaan; dan
r. kearsipan.
b. Pasal 236 ayat (1) dan ayat (3):
Ayat (1) :
Untuk menyelenggarakan Otonomi Daerah dan Tugas Pembantuan,
Daerah membentuk Perda.
61
Ayat (3) :
Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat materi muatan:
a. penyelenggaraan Otonomi Daerah dan Tugas Pembantuan; dan b. penjabaran lebih lanjut ketentuan peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi.
Selanjutnya dalam Matriks Pembagian Urusan Pemerintahan Konkuren
Antara Pemerintah Pusat dan Daerah Provinsi Dan Daerah Kabupaten/Kota yang
merupakan Lampiran dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, Pembagian
Urusan Pemerintahan Bidang Kepemudaan dan Olahraga bagi Daerah
Kabupaten/Kota, meliputi:
a. Pembinaan dan pengembangan olahraga pendidikan pada jenjang pendidikan
yang menjadi kewenangan Daerah Kabupaten/Kota;
b. Penyelenggaraan kejuaraan olahraga tingkat Daerah Kabupaten/Kota;
c. Pembinaan dan pengembangan olahraga prestasi tingkat Daerah Provinsi;
d. Pembinaan dan pengembangan organisasi olahraga tingkat Daerah
Kabupaten/Kota; dan
e. Pembinaan dan pengembangan olahraga rekreasi.
Selain itu, berkenaan dengan pemberian hibah Pemerintah Daerah kepada
organisasi olahraga, maka pelaksanaannya harus mengacu pada ketentuan Pasal
298 ayat (4) dan ayat (5) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, yang
selengkapnya berbunyi sebagai berikut:
(4) Belanja hibah dan bantuan sosial dianggarkan dalam APBD sesuai
dengan kemampuan keuangan Daerah setelah memprioritaskan
pemenuhan belanja Urusan Pemerintahan Wajib dan Urusan
Pemerintahan Pilihan, kecuali ditentukan lain dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(5) Belanja hibah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat diberikan
kepada:
a. Pemerintah Pusat;
b. Pemerintah Daerah lain;
c. badan usaha milik negara atau BUMD; dan/atau
d. badan, lembaga, dan organisasi kemasyarakatan yang berbadan
hukum Indonesia.
62
F. Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2007 Tentang Penyelenggaraan Keolahragaan Nasional
Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2007 merupakan peraturan
pelaksanaan dari ketentuan Pasal 16, Pasal 31, Pasal 41, Pasal 66, Pasal 68 ayat
(6), Pasal 74 ayat (5), Pasal 84, dan Pasal 87 ayat (4) Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional.
Kerangka pemikiran dan kerangka umum Peraturan Pemerintah Nomor 16
Tahun 2007 adalah bahwa penyelenggaraan keolahragaan nasional semakin
kompleks dan berkaitan dengan berbagai aspek dan tuntutan perubahan global,
sehingga sudah saatnya Pemerintah memperhatikan dan mengaturnya secara
terencana, sistematik, holistik, dan berkesinambungan dan mengelolanya secara`
profesional sebagai strategi nasional untuk mencapai tujuan dan sasaran
pembangunan nasional. Penyelenggaraan keolahragaan sebagai bagian dari
suatu bangunan sistem keolahragaan nasional mencakup pembinaan dan
pengembangan olahraga pendidikan, olahraga rekreasi, olahraga prestasi,
olahraga amatir, olahraga profesional, dan olahraga bagi penyandang cacat,
sarana olahraga, ilmu pengetahuan dan teknologi keolahragaan serta
standardisasi, akreditasi, dan sertifikasi.
Dilandasi semangat otonomi daerah Peraturan Pemerintah Nomor 16
Tahun 2007 mengatur pembagian tugas, tanggung jawab, dan wewenang meliputi
Pemerintah, Menteri dan menteri yang terkait, pemerintah provinsi, pemerintah
kabupaten/kota, gubernur dan bupati/walikota, induk organisasi cabang olahraga,
induk organisasi fungsional olahraga di tingkat pusat, provinsi dan kabupaten/kota,
serta masyarakat umum. Dengan kejelasan dan ketegasan pengaturan mengenai
tugas, tanggung jawab dan wewenang, Pemerintah dan pemerintah daerah dapat
meningkatkan efektifitas dan efisiensi penyelenggaraan urusan pemerintahan,
mutu pelayanan publik di bidang keolahragaan, dan pembinaan dan
pengembangan potensi unggulan daerah melalui partisipasi aktif masyarakat.
Peraturan Pemerintah ini diarahkan untuk mencegah penyelenggaraan industri
olahraga profesional berorientasi pada bisnis semata (business-oriented) yang
mengabaikan kepentingan olahragawan, pelaku olahraga, dan masyarakat luas.
Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2007 meletakkan landasan
pengaturan bagi alih status dan perpindahan pelaku olahraga/tenaga
keolahragaan baik antar daerah maupun antar negara, untuk selanjutnya dapat
dijabarkan secara lebih teknis dan administratif oleh para pelaksana baik ditingkat
komite olahraga nasional, induk organisasi cabang olahraga, induk organisasi
olahraga fungsional, dan organisasi olahraga lainnya. Pengaturan alih status dan
63
perpindahan pelaku olahraga dititikberatkan pada 3 (tiga) pendekatan yaitu (1) hak
dan persyaratan mengingat proses ini berkaitan dengan hak asasi manusia,
keselamatan, kesejahteraan, serta masa depan pelaku olahraga; (2) kerangka
pembinaan dan pengembangan olahragawan yang harus berjalan secara teratur
ditinjau dari organisasi maupun administrasi; dan (3) kewajiban tenaga
keolahragaan asing untuk menghormati hukum Indonesia. Untuk terlaksananya
tugas pembinaan dan pengembangan serta pengawasan dan pengendalian
olahraga profesional secara efektif, fokus, intensif, dan berkesinambungan,
Peraturan Pemerintah ini memberikan dasar yuridis untuk membentuk badan
olahraga profesional di tingkat nasional yang dapat dibentuk sampai tingkat
provinsi
Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2007 menjadi dasar hukum bagi
pembentukan kelembagaan baik oleh Pemerintah/pemerintah daerah maupun
masyarakat. Kelembagaan dimaksud meliputi pembentukan dinas olahraga,
lembaga penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
keolahragaan, Badan Standardisasi dan Akreditasi Nasional Keolahragaan
(BSANK), untuk memajukan pembinaan dan pengembangan olahraga nasional.
Standardisasi, akreditasi, dan sertifikasi keolahragaan sangat penting untuk
menciptakan iklim penyelenggaraan keolahragaan sesuai Standar Nasional
Keolahragaan sebagai acuan yang harus diperhatikan oleh seluruh komponen
dalam pembinaan dan pengembangan keolahragaan nasional. Peraturan
Pemerintah Nomor 16 Tahun 2007 memberikan landasan yuridis bagi Menteri
untuk menetapkan standardisasi dan akreditasi keolahragaan nasional dengan
tetap memperhatikan prinsip transparansi dan akuntabilitas.
Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2007 menempatkan organisasi
olahraga berbasis masyarakat sebagai organisasi yang mandiri dan mitra strategis
Pemerintah dan pemerintah daerah dalam membina dan mengembangkan
keolahragaan nasional. Untuk itu, Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2007
mengakui dan memberikan kepastian hukum bagi organisasi keolahragaan yang
melakukan pembinaan dan pengembangan olahraga pendidikan, olahraga
rekreasi, dan olahraga prestasi, baik di pusat maupun di daerah.
Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2007 memberikan kepastian dan
jaminan hukum kepada induk organisasi cabang olahraga, pengurus cabang
olahraga tingkat provinsi, pengurus cabang olahraga tingkat kabupaten/kota,
organisasi olahraga fungsional, organisasi olahraga khusus penyandang cacat,
klub/perkumpulan, sasana, sanggar, komite olahraga nasional, komite olahraga
provinsi, komite olahraga kabupaten/kota, dan Komite Olimpiade Indonesia untuk
64
menyelenggarakan kegiatan keolahragaan sesuai tugas, kewajiban, wewenang,
dan tanggung jawabnya masing-masing
Bahwa organisasi keolahragaan harus berbadan hukum tidak dimaksudkan
untuk membatasi hak konstitusional dan kemandirian masyarakat dalam
berorganisasi, akan tetapi harus dipahami sebagai strategi nasional untuk
mengembangkan organisasi keolahragaan nasional yang memiliki manajemen
pengorganisasian yang profesional, efektif, dan berdaya saing serta untuk
memudahkannya dalam membina kerjasama dan koordinasi yang efektif, baik
dengan Pemerintah dan pemerintah daerah maupun antar sesama organisasi
olahraga.
Seluruh organisasi olahraga yang telah memenuhi persyaratan standar
organisasi olahraga harus sudah menyesuaikan dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 16 Tahun 2007. Ketentuan ini dibuat dalam rangka memelihara
kesinambungan dan mencegah timbulnya lingkungan yang menghambat proses
pembinaan dan pengembangan olahraga prestasi.
Pengaturan larangan rangkap jabatan pengurus komite olahraga nasional,
komite olahraga provinsi, dan komite olahraga kabupaten/kota dengan jabatan
struktural dan/atau jabatan publik, dimaksudkan untuk menghindari kemungkinan
terjadinya konflik kepentingan di dalam kepengurusan yang berpotensi terjadinya
penyalahgunaan kewenangan, dan untuk menjaga kemandirian dan netralitas,
serta menjamin keprofesionalan dalam pengelolaan keolahragaan.
Prinsip prinsip transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi publik dalam
penyelenggaraan keolahragaan diwujudkan antara lain melalui pelaksanaan
pengawasan yang melibatkan semua pihak. Pengawasan dilakukan untuk
menjamin berjalannya mekanisme kontrol, menghindari kekurangan dan
penyimpangan, dan evaluasi kinerja semua pihak yang diberikan kewenangan
untuk menangani penyelenggaraan keolahragaan oleh Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2005. Obyek pengawasan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun
2007 tidak terbatas pada pelaksanaan tugas, wewenang, dan tanggung jawab
instansi Pemerintah/pemerintah daerah akan tetapi mencakup semua sub sistem
penyelenggaraan olahraga pendidikan, olahraga rekreasi, dan olahraga prestasi.
Hal ini dikarenakan pengawasan sebagai subsistem keolahragaan saling terkait
dengan sub sistem lainnya dalam sistem keolahragaan nasional secara terencana,
terpadu, dan berkelanjutan untuk mendukung upaya pencapaian tujuan
keolahragaan nasional.
Efektifitas pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat tergantung pada
keterbukaan dan ketersediaan informasi keolahragaan yang dapat diakses
65
masyarakat sebagai sumber informasi bagi masyarakat untuk melakukan
penyampaian pendapat, pelaporan atau pengaduan, pengajuan usul, monitoring,
atau peninjauan atas penyelenggaraan keolahragaan. Masyarakat berhak
memperoleh informasi antara lain mengenai pengelolaan anggaran yang
bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)/Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Masyarakat juga dapat mengajukan
pelaporan/pengaduan dalam hal diketemukan penyimpangan atau kekurangan
dalam penyelenggaraan keolahragaan. Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun
2007 memberikan dasar yuridis kepada Menteri, gubernur, dan bupati/walikota
untuk menjatuhkan sanksi administratif bagi siapa saja yang melakukan
pelanggaran/penyimpangan di wilayah yang menjadi kewenangannya. Akan tetapi
perlu dipastikan bahwa pengenaan sanksi adminstratif tidak ditujukan sebagai
penghukuman melainkan sebagai proses pendidikan dan pembinaan.
Keterkaitan Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2007 dengan Raperda
tentang Penyelenggaraan Keolahragaan adalah berkenaan dengan ketentuan
Pasal-Pasal dalam Peraturan Pemerintah tersebut, sebagai berikut:
a. Pasal 3:
Kebijakan nasional keolahragaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
meliputi:
a. penyelenggaraan olahraga pendidikan, olahraga rekreasi, dan olahraga
prestasi;
b. pembinaan dan pengembangan olahraga;
c. penyelenggaraan kejuaraan olahraga;
d. pembinaan dan pengembangan pelaku olahraga;
e. pembinaan, pengembangan, dan pengawasan olahraga profesional;
f. peningkatan kualitas dan kuantitas prasarana dan sarana olahraga;
g. pendanaan keolahragaan;
h. pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi keolahragaan;
i. peran serta masyarakat dalam kegiatan keolahragaan;
j. pengembangan kerja sama dan informasi keolahragaan;
k. pembinaan dan pengembangan industri olahraga;
l. penyelenggaraan akreditasi dan sertifikasi;
m. pencegahan dan pengawasan terhadap doping;
n. pemberian penghargaan;
66
o. pelaksanaan pengawasan; dan
p. evaluasi nasional terhadap pencapaian standar nasional keolahragaan.
b. Pasal 6:
(1) Pemerintah daerah mempunyai tugas melaksanakan:
a. kebijakan nasional keolahragaan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 di daerah;
b. standardisasi keolahragaan nasional di daerah.
(2) Pemerintah daerah dapat menetapkan kebijakan keolahragaan sesuai
dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
c. Pasal 12:
(1) Pemerintah kabupaten/kota mempunyai kewenangan untuk mengatur,
membina, mengembangkan, melaksanakan, dan mengawasi
penyelenggaraan keolahragaan di kabupaten/kota.
(2) Kewenangan pemerintah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) meliputi:
a. penyelenggaraan olahraga pendidikan, olahraga rekreasi, dan
olahraga prestasi;
b. pembinaan dan pengembangan olahraga;
c. pengelolaan keolahragaan;
d. penyelenggaraan kejuaraan olahraga;
e. pembinaan dan pengembangan pelaku olahraga;
f. peningkatan kualitas dan kuantitas prasarana dan sarana olahraga;
g. pendanaan keolahragaan;
h. pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi keolahragaan;
i. peran serta masyarakat dalam kegiatan keolahragaan;
j. pengembangan kerja sama dan informasi keolahragaan;
k. pembinaan dan pengembangan industri olahraga;
l. penerapan standardisasi, akreditasi, dan sertifikasi keolahragaan;
m. pencegahan dan pengawasan terhadap doping;
n. pemberian penghargaan; o. pelaksanaan pengawasan; dan
p. evaluasi terhadap pencapaian standar nasional keolahragaan.
67
(3) Dalam melaksanakan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2), pemerintah kabupaten/kota dapat mengikutsertakan
komite olahraga kabupaten/kota, organisasi cabang olahraga tingkat
kabupaten/kota, organisasi olahraga fungsional tingkat kabupaten/kota,
masyarakat, dan/atau pelaku usaha.
d. Pasal 14:
(1) Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggungjawab untuk
mewujudkan tujuan penyelenggaraan keolahragaan nasional.
(2) Tujuan penyelenggaraan keolahragaan nasional sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), antara lain meliputi:
a. pemerataan pembinaan dan pengembangan kegiatan keolahragaan;
b. peningkatan mutu pelayanan minimal keolahragaan;
c. peningkatan efektifitas dan efisiensi manajemen keolahragaan; dan
d. peningkatan kesehatan, kebugaran, dan prestasi olahraga.
e. Pasal 16:
Tanggung jawab Pemerintah daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal
14 ayat (1) meliputi:
a. penetapan dan pelaksanaan kebijakan nasional keolahragaan;
b. penetapan dan pelaksanaan standardisasi keolahragaan nasional;
c. koordinasi penyelenggaraan keolahragaan nasional;
d. penggunaan kewenangan yang diberikan sesuai dengan ketentuan
Peraturan Perundang-undangan;
e. penyediaan pelayanan kegiatan keolahragaan sesuai dengan standar
pelayanan minimum;
f. pemberian kemudahan untuk terselenggaranya setiap kegiatan
keolahragaan; dan
g. penjaminan mutu untuk terselenggaranya kegiatan keolahragaan di
daerah.
f. Pasal 17:
Untuk mewujudkan tujuan penyelenggaraan keolahragaan nasional
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), Pemerintah dan
pemerintah daerah dalam melaksanakan tanggungjawabnya bekerjasama
secara terpadu dan berkesinambungan.
68
g. Pasal 19:
(1) Pemerintah kabupaten/kota bertanggungjawab atas penyelenggaraan
keolahragaan nasional di kabupaten/kota.
(2) Tanggungjawab pemerintah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilaksanakan oleh bupati/walikota.
(3) Dalam melaksanakan tanggungjawab penyelenggaraan keolahragaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), bupati/walikota mempunyai
tugas:
a. melaksanakan kebijakan nasional keolahragaan;
b. menyusun dan melaksanakan rencana dan program pembinaan dan
pengembangan keolahragaan sebagai bagian integral dari rencana
dan program pembangunan kabupaten/kota;
c. mengembangkan dan memantapkan sistem koordinasi dan
pengawasan pengelolaan keolahragaan;
d. membina dan mengembangkan industri olahraga;
e. menerapkan standardisasi keolahragaan;
f. menggalang sumber daya untuk memajukan keolahragaan;
g. memfasilitasi kegiatan pembinaan dan pengembangan kualitas dan
kuantitas tenaga keolahragaan;
h. memfasilitasi kegiatan komite olahraga kabupaten/kota, organisasi
cabang olahraga tingkat kabupaten/kota, dan organisasi olahraga
fungsional tingkat kabupaten/kota;
i. mengoordinasikan kegiatan pengelolaan cabang olahraga unggulan
yang bertaraf nasional dan/atau internasional;
j. meningkatkan kualitas keolahragaan dengan mengacu kepada
standar nasional keolahragaan;
k. mengembangkan dan meningkatkan kuantitas dan kualitas
prasarana dan sarana olahraga;
l. menjamin akses berolahraga bagi masyarakat;
m. mencegah dan mengawasi doping dalam olahraga;
n. mengembangkan dan menerapkan ilmu pengetahuan dan teknologi
keolahragaan;
o. menyediakan dan mendayagunakan sistem informasi keolahragaan;
dan
p. melakukan evaluasi dan pengawasan atas penyelenggaraan
keolahragaan tingkat kabupaten/kota.
69
h. Pasal 20:
Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggungjawab melaksanakan
pembinaan dan pengembangan olahraga yang meliputi pembinaan dan
pengembangan pengolahraga, tenaga keolahragaan dan organisasi
olahraga, penyediaan dana olahraga, penyusunan metode pembinaan dan
pengembangan olahraga, penyediaan prasarana dan sarana olahraga,
serta pemberian penghargaan di bidang keolahragaan.
i. Pasal 28:
(1) Pemerintah dan pemerintah daerah meningkatkan peran serta
masyarakat dan dunia usaha untuk membentuk dan mengembangkan
pusat pembinaan dan pelatihan olahraga serta sekolah olahraga.
(2) Pemerintah dan pemerintah daerah memfasilitasi pemberdayaan
perkumpulan olahraga dan penyelenggaraan kompetensi secara
berjenjang dan berkelanjutan, yang dilaksanakan oleh satuan
pendidikan.
(3) Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat memfasilitasi
penyediaan prasarana dan sarana olahraga yang disesuaikan dengan
kebutuhan satuan pendidikan, melalui koordinasi antar instansi terkait.
j. Pasal 32:
(1) Pemerintah daerah dan masyarakat berkewajiban membangun
prasarana dan sarana olahraga rekreasi sesuai potensi sumber daya
wilayah/daerah masing-masing.
(2) Pemerintah daerah dan masyarakat memfasilitasi pembentukan sanggar
olahraga dan perkumpulan olahraga dalam masyarakat.
(3) Pemerintah daerah memfasilitasi festival dan perlombaan olahraga
rekreasi tingkat daerah yang diselenggarakan oleh masyarakat
setempat.
(4) Pemerintah daerah dapat memfasilitasi penyelenggaraan festival dan
perlombaan olahraga rekreasi nasional dan internasional.
k. Pasal 35:
Pasal 35 Pembinaan dan pengembangan olahraga amatir menjadi
tanggungjawab Pemerintah, pemerintah daerah, satuan pendidikan, dan
induk organisasi cabang olahraga yang pelaksanaannya sesuai ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 sampai dengan Pasal 34.
70
l. Pasal 38 ayat (3) dan ayat (5):
Ayat (3):
Pemerintah dan/atau pemerintah daerah berkewajiban memfasilitasi
program kegiatan penataran, pelatihan, dan penyelenggaraan kompetisi
olahraga penyandang cacat pada tingkat daerah, dan nasional.
Ayat (5):
Pemerintah daerah dan/atau organisasi olahraga penyandang cacat yang
ada dalam masyarakat dapat membentuk sentra pembinaan dan
pengembangan olahraga penyandang cacat di daerah.
m. Pasal 46:
(1) Perencanaan keolahragaan tingkat kabupaten/kota dibuat oleh
bupati/walikota.
(2) Perencanaan keolahragaan tingkat kabupaten/kota sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi rencana strategis keolahragaan
kabupaten/kota dan rencana operasional keolahragaan kabupaten/kota.
(3) Rencana strategis keolahragaan kabupaten/kota sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) antara lain meliputi visi, misi, tujuan, sasaran,
analisis strategis, arah kebijakan, program, pola pelaksanaan, dan
koordinasi pengelolaan keolahragaan, serta penggalangan sumber daya
keolahragaan yang berbasis keunggulan lokal.
(4) Rencana operasional keolahragaan kabupaten/kota sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dibuat sesuai dengan ketentuan Peraturan
Perundang-undangan.
n. Pasal 68 ayat (1):
Pemerintah dan pemerintah daerah membina dan mengembangkan industri
sarana olahraga dalam negeri.
o. Pasal 69:
(1) Pemerintah dan pemerintah daerah memfasilitasi pengadaan sarana
olahraga yang sesuai dengan ketentuan induk organisasi cabang
olahraga, federasi olahraga internasional, dan sesuai dengan ketentuan
Peraturan Perundang-undangan, untuk mendukung penyelenggaraan
keolahragaan.
(2) Pemerintah dan pemerintah daerah memfasilitasi pelaku usaha dalam
negeri untuk memproduksi sarana olahraga dengan standar mutu
internasional.
71
p. Pasal 72:
Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat bertanggungjawab
melaksanakan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
keolahragaan secara terencana dan berkelanjutan untuk memajukan
keolahragaan nasional.
q. Pasal 76
(1) Dalam melakukan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
keolahragaan, Pemerintah dan pemerintah daerah memfasilitasi:
a. pemberdayaan dan pengembangan sumber daya manusia pada
lembaga penelitian dan pengkajian;
b. peningkatan prasarana dan sarana bagi penelitian atau pengkajian
keolahragaan;
c. akses terhadap informasi keolahragaan; dan
d. pemberdayaan pusat-pusat penelitian dan pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi keolahragaan.
(2) Fasilitasi Pemerintah dan pemerintah daerah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat berupa bantuan dana, bantuan teknis, kemudahan,
pelayanan, dan penyediaan informasi.
r. Pasal 77
(1) Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat dapat
membentuk lembaga penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi keolahragaan.
(2) Lembaga penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi keolahragaan yang dibentuk oleh Pemerintah atau pemerintah
daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bagian dari
lembaga pemerintahan di bawah koordinasi Menteri.
s. Pasal 78 ayat (2) dan ayat (3):
Ayat (2):
Lembaga penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
keolahragaan yang dibentuk oleh pemerintah daerah mempunyai tugas:
a. menyusun rencana strategis daerah pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi keolahragaan dengan mengacu pada
rencana strategis nasional;
b. mengkoordinasikan penyelenggaraan pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi keolahragaan di daerah;
c. melaksanakan pengkajian dan penelitian bidang keolahragaan;
d. melakukan uji coba dan alih teknologi;
e. melakukan diseminasi dan sosialisasi hasil penelitian dan
pengembangan;
72
f. memanfaatkan hasil penelitian dan pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi keolahragaan;
g. melakukan analisis dan evaluasi program dan dampak penelitian dan
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi keolahragaan; dan
h. menyediakan data dan informasi untuk mendukung pembuatan
kebijakan daerah di bidang keolahragaan.
Ayat (3):
Dalam melakukan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c,
huruf d, huruf e, dan huruf f, lembaga penelitian dan pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi keolahragaan tersebut dapat memprioritaskan
kegiatan yang berbasis keunggulan lokal setempat.
G. Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2007 tentang Pekan dan Kejuaraan Olahraga
Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2007 merupakan ketentuan
pelaksanaan dari Pasal 52 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005.
Kerangka pemikiran dan kerangka umum Peraturan Pemerintah Nomor 17
Tahun 2007 adalah bahwa Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem
Keolahragaan Nasional mewajibkan setiap penyelenggara kejuaraan olahraga
memperhatikan tujuan keolahragaan nasional serta prinsip-prinsip
penyelenggaraan olahraga. Penyelenggaraan kejuaraan olahraga merupakan
bagian yang integral dari upaya pembinaan olahraga, bahkan penyelenggaraan
kejuaraan olahraga merupakan titik kulminasi dari upaya pembinaan secara
menyeluruh, mulai dari membangkitkan minat, pemanduan bakat, seleksi dan
kompetisi, pembinaan yang berkesinambungan sampai pada pencapaian prestasi
puncak. Dalam pengukuran prestasi puncak inilah diatur tentang penyelenggaraan
kejuaraan olahraga
Di dalam dinamika perkembangan olahraga sekarang dan di masa-masa
mendatang penyelenggaraan kejuaraan olahraga akan berjalan sedemikian jauh
sehingga penyelenggaraan olahraga akan menjadi ajang pertarungan martabat
dan kehormatan bangsa, bahkan penyelenggaraan kejuaraan olahraga saat ini
sudah merupakan persaingan bisnis dan industri olahraga yang pada akhirnya
menciptakan lapangan kerja dan dapat menjadi salah satu sumber bagi devisa
negara.
Intensitas kejuaraan olahraga sekarang ini cukup tinggi dan dilakukan mulai
dari tingkat internasional, tingkat nasional, sampai pada tingkat kabupaten/kota,
diselenggarakan dalam bentuk kejuaraan multi event atau single event. Dengan
73
dinamika yang demikian, maka peranan penyelenggaraan kejuaraan olahraga
menjadi amat penting. Jika hal tersebut dilakukan secara berjenjang dan
berkesinambungan akan menjadi ajang seleksi dan pemberian pengalaman
bertanding bagi para olahragawan yang selanjutnya kegiatan tersebut akan
berfungsi sebagai hiburan yang mempunyai nilai komersial.
Dengan cakupan penyelenggaraan kejuaraan yang sedemikian luasnya dan
menyangkut berbagai aspek maka penyelenggaraan kejuaraan olahraga perlu
diatur dalam suatu Peraturan Perundang-undangan agar semua aspek yang
berkaitan dan berpengaruh terhadap penyelenggaraan kejuaraan dapat
menunjang dan saling bersinergi dalam rangka keberhasilan penyelenggaraan
keolahragaan nasional untuk mencapai tujuannya. Sebagai dampak dari proses
globalisasi sekarang ini, penyelenggaraan kegiatan olahraga telah mengalami
perubahan yang sangat signifikan, antara lain terjadinya arus perpindahan dalam
hubungan dengan penggunaan pelaku olahraga asing di Indonesia, penggunaan
prasarana, sarana, dan metoda baru sehingga menimbulkan intensitas yang tinggi
terhadap keterlibatan pelaku olahraga yang pada umumnya berkaitan dengan
olahraga profesional.
Dalam hubungan dengan penyelenggaraan kejuaraan, Peraturan
Pemerintah ini mengatur secara jelas hal-hal pokok yang berkaitan dengan pekan
olahraga dan kejuaraan olahraga. Pekan olahraga secara jelas diklasifikasi dalam
pekan olahraga internasional, pekan olahraga nasional, pekan olahraga wilayah,
dan pekan olahraga daerah. Sedangkan kejuaraan olahraga dibagi menjadi
kejuaraan olahraga tingkat internasional, kejuaraan olahraga tingkat nasional,
kejuaraan olahraga tingkat wilayah, kejuaraan olahraga tingkat provinsi, dan
kejuaraan olahraga tingkat kabupaten/kota.
Pengaturan tentang pekan olahraga internasional diatur sesuai dengan
ketentuan yang berlaku dalam Olympic Charter dengan memberikan peran KOI
sesuai dengan fungsinya. Sedangkan pengaturan pekan olahraga yang
dilaksanakan di dalam negeri mulai dari pekan olahraga nasional, wilayah, daerah,
penyandang cacat, serta pelajar, mahasiswa, dan sejenisnya diatur dalam
Peraturan Pemerintah ini, termasuk hal-hal yang berkaitan dengan mekanisme
dan koordinasinya. Pengaturan tentang kejuaraan olahraga diarahkan untuk
mencapai tujuan pemassalan, penjaringan bibit, memberikan pengalaman
bertanding, meningkatkan prestasi dan memelihara persatuan dan kesatuan
bangsa.
Dalam setiap pertandingan baik pekan olahraga maupun kejuaraan
olahraga, doping dilarang dalam bentuk apapun sesuai dengan ketentuan anti
74
doping. Pengawasan doping ini dilakukan oleh Pemerintah yang pelaksanaannya
diserahkan kepada lembaga anti doping nasional.
Berpijak dari latar belakang pemikiran seperti itulah maka kehadiran
Peraturan Pemerintah yang mengatur mengenai penyelenggaraan kejuaraan
olahraga sangat diperlukan agar semua kegiatan dapat diatur secara terpadu dan
dapat mendukung upaya keberhasilan sistem keolahragaan nasional
sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005.
Keterkaitan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2007 dengan Raperda
tentang Penyelenggaraan Keolahragaan adalah berkenaan dengan ketentuan
Pasal-Pasal dalam Peraturan Pemerintah tersebut, sebagai berikut:
a. Pasal 24:
(1) Pemerintah daerah bertanggungjawab atas penyelenggaraan pekan
olahraga pelajar daerah dan pekan olahraga mahasiswa daerah.
(2) Pekan olahraga daerah dan pekan olahraga mahasiswa daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), antara lain:
a. pekan olahraga pelajar tingkat provinsi dan pekan olahraga pelajar
tingkat kabupaten/kota;
b. pekan olahraga mahasiswa tingkat provinsi dan pekan olahraga
mahasiswa tingkat kabupaten/kota;
c. pekan olahraga pesantren tingkat provinsi dan pekan olahraga
pelajat tingkat kabupaten/kota.
(3) Dalam rangka pelaksanaan pekan olahraga sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), pemerintah provinsi atau pemerintah kabupaten/kota
dapat membentuk panitia penyelenggara dengan melibatkan induk
organisasi olahraga fungsional pelajar dan induk organisasi olahraga
fungsional mahasiswa.
b. Pasal 25:
Pemerintah dan pemerintah provinsi atau pemerintah kabupaten/kota
selaku penanggungjawab penyelenggaraan pekan olahraga pelajar dan
pekan olahraga mahasiswa sesuai kewenangannya menetapkan tempat
penyelenggaraan dengan memperhatikan:
a. kemampuan dan potensi calon tempat penyelenggaraan;
b. ketersediaan prasarana dan sarana;
c. dukungan masyarakat setempat;
d. pembinaan dan pengembangan prestasi olahraga calon tempat
penyelenggaraan; dan
e. usulan dari induk organisasi olahraga fungsional pelajar dan induk
organisasi fungsional mahasiswa.
75
H. Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2007 tentang Pendanaan Keolahragaan
Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2007 merupakan ketentuan
pelaksanaan dari Pasal 72 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005.
Kerangka pemikiran dan kerangka umum Peraturan Pemerintah Nomor 18
Tahun 2007, yaitu bahwa olahraga merupakan bagian dari proses dan pencapaian
tujuan pembangunan nasional sehingga keberadaan dan peranan olahraga dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara harus ditempatkan pada
kedudukan yang jelas dalam sistem hukum nasional berdasarkan UUD 1945.
Permasalahan keolahragaan nasional semakin komplek dan berkaitan
dengan antara lain ekonomi dan tuntutan perubahan global, sehingga sudah
saatnya Indonesia memperhatikan semua aspek yang terkait antara lain
kemampuan anggaran untuk mendukung penyelenggaraan keolahragaan nasional
untuk mencapai prestasi yang mampu bersaing pada masa kini dan masa yang
akan datang. Atas dasar inilah perlu diatur dalam Peraturan Pemerintah tentang
Pendanaan Keolahragaan sebagai landasan yuridis bagi penyelenggaraan
keolahragaan di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2007 diatur prinsip-prinsip
pendanaan seperti prinsip kecukupan dan prinsip berkelanjutan sumber dan
alokasi pendanaan, lingkup kegiatan pendanaan, serta pertanggungjawaban
pendanaan penyelenggaraan keolahragaan.
Keterbatasan sumber pendanaan atau anggaran merupakan permasalahan
khusus dalam penyelenggaraan keolahragaan. Hal ini makin dirasakan dengan
perkembangan olahraga modern yang menuntut pengelolaan, pembinaan, dan
pengembangan keolahragaan yang perlu didukung oleh anggaran yang memadai.
Untuk itu perlu pengaturan tentang pengelolaan dan pertanggungjawaban
pendanaan keolahragaan di dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
Selain itu, sumber daya dan dana dari masyarakat dan dunia usaha perlu
dioptimalkan, antara lain melalui peran serta masyarakat dalam pengadaan dana,
pengadaan atau pemeliharaan prasarana dan sarana, dan dalam industri
olahraga.
Guna mendukung pendanaan keolahragaan, Peraturan Pemerintah Nomor
18 Tahun 2007 mengamanatkan bahwa Pemerintah dapat membentuk badan
usaha milik negara yang berkaitan dengan kegiatan keolahragaan sesuai dengan
ketentuan Peraturan Perundang-undangan. Kemauan politik dalam Peraturan
76
Pemerintah mengenai hal tersebut merupakan dorongan bagi usaha kemandirian
dalam pendanaan keolahragaan sehingga dapat mengurangi beban Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah. Bahkan, penyelenggaraan keolahragaan yang dilaksanakan oleh
Pemerintah dan pemerintah daerah dapat meningkatkan pendapatan negara atau
pendapatan asli daerah.
Dengan demikian diharapkan upaya meningkatkan prestasi olahraga dapat
mengangkat harkat dan martabat bangsa pada tingkat nasional dan internasional
sesuai dengan tujuan dan sasaran pembangunan nasional yang berkelanjutan.
Keterkaitan Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2007 dengan Raperda
tentang Penyelenggaraan Keolahragaan adalah berkenaan dengan ketentuan
Pasal-Pasal dalam Peraturan Pemerintah tersebut, sebagai berikut:
a. Pasal 2:
Pendanaan keolahragaan menjadi tanggungjawab bersama antara
Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat.
b. Pasal 3:
Pemerintah dan pemerintah daerah wajib mengalokasikan anggaran
keolahragaan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
c. Pasal 5 ayat (2):
Sumber pendanaan keolahragaan dari pemerintah daerah berasal dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
d. Pasal 13:
(1) Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya
melakukan pengawasan terhadap pendanaan keolahragaan.
(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai
dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
I. Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Peraturan Pelaksanaan Pendidikan
Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 merupakan ketentuan
pelaksanaan dari Pasal 12 ayat (4), Pasal 17 ayat (3), Pasal 18 ayat (4), Pasal 20
ayat (4), Pasal 21 ayat (7), Pasal 24 ayat (4), Pasal 25 ayat (3), Pasal 26 ayat (7),
Pasal 27 ayat (3), Pasal 28 ayat (6), Pasal 31 ayat (4), Pasal 32 ayat (3), Pasal 41
ayat (4), Pasal 42 ayat (3), Pasal 43 ayat (3), Pasal 50 ayat (7), Pasal 51 ayat (3),
77
Pasal 52 ayat (2), Pasal 54 ayat (3), Pasal 55 ayat (5), Pasal 56 ayat (4), Pasal 62
ayat (4), Pasal 65 ayat (5), dan Pasal 66 ayat (3) Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2003
Kerangka pemikiran dan kerangka umum Peraturan Pemerintah Nomor 17
Tahun 2010, yaitu bahwa visi sistem pendidikan nasional sebagai pranata sosial
yang kuat dan berwibawa mengisyaratkan bahwa pengelolaan dan
penyelenggaraan pendidikan pada semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan oleh
Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat harus berlangsung sinergis. Visi
sistem pendidikan nasional dimaksudkan untuk memberdayakan semua warga
negara Indonesia agar berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga
mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah.
Dalam era globalisasi dan informasi saat ini, keterbukaan telah menjadi
karakteristik kehidupan yang demokratis, dan hal ini membawa dampak pada
cepat usangnya kebijakan maupun praksis pendidikan. Parameter kualitas
pendidikan, baik dilihat dari segi pasokan, proses, dan hasil pendidikan selalu
berubah. Tanggung jawab pendidikan merupakan tanggung jawab bersama
Pemerintah, masyarakat dan orang tua. Oleh sebab itu, pendidikan harus secara
terus-menerus perlu ditingkatkan kualitasnya, melalui sebuah pembaruan yang
dapat dipertanggungjawabkan kepada pemangku kepentingan (stakeholders) agar
mampu mempersiapkan generasi penerus bangsa sejak dini sehingga memiliki
unggulan kompetitif dalam tatanan kehidupan nasional dan global.
Dunia pendidikan khususnya dan tantangan masa depan umumnya telah
berubah dan berkembang sedemikian cepatnya. Untuk mengantisipasi serta
merespon perubahan dan perkembangan tersebut, perlu ditetapkan peraturan
perundang-undangan tentang pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan yang
responsif untuk memaksimalkan terselenggaranya sistem pendidikan nasional.
Untuk melaksanakan amanat Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 yang
berkaitan dengan pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan ditetapkan
Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 yang mencakupi:
a. pengelolaan pendidikan oleh Pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah
kabupaten/kota, penyelenggara pendidikan yang didirikan masyarakat, dan
satuan pendidikan;
b. penyelenggaraan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar dan menengah,
pendidikan tinggi, pendidikan nonformal, pendidikan jarak jauh, pendidikan
khusus dan pendidikan layanan khusus, pendidikan bertaraf internasional dan
pendidikan berbasis keunggulan lokal, pendidikan oleh perwakilan negara
78
asing dan kerjasama lembaga pendidikan asing dengan lembaga pendidikan
Indonesia;
c. penyetaraan pendidikan informal;
d. kewajiban peserta didik;
e. pendidik dan tenaga kependidikan
f. pendirian satuan pendidikan;
g. peran serta masyarakat;
h. pengawasan; dan
i. sanksi.
Keterkaitan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 20010 terhadap
Raperda tentang Penyelenggaraan Keolahragaan adalah berkenaan dengan
ketentuan Pasal-Pasal dalam Peraturan Pemerintah tersebut, diantaranya sebagai
berikut:
a. Pasal 36:
(1) Pemerintah kabupaten/kota melakukan pembinaan berkelanjutan
kepada peserta didik di daerahnya yang memiliki potensi kecerdasan
dan/atau bakat istimewa untuk mencapai prestasi puncak di bidang ilmu
pengetahuan, teknologi, seni, dan/atau olahraga pada tingkat satuan
pendidikan, kecamatan, kabupaten/kota, provinsi, nasional, dan
internasional.
(2) Untuk menumbuhkan iklim kompetitif yang kondusif bagi pencapaian
prestasi puncak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemerintah
kabupaten/kota menyelenggarakan dan/atau memfasilitasi secara
teratur dan berjenjang kompetisi di bidang:
a. ilmu pengetahuan;
b. teknologi;
c. seni; dan/atau
d. olahraga.
(3) Pemerintah kabupaten/kota memberikan penghargaan kepada peserta
didik yang meraih prestasi puncak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pembinaan berkelanjutan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) serta penyelenggaraan dan
fasilitasi kompetisi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan
Peraturan Bupati/Walikota.
79
b. Pasal 66:
(1) Program pembelajaran TK, RA, dan bentuk lain yang sederajat
dikembangkan untuk mempersiapkan peserta didik memasuki SD, MI,
atau bentuk lain yang sederajat.
(2) Program pembelajaran TK, RA, dan bentuk lain yang sederajat
dilaksanakan dalam konteks bermain yang dapat dikelompokan menjadi:
a. bermain dalam rangka pembelajaran agama dan akhlak mulia;
b. bermain dalam rangka pembelajaran sosial dan kepribadian;
c. bermain dalam rangka pembelajaran orientasi dan pengenalan
pengetahuan dan teknologi;
d. bermain dalam rangka pembelajaran estetika; dan
e. bermain dalam rangka pembelajaran jasmani, olahraga, dan
kesehatan.
c. Pasal 67:
(1) Pendidikan pada SD/MI atau bentuk lain yang sederajat berfungsi:
a. menanamkan dan mengamalkan nilai-nilai keimanan, akhlak mulia,
dan kepribadian luhur;
b. menanamkan dan mengamalkan nilai-nilai kebangsaan dan cinta
tanah air;
c. memberikan dasar-dasar kemampuan intelektual dalam bentuk
kemampuan dan kecakapan membaca, menulis, dan berhitung;
d. memberikan pengenalan ilmu pengetahuan dan teknologi;
e. melatih dan merangsang kepekaan dan kemampuan mengapresiasi
serta mengekspresikan keindahan, kehalusan, dan harmoni;
f. menumbuhkan minat pada olahraga, kesehatan, dan kebugaran
jasmani; dan
g. mengembangkan kesiapan fisik dan mental untuk melanjutkan
pendidikan ke SMP/MTs atau bentuk lain yang sederajat.
(2) Pendidikan pada SMP/MTs atau bentuk lain yang sederajat berfungsi:
a. mengembangkan, menghayati, dan mengamalkan nilai-nilai
keimanan, akhlak mulia, dan kepribadian luhur yang telah
dikenalinya;
b. mengembangkan, menghayati, dan mengamalkan nilai-nilai
kebangsaan dan cinta tanah air yang telah dikenalinya;
c. mempelajari dasar-dasar ilmu pengetahuan dan teknologi;
80
d. melatih dan mengembangkan kepekaan dan kemampuan
mengapresiasi serta mengekspresikan keindahan, kehalusan, dan
harmoni;
e. mengembangkan bakat dan kemampuan di bidang olahraga, baik
untuk kesehatan dan kebugaran jasmani maupun prestasi; dan
f. mengembangkan kesiapan fisik dan mental untuk melanjutkan
pendidikan ke jenjang pendidikan menengah dan/atau untuk hidup
mandiri di masyarakat.
d. Pasal 107:
(1) Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan nonformal berbentuk
kelompok bermain, taman penitipan anak, dan satuan pendidikan anak
usia dini yang sejenis.
(2) Kelompok bermain, taman penitipan anak, dan satuan pendidikan anak
usia dini yang sejenis menyelenggarakan pendidikan dalam konteks:
a. bermain sambil belajar dalam rangka pembelajaran agama dan ahlak
mulia;
b. bermain sambil belajar dalam rangka pembelajaran sosial dan
kepribadian;
c. bermain sambil belajar dalam rangka pembelajaran estetika;
d. bermain sambil belajar dalam rangka pembelajaran jasmani,
olahraga, dan kesehatan; dan
e. bermain sambil belajar dalam rangka merangsang minat kepada ilmu
pengetahuan dan teknologi.
81
BAB IV
LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS,
DAN YURIDIS
A. Landasan Filosofis
Landasan filosofis pada prinsipnya memuat pandangan hidup, kesadaran
dan cita-cita hukum serta cita-cita moral yang terdapat dalam Pancasila dan
Pembukaan UUD 1945. Peraturan Daerah harus memuat norma-norma hukum
yang diidealkan (ideal norms) oleh suatu masyarakat ke arah mana cita-cita luhur
kehidupan bermasyarakat dan bernegara hendak diarahkan. Karena itu idealnya
Perda dapat digambarkan sebagai cermin dari cita-cita kolektif suatu masyarakat
tentang nilai-nilai luhur dan filosofis yang hendak diwujudkan dalam kehidupan
sehari-hari melalui pelaksanaan Perda dalam kenyataan. Karena itu, cita-cita
filosofis yang terkandung dalam Perda hendaklah mencerminkan cita-cita filosofis
yang dianut masyarakat Jawa Barat.
Dalam kaitannya dengan Raperda, maka landasan filosofis harus
mencerminkan :
a. pemenuhan kewajiban Pemerintah Daerah sebagai bagian dari sistem
pemerintahan nasional dalam memenuhi kebutuhan masyarakat, yang salah
satunya melalui pembentukan suatu sistem pemerintahan yang mendukung
upaya pembangunan Daerah melalui keolahragaan sebagai bagian yang tidak
terpisahkan dari pembangunan sumberdaya manusia Daerah yang memiliki
kompetensi, daya saing, serta semangat dan daya juang yang tinggi.
b. Pasal 18 ayat (1), (2), (3), (4), (5), (6) dan (7) UUD 1945. Pasal 18
menyebutkan bahwa NKRI dibagi atas daerah-daerah Provinsi dan daerah
Provinsi itu mempunyai pemerintahan daerah, yang mengatur dan mengurus
sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.
Gubernur, Bupati, dan Wali Kota masing-masing sebagai Kepala Pemerintahan
Daerah Provinsi, Kabupaten, dan Kota dipilih secara demokratis. Pemerintahan
Daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan
yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat.
Pemerintahan Daerah berhak menetapkan Perda dan peraturan-peraturan lain
untuk melaksanakan Otonomi dan Tugas pembantuan.
82
B. Landasan Sosiologis
Landasan sosiologis memuat suatu tinjauan terhadap gejala-gejala sosial-
ekonomi-politik yang berkembang di masyarakat, yang mendorong perlu dibuatnya
naskah akademik. Landasan sosiologis juga memuat analisis kecenderungan
sosiologis-futuristik tentang sejauhmana tingkah laku sosial itu sejalan dengan
arah dan tujuan pembangunan hukum yang ingin dicapai.
Landasan sosiologis mensyaratkan setiap norma hukum yang dituangkan
dalam peraturan daerah harus mencerminkan tuntutan kebutuhan masyarakat
sendiri akan norma hukum yang sesuai dengan realitas kesadaran hukum
masyarakat. Karena itu, dalam konsideran, harus dirumuskan dengan baik
pertimbangan-pertimbangan yang bersifat empiris, sehingga suatu gagasan
normatif yang dituangkan dalam peraturan daerah benar-benar didasarkan atas
kenyataan yang hidup dalam kesadaran hukum masyarakat. Dengan demikian,
norma hukum yang tertuang dalam peraturan daerah kelak dapat dilaksanakan
dengan sebaik-baiknya di tengah-tengah masyarakat hukum yang diaturnya.
Berkaitan dengan Raperda, secara sosiologis penyelenggaraan
keolahragaan diyakini merupakan upaya meningkatkan kualitas hidup manusia
Indonesia secara jasmaniah, rohaniah, dan sosial dalam mewujudkan masyarakat
yang maju, adil, makmur, sejahtera, dan demokratis berdasarkan Pancasila dan
UUD Tahun 1945. Perkembangan keolahragaan di Daerah dan nasional semakin
kompleks dan berkaitan dengan dinamika sosial, ekonomi, budaya masyarakat
dan bangsa serta tuntutan perubahan global. Oleh karena itu, sudah saatnya
Daerah memiliki suatu kebijakan dalam penyelenggaraan keolahragaan yang
mengatur keolahragaan secara menyeluruh dengan memperhatikan semua aspek
terkait, adaptif terhadap perkembangan olahraga dan masyarakat, sekaligus
mampu mendukung pembinaan dan pengembangan keolahragaan Daerah
sehingga dapat menjamin pemerataan akses terhadap olahraga, peningkatan
kesehatan dan kebugaran, peningkatan prestasi, dan manajemen keolahragaan di
Daerah dalam menghadapi tantangan serta tuntutan perubahan kehidupan
nasional dan global pada masa kini dan masa yang akan datang. Atas dasar inilah
perlu dibentuk Raperda tentang Penyelenggaraan Keolahragaan sebagai
landasan yuridis bagi setiap kegiatan keolahragaan di Kota Sukabumi.
83
C. Landasan Yuridis
Hal yang patut diperhatikan dalam perumusan suatu Raperda adalah
bahwa ketentuan atau norma-norma yang dirumuskan tidak mengandung
pertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Secara yuridis,
penyusunan Peraturan Daerah berlandaskan pada ketentuan Pasal 14 Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2011, yang menyatakan bahwa materi muatan
Peraturan Daerah berisi materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi
daerah dan tugas pembantuan serta menampung kondisi khusus daerah dan/atau
penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi, serta
Pasal 236 ayat (3) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 yang menyatakan
bahwa Perda memuat materi muatan penyelenggaraan Otonomi Daerah dan
Tugas Pembantuan, dan penjabaran lebih lanjut ketentuan peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi.
Dalam hal ini, Raperda tentang Penyelenggaraan Keolahragaan merupakan
penjabaran kewenangan sabagai daerah otonom sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah dan peraturan perundang-
undangan di bidang keolahragaan.
84
BAB V
JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN
RUANG LINGKUP MATERI MUATAN RAPERDA
Berdasarkan uraian pada bab-bab sebelumnya, maka jangkauan, arah
pengaturan, dan ruang lingkup materi muatan Raperda tentang Penyelenggaraan
Keolahragaan, meliputi :
A. Dasar Pertimbangan dan Dasar Hukum Pembentukan Raperda
Dasar pertimbangan pembentukan Raperda adalah bahwa dalam rangka
mendukung dan meningkatkan kualitas masyarakat Kota Sukabumi yang memiliki
kompetensi, daya saing, serta semangat dan daya juang yang tinggi, perlu
dilakukan upaya pembangunan di bidang keolahragaan sebagai bagian yang tidak
terpisahkan dari pembangunan sumberdaya manusia Kota Sukabumi. Untuk
melaksanakan pembangunan di bidang keolahragaan tersebut perlu dilakukan
pengaturan, pembinaan, pengembangan, pelaksanaan dan pengawasan, serta
harmonisasi, sinkronisasi dan koordinasi penyelenggaraan keolahragaan guna
peningkatan budaya berolahraga dan prestasi olahraga Kota Sukabumi diuntuk
tingkat provinsi dan nasional;
Untuk dasar hukum pembentukan Raperda, perlu mendasarkan diri pada
Lampiran II huruf B.4 angka 39 dan 40 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011,
yang menyatakan bahwa dasar hukum pembentukan Peraturan Daerah adalah
Pasal 18 ayat (6) UUD 1945, Undang-Undang tentang Pembentukan Daerah dan
Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah, serta Peraturan Pemerintah yang
memerintahkan secara langsung pembentukan peraturan perundang-undangan.
Dengan demikian, maka dasar hukum yang menjadi acuan pembentukan Raperda
tentang Bantuan Hukum untuk Masyarakat Miskin, adalah :
1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
2. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah-Daerah
Kota Kecil dalam Lingkungan Propinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa
Barat sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun
1954 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 16 dan 17 Tahun 1950;
3. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional;
4. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional;
5. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan;
85
6. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan;
7. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah,
sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah;
8. Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan
Keolahragaan Nasional;
9. Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2007 tentang Pekan dan Kejuaraan
Olahraga;
10. Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2007 tentang Pendanaan
Keolahragaan;
11. Peraturan Pemerintah Nomor 17 tahun 2010 tentang Peraturan Pelaksanaan
Pendidikan;
12. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 1 Tahun 2015 tentang
Penyelenggaraan Keolahragaan.
B. Ketentuan Umum
Ketentuan umum dalam Raperda meliputi pengertian, fungsi, tujuan, dan
prinsip.
1. Definisi
Dalam Raperda, perlu diuraikan mengenai definisi yang berisi
“pengertian” dan “akronim”, yang dimaksudkan untuk mencegah timbulnya
salah tafsir dan salah pengertian dalam memahami dan melaksanakan pasal-
pasal dalam Peraturan Daerah. Uraian definisi tersebut disusun tidak terlalu
banyak, dan perumusannya dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut :
a. Definisi yang dicantumkan dalam pasal hanya terminologi atau istilah yang
dipergunakan berulang-ulang di dalam pasal atau beberapa pasal
berikutnya, sedangkan yang tidak berulang, dijadikan materi “penjelasan
pasal”.
b. Terminologi atau istilah yang hanya digunakan satu kali, namun terminologi
atau istilah tersebut diperlukan pengertiannya dalam suatu bab, bagian atau
paragraf tertentu, kata atau istilah itu dimasukan definisi.
c. Mengingat batasan pengertian atau definisi, singkatan atau akronim lebih
dari satu, maka masing-masing uraiannya dalam Raperda diberi nomor urut
86
dengan angka Arab dan diawali dengan huruf kapital serta diakhiri dengan
tanda baca titik.
Adapun uraian definisi dalam Raperda , sebagai berikut:
1. Daerah Provinsi adalah Daerah Provinsi Jawa Barat.
2. Pemerintah Daerah Provinsi adalah Pemerintah Daerah Provinsi Jawa
Barat.
3. Daerah adalah Kota Sukabumi.
4. Pemerintah Daerah Kota adalah Pemerintah Daerah Kota Sukabumi.
5. Pemerintah Daerah adalah Wali Kota sebagai unsur penyelenggara
Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan
yang menjadi kewenangan Daerah.
6. Wali Kota adalah Wali Kota Sukabumi.
7. Perangkat Daerah adalah unsur pembantu Wali Kota dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah dalam penyelenggaraan urusan Pemerintahan
yang menjadi kewenangan Daerah
8. Penyelenggaraan Keolahragaan adalah proses sistematik yang melibatkan
berbagai aspek keolahragaan dan pemangku kepentingan secara terpadu
dan berkelanjutan mulai dari perencanaan, pelaksanaan, sampai dengan
evaluasi dan pengawasan dalam rangka mencapai tujuan keolahragaan.
9. Keolahragaan adalah segala aspek yang berkaitan dengan olahraga yang
memerlukan pengaturan, pendidikan, pelatihan, pembinaan,
pengembangan, dan pengawasan.
10. Olahraga adalah segala kegiatan yang sistematis untuk mendorong,
membina, serta mengembangkan potensi jasmani, rohani, dan sosial.
11. Pelaku Olahraga adalah setiap orang dan/atau kelompok orang yang
terlibat secara langsung dalam kegiatan olahraga yang meliputi
pengolahraga, pembina olahraga, dan tenaga keolahragaan.
12. Pengolahraga adalah orang yang berolahraga dalam usaha
mengembangkan potensi jasmani, rohani, dan sosial.
13. Olahragawan adalah pengolahraga yang mengikuti pelatihan secara teratur
dan kejuaraan dengan penuh dedikasi untuk mencapai prestasi.
14. Guru Olahraga adalah pengajar pada satuan pendidikan yang memiliki
pengetahuan, keahlian dan kemampuan di bidang olahraga untuk
melaksanakan proses pembelajaran melalui aktivitas jasmani yang
dirancang guna meningkatkan kebugaran jasmani, mengembangkan
87
keterampilan motorik, pengetahuan dan prilaku hidup sehat dan aktif, sikap
sprotif, dan kecerdasan emosi pelajar.
15. Pelatih adalah seseorang yang memiliki kemampuan dan keahlian untuk
mempersiapkan fisik dan mental olahragawan maupun kelompok
olahragawan.
16. Pembinaan dan pengembangan olahraga adalah usaha sadar yang
dilakukan secara sistematis untuk mencapai tujuan keolahragaan.
17. Tenaga Keolahragaan adalah setiap orang yang memiliki kualifikasi dan
sertifikat kompetensi dalam bidang olahraga.
18. Masyarakat adalah kelompok Warga Negara Indonesia nonpemerintah
termasuk dunia usaha dan dunia industri yang mempunyai perhatian dan
peranan dalam bidang keolahragaan.
19. Perencanaan Keolahragaan adalah rangkaian kegiatan yang sistematik,
terukur, terpadu, bertahap, berjenjang, dan berkelanjutan dalam rangka
mencapai tujuan keolahragaan.
20. Olahraga Pendidikan adalah pendidikan jasmani dan olahraga yang
dilaksanakan sebagai bagian proses pendidikan yang teratur dan
berkelanjutan untuk memperoleh pengetahuan, kepribadian,
keterampilan,kesehatan, dan kebugaran jasmani.
21. Olahraga Prestasi adalah olahraga yang dilaksanakan untuk membina dan
mengembangkan olahragawan secara terencana, berjenjang dan
berkelanjutan melalui kompetisi untuk mencapai prestasi dengan dukungan
ilmu pengetahuan dan teknologi keolahragaan.
22. Olahraga Rekreasi adalah olahraga yang dilaksanakan oleh masyarakat
berdasarkan kegemaran dan kemampuan yang tumbuh dan berkembang
sesuai dengan kondisi dan nilai budaya masyarakat setempat untuk
kesehatan, kebugaran, dan kegembiraan.
23. Olahraga Tradisional adalah olahraga yang merupakan warisan tradisi dan
budaya masyarakat Daerah yang bermanfaat untuk meningkatkan
kesehatan,kebugaran,dan pengembangan hubungan sosial.
24. Olahraga Aparatur Sipil Negara adalah olahraga yang diselenggarakan
untuk meningkatkan kesehatan jasmani dan rohani, produktivitas kerja,
disiplin, jiwa korsa, solidaritas, dan kebersamaan Aparatur Sipil Negara di
Daerah, serta memberikan keteladanan bagi masyarakat.
25. Prestasi adalah hasil upaya maksimal yang dicapai olahragawan atau
kelompok olahragawan dalam kegiatan olahraga.
88
26. Penghargaan Olahraga adalah pengakuan atas prestasi di bidang olahraga
yang diwujudkan dalam bentuk material dan/atau nonmaterial.
27. Prasarana Olahraga adalah tempat atau ruang termasuk lingkungan yang
digunakan untuk kegiatan olahraga dan/atau penyelenggaraan
keolahragaan.
28. Sarana Olahraga adalah peralatan dan perlengkapan yang digunakan untuk
kegiatan olahraga.
29. Organisasi Olahraga adalah sekumpulan orang yang menjalin kerjasama
dengan membentuk organisasi untuk penyelenggaraan olahraga, sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan.
30. Induk Organisasi Olahraga Daerahadalah organisasi olahraga yang
membina, mengembangkan, dan mengkoordinasikan satu cabang/jenis
olahraga atau gabungan organisasi cabang olahraga dari satu jenis
olahraga di Daerah.
31. Kejuaraan Olahraga adalah kegiatan pertandingan/perlombaan yang
memperebutkan gelar juara untuk 1 (satu) jenis cabang olahraga (single
event).
32. Pekan Olahraga adalah suatu kegiatan pertandingan/perlombaan olahraga
yang memperebutkan gelar juara untuk beberapa cabang olahraga.
33. Orang adalah orang perseorangan, kelompok orang, kelompok masyarakat,
atau badan hukum.
34. Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Keolahragaan yang
selanjutnya disebut pengembangan IPTek keolahragaan adalah
peningkatan kualitas dan kuantitas pengetahuan dan teknologi yang
bertujuan memanfaatkan kaidah dan teori ilmu pengetahuan yang telah
terbukti kebenarannya untuk peningkatan fungsi, dan manfaat bagi kegiatan
keolahragaan.
2. Fungsi
Fungsi penyelenggaraan keolahragaan di Kota Sukabumi adalah
untuk mengembangkan kemampuan jasmani, rohani, sosial, membentuk
watak dan kepribadian bangsa yang bermartabat, serta menjadi bagian
strategis dalam upaya perwujudan visi dan misi pembangunan Kota
Sukabumi.
89
3. Tujuan
Tujuan penyelenggaraan keolahragaan di Kota Sukabumi adalah untuk:
a. mendukung pencapaian tujuan keolahragaan nasional dan Provinsi Jawa
Barat;
b. meningkatkan budaya berolahraga masyarakat yang tercermin dari
masyarakat yang mengetahui, memahami, mengerti, melaksanakan dan
menikmati manfaat olahraga;
c. melestarikan warisan budaya dan tradisi masyarakat di bidang olahraga;
dan
d. memantapkan daya saing Daerah dalam kompetisi olahraga lingkup
provinsi, nasional dan internasional.
4. Prinsip
Prinsip pelaksanaan penyelenggaraan keolahragaan di Kota Sukabumi
meliputi:
a. demokratis, tidak diskriminatif, dan menjunjung tinggi nilai keagamaan, nilai
budaya, dan kemajemukan masyarakat;
b. keadilan sosial dan nilai kemanusiaan yang beradab;
c. sportivitas dan menjunjung tinggi nilai etika dan estetika;
d. pembudayaan dan keterbukaan;
e. pengembangan kebiasaan hidup sehat dan aktif bagi masyarakat;
f. pemberdayaan peran serta masyarakat;
g. keselamatan dan keamanan; dan
h. keutuhan jasmani dan rohani.
5. Tugas, Wewenang, dan Tanggung Jawab Pemerintah Daerah
Dalam penyelenggaraan keolahragaan, Raperda memberikan tugas kepada
Pemerintah Daerah untuk melaksanakan kebijakan nasional dan Provinsi Jawa
Barat di bidang keolahragaan, serta mengkoordinasikan pembinaan dan
pengembangan keolahragaan serta melaksanakan standardisasi dan penjaminan
mutu bidang keolahragaan di Daerah, sesuai kewenangan berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
90
Untuk melaksanakan tugas tersebut, selanjutnya Raperda memberikan
kewenangan kepada Pemerintah Daerah untuk menyelenggarakan keolahragaan
meliputi pembinaan, pengembangan, pelaksanaan, dan pengawasan, yang
dilaksanakan melalui: (a) pembinaan dan pengembangan olahraga pendidikan
pada jenjang pendidikan dasar; (b) penyelenggaraan kejuaraan olahraga tingkat
Daerah; (c) pembinaan dan pengembangan olahraga prestasi tingkat provinsi;
pembinaan dan pengembangan organisasi olahraga tingkat Daerah; dan bentuk
lainnya berdasarkan kebutuhan Daerah.
Terhadap tugas dan wewenang Daerah tersebut, Raperda mengatur pula
ketentuan mengenai tanggung jawab Pemerintah Daerah untuk mewujudkan
tujuan penyelenggaraan keolahragaan nasional dan provinsi di Daerah. Tanggung
jawab tersebut, meliputi: (a) pelaksanaan kebijakan nasional dan provinsi di
bidang keolahragaan; (b) pelaksanaan standardisasi keolahragaan nasional; (c)
koordinasi pembinaan dan pengembangan keolahragaan; (d) pelaksanaan
kewenangan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan; (e) penyediaan
pelayanan kegiatan keolahragaan sesuai standard pelayanan minimal; (f)
pemberian kemudahan penyelenggaraan kegiatan keolahragaan; dan (g)
penjaminan mutu penyelenggaraan kegiatan keolahragaan di Daerah.
6. Ruang Lingkup
Ruang lingkup penyelenggaraan keolahragaan Daerah, meliputi: (a)
perencanaan; (b) pembinaan dan pengembangan olahraga; (c) tenaga
keolahragaan; (d) pembinaan dan pengembangan organisasi olahraga; (e)
penyediaan sarana dan prasarana; (f) industri olahraga; (g) penyelenggaraan
kejuaraan olahraga; (h) pengembangan IPTek keolahragaan; (i) peran masyarakat
dan dunia usaha; (j) koordinasi; (k) kerjasama; (l) sistem informasi keolahragaan;
(m) penghargaan; dan (n) pendanaan.
7. Kedudukan
Dalam Raperda diatur mengenai kedudukan Peraturan Daerah, yaitui
sebagai pedoman dalam penyelenggaraan keolahragaan oleh Pemerintah Daerah,
pemangku kepentingan terkait, dan masyarakat.
8. Perencanaan
Ketentuan ini mengatur bahwa Pemerintah Daerah menyusun rencana
keolahragaan, sesuai rencana keolahragaan nasional dan dokumen perencanaan
pembangunan Daerah, meliputi: Rencana Induk Pembangunan Keolahragaan
Daerah dan rencana operasional keolahragaan.
91
Rencana Induk Pembangunan Keolahragaan Daerah, paling kurang
memuat visi, misi, tujuan, sasaran, analisis strategi, arah kebijakan, program, pola
pelaksanaan, dan koordinasi pengelolaan keolahragaan.
Rencana operasional keolahragaan sebagai operasionalisasi Rencana
Induk Pembangunan Keolahragaan Daerah yang disusun sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Perangkat Daerah yang membidangi olahraga menyusun Rencana Induk
Pembangunan Keolahragaandan rencana operasional keolahragaan berkoordinasi
dengan Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, Perangkat Daerah terkait,
lembaga keolahragaan, pemangku kepentingan terkait, dan masyarakat.
Rencana Induk Pembangunan Keolahragaan dan rencana operasional
keolahragaan ditetapkan dengan Peraturan Wali Kota.
9. Pembinaan dan Pengembangan Keolahragaan
Pembinaan dan pengembangan keolahragaan di Daerah, mencakup:
olahraga pendidikan, olahraga prestasi, olahraga rekreasi, olahraga
berkebutuhan khusus, dan olahraga Aparatur Sipil Negara
a. Olahraga Pendidikan
Ketentuan ini mengatur hal-hal sebagai berikut:
Pembinaan dan pengembangan olahraga pendidikan diselenggarakan
untuk: (a) meningkatkan kualitas fisik dan psikis; (b) meningkatkan
kesehatan jasmani dan rohani; (c) membangun karakter yang sportif; (d)
keterampilan olahraga; dan (e) mengembangkan minat dan bakat
olahraga.
Terhadap penyelenggaraan olahraga pendidikan tersebut maka setiap
lembaga pendidikan wajib menyelenggarakan pembinaan dan
pengembangan olahraga pendidikan secara teratur, bertahap, dan
berkesinambungan dengan memperhatikan taraf pertumbuhan,
perkembangan, bakat, dan minat peserta didik.
Pembinaan dan pengembangan olahraga pendidikan dilaksanakan dan
diarahkan sebagai satu yang kesatuan sistematis dan
berkesinambungan dengan Sistem Pendidikan Nasional.
Pelaksanaan pembinaan dan pengembangan olahraga pendidikan
dapat memanfaatkan olahraga rekreasi dan olahraga tradisional sebagai
bagian dari aktifitas pembelajaran.
92
Pendanaan pembinaan dan pengembangan olahraga
pendidikanbersumber dari alokasi anggaran sektor pendidikan.
Pembinaan dan pengembanganolahraga pendidikan dilaksanakan
melalui:
a. intrakurikuler; dan
b. ekstrakurikuler.
A. Intrakurikuler
Dalam klausul ini diatur sebagai berikut:
Pemerintah Daerah menyelenggarakan pembinaan dan
pengembangan olahraga pendidikan melalui intrakurikuler, meliputi:
a. pelaksanaan kurikulum pendidikan olahraga pada jenjang
pendidikan dasar dan pendidikan anak usia dini sesuai kurikulum
nasional;
b. penetapan kurikulum muatan lokal pada jenjang pendidikan dasar
dan pendidikan anak usia dini;
c. pembinaan dan pengembangan kompetensi guru olahraga pada
satuan pendidikan dasar dan pendidikan anak usia dini;
d. fasilitasi penyediaan sarana pelatihan olahraga pada satuan
pendidikan dasar dan pendidikan anak usia dini;
e. penyelenggaraan proses pembinaan dan pelatihan olahraga pada
satuan pendidikan dasar dan pendidikan anak usia dini;
f. pengembangan dan penerapan IPTek olahraga pendidikan; dan
g. penyelenggaraan, pelaksanaan, dan fasilitasi kejuaraan olahraga
bagi peserta didik tingkat Daerah, Povinsi, dan nasional.
Pembinaan dan pengembangan olahraga pendidikan melalui
intrakurikuler tersebut dilaksanakan oleh Perangkat Daerah di bidang
penyelenggaraan pendidikan dan olahraga.
Setiap satuan pendidikan dasar dan pendidikan anak usia dini yang
dikelola Pemerintah Daerah dan/atau masyarakat wajib
menyelenggarakan pembinaan dan pengembangan olahraga
pendidikan melalui intrakurikuler, meliputi:
a. pelaksanaan kurikulum pendidikan olahraga sesuai kurikulum
nasional dan kurikulum muatan lokal;
93
b. penyediaan prasarana dan sarana; dan
c. penerapan IPTek olahraga pendidikan; dan
d. pengembangan potensi pelajar yang memiliki bakat dan/atau
prestasi di bidang olahraga.
Satuan pendidikan dasar dan pendidikan anak usia dini harus
melakukan kemitraan atau kerjasama dengan masyarakat atau
badan usaha pengelola/pemilik prasarana olahragadalam hal
kewajiban penyediaan prasarana belum dapat dilaksanakan.
Pelaksanaan pembinaan dan pengembangan olahraga oleh satuan
pendidikan dilakukan oleh guru olahraga yang memiliki kompetensi,
dan dapat dibantu oleh tenaga keolahragaan yang ditunjuk oleh
satuan pendidikan.
Pembinaan, pengembangan, dan pelaksanaan olahraga pendidikan
melalui intrakurikuler pada satuan pendidikan dasar dan pendidikan
anak usia dini yang menyelenggarakan pendidikan di bidang
pendidikan agama, berkoordinasi dengan Pemerintah Daerah.
B. Intrakurikuler
Ketentuan ini mengatur hal-hal sebagai berikut:
Pembinaan dan pengembangan olahraga pendidikan melalui
ekstrakurikuler dilaksanakan di luar kegiatan belajar mengajar
olahraga pendidikan, dan diarahkan untuk menumbuhkembangkan
prestasi olahraga pada unit pendidikan dasar.
Satuan pendidikan dasar dapat membentuk unit kegiatan olahraga,
kelas olahraga, serta unit pembinaan dan pelatihan olahraga dalam
melaksanakan ekstrakurikuler olahraga.
Penyelenggaraanolahraga pendidikan melalui ekstrakurikuler
dilaksanakan oleh guru olahraga yang memiliki kompetensi, disertai
pelatih, instruktur atau pemandu olahraga yang memiliki kompetensi
dari induk organisasi cabang olahraga terkait dan/atau rujukan
Perangkat Daerah yang membidangi olahraga.
Pembinaan dan pengembangan olahraga pendidikan melalui
ekstrakurikuler dilaksanakan oleh Perangkat Daerah yang
membidangi urusan olahraga dan urusan pendidikan.
C. Pelaksanaan Pelatihan dan Bimbingan
94
Dalam klausul ini diatur bahwa pelaksanaan pelatihan dan bimbingan
olahraga pendidikan melalui intrakurikuler dan ekstrakurikuler, harus
sesuai standar nasional dan/atau internasional dengan memperhatikan
usia dan perkembangan peserta didik.
b. Olahraga Prestasi
Ketentuan ini mengatur hal-hal sebagai berikut:
Penyelenggaraan pembinaan dan pengembangan olahraga prestasi
dilaksanakan untuk meningkatkan harkat dan martabat Daerah serta
bangsa. Pembinaan dan pengembangan olahraga prestasi tersebut,
meliputi: (a) peningkatan kemampuan dan potensi olahragawan; (b)
pencapaian prestasi olahraga tertinggi di tingkat Provinsi dan nasional;
(c) mewujudkan olahragawan Daerah sebagai kekuatan inti
keolahragaan Provinsi dan nasional; dan (d) pembinaan dedikasi dan
loyalitas olahragawan terhadap Daerah dan Provinsi.
Induk organisasi olahraga Daerah bertanggung jawab atas pelaksanaan
pembinaan dan pengembangan olahraga prestasi di Daerah, sesuai
kewenangan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Tanggung jawab induk organisasi olahraga Daerah meliputi: (a)
pemassalan, pembibitan, pembinaan dan pengembangan prestasi
olahragawan; (b) pengkoordinasian olahraga prestasi yang dilaksanakan
oleh induk cabang olahraga Daerah; (c) pemberdayaan perkumpulan
dan klub olahraga; dan (d) penyelenggaraan kompetisi dan kejuaraan
secara berjenjang dan berkelanjutan.
Pembinaan dan pengembangan olahraga prestasi harus melibatkan
olahragawan muda potensial hasil pemantauan, pemanduan, dan
pengembangan bakat sebagai proses regenerasi olahragawan Daerah.
Pembinaan dan pengembangan olahragawan muda potensial
memprioritaskan olahragawan muda hasil binaan induk organisasi
cabang olahraga Daerah.
Dalam rangka mendukung pembinaan dan pengembangan olahraga
prestasi, Pemerintah Daerah melaksanakan:
a. fasilitasi pelayanan dan kemudahan olahraga prestasi kepada induk
organisasiolahraga Daerah;
b. pendampingan kepada olahragawan dan pelatih berprestasi untuk
meningkatkan dedikasi dan loyalitas terhadap Daerah dan Provinsi;
95
c. fasilitasi peningkatan kapasitas, kapabilitas, dan profesionalisme
tenaga keolahragaan;
d. pembentukan dan pengembangan sentra pembinaan olahraga
terpadu; dan
e. fasilitasi penyelenggaraan kompetisi olahraga prestasi secara
berjenjang dan berkelanjutan.
Perangkat Daerah yang membidangi urusan olahraga melaksanakan
pembinaan dan pengembangan olahraga prestasi, sesuai kewenangan
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dukungan pembinaan dan pengembangan olahraga prestasi, meliputi:
(a) penyediaan prasarana dan sarana olahraga; (b) pendampingan
program; (c) bantuan pendanaan; dan/atau (c) bentuk lainnya sesuai
kebutuhan berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Dukungan pembinaan dan pengembangan olahraga prestasi dalam
bentuk bantuan pendanaan dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Yang dimaksud dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
tersebut adalah ketentuan perundang-undangan yang mengatur
pemberian hibah dan bantuan sosial, dimana pemberian hibah hanya
dapat dilaksanakan kepada organisasi masyarakat yang telah berbadan
hukum.
Fasilitasi penyelenggaraan kompetisi olahraga secara berjenjang dan
berkelanjutan, dilaksanakan untuk kejuaraan olahraga tingkat Daerah,
Provinsi, nasional, dan internasional berdasarkan penetapan kompetisi
olahraga prestasi dari induk cabang organisasi olahraga dan/atau induk
organisasi olahraga Daerah. Fasilitasi tersebut berbentuk: (a)
pendanaan; (b) sarana dan prasarana; dan (c) sumberdaya manusia.
Untuk fasilitasi pendanaan dalam penyelenggaraan kompetisi olahraga,
maka dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan,
yaitu ketentuan perundang-undangan yang mengatur pemberian hibah
dan bantuan sosial, dimana pemberian hibah hanya dapat dilaksanakan
kepada organisasi masyarakat yang telah berbadan hukum.
Dalam rangka operasionalisasi ketentuan mengenai fasilitasi
penyelenggaraan kompetisi olahraga secara berjenjang dan
96
berkelanjutan, maka perlu diatur ketentuan lebih lanjut dengan
Peraturan Wali Kota.
c. Olahraga Rekreasi
Ketentuan ini mengatur hal-hal sebagai berikut:
Pembinaan dan pengembangan olahraga rekreasidi selenggarakan
untuk: (a) memulihkan kesehatan dan kebugaran jasmani; (b)
meningkatkan kesehatan, kebugaran, dan kualitas hidup masyarakat; (c)
meningkatkan kesenangan atau kegembiraan; (d) membangunan dan
meningkatkan hubungan sosial; dan/atau (e) menggali,
mengembangkan, melestarikan, dan memanfaatkan olahraga tradisional
yang tumbuh berkembang sebagai budaya Daerah.
Perangkat Daerah yang membidangi urusan kesehatan
bertanggungjawab atas pelaksanaan pembinaan dan pengembangan
olahraga rekreasi untuk memulihkan kesehatan dan kebugaran jasmani,
sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Tanggung jawab
tersebut, meliputi: (a) penyediaan sarana dan prasarana; dan (b)
kegiatan olahraga rutin.
Tanggung jawab atas pelaksanaan pembinaan dan pengembangan
olahraga rekreasi untuk memulihkan kesehatan dan kebugaran jasmani
berlaku mutatis mutandis untuk unit pelayanan kesehatan yang
diselenggarakan oleh masyarakat.
Pelaksaan kegiatan olahraga rutin di bawah bimbingan atau pelatihan
oleh tenaga keolahragaan berkompeten.
Induk organisasi olahraga rekreasi Daerah bertanggungjawab atas
penyelenggaraan olahraga rekreasi untuk : (a) meningkatkan kesehatan,
kebugaran, dan kualitas hidup masyarakat; (b) meningkatkan
kesenangan atau kegembiraan; (c) membangunan dan meningkatkan
hubungan sosial; dan/atau (d) menggali, mengembangkan,
melestarikan, dan memanfaatkan olahraga tradisional yang tumbuh
berkembang sebagai budaya Daerah.
Tanggung jawab induk organisasi olahraga rekreasi Daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
a. pendataan, pembibitan, pengembangan, pemassalan, dan
pembinaan olahraga rekreasi, yang dilaksanakan terhadap semua
jenis olahraga rekreasi yang tumbuh dan berkembang di Daerah,
97
baik yang berasal dari budaya Daerah, nasional, maupun serapan
asing.
b. pengkoordinasian dan pemberdayaan olahraga rekreasi masyarakat
yang dilaksanakan oleh organisasi cabang, perkumpulan, dan klub
olahraga rekreasi;
c. penyusunan dan penetapan standard olahraga rekreasi untuk setiap
cabang olahraga rekreasi
d. penggalian, pengembangan, pelestarian, dan pemanfaatan olahraga
tradisional yang tumbuh dan berkembang sebagai budaya Daerah.
Penyelenggaraan olahraga rekreasi yang mengandung risiko terhadap
keselamatan dan kesehatan wajib memenuhi standard serta
menyediakan instruktur atau pemandu yang mempunyai pengetahuan,
keahlian,dan keterampilan sesuai jenis olahraga.
Dalam rangka mendukung pelaksanaan pembinaan dan pengembangan
olahraga rekreasi, khususnya berkenaan dengan: (a) meningkatkan
kesehatan, kebugaran, dan kualitas hidup masyarakat; (b)
meningkatkan kesenangan atau kegembiraan; (c) membangunan dan
meningkatkan hubungan sosial; dan/atau (d) menggali,
mengembangkan, melestarikan, dan memanfaatkan olahraga tradisional
yang tumbuh berkembang sebagai budaya Daerah, Pemerintah Daerah
memberikan fasilitasi kepada induk organisasi olahraga rekreasi
Daerah.
Fasilitasi kepada induk organisasi olahraga rekreasi Daerah tersebut,
yang dilaksanakan melalui: (a) penyediaan prasarana dan sarana
olahraga; (b) pendampingan program; (c) bantuan pendanaan; (d)
penyusunan standard olahraga rekreasi masyarakat yang bersifat
massal dan olahraga tradisional; dan/atau (e) penyelenggaraan festival
dan invitasi olahraga tradisional yang berjenjang dan berkelanjutan.
Khusus mengenai standardisasi olahraga rekreasi masyarakat yang
bersifat massal dan olahraga tradisional, perlu diberikan penjelasan
bahwa standardisasi olahraga rekreasi masyarakat dapat meliputi
standard sarana dan prasarana, pedoman atau tata cara aktivitas
olahraga, sistem pertandingan, pelatihan, keselamatan, dan hal lainnya
yang diperlukan. Penyusunan standar olahraga tradisional harus
memenuhi sesuai dengan nilai-nilai filosofi olahraga tradisional.
98
Perangkat Daerah yang membidangi urusan olahraga dan urusan
kebudayaan, bersama-sama melakukan fasilitasi pembinaan dan
pengembangan olahraga rekreasi masyarakat yang bersifat masal dan
olahraga tradisional, sesuai kewenangan berdasarkan peraturan
perundang-undangan.
Dalam rangka optimalisasi koordinasi pembinaan dan pengembangan
olahraga rekreasi yang bersifat masal dan olahraga tradisional,
Pemerintah Daerah Kota dapat melakukan kerjasama Pemerintah
Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota lain, sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Kerjasama tersebut diprioritaskan untuk menggali, mengembangkan,
melestarikan, dan memanfaatkan olahraga tradisional yang tumbuh dan
berkembang sebagai budaya Daerah.
d. Olahraga Berkebutuhan Khusus
Ketentuan ini mengatur hal-hal sebagai berikut:
Pembinaan dan pengembangan olahraga berkebutuhan khusus
diselenggarakan untuk meningkatkan kesehatan, rasa percaya diri, dan
prestasi.
Induk organisasi olahraga berkebutuhan khusus Daerah
bertanggungjawab atas pelaksanaan pembinaan dan pengembangan
olahraga berkebutuhan khusus di Daerah.
Tanggung jawab induk organisasi olahraga berkebutuhan khusus
Daerah tersebut, meliputi pembinaan, pelatihan, dan kompetisi yang
berjenjang dan berkelanjutan.
Dalam rangka pembinaan dan pengembangan olahraga berkebutuhan
khusus, Pemerintah Daerah memberikan fasilitasi pembinaan dan
pengembangan olahraga berkebutuhan khusus kepada induk organisasi
olahraga berkebutuhan khusus Daerah.
Fasilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi: penyediaan
prasarana dan sarana olahraga; (b) pendampingan program; (c)
bantuan pendanaan; dan/atau (d) kompetisi olahraga berkebutuhan
khusus tingkat Daerah dan nasional.
Perangkat Daerah yang membidangi urusan olahraga, urusan sosial,
urusan pendidikan, dan urusan kesehatan, bersama-sama
melaksanakan fasilitasi pembinaan dan pengembangan olahraga
99
berkebutuhan khusus, sesuai kewenangan berdasarkan peraturan
perundang-undangan.
Fasilitasi pembinaan dan pengembangan olahraga berkebutuhan
khusus kepada induk organisasi olahraga berkebutuhan khusus Daerah
dalam bentuk bantuan pendanaan dilaksanakan sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pemerintah Daerah dapat membentuk sentra pembinaan olahraga
berkebutuhan khusus untuk meningkatkan kemampuan, potensi, dan
pencapaian prestasi olahraga berkebutuhan khusus tingkat Daerah,
Daerah Provinsi, dan nasional,
Sentra pembinaan olahraga berkebutuhan khusus, dapat dibentuk untuk
satu atau beberapa cabang olahraga berkebutuhan khusus.
Pembentukan sentra pembinaan olahraga berkebutuhan khusus dapat
terpusat atau tersebar sesuai potensi olahraga dan kebutuhan olahraga
berkebutuhan khusus di Daerah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengembangan sentra pembinaan
olahraga berkebutuhan khusus ditetapkan dengan Peraturan Wali Kota.
Organisasi olahraga berkebutuhan khusus yang ada dalam masyarakat
dapat membentuk sentra pembinaan olahraga berkebutuhan khusus di
Daerah.
Pembentukan sentra pembinaan olahraga berkebutuhan khusus oleh
organisasi olahraga berkebutuhan khusus yang ada dalam masyarakat
mengacu pada ketentuan pembentukan sentra pembinaan olahraga
berkebutuhan khusus oleh Pemerintah Daerah .
e. Olahraga Aparatur Sipil Negara
Dalam klausul ini diatur bahwa pembinaan dan pengembangan
olahraga Aparatur Sipil Negara diselenggarakan untuk meningkatkan
kesehatan jasmani dan rohani, produktivitas kerja, disiplin, jiwa korsa,
solidaritas, dan kebersamaan Aparatur Sipil Negara di Daerah, serta
memberikan keteladanan bagi masyarakat.
Pembinaan dan pengembangan olahraga Aparatur Sipil Negara,
dilaksanakan melalui: (a) penyediaan prasarana dan sarana; (b) kegiatan
olahraga rutin; (c) pelatihan; (d) tes kebugaran jasmani; (e) kompetisi
berjenjang dan berkelanjutan; dan (f) fasilitasi pengembangan prestasi
olahraga.
100
Penyediaan prasarana dan sarana serta kegiatan olahraga rutin
sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b, dilaksanakan oleh setiap
Perangkat Daerah. Pelatihan sebagaimana dimaksud huruf c dilaksanakan
oleh tenaga keolahragaan yang berkompeten. Kompetisi yang berjenjang
dan berkelanjutan sebagaimana dimaksud pada huruf e, meliputi tingkat
Daerah dan nasional. Fasilitasi pengembangan prestasi olahraga
sebagaimana dimaksud f, dilaksanakan untuk mendorong keikutsertaan
Aparatur Sipil Negara di Daerah yang memiliki prestasi olahraga dalam
kejuaraan olahraga tingkat Daerah, Provinsi, dan nasional.
Perangkat Daerah yang membidangi urusan olahraga, urusan
kepegawaian dan/atau organisasi Aparatur Sipil Negara di Daerah
bersama-sama melaksanakan pembinaan dan pengembangan olahraga
Aparatur Sipil Negara, sesuai kewenangan berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Untuk pelaksaanan ketentuan tersebut seyogianya diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Wali Kota.
f. Tenaga Keolahragaan
Dalam bagian ini diatur ketentuan mengenai pembinaan dan
pengembangan tenaga keolahragaan, serta penggunaan tenaga
keolahragaan asing,
g. Pembinaan dan Pengembangan Tenaga Keolahragaan
Dalam ketentuan ini diatur bahwa Pemerintah Daerah
menyelenggarakan pembinaan dan pengembangan tenaga keolahragaan
guna pembinaan dan pengembangan olahraga pendidikan, serta untuk
meningkatkan kemampuan, potensi, dan prestasi olahragawan Daerah.
Tenaga keolahragaan tersebut, meliputi: (a) guru olahraga; (b)
pelatih; (c) instruktur atau pemandu; (d) wasit; (e) juri; (f) manajer; (g)
promotor; (h) administrator; (i) penyuluh; (j) tenaga medis dan para medis;
(k) ahli gizi; (l) ahli biomekanika; (m) psikolog; dan (n) tenaga lain yang
terkait dengan keolahragaan.
Pembinaan dan pengembangan tenaga keolahragaan dilaksanakan
melalui: (a) fasilitasi pembinaan dan/atau pelatihan; (b) fasilitasi jaminan
keselamatan; dan (c) peningkatan karier, pelayanan kesejahteraan,
bantuan hukum, dan/atau penghargaan.
101
h. Penggunaan Tenaga Keolahragaan Asing
Dalam ketentuan ini diatur bahwa Pemerintah Daerah dapat
menggunakan tenaga keolahragaan asing guna mendukung upaya
pembinaan dan pengembangan olahraga pendidikan, serta untuk
meningkatkan kemampuan, potensi, dan prestasi olahragawan Daerah,
sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Penggunaan tenaga keolahragaan asing sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), dapat dilaksanakan pada: (a) satuan pendidikan dasar; (b)
satuan pendidikan anak usia dini; (c) sentra pembinaan olahraga
berkebutuhan khusus Daerah; dan (d) tempat pelatihan tenaga
keolahragaan Daerah.
Tenaga keolahragaan asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2), harus memenuhi kriteriameliputi: (a) memiliki kualifikasi dan
sertifikat kompetensi; (b) mendapat rekomendasi dari induk organisasi
cabang olahraga terkait dan/atau induk organisasi olahraga Daerah; (c)
mendapatkan izin dari Instansi terkait sesuai ketentuan perundang-
undangan; dan (d) memiliki kesanggupan untuk melakukan alih ilmu
pengetahuan dan teknologi kepada tenaga keolahragaan Daerah.
i. Pembinaan dan Pengembangan Organisasi Olahraga
Dalam bagian ini diatur ketentuan mengenai Pembinaan dan
pengembangan organisasi olahraga di Daerah, yang meliputi: (a)
penyediaan prasarana dan sarana; (b) pendampingan program; dan/atau
(c) bantuan pendanaan.
Penyediaan prasarana dan sarana serta pendampingan program
dilaksanakan untuk mendukung penyelenggaraan kompetisi/turnamen,
pelatihan, pendidikan, dan penataran, yang dilaksanakan oleh organisasi
olahraga Daerah, serta untuk peningkatan mutu organisasi. Sedangkan
untuk pemberian bantuan pendanaan kepada organisasi olahraga di
Daerah ditujukan untuk: (a) penyelenggaraan kompetisi/turnamen; (b)
pelatihan, pendidikan, dan penataran; (c) penyediaan fasilitas sarana
olahraga; dan/atau (d) peningkatan mutu organisasi.
Berkenaan dengan pemberian bantuan pendanaan, maka
pelaksanaannya harus sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan
khususnya berkenaan dengan pemberian hibah kepada organisasi
masyarakat.
102
10. Penyediaan Prasarana dan Sarana
a. Prasarana
1) Umum
Dalam bagian ini diatur ketentuan bahwa Pemerintah Daerah dan
masyarakat menyediakan prasarana olahraga guna mendukung upaya
pembinaan dan pengembangan olahraga serta budaya olahraga, yang
dilaksanakanmelalui proses perencanaan, pengadaan, pemanfaatan,
pemeliharaan, dan pengawasan. Penyediaan prasarana olahraga
tersebut, dalam bentuk:
a. pembangunan prasarana olahraga;
b. rekayasa teknis pada prasarana infrastruktur Daerah;’dan
c. penyediaan fasilitas umum olahraga
Penyediaan prasarana olahraga mengacu pada standard dan
kebutuhan Daerah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan,
serta potensi keolahragaan Daerah.
Selanjutnya diatur pula bahwa dunia usaha yang bergerak di
bidang pembangunan perumahan dan permukiman wajib menyediakan
prasarana olahraga sebagai fasilitas umum sesuai standar kebutuhan
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Prasarana
olahraga tersebut diserahkan kepada Pemerintah Daerah sebagai aset
atau milik Pemerintah Daerah. Terhadap penyerahan prasarana olahraga,
maka diamanatkan kepada Pemerintah Daerah melaporkan penyerahan
prasarana olahraga dari dunia usaha tersebut kepada Pemerintah Daerah
Provinsi.
Kemudian diatur pula bahwa setiap orang dan/atau Badan wajib
menjaga keberadaan dan fungsi prasarana olahraga sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pembangunan Prasarana Olahraga
Dalam ketentuan ini diatur bahwa pembangunan prasarana
olahraga, meliputi prasarana khusus olahraga skala Daerah, Kecamatan,
dan Kelurahan. Pembangunan prasarana olahraga dilaksanakan oleh
Perangkat Daerah yang membidangi urusan olahraga serta urusan
permukiman dan perumahan.
103
Berkenaan dengan prasarana olahraga skala Daerah,
Kecamatan, dan Kelurahan, seyogianya diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Wali Kota, yang paling sedikit mengatur tentang prasarana
minimal untuk prasarana olahraga skala Daerah, Kecamatan, dan
Kelurahan.
Rekayasa Teknis Pada Prasarana Infrastruktur Daerah
Dalam ketentuan ini diatur hal-hal sebagai berikut:
Rekayasa teknis pada prasarana infrastruktur Daerah dilaksanakan
untuk memenuhi kebutuhan kegiatan olahraga masyarakat.
Infrastruktur tersebut, meliputi infrastruktur jalan dan sumber daya
air, dengan ketentuan tidak ada larangan untuk digunaka,
berdasarkan ketentuan peraturan undang-undangan.
Pemenuhan kebutuhan olahraga masyakat pada infrastruktur Daerah
harus memperhatikan fungsi utama infrastruktur serta keselamatan,
keamanan, dan kenyamanan pengolahraga dan masyarakat
pengguna infrastruktur.
Perangkat Daerah yang membidangi urusan infrastruktur jalan dan
urusan sumber daya air melaksanakan rekayasa tehnis infrastruktur
untuk memenuhi kebutuhan kegiatan olahraga masyarakat.
Untuk memberikan pedoman teknis terhadap pengakomodasian
kebutuhan olahraga masyarakat pada infrastruktur Daerah, maka
perlu diatur lebih lanjut dengan Peraturan Wali Kota.
b. Sarana
Dalam ketentuan ini diatur hal-hal sebagai berikut:
Pemerintah Daerah memfasilitasi pembinaan dan pengembangan
industri sarana olahraga di Daerah. Fasilitasi pembinaan dan
pengembangan industri sarana olahraga di Daerah tersebut
dilaksanakan oleh Perangkat Daerah yang membidangi urusan
olahraga, urusan koperasi, urusan usaha mikro, kecil dan menengah,
serta urusan perindustrian dan perdagangan.
Untuk memperjelas ketentuan tersebut maka perlu adanya Ketentuan
lebih lanjut fasilitas pembinaan dan pengembangan industri sarana
olahraga di Daerah yang diatur dalam Peraturan Wali Kota.
104
Setiap orang atau badan usaha yang memproduksi sarana olahraga
wajib memperhatikan standar teknis sarana olahraga dari cabang
olahraga yang bersangkutan.
Setiap sarana olahraga tersebut yang diproduksi, diperjualbelikan,
dan/atau disewakan untuk masyarakat umum baik untuk pelatihan
maupun kompetisi wajib memenuhi standar kesehatan dan keselamatan
sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
1) Industri Olahraga
Dalam bagian ini diatur ketentuan sebagai berikut:
Masyarakat dapat membentuk industri olahraga guna mendukung
kemajuan keolahragaan di Daerah dengan memperhatikan
kesejahteraan pelaku olahraga dan kemajuan olahraga. Pembentukan
industri olahraga tersebut wajib memperhatikan tujuan keolahragaan
nasional serta prinsip penyelenggaraan keolahragaan. Adapun bentuk
industri olahraga, yang bergerak di bidang: (a) prasarana dan sarana
yang diproduksi, diperjualbelikan, dan/atau disewakan untuk
masyarakat; dan (b) jasa penjualan kegiatan cabang olahraga sebagai
produk utama yang dikemas secara profesional.
Pemerintah Daerah mendorong perkembangan industri olahraga untuk
mendukung kemajuan pembinaan dan pengembangan keolahragaan.
Dorongan Pemerintah Daerah dilaksanakan melalui pola kemitraan
dengan badan usaha industri olahraga yang dibentuk masyarakat sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan. Selain itu, Pemerintah
Daerah juga diberikan wewenang untuk memberikan kemudahan
pembentukan sentra-sentra pembinaan dan pengembangan industri
olahraga, serta menfasilitasi perwujudan kemitraan pelaku industri
olahraga dengan media massa dan media lainnya.
11. Penyelenggaraan Kejuaraan Olahraga
a. Umum
Dalam ketentuan ini diatur bahwa :
Pemerintah Daerah dan/atau masyarakat menyelenggarakan kejuaraan
olahraga di Daerah dalam rangka membudayakan olahraga, menjaring
bibit olahragawan potensial, meningkatkan kesehatan dan kebugaran,
meningkatkan prestasi olahraga, memelihara persatuan dan kesatuan
bangsa, serta mendukung peningkatan ketahanan nasional.
105
Penyelenggaraan kejuaraan olahraga tersebut wajib memperhatikan
tujuan keolahragaan serta prinsip penyelenggaraan keolahragaan.
Penyelenggaraan kejuaraan olahraga, meliputi:
a. kejuaraan olahraga tingkat Daerah, provinsi, nasional, dan
internasional; dan
b. pekan olahraga tingkat daerah.
Penyelenggaraan kejuaraan olahraga wajib memenuhi persyaratan
teknis kecabangan, kesehatan, serta keselamatan sesuai standard dan
perizinan terkait berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Penyelenggara kejuaraan olahraga yang mendatangkan langsung
massa penonton wajib mendapatkan rekomendasi dari induk organisasi
olahraga yang bersangkutan dan memenuhi persyarakat, sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Penyelenggara kejuaraan olahraga yang mendatangkan langsung
massa wajib memiliki penanggung jawab kegiatan.
Setiap penonton dalam kejuaraan olahraga wajib menjaga, menaati,
dan/atau mematuhi peraturan perundangan mengenai ketertiban dan
keamanan.
12. Kejuaraan Olahraga Tingkat Daerah, Provinsi, Nasional, Dan
Internasional
Ketentuan ini mengatur bahwa kejuaraan olahraga tingkat Daerah,
Provinsi, nasional, dan internasional dilaksanakan induk organisasi
olahraga, sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pemerintah Daerah memfasilitasi pelaksanaan kejuaraan olahraga
dalam hal kegiatan kejuaraan dilaksanakan di Daerah.
13. Pekan Olahraga Tingkat Daerah
Ketentuan ini mengatur, bahwa Pemerintah Daerah bertanggung
jawab atas pelaksanaan penyelenggaraan pekan olahraga tingkat Daerah
yang dilaksanakan seluruhnya di Daerah.
Pekan olahraga tingkat Daerah sebagaimana, berbentuk: (a) pekan
olahraga pelajar; (b)pekan olahraga pelajar berkebutuhan khusus; (c) pekan
olahraga berkebutuhan khusus; (d) pekan olahraga aparatur sipil negara
106
tingkat Daerah; (e) Pekan Olahraga Daerah; dan (e) pekan olahraga tingkat
wilayah dan Daerah lainnya sesuai kebutuhan.
Tanggung jawab Pemerintah Daerah atas penyelenggaraan pekan
olahraga Daerah dilaksanakan berdasarkan penetapan Pemerintah Pusat
atau Pemerintah Daerah Provinsi mengenai penunjukan Daerah sebagai
penyelenggara, sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
14. Standardisasi, Akreditasi, Dan Sertifikasi Olahraga
Dalam ketentuan ini diatur bahwa Pemerintah Daerah menerapkan
standardisasi, akreditasi, dan sertifikasi keolahragaan di Daerah, sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan. Pelaksanaan standardisasi,
akreditasi, dan sertifikasi keolahragaan seyogianya diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Wali Kota.
15. Pengembangan Ilmu Pengetahuan Dan Teknologi Keolahragaan
Dalam bagian ini diatur ketentuan bahwa pengembangan IPTek
keolahragaan dilaksanakan untuk memajukan keolahragaan Daerah secara
berkelanjutan, yang dilaksanakan melalui: (a) penelitian; (b) pengkajian; (c)
alih teknologi; (d) sosialisasi; (e) pertemuan ilmiah; dan (f) kerjasama.
Pengembangan IPTek keolahragaan Daerah tersebut dapat dilaksanakan
melalui:
a. lembaga penelitian dan pengembangan IPTek keolahragaan Daerah
yang dibentuk Pemerintah Daerah sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan; dan/atau
b. kerjasama dengan lembaga atau tenaga ahli dalam bidang ilmu
keolahragaan.
Untuk operasionalisasi ketentuan mengenai pengembangan IPTek
keolahragaan, perlu diatur lebih lanjut dengan Peraturan Wali Kota.
16. Peran Masyarakat dan Dunia Usaha
a. Umum
Dalam ketentuan ini diatur bahwa masyarakat dan dunia usaha
memiliki peran dalam penyeleggaraan keolahragaan di Daerah. Peran
masyarakat dan dunia usaha meliputi hak, kewajiban, dan
tanggungjawab.
107
b. Peran Masyarakat
Hak
Setiap orang dalam penyelenggaraan keolahragaan berhak: (a)
melakukan kegiatan olahraga; (b) memperoleh pelayanan dalam
kegiatan olahraga; (c) memilih dan mengikuti jenis atau cabang
olahraga sesuai bakat dan minat; (d) memperoleh pengarahan,
dukungan, bimbingan, pembinaan dan pengembangan dalam
keolahragaan; (e) menjadi pelaku olahraga; (f) mengembangkan
industri olahraga; (g) berperan sebagai sumber, pelaksana, tenaga
sukarela, penggerak, pengguna hasil, dan/atau pelayan kegiatan
olahraga; dan (h) turut serta mendorong pembinaan dan
pengembangan keolahragaan.
Setiap orang yang memiliki kelainan fisik dan/atau mental
mempunyai hak untukmemperoleh pelayanan dalam kegiatan
olahraga khusus.
Setiap orang tua mempunyai hak mengarahkan, membimbing,
membantu, dan mengawasi serta memperoleh informasi tentang
perkembangan keolahragaan anaknya.
Masyarakat mempunyai hak untuk berperan dalam perencanaan,
pengembangan, pelaksanaan, dan pengawasan kegiatan
keolahragaan.
Kewajiban
Setiap orang wajib berperan dalam kegiatan olahraga dan
memelihara prasarana dan sarana olahraga serta lingkungan.
Dalam penyelenggaraan olahraga, setiap orang tua wajib
memberikan dukungan kepada anak untuk aktif berpartisipasi dalam
olahraga serta mengawasi aktifitas olahraga anak sesuai taraf
pertumbuhan, perkembangan, bakat, dan minat anak.
Kewajiban orang tua tersebut berlaku mutatis mutandis untuk anak
yang diasuh dan/atau di bawah tanggung jawab wali anak atau
pimpinan/ketua lembaga pendidikan yang menyelenggarakan
pemondokan atau asrama terhadap peserta didik.
Dalam penyelenggaraan keolahragaan, masyarakat wajib: (a)
memberikan dukungan sumberdaya dalam penyelenggaraan
keolahragaan; (b) memperhatikan tujuan keolahragaan nasional
108
serta prinsip penyelenggaraan keolahragaan; dan (c) membina dan
mengembangkan olahraga tradisional.
Tanggung Jawab
Tanggung jawab masyarakat dalam penyelenggaraan keolahragaan,
meliputi:
a. perencanaan, pengadaan, pemanfaatan, pemeliharaan, dan
pengawasan atas prasarana olahraga; dan
b. pendanaan keolahragaan.
17. Peran Dunia Usaha
a. Hak
Badan usaha mempunyai hak untuk: (a) berperan dalam perencanaan,
pengembangan, pelaksanaan, dan pengawasan kegiatan keolahragaan;
(b) mendirikan organisasi cabang olahraga dengan keanggotaan berasal
dari karyawan/pekerja atau masyarakat; (c) membuat program bapak
asuh bagi olahragawan dan/atau cabang olahraga Daerah yang
berprestasi; dan (d) menyelenggarakan pertandingan olahraga untuk
karyawan/pekerja atau masyarakat, sesuai syarat, prosedur, dan
standard berdasarkan peraturan perundang-undangan.
b. Kewajiban
Dalam penyelenggaraan keolahragaan, dunia usaha wajib: (a)
menyediakan prasarana dan sarana olahraga untuk karyawan atau
pekerja; (b) menyelenggarakan kegiatan olahraga secara rutin untuk
karyawan atau pekerja; (c) memberikan kesempatan kepada
masyarakat atau satuan pendidikan sekitar untuk mempergunakan
prasarana dan sarana olahraga yang berada di lingkungan badan
usaha; (d) memberikan dukungan sumberdaya dalam penyelenggaraan
keolahragaan; (e) memperhatikan tujuan keolahragaan nasional serta
prinsip penyelenggaraan keolahragaan; dan (f) membina dan
mengembangkan olahraga tradisional.
c. Tanggung Jawab
Tanggung jawab dunia usaha dalam penyelenggaraan keolahragaan
mencakup perencanaan, pengadaan, pemanfaatan, pemeliharaan, dan
pengawasan atas prasarana olahraga; serta pendanaan keolahragaan.
109
18. Koordinasi
Dalam ketentuan ini diatur bahwa, Pemerintah Daerah
melaksanakan koordinasi penyelenggaraan keolahragaan dengan
Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah Provinsi, induk organisasi
keolahragaan, dan badan usaha di Daerah. Koordinasi penyelenggaraan
keolahragaan tersebut dilaksanakan oleh Perangkat Daerah terkait, sesuai
kewenangan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
19. Kerjasama
Dalam ketentuan ini diatur bahwa, Pemerintah Daerah
mengembangkan kerjasama dalam rangka penyelenggaraan keolahragaan,
sesuai ketentuan perundang-undangan. Kerjasama tersebut, dilakukan
dengan: (a) Pemerintah Pusat; (b) Pemerintah Daerah Provinsi; (c)
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota lain; (d) induk organisasi
keolahragaan; (e) lembaga pendidikan; (f) badan usaha; (g) masyarakat;
dan/atau (h) pihak luar negeri. Bentuk kerjasama berupa: (a) bantuan
pendanaan; (b) bantuan tenaga ahli; (c) bantuan prasarana dan sarana; (d)
pendidikan dan pelatihan; dan (e) kerjasama lain di bidang keolahragaan.
20. Sistem Informasi Keolahragaan
Dalam ketentuan ini diatur bahwa, Pemerintah Daerah membentuk
sistem informasi keolahragaan yang terintegrasi dengan sistem informasi
keolahragaan nasional dan Provinsi. Sistem informasi keolahragaan, paling
kurang meliputi: (a) perencanaan keolahragaan daerah; (b) potensi
olahraga daerah; (c) data olahragawan; (d) tenaga keolahragaan; dan (e)
prasarana dan sarana.
Perangkat Daerah terkait melaksanakan pembentukan sistem
informasi keolahragaan dan fasilitasi pembentukan sistem informasi
keolahragaan Kabupaten/Kota yang terintegrasi dengan sistem informasi
Daerah.
21. Penghargaan
Dalam ketentuan ini diatur bahwa, Pemerintah Daerah memberikan
penghargaan kepada organisasi olahraga, perorangan, lembaga swadaya
masyarakat, lembaga pendidikan, dan badan usaha yang berprestasi serta
memiliki kontribusi terhadap keberhasilan penyelenggaran keolahragaan.
110
Penghargaan kepada perorangan, diprioritaskan kepada: (a)
olahragawan perseorangan; (b) olahragawan yang tergabung dalam regu
atau tim; (c) pelatih; (d) official; (e) mantan olahragawan yang telah
berprestasi dan/atau memberikan kontribusi terhadap perkembangan
keolahragaan Daerah; dan (f) tokoh olahragawan.
Penghargaan olah raga diberikan dalam bentuk pemberian
kemudahan, beasiswa, asuransi, pekerjaan, kenaikan pangkat luar biasa,
tanda kehormatan, warga kehormatan, jaminan hari tua, atau bentuk
penghargaan lain yang bermanfaat bagipenerima penghargaan, sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dalam hal pemberian penghargaan kepada olahragawan yang
tergabung dalam satu regu atau tim, maka bentuk dan/atau besaran
penghargaan mengacu pada pola pemberian penghargaan kepada
olahragawan perseorangan.
22. Pendanaan
Dalam ketentuan ini diatur hal-hal sebagai berikut:
Pemerintah Daerah wajib menyediakan pendanaan keolahragaan
berdasarkan prinsip berkecukupan dan berkelanjutan.
Sumber pendanaan keolahragaan, bersumber dari: (a) Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara; (b) Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah; (c) hasil kerjasama Pemerintah Daerah; (d) tanggung jawab
sosial perusahaan atau corporate social responsibility (CSR); (e)
bantuan luar negeri yang tidak mengikat; dan (f) sumber lain yang sah
dan tidak mengikat berdasarkan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Pengelolaan dana keolahragaan dilaksanakan berdasarkan prinsip
keadilan, efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan.
23. Sanksi Administratif
Ketentuan ini mengatur penerapan sanksi administrasi kepada
Setiap orang yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan dalam
Perda. Sanksi administrasi, berupa: (a) teguran lisan; (b) teguran tertulis; (c)
penghentian sementara kegiatan; (d) penghentian tetap kegiatan; (e)
pencabutan sementara izin; (f) pencabutan tetap izin; (g) denda
111
administratif; dan/atau (h) sanksi administratif lain sesuai dengan
ketentuanperaturan perundang-undangan.
Pengenaan sanksi administrasi, dilaksanakan oleh Perangkat
Daerah terkait sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Adapun tata cara pengenaan sanksi administrasi, diatur dengan
Peraturan Wali Kota. Hal ini diperlukan mengingat penerapan sanksi
administrasi berkaitan dengan lingkup tugas masing-masing Perangkat
Daerah dan seringkali bersifat tentatif sesuai perkembangan peraturan
perundang-undangan dan peraturan Pemerintah Pusat di bidang
bersangkutan.
24. Ketentuan Pidana
Dalam ketentuan ini mengatur hal-hal sebagai berikut:
Dalam hal pelanggaran administratif terdapat pelanggaran pidana, maka
kepadanya dikenakan sanksi pidana di bidang lingkungan hidup,
perindustrian, perdagangan, dan/atau ketenagakerjaan, yang diatur
dalam Peraturan Daerah tersendiri.
Dalam penyelenggaraan keolahragaan, setiap orang dikenakan sanksi
pidana, apabila: (a) menyelenggarakan kejuaraan olahraga yang tidak
memenuhi kewajiban yang diatur dalam Perda; (b) apabila perbuatan
akibat tidak memenuhi kewajiban yang diatur dalam Perda menimbulkan
kerusakandan/atau gangguan keselamatan pihak lain; (c) tidak menjaga,
menaati, dan/atau mematuhi peraturan perundangan mengenai
ketertiban dan keamanan; dan (d) mengalihfungsikan atau meniadakan
prasarana olahraga yang telah ada, baik sebagian maupun seluruhnya
tanpa izin.
Pengenaan sanksi pidana penyelenggaraan keolahragaan dilaksanakan
sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
25. Pembinaan, Pengawasan dan Pengendalian
Dalam ketentuan ini diatur, bahwa Pemerintah Daerah melakukan
pembinaan, pengawasan dan pengendalian terhadap penyelenggaraan
keolahragaan sesuai kewenangan, berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Pembinaan, pengawasan dan pengendalian
terhadap penyelenggaraan keolahragaan, dilaksanakan oleh Perangkat
Daerah yang membidangi olahraga.
112
Sekretaris Daerah mengkoordinasikan pelaksanaan pembinaan,
pengawasan, dan pengendalian terkait penyelenggaraan keolahragaan oleh
Perangkat Daerah terkait, dan induk organisasi keolahragaan di Daerah.
26. Ketentuan Penutup
Mengatur hal-hal sebagai berikut:
a. Peraturan pelaksanaan Peraturan Daerah harus sudah ditetapkan paling
lambat terhitung 1 (satu) tahun sejak Peraturan Daerah diundangkan.
Ketentuan ini dimaksudkan agar tidak terdapat rentang waktu yang
terlalu lama antara berlakunya Peraturan Daerah dengan ditetapkannya
peraturan pelaksana Peraturan Daerah.
b. Datum berlakunya Peraturan Daerah; dan
c. Perintah untuk pengundangan Peraturan Daerah dengan
penempatannya dalam Lembaran Daerah Kota Sukabumi.
113
BAB VI
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Mengingat permasalahan keolahragaan di Kota Sukabumi semakin
kompleks dan berkaitan dengan dinamika sosial, ekonomi serta budaya
masyarakat dan tuntutan perubahan global, mala Pemerintah Kota
Sukabumi harus segera menyusun Raperda tentang Penyelenggaraan
Keolahragaan, dengan memperhatikan berbagai aspek secara
menyeluruh, serta adaptif terhadap perkembangan olahraga dan
masyarakat. Dalam penyusunan Raperda Kota Sukabumi tentang
Penyelenggaraan Keolahragaan, hal yang harus mendapat perhatian
adalah mengenai urusan yang menjadi kewenangan Pemerintah Kota
Sukabumi, yang harus mengacu pada ketentuan peraturan perundang-
undangan.
2. Pertimbangan yang menjadi dasar filosofis, sosiologis dan yuridis
pembentukan Raperda Kota Sukabumi tentang Penyelenggaraan
Keolahragaan adalah dalam rangka mendukung dan meningkatkan
kualitas masyarakat yang memiliki kompetensi, daya saing, serta
semangat dan daya juang yang tinggi, perlu dilakukan upaya
pembangunan di bidang keolahragaan sebagai bagian yang tidak
terpisahkan dari pembangunan sumberdaya manusia Kota Sukabumi.
Selain itu, untuk melaksanakan pembangunan di bidang keolahragaan,
perlu dilakukan pengaturan, pembinaan, pengembangan, pelaksanaan dan
pengawasan, serta harmonisasi, sinkronisasi dan koordinasi
penyelenggaraan keolahragaan guna meningkatkan budaya berolahraga
dan prestasi olahraga daerah untuk tingkat provinsi, nasional dan
internasional.
B. Saran
1. Pembentukan Peraturan Daerah tidak hanya terikat pada asas legalitas,
tetapi perlu dilengkapi dengan hasil penelitian yang mendalam terhadap
subjek dan objek hukum yang hendak diatur.
2. Peraturan Daerah harus dilengkapi dengan petunjuk pelaksanaan, agar
dalam implementasinya tidak mengalami kendala.
114
DAFTAR PUSTAKA
Referensi
A. Hamid S. Attamimi, Perbedaan antara Peraturan Perundang-undangan dan
Peraturan Kebijakan, Makalah pada Pidato Dies Natalis PTIK ke 46,
Jakarta, 1992
----------------------------, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam
Penyelenggaraan Pemerintahan Negara; Studi Analisis mengenai Keputusan
Presiden yang Berfungsi Pengaturan, Jakarta, 1990
B. Arief Sidharta, Refleksi tentang Hukum, Mandar Maju, Bandung 1996
--------------------, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung,
2000
Bagir Manan, Dasar-dasar Perundang-undangan Indonesia. IND-HILL.CO,
Jakarta, 1992.
Bagir Manan dan Kuntana Magnar, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara
Indonesia, Alumni, Bandung, 1993
Darwin Ginting, Hukum Kepemilikan Atas Tanah (Hak Menguasai Negara dalam
Sistem Hukum Pertanahan Indonesia), Ghalia Indonesia, Bogor, 2010
Eni Rohyani, “Implikasi Hukum dari Penyalahgunaan Wewenang oleh Pemerintah
Daerah dalam Penyelenggaraan Pemerintahan,” (Desertasi) Program Doktor
Ilmu Hukum Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, 2009
Hamzah Halim, Cara Praktis Menyusun dan Merancang Peraturan Daerah,
Kencana, Jakarta, 2009
Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, Dasar-dasar Politik Hukum, Raja Grafindo,
Jakarta, 2008
J.J.H. Bruggink, Rechtsreflecties Grandbegrippen uit de Rechtstheori (Refleksi
tentang Hukum), terjemahan B. Arief Sidharta, 1996
LJ Van Appeldorn, Pengantar Ilmu Hukum (terjemahan Supomo), Pranadya
Paramitha, Cet. Ke-18, 1981
Moh. Mahfud M.D., Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, LP3ES,
Jakarta, 2006
Meuwissen, Tentang Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum, dan
Filsafat Hukum B. Arief Sidharta, PT Refika Aditama, Bandung, 2009
115
Nonet philippe dan Philip Selznick, Law & Society in Transition: Toward
Responsive Law, 1978, Alih bahasa oleh Rafael Edy Bosco, Hukum
Responsif, Pilihan di masa transisi
Purnadi Purbacaraka dan M Chidir Ali, Disiplin Hukum, Cetakan Keempat, Citra
Aditya Bakti, Bandung 1990
Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif (sebuah Sintesa Hukum Indonesia), Genta
Publishing, Yogyakarta, 2009
Syahran Basah, Sikap Tindak Administrasi Negara, Alumni, Bandung, 2002.
Soerjono Soekanto, Sosiologi Hukum dalam Masyarakat, Rajawali Pers, Jakarta
1982
Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Alumi,
Bandung, 1991
Makalah :
Kajian Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan dalam
Mendukung Pembangunan Nasional, Direktorat Hukum dan Hak Asasi Manusia
Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas Tahun
2005.
117
RANCANGAN
PERATURAN DAERAH KOTA SUKABUMI
NOMOR
TENTANG
PENYELENGGARAAN KEOLAHRAGAAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
WALI KOTA SUKABUMI,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka mendukung dan meningkatkan
kualitas masyarakat yang memiliki kompetensi, daya saing,
serta semangat dan daya juang yang tinggi, perlu dilakukan
upaya pembangunan di bidang keolahragaan sebagai
bagian yang tidak terpisahkan dari pembangunan
sumberdaya manusia Kota Sukabumi;
b. bahwa untuk melaksanakan pembangunan di bidang
keolahragaan sebagaimana dimaksud pada pertimbangan
huruf a perlu dilakukan pengaturan, pembinaan,
pengembangan, pelaksanaan dan pengawasan, serta
harmonisasi, sinkronisasi dan koordinasi penyelenggaraan
keolahragaan guna peningkatan budaya berolahraga dan
prestasi olahraga Daerah untuk tingkat provinsi, nasional
dan internasional;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
pada huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan
Daerah tentang Penyelenggaraan Keolahragaan;
Mengingat : 1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Kota Kecil dalam Lingkungan Propinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat (Berita Negara Republik Indonesia tanggal 14 Agustus 1950) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1954 tentang Pengrubahan Undang-Undang Nomor 16 dan 17 Tahun 1950 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1954 Nomor 40, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 551);
3. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 89, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4301);
4. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional (Lembaran Negara Republik
118
Indonesia Tahun 2005 Nomor 89, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4535);
5. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063);
6. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234);
7. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587), sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679);
8. Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Keolahragaan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 35, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4702);
9. Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2007 tentang Pekan dan Kejuaraan Olahraga (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 36, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4703);
10. Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2007 tentang Pendanaan Keolahragaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4704);
11. Peraturan Pemerintah Nomor 17 tahun 2010 tentang Peraturan Pelaksanaan Pendidikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 23, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5015 );
12. Peraturan Provinsi Jawa Barat Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Keolahragaan (Lembaran Daerah Provinsi Jawa Barat Tahun 2015 Nomor …… Seri ….., Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor ……..);
13. Peraturan Daerah Kota Sukabumi Nomor 2 Tahun 2008 tentang Urusan Pemerintahan Kota Sukabumi (Lembaran Daerah Kota Sukabumi Tahun 2008 Nomor 2);
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KOTA SUKABUMI
dan
WALI KOTA SUKABUMI
119
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG PENYELENGGARAAN
KEOLAHRAGAAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Bagian Kesatu
Pengertian
Pasal 1
1. Daerah Provinsi adalah Daerah Provinsi Jawa Barat.
2. Pemerintah Daerah Provinsi adalah Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat.
3. Daerah adalah Kota Sukabumi.
4. Pemerintah Daerah Kota adalah Pemerintah Daerah Kota Sukabumi.
5. Pemerintah Daerah adalah Wali Kota sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah.
6. Wali Kota adalah Wali Kota Jawa Barat.
7. Perangkat Daerah adalah unsur pembantu Wali Kota dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dalam penyelenggaraan urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah.
8. Penyelenggaraan Keolahragaan adalah proses sistematik yang melibatkan berbagai aspek keolahragaan dan pemangku kepentingan secara terpadu dan berkelanjutan mulai dari perencanaan, pelaksanaan, sampai dengan evaluasi dan pengawasan dalam rangka mencapai tujuan keolahragaan.
9. Keolahragaan adalah segala aspek yang berkaitan dengan olahraga yang memerlukan pengaturan, pendidikan, pelatihan, pembinaan, pengembangan, dan pengawasan.
10. Olahraga adalah segala kegiatan yang sistematis untuk mendorong, membina, serta mengembangkan potensi jasmani, rohani, dan sosial.
11. Pelaku Olahraga adalah setiap orang dan/atau kelompok orang yang terlibat secara langsung dalam kegiatan olahraga yang meliputi pengolahraga, pembina olahraga, dan tenaga keolahragaan.
12. Pengolahraga adalah orang yang berolahraga dalam usaha mengembangkan potensi jasmani, rohani, dan sosial.
13. Olahragawan adalah pengolahraga yang mengikuti pelatihan secara teratur dan kejuaraan dengan penuh dedikasi untuk mencapai prestasi.
14. Guru Olahraga adalah pengajar pada satuan pendidikan yang memiliki pengetahuan, keahlian dan kemampuan di bidang olahraga untuk melaksanakan proses pembelajaran melalui aktivitas jasmani yang dirancang guna
120
meningkatkan kebugaran jasmani, mengembangkan keterampilan motorik, pengetahuan dan prilaku hidup sehat dan aktif, sikap sprotif, dan kecerdasan emosi pelajar.
15. Pelatih adalah seseorang yang memiliki kemampuan dan keahlian untuk mempersiapkan fisik dan mental olahragawan maupun kelompok olahragawan.
16. Pembinaan dan pengembangan olahraga adalah usaha sadar yang dilakukan secara sistematis untuk mencapai tujuan keolahragaan.
17. Tenaga Keolahragaan adalah setiap orang yang memiliki kualifikasi dan sertifikat kompetensi dalam bidang olahraga.
18. Masyarakat adalah kelompok Warga Negara Indonesia nonpemerintah termasuk dunia usaha dan dunia industri yang mempunyai perhatian dan peranan dalam bidang keolahragaan.
19. Perencanaan Keolahragaan adalah rangkaian kegiatan yang sistematik, terukur, terpadu, bertahap, berjenjang, dan berkelanjutan dalam rangka mencapai tujuan keolahragaan.
20. Olahraga Pendidikan adalah pendidikan jasmani dan olahraga yang dilaksanakan sebagai bagian proses pendidikan yang teratur dan berkelanjutan untuk memperoleh pengetahuan, kepribadian, keterampilan, kesehatan, dan kebugaran jasmani.
21. Olahraga Prestasi adalah olahraga yang dilaksanakan untuk membina dan mengembangkan olahragawan secara terencana, berjenjang dan berkelanjutan melalui kompetisi untuk mencapai prestasi dengan dukungan ilmu pengetahuan dan teknologi keolahragaan.
22. Olahraga Rekreasi adalah olahraga yang dilaksanakan oleh masyarakat berdasarkan kegemaran dan kemampuan yang tumbuh dan berkembang sesuai dengan kondisi dan nilai budaya masyarakat setempat untuk kesehatan, kebugaran, dan kegembiraan.
23. Olahraga Tradisional adalah olahraga yang merupakan warisan tradisi dan budaya masyarakat Daerah yang bermanfaat untuk meningkatkan kesehatan, kebugaran, dan pengembangan hubungan sosial.
24. Olahraga Aparatur Sipil Negara adalah olahraga yang diselenggarakan untuk meningkatkan kesehatan jasmani dan rohani, produktivitas kerja, disiplin, jiwa korsa, solidaritas, dan kebersamaan Aparatur Sipil Negara di Daerah, serta memberikan keteladanan bagi masyarakat.
25. Prestasi adalah hasil upaya maksimal yang dicapai olahragawan atau kelompok olahragawan dalam kegiatan olahraga.
26. Penghargaan Olahraga adalah pengakuan atas prestasi di bidang olahraga yang diwujudkan dalam bentuk material dan/atau nonmaterial.
27. Prasarana Olahraga adalah tempat atau ruang termasuk lingkungan yang digunakan untuk kegiatan olahraga dan/atau penyelenggaraan keolahragaan.
121
28. Sarana Olahraga adalah peralatan dan perlengkapan yang digunakan untuk kegiatan olahraga.
29. Organisasi Olahraga adalah sekumpulan orang yang menjalin kerjasama dengan membentuk organisasi untuk penyelenggaraan olahraga, sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
30. Induk Organisasi Olahraga Daerah adalah organisasi olahraga yang membina, mengembangkan, dan mengkoordinasikan satu cabang/jenis olahraga atau gabungan organisasi cabang olahraga dari satu jenis olahraga di Daerah.
31. Kejuaraan Olahraga adalah kegiatan pertandingan/perlombaan yang memperebutkan gelar juara untuk 1 (satu) jenis cabang olahraga (single event).
32. Pekan Olahraga adalah suatu kegiatan pertandingan/perlombaan olahraga yang memperebutkan gelar juara untuk beberapa cabang olahraga.
33. Orang adalah orang perseorangan, kelompok orang, kelompok masyarakat, atau badan hukum.
34. Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Keolahragaan yang selanjutnya disebut pengembangan IPTek keolahragaan adalah peningkatan kualitas dan kuantitas pengetahuan dan teknologi yang bertujuan memanfaatkan kaidah dan teori ilmu pengetahuan yang telah terbukti kebenarannya untuk peningkatan fungsi, dan manfaat bagi kegiatan keolahragaan.
Bagian Kedua
Fungsi dan Tujuan
Paragraf 1
Fungsi
Pasal 2
Penyelenggaraan keolahragaan difungsikan untuk
mengembangkan kemampuan jasmani, rohani, sosial,
membentuk watak dan kepribadian bangsa yang bermartabat,
serta menjadi bagian strategis dalam upaya perwujudan visi dan
misi pembangunan Daerah.
Paragraf 2
Tujuan
Pasal 3
Tujuan penyelenggaraan keolahragaan adalah untuk:
a. mendukung pencapaian tujuan keolahragaan nasional dan Daerah Provinsi;
b. meningkatkan budaya berolahraga masyarakat yang tercermin dari masyarakat yang mengetahui, memahami, mengerti, melaksanakan dan menikmati manfaat olahraga;
c. melestarikan warisan budaya dan tradisi Daerah di bidang olahraga; dan
d. memantapkan daya saing Daerah dalam kompetisi olahraga lingkup Daerah Provinsi, nasional dan internasional.
122
Bagian Ketiga
Prinsip
Pasal 4
Penyelenggaraan keolahragaan dilaksanakan dengan prinsip:
a. demokratis, tidak diskriminatif, dan menjunjung tinggi nilai keagamaan, nilai budaya, dan kemajemukan masyarakat;
b. keadilan sosial dan nilai kemanusiaan yang beradab;
c. sportivitas dan menjunjung tinggi nilai etika dan estetika;
d. pembudayaan dan keterbukaan;
e. pengembangan kebiasaan hidup sehat dan aktif bagi masyarakat;
f. pemberdayaan peran serta masyarakat;
g. keselamatan dan keamanan; dan
h. keutuhan jasmani dan rohani.
BAB II
TUGAS, WEWENANG, DAN TANGGUNG JAWAB
PEMERINTAH DAERAH KOTA
Bagian Kesatu
Tugas
Pasal 5
Pemerintah Daerah Kota mempunyai tugas untuk
melaksanakan kebijakan nasional dan Daerah Provinsi di
bidang keolahragaan dan mengkoordinasikan pembinaan dan
pengembangan keolahragaan serta melaksanakan
standardisasi dan penjaminan mutu bidang keolahragaan di
Daerah, sesuai kewenangan berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Bagian Kedua
Wewenang
Pasal 6
Kewenangan Pemerintah Daerah Kota dalam penyelenggaraan
keolahragaan meliputi pembinaan, pengembangan,
pelaksanaan, dan pengawasan, yang dilaksanakan melalui:
a. pembinaan dan pengembangan olahraga pendidikan pada jenjang pendidikan menengah;
b. penyelenggaraan kejuaraan olahraga tingkat Daerah;
c. pembinaan dan pengembangan olahraga prestasi tingkat nasional;
d. pembinaan dan pengembangan organisasi olahraga tingkat Daerah; dan
e. bentuk lainnya berdasarkan kebutuhan Daerah.
123
Bagian ketiga
Tanggung Jawab
Pasal 7
(1) Pemerintah Daerah Kota bertanggung jawab untuk mewujudkan tujuan penyelenggaraan keolahragaan nasional dan Daerah Provinsi di Daerah.
(2) Tanggung jawab Pemerintah Daerah Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi :
a. pelaksanaan kebijakan nasional dan Daerah Provinsi di bidang keolahragaan;
b. pelaksanaan standardisasi keolahragaan nasional;
c. koordinasi pembinaan dan pengembangan keolahragaan;
d. pelaksanaan kewenangan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan;
e. penyediaan pelayanan kegiatan keolahragaan sesuai standard pelayanan minimal;
f. pemberian kemudahan penyelenggaraan kegiatan keolahragaan; dan
g. penjaminan mutu penyelenggaraan kegiatan keolahragaan di Daerah.
BAB III
RUANG LINGKUP
Pasal 8
Ruang lingkup penyelenggaraan keolahragaan Daerah,
meliputi:
a. perencanaan;
b. pembinaan dan pengembangan olahraga;
c. tenaga keolahragaan;
d. pembinaan dan pengembangan organisasi olahraga;
e. penyediaan sarana dan prasarana;
f. industri olahraga;
g. penyelenggaraan kejuaraan olahraga;
h. pengembangan IPTek keolahragaan;
i. peran masyarakat dan dunia usaha;
j. koordinasi;
k. kerjasama;
l. sistem informasi keolahragaan;
m. penghargaan; dan
n. pendanaan.
BAB IV
KEDUDUKAN
Pasal 9
Peraturan Daerah ini berkedudukan sebagai pedoman dalam:
penyelenggaraan keolahragaan oleh Pemerintah Daerah Kota,
pemangku kepentingan terkait dan masyarakat
124
BAB V
PERENCANAAN
Pasal 10
(1) Pemerintah Daerah Kota menyusun rencana keolahragaan, sesuai rencana keolahragaan nasional dan dokumen perencanaan pembangunan Daerah.
(2) Perencanaan keolahragaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
a. Rencana Induk Pembangunan Keolahragaan Daerah; dan
b. rencana operasional keolahragaan.
(3) Rencana Induk Pembangunan Keolahragaan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, paling kurang memuat visi, misi, tujuan, sasaran, analisis strategi, arah kebijakan, program, pola pelaksanaan, dan koordinasi pengelolaan keolahragaan.
(4) Rencana operasional keolahragaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b disusun sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan dan sebagai operasionalisasi Rencana Induk Pembangunan Keolahragaan Daerah.
(5) Perangkat Daerah yang membidangi olahraga menyusun Rencana Induk Pembangunan Keolahragaan dan rencana operasional keolahragaan berkoordinasi dengan Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah Provinsi, Perangkat Daerah terkait, lembaga keolahragaan, pemangku kepentingan terkait, dan masyarakat.
(6) Rencana Induk Pembangunan Keolahragaan dan rencana operasional keolahragaan ditetapkan dengan Peraturan Wali Kota.
BAB VI
PEMBINAAN DAN PENGEMBANGAN KEOLAHRAGAAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 11
Pembinaan dan pengembangan keolahragaan, mencakup:
a. olahraga pendidikan;
b. olahraga prestasi;
c. olahraga rekreasi;
d. olahraga berkebutuhan khusus; dan
e. olahraga Aparatur Sipil Negara
Bagian Kedua
Olahraga Pendidikan
Paragraf 1
Umum
Pasal 12
(1) Pembinaan dan pengembangan olahraga pendidikan diselenggarakan untuk:
a. meningkatkan kualitas fisik dan psikis;
125
b. meningkatkan kesehatan jasmani dan rohani;
c. membangun karakter yang sportif;
d. keterampilan olahraga; dan
e. mengembangkan minat dan bakat olahraga.
(2) Setiap lembaga pendidikan wajib menyelenggarakan pembinaan dan pengembangan olahraga pendidikan secara teratur, bertahap, dan berkesinambungan dengan memperhatikan taraf pertumbuhan, perkembangan, bakat, dan minat peserta didik.
(3) Pembinaan dan pengembangan olahraga pendidikan dilaksanakan dan diarahkan sebagai satu yang kesatuan sistematis dan berkesinambungan dengan Sistem Pendidikan Nasional.
(4) Pelaksanaan pembinaan dan pengembangan olahraga pendidikan dapat memanfaatkan olahraga rekreasi dan olahraga tradisional sebagai bagian dari aktifitas pembelajaran.
(5) Pendanaan pembinaan dan pengembangan olahraga pendidikan bersumber dari alokasi anggaran sektor pendidikan.
Pasal 13
Pembinaan dan pengembangan olahraga pendidikan dilaksanakan melalui:
a. intrakurikuler; dan
b. ekstrakurikuler.
Paragraf 2
Intrakurikuler
Pasal 14
(1) Pemerintah Daerah Kota menyelenggarakan pembinaan dan pengembangan olahraga pendidikan melalui intrakurikuler sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf a, meliputi:
a. pelaksanaan kurikulum pendidikan olahraga pada jenjang pendidikan dasar dan pendidikan anak usia dini sesuai kurikulum nasional;
b. penetapan kurikulum muatan lokal pada jenjang pendidikan dasar dan pendidikan anak usia dini;
c. pembinaan dan pengembangan kompetensi guru olahraga pada satuan pendidikan dasar dan pendidikan anak usia dini;
d. fasilitasi penyediaan sarana pelatihan olahraga pada satuan pendidikan dasar dan pendidikan anak usia dini;
e. penyelenggaraan proses pembinaan dan pelatihan olahraga pada pendidikan dasar dan pendidikan anak usia dini;
126
f. pengembangan dan penerapan IPTek olahraga pendidikan; dan
g. penyelenggaraan, pelaksanaan, dan fasilitasi kejuaraan olahraga bagi peserta didik tingkat Daerah, Daerah Provinsi dan nasional.
(2) Pembinaan dan pengembangan olahraga pendidikan melalui intrakurikuler sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Perangkat Daerah yang membidangi urusan pendidikan.
Pasal 15
(1) Setiap satuan pendidikan dasar dan pendidikan anak usia dini yang dikelola Pemerintah Daerah Kota dan/atau masyarakat wajib menyelenggarakan pembinaan dan pengembangan olahraga pendidikan melalui intrakurikuler, meliputi:
a. pelaksanaan kurikulum pendidikan olahraga sesuai kurikulum nasional dan kurikulum muatan lokal;
b. penyediaan prasarana dan sarana; dan
c. penerapan IPTek olahraga pendidikan; dan
d. pengembangan potensi pelajar yang memiliki bakat dan/atau prestasi di bidang olahraga.
(2) Satuan pendidikan dasar dan pendidikan anak usia dini harus melakukan kemitraan atau kerjasama dengan masyarakat atau badan usaha pengelola/pemilik prasarana olahraga dalam hal kewajiban penyediaan prasarana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, belum dapat dilaksanakan.
(3) Pelaksanaan pembinaan dan pengembangan olahraga oleh satuan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh guru olahraga yang memiliki kompetensi dan dapat dibantu oleh tenaga keolahragaan yang ditunjuk oleh satuan pendidikan.
Pasal 16
Pembinaan, pengembangan, dan pelaksanaan olahraga pendidikan melalui intrakurikuler pada satuan pendidikan dasar dan pendidikan anak usia dini yang menyelenggarakan pendidikan di bidang pendidikan agama, berkoordinasi dengan Pemerintah Daerah Kota.
Paragraf 2
Ekstrakurikuler
Pasal 17
(1) Pembinaan dan pengembangan olahraga pendidikan melalui ekstrakurikuler sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf b, dilaksanakan di luar kegiatan belajar mengajar olahraga pendidikan, dan diarahkan untuk menumbuhkembangkan prestasi olahraga pada unit dasar.
127
(2) Satuan pendidikan dasar dapat membentuk unit kegiatan olahraga, kelas olahraga, serta unit pembinaan dan pelatihan olahraga dalam melaksanakan ekstrakurikuler olahraga pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Penyelenggaraan olahraga pendidikan melalui ekstrakurikuler dilaksanakan oleh guru olahraga yang memiliki kompetensi, disertai pelatih, instruktur atau pemandu olahraga yang memiliki kompetensi dari induk organisasi cabang olahraga terkait dan/atau rujukan Perangkat Daerah yang membidangi olahraga.
(4) Pembinaan dan pengembangan olahraga pendidikan melalui ekstrakurikuler dilaksanakan oleh Perangkat Daerah yang membidangi urusan olahraga dan urusan pendidikan.
Paragraf 3
Pelaksanaan Pelatihan dan Bimbingan
Pasal 18
Pelaksanaan pelatihan dan bimbingan olahraga pendidikan melalui intrakurikuler dan ekstrakurikuler, harus sesuai standar nasional dan/atau internasional dengan memperhatikan usia dan perkembangan peserta didik.
Bagian Kedua
Olahraga Prestasi
Paragraf 1
Umum
Pasal 19
(1) Penyelenggaraan pembinaan dan pengembangan olahraga prestasi dilaksanakan untuk meningkatkan harkat dan martabat Daerah serta bangsa.
(2) Pembinaan dan pengembangan olahraga prestasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
a. peningkatan kemampuan dan potensi olahragawan;
b. pencapaian prestasi olahraga tertinggi di tingkat nasional;
c. mewujudkan olahragawan Daerah sebagai kekuatan inti keolahragaan Daerah Provinsi dan nasional; dan
d. pembinaan dedikasi dan loyalitas olahragawan terhadap Daerah dan Daerah Provinsi.
Paragraf 2
Pelaksanaan Pembinaan dan Pengembangan Olahraga
Prestasi
Pasal 20
(1) Induk organisasi olahraga Daerah bertanggung jawab atas pelaksanaan pembinaan dan pengembangan olahraga
128
prestasi di Daerah, sesuai kewenangan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Tanggung jawab induk organisasi olahraga Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
a. pemassalan, pembibitan, pembinaan dan pengembangan prestasi olahragawan;
b. pengkoordinasian olahraga prestasi yang dilaksanakan oleh induk cabang olahraga Daerah;
c. pemberdayaan perkumpulan dan klub olahraga;
d. pengembangan sentra pembinaan olahraga; dan
e. penyelenggaraan kompetisi dan kejuaraan secara berjenjang dan berkelanjutan.
Pasal 21
(1) Pembinaan dan pengembangan olahraga prestasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 harus melibatkan olahragawan muda potensial hasil pemantauan, pemanduan, dan pengembangan bakat sebagai proses regenerasi olahragawan Daerah.
(2) Pembinaan dan pengembangan olahragawan muda potensial sebagaimana dimaksud pada ayat (1), memprioritaskan olahragawan muda hasil binaan induk organisasi cabang olahraga Daerah.
Paragraf 3
Dukungan Pembinaan dan Pengembangan Olahraga Prestasi
Pasal 22
(1) Dalam rangka mendukung pembinaan dan pengembangan olahraga prestasi, Pemerintah Daerah Kota melaksanakan:
a. fasilitasi pelayanan dan kemudahan olahraga prestasi kepada induk organisasi olahraga Daerah;
b. pendampingan kepada olahragawan dan pelatih berprestasi untuk meningkatkan dedikasi dan loyalitas terhadap Daerah dan Daerah Provinsi;
c. fasilitasi peningkatan kapasitas, kapabilitas, dan profesionalisme tenaga keolahragaan;
d. pembentukan dan pengembangan sentra pembinaan olahraga terpadu; dan
e. fasilitasi penyelenggaraan kompetisi olahraga prestasi secara berjenjang dan berkelanjutan.
(2) Perangkat Daerah yang membidangi urusan olahraga melaksanakan pembinaan dan pengembangan olahraga prestasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sesuai kewenangan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
129
Pasal 23
Dukungan pembinaan dan pengembangan olahraga prestasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c, meliputi:
a. penyediaan prasarana dan sarana olahraga;
b. pendampingan program;
c. bantuan pendanaan; dan/atau
d. bentuk lainnya sesuai kebutuhan berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Pasal 24
Dukungan pembinaan dan pengembangan olahraga prestasi melalui pembentukan dan pengembangan sentra pembinaan olahraga terpadu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) huruf d, meliputi sarana dan prasarana olahraga serta upaya pembibitan, pelatihan, pembinaan, dan pengembangan olahragawan unggulan Daerah.
Pasal 25
(1) Fasilitasi penyelenggaraan kompetisi olahraga secara berjenjang dan berkelanjutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) huruf e, dilaksanakan untuk kejuaraan olahraga tingkat Daerah, Daerah Provinsi, nasional, dan internasional berdasarkan penetapan kompetisi olahraga prestasi dari induk cabang organisasi olahraga dan/atau induk organisasi olahraga Daerah.
(2) Fasilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbentuk:
a. pendanaan;
b. sarana dan prasarana; dan
c. sumberdaya manusia.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai fasilitasi penyelenggaraan kompetisi olahraga secara berjenjang dan berkelanjutan, diatur dengan Peraturan Wali Kota.
Bagian Ketiga
Olahraga Rekreasi
Paragraf 1
Umum
Pasal 26
Pembinaan dan pengembangan olahraga rekreasi diselenggarakan untuk:
a. memulihkan kesehatan dan kebugaran jasmani;
b. meningkatkan kesehatan, kebugaran, dan kualitas hidup masyarakat;
c. meningkatkan kesenangan atau kegembiraan;
d. membangunan dan meningkatkan hubungan sosial; dan
130
e. menggali, mengembangkan, melestarikan, dan memanfaatkan olahraga tradisional yang tumbuh berkembang sebagai budaya Daerah.
Paragraf 2
Pelaksanaan Pembinaan dan Pengembangan Olahraga Rekreasi
Pasal 27
(1) Perangkat Daerah yang membidangi urusan kesehatan bertanggungjawab atas pelaksanaan pembinaan dan pengembangan olahraga rekreasi untuk memulihkan kesehatan dan kebugaran jasmani sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf a, sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
a. penyediaan sarana dan prasarana; dan
b. kegiatan olahraga rutin.
(3) Ketentuan ayat (1) dan ayat (2) berlaku mutatis mutandis untuk unit pelayanan kesehatan yang diselenggarakan oleh masyarakat.
(4) Pelaksaan kegiatan olahraga rutin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, di bawah bimbingan atau pelatihan oleh tenaga keolahragaan berkompeten.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan dan pengembangan olahraga rekreasi untuk memulihkan kesehatan dan kebugaran jasmani, diatur dalam Peraturan Wali Kota.
Pasal 28
(1) Induk organisasi olahraga rekreasi Daerah bertanggungjawab atas penyelenggaraan olahraga rekreasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e.
(2) Tanggung jawab induk organisasi olahraga rekreasi Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
a. pendataan, pembibitan, pengembangan, pemassalan, dan pembinaan olahraga rekreasi;
b. pengkoordinasian dan pemberdayaan olahraga rekreasi masyarakat yang dilaksanakan oleh organisasi cabang, perkumpulan, dan klub olahraga rekreasi;
c. penyusunan dan penetapan standard olahraga rekreasi; dan
d. penggalian, pengembangan, pelestarian, dan pemanfaatan olahraga tradisional yang tumbuh dan berkembang sebagai budaya Daerah.
Pasal 29
Penyelenggaraan olahraga rekreasi yang mengandung risiko terhadap keselamatan dan kesehatan wajib memenuhi standard
131
serta menyediakan instruktur atau pemandu yang mempunyai pengetahuan, keahlian, dan keterampilan sesuai jenis olahraga.
Paragraf 3
Dukungan Pembinaan dan Pengembangan Olahraga Rekreasi
Pasal 30
(1) Dalam rangka mendukung pelaksanaan pembinaan dan pengembangan olahraga rekreasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e, Pemerintah Daerah Kota memberikan fasilitasi kepada induk organisasi olahraga rekreasi Daerah.
(2) Fasilitasi kepada induk organisasi olahraga rekreasi Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diprioritaskan untuk pembinaan dan pengembangan olahraga rekreasi masyarakat yang bersifat massal dan olahraga tradisional, yang dilaksanakan melalui:
a. penyediaan prasarana dan sarana olahraga;
b. pendampingan program;
c. bantuan pendanaan;
d. penyusunan standard olahraga rekreasi masyarakat yang bersifat massal dan olahraga tradisional; dan/atau
e. penyelenggaraan festival dan invitasi olahraga tradisional yang berjenjang dan berkelanjutan.
(3) Perangkat Daerah yang membidangi urusan olahraga dan urusan kebudayaan, bersama-sama melakukan fasilitasi pembinaan dan pengembangan olahraga rekreasi masyarakat yang bersifat masal dan olahraga tradisional, sesuai kewenangan berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Bagian Keempat
Olahraga Berkebutuhan Khusus
Paragraf 1
Umum
Pasal 31
Pembinaan dan pengembangan olahraga berkebutuhan khusus
diselenggarakan untuk meningkatkan kesehatan, rasa percaya
diri, dan prestasi.
Paragraf 2
Pelaksanaan dan Pembinaan Olahraga Berkebutuhan Khusus
Pasal 32
(1) Induk organisasi olahraga berkebutuhan khusus Daerah bertanggungjawab atas pelaksanaan pembinaan dan pengembangan olahraga berkebutuhan khusus di Daerah.
132
(2) Tanggung jawab induk organisasi olahraga berkebutuhan khusus Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi pembinaan, pelatihan, dan kompetisi yang berjenjang dan berkelanjutan.
Paragraf 3
Fasilitasi Pembinaan dan Pengembangan Olahraga
Berkebutuhan Khusus
Pasal 33
(1) Dalam rangka pembinaan dan pengembangan olahraga berkebutuhan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32, Pemerintah Daerah Kota memberikan fasilitasi pembinaan dan pengembangan olahraga berkebutuhan khusus kepada induk organisasi olahraga berkebutuhan khusus Daerah.
(2) Fasilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
b. penyediaan prasarana dan sarana olahraga;
c. pendampingan program;
d. bantuan pendanaan; dan/atau
e. kompetisi olahraga berkebutuhan khusus tingkat Daerah dan nasional.
(3) Perangkat Daerah yang membidangi urusan olahraga, urusan sosial, urusan pendidikan, dan urusan kesehatan, bersama-sama melaksanakan fasilitasi pembinaan dan pengembangan olahraga berkebutuhan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), sesuai kewenangan berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Paragraf 4
Sentra Pembinaan Olahraga Berkebutuhan Khusus
Pasal 34
(1) Pemerintah Daerah Kota dapat membentuk sentra pembinaan olahraga berkebutuhan khusus untuk meningkatkan kemampuan, potensi, dan pencapaian prestasi olahraga berkebutuhan khusus tingkat Daerah, Daerah Provinsi, dan nasional,
(2) Sentra pembinaan olahraga berkebutuhan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dibentuk untuk satu atau beberapa cabang olahraga berkebutuhan khusus.
(3) Pembentukan sentra pembinaan olahraga berkebutuhan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), dapat terpusat atau tersebar sesuai potensi olahraga dan kebutuhan olahraga berkebutuhan khusus di Daerah.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengembangan sentra pembinaan olahraga berkebutuhan khusus ditetapkan dengan Peraturan Wali Kota.
133
Pasal 35
(1) Organisasi olahraga berkebutuhan khusus yang ada dalam masyarakat dapat membentuk sentra pembinaan olahraga berkebutuhan khusus di Daerah.
(2) Pembentukan sentra pembinaan olahraga berkebutuhan khusus oleh organisasi olahraga berkebutuhan khusus yang ada dalam masyarakat mengacu pada ketentuan Pasal 34
Bagian Kelima
Olahraga Aparatur Sipil Negara
Pasal 36
(1) Pembinaan dan pengembangan olahraga Aparatur Sipil Negara diselenggarakan untuk meningkatkan kesehatan jasmani dan rohani, produktivitas kerja, disiplin, jiwa korsa, solidaritas, dan kebersamaan Aparatur Sipil Negara di Daerah, serta memberikan keteladanan bagi masyarakat.
(2) Pembinaan dan pengembangan olahraga Aparatur Sipil Negara dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan melalui:
a. penyediaan prasarana dan sarana;
b. kegiatan olahraga rutin,
c. pelatihan;
d. tes kebugaran jasmani;
e. kompetisi berjenjang dan berkelanjutan; dan
f. fasilitasi pengembangan prestasi olahraga.
(3) Penyediaan prasarana dan sarana serta kegiatan olahraga rutin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b, dilaksanakan oleh setiap Perangkat Daerah.
(4) Pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dilaksanakan oleh tenaga keolahragaan yang berkompeten.
(5) Kompetisi yang berjenjang dan berkelanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e, meliputi tingkat Daerah dan nasional.
(6) Fasilitasi pengembangan prestasi olahraga sebagaimana dimaksud ayat (2) huruf f, dilaksanakan untuk mendorong keikutsertaan Aparatur Sipil Negara di Daerah yang memiliki prestasi olahraga dalam kejuaraan olahraga tingkat Daerah, nasional, dan internasional.
(7) Perangkat Daerah yang membidangi urusan olahraga, urusan kepegawaian dan/atau organisasi Aparatur Sipil Negara di Daerah bersama-sama melaksanakan pembinaan dan pengembangan olahraga Aparatur Sipil Negara, sesuai kewenangan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(8) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan dan pengembangan olahraga Aparatur Sipil Negara, diatur dengan Peraturan Wali Kota.
134
BAB VII
TENAGA KEOLAHRAGAAN
Bagian Kesatu
Pembinaan dan Pengembangan
Pasal 37
(1) Pemerintah Daerah Kota menyelenggarakan pembinaan dan pengembangan tenaga keolahragaan guna pembinaan dan pengembangan olahraga pendidikan, serta untuk meningkatkan kemampuan, potensi, dan prestasi olahragawan Daerah.
(2) Tenaga keolahragaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. guru olahraga;
b. pelatih;
c. instruktur atau pemandu;
d. wasit;
e. juri;
f. manajer;
g. promotor;
h. administrator;
i. penyuluh;
j. tenaga medis dan para medis;
k. ahli gizi;
l. ahli biomekanika;
m. psikolog; dan
n. tenaga lain yang terkait dengan keolahragaan.
(3) Pembinaan dan pengembangan tenaga keolahragaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui:
a. fasilitasi pembinaan dan/atau pelatihan;
b. fasilitasi jaminan keselamatan; dan
c. peningkatan karier, pelayanan kesejahteraan, bantuan hukum, dan/atau penghargaan.
Bagian Kedua
Penggunaan Tenaga Keolahragaan Asing
Pasal 38
(1) Pemerintah Daerah Kota dapat menggunakan tenaga keolahragaan asing guna mendukung upaya pembinaan dan pengembangan olahraga pendidikan, serta untuk meningkatkan kemampuan, potensi, dan prestasi olahragawan Daerah pada tingkat nasional dan internasional, sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Penggunaan tenaga keolahragaan asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dilaksanakan pada:
a. satuan pendidikan dasar;
135
b. satuan pendidikan anak usia dini;
c. sentra pembinaan olahraga berkebutuhan khusus Daerah; dan
d. tempat pelatihan tenaga keolahragaan Daerah.
(3) Tenaga keolahragaan asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), harus memenuhi kriteria meliputi:
a. memiliki kualifikasi dan sertifikat kompetensi;
b. mendapat rekomendasi dari induk organisasi cabang olahraga terkait dan/atau induk organisasi olahraga Daerah;
c. mendapatkan izin dari Instansi terkait sesuai ketentuan perundang-undangan; dan
d. memiliki kesanggupan untuk melakukan alih ilmu pengetahuan dan teknologi kepada tenaga keolahragaan Daerah.
BAB VIII
PEMBINAAN DAN PENGEMBANGAN ORGANISASI
OLAHRAGA
Pasal 39
(1) Pembinaan dan pengembangan organisasi olahraga di Daerah, meliputi:
a. penyediaan prasarana dan sarana;
b. pendampingan program; dan/atau
c. bantuan pendanaan.
(2) Penyediaan prasarana dan sarana serta pendampingan program sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b dilaksanakan untuk mendukung penyelenggaraan kompetisi/turnamen, pelatihan, pendidikan, dan penataran, yang dilaksanakan oleh organisasi olahraga Daerah, serta untuk peningkatan mutu organisasi.
(3) Pemberian bantuan pendanaan kepada organisasi olahraga di Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan untuk:
a. penyelenggaraan kompetisi/turnamen;
b. pelatihan, pendidikan, dan penataran;
c. penyediaan fasilitas sarana olahraga; dan/atau
d. peningkatan mutu organisasi.
(4) Pemberian bantuan pendanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
136
BAB IX
PENYEDIAAN PRASARANA DAN SARANA
Bagian Kesatu
Prasarana
Paragraf 1
Umum
Pasal 40
(1) Pemerintah Daerah Kota dan masyarakat menyediakan prasarana olahraga guna mendukung upaya pembinaan dan pengembangan olahraga serta budaya olahraga, yang dilaksanakan melalui proses perencanaan, pengadaan, pemanfaatan, pemeliharaan, dan pengawasan.
(2) Penyediaan prasarana olahraga sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam bentuk:
a. pembangunan prasarana olahraga;
b. rekayasa teknis pada prasarana infrastruktur Daerah: dan
c. penyediaan fasilitas umum olahraga
(3) Penyediaan prasarana olahraga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu pada standard, kebutuhan Daerah, dan ketentuan peraturan perundang-undangan, serta potensi keolahragaan Daerah.
Pasal 41
(1) Dunia usaha yang bergerak di bidang pembangunan perumahan dan permukiman wajib menyediakan prasarana olahraga sebagai fasilitas umum sesuai standar kebutuhan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Prasarana olahraga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diserahkan kepada Pemerintah Daerah Kota.
(3) Pemerintah Daerah Kota melaporkan penyerahan prasarana olahraga dari dunia usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), kepada Pemerintah Daerah Provinsi.
Pasal 42
Setiap orang dan/atau Badan wajib menjaga keberadaan dan fungsi prasarana olahraga sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Paragraf 2
Pembangunan Prasarana Olahraga
Pasal 43
(1) Pembangunan prasarana olahraga meliputi prasarana khusus olahraga skala Daerah, Kecamatan, dan Kelurahan.
137
(2) Pembangunan prasarana olahraga sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan oleh Perangkat Daerah yang membidangi urusan olahraga serta urusan permukiman dan perumahan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyediaan prasarana olahraga diatur dengan Peraturan Wali Kota.
Paragraf 3
Rekayasa Teknis pada Prasarana Infrastruktur Daerah
Pasal 44
(1) Rekayasa teknis pada prasarana infrastruktur Daerah dilaksanakan untuk memenuhi kebutuhan kegiatan olahraga masyarakat.
(2) Infrastruktur sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi infrastruktur jalan dan sumber daya air.
(3) Dikecualikan dari ketentuan ayat (1) dan ayat (2) bagi infrastruktur Daerah yang dilarang dimanfaatan untuk kegiatan lain, berdasarkan ketentuan peraturan undang-undangan.
(4) Pemenuhan kebutuhan olahraga masyakat pada infrastruktur Daerah harus memperhatikan fungsi utama infrastruktur serta keselamatan, keamanan, dan kenyamanan pengolahraga dan masyarakat pengguna infrastruktur.
(5) Perangkat Daerah yang membidangi urusan infrastruktur jalan dan urusan sumber daya air melaksanakan rekayasa tehnis infrastruktur sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengakomodasian kebutuhan olahraga masyarakat pada infrastruktur Daerah, diatur dengan Peraturan Wali Kota.
Bagian Kedua
Sarana
Pasal 45
(1) Pemerintah Daerah Kota memfasilitasi pembinaan dan pengembangan industri sarana olahraga di Daerah.
(2) Fasilitasi pembinaan dan pengembangan industri sarana olahraga di Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Perangkat Daerah yang membidangi urusan olahraga, urusan koperasi, usaha mikro, kecil dan menengah, serta urusan perindustrian dan perdagangan.
(3) Ketentuan lebih lanjut fasilitas pembinaan dan pengembangan industri sarana olahraga di Daerah diatur dalam Peraturan Wali Kota.
Pasal 46
(1) Setiap orang atau badan usaha yang memproduksi sarana olahraga wajib memperhatikan standar teknis sarana olahraga dari cabang olahraga yang bersangkutan.
138
(2) Setiap sarana olahraga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang diproduksi, diperjualbelikan, dan/atau disewakan untuk masyarakat umum baik untuk pelatihan maupun kompetisi wajib memenuhi standar kesehatan dan keselamatan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB X
INDUSTRI OLAHRAGA
Pasal 47
(1) Masyarakat dapat membentuk industri olahraga guna mendukung kemajuan keolahragaan di Daerah dengan memperhatikan kesejahteraan pelaku olahraga dan kemajuan olahraga.
(2) Pembentukan industri olahraga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memperhatikan tujuan keolahragaan nasional serta prinsip penyelenggaraan keolahragaan.
(3) Industri olahraga sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat berbentuk:
a. prasarana dan sarana yang diproduksi, diperjualbelikan, dan/atau disewakan untuk masyarakat; dan
b. jasa penjualan kegiatan cabang olahraga sebagai produk utama yang dikemas secara profesional.
Pasal 48
(1) Pemerintah Daerah Kota mendorong perkembangan industri olahraga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 untuk mendukung kemajuan pembinaan dan pengembangan keolahragaan
(2) Dorongan Pemerintah Daerah Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui pola kemitraan dengan badan usaha industri olahraga yang dibentuk masyarakat sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Pemerintah Daerah Kota memberikan kemudahan pembentukan sentra-sentra pembinaan dan pengembangan industri olahraga.
(4) Pemerintah Daerah Kota menfasilitasi perwujudan kemitraan pelaku industri olahraga dengan media massa dan media lainnya.
(5) Fasilitasi pembinaan dan pengembangan industri olahraga di Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Perangkat Daerah yang membidangi urusan olahraga, serta urusan perindustrian dan perdagangan.
139
BAB XI
PENYELENGGARAAN KEJUARAAN OLAHRAGA
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 49
(1) Pemerintah Daerah Kota dan/atau masyarakat menyelenggarakan kejuaraan olahraga di Daerah dalam rangka membudayakan olahraga, menjaring bibit olahragawan potensial, meningkatkan kesehatan dan kebugaran, meningkatkan prestasi olahraga, memelihara persatuan dan kesatuan bangsa, serta mendukung peningkatan ketahanan nasional.
(2) Penyelenggaraan kejuaraan olahraga sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib memperhatikan tujuan keolahragaan serta prinsip penyelenggaraan keolahragaan.
Pasal 50
Penyelenggaraan kejuaraan olahraga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49, meliputi:
a. kejuaraan olahraga tingkat Daerah, Provinsi, nasional, dan internasional; dan
b. pekan olahraga daerah.
Pasal 51
(1) Penyelenggaraan kejuaraan olahraga wajib memenuhi persyaratan teknis kecabangan, kesehatan, serta keselamatan sesuai standard dan perizinan terkait berdasarkan peraturan perundang-undangan.
(2) Penyelenggara kejuaraan olahraga yang mendatangkan langsung massa penonton wajib mendapatkan rekomendasi dari induk organisasi olahraga yang bersangkutan dan memenuhi persyarakat, sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Penyelenggara kejuaraan olahraga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib memiliki penanggung jawab kegiatan.
(4) Setiap penonton dalam kejuaraan olahraga wajib menjaga, menaati, dan/atau mematuhi peraturan perundangan mengenai ketertiban dan keamanan.
Bagian Kedua
Kejuaraan Olahraga Tingkat Daerah, Provinsi
Nasional, dan Internasional
Pasal 52
(1) Kejuaraan olahraga tingkat wilayah, Daerah, regional, nasional, dan internasional, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 huruf a, dilaksanakan induk organisasi olahraga, sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
140
(2) Pemerintah Daerah Kota memfasilitasi pelaksanaan kejuaraan olahraga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam hal kegiatan kejuaraan dilaksanakan di Daerah.
Bagian Ketiga
Pekan Olahraga Daerah
Pasal 53
(1) Pemerintah Daerah Kota bertanggung jawab atas pelaksanaan penyelenggaraan pekan olahraga tingkat wilayah dan Daerah yang dilaksanakan seluruhnya di Daerah.
(2) Pekan olahraga Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), berbentuk:
a. pekan olahraga pelajar;
b. pekan olahraga pelajar berkebutuhan khusus;
c. pekan olahraga berkebutuhan khusus;
d. pekan olahraga aparatur sipil negara tingkat Daerah;
e. Pekan Olahraga Daerah; dan
f. pekan olahraga tingkat wilayah dan Daerah lainnya sesuai kebutuhan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan pekan olahraga tingkat wilayah dan Daerah diatur dalam Peraturan Wali Kota.
BAB XI
STANDARDISASI, AKREDITASI, DAN SERTIFIKASI
OLAHRAGA
Pasal 54
(1) Pemerintah Daerah Kota menerapkan standardisasi, akreditasi, dan sertifikasi keolahragaan di Daerah, sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Pelaksanaan standardisasi, akreditasi, dan sertifikasi keolahragaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur lebih lanjut dengan Peraturan Wali Kota.
BAB XII
PENGEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI
KEOLAHRAGAAN
Pasal 55
(1) Pengembangan IPTek keolahragaan dilaksanakan untuk memajukan keolahragaan Daerah secara berkelanjutan, yang dilaksanakan melalui:
a. penelitian;
b. pengkajian;
c. alih teknologi;
141
d. sosialisasi;
e. pertemuan ilmiah; dan
f. kerjasama.
(2) Pengembangan IPTek keolahragaan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilaksanakan melalui:
a. Perangkat Daerah yang membidangi urusan IPTek, lembaga penelitian, pengembangan dan penerapan IPTek yang dibentuk Pemerintah Daerah Kota sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan; dan/atau
b. kerjasama dengan lembaga atau tenaga ahli dalam bidang ilmu keolahragaan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengembangan IPTek keolahragaan diatur dengan Peraturan Wali Kota.
BAB XIII
PERAN MASYARAKAT DAN DUNIA USAHA
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 56
(1) Masyarakat dan dunia usaha memiliki peran dalam penyeleggaraan keolahragaan di Daerah.
(2) Peran masyarakat dan dunia usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. hak;
b. kewajiban; dan
c. tanggung jawab.
Bagian Kedua
Peran Masyarakat
Paragraf 1
Hak
Pasal 57
Setiap orang dalam penyelenggaraan keolahragaan berhak:
a. melakukan kegiatan olahraga;
b. memperoleh pelayanan dalam kegiatan olahraga;
c. memilih dan mengikuti jenis atau cabang olahraga sesuai bakat dan minat;
d. memperoleh pengarahan, dukungan, bimbingan, pembinaan dan pengembangan dalam keolahragaan;
e. menjadi pelaku olahraga;
f. mengembangkan industri olahraga;
g. berperan sebagai sumber, pelaksana, tenaga sukarela, penggerak, pengguna hasil, dan/atau pelayan kegiatan olahraga; dan
h. turut serta mendorong pembinaan dan pengembangan keolahragaan.
142
Pasal 58
Setiap orang tua mempunyai hak mengarahkan, membimbing, membantu, dan mengawasi serta memperoleh informasi tentang perkembangan keolahragaan anaknya.
Pasal 59
Masyarakat mempunyai hak untuk berperan dalam perencanaan, pengembangan, pelaksanaan, dan pengawasan kegiatan keolahragaan.
Paragraf 2
Kewajiban
Pasal 60
Setiap orang wajib berperan dalam kegiatan olahraga dan memelihara prasarana dan sarana olahraga serta lingkungan.
Pasal 61
(1) Dalam penyelenggaraan olahraga, setiap orang tua wajib memberikan dukungan kepada anak untuk aktif berpartisipasi dalam olahraga serta mengawasi aktifitas olahraga anak sesuai taraf pertumbuhan, perkembangan, bakat, dan minat anak.
(2) Kewajiban penyelenggaraan olahraga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku mutatis mutandis untuk anak yang diasuh dan/atau di bawah tanggung jawab wali anak atau pimpinan/ketua lembaga pendidikan yang menyelenggarakan pemondokan atau asrama terhadap peserta didik.
Pasal 62
Dalam penyelenggaraan keolahragaan, masyarakat wajib:
a. memberikan dukungan sumberdaya dalam penyelenggaraan keolahragaan; dan
b. memperhatikan tujuan keolahragaan nasional serta prinsip penyelenggaraan keolahragaan; dan
c. membina dan mengembangkan olahraga tradisional.
Paragraf 3
Tanggung Jawab
Pasal 63
Tanggung jawab masyarakat dalam penyelenggaraan keolahragaan, meliputi:
a. perencanaan, pengadaan, pemanfaatan, pemeliharaan, dan pengawasan atas prasarana olahraga; dan
b. pendanaan keolahragaan.
143
Bagian Kedua
Peran Dunia Usaha
Paragraf 1
Hak
Pasal 64
Badan usaha mempunyai hak untuk :
a. berperan dalam perencanaan, pengembangan, pelaksanaan, dan pengawasan kegiatan keolahragaan;
b. mendirikan organisasi cabang olahraga dengan keanggotaan berasal dari karyawan/pekerja atau masyarakat;
c. membuat program bapak asuh bagi olahragawan dan/atau cabang olahraga Daerah yang berprestasi; dan
d. menyelenggarakan pertandingan olahraga untuk karyawan/pekerja atau masyarakat, sesuai syarat, prosedur, dan standard berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Paragraf 2
Kewajiban
Pasal 65
Dalam penyelenggaraan keolahragaan, dunia usaha wajib:
a. menyediakan prasarana dan sarana olahraga untuk karyawan atau pekerja;
b. menyelenggarakan kegiatan olahraga secara rutin untuk karyawan atau pekerja;
c. memberikan kesempatan kepada masyarakat atau satuan pendidikan sekitar untuk mempergunakan prasarana dan sarana olahraga yang berada di lingkungan badan usaha;
d. memberikan dukungan sumberdaya dalam penyelenggaraan keolahragaan; dan
e. memperhatikan tujuan keolahragaan nasional serta prinsip penyelenggaraan keolahragaan; dan
f. membina dan mengembangkan olahraga tradisional.
Paragraf 3
Tanggung Jawab
Pasal 66
(1) Tanggung jawab dunia usaha dalam penyelenggaraan keolahragaan meliputi perencanaan, pengadaan, pemanfaatan, pemeliharaan, dan pengawasan atas prasarana olahraga, serta pendanaan keolahragaan.
(2) Fasilitasi pembinaan dan pengembangan peran dunia usaha sebagaimana dimaksud pada Pasal 68 67 dan Pasal 69 68 dilaksanakan oleh Perangkat Daerah yang membidangi urusan olahraga, urusan ketenagakerjaan serta urusan perindustrian dan perdagangan.
144
BAB XIV
KOORDINASI
Pasal 67
(1) Pemerintah Daerah Kota melaksanakan koordinasi penyelenggaraan keolahragaan dengan Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah Provinsi, induk organisasi keolahragaan, dan badan usaha di Daerah.
(2) Koordinasi penyelenggaraan keolahragaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Perangkat Daerah terkait, sesuai kewenangan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB XV
KERJASAMA
Pasal 68
(1) Pemerintah Daerah Kota mengembangkan kerjasama dalam rangka penyelenggaraan keolahragaan, sesuai ketentuan perundang-undangan.
(2) Kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan dengan:
a. Pemerintah Pusat;
b. Pemerintah Daerah Provinsi;
c. Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota lain;
d. induk organisasi keolahragaan;
e. lembaga pendidikan;
f. badan usaha;
g. masyarakat; dan/atau
h. pihak luar negeri.
(3) Bentuk kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (2), berupa:
a. bantuan pendanaan;
b. bantuan tenaga ahli;
c. bantuan prasarana dan sarana;
d. pendidikan dan pelatihan; dan
e. kerjasama lain di bidang keolahragaan.
BAB XVI
SISTEM INFORMASI KEOLAHRAGAAN
Pasal 69
(1) Pemerintah Daerah Kota membentuk sistem informasi keolahragaan yang terintegrasi dengan sistem informasi keolahragaan nasional dan Daerah Provinsi.
145
(2) Sistem informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), paling kurang meliputi:
a. perencanaan keolahragaan daerah;
b. potensi olahraga daerah;
c. data olahragawan;
d. tenaga keolahragaan; dan
e. prasarana dan sarana.
(3) Perangkat Daerah terkait melaksanakan pembentukan sistem informasi keolahragaan dan fasilitasi pembentukan sistem informasi keolahragaan Kabupaten/Kota yang terintegrasi dengan sistem informasi Daerah.
BAB XVII
PENGHARGAAN
Pasal 70
(1) Pemerintah Daerah Kota memberikan penghargaan kepada organisasi olahraga, perorangan, lembaga swadaya masyarakat, lembaga pendidikan, dan badan usaha yang berprestasi serta memiliki kontribusi terhadap keberhasilan penyelenggaran keolahragaan.
(2) Penghargaan kepada perorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diprioritaskan kepada:
a. olahragawan perseorangan;
b. olahragawan yang tergabung dalam regu atau tim;
c. pelatih;
d. official;
e. mantan olahragawan yang telah berprestasi dan/atau memberikan kontribusi terhadap perkembangan keolahragaan Daerah; dan
f. tokoh olahragawan.
(3) Penghargaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), diberikan dalam bentuk pemberian kemudahan, beasiswa, asuransi, pekerjaan, kenaikan pangkat luar biasa, tanda kehormatan, warga kehormatan, jaminan hari tua, atau bentuk penghargaan lain yang bermanfaat bagi penerima penghargaan, sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Dalam hal pemberian penghargaan kepada olahragawan yang tergabung dalam satu regu atau tim sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, maka bentuk dan/atau besaran penghargaan mengacu pada pola pemberian penghargaan kepada olahragawan perseorangan.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai mekanisme pemberian penghargaan, diatur dengan Peraturan Wali Kota.
146
BAB XVIII
PENDANAAN
Pasal 71
(1) Pemerintah Daerah Kota wajib menyediakan pendanaan keolahragaan berdasarkan prinsip berkecukupan dan berkelanjutan.
(2) Sumber pendanaan keolahragaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), bersumber dari:
a. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
b. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;
c. hasil kerjasama Pemerintah Daerah Kota;
d. tanggung jawab sosial perusahaan atau corporate social responsibility (CSR);
e. bantuan luar negeri yang tidak mengikat; dan
f. sumber lain yang sah dan tidak mengikat berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 72
Pengelolaan dana keolahragaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 dilaksanakan berdasarkan prinsip keadilan, efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB XIX
SANKSI ADMINISTRATIF
Pasal 73
(1) Setiap orang yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 41 ayat (1), Pasal 42, Pasal 44 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 45 ayat (1), serta Pasal 49 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dikenakan sanksi administrasi.
(2) Setiap satuan pendidikan menengah, pendidikan khusus, sekolah khusus olahraga, pusat pembinaan dan latihan pelajar, sentra pembinaan olahraga terpadu Daerah, dan sentra pembinaan olahraga berkebutuhan khusus Daerah, dan tempat pelatihan tenaga keolahragaan Daerah yang menggunakan tenaga keolahragaan asing tetapi tidak memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (3), dikenakan sanksi administrasi.
(3) Sanksi administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), berupa:
a. teguran lisan;
b. teguran tertulis;
c. penghentian sementara kegiatan;
d. penghentian tetap kegiatan;
e. pencabutan sementara izin;
147
f. pencabutan tetap izin;
g. denda administratif; dan/atau
h. sanksi administratif lain sesuai dengan ketentuanperaturan perundang-undangan.
(4) Pengenaan sanksi administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan oleh Dinas dan/atau Perangkat Daerah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5) Tata cara pengenaan sanksi administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), diatur dengan Peraturan Wali Kota.
BAB XX
KETENTUAN PIDANA
Pasal 74
Dalam hal pelanggaran administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 terdapat pelanggaran pidana, maka kepadanya dikenakan sanksi pidana di bidang lingkungan hidup, perindustrian, perdagangan, dan/atau ketenagakerjaan, yang diatur dalam Peraturan Daerah tersendiri.
Pasal 75
(1) Dalam penyelenggaraan keolahragaan, setiap orang dikenakan sanksi pidana, apabila:
a. menyelenggarakan kejuaraan olahraga yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 30 ayat (1) dan ayat (2);
b. apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menimbulkan kerusakandan/atau gangguan keselamatan pihak lain;
c. tidak menjaga, menaati, dan/atau mematuhi peraturan perundangan mengenai ketertiban dan keamanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 30 ayat (4); dan
d. mengalihfungsikan atau meniadakan prasarana olahraga yang telahada, baik sebagian maupun seluruhnya tanpa izin sebagaimana diatur dalam Pasal 37 36.
(2) Pengenaan sanksi pidana penyelenggaraan keolahragaan dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB XXI
PEMBINAAN, PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN
Pasal 76
(1) Pemerintah Daerah Kota melakukan pembinaan, pengawasan dan pengendalian terhadap penyelenggaraan keolahragaan sesuai kewenangan, berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
148
(2) Pembinaan, pengawasan dan pengendalian terhadap penyelenggaraan keolahragaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan oleh Perangkat Daerah yang membidangi olahraga.
(3) Sekretaris Daerah mengkoordinasikan pelaksanaan pembinaan, pengawasan, dan pengendalian terkait penyelenggaraan keolahragaan oleh Perangkat Daerah terkait, dan induk organisasi keolahragaan di Daerah.
BAB XXII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 77
Petunjuk pelaksanaan Peraturan Daerah ini harus ditetapkan paling lambat 1 (satu) tahun terhitung sejak diberlakukannya Peraturan Daerah ini.
Pasal 78
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Provinsi Jawa Barat.
Ditetapkan di Sukabumi Pada tanggal
WALIKOTA SUKABUMI,
MOHAMAD MURAZ
Diundangkan di Sukabumi Pada tanggal
SEKRETARIS DAERAH KOTA SUKABUMI,
M.N. HANAFIE ZAIN
LEMBARAN DAERAH KOTA SUKABUMI TAHUN 2015 NOMOR
149
PENJELASAN
PERATURAN DAERAH KOTA SUKABUMI
NOMOR
TENTANG
PENYELENGGARAAN KEOLAHRAGAAN
I. Umum
Dalam rangka mewujudkan kualitas masyarakat Kota Sukabumi yang memiliki
kompetensi, daya saing, serta semangat dan daya juang yang tinggi, perlu
dilakukan upaya pembangunan sumberdaya manusia di berbagai bidang
termasuk bidang keolahragaan.
Di dalam Peraturan Daerah ini dinyatakan bahwa Fungsi Keolahragaan Daerah
sebagai bagian strategis dalam upaya perwujudan Visi dan Misi Pembangunan
Daerah. Artinya pembangunan dan penyelenggaraan keolahragaan memiliki
peran yang sama pentingnya dengan pembangunan bidang lain seperti bidang
pendidikan, kesehatan, perekonomian, dan lain-lain, sehingga
penyelenggaraannya perlu mendapatkan perhatian yang proporsional. Hal ini
dapat dipahami karena melalui aktivitas keolahragaan, disamping mampu
meningkatkan kesehatan dan kebugaran jasmani yag merupakan aspek
penting dalam peningkatan kecerdasan yang menopang keberhasilan
pendidikan, keoahragaan juga menjadi fondasi bagi pengembangan
produktivitas manusia sehingga akan meningkatkan kemampuan ekonominya.
II. Pasal per pasal
Pasal 1 :
Istilah-istilah dalam pasal ini dimaksudkan untuk mencegah timbulnya salah tafsir dan salah pengertian dalam memahami dan melaksanakan pasal-pasal dalam Peraturan Daerah ini.
Pasal 2 :
Fungsi untuk mengembangkan kemampuan jasmani, rohani, sosial, serta membentuk watak dan kepribadian bangsa yang bermartabat merupakan fungsi Keolahragaan Nasional yang berlaku dan menjadi pedoman seluruh tingkatan pemerintahan.
Fungsi Keolahragaan Daerah sebagai bagian strategis dalam upaya perwujudan Visi dan Misi Pembangunan Daerah, sehingga penyelenggaraannya perlu mendapatkan perhatian yang proporsional.
Pasal 3 :
Huruf a :
Yang dimaksud dengan “tujuan keolahragaan nasional” yaitu untuk
memelihara dan meningkatkan kesehatan dan kebugaran, prestasi,
kualitas manusia, menanamkan nilai moral dan akhlak mulia,
sportivitas, disiplin, mempererat dan membina persatuan dan
150
kesatuan bangsa, memperkukuh ketahanan nasional, serta
mengangkat harkat, martabat, dan kehormatan bangsa.
Huruf b :
Yang dimaksud dengan “mengetahui” adalah mengenal kegiatan
olahraga.
Yang dimaksud dengan “memahami” adalah memahami manfaat
olahraga.
Yang dimaksud dengan “mengerti” adalah mengerti cara-cara dan
aturan dalam berolahraga.
Yang dimaksud dengan “melaksanakan” adalah melakukan kegiatan
olahraga secara rutin.
Yang dimaksud dengan “menikmati” adalah merasakan manfaat
langsung maupun tidak langsung aktifitas olahraga sehingga
olahraga menjadi kebutuhan dan gaya hidup.
Huruf c :
Cukup jelas
Huruf d :
Cukup jelas
Pasal 4 :
Prinsip penyelenggaraan keolahragaan Daerah sejalan dengan prinsip
penyelenggaraan keolahragan nasional, sebagaimana tercantum dalam
Undang-undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan
Nasional.
Huruf a :
Yang dimaksud dengan “tidak diskriminatif” adalah bahwa olahraga merupakan hak setiap orang dengan tidak membedakan antara orang perseorangan, kelompok, golongan, agama, suku, dan bangsa/negara.
Huruf b :
Cukup jelas
Huruf c :
Yang dimaksud dengan “etika” adalah bahwa penyelenggaraan keolahragaan mencerminkan nilai-nilai yang baik yang dijabarkan dalam aturan, ketentuan, maupun kegiatannya. Nilai-nilai yang dimaksud mencakup nilai kesopanan, budaya, akhlak mulia, dan sportivitas.
Yang dimaksud dengan “estetika” adalah bahwa penyelenggaraan keolahragaan mengandung hal-hal yang berkaitan dengan seni dan keindahan.
Huruf d :
Yang dimaksud dengan “pembudayaan” adalah proses sosial, perbuatan, dan cara memajukan olahraga sehingga menjadi kebiasaan hidup masyarakat.
Yang dimaksud dengan “keterbukaan” adalah bahwa setiap orang bebas mendapatkan informasi dan akses keolahragaan.
Huruf e :
151
Cukup jelas
Huruf e :
Yang dimaksud dengan “pemberdayaan” adalah upaya membangkitkan masyarakat agar berkemampuan untuk berperan serta dalam penyelenggaraan keolahragaan.
Huruf f :
Cukup jelas
Huruf g :
Cukup jelas
Huruf h :
Cukup jelas
Pasal 5 :
Kebijakan Nasional keolahragaan, meliputi:
a. penyelenggaraan olahraga pendidikan, olahraga rekreasi, dan olahraga prestasi;
b. pembinaan dan pengembangan olahraga;
c. penyelenggaraan kejuaraan olahraga;
d. pembinaan dan pengembangan pelaku olahraga;
e. pembinaan, pengembangan, dan pengawasan olahraga profesional;
f. peningkatan kualitas dan kuantitas prasarana dan sarana olahraga;
g. pendanaan keolahragaan;
h. pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi keolahragaan;
i. peran serta masyarakat dalam kegiatan keolahragaan;
j. pengembangan kerja sama dan informasi keolahragaan;
k. pembinaan dan pengembangan industri olahraga;
l. penyelenggaraan akreditasi dan sertifikasi;
m. pencegahan dan pengawasan terhadap doping;
n. pemberian penghargaan;
o. pelaksanaan pengawasan; dan
p. evaluasi terhadap pencapaian standar nasional keolahragaan.
Pasal 6 :
Kewenangan Pemerintah Daerah Kota dalam penyelenggaraan
keolahragaan meliputi pembinaan, pengembangan, pelaksanaan, dan
pengawasan merupakan amanat Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005
tentang Sistem Keolahragaan Nasional.
Huruf a:
Pembinaan dan pengembangan olahraga pendidikan pada jenjang
pendidikan menengah, penyelenggaraan kejuaraan olahraga tingkat
Daerah, pembinaan dan pengembangan olahraga prestasi tingkat
nasional, serta pembinaan dan pengembangan organisasi olahraga
tingkat Daerah, merupakan kewenangan Pemerintah Daerah Kota di
bidang keolahragaan sebagaimana tercantum dalam Lampiran
152
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah.
Huruf b:
Cukup jelas
Huruf c:
Cukup jelas
Huruf d:
Ketentuan mengenai “bentuk lainnya berdasarkan kebutuhan Daerah
sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan” merupakan
penjabaran amanat Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah, yaitu selain memuat materi megenai
penyelenggaraan Otonomi Daerah dan Tugas Pembantuan serta
penjabaran lebih lanjut ketentuan peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi, Peraturan Daerah juga dapat mengatur muatan
lokal sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Ketentuan
peraturan perundang-undangan tersebut yaitu Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional dan
peraturan pelaksanaanya.
Pasal 7 :
Ayat (1) :
Cukup jelas
Ayat (2) :
Huruf a :
Cukup jelas
Huruf b :
Cukup jelas
Huruf c :
Cukup jelas
Huruf d :
Cukup jelas
Huruf e :
Yang dimaksud “standard pelayanan minimal”
adalahketentuan mengenai jenis dan mutu Pelayanan Dasar
yang merupakan Urusan Pemerintahan Wajib yang berhak
diperoleh setiap warga negara secara minimal
Huruf f :
Cukup jelas
Huruf g :
Cukup jelas
Pasal 8 :
Cukup jelas
Pasal 9 :
153
Cukup jelas
Pasal 10 :
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2) :
Cukup jelas
Ayat (3) :
Cukup jelas
Ayat (4) :
Cukup jelas
Ayat (5) :
Cukup jelas
Ayat (6) :
Cukup jelas
Pasal 11 :
Ayat (1) :
Huruf a :
Cukup jelas
Huruf b :
Cukup jelas
Huruf c :
Cukup jelas
Huruf d :
Cukup jelas
Huruf e :
Istilah olahraga pendidikan sama dengan pendidikan jasmani
dan olahraga dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan.
Keduanya dapat digunakan secara saling melengkapi untuk
kepentingan pendidikan.
Ayat (2) :
Cukup jelas
Ayat (3) :
Yang dimaksud dengan sebagai “satu kesatuan yang sistemis dan
berkesinambungan dengan sistem pendidikan nasional” adalah
bahwa olahraga pendidikan sebagai subsistem keolahragaan
nasional, dalam pembinaan dan pengembangannya tidak dapat
dipisahkan dari sistem pendidikan nasional.
Ayat (4) :
Cukup jelas
154
Ayat (5) :
Yang dimaksud “alokasi anggaran sektor pendidikan” adalah alokasi
anggaran pendidikan yang tercantum dalam Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah Kota untuk pendidikan anak usia dini dan
pendidikan dasar.
Pasal 12 :
Cukup jelas
Pasal 13 :
Cukup jelas
Pasal 14 :
Cukup jelas
Pasal 15 :
Satuan pendidikan menengah yang menyelenggarakan pendidikan di
bidang agama, antara lain madrasah aliyah, pendidikan seminari setingkat
pendidikan menengah, pesantren, dan satuan pendidikan keagamaan
lainnya setingkat pendidikan menengah.
Pasal 16
Ayat (1) :
Cukup jelas
Ayat (2) :
Yang dimaksud dengan “unit kegiatan olahraga” adalah perkumpulan olahraga pelajar sebagai wadah suatu berkumpulnya peserta didik yang memiliki minat dan bakat dalam olahraga tertentu guna meningkatkan prestasi olahraga.
Yang dimaksud dengan “kelas olahraga” adalah kelas khusus yang disediakan dalam satuan pendidikan untuk menampung para peserta didik yang berbakat dalam bidang olahraga tertentu.
Yang dimaksud dengan “unit pembinaan dan pelatihan” adalah suatu wadah yang khusus dirancang untuk menampung dan membina para olahragawan peserta didik yang telah diseleksi bakat dan kemampuannya dalam satuan pendidikan.
Pasal 17 :
Cukup jelas
Pasal 18 :
Ayat (1) :
Cukup jelas
Ayat (2) :
Cukup jelas
Ayat (3) :
Huruf a :
155
Cukup jelas
Huruf b :
Cukup jelas
Ayat (4) :
Cukup jelas
Ayat (5) :
Yang dimaksud “alokasi anggaran sektor pendidikan” adalah alokasi
anggaran pendidikan yang tercantum dalam Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota untuk pendidikan anak usia dini
dan pendidikan dasar.
Pasal 19 :
Cukup jelas
Pasal 20 :
Ayat (1) :
Yang dimaksud dengan induk organisasi olahraga Daerah adalah
Komite Olahraga Nasional Indonesia Kota Sukabumi.
Ayat (2) :
Huruf a :
Yang dimaksud dengan “pemassalan” adalah suatu upaya
untuk mengenalkan olahraga kepada masyarakat luas
sehingga masyarakat gemar melakukan kegiatan olahraga
atas kehendak sendiri.
Huruf b :
Cukup jelas
Huruf c :
Cukup jelas
Huruf d :
Cukup jelas
Huruf e :
Cukup jelas
Pasal 21
Ayat (1) :
Yang dimaksud dengan “pemantauan, pemanduan, dan
pengembangan bakat” adalah tahap identifikasi dan seleksi
penetapan bibit olahragawan potensial yang selanjutnya dibina
secara berjenjang dan berkelanjutan sesuai dengan cabang olahraga
tertentu.
Ayat (2) :
Yang dimaksud dengan “sentra pembinaan olahraga adalah suatu
wadah yang dirancang untuk membina dan mengembangkan
olahragawan dan berpotensi sebagai olahragawan Daerah, Daerah
Provinsi, dan nasional.
156
Pasal 22
Ayat (1) :
Cukup jelas
Ayat (2) :
Cukup jelas
Pasal 23 :
Cukup jelas
Pasal 24 :
Ayat (1) :
Cukup jelas
Ayat (2) :
Cukup jelas
Ayat (3) :
Cukup jelas
Ayat (4) :
Cukup jela
Pasal 25 :
Ayat (1) :
Cukup jelas
Ayat (2) :
Cukup jelas
Ayat (3) :
Cukup jelas
Pasal 26 :
Olahraga rekreasi merupakan kegiatan olahraga waktu luang yang dilakukan secara sukarela oleh perseorangan, kelompok, dan/atau masyarakat seperti olahraga masyarakat, olahraga tradisional, olahraga kesehatan, dan olahraga petualangan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat.
Pemulihan kesehatan dan kebugaran jasmani merupakan bagian integral dari kesehatan olahraga.
Pasal 27 :
Ayat (1) :
Yang dimaksud “Perangkat Daerah yang membidangi kesehatan” mencakup Dinas Kesehatan Daerah, dan Rumah Sakit Umum Daerah.
Ayat (2) :
Cukup jelas
Ayat (3) :
Cukup jelas
157
Ayat (4) :
Cukup jelas
Pasal 28 :
Ayat (1) :
Yang dimaksud dengan Induk organisasi olahraga rekreasi Daerah adalah Federasi Olahraga Rekreasi Masyarakat Kota Sukabumi.
Ayat (2) :
Pendataan olahraga rekreasi, dilaksanakan untuk semua jenis
olahraga rekreasi yang tumbuh dan berkembang di Daerah, baik
yang berasal dari budaya Daerah, nasional, maupun serapan asing.
Pasal 29 :
Cukup jelas
Pasal 30 :
Ayat (1) :
Cukup jelas
Ayat (2) :
Cukup jelas
Ayat (3) :
Cukup jelas
Ayat (4) :
Cukup jelas
Pasal 31 :
Ayat (1) :
Cukup jelas
Ayat (2) :
Cukup jelas
Pasal 32 :
Cukup jelas
Pasal 33 :
Ayat (1) :
Yang dimaksud dengan induk organisasi olahraga berkebutuhan khusus Daerah adalah National Paralympic Committee Indonesia Kota Sukabumi.
Ayat (2) :
Cukup jelas
Pasal 34 :
Ayat (1) :
Cukup jelas
158
Ayat (2) :
Cukup jelas
Pasal 35 :
Ayat (1) :
Cukup jelas
Ayat (2) :
Cukup jelas
Ayat (3) :
Cukup jelas
Ayat (4) :
Cukup jelas
Pasal 36 :
Ayat (1) :
Cukup jelas
Ayat (2) :
Cukup jelas
Pasal 37 :
Ayat (1) :
Cukup jelas
Ayat (2) :
Cukup jelas
Ayat (3) :
Cukup jelas
Ayat (4) :
Cukup jelas
Ayat (5) :
Cukup jelas
Ayat (6) :
Cukup jelas
Ayat (7) :
Cukup jelas
Ayat (8) :
Cukup jelas
Pasal 38 :
Ayat (1) :
Cukup jelas
Ayat (2) :
159
Huruf a :
Cukup jelas
Huruf b :
Cukup jelas
Huruf c :
Yang dimaksud dengan “instruktur atau pemandu” adalah
seseorang yang dapat memimpin sekelompok orang dengan
memberikan rangkaian gerak yang dapat diikuti dan dinikmati
oleh pengolahraga.
Huruf d :
Yang dimaksud dengan “wasit” adalah seseorang yang
memilii wewenang untuk mengatur jalannya suatu
pertandingan olahraga.
Huruf e :
Yang dimaksud dengan “juri” adalah orang atau beberapa
orang yang diberi wewenangan untuk menilai atau
memutuskan kalah, seri, atau menang, serta sah atau tidanya
suatu pertandingan olahraga.
Huruf f :
Yang dimaksud dengan “manajer” adalah orang yang memiliki
kewenangan untuk merencanakan, mengatur, memimpin
mengendalikan, dan mengevaluasi kegiatan olahrawan dalam
mencapai pretasi yang optimal.
Huruf g :
Yang dimaksud dengan “promotor” adalah orang yang
bertanggungjawab atas keuangan suatu pertandingan
olahraga.
Huruf h :
Yang dimaksud dengan “administrator” adalah seseorang
yang membantu suatu organisasi olahraga dalam
merencanakan atau menggelar aktivitas olahraga.
Huruf i :
Yang dimaksud dengan “penyuluh” adalah seseorang yang
bekerja untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan
pentingnya berolahraga dalam kehidupan sehari-hari.
Huruf j :
Yang dimaksud dengan “tenaga medis” adalah tenaga ahli
kedokteran yang memberikan pelayanan medis kepada
olahragawan, sesuai mutu, tata cara, dan teknik ilmu
kedokteran dan etik yang berlaku, serta dapat
dipertanggungjawabkan.
160
Yang dimaksud dengan “tenaga kesehatan” adalah profesi
yang memberikan pelayanan medis prarumah sakit dan gawat
darurat kepada olahragawan.
Huruf k :
Yang dimaksud dengan “ahli gizi” adalah seorang profesional
medis yang mengkhususkan diri dalam dietetika kepada
olahragawan.
Dietetika studi tentang gizi dan penggunaan diet khusus.
Huruf l :
Yang dimaksud dengan “biomekanika” adalah Ilmu yang
menggunakan hukum-hukum fisika dan konsep keteknikan
untuk mempelajari gerakan yang dialami oleh beberapa
segmen tubuh dan gaya-gaya yang terjadi pada bagian tubuh
selama aktivitas normal.
Penggunaan biomekanika dalam olahraga adalah untu:
a. mengetahui konsep ilmiah dasar yang diaplikasikan dalam bentuk gerak manusia;
b. memahami suatu bentuk/model gerak dasar dalam olahraga sehingga mampu mengembangkannya dengan baik;
c. mampu memahami perkembangan gerak dasar;
d. mampu menerapkan suatu bentuk yang sesuai dengan karakteristik fisik seseorang dalam berolahraga, dengan baik dan benar.
Huruf m :
Yang dimaksud dengan “psikolog” adalah seseorang yang
berkewajiban merawat kesehatan psikologis individu atau tim
olahragawan yang ditanganinya.
Huruf n :
Cukup jelas
Ayat (3) :
Cukup jelas
Pasal 39 :
Ayat (1) :
Cukup jelas
Ayat (2) :
Cukup jelas
Ayat (3) :
Cukup jelas
Pasal 40 :
Ayat (1) :
Cukup jelas
161
Ayat (2) :
Cukup jelas
Ayat (3) :
Cukup jelas
Ayat (4) :
Cukup jelas
Pasal 41
Ayat (1) :
Cukup jelas
Ayat (2) :
Cukup jelas
Ayat (3) :
Cukup jelas
Pasal 42 :
Ayat (1) :
Cukup jelas
Ayat (2) :
Cukup jelas
Ayat (3) :
Cukup jelas
Ayat (4) :
Cukup jelas
Pasal 43 :
Ayat (1) :
Cukup jelas
Ayat (2) :
Yang dimaksud dengan infrastruktur jalan mencakup pula prasarana
jembatan.
Infrastruktur sumber daya air meliputi saluran pembawa air baku
dan/atau waduk/bendungan.
Ayat (3) :
Cukup jelas
Ayat (4) :
Cukup jelas
Ayat (5) :
Cukup jelas
Ayat (6) :
162
Cukup jelas
Pasal 44 :
Ayat (1) :
Cukup jelas
Ayat (2) :
Cukup jelas
Ayat (3) :
Cukup jelas
Pasal 45 :
Yang dimaksud dengan meniadakan prasarana olahraga dalam ketentuan
ini adalah tindakan/perbuatan menghilangkan prasarana olahraga,
misalnya, melalui penjualan kepemilikan, penggusuran, dan/atau perbuatan
lain yang menyebabkan hilangnya prasarana olahraga.
Yang dimaksud dengan mengalihfungsikan prasarana olahraga dalam
ketentuan ini adalah beralihnya fungsi prasarana olahraga menjadi fungsi
kegiatan lain di luar olahraga.
Pasal 46 :
Ayat (1) :
Cukup jelas
Ayat (2) :
Cukup jelas
Ayat (3) :
Cukup jelas
Pasal 47 :
Ayat (1) :
Yang dimaksud dengan “standar teknis sarana olahraga” adalah
persyaratan khusus yang ditetapkan oleh induk organisasi cabang
olahraga dan/atau federasi internasional cabang olahraga
bersangkutan, antara lain, tentang ukuran, jenis, dan bentuk
peralatan.
Ayat (2) :
Yang dimaksud dengan “standar kesehatan” adalah standar minimal
tentang kesehatan yang dipersyaratkan untuk sarana olahraga.
Yang dimaksud dengan “standar keselamatan” adalah standar
minimal tentang keselamatan yang dipersyaratkan untuk sarana
olahraga.
163
Pasal 48 :
Ayat (1) :
Yang dimaksud dengan “memperhatikan kesejahteraan pelaku
olahraga” antara lain memperhatikan kewajaran pembiayaan dan
perlengkapan yang diperlukan bagi pelaku olahraga sesuai dengan
kategorinya.
Ayat (2) :
Cukup jelas
Ayat (3) :
Huruf a :
Cukup jelas
Huruf b :
Jasa penjualan kegiatan olahraga sebagai produk utama yang
dikemas sesuai dengan profesional meliputi :
a. kejuaraan nasional dan internasional;
b. pekan olahraga daerah;
c. promosi, eksibisi, dan festival olahraga; atau
d. keagenan, layanan informasi, dan konsultansi keolahragaan.
e. Eksibisi adalah bentuk kegiatan olahraga yang bersifat tontonan, pameran, dan peragaan.
f. Festival adalah bentuk kegiatan olahraga yang bersifat perlombaan dan hiburan.
Pasal 49
Ayat (1) :
Cukup jelas
Ayat (2) :
Cukup jelas
Ayat (3) :
Cukup jelas
Ayat (4) :
Cukup jelas
Pasal 50 :
Ayat (1) :
Cukup jelas
Ayat (2) :
Cukup jelas
Pasal 51 :
Cukup jelas
164
Pasal 52 :
Ayat (1) :
Cukup jelas
Ayat (2) :
Cukup jelas
Ayat (3) :
Cukup jelas
Ayat (4) :
Cukup jelas
Pasal 53 :
Ayat (1) :
Cukup jelas
Ayat (2) :
Cukup jelas
Pasal 54 :
Ayat (1) :
Cukup jelas
Ayat (2) :
Huruf a :
Cukup jelas
Huruf b :
Cukup jelas
Huruf c :
Cukup jelas
Huruf d :
Cukup jelas
Huruf e :
Cukup jelas
Huruf f :
Pekan olahraga tingkat wilayah dan Daerah lainnya, antara
lain pekan olahraga pondok pesantren atau pekan olahraga
pendidikan keagamaan sejenis yang diselenggarakan oleh
agama lain.
Ayat (3) :
Cukup jelas
165
Pasal 55 :
Ayat (1) :
Cukup jelas
Ayat (2) :
Huruf a :
Cukup jelas
Huruf b :
Cukup jelas
Huruf c :
Cukup jelas
Huruf d :
Cukup jelas
Huruf e :
Cukup jelas
Huruf f :
Pekan olahraga tingkat nasional lainnya, antara lain pekan
olahraga pondok pesantren atau pekan olahraga pendidikan
keagamaan sejenis yang diselenggarakan oleh agama lain,
pekan olahraga remaja nasional, dan pekan yang bersifat
nasional lainnya
Pasal 56 :
Ayat (1) :
Cukup jelas
Ayat (2) :
Cukup jelas
Ayat (3) :
Cukup jelas
Pasal 57 :
Ayat (1) :
Cukup jelas
Ayat (2) :
Cukup jelas
Pasal 58 :
Ayat (1) :
Cukup jelas
Ayat (2) :
Cukup jelas
166
Ayat (3) :
Cukup jelas
Pasal 59 :
Ayat (1) :
Cukup jelas
Ayat (2) :
Cukup jelas
Pasal 60 :
Ayat (1) :
Cukup jelas
Ayat (2) :
Cukup jelas
Pasal 61 :
Yang dimaksud dengan “hak mengarahkan” adalah orang tua tidak
melakukan intervensi dan mencampuri teknis kegiatan olahraga.
Pasal 62 :
Cukup jelas
Pasal 63 :
Cukup jelas
Pasal 64 :
Ayat (1) :
Cukup jelas
Ayat (2) :
Cukup jelas
Pasal 65 :
Cukup jelas
Pasal 66 :
Cukup jelas
Pasal 67 :
Cukup jelas
167
Pasal 68 :
Cukup jelas
Pasal 69 :
Cukup jelas
Pasal 70 :
Ayat (1) :
Cukup jelas
Ayat (2) :
Cukup jelas
Pasal 71 :
Ayat (1) :
Cukup jelas
Ayat (2) :
Cukup jelas
Pasal 72 :
Ayat (1) :
Cukup jelas
Ayat (2) :
Cukup jelas
Ayat (3) :
Cukup jelas
Ayat (4) :
Cukup jelas
Pasal 73 :
Ayat (1) :
Cukup jelas
Ayat (2) :
Cukup jelas
Ayat (3) :
Cukup jelas
Ayat (4) :
Cukup jelas
Ayat (5) :
Cukup jelas
168
Pasal 74 :
Ayat (1) :
Cukup jelas
Ayat (2) :
Cukup jelas
Pasal 75 :
Cukup jelas
Pasal 76 :
Ayat (1) :
Cukup jelas
Ayat (2) :
Cukup jelas
Pasal 77 :
Cukup jelas
Pasal 78 :
Ayat (1) :
Cukup jelas
Ayat (2) :
Cukup jelas
Pasal 79 :
Ayat (1) :
Cukup jelas
Ayat (2) :
Cukup jelas
Ayat (3) :
Cukup jelas
Ayat (4) :
Cukup jelas