1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG MASALAH
Indonesia merupakan negara dengan latar belakang penduduk yang
majemuk. Warga negara asli Indonesia saja terdiri dari berbagai macam suku
bangsa dari Sabang sampai Merauke. Beragam adat istiadat, norma, agama,
kebiasaan, bahasa, seni dan budaya membaur dan melebur menjadi satu kesatuan
yang harus dilestarikan dan dibanggakan. Kemajemukan tersebut, ditambah
dengan letak geografis, keindahan panorama Indonesia, dan berbagai unsur
lainnya membuat tidak sedikit orang dari berbagai belahan dunia di luar Indonesia
tertarik untuk hanya sekadar berkunjung bahkan tinggal di negara beribu pulau
ini. Orang-orang tersebut tentu datang dengan membawa budaya lain dari asal
negara mereka lalu kemudian berinteraksi dengan masyarakat Indonesia dan
saling beradaptasi dengan budaya baru.
Budaya itu berhubungan dengan cara manusia hidup. Manusia belajar
berpikir, merasa, mempercayai dan mengusahakan apa yang patut menurut
budayanya. Sebagian orang berbicara bahasa Indonesia, sebagian juga ada yang
berbahasa asing, ada juga orang yang berpakaian minim, ada yang berpakaian
tertutup, dan ada juga orang yang meninggal dikubur, dibakar atau dikremasi, dan
lain sebagainya. Semua hal ini disebabkan dari suatu budaya yang telah lama ada
sejak manusia lahir dan pengaruh budaya dalam perkembangan manusia. Menurut
Koentjaraningrat (dalam Mulyana, 1990:18) kata “budaya” merupakan
perkembangan majemuk dari “budi daya” yang berarti “daya dan budi” sehingga
dibedakan antara “budaya” yang berarti “daya dari budi” yang berupa cipta, karsa,
dan rasa, dengan “kebudayaan” yang berarti hasil dari cipta, karsa, dan rasa.
Deddy Mulyana dan Jalaludin Rakhmat berpendapat bahwa budaya adalah
tatanan pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, nilai, sikap, makna, hirarki,
agama, waktu, peranan, hubungan ruang, konsep alam semesta, objek-objek
materi dan milik yang diperoleh sekelompok besar orang dari generasi ke generasi
melalui usaha individu dan kelompok. Budaya juga berkenaan dengan sifat-sifat
2
dari objek-objek materi yang memainkan peranan penting dalam kehidupan
sehari. Objek-objek seperti rumah, alat dan mesin yang digunakan dalam industri
dan pertanian, jenis-jenis transportasi, dan alat-alat perang, menyediakan suatu
landasan utama bagi kehidupan sosial (Mulyana, 1990:19).
Kontak antara masyarakat dari budaya yang berbeda adalah proses alamiah
yang sudah lama terjadi dan bukanlah fenomena baru. Sepanjang sejarah manusia,
manusia telah melakukan perjalanan di seluruh dunia karena berbagai alasan, baik
dalam mencari padang rumput hijau, melarikan diri dari penganiayaan dan
bencana, untuk perdagangan atau untuk menaklukkan dan menjajah, atau mencari
petualangan atau menyenangkan. Kegiatan ini telah menghasilkan pertemuan
masyarakat dari berbagai latar belakang. Proses ini telah menyebabkan perubahan
dalam pola asli kehidupan dan budaya masyarakat yang bersangkutan, serta
pembentukan masyarakat baru. Pertemuan budaya dan perubahan yang dihasilkan
adalah apa yang secara kolektif telah datang untuk dikenal sebagai akulturasi.
(Sam dan Berry, 2006 : 26)
Sementara itu, the International Organization for Migration (IOM) pada
tahun 2004 mendefinisikan akulturasi sebagai ‘adopsi progresif unsur-unsur
budaya asing (ide, kata, nilai, norma, perilaku dan institusi) oleh orang-orang,
kelompok atau kelas tertentu.’ (Sam, 2006 : 11)
Datangnya orang dari luar Indonesia dengan membawa berbagai hal yang
berbeda dari tempat asalnya, tentu menimbulkan proses interaksi dan pertukaran
informasi di antara masyarakat lokal dan pendatang (imigran). Suatu proses
interaktif dan berkesinambungan yang berkembang dalam dan melalui
komunikasi seorang pendatang dengan lingkungan sosio-budaya yang baru itulah
yang disebut dengan proses akulturasi. Proses akulturasi budaya merupakan
proses sosial yang timbul bila suatu kelompok manusia dengan suatu kebudayaan
tertentu dihadapkan dengan unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing dengan
sedemikian rupa sehingga unsur kebudayaan asing tersebut lambat laun diterima
dan diolah kedalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya
kepribadian kebudayaan itu sendiri.
3
Perbedaan yang dibawa oleh pendatang tersebut bisa dalam hal ras, etnik,
sosioekonomi, atau gabungan dari kesemuanya. Perbedaan antarbudaya itulah
yang dapat mempengaruhi pemikiran, perilaku, dan pola komunikasi seseorang
baik secara individu maupun dalam kelompok sosialnya. Salah satu bentuk adanya
komunikasi dalam sebuah akulturasi budaya dapat dilihat pada hasil peninggalan
berupa artefak-artefak, baik berupa karya seni rupa maupun arsitektur yang ada di
suatu daerah.
Akulturasi budaya di Indonesia banyak terdapat di setiap daerah. Baik
dalam hal pengaruh budaya luar seperti budaya Barat, budaya Cina, budaya
Amerika, maupun pengaruh budaya agama lain seperti Hindu, Budha, Konghucu,
Islam, Katolik, Protestan, dan sebagainya. Pengaruh dari berbagai budaya yang
masuk ke Indonesia semakin memperkaya warisan budaya Indonesia dari masa ke
masa. Sebagian dari budaya tradisi ada yang masih eksis bertahan dan dilestarikan
hingga kini, namun sebagian lagi ada yang hampir punah tergerus arus globalisasi
yang berkembang sangat cepat sekarang ini. Hal ini sangat disayangkan karena
budaya merupakan warisan sebuah bangsa yang juga menjadi saksi sejarah
sekaligus harta berharga yang patut terus dilestarikan dan bisa juga dikembangkan
tanpa meninggalkan keaslian unsur budaya yang ada.
Istilah “globalisasi” itu sendiri diciptakan untuk menggambarkan ruang
lingkup perkembangan-perkembangan yang sedang terjadi dalam komunikasi dan
kebudayaan (Featherstone, 1990). Dunia akan menjadi “global village”, yang
menyatu, saling tahu, dan terbuka, serta tergantung satu sama lain (Levitt, 1983).
Kemajuan dalam bidang teknologi yang mempermudah komunikasi karena
menjadikan jarak, ruang, dan waktu bukanlah lagi sebagai pembatas, dapat
menghilangkan batas-batas budaya setiap bangsa sehingga dapat dengan mudah
menerima terpaan dari kebudayaan luar. Menurut Simon Kemoni, sosiolog asal
Kenya mengatakan bahwa globalisasi dalam bentuk yang alami akan meninggikan
berbagai budaya dan nilai-nilai budaya (Khor, 2005). Proses penyesuaian budaya
oleh suatu bangsa dengan perkembangan baru merupakan proses yang alami. Hal
tersebut bertujuan agar mereka dapat mempertahankan eksistensi dengan
melanjutkan kehidupan dan menghindari kehancuran. Tetapi sebuah bangsa harus
4
tetap memperkokoh dimensi-dimensi kebudayaan mereka dan memelihara
struktur nilai-nilainya agar tidak tereliminasi oleh budaya asing.
Salah satu cara untuk memperkenalkan pada dunia tentang kekayaan
budaya yang dimiliki suatu bangsa agar tetap terjaga dimensi dan struktur nilainya
adalah melalui iklan pariwisata di media. Media adalah alat atau sarana yang
digunakan untuk menyampaikan pesan dari komunikator kepada khalayak. Dalam
hal ini media tidak terlepas dari peran dan fungsi dalam penyampaian pesan
(Hafied, 2000: 8). Menurut Hafied (2000: 15) fungsi media antara lain:
1. Pengawasan (Surveillance), adalah memberi informasi dan menyediakan
berita.
2. Korelasi (Correlation), adalah seleksi dan interpretasi informasi tentang
lingkungan.
3. Penyampaian Warisan Budaya (Transmission of the Social Heritage),
merupakan suatu fungsi dimana media menyampaikan informasi, nilai,
dan norma dari suatu generasi ke generasi berikutnya atau dari anggota
masyarakat ke kaum pendatang.
4. Hiburan (Entertainment), dimaksudkan untuk memberi waktu
istirahat dari masalah setiap hari dan mengisi waktu luang.
Kini proses komunikasi untuk memperoleh informasi tidak selalu harus
dilakukan secara tatap muka, melainkan bisa juga melalui media massa seperti
televisi, radio, dan internet sebagai media baru saat ini. Masyarakat sangat
membutuhkan media massa untuk memenuhi kebutuhannya akan informasi yang
selalu berkembang dengan cepat seiring dengan perkembangan zaman. Melalui
media massa, terjadi proses komunikasi dimana penyampaian pesan dapat
memberi suatu pandangan atau suatu sikap yang berasal dari sesuatu yang
memiliki arti dan makna yang kemudian diterima oleh pihak lain. Dalam
penelitian ini menganalisis sebuah iklan pariwisata. Berdasarkan fungsi media
yang telah disebutkan, iklan pariwisata termasuk ke dalam fungsi penyampaian
warisan budaya.
Menurut Effendy (2004: 22-26), lahirnya media massa merupakan salah
satu kemajuan dari dunia informasi dan komunikasi. Media massa menyebarkan
5
pesan-pesan yang mampu mempengaruhi khalayak yang mengkonsumsinya dan
mencerminkan kebudayaan masyarakat, dan mampu menyediakan informasi
secara simultan ke khalayak yang luas, dan membuat media menjadi bagian dari
kekuatan institusional dalam masyarakat.
Dapat dikatakan bahwa media massa dapat menjadi jembatan yang dapat
melintasi jarak, waktu, bahkan pelapisan sosial dalam suatu masyarakat untuk
menghubungkan komunikator dengan komunikan. Media massa juga mempunyai
pengaruh yang besar dalam pembentukan respon dan kepercayaan. Dalam
penyampaian informasi sebagai tugas pokok media massa membawa pula pesan-
pesan persuasif yang dapat mempengaruhi bahkan mengarahkan respon
seseorang.
Sedangkan iklan merupakan salah satu bentuk komunikasi yang terdiri
atas informasi dan gagasan tentang suatu produk yang ditujukan kepada khalayak
secara serempak agar memperoleh sambutan baik. Iklan berusaha untuk
memberikan informasi, membujuk, dan meyakinkan (Sudiana, 1986:1). Iklan
adalah komunikasi non komersil dan non personal tentang sebuah organisasi dan
produk-produknya yang ditransmisikan ke suatu khalayak target melalui media
bersifat massal, seperti televisi, radio, koran, majalah, direct mail, reklame luar
ruang, atau kendaraan umum. Sedangkan menurut Suyanto, periklanan adalah
penggunaan media bayaran oleh seseorang penjual untuk mengkomunikasikan
informasi persuasif tentang produk (ide, barang dan jasa) ataupun organisasi yang
merupakan alat promosi yang kuat (2004:3).
Iklan dapat menjadi media dan cara agar budaya di Indonesia terus terjaga
kelestariannya dan terus dikenal oleh generasi yang akan datang. Salah satu
contohnya adalah melalui iklan pariwisata. Melalui iklan pariwisata, khalayak
tidak hanya mendapat informasi mengenai potensi wisata alam saja melainkan
juga potensi wisata seni dan budaya. Kebudayaan sebagai salah satu aspek dalam
pariwisata dapat dijadikan sebagai suatu potensi dalam pengembangan pariwisata
itu. Melalui iklan pariwisata, sebuah negara dapat memperkenalkan khasanah
budayanya kepada negara lain dan kepada masyarakat lokal sendiri sehingga
6
budaya tersebut tak punah begitu saja. Baik itu budaya asli maupun budaya yang
telah mengalami proses akulturasi.
Di Indonesia sendiri, Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif
memiliki beberapa program kerja untuk terus memajukan pariwisata, seni dan
budaya di Indonesia, salah satunya dengan branding “Wonderful Indonesia” yang
kini telah mendunia. Salah satu wujudnya adalah iklan pariwisata dengan tagline
“Wonderful Indonesia” dimana iklan ini merupakan media informasi dan
sekaligus bersifat persuasif, memperkenalkan potensi wisata alam, wisata seni,
wisata budaya, wisata religi, bahkan wisata kuliner dari tiap-tiap daerah di
Indonesia yang dibuat video dengan format dan tampilan audio-visual yang sangat
apik dan menarik. Video tersebut nantinya diunggah ke kanal Youtube, dan
sekaligus sebagai penjelas informasi tentang pariwisata Indonesia yang ada di
website Kementrian Pariwisata.
Melalui iklan pariwisata “Wonderful Indonesia”, audiens tidak hanya
dapat melihat keindahan panorama suatu daerah di Indonesia yang sedang
dipromosikan, namun juga kekayaan seni dan budayanya. Kekayaan budaya yang
dimiliki suatu daerah dapat diperkenalkan melalui iklan tersebut, tak hanya
budaya asli namun juga hasil akulturasi dari budaya lain yang menambah aset
warisan budaya bangsa yang ada. Hal tersebut penting bagi audiens, terutama bagi
bangsa Indonesia sendiri karena saat ini dinamika zaman telah mengubah sikap
dan perilaku masyarakat. Dengan mengetahui akulturasi budaya yang terjadi di
Indonesia, dapat menumbuhkan sikap toleransi, solidaritas, dan tenggang rasa
sehingga dengan tumbuhnya sikap-sikap tersebut dapat menjadi modal untuk
meningkatkan mutu, kualitas dan karakter bangsa. Agar sikap-sikap tersebut dapat
tumbuh, salah satu caranya ialah mengkomunikasikan bentuk-bentuk akulturasi
budaya melalui media iklan.
Penulis memilih satu iklan pariwisata “Wonderful Indonesia” yaitu pada
episode Jawa Timur. Dalam iklan tersebut banyak sekali ditampilkan seni dan
budaya yang ada di berbagai daerah di Jawa Timur. Setelah melihat iklan tersebut
penulis melihat bahwa Jawa Timur memiliki keberagaman budaya yang
terakulturasi dari budaya lain, yang juga ditampilkan dalam video iklan tersebut.
7
Bentuk-bentuk akulturasi budaya di Jawa Timur pada iklan tersebut dapat dilihat
pada warisan budaya seperti aretefak-artefak, desain arsitektur bangunan, seni dan
tradisi, gaya busana, kuliner, dan sebagainya. Pengaruh-pengaruh budaya dari luar
Jawa Timur yang terakulturasi dengan budaya asli Jawa Timur sendiri semakin
menambah nilai historis dan estetis pada budaya yang indah tersebut. Penulis
memilih iklan pariwisata episode Jawa Timur karena dalam iklan ini lebih
menonjolkan potensi seni dan budaya, dibandingkan dengan episode provinsi-
provinsi lain yang lebih banyak menunjukkan potensi wisata alamnya. Selain itu
juga karena latar belakang penulis yang berasal dari provinsi Jawa Timur sehingga
lebih mudah mengenal lokasi, seni, dan budaya yang ditampilkan dalam iklan
tersebut dan penulis juga ingin memperkenalkan pariwisata Jawa Timur kepada
pembaca penelitian ini.
Untuk itu penulis mencoba untuk meneliti dan menganalisis representasi
akulturasi budaya di Jawa Timur dalam iklan tersebut melalui tanda, objek dan
makna yang tergambar pada visual, audio, dan narasi iklan tersebut. Penulis
menggunakan analisis semiotika Charles Sanders Peirce yang mengkaji
bagaimana makna muncul dari sebuah tanda ketika tanda tersebut digunakan
untuk berkomunikasi. Semiotik melihat kebudayaan sebagai sistem tanda yang
oleh anggota masyarakatnya diberi makna sesuai dengan konvensi yang berlaku
(Hoed, 2008: 6). Dalam kaitannya dengan dunia komunikasi, secara spresifik Alan
O’Connor menggambarkan budaya sebagai proses komunikasi dan pemahaman
yang aktif dan terus-menerus (Connor, 1990). Artinya bahwa masing-masing
pemaknaan orang tentang budaya akan sangat tergantung pada pemahaman
subyektif antar aktor atau subyek di dalam lingkungan kebudayaannya. Meskipun
manusia hidup di alam modern yang serba kompleks, mereka tetap tidak rela
kehilangan jati diri kesukuannya (Morris, 1969). Melalui semiotika yang
digunakan untuk menganalisis iklan tersebut maka akan diketahui simbol, ikon,
dan indeks yang menandakan representasi akulturasi.
Penulis menilai bahwa iklan pariwisata “Wonderful Indonesia” sangat
sesuai ditonton oleh khalayak, terutama generasi muda saat ini yang memiliki sifat
kritis, kreatifitas, daya nalar dan intelektual tinggi, rasa nasionalisme terhadap
8
bangsa dan negara, yang dapat menerima, meresap, menyaring dan memanfaatkan
segala bentuk informasi yang didapat. Agar para generasi muda saat ini tetap
mengenal warisan budaya Indonesia sejak zaman nenek moyang dan dapat
melestarikannya di globalisasi saat ini. Penulis berharap melalui iklan tersebut
audiens yang menontonnya juga dapat terinspirasi dan mengambil pesan penting
terutama dalam hal pelestarian budaya dan menumbuhkan kecintaan terhadap
Indonesia. Oleh karena itu, maka penulis bermaksud menyusun skripsi dengan
judul “REPRESENTASI AKULTURASI BUDAYA DALAM IKLAN (Analisis
Semiotika Iklan Pariwisata “Wonderful Indonesia” Episode “East Java”)”
1.2 RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka yang menjadi pertanyaan
penelitan ini adalah: “Bagaimana akulturasi budaya di Jawa Timur
direpresentasikan dalam iklan pariwisata “Wonderful Indonesia” episode “East
Java”?”
1.3 TUJUAN PENELITIAN
Sesuai dengan perumusan masalah yang telah diuraikan diatas, penulis
berusaha menganalisis bagaimana representasi akulturasi budaya ditampilkan di
dalam iklan pariwisata “Wonderful Indonesia” episode “East Java”. Penelitian ini
memiliki tujuan untuk mengkaji representasi akulturasi budaya di Jawa Timur
melalui penciptaan tanda-tanda visual, verbal, non-verbal, musik dan bahasa yang
digunakan di dalam video iklan tersebut dimana iklan “Wonderful Indonesia”
episode “East Java” merupakan materi promosi wisata Jawa Timur.
1.4 MANFAAT PENELITIAN
1.4.1 Manfaat Akademis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam
perkembangan kajian media, terutama kajian yang berhubungan dengan
representasi akulturasi budaya dalam media. Selain itu kajian ini
diharapkan dapat memberikan pandangan baru dalam kajian komunikasi
9
khususnya pada konsep iklan pariwisata “Wonderful Indonesia”, terutama
ditinjau dari analisis semiotik.
1.4.2 Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi awal bagi penelitian
serupa di masa mendatang. Selain itu juga diharapkan dapat memberikan
informasi dan maanfaat bagi media massa juga wawasan bagi pembaca
agar melestarikan budaya bangsa sendiri dan menghormati budaya bangsa
lain.
1.5 OBJEK PENELITIAN
Objek dalam penelitian adalah simbol-simbol akulturasi budaya di dalam
tayangan iklan pariwisata “Wonderful Indonesia” episode “East Java” yang
berupa visual, audio, dan narasinya.
1.6 KERANGKA PEMIKIRAN
Menurut Nawawi (1995: 39)1 suatu penelitian memerlukan kejelasan titik
tolak landasan berpikir dalam memecahkan masalahnya. Untuk itu disusun
kerangka teori yang memuat pokok pikiran yang menggambarkan dari sudut mana
masalah penelitian akan disorot. Menurut Kerlinger (Rakhmat, 2004: 6)2 teori
adalah himpunan konstruk (konsep), definisi, dan proposisi yang mengemukakan
pandangan sistematis tentang gejala dengan menjabarkan relasi diantara variabel,
untuk menjelaskan dan meramalkan gejala tersebut.
Berdasarkan alasan di atas, maka penulis dalam melaksanakan penelitian
menggunakan kerangka pemikiran dan teori-teori yang relevan dengan topik
permasalahan yaitu :
1.6.1 Iklan : Media Representasi
Representasi adalah penghubungan antara konsep-konsep dan bahasa yang
membuat manusia mampu merujuk dunia objek-objek, orang-orang, dan kejadian-
1 Nawawi, Hadari.1995. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. 2 Rakhmat, Jalaluddin.2002. Metode Penelitian Komunikasi, Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
10
kejadian fiksional yang bersifat imajiner. Representasi akan dapat dipahami ketika
ia berfungsi secara ideologis dalam memproduksi relasisosial yang berbentuk
dominasi dan eksploitasi. Dalam proses representasi tersebut, ada tiga elemen
yang terlibat yaitu objek sebagai sesuatu yang direpresentasikan, tanda,
representasi itu sendiri, dan coding, yakni seperangkat aturan yang menentukan
hubungan antara tanda dengan pokok-pokok persoalan (Noviana, 2002:61).
Gambar dan tanda visual, semirip apapun dengan benda yang mereka acu,
adalah tanda yang membawa makna. Dengan demikian maka harus diinterpretasi.
Foto, iklan, dan visual yang bersifat ikonis dan indeksikal, merupakan representasi
dari objek sebenarnya. Iklan sebagai bagian dari media massa merupakan media
representasi. Sebab, gambar maupun tulisan, caption atau kata-kata yang
dikandungnya merupakan tanda dan representasi dari objek sebenarnya di dunia
nyata. Meski demikian terkadang makna yang dihasilkan penonton/pembaca iklan
bisa berbeda dari makna yang dimaksudkan oleh produsen atau pencipta iklan
(Hal, 2002:32).
Dalam penelitian ini, iklan pariwisata “Wonderful Indonesia” episode
East Java merepresentasikan akulturasi budaya di Jawa Timur yang ditunjukkan
dalam bentuk gambar-gambar yang menampilkan wujud budaya material dan non-
material yang mengalami proses akulturasi. Tak hanya melalui gambar secara
visual, namun ditunjang juga dengan latar musik dan narasi yang merupakan
tanda dan representasi dari objek sebenarnya.
1.6.2 Akulturasi Budaya
Koentjaraningrat dalam bukunya Pengantar Ilmu Antropologi (1980)
mendefinisikan akulturasi sebagai proses sosial yang timbul bila suatu kelompok
manusia dengan suatu kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur-unsur dari
suatu kebudayaan asing dengan sedemikian rupa, sehingga unsur-unsur
kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaan
sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan itu sendiri. Dalam
hal ini terdapat perbedaan antara bagian kebudayaan yang sukar berubah dan
terpengaruh oleh unsur-unsur kebudayaan asing (covert culture), dengan bagian
11
kebudayaan yang mudah berubah dan terpengaruh oleh unsur-unsur kebudayaan
asing (overt culture).
Covert culture misalnya: 1) sistem nilai-nilai budaya, 2) keyakinan-
keyakinan keagamaan yang dianggap keramat, 3) beberapa adat yang sudah
dipelajari sangat dini dalam proses sosialisasi individu warga masyarakat, dan 4)
beberapa adat yang mempunyai fungsi yang terjaring luas dalam masyarakat.
Sedangkan overt culture misalnya kebudayaan fisik, seperti alat-alat dan benda-
benda yang berguna, tetapi juga ilmu pengetahuan, tata cara, gaya hidup, dan
rekreasi yang berguna dan memberi kenyamanan.3
Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia bahwa akulturasi diartikan
percampuran dua kebudayaan atau lebih yang saling bertemu dan saling
mempengaruhi (KUBI, 2001:24). Suyono (1985:15), menyatakan bahwa
akulturasi merupakan pengembilan atau penerimaan satu atau beberapa unsur
kebudayaan yang berasal dari pertemuan dua atau beberapa kebudayaan yang
saling berhubungan atau bertemu. Sedangkan (Lauer, 1993:403) memberi
pengertian akulturasi adalah meliputi fenomena yang dihasilkan sejak kedua
kelompok atau individu yang berbeda kebudayaan mulai melakukan kontak
langsung, yang diikuti perubahan pola kebudayaan asli dari salah satu atau kedua
kelompok itu. Dohrenwend dan Smith (1962) menyatakan bahwa individu lebih
terakulturasi dalam menerima norma-norma, dan cepat mengikuti segala aktivitas
struktural pada suatu kebudayaan baru (Tangkudung, 2000:29).
Berbagai pendapat para ahli tersebut menganai akulturasi dapat dipahami
bahwa akulturasi lahir apabila kontak antara dua kebudayaan atau lebih itu
berlangsung terus menerus dengan intensitas yang cukup. Menurut Joyomartono
(1991:41), akulturasi sebagai akibat kontak kebudayaan ini dapat terjadi dalam
salah satu kebudayaan pesertanya tetapi dapat pula terjadi di dalam kedua
kebudayaan yang menjadi pesertanya. Akulturasi memiliki makna yang berbeda
dengan difusi. Suatu kebudayaan dapat mengambil anasir kebudayaan lain tanpa
terjadinya akulturasi.
3 Koentjaraningrat dalam bukunya Pengantar Ilmu Antropologi (1980)
12
Terkait dengan persoalan tingkat intensitas perpaduan dua kebudayaan
atau lebih, para ahli antropologi mengajukan beberapa istilah yaitu: (1) substitusi;
(2) sinkretisme; (3) adisi; (4) dekulturasi; (5) orijinasi; dan (6) penolakan
(Haviland, 1988:263).
Berdasarkan pendapat yang dikemukakan Haviland tersebut, maka
penjabarannya sebagai berikut:
a. Substitusi, ialah istilah yang digunakan untuk menunjukkan bahwa unsur
atau kompleks unsur-unsur kebudayaan yang ada sebelumnya diganti
dengan unsur-unsur baru yang memenuhi fungsinya, yang melibatkan
perubahan struktural dalam tingkat yang lebih kecil.
b. Sinkretisme, ialah istilah untuk menunjukkan adanya unsur-unsur lama
bercampur dengan yang baru dan membentuk sebuah sistem baru. Dalam
hal ini kemungkinan terjadi adanya perubahan yang berarti.
c. Adisi, yaitu istilah untuk menunjukkan tingkat perpaduan kebudayaan,
dimana unsur atau kompleks unsur-unsur baru ditambahkan pada yang
lama. Dalam hal ini mungkin terjadi atau tidak terjadi adanya perubahan
struktural.
d. Dekulturasi, ialah istilah untuk menunjukkan tingkat perpaduan
kebudayaan, dimana bagian substansi sebuah kebudayaan mungkin hilang.
e. Orijinasi, ialah istilah untuk menunjukkan tingkat perpaduan kebudayaan,
dimana ada unsur-unsur baru untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan baru
yang timbul karena perubahan situasi.
f. Penolakan, ialah istilah yang digunakan untuk menunjukkan kondisi
dimana perubahan mungkin terjadi begitu cepat, sehingga sejumlah besar
orang tidak dapat menerimanya. Kondisi semacam ini dapat menimbulkan
penolakan total, pemberontakan, atau kebangkitan.4
Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering menemui kerancuan dalam
penggunaan kata budaya dan kebudayaan. Tetapi ada perbedaan yang mendasar
antara kata budaya dan kebudayaan. Budaya adalah daya dari budi yang berupa
cipta, karsa dan rasa. Sedangkan kebudayaan adalah hasil dari cipta, karsa dan
4 http://prof‐arkan.blogspot.com/2012/04/akulturasi‐sebagai‐mekanisme‐perubahan.html
13
rasa itu. Talcott Parsons dan A.L. Kroeber (dalam Panuju, 1994) membedakan
kebudayaan sebagai suatu rangkaian tindakan dan aktivitas manusia yang berpola.
Kebudayaan dan tindakan kebudayaan adalah segala tindakan yang harus
dibiasakan oleh manusia dengan belajar (learned behavior). Untuk memahami
kebudayaan yang menjadi penekanan utama adalah persepsi dari pesan dan makna
yang terkandung dari setiap fenomena, tingkah laku maupun peristiwa.
Menurut Gerry Phillipsen (seorang profesor komunikasi dari University of
Washington) budaya sebagai sebuah konstruksi sosial dan transmisi sejarah dalam
bentuk simbol, arti, dasar pikiran dan peraturan (EM Griffin 2003: 420).
Menurut ilmu antropologi, kebudayaan dipahami sebagai keseluruhan
sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan
masyarakat yang dijadikan milik manusia dengan belajar. Budaya sebagai suatu
perkembangan dari kata majemuk budi-daya memiliki arti daya dan budi.
(Darmastuti, 2013:38)
Menurut Liliweri (2003 : 120) dalam Darmastuti, budaya terdiri dari
budaya material dan non material. Budaya material adalah hasil produksi suatu
budaya berupa benda yang dapat ditangkap oleh indera, misalkan pakaian, alat-
alat dan sebagainya. Budaya material tidak hadir dengan sendirinya, tetapi dia
dibangun berdasarkan nilai tertentu. Budaya material dibagi menjadi dua yaitu
overt material dan covert material. Overt material mereflesikan benda nyata
menjadi simbol budaya. Sedangkan covert material merupakan nilai-nilai
kebudayaan yang bersifat abstrak. Contoh overt material dan covert material
adalah keris yaitu sebagai nilai overt material, sedangkan tingkat kedigdayaan dan
kekuatan merupakan covert material (2013: 39-40).
Budaya nonmaterial merupakan budaya yang diwujudkan dalam bentuk
gagasan atau ide-ide yang diikuti dengan kesadaran penuh bahkan dengan penuh
ketakutan kalau orang tidak menjalankannya. Budaya nonmaterial terdiri dari :
1. Nilai
Nilai merupakan komponen evaluatif dari kepercayaan kita, mencakup
kegunaan, kebaikan, estetika dan kepuasan. Nilai bersifat normatif, memberitahu
suatu anggota budaya mengenai apa yang baik dan buruk atau benar dan salah.
14
Nilai membentuk sikap kita tentang sesuatu apakah itu bermoral atau tidak
bermoral, benar atau salah dari suatu objek, peristiwa, tindakan atau kondisi.
2. Norma
Norma merupakan komponen yang mengatur baik atau buruk suatu
tindakan yang ada dimasyarakat. Norma mengatur standar perilaku dalam
kehidupan suatu komunitas. Yang dipertukarkan dalam norma adalah nilai-nilai
budaya yang merupakan standar kelompok, dasar dari kehidupan sebuah
kelompok. Norma merujuk pada perilaku rata-rata yang kita temui dalam
masyarakat. Para sosiolog membedakan norma dalam :
a. Statistical Norms merupakan bentuk yang berulang-ulang dan sering
dipraktekan dalam kehidupan masyarakat.
b. Ideal Norms merupakan seperangkat aturan atau standar perilaku yang
diharapkan dalam semua situasi.
Norma yang kita sering temui dalam kehidupan kita sejari-hari
memiliki bentuk yang bermacam-macam. Bentuk-bentuk norma tersebut adalah
cara, kebiasaan, tata kelakuan (mores), adat kebiasaan (custom), kepercayaan
(belief) dan bahasa.
Budaya yang dimiliki oleh suatu masyarakat tampil dalam tiga wujud.
Tiga wujud kebudayaan tersebut adalah :
1. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-
nilai, peraturan dan sebagainya. Budaya dalam wujud ini sering disebut
dengan adat atau adat istiadat.
2. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktifitas serta tindakan berpola
dari manusia dalam masyarakat. Wujud dalam ini sering disebut sistem
sosial karena manusia yang berinteraksi dan berhubungan serta bergaul.
3. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda dari hasil karya manusia. Ini
sering disebut dengan kebudayaan fisik, wujudnya adalah berupa benda-
benda yang dapat diraba, dilihat dan difoto.
Pada beberapa penjelasan di buku-buku pelajaran Sosiologi (Soekanto,
1990), proses akulturasi tersebut dapat digambarkan seperti berikut:
15
Gambar 1.1 Proses Akulturasi
Ada beberapa istilah yang memiliki makna yang mirip dengan akulturasi
dan terkadang dipertukarkan. Asimilasi, misalkan, sering kali sebagai memiliki
makna yang sama dengan akulturasi. Sebagaimana dikatakan Dedy Mulyana,
terkadang orang saling mempertukarkan istilah “akulturasi” dengan “asimilasi”
sebagai suatu hal yang sama. Padahal, menurut Mulyana, asimilasi cenderung
menonjolkan kesinambungan budaya, yaitu hilangnya identitas budaya yang khas.
Sementara akulturasi hanya menekankan pada perubahan identitas budaya, tanpa
harus kehilangan identitas budaya yang asli. Perbedaan Akulturasi dan asimilasi
adalah bahwa akulturasi merupakan proses dua arah, sedangkan asimilasi
merupakan proses satu arah. Konsep-konsep lain yang mirip seperti akomodasi,
adaptasi, integrasi, absorpsi dan amalgamasi juga digunakan untuk menunjukkan
apa yang terjadi bila dua kelompok budaya atau dua kelompok etnik bertemu
(2006 : 11).
Masyarakat Indonesia terdiri atas tiga lapisan budaya, yaitu kebudayaan
daerah/lokal/suku bangsa; kebudayaan nasional; dan kebudayaan
16
internasional/global, akulturasi budaya terjadi pada ketiga lapisan budaya tersebut,
dengan instensitas dan kapasitas yang berbeda-beda (Hoed, 2011 : 198).
Masyarakat Indonesia adalah masyarakat multikultural yang terpengaruh
oleh berbagai budaya. Bahkan menurut Hoed, transformasi budaya di Indonesia
terjadi sepanjang sejarah, sejak zaman Hindu, zaman Islam dan zaman masuknya
orang Eropa ke Indonesia ratusan bahkan ribuan tahun yang lalu. Perbedaanya
pada masa kini adalah pada kecepatannya. Transformasi budaya pada masa kini
berlangsung sangat cepat, yaitu dalam hitungan bulan dan tahun, sedangkan pada
era sebelumnya akulturasi dapat terjadi dalam hitungan dekade atau abad (Hoed,
2011). Hal ini, terjadi karena adanya revolusi komunikasi dan informasi yang
memungkin setiap orang dari berbagai budaya dapat melakukan kontak tanpa
harus bertatap muka dan bahkan bisa saling berkomunikasi dan berinteraksi
sehingga akulturasi dapat terjadi tanpa harus terhalang oleh faktor ruang dan
waktu.
1.7 KERANGKA KONSEP
1.7.1 Semiotika dan Teks Iklan
Semiotika adalah salah satu tradisi dalam ilmu komunikasi yang
mempelajari tentang tanda. Dalam kajian semiotik, secara luas kajian ini merujuk
pada dunia yang terbentuk atas tanda-tanda, dimana melalui tanda-tanda tersebut
yang kemudian menghubungkan manusia dengan realitas. Tanda merupakan
bagian penting dalam kehidupan manusia.
Konsep tanda juga muncul pada hubungan antar manusia, dimana tanda
tersebut dalam konteks sosial merupakan basis dari segala komunikasi yang
terjadi antar manusia5. Manusia melalui tanda melakukan komunikasi dengan
sesamanya. Tanda terdiri dari dua unsur, penanda dan petanda. Penanda adalah
bentuk citraan atau kesan mental dari sesuatu yang bersifat verbal atau visual,
seperti suara, tulisan atau benda. Sedangkan Petanda adalah konsep abstrak atau
makna yang dihasilkan oleh tanda.
5 Alex Sobur mengutip dari Little John, Semiotika Komunikasi (2009). Remaja Rosda Karya. Bandung.
17
Sedangkan simbol merupakan sejenis tanda, dimana hubungan antara
penanda dan petanda seakan-akan bersifat arbitrer6. Simbol adalah sesuatu yang
berdiri/ada untuk sesuatu yang lain, kebanyakan di antaranya tersembunyi atau
tidaknya tidak jelas. Sebuah simbol dapat berdiri sebagai bagian dari budaya,
institusi, identitas, keyakinan, cara berpikir, ideologi, harapan. Misalnya dalam
penggunaan simbol tertentu sebagai lambang negara
Dalam prakteknya, eksistensi tanda dan simbol membutuhkan kode untuk
dapat dipahami maknanya. Kode merupakan cara pengombinasian tanda yang
disepakati secara sosial, untuk memungkinkan satu pesan disampaikan kepada
yang lain. Kode ini terikat pada suatu sistem sosial dan budaya tertentu. Misalnya
hal ini digambarkan ketika manusia berkomunikasi melalui bahasa. Maka tanda
dalam hal itu dapat dipahami sebagai penggunaan kata dan penggunaan kode
digambarkan sebagai jenis bahasa yang digunakan. Makna dari kata atau tanda
tersebut dapat dipahami ketika bahasa atau kode tersebut terkait dengan
kesepakatan sosial di antara komunitas pengguna bahasa yang bersangkutan.
Tanda terangkai dalam kode-kode yang terkait dengan kesepakatan sosial dan
budaya yang berlaku diantara pengguna kode tersebut.
Piliang (2010 : 307) menyatakan dalam menganalisis kebudayaan dalam
kajian semiotika, maka kebudayaan perlu dilihat sebagai teks, yaitu rangkaian
tanda-tanda bermakna, yang diatur berdasarkan kode atau aturan tertentu. Teks
adalah suatu wujud dari tindak penggunaan tanda dan simbol dalam kehidupan
sosial, yaitu berupa kombinasi seperangkat tanda, yang dikombinasikan dengan
kode atau cara tertentu, dalam rangka menghasilkan makna tertentu.
Dalam prakteknya teks kemudian dikategorikan menjadi dua bagian, yaitu
teks verbal dan teks visual. Dimana teks verbal terdiri teks oral dan teks tertulis.
Teks verbal yang secara sempit disebut sebagai discourse, dan teks tertulis yang
secara sempit disebut sebagai teks, yang termasuk didalamnya adalah puisi, novel,
teks hukum, surat, piagam, nota. Teks visual adalah yang didalamnya melibatkan
6 Arbitrer : konsep dalam semiotika yang menyatakan bahwa hubungan antara petanda dan penanda semata berdasarkan kesepakatan sosial, bukan hubungan alamiah.
18
unsur-unsur visual seperti gambar, ilustrasi, foto, lukisan, citra rekaan komputer
atau system animasi komputer. Termasuk dalam teks visual ini adalah teks
fashion, teks televisi, teks seni (lukisan, patung, tari dan teater), teks arsitektur,
teks film, teks animasi dan juga teks iklan.
Sebagai salah satu bentuk teks dan produk budaya maka iklan pun dapat
dipahami sebagai beragam teks yang dibentuk serangkaian tanda atau simbol yang
terikat oleh kode-kode atau konvensi dari suatu kebudayaan tertentu serta
mempunyai makna yang membentuk wacana atau sebuah pemikiran tertentu. Hal
ini misalnya dapat digambarkan dalam iklan melalui gambar / visual, suara /
musik (audio) dan teks atau narasi dari iklan tersebut.
1.7.2 Membaca Visual Iklan dengan Semiotik Pierce
Berdasarkan klasifikasi Pierce, sesuai dengan deskripsi iklan, maka
peneliti membaca iklan dengan menggunakan klasifikasi tanda yang berelasi
dengan objek. Ikon mencakup pada suara dan gambar yang ada dalam iklan, suara
yang dimaksud adalah suara tokoh atau narator dalam iklan, voice over, dan latar
musik. Kemudian yang dimaksud dengan gambar adalah segala sesuatu yang
bergerak, berwarna, dan menyerupai sesuatu yang sesuai dengan aslinya.
Simbol mencakup tuturan dan tulisan yang ditampilkan iklan, seperti
merk, atau kalimat dari pemeran iklan. Bentuk tanda Pierce bisa saling tumpang
tindih, dalam artian bahwa elemen yang dianggap ikon, bisa juga menjadi simbol
untuk makna tertentu. Teks dalam bentuk visual memungkinkan adanya ideologi
yang tersembunyi. Pierce menyatakan ideologi di balik teks adalah unsur konotatif
yang patut diamati selain dari unsur denotatif berupa objek ataupun tanda itu
sendiri. Teks dalam bentuk iklan dan film memasukkan unsur teknis seperti posisi
kamera (angle dan shot), pencahayaan dan editing,selain dari elemen-elemen fisik
lain yang ada dalam iklan.
1.7.3 Membaca Representasi Lewat Semiotik
Membaca representasi dalam bentuk tanda merupakan kajian dari studi
semiotik. Menurut Umberto Eco, semiotik berkaitan dengan segala sesuatu yang
dapat dianggap sebagai tanda (Sobur, 2003 : xiii). Semiotik merupakan metode
yang berupaya menemukan makna tanda termasuk hal-hal yang tersembunyi di
19
balik sebuah tanda baik termasuk dalam bentuk teks, iklan, dan berita. Semiotik
memelajarisistem-sistem, aturan, konvensi, yang memungkinkan tanda-tanda
tersebut memiliki arti (Kriyantono, 2006 : 263-264). Semiotika memandang
komunikasi sebagai pembangkitan makna dalam pesan, baik oleh penyampai
maupun penerima (encoder atau decoder). Maka bukan saja konsep yang mutlak
dan statis yang bisa ditentukan dengan kemasan pesan, namun pemaknaan
merupakan proses aktif. Makna merupakan hasil dari interaksi dinamis di antara
tanda, interpretant, dan objek. Sehingga makna secara historis ditetapkan dan
mungkin akan berubah seiring perjalanan waktu.
Penelitian ini bermaksud membaca bagaimana representasi mengenai
konsep akulturasi budaya ditampilkan oleh iklan pariwisata “Wonderful
Indonesia” episode East Java. Representasi berusaha digali melalui pembacaan
semiotik dengan menggunakan konsep Charles Shanders Pierce.
1.8 METODOLOGI PENELITIAN
1.8.1 Tipe dan Metode Penelitian
Tipe atau jenis yang digunakan oleh penulis adalah penelitian deskriptif
dengan pendekatan kualitatif. Menurut Bogdan dan Taylor menyatakan bahwa
penelitian kualitatif adalah salah satu prosedur penelitian yang menghasilkan data
deskriptif berupa ucapan atau tulisan dan perilaku orang yang diamati.7
Penelitian deskriptif menurut Kenneth D.Bailey adalah suatu penelitian
yang bertujuan untuk memberikan gambaran tentang suatu fenomena secara detail
(untuk menggambarkan apa yang terjadi).8 Penelitian ini juga memiliki tujuan
melihat gambaran tentang representasi akulturasi budaya dalam iklan pariwisata
“Wonderful Indonesia” episode “East Java”.
Ciri khas metode ini adalah penekanan pada lingkungan yang alamiah
(natural) berarti data yang diperoleh dengan cara yang berbeda di tempat dimana
peneliti itu akan buat. Peneliti melakukan observasi dan menonton program
7 Robert C. Bogdan dan Stevcen, J. Taylor, Introductiion to Qqualitative research methods : a phenoenological Approach inthe social science, alih bahasa Arif Furchan, jhon wiley and son, usaha nasional, surabaya, 1992 hal 21-22 8 Kenneth D. Bailey, Methods of Social Research, Free prees, Newyork, 1982 hal 38
20
tersebut, begitu halnya juga dengan analisis dan interpretasi data (Semiawan, 2010
: 56). Penulis ingin melihat dan memahami kode sosial apa saja yang ada dalam
iklan pariwisata “Wonderful Indonesia” episode “East Java” dan bagaimana
akulturasi budaya di Jawa Timur direpresentasikan.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode Analisis
Semiotika terhadap representasi akulturasi budaya pada iklan pariwisata
“Wonderful Indonesia” episode “East Java” yang diunggah pada Agustus 2013 di
kanal Youtube.
Semiotika berkaitan dengan komunikasi dan merepresentasikan
pemaknaan akan pesan yang didapat lewat proses komunikasi, maka semiotika
juga berdekatan dengan media pendukung dari komunikasi tersebut. Salah satunya
adalah media massa melalui iklan yang dengan cara khususnya sendiri, secara
terperinci mengungkapkan makna-makna yang ada ketika konstruksi realitas
muncul memberikan prespektif lain. Tanda-tanda yang dianalisis dapat
memunculkan makna secara interaktif dan juga dapat dideskripsikan dengan jelas.
1.8.1.1 Semiotika
Semiotika berasal dari kata Yunani yaitu semeion yang berarti tanda.
Semiotika berakar dari studi klasik dan skolastik atas seni logika, retorika, dan
poetika (Tinarbuko, 2008: 11). Semiotika adalah suatu bentuk strukturalisme,
karena ia berpandangan bahwa manusia tidak bisa mengetahui dunia melalui
istilah-istilahnya sendiri, melainkan hanya melalui struktur-struktur konseptual
dan linguistik dalam kebudayaan.
Charles S. Peirce (dalam Budiman, 2008: 3) menyebutkan bahwa
semiotika adalah tidak lain dari pada sebuah nama lain bagi logika, yakni doktrin
formal tentang tanda. Yang menjadi dasar dari semiotika adalah konsep tentang
tanda, tak hanya bahasa dan sistem komunikasi yang tersusun oleh tanda-tanda,
melainkan juga dunia itu sendiri, sejauh yang terkait dengan pikiran manusia.
Penalaran manusia senantiasa dilakukan lewat tanda. Artinya, manusia
hanya dapat bernalar lewat tanda. Dengan demikian, bagi Pierce semiotika adalah
suatu cabang dari filsafat yang mempelajari tentang tanda (sign), berfungsi
21
sebagai tanda, dan juga produksi makna. Tanda adalah sesuatu yang bagi
seseorang berarti sesuatu yang lain (Danesi, 2010: 33).
Semiotika menurut Charles S. Pierce adalah merupakan tentang tanda
sebagai sesuatu yang tidak terpisahkan dari logika (Sobur, 2004: 12). Menurut
Pierce, dalam pengertian yang paling luas, logika adalah “Pemikiran yang
berlangsung melalui tanda”, setara dengan semiotika umum yang tidak hanya
meninjau kebenaran tetapi juga kondisi umum tanda yang menjadi sebuah tanda.
Tanda terkait dengan logika karena tanda adalah sarana pikiran sebagai artikulasi
bentuk-bentuk logika (Kriyantono, 2007: 261).
Pierce mengemukakan teori segitiga makna atau triangle meaning yang
terdiri dari tiga elemen utama, yakni tanda (sign), objek, dan interpretant. Tanda
adalah sesuatu yang berbentuk fisik yang dapat ditangkap oleh panca indera
manusia dan merupakan sesuatu yang merujuk (merepresentasikan) hal lain di
luar tanda itu sendiri. Tanda menurut Pierce terdiri dari Simbol (tanda yang
muncul dari kesepakatan), Ikon (tanda yang muncul dari perwakilan fisik), dan
Indeks (tanda yang muncul dari hubungan sebab-akibat). Sedangkan auan tanda
ini disebut objek. Objek atau acuan tanda adalah konteks sosial yang menjadi
referensi dari tanda atau sesuatu yang dirujuk tanda (Danesi, 2010: 34).
Interpretant atau pengguna tanda adalah konsep pemikiran dari orang yang
menggunakan tanda dan menurunkannya ke suatu makna tertentu atau makna
yang ada dalam benak seseorang tentang objek yang dirujuk sebuah tanda. Hal
yang terpenting dalam proses semiosis adalah bagaimana makna muncul dari
sebuah tanda ketika tanda itu digunakan orang saat berkomunikasi (Kriyanto,
2007: 261). Contohnya ialah saat seorang wanita mengenakan hijab, maka wanita
tersebut sedang mengkomunikasikan mengenai dirinya kepada orang lain yang
bisa jadi memaknainya sebagai simbol kereligiusan. Misalnya ketika aktris Dewi
Sandra memerankan tokoh utama dalam sinetron Catatan Hati Seorang Istri di
televisi swasta RCTI. Tampil sebagai tokoh sentral yang mengenakan hijab
diantara pemeran-pemeran wanita utama lainnya yang tidak berhijab, para
penonton bisa saja memaknainya sebagai ikon wanita muslim yang religius atau
wanita yang shalihah.
22
Tanda adalah basis dari seluruh komunikasi. Manusia dengan perantara
tanda-tanda dapat melakukan komunikasi dengan sesamanya. Kajian semiotika
dibedakan atas dua jenis, yaitu semiotika komunikasi dan semiotika signifikasi
(Sobur, 2006: 15).
Sobur (2006: 16) menjelaskan lebih lanjut mengenai dua jenis kajian
semiotika seperti di bawah ini:
Semiotika komunikasi menekankan pada teori tentang produksi tanda yang salah satu diantaranya adalah mengasumsikan adanya enam faktor dalam komunikasi, yaitu: pengirim, penerima kode, pesan, saluran komunikasi, dan acuan (hal yang dibicarakan). Sedangkan semiotika signifikasi memberikan tekanan pada teori tanda dan pemahamannya dalam suatu konteks tertentu.
Dari penjelasan kedua jenis kajian semiotika tersebut dapat dipahami
bahwa yang paling utama adalah segi pemahaman suatu tanda sehingga proses
kognisi pada penerimaan tanda lebih diperhatikan daripada proses komunikasi itu
sendiri, karena pada hal ini tujuan berkomunikasinya tidak dipersoalkan.
Semiotika sangat luas cakupan penggunaanya dalam berbagai ilmu.
Semiotika yang memiliki konsep tentang tanda dapat diimplementasikan di bidang
ilmu apapun guna untuk memahami lebih jauh mengenai tanda. Seperti halnya
yang dikemukakan oleh Rahayu Surtiati Hidayati (dalam Yuwono dan T.
Christomy, 2004: 77-78) bahwa semiotika dapat dimanfaatkan oleh berbagai ilmu:
arsitektur, kedokteran, sinematografi, linguistik, kesusastraan, bahkan hukum dan
antropologi untuk memahami tanda. Semiotika adalah teori dan analisis berbagai
tanda dan pemaknaan, bukan sebagai hakekat esensial objek.
Ada dua tokoh penting semiotika yang perlu diketahui dan penulis akan
memaparkan secara singkat kaitan diantara para tokoh yang juga merupakan pakar
semiotika tersebut. Yang pertama adalah Ferdinand de Saussure (1857 - 1913)
dari Swiss, yang merupakan orang yang pertama kali mencetuskan gagasan untuk
melihat bahasa sebagai sistem tanda (Danesi, 2010: 36). Semiotika didefinisikan
oleh Ferdinand de Saussure di dalam course in general linguistics, “sebagai ilmu
yang mengkaji tentang tanda sebagai bagian dari kehidupan.” Implisit dalam
definisi Saussure adalah prinsip, bahwa semiotika sangat menyandarkan dirinya
23
pada aturan main (rule) atau kode sosial (social code) yang berlaku di dalam
masyarakat, sehingga tanda dapat dipahami maknanya secara kolektif. Saussure
juga menjelaskan perbedaan antara dua model analisis dalam penelitian bahasa,
yaitu analisis diakronik (diachronic) dan analisis sinkronik (synchronic). Analisis
diakronik adalah analisis tentang perubahan historis bahasa, yaitu yaitu bahasa
dalam dimensi waktu, perkembangan dan perubahannya. Analisis sinkronik,
adalah analisis yang didalamnya kita mengambil irisan sejarah dan mengkaji
struktur bahasa hanya pada satu momen waktu tertentu saja, bukan dalam konteks
perubahan historisnya. Apa yang disebut dengan pendekatan strukturalisme
(structuralism) dalam bahasa, adalah pendekatan yang melihat hanya struktur
bahasa, dan mengabaikan konteks waktu, perubahan, dan sejarahnya.
Tokoh kedua adalah Charles Sander Peirce (1839 - 1914) dari Amerika
Serikat yang mendefinisikan tanda sebagai yang terdiri atas representamen (secara
harfiah berarti ‘sesuatu yang melakukan representasi’) yang merujuk ke objek
(yang menjadi perhatian representamen), membangkitkan arti yang disebut
sebagai interpretant (apa pun artinya bagi seseorang dalam konteks tertentu).
Hubungan antara ketiga dimensi ini tidak bersifat statis, melainkan dinamis.
Pierce juga membuat tipologi 66 jenis tanda dan mengklasifikasikannya sesuai
dengan fungsi yang dimilikinya (Danesi, 2010: 36-37).
Pierce mengadakan klasifikasi tanda. Tanda yang dikaitkan dengan ground
dibaginya menjadi qualisign, sinsign, dan legisign. Qualisign adalah kualitas yang
ada pada tanda, misalnya kata-kata kasar, keras, lemah, lembut, merdu. Sinsign
adalah eksistensi aktual benda atau peristiwa yang ada pada tanda, misalnya kata
kabur atau keruh yang ada pada urutan kata air sungai keruh yang menandakan
bahwa ada hujan di hulu sungai. Legisign adalah norma yang dikandung oleh
tanda, misalnya rambu-rambu lalu lintas yang menandakan ada hal yang boleh
dan tidak boleh dilakukan oleh manusia (Yuwono dan T. Christomy, 2004: 83-
84).
1.8.1.2 Semiotika Charles Sanders Peirce
Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda.
Tanda-tanda adalah perangkat yang kita pakai dalam upaya berusaha mencari
24
jalan di dunia ini, di tengah-tengah manusia dan bersama-sama manusia.
Semiotika atau dalam istilah Barthes, simiologi pada dasarnya hendak
mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things).
Memaknai (to sinify) dalam hal ini tidak dapat dicampur adukan dengan
mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti bahwa objek-objek itu
hendak berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi system tersetruktur dari tanda
(Barthes, 1988:179 dalam Kurniawan,2001:53).
Suatu tanda menandakan suatu selain dirinya sendiri, dan makna
(meaning) ialah hubungan antara suatu objek atau ide dan suatu tanda (Littlejohn,
1996:64). Konsep dasar ini mengikat bersama seperangkat teori yang amat luas
berurusan dengan symbol, bahasa, wacana dan bentuk-bentuk nonverbal, teori-
teori yang menjelaskan bagaimana tanda berhubungan dengan maknanya dan
bagaimana tanda disusun. Secara umum, studi tentang tanda merujuk kepada
semiotika.
Dengan tanda-tanda, kita mencoba mencari keteraturan ditengah-tengah
dunia yang centang-perenang ini, setidaknya agar kita sedikit punya pegangan.
“Apa yang dikerjakan oleh semiotika adalah mengajarkan kita bagaimana
menguraikan aturan-aturan tersebut dan membawanya pada sebuah kesadaran”,
ujar pines (dalam Berger,2000:14).
Dengan semiotika kita lantas berurusan dengan tanda. Semiotika, seperti
kata Lechte (2001:191), adalah teori tentang tanda dan penandaan. Lebih jelasnya
lagi, semiotika adalah suatu disiplin yang menyelidiki semua bentuk komunikasi
yang terjadi dengan sarana sign ‘tanda-tanda’ dan berdasarkan pada sign system
(code) ‘system tanda’ (Segers, 2000:4). Hjelmslev (dalam Cristomy, 2001:7)
mendefinisikan tanda sebagai “suatu keterhubungan antara wahana ekspresi
(expression plan) dan wahana isi (content plan)”. Cobley dan Jansz (1999:4)
menyebutnya sebagai “discipline is simply the analysis og signs or the study of the
functioning of sign system” (ilmu analisis tanda atau studi tentang bagaimana
system penandaan berfungsi). Charles Sanders Peirce (dalam Littlejhon, 1996:64)
mendefinisikan semiosis sebagai “a relationship among a sign, an object, and a
meaning (suatu hubungan diantara tanda, objek dan makna)”. Charles Morris
25
(dalam Segers, 2000: 5) menyebut semiosis ini sebagai suatu “proses tanda yaitu
proses ketika sesuatu merupakan tanda bagi beberapa organisme”.
Charles Sanders Peirce adalah tokoh semiotika yang berlatarbelakang
pendidikan filsafat dan menyebut ilmu yang dibangunnya semiotika. Bagi Peirce
yang ahli filsafat dan logika, penalaran manusia senantiasa dilakukan lewat tanda.
Artinya, manusia hanya dapat bernalar lewat tanda. Dalam pemikirannya, logika
sama dengan semiotik, dan semiotik dapat diterapkan pada segala macam tanda.
Teori dari Pierce sering kali disebut sebagai Grand Theory dalam semiotikanya.
Lebih disebabkan karena gagasan Pierce bersifat menyeluruh, deskripsi struktural
dari semua sistem penandaan. Ia ingin mengidetifikasi partikel dasar tanda dan
menggabungkan kembali semua komponen dalam strukur tunggal (Wibowo, 2013
: 17).
1.8.1.3 Teori Triadic (Segitiga Makna) Charles Sanders Peirce
Peirce melihat subjek sebagai bagian yang tidak dapat dipisahkan dari
proses signifikasi. Model Triadic Peirce memperlihatkan peran besar subjek
dalam proses transformasi bahasa. Tanda menurut Peirce selalu berada di dalam
proses perubahan tanpa henti, yang disebut proses semiosis tak berbatas, yaitu
proses penciptaan rangkaian interpretan yang tanpa akhir (Piliang, 2010 : 310).
Dalam teori Triadic (segitiga makna) Peirce terdapat tiga elemen utama
pembentuk tanda, yaitu sign/representamen (tanda), object (objek), dan
interpretant (interpretan). Peirce berpandangan bahwa salah satu bentuk tanda
adalah kata, sedangkan objek adalah sesuatu yang dirujuk tanda. Sementara
interpretan adalah tanda yang dalam benak seseorang tentang objek yang dirujuk
sebuah tanda. Jika ketiga elemen makna ini berinteraksi dalam benak seseorang,
maka muncullah makna tentang sesuatu yang diwakili oleh tanda tersebut. Teori
Triadic atau segitiga makna Peirce ini berusaha mencari tahu bagaimana makna
muncul dari sebuah tanda ketika tanda itu digunakan orang pada waktu
berkomunikasi. Berdasarkan objeknya, menurut Peirce tanda (sign/representamen)
terbagi atas 3 jenis yaitu, icon (ikon), index (indeks), symbol (simbol).
26
Gambar 1.2 Teori Segitiga Makna (Triangle of meaning)
Teori segitiga makna adalah sebuah teori yang mengupas tentang
bagaimana makna muncul dari sebuah tanda ketika tanda tersebut digunakan
untuk berkomunikasi. Menurutnya, semiotika berangkat dari tiga unsur utama
yang disebut dengan teori segitiga makna atau triangle of meaning, yaitu sebagai
berikut:9
a. Sign (tanda) adalah bagian tanda yang merujuk pada sesuatu menurut cara
berdasarkan kapasitas tertentu.
b. Object adalah sesuatu yang merujuk oleh tanda. Biasanya objek
merupakan sesuatu yang lain dari tanda itu sendiri atau objek dan tanda
merupakan entitas yang sama. Ada beberapa macam objek dalam teori
semiotika yang dikemukakan oleh Charles, yaitu:
- Objek representasi yaitu objek sebagaimana di representasikan oleh tanda.
- Objek Dinamik yakni objek yang tidak tergantung pada tanda, objek inilah
yang merangsang penciptaan tanda.
c. Interpretant merupakan efek yang ditimbulkan dari proses penandaan atau
bisa juga interpretan adalah tanda sebagaimana diserap oleh benak kita,
sebagai hasil penghadapan kita dengan tanda itu sendiri.
9 John Fiske, Cultural and Communication Studies : Sebuah Pengantar Komprehensif, Jalasutra, 2007, hal 63.
27
Tabel 1.1 : Jenis Tanda dan cara kerjanya10
Jenis Tanda Ditandai Dengan Contoh Proses Kerja
Ikon -persamaan (kesamaan)
-kemiripan
Gambar, foto dan
patung
-dilihat
Indeks -hubungan sebab akibat
-keterkaitan
-asap---api
-gejala---penyakit
-diperkirakan
Simbol -konvensi atau
-kesepakatan sosial
-kata-kata
-isyarat
-dipelajari
Dalam penelitian ini, peneliti akan menganalisis iklan pariwisata
“Wonderful Indonesia” episode “East Java” melalui teori segitiga makna Peirce
(sign, object, interpretant) yang penulis susun dalam bentuk tabel seperti di bawah
ini:
Tabel 1.2 : Tabel Analisis Penelitian berdasarkan Teori Segitiga Makna Peirce
SIGN (Tanda) OBJECT INTERPRETANT
Dalam menganalisis iklan pariwisata “Wonderful Indonesia” episode East
Java ini, tampilan visual atau potongan-potongan gambar yang menunjukkan
simbol-simbol akulturasi budaya akan ditampilkan dalam bagan pada bagian sign.
Kemudian penjelasan mengenai potongan-potongan gambar tersebut secara
tekstual akan dijabarkan dalam bagan pada bagian object. Pada bagian object
dalam bagan juga akan disertakan narasi atau voice over yang menyertai gambar
pada iklan. Sedangkan penjelasan mengenai akulturasi budaya yang
direpresentasikan melalui visual dan audio akan dideskripsikan dalam bagan pada
bagian interpretant. Setelah menganalisis dalam format bagan dan memberi
sedikit penjelasan setelahnya, penulis akan menganalisis akulturasi budaya dalam
iklan tersebut pada level realitas, representasi dan ideologi.
10 Indiawan Seto Wahyu Wibowo. Semiotika Komunikasi, Mitra Wacana Media : Jakarta, 2013, hal 18-19.
28
1.8.2 Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data merupakan prosedur yang harus dilakukan. Prosedur
yang sistematik dan standar untuk memperoleh data yang diperlukan. Selalu ada
hubungan antara metode pengumpulan data dengan masalah penelitian yang akan
dipecahkan.
a. Data Primer
Data primer adalah data utama yang terjadi materi penelitian bagi penulis.
Dalam konteks penelitian ini data primernya adalah : visual dan audio dari video
iklan pariwisata “Wonderful Indonesia” episode “East Java” dengan
menggunakan analisis semiotika dengan mencatat tanda, simbol, dialog yang
merepresentasikan akulturasi budaya dalam iklan tersebut.
Dalam penelitian ini penulis melakukan pengamatan dengan melihat
langsung serta mencermati setiap tanda-tanda pada objek penelitian yakni pada
video iklan pariwisata “Wonderful Indonesia” episode “East Java”.
b. Data Sekunder
Guna menunjang penelitian ini dan pengumpulan data. Penulis
membutuhkan data lainnya seperti buku, internet, dan literatur yang dapat
mendukung data primer tersebut.
1.8.3 Fokus Penelitian
Fokus dari penelitian ini adalah akulturasi budaya yang ada di Jawa Timur
yang ditampilkan dalam iklan pariwisata “Wonderful Indonesia” episode “East
Java”, dimana dalam iklan pariwisata tersebut banyak representasi akulturasi
budaya yang ditampilkan.
1.8.4 Teknik Analisis Data
Setelah mendapatkan data dari iklan pariwisata “Wonderful Indonesia”
episode “East Java” kemudian data tersebut diteliti berdasarkan kategori-kategori
yang telah dibuat.
Secara teknis penulis menggunakan analisis semiotika, untuk mengungkap
representasi akulturasi budaya dalam iklan pariwisata “Wonderful Indonesia”
episode “East Java”. Tema yang menjadi penelitian yaitu representasi akulturasi
budaya dalam iklan pariwisata tersebut. Perangkat Analisis Semiotika yang
29
digunakan adalah model Charles S Peirce. Elemen-elemen dalam iklan dalam hal
ini dibagi menjadi tiga tingkat analisis sebagaimana dimodelkan oleh John Fiske:
level realitas (appearances), level representasi, dan level ideologi.
Penulis akan melakukan analisis data dengan teknis berikut:
a. Mendefinisikan objek analisis: Penulis mendefinisikan objek analisis
yaitu representasi akulturasi budaya pada tayangan iklan pariwisata
“Wonderful Indonesia” episode “East Java”..
b. Mengumpulkan teks: Selanjutnya penulis mengumpulkan teks media
yaitu iklan pariwisata “Wonderful Indonesia” episode “East Java” yang
penulis unduh dari Youtube.
c. Menjelaskan teks: Subjek penelitian yang diteliti merupakan video iklan
pariwisata “Wonderful Indonesia” episode “East Java” yang berdurasi 3
menit 13 detik dengan objek penelitian representasi akulturasi budaya
dalam iklan pariwisata tersebut.
d. Menjelaskan kode-kode kultural: Penjelasan mengenai akulturasi
budaya yang ditampilkan dalam iklan tersebut.
e. Kesimpulan: Pada tahap yang terakhir ini, penulis mampu menarik
kesimpulan dari penelitian, “Bagaimana representasi akulturasi budaya
dalam iklan pariwisata “Wonderful Indonesia” episode “East Java”?
1.9 SISTEMATIKA PENULISAN
Agar penelitian ini mengarah ke judul, maka dalam penelitian ini penulis
susun menjadi lima bab dengan rincian sebagai berikut :
BAB I : PENDAHULUAN
Bab ini berisi jenjang-jenjang penelitian yang meliputi rancangan
penelitian. Terdiri dari sub-sub bab tentang latar belakang masalah,
tujuan dan manfaat penelitian, kerangka pemikiran, metodologi
penelitian, dan sistematika pembahasan.
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini berisi tinjauan kepustakaan dari kajian teoritis yang berguna
sebagai alat untuk mengkaji pesan-pesan yang terkandung dalam
30
objek penelitian melalui pembedahan pengertian konsep variabel-
variabel yang menjadi dasar pemikiran yang digunakan dalam
penelitian ini, serta unit analisis yang akan diteliti.
BAB III : TINJAUAN UMUM
Bab ini berisikan tentang tinjauan umum mengenai subjek dan
objek penelitian.
BAB IV : HASIL PENELITIAN & PEMBAHASAN
Dalam bab ini berisikan penyajian data penelitian , pengolahan data
yang telah didapatkan dalam penelitian, dan pembahasan serta
analisis tentang pemecahan masalah.
BAB V : PENUTUP
Pada bab terakhir ini memuat kesimpulan dari semua hal pada bab-
bab sebelumnya dan saran-saran serta kritik yang konstruktif
terhadap konsep dan juga disertai dengan daftar pustaka serta
lampiran-lampirannya.
Recommended