1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Permasalahan utama yang dihadapi oleh pembelajar bahasa kedua adalah
adanya percampuran bahasa atau interferensi bahasa. Menurut Al Wasilah (1985:
131) interferensi dapat mencakup interferensi tata bahasa, interferensi kosakata,
interferensi pengucapan, dan interferensi makna. Seperti halnya yang terjadi
dalam pembelajaran bahasa Inggris oleh penutur asli bahasa Jawa terkhusus
bahasa Jawa dialek Banyumas, yang penuturnya masih belum dapat meninggalkan
serta menanggalkan ciri kebahasaan mereka, terutama terlihat pada saat
menghasilkan ujaran atau kalimat dalam bahasa Inggris. Interferensi tersebut
kemungkinan dapat disebabkan oleh adanya kontak bahasa yang terjadi pada
pembelajar, seperti yang dinyatakan oleh Weinreich (1979:1):‗Two or more
languages will be said to be in contact if they are used alternately by the same
person. The language using individuals are thus the locus of contact.‘
Sebagai dua bahasa yang berbeda, bahasa Inggris maupun bahasa Jawa
dialek Banyumas tentu memiliki perbedaan leksikon, tata bahasa, dan juga cara
pengucapan yang merupakan kekhasan dari masing- masing bahasa tersebut.
Menurut Wedhawati (2010: 20) bahasa Jawa dialek Banyumas memiliki kekhasan
reduplikasi untuk menandai kata benda plural, seperti contoh ; rega ‗harga‘ dapat
direduplikasi menjadi rega- rega sebagai penanda plural dari kata harga, yang
dalam bahasa Jawa dialek standar yang mengenal bentuk reduplikasi sebagian
seperti rerega. Sedangkan kekhasan dalam bahasa Inggris terdapat pada
2
penggolongan kata benda menjadi count noun seperti; rubbish-es, electricity-
ies,advice-s dan mass noun seperti; furnitures, luggages, equipments.(Lock, 1996:
22-24)
Secara umum, terlepas apapun kekhasannya, kebanyakan bahasa memiliki
pola struktur kalimat yang sama seperti yang dikemukakan oleh Zandvoort
(1980:186):
―Most sentences of more than one word consist of two nuclei, one
indicating the person or thing about whom or which a statement is made (or a
question asked), the other containing the statement or the question asked.‖
Dari definisi di atas, diketahui bahwa kalimat adalah struktur yang terdiri
dari dua kata atau lebih biasanya mempunyai dua unsur utama yang disebut
dengan nuclei. Dari pengertian tersebut, diharapkan tidak ada lagi kesulitan
maupun kesalahan dalam menghasilkan kalimat.
Namun demikian, mengingat pola struktur kalimat dalam bahasa Jawa
Banyumas sama dengan bahasa Inggris yaitu S+V+O+C , kesalahan yang dibuat
oleh penutur bahasa Jawa dialek Banyumas pembelajar bahasa Inggris bukan
semata karena ketidakmampuan membuat kalimat yang benar dan berterima
secara gramatikal. Kesalahan akan mulai tampak ketika seorang penutur Jawa
dialek Banyumas harus berurusan dengan bentuk- bentuk khusus yang tidak
terdapat dalam kaidah bahasa Jawa dialek Banyumas, seperti bentuk kala atau
tenses yang mengkaidahkan perubahan kata kerja seiring berubahnya waktu tutur
dan juga kejadian yang terdapat dalam tuturan.
3
Contoh kalimat dalam bahasa Jawa dialek Banyumas dan bahasa Inggris:
1. Inyong mangan tahu. Diterjemahkan menjadi I eat tofu.
2. Inyong mangan tahu wingi. Diterjemahkan menjadi I ate tofu yesterday.
Dan terjemahan yang tidak berterima adalah *I eat tofu yesterday.
Perubahan kata eat menjadi ate dalam fungsinya sebagai verba dalam
bahasa Inggris terjadi karena adanya kata keterangan yaitu yesterday ‗kemarin‘.
Hal ini berbeda dengan konstruksi kalimat dalam bahasa Jawa dialek Banyumas di
mana fungsi verbanya tidak terpengaruh oleh perubahan kala (waktu) dengan kata
keterangan wingi yang artinya adalah ‗kemarin‘. Kaidah perubahan seperti contoh
di atas memberikan tantangan tersendiri bagi pembelajar bahasa Inggris yang
merupakan penutur asli bahasa Jawa dialek Banyumas dan sering melakukan
kesalahan dalam membentuk struktur kalimat dan atau frasa yang tepat dalam
bahasa Inggris.
Selain permasalahan di atas, ada lagi kesulitan yang dialami oleh penutur
bahasa Jawa dialek Banyumas dalam menghasilkan ujaran, tuturan dan atau
kalimat dalam bahasa Inggris, yaitu bentuk- bentuk plural dalam kedua bahasa
tersebut. Mengingat penjelasan di atas bahwa kebanyakan kaidah pembentukan
bentuk plural dalam bahasa Jawa dialek Banyumas adalah berbentuk perulangan
atau reduplikasi kata benda yang dipluralkan, maka sering terujar kalimat:
3. Sapine lemu- lemu. Diterjemahkan menjadi The cows are big. Bentuk yang
tidak berterima adalah *The cow is big- big.
Biasanya kasus seperti di atas terjadi pada pembelajar pemula, baik dalam
memproduksi ujaran secara verbal maupun dalam bentuk tulisan yang
4
mengandung nomina plural. Kesalahan dalam membuat ujaran pada kalimat di
atas disebabkan oleh penutur bahasa Jawa dialek Banyumas yang sudah terbiasa
dengan pengetahuan bahwa pembentukan plural adalah dengan mengulang kata
tersebut apa adanya. Padahal, dalam kasus ini dapat dilihat bahwa kedua kalimat
tersebut yang memiliki makna plural adalah ‗sapi‘ bukan lemu ‗gemuk‘. Dalam
bahasa Jawa dialek Banyumas, fungsi adjektiva ‗lemu‘ (gemuk) direduplikasi
sebagai penanda plural dari sapi. Sedangkan dalam bahasa Inggris, bentuk plural
dinyatakan dengan menambahkan akhiran -s/-es pada nomina (tidak memiliki
bentuk reduplikasi sebagai penanda plural).
Contoh lain yang merupakan interferensi dari bahasa Jawa dialek
Banyumas ke dalam bahasa Inggris dapat dilihat dari contoh berikut;
4. The bigs house in Purwokerto is have by rich people.
Kalimat tersebut merupakan terjemahan dari kalimat Umah gedhé- gedhé
neng Purwokerto duwéké wong sugih. ‘Rumah- rumah besar di Purwokerto adalah
milik orang kaya‘. Interferensi terjadi pada penerjemahan umah gedhé- gedhé
menjadi bigs house. Penambahan akhiran -s dalam kaidah bahasa Inggris
seharusnya disematkan pada kata benda/ nomina house ‗rumah‘, bukan
disematkan pada kata big ‗besar‘ yang merupakan adjektiva. Kesalahan tersebut
terjadi karena interferensi dari bahasa Jawa dialek Banyumas yang mengenal
bentuk plural adjektiva, sehingga yang tertulis adalah bentuk bigs yang
terinferensi dari bahasa Jawa dialek Banyumas gedhé-gedhé bukan houses karena
dalam soal tertulis hanya umah saja.
5
Selain kasus interferensi yang telah disebutkan di atas, terdapat pula
interferensi pengucapan/ pelafalan. Interferensi pengucapan/ pelafalan terjadi
karena adanya perbedaan pengucapan antara bahasa Jawa dialek Banyumas dan
bahasa Inggris, berikut ini adalah contohnya;
5. The bebies in TV has cute face.
Kalimat tersebut adalah hasil terjemahan dari Bocah- bocah bayi sing neng
TV kaé rainé lucu- lucu.
Kata babies terinterferensi menjadi bebies ‗bayi- bayi‘ karena pengucapan/
pelafalannya adalah sama [bebis]. Hal ini terjadi dikarenakan adanya perbedaan
kaidah pengucapan/ pelafalan dengan bentuk ortografinya/ tulisannya. Apabila
dalam bahasa Inggris mengenal perubahan bunyi antara tulisan dan pengucapan
dan pelafan, tidaklah demikian dengan bahasa Jawa dialek Banyumas yang tidak
memiliki perbedaan antara pengucapan/ pelafalan dengan tulisannya.
Selain kesalahan berupa interferensi karena adanya pengaruh bahasa Jawa
dialek Banyumas ke dalam penerjemahan bahasa Inggris, adapula kesalahan yang
berasal dari faktor ketidaktahuan pembelajar bahasa Inggris, seperti pada contoh;
6. The police catch the thiefes last night;The police catch the thief‘s last night.
Kalimat – kalimat tersebut merupakan hasil terjemahan dari kalimat Pak polisi
nangkepi maling- maling mau mbengi.‘Polisi menangkap pencuri- pencuri tadi
malam‘.
Dari contoh di atas dapat dilihat bahwa kesalahan yang terjadi adalah
kesalahan pada pembentukan nomina plural maling- maling menjadi the thiefes.
Kesalahan terjadi karena ketidaktahuan responden dalam membentuk nomina
6
plural dalam bahasa Inggris dengan benar . Kata thief sebagai kata dasar dari
maling ‗pencuri‘, setelah diberi akhiran –s/-es seharusnya berubah menjadi
thieves. Kasus kesalahan yang kedua adalah kesalahan dalam membedakan antara
akhiran –s yang merupakan penanda plural dan‗s yang merupakan penanda
kepemilikan, sehingga thief berubah menjadi thief‘s.
Pitt S.Corder via Parera (1997: 143) menyatakan bahwa contoh- contoh
kasus interferensi dan kesalahan seperti yang telah dijelaskan di atas, dibagi
menjadi dua macam yaitu mistake (kekeliruan) serta error (kesalahan). Adapun
yang dimaksud dengan mistake adalah penyimpangan yang disebabkan oleh
faktor- faktor performance, seperti keterbatasan ingatan, mengeja dalam lafal serta
adanya tekanan emosional. Cara untuk memperbaiki kesalahan semacam ini
adalah dengan selalu mengingatkan penutur atau pembelajar bahasa kedua apabila
melakukan kesalahan.Sedangkan yang disebut sebagai error adalah
penyimpangan- penyimpangan yang sistematis dan konsisten dan menjadi ciri
khas berbahasa siswa yang belajar bahasa pada tingkat tertentu.
Pendapat lain datang dari Brown (2000: 214) dalam membedakan mistake
dan error. Pada penjelasannya, Brown mengemukakan bahwa mistake mengacu
pada kesalahan performance, baik berupa menebak secara acak maupun karena
terpeleset, yang merupakan kegagalan dalam memanfaatkan sistem atau kaidah
yang sudah diketahui secara benar, sedangkan error adalah cerminan porsi
competence si pembelajar bahasa tersebut.
Dari uraian di atas, penulis membuat suatu penelitian kontrastif tentang
bentuk nomina plural dalam bahasa Inggris dan bahasa Jawa dialek Banyumas.
7
Selain itu, penulis juga melakukan studi kasus tentang kesalahan dan interferensi
pembelajar bahasa Inggris penutur bahasa Jawa dialek Banyumas dalam
pembentukan nomina plural dalam bahasa Inggris dan bahasa Jawa dialek
Banyumas.
Nomina plural dalam bahasa Inggris memiliki bentuk tataran kata dengan
penambahan akhiran -s/-es serta bentuk frasa contoh;
- thief menjadi thieves bukan thiefs
- three daughters bukan *three daughter / *daughter three
Berdasarkan penjelasan di atas, penelitian ini mencakup tataran lingual
morfologi dan sintaksis, seperti yang dinyatakan oleh Widdowson (2000: 48)
bahwa ‗Whereas morphology deals with the way words are adapted, syntax deals
with the way they are combined in sentences.‘
Pernyataan Widdowson menjelaskan tentang morfologi yang merupakan
cabang linguistik yang berkenaan dengan pengadaptasian kata- kata, dan sintaksis
yang berkenaan dengan pengkombinasian kata- kata tersebut sehingga
membentuk kalimat. Pernyataan serupa juga disampaikan oleh Ramlan (2001: 23-
24)
―Morfologi mempelajari seluk- beluk kata dan satuan yang paling kecil yang
diselidiki adalah morfem sedangkan satuan yang paling besar adalah kata.
Berbeda dengan sintaksis yang mempelajari hubungan antara kata/ frase/ kalimat
yang lain atau tegasnya mempelajari seluk- beluk frase, klausa, kalimat dan
wacana.‖
Penelitian ini hanya memfokuskan pengkontrasan/ perbandingan satu unit
kebahasaan saja yaitu nomina plural dalam bahasa Inggris dan bahasa Jawa dialek
Banyumas, karena tidak memungkinkan untuk dilakukan perbandingan bahasa
8
dengan melibatkan seluruh elemen dari kedua bahasa tersebut, mengingat masing-
masing bahasa memiliki tingkat kerumitannya sendiri- sendiri. Seperti yang
diungkapkan Halliday, Strevens dan Mc Intosh dalam Corder (1979) yang
menjelaskan studi perbandingan bahasa Inggris dan Urdu sebagai berikut:
―There can be no question of, say, ‗comparing English and Urdu‘. Each
language is a complex of a large number of patterns…….There can be no single
general statement accounting for all of these, and therefore no overall
comparative statement accounting for the differences between two languages. One
maybe able to compare, for instance, the nominal group of English with the
nominal group of Urdu, or English clause structure with Urdu clause structure;
but one cannot generalize from these two comparisons……‖
Dari pernyataan di atas disebutkan bahwa seorang peneliti tidak bisa
melakukan perbandingan dua bahasa seperti contohnya bahasa Inggris dan bahasa
Urdu, karena pada dasarnya setiap bahasa memiliki tingkat kompleksitasnya dan
kesulitannya sendiri- sendiri. Tidak ada satu pun penelitian yang dapat melakukan
perbandingan dua bahasa berbeda secara menyeluruh. Perbandingan dua bahasa
dapat dilakukan apabila objek penelitiaannya dipersempit, contohnya,
perbandingan grup nomina atau perbandingan antara struktur klausa pada dua
bahasa.
Diharapkan tulisan mengenai perbandingan antara nomina plural dalam
bahasa Inggris dan Bahasa Jawa dialek Banyumas ini dapat membantu serta
mempermudah penutur asli bahasa Jawa dialek Banyumas dalam mempelajari
bahasa Inggris khususnya dalam tataran nomina plural.
9
1.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang telah diuraikan, maka dapat dirumuskan beberapa
rumusan masalah yang menjadi pokok pembahasan thesis ini, yaitu:
1. Bagaimanakah bentuk nomina plural dalam bahasa Inggris?
2. Bagaimanakah bentuk nomina plural dalam bahasa Jawa dialek Banyumas?
3. Bagaimanakah persamaan dan perbedaan bentuk nomina plural bahasa Inggris
dan bahasa Jawa dialek Banyumas interferensi seperti apa sajakah yang dibuat
oleh pembelajar Jawa dialek Banyumas dalam menggunakan bentuk nomina
plural dalam menerjemahkan kalimat dalam bahasa Jawa dialek Banyumas ke
dalam bahasa Inggris?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah diuraikan, tujuan dari penelitian
ini adalah sebagai berikut:
1. Mendeskripsikan bentuk nomina plural dalam bahasa Inggris.
2. Mendeskripsikan bentuk nomina plural dalam bahasa Jawa dialek Banyumas.
3. Mendeskripsikan dan menemukan persamaan dan perbedaan bentuk nomina
plural dalam bahasa Inggris dan bahasa Jawa dialek Banyumas serta
mengidentifikasi dan menganalisis interferensi yang dibuat oleh pembelajar
bahasa Inggris penutur bahasa Jawa dialek Banyumas dalam menggunakan
nomina plural.
10
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian mengenai nomina plural bahasa Inggris dan bahasa Jawa ini
memiliki manfaat- manfaat, yaitu:
1.4.1 Manfaat Praktis
Manfaat praktis adalah manfaat yang berkaitan dengan sesuatu yang bersifat
pengamalan, sehingga manfaat praktis dari penelitian ini adalah untuk
mempermudah orang Indonesia penutur bahasa Jawa dialek Banyumas, khususnya
yang berdialek Banyumas, yang mempelajari bahasa Inggris agar lebih
memahami bentuk- bentuk plural pada nomina dalam bahasa tersebut.
1.4.2 Manfaat Teoretis
Dengan adanya penelitian tentang perbandingan bentuk nomina plural dalam
bahasa Inggris dan bahasa Jawa dialek Banyumas diharapkan dapat memperkaya
pengetahuan tentang teori kontrastif, khususnya tentang kedua bahasa, baik
bahasa Inggris maupun bahasa Jawa dialek Banyumas.
1.5 Tinjauan Pustaka
Penelitian yang sudah pernah dilakukan dan menjadi acuan dalam
penelitian ini adalah penelitian berjudul ―Analisis Kontrastif Mikrolinguistik
mengenai fonem bahasa Jawa (dialek Banyumas) dan bahasa Inggris‖ yang ditulis
oleh Bejo Sutrisno (2010). Penelitian ini menjelaskan dengan baik perbedaan
fonem- fonem yang terdapat dalam bahasa Inggris serta bahasa Jawa dialek
Banyumas. Fokus pembahasan penelitian tersebut hanya sampai tataran
perbandingan fonem- fonem dalam bahasa Inggris dan bahasa Jawa dialek
Banyumas, yang memiliki tataran fonologi, maka masih ada peluang untuk
11
melanjutkan penelitian untuk tataran pembandingan dalam konteks satuan lingual
yang lebih luas.
Penelitian berikutnya yang menjadi acuan penulisan tesis ini adalah
penelitian kontrastif yang ditulis oleh Junaidah Nur (2009) yang berjudul ―Klausa
Adverbial Waktu dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris.‖ Dalam
penelitiannya, Junaidah menjelaskan tentang perbedaan bentuk, makna fungsi dan
posisi dari klausa adverbial waktu dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris.
Dijelaskan dalam pembahasan bahwa antara bahasa Indonesia dan bahasa Inggris
memiliki 3 (tiga) bentuk klausa adverbial waktu yaitu konjungsi+ S+P, bentuk
tanpa konjungsi dan bentuk tanpa subjek. Penelitian ini dijadikan sebagai acuan
karena memiliki tataran jenis penelitian yang sama dengan penelitian yang
dilakukan oleh penulis, yaitu penelitian kontrastif, walaupun data penelitian bukan
klausa melainkan frasa.
Penelitian kontrastif yang lain yang dijadikan acuan dalam penulisan tesis
ini adalah tesis yang berjudul ―Frasa Nomina dalam Bahasa Inggris dan Bahasa
Indonesia‖ yang ditulis oleh TMA.Kristanto (2007). Dalam pembahasan,
Kristanto menjelaskan perbedaan bentuk frasa nomina dalam bahasa Inggris dan
bahasa Indonesia yang meliputi pola urutan kata, kategori, fungsi serta makna.
Dijelaskan pula oleh Kristanto bahwa pada prinsipnya frasa nomina antara bahasa
Inggris dan bahasa Indonesia memiliki banyak kesamaan. Penelitian ini dijadikan
acuan dalam penulisan penelitian oleh penulis karena memiliki kesamaan objek
penelitian yaitu berupa frasa nomina.
12
Penelitian selanjutnya yang menjadi acuan adalah tesis tentang analisis
kontrastif yang ditulis oleh Hanifa Gaffari (2012) yang berjudul ―Frase
Preposisional Lokatif dan Temporal dalam Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia:
Analisis Kontrastif‖. Dalam pembahasannya, Hanifa menjelaskan bahwa kedua
bahasa, bahasa Inggris dan bahasa Indonesia, selain memiliki perbedaan juga
memiliki persamaan dalam tataran frase preposisional. Persamaan tersebut
meliputi bentuk, fungsi dan makna. Penelitian ini dijadikan acuan oleh penulis
karena memiliki kesamaan objek penelitian berupa frasa.
Penelitian lain yang menjadi acuan penulis adalah penelitian dari Wiwik
Retno Handayani (2008) yang menulis tesis tentang ―Analisis Kontrastif Urutan
Kata pada Frasa Nomina dan Klausa Verba bahasa Indonesia dan bahasa Jepang‖.
Tesis ini menitikberatkan analisis dan pembahasannya pada ranah sintaksis yaitu
berupa frasa dan klausa. Fokus penelitian yang dilakukan oleh Wiwik adalah
membandingkan pola kalimat antara kedua bahasa tersebut, di mana bahasa
Indonesia berpola SVO, sedangkan bahasa Jepang berpola SOV.
Kemudian beberapa penelitian yang lain lebih menekankan pada penelitian
tentang interferensi. Acuan dalam melakukan penelitian ini adalah penelitian dari
Rahmawati (2010) yang berjudul ―Interferensi Leksikal Bahasa Jawa dalam Koran
Kedaulatan Rakyat‖. Jenis interferensi yang ada dalam penelitian ini adalah antara
bahasa Indonesia dan bahasa Jawa dalam tataran bahasa jurnalistik, dimana
pengamatan yang dilakukan meliputi interferensi nomina, verba dan adjektiva.
Selain itu, acuan penulisan juga didapatkan dari penelitian tentang
interferensi gramatikal yaitu penelitian yang dilakukan oleh Indri Wirahmi Bay
13
(2009) berjudul ―Interferensi Gramatikal Bahasa Indonesia dalam Penggunaan
Bahasa Inggris‖. Data penelitian ini adalah skripsi mahasiswa, dimana fokus
penelitian ini adalah melihat adanya kasus interferensi yang terdapat dalam
penulisan judul skripsi dan penerjemahannya ke dalam bahasa Inggris.
Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Zainudin Dalanggo (2005) berjudul
―Interferensi Gramatikal Bahasa Indonesia ke dalam Bahasa Inggris‖. Fokus dari
penelitian ini adalah melihat adanya kasus interferensi yang terjadi dalam tulisan-
tulisan mahasiswa dalam bahasa Inggris yang terinterferensi dari bahasa
Indonesia. Adapun data penelitian berasal dari hasil tulisan mahasiswa pada mata
kuliah Writing III.
Untuk menambah pengetahuan mengenai bahasa Jawa dialek Banyumas,
maka penulis menjadikan tesis karya Gita Anggria Resticka (2012) yang berjudul
―Frasa Preposisional dalam Bahasa Jawa dialek Banyumas‖ sebagai acuan. Dalam
pembahasannya Gita menjelaskan bahwa jumlah preposisi dalam bahasa Jawa
dialek Banyumas sekitar 33 preposisi dengan bentuk dan varian yang berbeda-
beda dengan tingkat tutur ngoko, madya, dan krama. Selain itu, tesis dari Erwita
Nurdiyanto (2013) yang berjudul ―Unsur Relik Bahasa Jawa Kuna pada Bahasa
Jawa dialek Banyumas dan Bahasa Jawa Standar‖ juga menambah pengetahuan
penulis tentang perubahan- perubahan / inovasi dan atau penetapan/ retensi yang
terjadi dari bahasa Jawa Kuna ke dalam bahasa Jawa dialek Banyumas dan bahasa
Jawa standar. Seperti contohnya leksem /lara/ ‗sakit‘ dalam bahasa Jawa kuna
mengalami retensi dalam bahasa Jawa dialek Banyumas menjadi tetap /lara/
namun mengalami inovasi dalam bahasa Jawa standar menjadi /loro/.
14
1.6 Kerangka Teori
Dalam melakukan penelitian bentuk nomina plural dalam dua bahasa yaitu
bahasa Inggris dan bahasa Jawa dialek Banyumas, diperlukan teori- teori
kontrastif, toeri analisis kesalahan (error analysis), teori pemerolehan bahasa
kedua pada anak- anak dan orang dewasa (SLA/ Second Language Acquisition),
serta teori lainnya yang mendukung serta memperkuat penelitian ini agar menjadi
penelitian yang berkualitas tinggi.
1.6.1 Teori Kontrastif
Tokoh utama pelopor analisis kontrastif adalah Robert Lado. Dalam
bukunya ―Linguistics across Cultures‖, Lado (1960) memperkenalkan dan
menerapkan analisis kontrastif. Hipotesis tentang analisis kontrastif yang
diungkapkannya adalah:
―The plan of the book rests on the assumptions that we can predict and
describe the patterns that will cause difficulty, by comparing systematically the
language and culture to be learned with the native language and culture of the
student,‖
Maksud dari buku ini adalah memberikan asumsi bahwa kita mampu
membuat prediksi dan deskripsi mengenai pola- pola (bahasa) yang sulit, dengan
membandingkan bahasa dan budaya dari kedua bahasa secara sistematis , baik
bahasa asli maupun bahasa target.
Kemudian Lado memperkuat hipotesisnya dengan pendapat C.C Fries:
―The most efficient materials are those that are based upon a scientific
description of the language to be learned, carefully compared with a parallel
description of the native language of the learner.‖
15
Dari definisi tersebut Lado menjelaskan bahwa materi- materi yang paling efisien
adalah deskripsi ilmiah dari bahasa yang dipelajari, kemudian dengan seksama
dibandingkan dengan bahasa asli si pembelajar.
Dalam asumsi tersebut di atas mereka hendak menciptakan suatu teori
linguistik yang cenderung pada analisis kontrastif antara dua bahasa. Seperti yang
dikemukakan di atas bahwa tujuan penelitian kontrastif adalah untuk
mempermudah pembelajar bahasa dalam mempelajari pola dari dua bahasa yang
sulit, serta mencari bahan serta materi yang ilmiah untuk mempermudah dengan
melakukan perbandingan secara sistematis dan dengan menggunakan pendekatan
budaya.
Berikut adalah prosedur dan langkah yang diterapkan oleh Robert Lado
(1960) dalam melakukan analisis kontrastif:
(1) Tempatkan satu deskripsi struktural yang terbaik tentang bahasa- bahasa yang
bersangkutan. Deskripsi ini harus mencakup tataran fonologi, morfologi, sintaksis
dan semantik. Deskripsi ini harus mencakup bentuk, makna serta distribusi.
(2) Rangkum dalam satu ikhtisar yang terpadu semua struktur. Ini berarti seorang
linguis harus merangkum semua kemungkinan pada setiap tataran analisis bahasa
yang diteliti dan dibandingkan.
(3) Bandingkan dua bahasa itu struktur demi struktur dan pola demi pola. Dengan
perbandingan tiap struktur dan pola dalam dua sistem bahasa itu, orang dapat
menemukan masalah- masalah dalam pembelajaran bahasa. Kita akan menentukan
pola- pola yang sama dan berbeda. Dengan demikian, kita dapat meramalkan
16
kemungkinan- kemungkinan hambatan dan kesulitan dalam pembelajaran bahasa-
bahasa tersebut.
1.6.2 Error Analysis / Analisis Kesalahan
Corder dalam bukunya ―Introducing Applied Linguistics‖ (1979: 256)
menyatakan ―All learners make mistakes. This is not confined to language
learners. We all make mistakes when we are speaking our mother tongue.‖
Pernyataan di atas mengandung makna bahwa semua pembelajar bahasa
pasti melakukan kesalahan. Pada pembelajaran bahasa kedua pun, tentu
kesalahan- kesalahan tersebut masih terus terjadi, oleh karena itu muncul teori
yang disebut sebagai analisis kesalahan atau error analysis. Corder (1971) dalam
Cook (2000) menyatakan bahwa ada tiga metode dalam melakukan error analysis
sebagai berikut;
1. Regocnition of idiosyncracy. Pada metode ini peneliti melihat adanya kesalahan
gramatikal yang dilakukan oleh pembelajar bahasa kedua. Analisis pada metode
ini adalah merekonstruksi ulang apa yang sebenarnya pembelajar ingin sampaikan
atau tanyakan, atau dengan memberikan masukan menurut interpretasi peneliti
sendiri.
2. Accounting for the learner‘s idiosyncratic dialect. Pada metode ini peneliti
mencoba mendeskripsikan kalimat- kalimat interlanguage atau bahasa antara
yang terujar dari pembelajar
3. Explanation. Pada metode ini peneliti berusaha untuk menjelaskan
penyimpangan dari bahasa kedua yang tampak pada struktur tata bahasa pada
17
bahasa kedua. Penjelasan yang paling utama menurut Corder adalah interferensi
dari bahasa pertama.
1.6.3 Teori Pemerolehan Bahasa Kedua pada Anak- Anak
Berbicara mengenai pemerolehan bahasa pada anak- anak, beberapa ahli
memiliki pendapatnya masing- masing, yang pertama adalah pendapat dari
Fillmore dalam Krashen (2002: 93) yang mengatakan bahwa seorang anak akan
dapat memperoleh bahasanya dengan baik apabila dia diajari berbicara bahasa
yang benar sesuai dengan kaidah tata- bahasa tertentu yang dipeajari
―The strategy of acquiring formulaic speech is central to the learning of
language ; indeed, it is this step that puts the learner in a position to perform the
analysis which is prerequisite to acquisition. The formulas…..constituted the
linguistic material on which a large part of their (the children‘s) analytical
activities could be carried out…. Once they were in the learner‘s repertory as
well as with those produced by other speakers.‖
Pernyataan di atas menjelaskan bahwa strategi dalam memahami dan
mengerti rumus/ kaidah dari suatu bahasa adalah hal awal yang harus dikuasai
oleh seorang pembelajar bahasa; dalam tahap ini pembelajar diharapkan mampu
untuk melakukan analisis yang mengarah pada akuisisi/ penguasaan bahasa.
Rumusnya tergabung dalam materi kebahasaan yang dapat meningkatkan aktivitas
analitik…Sesekali mereka belajar dari mengulang- ulang kata- kata atau kalimat
dan atau mempelajari dari apa yang orang lain katakan.
Pada pemerolehan bahasa kedua pada anak- anak, sering kali atau bahkan
selalu terjadi adanya kontak antara pola dari bahasa pertama dengan bahasa kedua
yang baru dipelajari setelahnya. Dalam teori yang diungkapkan oleh Stephen
Krashen (2002: 86) bahwa seorang anak mempelajari bahasa pertamanya dengan
cara yang khusus, dengan dibantu oleh ‗guru‘nya yaitu ibunya sendiri. Bahasa
18
pertama menjadi sangat difahami oleh anak- anak, karena seorang ibu akan
cenderung mengajarkan bahasa yang sederhana dan berdimensi ‗sekarang‘ dan di
sini. Tidak ada tendensi untuk mempersulit dengan memberikan suatu
pengandaian dan atau bahasa yang membuat anak menjadi bertambah tidak faham
dengan ucapannya sendiri dan atau tidak memahami ucapan yang diucapkan oleh
orangtua maupun orang- orang di sekitarnya.
Menurut Richards (1971) and Buteau (1970) melalui Sugesti (2004),
menyatakan kesalahan pemerolehan bahasa kedua pada anak- anak terpengaruh
oleh pola kebahasaan bahasa pertama, seperti yang dikutip dari pernyataan
berikut:
―Subsequent empirical studies of errors made by second language
studentsled to discovery, however, that many errors are not traceable to the
structure of the first language, but are common to second language performers of
different linguistic backgrounds.‖
Dari pernyataan di atas secara empiris, kesalahan dalam pembelajaran
bahasa kedua terjadi karena adanya ketidakmampuan untuk menemukan bentuk
yang tepat dari bahasa pertama yang dapat diaplikasikan dalam bahasa kedua.
Namun hal tersebut lumrah terjadi pada pembelajar bahasa karena perbedaan latar
belakang tata bahasa.
Pemerolehan bahasa pertama yang bersifat alamiah dan berkesinambungan
serta dipelajari bersama ‗guru‘ yang fleksibel yaitu orang tua ini, membuat
seorang anak merasa ‗nyaman‘ untuk berbicara dengan menggunakan pola dari
bahasa pertama, termasuk pada saat anak tersebut memulai proses pemerolehan
bahasa keduanya.
19
Kenyataan ini, menurut Stephen Krashen (2002), dikarenakan adanya
routines and patterns yang terjadi pada anak- anak untuk memperoleh bahasa atau
yang diterjemahkan sebagai ‗kebiasaan berbicara dan juga pola kebahasaan
tertentu‘ yang sudah tertanam pada diri si anak sejak dini dan dijadikan sebagai
pedoman ketika dia mempelajari bahasa lain yang mungkin baginya tampak
serupa namun sebenarnya berbeda.
Penelitian lain dilakukan oleh Hatch (1972) dalam Krashen (2002) yang
melakukan pengamatan terhadap seorang anak bernama Paul yang berusia 4
tahun, yang merupakan keturunan Cina. Dia adalah seorang siswa pra TK yang
sedang mulai belajar berbahasa Inggris dari lingkungannya. Pada bulan- bulan
pertama Paul mengimitasi atau meniru apa yang dia dengar dari percakapan orang
lain, sehingga terujarlah kalimat sederhana seperti;
1. This kite
2. Ball no
3. Paper this
4. Wash hand?
Kemudian pada saat yang bersamaan Paul dapat mengujarkan kalimat
yang lebih kompleks seperti;
5. Get out of here
6. It‘s time to eat and drink
Tampak pada contoh- contoh ujaran yang dihasilkan oleh Paul pada
kelompok atas menunjukkan kalau dia berusaha untuk membentuk kalimat dengan
kreasinya sendiri dari hasil menirukan namun mengalami kegagalan. Sedangkan
20
pada kelompok bawah dimungkinkan bahwa ujaran- ujaran tersebut merupakan
hasil dari menirukan apa adanya tanpa adanya kreativitas, sehingga ujaran tersebut
boleh dikatakan sempurna tanpa kesalahan.
1.6.4 Teori Pemerolehan Bahasa Kedua Pada Orang Dewasa
Pada kasus pemerolehan bahasa kedua pada orang dewasa, peneliti
bernama Hanania dan Gradman (1977) dalam Krashen (2000) melakukan
pengamatan pada seorang wanita muda berusia 19 tahun bernama Fatmah yang
merupakan keturunan Arab. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat
disimpulkan bahwa perkembangan berbahasa Inggris Fatmah tidak lebih seperti
bahasa pada konteks anak- anak, sehingga dia tidak memahami kata demi kata
yang dia ucapkan namun lebih pada yang lebih bersifat kombinasi kata- kata
seperti; thank you, I can‘t…, Do you like….?
Hal lain yang menarik lagi pada kasus Fatmah adalah ketika ada ujaran
seperti see you ‗sampai jumpa lagi‘ lebih dimaknai sebagai I‘ll be seeing you
‗Saya akan menemuimu‘. Hal- hal semacam ini yang umum menjadi kendala
dalam pembelajaran bahasa kedua oleh orang dewasa, menurut Hanania dan
Gradman, seorang dewasa ,seperti contoh kasus Fatmah di atas, akan lebih kreatif
dalam mempelajari bahasa serta tidak mudah untuk meniru atau mengimitasi pola-
pola yang didengarnya namun akan lebih selektif dalam memilih contoh yang
tepat untuk kemudian dikembangkan menjadi elemen yang lebih kompleks
walaupun pola yang terproduksi mungkin mirip dengan bahasa pertamanya,
seperti yang terkutip berikut;
―The adult in the present study proceeded to learn the language
creatively. She did not simply imitate models of the language but acquired
21
elements selectively and built them into syntactic units which became
progressively more complex. The pattern of her linguistic development was
similar to that of first language learners. Early complexity occurred along the
same lines.‖ (Krashen, 2000: 97)
1.7 Metode Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian kontrastif yang bertujuan melakukan
perbandingan unsur- unsur kebahasaan dari dua bahasa yang berbeda. Dalam
penelitian kontrastif, seperti halnya juga penelitian yang lain, memiliki tiga
tahapan, yaitu tahap pengumpulan dan penyediaan data, tahap analisis data dan
tahap penyajian hasil penelitian (Mahsun, 2005: 30). berikut adalah uraian tentang
ketiga tahapan tersebut;
1.7.1 Tahap Pengumpulan atau Penyediaan Data
Data penelitian ini berupa kalimat-kalimat yang mengandung bentuk
nomina plural dalam bahasa Inggris dan bahasa Jawa dialek Banyumas serta data
berupa kalimat dalam bahasa Inggris yang mengandung nomina plural yang
diperoleh dari tulisan mahasiswa- mahasiswa yang merupakan penutur asli Bahasa
Jawa dialek Banyumas.
Metode yang digunakan dalam mengumpulkan data penelitian ini adalah
studi pustaka dan simak. Studi pustaka digunakan dalam mengumpulkan bentuk-
bentuk nomina plural dalam bahasa Inggris dan bahasa Jawa dialek Banyumas,
mengingat penulis adalah penutur asli bahasa Jawa dialek Banyumas maka
penulis memiliki pengetahuan yang cukup memadai tentang pembentukan nomina
plural dalam bahasa Jawa dialek Banyumas, oleh karenanya penulis juga mampu
untuk memberikan deskripsi serta penjelasan tentang nomina plural dalam bahasa
Jawa dialek Banyumas.
22
Data yang didapatkan dari mahasiswa- mahasiswa, yang kemudian disebut
sebagai responden, adalah hasil tulisan berupa kalimat- kalimat yang
mengandung nomina plural dalam bahasa Inggris yang merupakan terjemahan
dari kalimat- kalimat bahasa Jawa dialek Banyumas baik bentuk kalimat tunggal
maupun paragraf. Selanjutnya data yang sudah ada tersebut dikumpulkan dengan
menyimak setiap kalimat yang sudah terkumpul untuk dilihat kesalahan dan
interferensi yang terjadi dan kemudia mencatatnya sehingga dapat dijadikan
sebagai data penelitian. Seperti pernyataan dari Sudaryanto (1993) bahwa
―metode simak yaitu dengan menyimak penggunaan bahasa secara tertulis dan
kemudian juga menggunakan teknik catat sebagai teknik lanjutan untuk mencatat
segala bentuk- bentuk kebahasaan yang releven dijadikan sebagai teknik untuk
pengumpulan data pada penelitian ini.‖
1.7.2 Tahap Analisis Data
Metode yang digunakan dalam analisis data adalah metode kontrastif,
yaitu metode analisis yang dilakukan dengan melihat adanya persamaan maupun
perbedaan bentuk nomina plural dalam bahasa Inggris dan bahasa Jawa dialek
Banyumas.
Metode lain yang digunakan untuk menganalisis data temuan dalam
penelitian ini adalah metode padan translasional, karena alat penentunya adalah
bahasa lain di luar yang diteliti (Jati Kesuma, 2007: 51). Dalam hal ini yang
menjadi objek penelitiannya adalah bentuk nomina plural, dalam tataran
penerjemahan nomina plural dalam kalimat dari bahasa Jawa dialek Banyumas ke
dalam bahasa Inggris. Caranya adalah dengan mengidentifikasi kesalahan dan
23
interferensi yang terjadi dalam penerjemahan nomina plural dari kalimat- kalimat
bahasa Jawa dialek Banyumas ke dalam bahasa Inggris sebagai konsekuensi dari
adanya perbedaan bentuk nomina plural pada dua bahasa tersebut.
1.7.3 Tahap Penyajian Hasil Penelitian
Hasil penelitian nomina plural bahasa Inggris dan bahasa Jawa dialek
Banyumas disajikan dalam bentuk laporan penelitian. Laporan penelitian bidang
kontrastif ini akan disajikan dalam bentuk informal yaitu dengan menuliskan hasil
penelitian dalam bentuk paragraf.
1.8 Sistematika Penyajian Hasil Penelitian
Hasil penelitian ini disajikan dalam 5 bab, dengan rincian sebagai berikut;
Bab I berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat
penelitian ; tersaji dalam manfaat praktis dan teoretis, tinjuauan pustaka, landasan
teori, metode penelitian, dan sistematika penulisan; Bab II berisi mengenai bentuk
nomina plural Bahasa Inggris; Bab III berisi penjelasan bentuk nomina plural
dalam bahasa Jawa dialek Banyumas; Bab IV berisi penjabaran persamaan dan
perbedaan bentuk nomina plural dalam bahasa Inggris dan bahasa Jawa dialek
Banyumas beserta identifikasi kesalahan dan interferensi dalam penerjemahan
kalimat dalam bahasa Jawa dialek Banyumas ke dalam bahasa Inggris yang
dilakukan para responden; Bab V berisi kesimpulan yang merangkum temuan-
temuan dalam penelitian mengenai ;bentuk – bentuk nomina plural dalam bahasa
Inggris, bentuk- bentuk nomina plural dalam bahasa Jawa dialek Banyumas;
persamaan dan perbedaan bentuk nomina plural dalam bahasa Inggris dan bahasa
Jawa dialek Banyumas serta identifikasi variasi kesalahan dan interferensi dalam
24
penerjemahan nomina plural dari bahasa Jawa dialek Banyumas ke dalam nomina
plural dalam bahasa Inggris oleh responden.