1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pertahanan negara adalah upaya untuk menegakkan kedaulatan
negara, mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI), dan keselamatan segenap bangsa dari ancaman militer
serta ancaman bersenjata terhadap keutuhan bangsa dan negara
(Dephan, 2010).
Terlahir dari perjuangan bangsa Indonesia, Tentara Nasional
Indonesia Angkatan Darat (TNI AD) memberikan kontribusinya sesuai
kemampuan, kompetensi, dan profesinya yang berdasarkan Pancasila
dan UUD 1945 dalam rangka menegakan kedaulatan serta keutuhan
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (Mabes TNI AD, 2005).
Salah satu unsur yang menetukan keberhasilan dari tegaknya
kedaulatan Negara adalah kualitas dari seorang prajurit TNI AD. Kualitas
fisik ditentukan oleh tiga hal yaitu ukuran bobot manusia, masukan untuk
bobot manusia serta daya tahan fisik. Masukan gizi yang cukup kuantitas
dan kualitasnya, diperlukan untuk pembangunan, baik fisik maupun
mental (Depkes, 1991).
Kesehatan militer merupakan upaya kesehatan yang dilakukan
untuk meningkatkan kemampuan fisik dan mental guna menyesuaikan diri
terhadap lingkungan yang berubah secara bermakna baik di lingkungan
darat, laut dan udara. Salah satu kesehatan kerja militer adalah gizi
prajurit dilapangan yang mencakup kebutuhan gizi prajurit, gizi prajurit
dalam latihan, gizi prajurit dalam pertempuran (Kesad,2010).
Untuk mencapai derajat kesehatan yang optimal, mutlak diperlukan
sejumlah zat gizi yang harus didapatkan dari makanan dalam jumlah
sesuai dengan yang dianjurkan setiap harinya (Karyadi dan Muhilal,
1996). Kecukupan asupan kalori dan gizi serta kondisi kesehatan para
1
2
prajurit menjadi sangat penting agar mereka memiliki kemampuan dan
keahlian untuk berlatih dan bertempur dengan baik (Chrisnandi, 2007).
Berdasarkan hasil penelitian Anggraeni, 2010 mengenai tingkat
konsumsi energi dan protein dengan status gizi siswa Pusdik Armed
Cimahi menyatakan bahwa 45 orang (94,7%) memiliki tingkat konsumsi
energi baik, 44 orang (93,6%) memiliki tingkat konsumsi protein baik, 45
orang (95,7%) status gizinya normal dan 2 orang (4,3%) status gizinya
kurang baik.
Prajurit pada hakekatnya telah mengenal arti dan guna makanan
secara harfiah, tetapi pada dasarnya prajurit belum meyadari sepenuhnya
kepentingan makanan dalam menyusun pertumbuhan dan perkembangan
fisiknya. Karena itu dalam penyelenggaraan penyediaan makanan,
kebutuhan masyarakat akan makanan perlu dipadukan dengan pola
kebiasaan makan dan sosial budaya klien, sehingga makanan perlu
dipadukan dengan pola kebiasaan makanan yang disajikan dapat diterima
klien (Mukrie, 1990).
Prinsip yang mendasari dalam penyelenggaraan makanan institusi
dan harus dipertimbangkan adalah menyediakan makanan sesuai dengan
jumlah dan macam zat gizi yang diperlukan konsumen secara
menyeluruh, dipersiapkan dengan citarasa yang tinggi, dilaksanakan
dengan cara kerja yang memenuhi syarat kesehatan dan sanitasi yang
layak.(Mukrie, 1990).
Dari hasil penelitian Fathonah, 2003 mengenai persepsi siswa
terhadap cita rasa dengan daya terima makan siang di asrama Wing Dik
Tekkal TNI AU Lanud Husein Sastranegara,menyatakan bahwa 46.03%
dari 63 siswa menyatakan cita rasa nya kurang baik dikarenakan kurang
bumbu, variasi makanan kurang dan besar porsi kurang sesuai.
Sedangkan berdasarkan hasil penelitian Handayani, 2003 mengenai
hubungan antara kualitas makanan dengan asupan energi dan protein
siswa Wing Dik Tekkal TNI AU Lanud Husein Sastranegara, menyatakan
3
bahwa asupan energi dan proteinnya 32 orang (50,8%) baik dan 31 orang
(49,2%) kurang.
Batalyon Infanteri 310/KK Cikembar Sukabumi merupakan institusi
militer sebagai satuan operasional Brigif 15 Kujang II . Dalam
memenuhi kebutuhan gizi prajuritnya, maka Batalyon Infanteri 310/KK
Cikembar Sukabumi menyelenggarakan makanan institusi bagi Bintara
dan Tamtama yang tinggal di asrama/barak yang dilaksanakan secara
swakelola. Tetapi, tidak semua prajurit remaja yang tinggal dibarak
mengambil jatah makannya dari dapur umum. Hal itu terjadi karena
kejenuhan dari menu yang disediakan di dapur umumnya. Kejenuhan
menu yang ada akan berdampak pada tidak mau makan sehingga akan
mempengaruhi asupan zat gizi prajurit remaja tidak sesuai dengan
kebutuhannya.
Dengan adanya hal tersebut diatas dan belum pernah dilakukan
penelitian sebelumnya dengan judul dan sampel yang sejenis, maka
penulis tertarik untuk mengadakan penelitian tentang hubungan antara
cita rasa makan siang yang disajikan dengan asupan energi dan asupan
protein Prajurit Remaja Batalyon Infanteri 310/KK Cikembar Sukabumi.
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka perumusan masalahnya
apakah ada hubungan antara cita rasa makan siang yang disajikan
dengan asupan energi dan asupan protein Prajurit Remaja Batalyon
Infanteri 310/KK Cikembar Sukabumi Tahun 2011?
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui
hubungan antara cita rasa makan siang yang disajikan dengan
asupan energi dan asupan protein Prajurit Remaja Batalyon Infanteri
310/KK Cikembar Sukabumi.
4
1.3.2 Tujuan Khusus
1.3.2.1 Mengetahui gambaran umum (latar belakang, struktur
organisasi, dan jumlah prajurit) Batalyon Infanteri
310/KK Cikembar Sukabumi;
1.3.2.2 Mengetahui gambaran penyelenggaraan makanan
asrama di Batalyon Infanteri 310/KK Cikembar
Sukabumi yang meliputi jumlah konsumen, pola menu,
pola makan, standar porsi, siklus menu, dana dan
tenaga;
1.3.2.3 Mengetahui karakteristik Prajurit Remaja Batalyon
Infanteri 310/KK Cikembar Sukabumi meliputi umur,
pangkat, tinggi badan, berat badan;
1.3.2.4 Mengetahui gambaran mengenai penilaian sampel
terhadap cita rasa makan siang dari segi penampilan
yang meliputi warna, konsistensi, besar porsi, bentuk,
penyajian makanan yang disajikan;
1.3.2.5 Mengetahui gambaran mengenai penilaian sampel
terhadap cita rasa makan siang dari segi rasa yang
meliputi suhu, tekstur, aroma, bumbu, dan tingkat
kematangan makanan yang disajikan;
1.3.2.6 Mengetahui asupan energi sampel;
1.3.2.7 Mengetahui asupan protein sampel;
1.3.2.8 Mengetahui hubungan antara cita rasa makan siang
yang disajikan dengan asupan energi sampel;
1.3.2.9 Mengetahui hubungan antara cita rasa makan siang
yang disajikan dengan asupan protein sampel.
5
1.4 Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini terbatas mengenai hubungan antara cita
rasa makan siang yang disajikan dengan asupan energi dan asupan
protein Prajurit Remaja Batalyon Infanteri 310/KK Cikembar Sukabumi.
1.5 Manfaat Penelitian
1.5.1 Bagi Peneliti
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sarana belajar untuk
mengaplikasikan ilmu yang didapatkan dalam perkuliahan dan dapat
meningkatkan pengetahuan tentang penyelenggaraan makanan
institusi, khususnya di lingkungan Batalyon Infateri 310/KK Cikembar
Sukabumi.
1.5.2 Bagi Institusi
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan
masukan kepada institusi Batalyon Infateri 310/KK Cikembar
Sukabumi mengenai hubungan antara cita rasa makan siang yang
disajikan dengan asupan energi dan asupan protein Prajurit Remaja
Batalyon Infanteri 310/KK Cikembar Sukabumi.
1.5.3 Bagi Sampel
Penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan dan
kesadaran tentang pentingnya asupan gizi yang sesuai dengan
kebutuhan untuk mendapatkan fisik yang tangguh, produktifitas yang
tinggi, mental yang kuat, dan kesehatan yang prima.
1.5.4 Bagi Jurusan Gizi Poltekkes Kemenkes Bandung
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai bahan
tambahan referensi mengenai gizi institusi dan untuk bahan
pengembangan penelitian bagi para mahasiswa selanjutnya.
6
1.6 Keterbatasan Penelitian
1.6.1 Responden kurang terbuka dalam memberikan jawaban
kuesioner yang menyangkut kerahasiaan institusi.
1.6.2 Kesalahan dalam pendataan sisa makanan saat penimbangan
makanan karena faktor alat makan dan plastik yang digunakan
untuk sisa makanan
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Penyelenggaraan Makanan Institusi
2.1.1 Pengertian Penyelenggaraan Makanan Institusi
Penyelenggaraan makanan adalah serangkaian kegiatan yang
merupakan suatu sistem mencakup kegiatan/sub sistem penyusunan
anggaran belanja makanan, perencanaan menu, pembuatan taksiran
bahan makanan, penyediaan/pembelian bahan makanan, penerimaan,
penyimpanan dan penyaluran bahan makanan, persiapan dan,
pemasakan makanan, penilaian dan distribusi makanan, pencatatan
pelaporan dan evaluasi yang dilaksanakan dalam rangka penyediaan
makanan bagi kelompok masyarakat di institusi. (Depkes,1991)
Penyelenggaraan makanan institusi adalah penyediaan
makanan bagi konsumen dalam jumlah banyak, yang berada dalam
kelompok masyarakat yang terorganisir di institusi seperti perkantoran,
perusahaan, pabrik, industri, asrama, rumah sakit, panti sosial,
lembaga pemasyarakatan, pusat transito, pesantren dan lain-lain
(Depkes,1991).
2.1.2 Tujuan Penyelenggaraan Makanan Institusi
Secara umum, tujuan penyelenggaraan makanan institusi adalah
tersedianya makanan yang memuaskan bagi klien dengan manfaat
yang setinggi-tingginya bagi institusi (Mukrie, 1990).
Secara khusus institusi dituntut untuk :
a. Menghasilkan makanan yang berkualitas baik, dipersiapkan dan
dimasak dengan layak.
b. Pelayanan yang cepat dan menyenangkan.
c. Menu seimbang dan bervariasi.
7
8
d. Harga layak, serasi dengan pelayanan yang diberikan.
e. Standar kebersihan dan sanitasi yang tinggi.
2.1.3 Klasifikasi dan Karakteristik
Untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang berbeda-beda
golongannya, maka muncul berbagai macam pengelolaan makanan
banyak menurut kebutuhan konsumen yang dilayani. Perbedaan dari
penggolongan atau klasifikasi makanan banyak ini dapat diidentifikasi
dari tujuan penyediaan makanan serta cara pengelolaan yang
ditetapkan oleh pemilik berbagai institusi (Mukrie, 1990).
Macam pelayanan gizi institusi berdasarkan klasifikasinya
(Mukrie, 1990) dapat dibagi menjadi :
a) Pelayanan gizi institusi industri
Pelayanan gizi ini lebih dikenal dengan pelayanan gizi untuk tenga
kerja.
b) Pelayanan gizi institusi sosial
Merupakan pelayanan gizi yang dilakukan oleh pemerintah atau
swasta yang berdasarkan azas sosial dan bantuan (Panti asuhan,
panti jompo, panti tuna netra, tuna rungu dan lembaga lain yang
sejenis).
c) Pelayanan gizi institusi asrama
Pelayanan gizi yang dilakukan untuk memenuhi gizi masyarakat
golongan tertentu yang tinggal di asrama.
d) Pelayanan gizi institusi sekolah
Pelayanan gizi yang diperkirakan untuk memberikan makanan bagi
anak sekolah.
e) Pelayanan gizi institusi rumah sakit
Pelayanan gizi yang diselenggarakan untuk memenuhi kebutuhan
gizi dalam keadaan sakit atau sehat selama mendapat perawatan.
9
f) Pelayanan gizi institusi komersial
Pelayanan gizi yang dipersiapkan untuk melayani kebutuhan
masyarakat yang makan di luar rumah.
g) Pelayanan gizi institusi khusus
Bentuk atau macam pelayanan gizi bagi kelompok khusus (atlit,
asrama haji,penampungan transmigrasi, kursus-kursus serta
narapidana)
h) Pelayanan gizi keadaan darurat.
2.2 Penyelenggaraan Makanan Institusi Asrama
Pelayanan makanan institusi asrama adalah pelayanan gizi yang
dilakukan untuk memenuhi kebutuhan gizi masyarakat golongan tertentu
yang tinggal diasrama seperti pelajar, mahasiswa, ABRI, kursus dan
sebagainya( Mukrie, 1990).
Penyelenggaraan makanan asrama di institusi Militer dilaksanakan
dengan tujuan agar seluruh prajurit anggota satuan/ serdik mendapatkan
konsumsi makanan yang mencukupi kebutuhan gizi dan terhindar dari
bahaya keracunan makanan maupun penularan penyakit melalui
makanan serta meningkatkan moril prajurit dengan dampak akhir
meningkatnya kinerja prajurit satuan, sehingga tugas pokoknya dapa
dilaksanakan dengan baik dan sempurna (Mabes TNI AD Direktorat
Kesehatan, 2003).
Penyediaan dan pengamanan makanan di asrama satuan TNI AD
merupakan fungsi komando, sehingga harus ada monitoring yaitu dengan
melaksanakan pelaporan sesuai prosedur dan secara periodic (setiap
bulan) ke komando diatasnya (Mabes TNI AD Direktorat Kesehatan,
2003).
Pendirian asrama dan penyediaan pelayanan makanan bagi
penghuni asrama, didasarkan atas kebutuhan masyarakatnya. Asrama
10
pada umumnya menampung masyarakat dari berbagai golongan usia
(Mukrie, 1990).
Makanan untuk asrama memiliki ciri khusus, seperti:
Dikelola oleh pemerintah ataupun peran serta masyarakat
Standar gizi disesuaikan menurut kebutuhan golongan yang
diasramakan serta disesuaikan dengan sumber daya yang ada.
Melayani berbagai golongan umur ataupun sekelompok usia tertentu.
Dapat bersifat komersial, memperhitungkan laba rugi institusi, bila
dipandang perlu dan terletak ditengah perdagangan/kota.
Frekuensi makan 2-3 kali sehari, dengan atau tanpa makanan
selingan.
Jumlah yang dilayani tetap
Macam pelayanan makanan tergantung policy/peraturan asrama.
Tujuan penyediaan makanan lebih diarahkan untuk pencapaian status
kesehatan penghuni.
Dalam penyelenggaraan makanan asrama, adanya kontinyuitas
pelaksanaan merupakan faktor yang penting. Standar makanan
tergantung dari kelompok masyarakat yang berada di asrama tersebut.
Khusus untuk asrama atlit, angkatan bersenjata, dimana kegiatan mereka
dikategorikan sebagai pekerjaan berat, sedang ataupun sangat berat,
maka dibutuhkan pengaturan menu yang tepat agar dapat diciptakan
makanan dalam volume kecil tetapi memenuhi kecukupukan gizinya
(Mukrie, 1990).
2.3 Cita rasa Makanan
Makanan adalah bahan selain obat yang mengandung zat-zat gizi
dan atau unsur-unsur/ikatan kimia yang dapat diubah menjadi zat gizi oleh
tubuh, yang berguna bila dimasukkan ke dalam tubuh (Almatsier, 2004).
Menurut (West, 1988) salah satu tujuan dari pengolahan dan pemasakan
11
makanan adalah untuk menghasilkan makanan yang bercita rasa tinggi
sehingga dapat memuaskan bagi yang mengkonsumsinya.
Cita rasa ini merupakan salah satu aspek penilaian kualitas
makanan yang disajikan (Mukrie, 1990). Cita rasa makanan ditimbulkan
oleh terjadinya rangsangan terhadap berbagai indera dalam tubuh
manusia terutama indera penglihatan, indera penciuman, dan indera
pengecap. Makanan yang memiliki cita rasa tinggi adalah makanan yang
disajikan dengan menarik, menyebarkan bau yang sedap, dan
memberikan rasa yang lezat (West, 1988).
Cita rasa mencakup dua aspek utama, yaitu penampilan sewaktu
dihidangkan dan rasa makanan saat dimakan. Kedua aspek ini sama
pentingnya untuk diperhatikan agar betul-betul dapat menghasilkan
makanan yang memuaskan (Moehyi,1992).
Aspek-aspek yang berkaitan dengan cita rasa adalah sebagai
berikut :
1) Penampilan makanan
a. Warna makanan
Menurut khan, warna makanan memegang peranan utama dalam
penampilan makanan, karena dalam memilih makanan indera pertama
yang digunakan adalah mata. Warna makanan merupakan rupa dari
hidangan yang disajikan dan juga dapat membuat penampilan
makanan lebih menarik. Dalam suatu hidangan yang baik, kombinasi
warna sangat diperlukan. Kombinasi warna akan membantu
penerimaan suatu makanan dan dapat merangsang selera makanan
secara tidak langsung. suatu hidangan makanan akan lebih menarik
dengan kombinasi warna yang terdiri lebih dari tiga warna (West,
1998).
b. Konsistensi makanan
Salahsatu komponen yang ikut menentukan cita rasa makanan
yaitu konsistensi makanan. Hal itu disebabkan karena sensitivitas
12
indera cita rasa dipengaruhi oleh konsistensi makanan (Sumiyati,
2008).
Konsistensi adalah keadaan makanan yang berhubungan dengan
tingkat kepadatan, kekenyalan/ kekerasan suatu hidangan, susunan
hidangan yang baik adalah yang memiliki kombinasi konsistensi
Konsistensi sering digambarkan dengan istilah seperti cair/berkuah,
kental/sedikit berkuah, dan padat/kering. Sehingga kombinasi
konsistensi sangat beragam (West, 1988).
Makanan yang berkonsistensi padat/kental akan memberikan
rangsangan yang lebih lambat terhadap indera kita. Cara memasak
dan lama waktu pemasakan akan menentukan pula konsistensi
makanan. Konsistensi makanan juga mempengaruhi penampilan
makanan (Moehyi, 1992).
c. Besar porsi
Besar porsi yang tidak sesuai akan merugikan penampilan suatu
makanan (Moehyi, 1992). Banyaknya makanan yang disajikan dalam
satu porsi terlalu banyak/ terlalu sedikit karena akan membuat
penampilan dari makanan menjadi tidak menarik (West, 1988).
Besar porsi adalah banyaknya makanan yang dihidangkan dan
porsi untuk setiap individu berbeda sesuai dengan kebiasaan
makanan sehari-hari di rumah.Porsi makan juga berkaitan dengan
perencanaan dan perhitungan penampilan hidangan yang disajikan
(Muchatob,1991).
Pembagian porsi makanan sehari-hari untuk makan pagi, makan
siang, dan makan malam yang lazim digunakan adalah 1/5 untuk
makan pagi, 2/5 untuk makan siang dan 2/5 untuk makan malam.
Dengan pembagian seperti itu penyediaan zat-zat gizi dapat
disesuaikan dengan kebutuhan (sumiyati, 2008).
13
d. Bentuk makanan
Bentuk makanan yang disajikan menjadi lebih menarik biasanya
disajikan dalam bentuk-bentuk tertentu. Bentuk makanan yang serasi
akan member daya tarik tersendiri bagi setiap makanan yang disajikan
(Sumiyati, 2008). Menurut West (1988), bentuk makanan adalah rupa
dari makanan yang disajikan. Variasi bentuk makanan akan
meningkatkan daya tarik terhadap makanan. Bentuk makanan waktu
disajikan dapat dibedakan menjadi beberapa macam sebagai berikut :
1. Bentuk yang sesuai dengan bentuk asli bahan makanan,
2. Bentuk yang menyerupai bentuk asli, tetapi bukan merupakan
bahan makanan yang utuh,
3. Bentuk yang diperoleh dengan cara memotong bahan makanan
dengan teknik tertentu atau mengiris bahan makanan dengan cara
tertentu,
4. Bentuk sajian khusus seperti bentuk nasi tumpeng atau lainnya
yang khas (Pujinuryat, 2008).
e. Penyajian makanan
Menurut Pujinuryat (2008), penyajian makanan memberikan arti
khusus bagi penampilan makanan. Penyajian dirancang untuk
menyediakan makanan yang berkualitas tinggi dan dapat memuaskan
konsumen, aman, serta harganya layak.
Penyajian makanan merupakan perlakuan terakhir dalam
penyelenggaraan makanan sebelum dikonsumsi. Meskipun makanan
diolah dengan cita rasa yang tinggi tetapi dalam penyajiaannya tidak
dilakukan dengan baik, maka nilai makanan tersebut tidak akan
berarti, karena makanan yang ditampilkan waktu disajikan akan
merangsang penglihatan sehingga menimbulkan selera yang
berkaitan dengan cita rasa. Penyajian makanan meliputi alat, cara
penyusunan makanan, dan penghiasan makanan (Moehyi, 1992).
14
Salah satu hal yang perlu diperhatikan dalam penyajian makanan,
yaitu pemilihan alat yang tepat untuk menyajikan makanan dan
susunan makanan dalam alat penyajian makanan. Untuk
menampilkan makanan yang lebih menarik, susunan makanan perlu
mendapat perhatian karena makanan yang disusun pada alat
penyajian yeng tepat akan memberikan kesan yang menarik
(Sumiyati, 2008).
2) Rasa makanan
Salah satu faktor yang menentukan cita rasa makanan adalah rasa
makanan. Apabila penampilan makanan yang disajikan merangsang
syaraf melalui indera penglihatan sehingga mampu membangkitkan
selera untuk mencicipi makanan tersebut. Tahap berikutnya, cita rasa
makanan itu akan ditentukan oleh rangsangan terhadap indera
penciuman dan indera pengecap. Komponen yang berperan dalam
penentuan rasa makanan, adalah sebagai berikut :
a. Suhu makanan
Suhu merupakan aspek lain yang mempunyai persepsi rasa (West,
1988). Suhu adalah tingkat panas dari hidangan yang disajikan. Suhu
dapat mempengaruhi indera pengecap (lidah) untuk menangkap
rangsangan rasa. Perbedaan suhu akan menyebabkan perbedaan
rasa yang timbul. Makanan yang terlalu panas atau terlalu dingin akan
sangat mengurangi sensitivitas syaraf pengecap terhadap rasa. Suhu
makanan juga mempengaruhi daya terima seseorang terhadap
makanan yang disajikan sesuai dengan cuaca/lingkungan (Pujinuryat,
2008).
Suhu makanan waktu disajikan harus selalu diperhatikan,suhu
makanan harus disesuaikan dengan jenis makanannya,untuk
makanan panas harus disajikan dalam keadaan panas begitupun
untuk makanan yang harus disajikan dingin.
15
b. Bumbu masakan
Bumbu adalah bahan yang ditambahkan pada makanan dengan
maksud untuk mendapatkan rasa makanan yang enak dan rasa yang
tepat setiap kali pemasakan ( Khan, 1987). Jenis bumbu yang
digunakan dan banyaknya masing-masing jenis bumbu sudah
ditentukan dalam setiap resep masakan. Bumbu juga dapat
membangkitkan selera makan karena memberikan rasa makanan
yang khas. Rasa yang diberikan oleh setiap bumbu akan berinteraksi
dengan komponen rasa primer yang digunakan dalam masakan
sehingga menghasilkan rasa baru yang lebih nikmat ( Pujinuryat,
2008).
Bahan dasar makanan yang mempunyai fungsi penting dalam
pengolahan makanan adalah bumbu dapur dan rempah-rempah.
Rempah digunakan sebagai bumbu masakan untuk memberikan rasa
pada makanan (Moehyi, 1992).
Bumbu dapur merupakan tanaman aromatik yang ditambahkan
kedalam makanan sebagai penyedapan pembangkit selera makan.
c. Tekstur makanan
Tekstur akan mempengaruhi cita rasa yang ditimbulkan oleh suatu
bahan. Perubahan tekstur atau viskositas bahan dapat mengubah
rasa dan bau yang timbul karena dapat mempengaruhi kecepatan
timbulnya rangsangan terhadap sel reseptor olfaktori dan kelenjar air
liur. Semakin kental suatu bahan, penerimaan terhadap intensitas
rasa, bau, dan cita rasa semakin berkurang (Winarno, 2004).
Tekstur adalah hal yang berkaitan dengan struktur makanan yang
dirasakan di mulut. Tekstur meliputi rasa garing, keempukan dan
kekerasan makanan yang dirasakan oleh indera pengecap. Tekstur
dapat mempengaruhi rasa yang ditimbulkan oleh. Keempukan dan
kerenyahan ditentukan oleh mutu bahan makanan yang digunakan
dan cara memasaknya (Moehyi, 1992).
16
d. Aroma makanan
Aroma makanan adalah bau yang disebarkan oleh makanan, daya
tarik yang sangat kuat dan mampu merangsang indera penciuman
sehingga membangkitkan selera. Aroma yang keluar oleh setiap
makanan berbeda-beda, demikian pula cara memasak makanan akan
memberikan aroma yang berbeda pula ( Mahaffey,1981 ).
Bau makanan banyak menentukan kelezatan bahan makanan
tersebut. Jenis bau yang keluar dari makanan dapat diperoleh melalui
epitel olfaktori, yaitu suatu bagian yang berwarna kuning yang terletak
pada bagian atap dinding rongga hidung (Winarno, 2004).
Timbulnya aroma makanan disebabkan oleh terbentuknya senyawa
yang mudah menguap dan sebagai akibat dari reaksi enzim (Sumiyati,
2008).
e. Tingkat kematangan
Tingkat kematangan akan mempengaruhi citarasa makanan
(Sumiyati, 2008). Tingkat kematangan adalah hasil pemasakan pada
setiap jenis bahan makanan yang dimasak dari makanan dan
mempunyai tingkat kematangan sendiri (Muchatob, 1991).
2.4 Asupan energi
Energi adalah kapasitas tubuh, jaringan, atau sel untuk kerja, yang
diukur dalam kilokalori (Sandjaja, 2009).
Menurut Mary (2007), energi dibutuhkan untuk semua fungsi yang
dijalankan oleh tubuh, yang meliputi :
a. Aktivitas metabolik pada tungkat selular, jaringan, dan organ yang
sebagian besar berlangsung di luar kesadaran kita dan terus
berlangsung sepanjang hidup;
17
b. Aktivitas sadar yang dilakukan sebagai bagian dari aktivitas fisik
dan memerlukan energi dalam jumlah yang berbeda-beda
tergantung dari usaha yang diperlukan;
c. Pertumbuhan, dalam tahun-tahun awal kehidupan, pada masa
remaja, dan selama kehamilan.
Semua energi yang diperlukan tubuh harus disuplai melalui asupan
makanan. Makronutrien dalam makanan dan minuman (Karbohidrat,
lemak, dan protein) bersama dengan alkohol menghasilkan energi
ketika dipecah. Mineral dan vitamin dalam makanan tidak
menghasilkan energi, meskipun beberapa diantaranya bersifat
esensial dalam proses biokimiawi yang menghasilkan energi (Mary,
2007).
Kebutuhan energi adalah konsumsi energi berasal dari makanan
yang diperlukan untuk menutupi pengeluaran energi seseorang bila ia
mempunyai ukuran dan komposisi tubuh dengan tingkat aktivitas yang
sesuai dengan kesehatan jangka panjang, dan yang memungkinkan
pemeliharaan aktivitas fisik yang dibutuhkan secara sosial dan
ekonomi (Almatsier,2004).
Kecukupan energi prajurit menurut Pedoman Pengelolaan Gizi
Prajurit TNI AD tahun 2003 yaitu berkisar antara 3600 kkal sampai
4000 kkal.
Keseimbangan energi tercapai bila energi yang masuk ke dalam
tubuh melalui makanan sama dengan energi yang dikeluarkan.
Sumber energi berkonsentrasi tinggi yang didapat melalui makanan
yaitu makanan sumber lemak, seperti lemak dan minyak, kacang-
kacangan dan biji-bijian. Setelah itu, bahan makanan sumber
karbohidrat, seperti padi-padian, umbi-umbian, dan gula murni
(Almatsier, 2004).
Asupan energi bagi pemeliharaan sel lebih diutamakan dari pada
asupan protein bagi pertumbuhan, karena apabila jumlah energi dalam
18
makanan sehari-hari tidak cukup, maka sebagian masukan protein
makanan akan dipergunakan sebagai energi, sehingga protein untuk
tubuh yang lain berkurang (Karyadi dan Muhilal, 1996).
Asupan makanan penting untuk memenuhi kebutuhan energi dalam
tubuh, meskipun cadangan energi menyediakan cadangan penyangga
pada kondisi kelaparan. Sejumlah mekanisme fisiologis yang
meregulasi asupan makanan untuk menjamin suplai energi, tetapi
mencegah penyimpanan yang berlebihan. Faktor lingkungan yang
dialami oleh banyak konsumen berdampak pada buruknya regulasi
terhadap asupan makanan dan sebagai akibatnya terjadi konsumsi
energi yang melebihi kebutuhan (Mary, 2007).
Secara umum terdapat tiga komponen utama dalam pengeluaran
energi, yaitu :
1. Laju metabolic basal (BMR)
Komponen ini merupakan jumlah energi yang dikeluarkan oleh
tubuh untuk :
a. Mempertahankan proses transport aktif melintasi membrane sel;
b. Kontraksi serabut otot dalam kerja mekanis (seperti respirasi
dan denyut jantung);
c. Sintesis molekul baru
Kurang lebih dua pertiga energi yang dikeluarkan seseorang sehari
digunakan untuk kebutuhan aktivitas metabolisme basal tubuh. Angka
metabolisme basal (AMB) atau Basal Metabolic Rate (BMR)
dinyatakan dalam kilokalori per kilogram berat badan perjam.
Pengukuran metabolisme basal dilakukan pada pagi hari terhadap
subjek yang berada dalam keadaan istirahat total baik fisik maupun
emosional, tidak makan selama dua belas jam terakhir serta berada
pada suhu dan lingkungan nyaman (Almatsier,2004).
19
Dalam (Almatsier, 2004), ukuran dan komposisi tubuh serta umur
dapat menentukan kebutuhan energi basal. Hubungan diantara
ketiganya sangat kompleks. Untuk menghitung kebutuhan energi
basal, Harris dan Benedict pada tahun 1909 menggunakan berat
badan, tinggi badan dan umur dengan rumus sebagai berikut :
TABEL 2.1
RUMUS MENAKSIR NILAI BMR LAKI-LAKI DARI BERAT BADAN
Kelompok Umur BMR (kkal/hari)
18-30 tahun 15,3 BB + 679
30-60 tahun 11,6 BB + 879
Sumber : Sunita Almatsier, 2004.
Menurut (Mary, 2007) determinan utama BMR adalah sebagai
berikut :
a. Berat badan, adalah determinan kunci dari BMR. Dengan
demikian, individu yang lebih berat akan memiliki BMR yang
lebih tinggi;
AMB laki-laki = 66,5 + 13,7 BB + 5,0 TB – 6,8 U
Keterangan :
BB = Berat Badan dalam KG ;
TB = Tinggi Badan dalam cm ;
U = Umur.
20
b. Jenis kelamin, pria memiliki BMR yang lebih tinggi daripada
wanita pada berat badan yang sama.
c. Usia, BMR yang dinyatakan per kg berat badan akan menurun
dari masa bayi sampai usia lanjut, karena masa sel aktif juga
berkurang. Sehingga, kebutuhan tambahan untuk pertumbuhan
paling besar terjadi pada masa pertumbuhan pesat.
d. Faktor genetic, mungkin berkontribusi pada perbedaan BMR
antarindividu sebesar kurang dari 10%;
e. Faktor-faktor lain, meliputi obat dan agen farmakologik. Selain
itu kondisi puasa dapat menyebabkan penurunan BMR.
2. Efek termik makanan
Pengaruh termis makanan adalah energi tambahan yang
diperlukan tubuh untuk pencernaan makanan, absorpsi, dan
metabolisme zat-zat gizi yang menghasilkan energi (Almatsier,
2004).
Efek termik ini berlangsung selama 3-6 jam dan diperkirakan
setara dengan 10% dari kandungan energi hidangan (atau 10%
keluaran energi total dalam 24 jam). Efek termik makanan dari
hidangan yang mengandung protein dan karbohidrat lebih besar
daripada efek termik makanan dari hidangan yang mengandung
lemak ( Mary, 2007).
21
TABEL 2.2
KEBUTUHAN ENERGI UNTUK BERBAGAI AKTIVITAS DILUAR
METABOLISME BASAL DAN PENGARUH TERMIS MAKANAN
Aktivitas kkal/kg/jam Aktivitas kkal/kg/jam
Bersepeda (cepat)
Bersepeda
(sedang)
Bertukang kayu
(berat)
Menyulam
Berdansa, cepat
Berdansa, lambat
Mencuci piring
Mengganti baju
Menyetir mobil
Makan
Mencuci pakaian
(ringan)
Tiduran
Mengupas kentang
Main ping pong
Menulis
Mengecat kursi
7,6
2,5
2,3
0,4
3,8
3,0
1,0
0,7
0,9
0,4
1,3
0,1
0,6
4,4
0,4
1,5
Main piano
(sedang)
Membaca keras
Berlari
Menjahit, tangan
Menjahit mesin jhit
tgn
Menjahit mesin jhit
mtor
Menyanyi, keras
Duduk diam
Berdiri tegap
Berdiri relaks
Menyapu lantai
Berenang, 3 ½
km/jam
Mengetik cepat
Berjalan, 3 km/jam
Berjalan, 6,8
km/jam
Berjalan, 10
km/jam
1,4
0,4
7,0
0,4
0,6
0,4
0,8
0,4
0,6
0,5
1,4
7,9
1,0
2,0
3,4
9,3
(sumber : Sunita Almatsier, 2004)
22
3. Aktivitas fisik
Komponen yang paling mudah berubah dari pengeluaran
energi harian, tetapi faktor ini juga yang paling dapat dikontrol oleh
individu merupakan aktivitas fisik. Aktivitas fisik memerlukan energi
di luar kebutuhan untuk metabolisme basal. Aktivitas fisik adalah
gerakan yang dilakukan oleh otot tubuh dan system penunjangnya.
TABEL 2.3
ANGKA KECUKUPAN ENERGI UNTUK TIGA TINGKAT
AKTIVITAS FISIK UNTUK LAKI-LAKI
Kelompok
Aktivitas
Jenis Kegiatan Faktor Aktivitas
Ringan 75% waktu digunakan untuk
duduk atau berdiri. 25%
waktu untuk berdiri atau
bergerak.
1,56
Sedang 40% waktu digunakan untuk
duduk atau berdiri. 60%
waktu digunakan untuk
aktivitas pekerjaan tertentu.
1,76
Berat 25% waktu digunakan untuk
duduk atau berdiri. 75%
waktu digunakan untuk
aktivitas pekerjaan tertentu.
2,1
Sumber : Sunita Almatsier, 2004.
2.5 Asupan Protein
Menurut (Sandjaja, 2009), protein adalah komponen dasar dan
utama makanan yang diperlukan oleh semua makhluk hidup sebagai
23
bagian dari daging, jaringan kulit, otot, otak, sel darah merah, rambut,
dan organ tubuh lainnya yang dibangun dari protein.
Protein membentuk blok pembangun dasar dari semua sel hidup,
serta enzim dan pembawa pesan kimiawi yang menjaga keutuhan
fungsi tubuh. Berbeda dengan karbohidrat dan lemak, yang hanya
mengandung karbon, hydrogen, dan oksigen, protein juga
mengandung nitrogen dan merupakan molekul yang mengandung
nitrogen paling banyak yang dijumpai didalam tubuh. Molekul protein
tersusun atas satu rantai asam amino tunggal yang dihubungkan oleh
ikatan peptida (Mary, 2007).
Dalam keadaan tertentu, protein menjadi sumber energi, dimana
setiap gram protein menghasilkan energy 4 kalori (Sandjaja, 2009).
Menurut Mary (2007), sebagian besar protein sangat resisten
terhadap pencernaan, hanya ikatan superficial saja yang peka
terhadap aktivitas enzim proteolitik. Proses pemasakan dan kondisi
asam dalam lambung mempermudah pencernaan protein. Dalam
kondisi normal, protein dari makanan hampir seluruhnya tercerna.
Protein dalam bahan makanan yang dikonsumsi manusia akan
diserap oleh usus dalam bentuk asam amino. Beberapa asam amino
yang merupakan peptide dan molekul-molekul protein kecil dapat
diserap melalui dinding usus dan masuk ke dalam pembuluh darah
(Winarno, 2004).
Protein diperlukan untuk memelihara struktur dan fungsi tubuh
setiap saat. Protein ekstra mungkin diperlukan selama masa
pertumbuhan, dalam kehamilan, masa pemulihan setelah cedera.
Protein yang dikonsumsi dalam diet harus dikonversi menjadi jenis
protein yang secara khas terdapat dalam tubuh manusia, agar dapat
memenuhi kebutuhan fisiologis. Kualitas protein dapat didefinisikan
sebagai efisiensi penggunaan protein oleh tubuh (Mary, 2007).
Rekomendasi yang diterbitkan oleh Departemen Kesehatan (DoH)
Inggris pada tahun 1991 dalam Mary (2007), menggunakan tingkat
24
asupan aman sebesar 0,75 gr/Kg Berat Badan. Untuk penetapan
Referensi Asupan Gizi (RNI) protein, angka itu setara dengan 56
gr/hari untuk pria dewasa dan 45 gr/hari untuk wanita dewasa. Angka-
angka tersebut mencakup kurang lebih 8-9% dari asupan energi total.
Kebutuhan protein dapat ditentukan melalui tiga cara. Untuk orang
dewasa, kebutuhan protein dihitung dengan cara keseimbangan
nitrogen, diukur pada beberapa tahap konsumsi (Almatsier, 2004).
Kebutuhan protein dalam Almatsier, 2004 adalah “ konsumsi yang
diperlukan untuk mencegah kehilangan protein tubuh dan
memungkinkan produksi protein yang diperlukan dalam masa
pertumbuhan, kehamilan, atau menyusui”. Angka Kecukupan Protein
(AKP) orang dewasa menurut hasil-hasil penelitian keseimbangan
nitrogen adalah 0,75 gram/kg berat badan, berupa protein patokan
tinggi yaitu protein telur.
Menurut kelompok umur 18 – 60 tahun, angka kecukupan protein
dengan jenis kelamin adalah 1,96 gram/Kg berat badan (Almatsier,
2004).
2.6 Survei Konsumsi Makanan
2.6.1 Pengertian
Survei diet atau penilaian konsumsi makanan adalah salah satu
metode yang digunakan dalam penentuan status gizi perorangan atau
kelompok (Supariasa, 2002).
2.6.2 Tujuan
Secara umum menurut Supariasa (2002), survei konsumsi
makanan di maksudkan untuk mengetahui kebiasaan makan dan
gambaran tingkat kecukupan bahan makanan dan zat gizi pada
tingkat kelompok, rumah tangga, perorangan serta faktor-faktor yang
berpengaruh terhadap konsumsi makanan tersebut. Sedangkan
25
secara khusus, survei konsumsi digunakan untuk berbagai macam
tujuan, antara lain :
a. Menentukan tingkat kecukupan konsumsi pangan nasional dan
kelompok masyarakat,
b. Menentukan status kesehatan dan gizi keluarga dan individu,
c. Menentukan pedoman kecukupan makanan dan program
pengadaan pangan,
d. Sebagai dasar perencanaan dan program pengembangan gizi,
e. Sebagai sarana pendidikan gizi masyarakat, khususnya golongan
yang beresiko tinggi mengalami kekurangan gizi,
f. Menentukan perundang-undangan yang berkenaan dengan
makanan, kesehatan, dan gizi masyarakat.
2.6.3 Metode penimbangan makanan (food weighing)
Pada metode penimbangan makanan, responden atau petugas
menimbang dan mencatat seluruh makanan yang dikonsumsi
responden selama 1hari. Penimbangan makanan ini biasanya
berlangsung beberapa hari tergantung dari tujuan, dana penelitian
dan tenaga yang tersedia.
Langkah-langkah pelaksanaan penimbangan makanan, adalah
sebagai berikut :
a. Petugas/responden menimbang dan mencatat bahan
makanan/makanan yang dikonsumsi dalam gram;
b. Jumlah bahan makanan yang dikonsumsi sehari, kemudian
dianalisis dengan menggunakan DKBM atau DKGJ (Daftar
Komposisi Gizi Jajanan);
c. Membandingkan hasilnya dengan Kecukupan Gizi yang Dianjurkan
(AKG).
26
Jika setelah makan terdapat sisa makanan, maka perlu juga
ditimbang sisa tersebut untuk mengetahui jumlah sesungguhnya
makanan yang dikonsumsi.
Kelebihan metoda penimbangan makanan adalah data yang
diperoleh lebih akurat/teliti;
Kekurangan metoda penimbangan makanan ini adalah sebagai
berikut :
a. Memerlukan waktu dan cukup mahal karena perlu peralatan
b. Jika penimbangan dilakukan dalam periode yang cukup lama, maka
responden dapat merubah kebiasaan makanan;
c. Tenaga pengumpul data harus terlatih dan terampil;
d. Memerlukan kerjasama yang baik dengan responden.
27
BAB III
KERANGKA KONSEP, HIPOTESIS, DAN DEFINISI OPERASIONAL
3.1 Kerangka Konsep
Asupan energi dan asupan protein Prajurit Remaja Batalyon
Infanteri 310/KK Cikembar Sukabumi sangat penting untuk menunjang
aktifitas yang dilakukan, khususnya kemampuan untuk berlatih dan
bertempur dengan baik. Kebutuhan zat gizi dalam hal ini energi dan
protein diperoleh dari makanan yang dikonsumsinya. Asupan energi dan
protein yang diperlukan tubuh akan terpenuhi sesuai dengan kebutuhan
gizi yang telah ditentukan jika penerimaan terhadap cita rasa suatu
hidangan diterima dengan baik.
GAMBAR 1
HUBUNGAN ANTARA CITA RASA MAKAN SIANG YANG DISAJIKAN
DENGAN ASUPAN ENERGI DAN ASUPAN PROTEIN
Keterangan :
- Variabel Independen : Cita Rasa
- Variabel Dependen : 1. Asupan Energi
2. Asupan Protein
Cita Rasa
Asupan Energi
Asupan Protein
27
28
3.2 Hipotesis
3.2.1 Ada hubungan antara cita rasa makan siang yang disajikan
dengan asupan energi Prajurit Remaja Batalyon Infanteri 310/KK
Cikembar Sukabumi.
3.2.2 Ada hubungan antara cita rasa makan siang yang disajikan
dengan asupan protein Prajurit Remaja Batalyon Infanteri
310/KK Cikembar Sukabumi.
3.3 Definisi Operasional
3.3.1 Cita Rasa
Cita rasa makan siang adalah tingkat kesukaan secara kualitas
terhadap makanan mencakup dua aspek, yaitu penampilan dan rasa
makanan yang dinilai dari rata-rata selama 2 hari .
Cara ukur : Skoring
Alat ukur : Kuesioner Uji Cita rasa Makanan
Kategori : - Baik, jika skor responden ≥ median (81)
-Kurang baik, jika skor responden < median (81)
Skala : Ordinal
3.3.2 Asupan energi
Asupan energi adalah rata-rata asupan energi sampel dari
makan siang selama 2 hari tidak berturut-turut yang dibandingkan
dengan kebutuhan energi makan siang.
Cara ukur : Untuk makanan dari penyelenggaraan dilakukan
metode penimbangan (Food Weighing) selama 2 hari
dengan hari yang tidak berurutan
Alat ukur : Format food weighting untuk makanan dari
penyelenggaraan makanan.
29
Kategori : - Baik, jika asupan energi ≥ 80% kebutuhan energi
makan siang (Supariasa, 2002)
- Kurang, jika asupan energi < 80% kebutuhan energi
makan siang (Supariasa, 2002)
Skala : Ordinal
3.3.3 Asupan protein
Asupan protein adalah rata-rata asupan protein sampel dari
makan siang selama 2 hari tidak berturut-turut yang dibandingkan
dengan kebutuhan protein makan siang.
Cara ukur : Untuk makanan dari penyelenggaraan dilakukan metode
penimbangan (Food Weighing) selama 2 hari dengan hari
yang tidak berurutan
Alat ukur : Format food weighting untuk makanan dari
penyelenggaraan makanan.
Kategori : - Baik, jika asupan protein ≥ 80% kebutuhan protein
makan siang (Supariasa, 2002)
- Kurang, jika asupan protein < 80% kebutuhan
protein makan siang (Supariasa, 2002)
Skala : Ordinal
30
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 Desain Penelitian
Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian cross sectional
karena variabel independen dan variabel dependen diukur pada waktu
yang bersamaan.
4.2 Waktu dan Tempat
Penelitian telah dilaksanakan pada bulan Maret sampai April 2011
di Batalyon Infanteri 310/KK Cikembar Sukabumi.
4.3 Populasi dan Sampel
4.3.1 Populasi
Populasi pada penelitian ini adalah seluruh Bintara dan
Tamtama (Prajurit Remaja) yang tinggal di barak sebanyak 75 orang
yang mendapat makan siang di Batalyon Infanteri 310/KK dan
semuanya berjenis kelamin laki-laki.
4.3.2 Sampel
Karena populasi bersifat homogen maka sampel diambil dengan
cara Simple Random Sampling menggunakan tabel acak.
Untuk menentukan jumlah sampel dengan populasi < 10.000
orang menurut Soekidjo (2005) dapat digunakan rumus sebagai
berikut :
30
31
n =
( )
Keterangan :
N = Besar Populasi ( 75 orang)
n = Besar sampel
d = Tingkat penyimpangan sampel yang diinginkan (0,1)
Dengan tingkat penyimpangan sampel yang diinginkan sebesar
10% maka didapatkan sampel sebanyak 43 orang.
4.4 Jenis dan Cara Pengumpulan Data
Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi data
primer dan sekunder, yaitu sebagai berikut :
4.4.1 Data Primer
4.4.1.1 Data umum gambaran karakteristik Prajurit remaja
meliputi umur, TB, BB, pangkat yang dikumpulkan
dengan cara mempelajari data administrasi sampel dari
institusi.
4.4.1.2 Data mengenai cita rasa makanan ( penampilan yang
meliputi warna, besar porsi, bentuk makanan,
konsistensi dan cara penyajian) dan (rasa yang meliputi
aroma, tekstur, suhu, bumbu dan tingkat kematangan)
makan siang yang disajikan di Batalyon Infanteri 310/KK
Cikembar Sukabumi, yang meliputi hidangan nasi, lauk
hewani, lauk nabati, sayur, buah. Data tersebut
dikumpulkan dengan cara mengisi kuesioner uji citarasa
yang langsung diisi oleh sampel pada saat makan siang
selama 2 hari tidak berturut-turut (hari representatif).
32
4.4.1.3 Data mengenai asupan makanan selama 2 hari
dikumpulkan dengan cara penimbangan makanan (food
weighing) untuk makanan yang berasal dari institusi
dengan menggunakan electronic kitchen scale
(timbangan digital). Penimbangan makanan
dilaksanakan selama 2 hari dengan hari yang tidak
berurutan. Data mengenai asupan energi dan asupan
protein didapatkan dari hasil selisih antara berat (gram)
hidangan awal dengan berat (gram) sisa makanan pada
saat makan siang. Data mengenai jumlah makanan yang
dimakan dari hasil penimbangan, dikonversikan dalam
bentuk energi dan protein dengan menggunakan
software Nutrisurvey.
Sebelumnya dilakukan standarisasi porsi makan siang
dari 10 prajurit remaja dengan mekanismenya adalah
sebagai berikut :
i. standarisasi centong untuk nasi dan sayur dengan
ditimbang dan kemudian diambil rata-ratanya (yang akan
menjadi standar porsi)
ii. Untuk lauk hewani, lauk nabati dan buah ditimbang
terlebih dahulu sebanyak 10 porsi sebelum makanan
disajikan, kemudian dirata-ratakan untuk mendapatkan
berat perporsi.
4.4.2 Data Sekunder
4.4.2.1 Data umum (latar belakang, struktur organisasi, dan
jumlah prajurit) Batalyon Infanteri 310/KK Cikembar
Sukabumi didapatkan dengan mempelajari data
administrasi institusi ;
4.4.2.2 Data penyelenggaraan makanan asrama di Batalyon
Infanteri 310/KK Cikembar Sukabumi yang meliputi
jumlah konsumen, pola menu, pola makan, standar
33
porsi, siklus menu, dana dan tenaga yang didapatkan
dengan memberikan kuesioner dan mempelajari data
administrasi di bagian penyelenggaraan makanan.
4.5 Pengolahan dan Analisa Data
4.5.1 Pengolahan Data
4.5.1.1 Data karakteristik Prajurit Remaja Batalyon Infanteri
310/KK Cikembar Sukabumi meliputi umur dikategorikan
menjadi umur 18-30 tahun dan >30 tahun,sedangkan
pangkat dikategorikan menjadi tamtama dan bintara;
4.5.1.2 Penilaian prajurit remaja Batalyon Infanteri 310/KK
cikembar Sukabumi terhadap cita rasa makan siang
(penampilan dan rasa) diperoleh dengan penilaian
responden terhadap kuesioner dan diberi skor. Adapun
skor untuk semua jawaban ditentukan sebagai berikut :
i. Untuk jawaban “ sangat baik “ diberi skor 3
ii. Untuk jawaban “ baik “ diberi skor 2
iii. Untuk jawaban “ kurang baik “ skor 1
iv. Untuk jawaban “ tidak baik “ skor 0
Penilaian terhadap cita rasa makanan (penampilan
dan rasa ) dijumlahkan lalu dikategorikan menjadi :
i. Baik, jika jumlah nilai setiap sampel ≥ nilai median(81)
ii. Kurang baik, jika jumlah nilai setiap sampel < nilai
median(81)
4.5.1.3 Asupan energi makan siang didapatkan dari hasil
menimbang 2 hari (tidak berturut-turut) yaitu selisih
antara berat (gram) hidangan awal dengan berat (gram)
sisa makanan pada saat makan siang lalu dikonversikan
dalam Nutrisurvey kemudian dikategorikan menjadi :
i. Baik, jika asupan energi prajurit remaja ≥ 80%
kebutuhan energi makan siang
34
ii. Kurang baik. Jika asupan energi prajurit remaja <
80% kebutuhan energi makan siang
4.5.1.4 Asupan Protein makan siang didapatkan dari hasil
menimbang 2 hari (tidak berturut-turut), yaitu selisih
antara berat (gram) hidangan awal dengan berat (gram)
sisa makanan pada saat makan siang lalu dikonversikan
dalam Nutrisurvey kemudian dikategorikan menjadi :
i. Baik, jika asupan protein prajurit remaja ≥ 80%
kebutuhan protein makan siang
ii. Kurang baik. Jika asupan protein prajurit remaja <
80% kebutuhan protein makan siang
4.5.2 Analisis Data
4.5.2.1 Univariat
1) Gambaran umum (latar belakang, struktur organisasi, dan
jumlah prajurit) Batalyon Infanteri 310/KK Cikembar
Sukabumi dianalisa secara deskriptif.
2) Gambaran penyelenggaraan makanan asrama di
Batalyon Infanteri 310/KK Cikembar Sukabumi yang
meliputi jumlah konsumen, pola menu, pola makan,
standar porsi, siklus menu, dana dan tenaga dianalisa
secara deskriptif.
3) Karakteristik Prajurit Remaja Batalyon Infanteri 310/KK
Cikembar Sukabumi meliputi umur, pangkat disajikan
dalam tabel distribusi frekuensi dianalisa secara
deskriptif.
4) Penilaian prajurit remaja Batalyon Infanteri 310/KK
cikembar Sukabumi terhadap cita rasa makan siang
(penampilan dan rasa) disajikan dalam bentuk tabel
distribusi frekuensi.
35
5) Asupan energi makan siang disajikan dalam tabel
distribusi frekuensi untuk dibandingkan dengan
kebutuhan energi masing-masing prajurit remaja.
6) Asupan Protein makan siang disajikan dalam table
distribusi frekuensi untuk dibandingkan dengan
kebutuhan protein masing-masing prajurit remaja.
4.5.2.2 Bivariat
Dari hasil data univariat diatas, kemudian digunakan untuk
mencari :
1) Hubungan antara cita rasa makan siang yang disajikan
terhadap asupan energi Prajurit Remaja Batalyon
Infanteri 310/KK Cikembar Sukabumi
2) Hubungan antara cita rasa makan siang yang disajikan
terhadap asupan protein Prajurit Remaja Batalyon
Infanteri 310/KK Cikembar Sukabumi
Kemudian diuji dengan menggunakan rumus Chi-
square dengan tingkat kepercayaan 90% (α = 0,1).
Rumus Uji Chi Square :
Keterangan :
x2 = Nilai Chi-square
b = baris
k = kolom
0ij = frekuensi teramati pada sel baris ke-1 dan kolom ke-j.
36
Eij = frekuensi harapan pada sel baris ke-1 dan kolom ke-j
Kriteria Uji
Syarat menggunakan Uji Chi Square :
1. Eij dalam masing-masing sel tidak boleh kurang dari 5
2. Digunakan pada kasus dengan tabel 2 X 2
3. Jika frekuensi yang diharapakan yang terkecil kurang dari
5, digunakan test Fisher exact
4. Bila N < 20 analisis digunakan test Fisher exact.
Bila pada uji Chi Square, nilai frekuensi harapan lebih kecil
dari 5 dan lebih dari 20%, maka digunakan uji Fisher exact
pada titik kepercayaan 95%.
α = tingkat kemaknaan (0,05)
Sedangkan rumus statistik Fisher exact :
(A+B)!(C+D)!(A+C)!(B+D)! P =
N!A!B!C!D!
Keterangan :
N = Jumlah sampel
P = Populasi yang diharapkan
A,B,C,D = Nilai pada setiap sampel
α = 0,05
Ho ditolak jika P < α, dengan signifikan (α = 0,05) (Murti,
1996)
37
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Gambaran Umum Batalyon Infanteri 310/KK Cikembar
Sukabumi
Batalyon Infanteri 310/KK adalah salahsatu institusi militer
sebagai satuan operasional Brigif 15 Kujang II bertugas pokok
mendukung Brigif 15 Kujang II dalam menegakkan kedaulatan
Negara dan keutuhan wilayah darat negara kesatuan republik
Indonesia. diwilayah darat dari ancaman dan gangguan terhadap
keutuhan bangsa dan negara terutama diwilayah sukabumi pada
khususnya serta jawa barat dan banten pada umumnya.
Batalyon ini bermarkas di Sukabumi tepatnya di Cikembar.
Batalyon Infanteri 310 Kidang Kancana diresmikan pada tanggal 17
Desember 1949, tanggal tersebut ditetapkan sebagai hari jadi
Batalyon.
Diawali dari Batalyon 11 / Siliwangi kemudian menjadi
Batalyon 1410 / 8 / Siliwangi dipimpin oleh Mayor Kemal Idris,
kemudian menjadi Batalyon 310/KK Brigade C / Siliwangi dengan
simbol Kidang Kancana dipimpin oleh Kapten Suwoyo. Nama
Kidang Kancana diambil dari hikayat dan riwayat kepercayaan
masyarakat Jawa Barat Khususnya diwilayah II Keresidenan Bogor.
5.2 Gambaran Umum Penyelenggaraan Makanan
Penyelenggaraan makanan di Batalyon Infanteri 310/KK
Cikembar Sukabumi bertujuan untuk menyediakan makanan bagi
para Prajurit yang bertugas agar memiliki kemampuan dan keahlian
untuk berlatih dan bertempur dengan baik. Selain itu hal itu
37
38
dilakukan untuk memenuhi kecukupan asupan kalori dan zat gizi
lainnya para prajurit.
Pelaksanaan dari penyelenggaraan makanan ini dilakukan
oleh unit dapur umum yang bertanggungjawab langsung ke Perwira
Seksi (Pasi) 4 Logistik. Jumlah tenaga penyelenggara
makanannya terdiri dari 6 orang yang terdiri dari : 1 orang Bintara
Makanan (Bamak), 4 orang Tamtama pemasak (Tasak) dan 1
orang tenaga pembantu yang mana semuanya berlatarbelakang
pendidikan SMA. Dalam pelaksanaannya, penyelenggaraan ini
dilakukan bergilir oleh setiap Kompi setiap 1 bulan sekali. Tetapi
dalam penyelenggaraan makanannya dilakukan tanpa seorang ahli
gizi yang mengelola masalah gizinya, sehingga belum ada suatu
standar porsi yang dibakukan.
Dana yang digunakan dalam penyelenggaraan makanan ini
berasal dari Uang Lauk Pauk dan uang beras prajurit dengan index
Rp.16.000/hari dan 0,6 kg beras/hari. Biaya yang telah tersedia
tersebut sudah termasuk biaya overhead yaitu bumbu, bahan
bakar, air, peralatan, transportasi dan sebagainya.
Menu yang disusun direncanakan terlebih dahulu oleh Bintara
Makanan yang bertanggungjawab dalam pelaksanaannya. Setiap 1
minggu sekali selalu dilakukan evaluasi menu oleh Bintara
makanan, Komandan Peleton Kesehatan, dan Perwira Seksi
Logistik. Siklus menu yang digunakan adalah siklus menu 7 hari,
tetapi hal itu disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang ada.
Berdasarkan hasil wawancara dan observasi, pola makan
yang digunakan adalah 3 kali sehari, meliputi makan pagi pukul
06.00 WIB, makan siang pukul 12.00 WIB dan makan malam pukul
17.00 WIB. Hal itu dilaksanakan dengan hari pelayanan dari senin
sampai minggu. Pola menu yang diselenggarakan merupakan pola
menu Indonesia yang terdiri dari makanan pokok, protein hewani,
protein nabati, sayur, buah dan pelengkap lainnya. Tetapi untuk
39
buah hanya diberikan pada makan siang. Sedangkan untuk standar
porsi didapatkan dari hasil penimbangan makanan.
Pada penyelenggaraan makanan di unit dapur umum
Batalyon Infanteri 310/KK Cikembar Sukabumi ini tidak ada
spesifikasi pembagian tugas, kegiatan pengadaan, persiapan,
pengolahan hingga distribusi karena semuanya itu dilakukan secara
bersama-sama. Selain itu juga, tidak ada sistem shif, dimana
aktivitas yang dilakukan oleh petugas setiap hari dimulai dari pukul
3 pagi dan berakhir pukul 6 sore dengan waktu istirahat sekitar 2
jam yaitu dari pukul 12.00 WIB sampai pukul 14.00 WIB.
Kebutuhan bahan makanan yang akan digunakan dalam
penyelenggaraan makanan ini direncanakan sesuai jumlah
konsumen dan macam menu yang akan diolah. Dalam hal
pengadaan bahan makanan dilaksanakan oleh petugas sendiri,
baik untuk bahan makanan kering maupun bahan makanan segar
tanpa menggunakan rekanan. Hal ini dikarenakan oleh jumlah
konsumen yang dilayani hanya sedikit. Pengadaan bahan makanan
segar dilakukan setiap hari, sedangkan untuk bahan makanan
kering dilakukan 2 minggu sekali dan 1 bulan sekali tergantung
jenis bahan makanan dan persediaan bahan makanan yang ada.
Persediaan bahan makanan kering seperti beras, kerupuk, bumbu-
bumbu kering dan lain-lain disimpan dalam ruang penyimpanan
khusus yang sudah ada rak-rak dan lemari penyimpanannya.
Sedangkan untuk bahan makanan segar segera dilakukan
persiapan sebelum diolah.
Persiapan bahan makanan di unit dapur umum Batalyon
Infanteri 310/KK Cikembar Sukabumi ini dilakukan oleh seluruh
petugas meliputi penerimaan, pencucian, peracikan bumbu,
pemotongan sesuai menu sehingga semua bahan siap untuk
diolah. Pemasakan dilakukan setiap sebelum pendistribusian setiap
40
jam makan. Hal itu dilakukan agar hidangan selalu hangat dan enak
saat dimakan.
Pendistribusian makanan dalam penyelenggaraan makanan
ini dilakukan dengan menggunakan system desentralisasi.
Distribusi makanan di dapur umum dilakukan dengan melakukan
pemorsian masing-masing hidangan dalam tempat yang berbeda
sebanyak 20 porsi. Setelah itu, hidangan-hidangan tersebut
didistribusikan di setiap barak. System pelayanan yang diterapkan
disetiap barak yaitu secara buffet.
5.3 Karakteristik Sampel
5.3.1 Sampel menurut Umur
Sampel pada penelitian ini adalah prajurit remaja yang
mendapat jatah makan dari unit dapur umum Batalyon Infanteri
310/KK Cikembar Sukabumi. Sampel yang diambil sebanyak 43
orang dari jumlah seluruh prajurit remaja yang dapat jatah makan
sebanyak 75 orang. Berdasarkan data yang diperolah, gambaran
umum sampel dapat dilihat pada Tabel berikut ini :
TABEL 5.1
DISTRIBUSI FREKUENSI SAMPEL MENURUT UMUR
DI BATALYON INFANTERI 310/KK CIKEMBAR SUKABUMI
TAHUN 2011
Umur n %
18 – 30 42 97,7
>30 1 2,3
Jumlah 43 100
Dari tabel diatas dapat diketahui sampel yang diambil paling
banyak berumur 18-30 tahun sebanyak 42 orang (97,7%) dan yang
paling sedikit berumur >30 tahun sebanyak 1 orang (2,3%).
Rentang usia yang sebagian besar ikut dalam penelitian ini sekitar
41
18-30 tahun. Rentang usia ini termasuk dalam usia dewasa yang
mempunyai aktivitas tinggi dan produktif. Pada usia produktif ini
berperan dalam menentukan kebutuhan gizi yang optimal.
5.3.2 Sampel Menurut Pangkat
TABEL 5.2
DISTRIBUSI FREKUENSI SAMPEL MENURUT PANGKAT
DI BATALYON INFANTERI 310/KK CIKEMBAR SUKABUMI
TAHUN 2011
Pangkat n %
Bintara 19 44,2
Tamtama 24 55,8
Jumlah 43 100
Berdasarkan tabel diatas menunjukan bahwa prajurit yang
berpangkat tamtama tidak jauh beda jumlahnya dengan prajurit
yang berpangkat bintara, yaitu untuk yang berpangkat bintara
sebanyak 19 orang (44,2%) dan yang berpangkat tamtama
sebanyak 24 orang (55,8%). Meskipun pangkatnya berbeda akan
tetapi dalam aktivitas dan pelayanan makan yang diterima sampel
tidak berbeda.
5.4 Penilaian Sampel terhadap Makan Siang yang disajikan
Penilaian sampel terhadap hidangan makan siang yang
disajikan adalah pendapat sampel mengenai hidangan makan
siang yang disajikan berdasarkan nilai tertentu. Penilaian setiap
sampel akan berbeda, karena dipengaruhi oleh berbagai faktor
diantaranya kebiasaan makan dan selera makan. Penilaian citarasa
makanan ini meliputi penampilan makanan dan rasa makanan
melalui kuesioner selama 2 hari (tidak berturut-turut) pada saat
makan siang.
42
5.4.1 Penilaian Sampel Terhadap Penampilan Makanan
Penampilan makanan adalah bentuk fisik dari makanan yang
disajikan meliputi penilaian sampel terhadap warna, besar porsi,
bentuk makanan, konsistensi, dan cara penyajian. Penilaian sampel
tehadap penampilan makanan dapat dilihat dari tabel dibawah ini.
TABEL 5.3
DISTRIBUSI FREKUENSI PENILAIAN SAMPEL
TERHADAP PENAMPILAN MAKAN SIANG YANG DISAJIKAN
DI BATALYON INFANTERI 310/KK CIKEMBAR SUKABUMI
TAHUN 2011
Penampilan n %
Baik 23 53,5
Kurang 20 46,5
Jumlah 43 100
Berdasarkan tabel 5.3 diatas, data yang diperoleh dari
kuesioner tentang kualitas makan siang yang disajikan diketahui
dari 43 sampel, sebesar 23 orang (53,5%) menyatakan penampilan
makanan baik dan sebesar 20 orang (46,5%) menyatakan
penampilan kurang baik.
Dari data tersebut dapat diketahui bahwa tidak ada perbedaan
yang jauh atara penilaian makanan yang baik dan kurang baik. Dari
hasil penelitian, terdapat 20 orang (46,5%) yang menyatakan aspek
warna makanan kurang baik.
Penelitian yang dilakukan ini sesuai dengan penelitian yang
dilakukan oleh Fathonah tahun 2003 tentang hubungan persepsi
siswa terhadap cita rasa dengan daya terima makan siang yang
disajikan di asrama Wing Dik Tekkal TNI AU Lanud Husein
Sastranegara Bandung, dimana sebesar 46,03% siswa menilai
warna makanan yang disajikan di asrama tersebut kurang baik.
43
Hal ini dikarenakan kombinasi warna pada hari ke-1 penelitian
lebih dominan ke warna kuning kecoklatan terlihat dari menu
hidangan yang disajikan yaitu soto (kuning kecolatan), dan tempe
goreng (kuning kecoklatan). Sehingga, untuk menu soto dapat
diganti dengan menu capcay. Hal ini tidak sesuai dengan pendapat
yang menyatakan bahwa suatu hidangan makanan akan lebih
menarik dengan kombinasi warna yang terdiri lebih dari tiga warna
(West, 1998). Selain itu juga, Moehyi (1992) menyatakan bahwa
penampilan makanan yang disajikan akan dipengaruhi oleh warna,
besar porsi, bentuk makanan, konsistensi dan cara penyajian.
Aspek penampilan lain yang dinyatakan baik yaitu cara penyajian
(86%), konsistensi (76,7%), bentuk makanan dan besar porsi
(74%).
5.4.2 Penilaian Sampel Terhadap Rasa Makanan
Rasa makanan adalah rasa yang ditimbulkan dari makanan
yang disajikan ini merupakan faktor kedua yang menentukan
citarasa makanan setelah penampilan itu sendiri. Untuk melakukan
citarasa lebih banyak menggunakan indra pengecapan. Indra
kecapan dapat dibagi menjadi 4 macam yaitu rasa asin, rasa pahit,
rasa manis dan rasa asam ( Winarno,1997). Menurut Moehyi
(1992), rasa makanan dipengaruhi oleh aroma, tekstrur, suhu,
bumbu dan tingkat kematangan. Penilaian sampel terhadap rasa
makanan yang disajikan dapat dilihat pada tabel berikut ini :
44
TABEL 5.4
DISTRIBUSI FREKUENSI PENILAIAN SAMPEL
TERHADAP RASA MAKAN SIANG YANG DISAJIKAN
DI BATALYON INFANTERI 310/KK CIKEMBAR SUKABUMI
TAHUN 2011
Rasa n %
Baik 22 51,2
Kurang 21 48,8
Jumlah 43 100
Berdasarkan tabel diatas, data yang diperoleh dari kuesioner
tentang kualitas makan siang yang disajikan diketahui dari 43
sampel, sebesar 22 orang (51,2%) menyatakan rasa makanan baik
dan sebesar 21 orang (48,8%) menyatakan rasa makanan kurang
baik.
Dari data tersebut dapat diketahui bahwa tidak ada
perbedaan yang jauh atara penilaian makanan yang baik dan
kurang baik. Salah satu aspek dari rasa makanan yang dinilai
kurang baik oleh sampel dalam penelitian ini yaitu suhu makanan.
Sebanyak 20 orang (46,5%) dari 43 orang menilai suhu makanan
kurang baik.
Penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh
Fathonah tahun 2003 tentang hubungan persepsi siswa terhadap
cita rasa dengan daya terima makan siang siswa Wing Dik Tekkal
Lanud Husein Sastranegara Bandung, dimana sebesar 46,03%
siswa menilai kurang baik terhadap rasa yang disajikan.
Hal tersebut terjadi karena terdapat jeda waktu yang agak
lama antara waktu pendistribusian dengan waktu makan para
prajurit remaja yang mempunyai kegiatan yang tidak tentu. Selain
itu juga, tempat penyajian sayurnya tidak disertai dengan alat
penghangat makanan. Dengan itu perlu adanya alat penghangat
45
makanan khususnya untuk sayur yang berkuah. Menurut Pujinuryat
(2008), suhu makanan juga mempengaruhi daya terima seseorang
terhadap makanan yang disajikan sesuai dengan cuaca/lingkungan.
Selain suhu, sebanyak 14 orang(32,6%) menyatakan aroma
kurang baik dan 10 orang (23,3%) menyatakan bumbu dari
salahsatu menu yang disajukan yaitu soto kurang baik. Penilaian
yang kurang terhadap aroma dan bumbu tersebut terjadi karena
pihak penyelenggaraan makanan belum pernah melakukan
perencanaan dan pelatihan mengenai standar bumbu sehingga
belum menggunakan standar bumbu dalam proses pengolahannya.
Dalam perencanaan tersebut diperlukan seorang yang ahli yaitu
seorang ahli gizi. Jenis bumbu yang digunakan dan banyaknya
masing-masing jenis bumbu sudah ditentukan dalam setiap resep
masakan ( Pujinuryat, 2008).
5.4.3 Penilaian Sampel Terhadap Citarasa Makanan
Cita rasa makanan menimbulkan terjadinya rangsangan
terhadap berbagai indera dalam tubuh manusia, terutama indera
penglihatan, indera penciuman dan indera pengecap. Makanan
yang memiliki cita rasa yang tinggi adalah makanan yang disajikan
dengan menarik, menyebarkan bau yang sedap dan memberikan
rasa yang lezat. Penilaian cita rasa makanan yang dilakukan
konsumen merupakan suatu persepsi, dimana merupakan suatu
penilaian yang bersifat subyektif (Moehyi, 1992). Makanan yang
memiliki cita rasa tinggi adalah makanan yang disajikan dengan
menarik, menyebarkan bau yang sedap, bersih, dan memberikan
rasa yang lezat. Hasil dari penilaian citarasa makan sampel dapat
dilihat pada tabel berikut ini:
46
TABEL 5.5
DISTRIBUSI FREKUENSI PENILAIAN SAMPEL
TERHADAP CITARASA MAKAN SIANG YANG DISAJIKAN
DI BATALYON INFANTERI 310/KK CIKEMBAR SUKABUMI
TAHUN 2011
Citarasa n %
Baik 22 51,2
Kurang 21 48,8
Jumlah 43 100
Berdasarkan tabel diatas, data yang diperoleh dari kuesioner
tentang kualitas makan siang yang disajikan diketahui dari 43
sampel, sebesar 22 orang (51,2%) menyatakan citarasa makanan
baik dan sebesar 21 orang (48,8%) menyatakan citarasa kurang
baik.
Hal tersebut timbul karena adanya beberapa faktor yang
mempengaruhi seperti penilaian sampel terhadap penampilan
makanan yang masih kurang sebanyak 20 orang (46,5%) dan rasa
makanan yang masih kurang sebanyak 21 orang (48,8%). Menurut
(Moehyi,1992), cita rasa mencakup dua aspek utama, yaitu
penampilan sewaktu dihidangkan dan rasa makanan saat dimakan.
Aspek dari penampilan yang paling menonjol yaitu aspek
warna makanan. Sebesar 46,5% yang menyatakan aspek warna
makanan kurang baik. Hal itu terlihat dari menu hari ke-1 dan ke-2
penelitian disominasi oleh warna kuning kecoklatan yaitu soto,
tempe goreng, ayam bumbu kecap, sayur lodeh. Selain itu juga,
dalam aspek rasa makanan yang paling menonjol yaitu suhu
(46,5%), aroma (32,6%) dan bumbu (23,3%). Salah satu faktor
yang menyebabkan kedua aspek citarasa itu kurang adalah karena
perencanaan menunya tidak dibantu oleh seorang ahli gizi. Kedua
47
aspek ini sama pentingnya untuk diperhatikan agar betul-betul
dapat menghasilkan makanan yang memuaskan.
Penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh
Fathonah tahun 2003 tentang hubungan persepsi siswa terhadap
cita rasa dengan daya terima makan siang siswa Wing Dik Tekkal
Lanud Husein Sastranegara Bandung, dimana sebesar 46,03%
siswa menilai kurang baik terhadap rasa yang disajikan.
5.5 Asupan Energi Sampel
Asupan energi adalah rata-rata asupan energi sampel dari
makan siang selama 2 hari tidak berturut-turut yang dibandingkan
dengan kebutuhan energi makan siang.
TABEL 5.6
DISTRIBUSI FREKUENSI ASUPAN ENERGI SAMPEL
DARI MAKAN SIANG YANG DISAJIKAN
BATALYON INFANTERI 310/KK CIKEMBAR SUKABUMI
TAHUN 2011
Asupan Energi n %
Baik 41 95,3
Kurang 2 4,7
Jumlah 43 100
Hasil penelitian menunjukan asupan energi makan siang
sampel yang didapat dari makanan yang disediakan berkisar antara
777, 8 kkal sampai 1283,05 kkal dengan rata-rata 933,28 kkal.
Kebutuhan energi makan siang setiap sampel merupakan 30% dari
kebutuhan sehari masing-masing sampel, dimana kebutuhan energi
standar (80% kebutuhan energi makan siang masing-masing
sampel) berkisar antara 730,75 kkal sampai 942,48 kkal.
48
Berdasarkan tabel diatas, menunjukan bahwa dari 43 orang
sampel yang diteliti, 41 orang (95,3%) memiliki asupan energi
makan siang yang baik, sedangkan sebanyak 2 orang (4,7) yang
memiliki asupan energi makan siang yang kurang. Dari data
tersebut sebagian besar sampel memiliki asupan energi makan
siang yang baik. Tetapi, masih adanya sampel yang asupan
energinya kurang.
Penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan
Anggraeni tahun 2010 tentang Hubungan antara Tingkat Konsumsi
Energi dan Protein dengan Status Gizi Siswa Pusat Pendidikan
Artileri Medan Cimahi Tahun 2010 yang mana sebesar 94,7%
memiliki tingkat konsumsi energi baik.
Hal tersebut timbul karena besar porsi dari makanan pokok
(nasi) yang diambil oleh sampel tersebut lebih sedikit dari standar
porsi yang ditentukan (400 gram) yaitu sekitar 257-274 gram.
Asupan makanan penting untuk memenuhi kebutuhan energi
dalam tubuh, meskipun cadangan energi menyediakan cadangan
penyangga pada kondisi kelaparan.(Marry, 2007)
5.6 Asupan Protein Sampel
Asupan protein adalah rata-rata asupan protein sampel dari
makan siang selama 2 hari tidak berturut-turut yang dibandingkan
dengan kebutuhan protein makan siang.
49
TABEL 5.7
DISTRIBUSI FREKUENSI ASUPAN PROTEIN SAMPEL
DARI MAKAN SIANG YANG DISAJIKAN
BATALYON INFANTERI 310/KK CIKEMBAR SUKABUMI
TAHUN 2011
Asupan Protein n %
Baik 30 69,8
Kurang 13 30,2
Jumlah 43 100
Hasil penelitian menunjukan asupan protein makan siang
sampel yang didapat dari makanan yang disediakan institusi
berkisar antara 26,3 gram sampai 38,2 gram dengan rata-rata
30,83 gram. Kebutuhan protein makan siang setiap sampel
merupakan 30% dari kebutuhan protein sehari masing-masing
sampel, dimana kebutuhan protein standar (80% kebutuhan energi
makan siang masing-masing sampel) berkisar antara 27,4 gram
sampai 35,34 gram. Berdasarkan tabel diatas, menunjukan bahwa
dari 43 orang sampel yang diteliti 30 orang (69,8%) memiliki
asupan protein makan siang yang baik, sedangkan sebanyak 13
orang (30,2%) memiliki asupan protein makan siang yang kurang.
Masih banyaknya asupan protein sampel yang kurang
disebabkan karena besar porsi dari lauk hewani yaitu ayam bumbu
kecap yang tidak semua sesuai dengan standar porsi yang telah
ditentukan. Selain itu terdapat beberapa sampel yang tidak
menyukai lauk nabati (tempe).
50
5.7 Hubungan Antara Cita Rasa Makan Siang yang disajikan dengan
Asupan Energi Makan Siang Sampel
Hubungan Antara Cita Rasa Makan Siang yang disajikan
dengan Asupan Energi Makan Siang Sampel dapat dilihat pada
tabel berikut ini :
TABEL 5.8
HUBUNGAN ANTARA CITARASA MAKAN SIANG
DENGAN ASUPAN ENERGI SAMPEL
DI BATALYON INFANTERI 310/KK CIKEMBAR SUKABUMI
TAHUN 2011
Citarasa
Makanan
Asupan Energi Total
Kurang baik Baik
n % n % n %
Kurang Baik 1 2,3 14 32,6 15 34,9
Baik 1 2,3 27 62,8 28 65,1
Total 2 4,6 41 95,4 43 100
Berdasarkan tabel diatas, dapat diketahui bahwa cita rasa
makanan mempengaruhi asupan energi makan siang sampel. Hal
ini dapat dilihat dari 28 orang sampel terdapat 27 orang (62,8%)
yang menilai citarasa dan asupan energinya baik.
Dari hasil uji statistic dengan menggunakan rumus Fisher
Exact menunjukan tidak adanya hubungan yang bermakna, dimana
nilai p-value > α (1 > 0,05).
Hal tersebut tidak sesuai dengan penelitian Nihayah (2007)
yang menyatakan bahwa ada hubungan yang bermakna antara
kualitas makanan dari segi penampilan dan rasa terhadap asupan
energi. Tetapi sesuai dengan penelitian Livianti (2009) yang
menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara
penilaian siswa terhadap citarasa dengan daya terima makan
siang.
51
Adanya sampel yang menilai baik terhadap citarasa
makanan dan asupan energi sebesar (62,8%), sedangkan sampel
yang menilai kurang terhadap citarasa dan asupan energi sebesar
(2,3%). Dari data tersebut terlihat bahwa sebagian besar sampel
menghabiskan makan siangnya. Sedangkan pada tabel 5.7
sebesar (48,8%) menyatakan citarasa kurang baik. Sehingga tidak
didapatkan adanya hubungan yang bermakna, padahal secara
teoritis ada hubungan antara citarasa dengan asupan energi.
Terdapat hal ini yaitu dikarenakan adanya keterbatasan
dalam hal metodologi penelitian dan pengumpulan data
(penimbangan makanan). Selain itu terdapat faktor lain yang belum
digali dalam penelitian ini. Faktor tersebut kemungkinan
diantaranya adalah kondisi kesehatan dari sampel yang mana pada
saat penelitian indera pengecapannya berkurang. Selain itu juga,
faktor tingkat kebosanan terhadap menu, sanitasi makanan dan
derajat kesukaan terhadap makanan.
5.8 Hubungan Antara Cita Rasa Makan Siang yang disajikan dengan
Asupan Protein Sampel
TABEL 5.9
HUBUNGAN ANTARA CITARASA MAKAN SIANG
DENGAN ASUPAN PROTEIN SAMPEL
DI BATALYON INFANTERI 310/KK CIKEMBAR SUKABUMI
TAHUN 2011
Citarasa
Makanan
Asupan Protein Total
Kurang Baik Baik
n % n % n %
Kurang Baik 20 46,5 5 11,6 25 58,1
Baik 10 23,3 8 18,6 18 41,9
Total 30 69,8 13 30,2 43 100
52
Berdasarkan tabel diatas, dapat diketahui bahwa cita rasa
makanan tidak mempengaruhi asupan protein makan siang sampel.
Hal ini dapat dilihat dari 25 orang sampel terdapat 20 orang (46,5%)
yang menilai citarasa dan asupan proteinnya kurang baik.
Dari hasil uji statistic dengan menggunakan rumus Fisher
Exact menunjukan tidak adanya hubungan yang bermakna antara
citarasa makan siang dengan asupan protein, dimana nilai p-value
> α (0,742 > 0,05).
Hal tersebut tidak sesuai dengan penelitian Nihayah (2007)
yang menyatakan bahwa ada hubungan yang bermakna antara
kualitas makanan dan asupan protein. Tetapi pada penelitian
Indriana (2005) menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang
bermakna antara persepsi siswa terhadap penampilan dan rasa
makanan dengan asupan protein.
Adanya sampel yang menilai kurang terhadap citarasa
makanan dan asupan protein sebesar (46,5%), sedangkan sampel
yang menilai baik terhadap citarasa dan asupan energi sebesar
(18,6%). Dari data tersebut didapatkan adanya hubungan yang
bermakna, padahal secara teoritis ada hubungan antara citarasa
dengan asupan energi.Hal ini dikarenakan adanya keterbatasan
dalam hal metodologi penelitian dan pengumpulan datanya serta
terdapat faktor lain yang belum dimunculkan dalam penelitian ini.
Kemungkinan faktor tersebut yaitu faktor psikologis, sosial, budaya
yang dapat mempengaruhi asupan makan seseorang.
Cita rasa ini merupakan salah satu aspek penilaian kualitas
makanan yang disajikan (Mukrie, 1990). Menurut Marry (2007)
asupan protein yang tidak adekuat jarang terjadi sendiri.
53
BAB VI
SIMPULAN DAN SARAN
6.1 Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian mengenai hubungan antara cita rasa
makan siang yang disajikan dengan asupan energi dan asupan
protein Prajurit Remaja Batalyon Infanteri 310/KK Cikembar Sukabumi
Tahun 2011, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
6.1.1. Batalyon Infanteri 310/KK adalah salahsatu institusi militer
sebagai satuan operasional Brigif 15 Kujang II.
6.1.2. Secara keseluruhan gambaran umum tentang
penyelenggaraan makanan di Batalyon Infanteri 310/KK
adalah cukup baik, dilaksanakan secara swakelola yang
diperuntukan bagi prajurit remaja yang belum berkeluarga
tetapi dalam perencanaan bahan makanan tidak menghitung
nilai Gizi tapi hanya berdasarkan jumlah prajurit.
6.1.3. Prajurit remaja yang dijadikan sampel ini berjumlah 43 orang
yang sebagian besar berumur 18-30 tahun (97,7%).
6.1.4. Penilaian sampel terhadap penampilan makan siang yang
disajikan kurang baik (46,5%) dan baik (53,5%),
6.1.5. Penilaian sampel terhadap rasa makan siang yang disajikan
kurang baik (48,8%) dan baik (51,2%),
6.1.6. Penilaian sampel terhadap citarasa makan siang yang
disajikan kurang baik (48,8%) dan baik (51,2%),
6.1.7. Dari Hasil penelitian menunjukan asupan energi makan siang
sampel berkisar antara 777, 8 kkal sampai 1283,05 kkal
dengan rata-rata 933,28 kkal.
6.1.8. Dari 43 orang sampel yang diteliti, 41 orang (95,3%) memiliki
asupan energi makan siang yang baik, sedangkan sebanyak 2
53
54
orang (4,7%) memiliki asupan energi makan siang yang
kurang.
6.1.9. Hasil penelitian menunjukan asupan protein makan siang
sampel berkisar antara 26,3 gram sampai 38,2 gram dengan
rata-rata 30,83 gram.
6.1.10. Dari 43 orang sampel yang diteliti, 30 orang (69,8%) memiliki
asupan protein makan siang yang baik, sedangkan sebanyak
13 orang (30,2%) memiliki asupan protein makan siang yang
kurang.
6.1.11. Berdasarkan hasil uji Fisher Exact dengan tingkat
kepercayaan 90%(α=0,05) ternyata tidak ada hubungan yang
bermakna antara citarasa makan siang dengan asupan energi
( p=1)
6.1.12. Berdasarkan hasil uji Fisher Exact dengan tingkat
kepercayaan 90%(α=0,05) ternyata tidak ada hubungan yang
bermakna antara citarasa makan siang dengan asupan
protein (p=0,742)
6.2 Saran
6.2.1. Perlu adanya perencanaan menu dari mulai pola menu, siklus
menu, standar porsi, standar bumbu yang baku dengan
bantuan tenaga ahli gizi dalam pengelolaannya.
6.2.2. Karena perencanaan standar bumbu belum ada perlu
dilakukannya pelatihan perencanaan menu pada petugas
penyelenggaraan makanan oleh ahli gizi.
6.2.3. Pihak Batalyon Infanteri 310/KK Cikembar disarankan setiap
bulan untuk menyebarkan kuesioner evaluasi citarasa
makanan kepada seluruh konsumen secara berkala dan
ditindak lanjuti.
6.2.4. Agar tempat penyajian sayur selalu hangat maka di setiap
barak diperlukan alat penghangat makanan.
55
6.2.5. Dari segi Rasa makanan untuk mempermudah dan adanya
kesesuaian bumbu maka sebaiknya dibuat standar bumbu
untuk masing-masing hidangan atau masakan.
56
DAFTAR PUSTAKA
Almatsier, Sunita. 2004. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta : PT Gramedia
Pustaka Utama.
Anggraeni, Dhona Dwi. 2010. Hubungan antara Tingkat Konsumsi Energi
dan Protein dengan Status Gizi Siswa Pusat Pendidikan Artileri
Medan Cimahi Tahun 2010. Bandung: Poltekkes Kemenkes
Bandung Jurusan Gizi.
Barasi, Mary E. 2007. At a Glance ILMU GIZI. Jakarta : Erlangga.
Chrisnandi, Yuddy. 2007. Dilema Politik Anggaran Pertahanan. Jakarta :
LP3ES.
Depkes RI. 1991. “ Pedoman Pengelolaan Makanan Bergizi untuk pekerja
“. Jakarta : Direktorat Jendral Pembinaan Kesehatan Masyarakat
dan Direktorat Bina Gizi Masyarakat.
Dephan. 2010. Meningkatkan Kemampuan Pertahanan Negara. Dikutip
dari www.dephan.go.id pada tanggal 3 april 2010.
Depkes RI. 1991. Menyusun Menu Makanan Karyawan. Jakarta
Fathonah, Siti. 2003. Hubungan Persepsi Siswa Terhadap Cita Rasa
dengan Daya Terima Makan Siang yang disajikan di Asrama Wing
Pendidikan Teknik dan Pembekalan ( Wing Dik Tekkal) TNI AU
Lanud Husein Sastranegara bandung Tahun 2003. Bandung :
Poltekkes Depkes Bandung Jurusan Gizi.
Febrianti, Dessy. 2009. Penyelenggaraan Makanan, Tingkat Konsumsi
dan Analisis Preferensi Atlet di SMA Negeri Ragunan Jakarta.
Bogor : Institut Pertanian Bogor.
56
57
Handayani, Christiani. 2003. Hubungan antara Kualitas Makanan dengan
Asupan Energi dan Protein Siswa Wing Pendidikan Teknik dan
Pembekalan ( Wing Dik Tekkal) TNI AU Lanud Husein
Sastranegara bandung Tahun 2003. Bandung : Poltekkes Depkes
Bandung Jurusan Gizi.
Karyadi dan Muhilal, 1996. Kecukupan Gizi Yang Dianjurkan. Jakarta: PT
Gramedia
Kesad. 2010. Kesehatan Militer Matra Darat. Dikutip dari
http://www.kesad.mil.id/content/kesehatan-matra-darat.html pada
tanggal 3 april 2010.
Khan, Mahmood. 1987. “ Food Service Operation “. Van Nostrand Rein
Hold Company. New York.
Mabes TNI AD. 2003. Buku Pedoman Kesehatan Preventif Militer TNI AD.
Jakarta
Mabes TNI AD. 2005. Sejarah Perjuangan dan kepemimpinan TNI AD.
Jakarta.
Mabes TNI AD. 2010. Sejarah TNI. Dikutip dari
http://www.tni.mil.id/reputation.php?q=dtl&id=6.html pada tanggal
12 Mei 2010.
Mahaffey, Mary J et all. 1981. Food Service System. Academic Press, Inc
London, New York
Moehyi, Sjahmien. 1992. “ Penyelenggaraan Makanan Institusi dan Jasa
Boga “. Jakarta : Bharata.
Muchotob, Elmiar dkk. 1991. Pedoman Manajemen Pelayanan Gizi
Makanan Berkelompok. Jakarta : Depkes RI.
58
Mukrie, Nursiah, dkk. 1990. Manajemen Pelayan Gizi Institusi Dasar .
Jakarta : Proyek Pengembangan Pendidikan Tenaga Gizi Pusat
Bekerja sama dengan AKZI Jakarta
Mukrie, Nursiah, dkk. 1990. Manajemen Pelayanan Gizi Institusi Lanjut.
Jakarta : Proyek Pengembangan Pendidikan Tenaga Gizi Pusat
Bekerja Sama dengan AKZI Jakarta
Murti, Bhisma. 1996. Penerapan Metoda Statistika Non Parametrik Dalam
Ilmu Kesehatan. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
Nihayah, Siti. 2007. Hubungan Antara Kualitas Makan Siang Yang
Disajikan Dengan Asupan (Energi, Protein) Siswi Madrasah
Tsanawiyah Di Pondok Pesantren Darul Arqam Muhamadiyah
Garut. Bandung : Poltekkes Bandung Jurusan Gizi.
Notoatmodjo, Sukidjo. 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan . Jakarta :
Rineka Cipta.
Sunarsasi, Erna. 2007. Hubungan Antara Tingkat Konsumsi Energi dan
Status Gizi Prajurit Remaja Batalion Kesehatan Divisi Infanteri I
Kostrad Bogor. Bandung : Poltekkes Bandung Jurusan Gizi.
Supariasa, I Dewa Nyoman. 2002. Penilaian Status Gizi. Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
West, Bassie B. Dan Levelle Wood. 1988. Food Service In Institution.
Edisi 6. New York: Macmillan Publishing.
Winarno, F.G. 2004. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta : PT Gramedia
Pustaka Utama.
www.jtptunimus-gdl-s1-2008-pujinuryat-500-3-bab2.pdf pada tanggal 2 Juli
2010.
59
www.jtptunimus-gdl-s1-2008-sumiyati-1019-2-bab2.pdf pada tanggal 2 Juli
2010.
60