1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Jerawat merupakan penyakit kulit yang disebabkan oleh peradangan pada
kelenjar minyak kulit (folikel pilosebasea) yang ditandai dengan perubahan klinis
berupa komedo pada wajah, punggung, dan dada (Sulastomo, 2013). Jerawat dapat
menimbulkan gangguan kesehatan yang berimplikasi terhadap kecantikan sehingga
mempengaruhi penampilan dan kepercayaan diri penderita (Oz dan Roizen, 2008).
Salah satu faktor timbulnya jerawat adalah bakteri Staphylococcus aureus
(Lovečková dan Havlíková, 2002). S. aureus yang diisolasi oleh Khorvash dkk
(2012) menunjukkan resistensi terhadap antibiotik doksisiklin dan tetrasiklin.
Resistensi terhadap antibiotik menjadi salah satu alasan mengapa penggunaan
bahan alam kini semakin meningkat sebagai alternatif pengobatan selain antibiotik.
Obat-obatan herbal telah tersedia di pasaran untuk mengatasi jerawat,
termasuk yang ditujukan pada penggunaan di kulit. Pengobatan ini menggunakan
bahan-bahan yang natural sehingga diharapkan efek samping yang ditimbulkan
minimal. Dewasa ini ada kecenderungan peningkatan penelitian dan penggalian
informasi mengenai potensi herbal sehingga masyarakat lebih memilih pengobatan
dengan herbal sebagai alternatif terapi (Bedi dan Shenefelt, 2002).
Mengkudu (Morinda citrifolia L.) adalah tanaman tropis yang memiliki
khasiat sebagai antiinflamasi, antibakteri, analgesik, dan antikanker. Kandungan
alizarin, acubin, L-asperulosida, skopoletin dan beberapa zat antrakuinon dalam
buah mengkudu bersifat sebagai antibakteri (Chan-Blanco dkk., 2006). Berdasar-
2
kan penelitian Srinivasahan dan Durairaj (2014), ekstrak buah mengkudu memiliki
aktivitas antibakteri dan antifungi terhadap Escherichia coli, Klebsiella
pneumoniae, Pseudomonas aeruginosa, Candida albicans, Apergillus fumigatus,
dan Aspergillus niger.
Penggunaan mengkudu sebagai antijerawat secara empiris adalah dengan
cara dihaluskan dan digunakan sebagai masker (Anonim, 2014). Penggunaan
seperti itu dirasa tidak dapat diterima dan tidak praktis sehingga dibuat menjadi
bentuk sediaan gel agar lebih mudah untuk digunakan masyarakat. Gel adalah
sediaan semisolid yang mengandung molekul kecil atau besar yang terdispersi
dalam cairan dengan penambahan basis. Pengobatan jerawat membutuhkan proses
sehingga gel cocok menjadi terapi karena dapat melekat di kulit. Pemilihan basis
akan berpengaruh terhadap sifat fisik dan aktivitas gel yang dihasilkan karena basis
memungkinkan bahan aktif tetap stabil dan mudah dilepaskan ketika diaplikasikan
pada kulit (Asmara dkk., 2012).
Hydroxypropyl methylcellulose (HPMC) merupakan basis yang yang sering
digunakan karena dapat membentuk gel yang jernih dan bersifat netral serta
memiliki viskositas yang stabil pada penyimpanan jangka panjang. Basis ini dapat
menghasilkan gel yang lebih jernih dengan jumlah serat-serat tidak larut yang lebih
sedikit dibandingkn metil selulosa (Rogers, 2009). HPMC mengembang terbatas
dalam air sehingga merupakan bahan pembentuk hidrogel yang baik. Hidrogel
memiliki residu yang rendah, biokompabilitas yang baik, dan tidak lengket ketika
diaplikasikan. Kandungan air yang tinggi pada hidrogel memberikan kenyamanan
yang lebih baik dibandingkan salep (Kircik dkk., 2010; Peppas dkk., 2000).
3
Berdasarkan uraian tersebut, maka perlu dilakukan penelitian mengenai pengaruh
variasi konsentrasi HPMC sebagai basis terhadap sifat fisik dan aktivitas gel ekstrak
etanolik buah mengkudu yang dihasilkan.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, terdapat
beberapa rumusan masalah yang akan diangkat dalam penelitian ini, yaitu:
1. Bagaimanakah pengaruh variasi konsentrasi HPMC terhadap sifat fisik gel
ekstrak etanolik buah mengkudu?
2. Bagaimanakah pengaruh variasi konsentrasi HPMC terhadap aktivitas
antibakteri gel ekstrak etanolik buah mengkudu?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah diuraikan, maka penelitian ini
dilakukan dengan tujuan sebagai berikut:
1. Mengetahui pengaruh variasi HPMC terhadap sifat fisik gel ekstrak etanolik
buah mengkudu.
2. Mengetahui pengaruh variasi konsentrasi HPMC terhadap aktivitas antibakteri
gel ekstrak etanolik buah mengkudu.
D. Pentingnya Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk mengetahui pengaruh
HPMC terhadap sifat fisik dan aktivitas antibakteri gel ekstrak etanolik buah
mengkudu. Hal ini diharapkan dapat membantu efektivitas serta kenyamanan
4
penggunan buah mengkudu sebagai antijerawat yang lebih dapat diterima oleh
masyarakat.
E. Tinjauan Pustaka
1. Kulit
Kulit merupakan organ terberat dan terluas yang menutupi permukaan
tubuh. Komposisi kulit terdiri atas 70% air, 25% protein, dan kurang dari 5%
lemak. Fungsi kulit adalah pelindung dari berbagai macam gangguan dan
rangsangan lingkungan luar. Fungsi perlindungan ini terjadi melalui sejumlah
mekanisme biologis, seperti pembentukan lapisan tanduk secara terus-
menerus, respirasi, pengaturan suhu tubuh, produksi sebum dan keringat,
pembentukan pigmen melanin untuk melindungi kulit dari bahaya sinar
ultraviolet matahari, sebagai alat sensor serta pertahanan terhadap tekanan
dan infeksi dari luar (Oz dan Roizen, 2008).
Kulit terbagi menjadi tiga lapisan pokok, yaitu :
a. Epidermis
Epidermis adalah lapisan luar kulit yang tipis dan avaskuler dengan
ketebalan kurang dari 1 mm. Epidermis tersusun oleh keratinosit,
melanosit, sel Langerhans, dan sel Merkel. Regenerasi epidermis terjadi
setiap 6-8 minggu. Hasil akhir diferensiasi sel keratinosit membentuk
stratum korneum (Oz dan Roizen, 2008; Asmara dkk., 2012).
b. Dermis
Dermis terdiri atas jaringan ikat yang menyokong epidermis dengan
ketebalan 2-3 mm. Dermis mempunyai jaringan pembuluh darah, saraf,
5
dan struktur lain yaitu folikel rambut, kelenjar sebasea, dan kelenjar
keringat. Kelenjar keringat ini berperan sebagai pelumas di kulit dan
mencegah masuknya bakteri (Oz dan Roizen, 2008).
c. Subkutis
Subkutis merupakan jaringan ikat longgar yang sebagian besar
tersusun oleh lapisan lemak. Lemak dalam subkutis berperan sebagai
penyekat panas dan penahan guncangan bagi tubuh (Oz dan Roizen,
2008).
Menurut Voigt (1984) ada beberapa faktor yang mempengaruhi
absorpsi bahan obat dari sediaannya ke dalam kulit :
a. Sifat kulit, yaitu kondisi kulit, jenis kulit, dan perlakuan kulit.
b. Sifat dan pengaruh obat, yaitu konsentrasi, kelarutan di dalam basis,
ukuran molekul, daya difusi, kecepatan pelarutan, daya disosiasi,
distribusi antara fase basis, situasi distribusi antara sediaan dan kulit.
c. Sifat dan pengaruh sediaan obat, yaitu sifat pembawa (hidrofil, lipofil,
jenis emulsi) dan teknik pembuatan.
2. Jerawat
Jerawat adalah kondisi abnormal kulit yang disebabkan produksi
kelenjar sebasea berlebih sehingga menyebabkan penyumbatan saluran
folikel rambut dan pori-pori kulit. Jerawat dapat timbul di permukaan kulit
muka, bagian dada, dan lengan atas.
6
a. Jenis jerawat yang umum dijumpai :
1). Komedo
Whitehead adalah komedo yang tertutup akibat tersumbatnya pori-
pori oleh sebum dan sel-sel kulit. Whitehead berukuran kecil,
berwarna putih yang muncul di bawah permukaan kulit. Komedo
yang terbuka disebut sebagai blackhead, terlihat seperti pori-pori
yang membesar dan menghitam. Warna hitam yang muncul
merupakan sebum dan sel-sel kulit mati yang teroksidasi dengan
udara.
2). Papul
Papul nampak seperti benjolan-benjolan lunak, berwana merah
muda di permukaan kulit disertai peradangan yang nyata. Papul
disebabkan oleh dinding folikel rambut yang rusak sehingga sel
darah putih keluar dan menyebabkan inflamasi.
3). Pustul
Pustul merupakan papul yang berkembang menjadi benjolan
berwarna merah dengan nanah di bagian atas. Nanah ini berisi sel-
sel darah putih yang muncul ke permukaan. Sembilan puluh persen
kasus penderita jerawat mengalami papul dan pustul.
4). Jerawat batu (cystic acne)
Jerawat batu jerawat berukuran besar, berisi nanah, dan disertai
inflamasi. Jerawat batu dapat menyerang jaringan kulit bagian dalam
sehingga dapat menimbulkan bekas luka (Ramli dkk., 2012).
7
b. Penyebab timbulnya jerawat
1). Hormonal
Hormon testosteron (androgen) yang berlebih akan memacu sekresi
kelenjar sebasea secara hiperaktif. Akibatnya, akan timbul jerawat
pada wajah, dada, dan punggung. Pada wanita, selain hormon
androgen, produksi lipida dari kelenjar sebasea dipacu oleh
Luteinizing hormone (LH) yang meningkat saat menjelang
menstruasi.
2). Makanan
Menurut para pakar peneliti di Colorado State University
Department of Health and Exercise, makanan yang mengandung
kadar gula dan kadar karbohidrat yang tinggi memiliki pengaruh
yang cukup besar dalam menimbulkan jerawat. Konsumsi gula
berlebih akan meningkatkan kadar insulin dalam darah yang memicu
produksi hormon androgen. Hormon androgen akan memicu
timbulnya produksi minyak berlebih pada wajah sehingga
menyebabkan jerawat.
8
3). Hiperkeratosis pada infundibulum rambut
Hiperkeratosis pada infundibulum folikel rambut akan
menyebabkan lapisan sel tanduk menjadi lebih tebal sehingga
menyumbat folikel rambut dan membentuk komedo. Folikel rambut
yang tersumbat akan menutup sebum. Pengeluaran sebum yang tidak
normal ini akan merangsang bakteri penyebab jerawat dan
menimbulkan peradangan (Mitsui, 1997).
4). Infeksi bakteri
Menurut Lovečková dan Havlíková (2002), jerawat dapat
disebabkan oleh aktivitas bakteri seperti Propionibacterium acne,
Staphylococcus epidermidis, dan Staphylococcus aureus.
Terakumulasinya sebum oleh adanya kelebihan sekresi dan
hiperkeratosis pada infundibulum rambut menjadi sumber nutrisi
yang baik bagi pertumbuhan P. acne. Enzim lipase yang dihasilkan
dari bakteri tersebut menguraikan trigliserida pada sebum menjadi
asam lemak bebas yang menyebabkan inflamasi dan akhirnya
terbentuk jerawat. S. epidermidis dan S. aureus dapat menimbulkan
infeksi sekunder pada jerawat. Stres, genetik, lingkungan, dan kerja
berlebih rambut juga merupakan faktor yang dapat menyebabkan
timbulnya jerawat (Mitsui, 1997).
9
c. Pengobatan jerawat
1). Pengobatan topikal
Pengobatan topikal dilakukan untuk mencegah pembentukan
komedo, menekan peradangan, dan mempercepat penyembuhan lesi.
Penggunaan obat topikal diantaranya dengan bahan iritan yang dapat
mengelupas kulit, kortikosteroid topikal atau suntikan intralesi untuk
mengurangi radang yang terjadi.
2). Pengobatan sistemik
Pengobatan sistemik ditujukan untuk menekan pertumbuhan jasad
renik, mengurangi reaksi radang, menekan produksi sebum, dan
mempengaruhi perkembangan hormonal. Pengobatannya dengan
memberikan golongan obat sistemik yang terdiri atas antibiotik
(tetrasiklin, eritromisin atau klimdamisin) dan obat hormonal yang
dapat menekan produksi androgen (etinil estradiol dan antiandrogen
siproteron).
3). Bedah kulit
Tindakan bedah kulit kadang-kadang diperlukan terutama untuk
memperbaiki jaringan parut yang timbul akibat jerawat vulgaris
yang meradang. Tindakan dapat dilaksanakan setelah jerawat
sembuh dengan cara bedah listrik, bedah kimia, bedah beku, bedah
pisau, dermabrasi atau bedah laser (Wasitaatmadja, 1997).
10
3. Buah mengkudu
a. Klasifikasi tanaman (Sjabana dan Bahalwan, 2002) :
divisi : Spermatophyta
sub divisi : Angiospermae
kelas : Dicotyledone
anak kelas : Sympetalae
bangsa : Rubiales
suku : Rubiaceae
marga : Morinda
jenis : Morinda citrifolia L.
b. Ciri umum buah mengkudu
Perbungaan mengkudu bertipe bonggol bulat, bergagang 1-4
cm. Mula-mula buah berwarna hijau, menjelang masak menjadi putih
kekuningan. Buah matang berwarna putih transparan dan lunak. Daging
buah tersusun dari buah-buah batu berbentuk piramid, berwarna cokelat
merah. Daging buah mengkudu yang lunak banyak mengandung air
yang aromanya seperti keju busuk. Bau tersebut muncul akibat
percampuran antara asam kaprik dan asam kaproat yang berbau tengik
serta asam kaprilat yang rasanya tidak enak (Bangun dan Sarwono,
2002).
11
Gambar 1. Buah mengkudu
c. Kandungan kimia dan khasiat
Jus buah mengkudu mengandung senyawa fenol, seperti
damnacanthal, skopoletin, morindon, alizarin, acubin, rubiadin, dan
senyawa antrakuinon lainnya. Kandungan damnacanthal memiliki
kemampuan antikanker dengan menghambat perkembangan sel K-ras-
NRK. Skopoletin adalah senyawa golongan kumarin yang memiliki
sifat analgesik dengan cara mengontrol kadar serotonin dalam tubuh.
Selain itu, skopoletin memiliki khasiat sebagai antibakteri dan efek
antihipertensi (Chan-Blanco dkk., 2006).
Xeronin yang terkandung dalam buah mengkudu dapat
mencegah kerusakan jantung akibat infeksi Staphylococcus dan
Shigella yang menyebabkan disentri. Senyawa fenolik dalam buah
mengkudu diduga memiliki aktivitas sebagai antibakteri terhadap S.
aureus. Penelitian yang dilakukan oleh Candida dkk (2014)
menunjukkan bahwa ekstrak etanolik buah mengkudu dapat
menghambat pertumbuhan Escherichia coli dengan nilai KBM sebesar
10 mg/mL. Nitric oxide, skopoletin, vitamin C, dan vitamin A yang
dihasilkan buah mengkudu memiliki aktivitas antioksidan pencegah
12
radikal hidroksil (Bangun dan Sarwono, 2002; Sjabana dan Bahalwan,
2002).
4. Staphylococcus aureus
Staphylococcus aureus memiliki sistematika sebagai berikut (Salle,
1961):
divisi : Protophyta
kelas : Schizomycetes
bangsa : Eubacteriales
suku : Micrococcaceae
marga : Syaphylococcus
jenis : Staphylococcus aureus
Anggota genus Staphylococcus merupakan bakteri Gram positif
berbentuk bulat dengan diameter 1 µm yang tersusun dalam bentuk kluster
yang tidak teratur. Staphylococcus merupakan bakteri yang tidak motil,
membentuk spora yang tumbuh cepat pada suhu 37°C namun pembentukan
pigmen yang terbaik pada temperatur kamar (20-35°C). S. aureus biasanya
membentuk koloni abu-abu hingga kuning emas.
Gambar 2. S. aureus di bawah mikroskop elektron (Marques dkk., 2007)
13
Infeksi S. aureus diasosiasikan dengan beberapa kondisi patologi,
diantaranya jerawat, pneumonia, meningitis, dan arthritis. Sebagian besar
penyakit yang disebabkan oleh bakteri ini memproduksi nanah oleh karena
itu, bakteri ini disebut piogenik. S. aureus dapat menimbulkan penyakit
melalui kemampuannya berkembang biak dan menyebar luas dalam
jaringan karena pengaruh gabungan antara zat ekstraseluler dan toksin
bersama dengan sifat daya sebar yang invasif (Brooks dkk., 2001).
5. Aktivitas antibakteri
Metode untuk melakukan pengukuran aktivitas antibakteri suatu
senyawa dapat digunakan metode difusi maupun pengenceran (dilusi).
a. Metode difusi
1.) Kirby Bauer
Metode yang juga dikenal dengan nama disc diffusion ini
merupakan metode yang paling banyak digunakan untuk uji
aktivitas antibakteri. Metode ini termasuk dalam metode difusi
Agar yang dilakukan dengan cara mengambil beberapa koloni
bakteri yang sebelumnya telah ditumbuhkan selama 24 jam dan
disuspensikan ke dalam 0,5 ml media cair kemudian diinkubasi
selama 5-8 jam. Suspensi bakteri tersebut ditambahkan akudes
hingga mencapai kekeruhan yang memenuhi standar McFarland.
Selanjutnya dengan cotton swab yang telah steril, suspensi bakteri
dioleskan secara merata di seluruh media Agar. Kertas samir yang
14
telah berisi agen antibakteri selanjutnya diletakkan di atas media
Agar dan diinkubasi pada suhu 37°C selama 24 jam (Lorian, 1980).
2.) E-test
Metode ini digunakan untuk mengestimasi KHM (Kadar Hambat
Minimum) yaitu dengan menggunakan strip plastik yang
mengandung agen antimikroba dari kadar terendah hingga tertinggi
dan diletakkan pada permukaan media Agar yang telah ditanami
mikroorganisme. Pengamatan dilakukan pada area jernih yang
ditimbulkannya yang menunjukkan kadar agen antimikroba yang
menghambat pertumbuhan mikroorganisme pada media Agar
(Pratiwi, 2008).
3.) Ditch-plate technique
Substansi antibakteri diletakkan pada parit di sepanjang media
yang dibuat dengan memotong media Agar pada cawan petri.
Bakteri uji digoreskan pada parit berisi antibakteri (Hugo dan
Russell, 1998). Bakteri uji yang resisten terhadap zat antibakteri
akan tumbuh pada parit sedangkan bakteri uji yang tidak resisten
menunjukkan zona hambat di sekitar parit. Diameter zona hambat
memberikan gambaran aktivitas substansi antibakteri terhadap
bakteri uji (Kokare, 2008).
4.) Cup-plate technique
Subtansi antibakteri diletakkan pada sumuran media yang telah
ditanami bakteri. Pengamatan dilakukan pada diameter area jernih
15
yang berada di sekitar sumuran. Area jernih mengindikasikan
adanya hambatan pertumbuhan mikroorganisme oleh agen
antibakteri (Hugo dan Russell, 1998). Kekurangan metode ini
diantaranya adalah perlu berhati-hati dalam mengisi sumuran dan
menjaga cawan petri supaya isi sumuran tidak tumpah (Gavin,
1957).
5.) Gradient-plate technique
Pada metode ini konsentrasi agen antimikroba pada media Agar
secara teoritis bervariasi dari 0 hingga maksimal. Media Agar
dicairkan dan dilarutkan uji ditambahkan. Campuran kemudian
dituang kedalam cawan petri dan diletakkan dalam posisi miring.
Nutrisi kedua lalu dituang diatasnya. Hasil diperhitungkan sebagai
panjang total pertumbuhan mikroorganisme maksimum yang
mungkin dibandingkan dengan panjang pertumbuhan hasil goresan
(Pratiwi, 2008).
b. Metode dilusi
1). Dilusi cair
Metode ini mengukur KHM dan KBM (Kadar Bunuh Minimum)
suatu zat antibakteri. Cara yang dilakukan adalah dengan membuat
seri pengenceran agen antimikroba pada medium cair yang
ditambahkan dengan bakteri uji. Larutan uji agen antimikroba pada
kadar terkecil yang terlihat jernih tanpa adanya pertumbuhan
bakteri uji ditetapkan sebagai KHM. Larutan yang ditetapkan
16
sebagai KHM tersebut selanjutnya dikultur ulang pada media cair
pada penambahan bakteri uji ataupun agen antimikroba, dan
diinkubasi selama 18-24 jam. Media cair yang terlihat jernih
setelah inkubasi ditetapkan sebagai KBM (Pratiwi, 2008).
2). Dilusi padat
Metode dilusi padat dilakukan dengan membuat serial konsentrasi
antibakteri ke dalam medium Agar, biasanya dengan pengeceran
dua kali lipat. Prosedur pengerjaan dilusi padat sama dengan dilusi
cair namun menggunakan medium padat. Keuntungan metode ini
adalah dapat digunakan untuk beberapa bakteri sekaligus dalam
satu cawan dan KHM dapat diidentifikasi secara lebih mendalam
serta memperluas rentang konsentrasi agen antibakteri (OIE,
2012).
6. Ekstrak dan metode ekstraksi
Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi
zat aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut
yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan
massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi
baku yang telah ditetapkan (Anonim, 1995).
Salah satu metode ekstraksi adalah dengan cara maserasi. Maserasi
adalah proses pengekstrakan simplisia dengan menggunakan pelarut dengan
beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan
(Anonim, 2000).
17
Maserasi dilakukan dengan cara merendam serbuk simplisia hingga
meresap dalam cairan penyari. Cairan penyari akan menembus dinding sel
dan masuk ke dalam rongga sel sehingga melarutkan zat atif yang terdapat
pada serbuk simplisia sehingga akan terjadi perbedaan konsentrasi antara
larutan di dalam sel dengan di luar sel yang menimbulkan difusi. Larutan
dengan konsentrasi tinggi akan terdesak keluar dan diganti oleh cairan
penyari dengan konsentrasi rendah. Peristiwa tersebut berulang sampai
terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan di luar sel dan di dalam sel.
Kondisi tersebut dapat menyebabkan kejenuhan sehingga diperlukan
pengadukan untuk menjaga adanya derajat perbedaan konsentrasi zat aktif
yang sekecil-kecilnya antara di dalam sel dan di luar sel.
Keuntungan pengekstrakan dengan maserasi adalah cara pengerjaan
dan peralatan yang digunakan sederhana dan mudah diusahakan sehingga
proses ekstraksi yang dilakukan akan lebih terstandar karena mudah untuk
dikontrol. Kerugian metode ini adalah pengerjaannya lama dan hasil
penyarian kurang sempurna (Anonim, 1986).
7. Gel
Gel adalah suatu sistem semipadat yang tersusun dari partikel
anorganik yang kecil atau molekul organik yang besar dan saling diresapi
cairan. Gel yang tersusun dari molekul organik merupakan sistem satu fase
sedangkan gel yang tersusun dari molekul inorganik merupakan sistem dua
fase (Mahalingam dkk., 2008).
18
Penampilan gel adalah transparan atau berbentuk suspensi partikel
koloid yang terdispersi, dimana dengan jumlah pelarut yang cukup banyak
membentuk gel koloid yang mempunyai struktur tiga dimensi.
Terbentuknya gel dengan struktur tiga dimensi disebabkan adanya cairan
yang terperangkap sehingga molekul pelarut tidak dapat bergerak.
Sifat gel yang sangat khas yaitu :
a. Memiliki kemampuan untuk mengembang (swelling). Hal ini
disebabkan oleh komponen pembentuk gel mampu mengabsorpsi
larutan yang membuat volume bertambah. Pelarut berpenetrasi dengan
matriks gel sehingga terjadi interaksi antara pelarut dengan gel.
b. Sineresis, suatu proses yang terjadi akibat adanya kontraksi dalam
massa gel. Cairan yang terjerat di dalam gel akan keluar dan berada di
atas permukaan gel. Terjadinya kontraksi berhubungan dengan fase
relaksasi akibat adanya tekanan elastik saat pembentukan gel. Saat
terjadi tekanan elastik, terbentuklah massa gel yang tegar. Perubahan
ketegaran gel akan menyebabkan karakteristik antar matriks berubah
sehingga memungkinkan cairan bergerak ke permukaan.
c. Struktur gel bermacam-macam tergantung komponen pembentuk gel.
Bentuk struktur gel resisten terhadap perubahan atau deformasi dan
memiliki aliran viskoelastik (Zatz dan Kushla dkk., 1996).
Sediaan gel memiliki beberapa keuntungan, diantaranya adalah
kemampuan penyebarannya baik pada kulit, memberikan efek dingin, tidak
ada penghambatan fungsi rambut secara fisiologis, mudah dicuci dengan
19
air, dan mampu melepaskan obat dengan baik (Voigt, 1984). Kekurangan
bentuk sediaan gel yaitu memiliki efek protektif yang rendah sehingga tidak
dapat digunakan sebagai emolien (Asmara dkk., 2012).
8. Kontrol kualitas sediaan gel
a. Organoleptis
Pemeriksaan ini biasa dilakukan secara makroskopik dengan
mendeskripsikan warna, kejernihan, transparansi, kekeruhan, dan
bentuk sediaan. Pemeriksaan ini dapat pula dilakukan secara
mikroskopik yang dilakukan dengan mengambil gambar
microphotographs yang berguna untuk dokumentasi (Paye dkk., 2001).
b. Viskositas
Viskositas merupakan suatu gambaran ketahan benda cairan
untuk mengalir. Viskositas menentukan sifat sediaan dalam bahan
campuran dan sifat alirnya, pada saat diproduksi, pengemasan serta
sifat-sifat penting saat pemakaian, seperti konsistensi, daya sebar, dan
kelembapan. Viskositas juga akan mempengaruhi stabilitas fisik dan
ketersediaan hayati (Paye dkk., 2001). Semakin tinggi viskositas, waktu
retensi pada tempat aksi akan naik, sedangkan daya sebarnya akan
menurun. Viskositas sediaan dapat dinaikkan dengan menambah
polimer (Donovan dan Flanagan, 1996).
c. Daya lekat
Daya lekat berkaitan dengan kemampuan sediaan untuk
menempel pada lapisan epidermis. Semakin besar daya lekat gel, maka
20
semakin baik penghantaran obatnya. Tidak ada persyaratan khusus
mengenai daya lekat sediaan semipadat (Zatz dan Kushla, 1996).
d. Homogenitas
Pemeriksaan homogenitas dalam banyak kasus dilakukan secara
visual. Pengendapan dalam suatu larutan atau pemisahan fase dalam
suatu emulsi dapat dengan mudah dideteksi. Sistem campuran tak
transparan dan multifase sangat sulit untuk diperiksa. Pemeriksaan
sistem campuran yang demikian dilakukan secara mikroskopik dari
sampel yang ada, bersamaan dengan pengujian kuantitatif zat aktif
(homogenitas isi) (Paye dkk., 2001).
e. pH
pH menunjukkan derajat keasaman suatu bahan. Nilai pH
idealnya sama dengan pH kulit Hal ini bertujuan untuk menghindari
iritasi. pH normal kulit manusia berkisar antara 4,5-6,5 (Draelos dan
Lauren, 2006).
f. Daya sebar
Uji daya sebar dilakukan untuk menjamin pemerataan gel saat
diaplikasikan pada kulit yang dilakukan segera setelah gel dibuat. Daya
sebar terkait dengan kenyamanan saat pemakaian. Sediaan yaang
memiliki daya sebar baik berkisar 5-7 cm (Garg dkk., 2002).
21
9. Monografi bahan
a. Hidroksipropil metilselulosa (HPMC)
Nama lain dari HPMC antara lain adalah Benecel MHPC
(methylhydroxypropylcellulose); Methocel; hypromellosum;
methylcellulose propylene glycol ether; MHPC; Pharmacoat; Tylopur;
Tylose MO. HPMC memiliki ciri-ciri serbuk putih atau putih
kekuningan, tidak berbau, dan tidak berasa. HPMC larut dalam air
dingin dan membentuk koloid yang kental namun tidak larut di dalam
air panas, kloroform, etanol (95%), dan eter.
Pada sediaan topikal, HPMC banyak digunakan sebagai
suspending thickening agent. Sebagai koloid pelindung, HPMC dapat
mencegah tetesan air dan partikel mengalami penggabungan atau
aglomerasi (Rogers, 2009).
Gambar 3. Struktur HPMC (Rogers, 2009)
HPMC dapat menghasilkan larutan yang stabil pada pH 3-11
dan memberikan viskositas pada penyimpanan jangka panjang. Larutan
22
HPMC sebaiknya dikombinasikan dengan pengawet antimikroba untuk
mencegah pertumbuhan bakteri (Rogers, 2009).
b. Propilen glikol
Propilen glikol memiliki rumus molekul C3H8O2. Bahan ini
tidak berwarna, cairan kental, tidak berbau, dengan rasa agak manis,
dan berbau tajam yang menyerupai gliserin. Propilen glikol adalah
pelarut yang lebih baik dibandingkan dengan gliserin dan dapat
melarutkan berbagai bahan, seperti korikosteroid, fenol, obat-obat
golongan sulfa, barbiturat, vitamin (A dan D), sebagian besar alkaloid,
dan anastesi lokal (Weller, 2009).
Gambar 4. Struktur propilen glikol (Weller, 2009)
Dalam kondisi normal, propilen glikol stabil dalam wadah yang
tertutup rapat dan juga merupakan suatu zat kimia yang stabil bila
dicampur dengan gliserin, air atau alkohol. Penggunaan propilen glikol
pada sediaan topikal sebagai solven maupun kosolven berkisar 5-80%.
Bahan ini higroskopis sehingga harus disimpan dalam wadah yang
tertutup rapat, terlindung dari cahaya, dan dalam tempat yang kering
(Weller, 2009).
23
c. Metilparaben
Metilparaben memiliki rumus molekul C8O8O3 dan bobot jenis
152,15. Nama lain metilparaben antara lain Uniphen P-23; Nipagin M;
Solbrol M; Tegosept M dan metagin. Metilparaben memiliki berbentuk
hablur kecil, tidak berwarna atau putih, tidak berbau atau berbau khas
lemah, dan memiliki sedikit rasa terbakar.
Gambar 5. Struktur metilparaben (Haley, 2009)
Metilparaben sukar larut dalam air, dalam benzena, dan dalam
karbon tetraklorida namun mudah larut dalam etanol dan eter.
Metilparaben secara luas digunakan sebagai pengawet dan antimikroba
pada kosmetik. Bahan ini dapat digunakan sendiri maupun
dikombinasikan dengan antimikroba lain, seperti etil-, propil, dan
butilparaben untuk memberikan efek aktivitas yang sinergis.
Kemampuan ini juga dapat ditingkatkan dengan penambahan eksipien
lain seperti propilen glikol (Anonim, 1995; Haley, 2009).
24
d. Air murni
Air murni memiliki rumus molekul H2O. Bahan ini diperoleh
dari air yang dimurnikan melalui destilasi, perlakuan penukar ion,
osmosis balik, atau proses lain yang sesuai. Akuades dibuat dari air
yang memenuhi persyaratan minum dan tidak mengandung zat
tambahan lain. Pemerian dari air adalah cairan jernih, tidak memiliki
warna, dan bau. Air memiliki kisaran pH 5 hingga 7. Penyimpanan air
dilakukan dalam wadah tertutup rapat (Anonim, 1995).
F. Landasan Teori
Buah mengkudu memiliki beragam khasiat, salah satunya adalah sebagai
antijerawat. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Natheer dkk (2012), ekstrak
buah mengkudu memiliki KBM sebesar 25 mg/mL terhadap S. aureus. Kandungan
buah mengkudu yang berpotensi sebagai antibakteri adalah antrakuinon dan
flavonoid (Purwantiningsih dkk., 2014).
Efektivitas penggunaan buah mengkudu dapat ditingkatkan dengan
memformulasikan ke dalam bentuk sediaan gel. Gel merupakan sediaan topikal
yang dapat melekat pada kulit sehingga cocok untuk pengobatan penyakit kulit
seperti jerawat (Mahalingam dkk., 2008). Basis merupakan komponen penyusun
gel yang memiliki pengaruh terhadap viskositas, rheologi, stabilitas fisik, dan
penampilan gel (Laba, 2001). Salah satu basis yang sering digunakan dalam
formulasi gel adalah HPMC.
HPMC adalah basis gel nonionik yang dengan penambahan air akan
mengembang menjadi lebih kental (Rogers, 2009). Berdasarkan penelitian
25
Arikumalasari dkk (2013), kenaikan konsentrasi HPMC menaikkan viskositas,
daya lekat gel, dan menurunkan daya sebar gel ekstrak kulit buah manggis.
Kenaikan konsentrasi HPMC menyebabkan struktur gel menjadi lebih kaku
sehingga sulit untuk mengalir (Peppas dkk., 2000). Menurut penelitian yang
dilakukan oleh Setyaningrum (2013) aktivitas antibakteri gel kembang sepatu
secara in vitro terhadap S. aureus menurun dengan kenaikan konsentrasi HPMC.
Penurunan ini disebabkan oleh kenaikan viskositas gel yang mempersulit difusi zat
aktif dari pembawanya.
G. Hipotesis
1. Variasi konsentrasi HPMC berpengaruh terhadap sifat fisik gel. Kenaikan
konsentrasi HPMC menurunkan daya sebar, meningkatkan daya lekat dan
viskositas gel ekstrak etanolik buah mengkudu.
2. Penggunaan variasi konsentrasi HPMC sebagai basis akan mempengaruhi
aktivitas antibakteri gel ekstrak etanolik buah mengkudu. Semakin tinggi
konsentrasi HPMC, maka menurunkan difusi zat aktif dari sediaan.