1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Karya sastra merupakan hasil renungan seorang pengarang yang
dituangkan dalam bentuk tulis. Sastra adalah suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni
kreatif yang objeknya adalah manusia dan kehidupannya dengan menggunakan
bahasa sebagai mediumnya (Semi, 1993:8). Negara Indonesia sangat akrab
dengan dunia karya sastra. Perkembangan karya sastra itu sendiri juga mengalami
perkembangan pada generasi ke generasi akan tetapi tidak melupakan fungsi
utama dari karya sastra itu sendiri yaitu selain sebagai hiburan, karya sastra juga
harus berisi pelajaran untuk penikmat karya sastra itu sendiri. Bentuk karya sastra
beragam yakni ada jenis prosa dan puisi.
Puisi merupakan suatu karangan terikat yang terikat pada aturan-aturan
yang ketat (Pradopo, 2007:306). Puisi sebagai salah satu karya seni sastra tentu
dapat dikaji dari bermacam-macam aspek. Puisi dapat dikaji struktur dan unsur-
unsurnya, mengingat bahwa puisi itu adalah struktur yang tersusun dari
bermacam-macam unsur dan sarana-sarana kepuitisan Puisi itu dapat dikaji jenis-
jenis atau ragam-ragamnya, mengingat ada beragam-ragam puisi. Puisi dapat juga
dikaji dari sudut kesejarahannya, mengingat bahwa sepanjang sejarahnya, dari
waktu ke waktu puisi selalu mengalami perubahan dan perkembangan (Pradopo,
2007:1).
Masyarakat Jawa menganal puisi Jawa dengan dengan nama geguritan.
Geguritan berasal dari kata gurit yang berarti tulis, jadi geguritan adalah yang
1
2
ditulis atau tembang yang dikarang, tetapi secara luas geguritan berarti membuat
atau mengarang tembang atau melagukan tembang. Masyarakat Jawa selain
menganal geguritan juga mengenal macapat. Perbedaan antara geguritan dan
macapat terletak pada aturan tembang yaitu guru lagu, guru gatra, dan guru
wilangan.
Geguritan seringkali dijadikan pengarang sebagai media dalam
menuangkan pikiran dan juga kegelisahan yang dialami. Berbagai macam
peristiwa yang terjadi mampu diubah dalam bentuk suatu karya sastra, dengan
demikian karya sastra yang diciptakan pengarang tidak pernah terlepas dari
permasalahan yang dialami seorang pengarang itu sendiri. Hal ini yang dilakukan
seorang sastrawan bernama Wieranta. Wieranta merupakan salah satu sastrawan
yang aktif dalam membuat karya sastra baik berupa puisi, cerpen, dan geguritan.
Hasil karya Wiranta banyak yang diterbitkan dalam bentuk cetak, diantaranya
adalah kumpulan geguritan berjudul Dongeng Saka Pabaratan. Kumpulan
geguritan Dongeng Saka Pabaratan ini berisi tentang perjalanan hidup pengarang
serta kritik sosial pengarang terhadap keadaan lingkungan. Bentuk kasih sayang
pengarang terhadap sang anak yang terdapat dalam kumpulan Dongeng Saka
Pabaratan akan dijadikan sorotan utama dalam penelitian ini. Kumpulan
geguritan yang ada akan dikaji secara semiotika.
Bentuk kasih sayang yang terdapat dalam geguritan karya Wieranta
merupakan bentuk kewajaran antara orang tua terhadap anak. Setiap orang tua
akan merasakan sedih apabila anaknya sedang merasakan sakit. Salah satu contoh
geguritan karya Wieranta yang bertema kasih sayang orang tua terhadap anak
berjudul Lare Lara seperti yang terpapar di bawah ini.
3
Kutipan:
Kapan weruh gegambarane
Ati kekiris kaya
Hem, ngene perihe
Ngrasakake lare kang lagi lara
Wus sayah angine
Leren ana sangisore wit-witan
Hem, ngene lelakone
Yen lagi kena kacintrakan
Terjemahan:
Kapan melihat keadaan
Hati seperti teriris
Seperti ini perihnya
Merasakan anak yang sedang sakit
Sudah lelah anginnya
Beristirahat di bawah pepohonan
Seperti ini jalannya
Kalau sedang mendapat cobaan
Berdasarkan kutipan di atas dijelaskan bahwa seorang ayah merasa sangat
sedih apabila sang buah hati sedang dilanda sakit. Tidak hanya sang ayah, tetapi
4
ibu, nenek, dan seluruh keluarga juga ikut merasakan sakit apabila sang anak
sedang sakit meskipun sakit yang dirasakan berbeda. Orang tua akan
mengupayakan yang terbaik agar sang anak kembali sembuh dan dapat
beraktivitas lagi seperti sedia kala.
Pemilihan kumpulan puisi karya Wieranta sebagai objek penelitian
diantaranya adalah: pertama, geguritan merupakan salah satu karya sastra jawa
yang perlu dipertahankan agar tidak punah atau hilang tertelan jaman. Kedua,
tema tentang kasih sayang orang tua terhadap anak merupakan tema yang sangat
dekat dengan kehidupan sehari-hari karena setiap anak pasti terlahir dari kedua
orang tua. Ketiga, wieranta merupakan salah satu pengarang yang produktif dalam
berkarya, di sela-sela kesibukannya seagai seorang dosen, beliau masih bisa
menyisihkan waktu untuk menciptakan karya sastra.
Penelitian terhadap geguritan sudah banyak dilakukan. Geguritan juga
sudah cukup banyak dijadikan sebagai objek penelitian skripsi. Diantaranya
adalah:
1. Sumari (2014) dalam skripsinya yang berjudul Kritik Sosial dalam
Kumpulan Geguritan Puser Bumi Karya Gampang Prawoto (Tinjauan
Semiotika Michael Riffaterre). Penelitian tersebut membahas
mengenai struktur geguritan, makna geguritan, dan kritik sosial.
2. Dessi Apriliya Ningrum (2013) dalam skripsinya yang berjudul Aspek
Religius dalam Geguritan Irul S Budianto (Tinjauan Semiotika
Michael Riffaterre). Penelitian tersebut membahas mengenai struktur
geguritan, aspek religius geguritan, dan makna dari kedua puluh enam
5
geguritan karya Irul S Budianto bagi pembangunan spiritual
masyarakat.
3. Nandia Nessa Lestari (2012) dalam skripsinya yang berjudul
Religiositas dalam Kumpulan Geguritan Alam Sawegung Karya Sudi
Yatmana (Tinjauan Semiotika), yang membahas tentang struktur
geguritan, makna geguritan serta keunikan nilai religius yang
diungkapkan Sudi Yatmana dalam geguritan karyanya yang terkumpul
dalam Kumpulan geguritan Alam Sawegung.
Kesamaan antara penelitian ini terhadap penelitian terdahulu adalah
tinjauan yang sama. Tinjuan yang digunakan adalah tinjauan semiotika. Dalam
penelitian iini penulis akan menganalisis mendalam dan mengungkap makna
geguritan secara semiotik. Penulis dalam penelitian ini menghubungkan makna
geguritan dan bentuk kasih sayang orang tua terhadap anak.
Penelitian ini menggunakan pendekatan semiotik Riffatere karena
geguritan Wieranta mengandung berbagai tanda yang merangkai makna. Dengan
semiotika Riffatere, tanda-tanda yang ada dalam geguritan dapat diurai dan
pemaknaan menyeluruh. Semiotika Riffatere (dalam Pradopo, 1995:318)
menyoroti tentang tiga hal yaitu penggantian arti (displacing of meaning),
penyimpangan arti (distorting of meaning) dan penciptaan arti (creating of
meaning).
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
strukturalisme yang berdasakan konsep semiotika, karena dengan menggunakan
konsep ini dapat diketahui tanda-tanda kebahasaan yang terkandung di dalam
geguritan. Suatu penelitian haruslah dapat melakukan suatu pendekatan.
6
Pendekatan adalah cara memandang suatu hal, dan pendekatan sastra pada
dasarnya adalah memahami jenis sastra tertentu sesuai dengan sifatnya.
Berdasarkan konsep semiotika, yaitu dengan menganalisis karya
berdasarkan satuan-satuan tanda yang bermakna dengan tidak melupakan
hubungan fungsi satuan tanda tersebut (Pradopo, 2005:118). Dalam pendekatan
strukturalisme dinamika sastra tidak lepas dari konvensi-konvensi masyarakat,
baik masyarakat sastra maupun masyarakat pada umumnya, dan dipandang
sebagai suatu sistem tanda yang bermakna.
Berdasarkan tema yang diangkat yaitu tentang kacintaan Wieranta
terhadap sang anak, maka geguritan Wieranta tersebut akan diteliti lebih lanjut
dengan judul Bentuk Kasih Sayang Orang Tua kepada Anak dalam Kumpulan
Geguritan Dongeng Saka Pabaratan Karya Wieranta (Tinjauan Semiotika).
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan dari latar belakang di atas maka dirumuskan masalah
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana ciri ketidak langsungan puisi dalam tujuh geguritan karya
Wieranta berdasarkan teori Michael Riffaterre berupa penggantian arti,
penyimpangan arti, dan penciptaan arti?
2. Bagaimana makna tujuh geguritan dalam kumpulan geguritan Dongeng Saka
Pabaratan Karya Wieranta?
3. Bagaimanakah bentuk kasih sayang orang tua terhadap anak dalam kumpulan
geguritan Dongeng Saka Pabaratan Karya Wieranta?
7
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini diharapkan mampu mewujudkan beberapa tujuan yang ingin
dicapai berdasarkan rumusan masalah di atas. adapun tujuan dalam penelitian ini
adalah:
1. Mendeskripsikan ciri ketidak langsungan puisi dalam tujuh geguritan karya
Wieranta berdasarkan teori Michael Riffaterre berupa penggantian arti,
penyimpangan arti, dan penciptaan arti.
2. Mendeskripsikan makna tujuh geguritan dalam kumpulan geguritan
Dongeng Saka Pabaratan Karya Wieranta.
3. Mendeskripsikan bentuk kasih sayang orang tua terhadap anak dalam
kumpulan geguritan Dongeng Saka Pabaratan Karya Wieranta.
D. Batasan Masalah
Dalam penelitian ini penulis menitik beratkan pada tinjauan Semiotika,
penelitian Semiotika digunakan untuk meneliti geguritan karya Wieranta yang
ditulis dalam buku Kumpulan Geguritan dengan judul buku Dongeng Saka
Pabaratan.
Tinjauan Semiotika dalam penelitian ini guna mengetahui struktur dan
keunikan yang ada dalam puisi Dongeng Saka Pambabaran karya Wieranta yang
bertemakan kasih sayang orang tua kepada anak.
Pemilihan geguritan karya Wieranta sebagai objek dikarenakan Wieranta
termasuk penulis geguritan yang aktif. Wieranta merupakan dosen dari
Universitas Sebelas Maret sehingga mempermudah untuk mendapatkan data
dalam penelitian ini.
8
E. Manfaat Penelitian
Sebuah penelitian hendaknya mampu memberikan manfaat baik secara
teoretis maupun praktis. Adapun manfaat dalam penelitian ini adalah:
1. Manfaat Teoretis
Hasil penelitian ini diharapkan mampu memperkaya khasanah kajian
puisi Jawa atau geguritan terutama melalui sudut pandang semiotika
menurut Michael Riffattere. Selain itu juga diharapkan mampu
menambah wawasan tentang studi analisis sastra Jawa.
2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan mampu menambah wawasan pembaca
mengenai bagaimana bentuk kasih sayang orang tua terhadap anak
yang digambarkan dalam geguritan karya Wieranta. Selain itu hasil
dari penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan untuk penelitian
sejenis.
F. Konsep Puisi dan Geguritan
Puisi adalah kata-kata yang terindah dalam susunan terindah (Samuel
dalam Pradopo, 2007:6). Di dalam melakukan suatu penelitian, diperlukan teori
dan pendekatan yang tepat agar sesuai dengan objek yang akan diteliti. Teori dan
konsep pendekatan yang sesuai dengan objek yang akan dikaji sangatlah
diperlukan untuk menghasilkan penelitian yang mendekati sempurna.
Setiap penyair atau penulis puisi membuat definisi masing-masing tentang
puisi, baik definisi, itu dikemukakan secara eksplisit atau tidak. Beberapa ahli
yang merumuskan pengertian puisi menggunakan berbagai pendekatan. Slamet
Mulyana mengemukakan bahwa puisi adalah sintesis dari pelbagai peristiwa
9
bahasa yang telah tersaring semurni-murninya dan pelbagai proses jiwa yang
mencari haikat pengalamannya, tersusun dengan sistem korespondensi dalam
salah satu bentuk (dalam Semi, 1993:93).
Pendapat lain diungkapkan oleh Altenbernd (dalam Pradopo, 2007:5) yang
memberikan definisi bahwa puisi adalah pendramaan pengalaman yang bersifat
penafsiran (menafsirkan) dalam bahasa berirama (bermetrum). Pembacaan dalam
puisi tidak dilakukan sama seperti membaca pada umumnya. Puisi juga termasuk
dalam jenis membaca indah. Hudson (dalam Waluyo, 2012: 29) berpendapat
bahwa puisi adalah karya sastra yang bersifat emosional dan imajinatif.
Tampaknya Hudson melihat puisi dari perspektif psikologis mengenai komponen-
komponen model komunikasi.
Puisi adalah karya seni sastra. Puisi merupakan salah satu bentuk karya
sastra. Rene Wellek dan Warren mengemukakan bahwa paling baik kita
memandang kesusastraan sebagai karya yang di dalamnya fungsi estetikanya
dominan, yaitu fungsi seninya yang berkuasa. Tanpa fungsi seni itu karya
kebahasaan tidak dapat disebut karya (seni) sastra (dalam Pradopo, 2007:315).
Ada tiga aspek yang perlu diperhatikan untuk mengerti hakikat puisi itu. Pertama,
sifat seni atau fungsi seni, kedua kepadatan, dan ketiga ekspresi tidak langsung.
Brooks berpendapat bahwa puisi adalah cara mengungkapkan sesuatu
dengan ciri-ciri tertentu, yaitu: irama, rima, dan bahasa kias. Berdasarkan
pendapat tersebut, sebuah definisi tentang puisi dapat disusun berdasarkan jalur
sifat dan tumpuan pemaknaannya. Sifat ekspresif melihat puisi dari sudut
penciptaannya oleh penyair. Sifat objektif melihat puisi sebagai karya sastra yang
otonom, mandiri sebagai sebuah wacana puitik. Sedangkan sifat pragmatik
10
melihat lirik (ragam puisi) dari sudut pola harapan pembaca atau khalayak
penikmatnya (dalam Waluyo 2012:30).
Secara bahasa, bahasa dalam puisi tentu tidak ajeg (consistent). Artinya,
ada bahasa sehari-hari yang bercirikan bahasa puisi. Dan sebaliknya ada bahasa
puisi yang bercirikan bahasa sehari-hari. Bahkan ciri-ciri bahasa puisi, prosa dan
drama saling tumpang tindih. Dapat ditarik kesimpulan sementara bahwa ciri
bahasa puisi menggunakan bahasa yang fungsi estetiknya dominan. Sedang
bahasa sehari-hari lebih mengacu pada fungsi kegunaan (pragmatik) (Satoto,
2012:118).
Menganalisis sastra jenis puisi sebenarnya peneliti tidak bisa mengabaikan
begitu saja faktor penulis (outhor), pembaca (reader), dan hubungan antar
keduanya. Riffaterre mengemukakan bahwa strukturalisme puisi tidak mampu
menyediakan kriteria untuk kepentingan analisis puisi yang membedakan teks
yang punya relevansi stilistika dengan tidak-tidak ada sesuatu hal yang merupakan
sarana stilistika yang dapat ditemukan secara intrinsik. Lebih lanjut Riffaterre
mengemukakan bahwa sebuah analisis yang mempunyai kriteria secara eksplisit
adalah perbuatan semena-mena dan tidak mungkin menghasilkan suatu timbangan
(penilaian yang baik) (Satoto, 2012:120).
Karya sastra Jawa sendiri terdapat karya sastra Jawa sejenis puisi yang
medianya menggunakan bahasa Jawa, puisi bahasa Jawa tersebut sering disebut
geguritan. Istilah geguritan berasal dari kata gurit (tulis, tembang), memperoleh
akhiran an yang menunjukkan arti “yang di...”. dengan demikian secara harfiah
guritan berarti yang ditulis atau tembang yang dikarang, tetapi secara luas guritan
berarti membuat atau mengarang tembang atau melagukan tembang
11
(Padmosoekotjo, 1960:19). Meskipun demikian, sebagai suatu bentuk puisi,
guritan mempunyai aturan-aturan tertentu yakni: (1) tidak ada ketentuan guru
gatra, tetapi biasanya paling sedikit empat larik. Bisa terdiri hanya satu bait atau
lebih dan di awal guritan selalu didahului dengan pendahuluan sun nggegurit (aku
menulis). (2) tidak ada ketentuan guru wilangan, tetapi jumlah suku kata tiap larik
selalu sama. (3) jatuhnya vokal (guru lagu) masing-masing larik selalu sama
(Padmosoekotjo, 1960:20).
Geguritan berasal dari kata gurit „tembang, kidung, rerepen‟ dan dapat
dibentuk menjadi anggurit dan anggegurit. Dilihat dari bentuknya kata geguritan
atau geguritan adalah bentuk dwi purwa „perulangan suku awal‟. Maka, sebutan
yang paling tepat adalah bentuk yang paling ringkas, yaitu “guritan” jika
dibanding dengan “geguritan” (Widodo, 2012:33).
Secara sepintas bentuk puisi guritan ini lebih bebas dibanding dengan
macapat karena pola persajakan tidak terlampau ketat serta tidak ada aturan pola
persajakan berdasarkan metrum-metru tertentu. Bahkan sangat mungkin jika
guritan ini kemudian mengilhami geguritan, bentuk puisi bebas, yang kemudian
dikenal dan berkembang dalam sastra Jawa masa kini. Suripan menganggap
bahwa dalam guritan ciri yang paling menonjol adalah realitas faktual yang
diangkat tidak jauh dari kehidupan keseharian. Maka tepatlah jika istilah “guritan”
digunakan untuk menyebut puisi Jawa modern (dalam Widodo, 2012:34).
G. Struktur Puisi
Kajian strukturalisme bertujuan untuk membongkar dan memaparkan
secermat, seteliti, semendetail, dan mendalam mungkin keterkaitan dan
keterjalinan semua unsur dan aspek karya sastra yang bersama-sama menghasikan
12
makna keseluruhan itu adalah keterkaitan dari jalinan yang padu (Winarni,
2013:101). Bila kita menghadapi sebuah puisi dan kita mau menganalisis puisi
tersebut maka hal yang harus diperhatikan terlebih dahulu adalah struktur dari
puisi tersebut. Struktur di sini dalam arti bahwa karya sastra itu merupakan
susunan unsur-unsur yang bersistem, yang antara unsur-unsurnya terjadi
hubungan yang timbal balik, saling menentukan. Jadi, kesatuan unsur-unsur dalam
sastra bukan hanya berupa kumpulan atau tumpukan hal-hal atau benda-benda
yang berdiri sendiri-sendiri, melainkan hal-hal itu saling terikat, saling berkaitan,
dan saling bergantung (Pradopo, 2007:119).
Strukturalisme itu pada dasarnya merupakan cara berfikir tentang dunia
yang terutama berhubungan dengan tanggapan dan deskripsi struktur-struktur.
Menurut pikiran strukturalisme, dunia (karya sastra merupakan dunia yang
diciptakan pengarang) lebih merupakan susunan hubungan daripada susunan
benda-benda. Oleh karena itu, kodrat tiap unsur dalam struktur itu tidak
mempunyai makna dengan sendirinya, melainkan makna ditentukan oleh
hubungan dengan semua unsur lainnya yang terkandung dalam struktur itu
(Hawkes dalam Pradopo, 2007:119).
Stuktur adalah kaitan-kaitan antar kelompok-kelompok gejala
(Luxemburg, 1982: 36). Pendekatan stuktural merupakan langkah awal dalam
membongkar suatu karya sastra. Teori struktural adalah jembatan dalam seorang
peneliti dalam mengkaji lebih lanjut. Analisis struktural dalam karya sastra dapat
dilakukan dengan mengidentifikasi fungsi dan hubungan antar unsur yang
bersangkutan. Analisis struktural pada dasarnya bertujuan untuk memaparkan
secermat mungkin fungsi dan keterkaitan antar unsur karya sastra yang
13
menghasilkan keseluruhan unsur. Analisis struktural tidak hanya mendata unsur
tertentu dalam karya fiksi tetapi yang lebih penting adalah menunjukkan
bagaimana keterkaitan antar unsur itu, dan sumbangan apa yang diberikan
terhadap tujuan estetik dan makna keseluruhan yang ingin dicapai (Nurgiyantoro,
2007: 37).
Bentik fisik puisi mencakup penampilannya di atas kertas dalam bentu
nada dan larik puisi; termasuk di dalamnya irama, sajak, intonasi, pengulangan,
dan perangkat kebahasaan lainnya. Bentuk mental sendiri terdiri dari tema, urutan
logis, pola asosiasi, semua arti yang dilambangkan, dan pola-pola citra dan emosi.
Kedua bentuk ini, yaitu bentuk fisik dan bentuk mental, terjalin dan terkombinasi
secara utuh yang membentuk dan memungkinkan sebuah puisi itu memantulkan
makna, keindahan, dan imajinasi bagi pembacanya (Semi, 1993:107).
Bentuk fisik dan mental sebuah puisi pada dasarnya dapat pula dilihat
sebagai satu kesatuan yang terdiri dari tiga lapisan: Lapisan bunyi, yakni lapisan
lambang-lambang bahasa sastra. lapisan pertama inilah yang kita sebut sebagai
bentuk fisik puisi. Lapis arti, yakni sejumlah arti yang dilambangkan oleh struktur
atau lapisan permukaan yang terdiri dari lapisan bunyi bahasa. Lapis tema, yakni
suatu “dunia” pengucapan karya sastra, sesuatu yang menjadi tujuan penyair, atau
sesuatu efek tertentu yang didambakan penyair. Lapisan arti dan tema inilah yang
dapat dianggap sebagai bentuk mental sebuah puisi (Semi, 1993:108).
H. Semiotika Michael Riffaterre
Semiotik adalah ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Tanda
adalah sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain yang dapat berupa pengalaman,
pikiran, perasaan, gagasan, dan lain-lain. Jadi, yang dapat menjadi tanda
14
sebenarnya bukan hanya bahasa saja, melainkan berbagai hal yang melingkupi
kehidupan ini walaupun harus diakui bahwa bahasa adalah sistem tanda yang
paling lengkap dan sempurna. Tnda-tanda itu dapat berupa gerakan anggota
badan, gerak mata, mulut, bentuk tulisan, warna, bendera, bentuk dan potongan
rumah, pakaian, karya seni, sastra, lukisan, patung, film, tari, musik, dan lain-lain
yang berada di sekitar kehidupan kita. Dengan demikian, teori semiotik bersifat
multi disiplin sebagaimana diharapkan oleh Pierce agar teorinya bersifat umum
dan dapat diterapkan pada segala macam tanda. Semiotik dapat diterapkan pada
(atau: menjadi bidang garapan) linguistik, seni (dengan berbagai subdisiplinnya),
sastra, film, filsafat, antropologi, arkeologi, arsitektur, dan lain-lain
(Nurgiyantoro, 2013:67).
Semiotik adalah ilmu tentang tanda-tnda. Ilmu ini menganggap bahwa
fenomena sosial/ masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tanda-tanda.
Semiotik itu mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, konvensi-konvensi yang
memungkinkan tanda-tnda tersebut mempunyai arti. Dalam lapangan kritik sastra,
penelitian semiotik meliputi analisis sastra sebagai sebagai sebuah penggunaan
bahasa yang bergantung pada (sifat-sifat) yang menyebabkan bermacam-macam
cara (modus) wacana mampunyai makna (dalam Winarni, 2013:121). Pendekatan
semiotik pada dasarnya adalah pengembangan dari pendekatan strukturalisme.
Semiotik adalah ilmu tanda-tanda. Tanda mempunyai dua aspek yaitu penanda
(signifier) dan petanda (signified). Penanda adalah bentuk formalnya yang
menandai sesuatu yang disebut petanda, sedangkan petanda adalah sesuatu yang
ditandai oleh petanda yakni artinya (Winarni, 2013:121).
15
Strukturalisme terbangun oleh unsur-unsur karya sastra, teori semiotika
Michael Riffaterre tentang ketidaklangsungan pernyataan puisi dapat digunakan
sebagai pembedah struktur puisi. Michael Riffaterre (dalam Pradopo, 1995:281)
mengungkapkan bahwa puisi merupakan ekspresi tidak langsung.
Ketidaklangsungan ekspresi puisi tersebut disebabkan oleh tiga hal: 1)
penggantian arti (displacing of meaning), 2) penyimpangan arti (distorting of
meaning), dan 3) penciptaan arti (creating of meaning). Ketidaklangsungan
ekspresi puisi Riffaterre tersebut membedah unsur-unsur dalam puisi, seperti
bunyi, irama, dan kata (termasuk di dalamnya kata-kata kiasan). Maka dapat
disimpulkan bahwa ketidaklangsungan pernyataan puisi Riffaterre dapat
digunakan sebagai analisis struktural puisi. Ketidaklangsungan pernyataan puisi
tersebut yaitu.
a. Penggantian Arti (displacing of meaning)
Kata-kata kiasan puisi menggantikan arti sesuatu yang lain lebih-lebih
metafora dan metonimi. Penggantian arti suatu kata (kiasan) berarti yang lain
tidak (tidak menurut sesungguhnya) (Pradopo, 1995:210). Metafora merupakan
pergeseran dari suatu sifat ke dalam sifat lain berdasarkan asosiasi kaitan atau
asosiasi perbandingan. Sedangkan metonomi merupakan kiasan pengganti nama.
b. Penyimpangan Arti (distorting of meaning)
Menurut Riffaterre (dalam Pradopo, 1995:213) bahwa penyimpangan arti
disebabkan oleh tiga hal, yaitu ambiguitas, kontradiksi, dan nonsense.
1) Ambiguitas
Ambiguitas adalah keragu-raguan atau ketidakpastian dalam menafsirkan
makna kata atau ungkapan dalam karya sastra karena adanya beberapa
16
kemungkinan. Adanya ambiguitas ini akan memberikan efek pada
pembaca dan efek yang timbul pada setiap pembaca berbeda-beda
dikarenakan perbedaan pengalaman batin pembaca.
2) Kontradiksi
Kontradiksi adalah salah satu cara menyampaikan sesuatu dengan
menggunakan pertentangan atau secara berlawanan. Hal ini disebabkan
oleh paradoks dan ironi. Paradoks adalah pernyataan yang tampaknya
berlawanan dengan dirinya sendiri, atau bertentangan dengan pendapat
umum, akan tetapi kalau dilihat lebih dalam, sesungguhnya mengandung
sesuatu kebenaran. Ironi atau sindiran adalah suatu acuan yang ingin
mengatakan sesuatu dengan makna atau maksud berlainan dari apa yang
terkandung dalam rangkaian kata-katanya.
3) Nonsense
Nonsense adalah kata-kata yang secara linguistik tidak mempunyai arti,
sebab tidak terdapat dalam kamus bahasa. Meskipun tidak mempunyai
arti secara linguistik, tetapi mempunyai makna (significance) dalam puisi
karena konvensi puisi.
c. Penciptaan Arti (creating of meaning)
1) Simetri
Simetri adalah keseimbangan berupa persejajaran antara bait-bait atau
antara baris-baris dalam bait (Pradopo, 1995:220). Karya sastra secara
umum merupakan suatu rangkaian yang tersusun sehingga tercipta
sesuatu yang indah.
17
2) Rima
Rima merupakan pengulangan bunyi dalam puisi untuk musikalitas dan
dalam mengulang bunyi ini penyair juga mempertimbangkan lambang
bunyi. Dengan cara ini, pemilihan bunyi-bunyi mendukung perasaan dan
suasana puisi (Waluyo, 2003:90). Rima dalam larik dapat diperinci
menjadi tiga yaitu: aliterasi, asonansi, desonansi, dan anafora.
(a) Aliterasi dimaksudkan sebagai runtutan konsonan dalam larik,
seperti: disir, kenari, lari, menari.
(b) Asonansi yaitu runtutan paroh suku kata terakhir dalam larik, seperti:
berjuang, terbang, berkembang.
(c) Desonansi adalah runtun ragangan konsonan kata dalam larik,
seperti: compang-camping, sorak-sorai.
(d) Anafora ialah runtun suku kata yang sama dengan larik, seperti:
bernyanyi, bergembira, bersama.
Rima bisa juga dibedakan menjadi rima awal, rima tengah, dan rima
akhir, ketiga rima itu diperhatikan menjadi rima terus (a a a a), rima
berpasangan (a a b b), rima bersilang (a b a b), rima berpeluk (a b b a),
dan rima putus (a a a b atau a b a c).
3) Homologues
Homologeus (persamaan posisi) ini sama dengan oersajakan dalam
pantun. Misalnya makna yang mengeras (intensitas arti) dan kejelasan
yang diciptakan oleh ulangan bunyi dan pararelisme (Pradopo, 1995:
220). Penciptaan arti telah mencakup aspek formal puisi. Homologues
tampak dalam bentuk sajak pantun yang berisi baris-baris yang sejajar,
18
baik bentuk visual ataupun kata-katanya, persejajaran suara itu
menyebabkan timbulnya arti yang sama.
4) Enjambemen
Enjambemen adalah pemutusan kalimat untuk diletakkan pada baris
berikutnya. Pemutusan atau pelompatan kalimat ke baris berikutnya pada
puisi ini berfungsi untuk membangun satuan kata atau kalimat yang
menunjukkan suatu kandungan tertentu, atau untuk memberi tekanan
makna baris tersebut.
5) Tipografi
Tipografi merupakan pembeda yang paling penting antara puisi dengan
prosa. Ciri yang demikian menunjukkan eksistensi sebuah puisi. Cara
sebuah teks ditulis sebagai larik-larik yang khas menciptakan makna
tambahan. Kata-kata yang disusun yang panjang dan pendek sedemikian
bervariasi secara harmonis menimbulkan ritma yang padu. (Waluyo,
2003:97).
d. Pembacaan Heuristik dan Hermeneutik
Dalam memahami dan mengungkap “sesuatu” yang terdapat dalam karya
sastra, dikenal dengan adanya istilah heuristik (heuristic) dan hermeneutik
(hermeneutic). Kedua istilah itu, yang secara lengkap disebut sebagai pembacaan
heuristik dan pembacaan hermeneutik, biasanya dikaitkan dengan pendekatan
semiotik. Hubungan antara heuristik dan hermeneutik dapat dipandang sebagai
hubungan yang bersifat gradasi sebab kegiatan pembacaan dan atau kerja
hermeneutik haruslah didahului oleh pembacaan heuristik. Kerja hermeneutik,
yang oleh Riffaterre disebut juga sebagai pembacaan berkali-kali dan kritis
19
(Nurgiyantoro, 2013:46). Kerja heuristik merupakan pembacaan karya sastra pada
sistem semiotik tingkat pertama. Ia berupa pemahaman makna sebagaimana yang
dikonvensikan oleh bahasa (yang bersangkutan). Orang sering menyebutnya
sebagai makna yang ditunjuk kamus. Bekal yang dibutuhkan adalah pengetahuan
tentang sistem bahasa itu, kompetensi terhadap kode bahasa.
Penafsiran hermeneutik yaitu berupa pembacaan dan pemahaman pada
tataran semiotik tingkat kedua. Artinya, berdasarkan makna dari hasil kerja
heuristik di atas, dicobatafsirkan kemungkinan makna tersirat, konotasi, atau
signifikasinya. Jika pada tataran kerja heuristik dibutuhkan pengetahuan tentang
kode bahasa, pada tataran kerja hermeneutik dibutuhkan pengetahuan tentang
kode sastra (Nurgiyantoro, 2013:47).
Teeuw (1988:123) mengemukakan bahwa cara kerja hermeneutik untuk
menafsirkan karya sastra, dilakukan dengan pemahaman keseluruhan berdasarkan
unsur-unsurnya, dan sebaliknya, pemahaman unsur-unsur berdasarkan
keseluruhan. Bermula dari sinilah kemudian, antara lain, muncul istilah
hermeneutik (hermeneutic circle). Pemahaman karya sastra dengan tehnik tersebut
dapat dilakukan secara bertangga, dimulai dengan pemahaman secara keseluruhan
walau hal itu hanya bersifat sementara. Kemudian, berdasarkan pemahaman yang
diperoleh itu dilakukan kerja analisis dan pemahaman unsur-unsur intrinsiknya,
jadi bagian per bagian. Hasil pemahaman unsur-unsur intrinsik tersebut
dipergunakan untuk memahami keseluruhan karya yang bersangkutan secara lebih
baik, luas, dan kritis. Pembacaan secara berulang-ulang sampai membuat peneliti
dapat menafsirkan pertautan makna keseluruhan dan bagian-bagiannya dan makna
intensionalnya secara optimal.
20
I. Bentuk Penelitian
Bentuk penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif yang
menjadikan karya sastra sebagai objek penelitian. Penelitian kualitatif
menekankan pada analisis induktif, dengan deskripsi yang kaya dengan deskripsi
yang kaya dengan beragam nuansa, dan riset tentang persepsi manusia. Hal yang
perlu ditekankan dalam penelitian kualitatif adalah mencerminkan fenomenologis.
Model penelitian tersebut bertujuan untuk memahami fenomena tentang apa yang
dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan,
secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan dengan cara
deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang
alamiah dan dengan manfaat berbagai metode alamiah (Moleong, 2007:6).
Metode kualitatif yang digunakan dalam penelitian ini dinilai sesuai
dengan teori yang diterapkan yakni semiotika sastra. Makna karya sastra sebagai
tanda dan semiotikanya. Makna yang bertautan dengan dunia nyata. Bentuk
penelitian deskriptif kualitatif diharapkan mampu menjabarkan deskripsi dari
objek yang sedang diteliti yaitu geguritan karya Wieranta.
J. Data dan Sumber Data
1. Data
Data adalah bahan suatu penelitian (Sudaryanto, 1993:5). Data dalam
penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Data primer dalam
penelitian ini yaitu unsur struktural makna serta bentuk kasih sayang orang tua
terhadap anak yang ditulis dalam tujuh geguritan karya Wieranta yang dimuat
dalam buku Kumpulan Geguritan berjudul Dongeng Saka Pabaratan yang ditulis
pada tahun 2014 dan sudah dipilih sesuai dengan tema yang menjadi bahan
21
penelitian. Ketujuh geguritan tersebut yaitu, (1) Kang Lagi Nandang Roga 1, (2)
Kang Lagi Nandang Roga 2, (3) Kang Lagi Nandang Roga 3, (4) Panglocitaku,
(5) Lare Lara 1, (6) Lare Lara 2, (7) Nalika Anak Kena Lara. Adapun data
sekunder dalam penelitian ini diambil dari wawancara dan buku yang relevan.
2. Sumber Data
Sumber data adalah segala sesuatu yang mampu memberi informasi
mengenai data (Sutopo, 2005: 56). Sumber data yang digunakan adalah tujuh
geguritan karya Wieranta yang dimuat dalam buku Kumpulan Geguritan berjudul
Dongeng Saka Pabaratan tahun 2014. Geguritan yang dipilih berdasarkan tema
kasih sayang orang tua kepada anak yaitu: , (1) Kang Lagi Nandang Roga 1, (2)
Kang Lagi Nandang Roga 2, (3) Kang Lagi Nandang Roga 3, (4) Panglocitaku,
(5) Lare Lara 1, (6) Lare Lara 2, (7) Nalika Anak Kena Lara. Data lain juga
didapatkan dari informan penulis buku Kumpulan Geguritan Dongeng Saka
Pabaratan yaitu bapak Wieranta.
K. Teknik Sampling
Sampel penelitian merupakan sebagian populasi atau wakil dari populasi
(Arikunto, 2010:117). Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini
adalah purposive sampling, yaitu sampel dipilih berdasarkan pertimbangan-
pertimbangan tertentu sesuai dengan objek formal penelitian yang dilakukan
(Sangidu, 2004:3). Tehnik ini digunakan, untuk memilih dari kumpulan geguritan
karya Wieranta yang ditulis dalam buku Dongeng Saka Pabaratan yang berisikan
bentuk kasih sayang orang tua terhadap anak.
22
L. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
analisis isi (Content Analysis) dan wawancara. Analisis isi atau content analysis
yaitu penganalisisan terhadap isi termasuk aspek-aspek yang terkandung di
dalamnya. Teknik content analysis merupakan metodologi penelitian yang
memanfaatkan seperangkat prosedur untuk menarik kesimpulan yang sahih dari
sebuah buku atau dokumen (Moleong, 1990: 61). Teknik analisis isi dokumen ini
digunakan untuk memperoleh data tentang bentuk kasih sayang orang tua kepada
anak dalam Kumpulan Geguritan Dongeng Saka Pabaratan yaitu bapak
Wieranta.
Cara kerja teknik analisis isi dokumen adalah peneliti menghimpun data
dari diawali dengan membaca tujuh geguritan karya Wieranta yang dimuat
dalam buku Kumpulan Geguritan berjudul Dongeng Saka Pabaratan secara
berulang-ulang dengan tujuan agar dapat memahami keseluruhan isi geguritan
secara maksimal. Teknik membaca dilakukan secara heuristik dan hermeneutik.
Kerja heuristik merupakan pembacaan tingkat pertama. Ia berupa pemahaman
makna sebagaimana yang dikonvensikan oleh bahasa. Hermeneutik yaitu
pembacaan dan pemahaman pada tataran semiotik tingkat kedua. Artinya,
berdasarkan makna dari hasil kerja heuristik di atas, dicoba tafsirkan
kemungkinan makna tersirat, konotasi, atau signifikasinya. Jika pada tataran kerja
heuristik dibutuhkan pengetahuan tentang kode bahasa, pada tataran kerja
hermeneutik dibutuhkan pengetahuan tentang kode sastra (Nurgiyantoro,
2013:47). Selanjutnya yaitu dilakukan proses pencatatan. Pencatatan dilakukan
sambil memberikan tanda pada kalimat-kalimat dalam geguritan yang meliputi
23
bentuk kasih sayang orang tua kepada anak terutama ketika sang anak sedang
sakit dalam geguritan. Terakhir adalah analisis dokumen, data yang sudah
terkumpul kemudian dianalisis dengan mengelompokkan menurut kelompok
masing-masing.
Wawancara menurut Moleong (1990:186) adalah percakapan dengan
maksud tertentu, serta dilakukan oleh dua pihak yaitu pewawancara yang
mengajukan pertanyaan dan terwawancara yang memberikan jawaban atas
pertanyaan tersebut. Tujuan wawancara adalah untuk menyajikan konstruksi saat
sekarang dalam suatu konteks mengenai pribadi, peristiwa, aktivitas, organisasi,
perasaan, motivasi, tanggapan atau persepsi, bentuk maupun tingkat keterlibatan,
dan sebagainya (Sutopo, 2006:68). Wawancara dilakukan dengan mengajukan
pertanyaan mengenai bentuk kasih sayang dan maksud di balik cerita penulisan
geguritan.
M. Analisis Data
Berdasarkan objek penelitian yang diteliti, peneliti menggunakan
pendekatan semiotika milik Michael Riffaterre. Kajian menggunakan teks sastra
sebagai data penelitian. Setelah data terkumpul, tahap pertama yang dilakukan
adalah membedah sisi struktur teks sastra dengan strukturalisme dinamik.
Setelah terlihat struktur yang membentuk teks sastra tersebut, tahap
selanjutnya analisis karya sastra melalui teori semiotik Michael Riffaterre.
Analisis diakukan dengan pemaparan bentuk deskriptif terhadap masing-masing
data secara fungsional dan relasional.
Penelitian agar lebih terarah dan sistematis, maka tahap penelitian ini
adalah sebagai berikut:
24
1. Membaca secara cermat ketujuh geguritan yang dijadikan oebjek
penelitian. Geguritan yang dijadikan objek penelitian adalah Kang Lagi
Nandang Roga 1, Kang Lagi Nandang Roga 2, Kang Lagi Nandang Roga
3, Panglocitaku, Lare Lara 1, Lare Lara 2, Nalika Anak Kena Lara
2. Menganalisis kata-kata sebagai data yang akan digunakan untuk
penelitian, yaitu ungkapan-ungkapan atau penggambaran bentuk kasih
sayang orang tua terhadap anak sebagai tematik penelitian.
3. Menganalisis secara cermat terhadap penggambaran bentuk kasih sayang
orang tua terhadap anak dalam ketujuh geguritan karya Wieranta dengan
menggunakan paradigma teori semiotika Michael Riffaterre. Langkah-
langkah yang digunakan adalah:
a. Penggantian Arti, yaitu menganalisis dan mendeskripsikan
metafora dan metonimi yang terdapat dalam ketujuh geguritan
karya Wieranta.
b. Penyimpangan arti, yaitu menganalisis dan mendiskripsikan
penyimpangan yang terjadi dalam geguritan. Penyimpangan
didiskripsikan dalam tiga penyebab, yaitu ambiguitas, kontradiksi,
dan nonsense.
c. Penciptaan arti, yaitu memaparkan ruang teks yang secara
linguistik tidak memiliki mana. Penciptaan arti ini dapat
dijabarkan dalam rima, enjabement, homologue, dan tipografi.
4. Penelitian ini menggunakan srtukturalisme dinamik, setelah strukturalisme
dinamik dipahami, selanjutnya menafsirkan geguritan menggunakan
25
pembacaan semiotik. Dua proses pembacaan semiotik yaitu pembacaan
heuristik dan pembacaan hermeneutik.
5. Melalui data strukturalisme dinamis dan pengungkapan makna yang
diperoleh maka dapat digunakan untuk mengungkapkan bentuk kasih
sayang orang tua terhadap anak dari geguritan karya Wieranta yang ditulis
dalam Kumpulan Geguritan berjudul Dongeng Saka Pabaratan.
N. Sistematika Penulisan
Penulisan dalam bentuk laporan ini, penulis menyusun urutan-urutan dari bab
pertama sampai terakhir sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN. Merupakan sebuah pengantar yang menguraikan
tentang latar belakang maslah, pembahasan masalah, rumusan masalah, tujuan
penelitian, manfaat penelitian, sistematika penulisan, pengertian puisi, struktur
puisi, bentuk penelitian, sumber data dan data penelitian, teknik pengumpulan
data, dan teknik analis data, dan validitas data.
BAB II PEMBAHASAN. Merupakan bagian yang memaparkan hasil analisis
dari permasalahan yang dibahas dalam penelitian.
BAB III PENUTUP. Berisi kesimpulan dan saran, pada bagian akhir disertakan
daftar pustaka dan lampiran.