1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
Setiap manusia pada hakikatnya menginginkan kebebasan dan tidak sedikit
orang yang berani memperjuangkannya. Kebebasan merupakan hal asasi dan
menjadi kebutuhan dasar manusia. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan
apabila banyak manusia rela mempertaruhkan nyawa demi “merebut”
kebebasannya. Manusia mempertaruhkan nyawa untuk berjuang melawan
penindasan, sebab mereka berpikir lebih baik meninggal dalam pertempuran
daripada hidup tanpa kebebasan. Di samping itu, kematian dengan cara seperti ini
menunjukkan pernyataan penuh atas individualitas dan merupakan bukti bahwa
manusia mempunyai hak penuh atas hidupnya di dalam berpikir, membuat
keputusan, memilih, sesuai dengan apa yang manusia lihat baik untuk kehidupan
dirinya sendiri. Dalam hal ini kebebasan individu hanya dapat diperoleh ketika
terjadi “penghancuran terhadap dominasi eksternal” (Fromm, 1997:1-2). Namun,
sering kali timbul konflik yang menyangkut kebebasan. Di dalam kehidupan
sehari-hari banyak persoalan yang berkaitan dengan kebebasan. Persoalan tersebut
sering berkaitan dengan kebebasan seseorang untuk beragama, berpendapat,
memilih, dan masih banyak permasalahan kebebasan yang lain. Pemerintah pun
menyadari pentingnya penjaminan kebebasan warga negaranya dan membuat
undang-undang untuk menjamin kebebasan, agar tidak bertentangan dengan
kebebasan orang lain.
KONSEP KEBEBASAN ALBERT CAMUS DALAM TINJAUAN FILSAFAT PENDIDIKAN:RELEVANSINYA DENGAN PENDIDIKAN DIINDONESIAGLORIA RAHMA GINTINGUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
2
Kebebasan akan mendatangkan perasaan bahagia dan membuat manusia
menjadi manusia seutuhnya. Namun, pada kenyataannya, banyak manusia merasa
tidak bebas dan sering timbul permasalahan eksternal yang berkaitan dengan
kebebasan. Oleh sebab itu, tidaklah mengherankan jika banyak orang menuntut
kebebasannya dari orang lain. Namun, makna tentang kebebasan pun masih
diperdebatkan hingga sekarang, sehingga muncul banyak definisi mengenai
kebebasan dan ambiguitas makna kebebasan.
Kebebasan sangat erat kaitannya dengan manusia, sebab manusia
merupakan pusat dan pelaku kehidupan. Manusialah yang menghasilkan berbagai
macam kemajuan dan hanya manusia yang mampu mengadakan evaluasi terhadap
dirinya. Inilah salah satu yang membedakan manusia dengan makhluk Tuhan
yang lain. Manusia yang mempelajari dan mengubah sejarah di bidang apapun.
Namun sering kali kemajuan yang dihasilkan membawa dua dampak yang
bertolak belakang. Kemajuan teknologi yang disambut baik oleh mayoritas
manusia ternyata membawa dampak negatif bagi kemajuan mental manusia.
Bahkan, terkadang kemajuan teknologi mendukung “penghancuran” manusia itu
sendiri, seperti yang dilihat di dalam perang. Manusia melihat kemajuan teknologi
di bidang persenjataan yang justru menjadi alat yang ampuh untuk
menghancurkan peradaban manusia. Kemajuan teknologi menghasilkan sisi
negatif bagi manusia, yang membuat manusia merasa kebebasan individunya
terbelenggu oleh lingkungan sekitarnya dan merasakan diri mereka semakin
menjadi budak.
KONSEP KEBEBASAN ALBERT CAMUS DALAM TINJAUAN FILSAFAT PENDIDIKAN:RELEVANSINYA DENGAN PENDIDIKAN DIINDONESIAGLORIA RAHMA GINTINGUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
3
Permasalahan mengenai kebebasan sesungguhnya sudah disadari sejak
zaman pra-Sokrates, di mana terjadi perbedaan pandangan tentang makna
kebebasan. Herakleitos (+540-475 SM), seorang filsuf pada zaman tersebut
menyadari bahwa alam semesta penuh dengan perubahan. Pemikiran filsafatnya
adalah tentang “menjadi”. Herakleitos mengatakan bahwa segala sesuatu itu
berubah dan perubahan terjadi tanpa henti. Bahkan, “yang mati” dapat berubah
menjadi “yang hidup”. Api merupakan lambang perubahan, dan menurutnya
segala sesuatu berasal dari api dan akan kembali ke api. Dengan kata lain, api
merupakan lambang perubahan dan diyakini sebagai sesuatu yang sejenis dengan
roh, karena kehidupan ini berasaskan api. Oleh karena itu, api disebut juga logos
(akal, firman, arti), merupakan “hukum yang mengatur segala sesuatu, dan juga
menguasai manusia” (Hadiwijono, 2005:21-22). Perubahan merupakan lambang
dari kebebasan itu sendiri. Dengan kata lain, kebebasan ada di dalam diri manusia
sejak ia dilahirkan dan kebutuhan akan rasa bebas tersebut merupakan hal yang
penting.
Berbeda dengan Herakleitos, Permenides, menganggap bahwa kebebasan
terdapat di dalam sesuatu yang tetap dan stabil. Permenides (+ 540 - + 475), yang
berkeyakinan bahwa segala sesuatu pada hakikatnya tetap, tidak berubah.
Permenides berkeyakinan, “ yang ada itu ada”, tidak dapat dibagi-bagi, dan satu
kesatuan, sehingga menurutnya kenyataan adalah suatu kesatuan, tanpa mengenal
perbedaan antara jasmani dan rohani (Hadiwijono, 2005:23-24).
Perbedaan pendapat di antara Herakleitos dan Permenides ini
memperlihatkan bahwa kebebasan merupakan hal yang penting di dalam
KONSEP KEBEBASAN ALBERT CAMUS DALAM TINJAUAN FILSAFAT PENDIDIKAN:RELEVANSINYA DENGAN PENDIDIKAN DIINDONESIAGLORIA RAHMA GINTINGUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
4
kehidupan. Herakleitos memandang bahwa kebebasan merupakan sesuatu yang
ada di dalam alam semesta, termasuk manusia dan kebebasan merupakan sesuatu
yang harus diperjuangkan. Sedangkan kaum Permenides berpendapat bahwa
kebebasan merupakan suatu hal yang ditentukan oleh “kekuatan lain” di luar diri
manusia. Dengan kata lain, manusia tidak bisa memperoleh kebebasannya, sebab
segala sesuatu sudah ditentukan oleh hukum-hukum yang sifatnya tidak berubah.
Perbedaan pendapat mengenai makna kebebasan masih berlangsung hingga
sekarang. Persoalan mengenai kebebasan tidaklah mudah untuk diselesaikan,
sebab kebebasan mengandung kompleksitas yang saling berkaitan satu sama lain.
Nico Syukur Dister (1993:40) di dalam bukunya Filsafat Kebebasan menjelaskan
bahwa kebebasan membutuhkan penjelasan lebih mendalam, seperti kebebasan
tentang apa.
Kajian mengenai kebebasan bukanlah suatu kajian yang baru. Manusia
mengenal kebebasan individu (human right), kebebasan berpolitik, kebebasan
beragama, kebebasan di bidang ekonomi, yang semuanya itu dijamin penuh oleh
negara dan tertuang di dalam undang-undang. Kebebasan manusia yang satu
sering kali dibatasi oleh kebebasan manusia yang lain. Namun, kebebasan bukan
hanya berkaitan dengan diri orang lain, tetapi ada kebebasan yang tidak kalah
pentingnya, yaitu kebebasan di dalam diri pribadi. Oleh karena itu, menurut
penulis, penelitian mengenai kebebasan manusia merupakan tema yang penting
untuk diteliti. Penulis meneliti tokoh yang bernama Albert Camus, karena beliau
fokus berbicara tentang kebebasan. Ia berpikir secara mendalam tentang
KONSEP KEBEBASAN ALBERT CAMUS DALAM TINJAUAN FILSAFAT PENDIDIKAN:RELEVANSINYA DENGAN PENDIDIKAN DIINDONESIAGLORIA RAHMA GINTINGUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
5
kebebasan manusia, hingga menyangkut kebebasan yang berkaitan dengan hal
transendental.
Albert Camus dan para eksistensialis pada umumnya merasa bahwa diri
mereka “terlempar” di dunia, dan menyadari bahwa akhir dari segalanya adalah
kematian. Kesadaran akan adanya kematian bisa berdampak positif atau negatif
terhadap pola pikir seseorang, yang akan memengaruhi tindakan sehari-hari.
Albert Camus, salah satu tokoh yang digolongkan sebagai tokoh eksistensialis,
tidak hanya memikirkan kebebasan manusia dari faktor luar saja, namun ia
memikirkan makna kebebasan manusia hingga menyangkut faktor intern atau
dalam diri manusia. Oleh karena itu, penulis memilih tokoh Albert Camus, karena
sangat relevan untuk membahas tentang “kebebasan manusia“.
Pembahasan mengenai kebebasan juga menjadi topik utama di dalam
Filsafat Pendidikan, terutama Filsafat Pendidikan Eksistensialisme, yang sangat
menekankan kebebasan anak didik. Oleh karena itu, sangat menarik apabila
pemikiran Albert Camus tentang kebebasan dilihat dari sudut pandang Filsafat
Pendidikan Eksistensialisme yang juga membahas mengenai persoalan kebebasan,
sehingga akan diperoleh suatu pemahaman mengenai kebebasan di dalam
Pendidikan, yang kemudian akan direlevansikan dengan pendidikan di Indonesia.
1. Rumusan Masalah
Bertitik tolak dari latar belakang tersebut, penelitian ini bermaksud untuk
menjawab persoalan-persoalan sebagai berikut:
1. Apa arti Filsafat Pendidikan Eksistensialisme?
2. Bagaimana pemikiran filosofis Albert Camus tentang absurditas dan etika?
KONSEP KEBEBASAN ALBERT CAMUS DALAM TINJAUAN FILSAFAT PENDIDIKAN:RELEVANSINYA DENGAN PENDIDIKAN DIINDONESIAGLORIA RAHMA GINTINGUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
6
3. Apa makna pendidikan untuk kebebasan menurut filsafat eksistensialisme
Albert Camus?
4. Bagaimana relevansi pemikiran Albert Camus tentang kebebasan bagi
pengembangan pendidikan di Indonesia
2. Keaslian Penelitian
Sejauh penelusuran peneliti, terkait dengan keaslian penelitian, sudah
banyak penelitian yang membahas tentang Albert Camus, namun dengan
permasalahan yang berbeda. Penelitian lain yang terkait dengan penelitian tentang
Albert Camus, antara lain:
1) Dwi Siswanto, 1992, di dalam laporan penelitian yang berjudul
“Eksistensi Manusia menurut Albert Camus”, dikatakan bahwa pemikiran
absurditas merupakan sesuatu yang harus diterima sebagai konsekuensi
kehidupan. Absurditas tersebut lahir dari pertemuan antara pikiran dan
alam dunianya, konfrontasi antara budi dan kosmos yang mempunyai nilai
relasi antara manusia dan dunia. Camus mengatakan bahwa
pemberontakan adalah cara terbaik untuk menghadapi absurditas. Namun,
pemberontakan yang dimaksud adalah pemberontakan yang bertujuan
untuk “memperoleh keadilan dan kepuasan pribadi yang berorientasi masa
kini (kekinian), menolak setiap utopi (orientasi masa depan)”. Oleh karena
itu, pemikiran Camus mengenai pemberontakan mengandung suatu
kemerdekaan absolut.
2) Mudji Sutrisno. SJ, 1999, di dalam jurnal filsafat Driyarkara tahun XXIV
No.2, hal. 7-15, edisi November dengan judul “Albert Camus dan
KONSEP KEBEBASAN ALBERT CAMUS DALAM TINJAUAN FILSAFAT PENDIDIKAN:RELEVANSINYA DENGAN PENDIDIKAN DIINDONESIAGLORIA RAHMA GINTINGUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
7
Dramanya : Melihat Contoh Hubungan Drama (Sastra) dan Refleksi
Filsafat”, yang berisi tentang drama Caligula yang ditulis oleh Albert
Camus. Di dalam jurnal tersebut dikatakan bahwa ada sebuah konsekuensi
yang harus dihadapi manusia dengan cara pemberontakan yang
berlangsung tanpa henti, bahkan tanpa harapan untuk menghadapi
absurditas. Pemberontakan yang dilakukan secara terus-menerus tersebut
mengandung suatu keputusan moral yang dilakukan untuk menghadapi
absurditas. Oleh karena itu, manusia yang menghindari absurditas telah
melakukan suatu “tindakan bunuh diri filosofis”.
3) Saepul Akhkam,2002,UGM, tesis yang berjudul “Absurditas Manusia
dalam Perspektif Albert Camus: Evaluasi Kritis atas Pandangan
Antropologi Filosofis”, menyimpulkan bahwa Albert Camus, sebagai
salah satu filsuf eksistensialisme menyadari bahwa kehidupan adalah
absurd dan irasional, serta telah kehilangan maknanya. Camus bukan
penemu absurditas, ia berusaha melanjutkan pemikiran absurditas yang
telah ada, dengan cara berusaha mengatasi kebuntuan yang terdapat di
dalam pemikiran absurditas sebelumnya. Di samping itu, pemikirannya
tentang eksistensi manusia menghasilkan suatu pemahaman bahwa
manusia selalu berada di dalam proses “menjadi”. 4) Wiwit Sofiantari, 2008,UGM dengan tesis yang berjudul “Albert Camus’
Ethical Thought in the outsider.” Di dalam tesis ini disimpulkan bahwa
terdapat peristiwa absurd di balik klaim etis. Tokoh utama dari cerita
tersebut yang bernama Meursault. Atas nama kebebasan, ia mengabdikan
KONSEP KEBEBASAN ALBERT CAMUS DALAM TINJAUAN FILSAFAT PENDIDIKAN:RELEVANSINYA DENGAN PENDIDIKAN DIINDONESIAGLORIA RAHMA GINTINGUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
8
dirinya untuk setiap nilai yang sebagaimana ia harapkan. Albert Camus
menolak berharap kepada Tuhan dan masa depan dengan berusaha untuk
melepaskan diri dari nilai tradisional. Dia menolak bentuk masyarakat
yang religius dan munafik dengan pemberontakan karena hanya itu satu-
satunya cara yang masuk akal dan dibenarkan untuk menghadapi
kehidupan yang absurd. Ia memberontak terhadap Tuhan demi integritas
dan penderitaan hidup.
5) Sunahrowi, 2008, S2 Sastra UGM, judul “Individualitas dan Absurditas
dalam roman L’etranger karya Albert Camus: kajian semiotika Roland
Barthes”, disimpulkan bahwa melalui tokoh utama yang bernama
Mersault, dapat dilihat tema-tema eksistensialisme yang mendominasi
karya ini. Tema-tema tersebut yaitu, “tubuh milik sendiri, kebebasan, dan
pandangan orang lain.” Hal yang paling menonjol di dalam cerita ini
adalah absurditas dan individualitas tokoh utama tersebut. Absurditas dan
individualitas merupakan suatu ideologi individual, yang selalu
bertentangan dengan ideologi kolektif , tanpa berkesudahan.
6) Joko Siswanto,2008, S3 Filsafat UGM, dengan disertasi yang berjudul
“Ontologi Kejahatan Menurut Filsafat Barat Kontemporer dan
Relevansinya Bagi Pemahaman Kejahatan Korupsi di Indonesia.”
Penelitian tersebut merupakan penelitian yang menggali hakikat kejahatan,
dengan menggunakan beberapa filsuf barat kontemporer dan salah satunya
adalah Albert Camus. Dari penelitian tersebut dikatakan bahwa sumber
KONSEP KEBEBASAN ALBERT CAMUS DALAM TINJAUAN FILSAFAT PENDIDIKAN:RELEVANSINYA DENGAN PENDIDIKAN DIINDONESIAGLORIA RAHMA GINTINGUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
9
dari segala kejahatan adalah situasi Absurd, yang diambil dari sudut
pandang Albert Camus.
7) Ari Rokmawati, Filsafat UGM, 2010, dengan tesis yang berjudul “Makna
kebebasan dalam Perspektif Filsafat Politik Hannah Arendt”,
menyimpulkan: “Kebebasan merupakan suatu bentuk tindakan politis yang
mengikutsertakan inisiatif dan ingatan sosial, sehingga hanya wilayah
publik dalam suatu badan politik yang mampu mewujudkannya”. Oleh
karena itu, dapat dikatakan bahwa kebebasan merupakan suatu hal yang
dibentuk ketika individu menjadi warga negara dan bukan suatu hal yang
natural. Negara menjamin kebebasan warganya di dalam bertindak dengan
membentuk badan hukum, sehingga dapat dicapai kehidupan “masyarakat
yang demokratif, egaliter dan partisipatif untuk mencapai “keadilan sosial
bagi seluruh rakyat”.
8) Nana Sutikna, 2013, dengan disertasi yang berjudul “Dimensi Ontologis
Kebebasan Menurut Erich Fromm Relevansinya bagi Pengembangan Pers
di Indonesia”, disimpulkan bahwa Erich Fromm memandang kebebasan
sebagai “orientasi struktur karakter dan sebagai kemampuan untuk
memilih”. Manusia, pada masa sekarang baru berhasil mencapai tahap
“freedom from”, yang ditandai dengan keberhasilan mengalahkan
“penentuan naluri” dan belenggu alam, sedangkan “freedom to” belum
berhasil dicapai karena manusia belum mampu mewujudkan produktivitas
dan kemandirian diri. Kebebasan, di dalam pemikiran Erich Fromm
KONSEP KEBEBASAN ALBERT CAMUS DALAM TINJAUAN FILSAFAT PENDIDIKAN:RELEVANSINYA DENGAN PENDIDIKAN DIINDONESIAGLORIA RAHMA GINTINGUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
10
mempunyai dimensi ontologis, yaitu: “dimensi otonomi kebebasan,
dimensi dinamika kebebasan, dan materialitas kebebasan”.
Berdasarkan penelitian-penelitian di atas dapat disimpulkan bahwa
penelitian tentang Konsep Kebebasan Albert Camus dalam Tinjauan Filsafat
Pendidikan: Relevansinya dengan Pendidikan di Indonesia, belum pernah diteliti
sebelumnya oleh peneliti lain, sehingga penulis menjamin keaslian dari penelitian
ini.
B. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah menjawab empat pertanyaan yang telah
disebutkan di dalam rumusan masalah, yaitu.
1. Mendapatkan pemahaman tentang Filsafat Pendidikan Eksistensialisme .
2. Memahami pemikiran filosofis Albert Camus tentang absurditas dan
moral.
3. Mendapatkan pemahaman yang mendalam tentang pendidikan untuk
kebebasan menurut filsafat eksistensialisme Albert Camus.
4. Menemukan relevansi pemikiran Albert Camus tentang kebebasan bagi
pengembangan pendidikan di Indonesia.
C. Manfaat Penelitian
Penelitian ini berkewajiban memberikan suatu pemahaman baru. Oleh
karena itu, maka penelitian ini bermaksud untuk memberikan manfaat antara lain:
1. Bagi individu, masyarakat, dan negara, penulis berharap mampu
memberikan wawasan dan penyadaran, minimal kepada diri sendiri,
kemudian masyarakat mengenai pentingnya penyadaran “kebebasan”
KONSEP KEBEBASAN ALBERT CAMUS DALAM TINJAUAN FILSAFAT PENDIDIKAN:RELEVANSINYA DENGAN PENDIDIKAN DIINDONESIAGLORIA RAHMA GINTINGUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
11
manusia, dan dalam lingkup yang lebih besar, mampu memberikan solusi
alternatif terhadap persoalan kenegaraan yang muncul. Di samping itu,
bagi negara mampu memberikan alternatif atau instrumen agar lebih
bijaksana dalam menyikapi dan menyelesaikan masalah pendidikan
2. Bagi Filsafat, penulis berharap penelitian ini mampu memberikan
pemikiran kritis terhadap pemikiran Albert Camus mengenai bagaimana
manusia memandang kebebasan di dalam kehidupannya. Kemudian,
secara lebih luas memberikan sumbangan pemikiran terhadap filsafat
pendidikan.
3. Bagi Ilmu Pengetahuan: Mampu memberikan sumbangsih terhadap
kontinuitas ilmu pengetahuan dan berpartisipasi dalam kelanjutan
penelitian ilmu pengetahuan secara luas dan studi tentang pendidikan.
D. Tinjauan Pustaka
Kebebasan merupakan permasalahan yang penting bagi kehidupan manusia,
sehingga banyak pemikir yang telah mendefinisikan kebebasan. Salah satunya
adalah pendapat yang dikemukakan oleh F.A. Hayek dalam Aron (1993:81-82),
yang berkata kebebasan adalah semata-mata tidak adanya paksaan (coercion).
Pemaksaan terjadi ketika seseorang kehilangan otoritas dirinya dan harus
menuruti perintah orang lain yang lebih berkuasa. Dengan kata lain, paksaan
menghasilkan tingkah laku tertentu yang tidak berasal dari dirinya sendiri
melainkan berasal dari ancaman penindasan. Paksaan tersebut membuat manusia
tidak mampu menentukan alat dan tujuan, sebab kecerdasan manusia dihambat.
Oleh karena itu, kebebasan yang dimaksudkan di sini adalah kebebasan dari
KONSEP KEBEBASAN ALBERT CAMUS DALAM TINJAUAN FILSAFAT PENDIDIKAN:RELEVANSINYA DENGAN PENDIDIKAN DIINDONESIAGLORIA RAHMA GINTINGUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
12
(from), yang dirumuskan secara negatif. Dalam hal ini manusia bebas dari hal-hal
yang menghambat aktivitasnya. Kebebasan identik dengan peneguhan manusia
untuk menjadi tuan bagi dirinya tanpa diganggu oleh pihak lain.
Kebebasan berkaitan dengan proses individuasi. Proses Individuasi
mempunyai dua aspek, yaitu : Pertama, proses individuasi dimulai sejak masa
kanak-kanak. Seorang anak seiring dengan bertambahnya usia akan semakin kuat
secara fisik, mental dan emosional. Anak tersebut juga mengalami perkembangan
intelektual, yang semakin terintegrasi seiring dengan bertambahnya aktivitas.
Kehendak dan perkembangan rasional individu bertugas untuk membimbing suatu
struktur agar terorganisir. Dengan kata lain, proses individuasi merupakan suatu
bentuk perkembangan kekuatan diri, sebab diri manusia “terorganisir” dan
“terintegrasi”. Namun, terdapat batas-batas di dalam diri manusia dan di dalam
proses individuasi, yang merupakan sesuatu hal yang pasti ada, yaitu keadaan-
keadaan pribadi manusia, dan kondisi sosial (Fromm, 1997: 28).
Kedua, aspek lain yang memengaruhi proses individuasi adalah kesepian
yang terus bertambah. Dalam hal ini terjadi suatu perubahan di dalam diri
manusia, ketika manusia menyadari dirinya sebagai individu, yang harus
bertanggung jawab dan menghadapi kenyataan hidup yang sering membuat
cemas, takut dan tidak berdaya. Manusia merasakan dunia, sebagai sesuatu yang
hendak menyerangnya dan ia harus menghadapinya seorang diri (Fromm,
1997:28-29).
Erich Fromm, di dalam bukunya yang berjudul Lari dari Kebebasan
menuliskan bahwa salah satu wujud tindakan kebebasan adalah dengan cara
KONSEP KEBEBASAN ALBERT CAMUS DALAM TINJAUAN FILSAFAT PENDIDIKAN:RELEVANSINYA DENGAN PENDIDIKAN DIINDONESIAGLORIA RAHMA GINTINGUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
13
ketidakpatuhan, dan ini merupakan awal dari akal budi. Manusia benar-benar
menjadi manusia sesungguhnya, ketika mereka menyadari kebebasannya, yaitu
ketika mereka memberontak terhadap manusia dan Tuhan. Ia memberikan contoh
manusia pertama yang memberontak terhadap Tuhan, yaitu Adam dan Hawa.
Dalam hal ini, menentang Tuhan adalah memerdekakan diri dari paksaan, yang
muncul untuk menaikkan tingkat, dari kehidupan “pra-manusiawi yang tidak
sadar ke tingkat manusia” (Fromm, 1997: 33).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Mortimer J. Adler, dalam
Robert E. Dewey dan James A. Gould, terhadap lebih dari dua puluh responden
yang berasal dari Institute Penelitian Filsafat, pada tahun 1950 selama periode
lima tahun, menghasilkan kesimpulan bahwa kebebasan berkaitan dengan tiga
konsep dasar, yaitu mampu melakukan kebaikan untuk dirinya sendiri,
mempunyai kebijaksanaan, dan moral yang baik, serta kemampuan manusia di
dalam memperbaiki diri. Hal ini tertuang dalam tulisannya, yaitu:
“First, there is a circumstantial freedom of self-realization, described as“ a freedom which is possessed by any individual who, under favorable circumstances, is able to act as he wishes for his own good as he sees it.”.... Second, there is an acquired freedom of self-perfection, conceived as “a freedom which is possessed only by those men who, through acquired virtue or wisdom, are able to will or live as they ought in conformity to the moral law or an ideal befitting human nature.... Finally, there is a natural freedom of self-determination defined as “a freedom which is possessed by all men, in virtue of a power inheren in human nature, whereby a man is able to change his own character creatively by deciding for himself what he shall do or shall become” (Dewey, Robert E dan James A. Gould, 1970:58).
Mortimer J. Adler di dalam Robert E. Dewey dan James A. Gould (1970)
memberikan definisi umum untuk semua konsep kebebasan manusia, yaitu: “A
man is free who has in himself the ability or power to make what he does his own
KONSEP KEBEBASAN ALBERT CAMUS DALAM TINJAUAN FILSAFAT PENDIDIKAN:RELEVANSINYA DENGAN PENDIDIKAN DIINDONESIAGLORIA RAHMA GINTINGUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
14
action and what he achieves his own property” (Dewey, Robert E dan James A.
Gould, 1970:58-59).
Terkait dengan definisi kebebasan, Herbert J. Muller di dalam Robert E.
Dewey dan James A. Gould (1970:77) mengungkapkan definisi yang relatif netral
dan obyektif, yang memberikan kesatuan konsepsi ke mana kebebasan dibahas
dan dicari oleh manusia. Muller menuliskan bahwa di dalam istilah formal,
kebebasan berarti “the condition of being able to choose and to carry out
puposes”. Ia mencatat bahwa menurut definisi ini, kebebasan mempunyai
implikasi:
“(1) the primary dictionary meaning-the absence of external constraints; (2) practicable purposes, or an actual ability with available means; and (3) a power of conscious choice, between significant, known alternatives. It accordingly involves the common ideas of freedom from, freedom to, and freedom of, but it leaves open the question of freedom for what” (Dewey, Robert E dan James A. Gould, 1970:77).
Permasalahan kebebasan juga menjadi topik yang hangat di antara filsuf
eksistensialis, Albert Camus merupakan salah satu sastrawan yang digolongkan
sebagai filsuf eksistensialis. Eksistensialisme merupakan “aliran filsafat yang
berpangkal pada manusia sebagai eksistensi”. Nama lain dari Eksistensialisme
adalah fenomenologi eksistensial, yang merupakan penyatuan antara
eksistensialisme Kierkegaard (1813-1855) dan fenomenologi Edmund Husserl
(1859-1938) (Snijders,2008:23).
Eksistensialisme menekankan bagaimana cara berada manusia di dunia,
yang unik dan khas, termasuk tentang manusia. Eksistensialisme merupakan suatu
bentuk ketidakpuasan terhadap Materialisme, dan Spiritualisme. Aliran ini
KONSEP KEBEBASAN ALBERT CAMUS DALAM TINJAUAN FILSAFAT PENDIDIKAN:RELEVANSINYA DENGAN PENDIDIKAN DIINDONESIAGLORIA RAHMA GINTINGUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
15
memberi tempat istimewa terhadap pengalaman pribadi manusia. Pangkal dan
jiwa Eksistensialisme ialah “pandangan atas manusia sebagai eksistensi”
(Snijders, 2008: 23).
Sartre berpendapat bahwa sikap yang harus dihindari oleh kaum
eksistensialis adalah lari dari tanggung jawab. Tanggung jawab di sini mencakup
tanggung jawab terhadap diri sendiri maupun orang lain (Bertens,2001:106).
Kemudian, terkait dengan kebebasan, Sartre mengungkapkan bahwa kesadaran
merupakan bentuk kebebasan itu sendiri, sehingga kebebasan tidak dapat
dipisahkan dari kesadaran. Ia menyebut kesadaran dengan istilah être-pour-soi
(being-for-itself)”yang berarti “Ada-bagi-dirinya. Menurut Sartre, “kesadaran
akan sesuatu berada sebagai kesadaran (akan) dirinya. Kehadiran (pada) dirinya
sendiri adalah konstitutif bagi kesadaran” (Bertens,2001:93-95).
Berbeda dengan tokoh eksistensialis sebelumnya yang berusaha untuk
menemukan Ada, Albert Camus lebih bertitik tolak pada kehidupan yang absurd,
yang menganggap bahwa dunia atau realita merupakan suatu yang sukar untuk
dipahami dan kebenaran tidak pernah ditemukan secara utuh. Perasaan absurditas
timbul dikarenakan “pertemuan antara alam dan pikiran manusia”
(Martin,2003:53). Camus mengatakan bahwa kegiatan sehari-hari yang dilakukan
manusia, mulai dari bangun tidur, bekerja, bersosialisai dengan manusia lain,
hingga tidur kembali dan terus terjadi secara berulang-ulang akan menimbulkan
rasa jemu, bosan, dan lelah, tetapi hal ini justru membuat manusia menyadari
absurditas” (Martin, 2003:52).
KONSEP KEBEBASAN ALBERT CAMUS DALAM TINJAUAN FILSAFAT PENDIDIKAN:RELEVANSINYA DENGAN PENDIDIKAN DIINDONESIAGLORIA RAHMA GINTINGUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
16
Kaufmann, sebagaimana dikutip oleh Sindhunata dan A. Sudiardja
menggolongkna Albert Camus sebagai filsuf eksistensialis ireligius berdasarkan
karya Camus yang berjudul Le Myte de Sisyphe (Mitos Sisiphus). Sisiphus adalah
tokoh yang berani untuk mempertahankan prinsip dan bertanggung jawab atas
pilihannya, meskipun ia menentang para dewa di dalam tragedi Homerus
(Sastrapratedja (ed), 1982:18). Kemudian, Joko Siswanto (2012:58-59) bertitik
tolak dari Kundert, menuliskan terdapat tiga prinsip di dalam pemikiran Albert
Camus, yaitu: Tuhan sudah mati (God is death), hidup itu absurd (life is absurd),
dan hidup itu nir-makna (life is meaningless), yang akan dijelaskan lebih lanjut di
dalam bab III.
Albert Camus membedakan manusia menjadi dua, yaitu “manusia yang
absurd” dan “manusia yang menyadari absurditasnya”. Manusia yang absurd tidak
menyadari bahwa hidupnya absurd, tenggelam di dalam kehidupan sehari-hari,
dan hidup menuruti “prinsip-prinsip absurditas kehidupan”, sedangkan manusia
yang menyadari absurditasnya bertingkah laku sebagai seorang “pemberontak”
atau seorang yang “putus asa”, tetapi Camus lebih memilih untuk menjadi seorang
“pemberontak”. Ini adalah cara yang ditempuh oleh Camus untuk berperang
melawan absurditas. Albert Camus, di dalam persoalan moral mengambil sikap
berpendirian kuat dan terlibat di dalamnya, meskipun ia tidak bisa dikatakan
sebagai pengajar moral (Sastrapratedja (ed), 1982:24).
Di dalam drama Albert Camus yang berjudul Caligula, terdapat pemikiran
Camus yang mendalam tentang absurditas. Pertama, absurditas merupakan suatu
konsekuensi dari kehidupan manusia, sebab manusia yang berhadapan dengan
KONSEP KEBEBASAN ALBERT CAMUS DALAM TINJAUAN FILSAFAT PENDIDIKAN:RELEVANSINYA DENGAN PENDIDIKAN DIINDONESIAGLORIA RAHMA GINTINGUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
17
dunia, yang tidak berhasil memenuhi kerinduan terdalam manusia. Kedua,
absurditas harus dihadapi dengan cara pemberontakan yang berlangsung tanpa
henti, tidak menyerah, hingga berani menantang maut, meskipun pemberontakan
ini tidak mempunyai harapan di dalamnya. Ketiga, di dalam Caligula, Camus
menyampaikan wujud “keputusan moral” yang ada di dalam diri manusia, yaitu
pemberontakan secara terus-menerus yang dilakukan manusia untuk menghadapi
realitas dunia yang penuh dengan keabsurdannya. Prinsip yang dipertahankan oleh
Camus ini merupakan suatu tindakan di dalam menyikapi nihilisme
(Sutrisno,1999:12-13), yang berkembang semenjak Perang Dunia II. Nihilisme
merupakan suatu paham yang berpikir tentang makna hidup manusia, yang
menjadi salah satu pertanyaannya adalah “apakah kehidupan ini akan berakhir
dalam ketiadaan, ketanpaartiaan?” Pemikiran Camus tentang nihilisme terlihat
dalam dramanya yang berjudul Caligula (Sutrisno,1999:8).
Manusia tidak mampu untuk menghindar dari absurditas selama menjalani
kehidupan di dunia. Oleh karena itu, Camus berkeyakinan bahwa absurditas harus
dihadapi, dan menghindari absurditas merupakan tindakan bunuh diri filosofis.
Ketiga pemikiran di atas merupakan “konsekuensi logis” dari pemikiran Camus
tentang manusia dan dunia, yaitu: manusia mempunyai kerinduan yang terdalam,
tetapi kerinduan atau keinginan manusia ini tidak dapat dipenuhi oleh dunia, dan
absurditas selalu ada ditengah-tangah interaksi antara manusia dengan dunia
(Sutrisno,1999:12-13).
Terkait dengan pemikiran Albert Camus mengenai absurditas, Joko
Siswanto (2012:163-166) di dalam buku yang berjudul Filsafat Kejahatan
KONSEP KEBEBASAN ALBERT CAMUS DALAM TINJAUAN FILSAFAT PENDIDIKAN:RELEVANSINYA DENGAN PENDIDIKAN DIINDONESIAGLORIA RAHMA GINTINGUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
18
mengatakan bahwa situasi absurd merupakan akar dari kejahatan, yang pada
akhirnya menghasilkan penderitaan dan kematian. Manusia selalu berhadapan
dengan pertentangan antara dua hal yaitu: “konfrontasi antara keinginan manusia
atas kejelasan makna kehidupannya dengan dunia yang tidak terpahami”. Oleh
karena itu konfrontasi merupakan suatu hal yang sudah seharusnya terjadi atau
wajar, dan diakui sebagai hal yang “given”. Hal terpenting yang harus dilakukan
adalah mempersiapkan diri menghadapi akibat-akibat yang ditimbulkan oleh
absurditas. Kemudian, kejahatan bersifat objektif dan dimensi kejahatan bersifat
imanen, jika menggunakan sudut pandang Albert Camus. Kejahatan bersifat
objektif disimbolkan di dalam karya sastra Camus yang berjudul La Peste
(Plague), sedangkan kejahatan bersifat imanen terlihat di dalam judul Mitos
Sisifus . Kejahatan bersifat objektif karena kejahatan dapat menimpa siapa saja
dan dalam waktu yang tidak dapat diperkirakan, sedangkan kejahatan bersifat
imenen dapat terjadi ketika kejahatan diyakini berasal dari luar diri manusia, yaitu
Tuhan yang terdapat di dalam setiap agama atau dewa seperti yang terlihat di
dalam cerita Mitos Sisifus. Oleh karena itu, kejahatan bersifat imanen di dalam
dimensinya mengkibatkan pemberontakan manusia terhadap Tuhan, karena Tuhan
dinilai sebagai penyebab ketidakadilan dan kematian yang menimpa manusia.
Berdasarkan uraian di atas, peneliti mengambil unsur-unsur dan nilai-nilai
filosofis utama dalam pemikiran Albert Camus terkait dengan kesadaran,
kebebasan, pemberontakan, yang nantinya akan memunculkan makna kebebasan
manusia yang lebih mendalam. Kemudian, pemikirannya mengenai kebebasan
KONSEP KEBEBASAN ALBERT CAMUS DALAM TINJAUAN FILSAFAT PENDIDIKAN:RELEVANSINYA DENGAN PENDIDIKAN DIINDONESIAGLORIA RAHMA GINTINGUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
19
tersebut akan ditinjau dari Filsafat Pendidikan Eksistensialisme yang pada
akhirnya akan direlevansikan dengan pendidikan di Indonesia.
E. Landasan Teori
Bagian ini akan membahas tentang pemikiran-pemikiran apa saja yang
dapat di gunakan sebagai dasar pembahasan untuk menjawab pertanyaan secara
teoritis. Hal ini terkait dengan obyek formal. Obyek formal penelitian ini adalah
Filsafat Pendidikan. Sedangkan, obyek material penelitian ini adalah pemikiran
Albert Camus, yang nantinya akan direlevansikan dengan pendidikan di
Indonesia.
Sebagaimana telah disebutkan di atas, obyek formal penelitian ini adalah
Filsafat Pendidikan. Di dalam Filsafat Pendidikan terdapat banyak aliran
pendidikan, namun penelitian ini hanya akan membahas tentang Filsafat
Pendidikan Eksistensialisme.
Imam Barnadib di dalam bukunya yang berjudul Filsafat Pendidikan :
Sistem dan metode, menuliskan bahwa Filsafat pendidikan adalah Ilmu
pendidikan yang bersendikan filsafat atau filsafat yang diterapkan dalam usaha
pemikiran dan pemecahan mengenai masalah pendidikan” (Barnadib, 1997:7).
Dengan kata lain, filsafat pendidikan adalah ruang untuk menyediakan pemecahan
masalah yang terjadi di lapangan pendidikan, dengan menggunakan analisa
filosofis (Barnadib, 1997:14). Pendidikan merupakan institusi yang pada masa
sekarang merupakan kebutuhan yang umum. Oleh karena itu, kajian tentang
filsafat pendidikan merupakan kajian yang dibutuhkan dan fundamental.
Penekanan yang menjadikan kajian mengenai hal tersebut adalah penting yaitu
KONSEP KEBEBASAN ALBERT CAMUS DALAM TINJAUAN FILSAFAT PENDIDIKAN:RELEVANSINYA DENGAN PENDIDIKAN DIINDONESIAGLORIA RAHMA GINTINGUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
20
adanya temuan-temuan “formula pendidikan secara holistik” tentang “apa” dan
“bagaimana” suatu pendidikan seharusnya dilaksanakan, sehingga relevansi
kegiatan pendidikan bagi kehidupan dapat dialami di dalam kehidupan sehari-hari
(Gandhi HW, 2011:84).
Filsafat pendidikan harus dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar
di dalam dunia pendidikan. Pertanyaan-pertanyaan ini berkaitan dengan
pengertian pendidikan, alasan pentingnya pelaksanaan pendidikan, sasaran atau
tujuan yang akan diraih dalam pelaksanaan pendidikan, dan cara agar sasaran atau
tujuan tersebut dapat dicapai atau direalisasikan. Filsafat pendidikan secara praktis
mempunyai empat peranan utama, yaitu “menginspirasikan, menganalisis,
mempreskriptifkan, dan menginvestigasi”(Gandhi HW, 2011: 86).
Filsafat pendidikan mempunyai ruang lingkup yang dibagi menjadi tiga
ruang, yaitu, ruang ontologi, ruang epistemologi, dan aksiologi. Ruang lingkup
ontologi akan mengupas mengenai hakikat pendidikan. Sedangkan pertanyaan
mengenai “mengapa” dan “bagaimana” pendidikan harus dijalankan akan dibahas
di dalam ruang lingkup epistemologi. Di dalam ruang lingkup epistemologi inilah
permasalahan mengenai pentingnya pendidikan di dalam kehidupan manusia akan
dibahas, sedangkan aksiologi membahas tentang arti keberadaan pendidikan dan
mempertanyakan tentang “validitasi urgenisasi umum”, yang mendukung
pentingnya peran pendidikan di dalam kehidupan (Gandhi HW, 2011: 89-90).
Di dalam filsafat pendidikan terdapat aliran-aliran. Salah satu aliran tersebut
adalah eksistensialisme yang menekankan pentingnya kebebasan personal.
Kebebasan inilah yang nantinya akan membawa seorang manusia menjadi
KONSEP KEBEBASAN ALBERT CAMUS DALAM TINJAUAN FILSAFAT PENDIDIKAN:RELEVANSINYA DENGAN PENDIDIKAN DIINDONESIAGLORIA RAHMA GINTINGUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
21
“otentik” dan hal ini merupakan “nilai pusat” bagi kaum eksistensialis (O’Neill,
2002:440). Eksistensialisme, yang berbicara tentang keberadaan manusia
merupakan aliran yang sangat dekat dengan dunia pendidikan, yang menjadikan
manusia sebagai pelaku utama dan satu-satunya, sebab hanya manusia yang
mampu mengadakan kegiatan belajar-mengajar. Penekanan kaum eksistensialis
terhadap pendidikan adalah pemenuhan diri dengan cara mendorong individu
untuk mengembangkan kemampuannya. Oleh karena itu salah satu faktor penting
di dalam pendidikan adalah adanya pemberian “pengalaman yang luas dan
komprehensif dalam semua bentuk kehidupan”. Di samping itu, kebebasan siswa
menjadi faktor penting di dalam kurikulum, sehingga bersifat liberal (Gandhi HW,
2011:189).
Oleh karena itu, jika berbicara tentang kebebasan, Filsafat pendidikan,
khususnya eksistensialisme memandang kebebasan sebagai salah satu persoalan
penting untuk dibahas. Hingga saat ini, definisi tentang kebebasan sangat beragam
jenisnya, sehingga setiap individu mempunyai sudut pandang masing-masing.
Sudut pandang seseorang tentang kebebasan menentukan cara manusia tersebut
menemukan diri seutuhnya dan mempengaruhi pemikiran serta tindakannya. Oleh
karena itu, pembahasan tentang kebebasan dari sudut pandang Albert Camus
merupakan hal yang penting, sebagai upaya untuk menghayati diri menuju
manusia seutuhnya.
F. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (library research) yang
bercorak kualitatif deskriptif analisis kritis. Seluruh data yang disajikan dalam
KONSEP KEBEBASAN ALBERT CAMUS DALAM TINJAUAN FILSAFAT PENDIDIKAN:RELEVANSINYA DENGAN PENDIDIKAN DIINDONESIAGLORIA RAHMA GINTINGUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
22
kajian ini bersumber dari data kepustakaan berupa buku, artikel, jurnal,
ensiklopedi dan data lain yang berkaitan dengan penelitian ini.
1. Materi Penelitian
Penelitian ini bersifat penelitian kepustakaan yang sumber datanya
diperoleh dari riset kepustakaan. Materi dalam penelitian ini dibagi menjadi dua
sebagai berikut:
a. Materi Primer
Materi penelitian ini diperoleh dari karya-karya Albert Camus yang
berkaitan dengan kebebasan, yaitu:
1) Albert Camus, 1942, Le Mythe de Sisyphe, Librairie Gallimard,
France dan diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris “The Myth of
Sisyphus and Other Essays”, penerjemah: Justin O’Brien, 1955,
Vintage Books, New York.
2) Albert Camus, 1999, “Mite Sisifus : Pergulatan dengan Absurditas”,
penerjemah: Apsanti D, PT. Gramedia, Jakarta.
3) Albert Camus, 1988, Resistance, Rebellion, and Death, Vintage
Internasional, Vintage Books, New York, dan diterjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia dengan judul “Perlawanan, Pemberontakan,
Kematian”, alih bahasa : Ahmad Asnawi, 2001, Pustaka Promethea,
Surabaya.
4) Albert Camus, L’Envers et l’Endroit, dan diterjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia dengan judul “Mati dalam Jiwa”, 2004, penerjemah
: Decky Juli Zafilus, Tinta, Yogyakarta.
KONSEP KEBEBASAN ALBERT CAMUS DALAM TINJAUAN FILSAFAT PENDIDIKAN:RELEVANSINYA DENGAN PENDIDIKAN DIINDONESIAGLORIA RAHMA GINTINGUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
23
b. Materi Sekunder
Materi sekunder diperoleh dari berbagai tulisan yang berkaitan dan
relevan dengan tema dan judul penelitian ini, yaitu:
1) Joko Siswanto, 2012, Filsafat Kejahatan, Lintang Pustaka Utama,
Yogyakarta.
2) Robert C. Solomon dan Kathleen M. Higgins, 1996, “A Short History
of Philosophy”, Oxford University Press, New York dan
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Saut Pasaribu, 2002,
dengan judul “Sejarah Filsafat”, Yayasan Bentang Budaya,
Jogjakarta.
3) M. Sastrapratedja (ed), Manusia Multi Dimensional: sebuah renungan
filsafat, PT. Gramedia bekerjasama dengan Pusat Pengembangan
Etika Atmajaya, Jakarta.
Di samping itu, penulis juga menggunakan buku-buku, jurnal, dan artikel-
artikel lain yang berhubungan dengan obyek material dan obyek formal.
2. Jalan Penelitian
Penelitian ini diadakan dalam tiga tahap jalan penelitian, antara lain:
a. Tahap pertama meliputi:
1) Pengumpulan data baik data primer maupun data sekunder sesuai dengan
lingkup penelitian.
2) Pembuatan kategori dengan mengumpulkan dan menyatukan data ke
dalam satu kesatuan yang tersistematisasi.
KONSEP KEBEBASAN ALBERT CAMUS DALAM TINJAUAN FILSAFAT PENDIDIKAN:RELEVANSINYA DENGAN PENDIDIKAN DIINDONESIAGLORIA RAHMA GINTINGUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
24
b. Tahap kedua meliputi:
1) Klasifikasi data dan selanjutnya akan dilakukan pendeskripsian dan
penginterpretasian.
2) Analisis data sesuai dengan pemahaman peneliti tentang segala hal yang
berhubungan dengan objek penelitian.
c. Tahap ketiga meliputi
1) Penyusunan draf hasil penelitian.
2) Penyusunan laporan hasil penelitian secara sistematis dan mengikuti
format atau aturan baku dalam penelitian.
3. Analisis hasil penelitian
Untuk mendukung analisis filosofis, penelitian ini akan menggunakan
metodologi dan unsur-unsur metodis analisis data yang bertitik tolak dari buku
yang berjudul Metode Penelitian Kualitatif bidang Filsafat, karya Kaelan
(2005:54-95). Adapun dalam tahap analisis data ini, penulis menggunakan metode
analisis data sebagai berikut:
a. Metode deskriptif
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kepustakaan yang
bersifat kualitatif deskriptif, dengan menggunakan sumber data berupa buku-
buku yang berkaitan dengan Albert Camus. Metode deskriptif ini dilakukan
ketika penulis memaparkan pemikiran-pemikiran Albert Camus, teori-teori
yang berkaitan dengan Filsafat Pendidikan, khususnya tentang filsafat
KONSEP KEBEBASAN ALBERT CAMUS DALAM TINJAUAN FILSAFAT PENDIDIKAN:RELEVANSINYA DENGAN PENDIDIKAN DIINDONESIAGLORIA RAHMA GINTINGUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
25
pendidikan eksistensialisme dan teori-teori yang menyangkut pendidikan di
Indonesia.
b. Metode analisis data
Dalam tahap analisis data ini, penulis menggunakan metode analisis data
sebagai berikut:
1) Verstehen, yaitu metode yang digunakan dalam tahap inventarisasi data.
Sejak awal pembacaan dan penulisan pemikiran Albert Camus, peneliti
sudah mencoba untuk memahami makna yang terdapat di dalam tulisan-
tulisan Camus (Kaelan, 2005:252).
2) Interpretasi data, yaitu metode yang digunakan dalam tahap pengumpulan
data. Peneliti bermaksud untuk mengungkapkan arti dan esensi pemikiran
Albert Camus secara obyektif bertitik tolak pada data yang telah diperoleh.
Metode ini juga mencakup penerjemahan bahasa asing ke bahasa
Indonesia (Kaelan, 2005:252).
3) Hermeneutika, yaitu metode yang digunakan untuk menangkap maksud
dari pengarang. Definisi tentang hermeneutika ini diambil dari metode
Schleiermacher (Mustansyir,2009:36-38). Hermeneutika melibatkan
interpretasi terhadap data setelah data terkumpul sehingga dapat diperoleh
esensi pemikiran pengarang dan dipahami sesuai dengan konteks waktu
sekarang (Kaelan, 2005:252-253). Dalam hal ini peneliti mencoba untuk
memahami makna yang terkandung di dalam tulisan-tulisan Albert Camus,
melalui latar belakang kehidupannya dan tulisan-tulisan lain tentang
KONSEP KEBEBASAN ALBERT CAMUS DALAM TINJAUAN FILSAFAT PENDIDIKAN:RELEVANSINYA DENGAN PENDIDIKAN DIINDONESIAGLORIA RAHMA GINTINGUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
26
Camus, sehingga peneliti dapat menangkap esensi pemikiran Camus
secara objektif dan sesuai dengan konteks sekarang.
4) Heuristika, yaitu suatu metode untuk menemukan dan mengembangkan
metode baru dalam suatu ilmu pengetahuan bahkan pada filsafat itu sendiri
(Kaelan, 2005: 96). Peneliti mencoba menganalisa pemikiran Albert
Camus dari sudut pandang filsafat pendidikan eksistensialisme untuk
menemukan relevansi pemikiran Albert Camus tentang kebebasan bagi
pendidikan di Indonesia.
G. Sistematika Penulisan
Penulisan penelitian ini diuraikan secara praktis dan teknis dalam
pelaksanaan penelitiannya. Sistematika penulisannya terdiri dari beberapa bab,
yaitu.
Bab I merupakan bab pendahuluan. Terdiri atas latar belakang masalah,
meliputi rumusan masalah, keaslian penelitian, tujuan penelitian, manfaat
penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode yang digunakan dalam
penelitian dan sistematika penulisan.
Bab II, berisi tentang Filsafat Pendidikan yang menekankan aliran
pendidikan eksistensialis.
Bab III, berisi tentang riwayat hidup, latar belakang, karya-karya, tokoh
yang mempengaruhi Albert Camus, dan pikiran-pikiran pokok Albert Camus.
Bab IV, berisi tentang analisis tentang konsep kebebasan menurut Albert
Camus yang ditinjau dari filsafat pendidikan eksistensialisme.
KONSEP KEBEBASAN ALBERT CAMUS DALAM TINJAUAN FILSAFAT PENDIDIKAN:RELEVANSINYA DENGAN PENDIDIKAN DIINDONESIAGLORIA RAHMA GINTINGUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
27
Bab V, berisi tentang pemahaman tentang pendidikan, yang menjelaskan
tentang posisi manusia di dalam pendidikan, definisi dan batas-batas pendidikan,
serta tujuan pendidikan. Di samping itu, bab ini juga berbicara tentang
permasalahan pendidikan, serta relevansi pemikiran kebebasan Albert Camus di
dalam pendidikan di Indonesia.
Bab VI, merupakan bab penutup, yang terdiri dari kesimpulan dan saran.
KONSEP KEBEBASAN ALBERT CAMUS DALAM TINJAUAN FILSAFAT PENDIDIKAN:RELEVANSINYA DENGAN PENDIDIKAN DIINDONESIAGLORIA RAHMA GINTINGUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/