1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Penelitian ini hendak membahas eksistensi peraturan
pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) dalam konstitusi di
Indonesia serta tolok ukur dalam pembentukan peraturan pemerintah
pengganti undang-undang (Perppu). Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang (Perppu) merupakan salah satu jenis peraturan
perundang-undangan dalam sistem norma hukum negara Republik
Indonesia. Perppu dikonsepsikan sebagai suatu peraturan yang dari
segi isinya seharusnya ditetapkan dalam bentuk undang-undang,
tetapi karena keadaan kegentingan memaksa ditetapkan dalam bentuk
peraturan pemerintah.1
Di dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan disebutkan
bahwa:2
(1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
1 Jimly Ashiddiqie, Hukum Tata Negara Darurat, Edisi ke-1, PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2007, hal. 3. 2 Lihat Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan.
2
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang
Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
(2) Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan
hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Jika dilihat dari hierarki peraturan perundang-undangan pada
Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 dapat
dikatakan bahwa UU dan Perppu memiliki kedudukan yang
sejajar/sederajat, hanya saja keduanya dibentuk dalam keadaan yang
berbeda. Selama ini UU selalu dibentuk oleh Presiden dengan
persetujuan DPR, dan dalam keadaan normal, atau menurut
Perubahan UUD 1945 dibentuk oleh DPR dan disetujui bersama oleh
DPR dan Presiden, serta disahkan oleh Presiden, sedangkan Perppu
dibentuk oleh Presiden tanpa persetujuan DPR karena adanya “suatu
hal ikhwal kegentingan yang memaksa.”3 Hal tersebut dinyatakan
dalam Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 (“UUD 1945”):
“Dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak
menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang.”
Selain itu, penetapan Perppu yang dilakukan oleh Presiden ini
juga tertulis dalam Pasal 1 angka 4 Undang-Undang No. 12 Tahun
3 Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-Undangan Proses dan Teknik
Pembentukannya, Kanisius, Yogyakarta. 2007, hal 80.
3
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang
berbunyi: “Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang adalah
Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam
hal ikhwal kegentingan yang memaksa.”Jika mengacu pada rumusan
ini maka jelaslah bahwa sejatinya Perppu merupakan suatu peraturan
pemerintah, namun berfungsi sebagai undang-undang. Dengan
demikian Perppu merupakan salah satu instrumen hukum yang dapat
ditetapkan oleh Presiden tanpa memerlukan keterlibatan Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR). Peran DPR dalam konteks Perppu baru
terlihat pada Pasal 22 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 yang
menegaskan bahwa “peraturan pemerintah itu harus mendapat
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan berikut”
dan “jika tidak mendapatkan persetujuan maka peraturan pemerintah
itu harus dicabut”.
Berbeda dengan undang-undang, masa berlakunya Perppu
sangat singkat yakni sampai dengan persidangan DPR yang terdekat
dengan tanggal penetapan Perppu tersebut. Setelah itu, diperlukan
ketegasan sikap dari DPR apakah akan menyetujui atau tidak
menyetujui Perppu tersebut. Pengajuan Perppu ke DPR dilakukan
dalam bentuk pengajuan rancangan undang-undang tentang
penetapan Perppu tersebut menjadi undang-undang. Dalam hal DPR
4
menyetujui Perppu tersebut maka rancangan undang-undang tentang
penetapan Perppu tersebut menjadi undang-undang disahkan menjadi
Undang-Undang, sedangkan jika Perppu itu ditolak oleh DPR maka
Perppu tersebut tidak berlaku dan Presiden mengajukan rancangan
undang-undang tentang pencabutan Perppu tersebut yang dapat
mengatur pula segala akibat dari penolakan tersebut. Kondisi inilah
yang kemudian membuat kedudukan Perppu yang dibentuk tanpa
persetujuan DPR kadang-kadang dianggap memiliki kedudukan di
bawah UU.4
Sebelum adanya perubahan UUD 1945 terdapat penjelasan
Pasal 22 UUD 1945 yang menyatakan, “Pasal ini mengenai
noodverordeningsrecht Presiden, aturan seperti ini memang
diperlukan supaya keselamatan negara dapat dijamin oleh pemerintah
dalam keadaan genting, yang memaksa pemerintah untuk bertindak
lekas dan tepat.”5 Huda berpandangan bahwa Pasal 22 tersebut adalah
isyarat bahwa dalam keadaan yang lebih genting dan amat terpaksa
dan memaksa, tanpa menunggu adanya syarat-syarat yang ditentukan
oleh dan dalam suatu undang-undang, serta bagaimana akibat-akibat
4 Hukum Online, Kedudukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
(Perpu), http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt5235ce3d531c8/kedudukan-peraturan-
pemerintah-pengganti-undang-undang-(perpu), diakses pada tanggal 28 November 2014. 5 Ibnu Sina Chandranegara. Pengujian Perppu Terkait Sengketa Kewenangan
Konstitusional Antar-Lembaga Negara: Kajian Atas Putusan MK No. 138/PUU-VII/2009.
Jurnal Yudisial, Vol. 5 No. 1, April 2012. hal 3.
5
yang tidak sempat ditunggu dan ditetapkan dalam suatu undang-
undang, Presiden berhak menetapkan Perppu sekaligus menyatakan
suatu keadaan bahaya dan darurat.6
Dinamika sejarah peraturan perundang-undangan di Indonesia
menunjukkan bahwa latar belakang penetapan Perppu oleh Presiden
umumnya berbeda-beda. Hal ini disebabkan karena tolok ukur
“kegentingan yang memaksa” selalu bersifat multitafsir dan besarnya
subyektivitas Presiden dalam menafsirkan frase “kegentingan yang
memaksa” sebagai dasar untuk menetapkan Perppu. Hal yang selalu
menjadi kontroversi hingga saat ini adalah tolok ukur mengenai
“kegentingan yang memaksa” sebagai dasar bagi pembentukan
Perppu. Bahkan seringkali muncul pameo di masyarakat bahwa
Perppu umumnya dibentuk bukan karena adanya kegentingan yang
memaksa, melainkan karena adanya kepentingan yang memaksa.
Melalui penelitian ini penulis hendak berargumen bahwa
sampai sejauh ini, tidak ada kriteria tolok ukur yang jelas dari makna
“hal ikhwal kegentingan yang memaksa” tersebut, karenanya
kehadiran Perppu lebih pada pertimbangan subjektif Presiden.
Penjelasan Pasal 22 UUD 1945 menerangkan bahwa Pasal ini
mengenai noodverordeningsrecht Presiden. Oleh sebab itu, maka
6 Huda, Ni’matul, dalam Ibnu Sina Chandranegara, Ibid.
6
penulis hendak menganalisis eksistensi Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang (Perppu) dalam konstitusi di Indonesia
serta mengkaji tolok ukur dalam pembentukan Perppu.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah
dalam penelitian ini adalah:
1. Apa hakikat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
(Perppu) dalam konstitusi di Indonesia?
2. Apa makna konsep “hal ikhwal kegentingan yang memaksa”
sebagai tolok ukur pembentukan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang (Perppu)?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini memiliki tujuan:
1. Mengetahui hakikat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang (Perppu) dalam konstitusi di Indonesia.
2. Mengetahui makna konsep “hal ikhwal kegentingan yang
memaksa” sebagai tolok ukur pembentukan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang (Perppu).
7
D. Manfaat Penelitian
1. Penelitian ini diharapkan memberikan sumbangan bagi
pengetahuan dalam ilmu hukum, khususnya mengenai eksistensi
peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) dalam
konstitusi di Indonesia.
2. Secara praktis hasil pengkajian penelitian ini diharapkan dapat
bermanfaat bagi pemerintah terkait sebagai eksistensi Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) dalam konstitusi
di Indonesia.
E. Landasan Teori
Landasan teori dalam penelitian ini, yaitu:
1. Teori PERPPU
Pasal 1 angka 4 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyatakan:
“Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang adalah Peraturan
Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ikhwal
kegentingan yang memaksa.” Perppu juga dinyatakan dalam Pasal 22
UUD 1945: 7
(1) Dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa, Presiden
berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti
undang-undang.
7 Lihat Pasal 22 ayat UUD 1945.
8
(2) Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut.
(3) Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah
itu harus dicabut.
Berdasarkan hal tersebut, maka Pasal 22 memberikan
kewenangan kepada Presiden untuk secara subjektif menilai keadaan
negara atau hal ikhwal yang terkait dengan negara yang
menyebabkan suatu undang-undang tidak dapat dibentuk segera,
sedangkan kebutuhan akan pegaturan materiil mengenai hal yang
perlu diatur sudah sangat mendesak sehingga Pasal 22 UUD 1945
memberikan kewenangan kepada Presiden untuk menetapkan
peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu).8 Namun,
peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut (vide Pasal 22
ayat (2) UUD 1945) dan jika tidak mendapat persetujuan, maka
peraturan pemerintah itu harus dicabut (vide Pasal 22 ayat (3) UUD
1945). Pasal 52 ayat (1) Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyatakan
bahwa Perppu harus diajukan ke DPR dalam “persidangan berikut”.
Yang dimaksud dengan “persidangan berikut” menurut
Penjelasan Pasal 52 ayat (1) Undang-Undang No. 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah masa
8 Jimly Ashiddiqie, Op.cit, hal 209.
9
sidang pertama DPR setelah Perppu ditetapkan. Jadi, pembahasan
Perppu untuk di DPR dilakukan pada saat sidang pertama DPR dalam
agenda sidang DPR setelah Perppu itu ditetapkan untuk mendapat
persetujuan atau tidak dari DPR.
2. Teori Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan atas hukum
Reschsstaat.9 Ciri-ciri negara hukum ialah, pertama, adanya
pembagian kekuasaan dalam negara, kedua, diakuinya hak asasi
manusia yang dituangkan dalam konstitusi, ketiga, adanya dasar
hukum bagi kekuasaan pemerintah (asas legalitas), keempat, adanya
peradilan yang bebas dan merdeka, kelima, semua warga negara sama
kedudukannya dalam hukum dan pemerintah wajib menjunjung
hukum10
. Indonesia adalah negara hukum, oleh karena itu dalam
pembentukan undang-undang harus didasarkan pada undang-undang
dasar (konstitusi)11
. Undang-undang yang ada harus mencerminkan
apa yang diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar 1945 yang
merupakan konstitusi Indonesia. Indonesia adalah negara hukum,
9 Lihat Penjelasan Umum Undang-Undang Dasar 1945 Bagian Sistem
Pemerintahan Negara. Angka 1. 10
Jimly Asshiddiqie, Negara Hukum Indonesia, Ceramah Umum Ikatan Alumi
Universitas Jayabaya, Jakarta, 23 Januari 2010. 11
Hans Kelsen, Teori Hukum Murni: Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif, Nusa
Media, Bandung, 2008, hal: 243-253.
10
maka semua produk undang-undang harus didasarkan pada Undang-
Undang Dasar 1945.
Kebijakan mengenai pembentukan peraturan perundang-
undangan sebenarnya telah diatur sejak dikeluarkannya Instruksi
Presiden (Inpres) Nomor 15 Tahun 1970 tentang Mempersiapkan
Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia, namun pengaturannya tidak secara tegas dan
rinci. Pengaturan lebih tegas terkait harmonisasi kemudian diatur
berdasarkan Kepres Nomor 188 Tahun 1998 tentang Tata Cara
Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang, yang merupakan
pengganti Inpres Nomor 15/1970 tersebut.
Kebijakan pengharmonisasian berdasarkan Kepres Nomor
188 Tahun 1998 kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor
10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Hal ini sejalan dengan amanat dari Pasal 22A UUD 1945.12
Oleh
karena Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 dalam tataran praktik
empririkal masih banyak mengandung kelemahan, maka DPR
bersama Pemerintah telah berhasil menyusun kembali dan melakukan
penyempurnaan melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
12
Pasal 22A UUD 1945 mengatur bahwa Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara
pembentukan undang-undang diatur dengan undang-undang.
11
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, sebagai
pengganti Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004.
Pembentukan suatu Undang-Undang bilamana ditinjau dari
aspek substansialnya, pada dasarnya berkaitan dengan masalah
pengolahan isi dari suatu peraturan perundang-undangan yang
memuat asas-asas dan kaidah hukum sampai dengan pedoman
perilaku konkret dalam bentuk aturan-aturan hukum.13
Lebih jauh
aspek materiil ini berkenaan dengan pembentukan struktur, sifat dan
penentuan jenis kaidah hukum yang akan dirumuskan dalam
peraturan perundang-undangan. Sedangkan aspek formal berkaitan
dengan kegiatan pembentukan peraturan perundang-undangan yang
berlangsung terutama diarahkan pada upaya pemahaman terhadap
metode, proses dan teknik perundang-undangan.14
Aspek materiil dan aspek formal ini saling berhubungan
secara timbal balik dan dinamis. Aspek materiil yang memuat jenis-
jenis kaidah memerlukan aspek formal agar pedoman-pedoman
perilaku yang hendak direalisasikan dalam bentuk peraturan
perundang-undangan dapat diwujudkan atau dikonkretkan memiliki
13
Yuliandri, Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Yang Baik,
PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2009, hal.222. 14
Ibid.
12
legitimasi dan daya laku efektif dalam realitas kehidupan
kemasyarakatan.15
Demikian sebaliknya dimana sebuah produk perundang-
undangan yang dihasilkan melalui aspek formal/prosedural yang
terdiri dari metode, proses dan teknik perundang-undangan sampai
menjadi aturan hukum positif agar mempunyai makna serta mendapat
respek dan pengakuan yang memadai dari pihak yang terkena
dampak pengaturan tersebut memerlukan landasan dan legitimasi dari
aspek materiil/ substansial.16
Melalui proses sinkronisasi materi
muatan Undang-Undang akan mendukung pelaksanaan harmonisasi
sehingga dapat mencegah terjadinya pengaturan ganda dan
pertentangan norma antar berbagai Undang-Undang.
Fungsi peraturan perundang-undangan jika dikaitkan dengan
hukum sebagai sebuah ideal ialah mencegah timbulnya kesewenang-
wenangan oleh penguasa terhadap warga negara.17
Sehubungan
dengan penetapan berbagai produk hukum yang bersifat penetapan,
menurut Sjachran Basah ada beberapa persyaratan yang perlu
diperhatikan, yakni :18
15
Ibid. 16
Ibid, hal. 223. 17
Titon Slamet Kurnia, Pengantar Sistem Hukum Indonesia, PT Alumni, Bandung,
2009, hal 50. 18
Sjachran Basah, Perlindungan Hukum Terhadap Sikap Tindak Administrasi
Negara, Alumni, Bandung, 1986, hal 4.
13
a. memenuhi asas legalitas (wetmatige) dan asas yuridis
(rechtmatige)
b. tidak menyalahi atau menyimpang dari ketaat-asasan
hierarki peraturan perundang-undangan;
c. tidak melanggar hak dan kewajiban asasi warga
masyarakat;
d. diterapkan dalam rangka mendukung (memperlancar)
upaya mewujudkan atau merealisasi kesejahteraan umum.
3. Teori Kekuasaan Legislasi Presiden
Melalui ajarannya Montesquieu berpendapat bahwa:
“Apabila kekuasaan negara itu dipisahkan secara tegas menjadi
tiga, yaitu: kekuasaan perundang-undangan, kekuasaan
melaksanakan pemerintahan, dan kekuasaan kehakiman, dan
masing-masing kekuasaan itu dipegang oleh badan yang berdiri
sendiri, ini akan menghilangkan kemungkinan timbulnya
tindakan yang sewenang-wenang dari seorang penguasa, atau
tegasnya tidak memberikan kemungkinan dilaksanakannya
sistem pemerintahan absolutisme.” 19
Pandangan Montesquieu inilah yang kemudian dijadikan
rujukan doktrin separation of power. Cara bekerja dan berhubungan
ketiga poros kekuasaan tersebut dapat disebut sebagai sistem
pemerintahan negara. Dengan demikian yang dimaksud sistem
pemerintahan negara adalah sistem hubungan dan tata kerja antar
lembaga negara.20
Di Indonesia, kekuasaan Presiden merupakan
kekuasaan yang melaksanakan pemerintahan.
19
Montesquieu, dalam Andy Wiyanto, Pertanggungjawaban Presiden dan
Mahkamah Konstitusi, Jurnal Konstitusi, Volume 7, Nomor 3, Juni 2010, hal 209. 20
Mohammad Mahfud MD, Dasar & Struktur Ketatanegaraan Indonesia Edisi
Revisi, Rineka Cipta, Jakarta, 2001, hal 74.
14
Perubahan (amandemen) UUD 1945 telah membawa
pembaharuan dalam ketatanegaraan Indonesia. Bergesernya
kekuasaan pembentukan undang-undang dari Presiden ke Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) adalah salah satu konsekuensi dari
perubahan Konstitusi, sehingga fungsi legislatif dari DPR menjadi
lebih kuat dari pada yang biasanya (sebelum amandemen UUD
1945). Akan tetapi di dalam pembentukan undang-undang Presiden
masih mempunyai kewenangan. Hal ini dapat dilihat dengan adanya
suatu keharusan bahwa undang-undang itu dibentuk harus dengan
persetujuan bersama antara Presiden dan DPR (vide Pasal 20 ayat (2)
UUD 1945). Artinya, Presiden mempunyai peranan yang sangat
menentukan dalam pembentukan undang-undang. Begitu juga dalam
pengesahan undang-undang, Presiden mempunyai kewenangan untuk
mengesahkan undang-undang dengan batas waktu tertentu untuk
mengesahkan suatu undang-undang (vide Pasal 20 ayat (4) UUD
1945).
Walaupun kekuasaan membentuk undang-undang telah
berada di DPR, dalam hal-hal tertentu Presiden juga diberikan
kekuasaan dalam menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang,
derajatnya sama dengan undang-undang. Dalam UUD 1945,
15
kekuasaan Presiden dalam menetapkan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang, terdapat pada Pasal 22 UUD 1945.
Selain itu Menurut Pasal 5 ayat (1) UUD 1945, Presiden berhak
mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan
Rakyat.
4. Teori Prinsip Kegentingan yang Memaksa
Mengenai “hal ikhwal kegentingan yang memaksa”, Bagir
Manan menyatakan bahwa unsur kegentingan yang memaksa harus
menunjukkan 2 (dua) ciri umum, yaitu: (i) ada krisis (crisis), dan (ii)
ada kemendesakan (emergency).21
Menurutnya suatu keadaan krisis
apabila terdapat gangguan yang menimbulkan kegentingan dan
bersifat mendadak (a grave and sudden disturbunse). Kemendesakan
(emergency), apabila terjadi berbagai keadaan yang tidak
diperhitungkan sebelumnya dan menuntut suatu tindakan segera
tanpa menunggu permusyawaratan terebih dahulu. Atau telah ada
tanda-tanda permulaan yang nyata dan menurut nalar yang wajar
apabila tidak diatur segera akan menimbulkan gangguan baik bagi
masyarakat maupun terhadap jalannya pemerintahan.
Sedangkan Jimly Asshiddiqie mengenai “hal ikhwal
kegentingan yang memaksa”, berpendapat:
21
Bagir Manan. Lembaga Kepresidenan, PSH-FH UII dan Gama Media,
Yogyakarta, 1999, hal 158-159.
16
“Bagaimanapun, perpu itu sendiri memang merupakan undang-
undang yang dibentuk dalam keadaan yang darurat yang
menurut istilah Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 disebutkan
”Dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa”. Istilah hal-
ihwal kegentingan yang memaksa dan darurat di sini tentu
tidak boleh dikacaukan atau diidentikkan dengan pengertian
”keadaan bahaya” menurut ketentuan Pasal 12 UUD 1945.
Keadaan darurat atau dalam hal ikhwal kegentingan yang
memaksa di sini adalah keadaan yang ditafsirkan secara
subjektif dari sudut pandang Presiden/Pemerintah, di satu pihak
karena (i) Pemerintah sangat membutuhkan suatu undang-
undang untuk tempat menuangkan sesuatu kebijakan yang
sangat penting dan mendesak bagi negara, tetapi di lain pihak
(ii) waktu atau kesempatan yang tersedia untuk mendapatkan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat tidak mencukupi
sebagaimana mestinya. Oleh karena itu, dari segi substansinya
sebenarnya juga merupakan undang-undang dalam arti materiel
(wet in materiele zin). Sebab, substansi norma yang terkandung
di dalamnya adalah materi undang-undang bukan materi
peraturan pemerintah.”22
F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Sesuai dengan karakteristik perumusan masalah yang
ditujukan untuk menganalisa eksistensi Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang (Perppu) dalam konstitusi di Indonesia
serta mengetahui tolok ukur dalam pembentukan Perppu, maka
metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah suatu
proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum,
22
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid I, Sekretariat
Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2006, hal 210.
17
maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang
dihadapi.23
2. Pendekatan
Berdasarkan rumusan masalah yang telah dipaparkan oleh
penulis, maka untuk menjawab isu hukum dalam penelitian, penulis
akan menggunakan pendekatan sebagai berikut:
a. Pendekatan perundang-undangan (statute approach).
Pendekatan perundang-undangan diperlukan karena yang menjadi
fokus sekaligus tema sentral penelitian ini yaitu eksistensi
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) dalam
konstitusi di Indonesia serta mengetahui tolok ukur dalam
pembentukan Perppu. Dalam metode pendekatan perundang-
undangan, peneliti perlu memahami hierarki, dan asas-asas dalam
peraturan perundang-undangan.24
Dengan demikian, pendekatan
perundang-undangan dalam penelitian ini merupakan legislasi
dan regulasi mengenai hakikat pembentukan Perppu.
b. Pendekatan konsep (conceptual approach).
Pendekatan konseptual dilakukan manakala peneliti tidak
beranjak dari aturan hukum yang ada.25
Dalam penelitian ini,
23
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, cetakan keenam, Kencana, Jakarta,
2010, hal. 35. 24
Peter Mahmud Marzuki, Op.cit, hal. 96. 25
Ibid, hal 137.
18
maka penulis akan menggali makna konsep “hal ikhwal
kegentingan yang memaksa” sebagai tolok ukur pembentukan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu)
berdasarkan pandangan-pandangan tokoh-tokoh dan doktrin-
doktrin hukum yang berkembang dalam Ilmu Hukum. Meskipun
tidak secara eksplisit, konsep hukum dapat juga diketemukan di
dalam undang-undang.26
Jadi konsep-konsep hukum tersebut
akan dijadikan penulis sebagai pijakan dalam membangun
argumen-argumen hukum mengenai makna konsep “hal ikhwal
kegentingan yang memaksa” sebagai tolok ukur pembentukan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu).
3. Tehnik Pengumpulan Bahan Hukum dan Sumber Penelitian
Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam
penelitian adalah penelusuran kepustakaan yang berupa literatur dan
dokumen-dokumen yang ada, yang berkaitan dengan objek
penelitian. Oleh karena itu, sumber bahan hukum penelitian ini
adalah bahan hukum sekunder, yang meliputi bahan hukum primer,
bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier.27
Bahan hukum
yang dikaji meliputi beberapa hal berikut:
26
Ibid, hal 138. 27
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat, Rajawali Press, Jakarta, 1995, hal.39.
19
a. Bahan hukum primer yakni bahan hukum yang terdiri atas
peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan
penelitian, seperti misalnya: UUD 1945, Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan.
b. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang terdiri atas
buku-buku teks yang ditulis para ahli hukum, jurnal-jurnal
hukum, pendapat para sarjana dan hasil simposium yang relevan
dengan penelitian ini.
c. Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan
petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan
hukum sekunder.
4. Metode Analisis
Penelitian ini menggunakan pula metode analisis deskriptif
kualitatif. Deskripsi atau pemaparan merupakan kegiatan menentukan
isi aturan hukum setepat mungkin, sehingga kegiatan
mendeskripsikan tersebut dengan sendirinya mengandung kegiatan
interpretasi.28
Dalam penelitian ini yang diinterpretasikan yaitu
mengenai eksistensi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
28
Bernard Arief Sidharta, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum, Mandar Maju,
Bandung, 2000, hal. 149-150.
20
Undang (Perppu) dalam konstitusi di Indonesia serta mengetahui
tolok ukur dalam pembentukan Perppu.
G. Sistematika Penulisan
Bab II membahas tentang eksistensi Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang (Perppu). Pada tataran historis, penulis
akan memaparkan hirarki Peraturan Perundang-Undangan di
Indonesia di Indonesia. Pada tataran konseptual, penulis akan
memaparkan Perppu dalam sistem perundang-undangan Indonesia
dan kekuasaan legislasi Presiden. Pada tataran konseptual, penulis
akan memaparkan hakikat Perppu di Indonesia.
Bab III membahas tentang tolok ukur “hal ikhwal kegentingan
yang memaksa” dalam pembentukan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang (Perppu). Dalam bab ini, pada tataran historis
penulis akan memaparkan penerbitan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang (Perppu) di Indonesia. Pada tataran
analisis, penulis akan mengkaji frasa “hal ikhwal kegentingan yang
memaksa” (Pasal 22 ayat (1) UUD 1945) Vs frasa ”keadaan bahaya”
(Pasal 12 UUD 1945). Selain itu penulis juga akan menganalisa
perihal tolok ukur “hal ikhwal kegentingan yang memaksa” dalam
21
pembentukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
(Perppu) berdasarkan konstitusi di Indonesia.
Bab IV merupakan bab Penutup yang berisi mengenai
kesimpulan yang menjawab rumusan masalah dan tujuan penelitian.
Pada akhir bab ini penulis akan mengemukakan sarannya terkait
dengan pembentukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang (Perppu) di Indonesia.