BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Van Vollenhoven dalam bukunya yang berjudul Staatsrecht Overzee
1934 menjelaskan bahwa pada saat bangsa Belanda pertama kali datang ke
wilayah Indonesia, mereka sudah menjumpai kompleks-kompleks peraturan
dari berbagai tata hukum,1 bahkan dari bukti-bukti yang mereka temukan,
kompleks-kompleks peraturan ini sudah ada semenjak jaman kerajaan-
kerajaan awal Indonesia, yaitu ratusan tahun sebelum bangsa Belanda
datang ke Indonesia,2 dan diperkirakan merupakan hukum asli bangsa
Indonesia karena kompleks peraturan-peraturan ini berakar pada adat-istiadat
masyarakat Indonesia,3 dan bersendikan dasar-dasar alam pikiran bangsa
Indonesia.4
Adat-istiadat yang menjadi sumber dari Kompleks peraturan-peraturan
ini berasal adalah adat-istiadat yang bersifat hukum,5 yaitu
kebiasaan masyarakat yang memiliki sanksi berupa reaksi masyarakat
terhadap pelanggaran yang diterapkan oleh penguasa Masyarakat Hukum
Adat.6 Sifat hukum pada adat-istiadat ini yang menjadi alasan kompleks
1 Otje Salman Soemadiningrat, Rekonseptualisasi Hukum Adat Kontemporer, P.T. Alumni, 2002, Bandung, hlm.28. 2 Pernyataan Van Vollenhoven dalam penelitian pustakanya yang dilihat dari buku Otje Salman Soemadiningrat, Rekonseptualisasi Hukum Adat Kontemporer, P.T. Alumni, 2002, Bandung, hlm.7. 3 Otje Salman Soemadiningrat, Op.Cit., hlm.9.
4 R.Soepomo, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Pradnya Pramita, Jakarta, 2003, hlm.23.
5 Van Vollenhoven, Orientasi Dalam Hukum Adat Indonesia, Djambatan, Jakarta, 1981, hlm.14.
6 R.Soepomo, Op.Cit., hlm.3.
peraturan ini disebut sebagai hukum adat.7 Sebagai adat-istiadat yang
memiliki sanksi, hukum adat dijadikan pedoman hidup yang mengatur tingkah
laku Masyarakat Hukum Adat.8 Salah satunya adalah pengaturan tingkah laku
pada pengelolaan lingkungan tempat mereka tinggal, yaitu hutan.9
Masyarakat Hukum Adat di Indonesia terdiri dari terdiri dari banyak
kelompok masyarakat.10 Kelompok-kelompok Masyarakat Hukum Adat ini
memiliki aturan aturan-aturan pengelolaan hutan masing-masing yang
berbeda satu sama lain, tergantung pada adat-istiadat dan kebiasaan yang
diterapkan dalam mengelola lingkungan.11 Meskipun berbeda, aturan-aturan
pengelolaan sumber daya alam oleh Masyarakat Hukum Adat ini memiliki
kesamaan, yaitu pengelolaan hutan berdasarkan prinsip lestari dan
memperhatikan keadaan lingkungan, misal prinsip pengelolaan hutan
Masyarakat Hukum Adat Datuk Sinaro Putih, yang didasarkan pada prinsip
“Umpang boleh disisip, kerap boleh diganggu” yang berarti pengambilan
sumber daya alam harus memperhatikan potensi yang ada, bila potensinya
baik maka sumber daya alam boleh diambil dan jika ada sumber daya yang
rusak harus diperbaiki.12
Hutan, sebagai sumber daya alam dikuasai dan dikelola oleh Negara.
Sebelum Indonesia merdeka, pengelolaan hutan di Indonesia melewati dua
masa penguasaan dan pengelolaan hutan oleh dua rezim penguasa yang
7 Van Vollenhoven, Op.Cit., hlm.15. 8 Soerojo Wignjodipoero, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, Gunung Agung, Jakarta, 1995, hlm.21.
9 Penelitian yang dilakukan oleh Yance Arizona dan kawan-kawan yang dituangkan dalam tulisan yang berjudul “Antara Teks dan Konteks, Dinamika Pengakuan Hukum Terhadap Hak MAsyarakat Adat atas Sumber Daya Alam di Indonesia”, HuMa, Jakarta, 2010. 10
Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, hlm.94. 11
Penelitian yang dilakukan oleh Yance Arizona dan kawan-kawan, Loc.Cit. 12
Yance Arizona, et.al., “Kuasa dan Hukum : Realitas Pengakuan Hukum Terhadap Hak Masyarakat Adat atas Sumber Daya Alam, Kertas Kerja Epistema Nomor 05 tahun 2010, HuMa (Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat), Jakarta, 2010, hlm.11.
berbeda, yaitu masa sebelum penjajahan dan pada masa penjajahan.
Kewenangan pengelolaan hutan pada masa sebelum penjajahan berada di
bawah kewenangan kepala adat atau raja-raja,13 sedangkan kewenangan
pengelolaan hutan pada masa kolonial diatur oleh hukum Belanda yang
ditetapkan oleh Pemerintah Hindia Belanda berdasarkan asas konkordansi.14
Kemudian setelah Indonesia merdeka, kewenang pengeloalaan hutan ini
beralih pada Negara dengan berdasarkan pada prinsip menguasai negara
yang tercantum pada pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945
(selanjutnya disbeut sebagai Undang-Undang Dasar) yang berbunyi “Bumi
dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh
negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”
Prinsip menguasai Negara ini merupakan legitimasi Negara untuk
menguasai hutan yang merupakan salah satu kekayaan alam di Indonesia.
Hak menguasai hutan oleh Negara ini diatur pada pasal 4 ayat (2) Undang-
Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan (selanjutnya disebut
sebagai Undang-Undang Kehutanan) yang berbunyi : “Semua hutan di dalam
wilayah Republik Indonesia termasuk kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh Negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”
Maksud dari kata menguasai pada pasal ini bukan berarti hutan menjadi hak
milik Negara, melainkan Negara memberikan wewenang kepada pemerintah
untuk melakukan kegiatan kehutanan.15 Salah satu kegiatan kehutanan yang
13
Salim H.S., Dasar-Dasar Hukum Kehutanan, edisi revisi, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm.7. 14
Ibid, hlm.18-27. 15
Pasal 4 ayat (2) jo. Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, (Selanjutnya disebut sebagi Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999)
menjadi wewenang pemerintah adalah mengurus segala sesuatu yang
berkaitan dengan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan.16
Pengelolaan merupakan salah satu kegiatan dalam pengurusan
hutan,17 yang meliputi kegiatan tata hutan dan penyusunan rencana
pengelolaan hutan; pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan;
rehabilitasi dan reklamasi hutan, dan perlindungan hutan serta konservasi.18
Kewenangan pengelolaan hutan ini dijalankan pemerintah melalui Badan
Usaha Milik Negara yang juga dibantu oleh Badan Usaha Milik Swasta yang
diberikan diberikan ijin oleh pemerintah.19 Pada prinsipnya, ijin pengelolaan
hutan yang diberikan oleh pemerintah kepada badan-badan usaha harus
dijalankan dengan memperhatikan keberadaan Masyarakat Hukum Adat
beserta hak-hak mereka.20
Pengelolaan hutan dengan memperhatikan keberadaan Masyarakat
Hukum Adat beserta hak-haknya ini dikarenakan penguasaan hutan oleh
Negara tidak meniadakan keberadaan Masyarakat Hukum Adat, melainkan
Negara tetap harus memperhatikan hak-hak Masyarakat Hukum Adat.21
Ketentuan ini merupakan tindak lanjut dari pengakuan Negara terhadap
keberadaan Masyarakat Hukum Adat yang tercantum pada pasal 18B ayat (2)
Undang-Undang Dasar yang berbunyi :
“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan Masyarakat Hukum Adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup
16 Pasal 4 ayat (2) (a) Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999. 17
Pasal 10 ayat (2) (b) Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999. 18
Pasal 21 Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999. 19
Bambang Pamulardi, Hukum Kehutanan dan Pembangunan Bidang Kehutanan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1999, hlm.120. 20
Ibid, hlm.120. 21 Pasal 4 ayat (3) Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999.
dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undangundang.”
Meskipun keberadaan Masyarakat Hukum Adat diakui secara normatif
oleh negara, konflik-konflik Kehutanan yang melibatkan Masyarakat Hukum
Adat masih sering terjadi. Umumnya, konflik-konflik tersebut tidak
terselesaikan dan merugikan Masyarakat Hukum Adat, misal pada kasus
kriminalisasi pengelolaan hutan Masyarakat Hukum Adat Kontu oleh Negara
dengan menggolongkan pengelolaan hutan yang dilakukan oleh Masyarakat
Hukum Adat Kontu sebagai kegiatan kehutanan yang tidak sah karena
pengelolaan hutan yang dilakukan oleh Masyarakat Hukum Adat Kontu tidak
mempunyai ijin, sehingga tindakan pengelolaan hutan tersebut digolongkan
sebagai pelanggaran pasal 50 ayat (3) Undang-Undang Kehutanan, sehingga
anggota Masyarakat Hukum Adat yang melakukan pengelolaan hutan
tersebut dapat dihukum. Penerapan pasal 50 ayat (3) Undang-Undang
Kehutanan pada kasus di atas tidak memperhatikan pasal 67 ayat (1) (a)
pada undang-undang yang sama yang berisi tentang hak-hak Masyarakat
Hukum Adat untuk mengelola hutan dan memungut hasil hutan untuk
memenuhi kebutuhan hidup Masyarakat Hukum Adat yang dijamin oleh
Negara.
Tindakan kriminalisasi bukanlah satu-satunya perlakuan yang diterima
oleh Masyarakat Hukum Adat, melainkan ada banyak konflik-konflik
kehutanan yang melibatkan Masyarakat Hukum Adat lainnya, yaitu konflik
Masyarakat Hukum Adat dengan pihak swasta yang merugikan Masyarakat
Hukum Adat. Semenjak pihak swasta padat modal pada era tahun 1970 diberi
kesempatan untuk memanfaatkan hutan, masyarakat di sekitar hutan,
khususnya Masyarakat Hukum Adat seringkali dirugikan dalam pemanfaatan
hutan karena hutan dianggap milik nasional sehingga hutan dieksploitasi
secara berlebihan melalui penebangan ilegal tanpa memperhatikan
keberadaan Masyarakat Hukum Adat beserta dengan hak-haknya,22 sehingga
menimbulkan konflik kehutanan antara Masyarakat Hukum Adat dan pihak
swasta.
Konflik-Konflik kehutanan ini seringkali terjadi dan cenderung dibiarkan
tanpa ada penyelesaian sehingga merugikan masyarakat hukum adat,
karena konflik tanpa penyelesaian seolah melegalkan tindakan pihak-pihak
swasta dan pemberian ijin dari Negara kepada mereka untuk melakukan
kegiatan kehutanan yang seringkali mengganggu keberadaan dan aktifitas
pengelolan hutan yang dilakukan oleh Masyarakat Hukum Adat. Pihak swasta
yang mengelola hutan dalam lingkungan Masyarakat Hukum Adat akan
merusak kawasan tempat tinggal mereka, jika kawasan tempat tinggal
mereka rusak, maka aktifitas pengelolaan hutan untuk memenuhi kebutuhan
hidup mereka pun terganggu.
Konflik Kehutanan yang sering terjadi ini diakibatkan pemarjinalan
keberadaan Masyarakat Hukum Adat dengan hanya mengindahkan peraturan
perundang-undangan kehutanan tertulis, sedangkan Indonesia mengakui
sistem hukum tidak tertulis yang disebut sebagai hukum adat. Seperti pada
kasus Masyarakat Hukum Adat Ketemenggungan Siyai yang mendapat
pelarangan dari Taman Nasional Bukit Baka dan Bukit Raya untuk melakukan
aktifitas di kawasan hutan.23
22
Martua Sirait, Op.Cit., hlm.1. 23
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Agustinus Agus dan Sentot Setyasiswanti, yang dituangkan dalam jurnal yang berjudul Setelah Kami Dilarang Masuk Hutan, HuMa, Jakarta, 2010.
Pelarangan memasuki hutan terhadap Masyarakat Hukum Adat berakibat
hilangnya hak-hak Masyarakat Hukum Adat Ketemenggungan Siyai untuk
menikmati sejumlah hak-hak dasar pengelolaan hutan,24 padahal Undang-
Undang Dasar Republik Indonesia jelas mengakui dan menghormati
kesatuan-kesatuan Masyarakat Hukum Adat beserta hak-hak tradisional
Masyarakat Hukum Adat melalui Undang-Undang Dasar 1945.25 Selain itu
pelarangan beraktivitas dalam hutan pada Masyarakat Hukum Adat akan
mengakibatkan hilangnya praktik-praktik budaya Masyarakat Hukum Adat
yang dilakukan secara turun-temurun atau praktik-praktik budaya ini akan
berjalan dalam keadaan tidak utuh,26 sehingga secara tidak langsung
tindakan melarang Masyarakat Hukum Adat beraktifitas di hutan merupakan
tindakan yang menghilangkan identitas suatu Masyarakat Hukum Adat.
Kedua contoh kasus di atas, apabila dianalisis lebih jauh menunjukkan
bahwa hukum adat dipaksa tunduk pada hukum nasional tanpa sosialisasi
pada Masyarakat Hukum Adat terlebih dahulu yang hanya mengerti
pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat mereka. Selain itu, umumnya,
dalam konflik-konflik kehutanan yang terjadi tidak ada penyelesaian dan
seringkali merugikan Masyarakat Hukum Adat, karena dalam menerapkan
Undang-Undang Kehutanan tersebut, pemerintah menggunakan cara-cara
represif. 27 Contoh Kasus di atas juga mencerminkan pemerintah
menganggap Masyarakat Hukum Adat tidak lagi menjadi pemilik hutan
padahal hutan adalah sumber kehidupan Masyarakat Hukum Adat, dan
mereka mempunyai hak untuk mendapatkan perlindungan hak dari Negara.
24
Ibid, hlm.V. 25
Pasal 18B ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. 26
Ibid, hlm.1. 27 Asep Yunan Firdaus, Op.Cit., hlm.1.
Uraian fakta-fakta tentang pengakuan terhadap Masyarakat Hukum Adat
dan perlindungan hak mereka serta konflik-konflik yang melibatkan
Masyarakat Hukum Adat dan seringkali merugikan mereka, menarik minat
penulis untuk meneliti tentang penerapan hak-hak Masyarakat Hukum Adat
dalam pengelolaan hutan yang diakui oleh peraturan perundang-undangan
nasional. Pada penelitian ini, penulis melakukan penelitian pustaka dan studi
kasus konflik-konflik kehutanan yang sedang berlangsung dan/atau kasus-
kasus yang sudah mendapat putusan dalam skripsi yang berjudul
“Implementasi Hak Masyarakat Hukum Adat terhadap Pengelolaan Hutan Di
Indonesia”.
B. Identifikasi Masalah
Permasalahan yang akan diteliti pada penelitian ini adalah :
1. Bagaimanakah penerapan Hak-Hak Masyarakat Hukum Adat terhadap
Pengelolaan Hutan?
2. Apa sajakah kendala penerapan hak-hak Masyarakat Hukum Adat pada
pengelolaan hutan?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk :
1. Mengetahui sejauh mana penerapan hak-hak Masyarakat Hukum Adat
terhadap pengelolaan hutan yang dilindungi oleh peraturan perundang-
undangan nasional dan menganalisis serta merumuskan kendala-kendala
yang terjadi dalam penerapan hak-hak Masyarakat Hukum Adat.
2. Merumuskan penyelesaian kendala-kendala yang dihadapi dalam
penerapan hak-hak Masyarakat Hukum Adat.
D. Kegunaan Penelitian
1. Kegunaan Teoritis
a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang
penerapan hak-hak Masyarakat Hukum Adat terhadap pengelolaan
hutan di Indonesia. Penelitian ini juga diharapkan mampu
merumuskan masalah yang terjadi pada penerapan hak-hak
Masyarakat Hukum Adat terhadap Pengelolaan hutan dan
merumuskan solusi terhadap masalah yang terjadi sebagai bahan
masukan untuk pengembangan ilmu hukum, khususnya ilmu
hukum lingkungan, dan lebih khususnya lagi, hukum lingkungan
tentang kehutanan yang melibatkan Masyarakat Hukum Adat.
b. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi lebih dalam
kepada pemerintah tentang penerapan hak-hak tersebut. Penelitian
ini juga diharapkan dapat memberikan sumbangan berupa saran
penyelesaian masalah kepada pemerintah untuk menyelesaikan
permasalahan-permasalahan yang berhubungan dengan
kehutanan dan Masyarakat Hukum Adat
c. Bagi masyarakat Indonesia, penulis berharap, penelitian ini bisa
memberikan wawasan pada masyarakat Indonesia bahwa
Indonesia kaya akan beragam suku bangsa dan kekayaan
intelektual Masyarakat Hukum Adat sehingga menumbuhkan rasa
cinta akan tanah air dan rasa unutk memperjuang dan melindungi
serta mengelola kekayaan alam Indonesia yang luar biasanya
banyaknya. Peneliti juga berharap melalui penelitian ini akan
tumbuh perasaan saling merhrgai antar warga negara Indonesia
meskipun suatu kelompok adalah kelompok Masyarakat Hukum
Adat yang hidup secara tradisional.
2. Kegunaan Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan berupa wawasan
kepada praktisi hukum tentang perlindungan hak-hak Masyarakat Hukum
Adat terhadap pengelolaan hutan. Tulisan ini juga diharapakan dapat
memberi wawasan tentang permasalahan lingkungan yang bersumber
dari kerusakan hutan serta dampaknya di kemudian hari sehingga
manusia sadar bahwa hutan itu penting dan kelestariannya harus dijaga.
Lebih lanjut, tulisan ini diharapkan dapat memberikan sumbangan berupa
saran kepada pemerintah untuk memperhatikan dan menjalankan prinsip
kelestarian pada pengelolaan hutan, sehingga pengelolaan hutan tidak
hanya memberikan kesejahteraan kepada masyarakat dalam bentuk
pertumbuhan ekonomi saja tetapi juga kesejahteraan kepada masyarakat
dalam bentuk lingkungan yang sehat untuk memanusiakan manusia.
E. Kerangka Pemikiran
Manusia hidup di bumi bersama dengan makhluk hidup lainnya dan
benda tidak hidup dalam suatu ruangan yang disebut sebagai lingkungan.28
Manusia mempunyai hubungan timbal balik dengan lingkungannya.29 Setiap
28
Munadjat Danusaputro, Hukum Lingkungan, Binacipta, Jakarta, 1985, hlm.67. 29
M.Daud Silalahi, Hukum Lingkungan, Dalam Sistem Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia, P.T. Alumni, Bandung, 2001, hlm.9.
aktivitas manusia mempengaruhi lingkungan, begitu pula sebaliknya manusia
dipengaruhi oleh lingkungan.30 Salah satu bukti hubungan pengaruh dan
dipengaruhi antara manusia dengan lingkungan ini terlihat dari
kebergantungan manusia terhadap unsur-unsur lingkungan, yaitu untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia mengambil dan menggunakan
sumber daya alam.31 Pada awalnya manusia menggunakan unsur-unsur
lingkungan secara cermat dan tradisional, yaitu menggunakan unsur-unsur
lingkungan sesuai kebutuhan hidupnya.32
Manusia menggunakan sumber daya dengan cermat dan tradisional
karena pada awalnya kebutuhan hidup manusia hanya sebatas sandang,
pangan dan papan.33 Kemudian, kebutuhan hidup manusia berubah setelah
mendapat pengaruh dari teknologi yang menyebabkan kebutuhan hidup
manusia berkembang menjadi keinginan hidup yang bersifat mewah dan tidak
terbatas.34 Kebutuhan hidup manusia yang tidak terbatas itu kemudian
menyebabkan manusia memanfaatkan sumber daya alam tanpa
mempertimbangkan keutuhan ekosistem,35 sehingga keseimbangan
lingkungan hidup manusia terganggu.36 Masa ini dianggap sebagai awal krisis
lingkungan karena manusia sebagai pelaku sekaligus menjadi korban.37
Krisis lingkungan yang merupakan dampak pengelolaan lingkungan
yang tidak memperhatikan keseimbangan ekosistem ini menjadi dasar
pertimbangan negara untuk membentuk suatu peraturan tentang pengelolaan
30 Iibid, hlm.9. 31 Munadjat Danusaputro, Op.Cit., hlm.81. 32
Ibid, hlm.81. 33
Ibid, hlm.81. 34
Ibid, hlm.81. 35
Ibid, hlm.82 36
Daud Silalahi, Op.Cit., hlm.10 37 Ibid, hlm.10.
lingkungan hidup agar cara-cara pengambilan dan penggunaan unsur-unsur
lingkungan hidup dapat berjalan tertib,38 karena pengelolaan lingkungan tidak
mungkin bisa dilaksanakan dengan tanpa adanya hukum yang menjadi
pedoman untuk mengelola lingkungan.39 Sebab berdasarkan sifatnya yang
memiliki sanksi untuk mencapai kehendaknya, hukum dapat menjamin
ketertiban pengelolaan sumber daya alam.40
Indonesia melewati dua bentuk pemerintahan penjajah sebelum
merdeka, yaitu pemerintahan Belanda dan pemerintahan Jepang. Pada masa
penjajahan Belanda, pengelolaan sumber daya alam dikuasai oleh
pemerintahan Belanda sehingga pengelolaan sumber daya alam pada masa
itu didasarkan pada hukum Belanda yang diterapkan di Indonesia
berdasarkan asas konkordansi, begitu pun pada masa penjajahan Jepang,
Pengelolaan sumber daya alam dikuasai oleh pemerintahan Jepang.41
Kemudian, setelah Indonesia merdeka, kewenangan pengelolaan sumber
daya alam di wilayah Indonesia beralih kepada Negara.42
Penguasaan sumber daya alam oleh Negara ini dilatarbelakangi oleh
pemikiran Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia untuk membentuk suatu
aturan dalam bidang agraria pada saat pembentukan undang-undang dasar,
dengan dasar pertimbangan tanah, atau yang secara filosofis mempunyai
pengertian sebagai land merupakan sumber daya utama tempat sumber daya
38
Munadjat Danusaputro, Op.Cit., hlm.67. 39
Siti Sundari Rangkuti, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional, Airangga University Press, Surabaya, 1996, hlm.1. 40
Munadjat Danusaputro, Op.Cit.,hlm.67. 41
Husen Alting, Op.Cit.,hlm.3 42 Ibid,hlm.3.
alam lainnya berada.43 Aturan dalam bidang agraria itu kemudian
dicantumkan pada pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945.
Penerapan pasal ini dalam perkembangannya mengalami tantangan
dari masyarakat karena masyarakat merasa kebijakan-kebijakan pemerintah
tentang pengelolaan sumber daya alam terlalu dominan dan hanya
memperhatikan kepentingan pemerintah yang seringkali mengorbankan
kepentingan Masyarakat Hukum Adat yang pada kenyataanya masih ada,44
dan diakui keberadaannya pada pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 pada
masa itu. Hal ini dikarenakan tidak ada batasan yang jelas mengenai
penguasaan Negara terhadap sumber daya alam, sehingga kebijakan-
kebijakan pemerintah dirasa dominan dan cenderung lebih memperhatikan
kepentingan pemerintah.45 Lalu dibentuklan suatu Undang-Undang tentang
Agraria, yaitu Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Ketentuan Dasar
Pokok-Pokok Agraria untuk memberikan pengertian tentang arti kata
menguasai pada pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945.46 Undang-
Undang ini merupakan payung dalam pengaturan bidang agraria dan
pengelolaan sumber daya alam.47
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 ini dilakukan
dengan membentuk peraturan perundang-undangan yang berhubungan
dengan pengelolaan sumber daya alam, salah satunya adalah peraturan
perundang-undangan yang mengatur Kehutanan, yaitu Undang-Undang
Nomor 41 tahun 1999. Pada Undang-Undang Kehutanan ini, dijelaskan yang
43
Ibid, hlm.1. 44
Ibid, hlm.4. 45
Ibid, hlm.4. 46
Ibid, hlm.4. 47 Ibid, hlm.4.
dimaksud dengan Kehutanan, yaitu sistem pengurusan yang bersangkut paut
dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan yang diselenggarakan secara
terpadu.48 Salah satu tindakan pengurusan dalam pengertian kehutanan
adalah pengelolaan hutan,49 yaitu kegiatan-kegiatan yang meliputi tata hutan
dan penyusunan rencana pengelolaan hutan; pemanfaatan hutan dan
penggunaan kawasan hutan; rehabilitasi dan reklamasi hutan; dan
perlindungan hutan dan konservasi alam.50
Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi
sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan
alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan.51
Sebagai sumber daya alam, hutan mempunyai kedudukan dan peranan yang
sangat penting dalam menunjang pembangunan nasional yang sangat
bermanfaat bagi sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat
Indonesia.52 Sumber daya alam yang terkandung di dalam hutan adalah
kekayaan flora dan fauna serta mineral-mineral yang terdapat di dalamnya.53
Kekayaan alam ini berfungsi untuk mendukung kehidupan manusia.
Selain kekayaan alamnya, hutan juga mempunyai fungsi sebagai penjaga
keseimbangan alam dengan mengatur tata air, mencegah terjadinya erosi
dan memberikan manfaat terhadap kesehatan.54 Berdasarkan fungsi dan
peran hutan tersebut, sumber daya hutan merupakan penentu siklus
kehidupan dan siklus alami, sehingga jika hutan hilang maka sumber daya
48 Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999. 49
Pasal 10 ayat (2) (b) Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999. 50
Pasal 21 Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999. 51
Pasal 1 (b) Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999. 52
Salim, H.S., Op.Cit., hlm.1. 53
Bambang Pamulardi, Op.Cit., hlm.1-2. 54 Salim, H.S., Loc.Cit.
alam dan peran hutan juga akan ikut hilang, oleh karena itu kelestarian hutan
harus dijaga dengan menjaga keseimbangan ekosistemnya.55
Hutan, sebagai salah satu sumber daya alam dan merupakan bagian
dari lingkungan, pengelolaannya harus memperhatikan keseimbangan
ekosistem dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan tentang lingkungan
dan tujuan pengelolaan lingkungan, yaitu Undang-Undang nomor 32 tahun
2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang
bertujuan:56
1. Melindungi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dari pencemaran
dan atau kerusakan lingkungan hidup;
2. Menjamin keselamatan, kesehatan, dan kehidupan manusia;
3. Menjamin kelangsungan kehidupan makhluk hidup dan kelestarian
ekosistem;
4. Menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup;
5. Mencapai keserasian, keselarasan, dan keseimbangan lingkungan hidup;
6. Menjamin terpenuhinya keadilan geenrasi masa kini dan masa depan;
7. Menjamin pemenuhan dan perlindungan hak atas lingkungan hidup
sebagai bagian dari hak asasi manusia;
8. Mengendalikan pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana;
9. Mewujudkan pembangunan berkelanjutan; dan
55
Bambang Pamulardi, Op.Cit., hlm.3 56 Pasal 3 Undang-Undang nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
10. Mengantisipasi isu lingkungan hidup.
Hukum Kehutanan ini merupakan lex specialis dari hukum lingkungan,57
yang terdiri dari dari dua, yaitu Hukum Kehutanan Tertulis dan Hukum
Kehutanan tidak tertulis.58 Hukum Kehutanan tidak tertulis adalah kumpulan
kaidah hukum yang dibuat oleh lembaga yang berwenang untuk mengatur
hal-hal yang berkaitan dengan hutan dan kehutanan, misal Undang-Undang
Nomor 5 tahun 1960 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan.59 Dan
Hukum Kehutanan tidak tertulis adalah aturan-aturan tidak tertulis yang
timbul, tumbuh, dan berkembang dalam masyarakat setempat.60
Hukum Kehutanan tidak tertulis ini disebut juga sebagai hukum adat
mengenai hutan.61 Hukum Adat adalah hukum yang bersumber dari adat-
istiadat Masyarakat Hukum Adat.62 Hukum adat ini tumbuh dan berkembang
secara alami dalam Masyarakat Hukum Adat,63 dan sudah ada serta
berkembang ratusan tahun sebelum Indonesia merdeka bahkan sudah ada
ratusan tahun sebelum kedatangan bangsa Belanda ke Indonesia, dan
Masyarakat Hukum Adat sudah mendasarkan pengelolaan hutan kepada
hukum adat semenjak hukum adat terbentuk.64
Masyarakat Hukum Adat adalah kelompok masyarakat yang secara turun-
temurun bermukim di wilayah geografis tertentu karena adanya ikatan pada
asal-usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan lingkungan hidup,
57
Ibid, hlm.7. 58 Ibid, hlm.6. 59 Ibid, hlm.6. 60
Ibid, hlm.6-7. 61
Ibid, hlm.6. 62
Soekanto, Menindjau Hukum Adat Indonesia, Soeroengan, Jakarta, 1958, hlm.1. 63
Husen Alting, Loc.Cit. 64
Otje Salman Soemadiningrat, Rekonseptualisasi hokum Adat Kontemporer, P.T. Alumni, Bandung, 2002, hlm.7.
serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial
dan hukum.65 Mereka adalah komunitas tua yang sudah tinggal di Indonesia
secara turun-temurun semenjak Indonesia belum terbentuk dan
memproklamasikan kemerdekaan.66 Negara menyadari keberadaan
Masyarakat Hukum Adat di Indonesia sehingga Negara mengakui
keberadaan Masyarakat Hukum Adat. Pengakuan negara terhadap
Masyarakat Hukum Adat tercantum pada pasal 18B ayat (2) Undang-Undang
Dasar Republik Indonesia tahun 1945.
Pengakuan Negara terhadap keberadaan Masyarakat Hukum Adat ini
kemudian ditindaklanjuti dengan pengaturan hak-hak Masyarakat Hukum
Adat dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 sebagai landasan
pengakuan keberadaan Masyarakat Hukum Adat beserta hak-hak mereka
dalam pengelolaan sumber daya alam pada peraturan perundang-undangan
lainnya. Pengakuan terhadap Masyarakat Hukum Adat ini tercantum pada
pasal 2 ayat (4) Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 yang berbunyi :
“Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-Masyarakat Hukum Adat, sepanjang menurut kenyataannya. masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.”
Hak Ulayat adalah serangkaian wewenang dan kewajiban suatu
Masyarakat Hukum Adat yang berhubungan dengan tanah dalam lingkungan
wilayahnya yang merupakan pendukung utama penghidupan dan kehidupan
65
Pasal 1 ayat 31 Undang-Undang Republik Indonesia nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. 66 C.Van Vollehhoven, Op.Cit., hlm.7.
masyarakat yang bersangkuatan.67 Pengertian ini sejalan dengan pengertian
hak ulayat berdasarkan pasal 1 ayat (1) Peraturan Menteri Agraria Nomor 5
tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat
Hukum Adat yang berbunyi “
“Hak Ulayat adalah kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakayt hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara lahirian dan batiniah turun menurun dan tidak terputus antara Masyarakat Hukum Adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan.”
Ketentuan-ketentuan ini melatarbelakangi penguasaan Negara
terhadap hutan tetap memperhatikan hak-hak Masyarakat Hukum Adat
terhadap hutan, seperti yang tercantum pada pasal 4 ayat (3) Undang-
Undang nomor 41 tahun 1999 yang berbunyi :
“Penguasaan hutan oleh Negara tetap memperhatikan penguasaan hak-hak Masyarakat Hukum Adat, speanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional.”
Tidak ada penjelasan lebih lanjut dari kata “selama Masyarakat Hukum
Adat masih ada” pada pasal 4 ayat (3) di atas, akan tetapi menurut dasar tata
susunan persekuatuan-persekutuan hukum adat Indonesia, suatu Masyarakat
Hukum Adat tidak mungkin hilang karena ada suatu struktur persekutuan
Masyarakat Hukum Adat yang tidak memungkinkan keberadaan Masyarakat
Hukum Adat lenyap, yaitu :68
1. Teritorial, yaitu keterikatan seseorang pada hukum adat berdasarkan
lingkungan daerahnya, dan;
67
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Djambatan, Jakarta, 2003, hlm.186. 68 Soerojo Wognjodipoero, Op.Cit., hlm.79.
2. Genealogis, yaitu keterikatan seseorang pada hukum adat berdasarkan
pertalian suatu keturunan.
Jadi, seseorang akan terikat dengan suatu hukum adat jika dia tinggal
pada suatu daerah teritorial hukum adat dan atau mempunyai suatu garis
pertalian keturunan dari komunitas hukum adat tempat dia berasal, sehingga
meskipun seseorang pergi meninggalkan daerah asalnya, dia tetaplah
anggota Masyarakat Hukum Adat yang tunduk pada peraturan hukum adat.
Hal ini menunjukkan bahwa Masyarakat Hukum Adat tidak mungkin lenyap.
Pengakuan Negara terhadap Masyarakat Hukum Adat kemudian
mendasari pengakuan dan penjaminan hak-hak masyarakat terhadap
pengelolaan hutan oleh Negara. Hak-hak Masyarakat Hukum Adat terhadap
pengelolaan tersebut adalah :69
1. Melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan
hidup sehari-hari masyarakat adat yang bersangkutan;
2. Melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang
berlaku dan tidak bertentangan dengan undang-undang; dan
3. Mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan
kesejahteraannya.
Meskipun keberadaan masyarakat hukuma dat diakui oleh Negara, masih
banyak konflik Kehutanan yang merugikan Masyarakat Hukum Adat, seperti
pemarjinalan hak-hak Masyarakat Hukum Adat dalam mengelola hutan yang
didasarkan pada pengutamaan kekuasaan Negara terhadap pengelolaan
69 Pasal 67 ayat (1) Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan.
hutan yang dijalankankan berdasarkan undang-undang tertulis, padahal
sistem hukum di Indonesia bersifat plural.
Pluralisme hukum kehutanan di Indonesia seringkali mengalami benturan,
di satu sisi pemerintah menerapkan hukum kehutanan tertulis untuk
mengelola hutan tapi di sisi lain, Masyarakat Hukum Adat tetap berpedoman
pada hukum adat mereka untuk mengelola hutan. Selain itu, beberapa
ketentuan pada hukum kehutanan tertulis menegasi hak-hak Masyarakat
Hukum Adat untuk mengelola hutan. Hal ini melatarbelakangi banyak konflik
tentang kehutanan yang melibatkan Masyarakat Hukum Adat terjadi.
F. Metode Peneltian
1. Jenis Penelitian
Metode penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah penelitian
hukum normatif, yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti
bahan pustaka atau data sekunder.70
2. Teknik Pengumpulan Data
Penelitian hukum ini menggunakan data sekunder, yaitu data yang
diperoleh dari bahan-bahan pustaka,71 dan bahan hukum yang digunakan
adalah bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat,
yaitu peraturan perundang-undangan.72 Di Indonesia, peraturan
perundang-undangan merupakan salah satu sumber hukum,73 sedangkan
salah satu sumber hukum yang lainnya adalah kebiasaan dan adat yang 70
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelititan Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, P.T. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hlm.13. 71
Ibid, hlm.13. 72
Ibid, hlm.13. 73 E.Utrecht, Moh. Saleh Djindjang, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Ichtiar Baru, Jakarta, 1983, hlm.85.
dipertahankan dalam keputusan dari penguasa suatu Masyarakat Hukum
Adat.74 Semua sumber-sumber hukum ini bersifat mengikat, sehingga
bahan hukum yang digunakan pada penelitian ini tidak hanya peraturan
perundang-undangan saja melainkan bahan-bahan dari sumber-sumber
hukum di luar peraturan perundang-undangan. Bahan-bahan hukum
primer yang dimaksud adalah :
a. Norma atau kaidah dasar, yaitu Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia tahun 1945.
b. Peraturan Perundang-Undangan.
c. Bahan hukum yan tidak dikodifikasikan, yaitu hukum adat.
d. Yurisprudensi.
Selain bahan hukum primer, penelitian ini juga akan menggunakan
behan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer, seperti hasil-hasil penelitian dan
hasil karya dari kalangan hukum.
3. Lokasi Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan di :
a. Perpustakaan Mochtar Kusumaatmadja, Jalan Dipatiukur nomor 35,
Bandung, Jawa-Barat.
b. Center of Information Scientific Research and Library, Universitas
Padjadjaran, Jalan Dipatiukur nomor 46, Bandung, Jawa-Barat.
c. Aliansi Masyarakat Hukum Adat (Rumah AMAN), Jalan Tebet Utara IIC
Nomor 22, Jakarta Selatan.
74 Ibid, hlm.83.
d. Indonesian Center for Environmental Law, Jalan Dempo II nomor 21,
Kebayoran Baru, Jakarta.
e. Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat
(HuMa), Jalan Jati Agung nomor 8, Jatipadang, Jakarta.
f. Badan Usaha Kehutanan, Gedung Manggala Wanabakti blok I lantai 5.
Jalan Gatot Subroto, Senayan, Jakarta.
4. Analisis Data
Metode analisis yang digunakan adalah analisis kualitatif, yaitu data
yang diperoleh disusun secara sistematis, untuk selanjutnya dianalisis secara
kualitatif untuk memperoleh kejelasan dari permasalahan yang dibahas.75
G. Sistematika Penulisan
Penulisan skripsi ini terdiri dari beberapa bab dan setiap bab saling
berkaitan dengan bab-bab lainnya. Sistematika penulisan skripsi ini adalah :
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini terdiri dari latar belakang masalah yang merupakan
tinjauan dari segala aspek dalam kaitannya dengan tujuan yang
hendak dicapai. Bab ini juga terdiri dari Identifikasi Masalah,
Tujuan Penelitian, Kerangka Pemikiran, Metode Penelitian, dan
Sistematika Penulisan.
BAB II HUKUM ADAT DAN MASYARAKAT HUKUM ADAT SERTA
HAK-HAK MASYARAKAT HUKUM ADAT PADA
PENGELOLAAN HUTAN DALAM PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN
75 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI-Press, Jakarta, 2006, hlm.32.
Bab ini akan menjelaskan tentang Masyarakat Hukum Adat,
mulai dari pengertian Masyarakat Hukum Adat, sejarah
terbentuknya Masyarakat Hukum Adat dan keberadaan
Masyarakat Hukum Adat serta pengaturan tentang Masyarakat
Hukum Adat dan hak-hak mereka untuk mengelola sumber daya
alam pada peraturan perundang-undangan Indonesia.
BAB III PENGELOLAAN HUTAN DI INDONESIA
Bab ini berisi uraian tentang pengelolaan hutan di Indonesia
baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun oleh Masyarakat
Hukum Adat dan baik yang berdasarkan pada hukum
Kehutanan tertulis maupun hukum Kehutanan tidak tertulis. Bab
ini juga berisi studi kasus konflik-konflik kehutanan yang
melibatkan Masyarakat Hukum Adat.
BAB IV IMPLEMENTASI HAK MASYARAKAT HUKUM ADAT
TERHADAP PENGELOLAAN HUTAN DI INDONESIA
Bab ini berisi uraian tentang fakta-fakta penerapan hak-hak
Masyarakat Hukum Adat terhadap pengelolaan hutan. Bab ini
juga berisi rumusan kendala-kendala yang dihadapi oleh
Masyarakat Hukum Adat pada pengelolaan hutan di Indonesia
serta hasil analisis penulis terhadap konflik-konflik yang terjadi.
BAB V PENUTUP
Bab ini berisi uraian kesimpulan dan saran serta rumusan
penyelesaian masalah hasil analisis penulis.