1
BAB I
PENDAHULUAN
Uraian pendahuluan ini memuat pembahasan latar belakang dan rumusan
masalah.
A. Latar Belakang
Sejarah mencatat bahwa filsafat Yunani klasik merupakan permulaan dari
pemikiran filsafat atau pembahasan filsafat secara spekulatif rasional dan
irrasional dogmatis. Filsafat Yunani klasik merupakan contoh ilustrasi pemikiran
dan pembahasan masalah filsafat secara sistematis dan lengkap dan berlaku
sampai sekarang.1
Pada masa Renaissance berbagai pemikiran tentang filsafat mengalami
kemajuan. Saat memasuki abad ke-17 beberapa filosuf mencapai
penyempurnaan dan kedewasaan pemikiran. Hal ini mempunyai pengaruh
sangat besar bagi pemikiran-pemikiran filsafat pada masa berikutnya.
Pengaruh itu dapat dilihat dari dua aliran filsafat yang saling bertentangan
yaitu rasionalisme dan empirisme yang muncul pada abad ini.2 Rasionalisme
adalah sebuah pandangan yang berpegangan bahwa akal (reason) merupakan
sumber bagi pengetahuan dan pembenaran. Semetara pengetahuan dan
pembenaran itu diperoleh dengan cara berpikir. Alat dalam berpikir ialah kaidah-kaidah
logis atau kaidah-kaidah logika. Rasionalisme juga merupakan aliran pemikiran yang
berpendapat bahwa sumber pengetahuan yang mencukupi dan yang dapat dipercaya
adalah rasio (akal). Hanya pengetahuan yang diperoleh melalui akallah yang memenuhi
syarat yang dituntut oleh sifat umum dan yang perlu mutlak, yaitu syarat yang dipakai
untuk semua pengetahuan ilmiah.3
Adapun aliran empirisme merupakan suatu doktrin filsafat yang
menekankan pada peranan pengalaman dalam memperoleh pengetahuan dan
mengecilkan peranan akal. Istilah empirisme sendiri diambil dari bahasa Yunani
1 Ali Saifullah, Antara Filsafat dan Pendidikan, Surabaya : Usaha Nasional, 1403 H, hal. 56
2 Harun Hadiwijoyo, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Yogyakarta: Kanisius, 2002, hal. 18.
3 Surojiyo, Ilmu Filsafat, Suatu Pengantar, Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2005, hal. 66
2
yakni Empiria yang berarti coba-coba atau pengalaman. Empirisme adalah lawan
dari rasionalisme. Sanggahan orang-orang rasionalis tampak jelas pada karya
Descartes. Descartes membedakan dua fungsi akal, pertama fungsi diskursif yang
menjadikan kita mampu membuat konklusi dan premis, dan kedua fungsi intuitif
yang menjadikan kita mampu menangkap kebenaran terakhir dan menangkap
konsep secara langsung. Untuk memahami isi doktrin terdapat dua ciri pokok
empirisme, yaitu mengenai teori makna dan teori pengetahuan. Semula aliran ini
menganut paham realisme yang menganggap bahwa pengenalan yang diperoleh
melalui pengalaman tanpa penyelidikan lebih lanjut telah memiliki nilai yang
obyektif. Akan tetapi kemudian nilai pengenalan yang diperoleh melalui
pegalaman itu sendiri dijadikan sasaran atau obyek penelitian.
Aliran ini muncul di Inggris pada awalnya dipelopori Francis Bacon (1531-
1626). Pada perkembangannya dilanjutkan oleh tokoh-tokoh pasca Descartes
seperti Thomas Hobbes (1588-1679), John Locke (1632-1704), Berkeley (1685-
1753), dan yang terpenting adalah David Hume (1711-1776).4
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian singkat dalam latar belakang maka pemakalah
mengajukan perumusan masalah sebagai berikut:
1. Apakah yang dimaksud dengan empirisme?
2. Bagaimanakah biografi dan pemikiran David Hume sebagai filosof
empirisme?
3. Bagaimakah telaah kritis tentang pemikiran empirisme David Hume?
4 Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu-ilmu, Yogyakarta: Belukar, 2005, hal. 53.
3
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Empirisme
Secara etimologis empirisme berasal dari kata bahasa Inggris empiricism
dan experience.5Kata-kata ini berakar dari kata bahasa Yunani empeiria dan dari
kata experietia6 yang berarti “berpengalaman dalam”, “berkenalan dengan”,
“terampil untuk”. Sementara itu menurut A.R. Lacey7 berdasarkan akar katanya
empirisme adalah aliran dalam filsafat yang berpandangan bahwa pengetahuan
secara keseluruhan atau parsial didasarkan kepada pengalaman yang
menggunakan indera.
Secara terminologis terdapat beberapa definisi mengenai empirisme,
diantaranya: doktrin bahwa sumber seluruh pengetahuan harus dicari dalam
pengalaman, pandangan bahwa semua ide merupakan abstraksi yang dibentuk
dengan menggabungkan apa yang dialami, pengalaman inderawi adalah satu-
satunya sumber pengetahuan, dan bukan akal.8
Menurut aliran ini adalah suatu hal yang tidak mungkin untuk mencari
pengetahuan mutlak dan mencakup semua segi, apalagi bila di dekat kita
terdapat kekuatan yang dapat dikuasai untuk meningkatkan pengetahuan
manusia, yang meskipun bersifat lebih lambat namun lebih dapat diandalkan.
Kaum empiris cukup puas dengan mengembangkan sebuah sistem pengetahuan
yang mempunyai peluang besar untuk benar, meskipun kepastian mutlak tidak
akan pernah dapat dijamin.9
5 Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama, 2002, hal. 197
6 Paul Edwards (ed.), The Encyclopedia of Philosophy Volume 2, New York, The Macmillan
Company & The Free Press, 1967, hal. 499 7 A.R. Lacey, A Dictionary of Philosophy, New York, Routledge, 2000, hal. 88
8 Bagus, op. Cit., hal. 197-198.
9 Stanley M. Honer dan Thomas C. Hunt, Metode dalam Mencari Pengetahuan: Rasionalisme,
Empirisme dan Metode Keilmuan, dalam Jujun S. Suriasumantri (penyunting), Ilmu dalam
Perspektif: Sebuah Kumpulan Karangan tentang Hakekat Ilmu, Jakarta, Yayasan obor Indonesia,
2003, hal. 102.
4
Kaum empiris memegang teguh pendapat bahwa pengetahuan manusia
dapat diperoleh melalui pengalaman. Jika kita sedang berusaha untuk
meyakinkan seorang empiris bahwa sesuatu itu “ada”, dia akan berkata
“tunjukkan hal itu kepada saya”. Dalam persoalan mengenai fakta maka dia
harus diyakinkan oleh pengalamannya sendiri. Jika kita mengatakan kepada dia
bahwa seekor harimau di kamar mandinya, pertama dia minta kita untuk
menjelaskan bagaimana kita dapat sampai kepada kesimpulan tersebut. Jika
kemudian kita mengatakan bahwa kita melihat harimau tersebut di dalam kamar
mandi, baru kaum empiris akan mau mendengar laporan mengenai pengalaman
kita, namun dia hanya akan menerima hal tersebut jika dia atau orang lain dapat
memeriksa kebenaran yang kita ajukan, dengan jalan melihat harimau itu dengan
mata kepalanya sendiri.10
B. Biografi dan Pemikiran Empirisme David Hume
B.1 Biografi David Hume
David Hume lahir di Edinburgh, Skotlandia pada tanggal 26 April 1711
dengan nama aslinya David Home. Namun pada tahun 1734 ia mengubah
namanya karena di Inggris kesulitan mengucapkan “Home” dengan cara
skotlandia. Hume merupakan putra pasangan Yusuf chrinside dan Khaterine
Falcorner. Tapi ayahnya meninggal pada saat usia Hume masih anak-anak,
sehingga dia dibesarkan oleh ibunya.11
Dalam masalah pendidikan Hume mendapatkan pendidikan yang sangat
baik. Dengan harta warisan yang ditinggalkan ayahnya. Hume mendaftarkan di
Universitas Edinburgh untuk belajar sastra klasik. Tetapi Hume tidak puas dengan
pendidikan yang diterimanya, kemudian ia memutuskan untuk keluar dari
universitas tersebut.12
10
Honer dan Hunt, op. Cit., hal. 102 11
Paul Edwards (ed.), The Encyclopedia of Philosophy Volume 4, New York, The Macmillan
Company & The Free Press, 1967, hal. 77 12
http://id.wikipedia.org/wiki/David_Hume
5
Pada tahun 1734, setelah beberapa bulan sibuk dengan perdagangan di
Bristol, ia pergi ke La fleche di Anjon, Perancis. Disana ia sering bertukar pikiran
dengan jesuit dari College Of La Fleche, saat itu ia telah menghabiskan sebagian
besar tabungannya selama empat tahun disana untuk menulis buku yang
berjudul A Treatise of Human Nature, dan ia menyelesaikannya pada usia 26
tahun.13
Setelah publikasi karyanya pada tahun 1744, Hume ditetapkan menjadi
ketua Pneumatics dan Moral Filsafat di Universitas Edinburgh. Namun posisi itu
kemudian diberikan kepada William Cleghorn, setelah menteri Edinburgh
mengajukan petisi kepada dewan kota untuk tidak menunjuk Hume karena ia
dituduh sebagai atheis. Hume juga dituduh bid’ah, tapi ia dipertahankan oleh
ulama muda teman-temannya yang berpendapat bahwa sebagai atheis, ia
berada di luar gereja yuridiksi. Meskipun ada upaya pembelaan, namun Hume
tetap gagal untuk mendapatkan jabatan sebagai ketua filsafat di Universitas
Edinburgh.
Hume mencapai ketenaran sebagai seorang sejarawan dengan karyanya The
History Of England, menelusuri peristiwa-peristiwa dari invasi Julius Caesar ke
revolusi 1688, adalah buku best seller. Hume wafat diusianya yang ke 65 pada
tahun 1776 di kota kelahirannya Edinburgh, Skotlandia. Dan sepanjang hidupnya,
Hume tidak pernah menikah.14
Hume banyak meninggalkan karya tulis, diantaranya sebagai berikut: A
Treatise of Human Nature, 1739-1740; Essays, Moral, Political and Literary, 1741-
1742; An Enquiry Concerning Human Understanding, 1748; An Enquiry
Concerning the Principles of Morals, 1751; Political Discourses, 1752; Four
Dissertation, 1757; Dialogues Concerning Natural Religion, 1779; dan Immortality
13
Robert Cummins dan David Owen (eds.), Central Readings in the History of Modern Philosophy:
Descartes to Kant, Canada, Wadsworth Publishing Company, 1999, hal. 1; dan W.T. Jones, A
History of Western Philosophy: Hobbes to Hume, San Diego, Harcourt Brace Jovanovich, 1969, hal.
325. 14
Suseno, 13 Tokoh Eika Sejak Zaman Yunani Sampai Abad ke-19, Yogyakarta: kanisius, 1997, hal.
123
6
of the Soul, 1783.35 Perlu dicatat bahwa buku-buku An Enquiry Concerning
Human Understanding dan An Enquiry Concerning the Principles of Morals
merupakan ringkasan dan revisi dari buku A Treatise of Human Nature.15
B.2 Isi Pemikiran David Hume
a. Teori Hume tentang Pengalaman dan Kausalitas (Hukum Sebab-Akibat )
Sebagai seorang emperis Hume sangat konsisten dan termasuk radikal,
David Hume menegaskan bahwa pengalaman inderawi lebih memberi keyakinan
dibanding kesimpulan logika atau kemestian sebab akibat.16
Hukum sebab akibat
tidak lain hanya hubungan yang saling berurutan saja dan secara konstan terjadi
seperti api membuat air mendidih. Padahal dalam api tidak dapat diamati adanya
daya aktif yang mendidihkan air. Jadi daya aktif yang disebut kausalitas itu
bukanlah hal yang dapat diamati, bukan hal yang dapat dilihat dengan mata
sebagai benda dalam air yang direbus. Dengan demikian kausalitas tidak dapat
digunakan untuk menetapkan peristiwa yang akan datang berdasarkan peristiwa-
peristiwa yang terdahulu.17
Akal menurut Hume tidak dapat bekerja tanpa bantuan pengalaman.
Sebagai contoh ada seorang dari planet lain yang dianugrahi kemampuan akal
yang sangat kuat kemudian dibawa ke bumi, tentu saja dia secara langsung dapat
mengobservasi peristiwa-peristiwa yang beruntun, namun dia tidak mampu
menemukan sesuatu yang lebih dari itu. Untuk pertama kali tidak mungkin dapat
menangkap ide sebab akibat karena kekuatan-kekuatan partikular yang berjalan
secara alami belum tertangkap oleh inderanya. Begitu juga akal tidak mampu
sekaligus menyimpulkan berdasarkan satu peristiwa bahwa suatu sebab
menimbulkan akibat tertentu karena hubungan itu bisa berubah-ubah dan
15 Lacey, op. Cit., hal. 134. 16
Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1973, hal. 49-50. 17
Frederick Mayer, A History of Modern Phylosophy, New York : American Book Company, 1951,
hal.216
7
kasuistik.18
Menurut-nya, hanya dua peristiwa yang terjadi yang satu setelah
yang lain. Bahwa gerak yang satu disebabkan oleh gerak yang lain hanya
berdasarkan pendapat manusia yang mengasosiasikan dua peristiwa yang dulu
biasanya juga terjadi secara bersamaan.19
Pernyataan Hume tentang teori kausalitas ini sangat berpengaruh terhadap
perkembangan pemikiran filsafat dan agama di Barat. Dengan penolakan
terhadap teori kausalitas, Hume menghujat teori ontologis, kosmologis dan
teleologis tentang keberadaan Tuhan dan sekaligus membatasi kemampuan akal.
Munculnya positivisme yang dipelopori oleh August Comte diwarnai oleh ide
David Hume, bahkan materialisme dapat dikatakan sebagai puncak dari
emperisisme.20
Para filosof sebelum Hume percaya bahwa alam adalah akibat dan Tuhan
adalah sebab terciptanya alam. Menurut kategori logika, keberadaan sebab lebih
wajib dibandingkan dengan keberadaan akibat. Karena itu, Tuhan sebagai sebab
wajib ada dan mendahului alam, sedangkan alam sebagai akibat mungkin adanya
setelah Tuhan. Argumen ini tetap dipegang oleh para filosof sampai masa Hume.
Hume yang memulai menggugat dalil tersebut dengan menjungkirbalikkan teori
kausalitas. Hal ini antara lain yang menyebabkan Bernard Russel menganggap
Hume sebagai pendobrak dan meruntuhkan sistem-sistem filsafat abad ke-18
yang didominasi oleh rasionalisme.21
Dan di sinilah kemudian Hume membangun
sendi-sendi filsafatnya di atas pondasi skeptisisme dan bahkan dalam masalah
yang berkaitan dengan doktrin keagamaan dia sampai pada tingkat agnostik.
Menurut Hume, ide tentang neccessery connection antara sebab dan akibat
tidak dapat diserivasikan dari impression dan tidak dapat diamati melalui
penyerapan pengalaman. Tidak ada daya pada sebab yang nampak mampu
menghasilkan atau mempengaruhi akibat. Yang dapat diamati adalah
18
Frank Tillman (ed.), Introductory Philisophy, New York: Harper & Row Publisher, t.th., hal. 233. 19
C.A. Van Pursen, Orientasi di Alam Filsafat, diterjemahkan oleh Dick Hartoko, Jakarta:
Gramedia, 1991, hal. 23. 20
Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997, hal. 109 21
Colin Brown, Philosophy … hal. 70-71
8
kesinambungan urut-urutan peristiwa dalam waktu, dari suatu peristiwa
terdahulu kemudian disusul peristiwa berikutnya, tetapi bukan hubungan wajib
antara fakta-fakta presedent itu. Tidak ada sensasi yang dari padanya diperoleh
gagasan tentang adanya kekuatan pasti yang dapat disimpulkan.22
b. Teori Hume tentang Ide dan Kesan-Kesan
Hume membedakan dua macam persepsi, yakni: impressions (kesan-kesan)
dan ideas (ide-ide). Kesan-kesan adalah persepsi yang masuk ke akal dengan
sangat kuat dan hidup, sedangkan ide-ide merupakan gambaran kabur dari
kesan-kesan dalam pikiran. Jadi ide-ide selalu dekat dengan kesan-kesan.
Mengenai persepsi yang terdiri atas kesan-kesan dan ide-ide itu, Hume
masih membedakan antara yang simple dan yang kompleks. Yang dimaksud
persepsi kompleks adalah persepsi yang terdiri dari bagian-bagian yang lebih
kecil, sedangkan untuk persepsi simple, Hume memaksudkan persepsi yang tidak
bisa dibagi lagi ke dalam bagian yang lebih kecil.23
Melalui pembagian ini, Hume
menjelaskan hubungan antara ide-ide dan kesan-kesan serta sifat-sifatnya.
Menurut Hume, setiap persepsi yang muncul dalam pikiran selalu ganda
yakni berupa kesan-kesan dan berupa ide-ide. Hubungan antara keduanya begitu
erat sehingga dikatakan bahwa ide selalu mengikuti kesan. Ide tunggal berasal
dari kesan-kesan tunggal yang berkaitan dengannya. Dan ide-ide tinggal itu
merepresentasi kesan-kesan tunggal secara tepat. Keberadaan yang satu
mempengaruhi keberadaan yang lain. Tetapi ide-ide majemuk merepresen-
tasikan kesan-kesan tidak dengan tepat. Prinsip bahwa kesan selalu mendahului
ide diperkuat oleh Hume dengan mengambil contoh orang buta atau tuli sejak
lahir. Orang buta itu tidak mempunyai kemampuan untuk menangkap kesan-
kesan yang masuk lewat mata. Demikian pula orang tuli, ia tidak bisa menangkap
kesan-kesan lewat telinganya. Bila kemampuan untuk memperoleh kesan-kesan
22
Roger Seruton, A Short History of Modern Philisophy, London: Routledge, 1996, hal. 120. 23
Jaegwon Kim dan Ernest Sosa (eds.), A Companion to Mathaphysics, Oxford: Blackwell
Publisher, 1997, hal. 215.
9
itu terhambat, maka tidak hanya kesan-kesan yang akan hilang tetapi ide-ide
yang berhubungan dengannya juga akan hilang. Prinsip ini disebut prinsip
prioritas kesan-kesan.24
Prinsip ini harus dimengerti dengan pembatasan bahwa
ide-ide adalah gambaran dari kesan-kesan. Prioritas kesan-kesan terhadap ide-
ide membentuk ide primer. Dan dari pengertian bahwa ide-ide adalah gambaran
kesan-kesan, kita bisa membentuk ide-ide sekunder yang merupakan gambaran
dari ide-ide primer. Dengan demikian ide-ide membuat gambarannya sendiri
dalam ide-ide yang baru.
Penjelasan Hume tersebut mengindikasikan betapa dia tidak menyetujui
adanya ide bawaan (idea innatea) sebagaimana yang diyakini oleh aliran
rasionalisme. Usahanya ini dimaksudkan untuk membuktikan bahwa apa yang
dikatakan oleh aliran rasionalisme tentang ide bawaan itu adalah tidak benar.
c. Teori Hume tentang Sensasi dan Refleksi
Hume masih membagi kesan-kesan ke dalam dua jenis, yaitu kesan-kesan
sensasi dan kesan-kesan refleksi. Kesan-kesan sensasi merupakan kesan-kesan
yang masuk ke dalam jiwa pertama kali dan berasal dari sebab-sebab yang tidak
diketahui. Sedangkan kesan-kesan refleksi sebahagian besar berasal dari ide-ide
kita. Pertama-tama kesan masuk lewat indera, lalu kesan yang diperoleh itu
disalin oleh akal sehingga kesan itu tetap ada meskipun kesan pertama telah
hilang dan inilah yang disebut ide. Ide ini bila kembali muncul dalam jiwa akan
membentuk kesan-kesan baru dan inilah yang disebut kesan-kesan refleksi.
Kesan-kesan ini masih disalin lagi oleh ingatan (memory) dan imajinasi menjadi
ide-ide. Dengan demikian kesan-kesan refleksi mendahului ide-ide yang
berhubungan tetapi muncul sesudah dan tergantung dari kesan-kesan sensasi.25
Semua ide simpel bisa dipisahkan dari imajinasi dan disatukan kembali
dalam bentuk-bentuk sesuai dengan kemampuan imajinasi. Menurut Hume ada
24
M. Yumartana, “Pandangan Emperis Hume tentang Ide-Ide” dalam jurnal Driyar-kara, No. 4
tahun XVI, hal. 14. 25
Ibid, hal. 14-15.
10
sifat-sifat yang menghubungkan ide-ide. Ada tiga sifat yang disebutkan Hume
yaitu kesamaan (resemblance), keterkaitan (contiguity) dalam ruang dan waktu
serta sebab-akibat. Di samping ketiga sifat itu, bisa juga dua objek tergabung
dalam imajinasi bila ada objek ketiga yang membawa satu dari ketiga hubungan
itu. Relasi sebab akibat adalah yang paling luas diantara ketiganya. Relasi itu
muncul pada saat ada gerakan atau aksi dari yang lain. Tetapi tidak hanya itu,
relasi juga terbentuk bila ada yang mempunyai kekuatan atau kekuasaan. Ini
terlihat jelas dalam hubungan kepentingan atau tugas, antara tuan atau hamba.
Semua ini masuk dalam hubungan sebab akibat.26
Sifat-sifat relasi yang telah disebutkan, masing-masing membentuk
gabungan ide-ide dengan caranya sendiri. Diantara akibat-akibat dari gabungan
ide-ide itu yang paling berarti adalah ide-ide kompleks. Pada umumnya ide-ide
kompleks itu muncul dari prinsip penyatuan ide-ide simpel. Relasi biasanya
digunakan dalam dua arti. Arti pertama menunjuk pada kualitas yang
menggabungkan dua ide. Arti kedua menunjuk pada lingkungan tertentu dimana
kita bisa membandingkan dua ide. Dalam arti yang kedua inilah Hume
menunjukkan adanya tujuh relasi filosofis, yaitu
resemblance (kesamaan), identity (identitas), space and time (ruang dan waktu),
quantity or number (kuantitas atau jumlah), degrees (tingkatan-
tingkatan), contrariety (pertentangan), cause or effect (sebab atau akibat).27
Kemudian apa yang disebut oleh Hume dengan modus dan substansi? Para
filosof sebelum Hume banyak menggunakan distingsi substansi dengan aksidensi.
Hume dalam hal ini menggunakan distingsi modus dengan aksidensi. Baginya ide
tentang substansi maupun tentang modus hanyalah sekumpulan ide-ide tunggal
yang disatukan oleh imajinasi dan diberi nama tertentu. Apakah substansi ada?
Bila hal itu ada, bagi Hume idenya harus diturunkan dari suatu Kesan refleksi.
Padahal kesan-kesan itu tidak ada yang dapat merepresentasi substansi. Maka
26
M. Yumartana, “Pandangan Emperis Hume tentang Ide-Ide” dalam jurnal Driyar-kara, No. 4
tahun XVI, hal. 15. 27
Ibid, hal. 16.
11
tidak ada ide substansi kecuali hanya sekumpulan sifat-sifat saja.28
Sedangkan
modus yang juga merupakan sekumpulan ide-ide tunggal dijelaskan dengan
contoh ide tarian dan kecantikan. Bila ingin ditambah ide baru, kita harus
mengubah mana yang membedakan modenya. Jadi apa yang dimaksud substansi
dan modus oleh Hume sama sekali berbeda dengan distingsi substansi dan
aksidensi yang dikemukakan oleh para filosof pada umumnya.
d. Teori Hume tentang Ruang dan Waktu
Pembahasan tentang ruang dan waktu merupakan pembahasan metafisis
yang paling rumit. Karena itu masalah ini menimbulkan pandangan yang
berbeda-beda di kalangan para filosof termasuk di antaranya apakah ruang dan
waktu mutlak atau nisbi yang hanya terdiri dari persepsi-persepsi belaka.
Sebelum membicarakan ruang dan waktu, Hume terlebih dahulu
membahas tentang doktrin divisibilitas tak terbatas. Menurut Hume,
kemampuan akal adalah terbatas, maka akal tidak pernah memperoleh konsep
yang tidak terbatas. Apa yang bisa dibagi secara tak terbatas, pasti terdiri atas
sejumlah bahagian yang tak terbatas pula.
Kesan-kesan dan ide-ide yang berasal dari kualitas yang terbatas tidak
dapat dibagi secara terbatas. Namun kesan-kesan dan ide-ide dapat mencapai
minimum yang dapat dilihat dan dapat disentuh. Menurut Hume tidak ada yang
lebih kecil dari pada ide yang dapat dibentuk dalam angan-angan dan gambaran
tunggal dan tak terbagi. Maka masalah pandangan umum yang mengatakan
bahwa tidak mungkin imajinasi membentuk ide yang cukup, yang melampaui
tingkat kekecilan atau kesadaran tertentu. Kelemahan indera kita adalah tatkala
ia memberikan kepada kita gambaran sesuatu yang tidak proporsional dan
menghadirkan apa yang sungguh besar dan berjumlah banyak menjadi kecil dan
tunggal. Hume yakin bahwa orang dapat membentuk ide yang tidak lebih besar
dari pada atom yang paling kecil. Namun untuk membentuk ide yang tepat, kita
28
Hume, Treatise …, hal. 24
12
harus mempunyai ide yang merepresentasi bagian-bagiannya, menurut sistem
pembagian tak terbatas sama sekali tidak mungkin.29
Dengan demikian Hume
sampai pada kesimpulan yang skeptis dengan ajarannya
mengenai divisibilitas tak terbatas. Hal inilah yang mendasari pandangannya
tentang ruang dan waktu.
Menurut Hume, ide dari sejumlah bagian yang tak terbatas secara
individual sama dengan ide keluasan yang tak terbatas. Tidak mungkin keluasan
yang terbatas dapat berisi sejumlah bagian yang tak terbatas dan sebagai
akibatnya, tidak ada keluasan yang terbatas dapat dibagi secara tak terbatas.
Keluasan tak terpisahkan dari waktu. Waktu membentuk essensi keluasan
yakni bahwa bagian-bagiannya berurutan dan tak satupun yang dapat berada
bersama (co-existence). Dengan alasan ini Hume menunjukkan bahwa waktu
adalah urutan yang sama. Tahun yang satu mendahului tahun Berikutnya.
Demikian juga dengan detik, menit, jam dan hari. Tidak mungkin kemarin dan
sekarang terjadi secara bersama-sama.
Oleh karena itu Hume mengatakan bahwa waktu tersusun dari saat-saat
yang tak dapat dibagi-bagi. Bila tidak, maka kita tidak akan pernah sampai pada
akhir pemisahan. Atau bila tiap saat tidak tunggal dan tiap saat masih dapat
dibagi lagi, maka ada se-jumlah saat yang ada bersama-sama atau ada bagian-
bagian waktu. Maka divisibilitas tak terbastas dari waktu tidak mungkin dalam
kenyataannya. Kalau divisibilitas tak terbatas dari waktu tidak mungkin,
maka divisibilitas dari ruang pun demikian juga. Sebab divisibilitas tak terbatas
dari ruang mengandaikan divisibilitas tak terbatas dari waktu sebagaimana jelas
dari hakikat gerakan.
Mengenai kualitas ide ruang dan waktu, Hume memberikan sebuah
illustrasi yakni bila kita membuka mata, maka kita akan melihat banyak objek di
sekitar kita. Bila mata ditutup, maka kita akan mendapatkan ide keluasan dalam
29
M. Yumartana, “Pandangan Emperis Hume tentang Ide-Ide” dalam jurnal Driyar-kara, No. 4
tahun XVI, hal. 17.
13
imajinasi kita. Ide keluasan berasal dari kesan-kesan yang sama. Kesan itu
merupakan essensi dari pandangan. Kesan-kesan batin yang lain muncul dari
sensasi itu juga. Namun ide tentang ruang tidak berasal dari kesan-kesan batin
seperti emosi, keinginan dan lain sebagainya. Dengan demikian, menurut Hume
waktu tidak dapat muncul sendiri tetapi selalu ditemukan dalam urutan yang
dapat dilihat dari objek-objek yang dapat berubah.30
Ide tentang ruang, demikian Hume, berkaitan dengan keluasan. Ide ruang
dibawa oleh indera penglihatan atau berasal dari objek yang dapat diindera atau
disentuh. Kita tidak mempunyai ide tentang ruang atau keluasan tanpa ada objek
yang dapat dilihat atau disentuh. Tanpa ada keluasan itu, kita tidak dapat
membuat ide ruang dalam imajinasi.31
Dari sini dapat dilihat bahwa Hume merupakan tokoh yang sangat
konsisten dengan aliran yang dianutnya sebab semua pembahasannya selalu
dikaitkan dengan kekuatan empiris, bahkan sampai pada pembahasan tentang
masalah-masalah yang sangat metafisispun selalu dikembalikan pada kekuatan
dan kemampuan empiris untuk mengamatinyan seperti halnya dalam masalah
ruang dan waktu.
d. Teori Hume tentang Ketuhanan
Pandangan Hume tentang Tuhan juga tidak bisa dilepaskan dari ide dasar
emperisisme yang menganggap bahwa pengetahuan yang benar adalah
pengetahuan yang diperoleh melalui pengalaman atau pengetahuan yang
diperoleh melalui eksperimen.
Menurut Hume, ketika kita percaya kepada Tuhan sebagai pengatur alam
ini, maka kita akan berhadapan dengan berbagai dilema. Kita berpikir tentang
Tuhan menurut pengalaman masing-masing, sedangkan itu hanyalah setumpuk
persepsi dan koleksi emosi saja. Kemudian bagaimana kita mengatakan bahwa
30
M. Yumartana, “Pandangan Emperis Hume tentang Ide-Ide” dalam jurnal Driyar-kara, No. 4
tahun XVI, hal. 17. 31
Ibid, hal. 17
14
Tuhan maha sempurna dan maha kuasa sedangkan di alam terjadi berbagai
kejahatan dan bencana. Seharusnya alam juga sempurna sesuai dengan
penciptanya, tetapi ternyata tidak, Tuhan juga merupakan sumber kejahatan,
terbatas dan memiliki sifat mencintai dan membenci. Sebenarnya Hume tidak
mampu membuktikan adanya Tuhan kecuali Tuhan itu tidak sempurna seperti
halnya dunia. Akhirnya Hume menegaskan bahwa kita tidak tahu menahu
tentang alam lain selain yang kita diami ini. Karena itu alam lain tidak jelas,
dan pengetahuan kita tentangnya sangat terbatas.32
Lebih lanjut Hume berkomentar bahwa tidak ada bukti yang dapat dipakai
untuk membuktikan bahwa Tuhan ada dan bahwa ia menyelenggarakan dunia.
Juga tidak ada bukti bahwa jiwa tidak dapat mati. Dalam kenyataan sehari-hari
para penganut agama selalu mengikuti kepercayaan yang dianggap pasti,
sedangkan akal tidak dapat membuktikannya. Banyak sekali keyakinan agama
yang merupakan hasil khayalan, tidak berlaku umum dan tidak berguna bagi
kehidupan. Agama bukan disebabkan dari penyelewengan wahyu yang asli yaitu
dari monoteisme ke politeisme dan bukan juga dari politeisme ke monoteisme.
Akan tetapi agama berasal dari penghargaan dan ketakutan manusia terhadap
tujuan hidupnya. Dan itulah yang menyebabkan manusia mengangkat berbagai
dewa atau Tuhan untuk disembah.33
Hume mengajukan kritik terhadap alasan-alasan tradisional yang dijadikan
sebagai bukti adanya Tuhan yaitu argumen mengenai adanya mu’jizat, argumen
tentang keteraturan alam semesta dan argumen tentang penyebab pertama.34
Hume mengkritik ketiga dalil yang dijadikan alasan membuktikan adanya
Tuhan seperti tersebut di atas. Dia menolak mu’jizat dengan alasan bahwa
sepanjang sejarah, mu’jizat tidak pernah diakui oleh kaum terpelajar (ilmuan),
mu’jizat hanya cocok untuk masyarakat terbelakang dan tidak cocok untuk
32
Predrick Mayer, A History of Modern Philisophy, hal. 114. 33
David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding, Chichago: Chicago University Press,
1952, hal. 470. 34
Alburey Castel, An Introduction to Modern Philosophy, New York & London: Macmillan
Publishing, 1976, hal. 20.
15
masyarakat yang sudah maju. Sebagian orang mempunyai kepercayaan terhadap
hal-hal yang luar biasa namun kepercayaan tersebut tidak mendukung
kebenaran mu’jizat. Semua agama wahyu memonopoli mu’jizat dan data-data
sejarah menunjukkan bahwa semua peristiwa di dunia ini adalah jelas sedangkan
mu’jizat sendiri merupakan penyimpangan dari hukum alam yang
normal.35
Karena itu menurut Hume, percaya kepada Tuhan berarti percaya
kepada mu’jizat sedangkan mu’jizat itu sendiri kebenarannya tidak dapat di
eksperimen.
Argumen mengenai penyelenggaraan alam atau keteraturan dalam alam
sebagaimana contoh yang dikemukakan oleh orang yang mempercayainya
seperti analogi mengenai jam tangan yang telah dibuat oleh pembuatnya dan
setelah itu pembuatnya istirahat dan membiarkan jam itu berjalan sendiri
berdasarkan perangkat-perangkat mesin yang telah dibuat untuk jam itu. Di sini
menurut Hume sudah tidak ada hubungan antara jam dengan pembuatnya. Hal
ini sama dengan dunia ini kalau kita perhatikan dengan serius, tidak lebih dari
sebuah mesin yang berjalan sesuai dengan mekanismenya sendiri tanpa ada
suatu pengatur dari luar yang mengendalikannya.36
C. Telaah Kritis atas Pemikiran Filsafat Empirisme
Meskipun pemahaman filsafat empirisme ini memiliki beberapa
keunggulan bahkan memberikan andil dalam pemahaman filsafat selanjutnya,
namun kelemahan-kelemahan aliran empirisme ini cukup banyak. Berikut kritisi
pemakalah terhadap pemikiran hume yang juga dikuatkan oleh pendapat
beberapa filosof.
David Hume menyatakan bahwa pengalaman inderawi lebih memberi
keyakinan dibandingkan kesimpulan logika atau kepastian sebab akibat. Menurut
kami (pemakalah) indera (penglihatan) manusia memiliki banyak kelemahan dan
35
Alburey Castel, An Introduction to Modern Philosophy, New York & London: Macmillan
Publishing, 1976, hal. 22-23 36
Ibid, hal. 27-28
16
keterbatasan, misalnya saja ketika kita melihat tongkat yang lurus kemudian
dimasukkan dalam kolam, maka yang terlihat tongkat tersebut bengkok. Ini
artinya apa yang terlihat mata terbatas, oleh karenanya memerlukan akal untuk
mengkaji hal tersebut. Hal ini juga dikuatkan oleh pendapat Prof. Dr. Ahmad
Tafsir, dan beliau mengkritisi empirisme atas empat kelemahan, yaitu:37
1. Indera terbatas, benda yang jauh kelihatan kecil padahal tidak.
Keterbatasan kemampuan indera ini dapat melaporkan obyek tidak
sebagaimana adanya.
2. Indera menipu, pada orang sakit malaria, gula rasanya pahit, udara panas
dirasakan dingin. Ini akan menimbulkan pengetahuan empiris yang salah
juga.
3. Obyek yang menipu, contohnya ilusi, fatamorgana. Jadi obyek itu
sebenarnya tidak sebagaimana yang ditangkap oleh alat indera, ia
membohongi indera. Ini jelas dapat menimbulkan pengetahuan inderawi
salah.
4. Kelemahan ini berasal dari indera dan obyek sekaligus. Dalam hal ini
indera misal penglihatan (mata) tidak mampu melihat seekor kerbau
secara keseluruhan dan kerbau juga tidak dapat memperlihatkan
badannya secara keseluruhan.
Selain itu, Hume juga mengabaikan peranan akal dalam menangkap
realitas. Padahal akal mampu menghubungkan kejadian-kejadian yang lampau
dengan kejadian sekarang bahkan meramalkan sesuatu yang akan datang. Akal
juga mampu memberikan ide-ide umum tentang fakta-fakta yang beragam.
Contohnya mobil, sepeda dan pesawat diabstraksikan oleh akal menjadi alat
transportasi.
Dalam hal ketuhanan, Hume mengatakan bahwa tidak ada bukti yang
dapat dipakai untuk membuktikan bahwa Tuhan ada dan bahwa ia
37
Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006, hlm. 21-22.
17
menyelenggarakan dunia. Ia terlalu tergesa-gesa mengambil kesimpulan tentang
theologi.
Penjelasan masuk akal atas adanya perancangan di jagat raya adalah bukti
keberadaan Tuhan yang mengatur alam semesta. Ketika kita melihat sebuah
patung, Anda yakin bahwa pastilah terdapat seorang ahli patung. Bantahan
seperti "Karena terdapat bebatuan berjumlah tak hingga di jagat raya, maka yang
satu ini terbentuk begitu saja dengan sendirinya secara kebetulan," sudah tentu
sangat tidak masuk akal. Sejalan dengan kaidah logika yang dinamakan pisau
cukur Occam, yang menyatakan bahwa penjelasan yang paling jelas dan langsung
tentang suatu permasalahan wajiblah diterima, maka asal-usul kesempurnaan
dan kecermatan perhitungan dan pengaturan di jagat raya wajib dijelaskan
dengan istilah perancangan (desain) dan bukan kebetulan.38
Kesempurnaan Tuhan dapat digambarkan dari ketidaksempurnaan dunia.
Seandainya dunia tidak ada atau ada tetapi sempurna, maka kesempurnaan
Tuhan akan sulit diidentifikasi. Contoh lain untuk memperkuat argumen ini
adalah kebaikan hanya dapat dipahami kalau ada kejahatan. Thomas Aquinas
mengatakan bahwa Tuhanlah yang menciptakan segala sesuatu di dunia ini.
Perbedaannya, bahwa adanya makhluk ada yang mengadakannya, sedangkan
adanya Tuhan itu ada dengan sendirinya. Secara filosofis, adanya Tuhan adalah
esensi-Nya, sedangkan adanya makhluk tidak sama dengan esensinya. Adanya
makhluk terpisah dari esensinya, tetapi dapat dibedakan satu sama lain,
sedangkan pada Tuhan keduanya identik.39
Sedangkan konsep Tuhan menurut filosof islam, dapat dilihat pada wahyu
pertama al-Qur’an surat al-’Alaq [96], ayat 1-5, Tuhan menunjukkan dirinya
sebagai pengajar manusia. Tuhan mengajarkan manusia berbagai hal termasuk
diantaranya konsep ketuhanan. Umat Islam percaya al-Qur’an adalah kalam
38
Harun Yahya, The Creation of the Universe, 2004, http://us1.harunyahya.com. 39
Imam Barnadib, filsafat pendidikan, 1986, Yogyakarta:Gama Press.
18
Tuhan (Allah), sehingga semua keterangan Allah dalam al-Qur’an merupakan
“penuturan Allah tentang diri-Nya.”
Selain itu menurut Al-Qur’an, pengakuan akan Tuhan telah ada dalam diri
manusia sejak manusia pertama kali diciptakan (QS. Al-A’raf [7]:172). Ketika
masih dalam bentuk roh, dan sebelum dilahirkan ke bumi, Allah menguji
keimanan manusia terhadap-Nya dan saat itu manusia mengiyakan Allah dan
menjadi saksi. Sehingga menurut ulama, pengakuan tersebut menjadikan
bawaan alamiah bahwa manusia memang sudah mengenal Tuhan. Seperti ketika
manusia dalam kesulitan, otomatis akan ingat keberadaan Tuhan. Al-Qur’an
menegaskan ini dalam surat Az-Zumar [39] ayat 8 dan surat Luqman [31] ayat 32.
19
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian pembahasan di atas, maka pemakalah dapat menyimpulkan
sebagai berikut:
1. Empirisme adalah aliran dalam filsafat yang berpandangan bahwa
pengetahuan secara keseluruhan atau parsial didasarkan kepada
pengalaman yang menggunakan indera. pengalaman inderawi adalah
satu-satunya sumber pengetahuan, dan bukan akal
2. David Hume begitu konsisten terhadap paham empirismenya, diantara
pemikirannya, yakni:
a. Pengalaman inderawi lebih memberi keyakinan dibanding kesimpulan
logika atau kemestian sebab akibat.
b. Hume membedakan dua macam persepsi, yakni: impressions (kesan-
kesan) dan ideas (ide-ide). Kesan-kesan adalah persepsi yang masuk
ke akal dengan sangat kuat dan hidup, sedangkan ide-ide merupakan
gambaran kabur dari kesan-kesan dalam pikiran. Jadi ide-ide selalu
dekat dengan kesan-kesan.
c. Hume membagi kesan-kesan ke dalam dua jenis, yaitu kesan-kesan
sensasi dan kesan-kesan refleksi. Kesan-kesan sensasi merupakan
kesan-kesan yang masuk ke dalam jiwa pertama kali dan berasal dari
sebab-sebab yang tidak diketahui. Sedangkan kesan-kesan refleksi
sebahagian besar berasal dari ide-ide kita.
d. Tentang ketuhanan, Hume berkomentar bahwa tidak ada bukti yang
dapat dipakai untuk membuktikan bahwa Tuhan ada dan bahwa ia
menyelenggarakan dunia.
e. Empirisme menganggap agama, mukjizat, bahkan Tuhan sebagai
keyakinan yang tidak logis dan tidak bisa dibuktikan secara ilmiah
20
hanya karena empirisme tidak mampu membuktikan eksistensi
immateri.
3. Pemahaman filsafat empirisme ini memiliki beberapa keunggulan bahkan
memberikan andil dalam pemahaman filsafat selanjutnya, namun
kelemahan-kelemahan aliran empirisme ini cukup banyak, terutama
dalam teori pengalaman dan sebab akibat serta dalam konsep ketuhanan.
B. Saran dan Kritik
Dengan kerendahan hati, penulis merasa makalah ini sangat sederhana dan
jauh dari kesempuraan. Saran dan kritik yang konstuktif sangat diperlukan demi
kesempurnaan makalah sehingga akan lebih bernanfaat kontibusinya bagi
hazanah keilmuan di masa mendatang.
21
DAFTAR PUSTAKA
Bagus, Lorens, 2002, Kamus Filsafat, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Barnadib, Imam, 1986, Filsafat Pendidikan, Yogyakarta : GAMA Press.
Bakhtiar, Amsal. 1997, Filsafat Agama, Jakarta: Logos.
Castel, Alburey, 1976, An Introduction to Modern Philosophy, New York &
London: Macmillan Publishing.
Edwards, Paul(ed.), 1967, The Encyclopedia of Philosophy Volume 2, New York,
The Macmillan Company & The Free Press.
Errole, E. Harris , 1954, Nature, Mind and Modern Science, London: Allan &
Unwin Ltd.
Hadiwijoyo, Harun, , 2002, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Yogyakarta: Penerbit
Kanisius.
Hume, David, 1952, An Enquiry Concerning Human Understanding, Chichago:
Chicago University Press.
Jalaluddin, 2011, Filsafat Pendidikan Islam Telaah Sejarah dan Pemikirannya,
Jakarta:Kalam Mulia.
Kim, Jaegwon dan Sosa, Ernest (eds.), 1997, A Companion to Mathaphysics,
Oxford: Blackwell Publisher.
Lacey, A.R, 2000, A Dictionary of Philosophy, New York: Routledge.
Muslih, Muhammad, 2005, Filsafat Ilmu-ilmu, Yogyakarta: Belukar.
Nasution, Harun, 1973, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta: Bulan
Bintang.
Pursen, C.A. Van, 1991, Orientasi di Alam Filsafat, diterjemahkan oleh Dick
Hartoko, Jakarta: Gramedia.
Saifullah, Ali, 1403, Antara Filsafat dan Pendidikan, Surabaya : Penerbit Usaha
Nasional.
Soleh, A.Khudhori, 2004, Wacana Baru Filsafat Islam, Yogyakarta:Pustaka Pelajar.
Seruton, Roger, 1996, A Short History of Modern Philisophy, London: Routledge.
Suriasumantri, Jujun S., 2003, Ilmu dalam Perspektif: Sebuah Kumpulan Karangan
tentang Hakekat Ilmu, Jakarta:Yayasan obor Indonesia.
Surojiyo, 2005, Ilmu Filsafat, Suatu Pengantar, Jakarta: PT. Bumi Aksara.
Suseno, 1997, 13 Tokoh Eika Sejak Zaman Yunani Sampai Abad ke-19,
Yogyakarta: kanisius.
Tafsir, Ahmad, 2006, Filsafat Ilmu, Bandung: Remaja Rosdakarya.
Yazdi, Muhammad TM, 2003, Buku Dasar Filsafat Islam, Bandung: Mizan.
Yahya, Harun, The Creation of the Universe, 2004, http://us1.harunyahya.com.