1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Ada lima kebutuhan yang diperhatikan dalam Islam, yaitu agama, jiwa,
akal, keturunan dan harta benda. (al-Uraini, 2003: 11). Islam membeberkan
kebenaran dan menganjurkan untuk mengikutinya dan juga menampilkan pula
kebalikannya sekaligus memperingatkan agar kita tidak terjerumus ke dalamnya.
Hal ini bertujuan agar manusia memahami agama dan dunia secara lurus supaya
mereka tunduk kepada Allah dalam ibadah dan adat kebiasaan mereka.
Pada hekekatnya, manusia diciptakan dalam kondisi fitrah (memiliki
potensi ketuhanan). Hal tersebut dinyatakan dalam al-Qur’an, bahwa sebelum
ditiupkan ruh ke dalam jasad manusia, manusia terlebih dahulu disumpah
mengakui eksistensi Allah sebagai Tuhannya. Firman Allah:
بذ رإذ أخو فسهملى أنع مهدهأشو مهتيذر ورهمظه من مني ءادب من كذا غافلنيه نا عا كنة إنامالقي موقولوا يا أن تنهدلى شقالوا ب كمببر تألس .
)172:األعراف(Artinya: Dan (ingatlah), ketika Tuhamu mengeluarkan keturunan anak-anak
Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?”. Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami bani Adam adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (Keesaan Tuhan). (Departemen Agama RI, 1985: 250)
2
Untuk itulah, potensi baik yang mengarah kepada eksistensi ketuhanan
Allah sudah dinyatakan atau dipersaksikan sejak manusia pada sadar berada di
alam kandungan. Sehingga potensi kebaikan manusia mengarah kepada agama
(Islam) akan terus berlanjut. Namun demikian, lingkungan akan selalu
berpengaruh dalam diri manusia dan akan menentukan pembentukan pribadi
maupun psikologis (rohaniah) manusia sebagai makhluk individu, social,
berbudaya dan sebagai makhluk Tuhan (religius). (Murtadha, 2003: 2).
Pemenuhan kebutuhan psikologis manusia kadang tidak sepenuhnya
terpenuhi. Bila pemenuhan kebutuhan tersebut dicari dengan cara yang tidak
selaras dengan ketentuan dan petunjuk Allah, maka manusia terjerumus dalam
kesesatan dan melakukan perbuatan dosa. Manusia memiliki alam sadar dan alam
tidak sadar. Dengan alam tidak sadar, manusia telah mengalami mimpi yang bisa
jadi muncul sebagai reaksi terhadap unsur-unsur penganggu yang ditimbulkan
oleh rangsangan yang menyebabkan mimpi. Klarifikasi rangsangan mimpi itu
bisa dikategorikan menjadi empat variabel: (1) rangsangan inderawi ekternal
(berorientasi pada objek); (2) rangsangan inderawi internal (berorientasi pada
subjek); (3) rangsangan fisik internal (berorientasi pada organ-organ tubuh); dan
(4) sumber-sumber rangsangan psikis murni. (Freud, 2001: 25).
Dalam kehidupan sehari-hari, mimpi biasa datang tidak terduga, kadang-
kadang kehadirannya diharapkan. Karena mimpi itu, indah dan menyenangkan.
Namun tidak jarang, mimpi itu tidak diharapkan. Artinya, mimpi bisa mendatangi
kita dalam sesuatu yang buruk, mencekam dan seram. (Sirin, 2004: v)
3
Al-Qur’an dan hadits banyak menjelaskan tentang mimpi, namun banyak
orang yang berpaling dari keduanya, yang mencoba mereka-reka dengan rekaan
yang tidak sesuai dari yang sebenarnya. Ada sebagian dari mereka yang mereka-
reka mimpi untuk minta hujan, mencari barang yang hilang, mengendus rahasia
nasib, pengobatan santet dan teluh atau hipnotis dan sebagainya (al-Ushaimy,
2004: 3). Semua itu justru berkembang disaat syari’at Islam mulai dipelajari
orang. Sementara ulama telah memberikan fatwa dan menjelaskan kekeliruan itu,
tetapi tidak mendapatkan sambutan dari masyarakat, maka jadilah pengobatan
“mimpi” menjadi tersebar. Sukses atau gagal dapat diterka dari mimpi dan
pertolongan melalui mimpi menjadi bisnis yang menggiurkan.
Allah juga memberikan ilham-Nya kepada manusia lewat mimpi. Namun
demikian, tidak semua mimpi menjadi ilham. Pada dasarnya ketika tidur, jiwa
seseorang berada dalam genggaman Allah. Bila jiwa seseorang bersih dan Allah
berkenan memberikan pengetahuan dan sebagian rahasia ini kepadanya, maka
orang tersebut akan mendapatkan ilham dari mimpinya itu (Nashori dan Diana
Mucharam, 2002: 124).
Melihat fenomena di atas, maka mimpi memiliki kedudukan yang tinggi
dalam Islam. Hal ini dibuktikan dengan perhatian kitabullah dan sunnah terhadap
mimpi. Dalam al-Qur’an dikisahkan tentang keinginan Ibrahim as. untuk
menyembelih putranya yang didasarkan atas mimpi yang ia alami, sedangkan
sang putra Ismail as. mematuhinya. (al-Uraini, 2003: 20). Hal ini sesuai dengan
Firman Allah SWT. Dalam surat ash-Shaffat ayat 102-105 yang berbunyi:
4
فلما بلغ معه السعي قال يابني إني أرى في المنام أني أذبحك فانظر ماذا ابرينالص اء اهللا منني إن شجدتس رمؤا تل مت افعاأبى قال ير102(ت (
للج لهتا ولما أس103(بنيفلم (اهيمراإبأن ي اهنيادنو)104 ( قتدص قدسننيحزي المجن ا كذلكا إنيؤ102- 105: الصافات). (105(الر(
Artinya: Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintah kepadamu, Insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar! Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis (nya) (nyatalah kesabaran keduanya). Dan Kami panggillah dia: “Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu, sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. (QS. Ash-Shaffat: 102-105) (Depag RI, 1985: 725)
Dalam surat lain, Allah SWT. menganugerahi nabi Yusuf pengajaran
bagaimana menta’wilkan mimpi, sebagaimana dalam Firman-Nya dalam surat
Yusuf ayat 6 yang berbunyi:
بر بيكتجي كذلكاديثوأويل األحت من كلمعيو لى كعو كليع هتمنع تميو ليمع كبإن ر اقحإسو اهيمرل إبقب من كيولى أبا عهما أتكم قوبعءال ي
كيم5: يوسف). (6(ح( Artinya: Dan demikianlah Tuhanmu memilih kamu (untuk menjadi Nabi)
dan diajarkan-Nya kepadamu sebahagian dari takbir mimpi-mimpi dan disempurnakan-Nya nikmat-Nya kepadamu dan kepada keluarga Ya’qub sebagaimana Dia telah menyempurnakan nikmat-Nya kepada dua orang bapakmu sebelum itu (yaitu) Ibrahim dan Ishak. Sesungguhnya Tuhanmu Maha Mengetahui Lagi Maha Bijaksana. (QS. Yusuf: 6) (Depag RI, 1985: 348)
5
Sementara itu, dalam surat al-Fath juga ditemukan kisah mimpi Nabi
Muhammad saw. tentang masuknya beliau ke Makah bersama para sahabatnya
dengan aman, dan ternyata mimpi itu terwujud dalam tahun pembukaan kota
Makah. Hal ini sebagaimana Firman Allah SWT. dalam surat al-Fath ayat 27
sebagai berikut:
أمنني لقد صدق اهللا رسوله الرؤيا بالحق لتدخلن المسجد الحرام إن شاء اهللامحلقني رءوسكم ومقصرين ال تخافون فعلم ما لم تعلموا فجعل من دون
)27: الفتح). (27(ذلك فتحا قريباArtinya: Sesungguhnya Allah akan membuktikan kepada Rasul-Nya tentang
kebenaran mimpinya dengan sebenarnya (yaitu) bahwa sesungguhnya kamu pasti akan memasuki Masjidil Haram, Insya Allah dalam keadaan aman, dengan mencukur rambut kepala dan mengguntingnya, sedang kamu tidak merasa takut. Maka Allah mengetahui apa yang tiada kamu ketahui dan Dia memberikan sebelum itu kemenangan yang dekat (QS. Al-Fath: 27) (al-Ushaimy, 2004 : 7).1
Tidak jauh berbeda dari yang telah disebutkan al-Qur’an dalam hadits Nabi
pun juga banyak ditemukan hadits-hadits yang menyinggung masalah mimpi
serta keutamaannya. Misalnya hadits riwayat Anas bin Malik sebagai berikut:
1 Selang beberapa lama sebelum terjadi “Perdamaian Hudaibiyah”, nabi Muhammad saw.
bermimpi bahwa beliau bersama para sahabatnya memasuki kota Makkah dan Masjidil Haram dalam keadaan sebahagian mereka mencukur rambut dan sebahagian lagi bergunting. Nabi mengatakan bahwa mimpi beliau itu akan terjadi suatu nanti, kemudian berita ini tersiar di kalangan kaum muslimin, orang-orang munafik, orang-orang Yahudi dan Nasrani. Setelah terjadi Perdamaian Hudaibiyah dan kaum muslimin waktu itu tidak memasuki Makah, maka orang-orang munafik memperolok-olokkan Nabi dan menyatakan bahwa mimpi Nabi yang dikatakan beliau pasti akan terjadi itu adalah bohong belaka. Maka turunlah ayat ini yang menyatakan bahwa mimpi Nabi itu pasti akan menjadi kenyataan di tahun yang akan datang. Dan sebelum itu, dalam waktu yang dekat Nabi akan menaklukkan kota Khaibar. Andaikata pada tahun terjadinya perdamaian Hudaibiyah itu kaum muslimin memasuki kota Makah, maka dikhawatirkan keselamatan orang-orang yang menyembunyikan imannya yang berada dalam kota Makah waktu itu. (Depag RI, 1998: 842).
6
هناهللا ع ضىالك رن مس بأن نقال: ع لمسه وليلى اهللا عص بيا : أن النيؤالروبالن أ منزج نعيبأرة وست ء منزالح جل الصجالر ة مننةاحلس .
Artinya: “Dari Anas bin Malik ra.: bahwasanya Nabi saw. bersabda: Mimpi yang baik dari seorang yang shaleh adalah satu bagian dari 46 bagian kenabian” (HR. Anas bin Malik). (al-Uraini, 2003: 33)
Status manusia yang memiliki keberagamaan pengetahuan menimbulkan
perbedaan pula dalam menakwilkan mimpinya karena keragaman keadaannya.
Mimpi yang dialami seorang menteri tidak dapat ditafsirkan seperti mimpi yang
dialami oleh kebanyakan orang. Demikian pula penakwilan mimpi, juga
bervariasi sesuai dengan keadaan tempat, masa dan waktu. (Sirin, 2004: xii).
Sejalan dengan apa yang disebutkan oleh al-Qur’an dan sunnah tentang
mimpi, maka banyak dari tokoh psikologi mencoba mengungkapkan mimpi.
Beberapa di antaranya adalah Levin (1966), Ryantt (1951), Boyer (1960).
Setengah abad sebelum mereka, seorang tokoh psikoanalisa, Sigmund Freud juga
telah mencoba melakukan analisis terhadap mimpi dan menuliskan dalam buku
yang berjudul The Interpretation of Dream pada tahun 1900.2
Buku tersebut telah menjadi semacam kitab tafsir mimpi bagi mereka yang
menganut psikoanalisis. Freud mengasumsikan bahwa mimpi yang terjadi saat
tidur memiliki makna (meaning) psikologis yang dapat digali dengan suatu
interpretasi. Dalam pendekatan psikologis Freudian, pada dasarnya mimpi
memiliki formulasi orisinal, yakni: 1) a manifest content, yaitu sebagai
2 Sigmund Freud, (1900), The Interpretation of Dreams, 1953, London: Hugart Press. Suatu karya Arab praktek pemeriksaan neurosa yang telah diselesaikannya pada tahun 1896 dan baru ditulis tahun 1899. Buku yang dijadikan bahkan dalam penulisan ini adalah hasil alih bahasa ke dalam bahasa Inggris oleh AA. Brill, 1950, The Modern Library, New York.
7
experienced, reported and remember. Biasanya mimpi yang demikian isinya
masih dapat kita ingat ketika pagi hari. 2) a latent content, yaitu yang dapat
ditemukan maknanya melalui interpretasi. Sebelum adanya penafsiran, arti mimpi
itu bisa dipakai secara jelas. (Purwanto, 2003: 19).
Belum ada faktor yang menjadikan mimpi memenuhi syarat-syarat yang
dapat dijadikan standar penyidikan yang tepat. Oleh karena itu, dalam
mempelajari mimpi, objek yang dipelajari, yaitu mimpi itu sendiri tidak bisa
ditentukan. Ketika seseorang menceritakan sebuah mimpi, tidak ada jaminan
apakah mimpi itu benar-benar seperti yang dia ceritakan, atau dia hanya
mengada-ngada saja. Karena orang yang bermimpi terpaksa harus menceritakan
mimpinya atau hanya sebagian yang dia ingat dari mimpinya. (Freud, 2002: 80).
Seseorang bisa mempelajari perbedaan-perbedaan mimpi dengan
mengasumsikan bahwa mimpi-mimpi itu berkaitan dengan perbedaan-perbedaan
tingkat sempurna tidaknya mimpi. Ketika pikiran mendekati keadaan bangun, ada
peningkatan persepsi bahwa apa yang terlihat hanya mimpi. Kendati seperti itu,
tidak selalu terjadi berurutan dengan jelas dan logis, kemudian diikuti dengan
potongan mimpi yang agak jelas. Pikiran seseorang tidak akan bisa membedakan
tingkat kondisi tidur secara berurutan dengan cepat seperti itu. (Freud, 2002: 88).
Aliran psikoanalisis juga mencoba menjelaskan mitos-mitos religius dan
kosmogoni-kosmogoni zaman purba melalui analisa mimpi. (Fromm, 1988: 10).
Freud menyatakan bahwa terdapat kesamaan antara mimpi-mimpi penyair,
seniman, pelukis dengan mimpi-mimpi kuno yang dianggap mimpi sejati. Dari
8
apa yang dilakukan Freud, yakni terinspirasinya dia oleh mitos-mitos Yunani,
maka boleh jadi karya-karya sastra dan seni lahir dari mimpi-mimpi abadi.
Mimpi merupakan dunia peralihan antara alam bawah sadar dan alam sadar.
(Purwanto, 2003: 115).
Freud meyakini bahwa struktur id, ego dan super ego memegang peranan
penting dalam kepribadian. Secara umum, mimpi diharapkan mampu memberi
solusi-solusi penting. Namun tidak semua mimpi bisa langsung dipahami, dan
mustahil untuk benar-benar yakin bahwa sebuah mimpi tidak sedang mencoba
untuk memberikan sesuatu yang bisa menjelaskan sekaligus memberi makna
(Freud, 2001: 4). Perilaku memiliki arti yang jelas tampak dan tersembunyi
merupakan dasar bagi bangunan pemikiran Freud (Ruber W., 1985 : 61).
Akhir-akhir ini, studi tentang mimpi menunjukkan bahwa mimpi itu dapat
dipelajari, baik secara objektif maupun secara subjektif. (M. Dimyati, 1990: 222).
Sebagai tambahan terhadap analisa mimpi, pengaruh mimpi itu dapat juga
dipakai sebagai suatu alat yang penting untuk penyembuhan dalam dunia medis.
Dalam penggunaan pengaruh mimpi, ahli terapi hanya menyarankan kepada
pasien supaya dia mengingat mimpinya dan menuliskannya (Bernard, 1990: 87).
Freud berpendapat bahwa keadaan itu dapat diperbaiki dengan menggunakan
prinsip-prinsip ilmu jiwa dalam membesarkan dan mendidik anak-anak (Calvin
S., 1995: 27).
Mimpi berangsur menghilang di pagi hari, demikian sebuah ungkapan.
Memang untuk mengingatnya kembali adalah hal yang mungkin. Kita mengenal
9
mimpi hanya dengan mengingatnya kembali setelah bangun. Namun seringkali
kita menganggap ingatan tersebut tidaklah lengkap, bahwa apa yang terjadi
semalam lebih banyak dari apa yang bisa kita ingat (Freud, 2001: 49).
Untuk menafsirkan mimpi, orang harus menelusuri proses terbentuknya
mimpi dalam jurusan yang berlawanan. Dengan bertolak dari yang terang, orang
harus kembali ke pikiran-pikiran tersembunyi yang telah didistorsi oleh sensor.
Setelah melewati berbagai distorsi, akhirnya orang dapat memperlihatkan
keinginan yang direpresi. Tetapi perlu dicatat lagi bahwa sesudah penafsiran,
mimpi tetaplah merupakan suatu produk ketidaksadaran dan harus diperlakukan
demikian (Freud, 1991: xxvi).
Penelitian tentang mimpi menjadi alasan bagi Freud untuk mengarahkan
perhatiannya kepada fenomena-fenomena psikis seperti lelucon, perbuatan keliru,
“keseleo” lidah, lupa dan lain sebagainya, pokoknya semua fenomena dari hidup
sehari-hari yang dapat diperlakukan dengan cara yang sama seperti isi mimpi
yang terang. Aliran Freudian selalu menekankan adanya arti laten yang mungkin
dilambangkan oleh sisi mimpi yang dilahirkan (Dimyati, 1990: 221). Menurut
aliran ini lambang-lambang itu hampir tidak berubah, artinya suatu objek atau
hubungan hanya memiliki sedikit sekali atau bahkan satu lambang khusus saja
yang dialami di dalam mimpi.
Dalam agama, mimpi merupakan wahyu Allah. Walaupun diakui bahwa
wahyu Allah itu benar, tetapi dalam penafsirannya bisa terjadi banyak perbedaan
antara berbagai ulama, sehingga muncul masalah-masalah khilafiyah. Ini kerap
10
kali bukan saja menimbulkan konflik sosial, tetapi juga menimbulkan konflik
batin dalam diri seseorang yang dapat menggoyahkan kehidupan dan
keimanannya. (Jumantoro, 2001: 20).
Perkembangan ilmu dan teknologi dewasa ini semakin meledak.
Perkembangan ilmu dan teknologi ini seringkali tidak mampu dijelaskan secara
agamis oleh tokoh agama atau yang dianggap tokoh agama. Sehingga orang yang
memiliki banyak pengetahuan (ilmu) “umum”, tetapi pengetahuan dan keyakinan
agamanya sangat sedikit sekali dapat menjadi bimbang dengan ajaran agama
yang dianutnya. Karena menurut kaca matanya tampak ajaran agamanya itu tidak
rasional.
Konflik-konflik batin dalam diri manusia yang berkenaan dengan ajaran
agama (Islam maupun lainnya) banyak ragamnya. Oleh karenanya diperlukan
adanya bimbingan dan konseling Islami yang memberikan kehidupan keagamaan
kepada individu agar mampu mencapai kehidupan yang bahagia di dunia dan
akherat. Firman Allah :
)2:العنكبوت. (أحسب الناس أن يتركوا أن يقولوا ءامنا وهم ال يفتنونArtinya: Apakah menusia itu mengira bahwa dibiarkan (saja) menyatakan,
“kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi?. (QS. al-Ankabut: 2) . (Departemen Agama RI, 1985: 628).
Dari ayat di atas jelas, bahwa cobaan itu adalah ukuran bagi sempurna atau
tidaknya iman seseorang dalam melawan hawa nafsu yang tidak terkendali serta
diikuti oleh berbagai persoalan, sehingga fitrah tidak dapat berkembang
sebagaimana mestinya, bahkan bisa jadi manusia terjerumus ke perbuatan dan
11
pelanggaran terhadap nilai-nilai agama ataupun melakukan perbuatan dosa dalam
masyarakat. (Jumantoro, 2001: 8)
Atas dasar inilah, potensi yang dimiliki manusia harus dikembangkan.
Oleh karena itu, kerangka preventif, bimbingan agama (khususnya Islam)
memegang peran yang penting untuk dapat membantu individu mengarahkan dan
mengembangkan pola perilaku yang baik dan mencegah terjadinya
penyimpangan-penyimpangan terhadap nilai ajaran agama. (Faqih, 2001: 37).
Dalam uraian di atas, posisi ta’wil mimpi al-Qur’an dan tafsir mimpi dalam
kajian Islam sangat menarik sehingga bimbingan konseling Islam sangat
diperlukan di dalamnya.
Atas dasar pemikiran di atas, penulis tertarik untuk mengkaji ta’wil mimpi
sebagai materi bimbingan konseling Islam dengan studi komparasi pandangan
Ibnu Sirin dengan teori Psikoanalisis Sigmund Freud dan mengangkat masalah
tersebut menjadi skripsi dengan judul: “TA’WIL MIMPI SEBAGAI MATERI
BIMBINGAN KONSELING ISLAM (STUDI KOMPARASI PANDANGAN
IBNU SIRIN DENGAN TEORI PSIKOANALISA SIGMUND FREUD)”.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah di atas, maka permasalahan yang menjadi
fokus dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana pandangan Ibnu Sirin dan teori Psikoanalisa Sigmund Freud
tentang mimpi?
12
2. Bagaimana signifikansi ta’wil mimpi sebagai materi bimbingan konseling
Islam?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan yang hendak
dicapai dari penelitian ini adalah:
a. Mendeskripsikan pandangan Ibnu Sirin dan teori Psikoanalisa Sigmund
Freud tentang mimpi.
b. Mendeskripsikan ta’wil mimpi sebagai materi bimbingan konseling Islam.
2. Manfaat Penelitian
Adapun hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat dalam kajian-kajian
berikutnya yang berbentuk:
a. Orientasi Teoritis dalam Kajian Aksiologis
Penelitian ini diharapkan mampu menambah khasanah keilmuan BPI
dalam memberikan pemahaman terhadap ta’wil mimpi sebagai materi
bimbingan konseling Islam.
b. Orientasi Praktis
1) Penelitian ini diharapkan mampu menjadi pedoman bagi kita semua
dalam memahami arti sebuah mimpi, sehingga kita dapat memperoleh
kebenaran mimpi yang riil dan berarti dalam kehidupan.
13
2) Menjadikan pijakan bagi agamawan, orang tua dan diri setiap insan
dalam upaya mengembangkan pemahaman terhadap penta’wilan
mimpi al-Qur’an dan tafsiran mimpi yang mengarah ke jalur
keagamaan yang mantap dan dinamis.
D. Tinjauan Pustaka
Untuk menghindari adanya kesan pengulangan dalam melakukan penelitian
ini dan tidak terjadi pembahasan yang sama dengan penelitian lain, maka penulis
perlu memetakkan topik penelitian yang akan dikaji dengan penelitian yang
pernah dilakukan oleh para peneliti sebelumnya.
Sejauh ini, penulis belum menemukan penelitian yang membahas tentang
“Ta’wil Mimpi Sebagai Materi Bimbingan Konseling Islam (Studi Komparasi
Pandangan Ibnu Sirin dengan Teori Psikoanalisa Sigmund Freud)”. Adapun
penelitian terdahulu yang memiliki relevansi dengan judul tersebut, antara lain:
Pertama, penelitian yang dilakukan oleh Yadi Purwanto (2003) dengan
judul Memahami Mimpi Perspektif Psikologi Islam. Penelitian ini mencoba
mengkaji berbagai permasalahan mimpi dengan menggunakan analisis psikologi
Islami, juga dalam pandangan-pandangan dari berbagai aliran, seperti pandangan
psikologi Barat sebagai alat komparatif untuk pendalaman pemahaman mimpi.
Salain paparan yang bersifat teoritis tentang hal-hal yang berkaitan dengan
berbagai persoalan mimpi, penelitian ini juga memaparkan beberapa hal yang
14
bersifat aplikatif untuk terapi mimpi yang berkenaan dengan mimpi itu sendiri
ataupun orang lain.
Kedua, penelitian yang dilakukan oleh Imam Ja’far Shadiq dengan judul
Menyingkap Rahasia Mimpi. Buku ini bertujuan untuk mengetahui tentang
tafsiran terhadap mimpi, sehingga orang lain mengenal akan tafsir mimpi yang
khusus (simbol-simbol), serta beberapa adab dan hal-hal yang disunnahkan
sebelum orang tidur yang berpengaruh dalam memperoleh mimpi yang baik dan
terhindar dari mimpi yang buruk.
Berdasarkan telaah dari dua buku yang disebutkan di atas, tidak ditemukan
tentang karya ilmiah Ibnu Sirin dan Sigmund Freud yang mengkaji Ta’wil Mimpi
Sebagai Materi Bimbingan Konseling Islam (Studi Komparasi Pandangan Ibnu
Sirin dengan Teori Psikoanalisa Sigmund Freud). Dalam konteks inilah, maka
kajian di atas sangat signifikan untuk diangkat dalam penelitian.
E. Kerangka Teoritik
Dakwah adalah suatu usaha untuk mengajak, menyeru dan mempengaruhi
manusia agar selalu berpegang pada ajaran Allah guna memperoleh kebahagiaan
hidup di dunia dan akherat. Mengajak ke jalan Allah adalah wajib hukumnya,
keberhasilan ajakannya mencerminkan prospek dan pelestarian perkembangan
Islam di masa mendatang. Sebab maju dan mundurnya agama terletak di tangan
penganut-penganutnya. Usaha mengajak dan mempengaruhi manusia agar pindah
15
dari satu situasi ke situasi yang lain, yaitu dari situasi yang jauh dari ajaran Allah
menuju situasi yang sesuai dengan petunjuk dan ajaran Allah merupakan
kewajiban bagi kaum muslim dan muslimat. (Aminuddin, 1985: 34).
Dakwah menurut Hafi Nashari adalah mengajak manusia dengan cara yang
bijaksana kepada jalan yang benar sesuai dengan perintah Allah untuk
kemaslahatan dan kebahagiaan mereka di dunia dan akhirat (Nashari, 1993: 10),
sedangkan Asmuni Syukir mengartikan dakwah ialah mengajak umat manusia
dengan hikmah kebijaksanaan untuk mengikuti petunjuk Allah dan Rasul-Nya
(Syukir, 1983: 19).
Mengenai salah satu aktivitas psikologis yang terjadi di saat tidur adalah
mimpi. Abdul Mujib dan Yusuf Mudzakir (2001: 304) mengatakan bahwa:
“Mimpi merupakan keadaan kesadaran yang berubah, di mana citra dan fantasi yang teringat secara sementara dikacaukan dengan realitas eksternal, mimpi dapat dirasakan oleh setiap orang di saat tidur. Mimpi yang indah dan baik secara psikologsi akan berimplikasi positif bagi perilaku lahiriyah seseorang. Sebaliknya, mimpi yang buruk akan berpengaruh negatif pada perilaku seseorang.
Jadi, perilaku baik seseorang akan mengakibatkan mimpi yang indah dan
perilaku yang buruk akan berakibat negatif bagi mimpi seseorang.
Menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyah sebagaimana dikutip Abdul Mujib dan
Yusuf Mudzakir bahwa hakikat tidur adalah tertahannya ruh dari badan dengan
penahanan kecil (wafat sughra), sedangkan hekekat mati adalah tertahannya ruh
dari badan dengan penahanan besar (wafat kubra). Ibnu Qayyim al-Jauziyah
membagi ruh dalam dua kategori. Pertama, ruh yang pemiliknya telah ditetapkan
16
kematiannya, sehingga ruh tersebut tertahan selamanya (tidak dikembalikan ke
badan). Kedua, ruh yang pemiliknya masih memiliki sisa hidup sampai pada
batas yang ditentukan. Ruh ini ditahan untuk sementara waktu ketika pemiliknya
tertidur, namun ia segera dikembalikan saat terjaga. (Mujib dan Yusuf, 2001:
302).
Menurut Fahd, mimpi adalah keyakinan yang dibuat Allah di dalam hati
orang yang tertidur, seperti juga di dalam hati orang yang terjaga (tidak tidur).
Keyakinan itu dibuat Allah seakan sebagai pengetahuan (ilmu) untuk urusan-
urusan lain, dan untuk kondisi yang lain. Keyakinan itu bisa datang lewat
malaikat dan kejadian itu sesudahnya menyenangkan. Pada saat yang lain, bisa
datang dari setan dan kejadiannya menyusahkan. (al-Ushaimy, 2004: 10).
Teori-teori mimpi dalam Islam di atas, sangat berbeda dengan teori-teori
mimpi kepribadian Barat kontemporer saat ini. Freud melihat mimpi sebagai via
regia, yaitu jalan utama yang menghantarkan ke arah ketidaksadaran. Ia
merupakan produk psikis yang merupakan konflik-konflik daya psikis. Jadi,
mimpi itu merupakan perwujudan suatu konflik. (Freud, 1980: 24-25).
Freud lebih lanjut menjelaskan bahwa mimpi adalah salah satu dari gejala
patologis yang mengungkapkan kegiatan-kegiatan yang paling primitif dari jiwa
manusia. Dengan mimpi, seseorang berusaha memenuhi hasrat dan
menghilangkan ketegangan dengan menciptakan sesuatu gambaran tentang tujuan
yang diinginkan. (Hall and Gardner, 1993: 101-102).
17
Sementara itu, Jung juga melihat mimpi sebagai kompetensi bagi aspek-
aspek pemimpi yang diabaikan dalam kehidupan sadar. Mimpi merupakan
produk psikis yang tidak sengaja, spontan dan sari dari alam. Jung membagi isi
mimpi dalam dua kategori, yaitu prospektif (mimpi yang berkaitan dengan
kejadian-kejadian di masa depan) dan retrospektif (mimpi yang berkaitan dengan
kejadian-kejadian di masa lalu). (Hall and Gardner, 1993: 219). Mimpi memberi
gambaran tentang kondisi dalam dan luar bagi pelakunya. Mimpi menjadi
objektif apabila diimpikan oleh sekelompok masyarakat tentang kegiatan sehari-
hari. (Mujib dan Yusuf, 2001: 305).
Dari uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa tidur secara jasmaniah
merupakan kondisi istirahat manusia. Sewaktu tidur, komponen-komponen
biologis tertentu tidak aktif sampai ia terjaga. Secara ruhaniah, tidur adalah
pisahnya ruh dari jasad manusia. Jasad manusia tertidur, sementara ruh tetap
hidup (terjaga) dan dapat beraktivitas sesuai dengan sunnahnya.
Di saat tidur, ruh manusia dapat melepaskan diri dari ikatan sunnah badan
manusia untuk sementara waktu. Karena tidak terikat oleh sunnah badan, maka
ruh dapat memainkan fungsinya dan sunnahnya seluas-luasnya yang tidak
terbatasi oleh ruang dan waktu. Di dalam tidur, ruh mampu menembus segala
alam tanpa ada halangan yang berarti, baik alam empiris biologis maupun alam
arwah. (Mujib dan Yusuf, 2001: 307).
F. Metode Penelitian
18
Untuk mencari jawaban atas permasalahan pokok yang menjadi pertanyaan
dalam penelitian ini, maka penulis menggunakan penelitian sebagai berikut:
Agar skripsi yang akan penulis tulis ini memenuhi syarat karya ilmiah,
maka penulis menggunakan metode:
1. Jenis Penelitian
Dalam penelitian ini menggunakan penelitian deskriptif, yaitu suatu
kegiatan penelitian yang berusaha untuk menggambarkan, melukiskan dan
mengungkapkan (Nawawi, 1991: 63). Sebuah ide pemikiran atau ungkapan
Ibnu Sirin dan Sigmund Freud. Jenis penelitian ini dipergunakan untuk
menggambarkan, melukiskan dan mengungkapkan pemikiran Ibnu Sirin dan
Sigmund Freud dalam tafsir mimpi.
2. Metode Pengumpulan Data
Di dalam penulisan ini, pengumpulan data yang berkaitan dengan
masalah yang dibahas akan dilakukan dengan jalan penelitian kepustakaan
(library research), yaitu dengan jalan melakukan penelitian terhadap sumber-
sumber tertulis. (Irawan, 1999: 65). Yang bertujuan untuk menggumpulkan
data dan mencoba menggali sumber tulisan, baik yang berasal dari buku-buku
asli maupun terjemahan atau sumber yang relevan dengan materi yang terkait.
3. Sumber Data
a. Sumber primer
Sumber primer merupakan sumber pokok yang diperoleh langsung
dari sumbernya. Dalam hal ini adalah pemikiran Ibnu Sirin tentang ta’wil
19
mimpi yang menjadi objek pembahasan tersebut dalam kitab Tafsirul
Ahkam maupun terjemahnya dan teori Psikoanalisa Sigmund Freud
tentang tafsir mimpi dalam bukunya The Interpretation of Dream maupun
terjemahnya.
b. Sumber sekunder
Sumber sekunder merupakan penunjang yang dijadikan alat bantu
dalam menganalisa terhadap permasalahan yang muncul. Sumber ini
berupa buku-buku bacaan, literatur-literatur al-Qur’an maupun ahdits yang
mendukung pembahasan ini.
Pembahasan tentang ta’wil mimpi, buku-buku yang penulis
gunakan antara lain: Muhammad Ibnu Sirin yang berjudul Ta’wil Mimpi
al-Qur’an dan Sunnah yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh
Muhammad Syihabuddin, Tafsir al-Ahkam al-Kabir Ta’wil Shahih 1001
Mimpi yang diterjemahkan oleh Alimin dan Rizki Matumara.
Buku-buku yang penulis gunakan dalam pembahasan psikoanalisa
di antaranya: Sigmund Freud dalam bukunya tafsir mimpi. Sigmund Freud
dalam bukunya psikoanalisis Sigmund Freud. Anthony Storr dalam
bukunya Memperkenalkan Psikoloanalisa dan juga Sigmund Freud
memperkenalkan psikoanalisa karangan K. Bertens.
Mengenai pembahasan tentang Bimbingan dan Konseling Islam,
buku yang penulis gunakan adalah karangan Aunur Rahim Faqih yang
berjudul Bimbingan dan Konseling dalam Islam. Hamdani Bakran adz-
20
Dzaky dalam bukunya yang berjudul Konseling dan Psikoterapi Islam.
Priyatno dan Erman Anti, Dasar-dasar Bimbingan dan Konseling.
Thohari Musnamar, Dasar-dasar Konseptual Bimbingan dan Konseling
Islami. Harapan penulis buku-buku yang disebut di atas dapat menjadi
penunjang dalam penelitian skripsi ini.
4. Metode Analisa Data
Analisis ini memusatkan perhatiannya pada semua dokumen yang
berasal dari data yang terkumpul, untuk selanjutnya dianalisis dengan
menggunakan metode sebagai berikut:
a. Metode deskriptif
Metode deskriptif adalah penyelidikan yang memaparkan,
menuturkan, menganalisis dan mengklasifikasi penyelidikan dengan
survei, dengan teknik interview, observasi atau test studi komparatif dan
operasional (Surakhmad, 1994: 136).
Secara aplikatif, penggunakan metode ini lebih ditekankan pada
deskripsi yang bersifat eksploratif dengan mendasarkan fenomena yang
ada. Di samping ingin mengetahui hal-hal yang berhubungan dengan
ta’wil mimpi dan tafsir mimpi dan mengkomparasikan antara ta’wil
mimpi al-Qur’an dan dan sunnah Ibnu Sirin dengan tafsir mimpi Sigmund
Freud dalam perspektif bimbingan konseling Islam.
b. Metode hermeneutik
21
Metode hermeneutik adalah berasal dari Yunani “hermenevein”,
yang berarti menafsirkan, dan “hermeneia” secara harfiah adalah
penafsiran. Jadi hermeneutik adalah “proses mengubah sesuatu atau
situasi dari ketidaktahuan menjadi mengerti”. (Palmer, 2003: 14).
Metode ini digunakan untuk menafsirkan teks mimpi al-Qur’an dan
sunnah Ibnu Sirin dengan tafsir mimpi Sigmund Freud yang berkaitan
dengan mimpi.
c. Metode komparatif
Metode komparatif adalah suatu metode yang digunakan untuk
memperoleh suatu kesimpulan dengan memperoleh faktor-faktor tertentu
yang berhubungan dengan situasi dan fenomena-fenomena yang diselidiki
dan dibandingkan dengan faktor lain di mana pertentangan berbagai
pendapat akan diakomodir menjadi konklusi (Surakhmad, 1972: 94).
G. Sistematika Penulisan Skripsi
Dalam rangka menguraikan pembahasan di atas, maka peneliti berusaha
menyusun kerangka penelitian secara sistematis, agar pembahasan lebih terarah
dan mudah dipahami, sehingga uraian-uraian yang disajikan nantinya mampu
menjawab permasalahan yang telah disebutkan. Sebelum menginjak bab pertama
dan bab berikutnya yang merupakan satu pokok pikiran yang utuh, maka
penulisan skripsi ini diawali dengan bagian muka, yang memuat: halaman judul,
22
nota pembimbing, pengesahan, motto, persembahan, kata pengantar dan daftar
isi.
Bab pertama adalah pendahuluan. Bab ini berisi tentang latar belakang
masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka,
kerangka teori dan metode penelitian yang meliputi: sumber data, metode
pengumpulan data dan analisis data.
Bab kedua adalah landasan teoritis yang menjelaskan tentang gambaran
umum ta’wil mimpi dan Bimbingan Konseling Islam. Bab kedua ini dibagi
menjadi dua sub bab. Sub bab pertama menjelaskan landasan kerangka teori yang
terdiri dari dari enam sub anak bab, yaitu: deskripsi teoritik ta’wil mimpi yang
meliputi: pengertian ta’wil mimpi, dasar hukum ta’wil mimpi, macam-macam
mimpi, kaidah umum ta’wil mimpi, masa/waktu bermimpi, prinsip-prinsip ta’wil
mimpi. Sub anak bab kedua berisi definisi teoritik Bimbingan Konseling islam
yang meliputi pengertian Bimbingan Konseling Islam, konsep dasar manusia
menurut Bimbingan Konseling Islam, tujuan dan fungsi Bimbingan Konseling
Islam. Sub anak bab ketiga menjelaskan tentang fungsi Bimbingan Konseling
Islam dalam mengembangkan pemahaman ta’wil mimpi dengan psikoanalisa
Sigmund Freud.
Bab ketiga berisi tentang teoritis Tafsir Mimpi Sigmund Freud. Dalam bab
ini terdiri dari metodologi tafsir mimpi, mimpi sebagai pemenuhan harapan,
distorsi dalam mimpi, pola kerja mimpi dan faktor psikologis dalam proses
mimpi.
23
Bab empat adalah analisis pemikiran mimpi Ibnu Sirin dan Sigmund Freud.
Dalam bab ini berisi tentang analisis penulis terhadap pemikiran mimpi Ibnu
Sirin dan Sigmund Freud dalam proses Bimbingan dan Konseling Islam.
Bab kelima adalah penutup. Dalam bab ini berisi kesimpulan yang ditarik
dari bab-bab sebelumnya yang merupakan jawaban dari permasalahan yang
dibahas dalam skripsi ini juga penulis kemukakan dalam saran-saran berikut
penutupnya.