BAB I
Pendahuluan
A. Latar Belakang Masalah
Permasalahan ideologi dalam perpolitikan nasional sebenarnya sudah lama
terjadi, bahkan dimulai sejak awal perumusan undang-undang dasar pada masa awal
kemerdekaan Republik Indonesia. Tarik menarik ideologi dan perdebatan yang sering
menguras tenaga dan pikiran tersebut selalu dilakukan oleh dua kelompok besar yang
ingin menerapkan ideologinya masing masing. Kedua kelompok tersebut adalah
kelompok nasionalis dan kelompok Islam politik. Namun harus di tekankan sejak
awal bahwa kelompok nasionalis tidaklah secara langsung anti dan mengabaikan sisi
religiusitas dalam sebuah negara, dan demikian sebaliknya, kelompok Islam politik
tidaklah juga mengabaikan tentang semangat nasionalisme dalam bernegara. Meski
punya titik persamaan dalam kandungan visi mereka, Tapi pada tataran politik praktis
keberadaan kedua kelompok tersebut masih sangat sulit untuk dipertemukan.
Pada pemilu raya di Indonesia yang dilaksanakan pada tahun 1955,
keberadaan partai nasionalis dan keberadaan partai yang berideologi keagamaan
(Islam) sangat mendapatkan dukungan yang tinggi oleh masyarakat pemilih.
Demikian juga pada pemilu 1999 dan 2004, keberadaan partai nasionalis juga keluar
sebagai pemenang. Sedangkan untuk Partai yang berideologi keagamaan (Islam) juga
masih mendapatkan suara yang cukup signifikan, namun karena pada pemilu 1999
1
dan 2004 Partai Islam terjebak pada Partai politik aliran, maka keberadaannya
menjadi mencair.
Pada perjalanan pemilu di Indonesia, telah terjadi perubahan pada sistem
pemilihan presiden. Kalau dulunya presiden dipilih oleh kalangan legislatif maka
pada pemilu 2004 dipakai sistem pemilihan presiden secara langsung. Sistem
pemilihan presiden secara langsung ini adalah sistem pemilihan yang pertama kali
diterapkan di negara Indonesia sejak dimulainya pemilu pada tahun 1955.
Polling Sugeng Sarjadi Syndicated dan Dr Arief Budiman Maret 2003
mengeluarkan sejumlah kalkulasi pemilihan capres dan cawapres 20041. Keduanya
mencantumkan kriteria nasionalis-religius sebagai tolok ukur, baik di tingkat elite
parpol maupun dari kehendak publik yang tercermin dalam hasil polling.
Sebagaimana diketahui pencalonan Wiranto sebagai presiden dengan menggandeng
Shalahuddin Wahid sebagai wakilnya, atau Megawati Sukarno Putri dengan Hasyim
Muzadi, begitu juga dengan calon-calon lainnya (Susilo bambang yudhoyono dengan
M. Yusuf Kalla, Hamzah Haz dengan Agum Gumelar, dan Amin Rais dengan
Siswono Yudo Husodo) kesemuanya merupakan representasi dari dua kekuatan
elemen bangsa yang didasarkan pada kekuatan ideologi nasionalis dan kekuatan
ideologi religius. Dari fakta tersebut, elite dan masyarakat seolah masih larut dalam
paradigma lama bahwa ukuran kemenangan politik sipil ditentukan oleh gabungan
dua aliran besar di Indonesia itu.
1 Http:www. Cetro.or id/Polling capres dan cawapres RI browsing 15 Mei 2006
2
Paket capres-cawapres nasionalis religius tadi seakan mengasumsikan yang
nasionalis bukan religius, sedangkan yang religius bukan nasionalis. Keduanya
diposisikan seolah-olah bertolak belakang. Apakah pakem ini merupakan tipikal
signifikan dalam proses modernisasi sistem politik Indonesia, mengingat kalangan
nasionalis-religius jauh dari kebijakan yang seharusnya diambil saat memerintah?
Di banyak negara luar, kalau ideologi itu mendikotomikan antara liberal dan
sosialis, kelompok liberal dengan Partai buruh, atau antara demokrat dan konservatif,
pengaruhnya langsung tampak pada pengambilan kebijaksanaan. Di negara kita,
berbagai kebijakan yang diambil juga bersentuhan dengan paham atau ideologi yang
dianut, meski pada kenyataannya yang nampak adalah menonjolkan sisi personal,
bukan basis ideologi parpol pendukungnya.
Ideologi adalah landasan yang menjadi dasar untuk melangkah dan menjadi
dasar maksud dan tujuan dalam berpolitik dan bernegara. Keberadaan ideologi ini
menjadi sangat vital dalam sebuah Partai, mengingat masyarakat pemilih selalu
mempertimbangkan dari awal untuk mengetahui ideologi Partai serta visi misinya
sebelum memilih.
Sebagai hasil dari perjalanan panjang tarik menarik ideologi, maka hal yang
menarik adalah adanya kelompok (Partai politik) yang ingin menjadi jalan tengah
dengan bersifat kooperatif terhadap ideologi. Kelompok ini tidak ingin berdiri di satu
sisi ideologi, melainkan menggabungkan dan menyatukan dua ideologi tersebut
dengan alasan bahwa Negara Indonesia adalah negara yang memiliki berbagai macam
suku, agama, ras, dan kebudayaan, sehingga Negara Indonesia tidak bisa diklaim
3
milik salah satu elemen bangsa. Dalam hal ini sebagai contoh Partai di Negara
Indonesia adalah Partai Demokrat. Partai Demokrat dengan tegas menyatakan diri
sebagai partai nasionalis religius. Penegasan ungkapan tersebut tentunya mengandung
dua sisi ideologi, yakni ideologi nasionalis dan ideologi religius.
Sebagai sebuah Partai, yang salah satu tujuan utamanya adalah untuk
memperoleh simpati dari para pemilih, sebenarnya kehadiran dan performance Partai
Demokrat tidaklah berbeda jauh dengan partai nasionalis yang sudah ada lebih dulu,
seperti Partai GOLKAR, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), maupun
dengan Partai-Partai kecil lainnya. Namun ada penonjolan perbedaan ketika Partai
Demokrat secara tertulis menyatakan diri sebagai partai nasionalis religius.
B. Tujuan Penelitian
Sebagai sebuah penelitian diskursus (wacana) yang didasarkan pada penelitian
lapangan dan kepustakaan, karya ini sesungguhnya tidak terlepas dari maksud dan
tujuan yang secara disadari atau tidak telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan
dari subtansi penelitian tersebut. Secara umum penelitian ini dimaksudkan untuk
mengetahui lebih jelas tentang ideologi nasionalis religius yang dijadikan platform
Partai Demokrat di kancah perpolitikan nasional. Yang mana ideologi tersebut
mengandung sisi nasionalisme dan semangat religiusitas.
Harus diakui penelitian tentang hal tersebut belum banyak dilakukan oleh
sarjana-sarjana yang termotivasi untuk melakukan penelitian tersebut, hal ini bisa
dipahami karena wacana tersebut diusung oleh Partai yang belum lama
4
keberadaannya dan Partai tersebut belum menjadi sebuah Partai yang mayoritas.
Meskipun pada kenyataannya sebagai Partai baru, Partai tersebut cukup mendapatkan
suara yang signifikan pada pemilu 2004, dan meloloskan tokoh Partainya, yaitu susilo
bambang yudhoyono sebagai presiden RI..
Melihat adanya kenyataan hal tersebut penulis ingin mengangkat tema
tersebut sebagai bagian dari upaya pendiskusian wacana nasionalis religius di tataran
akademis. Dan sebagai harapannya adalah tulisan ini bisa memberikan khasanah
kepustakaan tentang diskursus ideologi bernegara di Indonesia. Tulisan ini pada
dasarnya juga menuntut standar-standar keilmiahan untuk memenuhi persyaratan
meraih gelar S-1 (strata satu).
C. Pembatasan Masalah
Dengan menitik-fokuskan pengkajian pada wacana ideologi, penulisan skripsi
NASIONALIS RELIGIUS SEBAGAI ALTERNATIF IDEOLOGI: ”Menyoal
Prinsip Prinsip Religiusitas Ideologi Politik Partai Demokrat ini Penulis batasi pada
pembahasan wacana ideologi nasionalis religius Partai Demokrat ditengah-tengah
keberagaman bangsa Indonesia dengan membahas dan menguraikan visi-visi ideologi
nasionalis religius. Dan sebagai subyek (pelaku) dari wacana ini adalah Partai
Demokrat.
5
D. Perumusan Masalah
Berangkat dari latar belakang masalah dan tujuan penelitian diatas, maka
penulis mencoba merumuskan masalah dengan berdasar kepada pernyataan umum
atas asumsi bahwa Partai Demokrat adalah Partai yang berideologi nasionalis religius,
Partai Demokrat ingin mengusung wacana nasionalisme ditengah-tengah
keberagaman bangsa Indonesia, yang mana harus diakui pula bahwa nilai-nilai
religiusitas (Islam) masih sangat kental melapisi pola pikir bangsa indoneisa
Dari asumsi tersebut, diperoleh turunan pertanyaan yang kemudian penulis
mencoba untuk mendiskusikannnya, yaitu::
- Bagaimanakah Partai Demokrat mengartikan ideologi nasionalis religius?
- Prinsip-prinsip apa saja yang terkandung dalam ideologi nasionalis religius?
- Apakah Ideologi nasionalis religius Partai Demokrat sebagai salah satu strategi
politik dalam pemilu?
- Dalam parakteknya, adakah nilai-nilai religiusitas yang telah diimplementasikan
oleh Partai Demokrat?
E. Metodologi Penelitian
Berkaitan dengan tema besar dari penelitian yang penulis lakukan yakni studi
wacana, maka metode yang digunakan untuk mendukung penelitian ini adalah
metode penelitian lapangan (Field Research), dan untuk mendukung landasan
landasan teorinya penelitian ini juga menggunakan penelitian kepustakaan (Library
research).
6
Sebagai penunjang langkah awal dari metode diatas, maka kemudian
dilengkapi dengan metodologi yang secara umum dikenal dengan penelitian
kepustakaan (library research). Untuk penelitian kepustakaan ini, penulis
menggunakan literature-literatur yang mengkaji tentang wacana ideologi dan sistem
kenegaraan dan sebagai sumber utama kajian kepustakaan adalah buku dengan judul
NASIONALIS RELIGIUS: Jati Diri Bangsa Indonesia, karya Prof. Dr. A. Mubarok
dengan pengantar Susilo Bambang Yudhoyono. Hal ini dilakukan dengan berbagai
pertimbangan. Pertama, menganalisa sebuah wacana yang diusung oleh sebuah Partai
membutuhkan landasan teoritis yang kuat untuk mencapai hasil yang optimal. kedua,
untuk mendukung upaya optimal tersebut maka salah satu diantaranya adalah
terpenuhinya data-data yang orisinil melalui penelitian kepustakaan yang juga
menjanjikan obyektifitas terhadap obyek kajian yang akan dianalisa; ketiga, kajian
kepustakaan dilakukan sebagai langkah awal dari upaya pengumpulan data, dan
kemudian sebagai langkah praktisnya dibarengi dengan riset lapangan, yang mana
menggali wacana tersebut langsung dari sumbernya
Metodologi penelitian ini didukung dengan teknis penulisan, yang mana
dalam hal ini mengacu pada buku petunjuk; Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis, Dan
Disertasi" yang diterbitkan oleh UIN Jakarta Press.
F. Sistematika Penulisan
Penulisan atas penelitian ini dibagi atas beberapa bab, yang masing bab
mempunyai sub bab yang satu sama lainnya saling berkaitan, hal ini bertujuan agar
7
penulisan ini lebih sistematis dan mengikuti sebagaimana standar umum yang berlaku
dalam sebuah penulisan, yaitu :
Bab I: pendahuluan yang didalamnya terdiri dari sub bab: latar belakang
pembahasan; yang kemudian dilengkapi dengan pembatasan dan perumusan
permasalahan; dan bagian terpenting lain dalam penelitian, yaitu tujuan peneiltian
dan metode penelitian.
Bab II: pembahasan awal, pada pembahasan awal ini mengupas tentang:
Pengertian umum tentang ideologi dan kedudukannya dalam negara. Dan di sub bab
berikutnya mengupas tentang pengertian umum tentang ideologi nasionalis religius .
kemudian pada sub bab berikutnya membahas profil Partai Demokrat sebagai
pengusung ideologi nasionalis religius.
Bab III: Pada bab ini akan membahas tentang prinsip-prinsip dasar visi misi
nasionalis religius yang diusung oleh Partai Demokrat. Dengan menjelaskan secara
rinci satu per satu visi misi nasionalis religius. Prinsip-prinsip ini adalah yang
menjadi konsep dasar partai untuk menunjukkan sebagai partai yang nasionalis
religius.
Bab IV: pada bab ini mendiskusikan tentang pembahasan yang sebelumnya
sudah dibahas dengan menganalisa secara tajam maksud dan tujuannya.. Bab ini
mendiskusikan tentang nasionalis religius Partai Demokrat dengan diwujudkan
dalam sebuah pertanyaan, sebenarnya Ideologi nasionalis religius itu merupakan
sebuah strategi politik dalam pemilu, ataukah Ideologi tersebut memang sebagai
8
landasan jati diri sebuah partai. Selain itu sejauh manakah religiusitas yang telah
berlangsung dalam kehidupan partai.
Bab V : Penutup. Dan kesimpulan yang berdasar pada asumsi asumsi dan
diskusi yang sebelumnya telah dibahas dibab bab sebelumnya. Kesimpulan dimaksud
bukan sebagai sebuah pembuktian verifikasi, mengingat data substansi permasalahan
yang diangkat ke dalam penelitian ini bersifat study kasus historis yang sebenarnya
mesti mendapat pengakuan obyektif dan bukan klaim kebenaran sepihak. Secara
implisit kesimpulan ini bermaksud pula memberikan pesan yang terkandung di
dalamnya.
9
BAB II
PENGERTIAN DASAR IDEOLOGI NASIONALIS RELIGIUS
A. Pengertian Dasar Tentang Ideologi.
Secara umum ideologi adalah landasan pokok dimana suatu negara atau dalam
suatu bentuk kelembagaan meletakan harapan-harapan atau cita-cita yang disepakati
bersama2. Jadi, apa yang telah menjadi kesepakatan bersama, haruslah berjalan di
atas roda ideologi, yang mana ideologi itu sendiri merupakan sesuatu yang telah dan
harus disepakati secara bersama-sama pula. Ideologi pertama kali dikemukakan oleh
D. Tracy, bahwa ideologi adalah sebuah pemahaman atau ide konseptual yang
mampu melihat wajah dunia dengan ketertarikannya pada masalah-masalah sosial
(Social interest) dan mampu menawarkan “problem solving” atau pemecahan
masalah dalam suatu lembaga kemasyarakatan yang bersekala kecil maupun yang
bersekala besar3.
Kalau definisikan secara harfiah, maka ideologi itu sendiri terdiri dari dua suku kata
yakni; Ideo yang berarti ide dan logos yang berarti ilmu. Merujuk pada pengertian
secara harfiah tersebut, maka bisa jelaskan bahwa ideologi adalah ilmu tentang ide-
ide. lebih lengkap lagi tentang pemaknaan ideologi, Ramlan Surbakti menjelaskan
bahwa ideologi dapat pula dirumuskan sebagai suatu pandangan atau sistem nilai
yang menyeluruh dan mendalam tentang tujuan tujuan yang hendak dicapai oleh
2 Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, Jakarta: PT. Gramedia 1999 hal 35
3 Abdul Rahman; Ideologi, Idealisme, dan Pluralisme Bangsa, Buletin wacana POSTRA; Jakarta: ISIS nomor 6/Agustus 2002 hal 79
10
suatu masyarakat dan mengenai cara-cara yang dianggap paling baik untuk mencapai
tujuan4. Tujuan dan cara itu secara moral dianggap paling baik dan adil bagi
penghayatnya untuk mengatur perilaku sosial warga masyarakat dalam berbagai segi
kehidupan di dunia ini. Dengan rumusan itu dapat disimpulkan ada dua fungsi
ideologi dalam masyarakat, pertama, menjadi tujuan dan cita-cita yang hendak
dicapai bersama oleh suatu masyarakat. Dengan demikian ideologi menjadi tolok
ukur untuk menilai keberhasilan pelaksanaan keputusan politik. Kedua, sebagai
pemersatu masyarakat, dan karenanya menjadi prosedur penyelesasian konflik yang
terjadi dalam masyarakat. definisi tentang ideologi juga dikemukakan oleh Jack C.
Plano & Roy Olton, bahwa ideologi merupakan sebuah kekuatan dinamis yang setara
dengan kekuasaan karena kepaduan dan vitalitas yang diciptakannya mampu untuk
dikendalikan menghadapi negara atau kelompok lain5. Merujuk pada definisi Jack C.
Plano dan Roy Olton tersebut, maka jelaslah bahwa ideologi itu merupakan landasan-
landasan yang memiliki kekuatan dalam membentuk karakter serta cara berpikir suatu
masyarakat. Dalam perspektif lain ideologi juga bisa diartikan sebagai gagasan atau
teori menyeluruh tentang makna hidup dan nilai-nilai yang mau menentukan secara
mutlak bagaimana manusia harus hidup dan bertindak.
Keberadaan ideologi dalam sebuah kelembagaan atau lebih khusus pada
sebuah Partai politik adalah merupakan sebuah keniscayaan, karena Sangat mustahil
dalam suatu lembaga kemasyarakatan menolak adanya ideologi. Hal ini disebabkan
4 Surbakti, Memahami Ilmu Politik, Jakarta: PT. Gramedia 1999 hal 35 5 Abdu Rahman; Ideologi,hal 82
11
Karena ideologi merupakan acuan pokok atau kerangka dasar dinamis yang menjadi
energi kreatif dalam proses dinamisasi suatu lembaga. Sebuah pemahaman/ide itu
bisa dikatakan sebagai sebuah ideologi apabila mampu memuaskan batin, mampu
memperbaiki hubungan antara manusia dengan manusia, manusia dengan alam dan
manusia dengan sang pencipta. Suatu ideologi dianggap berhasil apabila mampu
menanamkan nilai pada obyek ideologi dalam hal ini masyarakat. Kadang-kadang
ideologi juga dapat menjadi titik acuan dalam memandang suatu realitas atau kondisi
yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat.
Kalau kembali pada pemahamannya Jack C. Plano dan Roy Olton bahwa
sebuah ideologi sangat peka terhadap sifat sistem politik, pelaksanaan menjalankan
kekuasaan, peran individu, sifat sistem ekonomi dan sistem sosial, serta tujuan
masyarakat. Sebagai sebuah sistem keyakinan yang mendasar, sebuah ideologi tidak
hanya menggabungkan nilai-nilai dasar masyarakat tetapi ideologi itu sendiri menjadi
nilai utama yang harus dipertahankan dan dalam kasus tertentu ideologi harus
disebarluaskan kepada masyarakat lain.
Ideologi merupakan acuan pokok atau kerangka dasar dinamis yang menjadi
energi kreatif dalam proses dinamisasi suatu lembaga. Ideologi juga merupakan
seperangkat nilai yang diyakini kebenarannya oleh suatu bangsa dan digunakan
sebagai dasar untuk menata masyarakat dalam bernegara. Ideologi dalam kaitannya
dengan Negara Republik Indonesia mengandung nilai-nilai dasar yang hidup dalam
sistem kehidupan masyarakat dan mengandung idealisme yang mampu
mengakomodasikan tuntutan perkembangan zaman kedalam nilai-nilai dasar yang
12
sudah dikristalisasikan dalam pancasila dan UUD 1945. Negara adalah lembaga
kemasyarakatan dalam skala makro, untuk itu tentunya negara juga membutuhkan
yang namanya ideologi6. Negara merupakan patokan bagi setiap lembaga
kemasyarakatan dalam lingkup mikro. Bila menengok kembali sejarah maka akan
dapati bahwa ideologi-ideologi itu tidak selalu dipertahankan, mengingat dalam
masyarakat majemuk yang di dalamnya terdiri dari berbagai kelompok budaya, suku,
ras, dan agama, yang mana setiap kelompok memiliki sistem nilai sendiri yang
kemudian dijadikan landasan masing-masing golongan, Adalah sangat rawan terjadi
tarik menarik ideologi dikarenakan ideologi tersebut belum bisa mengcover setiap
sistem nilai tiap-tiap golongan, karena mengingat syarat-syarat penerimaan ideologi
itu sendiri. Yakni harus mampu memuaskan batin, mampu memperbaiki hubungan
manusia dengan manusia, manusia dengan alam, dan manusia dengan sang pencipta7.
Ketika syarat itu belum terpenuhi maka sangat mustahil suatu ideologi itu bisa
dipertahankan.
B. Pengertian Umum Tentang Ideologi Nasionalis Religius
Secara sederhana ideologi nasionalis religius adalah sebuah penggabungan
atau kolaborasi dua ideologi, yakni ideologi nasionalis dan ideologi religius, dan
6 Moh Kusnardi, Ilmu Negara; Edisi Revis tentang konstitusi:Jakarta: Gaya Media Pratama
1998 hal 133
7 Magnis Suseno, Franz, Etika Politik; Prinsip Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Jakarta; Gramedia Pustaka Utama ,1999 hal 348
13
sebagai pemaknaan untuk masing masing idologi, dapat dipahami bahwa ideologi
nasionalis adalah sebuah ideologi yang berwawasan nasionalisme dengan
mengedepankan pada nilai-nilai pluralisme bangsa yang memiliki berbagai ragam
suku, budaya, agama dengan tujuan untuk membentuk masyarakat yang berkeadilan
sosial. Sedangkan ideologi religius adalah sebuah ideologi yang didasarkan pada
norma-norma agama yang bersifat universal untuk mengatur kehidupan bernegara.
Norma-norma agama tersebut menjadi dasar dalam setiap lapis berkehidupan
bernegara dan berdemokrasi8.
Namun tidaklah arif untuk meletakkan posisi nasionalis-religius secara hitam-
putih dan diametral-oposisional dalam pengertian yang satu berdiri di satu lembah
dan yang lain di lembah lainnya sebagaimana pemaknaan terhadap sejarah bangsa
Indonesia di masa awal kemerdekaan.
Pada awal kemerdekaan bangsa Indonesia, masyarakat seolah-olah digiring
untuk mengikuti dan memilih arus Partai politik dengan pengkotakan dasar ideologi
yang berujung pada pengelompokan-pengelompokan tertentu. Apalagi keberadaan
Partai politik yang mengusung ideologi yang berbeda tersebut memiliki kekuatan
parlemen yang sangat besar, dimana pada waktu itu PNI (Partai Nasionalis Indonesia)
dan MASYUMI (Majlis Syuro Muslimin Indonesia) selalu mendominasi dalam
perolehan suara. Meskipun demikian, harus pula diakui bahwa dalam lapis kultural-
8 Wawancara dengan Prof. Dr. A. Mubarok, (wakil ketua DPP Partai Demokrat) 22 November 2005 di Jakarta
14
antropologis, politik aliran adalah sesuatu yang lumrah karena mencerminkan
keragaman kultural yang memiliki sumber historis dan sosiologis9.
Bahkan, menurut hasil penelitian Robert Jay dan Clofford Geertz, dua
antropolog terkemuka asal Amerika, bahwa artikulasi politik Indonesia tidak bisa
dilepaskan dari formulasi kultural santri, priayi, dan abangan, sehingga yang terjadi di
masyarakat adalah pengelompokan dengan memandang bahwa kelompok santri akan
selalu berdiri di posisi sebagai pemegang ideologi religius, sedangkan kelompok
abangan akan selalu berdiri di posisi pemegang ideologi nasionalis10. Pendapat
seperti ini tidak bisa dibenarkan dengan mutlak mengingat kelompok santri juga tidak
mengabaikan sisi-sisi nasionalisme sebagaimana bisa dilihat dari para tokoh elit
Partai yang berjuang di garis tersebut. Sebagai misalnya adalah keberadaan
Mohammad Hatta di dalam PNI (Partai Nasionalis Indonesia), meskipun masuk
dalam PNI (Partai nasionalis Indonesia), tapi Mohammad Hatta juga sangat diakui
sebagai tokoh yang memiliki landasan keagamaan cukup kuat dalam berbangsa dan
bernegara. Demikian pula dengan Mohammad Natsir, sebagai tokoh MASYUMI
beliau juga mempunyai integritas yang tinggi terhadap bangsa yang plural11.
9 Adnan Buyung Nasution, Politik aliran; tantangan NKRI, WWW.Kompas.com 13 Juni 2001
10 Baca Clifford Geertz, Religion of Java, Chicago and London: Universityof Chicago press 1976. Clifford Geertz dalam membagi entitas keragaman berdasarkan pada penelitian lapangan yang ia lakukan di daerah Jawa Timur, pendapat Geertz ini cukup mendapatkan tanggapan dari berbagai ilmuwan, meskipun untuk sekarang ini wacana tersebut sudah mulai menurun. 11 Mohammad natsir lebih mendasarkan pada nasionalisme Islam, karena benih-benih nasionalisme pada akar sejarahnya didirikan oleh tokoh-tokoh Islam , disamping pada waktu sebelum indonesia merdeka telah banyak berdiri organisasi yang dimotori oleh orang islam seperti SI (Syarikat Islam),
15
Dengan demikian, sebagai fakta budaya, perbedaan ideologi politik tidaklah
menjadi soal. Yang menjadi soal, seperti dikatakan Adnan Buyung Nasution, adalah
apabila kelembagaan politik diatur berdasarkan pembelahan politik aliran12. Karena
apabila hal tersebut terjadi, yang akan terjadi adalah kecenderungan eksklusivisme
yang dikawinkan dengan politik. Apalagi kecenderungan keyakinan agama yang
eksklusiv. Jadi kategori nasionalis-religius sebenarnya sudah tampil ke permukaan
sejak awal pra kemerdekaan dan pasaca kemerdekaan. Dan sebagai faktanya banyak
Partai politik yang mempraktekkan ideologi nasionalis religius meskipun dalam
platformnya atau AD/ART tidak secara langsung mencantumkannya.
C. Partai Demokrat Sebagai Pengusung Ideologi Nasionalis Religius
Kelahiran Partai Demokrat didirikan atas inisiatif saudara Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY) yang terilhami oleh kekalahan terhormat saudara Susilo Bambang
Yudhoyono pada pemilihan Calon wakil Presiden dalam Sidang MPR tahun 2001.
Partai Demokrat didirikan oleh 99 (sembilanpuluh sembilan) orang dengan artian
berkaitan dengan SBY sebagai penggagas, yakni SBY lahir tanggal 9 bulan 9. Pada
tanggal 9 September 2001, bertempat di Gedung Graha Pratama Lantai XI, Jakarta
Selatan dihadapan Notaris Aswendi Kamuli, SH., 46 dari 99 orang menyatakan
bersedia menjadi Pendiri Partai Demokrat dan hadir menandatangani Akte Pendirian
Partai Demokrat. 53 (lima puluh tiga) orang selebihnya tidak hadir tetapi memberikan
lihat Bahtiar Effendi, Islam Dan Negara:Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia,Jakarta: Paramadina 1998 hal 63 12 Buyung Nasution, Politik Aliran WWW.Kompas.com 13 Juni 2001
16
surat kuasa kepada saudara Vence Rumangkang. Selanjutnya pada tanggal 17
Oktober 2002 di Jakarta Hilton Convention Center (JHCC), Partai Demokrat
dideklarasikan dan dilanjutkan dengan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Pertama
pada tanggal 18-19 Oktober 2002 di Hotel Indonesia yang dihadiri Dewan Pimpinan
Daerah (DPD) dan Dewan Pimpinan Cabang (DPC) seluruh Indonesia13.
Sejalan dengan deklarasi berdirinya Partai Demokrat, sebagai perangkat
organisasi dibuatlah Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART)
Partai, yang mana sebagai asas Partai adalah pancasila Dan sebagai wujud dari jati
diri Partai Demokrat termaktub dalam anggaran dasar Partai, yaitu di pasal 3 (Tiga)
yang berbunyi14;
Jati diri Partai adalah nasionalis-religius, yaitu kerja keras untuk kepentingan rakyat dengan landasan moral dan agama serta memperhatikan aspek humanisme, nasionalisme, dan pluralisme dalam rangka mencapai tujuan perdamaian, demokrasi, dan kesejahteraan rakyat.
Dan sebagai penjabaran makna yang terkandung dalam jati diri nasionalis religius
yang mempunyai aspek-aspek humanisme, nasionalisme, dan pluralisme, di dalam
doktrin Partai Demokrat termaktub uraian sebagai berikut15:
Nasionalisme Partai Demokrat menempatkan kepentingan nasional sebagai komitmen utama. Semua kepentingan individu, kelompok dan golongan akan dikalahkan jika mengancam kepentingan nasional bangsa Indonesia. nasionalisme yang dianut Partai Demokrat bukanlah nasionalisme chauvinisme yang memungkinkan terjadinya penindasan suatu bangsa oleh bangsa lain, tetapi nasionalisme yang didasari oleh penghayatan keagamaan,
13 Http///:www.demokrat.or.id./sejarah partai, browsing internet 20 Mei 2006
14 DPP Partai Demokrat, Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Partai Demokrat, Jakarta: DPP Partai Demokrat hal 28 15 DPP Partai Demokrat, Anggaran Dasar hal 14
17
menyayangi sesama manusia dan bahkan kepada semua mahluk ciptaan tuhan. Pluralisme Sudah menjadi kenyataan sejarah bahwa bangsa Indonesia terdiri dari beragam suku, ras, agama dan budaya, dan dari keberagaman lahir solidaritas nasional menghadapi penjajahan hingga lahirlah Negara republik Indonesia. manajemen keragaman itu dimungkinkan karena adanya semangat bhineka tunggal ika, yakni meski ada identitas yang berbeda-beda tetapi pada hakikatnya adalah satu kesatuan, yaitu kesatuan bangsa Indonesia. tugas memanaged keragaman bukan dengan menyeragamkan yang beragam, tetapi menyatukan visi dari kekuatasn yang beragam. Humanisme Sejalan dengan ajaran agama, bahwa manusia adalah mahluk yang dimuliakan oleh tuhan yang oleh karena itu manusia berkewajiban memelihara kemuliaan dirinya, wujud perjuangan pemuliaan diri manusia adalah perlindungan hak-hak azasi manusia. Agama mengajarkan perlindungan manusia untuk memperoleh hak-haknya, yakni perlindungan fisik dari penganiayaan, perlindungan nyawa dari pembunuhan, perlindungan akal dari penindasan intelektual, perlindungan harta dari kepemilikannya, serta perlindungan jati diri dari kesucian nasabnya (keturunannya). Ajaran inilah yang menjelma menjadi HAM dalam budaya modern. Dalam pergaulan antar manusia, Partai Demokrat mengakui dan menghormati adanya berbagai solidaritas, seperti solidaritas keagamaan, solidaritas nasional dan solidaritas kemanusiaan. Bangsa Indonesia sesuai dengan pembukaan UUD 1945, menentang penjajahan di muka bumi yang dilakukan oleh bangsa kuat kepada bangsa yang lemah. Bangsa Indonesia juga harus siap menentang setiap ada penindasan hak azasi manusia yang terjadi di belahan dunia manapun sebagai wujud solidaritas kemanusiaan (humanisme). Dari uraian tersebut bisa dipahami bahwa semangat nasionalisme Partai
Demokrat sangat kental dengan dilapisi semangat religiusitas. Makna religiusitas
disini adalah penghayatan agama secara umum yang mengedepankan toleransi
bersosial. Religiusitas disini berarti pengamalan agama sesuai keyakinan masing-
masing tanpa menjadikan satu agama menjadi agama negara. Sisi-sisi religiusitas
Partai Demokrat sebenarnya lebih cenderung pada proses upaya bernegara dan
berdemokrasi dengan tidak bertentangan dengan aturan agama secara universal. Hal
18
ini bisa dilihat dari visi misi Partai yang tidak secara jelas atau langsung
menggunakan satu agama tertentu sebagai landasan religiusitas sebuah ideologi. Visi
misi Partai Demokrat itu adalah sebagai berikut16:
- Visi Partai
Partai Demokrat bersama masyarakat luas berperan mewujudkan keinginan
luhur rakyat Indonesia agar mencapai pencerahan dalam kehidupan kebangsaan yang
merdeka, bersatu, berdaulat adil dan makmur, menjunjung tinggi semangat
Nasionalisme, Humanisme dan Internasionalisme, atas dasar ketakwaan kepada
Tuhan yang maha Esa dalam tatanan dunia baru yang damai, demokratis dan
sejahtera.
- Misi Partai
1. Memberikan garis yang jelas agar Partai berfungsi secara optimal dengan
peranan yang signifikan di dalam seluruh proses pembangunan Indonesia baru
yang dijiwai oleh semangat reformasi serta pembaharuan dalam semua bidang
kehidupan kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan kedalam formasi
semula sebagaimana telah diikrarkan oleh para pejuang, pendiri pencetus
Proklamasi kemerdekaan berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia
dengan titik berat kepada upaya mewujudkan perdamaian, demokrasi
(Kedaulatan rakyat) dan kesejahteraaan.
2. Meneruskan perjuangan bangsa dengan semangat kebangsaan baru dalam
melanjutkan dan merevisi strategi pembangunan Nasional sebagai tumpuan
16 DPP Partai Demokrat, Anggaran Dasar hal 84
19
sejarah bahwa kehadiran Partai Demokrat adalah melanjutkan perjuangan
generasi-generasi sebelumnya yang telah aktif sepanjang sejarah perjuangan
bangsa Indonesia, sejak melawan penjajah merebut Kemerdekaan,
merumuskan Pancasila dan UUD 1945, mengisi kemerdekaan secara
berkesinambungan hingga memasuki era reformasi.
3. Memperjuangkan tegaknya persamaan hak dan kewajiban Warganegara
tanpa membedakan ras, agama, suku dan golongan dalam rangka menciptakan
masyarakat sipil (civil society) yang kuat, otonomi daerah yang luas serta
terwujudnya representasi kedaulatan rakyat pada struktur lebaga perwakilan
dan permusyawaratan.
4. Meningkatkan kewaspadaan terhadap berbagai ideologi, paham dan pola
pikir yang bertentangan atau tidak sesuai dengan Pancasila.
Secara umum kader dan simpatisan Partai Demokrat adalah plural, mengingat
dasar ideologinya adalah nasionalis. Kader dan simpatisan Partai Demokrat banyak
berasal dari berbagai macam kalangan, seperti buruh, kelompok lintas agama,
akademisi, kaum muda dan berbagai suku. Selain itu simpatisan Partai Demokrat juga
berasal dari silent majority (komunitas diam) yang tidak begitu antusias dengan Partai
politik17. Fakta ini bisa dilihat dari perolehan suara Partai Demokrat pada pemilu
tahun 2004 yang berhasil masuk dalam urutan sepuluh besar Partai dengan pemilih
terbanyak.
17 http//:www.kpu.go.id/profil partai peserta pemilu 2004, browsing pada tanggal 15 Mei 2006
20
Di luar hal tersebut, dengan semakin kokohnya posisi partai demokrat setelah
keberhasilannya dalam mengusung SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) sebagai
presiden RI, secara tidak langsung hal tersebut menarik berbagai kalangan untuk
bergabung. Sebagaimana diketahui pasca Kongres Bali di tubuh Partai Demokrat diisi
oleh orang-orang baru yang sebelumnya bukan kader Partai Demokrat. Sebagai
misalnya adalah, mantan Kapolda Irjen Nur Faizi, mantan PB HMI dan anggota KPU
Anas Urbaningrum dan lain-lainnya.
21
BAB III
PRINSIP-PRINSIP DASAR NASIONALIS RELIGIUS PERSPEKTIF PARTAI
DEMOKRAT
A. Visi Kemanusiaan Dan Kebangsaan
1. meyakini bahwa tuhan menciptakan manusia berpasangan laki perempuan,
bersuku suku, berbangsa bangsa, beraneka budaya, beraneka potensi,
perbedaan mana yang dimaksud agar mereka saling berkenalan, saling
menghormati dan saling memberi manfaat satu sama lain (litaarafu) guna
mencapai tujuan bersama yakni kesejahteraan lahir batin. Visi ini
sebenarnya visi agama, visi wahyu tuhan (Q/49:13) kata litaarafu dari
arafa urf maruf marifah, mengandung arti kebaikan yang dikenal secara
common sence. Maknanya, manusia pada fitrahnya secara sosial
mengenali visi kebaikan. Dalam keberagaman sosial, perbedaan tidak
dipandang sebagai ancaman, tetapi sebagai potensi yang yang harus
dikelola sehingga menjadi sinergi. Fitrah manusia selalu menyukai
kesamaan dan juga perbedaan, senang berkumpul dengan kelompok yang
memiliki persamaan, sekaligus di kesempatan lain senang mencari yang
berbeda dengan yang lain, senang tampil beda.
2. secara sosial manusia berbeda beda tetapi ukuran keutamaan substansial
bersifat universal. Tuhan tidak melihat rupa pakaian, warna kulit dan
status sosial, tetapi hati dan jiwanya yang dilihat. Manusia yang bertuhan
22
tidak akan merendahkan orang lain hanya karena status sosial atau etnik,
sebaliknya mengapresiasi kemuliaan budi pekerti dan ahlak atau moralitas
(bahasa agamanya Taqwa: Inna akramakum indallahi atqakyum)18
3. pada dasarnya manusia adalah mahluk yang dimuliakan oleh tuhan, oleh
karena itu keharusan untuk menghargai dan menghormatyi orang lain
sejalan dengan keharusan menghargai dan menghormati diri sendiri.
Orang yang dirinya terhormat pasti dihormati orang lain. Dan
merendahkan orang lain bermakna sekaligus merendahkan diri sendiri.
4. sejarah telah mentakdirkan masyarakat Indonesia yang berbeda beda suku,
bahasa, budaya dan tradisinya dalam kesatuan kebangsaan, yaitu bangsa
Indonesia. Sesama elemen bangsa harus saling mengenal dan
mengapresiasi untuk selanjutnya saling membantu dan bekerja sama
membangun kejayaan bangsa.
5. perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia telah menorehkan
kepahlawanan yang luar bisaa, tetapi sebagai bangsa yang religius
mengakui bahwa kemerdekaan bangsa Indonesia tercapai adalah atas
berkat rahmat allah SWT, visi ini berasal dari konsep tahmid, ucapan
alhamduliilllah segala puji hanya milik allah maknanya bahwa betapapun
manusia telah berkarya besar tetapi hakikatnya adalah karena adanya
18 Harus diakui sumbangsih agama Islam dalam Konteks Nasionalis religius banyak didominasi oleh pemikiran islam, hal ini didasarkan pada kenyataan mayoritas penduduk Indonesia adalah Muslim, tetapi konsep-konsep tersebut juga tidak bertentangan dengan ajaran-ajaran agama yang lain. Wawancara dengan Ahmad Mubarok (wakil ketua DPP Partai Demokrat) Jakarta 19 Juni 2006
23
perkenan dari Allah, oleh karena itu segala pujian yang terima harus
pulangkan kepada tuhan yang paling berhak atas segala pujian.
B. Visi keberagamaan
1. bahwa keyakinan kepada suatu agama adalah merupakan hak asasi dan
tidak boleh dipaksakan. Visi ini juga merupakan visi wahyu (la ikraha
fiddin), (Q/2:256).
2. agama dalam arti keyakinan dan peribadatan tidak mengenal toleransi,
oleh karena itu setiap orang beragama tidak boleh mencampuri urusan
agama lain, sebaliknya memberi kemerdekaan sepenuhnya kepada setiap
pemeluk agama untuk menjalankan ibadah dan keyakinannnya. Visi ini
juga merupakan visi wahyu, yaitu, lakum dinukum waliyadin: agamamu
ya agamamu, agamaku ya agamaku, tidak perlu bertoleran kepada agama
yang ;lain tetapi orang yang beragama harus memberi kebebasan kepada
orang lain menjalankan agamanya. Agama tidak dituntut untuk toleran,
tetapi penganut agama secara sosial wajib toleran kepada penganut agama
yang lain.
3. kesalihan individual dalam beragama harus sejalan dengan kesalihan
sosial, saleh secara vertical dan saleh secara horizontal, kata salih berasal
dari kata kata salaha-sulh-maslahat,mengandung arti baikdamai dan
patuh. Orang yang saleh pasti baik (konstruktif) damai dengan lingkungan
dan patuh secara sosial.
24
4. visi keberagamaan (religiuitas) itu menyentuh kepada aspek-aspek
kehidupan;
a. Pluralitas etnik (ras, budaya, bahasa dan agama)
b. Nasionalitas; yakni kesadaran berbangsa
c. Hak asasi manusia; visi HAM menurut agama menyebut adanya
lima aspek kemanusiaan yang dilindungi hak haknya (alkulliyatul
khams) yakni perlindungan kepada jiwa atau diri (hifdz annafs),
keyakinan agama (hifdz din) harta (hifdzul mal) intelektual
(hifdzul aqal) dan kesucian keturunan (Hifdz Nasl).
d. Demokrasi, yakni mengembangkan musyawarah menghormati hal
mayoritas dan melindungi hak hak minoritas. Musyawarah bukan
untuk mencari kemenangan, tetapi mencari kebenaran dan
kebaikan.
e. Kemaslahatan, tujuan semua agama adalah kemaslahatan
(kebaikan) baik untuk individu, keluarga maupun masyarakat.
f. Kesetaraan jender secara proporsional setiap, orang dihormati dan
diapresiasi bukan karena faktor jender, tetapi karena kehormatan
diri dan kapasitas.
C. Visi kebudayaan
1. pada dasarnya manusia adalah mahluk budaya, yakni mahluk yang
memiliki konsep konsep yang memandu perilakunya. Kualitas karya
25
manusia (bentuk kebudayaan) sangat dipengaruhi oleh apa yang ada dalam
kepalanya (konsepnya).
2. setiap budaya memiliki nilai plus dan minus. Pergaulan lintas budaya akan
melahirkan proses salng mengenal, saling belajar dan saling menghargai,
interaksi dengan semangat apresiasi, nilai luhur budaya harus dipelihara
dan dijadikan perekat persatuan dan ketahanan budaya (ketahanan
nasional). Mengaadopsi nilai nilai budaya asing hanya pada hal hal yang
jelas jelas lebih baik dan sudah teruji. Prinsip ini berasal dari kaidah
sunni-almuhafadzatu alal qadimisalih, wal akhdzu bil jadidil aslah.
Artinya tradisi lama yang baik harus dipelihara dan mengambil yang baru
hanya yang suidah teruji lebih baik nilainya.
3. dalam hal kebudayaan, pada dasarnya semua kebudayaan boleh diadopsi
(akulturasi budaya) sepanjang tidak ada elemen elemen yang melarang,
pakaian, nyanyian, arsitektur, gaya hidup, sistem poleksosbud sepanjang
menganut nilai positif dan tidak mengandung elemen yang haram boleh
ditiru.
4. dalam urusan keduniawian (ekonomi sosial politik budaya) bekerjasama
dalam kebaikan dan saling membantu tidak harus memandang agama yang
dianut, tetapi dengan tetap mengedepankan nilai keadilan, kejujuran dan
kepatutan (Q/60;8)
26
D. Visi Kemasyarakatan
1. Dalam pergaulan sosial masyarakat religius, yang muda (yunior)
menghormati yang tua (senior) yang tua menyayangi (memaklumi,
mendorong, memberi kesempatan) kepada yang muda. Nilai ini berasal
dari hadis nabi; laisa minna man lam yuwaqir kabirana walam yarham
shaghirana ) artinya tidak termasuk golonganku orang yang tidak bisa
menghormati yang lebih tua dan tidak bisa menyayangi yang lebih muda.
2. keluarga merupakan barometer kesuksesan sosial, seorang pemimpin
masayarakat adalah yang juga bisa menjadi pemimpin dan teladan dalam
rumah tangganya.
3. solidaritas sosial berlangsung tanpa memandang perbedaan identitas
sosial, tetapi berdasar pada nilai kemanusian universal. Siapapun yang
memerlukan bantuan kemanusiaan berhak untuk menerima bantuan sosial
dari orang lain yang memiliki kemampuan.
E. Visi Etika Sosial Politik.
1. pada dasarnya manusia adalah mahluk politik, setiap ada kelompok
masyarakat pasti akan terbangun sistem kepemimpinan dan kekuasaan.
2. pemimpin adalah yang memegang suatu kekuasaan, tetapi fungsinya
adalah pelayan mayarakat, pemimpin tidak hanya berkuasa tetapi wajib
melayani kepentiangan yang dipimpin. Visi ini berasal dari etika agama,
27
sayyidul qaumi khadimuhum. Artinya pemimpin masyarakat pada
hakikatnya adalah pelayan mereka.
3. yang berhak menjadi pemimpin adalah orang yang memiliki kemampuan
untuk memberi kepada yang dipimpin (rasa aman, kemakmuran,
perlindungan, contoh teladan dll). Rekruitmen pemimpin selalu
memperhatikan faktor kemampuan berkomunikasi, ilmu pengetahuan
yang dibutuhkan dan senioritas.
4. masyarakat harus menghormati lembaga kepemimpinan. Mempermalukan
pemimpin yang telah dipilih bermakna mempermalukan diri sendiri.
Bangsa yang jatuh pemimpinnya dengan cara tidak terhormat dijamin
penggantinya tidak lebih baik dari yang dijatuhkan.
5. pemimpin yang tidak mampu mengakomodasi apalagi bertentangan
dengan aspirasi yang dipimpin, seyogyanya secara terhormat
mengundurkan diri sebelum diturunkan.
6. dalam hubungan kerjasama sosial politik baik dengan kawan maupun
dengan lawan poltik hendaknya selalu saling mengingatkan, mengkritisi
tapi dengan tujuan baik, konsisten beroreintasi kepada kebaikan dan
kepatutan dan mencegah terjadinya kemunkatran. Visi ini berasal dari
konsep amar ma’ruf nahi munkar artinya selalu mengajak kepada
kebaikan dan mencegah dari kemunkaran. Amar makruf nahi munkar
adalah sistem pengawasan dengan motivasi agama, bukan mencari cari
kesalahan, bukan sabotase, ada beberapa istilah alquran tentang norma,
28
yaitu alkhair, alma’ruf, almunkar dan fakhsiah. (a) alkhair adalah
kebaikan universal seperti kejujuran, keadilan, menolong yang lemah dsb.
(b) alma’ruf adalah sesuatu secara sosial dipandang baik dan patut,
seperti ukuran sopan dan tidak sopan ukuran besar dan kecil, banyak dan
sedikit, ukuran penting dan tidak penting. Sedangkan (c) munkar adalah
perbuatan jahat yang dibalut dengan argumen sehingga tidak terkesan
seperti kejahatan padahal sangat berbahaya, seperti komisi, mark up,
sumbangan sukarela tanpa tekanan (susu tante) uang semir, pelicin, dan
sebagainya dan (d) fahisiyah adalah sesuatu yang secara universal
dipandang sebagai kekejian , misalnya zina. Karena universal, maka
pezinapun marah jika istrinya dizinahi orang. Mengingatkan lawan poltik,
meski tujuannya baik tetap harus dengan cara yang beretika, jadi nahi
munkar pun harus dilakukan dengan cara ma’ruf, amar ma’ruf dengan cara
munkar akan menghasilkan kemunkaaran, apalagi nahi munkar dengan
cara munkar.
7. dalam menejemen kerja, harus mendahulukan penghargaan, reward,
(basyiran) dan menomorduakan hukuman, punishment (nadziran). Visi ini
berasal dari akhlak nabi basyiran wa nadziran, mendahulukan
memberikan kegembiraan , baru mengingatkan bahaya.
8. mengembangkan kearifan yang dapat disimpulkan dalam kalimat: keliru
memberi maaf itu lebih baik dari pada keliru menghukum, menyesal
29
karena diam itu lebih baik dari pada menyesal karena terlanjur bicara. Visi
ini juga berasal dari hadis nabi.
9. mengembangkan kebajikan, yakni kebajikan yang menakjubkan; seperti
memaafkan kesalahan musuh (menghapus dendam politik) menyantuni
orang yang pernah didzalimi dan lain sebagainya. Visi ini berasal dari
bybel dan hadis nabi.
10. pihak yang kalah secara demokratis hendaknya mengakui kekalahannya
dan mendukung secara positif pada lawannya yang menang, sedangkan
pihak yang menang hendaknya merendahkan diri dengan ungkapan bahwa
kami bukanlah yang terbaik, tetapi beruntung memperoleh kemenangan
berkat rahmat Allah.
11. tidak terjebak pada cinta berlebihan dan benci berlebihan. Visi ini berasal
dari tasauf al Gazali ahbib habibaka haunan ma ‘asa an yakuna
baghidaka yauman ma, wa abghid baghidaka haunan ma’ asa an yakuna
yauman ma. Artinya, cintailah kekasihmu sederhana saja, siapa tahu
dibelakang hari ia menjadi orang yang paling kau benci, bencilah
musuhmu sederhana saja, siapa tahu dibelakang hari ia akan menjadi
kekasihmu.
12. berfikir ulang sebelum merespon final, visi ini berasal dari wahyu
(Q/2:216). Apa yang kau sukai mungkin berakibat buruk bagimu, dan apa
yang tidak kau sukai mungkin justru baik untukmu.
30
F. Visi Etika Sosial Ekonomi
1. Bahwa dalam setiap produk (misalnya mobil, rumah, dlsb) hingga berujud
sempurna prosesnya, telah melibatkan ratusan dan mungkin ribuan tangan
manusia ( menurut teori ibnu khaldun produk seribu tangan) oleh karena
itu setiap kekayaan yang miliki tidak sepenuhnya milik, tetapi
didalamnya ada fungsi sosial.
2. Harta kekayaan adalah anugrah tuhan kepada manusia, dan merupakan
alat untuk merncapai keutamaan dalam kehidupan, bukan tujuan hidup,
karena harta merupakan alat hidup, maka seberapa banyak orang boleh
memiliki kekayaan tergantung sejauh mana ia mencapai keutamaan. Jiak
seseorang bercita cita melakukan karya besar dan keutamaan yang tinggi
dan banyak maka ia memerlukan banyak kekayaan.
3. Bahwa di dalam harta si kaya terdapat bagian yang menjadi milik orang
lain (fakir miskin) yang harus dibayarkan. Semakin meningkat kekayaan
seseoarang, maka semakin besar pula porsi milik orang lain yang
membutuhkan. Oleh karena itu perlu diatur sistem yang menjamin
dibayarkannya hak orang lain, dalam agama Islam disebut zakat, infak,
sedekah, dalam bybel disebut persepuluhan. Pada tatanan masyarakat yang
konsisten menjalankan sistem ini orang kaya dicintai orang miskin,
mereka berterima kasih dan selalu mendoakan agar sikaya bertambah
kaya. Pada tatanan masyarakat yang tidak mempedulikan sistem ini,
31
kesenjangan sosial akan melebar, orang miskin dendam kepada sikaya,
dan setiap melakukan anarkhi setiap peluang terbuka.
4. Harta kekayaan itu ibarat air, jika mengalir maka airnya bersih dan indah
dilihat. Harta itu ibarat pohon, jika sering digunting secara berkala
(beramal) maka pohon itu akan menjadi segar karena tumbuhnya ranting
dan daun baru. Pohon yang tidak pernah digunting tumbuhnya tinggi
tetapi tidak indah.
5. Kejujuran dalam kegiatan ekonomi (bekerja atau berbisnis) akan
mendatangkan keberkahan hidup, berbisnis secara curang meski
mendatangkan keuntungan besar, dijamin akan mendatangakan
kegersangan dalam hidup, dirinya dan keluarganya. Berkah artinya
terdaya gunanya nikmat tuhan secara optimal, orang yang hidupnya
berkah, tidak ada serupiahpun hartanya yang tercecer tidak bermanfaat,
lawannya adalah mubazir, banyak biaya keluar tetapi tidak mendatangkan
manfaat.
32
BAB IV
IMPLEMENTASI NILAI-NILAI RELIGIUSITAS DALAM BERPOLITIK DI
TENGAH PLURALISME BANGSA
A. Nasionalis Religius Sebagai Jalan Tengah Perdebatan Ideologi di
Indonesia : Strategi politik Partai Demokrat ?
Tujuan bernegara adalah mencerdaskan kehidupan bangsa, meningkatkan
kesejahteraan hidup (kemakmuran, keadilan, keamanan dll)19, semua ini akan dicapai
melalui demokrasi untuk menuju ke arah sana harus mempunyai kendaraan yang
namanya Partai Politik.. Partai politik berfungsi untuk merepresentasikan,
mengartikulasikan dan mengagregasikan kebutuhan dan kepentingan publik, juga
memegang peranan strategis dan penting dalam upaya mencapai tujuan bernegara.
Termasuk juga Partai politik berperan dalam pengelolaan keuangan negara secara
lebih transparan, partisipatif dan akuntabel. Sebaliknya jika Partai politik tersebut
tidak menempuh pilihan ini, hampir dapat dipastikan akan ditinggalkan masyarakat,
Hasil pemilu 2004 telah mengantarkan Partai Demokrat sebagai Partai new comer
dengan nomor urut 9 dari 24 peserta pemilu pada pesta demokrasi pemilu 2004
19 Lihat Mas'oed, Mohtar, Negara Kapital dan Demokrasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar 1999. di
dalam buku tersebut mengupas tentang teori demokrasi beserta cakupan-cakupan yang berkaitan dengan regulasi ekonomi, kepemimpinan, dan kepemerintahan secara luas.
33
mampu masuk di peringkat 5 besar dengan jumlah pemilih 8.455.225 atau mendapat
prosentase pemilih sekitar 7,45% dengan meraih jatah kursi 57 di legislatif.20
Keberhasilan tersebut tentunya juga didasari oleh strategi yang diterapkan
dalam sosialisasi Partai dan kampanye dengan menyampaikan visi misi Partai dan
janji-janji yang akan direalisasikan apabila Partai Demokrat memegang lembaga
eksekutif. Partai Demokrat yang pada pemilu 2004 menuai kesuksesan dengan meraih
posisi 5 besar, sebenarnya lebih didasarkan pada keberhasilan penanaman ideologi
Partai yang nasionalis religius yang disosialisasikan ke tengah-tengah masyarakat,
dari pada janji-janji pada waktu kampanye yang digemborkan. Hal ini lebih diperkuat
lagi dengan sosok sentral SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) yang selalu
menampilkan sosok yang nasionalis dengan tanpa mengacuhkan perilaku religius.
Selain keberhasilan Partai Demokrat dalam menampilkan sosok SBY (Susilo
Bambang Yudhoyono) yang nasionalis religius, keberhasilan Partai Demokrat
sebagai the best new comer dalam pemilu 2004 juga tidak terlepas dari kekhawatiran
sebagian masyarakat Indonesia terhadap munculnya kembali ideologi puritan dan
ideologi komunisme-marxisme-leninisme21.
Dalam dataran teoretis, ajaran-ajaran komunisme-marxisme-leninisme
semestinya boleh saja dipelajari sebagai sebuah wacana intelektual-ilmiah yang bisa
membantu masyarakat memperluas cakrawala pemikiran yang semakin
20 Rudy Alamsyah, Partai Demokrat Menyongsong Pemilu 2009 http;//Demokrat.or.id 08/06/2006
21 Ruslani, Nasionalisme Religius, Kompas Rabu, 12 April 2005
34
mencerdaskan dan mendewasakan bangsa Indonesia. komunisme-marxisme-
leninisme tentu harus dilarang kalau sudah dijadikan sebagai ideologi dan gerakan,
karena ketiganya tidak sesuai dengan masyarakat Indonesia yang umumnya menganut
agama22. Karena itu, politik Indonesia diharapkan menjadi sebuah politik yang tetap
diwarnai dengan nilai-nilai spiritual-keagamaan, politik yang tidak sepenuhnya
terlepas dari koridor moral dan nilai-nilai ketuhanan yang menjadi landasan dan dasar
ideologi negara indonesia. Mereka inilah yang dalam wacana politik biasanya disebut
sebagai kaum "nasionalis religius".
Sekalipun mereka menolak ide-ide sekular, kaum nasionalis religius tidak
menolak sama sekali politik sekular, termasuk politik negara-bangsa (nation-state)
modern, sejauh negara-bangsa dipahami sebagai format modern kebangsaan di mana
otoritas negara secara sistematis meliputi dan mengatur bangsa secara keseluruhan,
baik melalui jalan demokratis maupun totaliter. Negara-bangsa modern secara moral
dijustifikasi konsep nasionalisme. Kaum nasionalis religius begitu kuat menolak
nasionalisme sekular yang telah kehilangan nilai-nilai moral dan spiritual. Namun,
mengingat Indonesia bukanlah sebuah negara teokrasi, hubungan antara agama dan
politik tidak bisa harus bersifat formal-legal, tetapi yang lebih sesuai adalah
hubungan yang bersifat substantifistik. Artinya, kaum nasionalis religius tidak lagi
menuntut pembentukan sebuah negara berdasarkan agama tertentu. Namun, berdasar
pemahaman mereka terhadap baik ajaran agama maupun corak sosiologis masyarakat
22 Baca Bunga Rampai Tokoh Islam Dan Nasionalis, Jakarta: DPP KNPI 2000, di dalamnya terdapat kumpulan artikel yang kesemuanya menolak bangkitnya kembali komunisme. Artikel-artikel tersebut ditulis oleh tokoh-tokoh nasional.
35
Indonesia yang sangat heterogen, mereka berkiprah dalam pembangunan sebuah
sistem sosial-politik yang mencerminkan, atau sejalan dengan, prinsip-prinsip umum
nilai-nilai agama, termasuk keadilan, musyawarah, egalitarianisme, dan partisipasi.
Agama, baik secara teologis maupun sosiologis, sebenarnya sangat mendukung
pendemokrasian politik, ekonomi, dan kebudayaan. Semua agama, lebih-lebih yang
berasal dari tradisi Ibrahimi (Yahudi, Kristen, dan Islam), muncul dan berkembang
dengan misi untuk melindungi dan menjunjung tinggi harkat manusia.23
Pengaktualan dari nilai kemanusiaan yang amat substansial dan universal selalu
mengasumsikan terwujudnya keadilan dan kemerdekaan yang diyakini sebagai hak-
hak asasinya. Dalam konteks ini, demokrasi dan pendemokrasian merupakan kondisi
niscaya bagi terwujudnya keadilan dan hak kemerdekaan manusia. Dengan demikian,
meskipun agama tidak secara sistematis mengajarkan praktik demokrasi, agama
memberikan etos, spirit, dan muatan doktrinal yang mendorong bagi terwujudnya
kehidupan yang demokratis. Karena itu, persoalan agama dan demokrasi tidak bisa
hanya dilihat dari tataran teologis-normatif, tetapi juga melibatkan faktor politis-
sosiologis. Meski begitu, karena muatan agama selalu bersifat normatif, maka akan
jelas, pada dasarnya agama sangat concerned dan committed dengan upaya
pendemokrasian. Namun, barangkali perhatian yang lebih mendasar dari agama
bukan demokrasi dalam bentuk formal, tetapi tujuan yang hendak diraih dengan
pendemokrasian itu sendiri, terutama terwujudnya keadilan dan hak-hak asasi
manusia. Dengan demikian, agama selalu muncul sebagai kekuatan revolusioner,
23 Wawancara dengan Ahmad Mubarok (wakil ketua DPP Partai Demokrat) Jakarta 19 Juni 2006
36
transformatif, dan liberatif24. Sejarah agama dan ideologi besar dunia memberikan
data pada kita bahwa agama merupakan sumber nilai dan kekuatan yang tak pernah
kering untuk melahirkan gerakan anti kezaliman, anti tirani, anti penindasan, dan
sejenisnya. Pendeknya, meski agama sering disalahgunakan penguasa negara maupun
organisasi keagamaan, agama tetap merupakan sumber kekuatan bagi upaya
pendemokrasian. Pada tataran ini, agama tidak berbicara tentang sistem, melainkan
muatan substansial dan spirit serta arah demokrasi, seperti halnya doktrin Islam yang
amat menekankan pada prinsip keadilan, musyawarah, pemihakan pada kaum
tertindas dan teraniaya.
Upaya untuk menjadikan agama sebagai sumber moral politik dan kekuatan
pendemokrasian tidak boleh melenceng menjadi praktik penggunaan agama sebagai
sumber perpecahan, dan agama disalahgunakan untuk memperkuat kedudukan
penguasa, apalagi untuk menutupi kebenaran. Untuk itu, peningkatan religiusitas,
keimanan, dan ketakwaan sebagai esensi dari fenomena manusia religius harus lebih
menjadi being religious ketimbang sekadar having religion,25 Karena, religiusitas
bersifat inklusif sehingga siapa pun tidak perlu menyangsikan fungsi dan kebaikan
religiusitas dalam diri manusia yang merasakan suatu kerinduan kepada segala yang
transenden yang akhirnya bermuara pada Tuhan, sumber dari segala sikap baik, suka
24 Semangat spiritual pernah menjadi penyemangat untuk melaksanakan revolusi, sebagaimana yang pernah terjadi di Negara Iran untuk menggulingkan rezim sebelumnya, revolusi ini dipimpin oleh Imam Besar Ayatullah khoemaini pada Bulan Februari 1979
25 Chusnan Maghribi, peminat masalah politik CIIS di Yogyakarta http.www://media.online Sabtu, 10 Januari 2004
37
damai dan saling mengangkat, sambil mencari dengan jujur dengan rasionalitas
ilmiah maupun kepercayaan intuitif akan keberadaan diri manusia serta alam raya.
Dari paparan tadi, Partai Demokrat cukup lihai dalam mengemas ideologi. Hal
ini terbukti dengan banyaknya konstituen/simpatisan yang bergabung denga Partai
Demokrat. Ada yang membedakan ideologi Partai Demokrat dengan Partai yang lain.
Meskipun Partai GOLKAR dan PDIP sama-sama tidak mengabaikan semangat
keagamaan dalam akar bangsa indonesia, tetapi kedua Partai tersebut tidak secara
langsung menyebut dirinya sebagai Partai yang religius. Sebagaimana diketahui,
elemen yang memperkuat kedua Partai tersebut juga diisi oleh tokoh-tokoh yang
sangat kental dengan semangat keagamaan, seperti Akbar tanjung di tubuh Partai
GOLKAR adalah salah satu aktivis HMI (Himpunan Mahasiswa Indonesia) demikian
juga dengan Gus Hasib di PDIP (Putera KH. Abdul Wahab Hasbullah) adalah tokoh
yang sangat kental dengan NU.
Selain alasan tersebut, ada juga yang membedakan pada waktu pencalonan SBY
(Susilo Bambang Yudhoyono) sebagai presiden RI dengan calon-calon lainnya.
Sebagaimana diketahui sebelumnya seluruh bursa calon selalu mengedepankan
penggabungan elemen bangsa yakni kelompok nasionalis dan religius. Contohnya
adalah pasangan Megawati Soekarnoputri dan K.H Hasyim Muzadi, atau pasangan
Amien Rais dan Siswono Yudhohusodo. termasuk juga pasangan Wiranto dan
Solahuddin Wahid, selalu menyebut diri sebagai Dwitunggal Nasional yang seolah-
olah ingin mewarisi sosok Dwitunggal Soekarno dan Muhammad Hatta. Dalam alam
pikiran mereka, Soekarno merupakan representasi nasionalis dan Bung Hatta adalah
38
titisan dari kubu agamis. Poster-poster kampanye Megawati dan Hasyim terpampang
kata-kata “Menyatunya Dua Kekuatan Terbesar Bangsa” dengan disertai foto
Megawati dan Hasyim dalam edisi close up. Amien Rais secara eksplisit menyebut
pendampingnya, Siswono, sebagai the first class nasionalist dan menyebut duet
tersebut sebagai kombinasi menarik antara religius-nasionalis yang direpresentasikan
Amien dan nasionalis-religius yang diwakili Siswono. Publik seakan tak mau tahu
apa makna yang sebenarnya tersirat dan tersurat dari dua istilah tersebut. Perbedaan
SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) dengan calon lainnya adalah, SBY (Susilo
Bambang Yudhoyono) mampu merepresentasikan nasionalis religius menjadi satu
dalam dirinya tanpa harus terbagi dalam dua sosok. Keberhasilan tersebut
mengisyaratkan bahwa sudah saatnya untuk tidak lagi mendikotomikan antara
nasionalis dan religius.
Realitas politik saat ini tampaknya tidak cukup punya tenaga untuk mengubur
skisma lama ihwal perkubuan atau faksionalisasi antara kaukus agama dan nasionalis.
Padahal sebenarnya labelisasi semacam ini telah ditempatkan pada konteks yang
tidak sepenuhnya tepat26. Orang kemudian akan mudah berasumsi bahwa kalangan
agamis tak tentu (bahkan tak mungkin) nasionalis. Demikian pula sebaliknya.
Sebagai simbol dari basis massa, mungkin kosa istilah ini cukup bisa dipahami.
Namun sebagai perlambang dari citra diri dan identitas secara personal, jelas hal itu
perlu dikoreksi. Karena ternyata tak sedikit kaum nasionalis yang cenderung lebih
memiliki kesadaran dan pengamalan agama yang benar ketimbang mereka yang
26 artikel M. Ali Hisyam. HTT///:WWW.tempointeraktif.com 01/04/2005
39
mengklaim diri sebagai agamis. Demikian juga sebaliknya. Bahkan dalam diktum-
diktum hampir setiap agama dikenal apa yang disebut cinta tanah air atau
nasionalisme (dalam khazanah Islam disebut al-wathaniyyah atau hubb al-wathan)
yang dianggap sebagai bagian penting dari iman seorang (agamis). Oleh karenanya,
perlu direnungkan kembali pemakaian istilah ini terkait dengan kognisi sosial
masyarakat kita. Lain dari itu, butuh pula difikirkan bagaimana efek sosial yang
mungkin timbul akibat pemilahan dikotomis tersebut di masa-masa yang bakal
menjelang. Agama, kemudian menjadi “komoditas” yang bisa seenaknya ditarik-tarik
dalam ranah kepentingan politik praktis. Terasa wajar bila ada sebagian yang risau
jika dikotomi serupa ini terus didentumkan secara tak terarah. Kekhawatiran senada
ini bermuara dari adanya keinginan supaya tidak ada lagi kesalahkaprahan dalam
pemaknaan istilah tersebut. Sehingga kesan bahwa agamis “versus” nasionalis adalah
dua entitas yang saling tikai dan sukar diakurkan, dapat perlahan dicairkan.
Bagaimanapun memaksa emblem agama untuk dibawa ke kancah politik, dalam
wacana demokrasi kebangsaan yang belajar tumbuh seperti di Indonesia, adalah hal
yang musykil
Dalam konteks ini, ajakan untuk tidak lagi mempersoalkan dikotomi agamis-
nasionalis terasa relevan diterapkan. Dengan demikian, kemajemukan hidup
beragama memungkinkan untuk teduh, terayomi dan tak ternoda “asap hitam” dunia
politik. Perlu kiranya diterapkan. Alquran menuntun umatnya untuk tidak
“berlebihan dalam beragama” (laa taghluw fii diinikum), sebab agama pada dasarnya
merupakan penjabaran dari seperangkat pola hidup yang terbuka, sederhana dan jauh
40
dari rumit. Karenanya ia senantiasa menyodorkan dimensi kelapangan serta
kemudahan dengan turut mendamaikan penyekatan antara kubu agamis dan
nasionalis ini, setidaknya para elit politik (serta disokong para intelektual dan pemuka
agama) telah berusaha menjalankan fungsinya sebagai sentrum pembentukan
kesadaran (centers of rational thought) publik yang cerdas dan membebaskan.
B. Implementasi Nilai-nilai Religiusitas Partai Demokrat : sebuah proses
agenda jangka panjang.
Selama ini sebuah implementasi yang telah dipraktekkan oleh Partai Demokrat
lebih bersifat pada tataran kultural kegiatan keagamaan yang substansial, bukan pada
tataran syariah yang legal formalistik. Sebagai partai yang berasaskan Pancasila dan
berideologi nasionalis religius, Partai Demokrat lebih menekankan pada semangat
berbangsa yang bermoral dengan tidak melanggar ajaran agama. Sehingga secara
kasat mata simbol-simbol religiusitas menjadi tidak nampak. Tentunya hal ini sangat
berbeda dengan kelompok puritan (Islam Politik) yang ingin mengetrapkan nilai-nilai
ajaran agama secara formalistik. Sudah barang tentu kelompok ini akan menjalankan
ajaran agama secara menyeluruh ke dalam sebuah negara. Sebagai contoh adalah
kewajiban dalam berjilbab bagi kalangan Islam Politik, sebagai kelompok yang
berasaskan pada agama (Islam) pemakaian jilbab dalam Islam poltik adalah
merupakan sebuah kewajiban. Partai Demokrat dengan ideologi nasionalis
religiusnya memandang hal tersebut sebagai urusan individual, tanpa harus
41
dilegalformalkan. Kegiatan yang bersifat kolektif yang telah dilakukan oleh
konstituen partai demokrat sebagai contohnya adalah pelaksaan pengajian rutin yang
dilakukan setiap minggu bagi kader muslim. Selain hal itu, kegiatan spiritual
keagamaan yang dilakukan adalah berupa perayaan hari-hari besar keagamaan. Partai
Demokrat beserta kadernya memfasilitasi adanya peringatan tersebut.
Dalam ilmu negara, ketika agama tidak diatur secara legal formal oleh negara,
maka urusan agama dengan sendirinya menjadi tanggung jawab individu
pemeluknya27. Partai Demokrat memandang Indonesia adalah Negara yang majemuk,
tetapi di sisi lain harus diakui indonesia adalah negara yang mempunyai akar budaya
spiritual yang kuat, sehingga tidak dimungkinkan Negara indonesia memarjinalkan
urusan agama. Maka jika ditarik pada garis agama, maka Partai Demokrat bukanlah
sebuah partai yang berdasarkan pada satu agama tertentu, melainkan semangat-
semangat keagamaan senantiasa melapisi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sebagai contoh adalah RUU anti kemaksiatan, secara tegas Partai Demokrat
mendukung adanya RUU tersebut, tetapi dukungan tersebut bukan dilandaskan pada
satu agama, melainkan partai Demokrat memandang bahwa segala kemaksiatan itu
bertentangan dengan nilai-nilai kebaikan manusia. Pada tataran ini, agama tidak
berbicara tentang sistem, melainkan muatan substansial dan spirit serta arah
demokrasi, seperti halnya doktrin Islam yang amat menekankan pada prinsip
keadilan, musyawarah, pemihakan pada kaum tertindas dan teraniaya.
27 Magnis Suseno, Etika Politik; hal 356
42
sebagai sebuah partai yang belum lama berdiri, tentunya harus masih melewati
banyak tantangan ke depan. Sebagai sebuah partai yang ingin mengimplementasikan
apa yang terkandung dalam ideologi
43
BAB V
Saran dan Kesimpulan
Ideologi sebuah partai dalam pentas perpolitikan nasional tentunya tidak bisa
menggambarkan kondisi realita sosial sebuah bangsa, dalam hal ini Partai Demokrat
dengan ideologi nasionalis religiusnya masih akan menjalani perjalanan panjang
untuk realisasi ke depannya. Sebuah ideologi yang didasarkan pada kompromistis dua
buah ideologi, yakni ideologi nasionalis dan ideologi religius, tentunya akan menjadi
bias pemaknaannya ketika kehadiran ideologi tersebut berhadapan pada kelompok
masyarakat yang bersifat puritan (Islam politik), kelompok ini secara jelas memaknai
bahwa apapun bentuk sebuah ideologi yang mengandung unsur dari luar agama
(Islam) adalah sekuler. Jadi unsur religiusitas sebuah ideologi meski jelas induknya.
Karena kalau hanya memakai kata religius yang menempel pada kata nasionalis,
maknanya masih belum kuat dan jelas. Sehingga pemahaman yang muncul adalah
Partai Demokrat adalah sebuah partai yang murni nasionalis.
Keberadaan partai Demokrat dalam mengusung religiusitas dalam berbangsa
masih dalam tahap proses, sedangkan untuk realita praktisnya masih bergeliat dalam
wacana. Apa yang diperjuangkan sebagai nilai religiusitas semuanya hanya sebagai
substansi. Karena kalau yang dititik beratkan adalah substansi, maka makna
religiusitas lebih terfokus pada pengamalan nilai-nilai agama secara individual. Hal
ini bisa dimaklumi karena pemaknaan religius tidak berafiliasi pada suatu agama
44
tertentu, melainkan pemaknaan religiusitas berpijak pada fungsi agama yang
universal, yakni, berbuat baik dan menentang segala perbuatan keji.
Di luar permasalahan Ideologi yang menjadi tarik menarik dalam bernegara,
ternyata apa yang dinamakan ideologi tersebut dalam prakteknya masih belum
maksimal, mengingat belum nampak kebijakan-kebijakan yang muncul berdasarkan
ideologi. Selama ini segala kebijakan yang muncul lebih berdasar pada kepentingan
dan bargain tertentu. Sedangkan ideologi sebagai sebuah garis perjuangan yang
harusnya diletakkan pada posisi dasar menjadi terabaikan. Hal ini bisa diketahui
karena keberadaan partai di indonesia belum ada yang mencapai pada tahap single
majority pasca orde baru.
Kategori nasionalis-religius apakah sebagai fakta budaya atau politik, haruslah
dimaknai sebagai kombinasi ideal untuk membangkitkan Indonesia dari keterpurukan
di berbagai bidang. Artinya, seoarang yang nasionalis haruslah pula berkarakter
agamis dalam pengertian formal dan etis, dan untuk dalam diri Partai Demokrat,
sebenarnya karakter ini sudah dimiliki dan diperankan oleh kader Partai Demokrat,
yaitu Susilo Bambang Yudhoyono. Sebaliknya, seseorang atau partai yang religius,
dengan sendirinya harus memiliki nasionalisme yang kuat. Sebab, dalam agama pun
dikatakan bahwa membela tanah air merupakan bagian dari keimanan. Semangat
nasionalistis dengan wawasan keagamaan ini sejatinya dapat bersinergi untuk
membangun kekuatan secara gotong royong.
45
Apa pun latar belakang ideologi sebuah partai, mempertimbangkan
kepentingan bersama yang lebih fundamental seperti memberantas KKN dan agenda
law enforcement adalah isu yang lebih nyata dan substantif di mata rakyat. Di atas
segalanya, aktor politik yang beratribut idiologi nasionalis, agama, sosialis, bahkan
sekuler sekalipun, atas nama demokrasi, haruslah tetap menjaga etika tutur kata,
pergaulan politik, dan lebih penting dalam berperilaku. Bukankah Soekarno yang
nasionalis dan M Natsir yang religius, meskipun berdebat sangat sengit soal ideologi
negara, keduanya adalah sahabat sejati dan berjiwa negarawan.
46
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Taufik. Islam dan Politik di Indonesia; Sebuah Tinjauan dari
Pengalaman Histories. Jakarta: proyek studi politik dalam negeri. Arkoun, Mohammed, Nalar Islami dan Nalar Modern: Berbagai Tantangan dan
Jalan Baru, Jakarta INIS 1994 Bell, Daniel, Matinya Ideolog; Penerjemah Nuswantoro, Magelang; Indonesia
Tera 1999 Budiarjo, Miriam, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia 1999 Effendi, Bahtiar, Islam dan Negara:Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik
Islam di Indonesia,Jakarta: Paramadina 1998 Fatah, Eep Saifullah. Zaman Kesempatan; Agenda-Agenda Besar Demokratisasi
Pasca Orde Baru, Bandung: Mizan 2000 Geertz, Clifford, Religion of Java Chicago and London: Universityof Chicago
press 1976. Haramain, A Malik, Mengawal Transisi; Refleksi Atas Pemantauan Pemilu 1999,
Jakarta: Jaringan Masyarakat Pemantau Pemilu Indonesia 2000 Harjanto, Nicholas, Memajukan Demokrasi Mencegah Disintegrasi, Yogyakarta:
Tiara wacana 1998 Hikam, Muhammad AS, Demokrasi dan Civil Society, Jakarta: LP3ES 1999 Iskandar, Muhaimin, Pancasila Sebagai Pemersatu Bangsa: Orasi Harlah Garda
Bangsa Jakarta: DPP Garda Bangsa 2006 Kusnardi, Moh, Sh, Ilmu Negara; Edisi Revisi:Jakarta: Gaya Media Pratama 1998 Karim, M Rusli, Negara dan Peminggiran Islam Politik, Yogyakarta: Tiara
Wacana Yogya 1999 Maarif, Syafi’i, Islam dan Politik di Indonesia. Jakarta: IAIN Sunan Kalijaga
Press 1998
47
Magnis Suseno, Franz, Etika Politik; Prinsip Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Jakarta; Gramedia Pustaka Utama ,1999
Mas'oed, Mohtar, Negara Kapital dan Demokrasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
1999 Mubarok, Ahmad,Dr, Nasionalis Religius Jati Diri Bangsa Indonesia, Jakarta:
Bina Rena Pariwara, 2004 Mulia, Musdah, Negara Islam; Pemikiran Politik Husain Haikal, Jakarta:
Paramadina 2001 Rahman, Abdul; Ideologi, Idealisme, dan Pluralisme Bangsa, ; Jakarta: ISIS
nomor VI/Agustus 2002 Rasyidi, H.M. Koreksi Terhadap Drs. Nur Cholis Madjid Tentang Sekularisasi.
Jakarta : Bulan Bintang 1972 Soehino,SH. Ilmu Negara, Yogyakarta; Liberty, 1998 Saydan, Ghozali, Dari Bilik Suara Ke Masa Depan Indonesia, Jakarta ; Raja
Grafindo Persada 1999 Sjadzali, Munawwir, Islam Dan Tata Negara; Ajaran, Sejarah Dan Pemikiran,
Jakarta :UI Press 1993 Sumargono, Ahmad, Menolak Bangkitnya Kembali Komunisme, Jakarta : DPP
KNPI 2000 Surbakti, Ramlan, Memahami Ilmu Politik, Jakarta: PT. Gramedia 1999 Syamsuddin, Din. Islam dan Poltik Era Orde Baru. Jakarta : Logos wacana ilmu
2001 Syamsuddin, Nazaruddin, Profil Budaya Poltik Indonesia, Jakarta: Pustaka
Utama Grafiti 1997 Wahid, Abdurrahman, Membangun Demokrasi. Bandung: Rosda karya 1999 --------------------------, Mencari pemimpin Umat Bandung: Mizan 1999 Yusanto, Ismail, Islam Ideologi; Refleksi Cendekiawan Muda, Bangil: Al-Izzah
1998
48
Wawancara dengan DPP Partai Demokrat Max Sopacua : ketua Pendidikan, Pemuda dan KOMINFO (15 juni
2006) Ahmad Mubarok : Wakil Ketua DPP Partai Demokrat (22 November
2005 & 19 Juni 2006) Habib Agus Abu Bakar : Ketua KESRA (Sosial, Agama dan Kepercayaan) (28 juni 2006) Website ; http///www.demokrat.or.id http///www.kompas.com Http///:google.com http///www. Tempointeraktif.com http///www.media.on.line http///www.tokohindonesia.com
49
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ………………………………………………………………
DAFTAR ISI ………………………………………………………………………..
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah …………………………………………1
B. Tujuan Penelitian ……………………………………….……..…4
C. Pembatasan Masalah ……………………………………….…….5
D. Perumusan Masalah …………………………………………..… 6
E. Metodologi Penelitian ……………………………………………6
F. Sistematika Penulisan ……………………………………………7
BAB II PENGERTIAN DASAR IDEOLOGI NASIONALIS RELIGIUS
A. Pengertian dasar tentang Ideologi. ……………………………....10
B. Pengertian umum tentang ideologi nasionalis religius…………..13
C. Partai Demokrat sebagai pengusung ideologi nasionalis
religius……………………………………………….……….….16
BAB III PRINSIP-PRINSIP DASAR NASIONALIS RELIGIUS
PERSPEKTIF PARTAI DEMOKRAT
A. Visi kemanusiaan dan kebangsaan………………………….…...22
B. Visi keberagaman……………………………………………..…24
50
C. Visi kebudayaan……………………………………….…………25
D. Visi kemasyarakatan…………………………………….……….27
E. Visi etika sosial politik…………………………………………..27
F. Visi etika sosial ekonomi…………………………………….......31
BAB IV IMPLEMENTASI NILAI-NILAI RELIGIUSITAS DALAM
BERPOLITIK DI TENGAH PLURALISME BANGSA
C. Nasionalis religius sebagai jalan tengah perdebatan ideologi
di Indonesia : Strategi politik Partai Demokrat ?............................33
D. Implementasi Nilai-nilai religiusitas Partai Demokrat :
Sebuah proses agenda jangka panjang ………….…………....….41
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ………………………………………………….…44
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………..…….47
51
KATA PENGANTAR
BismillahirrahmAanirrahiim
Syukur penulis panjatkan ke hadirat-Nya, Allah azza wa jalla, dzat yang
menjadi tumpuan harapan akan kekuatan iman dan islam bagi penulis dhoif untuk
dapat menyelesaikan kreasi intelektual ini.
Kepada manusia paling mulia Nabi Muhammad Saw, penulis banyak
memetik suri tauladan ahlakul karimah yang senantiasa beliau ajarkan demi
menegakkan cita-cita kemanusiaan yang berbudi luhur beriman, serta bertaqwa.
Sejumlah nama nama penting perlu kiranya penulis sebutkan untuk
menghaturkan rasa terima kasih setinggi-tingginya seiring terselesaikannya penulisan
skripsi ini. Kepada ketua jurusan program studi pemikiran politik islam, Drs
Syamsuri M.ag. beserta sekertaris jurusan terkait, Dra. Wiwi Syajaroh.M.ag.
khusunya kepada Prof. DR. Ahmad Mubarok M.A. yang berkenan menjadi
pembimbing skripsi sekaligus banyak membantu dalam teknis lapangan. Kepada
pihak rektorat: Prof.DR. Azyumardi Azra beserta staf jajarannya: Pihak Dekanat
Fakultas Ushuluddin: Dr Amsal bahtiarMA. Beserta jajaran staf.
Utamanya kepada orang tua penulis. Berkat perhatian yang tulus dan doanya
penulis mendapatkan kesadaran yang bernilai tentang arti hidup. Tanggung jawab dan
Kekuatan untuk terus bisa menjalankan aktifitas hingga dapat menyelesaikan tugas
akhir kuliah. Tidak lupa pula kepada kakak tercinta Arif Hidayatullah dan A. Prayitno
yang telah banyak membantu penulis selama menjalani kuliah di Ciputat.
52
Secara khusus penulis juga ingin menyampaikan rasa terimakasih Untuk dua
orang sahabatku yang telah membangkitkan semangat untuk melanjutkan pendidikan
ke bangku kuliah yakni saudara Abdul Malik dan Mustajib, semoga allah
memberikan rahmat serta kesuksesan di masa mendatang.
Untuk seluruh sahabat sahabat yang telah memberikan support dan
motivasinya Kepada penulis, yakni teman-teman PPI angkatan 99: Acom, Rafi, M.
Yusuf, Ulfi Aki, hadi ambon, Nise, Iqoh, Riki, Iis dan segenap teman teman
kelompok KKN di kelurahan pesanggrahan Cisoka 2002 yang tidak dapat penulis
sebutkan satu per satu. Rasa terima kasih juga penulis ingin sampaikan kepada
komunitas pergerakan forum diskusi dan organisasi primordial yang ada di Ciputat ;
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Cabang Ciputat Kesatuan Aksi Mahasiswa
Jakarta, dan Silaturrahmi Mahasiswa Jepara di Jakarta .
Kepada sahabat di LamYuzard dan Koridor yang telah banyak mewarnai hari-
hari penulis dengn banyak warna warni kehidupan: Indjoenk, Elis, Fitri, Sayyid al
Mubarok, Windu, Cepot, Nawal, Implunk, Heru, .F 4 Syariah, Abdullah Kamil,.
sahabat sahabat Pedal Cihideung dan Litanie. Dan kepada warga yang telah banyak
membantu penulis
Jazakumullahu khairan katsira. Semoga kebaikan dibalas oleh allah Swt.
Amin.
Wallahu al-muwaffiq ila aqwami ath thariq
Ciputat, Juni 2007
Penulis
53
NASIONALIS RELIGIUS SEBAGAI ALTERNATIF IDEOLOGI
”Menyoal Prinsip Prinsip Religiusitas Ideologi Politik Partai Demokrat
Oleh
Mustafid
NIM: 9933216591
Fakultas Ushuluddin & Filsafat
Jurusan Pemikiran Politik Islam
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2007
54
55
NASIONALIS RELIGIUS SEBAGAI ALTERNATIF IDEOLOGI ”Menyoal Prinsip Prinsip Religiusitas Ideologi Politik Partai Demokrat
Skripsi
Diajukan kepada fakultas ushuluddin untuk memenuhi syarat syarat mencapai
gelar sarjana program strata 1 (S.Sos)
Oleh
M U S T A F I D NIM: 9933216591
Pembimbing
Prof. DR. Ahmad Mubarok M.A. NIP: 1 500 50 741
Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
Jurusan Pemikiran Politik Islam
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2007