BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Istilah Kejaksaan dalam Undang Undang Dasar 1945 memang tidak
tercantum secara tersurat, tetapi secara tersirat Kejaksaan Republik Indonesia
termasuk dan ada di dalamnya. Hal tersebut dapat di lihat dalam kalimat yang
berbunyi “Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan yang
dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di
bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan Peradilan Agama,
lingkungan Peradilan Militer dan lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara
dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”.1
Berdasarkan kalimat di atas, dijelaskan mengenai kekuasaan yang
merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna penegakan hukum dan
keadilan yang dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan
yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum. Peradilan umum
dalam sistem hirarkis pidana di Indonesia maksudnya adalah kumpulan
beberapa institusi yaitu Polisi, Jaksa, Hakim, Lembaga Pemasyarakatan dan
Pengacara. Muladi berpendapat bahwa sebagai sistem peradilan pidana
mempunyai perangkat struktural atau subsistem yang seharusnya bekerja
secara koheren, koordinatif dan integratif agar efisien dan efektif. subsistem
1 Undang-Undang Dasar 1945 Sebelum dan Setelah Amandemen 2015, Penerbit Nuansa
Aulia, Bandung, hlm. 23
1
2
yang dimaksud adalah Polisi, Jaksa, Pengadilan, Penasehat hukum dan
lembaga koreksi, baik yang bersifat institusional maupun non institusional.2
Jadi seluruh komponen-komponen utama dari sistem peradilan pidana
tersebut menurut Muladi harus bertanggung jawab atas fungsinya masing-
masing. Begitu pula menurut Adang Yesmil Anwar3, komponen sistem
peradilan pidana yang lazim diakui baik dalam pengetahuan mengenai
kebijakan pidana (criminal police) maupun dalam lingkup praktek penegakan
hukum terdiri atas unsur Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga
Pemasyarakatan. Berdasarkan uraian tersebut, Kejaksaan Republik Indonesia
terdapat di dalam Undang Undang Dasar 1945. Selain itu, dijelaskan juga
bahwa dalam upaya penegakan hukum kejaksaan harus benar-benar merdeka
dari pengaruh pihak lain (eksternal Kejaksaan) agar dalam upaya penegakan
hukum dapat dilakukan dengan tegas, berani, dan tidak pilih kasih.
Dalam praktek ketatanegaraan di Indonesia ternyata Kejaksaan
Republik Indonesia tidak mungkin melaksanakan penegakan hukum secara
independent (merdeka) karena seorang Jaksa Agung diangkat dan dilantik
oleh Presiden serta bertanggung jawab kepada Presiden. Hal tersebut berarti
bahwa institusi Kejaksaan masih termasuk dalam lingkup pemerintahan
(eksekutif). Hal tersebut dipertegas pula oleh O.C. Kaligis, ia
mengungkapkan bahwa Jaksa Agung Republik Indonesia tidak mungkin
independent sebagai penegak hukum karena bagaimanapun Kejaksaan adalah
2 Muladi, 2002, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas
Diponegoro, Semarang, hlm. 21. 3 Yesmil Anwar, Adang, 2009. Sistem Peradilan Pidana, Konsep, Komponen, dan
Pelaksanaannya dalam Penegakan Hukum di Indonesia, Widya Padjajaran, Bandung, hlm. 57.
3
lembaga negara dibawah Presiden, karena posisi Kejaksaan dalam lingkup
eksekutif tentu dalam upaya penegakan hukum akan mengalami hambatan
terutama dalam upaya memberantas korupsi.4 Hambatan-hambatan dan
tantangannya antara lain adalah secara legal ditetapkannya undang-undang
dimana apabila melakukan penyidikan (tindakan represif), harus terlebih
dahulu mendapat izin tertulis dari Mendagri atas nama Pesiden jika pelaku
TPK DPR RI, DPR, DPRD dan Presiden jika pelakunya TPK Gubernur,
Bupati/Walikota, sebagaimana diatur dalam Peraturan Perundang-Undangan.5
Namun demikian sebagai aparat penegak hukum, kewajiban Kejaksaan tetap
melaksanakan tugas dan tanggung jawab sebagai salah satu komponen dalam
sistem peradilan pidana di Indonesia dimana harus bertanggung jawab dalam
melakukan tindakan represif untuk mewujudkan kepastian hukum dan
keadilan. Sehubungan dengan tugas dan tanggung jawab Kejaksaan sebagai
aparat penegak hukum yang tugas dan tanggung jawabnya sebagaimana
diatur dalam Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan RI,
serta jika dikaitkan dengan sejarah Kejaksaan RI serta dikaitkan pula
keinginan masyarakat agar Kejaksaan RI lebih mandiri/independen dalam
melaksanakan tugasnya serta tertibnya secara Administrasi Negara idealnya
bahwa Kejaksaan RI sudah layak, tepat, dan benar jika dimasukkan/dimuat di
salah satu pasal dalam Undang Undang Dasar 1945. Dalam susunan
ketatanegaraan, Kejaksaan RI adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan
4 O.C. Kaligis, 2006, Pengawas Terhadap Jaksa selaku penyidik Tindak Pidana Korupsi
Khusus dalam Pemberantasan Korupsi, PT. Alumni, Bandung, hlm. 71 5 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 384 ayat (1)
jo. Putusan Mahkamah Konstitusi Indonesia Nomor. 73/ PUU-IX/2011.
4
kekuasaan negara khususnya bidang penuntutan serta kewenangan lain
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan6. Sebagai lembaga
yang berwenang dalam penegakan hukum dan keadilan, Kejaksaan dipimpin
oleh seorang Jaksa Agung yang dipilih oleh dan bertanggung jawab kepada
Presiden7. Kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi dan Kejaksaan Negeri
merupakan institusi pelaksana kekuasaan negara dalam menjalankan
penegakan hukum khususnya di bidang penuntutan, di mana semua aparatnya
merupakan satu kesatuan (een en ondelbaar) yang utuh dan tidak dapat
dipisahkan.8
Pengertian daripada kalimat “semua aparatnya merupakan satu
kesatuan (een en ondelbaar) yang utuh dan tidak dapat dipisahkan”
maksudnya adalah apabila salah satu anggotanya berhalangan, dapat diganti
oleh anggota yang lainnya. Sebagai contoh yaitu dalam menangani suatu
kasus tidak akan berhenti dan atau batal kegiatan tersebut apabila salah satu
anggota tidak dapat hadir karena hal-hal lain dan dapat diganti oleh anggota
(Jaksa) yang lainnya, dengan maksud kasus perkara yang sedang ditangani
tetap berjalan walau ditangani oleh anggota (Jaksa) lain.
Persoalan korupsi masih dan akan terus menjadi perhatian umat
manusia bukan saja di Indonesia tetapi juga masyarakat internasional,
mengingat akibatnya yang dapat meruntuhkan sendi-sendi kehidupan
6 Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 38 tahun 2010 tentang organisasi dan tata
kerja Kejaksaan Republik Indonesia Pasal 1 ayat (1) jo Peraturan Jaksa Agung RI Nomor : PER-009/A/JA/01/2011 tentang organisasi dan tata kerja Kejaksaan Republik Indonesia, hlm. 2
7 Ibid, hlm. 2 (Pasal 1 ayat (2) 8 Laporan Akuntabilitas Kinerja Kejaksanaan Republik Indonesia Tahun 2011, Jakarta,
Maret 2011, hlm. 2.
5
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. (kesadaran masyarakat
internasional terhadap bahaya laten korupsi tercermin dari berbagai
konferensi internasional, dimana banyak negara semakin memahami bahwa
perilaku korupsi dan nepotisme dapat menghambat pembangunan nasional.
Dampak yang semakin dirasakan sebagai akibat korupsi itu, diantaranya
dapat berkurangnya investasi, tidak adanya penghargaan terhadap hak asasi
manusia, praktek-praktek yang tidak demokratis serta akibat penyimpangan
terhadap pelayanan umum yang dapat membahayakan keselamatan warga).9
Dalam tatanan internasional, kesadaran global (Global Awareness)
terhadap akibat yang ditimbulkan perbuatan korupsi telah lama menjadi
bahan pemikiran bangsa-bangsa beradab di dunia. Kongres PBB ke-7 di
Milan tahun 1985 tentang “De Prevention of Crime and The Treatment of
Offenders” misalnya, telah menyoroti meningkatnya penyalahgunaan
kekuasaan (Abuse of Power) sebagai salah satu dimensi baru kejahatan dalam
konteks pembangunan, penyalahgunaan kekuasaan dalam bidang ekonomi,
dilakukan dalam bentuk solusi antara “upper economic class” (para
konglomerat) dengan “upper politic class” (pejabat tinggi negara), yang
bertujuan untuk kepentingan ekonomi kelompok tertentu.10
Pemerintah yang dalam hal ini aparat penegak hukum khususnya
Kejaksaan RI telah berupaya memberantas Korupsi namun sampai kini
9 Singgih, 2002, Dunia pun Memerangi Korupsi, Beberapa Catatan dari International Anti
Corruption I – X dan Dokumen PBB tentang Pemberantasan Korupsi, Tangerang, Pusat Studi Bisnis Universitas Pelita Harapan, hlm 7.
10 Indriyanto Seno Adji, 2009, Korupsi dan Penegakan Hukum, Jakarta, Diedit oleh Media, Cetakan Pertama, hlm 66.
6
korupsi tersebut belum mampu ditanggulangi dan teratasi11. Walau sesulit
apapun Kejaksaan RI tetap berupaya memberantas TPK di Indonesia karena
merupakan suatu kewajiban untuk menegakkan hukum guna mencari
kepastian hukum dan keadilan serta minimal dapat meminimalisasikan TPK
di Indonesia. Upaya memberantas TPK di Indonesia Kejaksaan RI memiliki
kewenangan untuk melakukan tindakan represif terhadap TPK yaitu :
Menurut undang-undang12, Kejaksaan Republik Indonesia,
mempunyai tugas dan wewenang:
1. Melakukan penuntutan
2. Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap.
3. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat,
putusan pidana pengawasan dan keputusan lepas bersyarat.
4. Melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan
undang-undang13
5. Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan
pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam
pelaksanaannya di koordinasikan dengan penyidik
11 Bambang Poernomo, 1983, Potensi Kejahatan Korupsi di Indonesia, PT. Bina Aksara,
Jogjakarta, hlm. 6 12 Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan RI. 13 Dalam penjelasan Pasal 30 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004
tentang Kejaksaan RI disebut bahwa kewenangan penyidikan yang dimaksud sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Azazi Manusia dan Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah di ubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001.
7
Sedangkan dibidang perdata dan tata usaha negara kejaksaan dengan
kuasa khusus dapat bertindak baik didalam maupun diluar pengadilan untuk
dan atas nama negara atau pemerintah14.
Dalam bidang ketertiban dan ketentraman umum, kejaksaan turut
menyelenggarakan kegiatan 15:
1. Peningkatan kesadaran hukum masyarakat
2. Pengamanan kebijakan penegakan hukum
3. Pengawasan peredaran barang cetakan
4. Pengawasan kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan
negara
5. Pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama
6. Penelitian dan pengembangan hukum serta statistik kriminal.
Di luar Undang-Undang Kejaksaan, kejaksaan juga memiliki
kewenangan pembatalan perkawinan16. Pembubaran Perseroan Terbatas17,
dan pembubaran Yayasan18.
Jaksa Agung sebagai pemimpin tertinggi pada institusi kejaksaan,
juga memiliki tugas dan wewenang khusus yaitu19:
1. Menetapkan serta mengendalikan kebijakan penegakan hukum dan
keadilan dalam ruang lingkup tugas dan wewenang kejaksaan.
14 Pasal 30 ayat (2) Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik
Indonesia 15 Pasal 30 ayat (3) Undang-Undang Nomor 16 tahun 2001 tentang Kejaksaan Republik
Indonesia. 16 Pasal 26 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1994 tentang Perkawinan. 17 Pasal 146 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. 18 Pasal 71 ayat (3) Undang-Undang Nomor 16 tahun 2001 tentang Yayasan sebagaimana
diubah dengan Undang-Undang Nomor 28 tahun 2004. 19 Pasal 35 Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan.
8
2. Mengefektifkan proses penegakan hukum yang diberikan oleh undang-
undang.
3. Mengesampingkan perkara demi kepentingan umum.
4. Mengajukan kasasi demi kepentingan hukum kepada Mahkamah Agung
dalam pemberian kasasi perkara pidana.
5. Mencegah atau menangkal orang tertentu untuk masuk atau keluar
wilayah negara kesatuan Republik Indonesia karena keterlibatannya
dalam perkara pidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Lebih spesifik lagi tugas kejaksaan diatur dalam Pasal 30 ayat (1)
huruf d yang isinya “melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu
berdasarkan undang-undang”. Tindak pidana tertentu berdasarkan undang-
undang maksudnya adalah terhadap Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 jo
Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi. Kewenangan lebih spesifik dimaksud adalah dapat melakukan
tindakan represif sejak dari penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan
pengeksekusian terhadap pelaku TPK. Secara administrasi dibawah kendali
Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus), dalam hal melakukan
tindakan represif terhadap TPK, Penulis tidak membahas secara keseluruhan
sebagaimana diuraikan diatas, karena sesuai dengan judul disertasi “Kajian
pelaksanaan tugas kejaksaan Republik Indonesia dalam pemberantasan TPK
berdasarkan Indeks Prestasi Penyidikan, jadi yang dibahas didalam disertasi
ini seputar masalah Indeks Prestasi Penyidikan dengan kata lain hasil kinerja
penyidik. Untuk mengetahui kemampuan penyidik mengungkap TPK dalam
9
kurun waktu tertentu dan berapa jumlah satuan yang diperlukan sebagai dasar
untuk memberi penilaian pimpinan terhadap para pelaksana di lapangan
seperti Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) para Aspedsus, para Kepala
Kejaksaan Negeri (Kajari) para Kasipidsus, dan Para Kepala Cabang
Kejaksaan Negeri (Kacabjari) di seluruh Indonesia. Selain itu juga perlu pula
mengetahui beberapa jumlah Kejati, Kejari dan Cabjari di seluruh Indonesia
karena ada hubungannya dengan target setiap 1 (satu) tahun hasil kinerja
yang telah dicapai dalam upaya pengungkapan TPK sebagai ukuran (Indeks
Prestasi) dengan penilaian tidak efektif, cukup efektif, efektif dan sangat
efektif. Berdasarkan surat keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia
Nomor: Kep-172/A/JA/10 2014 tanggal 5 Oktober 201420 yang isinya adalah
mengenai jumlah Kejari, Kejari dan Cabjari seluruh Indonesia dengan
rinciannya yaitu :
1. Kejaksaan Tinggi (Kejati) sebanyak 31
2. Kejaksaan Negeri (Kejari) sebanyak 410
3. Cabang Kejaksaan Negeri (Cabjari) sebanyak 72
Jadi jumlah kasus dipresentasikan selama 1 (satu) tahun dengan
sistem target sebagaimana diatur dalam surat jampidsus Nomor: B-
913/F/FS.3/9/1998 tanggal 8 September 199821, Nomor. B-
116/Fd.2/Fd.1/02/2006 tanggal 10 Februari 2006, Surat Jampidsus Nomor.
1904/F/FJP/12/2007 tanggal 18 Desember 2007 dan surat jampidsus Nomor.
20 Surat Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: Kep-172/A/JA/10/2014
tanggal 5 Oktober 2014 tentang jumlah Kejati, Kejari dan Cabjari se Indonesia. 21 Target pengungkapan TPK oleh Kejati, Kejari dan Cabjari (5, 3, 1) se Indonesia dalam
1 (satu) tahun. (Surat Jampidsus Nomor. B-913/F/FS.3/9/1998 tanggal 8 September 1998)
10
B-116/Fd.2/Fd.1/02/2009 tanggal 10 Februari 2009 dengan target yaitu Kejati
5 (tiga) kasus, Kejari 3 (tiga) kasus dan Cabjari 1 (satu) kasus22, dikaitkan
dengan target 5.3.1 dapat diuraikan sebagai berikut :
a. Kejati sebanyak 31 x 5 kasus sejumlah : 155
b. Kejari sebanyak 410 x 3 kasus sejumlah : 1.230
c. Cabjari sebanyak 72 x 1 kasus sejumlah : 72
Jumlah kasus : 1.457
Jadi kejaksaan Republik Indonesia harus memenuhi target selama 1
(satu) tahun sebanyak 1.457 kasus.
Kemudian sistem target hasil kinerja Kejati, Kejari dan Cabjari selama
1 (satu) tahun penyidik kejaksaan harus mampu mengungkap kasus TPK dan
sebelum tahun 2006 kejaksaan Republik Indonesia telah memiliki target yaitu
berdasarkan Instruksi dari Jaksa Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus)23
Nomor: B-913/F/FS.3/9/1998 tanggal 8 September 1998 perihal tolak ukur
keberhasilan pelaksanaan tugas Bidang Pidana Khusus (Pidsus) ditujukan
kepada Kepala Kejaksaan Tinggi (Kejati) di seluruh Indonesia yang isinya
yaitu target yang harus dicapai setiap 1 (satu) tahunnya:
1. Kejaksaan Tinggi : 8 (delapan) kasus
2. Kejaksaan Negeri : 3 (tiga) kasus
3. Cabang Kejaksaan Negeri : 1 (satu) kasus
22 Target Pengungkapan TPK oleh Kejati 5, Kejari 3 dan Cabjari 1 kasus, Keputusan
Jampidsus Nomor. B-116/Fd.2/Fd.1/02/2006 tanggal 10 Februari 2006, Nomor B-1904/F/FJP/12/2007 tanggal 18 Desember 2007 dan Nomor: B-116/Fd.2/Fd.1/02/2009 tanggal 10 Februari 2009)
23 Dasar hukumnya surat jampidsus Nomor: B-913/F/FS.3/9/1998 tanggal 8 September 1998 tentang tolak ukur keberhasilan pelaksanaan tugas Bidang Pidana Khusus (Pidsus) di tujukan kepada Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) di seluruh Indonesia.
11
Pedoman sistem target 8, 3 dan 1 ini telah diterapkan di seluruh
Indonesia sampai dengan tahun 2006, bagi yang melebihi target (efektif,
sangat efektif) dapat dipromosikan contoh pada tahun 2002 Kepala Kejaksaan
Negeri Wates Kulonprogo D.I Yogyakarta, dipromosikan menjadi Asisten
Perdata dan Tata Usaha Negara di Kejati Papua, sekaligus menaikan pangkat
menjadi Jaksa Utama Pratama (IV/B) dan Kasi Pidsus Kejari Wates
Kulonprogo pada tahun 2002 diangkat menjadi Kepala Kejaksaan Negeri IDI
Aceh Timur sekaligus naik pangkat menjadi Jaksa Madya (IV/A).
Kemudian pada tahun 2006 adanya perubahan sistem target dari
Kejati 8, Kejari 3 dan Cabjari 1 menjadi Kejati 5, Kejari 3 dan Cabjari 1,
yaitu surat dari Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Nomor: B-
116/Fd.2/Fd.1/02/2006 tanggal 10 Februari 2006 diperbaharui lagi dengan
surat Jampidsus Nomor: Kep-1904/F/FJP/12/2007 tanggal 18 Desember 2007
terakhir atas perubahan tersebut dengan surat Jampidsus Nomor: B-
116/Fd.2/Fd.1/02/2009 tanggal 10 Februari 2009. Implikasinya bagi yang
tidak efekti mengungkap TPK dengan klasifikasi tidak efektif (tidak ada
satupun kasus yang diungkap) dicopot dari jabatan sebagai Kepala Kejaksaan
Negeri (Kajari) sebagai contoh pada tahun 2007 Kajari Padang dicopot dari
jabatannya dan tahun 2008 Kajari Tumokon Sulawesi Utara juga dicopot
jabatannya.
Sistem target ini menurut Jampidsus24 menjadi salah satu tolak ukur
pimpinan dalam menilai keberhasilan/ketidakberhasilan para Kajati/Aspidsus
24 Surat Jampidsus Nomor: E-913/F/FS.3/9/1998 tanggal 8 September 1998.
12
/Kajari/Kasipidsus, sekaligus meningkatkan kemampuan memberantas TPK
dan sekaligus bahan untuk promosi dan mutasi bagi yang berprestasi.
Kemampuan mengungkap TPK akan terlihat hasil kinerja penyidik
kejaksaan Republik Indonesia dengan memiliki kriteria yaitu “tidak efektif,
cukup efektif, efektif, dan atau sangat efektif”, hasil kinerja ini jika “tidak
efektif” atau “cukup efektif” dapat ditingkatkan menjadi lebih baik lagi yaitu
“Efektif” atau “Sangat efektif” dan pada tujuan akhir dari hasil kinerja ini
pada intinya yaitu bertujuan untuk:
1. Memperoleh kepastian hukum dan keadilan sekaligus
2. Dapat meminimalisir TPK di Indonesia
3. Meningkatkan kemampuan penyidik dalam upaya mengungkap TPK
yang pada gilirannya dapat diharapkan meminimalisir TPK.
Hasil kinerja yang baik tentu harus berupaya untuk minimal dapat
dipertahankan jika hasil kerjanya belum mencapai target harus ditingkatkan
kemampuannya dan sekaligus dimasa mendatang dapat meningkatkan
kemampuan Kejaksaan Republik Indonesia dalam memberantas TPK dengan
maksud agar dimasa yang akan datang bersama-sama dengan instansi
penegak hukum lain yaitu POLRI dan KPK secara bersinergi/bersama-sama
berjuang agar dapat meminimalisir TPK di Indonesia.
Pengertian daripada kriteria hasil kinerja penyidik Kejaksaan
Republik Indonesia mengenai “tidak efektif, cukup efektif, efektif dan atau
sangat efektif” dapat dijelaskan di dalam Bab II C. Batasan Operasional.
13
Sistem target ini menurut Jampidsus dalam rangka meningkatkan
kemampuan kinerja para Jaksa Penyidik dan sekaligus bahan bagi pimpinan
untuk memberikan penilaian bagi pejabat struktural (Jaksa Penyidik yang
berprestasi dan agar selalu meningkatkan kemampuan daya ungkap terhadap
TPK di Indonesia. Kunci keberhasilan melakukan pemberantasan TPK sangat
tergantung kepada kemampuan Jaksa Penyidik, tanpa memiliki kemampuan
penyidik mengungkap TPK tidak mungkin ada tindakan represif lainnya
seperti penuntutan persidangan di pengadilan dan pengeksekusian terhadap
pelaku TPK, oleh karena itu menurut Direktur Penyidikan Pidsus Kejagung
Republik Indonesia25, dimasa mendatang kecil kemungkinan adanya suatu
penghentian proses kasus di ranah penyidikan dikenal dengan istilah SP3
karena sebelum melakukan penyidikan terlebih dahulu (wajib) setiap
menerima laporan dari masyarakat adanya peristiwa TPK di suatu tempat
tertentu harus dikaji dulu melalui Instrumen Tindakan “Penyelidikan”. Jika
kasus TPK ternyata tidak memenuhi unsur atau tidak ada kerugian
negara/daerah tentu kasus TPK tersebut tidak dilanjutkan ke Penyidikan,
tetapi sebaliknya jika saat Penyelidikan ada indikasi/minimal 2 (dua) alat
bukti telah mendukung adanya perbuatan TPK serta adanya kerugian
negara/daerah minimal ada hasil penghitungan sementara oleh penyelidik
maka kasus TPK tersebut akan dilanjutkan ke penyidikan,
Sekarang berbeda lagi bentuk ukuran keberhasilan Kejaksaan RI
dalam upaya pemberatasan TPK walaupun secara kuantitas tak jelas, namun
25 Keterangan lisan dari Fadel Zumhana, selaku Direktur Penyidikan pada Jampidsus
Kejagung RI hari Kamis tanggal 4 Februari 2016 jam 09.00 pagi di ruang kerjanya.
14
ukurannya apabila kejahatan TPK menurun berarti angka kejahatan menurun
kesadaran masyarakat untuk tidak berbuat korupsi meningkat. Pandangan
seperti ini dikemukakan oleh Basrief Arief selaku Jaksa Agung RI pada
waktu memberikan pengarahan pada pembukaan Kegiatan Kerja Tahunan
2014 yang dihadiri oleh para Kejati dan para Kejari se-Indonesia di lembaga
Pendidikan Kejaksaan RI Ragunan Pasar Minggu Jakarta Selatan pada bulan
Oktober 2014. Antara lain menyatakan: “bahwa penegakan hukum bukanlah
suatu industri yang diwujudkan dengan peningkatan angka-angka produksi
namun sebaliknya dianggap berhasil jika ditunjukkan dengan menurunnya
angka kejahatan dan diiringi peningkatan kesadaran hukum masyarakat.26
Penilaian kinerja seperti ini berarti Kejaksaan RI bekerja mengungkap TPK
dilakukan berdasarkan “optimalisasi” artinya mengedepankan kualitas hasil
kinerja yang lebih baik sedangkan pengertian optimalisasi menurut Barda
Nawawi Arief27 mengandung makna atau fenomena ganda di satu sisi
mengandung makna bahwa dalam penegakan hukum selama ini (tidak hanya
oleh Kejaksaan) sudah di tempuh pendekatan keilmuan, tetapi masih perlu
ditingkatkan. Sedangkan di sisi lain mengandung kecenderungan fenomena
bahwa dalam penegakan hukum selama ini, budaya (orientasi) pendekatan
keilmuan (scientific cultural approach) lebih melemah/lentur/
terabaikan/tergeser karena lebih mengoptimalkan pendekatan/orientasi lain
atau pendekatan parsial. Indikator menurunnya/tergesernya kualitas
26 sambutan Jaksa Agung RI pada acara pembukaan Agenda Kerja Kejaksaan Tahun 2014,
hlm. 6 27 Barda Nawawi Arief, 2013, Kapita Selekta Hukum Pidana Cetakan Ke-3, Citra Aditya
Bakti, Bandung, hlm. 247-248.
15
pendekatan keilmuan (nilai/moral/hati nurani, ojektifnya sistemik, integral)
dapat dilihat antara lain: yang sering dirasakan di masyarakat umum ada
“budaya amplop” budaya materi, atau budaya permainan kotor/tercela yang
dikenal mafia peradilan, yang tepat menurut Barda Nawawi Arief bukan
mafia peradilan melainkan permainan kotor, kalau mafia peradilan seolah-
olah perbuatan yang terjadi selama dalam peradilan, padahal diluar itu sering
terjadi masyarakat yang menjadi objek pemerasan sebelum proses perkara di
limpahkan ke pengadilan. Pengungkapan TPK dengan sistem optimalisasi
yang dikemukakan oleh Basrief Arief selaku Jaksa Agung RI pada waktu itu
nampaknya cenderung menangani dan atau mengungkap kasus TPK hanya
pada tingkat menengah keatas, sedangkan TPK yang tingkat level bawah
seolah-olah diabaikan, akhirnya dengan pola penanganan kasus seperti
sekarang para Kejati, Kejari dan Cabjari cenderung kendor daya ungkapnya
untuk mengungkap TPK di Indonesia dan jika ada beberapa Kejati, Kejari
dan Cabjari tak ada hasil produknya nampaknya tidak ada sanksi terhadap
pejabat struktural tersebut dan cenderung TPK kelas level bawah menjadi
peluang timbul kejahatan baru yang menjamur dengan kondisi seperti ini
sangat berbahaya bagi kelangsungan pembangunan di daerah di semua lini
karena kejahatan TPK di level bawah seolah-olah dibiarkan begitu saja,
Penulis cenderung sependapat dan mendukung sistem target sebagaimana
surat Jampidsus Nomor: B-1118/F/FJA/II/2006 tanggal 21 Nopember 2006,
Kep-1904/F/FJP/12/2007 tanggal 18 Desember 2007 dan Nomor: B-
116/Fd.2/Fd.1/02/2009 tanggal 10 Februari 2009, walaupun ada beberapa
16
kelemahan antara lain terhadap perkara relatif kecil diungkap, tetapi biaya
penanganan proses perkara lebih tinggi dari pada kerugian Negara lebih kecil
akibat perbuatan korupsi. Kondisi seperti ini penulis berpendapat walaupun
kerugian Negara kecil akibat perbuatan TPK tetap diproses hukum apalagi
menyangkut kepentingan rakyat kecil seperti Raskin, terjadi di lembaga
pendidikan dan kesehatan.
Berdasarkan keterangan lisan dari Sarjono Turin, Kasubdit Tipikor
Pidsus Kejaksaan Agung Republik Indonesia28, bahwa biaya perkara TPK
sejak dari Penyelidikan, Penyidikan, Penuntutan sampai dengan
Pengeksekusian dengan basis kinerja menghabiskan biaya bisa mencapai
sekitar sebesar Rp. 150.000.000,- apabila memproses/mengungkap TPK
kerugian Negara dengan dibawah Rp. 150.000.000 ditinjau dari perspektif
ekonomi berarti Negara rugi.
Upaya pengungkapan TPK yang dilakukan oleh Kejaksaan RI,
keberhasilannya itu tergantung adanya kemauan dan kemampuan unsur-unsur
pimpinan Kejaksaan di daerah (Kejati, Aspidsus, Kejari, Kasipidsus)29. Perlu
memahami tentang jenis-jenis TPK dengan maksud jika memahami jenis-
jenis TPK diharapkan semua lapisan masyarakat Indonesia tidak melakukan
TPK, selain itu juga mengetahui pula bahwa Tindak Pidana Korupsi itu
adalah suatu perbuatan sangat membahayakan kehidupan berbangsa dan
bernegara, serta menghambat tujuan pembangunan nasional.
28 Wawancara langsung pertelepon kepada nara sumber yaitu pada tanggal 15 Maret 2014
jam 11.00 yaitu Sarjono Turin, selaku Kasubdit Tipikor Pidsus Kejaksaan Agung Republik Indonesia.
29 Jampidsus, Op. Cit. (Nomor. B-913/F/FS.3/9/1998, tanggal 8 September 1998)
17
Untuk meningkatkan kemampuan mengungkap TPK sebagaimana
diuraikan diatas diperlukan petugas penyidik memiliki pula integritas etika
moral sebagaimana dikemukakan oleh pakar filsafat hukum yaitu Muhadi
Rajab30 beliau mengemukakan perlu memahami filsafat hukum karena filsafat
hukum harus berikhtiar mencapai tujuannya untuk menguasai dengan mutlak
kehidupan hukum. Juga Muhadi Rajab31 mengemukakan pula bahwa tujuan
hukum menurut teori etis (Aristoteles) hukum hanya semata-mata bertujuan
mewujudkan rasa keadilan, sedangkan keadilan dibedakan menjadi dua yaitu:
keadilan kumutatif, yang menyamakan prestasi dan kontra prestasi dan yang
kedua keadilan distributif, keadilan yang membutuhkan distribusi atau
penghargaan. Ditambahkan pula oleh Muhadi Rajab32 bahwa di dalam filsafat
dengan adanya fungsi hukum yang demikian maka ini merupakan termasuk
ke dalam cita-cita filsafat. Filsafat mengharapkan dijalankannya kebenaran
itu secara hakiki yaitu adanya keadilan sebenar-benarnya yang berdasarkan
nilai-nilai nurani yang sehat dengan didukung oleh fakta-fakta secara materiil.
Seiring dengan itu juga H.R. Otje Salman33 mengemukakan pula
bahwa filsafat hukum itu merupakan ilmu dan berkaitan dengan persoalan
nurani manusia dan filsafat hukum itu bagian dari filsafat, sedangkan filsafat
menurut Aristoteles antara lain adalah praktis (etika) yang diatur norma
30 Muhadi Rajab, Op.Cit., hlm. 50 (untuk lengkapnya lihat Soetikno, Filsafat Hukum 2, PT.
Pradnya Paramita, Jakarta, 1984, hlm. 52). 31 Ibid, hlm 51 (untuk lebih jelas lihat Hudo Lukoni, Filsafat Hukum dan Perannya Dalam
Pembentukkan Hukum di Indonesia, http//www.badilaq.net/data/artikel/filsafat%20hukum%20 dan%20perannya%20dalam%20pembentukan%20hukum%20di%20indonesia.pdf. didownload tanggal 11 Januari 2010 Pukul. 14.00 WIB.
32 Ibid., hlm 51. 33 H.R. Otje Salman, 2009, Filsafat Hukum (Perkembangan dan Dinamika Masalah),
Refika, Bandung, hlm. 4 – 5.
18
agama, norma kesopanan, norma kesusilaan, norma hukum dan filsafat
hukum itu adalah bagian dari filsafat etika. Artinya, apabila semua komponen
bangsa memahami dan menghayati tentang ilmu filsafat hukum diharapkan
dapat terhindar dari kejahatan Tindak Pidana Korupsi.
B. Rumusan Masalah
Berdasar latar belakang yang ada, masalah pokok dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah Efektivitas Pelaksanaan Tugas Kejaksaan RI dalam
pemberantasan Tindak Pidana Korupsi berdasarkan Indeks Prestasi
Penyidikan?
2. Bagaimanakah prospek pengaturan meningkatkan kemampuan
Kejaksaan RI dalam pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dimasa
mendatang?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan studi penelitian yang ingin dicapai secara rinci dan kongkrit
mengenai persoalan yang diungkapkan didalam rumusan permasalahan
tersebut diatas yaitu:
1. Mengkaji pelaksanaan tugas Kejaksaan dalam pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi berdasarkan Indeks Prestasi Penyidikan.
2. Mengkaji prospek pengaturan meningkatkan kemampuan Kejaksaan
dalam pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dimasa mendatang.
19
Studi ini diharapkan juga dapat memberikan kontribusi dalam
pengembangan hukum baik teoritis maupun praktis. Dengan demikian dari
aspek teoritis studi ini dimaksudkan untuk mengetahui hasil kinerja
penyidikan yaitu mengungkap TPK karena judul yang penulis ajukan adalah
“Kajian Pelaksanaan Tugas Kejaksaan RI dalam Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi Berdasarkan Indeks Prestasi Penyidikan” dilihat dari judul
disertasi yang disajikan sudah kelihatan bahwa yang dikaji adalah masalah
hasil kinerja penyidik TPK kejaksaan RI. Dari aspek praktis, penelitian ini
dapat diharapkan untuk mengetahui, memahami dan menjelaskan mengenai
kajian terhadap hasil kinerja penyidikan dalam rangka mengungkap TPK, dari
hasil kinerja inilah nantinya dapat dilihat indeks prestasi penyidikan
Kejaksaan Republik Indonesia dalam kriteria “tidak efektif, cukup efektif,
efektif dan sangat efektif” hasil kinerja penyidikan dalam upaya mengungkap
TPK dan sekaligus pula agar dapat meningkatkan kemampuan, mengungkap
TPK di Indonesia semua upaya-upaya meningkatkan kemampuan untuk
mengungkap TPK tentu dalam rangka upaya penegakan hukum, kepastian
hukum dan keadilan serta penemuan hukum terkait dengan pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi di Indonesia agar minimal untuk masa yang akan
datang dapat diminimalisasikan.
D. Keaslian Penelitian
Berdasarkan kajian yang telah dilakukan, penelitian yang akan
dilakukan merupakan sesuatu yang belum pernah dikaji secara mendalam
oleh para peneliti-peneliti studi hukum sebelumnya, baik kajian yang
20
bermuara pada tataran teoritis maupun praktis. Kajian-kajian sebelumnya
yang membahas tentang “Kajian Pelaksanaan Tugas Kejaksaan RI Dalam
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Berdasarkan Indeks Prestasi
Penyidikan” dalam pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Berdasarkan
Indeks Prestasi Penyidikan berarti penulis akan membahas tentang
kemampuan hasil kinerja Penyidik Kejaksaan dalam upaya mengungkap
Tindak Pidana Korupsi, melalui tindakan represif berupa Penyidikan.
Penelusuran terhadap studi-studi terdahulu untuk menentukan
orisinilitas studi ini dilakukan dengan cara melakukan penelusuran terhadap
hasil-hasil studi terdahulu (tinjauan perpustakaan) yang sejenis baik yang
telah dilakukan oleh para penstudi dari lingkungan disiplin ilmu hukum
sendiri maupun diluar ilmu hukum, terutama ilmu-ilmu sosial humaniora.
Beberapa kajian yang relevan dengan penulisan studi ini yang berhasil
dihimpun sebagai pembanding atas kajian-kajian sebelumnya dapat dilihat
pada Tabel 1.
Tabel 1.1
Data Pembanding Keaslian Disertasi
(Perbandingan dengan Kajian-kajian lain)
Penulis Perpustakaan/Tahun
Judul Pembahasan
AKMAL
KODRAT
NIM.
PDIH
UGM
2012.34
“Implikasi,
Pelaksanaan
Substansi permasalahan :
a. Bagaimana pelaksanaan wewenang
34 Akmal Kodrat, disertasi PDIH UGM Yogyakarta 2012, Implikasi Pelaksanaan Proses
Penuntutan Tindak Pidana Korupsi pada Kejari Situbondo,.
21
08/274801/
SHK/
00123.
Proses Penuntutan
Tindak Pidana
Korupsi pada
Kejaksaan Negeri
Situbondo”.
Penuntutan (tuntutan pidana) oleh
Jaksa Penuntut Umum dalam
penanganan Tindak Pidana Korupsi di
Kejaksaan Negeri Situbondo.
b. Implikasi apa yang terjadi setelah
pelaksanaan wewenang penuntutan
(tuntutan pidana) dilakukan.
c. Faktor apa saja yang mempengaruhi
penyebab terjadinya implikasi negatif
dalam pelaksanaan wewenang
penuntutan pidana.
d. Bagaimana cara menghindari
terjadinya implikasi negatif dalam
pelaksanaan wewenang tuntutan
pidana.
Kesimpulan :
a. Pelaksanaan tuntutan pidana JPU
dalam penanganan perkara Tindak
Pidana Korupsi cenderung rendah dan
tidak memiliki tolak ukur yang jelas
dan pasti (disparitas)
b. Implikasi negatif yang terjadi berupa :
Pertama, terjadinya ketidakpastian
22
hukum dalam setiap tuntutan pidana.
Kedua, menurunnya tingkat
kepercayaan masyarakat atau publik
Kabupaten Situbondo. Dan ketiga,
tumbuhnya potensi penyalahgunaan
wewenang oleh para jaksa penuntut
umum yang sedang maupun yang akan
menangani perkara Tindak Pidana
Korupsi.
c. Fakta yang menyebabkan terjadinya
implikasi negatif. Pertama,
pemahaman/pemikiran positivisme
hukum yang berkembang dikalangan
Jaksa penuntut umum dalam
menangani perkara Tindak Pidana
Korupsi. Kedua, pelaksanaan
kebijakan, tuntutan pidana melalui
lembaga birokrasi Rencana Tuntutan
(Rentut) yang tidak optimal. Dan
ketiga, lemahnya moral dan etika Jaksa
Penuntut Umum (JPU) dalam
melaksanakan wewenang tuntutan
pidana.
23
d. Cara menghindari terjadinya implikasi
negatif dalam melaksanakan wewenang
penuntutan pidana dan dapat dilakukan
dengan 3 (tiga) konsep yaitu :
Pertama, mengedepankan pola pikir
menjalankan hukum dengan konsep
pemikiran hukum yang inklusif.
Kedua, jaksa penutut umum dalam
melaksanakan wewenang penuntutan
pidana harus mengoptimalkan
pelaksanaan lembaga rencana tuntutan
melalui mekanisme kontrol yang
dilaksanakan pada penerapan standar
tuntutan kriminal yang dikeluarkan
oleh Jaksa Agung.
Ketiga, pembentukan bidang
pengawasan disetiap tingkatan
Kejaksaan Negeri yang diberikan
wewenang untuk menegakkan kode
etik profesi jaksa penuntut umum
membantu pimpinan sampai pada
penjatuhan sanksi secara langsung
maupun secara berjenjang.
24
Dari segi judul disertasi dan substansi
permasalahannya jelas sudah berbeda.
Namun dalam studi yang bersangkutan
ada mempermasalahkan tuntutan pidana-
nya cenderung rendah karena tidak
memiliki tolok ukur yang jelas dan
pasti (disparitas). Hal itu juga jelas
sangat berbeda dengan penulis
Ahmad Kodrat menilai bahwa Jaksa
Penuntut Umum cenderung rendah
tuntutan pidananya karena belum ada tolak
ukurnya, sedangkan penulis objek
materialnya adalah “Indeks Prestasi
Penyidikan” dari judul disertasi “Kajian
Pelaksanaan Tugas Kejaksaan RI Dalam
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Berdasarkan Indeks Prestasi Penyidikan”
yang berarti, penulis akan menyoroti
sejauh mana kemampuan Kejaksaan RI
dalam upaya mengungkap kasus Tindak
Pidana Korupsi di Indonesia melalui
tindakan represif berupa penyidikan.
25
UNDANG
MUGOPA
L
NIM.
B.5A.0020
635
PDIH
UNDIP
Semarang
2011.
“Reintegrasi
Kewenangan
Penyidikan
Tindak Pidana
Korupsi Dalam
Mewujudkan
Sistem Peradilan
Pidana Terpadu”.
Substansi permasalahan :
a. Mengapa dibentuk beberapa lembaga
penyidik Tindak Pidana Korupsi.
b. Mengapa kewenangan penyidikan
masing-masing lembaga tidak dapat
dilaksanakan sesuai dengan yang
diharapkan atau tidak efektif.
c. Bagaimana konsep ideal lembaga
penyidikan dalam pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.
Kesimpulan :
Multiplikasi atau keberadaan beberapa
lembaga penyidik Tindak Pidana Korupsi
dimaksudkan untuk meningkatkan keber-
hasilan pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi. Tetapi model ideal lembaga
penyidikan Tindak Pidana Korupsi yaitu
penyidik tunggal sehingga tidak
menimbulkan kerancuan dan perbedaan-
perbedaan dalam melakukan penyidikan.
Hal ini jelas sangat berbeda dengan
35 Undang Mugopal, Disertasi PDIH Undip Semarang 2011, Reintegrasi. Kewenangan
Penyidikan TINDAK PIDANA KORUPSI Dalam Mewujudkan Sistem Peradilan Pidana Terpadu,.
26
penulis. Undang Mugopal menyoroti
masalah multiplikasi lembaga penyidik
Tindak Pidana Korupsi yang memberi
kesimpulan bahwa penyidik yang
multiplikasi tersebut tidak efektif dalam
pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
yang idealnya menurut Undang Mugopal
adalah penyidik tunggal Tindak Pidana
Korupsi dengan maksud agar tidak
menimbulkan kerancuan dan perbedaan-
perbedaan dalam melakukan penyidikan
terhadap pelaku Tindak Pidana Korupsi.
Sedangkan penulis membahas masalah
objek material dari disertasi yang diajukan
yaitu “Kajian Pelaksaan Tugas Kejaksaan
RI Dalam Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi Berdasarkan Indeks Prestasi
Penyidikan” berarti penulis akan mengkaji
memahami bahwa objek material dari
disertasi tersebut jelas yaitu masalah
Indeks Prestasi Penyidikan yakni
sejauhmana kemampuan penyidikan yang
dilakukan oleh Kejaksaan RI mengungkap
27
kasus Tindak Pidana Korupsi.
YUDI
KRISTIA
NA.
NIM.
B.5A.0030
2536
PDIH
UNDIP
Semarang
2007
“Konstruksi
Birokrasi
Kejaksaan dengan
Pendekatan
Hukum Progresif,
Studi
Penyelidikan,
Penyidikan,
Penuntutan
Tindak Pidana
Korupsi”.
Substansi Permasalahan :
a. Mengapa pendekatan konvensional
birokrasi Kejaksaan tidak dapat
berperan secara optimal dalam
Penyelidikan, Penyidikan dan
Penuntutan Tindak Pidana Korupsi.
b. Bagaimanakah penyimpangan birokrasi
Kejaksaan dalam Penyelidikan,
Penyidikan dan Penuntutan Tindak
Pidana Korupsi.
c. Bagaimana rekonstruksi birokrasi
Kejaksaan dalam Penyelidikan/
Penyidikan dan Penuntutan Tindak
Pidana Korupsi dalam pendekatan
hukum progresif.
Kesimpulan :
Pendekatan konvensional birokrasi
tidak dapat berperan secara optimal dalam
penyelidikan, Penyidikan dan Penuntutan
Tindak Pidana Korupsi, hal tersebut
36 Yudi Kristiana, Disertasi PDIH Undip Semarang, 2007, Konstruksi Birokrasi Kejaksaan
Dengan Pendekatan Hukum Progresif, Studi Penyelidikan, Penyidikan, Penuntutan TINDAK PIDANA KORUPSI”.
28
dikarenakan birokrasi sentralistis,
pertanggungjawaban hirarkis dan sistem
komando.
Jelas jauh berbeda dengan penulis baik
dari segi judul disertasi maupun substansi
permasalahannya, Yudi Kristiana
berpendapat bahwa dalam penelitiannya itu
menyoroti tentang tidak berperannya
secara optimal pimpinan dalam melakukan
tindakan represif berupa Penyelidikan,
Penyidikan dan Penuntutan walaupun
dilakukan pendekatan konvensional
birokrasi karena adanya suatu birokrasi
sentralistis dan sistem komando.
Hal ini tentu berbeda dengan penulis, yakni
penulis menyoroti dan melakukan
penelitian terhadap objek material tindakan
represifnya yaitu “Indeks Prestasi
Penyidikan” berarti yang disoroti masalah
sejauhmana kemampuan Penyidik
Kejaksaan RI untuk mengungkap kasus
Tindak Pidana Korupsi di Indonesia.
29
PINANG
KI
SIRNAM
ALASARI
NIM.
11013008
003637
.
PDIH
UNPAD
BANDUN
G 2011.
“Komisi
Pemberantasan
Tindak Pidana
Korupsi Sebagai
Lembaga Negara
Bantu Dalam
Ketatanegaraan
Republik
Indonesia dan
Implikasinya
Terhadap
Pemberantasan
Korupsi”.
Substansi permasalahan :
a. Bagaimana kedudukan KPK dalam
sistem ketatanegaraan di Indonesia
sebagai Auxiliary State Body?
b. Bagaimanakah implikasi keberadaan
KPK terhadap pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi di Indonesia?
c. Aspek-aspek apa saja yang dapat
diproyeksikan terhadap keberadaan
KPK berkaitan dengan tugas dan
kewenangan Kejaksaan dibidang
Penyidikan dan Penuntutan Tindak
Pidana Korupsi?
Kesimpulan :
1. KPK sebagai lembaga Negara bantu
pemberantasan korupsi dalam struktur
ketatanegaraan berada diluar cabang
kekuasaan eksekutif. KPK
melaksanakan fungsi pemberantasan
korupsi secara Sharing Executive
Power dengan lembaga eksekutif yakni
37 Pinangki Sirnamalasari, Disertasi PDIH Unpad Bandung 2011, Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi Sebagai Lembaga Negara Bantu Dalam Ketatanegaraan Republik Indonesia dan Implikasinya Terhadap Pemberantasan Korupsi,.
30
Kepolisian dan Kejaksaan, sebagai
organ Penyeimbang yang menjalankan
system check and balance terhadap
lembaga eksekutif KPK telah memiliki
independensi kelembagaan akan tetapi
belum memiliki independensi
fungsional.
2. Implikasi keberadaan KPK dalam
pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
sebagai sarana pembaruan (Law is as
tool of social engineering) telah
meningkatkan pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi terhadap
pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
di Indonesia meskipun belum
maksimal, indikator pengukur
implikasi KPK terhadap pemberantasan
korupsi di Indonesia yaitu pertama;
meningkatkan kinerja Kejaksaan dan
Kepolisian dalam menyidik Tindak
Pidana Korupsi, kedua; memper-
gunakan indikator peningkatan Skor
CPI Indonesia sejak KPK dibentuk
31
yaitu tahun 2003 s/d 2009.
3. Keberadaan KPK sebagai counter
mechanism dan sharing partner bagi
Kejaksaan telah meningkatkan kinerja
Kejaksaan dibidang penyidikan perkara
korupsi, sedangkan proyeksi
kewenangan Kejaksaan dibidang
penuntutan tidak selaras dengan asas
en een ondelbaar dan telah
menyebabkan kekacauan fungsi
penegak hukum, pasal 21 ayat 4
Undang-undang Nomor. 30 Tahun
2002 menyebutkan bahwa pimpinan
KPK adalah penyidik dan penuntut
umum, pimpinan KPK selaku penuntut
umum mengendalikan kewenangan
penuntutan kepada jaksa-jaksa yang
dipekerjakan di KPK, Jaksa Agung
mengendalikan kewenangan penuntut-
an kepada jaksa-jaksa di Kejaksaan
Republik Indonesia.
Hal tersebut menyimpang asas Jaksa
adalah satu dan tidak dapat dipisah-
32
pisahkan dengan Jaksa Agung sebagai
pengendali tertinggi. Dengan demikian
kewenangan pengendalian penuntutan
di KPK harus berada pada Jaksa
Agung.
Ditinjau dari segala aspek jelas jauh
berbeda baik dari segi judul disertasi,
substansi permasalahan, maupun
kesimpulan yang dikemukakan oleh
Pinangki Sirnamalasari, antara lain
Pinangki mengemukakan sebagai objek
materialnya antara lain bahwa KPK
adalah sebagai Counter Mechanism dan
sharing partner terhadap Kejaksaan
dan sekaligus bahwa KPK antara lain
telah meningkatkan kinerja Kejaksaan
terutama dibidang penyidikan,
sedangkan penulis menyoroti tentang
objek material dari disertasi yang
diajukan yaitu “Indeks Prestasi
Penyidikan” berarti yang disoroti dalam
objek material tersebut adalah sejauh
mana kemampuan Kejaksaan RI dalam
33
upaya mengungkap kasus Tindak
Pidana Korupsi di Indonesia melalui
tindakan represifnya yaitu penyidikan.
Dari hasil studi yang telah dilakukan, jika dibandingkan dengan studi
yang dilakukan oleh penulis maka tidak ada yang sama baik dari aspek
lingkup kajian atau objek, pendekatan, subjek, metodologi dan paradigma
yang digunakan.
E. Manfaat Penelitian
Pada dasarnya manfaat penelitian ini ditujukan untuk kepentingan
akademik serta untuk kepentingan bangsa dan negara.
1. Untuk kepentingan akademik.
Diharapkan penelitian ini dapat memberikan sumbangan
pemikiran kepada negara dan bangsa Indonesia agar judul disertasi yaitu
masalah “Kajian Pelaksanaan Tugas Kejaksaan RI dalam Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi berdasarkan Indeks Prestasi Penyidikan”. Sesuai
peran Kejaksaan sebagai bagian dari Sistem Peradilan Pidana atau
Criminal Justice System yang merupakan suatu lembaga yang sengaja
dibentuk guna menjalankan upaya penegakan hukum khususnya hukum
pidana antara lain digunakan untuk menanggulangi Tindak Pidana
Korupsi sebagai kejahatan luar biasa dengan melalui tindakan represif
berarti yang disoroti adalah kemampuan penyidik Kejaksaan RI dalam
upaya mengungkap Tindak Pidana Korupsi di Indonesia dan jika Tindak
34
Pidana Korupsi berhasil diungkap dan atau terungkap otomatis akan
diproses lebih lanjut ke tingkat penuntutan persidangan di pengadilan dan
pengeksekusian dalam rangka untuk mencapai kepastian hukum dan
keadilan dan sekaligus minimal dapat meminimalisir TPK di Indonesia.
Dan pada gilirannya dapat dijadikan sebagai ilmu pengetahuan bagi
masyarakat bahwa TPK itu sangat membahayakan dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara dan sekaligus bahwa peran penyidikan itu
sangat penting dalam upaya memberantas TPK di Indonesia.
2. Untuk kepentingan negara dan bangsa
Diharapkan penelitian ini dapat memberikan sumbangan kepada
negara dan bangsa yang dalam hal ini terutama instansi Kejaksaan
Republik Indonesia melalui penyidikan untuk mengungkap TPK guna
melaksanakan penegakan hukum sebagai upaya untuk memberantas
Tindak Pidana Korupsi. Sehingga diharapkan melalui tindakan represif
berupa penyidikan ini dapat menimbulkan daya tangkal dan efek jera
serta dapat meminimalisasi TPK dengan maksud agar tujuan
pembangunan nasional yaitu suatu masyarakat yang adil dan makmur
berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 dapat terwujud,
karena itu institusi kejaksaan perlu meningkatkan kemampuan
penyidikannya untuk mengungkap TPK, karena kunci keberhasilan
mengungkap TPK antara lain melalui tindakan represif berupa
penyidikan.