1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Media massa memiliki peranan penting dalam perubahan di
masyarakat. Ciri paling utama dari media massa adalah bahwa mereka
dirancang untuk menjangkau banyak orang. Salah satu contoh media
massa yaitu televisi. Televisi merupakan salah satu media konvensional
yang masih dapat bertahan di era media baru seperti sekarang. Televisi
masih diminati masyarakat sebagai media yang sarat akan hiburan. Semua
kalangan baik dari segi umur, segi pendidikan, dan dari segi ekonomi
dapat menikmati tontonan yang diinginkan. Tidak dipungkiri televisi
masih memiliki tempat di hati sebagian besar masyarakat walaupun sudah
banyak media elektronik lain yang lebih canggih dan futuristik desainnya.
Bahkan dengan merek telepon genggam tertentu stasiun televisi
mancanegara dapat diakses secara real time atau sering dikenal dengan
streaming.
Seiring dengan perkembangan waktu, di Indonesia muncul televisi
swasta yang kemudian menjelma menjadi lahan bisnis yang menjanjikan.
Dengan keberadaan televisi swasta yang mendominasi siaran televisi
nasional ini juga terkadang dijadikan alat propaganda serta mengeruk
keuntungan yang sebesar-besarnya. Televisi swasta dapat mengudara
memang tidak mendapat subsidi dari pemerintah dalam proses
penyelenggaraannya, sehingga mau tidak mau mereka harus memutar otak
untuk bertahan dalam persaingan industri media. Salah satu cara yang
dilakukan stasiun televisi swasta dengan membuat program tanpa
memikirkan kualitas program tersebut. Namun tidak banyak masyarakat
yang sadar bagaimana hak frekuensi mereka diselewengkan oleh praktisi
media karena adanya kepentingan-kepentingan tertentu pemilik modal.
Masyarakat jika dilihat dari kacamata media sekarang tidak lagi dilihat
sebagai Warga Negara yang harus dididik melalui tayangan yang sarat
2
informasi tetapi sebagai konsumen dari produk-produk yang ditampilkan
oleh media dalam hal ini televisi swasta.
Melihat fakta di lapangan, televisi swasta di masa sekarang belum
melaksanakan fungsinya secara baik. Padahal fungsi televisi sebagai
komunikasi massa memiliki lima fungsi sebagai berikut; 1). Surveillance
(pengawasan); 2). Interpretation (penafsiran); 3). Linkage (pertalian); 4).
Transmittion of Value (penyebaran nilai-nilai); 5). Entertainment
(Hiburan)1. Melihat dari program-program televisi swasta yang
disuguhkan ke masyarakat didominasi pada fungsi hiburan semata.
Banyak adegan yang sebenarnya tidak dianjurkan untuk diangkat dalam
layar kaca. Baik kekerasan, eksploitasi terhadap anak dan perempuan,
serta tayangan yang tidak selaiknya ditayangkan pada jam-jam saat anak-
anak menonton televisi, gosip yang merajalela, seksisme, stereotype
terhadap kaum minoritas dan jurnalisme buruk.
Beberapa masalah yang muncul di ranah industri media, Remotivi
sebuah inisiatif warga untuk kerja pemantauan tayangan televisi di
Indonesia cakupan kerja turut aktivitas pendidikan melek media dan
advokasi.Hadir sebagai sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
yang terbentuk pada tahun 2010, Remotivi bekerja untuk mewadahi
aspirasi publik bahkan pada beberapa masalah menjadi perantara dalam
menemukan solusi. Remotivi mengambil posisi sebagai “teman publik‟
yang mencoba mengambil tanggungjawab penuh untuk mengadvokasi
publik dari tayangan bermasalah.
Berdirinya Remotivi sekaligus menjadi wujud kritik nyata
terhadap kinerja KPI selama ini, yang seharusnya mampu melindungi hak-
hak publik. Remotivi sendiri memiliki anggapan bahwa sebagai khalayak
televisi, pilihan untuk menekan tombol power pada setiap remot televisi
bukanlah jawaban apalagi solusi atas berbagai macam masalah televisi di
1 Elvinaro Ardinto et al. 2004. Komunikasi Massa: Suatu Pengantar. Bandung: PT. Simbiosa Rekatama Media. Hal 14-17
3
era ini. Maka,Remotivi memberi jawaban dalam bentuk tagline
mereka yaitu “Hidupkan televisimu, hidupkan pikiranmu”.
Remotivi sebuah gerakan literasi media dan pemantauan media di
Indonesia memiliki keunikan sendiri dibanding dengan gerakan-gerakan
yang fokus pada hal yang sama yaitu dengan memanfaatkan teknologi
dalam program literasi media kepada khalayak. Gerakan-gerakan yang
yang selaras dengan Remotivi dalam memperjuangkan hak-hak yang sama
lainnya cenderung menggunakan literasi media secara langsung. Pada tipe
ini, lembaga memberikan pendidikan literasi media ke tujuan akhir,
misalnya anak-anak seperti yang dilakukan oleh Sahabat Cahaya.
Kelebihan pemilihan sasaran ini adalah literasi media dapat langsung
diterapkan ke sasaran. Metodenya pun lebih mudah karena tidak perlu
menyusun strategi penyebaran yang lebih luas. Hanya saja, pemilihan
sasaran yang demikian membutuhkan tenagayang lebih besar karena harus
melayani masyarakat yang lebih luas dan lebih banyak.2
Namun, Remotivi memilih dua jalur model literasi media yaitu
berbasis website dengan menyebarkan tulisan kritis di website dan berbasis
kampus diskusi atau seminar. Tetapi, terkadang metode tersebut menemui
hasil yang kurang diharapkan oleh pihak Remotivi. Kegiatan diskusi dirasa
memiliki kekurangan dalam menyampaikan program literasi media. Ada
dua faktor, pertama, materi yang kurang relevan bagi mahasiswa karena
materiyang dibahas jauh dari keseharian mahasiswa. Kedua, dari
pembicara. Bahasan pembicara yang terkadang tidak mudah diserap oleh
kalangan mahasiswa dan pembicara gagal menerjemahkan apa yang
diinginkan Remotivi seperti contoh saat membicarakan K-Pop, Remotivi
mengharapkan persepektif tentang rasionalisasi di balik gejala itu,
2 Puji Rianto. 2013. Model-Model Gerakan Literasi Media dan Pemantauan Media di Indonesia. Yogyakarta: Pusat Kajian Media dan Budaya Populer. Hal 189
4
konsumsi. Namun, yang timbul dalam diskusi adalah kebanggan akan
budaya nasional. Hal itu bukan yang dikehendaki Remotivi.3
Melihat beberapa catatan kritis, Remotivi berputar otak untuk lebih
menggerakkan kalangan muda agar aktif dan kritis. Maka, Remotivi
memanfaatkan teknologi untuk memberikan literasi media khalayak
melalui sebuah aplikasi. Pada hari Sabtu, 21 Februari 2015 bertempat di
Bakoel Koffie, Jakarta, Remotivi memperkenalkan salah satu media untuk
masyarakat yang peduli akan kualitas tayangan televisi Indonesia yaitu
Rapotivi. Rapotivi merupakan aplikasi yang mampu diunduh secara gratis
oleh masyarakat umum dengan fungsi utama menyampaikan laporan atau
pengaduan tentang tayangan televisi yang menyimpang dan melanggar
peraturan. Setiap aduan yang masuk akan diverifikasi dan akan diteruskan
ke Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).
Tidak hanya fitur utama sebagai media pengaduan tayangan,
aplikasi ini juga menawarkan berbagai hal terkait dengan media khususnya
televisi. Mengingat beberapa gerakan masyarat sipil yang peduli media
gencar melakukan pendekatan secara personal namun Remotivi membuat
inovasi baru dengan memanfaatkan teknologi yang mampu menjangkau
seluruh lapisan masyarakat.
Sejak diluncurkan tepat satu tahun pada tanggal 21 Februari 2016
lalu, Rapotivi sudah menerima 1177 aduan dengan 2810 pengguna aktif.
Selama itu, ada 3 jenis pelanggaran yang paling banyak diadukan,
diantaranya: pelanggaran kekerasan (23%), pelanggaran privasi (19%),
dan pelanggaran politik (14%). Dari tiga pemilik media yang
mengeksploitasi media untuk kepentingan politik, Hary Tanoe menerima
paling banyak aduan. Berdasarkan data aduan yang berhasil Rapotivi
himpun selama satu tahun (Februari 2015-Februari 2016), Trans TV
menjadi stasiun TV dengan aduan terbanyak (198 aduan) dan acara
3Ibid, Hal 60.
5
Katakan Putus (Trans TV) menjadi peringkat pertama sebagai tayangan
yang paling banyak diadukan melalui Rapotivi (60 aduan).
Setiap pengguna aplikasi ini dapat langsung mengirimkan sebuah
laporan dengan menggunakan opsi Buat Laporan dimana pengguna harus
mengisi kolom judul tayangan terkait, stasiun televisi yang menyiarkan,
waktu penayangan, jenis pelanggran dan penjelasan mengenai pelanggaran
yang dilakukan. Setelah semua kolom terisi dan dikirim, tim dari Rapotivi
akan melalukan verifikasi terhadap laporan tersebut lalu laporan yang
sudah diverifikasi akan di laporkan ke Komisi Penyiaran (KPI).
Melihat beberapa uraian di atas membuat peneliti tertarik untuk
meneliti secara mendalam mengenai Rapotivi sebagai metode literasi
media oleh Remotivi. Tidak hanya sampai disitu saja, peneliti juga tertarik
untuk mendalami lebih jauh latar belakang pembuatan aplikasi ini,
pengembangan fiturnya serta proses verifikasi dari pengaduan masyarakat
hingga diteruskan ke Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), mengingat
Rapotivi adalah aplikasi pertama di Indonesia mengenai penilaian
tayangan televisi swasta di Indonesia dengan fitur-fitur didalamnya
dikemas secara menarik agar masyarakat lebih peduli dan bergerak aktif
dalam menilai tayangan.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah yang telah dipaparkan,
maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut : “Bagaimana
Rapotivi menjadi metode literasi media Remotivi bagi masyarakat?”
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui fitur Rapotivi dalam rangka memberikan
literasi media.
2. Untuk mengetahui Rapotivi melalui pemrakarsanya yaitu
Remotivi dalam pengunaan metode literasi media ini agar
6
masyarakat melek media dan dampaknya baik bagi masyarakat
atau industri media
D. Kerangka Pemikiran
1. Definisi Gerakan Masyarakat Sipil
Gerakan Masyarakat Sipil atau biasa juga disebut dengan
organisasi masyarakat sipil (Civil Society Organisation) merupakan
asosiasi kelompok atau lembaga yang memiliki tatanan sosial dan mampu
melingkupi berbagai ruang dalam mengakses dan memobilisir masyarakat
atau warga negara di luar varian-varian masyarakat sipil itu sendiri, dalam
arti adanya suatu bentuk tanggung jawab dari organisasi masyarakat sipil
sendiri untuk menjadi jembatan penghubung antara negara dan
masyarakat.4
Pada tahun 1998 saat runtuhnya rezim orde baru, Indonesia
memasuki era reformasi yang membuka peluang demokratisasi oleh
negara. Implikasinya adalah fenomena menguatnya Civil Society
Organization (CSO) atau gerakan masyarakat sipil untuk berpartisipasi
dalam proses pembangunan negara. CSO sebagai bagian dari entitas
negara saat ini memiliki ruang untuk melakukan kebebasan berpikir,
berekspresi, dan berpendapat di muka umum sesuai dengan konstitusi
yang berlaku.
Civil Society menurut Alexix de Tocqueville dalam Rahmat
(2003:15) dapat dilihat sebagai kekuatan penyeimbang negara karena
peranannya sebagai sumber input dalam proses politik bernegara dengan
sistem demokrasi. Sementara itu, civil society memiliki dimensi kultural
sehingga membuatnya juga dipahami sebagai wilayah kehidupan sosial
yang terorganisasi, dengan ciri-ciri kesukarelaan, keswasembadaan,
4 Muhammad Zudairan. 2014. Tesis S2; Advokasi Kebijakan Civil Society Organization (Studi kasus: Rifka Annisa Dalam Strategi Advokasi Kebijakan Perlindungan Perempuan Daerah Yogyakarta). Universitas Gadjah Mada: Yogyakarta
7
keswadayaan, dan kemandirian ketika berhadapan dengan negara. Artinya,
keberadaan civil society penting dalam proses demokratisasi di Indonesia
karena peranannya sebagai penghubung antara warga negara dengan
pemerintah, fungsinya sebagai mitra kritis pemerintah, sekaligus dimensi
kultural yang dimilikinya membuat keberadaannya dalam hubungan
politik dengan negara tetap berorientasi pada kepentingan publik.
CSO yang berkembang di Indonesia sejak era reformasi dapat
dilihat dalam bentuk organisasi, perkumpulan, paguyuban, LSM, ormas
agama, dan kelompok kepentingan lainnya yang aktif dalam
mengadvokasi dan mengawal isu-isu kenegaraan dengan memiliki ciri-ciri
berhadapan dengan negara, swadaya (menghimpun kekuatan sendiri),
swasembada (mencukupi kebutuhan sendiri) (Otho, H, 2010:118).
Keberadaan CSOs dalam kerjasama pembangunan sangat
berpengaruh. Untuk itu kita perlu mengindentifikasi CSOs dari 3 (tiga)
kerangka berikut:
a. Masyarakat Sipil dan Partisipasi Masyarakat
Secara umum masyarakat sipil diposisikan sebagai kaki ketiga dari
tiga kaki, atau sebagai pelengkap terhadap negara dan swasta. Ketiganya
merupakan pilar bagi suatu masyarakat yang telah terorganisasi dan
berfungsi. Keberadaan masyarakat sipil dari perspektif ini dipandang
penting dalam suatu masyarakat yang demokratis dan dalam pembangunan
modal sosial. Di samping itu, pandangan ini juga menyatakan bahwa
masyarakat sipil adalah salah satu pilar dalam demokrasi bersama dengan
eksekutif, legislatif, yudikatif, serta media yang independen.
b. Masyarakat Sipil dan Program Pembangunan
Mereka yang tiap hari bekerja melalui CSOs maupun NGOs
umumnya memiliki perspektif yang sifatnya operasional, dimana CSOs
secara aktif terlibat dalam program-program pembangunan. Dalam
8
perspektif ini, masyarakat sipil bukanlah suatu bangunan abstrak
melainkan suatu kumpulan aktor pembangunan.
c. Masyarakat Sipil dan Pemberdayaan Masyarakat
Beberapa pendekatan lain yang saat ini digunakan untuk
menganalisis masyarakat sipil adalah pendekatan yang berangkat dari
perspektif hak asasi manusia, yang melihat masyarakat sipil sebagai
mekanisme dalam pemberdayaan sosial dari kelas-kelas dalam masyarakat
khususnya masyarakat miskin, juga perempuan, masyarakat adat, dan
kelompok lainnya.
Ketiga perspektif di atas memang berbeda namun saling
melengkapi dan menitikberatkan pada tiga kategori umum dari peran
masyarakat dan CSOs, antara lain:
- Keberadaannya mengindikasikan “masyarakat yang sehat”,
demokrasi yang sehat, dan sistem pemerintahan yang akuntabel dan
efektif.
- Keberadaannya sebagai organisasi yang menjalankan program-
program pembangunan.
- Sebagai mekanisme pemberdayaan masyarakat, khususnya dari
kelompok sosial tertentu dan sebagai realisasi dari penegakkan hak asasi
manusia.
` CSOs sebagai salah satu aktor pembangunan telah menaruh
perhatian yang besar dalam isu-isu demokrasi, tata-kelola pemerintahan
yang bersih, maupun isu-isu yang kurang mendapat perhatian dari para
politisi, organisasi politik, maupun pemerintah. Lebih lanjut CSOs juga
menghadirkan suatu mekanisme bagi masyarakat untuk mengekspresikan
suara-suara masyarakat terhadap persoalan politik, sosial, ekonomi melalui
partisipasi demokratis dari setiap warga negara.
9
Salah satu bentuk CSO yang berkembang di Indonesia berupa
Lembaga Swadaya Masyarakat. Lembaga Swadaya Masyarakat yang
menyuarakan hak-hak khalayak dalam beberapa tahun ini memang banyak
bermunculan dalam berbagai bidang. Perbincangan mengenai isu
akuntabilitas lembaga swadaya masyarakat di Indonesia baru muncul ke
permukaan di awal abad ini.
Dicanangkannya reformasi yang diikuti dengan proses
demokratisasi telah membawa pertumbuhan luar biasa dalam jumlah
organisasi masyarakat sipil, termasuk LSM. LSM kini tidak hanya terlibat
dalam pemberdayaan masayarakat, advokasi dan lain-lain, namun juga
mengawasi kinerja pemerintah, lembaga negara dan lembaga politik
lainnya; menuntut tata- pemerintahan yang baik berupa pemerintah yang
bersih, akuntabel dan transparan; melakukan advokasi terhadap
pelanggaran hak asasi manusia (HAM), pelayanan publik yang lebih
baik, serta memperluas demokrasi dan desentralisasi.5
Keberadaan LSM di Indonesia sebagai perwakilan publik untuk
melakukan pengawasan. Lebih lanjut lagi Jordan dan Tujil (2009)
menjelaskan dalam fungsi pengawasan LSM tidak dapat menyebut dirinya
sebagai satu-satunya lembaga yang melakukan pengawasan. Beberapa
lembaga atau institusi lainnya seperti akademisi dan media misalnya juga
melakukan fungsi pengawasan. Posisi Lembaga Swadaya Masyarakat
apabila dilihat dari relasi negara (state) dan privat, keberadaanya sebagai
aktor intermediary.
Kehadiran LSM di tengah-tengah masyarakat memang tidak dapat
dihindari. Hal ini dikarenakan keterbatasan pemerintah yang tidak dapat
memenuhi kebutuhan masyarakat, dan atau keterbatasan masyarakat dalam
memenuhi tuntutannya kepada negara. Hingga yang terjadi biasanya
5 Jordan dan Tujil. 2009. Akuntabilitas LSM; Politik, Prisnip & Inovasi. Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia
10
adalah peran itu kemudian diambil alih oleh kelompok LSM atau aktor-
aktor intermediary. Di sisi lain, fenomena pembentukan norma dan tatanan
sosial yang dilakukan oleh negara, menciptakan ketegangan dengan
masyarakat, sehingga peran-peran dari aktor intermediary akan sering
terlihat.6
Menurut Noeleen Heyzer, terdapat tiga jenis peranan yang dapat
dimainkan oleh berbagai aktor intermediary yakni mendukung dan
memberdayakan masyarakat pada tingkat grasroots, yang sangat esensial
dalam rangka menciptakan pembangunan yang berkelanjutan. Kedua,
meningkatkan pengaruh politik secara meluas, melalui jaringan kerja
sama, baik dalam suatu negara atau dengan lembaga-lembaga internasional
lainnya. Ketiga, ikut mengambil alih bagian dalam menentukan arah dan
agenda pembangunan.7 Philip Eldridge (dalam Corrothers dan Suryatna,
1995)8 mengajukan tiga model hubungan antara NGO/LSM dengan
negara, dilihat dari dimensi orientasi NGO dalam melakukan kegiatannya.
Model yang pertama: disebut sebagai High Level Partnership;
Grassroots Development. NGO yang masuk dalam kategori ini pada
prinsipnya sangat partisipatif, kegiatannya lebih diutamakan pada hal-hal
yang berkaitan dengan pembangunan daripada yang bersifat advokasi.
Kelompok ini kurang memiliki minat pada hal-hal yang bersifat politis.
Namun mereka mempunyai perhatian yang sangat besar untuk
mempengaruhi kebijakan pemerintah. NGO seperti ini, pada umumnya,
tidak begitu besar dan banyak yang bersifat lokal. Namun demikian, tidak
jarang mereka terlibat dalam kegiatan yang besar, dan selalu memelihara
dukungan pada tingkat grassroots.
6Haryanto et al. 2013. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik volume 16, nomor 3; PKBI:Aktor Intermediary Dan Gerakan Sosial Baru.Yogyakarta 7Affan Gaffar. 2006. Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hal 203. 8 Suharko. 2005. Merajut Demokrasi; Hubungan NGO-Pemerintah dan Pengembangan Tata Pemerintahan Demokratis. Yogyakarta: Penerbit Tiara Wacana
11
Model yang kedua: disebut High Level Politics; grassroots
Mobilization. NGO yang termasuk dalam kategori ini mempunyai
kecenderungan untuk aktif dalam kegiatan politik. Kegiatan-kegiatan
mereka tidak jarang berhubungan dengan usaha untuk mendukung
“peningkatan kesadaran politik” masyarakat. Mereka pada umumnya tidak
begitu saja dapat bekerja sama dengan pemerintah, sekalipun ada juga
diantaranya telah mendapat proyek-proyek penelitian dari pemerintah.
NGO dalam kategori ini bersifat advokatif, terutama dalam memobilisasi
masyarakat guna mendapat tempat dalam kehidupan politik.
Model yang ketiga: disebut sebagai Empowerment at Grassroots.
NGO ini cenderung memusatkan perhatiannya pada usaha untuk
memberdayakan masyarakat, terutama pada tingkat grassroots. Mereka
tidak begitu berminat untuk mengadakan kontak dengan pejabat
pemerintah. Mereka tidak juga memusatkan perhatian dan energinya untuk
melakukan kampanye guna mengadakan perubahan. Mereka juga percaya,
bahwa perubahan akan muncul sebagai akibat dari meningkatnya kapasitas
masyarakat, bukan sesuatu yang berasal dari pemerintah. Dan mereka
tidak mau terlibat dalam kegiatan yang berskala besar.
Di Indonesia sendiri, gerakan masyarakat sipil peduli media yang
memperjuangkan hak-hak warga negara telah menjadi perhatian akhir-
akhir ini. Gerakan-gerakan tersebut sering disebut gerakan literasi
media. Setiap LSM memiliki cara dan target yang berbeda-beda.
Seperti halnya Yayasan Sahabat Cahaya (Jakarta) yang digerakkan
oleh organisasi pemuda masjid Al-Azhar, Jakarta. Target yayasan ini
ke anak dan remaja melalui pendidikan yang berwujud pada
Playgroup, TK, dan Sains Club dengan metode yang fun dengan
eksperimen, mendongeng, dan bernyanyti. Tujuan mereka agar anak
lebih kritis dalam bermedia. Ada lagi Masyarakat Peduli Media
(MPM) di Yogyakarta menerapkan pendidikan literasi media dengan
melakukan pembinaan terhadap ibu-ibu untuk tidak hanya paham dan
12
kritis terhadap media namun juga didorong untuk menjadi aktivis. Ibu-
ibu menjadi subjek program literasi media. Hal ini didasarkan bahwa
gerakan untuk melindungi anak-anak dari pengaruh media yang tidak
sehat dan kurang mendidik akan lebih efektif apabila disampaikan oleh
orang terdekat mereka seperti orangtua terutama ibu.
Adalagi inovasi kurikulum yang dilakukan oleh Early Chilhood
Care and Development-Resource Centre atau Pusat Pengembangan
Program Pendidikan Anak Usia Dini. Di program mereka, guru
menjadi sasaran. Hal ini dikarenakan guru dianggap memiliki
pengaruh yang kuat untuk mengubah masyarakat. Masih ada beberapa
lembaga swadaya masyarakat yang gencar dengan memperjuangkan
hak-hak masyakarat berkaitan dengan media. diharapkan agar
penyiaran khususnya televisi di Indonesia jauh lebih baik lagi dan
masyarakat lebih cerdas dalam memilih dan memilah media tanpa
mengurangi esensi pesan media.
2. Definisi dan Konsep Literasi Media
Literasi media berasal dari kata bahasa inggris yaitu Media
Literacy, terdiri dari dua suku kata Media berarti media tempat pertukaran
pesan dan Literacy berarti melek, kemudian dikenal dalam istilah Literasi
Media. Konsep literasi media sendiri merupakan lanjutan dari konsep
literasi, atau melek huruf. Literasi selalu berkenaan dengan membaca dan
menulis. Namun, lebih jauh lagi literasi juga berkaitan tentang pemahaman
yang kritis dari apa yang dibaca dan mengkomunikasikannya kepada pihak
lain. Konsep literasi media tidak dapat dipisahkan dengan media
cetak,artinya kemampuan untuk membaca. Sehingga beberapa ahli
memperluas menjadi literasi visual dengan media lain, seperti televisi dan
film.9
9 Wisnu Martha. Literasi Media dan Intrepertasi atas Bencana. Hal 4.
13
Konsep literasi media lebih kompleks daripada konsep literasi
karena banyak berhubungan dengan konsep lain, yaitu: konsep pendidikan
media, berpikir kritis dan aktivitas memproses informasi.10 Dengan hal ini,
tidak ada kesepakatan di antara para ahli mengenai definisi literasi media.
Potter membuat kategori definisi literasi media. Definisi literasi media
dapat dibagi dalam tiga kategori, yaitu: the umbrella definition, the process
definition, and the purpose definition.11 Definisi payung dapat dijelaskan
bahwa literasi media sebagai pelindung individu ketika individu terkena
hujan informasi dari media. Definisi proses menunjukkan bahwa literasi
media adalah sebuah kecakapan yang berfungsi ketika individu mengakses
media massa. Definisi tujuan sebagai sebuah hasil dari konstruksi yang
dibangun dalam pikiran individu sehingga individu tersebut mempunyai
kontrol lebih besar mengenai pesan media yang diterima.
Untuk mengenal literasi media lebih jauh, berikut ini merupakan
definisi literasi media berdasarkan tiga kategori sebelumnya:
Definisi pertama, literasi media adalah a perspective from which
we exposeourselves to the media and interpret the meaning of the
messages we encounter. We build our perspective from knowledge
structures, which are constructed from information using skills.12
Dari definisi ini, literasi media merupakan perspektif yang
digunakan secara aktif ketika berhadapan dengan media untuk
menginterpretasi makna pesan yang diterima. Setiap orang memerlukan
pengetahuan untuk membangun perspektif. pengetahuan didapat karena
“alat” dan “bahan mentah”. Alat disini diartikan sebagai kemampuan yang
harus dimiliki. Sedangkan bahan mentah merupakan informasi dari media
dan dari dunia nyata. Konsumsi aktif atas media berarti orang memahami
pesan dan secara sadar berinteraksi dengan pesan (media) tersebut.
10 W. James Potter. 2004. Theory of Media Literacy: A Cognitive Approach. London: Sage Publication.Hal 23 11Ibid, Hal.42. 12 W. James Potter. 2001. Media Literacy. Second Edition. London: Sage Publications. Hal 2.
14
Sedangkan definisi yang kedua adalah: the ability to access analyze
evaluateand communicate information in a variety of format including
print and nonprint.13 Literasi media adalah seperangkat kecakapan yang
berguna dalam proses mengakses, menganalisis, mengevaluasi, dan
menciptakan pesan dalam beragam bentuk. Literasi media digunakan
sebagai model instruksional berbasis eksplorasi yang mendorong individu
mempertanyakan secara kritis apa yang mereka lihat, dengar, dan baca.
Salah satu cara untuk mengembangkan literasi media tersebut
diperlukan pendidikan literasi. Literasi media diasumsikan bisa diajarkan
secara terencana kepada kelompok masyarakat tertentu. Pendidikan media
menyediakan alat untuk menolong audiens agar dapat menganalisis secara
kritis pesan media untuk mendeteksi propaganda, sensor, dan bias dalam
berita dan berbagai program yang berkaitan dengan kehidupan publik, dan
memahami struktur institusi media, seperti kepemilikan media dan
pendanaannya.14
Terakhir, literasi media didefinisikan sebagai an informed,
criticalunderstanding of the mass media. It involves examining the
techniques, technologies and institutions involved in media production;
being able to critically analyze media messages; and recognizing the role
audiences play in making meaning from those messages.15
Definisi terakhir ini menunjukkan bahwa literasi media adalah
sesuatu yang lebih luas dari sekadar mengkonsumsi informasi. Seseorang
yang memahami media berarti individu tersebut dapat pula memproduksi,
menciptakan dan mengkomunikasikan informasi dalam berbagai bentuk.
Literasi media juga dapat didefinisikan sebagai kemampuan untuk
berkomunikasi dan mendapatkan informasi yang responsif terhadap
13 Wisnu Martha, op.cit, Hal 6. dikutip dari
http://www.ced.appstate.edu/departments/ci/programs/edmedia/medialit/article.html#
What%20is%20Media%20Literacy 14Ibid. 15Ibid dikutip dari http://www.nmmlp.org/
15
perubahan bentuk pesan di dalam masyarakat. Sehingga kemampuannya
tidak terbatas pada mengumpulkan informasi saja, tetapi memproduksi
sesuai kondisi aktual. Literasi media pada tingkat lanjut bergerak dari
mengenali dan memahami informasi ke tahap yang lebih tinggi yaitu
kecakapan berpikir kritis seperti mempertanyakan, menganalisis, dan
mengevaluasi informasi tersebut. Pada akhirnya, literasi media digunakan
untuk mengaitkannya dengan konteks yang lebih besar, semisal kondisi
sosio-kultural sebuah masyarakat.16
3. Pemanfaatan Teknologi Komunikasi Memunculkan Media Layanan
Publik Berbasis Teknologi Digital
Teknologi komunikasi berkaitan erat dengan informasi. Ada
teknologi komunikasi yang berfungsi menyalurkan informasi. Ada juga
teknologi komunikasi yang berfungsi mengolah informasi. Namun ada
juga teknologi komunikasi yang berfungsi sebagai pengolah dan
penyimpan informasi. Tidak berlebihan apabila orang menyebut teknologi
komunikasi sebagai teknologi informasi. Tetapi bertolak dari pengertian
teknologi informasi yang ditulis Richard Weiner, dalam Webster’s New
World Dictionary of Media and Communications yang menyebutkan
bahwa teknologi informasi adalah pemrosesan, pengolahan, dan
penyebaran data oleh kombinasi komputer dan telekomunikasi (1996:303),
maka teknologi informasi lebih merupakan pengerjaan terhadap data.
Teknologi informasi lebih menitikberatkan perhatiannya pada bagaimana
data “ditukangi” dengan menggunakan komputer dan telekomunikasi.17
Sebenarnya ada perbedaan yang mendasar pada keduanya. Apabila
teknologi komunikasi menekankan pada alat yang menambah kemampuan
orang berkomunikasi, maka teknologi informasi adalah pengerjaan data
oleh komputer dan telekomunikasi. Kenyataan ini membuat seorang ahli
16Ibid. 17 Ana Nadya Abrar. 2003. Teknologi Komunikasi: Perspektif Ilmu Komunikasi. Yogyakarta: Lesfi. Hal 3-4
16
komunikasi, Andre Hardjana, menggunakan istilah teknologi informasi
dan komunikasi. Penggunaan istilah tersebut dianggap hal yang sah.18
Teknologi komunikasi kemudian memungkinkan manusia melihat
berbagai fenomenasosial yang saling berkaitan dan mempengaruhi. Dari
sisi khalayak, teknologi komunikasi digunakan untuk mencari, mengolah,
membagi, menyimpan, membandingkan, memutakhirkan informasi. Tidak
heran bila teknologi menjadi sentral dalam proses komunikasi. Jika
seorang individu tidak membutuhkan informasi, tentunya dia tidak perlu
teknologi komunikasi. Sebaliknya, jika seorang individu membutuhkan
informasi yang banyak, maka dia butuh teknologi komunikasi yang
canggih.
Dengan berkembangnya teknologi saat ini, masyarakat Indonesia
sudah dimudahkan dengan berbagai aktivitas interaksi dengan pemerintah
atau aktor intermediary sebagai bagian dari elemen pengawasan terhadap
berbagai kebijakan dan layanan publik yang diberikan oleh pemerintah
untuk rakyatnya.
Kebutuhan sarana dan prasarana yang sangat cepat dan efisien pun
sangat diharapkan oleh masyarakat sehingga apa yang menjadi keinginan,
keluhan dan kritikan terhadap pemerintah dapat langsung terakomodasi
dengan baik. Hadirnya media aduan berbasis teknologi seperti website dan
aplikasi berbasis Android dan Apple.
Salah satu contoh website untuk memenuhi kebutuhan tersebut,
kini sebuah aplikasi bernama LAPOR! pun dirilis. LAPOR! adalah
kepanjangan dari Layanan Aspirasi dan Pengaduan Online Rakyat.
Dengan menggunakan teknologi yang berkembang saat ini, masyarakat
pun dapat berpartisipasi langsung dalam pengawasan terhadap berbagai
layanan publik.
18Ibid, Hal 4.
17
Melalui website resminya di Lapor.ukp.go.id, saat ini aplikasi
layanan publik tersebut sudah terintegrasi dengan 80 Kementerian atau
Lembaga serta 5 lembaga pemerintahan di daerah dan BUMN di seluruh
Indonesia. Proyek ini dikembangkan oleh Unit Kerja Presiden Bidang
Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP-PPP). Hingga saat ini,
aplikasi tersebut telah digunakan oleh lebih dari 260.000 pengguna aktif.
Bahkan sebanyak 1.000 laporan pun selalu masuk setiap harinya. Prestasi
tersebut menampilkan betapa masyarakat sangat aktif dan memiliki reaksi
yang baik terhadap pemerintah Indonesia.19
Selain itu ada juga Qlue, aplikasi hasil karya anak negeri ini
semakin dikenal masyarakat luas. Peranti lunak untuk pelaporan berbasis
media sosial ini digunakan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta.
Sejak diluncurkan dua tahun lalu, pengguna aplikasi tersebut semakin
meningkat. Hingga saat ini, Qlue digunakan sekitar 200 ribu pengguna.
Platform yang sejenis degan media sosial ini memang dibuat untuk
menjadi jembatan komunikasi antara masyarakat dan pemerintah.
Melalui aplikasi ini, semua urusan publik dapat lebih mudah dan
transparan. Tujuan aplikasi ini untuk membawa Jakarta ke arah perubahan
yang lebih baik. Fokus aplikasi ini agar masyarakat yang merupakan
pengguna aktif dalam bentuk laporan berupa teks maupun foto. Nantinya
akan ditindaklanjuti dinas terkait. Sampai saat ini ada sekitar 5.000 laporan
per hari dan 90% diantaranya akan ditindaklanjuti.20
Pemerintah Kulon Progo kini membuka lebar-lebar aduan dan
keluhan dari masyarakat untuk memperpaiki kinerja Pemerintah. Pemkab
Kulon Progo telah meluncurkan aplikasi SEMAR (Sistem Aduan
Masyarakat), demi terwujudnya keterbukaan publik.SEMAR merupakan
sarana bagi masyarakat untuk menyampaikan aduan kepada pemerintah
19http://teknoreti.blogspot.co.id/2014/10/aplikasi-lapor-cara-baru-sampaikan.html diakses pada tanggal 15 Februari 2016 pukul 20:52 WIB 20http://www.jawapos.com/read/2016/03/21/21601/aplikasi-qlue-terima-5000-aduan-warga-per-hari diakses pada tanggal 18 Februari pukul 15:45 WIB
18
kabupaten Kulon Progo. Inovasi ini untuk melengkapi sarana yang ada
terkait dengan implementasi Undang-Undang tentang Keterbukaan
Informasi Publik di Pemkab Kulon Progo. Aplikasi ini dibuat oleh pranata
komputer di instansinya, sehingga apabila ada kekurangan masih bisa
diperbaharui atau disempurnakan. Tak hanya itu, aduan yang masuk dari
masyarakat sebelum dipublish terlebih dahulu akan diseleksi oleh petugas
admin.21
Dengan mengandalkan telepon genggam atau yang sekarang lebih
dikenal dengan smartphone merupakan alat yang mampu menjangkau
ruang dan waktu yang melampaui batas global. Tentu saja hal ini
memudahkan Remotivi sebagai aktor intermediary dalam menyebarkan
informasi mengenai literasi media yang terstruktur dan sesuai dengan visi
dan misinya agar masyarakat lebih kritis dalam mendapatkan informasi
melalui siaran televisi.
4. Model Gerakan Literasi Media
Gerakan literasi media mulai marak di Indonesia namun
sebenarnya masih lemah apabila disebut sebagai sebuah gerakan. Pertama,
tidak adanya komunikasi dan kerja sama diantara para aktor yang terlibat
dalam gerakan literasi media. Hal ini mengakibatkan kelompok-kelompok
tersebut bergerak sendiri-sendiri. Kedua, lemahnya koordinasi di antara
aktor pelaku literasi media sehingga sasaran dan target yang ditetapkan
dari tiap-tiap gerakan sulit dicapai apabila berhasil juga tidak secara
menyeluruh dan tidak mudah untuk menggunakan model tersebut di
tempat lain.22 Model gerakan literasi media bermacam-macam di
Indonesia mulai dari target sasaran sampai metode yang digunakan untuk
melakukan literasi media. Menurut Agus Salim, model mempunyai derajat
21http://www.suarayogyakarta.com/blog/2015/09/aplikasi-semar-sistem-aduan-masyarakat/ diakses pada tanggal 20 Februari pukul 19:35 WIB 22 Rianto, op.cit., hal. 14
19
yang lebih tinggi dibandingkan dengan teori.23 Menurutnya, perbedaan
keduanya terletak pada nilai informasi yang berasal dari aras
kemujaradannya. Suatu model dibentuk oleh seperangkat dalil rendahan
berangkai, sedangkan teori dibentuk suatu sistem dalil-dalil beraras
kemujaradan lebih tinggi.24 Lebih jauh, konsep dan dalil-dalil yang berada
di aras kemujaradan yang relatif lebih tinggi memiliki informasi yang luas
dan tidak terikat ruang waktu. Sebaliknya, konsep dan dalil yang berada di
aras kemujaradan lebih rendah memiliki informasi yang relatif terikat oleh
ruang dan waktu. Model merupakan rangkaian terpadu dalil-dalil rendahan
sehingga memiliki suatu makna, sedangkan teori adalah rangkaian sistem
dari dalil-dalil tengahan sehingga membentuk suatu makna.25
Suatu model berisi pernyataan-pernyataan mengenai hubungan-
hubungan konsep atau berbagai peubah yang tidak membutuhkan
“epidemistic proposition”.26 Menurutnya, model mengandung logika-
deduktif yang dibutuhkan dalam struktur bangunan teori karena
merupakan alat dalam membangun teori. Dalam kaitan ini, model
memerlukan kaidah-kaidah untuk dapat dijelaskan secara empiris, tetapi
model juga memerlukan kaidah-kaidah untuk menyesuaikan diri dengan
indikator empiris dari lapangan (epidimistic proposition). Dengan
demikian, menurut Salim, model menjadi unsur terakhir dalam
membangun teori sebab ketika teori telah selesai dibangun maka model-
model tersebut tidak lagi digunakan.27
Dalam buku Model-Model Gerakan Literasi dan Pemantauan
Media di Indonesia, tim peneliti berusaha merumuskan sebuah model
‘ideal’ bagi pendidikan literasi media di Indonesia. Berdasarkan analisis,
dirumuskan suatu model yang diharapkan dapat menjawab kebutuhan
23 Agus Salim. 2006. Bangunan Teori: Metodologi Penelitian untuk Bidang Sosial, Psikologi, dan Pendidikan, Yogyakarta: Tiara Wacana 24 Salim, loc.cit., hal. 68 25 Salim, loc.cit., hal. 69 26 Salim, loc.cit., hal. 71 27Ibid
20
model pendidikan literasi media di Indonesia. Ada enam indikator yang
akan digunakan untuk menilai model-model pendidikan literasi media
yang ada, yaitu dilihat dari sisi metode, relevansi, kontinuitas, tujuan-
tujuan literasi media, aktor, dan keberlanjutan program (sustainability).
a. Metode
Metode (method) berasal dari bahasa Latin dan juga Yunani,
methodus , yang berasal dari kata meta yang berarti sesudah atau di atas,
dan kata hodos, yang berarti suatu jalan atau suatu cara.28
Metode secara harfiah menggambarkan jalan atau cara
suatu totalitas dicapai atau dibangun. Mendekati suatu
bidang secara metodis berarti memahami atau
memenuhinya sesuai dengan rencana, mengatur berbagai
kepingan atau tahapan secara logis dan menghasilkan
sebanyak mungkin hubungan.
Metode dan sistem membentuk hakikat ilmu. Sistem
bersangkutan dengan isi ilmu, sementara metode berkaitan
dengan aspek formal. Lebih tepat, sistem berarti
keseluruhan pengetahuan yang teratur atau totalitasisi dari
ilmu.29
Dari kedua definisi tersebut, karakter metode meliputi: pertama,
metode merupakan sebuah aktivitas yang relatif mapan yang digunakan
oleh suatu kelompok. Kedua, terkadang karena sudah terbiasa dan relatif
mapan, metode merupakan aktivitas yang sudah menjadi kebiasaan dari
suatu kelompok. Ketiga, metode yang telah mapan dan menjadi kebiasaan
biasanya menjadi tindakan yang logis dan merupakan sebuah proses yang
28 Lorens Bagus. 2005. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama 29Ibid, Hal 635.
21
sistematis untuk mencapai tujuan tertentu dengan akurasi dan efisiensi
penggunaan sumber daya.30
b. Relevansi
Kata relevan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti kait-
mengait; bersangkut paut; atau berguna secara langsung. Asian
Development Bank meminjam konsep dari Organization for Economic
(OEC-DAC), memasukkan relevansi ke dalam empat kriteria evaluasi
program, yaitu relevanis, efektivitas, sustainability (keberlanjutan), dan
dampak. Dalam hal ini, OECD-DAC mendefiniskan relevansi sebagai “the
extent to which the aid activity is suited to the priorities and policies of the
target group, recipent, and donor.31 Dalam konteks riset gerakan literasi
media dalam buku Model-Model Gerakan Literasi Media dan Pemantauan
Media di Indonesia, relevansi berkaitan dengan kesesuaian antara
substansi materi yang diberikan dengan level pengetahuan, kebutuhan
informasi, atau isu yang dihadapi sasaran program.
c. Kontinuitas
Kontinuitas atau kesinambungan mengacu pada keberaturan
berdasar kaidah tertentu.Kontinuitas pada hakikatnya menjaga agar suatu
program tidak membingungkan dan tercapai sesuai dengan tujuan yang
ditetapkan. Untuk mempertahankan kontinuitas, penting untuk menjaga
arah program agar tetap beradadi jalur yang sesuai dengan tujuan yang
ditetapkan. Jadi, penting untuk memahami penetapan tujuan program
sebelum menganalisis kontinuitas dari kegiatan-kegiatan yang mendukung
program.32
d. Tujuan Edukasi
30 Rianto. Op.cit., Hal 27. 31 __________. 2011. Guidelines for Knowledge Partnership. Mandaluyong City: Asian Develompent Bank. 32 Rianto.op,cit.,Hal 28.
22
Mengenai tujuan edukasi mengacu pada teori Taksonomi Bloom
yang dikembangkan oleh Benjamin Bloom pada tahun 1956. Bloom
membagi tujuan penyelenggaran pendidikan ke dalam tiga ranah, yaitu
ranah kognisi (cognitive domain), ranah afeksi (affective domain), dan
ranah psikomotor (pschyomotor domain). Ketiganya menentukan materi
dan substansi pendidikan. Ranah kognisi meliputi pengetahuan dan
pengembangan intelektualitas. Pada ranah afeksi berkaitan dengan sikap
seseorang secara emosional baik perasaa, psikomotor, penerimaan,
motivasi, maupun tindakan. Sementara, ranah psikomotor bergerak pada
tataran perilaku. Domain ini adalah domain tersulit karena membutuhkan
kecakapan, keterampilan, dan latihan terus menerus.33
Dalam pendidikan literasi media, tiga ranah tersebut merupakan
rujukan dalam menetapkan tujuan literasi media. Art Silverblatt
menetapkan hasil atau dampak (outcome) sebuah pendidikan literasi media
seharusnya mampu mengembangkan kesadaran kritis, diskusi, pilihan
yang kritis, dan aksi sosial.34 Keempat hasil ini menjadi tujuan-tujuan yang
seharusnya dicapai dalam sebuah pendidikan literasi media. Tujuan
pertama dapat dikategorikan dalam ranah kognisi, tujuan kedua merupakan
ranah afeksi, dan tujuan ketiga dan keempat masuk dalam ranah
psikomotor.
e. Aktor
Aktor, dalam teori Strukturasi, disebut dengan istilah human agent.
Maknanya hampir sama dengan individu, aktor (agen) lebih mengacu pada
watak individu yang aktif, memiliki tujuan dan alasan dari setiap
tindakannya dan mampu memperinci tindakannya tersebut dengan detail.35
Aktor apabila dilihat dari konteks tindakan sosial tidak dapat dilepaskan
33 Rianto, op.cit, Hal 29 dikutip dari “Bloom’s Taxonomy of Learning Domains: Three Types of Learning 34 Art Silverblatt. 1995. Media Literacy: Keys to Interpreting Media Messages. London: Praeger. Hlm 303-305. 35 Rianto, op,cit, Hal 30 dikutip dari http://galihga.blog.fisip.uns.ac.id/2011/12/
23
dari konsep aktor dalam Teori Strukturasi. Dalam teori tersebut dijelaskan
bahwa setiap tindakan yang dilakukan oleh aktor memiliki tingkatan
kesadaran berupa kesadaran diskursif (discursive conciusness), kesadaran
praktis (practical conciousness), dan motif atau kognisi tak sadar
(unconscious motives/cognition).36 Kesadaran diskursif adalah apa yang
mampu dikatakan atau diberi ekspresi oleh aktor tentang kondisi sosial.
Kesadaran praktis adalah apa yang diketahui oleh aktor tentang kondisi-
kondisi sosial, khususnya kondisi mengenai tindakannya sendiri, namun
tidak dapat mengekspresikannya secara diskursif.
Sementara motif atau kognisi tak sadar menjadi landasan aktor
untuk menjalankan rutinitasnya. Ketiga tingkatan ini mempengaruhi faktor
dalam perubahan struktur. Lebih jauh, pilihan agen nantinya sangat
mempengaruhi keberhasilan pendidikan literasi media. Agen bukan hanya
ditentukan dari tingkat kesadaranyya saja tetapi juga posisinya dalam
struktur sosial karena letak menentukan akses perubahan sosial yang
mungkin diciptakan.37
f. Sustainability (Keberlanjutan)
Sustainability atau berkelanjutan berkaitan dengan mengukur
apakah manfaat dari suatu kegiatan mungkin akan berlanjut setelah
pendanaan donor ditarik. Dapat dikatakan bahwa keberlanjutan program
atau proyek memerlukan kelanjutan lingkungan dan keuangan. Dalam
kerangka partnership, kebrlanjutan biasanya terdiri dari dua komponen,
yaitu kemungkinan bahwa capaian pengetahuan mitra akan dipertahankan,
dan kedua kesinambungan pengetahuan kemitraan itu sendiri.38
Seperti yang dijelaskan oleh Shreier (2005), keberlanjutan hampir
tidak pernah didefiniskan sebagai konsep yang terpisah. Keberlanjutan
36 Rianto, loc, cit dikutip dari http://satrioarismunandar6.blogspot.com/2008/11/perubahan-truktur-menurut-teori.html 37 Rianto, Op,cit., hal 30-31 38 Asian Development Bank. 2011.Guidlines for Knowledge Partnerships. Mandaluyong City: Asian Development Bank. Hlm 24
24
seperti halnya kerangka Life cycle suatu program yang terdidi dari enam
tahap, yakni inisiasi, pengembangan, implementasi, evaluas, keberlanjutan
atau ketakberlanjutan, dan persebaran atau diseminasi. Inisiatif berasal dari
gagasan program yang diterima sebagai suatu masalah penting. Gagasan
ini kemudian berkembang ke dalam detail-detail, menyangkut komponen-
komponen gagasan yang kemudian teruji.
Setelah itu, program kemudian dipraktikkan ke dalam target
komunitas atau organisasi. Setelah melakukan implementasi kemudian
dilakukan evaluasi. Dalam tahap evaluasi ini, dapat diukur kemajuan-
kemajuan maupun prestasti yang dicapai. Setelah itu baru dapat dilihat
keberlanjutan sebuah program. Di sini, keberlanjutan dilihat sejauh apakah
program atau prakarsa yang sudah dilakukan tetap dipertahankan setelah
lembaga donor atau pendorong keluar dari program tersebut.39
Keberlanjutan juga dapat dikatakan sebagai bagian dari “proses
perubahan” yang lebih besar di mana serangkaian langkah-langkah
tindakan membantu memperkuat infrastruktur sistem dan atribut inovatif
yang pada gilirannya membantu keberlanjutan inisiatif. Proses ini
bergantung pada infrastruktur organisasi yang fleksibel dan mau menerima
perubahan.40 Namun dalam hal sustainability atau keberlanjutan ini tidak
semua program memberikan perubahan pada komunitas atau orgnaisasi.
Seringkali terjadi keberlanjutan sebatas pada pengetahuan dan bagaimana
pengetahuan-pengetahuan itu dipertahankan.
E. Kerangka Konsep
Dari penjabaran kerangka pemikiran di atas, dijelaskan bahwa
Remotivi merupakan salah satu gerakan literasi media dan pemantauan
media di Indonesia yang memanfaatkan teknologi agar masyarakat kritis
terhadap televisi nasional. Salah satu program literasi media milik
39 Rianto. Op, cit, Hal 32. dikutip dari http://www.womensheakth.gov/publications/federal-reports/sustainabilityReview-060109.pdf 40 Rianto. Op,cit., hlm 32
25
Remotivi yaitu Rapotivi menjadi inovasi baru dan memiliki keunikan
sendiri di tengah semakin pesatnya perkembangan teknologi. Agar mampu
dijangkau dan digunakan dengan mudah, Rapotivi hadir sebagai jembatan
masyarakat dengan KPI agar lebih menjadi lembaga independen yang
cepat tanggap dalam melaksanakan tugasnya.
Remotivi yang telah memiliki kepengurusan dan pegiat mampu
menjalankan Rapotivi sesuai dengan tugas dan tanggung jawab masing-
masing. Dalam penelitian yang menggunakan studi kasus ini peneliti akan
melihat dari salah satu indikator yaitu metode karena Remotivi menjadikan
Rapotivi sebagai metode literasi media yang menyasar masyarakat.
Metode ini berkaitan erat dengan kelmpok sasaran yang dipilih oleh
pelaku gerakan literasi media dan juga tujuan-tujuan kegiatan yang
berkaitan dengan Rapotivi yang nantinya akan dijadikan kerangka konsep.
Penelitian ini memfokuskan Rapotivi sebagai metode literasi media
yang dilakukan oleh Remotivi. Agar penelitian memiliki batasan dan tidak
melebar ke aspek lain, peneliti menurunkan konsep gerakan literasi media
ke dalam kerangka konsep penelitian. Berikut kerangka konsep yang
disusun oleh peneliti;
Rapotivi sebagai Metode Literasi Media Remotivi
26
Gambar 1.1 Kerangka Konsep Penelitian
F. Manfaat Penelitian
1. Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat
memberikan kontribusi positif terhadap khasanah keilmuan
pada Jurusan llmu Komunikasi, khususnya mengenai literasi
media. Terlebih penelitian ini agar dapat memberikan
sumbangan pemikiran bagi para pembacanya, khususnya
mahasiswa Ilmu Komunikasi yang ingin meneliti mengenai
literasi media.
2. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat menambah
pengetahuan serta wawasan bagi penelitian Ilmu
komunikasi, khususnya literasi media melalui aplikasi.
27
G. Metodologi Penelitian
Peneliti memilih menggunakan metode penelitian studi kasus.
Pemilihan metode penelitian ini karena studi kasus merupakan studi yang
dilakukan untuk mencari kedalaman penjelasan atas ‘kasus’ yang diteliti,
digunakan untuk kasus spesifik (mempunyai keunikan atas konteks
alamiah, sejarah, lingkungan fisik, konteks ekonomi, politik, sosial,
estetika), dibatasi oleh waktu, dan dalam proses pengumpulan datanya
menggunakan banyak ragam sumber.41
Menurut Robert K. Yin, studi kasus adalah suatu inkuiri empiris
yang menyelidiki fenomena di dalam konteks kehidupan nyata, bilamana
batas-batas antara fenomena dan konteks tak tampak tegas, dan dimana
multi sumber bukti dimanfaatkan.42 Dalam bukunya, juga ditambahkan
secara umum studi kasus merupakan strategi yang lebih cocok bila pokok
pertanyaan suatu penelitian berkenaan dengan “How” atau “Why”, bila
peneliti hanya memiliki sedikit peluang untuk mengontrol peristiwa-
peristiwa yang akan diselidiki, dan apbaila fokus penelitiannya terletak
pada fenomena kontemporer (masa kini) di dalam konteks kehidupan
nyata.43
1. Alasan Pemilihan Studi Kasus
Dalam penelitian ini, jelasnya peneliti ingin mencari jawaban atas
pertanyaan bagaimana pengelolaan aplikasi Rapotivi. Penelitian ini juga
dilakukan guna memberi gambaran secara mendetail tentang Remotivi
sebuah gerakan literasi media yang memanfaatkan tekonologi sebagai
salah satu programnya yang kemudian lebih jauh akan membahas tentang
latar belakang pembuatan Rapotivi, fitur-fitur aplikasi secara detail, serta
proses dari pengaduan masyarakat ke verifikasi sampai diteruskan ke 41Pitra Narendra. 2008. Metodologi Riset Komunikasi. Yogyakarta:Pusat Kajian Media dan Budaya Populer. Hal 83. 42 Robert Yin. 2003. Studi Kasus: Desain dan Metode (edisi revisi). Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Hal 18. 43Ibid. Hal 1
28
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Lebih jauh, peneliti juga akan melihat
tentang efektifitas aplikasi ini dalam me-literasi media pada khalayak.
2. Lokasi Penelitian
Penelitian ini akan berlangsung di kantor Remotivi khususnya pada
bagian yang bertanggung jawab terhadap aplikasi Rapotivi.
Alamat kantor : Jalan Satria Raya No. 36 Kelurahan Jati,
Kecamatan Pulo Gadung, Jakarta Timur 13220
Telepon : (021) 4750363
Email : [email protected]
3. Teknik Pengumpulan Data
Untuk mencari informasi guna mendapatkan data-data yang
diperlukan dalam penelitian ini, akan digunakan beberapa teknik antara
lain;
a). Observasi
Dalam penelitian ini peneliti memilih observasi langsung.
Observasi dilakukan secara langsung di lapangan. Peneliti akan
mengamati dan mencatat langsung bagaimana pengelolaan Rapotivi
oleh Remotivi posisi peneliti nantinya akan berjarak dengan objek
yang diteliti. Dengan asumsi bahwa fenomena yang diamati tidak
asli historis, beberapa pelaku atau kondisi lingkungan yang relevan
akan tersedia untuk observasi. Fungsi observasi dalam hal deskripsi
adalah menjelaskan dan merinci gejala yang terjadi.
b). Wawancara
Wawancara atau interview adalah sumber yang penting
dalam penelitian ini. Pertanyaan mendalam (in depth interview),
metode wawancara yang digunakan dalam penelitian ini
melibatkan individu yang memiliki peran dan posisi dalam
29
pengelolaan program literasi media, Rapotivi. Wawancara
mendalam dilakukan untuk memperoleh data yang mencakup hal-
hal yang berkaitan di masa lampau, sekarang, dan masa yang akan
datang.
c). Studi Pustaka
Studi pustaka adalah pengumpulan data yang dilakukan
dengan mempelajari buku-buku referensi, laporan-laporan, jurnal-
jurnal dan media lainnya yang berkaitan dengan obyek penelitian.
d). Dokumentasi
Dokumen yang akan digunakan oleh peneliti disini berupa
foto, gambar, serta data-data mengenai pengelolaan program
literasi media Remotivi yaitu Rapotivi dan detail aplikasi ini. Hasil
penelitian dari observasi dan wawancara akan semakin sah dapat
dipercaya apabila didukung oleh foto-foto.
4. Teknik Analisis Data
Dari data yang sudah didapatkan, baik itu dari wawancara dengan
pengurus dan pegiat Remotivi beserta pengguna aplikasi Rapotivi,
observasi langsung, maupun studi dokumentasi, maka akandilakukan
analisis data. Analisis data merupakan kegiatan mengolah data-data hasil
penelitian menjadi informasi yang dapat digunakan untuk mengambil
kesimpulan dalam suatu penelitian. Dalam hal ini, peneliti akan melakukan
langkah-langkah sebagai berikut:
a. Pengorganisasian data: pada tahap ini semua“fakta” yang telah
dikumpulkan diorganisasikan dalam susunan yang logis, atau bisa
juga secara kronologis.
b. Kategorisasi data: Kategori diidentifikasi, dan dengan kategori-
kategori itu data dimasukkan dalam kelompok-kelompok yang
30
bermakna.
c. Interpretasi data: penafsiran dari “data” atau kelompok “data”
yang masuk dalam kategori itu dan mencari hubungannya dengan
kasus yang sedang diteliti.
d. Identifikasi pola: data dan artinya diselidiki untuk menemukan
tema-tema penting, serta dilakukan pula pengidentifikasian pola-
pola yang muncul sehingga kita mengerti kasus yang dijadikan
studi.
e. Sintesis dan generalisasi: Gambaran keseluruhan kasus disusun;
dan kesimpulan diambil serta dipakai sebagai titik tolak untuk
mencari kemungkinan diterapkan pada kasus-kasus lain.