1
BAB I
PENDAHULUAN
I.1.Latar Belakang
Organisasi adalah unit sosial, terdiri dari sekelompok orang
yang berinteraksi untuk mencapai rasionalitas tertentu. Sebagai unti
sosial, organisasi terdiri dari orang-orang dengan latar belakang sosial
ekonomi, budaya, dan motivasi yang berbeda. Pertemuan budaya dan
motivasi orang-orang dari berbagai latar belakang yang berbeda
mempengaruhi perilaku individual dan menimbulkan problem dalam
proses keorganisasian kerena menyebabkan terjadinya benturan nilai-
nilai individual yang dapat menjadi faktor pengganggu dalam upaya
mencapai tujuan organisasi. Oleh karena itu setiap organisasi perlu
menciptakan nilai-nilai yang dianut bersama untuk membangun system
keorganisasian guna menyeragamkan pemikiran dan tindakan serta
mengubah perilaku individual ke perilaku organisasional.
Organisasi sebagai wadah dimana orang-orang berkumpul,
bekerjasama secara rasional dan sistematis, dalam memanfaatkan
sumber daya organisasi secara efisien dan efektif untuk mencapai tujuan
yang telah ditentukan. Kerjasama yang terarah tersebut dilakukan
dengan mengikuti pola interaksi antar setiap individu atau kelompok
dalam berinteraksi ke dalam maupun ke luar organisasi. Pola interaksi
tersebut diselaraskan dengan berbagai aturan, norma, keyakinan, nilai-
2
nilai tertentu sebagaimana ditetapkan organisasi pola interaksi tersebut
dalam waktu tertentu akan membentuk suatu kebiasaan bersama atau
membentuk budaya organisasi yang senantiasa mengontrol anggota
organisasi, dengan demikian budaya organisasi yang kuat merupakan
pembentuk kinerja organisasi yang tinggi.
Budaya organisasi kerap kali digunakan sebagai salah satu
determinan alat dan kunci untuk keberhasilan atau kegagalan dalam
pencapaian strategi usaha organisasi. “Corporate culture will probably
be an even more important factor in determining the success or failure of
firms in the next decade”. Dengan kata lain, terdapat kecenderungan
pada budaya organisasi sebagai suatu pondasi yang harus dimiliki
organisasi, karena budaya organisasi sangat mendukung sukses atau
gagalnya organisasi. Upaya peningkatan kinerja organisasi memerlukan
adanya acuan baku yang diberlakukan oleh organisasi yang secara
sistematis menuntun anggotanya untuk meningkatkan komitmen kerja
pada organisasi. “created a widely spread belief of corporate cultures
being perhaps the significant factor behind the performance of
companies”. Asumsinya sederhana, bahwa sebuah kelompok manusia
yang hidup dalam kebersamaan akan mempunyai nilai dan dilaksanakan
bersama. Dengan nilai bersama tersebut, di dalam organisasi masing-
masing anggota yakin dan rasa saling percaya satu sama lain, bahwa
masing-masing bekerja di dalam kultur organisasi yang sama dan
bergerak seirama.
3
Budaya organisasi merupakan bagian studi teori organisasi dilihat
dari aspek sekelompok individu yang bekerjasama untuk mencapai
tujuan, atau organisasi sebagai wadah tempat individu bekerjasama
secara rasional dan sistematis untuk mencapai tujuan. Kerjasama
dimaksud adalah kerjasama yang terarah pada pencapaian tujuan
dengan mengikuti pola interaksi antar setiap individu atau kelompok.
Pola interaksi tersebut diselaraskan dengan berbagai aturan, norma,dan
nilai-nilai tertentu sebagaimana ditetapkan organisasi itu. Keseluruhan
pola interaksi tersebut akan membentuk suatu kebiasaan bersama atau
membentuk budaya organisasi. Teori organisasi berusaha menerangkan
atau memprediksi bagaimana organisasi dan orang-orang di dalamnya
berperilaku dalam struktur organisasi, budaya dan lingkungan. Selain itu
Robbins (2002:8) berpendapat teori organisasi memfokuskan dirinya
pada perilaku dari organisasi dan mengunakan pengertian yang lebih
luas dari keefektifan organisasi. Budaya merupakan produk struktur dan
fungsi yang ada dalam organisasi. Hal ini berarti budaya organisasi
sebagai salah satu aspek kajian teori organisasi, dapat dikaji pada
tingkatan analisis sistem organisasi.
Membahas budaya organisasi merupakan hal esensial bagi suatu
organisasi atau rumah sakit, karena budaya organisasi merupakan
kebiasaan-kebiasaan yang terjadi dalam hirarki organisasi yang mewakili
norma-norma perilaku dan diikuti oleh para anggota organisasi.
Keutamaan budaya organisasi merupakana pengendali dan arah dalam
4
membentuk sikap dan perilaku manusia yang melibatkan diri dalam
suatu kegiatan organisasi. Budaya organisasi akan memberikan
suasana psikologis bagi semua anggota, bagaimana mereka bekerja,
bagaimana berhubungan dengan atasan maupun rekan sekerja dan
bagaimana menyelesaikan masalah merupakan wujud budaya yang
khas bagi setiap organisasi. Didalam budaya organisasi terdapat
kesepakatan yang mengacu pada satu sistem makna secara bersama,
dianut oleh anggota organisasi dan membedakan organisasi satu
dengan yang lainnya, sehingga menurut Hofstede (2005:354)
“Organizations are equally culture bond”.
Budaya organisasi terdiri dari beberapa elemen, perbedaan
budaya satu organisasi dengan organisasi lainnya terletak pada elemen
budaya organisasi, elemen budaya organisasi menurut F.L. Jocano
dalam Sobirin (2007:152) terdiri dari elemen yang bersifat idealistik dan
elemen yang bersifat prilaku. Elemen ini merupakan determinan
karateristik budaya organisasi dan menjadi dasar untuk menilai sosok
budaya organisasi dan membandingkan satu organisasi dengan
organisasi lainnya, artinya budaya organisasi merupakan keyakinan
setiap orang di dalam organisasi akan jati diri yang secara idiologis
dapat memperkuat eksistensi organisasi baik ke dalam sebagai pengikat
atau simpul organisasi dan keluar sebagai identitas sekaligus
kemampuan untuk beradaptasi dengan berbagai situasi dan kondisi
yang dihadapi organisasi yang tercermin dalam perilaku keseharian
anggotanya seperti tampak pada praktik sehari-hari di tempat kerja.
5
Budaya dalam organisasi adalah dimana anggota organisasi
dapat terfokuskan dan tercurahkan segala perhatian pada system nilai
yang berlaku di dalam organisasi. Budaya organisasi pemandu dan
membentuk sikap serta perilaku individu ke perilaku organisasi. Menurut
Robbins (2005:489) budaya organisasi member kontribusi pada
organisasi yakni; pembeda antara satu organisasi dengan organisasi
lainnya, membangun rasa indentitas bagi anggota organisasi,
mempermudah tumbuhnya komitmen, dan meningkatkan kemantapan
system sosial menuju integrasi organisasi. Hal senada diungkapkan
Deal dan Kennedy (1982:126) budaya organisasi berperan dalam hal
mengarahkan perilaku, member pengertian akan tujuan organisasi, dan
membuat mereka berpikiran positif terhadap organisasi. Selain itu
Luthans (2006:126) melihat budaya organisasi memberikan arah dan
memperkuat standar perilaku untuk mengendalikan pelaku organisasi
agar melaksanakan tugas dan tanggung jawab mereka secara efektif
dan efisien untuk mencapai tujuan dan sasaran organisasi yang telah
disepakati bersama. Dengan kata lain, budaya organisasi merupakan
sekumpulan system nilai yang dijadikan sebagai panduan atau pedoman
bagaimana seharusnya bersikap dan perilaku, dan membuat mereka
mengerti apa yang ingin dicapai organisasi dan bagaimana cara
membantu organisasi mencapai sasaran tersebut.
Budaya organisasi yang kuat adalah budaya yang mampu
mengikat seluruh warganya. Budaya berfungsi sebagai system perekat
6
adalah budaya yang menjadi milik bersama dari seluruh organisasi.
Budaya organisasi merupakan system nilai yang diyakini semua anggota
organisasi, dipelajari, diterapkan dan dikembangkan, dan dapat dijadikan
acuan berperilaku dalam organisasi untuk mencapai tujuan organisasi
yang telah ditetapkan. Budaya organisasi kuat dicirikan oleh nilai inti dari
organisasi yang dianut dengan kuat, diatur dengan baik, dan dirasakan
bersama secara luas.
Budaya organisasi ibarat sebuah cermin yang dapat memotret
gambaran suatu organisasi, karena budaya tercermin dalam perilaku
keseharian anggota organisasi ditempat kerja. Selama ini lazimnya,
budaya organisasi yang baik dapat menimbulkan pengaruh positif bagi
peningkatan efektivitas suatu organisasi. Hasil kajian memperlihatkan
pula kapasitas budaya organisasi secara signifikan mempengaruhi
kinerja pemerintah daerah, setiap budaya organisasi berubah 100%
maka akan diikuti perubahan dalam kinerja pemerintah daerah sebesar
20%. Arti penting temuan ini adalah untuk meningkatkan kinerja
pemerintah daerah (agar mampu mewujudkan good governance) maka
harus di benahi kapasitas orientasi budaya organisasi.
Kajian hubungan budaya organisasi dan kinerja organisasi,
mempertegas dan memperjelas peran budaya organisasi sebagai alat
untuk menentukan arah organisasi, mengarahkan bagaimana
mengalokasikan dan menata sumberdaya organisasi, dan juga sebagai
alat untuk menghadapi masalah dan peluang yang dating dari
7
lingkungan organisasi. Permasalahannya bagaimana budaya organisasi
di Indonesia karena dengan masyarakat paternalistik yang lebih banyak
tergantung kepada pemimpinnya. Menurut Moeljono (2005:57) sektor
dunia usaha, budaya untuk mencari fasilitas dan manajemen lobi ke
pemerintah masih mendominasi. Sementara penjualan perusahaan
nasional, khususnya swasta kepada asing yang terus berlangsung
sebenarnya mencerminkan betapa organisasi bisnis di Indonesia belum
mempunyai budaya organisasi yang kuat. Perusahaan multinasional
(BUMN) dihinggapi penyakit birokrasi yang cenderung membesar,
lamban, congkak, dan acuh terhadap customer, sering bias dengan
kepentingan pemerintah yang cenderung memonopoli. Di sektor
pemerintahan, menunjukkan sifat unik organisasi pada penataan
struktur, aturan dibuat tetapi sulit ditegakkan, meritokrasi yang masih
diupayakan, begitupun pencapaian hasil masih kurang efisien. Dalam
hal kasus di Indonesia tersebut, masih perlu didalamo secara lebih
intensif, terutama dalam kasus dunia usaha dan birokrasi pemerintahan.
Hal ini menjadi sangat penting terutama dalam kerangka mambangun
organisasi yang berkinerja tinggi. Kesadaran para karyawan ataupun
pimpinannya akan pengaruh positif budaya organisasi terhadap
produktivitas organisasi akan memberikan motivasi yang kuat untuk
mempertahankan, memelihara, dan mengembangankan budaya
organisasi yang dimiliki, sehingga merupakan daya dorong yang kuat
untuk kemajuan organisasi. Sebagaimana temuan Kotter dan Hesket
8
dan Lainnya, menunjukkan organisasi berprestasi karena ditopang
budaya organisasi yang kuat.
Pemilihan lokasi penelitian di rumah sakit, karena pertimbangan
fungsi rumah sakit disatu sisi berorientasi keuntungan dan disisi lain
berfungsi sosial. Pertimbangan yang lain, objek yang dihadapi rumah
sakit adalah manusia yang berkaitan dengan tata tingkah laku sebagai
produk dari nilai dan asumsi. Mengenai alsan pemilihan organisasi
pemerintah Kota Makassar sebagai lokasi penelitian adalah,
berdasarkan hasil survey pelayanan publik dari tiga lembaga (Bappenas,
KPK, dan ICW), menempatkan Sulawesi selatan terburuk di Indonesia
dalam hal pelayanan publik, termasuk pelayanan rumah sakit umum
daerah kelas B (Nilai 4,75 dari skor tertinggi 10) (Versi Harian Fajar, 23
Desember 2009 Halaman 1), sehingga menjadi hal yang menarik untuk
menjadi objek kajian karena pelayanana menunjukkan aspek internal
organisasi, yaitu perilaku aparat dan proses yang berlangsung dalam
organisasi.
Berdasarkan uraian diatas maka penulis akan melakukan
penelitian dengan judul “Hubungan Budaya Organisasi dengan
Efektivitas Kerja pada Rumah Sakit Umum Stella Maris Kota
Makassar”.
I.2.Rumusan Masalah
Perspektif budaya di lingkungan organisasi merupakan
seperangkat kerangka kerja yang membimbing orang-orang untuk
9
bersikap dan berperilaku tepat demi keberhasilan organisasi. Budaya
organisasi member arah dan memperkuat standar perilaku untuk
mengendalikan pelaku organisasi agar melaksanakan tugas dan
tanggung jawab mereka secara efektif dan efisien untuk mencapai
tujuan dan sasaran organisasi. Implikasinya menyangkut percepatan
peningkatan kualitas kinerja pada organisasi memerlukan komitmen
yang kuat, kreativitas, inovasi, dan terobosan dalam
mengimplementasikan kebijakan di dalam organisasi. Hubungan antar
budaya dan efektivitas organisasi, di pandang sebagai kesuksesan
organisasi disebabkan oleh kombinasi dari nilai-nilai dan keyakinan,
peraturan dan praktik, serta hubungan antar keduanya. konsekuensi
logis hal tersebut adalah diperlukan identifikasi cirri budaya organisasi
yang berperan kuat dalam mendukung efektivitas organisasi. Dengan
komposisi yang seimbang terkait empat sifat utama budaya; keterlibatan,
konsistensi, beradaptasi, dan misi. Organisasi dapat dengan mudah
menjadi efektif. Kemampuan bersaing secara efektif, semua organisasi
dihadapkan pada sejumlah tantangan yang saling bertentangan,
sebagaian besar organisasi harus secara simultan melengkapi integrasi
internal dan koordinasi dengan adaptasi eksternal, mencapai komposisi
yang seimbang stabilitas dan fleksibilitas.
Berdasarkan asumsi tersebut, kerangka kerja untuk menguji
gagasan bahwa budaya berpengaruh pada efektivitas organisasi, adalah
mengembangkan pemahaman tentang bagaimana menggabungkan ciri-
10
ciri budaya untuk mempengaruhi efektivitas organisasi dengan
komposisi yang seimbang karena hal ini memudahkan organisasi
menjadi efektiv. Dalam penelitian ini rumusan masalah yang akan dikaji
lebih mendalam, diarahkan pada:
Apakah terdapat hubungan budaya organisasi dengan efektivitas
organisasi pada Rumah Sakit Stella Maris Kota Makassar.
I.3.Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian adalah :
Untuk mengetahui hubungan budaya organisasi dengan
efektivitas organisasi pada Rumah Sakit Stella Maris Kota Makassar.
I.4.Manfaat Penelitian
1. Manfaat akademis
Sebagaimana sumber informasi ataupun referensi bagi civitas
akademika yang ingin mengetahui tentang hubungan budaya
organisasi dengan efektivitas organisasi pada Rumah Sakit Stella
Maris Kota Makassar.
2. Manfaat Praktis
Penemuan keterkaitan ciri budaya organisasi dengan
efektivitas organisasi, maka secara teknis dapat digunakan sebagai
instrument pengukur tingkat kekuatan masing-masing dimensi
budaya terhadap efektivitas organisasi.
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1. Landasan Teori
II.1.1. Konsep Budaya Organisasi
Konsep budaya organisasi bisa dikatakan masih relatif baru,
perkembangan sekitar awal tahun 1980-an istilah budaya organisasi
mulai popular. Selain artikel ilmiah dan buku ilmiah, dua jurnal ilmiah
yaitu Administrative Science Quarterly (ASQ) dan Organizational
Dynamic (OD) tahun 1983 menerbitkan edisi khusus yang memuat
berbagai tulisan budaya organisasi ikut mempopulerkan istilah budaya
orgnasisasi dengan menggunakan istilah organizational culture,
corporate culture, organizational symbols/symbolism, manager
symbols/symbolism. Konsep ini, diakui teoritis organisasi, diadopsi dari
konsep budaya yang lebih dahulu berkembang pada disiplin antropologi.
Oleh karenanya, keragaman pengertian budaya organisasi pada disiplin
antropologi akan berpengaruh terhadap keragaman pengertian budaya
pada disiplin organisasi.
Pengertian budaya telah banyak didefinisikan oleh para ahli
budaya. Menurut Terrence Deal and Allan Kennedy (1982:4)
mengatakan culture is a system of shared values and benefit that
interact with an organization’s people, organizational structures, and
control systems to produce behavioral norms. Budaya adalah suatu
system pembagian nilai dan kepercayaan yang berinteraksi dengan
12
orang dalam suatu organisasi, struktur organisasi, dan system control
yang menghasilkan norma perilaku. Edgar H. Schein mendefinisikan
budaya adalah suatu pola asumsi dasar yang diciptakan, ditemukan atau
dikembangkan oleh kelompok tertentu sebagai pembelajaran untuk
mengatasi masalah adaptasi eksternal dan integrasi internal yang resmi
dan terlaksana dengan baik dan oleh karena itu diajarkan/diwariskan
kepada anggota-anggota baru sebagai cara yang tepat memahami,
memikirkan, dan merasakan terkait dengan masalah-masalah tersebut.
Phithi Sithi Amnuai mendefinisikan budaya organisasi adalah
seperangkat asumsi dasar dan keyakinan yang dianut oleh anggota-
anggota organisasi, kemudian dikembangkan dan diwariskan guna
mengatasi masalah-masalah adaptasi eksternal dan masalah integrasi
internal.
Keterkaitan budaya organisasi dengan efektivitas organisasi
dekemukakan Denison (1990:5) bahwa efektivitas organisasi
desebabkan oleh kombinasi dari nilai-nilai dan keyakinan, peraturan dan
praktik serta hubungan antara keduanya. Gabungan ketiga elemen
tersebut dikenal dengan istilah budaya organisasi yang terdiri dari tiga
dimensi yaitu involvement (keterlibatan), consistency (konsistensi) dan
adaptability (adaptabilitas), selanjutnya di kemukakan Denison (1990:15)
organisasi yang menampilkan gabungan sifat keterlibatan, konsistensi
kemampuan beradaptasi menujukkan pengaruh lebih tinggi tingkat
efektivitas organisasi.
13
Involvement (keterlibatan) yang dimaksud yaitu inisiatif individual
adalah kebebasan atau independensi yang dipunyai setiap individu
dalam mengemukakan pendapat. Keterlibatan tersebut perlu dihargai
oleh kelompok atau pimpinan suatu organisasi sepanjang menyangkut
ide untu memajukan dan mengembangkan organisasi/perusahaan.
Consistency (konsistensi) konsistensi dimaksudkan sejauh mana
para anggota/karyawan suatu organisasi/perusahaan dapat
mengidentifikasikan dirinya sebagai satu kesatuan dalam perusahaan
dan bukan sebagai kelompok kerja tertentu atau keahlian professional
tertentu.
Adaptation (adaptasi) perlu penyesuaian anggota kelompok
terhadap peraturan atau norma yang berlaku dalam kelompok atau
organisasi tersebut, serta adaptasi organisasi/perusahaan terhadap
perubahan lingkungan.
Elemen Budaya Organisasi
Budaya organisasi merupakan karakteristik organisasi yang
membentuk perilaku anggota organisasi dalam mencapai tujuannya,
melalui pemahaman yang baik terhadap elemen-elemen pembentuk
budaya seperti keyakinan, tata nilai, atau adat kebiasaan. Semakin
anggota organisasi memahami, mengakui, menjiwai, dan
mempraktekkan keyakinan, tata nilai atau adat kebiasaan tersebut dan
semakin tinggi tingkat kesadaran mereka, budaya organisasi akan
semakin eksis dan lestari. Artinya budaya organisasi merupakan
14
keyakinan setiap orang di dalam organisasi akan jati diri yang secara
idiologis dapat memperkuat eksistensi organisasi baik ke dalam sebagai
pengikat atau simpul organisasi dan keluar sebagai identitas sekaligus
kemampuan untuk beradaptasi dengan berbagai situasi dan kondisi
yang dihadapi organisasi.
Budaya organisasi terdiri dari beberapa elemen, perbedaan
budaya satu organisasi dengan organisasi lainnya terletak pada elemen
budaya organisasi, sehingga setiap elemen memerlukan pemahaman
tersendiri agar member pemahaman budaya secara utuh. Beberapa ahli
mengemukakan elemen budaya organisasi, seperti Denison (1990) nilai-
nilai, keyakinan dan prinsip-prinsip dasar, dan praktek-praktek
manajemen serta perilaku; Schwartz dan Davis (1981) kepercayaan,
harapan dan norma; Schein (1992) pola asumsi dasar bersama, nilai
dan cara untuk melihat, berfikir dan merasakan, dan artifak; Cartwright
(1999) rentangan sistematis, proses pembelajaran, menciptakan cara
hidup, dan adaptasi lingkungan; dan Hofstede (2005) symbol, pahlawan,
ritual, dan nilai. Deal dan Kennedy (1982) nilai, keteladanan, lingkungan
organisasi, rutinitas dan jaringan komunikasi.
Terlepas dari adanya perbedaan seberapa banyak elemen
budaya organisasi dari setiap ahli, secara umum elemen budaya
organisasi terdiri dari dua elemen pokok yaitu elemen yang bersifat
idealistic dan elemen yang bersifat perilaku.
15
Elemen Idealistik
Elemen idealistik umumnya tidak tertulis, bagi organisasi yang
masih kecil melekat pada diri pemilik dalam bentuk doktrin, falsafah
hidup, atau nilai-niali individual pendiri atau pemilik organisasi dan
menjadi pedoman untuk menentukan arah tujuan menjalankan
kehidupan sehari-hari organisasi. Elemen idealistic ini biasanya
dinyatakan secara formal dalam bentuk pernyataan visi atau misi
organisasi, tujuannya tidak lain agar ideology organisasi tetap lestari.
Stanley Davis (1994) menyebutkan elemen idealistic ini sebagai
“guilding believe”- keyakinan menjadi penuntun kehidupan sehari-hari
sebagai sebuah organisasi, dan Hofstede (2005) menyebut sebagai
organizational values (nilai-nilai organisasi). Sementara Schein (1992)
dan Rosseau (1990) mengatakan elemen idealistic tidak hanya terdiri
dari nilai-nilai organisasi tetapi masih ada komponen yang lebih esensial
yakni asumsi dasar yang bersifat diterima apa adanya dan dilakukan
diluar kesadaran, asumsi dasar tidak pernah dipersoalkan atau
diperdebatkan keabsahanya. Asumsi dasar ini merupakan postulat bagi
sebuah organisasi. Itulah sebabnya Schein (1992) dan Rousseau (1992)
menganggap akar dari budaya organisasi bukan terletak pada nilai-nilai
organisasi tetapi pada asumsi dasarnya. Elemen ini tidak tampak
kepermukaan, elemen ini disebut pula sebagai inti dari budaya
organisasi dan berisikan apa sesungguhnya ideology mereka dan
mengapa organisasi tersebut didirikan. Hal senada diungkapkan oleh
16
Bath Consulting Group, diwakili oleh Peter Hawkins (1997) mengatakan
komponen ideal budaya organisasi terdiri dari tiga unsure yakni:
mindset, emotional ground dan motivational roots. Mindset identik
dengan nilai-nilai organisasi yaitu cara padang organisasi terhadap
lingkungan yang menentukan apa yang dianggap benar dan apa yang
dianggap keliru. Meskipun masing-masing mempunyai pendapat
berbeda tentang komponen idealistic budaya organisasi, mereka pada
dasarnya sepakat bahwa elemen idealistic merupakan inti budaya
organisasi (core of culture), dan arena itu pula budaya organisasi sering
disebut ruh organisasi karena karakteristik sebuah organisasi sangat
bergantung pada elemen ini.
Elemen Behavioural
Elemen bersifat behavioral adalah elemen yang kasat mata,
muncul kepermukaan dalam bentuk perilaku sehari-sehari para
anggotanya, logo atau jargon, cara berkomunikasi, cara berpakaian,
atau cara bertindak yang bisa dipahami oleh orang luar organisasi. Dan
bentuk-bentuk lain seperti desain dan arsitektur organisasi. Bagi orang
luar organisasi, elemen ini sering dianggap sebagai representasi dari
budaya sebuah organisasi sebab elemen ini mudah diamati, dipahami
dan diinterpretasikan, meski interpretasinya kadang-kadang tidak sama
dengan interpretasi orang-orang yang terlibat langsung dalam
organisasi. Ketika orang luar organisasi mencoba mengidentifikasikan
dan memahami budaya sebuah organisasi, dilakukan dengan cara
17
mengamati bagaimana anggota organisasi berperilaku dan kebiasaan-
kebiasaan lain yang mereka lakukan. Davis (1984) menyebutnya
sebagai daily belief-praktik sehari-hari sebuah organisasi. Dalam uraian
Hofstede (2005:292) kebiasaan tersebut muncul dalam bentuk praktik-
praktik manajemen, apakah sebuah organisasi lebih berorientasi pada
proses atau hasil; lebih peduli pada kepentingan karyawan atau
pekerjaan; lebih parochial atau professional; lebih terbuka atau tertutup;
dan lebih pragmatis atau normative, sebagai orientasi organisasi
kedepan. Sementara itu Schein (1992) dan Rousseau (1992)
mengatakan kebiasaan sehari-hari muncul dalam bentuk artefak,
termasuk di dalamnya perilaku anggota organisasi.
Gambaran tingkat sensitivitas setiap elemen budaya organisasi
terhadap kemungkinan terjadinya perubahan diberikan oleh Rousseau
(1992:57) bahwa kulit paling luar sangat mudah mengelupas, semakin
kedalam semakin tidak mudah mengelupas dan isinya hamper tidak
pernah mengelupas. Dalam hal budaya organisasi, kulit luar
menggambarkan elemen budaya yang bersifat behavioral yang mudah
berubah. Hal ini bisa diartikan artefak sebagai komponen budaya terluar
yang paling mudah berubah sedangkan asumsi dasar merupakan
komponen yang paling tidak mudah berubah. Meskipun kulit luarnya
mudah mengelupas sedangkan isinya tidak mudah berubah, keduanya
merupakan komponen yang saling terikat.
18
Keterkaitan antara elemen idealistic dan elemen behavioral
digambarkan oleh Schein (1992:17) seperti berikut :
Gambar 1: Model Level Budaya Menurut Edgar H. Schein 1992
hal.17
Visible organizational structures and
processes (hard to decipher)
Strategies, goals, philosophies
(espoused justifications)
Unconscious, taken for granted beliefs,
perceptions, thoughts, and feelings
(ultimate source of values and action)
Keberadaan elemen ini dilukiskan pada garis vertical dua arah
pada gambar sebelah kiri, asumsi dasar yang diterima apa adanya
secara berturut-turut akan mempengaruhi nilai-nilai organisasi yang lebih
bisa diterima baik oleh lingkungan internal maupun lingkungan eksternal
organisasi. Selanjutnya, nilai-nilai organisasi akan mempengaruhi
artefak dan kreasi manusia dalam lingkungan internal organisasi.
Demikian sebaliknya artefak dan kreasi manusia juga akan
mempengaruhi nilai-nilai organisasi yang secara tidak langsung akan
mempengaruhi asumsi dasarnya.
ARTIFACTS
ESPUSED VALUES
BASICUNDERLYINGASSUMPTIONS
19
Aspek budaya organisasi juga dapat dianalisa dari dimensi yang
membentuknya, Schein (1992:19) mengemukakan dalam 3 level:
Level 1 Artifacts adalah produk-produk nyata dari kelompok seperti
arsitektur lingkungan fisik, bahasa, teknologi, kreasi artistic,
tata ruang, cara berpakaian, cara berbicara, cara
mengungkapkan perasaan, cerita tentang mitos dan sejarah
organisasi, daftar nilai-nilai yang dipublikasikan, kegiatan ritual
dan seremonial, serta perilaku. Untuk tujuan analisi tingkatan
tersebut termasuk perilaku yang tampak dari kelompok dan
proses keorganisasian yang dilakukan secara rutin.
Level 2 values adalah apa yang secara ideal menjadi alasan untuk
berprilaku. Nila-nilai merupakan sesuatu yang berharga untuk
dipahami, dan dikerjakan sebagai landasan komitmen
organisasi. Nilai-nilai biasanya ditemukan oleh para pendiri
organisasi seperti strategi-strategi, tujuan-tujuan, filosofi serta
cara pencapaian tujuan-tujuan. Bentuk nyata dari nilai-nilai
dapat berupa: filosofi; visi; disiplin kerja; system balas jasa; cara
berinteraksi.
Level 3 basic underlying assumptions adalah apa yang tidak disadari,
tetapi secara actual menentukan bagaimana anggota organisasi
mengamati, berpikir, merasakan dan bertindak.
Inti budaya organisasi adalah saling keterkaitan antara elemen-
elemen yang bersifat ideational dan behavioral, dimana budaya
20
organisasi terbentuk bukan semata-mata karena pengaruh salah satu
elemen terhadap elemen yang lain tetapi merupakan interaksi keduanya,
karena substansi kedua konsep tersebut sesungguhnya tidak berbeda.
Kesamaan ini terjadi khususnya ketika para peneliti budaya organisasi
menganggap baahwa budaya organisasi bisa dipahami melalui dimensi-
dimensinya. Pengunaan dimensi sebagai cara untuk mengetahui
lingkungan internal organisasi sudah sejak semula telah digunakan
seperti Schein (1992), Deal dan Kennedy (1984), Kotter dan Heskett
(1992), Hofstede dan Hofstede (2005), demikian pula Dennison (1990)
dalam penelitian budaya organisasi, melalui kajian keterkaitan antara
budaya organisasi dengan efektivitas organisasi dengan menganlisa
budaya organisasi dalam empat dimensi yakni: involvement,
consistency, adaptability, dan mission. Bila diambil secara terpisah,
masing-masing dimensiyang dikemukakan tersebut menunjukkan ide
sentral tentang determinan-determinan budaya dan keefektifan
organisasi.
System yang berorientasi ke arah adaptabilitas dan keterlibatan
akan lebih banyak keragaman, lebih banyak input, dan lebih banyak
solusi terhadap situasi tertentu. Selanjutnya kearah konsistensi dan misi
lebih mungkin untuk mengurangi keragaman dan memberi penekanan
yang lebih tinggi pada kontrol dan stabilitas. Orientasi kearah kontol dan
stabilitas ini kemungkinan paling baik melayani situasi dimana didalam
organisasi memberi sekumpulan respon yang terbatas namun tepat dan
21
disesuaikan dengan lingkungan yang stabil. Senada hal ini Schein
(1992:12) mengartikan budaya sebagai asumsi dasar bersama bahwa
kelompok belajar seperti memecahkan masalah-masalahnya adaptasi
eksternal dan inegrasi internal.
Meskipun masing-masing dari empat dimensi dalam kerangka ini
mewakili jalur terpisah dimana budaya organisasi memiliki dampak
positif pada kefektifan organisasi, namun kerangka ini mengasumsikan
bahwa budaya yang efektif harus menyediakan keempat elemen ini,
budaya yang pada saat yang sama bersifat adaptif, namun sangat
konsisten, rensponsif terhadap keterlibatan individual, tetapi didalam
konteks misi bersama yang kuat, akan menjadi paling efektif (Denison,
1990:15). Fokus dari penelitian ini didasarkan pada model budaya
organisasi dengan keempat sifat budaya yang dalam beberapa literatur
memiliki pengaruh terhadap efektivitas organisasi, yakni: keterlibatan,
konsistensi, beradaptasi, dan misi (Denison 1990; Denison dan Mishra,
1995; Brown, 1995; Sorensen, 1999; Kotter dan Heskett, 1992; Brown,
1995; Alveson, 2001).
Budaya Organisasi Kuat
Deal dan Kennedy (1982) dalam bukunya Corporate Culture
mengemukakan bahwa ciri-ciri organisasi yang memiliki budaya
organisasi kuat sebagai berikut:
a. Anggota-anggota organisasi loyal kepada organisasi, tahu dan jelas
apa tujuan organisasi serta mengerti perilaku mana yang dipandang
baik dan tidak baik.
22
b. Pedoman bertingkah laku bagi orang-orang di dalam perusahaan
digariskan dengan jelas, dimengerti, dipatuhi dan dilaksanakan oleh
orang-orang di dalam perusahaan sehingga orang-orang yang bekerja
menjadi sangat kohesif.
c. Nilai-nilai yang dianut organisasi tidak hanya berhenti pada slogan,
tetapi dihayati dan dinyatakan dalam tingkah laku sehari-hari secara
konsisten oleh orang-orang yang bekerja dalam perusahaan, dari
mereka yang berpangkat paling rendah sampai pada pimpinan
tertinggi.
d. Organisasi/perusahaan memberikan tempat khusus kepada
pahlawan-pahlawan perusahaan dan secara sistematis menciptakan
bermacam-macam tingkat pahlawan, misalnya, pramujual terbaik
bulan ini, pemberi saran terbaik, pengemudi terbaik, innovator tahun
ini, dan sebagainya.
e. Dijumpai banyak ritual, mulai yang sangat sederhana sampai dengan
ritual yang mewah. Pemimpin organisasi selalu mengalokasikan
waktunya untuk menghadiri acara-acara ritual ini.
f. Memiliki jaringan kulturul yang menampung cerita-cerita kehebatan
para pahlawannya.
Sedangkan menurut Reimann dan Weinner (1988), budaya
organisasi yang kuat akan membantu perusahaan memberikan
kepastian bagi seluruh individu yang ada dalam organisasi untuk
berkembang bersama perusahaan dan bersama-sama meningkatkan
23
kegiatan usaha dalam menghadapi persaingan, walaupun tingkat
pertumbuhan dari masing-masing individu sangat bervariasi.
Selanjutnya S.P. Robbins mengemukakan ciri-ciri budaya kuat,
antara lain:
a. Menurunnya tingkat keluarnya karyawan.
b. Ada kesepakatan yang tinggi di kalangan anggota mengenai apa yang
dipertahankan oleh organisasi.
c. Ada pembinaan kohesif, kesetiaan, dan komitmen organisasi.
Sedangkan Sathe (1985) menyatakan ada tiga ciri khas budaya
kuat, yaitu kekokohan nilai-nilai inti (thickness), penyebarluasan nilai-
nilai (extent of sharing), dan kejelasan nilai-nilai (clarity of ordering).
Fungsi Budaya Organisasi
Ada beberapa pendapat mengenai fungsi budaya organisasi,
yaitu sebagai berikut:
1. Stephen P. Robbins dalam bukunya Organizational Behavior
membagi lima fungsi budaya organisasi, sebagai berikut:
a. Berperan menetapkan batasan.
b. Mengantarkan suatu perasaan identitas bagi anggota organisasi.
c. Mempermudah timbulnya komitmen yang lebih luas dari pada
kepentingan individual seseorang.
d. Meningkatkan stabilitas system sosial karena merupakan perekat
sosial yang membantu mempersatukan organisasi.
24
e. Sebagai mekanisme control dan menjadi rasional yang memandu
dan membentuk sikap serta perilaku para karyawan.
2. Schein dalam bukunya Organizational Culture and Leadership
membagi fungsi budaya organisasi berdasarkan tahap
pengembangannya, yaitu
a. Fase awal merupakan tahap pertumbuhan suatu organisasi
Pada tahap ini, fungsi budaya organisasi terletak pada pembeda,
baik terhadap lingkungan maupun terhadap kelompok atau
organisasi lain.
b. Fase pertengahan hidup organisasi
Pada fase ini, budaya organisasi berfungsi sebagai integrator
karena munculnya sub-sub budaya baru sebagai penyelamat krisis
identitas dan membuka kesempatan untuk mengarahkan
perubahan budaya organisasi.
c. Fase dewasa
Pada fase ini, budaya organisasi dapat sebagai penghambat dalam
berinovasi karena berorientasi pada kebesaran masa lalu dan
menjadi sumber nilai untuk berpuas diri.
3. Robert Kreitner dan Angelo Kinicki dalam bukunya Organizational
Behavior membagi empat fungsi budaya organisasi, yaitu:
a. Memberikan identitas organisasi kepada karyawannya.
b. Mempermudah komitmen kolektif.
c. Mempromosikan stabilitas system sosial.
25
d. Membentuk perilaku dengan membantu manajer merasakan
keberadaanya.
II.1.2. Konsep Efektivitas Organisasi
Istilah efektif berasal dari bahasa inggris effective artinya berhasil,
sesuatu yang dilakukan berhasil dengan baik. Robbins (2005:27)
mendefinisikan efektivitas sebagai tingkat pencapaian organisasi jangka
panjang dan jangka pendek. Rumah sakit misalnya, dikatakan efektif jika
ia berhasil memenuhi kebutuhan para kliennya dan rumaha sakit itu
efisien jika ia dapat hal itu dengan biaya yang rendah. Gibson et al.
(1992:25) mengemukakan definisi keefektifan sebagai penilaian yang
kita buat sehubungan denga prestasi individu, kelompok dan organisasi.
Makin dekat prestasi mereka terhadap prestasi yang diharapkan, makin
lebih efektif kita menilai mereka. Pendapat ini menyatakan istilah
keefektifan dengan prestasi. Pengertian ini sama dengan yang
dikemukakan Etzioni (1976:8) bahwa efektivitas aktual dari suatu
organisasi tertentu ditentukan oleh tingkat sejauh mana organisasi
tersebut meralisasikan tujuannya. The actual effectiviness of a specific
organization is determined by the degree to which is realizd its goals.
Streers (1985:8) keefektifan organisasi menekankan perhatian pada
kesesuain hasil yang dicapai organisasi dengan tujuan yang akan
dicapai, dan Coole Tobert dalam sagala (2007:159) bahwa keefektifan
organisasi adalah kesesuaian hasil yang dicapai oragnisasi dengan
tujuannya.
26
Berdasarkan pendapat para ahli di atas dapat diketahui bahwa
efektivitas merupakan suatu konsep yang sangat penting karena mampu
memberikan gambaran mengenai keberhasilan suatu organisasi dalam
mencapai sasarannya atau dapat dikatakan bahwa efektivitas
merupakan tingkat ketercapaian tujuan dari aktivasi-aktivasi yang telah
dilaksanakan dibandingkan dengan target yang telah ditetapkan
sebelumnya.
Gibson (1984:38) mengungkapkan tiga pendekatan mengenai
efektivitas yaitu:
Pendekatan Tujuan. Pendekatan tujuan untuk mendefinisikan
dan mengevaluasi efektivitas merupakan pendekatan tertua dan paling
luas digunakan. Menurut pendekatan ini, keberadaan organisasi
dimaksudkan untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Pendekatan tujuan
menekankan peranan sentral dari pencapaian tujuan sebagai kriteria
untuk menilai efektivitas serta mempunyai pengaruh yang kuat atas
pengembangan teori dan praktek manajemen dan perilaku organisasi,
tetapi sulit memahami bagaimana melakukannya. Alternatif terhadap
pendekatan tujuan ini adalah pendekatan teori sistem.
Pendekatan Teori Sistem. Teori sistem menekankan pada
pertahanan elemen dasar masukan-proses-pengeluaran dan
mengadaptasi terhadap lingkungan yang lebih luas yang menopang
organisasi. Teori ini menggambarkan hubungan organisasi terhadap
sistem yang lebih besar, dimana organisasi menjadi bagiannya. Konsep
27
organisasi sebagian suatu sistem yang berkaitan dengan sistem yang
lebih besar memperkenalkan pentingnya umpan balik yang ditujukan
sebagai informasi mencerminkan hasil dari suatu tindakan atau
serangkaian tindakan oleh seseorang, kelompok atau organisasi. Teori
sistem juga menekankan pentingnya umpan balik informasi. Teori sistem
dapat disimpulkan: (1) Kriteria efektivitas harus mencerminkan siklus
masukan-proses-keluaran, bukan keluaran yang sederhana, dan (2)
Kriteria efektivitas harus mencerminkan hubungan antar organisasi dan
lingkungn yang lebih besar dimana organisasai itu berada. Jadi: (1)
Efektivitas organisasi adalah konsep dengan cakupan luas termasuk
sejumlah konsep komponen. (3) Tugas manajerial adalah menjaga
keseimbangan optimal antara komponen dan bagiannya
Pendekatan Multiple Constituency. Pendekatan ini adalah
perspepktif yang menekankan pentingnya hubungan relatif di antara
kepentingan kelompok dan individual dalam hubungan relatif diantara
kepentingan kelompok dan individual dalam suatu organisasi. Dengan
pendekatan ini memungkinkan pentingnya hubungan relatif diantara
kepentingan kelompok dan individual dalam suatu organisasi. Dengan
pendekatan ini memungkinkan mengkombinasikan tujuan dan
pendekatan sistem guna memperoleh pendekatan yang lebih tepat bagi
efektivitas organisasi.
Robbins (1994:54) mengungkapkan juga mengenai pendekatan
dalam efektivitas organisasi:
28
Pendekatan pencapaian tujuan (goal attainment approach).
Pendekatan ini memandang bahwa keefektifan organisasi dapat dilihat
dari pencapaian tujuannya (ends) daripada caranya (means). Kriteria
pendekatan yang populer digunakan adalah memaksimalkan laba,
memenangkan persaingan dan lain sebaginya. Metode manajemen yang
terkait dengan pendekatan ini dekenal dengan Manajemen By
Objectives (MBO) yaitu falsafah manajemen yang menilai keefektifan
organisasi dan anggotanya dengan cara menilai seberapa jauh mereka
mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan.
Pendekatan sistem. Pendekatan ini menekankan bahwa untuk
meningkatkan kelangsungan hidup organisasi, maka perlu diperhatikan
adalah sumber daya manusianya, mempertahankan diri secara internal
dan memperbaiki struktur organisasi dan pemanfaatan teknologi agar
dapat berintegrasi dengan organisasi didasarkan atas suatu kelompok
nilai. Masing-masing nilai selanjutnya lebih disukai berdasarkan daur
hidup di mana organisasi itu berada.
Berdasarkan pendapat di atas, dapat diketahui bahwa
pendekatan tujuan didasarkan pada pandangan organisasi diciptakan
sebagai alat untuk mencapai tujuan. Dalam teori sistem, organisasi
dipandang sebagai suatu unsur dari sejumlah unsur yang saling
berhubungan antara satu dengan yang lain.
Sedangkan pendekatan Multiple Constituency merupakan
pendekatan yang menggabungkan pendekatan tujuan dengan
29
pendekatan sistem sehingga diperoleh satu pendekatan yang lebih tepat
bagi tercapainya efektivitas organisasi. Sedangkan untuk pendekatan
nilai-nilai bersaing merupakan pendekatan yang menyatukan ketiga
pendekatan yang telah dikemukakan di atas yang disesuaikan dengan
nilai suatu kelompok.
Berdasarkan pendekatan-pendekatan dalam efektivitas organisasi
yang telah dikemukakan sebelumnya maka dapat dikatakan bahwa
faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas organisasi adalah sebagai
berikut: (1) Adanya tujuan yang jelas, (2) Struktur organisasi. (3) Adanya
dukungan atau partisipasi masyarakat, (4) Adanya sistem nilai yang
dianut.
Organisasi akan berjalan terarah jika memiliki tujuan yang jelas.
Adanya tujuan akan memberikan motivasi untuk melaksanakan tugas
dan tanggung jawabnya. Selanjutnya tujuan organisasi mencakup
beberapa fungsi diantaranya yaitu memberikan pengarahan dengan cara
menggambarkan keadaan yang akan datang yang senantiasa dikejar
dan diwujudkan oleh organisasi.
Selama ini untuk menilai apakah organisasi itu efektif atau tidak,
secara keseluruhan ditentukan oleh apakah tujuan organisasi itu
tercapai atau tidak. Akan tetapi, dalam kenyataan akan sangatlah sulit
untuk meilhat atu mempersamakan efektivitas organisasi dengan tingkat
keberhasilan dengan pencapaian tujuan. Hal ini disebabkan selain
karena selalu ada penyesuain dengan target yang akan dicapai, juga
30
dalam proses pencapaiannya sering kali ada tekanan dari keadaan
sekeliling. Kenyataan tersebut selanjutnya menyebabkan jarang sekali
target dapat dicapai secara keseluruhan.
Dengan melihat organisasi sebagai sistem, pengertian efektivitas
sedikit mengalami pergeseran, yaitu selain berkaitan dengan aspek
intern organisasi, juga berhubungan dengan aspek luar organisasi, yaitu
kemampuan menyesuaikan diri dengan tuntutan perubahan keadaan
sekeliling. Baik aspek intern organisasi (efisiensi) maupun perubahab
tersebut haruslah berkaitan dengan dinamika hubungan antar-personal
suatu sistem secara keseluruhan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi organisasi harus mendapat
perhatian yang seriuas apabila ingin mewujudkan suatu efektivitas.
Richard M Steers (1985:209) menyebutkan empat faktor yang
mempengaruhi efektivitas, yaitu:
Tabel 1. Faktor-faktor yang menunjang efektivitas organisasi
31
Karakteristik Organisasi adalah hubungan yang sifatnya relatif tetap
seperti susunan sumber daya manusia yang terdapat dalam organisasi.
Struktur merupakan cara yang unik menempatkan manusia dalam rangka
menciptakan sebuah organisasi. Dalam struktur, manusia ditempatkan
sebagai bagian dari suatu hubungan yang relatif tetap yang akan
menentukan pola interaksi dan tingkah laku yang berorientasi pada tugas.
Karakteristik Lingkungan, mencakup dua aspek. Aspek pertama
adalah lingkungan ekstern yaitu lingkungan yang berada di luar batas
organisasi dan sangat berpengaruh terhadap organisasi, terutama dalam
pembuatan keputusan dan pengambilan tindakan. Aspek kedua adalah
lingkungan intern yang dikenal sebagai iklim organisasi yaitu lingkungan
yang secara keseluruhan dalam lingkungan organisasi.
Karakteristik Pekerja merupakan faktor yang paling berpengaruh
terhadap efektivitas. Di dalam diri setiap individu akan ditemukan banyak
perbedaan, akan tetapi kesadaran individu akan perbedaan itu sangat
penting dalam upaya mencapai tujuan organisasi. Jadi apabila suatu
rganisasi menginginkan keberhasilan, organisasi tersebut harus dapat
mengintegrasikan tujuan individu dengan tujuan organisasi.
Karakteristik Manajemen adalah strategi dan mekanisme kerja
yang dirancang untuk mengkondisikan semua hal yang di dalam
organisasi sehingga efektivitas tercapai. Kebijakan dan praktek
manajemen merupakan alat bagi pimpinan untuk mengarahkan setiap
kegiatan guna mencapai tujuan organisasi. Dalam melaksanakan
32
kebijakan dan praktek manajemen harus memperhatikan manusia, tidak
hanya mementingkan strategi dan mekanisme kerja saja. Mekanisme ini
meliputi penyusunan tujuan strategis, pencarian dan pemanfaatan atas
sumber daya, penciptaan lingkungan prestasi, proses komunikasi,
kepemimpinan dan pengambilan keputusan, serta adaptasi terhadap
perubahan lingkungan inovasi organisasi.
Suatu organisasi tidak memperhatikan faktor-faktor yang
mempengaruhi efektivitas organisasi, akan mengalami kesulitan dalam
mencapai tujuannya tetapi apabila suatu perusahaan memperhatikan
faktor-faktor tersebut maka tujuan yang ingin dicapai dapat lebih mudah
tercapai hal itu dikarenakan efektivitas akan selalu dipengaruhi oleh
faktor-faktor tersebut.
Tercapainya tingkat efektivitas yang tinggi perlu memperhatikan
kriteri-kriteri efektivitas sebagaimana yang dikemukakan oleh Richard M
Steers (1985:46) sebagai berikut: (1) Produktivitas. (2) Kemampuan
berlaba. (3) Kesejahteraan pegawai. Secara lebih operasional, Emitai
Atzoni yang dikutip oleh Indrawijaya (1989:227) mengemukakan
“efektivitas organisasi akan tercapai apabila organisasi tersebut
memenuhi kriteria mampu beradaptasi, berintegrasi, memiliki motivasi,
dan melaksanakan produksi dengan baik”.
Gibson (1984:32-34) berpendapat bahwa kriteria efektivitas
meliputi:
1. Kriteria efektivitas jangka pendek: Produksi, Efisiensi, Kepuasan.
33
2. Kriteria efektivitas jangka menengah: Persaingan, dan
Pengembangan
3. Kriteria efektivitas jangka panjang
4. Kelangsungan hidup
Sondang P Siagian (2000:32) mengungkapkan beberapa hal
yang menjadi kriteria dalam pengukuran efektivitas:
Efektivitas dapat diukur dari berbagai hal, yaitu: kejelasan tujuan yang
hendak dicapai, kejelasan strategi pencapaian tujuan, proses analisa
dan perumusan kebijakan yang mantap, perencanaan yang matang,
penyusunan program yang tepat, tersedianya sarana dan prasarana
kerja, pelaksanaan yang efektif dan efisien, sistem pengawasan dan
pengendalian yang mendidik.
Stephen P. Robbins (1994 : 55) mengungkapkan kriteria
efektivitas organisasi sebagai berikut:
Tabel 2. Kriteria efektivitas organisasi
34
Robbins menegaskan bahwa kriteria tersebut tidak semuanya
relevan bagi organisasi, beberapa diantaranya lebih penting dari yang
lain.
Berdasarkan berbagai pemikiran kriteria efektivitas organisasi
tersebut maka kriteria pengukuran efektifitas organisasi yang digunakan
dalam penelitian ini adalah kriteria efektivitas yang dikemukakan oleh
James L. Gibson yaitu ; Produktifitas, efisiensi, kepuasan, Fleksibilitas
dan perkembangan . Kelima kriteria efektivitas ini sesuai dengan kriteria
Gibson yang dalam bukunya Organisasi dan Manajemen yang pada
dasarnya termasuk dalam ketiga puluh kriteria efektivitas Campbell.
Khusus kriteria kepuasan dijelaskan juga oleh Streers, dan kriteria
efisiensi dan adaptasi atau fleksibilitas juga dijelaskan oleh Tayson dan
Jaekson.
Produksi, menggambarkan kemampuan organisasi untuk
memproduksi jumlah dan mutu output yang sesuai dengan permintaan
lingkungan. Dalam konsep ini tidak termasuk pertimbangan tentang
efisiensi yaitu perhitungan nisbah biaya dan keluaran. Ukuran tentang
produksi meliputi laba, penjualan, bagian pasar (market share),
mahasiswa yang lulus, pasien yang sembuh, dokumen yang diproses,
pelanggan yang dilayani, dan sebagainya. Ukuran ini berhubungan
secara langsung dengan output yang dikonsumsi oleh pelanggan
organisasi.
35
Efisiensi menurut Redford (1975:5) adalah rasio antara input dan
output, usaha dan hasil, belanja dan pendapatan, biaya dan keuntungan.
Pengertian ini sejalan dengan definisi yang dikemukakan oleh Simon
(2004:263), yang menjelaskan bahwa efisiensi adalah perbandingan
antara input dan output, tenaga dan hasil, pembelanjaan dan
pemasukan, biaya (ongkos) dan kesenangan yang dihasilakan. Hal ini
berarti efisiensi diukur dari rasio antara apa yang diperoleh dengan
sumber-sumber yang digunakan.
Selanjutnya Redford menjelaskan bahwa efisiensi merupakan
sesuatu yang netral dalam konteks tujuan akhir atau cara. Hal ini tidak
dimaksudkan untuk memperbandingkan nilai dari cara alternatif seperti
diantara mesin dan manusia, yang dapat digunakan dalm mencapai
sasaran akhir. Akan tetapi hanya menekankan pada ide bahwa hasil
seharusnya dimaksimalkan dan biaya diminimalkan. Konsep efisiensi
bagaimanapun memberikan perbandingan pada tipe biaya dan semua
tipe hasil, seperti efisiensi manusia yang melibatkan biaya pada
kehidupan manusia, dan efisiensi sosial yang mencakup total hasil untuk
suatu masyarakat.
Kepuasan kerja menurut Kreitner dan Kinicki (2003:271), adalah
suatu respon emosional terhadap berbagai aspek pekrjaaan. Definisi ini
berarti bahwa kepuasan kerja bukanlah suatu konsep tunggal.
Sebaliknya, seseorang dapat relatif puas dari suatu aspek dari
pekerjaannya dan tidak puas dengan salah sattu atau lebih aspek
36
lainnya. Kepuasan kerja jika dikaitkan dengan toeri Herzberg dalam
Gibson, dkk (1987:107), lebih sering berkaitan dengan prestasi,
pengakuan, karakteristik pekerjaan, tanggung jawab, dan kemajuan.
Adapun ketidak pastian pekerjaan terutama berkaitan dengan faktor-
faktor dalam konteks pekerjaan dan lingkungan, seperti; kebijakan dan
administrasi organisasi, pengawasan teknis, gaji, hubungan antar pribadi
dengan pengawas, dan kondisi kerja.
Fleksibilitas merupakan sampai seberapa jauh organisasi dapat
menaggapi perubahan intern dan ekstern. Tetapi, berbeda dengan
penggunaan di tempat lain, fleksibilitas disini dipandang sebagai kriteria
menengah: fleksibilitas bersifat lebih abstrak daripada produksi,efisiensi,
atau kepuasan. Kriteria ini berhubungan dengan kemampuan
manajemen untuk menduga adanya perubahan dalam lingkungan
maupun dalam organisasi itu sendiri. Jika perusahaan tidak dapat
menyesuaikan diri, maka kelangsungan hidupnya terancam. Ukuran
yang biasa dari fleksibilitas untuk keperluan riset, dapat diperoleh dari
jawaban atas pertanyaan (questionnaires). Manajemen dapat
menggunakan kebijakan yang dapat merangsang kesiapan-kesiapan
terhadap perubahan.
Perkembangan. Organisasi harus menginvestasi dalam
organisasi itu sendiri untuk memperluas kemampuannya untuk hidup
terus (survive) dalam jangka-panjang. Usaha pengembangan yang biasa
dilakukan adalah program pelatihan bagi tenaga manajemen dan non-
37
manajemen, tetapi sekarang ini perkembangan organisasi telah
bertambah banyakmacamnya dan meliputi sejumlah pendekatan
psikologis dan sosiologis.
II.1.3. Hubungan Budaya Organisasi dengan Efektivitas Organisasi
Budaya organisasi kerap kali digunakan sebagai alat dan kunci
untuk keberhasilan atau kegagalan dalam pencapaian strategi usaha
organisasi. Dengan kata lain, terdapat kecenderungan pada budaya
organisasi sebagai suatu tonggak atau pondasi yang harus dimiliki
organisasi, dimana budaya organisasi akan menentukan kontinuitas
kinerja organisasi dalam jangka panjang maupun jangka pendek.
Manfaat besarnya adanya budaya organisasi adalah dimana anggotanya
atau karyawan dapat terfokuskan dan tercurahkan segala perhatian
pada system nilai-nilai yang ada dan berlaku di dalam organisasi. Nilai
dan keyakinan tersebut akan diwujudkan menjadi perilaku keseharian
mereka dalam bekerja, sehingga akan menjadi kinerja individual. Hal ini
telah dinyatakan sebelumnya oleh Robbins (2005) budaya organisasi
yang kuat sangat diperlukan untuk memastikan bahwa semua orang
yang berada di dalam organisasi diarahkan kesuatu pandangan arah
yang sama. Selain itu Luthans (2006) melihat budaya organisasi
memberikan arah dan memperkuat standar perilaku untuk
mengendalikan pelaku organisasi agar melaksanakan tugas dan
tanggung jawab mereka secara efektif dan efisien untuk mencapai
tujuan dan sasaran organisasi yang telah disepakati bersama.
38
Budaya organisasi yang kondusif menciptakan kinerja yang
unggul, karena budaya yang kuat berkaitan tingkat motivasi yang tinggi
dalam diri anggota organisasi, memberikan struktur dan control yang
dibutuhkan, juga mendorong semua anggota organisasi mempunyai
komitmen terhadap kemajuan organisasi. Penelitian oleh Denison 1990;
Janovics et al., 2006; dan Roldan and Bay, 2009, menyajikan empiris
penelitian untuk mencirikan fenomena budaya organisasi dan
dampaknya terhadap proses dan hasil organisasi, terutama pada
efektivitas pada berbagai konteks organisasi.
Menurut Denison (1990), dan Kotter dan Heskett (1992),
keberhasilan perusahaan bukan sekedar mempunyai budaya yang kuat
tetapi budaya yang kuat tersebut harus cocok dengan lingkungannya.
Pendapat ini didukung oleh Schein (1992:51) bahwa peran budaya
adalah untuk mengintegrasikan lingkungan internal dan beradaptasi
dengan lingkungan eksternal, dan secara internal budaya organisasi
harus selaras dengan strategi, struktur dan teknologi, system dan nilai-
nilai dan individu dari anggota organisasi. Dengan demekian perspektif
kaitan budaya organisasi dan kinerja organisasi tersebut, hanya budaya
organisasi yang tepat secara kontekstual atau strategis akan
diasosiasikan dengan kinerja yang unggul, dan semakin baik kecocokan
semakin baik organisasi tersebut.
Selanjutnya Denison (1990:15) mengemukakan empat dimensi
dari budaya organisasi terkait dengan tingkat efektivitas organisasi,
yakni: Involvement, consistency dan adaptability,. Involvement adalah
dimensi budaya organisasi yang menunjukkan tingkat partisipasi
39
karyawan (anggota organisasi) dalam proses pengambilan keputusan.
Consistency menunjukkan tingkat kesepakatan anggota organisasi
terhadap asumsi dasar dan nilai-nilai inti organisasi. Adaptability adalah
kemampuan organisasi dalam merespon perubahan-perubahan
lingkungan eksternal dengan melakukan perubahan internal organisasi.
Hubungan ketiga dimensi budaya terhadap efektivitas organisasi melalui
berbagai mekanisme atau cara yang spesifik digambarkan Denison dan
Mishra (1995:2006) “However, culture influences a wide variety of
performance indicators through a multitude of mechanisms”.
II.2. Hipotesis Toeritik
Budaya organisasi mempunyai hubungan langsung dan pengaruh
yang signifikan pada efektivitas oraganisasi. Deal and Kennedy (1982),
Denison (1990), dan Brown (1995). Lebih jelas lagi dikemukakan oleh
Denison (1990) mendukung dengan kuat sifat keterlibatan, konsistensi,
kemampuan beradaptasi, dari budaya organisasi menunjukkan
signifikansi pengaruh pada efektivitas organisasi.
II.3. Definisi Konseptual
1. Budaya organisasi adalah tingkat kemampuan seperangkat
keyakinan, tata nilai, dan pola perilaku yang melekat pada sistem
organisasi yang senantiasa mengontrol perilaku anggota organisasi
beraktifitas dalam organisasi.
2. Efektivitas organisasi adalah pencapaian tujuan yang ditetapkan
dengan usaha kerjasama, berkaitan dengan optimalisasi
ketercapaian rencana (target).
40
Kerangka Konseptual
Gambar 2
Kerangka Konsep
BudayaOrganisasi
EfektivitasOrganisasi
1. Keterlibatan
2. Konsistensi
3. Adaptabilitas
1. Produktivitas
2. Efisiensi
3. Kepuasan
4. Fleksibilitas
5. Perkembangan
41
BAB III
METODE PENELITIAN
III.1. Pendekatan Penelitian
Agar penelitian ini lebih terarah serta sesuai dengan tujuan yang
diinginkan berdasarkan konsep yang dianjurkan, maka pendekatan
penelitian yang digunakan adalah pendekatan kuantitatif yakni pencarian
data atu informasi realitas permasalahan yang ada dengan mengacu
pada pembuktian konsep atau teori yang digunakan. Selain itu
penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui hubungan yang ada
antara variabel-variabel penelitian.
III.2. Tipe Penelitian, Objek Penelitian, dan Unit Analisis
III.2.1. Tipe dan Objek Penelitian
Tipe penelitian yang digunakan adalah deskriptif, metode ini digunakan
dengan pertimbangan bahwa metode ini relevan dengan materi penulisan skripsi,
dimana penelitian yang dilakukan hanya bersifat deskriptif yaitu menggambarkan
kenyataan dari kejadian yang diteliti sehingga memudahkan penulis untuk
mendapatkan data yang objektif.
III.2.2. Unit Analisis Penelitian
Unit analisis pada penelitian ini yaitu Individu, dalam lingkup
rumah sakit Stella Maris Kota Makassar.
42
III.3. Populasi, Sampel dan Tehnik Penarikan Sampel Penelitian
Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek dan
subjek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan
oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya
sedangkan Arikunto (1996) populasi adalah keseluruhan subjek penlitian.
Yang merupakan populasi dalam penelitian ini adalah karyawan pada
rumah sakit Stella Maris makassar. Populasi adalah keseluruhan objek yang
mempunyai satu karakteristik yang sama. Yang merupakan populasi pada
penelitian ini adalah karyawan rumah sakit Stella Maris makassar yang
berjumlah 100 orang yang sekaligus menjadi sampel dalam penelitian ini.
III.4. Definisi Operasional
1) Budaya organisasi adalah tingkat kemampuan sperangkat
keyakinan, tata nilai, dan pola perilaku yang melekat pada sistem
organisasi senatiasa mengontrol perilaku anggota organisasi
beraktifitas dalam organisasi.
Dimensinya berupa:
1. Keterlibatan adalah tingkat kemampuan organisasi
memberdayakan dan melibatkan anggota organisasi secara baik
sehingga timbul komitmen yang kuat pada pekerjaan mereka
dan merasa dan merasa menjadi bagian dari organisasi.
2. Konsistensi adalah tingkat keberadaan sistem kepercayaan,
nilai, dan simbol, yang yang secara luas dipahami dan dihayati
43
anggota organisasi, dan proses yang mantap meningkatkan
kesejajaran dan efisiensi kerja dalam organisasi.
3. Adabtabilitas adalah kemampuan organisasi dalam merespon
perubahan yang terjadi cepat dilingkungan eksternal dengan
melakukan penyesuian internal organisasi.
2) Efektivitas organisasi adalah pencapaian tujuan yang ditetapkan
dengan usaha kerjasama, berkaitan dengan optimalisasi
ketercapaian rencana (target).
Dimana kriterianya adalah:
1. Produksi, menggambarkan kemampuan organisasi untuk
memproduksi jumlah dan mutu output yang sesuai dengan
permintaan lingkungan.
2. Efisiensi, memberikan perbandingan pada tipe biaya dan semua
tipe hasil, seperti efisiensi manusia yang melibatkan biaya pada
kehidupan manusia, dan efisiensi sosial yang mencakup total
hasil untuk suatu masyarakat.
3. Kepuasan, adalah suatu respon emosional terhadap berbagai
aspek pekerjaaan yang berarti bahwa kepuasan kerja bukanlah
suatu konsep tunggal namun sebaliknya, seseorang dapat relatif
puas dari suatu aspek dari pekerjaannya dan tidak puas dengan
salah satu atau lebih aspek lainnya.
4. Fleksibilitas, menunjukkan sampai seberapa jauh organisasi
dapat menanggapi perubahan intern dan ekstern.
44
5. Perkembangan, merupakan proses terencana untuk
mengembangkan kemampuan organisasi dalam kondisi dan
tututan lingkungan yang selalu berubah, sehingga dapat
mencapai kinerja yang yang optimal yang dilaksanakan oleh
seluruh anggota organisasi.
III.5. Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan pada penelitian ini adalah kualitatif.
Sedangkan sumber data yaitu:
a. Data primer
Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari lapangan
atau data yang bersumber dari informan yang diperoleh melalui
kusioner dari para responden dan pengamatan langsung di lokasi
penelitian sehubungan dengan permasalahan yang diteliti.
b. Data sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh melalui buku-buku,
catatan dan dokumen atau literatur, serta bacaan lain yang dijadikan
referensi dalam menganalisa dat yang ditentukan.
III.6. Instrumen Pengumpulan data
Adapun instrumen pengumpulan yang digunakan adalah
kuesioner. Dimana kuesioner adalah salah satu alat ukur dalam
penelitian untuk melihat fenomena yang ada. Kusioner merupakan teknik
pengumpulan data dengan cara memberi seperangkat pertanyaan atau
pernyataan tertulis kepada responden untuk dijawabnya.
45
III.7. Tehnik Analisis Data
Untuk menjawab pertanyaan permasalahan penelitian, maka data yang
diperoleh di lapangan akan dianalisis dengan teknik kuantitatif yaitu data yang
akan dianalisis dengan menggunakan data interval. Hasil analisisnya uraikan
secara deskriptif dengan memberikan gambaran mengenai Budaya Organisasi
terhadap efektivitas kinerja pada Rumah Sakit Stella Maris Kota Makassar. Untuk
mengetahui tanggapan responden berdasarkan kelompok responden, data yang
diperoleh diolah dalam bentuk persentase pada table frekuensi distribusi dengan
rumus:
= 100Dimana :
P : Persentase
F : Frekuensi
N ; Jumlah Responden
46
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
IV.1. Hasil dan Pembahasan
IV.1.1.Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Rumah Sakit Stella Maris Kota Makassar terletak di jalan Dr.
Ratulangi No. 81 Kota Makassar Kota Makassar dengan luas tanah ±
14.402 m2 (Hasil pengukuran BPN, tanggal 1 Desember 2004 sesuai
sertifikat) dan luas bangunan 22.738,1 m2.
IV.1.1.1.Sejarah Rumah Sakit Stella Maris Kota Makassar
Rumah sakit umum Stella Maris didirikan oleh Zending Gereja
Geroformat Surabaya, Malang dan Semarang sebagai Rumah Sakit
Zending, yang diresmikan pasa tanggal 12 juni 1938 dengan kapasitas
25 buah tempat tidur. Tahun 1946-1948 Rumah Sakit Stella Maris
mendapat bantuan dari Pemerintah Indonesia Timur (NIT), dengan
merahibilitasi gedung-gedung yang hancur akibat perang, dan
digunakan untuk penampungan korban akibat perang tersebut. Sejak
tahun 1955 Rumah Sakit Stella Maris dibiayai oleh Pemerintah Daerah
Tingkat I Sulawesi Selatan dan dikelola oleh dinas kesehatan Provinsi
Dati I Sulawesi Selatan dengan klasifikasi Rumah Sakit Kelas C.
Terhitung mulai tanggal 16 Januari 1996 melalui peraturan Daerah
Propinsi Dati I Sulawesi Selatan Nomor 2 Tahun 1996 kelas Rumah
Sakit ditingkatkan menjadi Rumaha Sakit Kelas B Non Pendidikan.
47
Peraturan tersebut disahkan oleh Menteri Dalam Negeri pada tanggal 7
Agustus 1996.
IV.1.1.2.Visi – Misi, Tujuan, Motto, Falsafah, dan Nilai pada Rumah
Sakit Umum Stella Maris
1. Visi Rumah Sakit Umum Stella Maris
“Rumah Sakit Unggulan se Sulawesi Selatan”
2. Misi Rumah Sakit Umum Stella Maris
- Mewujudkan Frofesionalisme SDM
- Meningkatkan sarana dan prasarana Rumaha Sakit
- Meberikan Pelayanan Prima
- Efisiensi Biaya Rumah Sakit
- Meningkatkan Kesejahteraan Karyawan
3. Tujuan Rumah Sakit Umum Stella Maris
“Memberikan Kepuasan kepada Semua pelnggan agar tercipta citra
baik Rumah Sakit Umum Stella Maris.”
4. Falsafah Rumah Sakit Umum Stella Maris
“Bahwa kesehatan Jasmani maupun Rohani merupakan hak setiap
orang; oleh karena itu rumah sakit berusaha untuk memberikan
pelayanan kesehatan yang terbaik kepada masyarakat, baik
bersifat penyembuhan, pemulihan, pencegahan maupun
peningkatan serta ditunjang oleh kualitas daya manusia yang
memadai.”
48
5. Nilai-nilai pada Rumah Sakit Umum Stella Maris
- Kejujuran
- Kerjasama
- Tanggung jawab
- Kesetiaan
- Disiplin
IV.1.1.3.Struktur Organisasi Rumah Sakit Umum Stella Maris
1. Kedudukan
RSU Stella Maris adalah Yayasan.
2. Tugas Pokok
RSU Stella Maris mempunyai tugas:
a. Melaksanakan upaya kesehatan secara berdayaguna dan
berhasilguna dengan mengutmakan upaya penyembuhan,
pemulihan yang dilaksanakan secara terpadu dengan upaya
peningkatan serta pencegahan dan melaksanakan upaya
rujukan.
b. Melaksanakan pelayanan yang bermutu sesuai standar
pelayanan Rumah Sakit.
3. Susunan organisasi Badan RSU Stella Maris terdiri atas:
a. Direktur
b. Wakil direktur Medik dan Keperawatan
c. Wakil Direktur Umum, Sumber Daya Manusia & Pendidikan
d. Wakil Direktur Keuangan
49
e. Bidang Pelayanan Medik
f. Bidang pelayan Keperawatan
g. Bidang Fasilitas Medik dan Keperawatan
h. Bagian Umum
i. Bagian Sumber Daya Manusia
j. Bagian Pendidikan dan Penlitian
k. Bagian Perencanaan Dan Anggaran
l. Bagian Perbendaharaan dan Mobilisasi Dana
m. Bagian Akutansi
n. Sub Bagian
o. Seksi
IV.1.1.4.Masalah serta Langkah dan Kebijakan yang dilakukan pada
Rumah Sakit Umum Stella Maris
1. Adapun masalah pokok yang perlu ditindaklajuti pada RSU Stella
Maris mendatang diantaranya:
a. Sarana dan Prasarana rumah saki yang masih sangat terbatas
b. Kualitas sumber daya manusia yang masih perlu ditingkatkan
2. Berdasarkan urutan prioritas masalah diatas, maka diambil
langkah dan kebijakan sebagai berikut:
a. Peningkatan saran dan prasarana rumah sakit berupa
penambahan ruang perawatan dan perluasan ruang
administrasi serta melengkapi peraltan medis dan non medis
yang telah ada.
50
b. Peningkatan kualitas sumber daya manusia dengan jalan
mengikut sertakan petugas/tenaga kesehatan dalam pendidikan
dan pelatihan dan seminar/simposium dengan harapan petugas
dapat menjalankan tugas lebih profesional dengan memberikan
pelayanan prima dan maksimal kepada masyarakat pengguna
jasa pelayanan.
IV.1.1.5. Upaya Pelayanan Kesehatan pada RSU Stella Maris
1. Ketatausahaan
a. Pelayanan Administrasi yaitu pelayanan yang dilakukan dalam
hal persuratan dan pendataan terhadap pasien yang akan
menggunakan jasa layanan pada RSU Stella Maris serta hal-
hal yang berkaitan dengan proses administrasi itu sendiri.
b. Pengembangan Sumber Daya Manusia yang biasa di
laksanakan dalam bentuk pemberian pelatihan bagi pegawai
yang berada dalam rumah sakit baik tenaga medis maupun
non medis
c. Pemantapan Administrasi dan Manajemen, dalam hal ini
pemantapan jalur koordinasi antar pegawai dalam struktur
organisasi di rumah sakit
d. Pelaksanaan Protap secara utuh.
2. Pelayanan Dasar
51
a. Pelayanan pokok,antara lain:
- Pelayanan pada poliklinik spesialistik yaitu pelayanan
kepada pasien di RSU Stella Maris (Rawat Jalan). Fasilitas
pelayanan medik untuk intstalsi rawat jalan dalam hal ini
poliklinik terdiri ata 18 bagian poliklinik.
- Pelayanan Rawat Inap yaitu pelayanan yang diberikan
kepada pasien yang dirawat/opname di RSUD Stella Maris.
Kapasitas Perawatan Rawat Inap di RSUD Stella Maris
terdiri dari 14 ruangan perawatan umum dan 6 ruangan
perawatan khusus (Ruang Bedah Sentral, Bedah
Kebidanan/Kandungan, Perawatan/ RPK, Rawat Intensif,
Hemodialisa, Kamar Bersalin.
- Pelayanan Rawat Darurat. Instalasi Rawat Darurat (IRD)
melayani penderita yang tergolong rawat darurat selama 24
jam, namun tidak menutup kemungkinan merawat penderita
yang bukan gawat darurat. IRD dipimpin oleh seorang dokter
Spesialisasi Bedah dan dibantu oleh dua orang dokter umum
sebagai kepala unit bedah dan kepala unit non-bedah.
Ruang Instalasi Rawat Darurat (IRD) terdiri dari 13 ruangan
perawatan medis yang sesuai dengan fungsinya masing-
masing.
- Pelayanan Intensif (ICU). Ruangan Instalasi Rawat Intensif
saat ini tersedia kapasitas tempat tidur sebanyak 8 (delapan)
52
buah tempat tidur, dengan komposisi tenaga yang
menangani pelayanan perawatan intensif yaitu sebanyak: 1
(satu) orang dokter ahli anastesi, 7 (tujuh) orang perawat
terlatih rawat intensif dan 1(satu) orang perawat.
b. Pelayanan Penunjang antara lain:
- Pelayanan Laboratorium merupakan bagian teknis rumah
sakit yang melayani masalah hasil pemeriksaan dari pasien
baik dari segi klinik maupun anatomi dari hasil proses bedah.
Instalasi laboratorium terbagi atas 2(dua) bagian yaitu
bagian patologi klinik dan bagian patologi anatomi.
- Pelayanan Radiologi atau Instalasi Radiologi memberikan
pelayanan selama 24 jam. Jenis pelayanan yang dapat
diberikan berupa: Rontgen Photo dengan atau tanpa
Kontras, UGD, Dental Photo dan CT-Scan.
- Pelayanan Farmasi atau Instalasi Farmasi mempunyai
kegiatan peracikan, penyimpanan dan penyaluran obat-
obatan, gas medis serta bahan kimia. Selain itu instalasi ini
pun senantiasa melakukan penyimpanan, dan penyaluran
alat kedoteran, alat perawatan dan alat-alat kesehatan yang
dilkukan oleh tenaga/ pegawai dalam jabatan fungsional.
Pelayanan Farmasi oleh Instalasi Farmasi diberikan selama
jam kerja. Diluar jam kerja, kebutuhan obat bagi pasien
dilayani oleh Apotik Rawat Jalan/IRD.
53
- Instalasi Gizi, melayani proses penediaan makanan mulai
dari bahan mentah hingga siap dikonsumsi baik oleh pasien
maupun karyawan rumah sakit. Kegiatan di Instalasi Gizi
terdiri atas kegiatan pengadaan makanan, kegiatan
penyuluhan dan konsultasi gizi serta kegiatan pelayanan gizi
di ruang perawatan.
- Instalasi Pemeliharan Sarana Rumah Sakit (IPSRS),
bertujuan dalam hal pemeliharaan dan perbaikan sarana dan
prasarana rumah sakit.
- Intalasi Sanitasi lingkungan guna menunjang prasarana air
baik dari PAM, sumur BOR, dan sumur artesis. Selain itu
instalasi ini juga mengurusi tentang ketersediaan tenaga
kelistrikan dari PLN maupun yang dikelola oleh rumah sakit
itu sendiri (diesel/genset).
- Instalasi Limbah, yang ditujukan untuk pengolahan sisa dari
pemakaian di rumah sakit termasuk sampah dan septi tank.
IV.1.1.6. Komposisi Pegawai RS Stella Maris
Jumlah pegawai pada Rumah Sakit Umum Stella Maris adalah
sebanyak 404 orang Karakteristik Responden
Dalam mengukur ke efektivan suatu organisasi dalam
menjalankan roda organisasi dapat dipengaruhi oleh banyak faktor, satu
diantaranya adalah budaya organisasi yang dianut oleh organisasi
tersebut. Selain dari model budaya yang dianut pada organisasi
54
tersebut, ada hal yang cukup berpengaruh signifikan untuk pencapaian
efektivitas, yakni kondisi/karakteristik pegawai (responden). Karakteristik
yang dimaksud yakni jenis kelamin, umur, dan tingkat pendidikan.
Adapun karakteristik responden dalam penelitian ini dapat
dijelaskan sebagai berikut:
1. Umur
Berdasarkan data yang diperoleh dari RSUD Stella Maris Kota
Makassar, diperoleh data tentang umur pegawai yang cukup bervariasi.
Hal ini dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 3Distribusi Responden berdasarkan Umur
No Kategori Frekuensi Persentase(%)
1 20-25 2 2.00
2 26-30 32 32.00
3 31-35 17 17.00
4 36-40 22 22.00
5 41-45 6 6.00
6 46-50 11 11.00
7 >50 10 10.00
Total 100 100Sumber: Data Primer, 10 Oktober 2010
Dari tabel 5 di atas menunjukkan bahwa kebanyakan umur
responden adalah 26-30 tahun yang berjumlah 32 orang dengan
persentase 32%. Sedangkan yang terkecil berada pada kisaran umur
20-25 tahun yang berjumlah 2 orang dengan persentase 2%.
2. Jenis Kelamin
55
Adapun distribusi responden berdasarkan jenis kelamin pada
RSUD Stella Maris Kota Makassar dapat dilihat pada tabel 6 berikut:
Tabel 4Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin
No Kategori Frekuensi Persentase(%)
1 Laki-laki 36 36.00
2 Perempuan 64 64.00
Total 100 100Sumber: Data Primer, 10 Oktober 2010
Data tabel diatas menunjukkan bahwa dari 100 orang yang
menjadi responden pada penelitian ini 36 orang berjenis kelamin laki-
laki dengan persentase 36% dan 64 orang orang berjenis kelamin
perempuan dengan persentase 64%.
3. Tingkat Pendidikan
Untuk mengetahui tingkat pendidikan pegawai pad RSUD Stella
Maris Kota Makassar, dapat dilihat pada tabel 7 berikut:
IV.2. Pembahasan Penelitian
IV.2.1.Deskripsi Data
Secara kualitatif, deskripsi data didasarkan pada perhitungan
frekuensi terhadap skor setiap alternatif jawaban angket, sehingga
diperoleh presentase dan skor rata-rata Tanggapan Responden dari
masing-masing variabel, dimensi dan inidikator dengan rentang
penafsiran sebagai berikut.
56
Rentang Penafsiran1,00 - 1,79 Sangat Rendah/Sangat Tidak Baik
1,80 - 2,19 Rendah/Kurang Baik
2,60 - 3,02 Sedang/Cukup Baik
3,03 - 4,19 Tinggi/Baik
4,20 - 5,00 Sangat Tinggi/Sangat Baik
IV.2.1.1.Variabel Budaya OrganisasiDari Operasionalisasi Variabel seperti yang telah dikemukakan
sebelumnya, diketahui variabel budaya organisasi dijelaskan melalui 3
dimensi yaitu: 1) Keterlibatan, 2) Konsintensi, dan 3) Adaptasi, yang
selanjutnya dijelaskan melalui masing-masing indikator.
1. Dimensi Keterlibatan
Mengukur dimensi Budaya Organisasi dilakukan melalui
pertanyaan-pertanyaan: 1) Karyawan leluasa mengelola/menata sendiri
pekerjaan sesuai kewenangan yang diberikan dalam pekerjaan, 2)
Informasi mudah diakses sehingga setiap karyawan bisa mendapatkan
informasi yang dibutuhkan ketika diperlukan, 3) Suasana kerja di rumah
sakit mampu mendorong karyawan untuk selalu bekerja sama dalam
menyelesaikan tugas, 4) Pekerjaan memiliki kaitan penting dengan
strategi yang dijalankan untuk pencapaian tujuan.
.Selanjutnya, disajikan presentase tanggapan responden
mengenai gambaran budaya organisasi mengenai keterlibatan pegawai
pada RSUD Stella Maris Sulawesi Selatan.
57
Tabel 5Keterlibatan Pegawai pada RSUD Stella Maris
No Kategori Frekuensi Persentase (%)
1 STS 0 0.00
2 TS 4 4.00
3 RR 30 30.00
4 S 66 66.00
5 SS 0 0.00
Total 100 100
Rata-rata 3.26
Sumber: Olahan Data Primer, 14 Oktober2010
Pada data tabel di atas dapat dilihat bahwa pegawai di RSUD
Stella Maris memiliki tingkat keterlibatan yang cukup tinggi dalam
bekerja. Hal ini dinyatakan dengan frekuensi 66 orang ( 66,00%) berada
pada skor 4 ( tinggi/baik), sedangkan cuman 4 orang (4,00%) berada
pada skor 2 (rendah/kurang baik) dan terdapat 30 orang (33,00%0)
berada pada skor 3(ragu-ragu). Berdasarkan pada skor rata-rata 3,26
responden (pegawai) berada pada kategori tinggi/baik.
Sehingga dapat dinyatakan bahwa pegawai di RSUD Stella Maris
memiliki keterlibatan dalam bekerja. Hal ini ditunjang dengan
berjalannya proses pemberdayaan serta orientasi tim yang jelas dalam
organisasi.
2. Dimensi Konsistensi
Mengukur dimensi Konsistensi dilakukan dengan pertanyaan: 1)
Nilai-nilai dasar rumah sakit menjadi sarana pembeda karyawan rumah
sakit ini dengan orang yang bekerja dirumah sakit lainnya, 2) Kode etik
58
rumah sakit mampu menjadi pembimbing karyawan untuk berperilaku
benar dan menghindari perilaku salah, 3) Kemampuan pimpinan
unit/instalas dapat saling memahami pandangan yang berbeda dengan
pimpinan unit lain terhadap cara pengelolaan bisnis rumah sakit, 4)
Pengkoordinasian kegiatan antar unit/instalasi yang berbeda fungsi dan
bentuk layanan terhadap pasien rumah sakit.
Selanjutnya, disajikan presentase tanggapan responden untuk
memperoleh gambaran budaya untuk dimensi konsistensi pada pegawai
RSUD Stella Maris Kota Makassar.
Tabel 6Konsistensi Pegawai Pada RSUD Stella Maris
No Kategori Frekuensi Persentase(%)
1 STS 0 0.00
2 TS 6 6.00
3 RR 22 22.00
4 S 71 71.00
5 SS 1 1.00
Total 100 100
Rata-rata 3.92
Sumber: Olahan Data Primer, 14 Oktober2010
Pada tabel diatas dapat dilihat bahwa pegawai RSUD Stella Maris
Kota Makassar memiliki tingkat Konsistensi yang tinggi dalam bekerja.
Hal ini dinyatakan dengan frekuensi 1 orang (1.00%) berada pada skor 5
(sangat tinggi ) dan 71 orang (71,00%) berada pada skor 4 (tinggi/baik),
serta 6 0rang (6,00%) berada pada skor ragu-ragu. Berdasrkan skor
rata-rata 3,92 responden (pegawai) berada pada kategori tinggi.
59
Sehingga dapat dinyatakan bahwa pegawai RSUD Stella Maris
Kota Makassar memilki budaya konsistensi dalam bekerja. Hal ini
ditunjang dengan nilai-nilai inti dalm organisasi yang tetap dipertahankan
dan selalu dijalankan serta koordinasi dan integrasi antar pegawai yang
berjalan dengan baik.
3. Dimensi Adaptabilitas
Mengukur dimensi Adaptabilitas dilakukan dengan pertanyaan-
pertanyaan: 1) Pimpinan sudah dapat menerjemakan perubahan
tuntutan/harapan pelayanan kesehatan di masyarakat dengan
menyesuaikan pola pengelolaan dan kebijakan organisasi, 2) Pimpinan
telah dapat mengadopsi teknologi peningkatan kualitas secara
berkelanjutan (perangkat lunak dan perangkat keras) untuk
meminimalkan biaya operasional, 3) Pimpinan selalu menanggapi
kesalahan pekerjaan bawahan sebagai sarana kesempatan belajar
untuk bekerja lebih baik daripada pemberian hukuman, 4) Pimpinan
rumah sakit mendorong karyawan bekerja tekun sebagai usaha
pembelajaran dalam rumah sakit agar lebih professional.
Selanjutnya, disajikan presentase tanggapan responden untuk
memperoleh gambaran budaya untuk dimensi adptabilitas pada pegawai
RSUD Stella Maris Kota Makassar.
60
Tabel 7Adaptabilitas Pegawai Pada RSUD Stella Maris
No Kategori Frekuensi Persentase(%)
1 STS 0 0.00
2 TS 27 27.00
3 RR 29 29.00
4 S 43 43.00
5 SS 1 1.00
Total 100 100
Rata-rata 3.17
Sumber: Olahan Data Primer, 14 Oktober2010
Pada tabel diatas dapat dilihat bahwa pegawai RSUD Stella Maris
Kota Makassar memiliki tingkat Adaptabilitas yang tinggi dalam
Organisasi. Hal ini dinyatakan dengan frekuensi 1 orang (1.00%) berada
pada skor 5 (sangat tinggi ) dan 43 orang (43,00%) berada pada skor 4
(tinggi/baik), serta 29 orang (29,00%) berada pada skor ragu-ragu.
Berdasarkan skor rata-rata 3,17 responden (pegawai) berada pada
kategori tinggi.
Sehingga dapat dinyatakan bahwa pegawai RSUD Stella Maris
Kota Makassar memilki budaya adaptabilitas dalam organisasi. Hal ini
ditunjang dengan keinginan pimipinan maupun pegawai untuk
senantiasa melakukan perubahan dan mengikuti perkembangan yang
terjadi. Selain itu perubahan-perubahan yang terjadi dalam organisasi
dianggap sebagai proses pembelajaran organisasi.
Dari penjelasan di atas, dapat diperoleh gambaran tentang
Budaya Organisasi pada RSUD Stella Maris Kota Makassar, yang tersaji
pada tabel 13 berikut.
61
Tabel 8Budaya Organisasi pada RSUD Stella Maris
No Kategori Frekuensi Persentase(%)1 STS 0 0.002 TS 0 0.003 RR 31 31.004 S 67 67.005 SS 2 2.00
Total 100 100
Rata-rata 3.71Sumber: Olahan Data Primer, 14 Oktober2010
Dari tabel di atas menunjukkan bahwa Budaya Organisasi pada
RSUD Stella Maris baik dan dijalankan oleh pegawai sebagai nilai-nilai
inti dalam menjalankan pekerjaan pada Organisasi tersebut. Hal ini
ditandai dengan besaran frekuensi 67 orang (67%) berada pada skor 4
(tinggi/baik), didukung oleh besaran frekuensi 0 orang (0%) berada pada
skor 1(sangat rendah) dan skor rata-rata 3.71. Hal ini menunjukkan
bahwa sebagaian responden (pegawai) secara rata-rata mampu
menyesuaikan diri dengan Budaya Organisasi pada RSUD Stella Maris
dalam menjalankan pekerjaan mereka.
IV.2.1.2. Variabel Efektivitas OrganisasiUntuk mengetahui efektivitas organisasi pada RSUD Stella Maris
Kota Makassar dapat dijelaskan melalui 5 kriteria sebagai berikut yang
kemudian dijelaskan melalui masing-masing pertanyaan.
1. Produktivitas
Produkvitas merupakan hal yang sangat penting bagi para
pegawai yang ada dalam organisasi. Dengan adanya produktivitas kerja
diharapkan pekerjaan akan terlaksana secara efisien dan efektif,
62
sehingga ini semua akhirnya sangat diperlukan dalam pencapaian tujuan
yang sudah ditetapkan. Untuk mengukur Produktivitas dalam penelitian
ini dilakukan dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan sebagai
berikut:1) Manajemen rumah sakit lebih memprioritaskan keunggulan
mutu pelayanan dalam menghadapi persaingan antar rumah sakit
daripada tarif yang kompetitif, 2) Pasien yang berobat di senantiasa
berusaha diyakinkan akan pelayanan handal (peralatan dan tenaga
medis), dan rasa simpatik tenaga medis/non-medis melayani pasien.
Selanjutnya, untuk memperoleh gambaran produktivitas kerja
pegawai pada RSUD Stella Maris Kota Makassar dapat dilihat pada
tabel 14 berikut.
Tabel 9Produktivitas Kerja Pegawai Pada RSUD Stella Maris
No Kategori Frekuensi Persentase(%)
1 STS 0 0.00
2 TS 11 11.00
3 RR 29 29.00
4 S 51 51.00
5 SS 9 9.00
Total 100 100
Rata-rata 3.56
Sumber: Olahan Data Primer, 14 Oktober2010
Pada tabel diatas dapat dilihat bahwa pegawai RSUD Stella Maris
Kota Makassar memiliki tingkat Produktivitas yang tinggi dalam bekerja.
Hal ini dinyatakan dengan frekuensi 9 orang (9.00%) berada pada skor 5
(sangat tinggi ) dan 51 orang (51,00%) berada pada skor 4 (tinggi/baik),
63
serta 29 orang (29,00%) berada pada skor ragu-ragu. Berdasarkan skor
rata-rata 3,56 responden (pegawai) berada pada kategori tinggi.
Sehingga dapat dikatakan bahwa, tingkat produktivitas kerja
pegawai pada RSUD Stella Maris Kota Makassar sudah baik. Hal ini
terlihat dari kemampuan para pegawai dalam melaksanakan tugas
sudah sesuai dengan kebutuhan organisasi serta peningkatan hasil yang
dipacai oleh organisasi sudah mencapai hasil yang diharapkan. Selain
itu para pegawai juga mengutmakan mutu dan kualitas keja dalam
melaksanakan tugas.
2. Efisiensi
Efisiensi berhubungan dengan jumlah pengorbanan baik materi
maupun tenaga dalam menyelesaikan pekerjaan. Seberapa besar
pengorbanan pegawai dapat menjadi salah satu acuan untuk mengukur
kinerja seseorang. Efisinsi seperti halnya produktivitas juga merupakan
rasio antara input dan output, hanya berbeda penekanannya atau
fokusnya yaitu efisiensi menitikberatkan pada korban atau input.
Adapun pertanyaan-pertanyaan untuk mengukur efisiensi dalam
penelitian ini yaitu dengan mengajukan pertanyaan seperti: 1) Kualitas
dari hasil pelaksanaan pekerjaan anda, seimbang dengan sarana dan
prasarana yang anda pergunakan bekerja, 2) Anda lebih mengutamakan
pencapaian tujuan dari tugas, tanpa memperhitungkan sarana dan
prasarana yang digunakan.
Selanjutnya, untuk mengetahui efisiensi pegawai pada RSUD
Stella Maris dapat dilihat pada tabel 15.
64
Tabel 10Efisiensi Kerja Pegawai Pada RSUD Stella Maris
No Kategori Frekuensi Persentase (%)
1 STS 1 1.002 TS 7 7.003 RR 29 29.004 S 48 48.005 SS 15 15.00
Total 100 100Rata-rata 3.69Sumber: Olahan Data Primer, 14 Oktober2010
Pada tabel diatas dapat dilihat bahwa pegawai RSUD Stella Maris
Kota Makassar memiliki tingkat Efisiensi Kerja yang tinggi. Hal ini
dinyatakan dengan frekuensi 15 orang (15.00%) berada pada skor 5
(sangat tinggi ) dan 48 orang (48,00%) berada pada skor 4 (tinggi/baik),
serta 29 orang (29,00%) berada pada skor ragu-ragu. Berdasarkan skor
rata-rata 3,69 responden (pegawai) berada pada kategori tinggi.
Sehingga dapat dikatakan bahwa, tingkat efisiensi kerja pegawai
pada RSUD Stella Maris Kota Makassar sudah baik. Hal ini terlihat
kualitas pekerjaan yang dihasilkan dapat mencapai harapan tanpa
memerlukan pengorbanan yang besar. Selain itu, pencapaian tujuan
lebih dikedepandakan dalam mealaksankan pekerjaan meski tidak
menggunakan fasilitas atau peralatan secara maksimal.
3. Kepuasan
Kepuasan dan semangat kerja merupakan istilah yang
menunjukkan sampai seberapa jauh organisasi memenuhi kebutuhan
para karyawan guna pencapaian tujuan yang efektif. ukuran kepuasan
65
dalam melaksanakan pekerjaan memilki banyak indikasi salah satunya
pemberian imbalan, baik berupa intesif ataupun dalam bentuk yang lain.
Adapun pertanyaan-pertanyaan untuk mengukur kepuasan dalam
penelitian ini yaitu dengan mengajukan pertanyaan seperti: 1) Kualitas
dari hasil pelaksanaan pekerjaan anda, seimbang dengan sarana dan
prasarana yang anda pergunakan bekerja, 2) Anda lebih mengutamakan
pencapaian tujuan dari tugas, tanpa memperhitungkan sarana dan
prasarana yang digunakan.
Selanjutnya, untuk mengetahui kepuasan pegawai pada RSUD
Stella Maris dapat dilihat pada tabel 16.
Tabel 11Kepuasan Pegawai Pada RSUD Stella Maris
No Kategori Frekuensi Persentase (%)
1 STS 1 1.00
2 TS 12 22.00
3 RR 31 31.00
4 S 45 45.00
5 SS 11 11.00
Total 100 100
Rata-rata 3.54
Sumber: Olahan Data Primer, 14 Oktober2010
Pada tabel diatas dapat dilihat bahwa pegawai RSUD Stella Maris
Kota Makassar memiliki tingkat kepusan kerja yang tinggi dalam bekerja.
Hal ini dinyatakan dengan frekuensi 11 orang (11.00%) berada pada
skor 5 (sangat tinggi ) dan 45 orang (45,00%) berada pada skor 4
(tinggi/baik), serta 31 orang (31,00%) berada pada skor ragu-ragu.
66
Berdasarkan skor rata-rata 3,54 responden (pegawai) berada pada
kategori tinggi.
Sehingga dapat dikatakan bahwa, tingkat Kepuasan kerja
pegawai pada RSUD Stella Maris Kota Makassar sudah baik. Hal ini
didukung oleh penghasilan yang diterima pegawai sudah dianngap
seimbang dengan beban kerjanya. Selain itu pegawaipun merasa puas
dengan kemampuan mereka dalam menyelesaikan tugasnya.
4. Fleksibilitas
Fleksibilitas yang menempatkan lingkungan sebagai faktor yang
sangat berpengaruh terhadap efektivitas organisasi, karena organisasi
dituntut untuk menyesuaikannya baik dari intern maupun dari ekstern
organisasi, demi keberhasilan dan efektivitasnya.
Adapun pertanyaan-pertanyaan untuk mengukur fleksibilitas
dalam penelitian ini yaitu dengan mengajukan pertanyaan seperti: 1)
Anda selalu berusaha memanfaatkan peluang-peluang yang ada untuk
memperoleh berbagai sumber dalam pelaksanaan tugas dari pimpinan,
2) Setiap saat anda mampu menyesuaikan tugas/pekerjaan anda
dengan perubahan-perubahan yang terjadi di rumah sakit.
Selanjutnya, untuk mengetahui fleksibilitas organisasi pada RSUD
Stella Maris dapat dilihat pada tabel 17.
67
Tabel 12.1
Fleksibilitas Organisasi Pada RS Stella Maris
No Kategori Frekuensi Persentase (%)
1 STS 0 0.00
2 TS 0 0.00
3 RR 31 31.00
4 S 52 52.00
5 SS 17 17.00
Total 100 100
Rata-rata 3.86
Sumber: Olahan Data Primer, 14 Oktober2010
Pada tabel diatas dapat dilihat bahwa pegawai RSUD Stella Maris
Kota Makassar memiliki tingkat Fleksibilitas yang tinggi dalam bekerja.
Hal ini dinyatakan dengan frekuensi 17 orang (17.00%) berada pada
skor 5 (sangat tinggi ) dan 52 orang (52,00%) berada pada skor 4
(tinggi/baik), serta 31 orang (31,00%) berada pada skor ragu-ragu.
Berdasarkan skor rata-rata 3,86 responden (pegawai) berada pada
kategori tinggi.
Sehingga dapat dikatakan bahwa, tingkat Fleksibilitas pegawai
pada RSUD Stella Maris Kota Makassar sudah baik. Hal ini dipengaruhi
oleh kemampuan para pegawai untuk memanfaatkan peluang yang ada
dalam organisasi cukup baik. Selain itu pegawai pun sudah mampu
untuk menyesuaikan seluruh tugas-tugas yang diberikan baik itu tugas
pekerjaan yang masih dianngap baru maupun yang sudah pernah
mereka temukan.
68
5. Perkembangan
Perkembangan merupakan suatu fase setelah kelangsungan
hidup terus (survive) dalam jangka panjang. Untuk itu organisasi harus
bisa memperluas kemampuannya, sehingga bisa berkembang dengan
baik dan sekaligus akan dapat melewati fase kelangsungan hidupnya.
Adapun pertanyaan-pertanyaan untuk mengukur fleksibilitas
dalam penelitian ini yaitu dengan mengajukan pertanyaan seperti: 1)
Manajemen rumah sakit mengadopsi teknologi peningkatan kualitas
secara berkesinambungan (perangkat lunak/perangkat keras) untuk
orientasi meminimalkan biaya operasional. 2) Tingkat pemanfaatan yang
tinggi menjadi pertimbangan utama penggunaan peralatan dan tenaga
(medis/non-medis) dalam melayani pasien.
Selanjutnya, untuk mengetahui Perkembangan organisasi pada
RSUD Stella Maris dapat dilihat pada tabel 18.
Tabel 12.2Fleksibilitas Organisasi Pada RS Stella Maris
No Kategori Frekuensi Persentase (%)
1 STS 0 0.00
2 TS 6 6.00
3 RR 36 36.00
4 S 54 54.00
5 SS 4 4.00
Total 100 100
Rata-rata 3.56
Sumber: Olahan Data Primer, 14 Oktober2010
69
Pada tabel diatas dapat dilihat bahwa pegawai RSUD Stella Maris
Kota Makassar memiliki tingkat Fleksibilitas yang tinggi dalam bekerja.
Hal ini dinyatakan dengan frekuensi 4 orang (4.00%) berada pada skor 5
(sangat tinggi ) dan 54 orang (54,00%) berada pada skor 4 (tinggi/baik),
serta 36 orang (36,00%) berada pada skor ragu-ragu. Berdasarkan skor
rata-rata 3,56 responden (pegawai) berada pada kategori tinggi.
Sehingga dapat dikatakan bahwa, tingkat perkembangan
organisasi pada RSUD Stella Maris Kota Makassar sudah baik. Hal ini
didukung oleh penggunaan sarana dan prasaran yang digunakan dalam
menyelasaikan pekerjaan dalam organisasi sudah cukup baik. Selain itu
maksimalisasi pemanfaatan teknologi yang dianngap perlu guna
menunjang efektvitas kerja sudah mampu dilakukan dengan baik oleh
pegawai.
Selanjutnya, dari penjelasan pada tabel-tabel diatas dapat
diperoleh gambaran tentang efektivitas organisasi pada RSUD Stella
Maris Kota Makassar.
Tabel 13Efektivitas Organisasi pada RS Stella Maris
No Kategori Frekuensi Persentase(%)
1 STS 0 0.00
2 TS 0 0.00
3 RR 8 8.00
4 S 64 64.00
5 SS 28 28.00
Total 100 100
Rata-rata 4.20Sumber: Olahan Data Primer, 14 Oktober2010
70
Pada tabel diatas menuunjukkan bahwa tingkat efektivitas
organisasi pada RSUD Stella Maris Kota Makassar tergolong tinggi. Hal
ini ditunjukkan dengan besaran frekuensi berada pada skor 4 (tinggi)
sebesar 64 orang (64%) dengan skor rata-rata 4.20 (tinggi).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa , tingkat efektivitas
organisasi pad RSUD Stella Maris Kota Makassar tergolong tinggi.
Pernyataan tersebut dikarena dengan pegawai yang dapat
menyelesaikan pekerjaan dengan baik dalam jangka waktu tertentu,
ketepatan waktu penyelesaian tugas lebih efisien. Selain itu pegawai
juga telah mampu menyesuaikan pekerjaan dan kondisi lingkungan yang
baru, serta organisasi secara keseluruhan mampu mengikuti
perkembangan-perkembangan yang sedang tejadi.
Dari penjelasan tersebut diatas menjelaskan bahwa terdapat
pengaruh yang kuat antara budaya organisasi dengan efektivitas
organisasi. Hal ini membuktikan bahwa variabel budaya organisasi
merupakan sebuah instrument yang penting, dan perlu diperhatikan
dalam rangka peningkatan efektivitas organisasi (dalam hal ini RSUD
Stella Maris Kota Makassar).
IV.2.2. Pembahasan Hasil Penelitian
Budaya organisasi yang kuat dan positif mendukung tercapainya
keberhasilan organisasi. Sebaliknya, jika ada nilai-nilai negatif yang
berkembang tentu akan berakibst merusak tujuan organisasi. Misalnya,
budaya malas, budaya mangkir, budaya lamban kerja, apalagi budaya
korupsi.
71
Kuatnya budaya organisasi sehingga dapat berpengaruh dalam
menentukan efektivitas perusahaan, bukan karena sebagai budaya an
sich, yaitu sebagai seperangkat nilai-nilai yang dijadikan pedoman
bersama para anggota organisasi, melainkan lebih dari pada itu, yaitu
adanya sinergi dalam berbagai hal. Jika kita mengatakan bahwa suatu
budaya organisasi ini kuat, hal ini sudah mengandung beberapa
pengertian sperti : Nilai-nilai inti yang saling menjalin sebagai pedoman
perilaku yang tersosialisasikan dan menginternalisasi, perilaku-perilaku
karyawan yang terkendalikan dan terkoordinasikan oleh kekuatan yang
informal, serta budaya organisasi yang dianggap berpengaruh terhadap
strategi.
Seperti yang telah diketahui bahwa budaya organisasi dapat
didefinisikan sebagai perangkat sistem nilai-nilai, keyakinan-keyakinan,
atau norma-norma yang telah lama berlaku, disepakati dan diikuti oleh
para anggota suatu organisasi sebagai pedoman perilaku dan
pemecahan masala-masalah orgnisasi. Yang dimana dalam penelitian
ini, budaya organisasi berhubungan dengan efeftivitas organisasi karena
di dalam budaya organisasi terdiri dari tiga dimensi yaitu :1) keterlibatan,
2) Konsintensi, dan 3) Kemampuan beradaptasi.
Dalam hal ini budaya organisasi adalah budaya organisasi yang
terdapat pada Rumah Sakit Umum Stella Maris Kota Makassar.
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa budaya organisasi
pada RSUD Stella Maris Kota Makassar berada pada kategori tinggi
72
(baik). Ini ditandai dari skor rata-rata sebesar 3.45 dengan dimensi
konsistensi sebesar 3.26, dimensi keterlibatan sebesar 3.92, dan
dimensi adaptabilitas sebesar 3.17.
Sehingga dapat dikatakan bahwa sebagian besar pegawai pada
RSUD Stella Maris Provinsi Selatan dapat menjaga dan melaksanakan
nilai-nilai, atau keyakinan-keyakinan yang dianggap sebagai pedoman
dalam menjalankan tugas-tugas dalam organisasi. Proses keterlibatan
dalam organisasi dianggap karyawan sebagai hal yang mutlak
dilaksanakan. Adanya sikap konsisten terhadap tanggung jawab
diberikan serta kemampuan beradaptasi organisasi secara umum dan
pegawai secara khusus dianggap sebagai suatu proses pelestarian
budaya organisasi.
Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa masih ada beberapa
pegawai pada RSUD Stella Maris Kota Makassar yang belum mampu
menerapkan secara penuh hal-hal yang dianggap sebagai nilai-nilai inti
dalam melaksanakan pekerjaan.
Keberhasilan organisasi pada umumnya diukur dengan konsep
efektivitas. Namun seringkali efektivitas hanya dikaitkan dengan tujuan
organisasi, yaitu laba, yang cenderung mengabaikan aspek terpenting
dari keseluruhan prosesnya, yaitu sumber daya manusia. Dalam
penelitian tentang efektivitas organisasi ini, sumber daya manusia dan
perilaku manusia muncul menjadi fokus primer, dan usaha-usaha untuk
meningkatkan efektivitas terapat pada kriteria-kriteria yang menjadi
73
ukuran efektivitas organisasi, yaitu: 1) Produktivitas, 2) Efisiensi, 3)
Kepuasan, 4) Fleksibilitas, dan 5) Perkembangan.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa efektivitas organisasi
pada RSUD Stella Maris Kota Makassar berada pada kategori tinggi
(baik). Hal ini terlihat pada skor rata-rata yang didapatkan sebesar 3.64,
dengan skor rata-rata masing-masing kriteria: Produktivitas sebesar
3.56, efisiensi sebesar 3.69, kepuasan sebesar 3.54, fleksibilitas
sebesar 3.86, dan perkembangan sebesar 3.56. Selanjutnya dapat
dilihat pada tebel 23 berikut.
Tabel 14Skor rata-rata variabel Budaya dan Efektivitas Organisasi
Variabel Dimensi Skor rata-rata
BudayaOrganisasi
Keterlibatan 3.26
Konsistensi 3.92
Adaptabilitas 3.17
Skor rata-rata 3.45
EfektivitasOrganisasi
Produktivitas 3.56
Efisiensi 3.69
Kepuasan 3.54
Fleksibilitas 3.86
Perkembangan 3.56
Skor rata-rata 3.64Sumber: Olahan Data Primer, 15 Oktober2010
Dari data tabel dan penjabaran di atas dapat dilihat bahwa,
Budaya organisasi dan efektifitas organisasi pada Rumah Sakit Umum
74
Stella Maris Kota Makassar berada dalam kategori tinggi (baik), yaitu
berada pada dalam rentang penafsiran 3,03 - 4,19. Sehingga dapat
dinyatakan bahwa budaya organisasi kuat dapat meningkatkan
efektivitas suatu organisasi.
75
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
V.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dibahas pada bab
sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa:
Budaya organisasi dan efektifitas organisasi pada Rumah Sakit Umum
Stella Maris Kota Makassar berada dalam kategori tinggi (baik), yaitu
berada pada dalam rentang penafsiran 3,03 - 4,19.
V.2. Saran
Berdasarkan kesimpulan dari hasil penelitian diatas, maka ada
beberapa hal yang menjadi masukan, antara lain:
1. Budaya organisasi pada Rumah Sakit Umum Stella Maris Kota
Makassar yang dianggap sebagai nilai-nilai inti dalam organisasi perlu
dipertahankan sebagai acuan dalam menjalankan tugas. Dimana
keterlibatan pegawai dalam organisasi harus sesuai dengan tujuan
pelaksanaan kegiatan atau tugas. Selain itu Proses adaptasi
organisasi perlu ditingkatkan seirring dengan perkembangan yang
terjadi baik dari faktor eksternal maupun internal organisasi guna
menunjang peningkatan efektivitas organisasi itu sendiri.
2. Banyak hal yang perlu diperhatikan dalam rangka peningkatan
efektivitas organisasi, selain dari faktor budaya organisasi yang
merupakan instrument yang penting di era informasi saat ini.
76
3. Bagi peneliti selanjutnya yang ingin melakukan penelitian pada
Rumah Sakit Umum Daerah Stella Maris Povinsi Sulawesi Selatan,
disarankan untuk meneliti faktor-faktor lain yang berhubungan dengan
peningkatan efektivitas organisasi.
77
DAFTAR PUSTAKA
Agus Dwiyanto. 2006. Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia. GadjahMada university Press. Yogyakarta.
Denison, Daniel R. 1990. Corporate Culture and OrganizationalEfektiveness. New York: John Wiley & Sons.
Djokosantoso, Moeljono. 2003. Budaya Korporat dan KeunggulanKorporasi. Jakarta: Elex Media Komputindo.
Gibson, James L., Ivancevic Donnely. 1996. Organisasi: Perilaku, Struktur,dan Proses. Binarupa Aksara, Jakarta.
Hall, Richard H. 2006. Tujuan dan Efektivitas dalam ImplementasiManajemen Stratejik: Kebijakan dan Proses (A. Usman editor)Amara Books, Yogyakarta.
Hardjowirogo. 1994. Demokrasi dan Budaya Birokrasi. Yayasan BentengBudaya, Yogyakarta.
Kasim, Azhar. 1993. Pengukuran Efektifitas dalam Organisasi. LembagaPenerbit Fakultas Ekonomi- PAU ilmu-ilmu sosial Univ.Indonesia, Jakarta.
Koenjaraningrat. 2002. Manusia dan Kebudayaan Indonesia. Jambatan,Jakarta.
Miller, L. M. 1987. Manajemen Era Baru:Beberapa Pandangan MengenaiBudaya Perushaan Modern (Terj. Windorojo). Erlangga, Jakarta.
Mishra, Aneil K. dan Daniel R. Denison. 1995. Toward a Theory ofOrganizational Culture and Effectiveness. Organization ScienceVol.6 No.2 pp. 204-223.
Muh. Basri. 2007. Pengaruh Budaya Lokal terhadap Kinerja Birokrasi diSulawesi Selatan, Disertasi. Program pascasarjana Unhas,Makassar.
Ndarha, Taliziduhu. 2005. Teoti Budaya Organisasi. Rinekacita, Jakarta.
Osborne, David dan Peter Plastrik. 1997. Memangkas Birokrasi: LimaStrategi Menuju Pemerintahan Wirausaha, PenerbitPPM,Jakrata.
78
Ratminto dan Atik Septi Winarsih. 2005. Manajemen Pelayanan. PustakaPelajar, Yogyakarta.
Sastroasmoro, Sudigdo dan Sofyan Ismail (ed.). 2008. Dasar-dasarMetdodologi Penelitian Klinis (edisi 3). Sagung Sento. Jakrata.
Sobirin Achmad. 2007. Budaya Organisasi: Pengertian, Makna danAplikasinya dalam Kehidupan Organisasi. UPP Sekolah TinggiIlmu Manajemen, YKPN. Yogyakarta.
Steers, Richard M. 1985. Efektifitas Organisasi. Erlangga, Jakarta.
Syarif Makmur. 2008. Pemberdayaan Sumber Daya Manusia danEfektivitas Organisasi. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Sugiyono. 2003. Metode Penelitian Administrasi. Alfabeta. Bandung
Sutrisno, Edy. 2007. Budaya Organisasi. Kencana. Surabaya.
Tika, Moh. Pabundu. Budaya Organisasi dan Peningkatan KinerjaPerusahaan. Bumi Aksara. 2005.
Wirawan. 2007. Budaya dan Iklim Organisasi: Teori Aplikasi danPenelitian. Salemba Empat, Jakarta.