KAJIAN MUSIKAL DAN FUNGSI PERTUNJUKAN BARONGSAI
PADA PERAYAAN CAP GO MEH MASYARAKAT TIONGHOA
DI MAHA VIHARA MAITREYA, KOMPLEK PERUMAHAN
CEMARA ASRI, MEDAN
SKRIPSI SARJANA
DIKERJAKAN
OLEH
YUDHISTIRA SIAHAAN
NIM: 080707018
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU BUDAYA
DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI
MEDAN
2012
KAJIAN MUSIKAL DAN FUNGSI PERTUNJUKAN BARONGSAI PADA
PERAYAAN CAP GO MEH MASYARAKAT TIONGHOA DI MAHA VIHARA
MAITREYA, KOMPLEK PERUMAHAN CEMARA ASRI, MEDAN
SKRIPSI SARJANA
DIKERJAKAN
O
L
E
H
YUDHISTIRA SIAHAAN
NIM: 080707018
Dosen Pembimbing I,
Drs. Muhammad Takari, M.Hum., Ph.D.
NIP 196512211991031001
Dosen Pembimbing II,
Dra. Heristina Dewi, M.Pd.
NIP 1966
Skripsi ini diajukan kepada Paniti Ujian Fakultas Ilmu Budaya USU Medan,
untuk melengkapi salah satui syarat Ujian Sarjana Seni
dalam bidang disiplin Etnomuskologi
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU BUDAYA
DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI
MEDAN
2012
ii
PENGESAHAN
DITERIMA OLEH:
Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara untuk melengkapi salah
satu syarat Ujian Sarjana Seni dalam bidang disiplin Etnomusikologi pada Fakultas Ilmu
Budaya, Universitas Sumatera Utara, Medan
Pada Tanggal :
Hari :
Fakultas Ilmu Budaya USU,
Dekan,
Dr. Syahron Lubis, M.A.
NIP
Panitia Ujian: Tanda Tangan
1. Drs, Muhammad Takari, M.A., Ph.D
2. Dra. Heristina Dewi, M.Pd.
3.Drs. Kumalo Tarigan, M.A.
4.
5.
iii
DISETUJUI OLEH
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI
KETUA,
Drs. Muhammad Takari, M.Hum., Ph.D.
NIP 196512211991031001
iv
KATA PENGANTAR
v
vi
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Barongsai adalah salah satu jenis seni pertunjukan yang terpusat pada
olah gerak tubuh (tari dan bela diri atau akrobatik), menggunakan kostum singa,
dan gerakannya mengikuti hentakan ritme yang dihasilkan oleh pemain musik.
Pertunjukan Barongsai sering ditampilkan dalam upacara-upacara hari besar
maupun peristiwa-peristiwa penting pada kebudayaan masyarakat Tionghoa.1
Istilah barongsai di Indonesia berasal dari dua kata, yakni barong dan
sai/say. Kata barong berasal dari bahasa Melayu yang artinya topeng, mirip
dengan kesenian barong asal Jawa dan Bali. Kata sai/say berasal dari dialek
Hokkien yang bermakna singa. Sehingga ketika digabungkan, maknanya
memiliki arti topeng singa.2 Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1995),
barongsai adalah “tarian masyarakat Cina yang memakai kedok dan kelengkapan
sebagai binatang buas (singa), dimainkan oleh dua orang (satu bagian kepala dan
satu bagian ekor) dan dipertunjukan pada perayaan Imlek.”
1Istilah masyarakat Tionghoa merujuk pada pengertian orang Indonesia dengan akar keturunan berasal dari Cina. Biasanya mereka menyebut dirinya dengan istilah Tenglang (Hokkian), Tengnang (Tiochiu), atau Thongnyin (Hakka). Hal ini sesuai dengan kenyataan bahwa orang Tionghoa Indonesia mayoritas berasal dari Cina Selatan yang menyebut diri mereka sebagai orang Tang (lebih lanjut lihat http://id.wikipedia.org/wiki/Tionghoa-Indonesia).
2Wawancara dengan Candra Tio (seniman Tionghoa dan Ketua Tim Barongsai Maha Vihara Maitreya), 07 Februari 2012
1
Kesenian barongsai diperkirakan masuk ke Indonesia sekitar abad ke-17
pada saat migrasi besar-besaran dari Cina Selatan ke Indonesia. Keberadaan
barongsai sebagai salah satu kesenian masyarakat Tionghoa sempat mengalami
fase “mati suri,” terkait dengan Inpres No. 14 Tahun 1967 yang dikeluarkan pada
masa pemerintahan Presiden Soeharto, yang berisikan bahwa masyarakat
Tionghoa tidak boleh mengembangkan kebudayaannya, melarang membangun
klenteng, tidak boleh menggunakan bahasa Cina, dan diharuskan mengubah
nama Cina menjadi nama Indonesia.
Setelah rezim Orde Baru tumbang, baru memasuki pemerintahan Presiden
Abdurrahman Wahid, beliau mencabut Inpres No. 14 Tahun 1967 dan
menetapkan Pasal 2 UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan
Republik Indonesia yang menetapkan bahwa orang Tionghoa yang
berkewarganegaraan Indonesia digolongkan sebagai salah satu suku dalam
lingkup nasional Indonesia (en.wikipedia.org/wiki/Chinese_Indonesians). Setelah
itu barulah masyarakat Tionghoa di Indonesia dapat menghirup aroma bebas
dalam merayakan hari besar mereka dan kegiatan-kegiatan lainnya. Sejak
ditetapkannya status masyarakat Tionghoa di Indonesia sebagai kelompok
masyarakat yang resmi serta dilindungi haknya oleh negara, kesenian masyarakat
Tionghoa, seperti barongsai perlahan tapi pasti kembali muncul ke permukaan
dan mendapatkan popularitasnya kembali.
2
William Y. K. Lee (2001) mengungkapkan bahwa pertunjukan barongsai
sebagai salah satu kebudayaan tradisional Tionghoa berkaitan dengan makna
yang sangat luas. Barongsai dapat dihubungkan dengan aspek-aspek seperti:
agama/filsafat (Taoisme-Feng Shui, Buddha, Khonghucu dan astrologi),
sastra (mitos, fabel, legenda, dan sejarah), seni (opera Cina, akrobat, bela diri,
musik, dan kaligrafi), ilmu pengetahuan (astronomi, musim, dan pertanian),
bahasa, dan bahkan makanan. Barongsai juga sering disalahartikan oleh
masyarakat awam sebagai tarian naga (liong), padahal pembedanya cukup jelas.
Barongsai dimainkan dengan dua orang, sedangkan liong dimainkan oleh
sedikitnya sepuluh orang.
Pertunjukan Barongsai dimainkan oleh dua orang pemain pada saat
perayaan hari-hari besar masyarakat Tionghoa seperti Tahun Baru Imlek dan Cap
Go Meh.3 Ketika ditampilkan, pertunjukan barongsai diyakini dapat membawa
keberuntungan dan menolak semua bala dan hawa kejahatan.
Tarian Singa atau barongsai dalam masyarakat Tionghoa terdiri dari dua
jenis, yaitu barongsai Utara dan barongsai Selatan. Singa Utara memiliki surai
ikal dan berkaki empat. Penampilan Singa Utara kelihatan lebih natural dan mirip
singa ketimbang Singa Selatan yang memiliki sisik serta jumlah kaki yang
3Tahun Baru Imlek merupakan perayaan terpenting orang Tionghoa. Perayaan Tahun Baru Imlek dimulai di hari pertama bulan pertama di penanggalan Tionghoa dan berakhir dengan Cap Go Meh di tanggal kelima belas (pada saat bulan purnama). Malam Tahun Baru Imlek dikenal sebagai Chúxī yang berarti “malam pergantian tahun.” Ini juga berkaitan dengan perayaan para petani untuk menyambut datangnya musim semi. Perayaan Cap Go Meh, sebagai penutup rangkaian perayaan Tahun Baru Imlek dikatakan sebagai malam terakhir “bersukacita” dan dimulainya masa “bekerja kembali.”
3
bervariasi antara dua atau empat serta kepalanya yang dilengkapi dengan tanduk.
Gerakan antara Singa Utara dan Singa Selatan juga berbeda. Bila Singa Selatan
terkenal dengan gerakan kepalanya yang tegas dan melonjak-lonjak seiring
dengan tabuhan gong dan tambur, gerakan Singa Utara cenderung lebih lincah
dan penuh dinamika karena memiliki empat kaki.4
Tio menjelaskan bahwa setiap gerakan yang ditampilkan dalam
pertunjukan barongsai memiliki maknanya sendiri. Gerakan-gerakan barongsai
tidaklah selalu sama dari awal hingga akhir, Tio menjelaskan setiap langkah
barongsai bukanlah gerakan yang dilakukan asal-asalan. Setiap gerakan
barongsai menampilkan gerakan antara lain gembira (ci hua to), penghormatan
(sing li), ragu-ragu (tampuk), dan masih banyak lagi. Nama-nama gerakan ini
juga dipakai sebagai nama repertoar musik yang dimainkan.
Ketika bermain, barongsai diiringi oleh alat musik yang didominasi
dengan pembawa ritme, dan tidak mengandung unsur melodi sedikitpun. Alat-
alat musik yang dipakai untuk mengiringi barongsai adalah: simbal (钹/bó), gong
(锣 /luó), dan tambur/gendang (鼓 /gǔ). Pertunjukan barongsai sendiri tidak dapat
dimainkan bila tanpa iringan musik. Bisa dikatakan, barongsai tidak dapat
dikatakan sebagai satu pertunjukan yang utuh tanpa adanya iringan musik. Ini
sudah menjadi kesatuan yang sahih.
Permainan musik barongsai, dalam kasus ini ritme, memiliki aspek
struktur musikal. Struktur musikal alat musik dalam pertunjukan barongsai
4Wawancara dengan Candra Tio, 6 Februari 2012
4
tidaklah terus menerus sama, melainkan memiliki bagian-bagiannya, alias berdiri
sendiri. Setiap pola ritme yang dimainkan sangatlah berpengaruh dan saling
mengisi dalam gerakan atau langkah pemain barongsai.
Sejalan dengan makna warna yang terdapat pada masyarakat Tionghoa,
maka para pemain barongsai juga mengadopsinya ke dalam kostum yang
dipakai. Setiap warna yang diterapkan pada kostum barongsai memiliki
maknanya masing-masing, tiap warna mewakili elemen-elemen utama yang
dipercayai oleh masyarakat Tionghoa. Warna-warna tersebut adalah kuning
emas, merah, hitam, hijau, kuning-jingga, dan putih.
Menilik fungsinya, seperti yang diuraikan di atas, yaitu membawa
keberuntungan dan menolak bala, maka sekarang ini pertunjukan barongsai
semakin bertambah fungsinya, tidak khusus ditampilkan pada hari-hari besar
saja, tapi juga ditampilkan saat momen-momen yang dianggap penting oleh
masyarakat Tionghoa, seperti memasuki rumah baru dan peresmian klenteng,
disini Barongsai berfungsi untuk menyucikan tempat dari energi negatif.
Karena pertunjukan barongsai ini adalah kesenian masyarakat Tionghoa,
maka penelitian dilakukan di Maha Vihara Maitreya, Komplek Perumahan
Cemara Asri, Medan, pada saat perayaan Cap Go Meh. Maha Vihara Maitreya
memiliki tim barongsai sendiri, yang bernama Group Barongsai Maha Vihara
Maitreya Medan.
Berdasar uraian di atas, penulis memberi judul pada skripsi ini: Kajian
Musikal dan Fungsi Pertunjukan Barongsai pada Perayaan Cap Go Meh
5
Masyarakat Tionghoa di Maha Vihara Maitreya, Komplek Perumahan
Cemara Asri, Medan. Melalui tulisan ini, penulis berharap dapat memberikan
gambaran umum struktur musikal pada pertunjukan barongsai dan juga
mengungkapkan fungsi-fungsi serta perubahan-perubahan yang terjadi dalam
pertunjukan barongsai sekarang ini.
1.2 Pokok Permasalahan
Beberapa hal pokok yang menjadi perhatian utama dalam skripsi ini,
antara lain:
1. Bagaimana format struktur musikal yang terkandung dalam permainan
musik (dalam hal ini ritme) pada pertunjukan barongsai?
2. Apa fungsi dan makna pertunjukan Barongsai dalam kehidupan
masyarakat Tionghoa?
1.3 Tujuan Penelitian
Sesuai dengan batasan pokok permasalahan, tujuan dari penelitian ini
adalah:
1. Untuk mengetahui secara jelas format musikal dalam permainan musik
pertunjukan barongsai.
2. Unguk mengetahui dan memahami secara etnomusikologis tentang fungsi
dan makna pertunjukan barongsai dalam kehidupan masyarakat
Tionghoa.
6
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk memperdalam pengetahuan tentang pertunjukan barongsai.
2. Untuk menambah referensi, wawasan, serta dokumentasi kesenian
masyarakat Tionghoa.
3. Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai materi
dasar bagi penelitian selanjutnya.
4. Untuk menambah bahan kajian di bidang etnomusikologi, khususnya
tentang barongsai yang berada di Indonesia, dan kemungkinan nantinya
untuk dibandingkan dengan barongsai yang ada di berbagai negeri seperti
daratan Cina, Korea, Taiwan, Amerika, Eropa, Asia Tenggara, dan lain-
lainnya.
1.5. Konsep
Barongsai adalah seni pertunjukan masyarakat Tionghoa yang terpusat
pada olah gerak tubuh, dimainkan oleh dua orang dan menggunakan kostum
singa dalam penampilannya. Pertunjukan barongsai diiringi oleh iringan ritme
dari instrumen perkusi. Dalam pertunjukan barongsai tidak dijumpai istrumen
musik yang memainkan melodi, melainkan didominasi oleh permainan ritme.
Pertunjukan barongsai biasa dimainkan dalam perayaan-perayaan hari besar
Tionghoa, namun seiring perkembangannya pertunjukan Barongsai juga
7
ditampilkan di acara-acara penting seperti memasuki rumah baru, dan memasuki
klenteng. Fokus pertunjukan Barongsai yang dimaksud penulis di sini adalah
pertunjukan Barongsai yang dimainkan saat perayaan Cap Go Meh.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1995) mengkaji adalah
mempelajari, memeriksa, dan menyelidiki suatu hal. Dalam konteks tulisan ini,
titik fokus kajian yang dimaksud adalah aspek musikal dari permainan alat musik
pada pertunjukan Barongsai, yakni simbal ( 钹 /bó), gong ( 锣 /luó), dan
tambur/drum ( 鼓 /gǔ). Dikarenakan tidak terdapatnya unsur melodis dalam
permainan alat-alat musik ini, maka yang diperhatikan adalah pola ritme, kualitas
suara, dan keras lembutnya suara.
Fungsi berarti manfaat atau kegunaan dari suatu hal. Fungsi yang
dimaksud dalam tulisan ini adalah pertunjukan barongsai sebagai simbol
kemakmuran dan menolak bala seperti yang sudah diyakini selama ini.
Pertunjukan barongsai yang dimainkan pada malam Cap Go Meh tidak hanya
memiliki fungsi yang hanya dapat dirasakan oleh masyarakat Tionghoa, namun
juga oleh pemainnya, serta juga penonton (penikmat) yang turut melihat perayaan
Cap Go Meh berlangsung di Maha Vihara Maitreya.
Richard Schechner (dalam Sal Murgianto, 1995: 161) mengungkapkan
bahwa pertunjukan adalah sebuah proses yang memerlukan waktu dan ruang.
Sebuah pertunjukan memiliki bagian awal, tengah, dan akhir. Struktur dasar
pertunjukan meliputi: (1) persiapan bagi pemain maupun penonton, (2)
pementasan, (3) aftermath, yakni apa-apa saja yang terjadi setelah pertunjukan
8
selesai. Singer (dalam Sal Murgianto, 1995:165) menjelaskan bahwa setiap
pertunjukan memiliki: (1) waktu pertunjukan yang terbatas. (2) awal dan akhir,
(3) acara kegiatan yang terorganisir, (4) sekelompok pemain, (5) sekelompok
penonton, (6) tempat pertunjukan, (7) kesempatan untuk mempertunjukkannya.
Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa Barongsai memenuhi setiap syarat seperti
yang telah diuraikan sebagai suatu pertunjukan bagi masyarakat Tionghoa.
Koentjaraningrat (2002:146-147) menjelaskan masyarakat adalah
kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat-istiadat
yang bersifat kontinu, dan yang terikat oleh suatu rasa identitas bersama. Para
ahli antropologi mendeskripsikan masyarakat sebagai wadah hidup bersama dari
individu-individu yang terjalin dan terikat dalam hubungan interaksi serta
interelasi sosial. Masyarakat adalah golongan besar atau kecil dari berbagai
manusia, yang dengan atau sendirinya bertalian secara golongan dan mempunyai
pengaaruh kebatinan satu sama lain hidup dengan realitas-realitas baru yang
berkembang menurut hukum-hukumnya sendiri dan berkembang menurut pola
perkembangan yang tersendiri (Hassan Shadily dan Auguste Comte dalam Abdul
Syani, 1995: 46-47).
Masyarakat Tionghoa yang dimaksud penulis di sini adalah masyarakat
Tionghoa yang merayakan perayaan Cap Go Meh, khususnya masyarakat
9
Tionghoa yang menganut aliran kepercayaan Maitreya5 dan merayakannya di
Maha Vihara Maitreya, Kompleks Perumahan Cemara Asri, Medan.
1.6 Kerangka Teori
Etnomusikologi sebagai salah satu ilmu saintifik memerlukan teori
sebagai landasan berpikir dalam membahas suatu permasalahan. Oleh karena itu
penulis menggunakan beberapa teori yang dianggap perlu sebagai bahan acuan
dan referensi dalam penulisan skripsi ini.
Dalam mengkaji musik dalam pertunjukan Barongsai, penulis memakai
teori Weighted Scale oleh William P. Malm. Malm menjelaskan tentang langkah-
langkah penting apa saja yang perlu dilakukan dalam mengamati/menganalisis
musik, lamgkah-langkah tersebut yakni:
1. Langkah awal: mendeskripsikan sifat seni pertunjukan.
2. Langkah kedua: menganilisis waktu, hal-hal yang diamati adalah meter,
pulsa dasar, unit-unit birama.
3. Langkah terakhir: menganalisis melodi, meliputi wilayah nada, tangga
nada, nada dasar, jumlah nada, jumlah interval, pola kadensa, formula
melodi.
5Maitreya adalah Bodhisattva, yang dalam tradisi Buddhis memiliki misi untuk muncul di bumi, mencapai pencerahan lengkap, dan mengajarkan dharma murni. Menurut tulisan suci, Maitreya akan menjadi penerus dari sejarah Buddha Sakyamuni. Nubuat kedatangan Maitreya digambarkan pada saat Dharma akan telah dilupakan di Jambudvipa. Hal ini ditemukan dalam literatur kanonik dari seluruh sekte Buddha (Theravada, Mahayana, Vajrayana), dan diterima oleh sebagian besar umat Buddha sebagai pernyataan tentang suatu peristiwa yang akan terjadi ketika Dharma akan dilupakan di Bumi. Maitreya mengacu pada bentuk kasih sayang dan kebahagiaan (Wawancara dengan Yulisa, 23 Januari 2012).
10
Namun demikian, penulis tidak mengadopsi keseluruhan bagian teori
yang dicetuskan oleh Malm ini, dikarenakan alat musik yang dipakai saat
pertunjukan barongsai adalah alat musik yang didominasi oleh pembawa ritme
dan tidak ada melodi sedikitpun, maka penulis menggunakan langkah
menganalisis waktu (Malm dalam terjemahan Takari 1993: 12), yang di
dalamnya termasuk meter, pulsa dasar, serta unit-unit birama.
Slobin dan Titon (1984) menjelaskan aspek-aspek yang menjadi perhatian
dalam mentranskripsikan dan mengkaji permainan musik, yaitu: (a) elemen nada
(tangga nada, modus, melodi, harmoni, sistem tuning), (b) elemen waktu (pola
ritme, birama), (c) elemen warna suara (kualitas suara, warna bunyi
instrumental), dan (d) elemen intensitas suara (keras lembutnya suara). Aspek-
aspek ini akan penulis jadikan sebagai pedoman dalam mengkaji musik dalam
pertunjukan barongsai, dengan pengecualian elemen yang tidak perlu dianalisis,
yakni elemen nada.
Berkaitan dengan fungsi, penulis mengacu pada teori use and function
(penggunaan dan fungsi) yang dikemukakan oleh Alan P. Merriam (1964).
Menurut penulis fungsi music yang berkaitan dengan pertunjukan barongsai
adalah sebagai berikut: (i) fungsi pengungkapan emosional, (ii) fungsi
penikmatan estetika, (iii) fungsi hiburan, (iv) fungsi komunikasi, (v) fungsi
representasi simbolis, (vi) fungsi respons fisikal, (vii) fungsi validasi lembaga-
lembaga sosial dan ritual keagamaan, (viii) fungsi kontribusi demi kelangsungan
dan stabilitas budaya, dan (ix) fungsi pengintegrasian masyarakat.
11
Spiro dalam Koentjaraningrat (2002) mengutarakan pemakain kata fungsi
dalam konteks budaya, yaitu: (1) pemakaian yang menerangkan fungsi itu
sebagai hubungan guna antara sesuatu hal dengan sesuatu tujuan yang tertentu.
(2) Pemakaian yang menerangkan kaitan kolerasi antara satu hal dengan hal yang
lain. (3) Pemakaian yang menerangkan hubungan yang terjadi antara satu hal
dengan hal-hal lain dalam suatu sistem yang terintegrasi.
1.7 Metode Penelitian
Dalam penelitian yang dilakukan, penulis menggunakan metode
penelitian kualitatif, yang bertujuan untuk menggambarkan, meringkaskan
berbagai kondisi, berbagai situasi, atau berbagai fenomena realitas sosial yang
ada di masyarakat yang menjadi objek penelitian, dan berupaya menarik realitas
itu ke permukaan sebagai suatu ciri, karakter, sifat, model, tanda, atau gambaran
tentang kondisi, situasi, ataupun fenomena tertentu.
Penelitian kualitatif merupakan penelitian eksplorasi dan memainkan
peranan yang amat penting dalam menciptakan hipotesis atau pemahaman orang
tentang berbagai variabel sosial, jadi tidak bertujuan menguji hipotesis atau
membuat suatu generalisasi, tetapi membangun teori (Bungin, 2008: 68-69).
Sejalan dengan itu Miles dan Huberman (2007: 15) mengungkapkan
bahwa kejernihan sangat dituntut dalam prosedur analisis kualitatif, suatu
tanggung jawab yang mensyarakatkan banyak struktur. Data yang muncul
12
berwujud kata-kata dan bukan rangkaian angka, yang dapat dikumpulkan dalam
aneka cara (observasi, wawancara, intisari dokumen, dan rekaman).
Skripsi ini nantinya akan menyertakan transkripsi musik yang dimainkan
oleh pemain musik Barongsai, maka dalam pentranskripsian, penulis mengacu
pada yang diungkapkan oleh Nettl (1964:99-103) yang menganggap transkripsi
merupakan cara yang baik untuk dapat mempelajari aspek-aspek detail pada
suatu musik dengan dua pendekatan, pertama menganalisa dan mendeskripsikan
apa yang didengar, dan kedua mendeskripsikan apa yang dilihat dan
menuliskannya di atas kertas dengan suatu cara penulisan tertentu. Apa yang
dikemukakan oleh Nettl ini akan dijadikan pedoman bagi penulis untuk mengkaji
struktur musikal permainan musik dalam pertunjukan barongsai.
Metode-metode yang dilakukan oleh penulis dalam pengerjaan skripsi ini
adalah: studi kepustakaan, penelitian lapangan, metode transkripsi, metode
penelusuran data online, dan kerja laboratorium. Untuk lebih jelas lagi, kelima
metode ini akan dijelaskan selanjutnya.
1.7.1 Studi Kepustakaan
Studi kepustakaan dilakukan sebagai landasan dalam hal penelitian, yakni
dengan mengumpulkan literatur atau sumber bacaan untuk mendapatkan
pengetahuan dasar tentang objek yang diteliti. Sumber-sumber bacaan ini dapat
berupa buku, ensiklopedia, jurnal, buletin, artikel, maupun laporan penelitian
sebelumnya. Dengan melakukan studi kepustakaan ini penulis akan dapat
13
melakukan cara yang efektif dalam melakukan penelitian lapangan dan
penyusunan skripsi ini. Dan juga, melalui studi kepustakaan ini, penulis juga
akan mendapat masukan tentang apa yang sudah dan belum diteliti.
Penulis kemudian mengadakan penelusuran kepustakaan untuk
memperoleh pengetahuan awal mengenai apa yang akan diteliti. Dalam hal ini,
penulis mempelajari skripsi yang sudah pernah ditulis oleh sarjana
Etnomusikologi, yaitu Gita Viswana Berutu dengan judul Dari Ketertindasan
Menuju Kemerdekaan: Studi Kasus Kesenian Barongsai di Kota Medan (2004).
Dengan mempelajari skripsi ini, penulis merasa terbantu untuk mendapatkan
gambaran umum tentang Barongsai. Namun demikian, skripsi tersebut lebih
berfokus pada kritik pada pemerintahan Soeharto tentang keberadaan kesenian
Tionghoa, khususnya barongsai.
Masih dengan karya para sarjana Etnomuswikologi, penulis dalam rangka
penelitian ini juga membaca skripsi yang ditulis oleh Eben Ezer yang berjudul
Studi Deskriptif Upacara Sacapme dan Pengguaan Musik Pada Sembahyang
Malam Tahun Baru Gong Xi Fat Cai di Vihara Pekong Kelurahan Polonia
dalam Budaya Masyarakat Tionghoa Kota Medan. Skripsi ini membahasa secara
detil tentang upacara pada tahun baru di Vihara Pekong Polonia. Skripsi ini
menjadi bahan acuan penulis untuk memahami bagaimana keberadaan upacara
tahun baru dan nilai-nilai filsafat yang terkandung di dalamnya.
Di samping mempelajari skripsi Gita Viswana Berutu dan Eben Ezer,
penulis juga mendapatkan informasi dari dari beberapa buku seperti William
14
Y.K. Lee (2004) dan Sylvia Lim, Ellen Conny (2010). Informasi yang diperoleh
dari buku-buku tersebut adalah berupa pengetahuan tentang pertunjukan
barongsai, asal-usulnya, makna pertunjukan, serta instrumen musik
pendukungnya.
Untuk melengkapi wawasan pengetahuan penulis dalam menulis skripsi
ini, penulis juga melakukan studi kepustakaan terhadap topik-topik lain yang
berhubungan dengan penelitian ini, seperti pengetahuan tentang sejarah,
antropologi, sosiologi, etnografi, dan musikologi. Selanjutnya hasil yang didapat
dari penelusuran kepustakaan tersebut akan digunakan sebagai pembahasan
informasi dalam penulisan skripsi ini.
1.7.2 Penelitian Lapangan
Penelitian lapangan dilakukan agar penulis dapat mengetahui secara
keseluruhan mengenai objek yang diteliti. Dengan melakukan penelitian
lapangan, penulis dapat terlibat langsung dengan objek yang sedang diteliti dan
mendapat lebih banyak informasi melalui interaksi tersebut. Dalam kerja
lapangan penulis melakukan pengamatan dan mendapatkan data melalui
perekaman terhadap jalannya pertunjukan Barongsai secara keseluruhan.
Selain melakukan perekaman, peneliti juga melaksanakan wawancara
dengan informan kunci, yakni ketua tim Barongsai Maha Vihara Maitreya
Medan. Metode wawancara yang dilakukan penulis adalah wawancara mendalam
(in-depth), yaitu proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan
15
cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dengan informan
atau orang yang diwawancarai. Bentuk wawancara bersifat individu dengan
individu, yaitu wawancara yang dilakukan antara seorang dengan lainnya
(Bungin, 2008: 108, 111), dalam kasus ini antara penulis dengan informan kunci.
Perekaman audio-visual juga dilakukan saat pertunjukan berlangsung.
Perekaman menggunakan handycam SONY DCR-SR65. Selain menggunakan
handycam, penulis juga menggunakan kamera ponsel BlackBerry 9700 untuk
mendokumentasikan detail-detal kecil yang dianggap penting. Saat wawancara
berlangsung, penulis merekam jalannya wawancara dengan menggunakan
perangkat tablet Samsung P6200 Galaxy Tab 7.0 Plus.
1.7.3 Metode Transkripsi
Nettl (1964:98) menyatakan bahwa transkripsi adalah proses penotasian
bunyi, mengalihkan bunyi menjadi simbol visual. Pentranskripsian bunyi adalah
suatu usaha untuk mendeskripsikan musik, hal ini merupakan bagian penting
dalam disiplin Etnomusikologi.
Dalam perekaman musik yang dimainkan ketika pertunjukan Barongsai
berlangsung, penulis merekam setiap bagian, dari awal hingga akhir. Alasan
penulis merekam semua bagian permainan musik adalah karena penulis ingin
mengetahui perbedaan apa-apa saja yang terdengar dalam setiap bagian-bagian.
Ketika mentranskripsikan ritme yang telah direkam, penulis tidak
mentranskripsikan semua bagian permainan musik, melainkan hanya membatasi
16
pada beberapa bagian saja. Penulis juga mendapatkan bantuan dari sang informan
kunci, Chandra Tio, ketika menanyakan bagaimana permainan musik yang
dimainkan saat pertunjukan berlangsung, dan beliau menjabarkan contohnya, dan
juga memberitahu penulis bahwa penulisan notasi Tionghoa tidaklah sama
dengan penulisan notasi Barat.
Namun demikian dalam memindahkan hasil transkripsi, penulis tetap
memakai sistem notasi Barat, karena penulis ingin tahu pasti berapa meter yang
digunakan dan ingin mengetahui aspek musikal seperti tanda jeda, bagian mana
yang mendapatkan penekanan, serta keras-lembutnya suara.
Pendekatan transkripsi yang penulis gunakan dalam skripsi ini
berpedoman pada metode transkripsi yang diutarakan oleh Charles Seeger, yakni
pendekatan transkripsi preskriptif dan deskriptif. Transkripsi preskriptif adalah
kegiatan penulisan yang bertujuan sebagai petunjuk atau suatu alat untuk
membantu mengingat bagi seorang penyaji bagaimana ia harus menyajikan
sebuah komposisi musik, bisa dikatakan transkripsi preskriptif adalah blue print
dari sebuah musik. Sedangkan tranksripsi deskriptif adalah kegiatan mencatat
semua detail-detail fenomena bunyi musikal yang dapat didengar, dengan kata
lain, transkripsi deskriptif adalah sebuah laporan tentang bagaimana sebuah
pertunjukan musik “bersuara.” Untuk mentranskripsi aspek musikal pertunjukan
Barongsai, penulis menggunakan metode transkripsi preskriptif.
1.7.4 Metode Penelusuran Data Online
17
Perkembangan internet yang sudah semakin maju pesat serta telah
menjawab berbagai kebutuhan masyarakat saat ini memungkinkan para
akademisi, mau ataupun tidak, menjadikan media online seperti internet sebagai
salah satu medium atau ranah yang sangat bermanfaat bagi penelusuran berbagai
informasi, mulai dari informasi teoritis maupun data-data primer ataupun
sekunder yang diinginkan oleh peneliti untuk kebutuhan penelitian. Sehubungan
dengan itu, mau ataupun tidak, kita harus menciptakan metode untuk
memanfaatkan data online yang begitu banyak tersebar di internet dan begitu
banyak yang dapat dimanfaatkan (Bungin, 2008:124).
Dalam penulisan skripsi ini, penulis mendapat banyak tambahan
pengetahuan dan informasi seputar barongsai. Penulis merasa sangat terbantu
karena bahan referensi secara tekstual tentang pertunjukan barongsai sendiri
sangatlah terbatas, melalui penelusuran online, penulis mendapatkan banyak
sekali bahan acuan dan gambaran umum seputar pertunjukan barongsai.
1.7.5 Kerja Laboratorium
Dalam kerja laboratorium, dimulailah proses pengkajian terhadap semua
data-data yang telah didapat. Setelah semua data yang diperoleh dari lapangan
dan bahan dari studi kepustakaan terkumpul, langkah selanjutnya dilakukan
pengolahan data dan penyusunan tulisan. Pada hasil rekaman, dilakukan
pentranskripsian dan selanjutnya dikaji. Pada akhirnya, dara-data hasil olahan
dan kajian disusun secara sistematis dengan mengikuti kerangka penulisan.
18
1.8 Lokasi Penelitian
Tempat yang dipilih penulis sebaggai lokasi penelitian adalah Maha
Vihara Maitreya, Kompleks Perumahan Cemara Asri, Medan. Alasan penulis
memilih Vihara ini sebagai lokasi penelitian adalah karena Vihara Maitreya
sendiri sudah sangat terkenal di Sumatera Utara, bukan hanya sebagai tempat
peribadahan umat Buddha, tapi juga sudah menjadi situs wisata di Medan. Jadi
ketika pertama kali tercetus untuk meneiliti Barongsai, maka Vihara inilah yang
langsung tercetus dalam pikiran penulis, dan memang Maha Vihara Maitreya
selalu menampilkan pertunjukan barongsai di saat perayaan hari besar, seperti
perayaan Imlek dan Cap Go Meh. Lokasinya yang masih dalam lingkup kota
Medan juga sangat memudahkan penulis dalam hal menghemat biaya untuk
transportasi dan konsumsi penulis. Akses ke Vihara ini juga tidaklah sulit dijalani
karena tempatnya yang terjangkau dan mudah dicapai.
19
BAB II
LATAR BELAKANG SEJARAH DAN KEBUDAYAAN
MASYARAKAT TIONGHOA DI MEDAN
Pada bab ini akan dibahas tentang latar belakang dan sejarah hadirnya
etnik Tionghoa di kota Medan dalam konteks Indonesia. Juga dibahas tentang
gambaran sosial budaya masyarakat Tionghoa di kota Medan, seperti Bahasa,
Karya Sastra, Sistem Kepercayaan, dan Hari-Hari Besar. Akan dibahas juga
mengenai polemik penggunaan istilah Tionghoa dan Cina di Indonesia.
2.1 Etnik Tionghoa di Kota Medan dalam Konteks Indonesia
2.1.1 Asal-Usul Etnik Tionghoa di Indonesia
Para imigran Tionghoa yang datang ke Indonesia hampir seluruhnya
berasal dari kelompok etnik Han dari daerah yang sekarang merupakan Provinsi
Fujian dan Guangdong di Cina Selatan, daerah ini dikenal dengan keragaman
wilayahnya (Suryadinata, 2008:12). Sejumlah besar etnik Cina-Han, yakni
kelompok etnik terbesar di dunia, tinggal di Asia Tenggara (Skinner, 1963:101).
Hampir semua orang Tionghoa-Indonesia, baik yang merupakan keturunan
patrilineal dari para imigran awal maupun para imigran baru, lahir di Cina
daratan (Gernet, 1996:6).
20
Sebagai kelompok pertama orang Tionghoa yang menetap dalam jumlah
yang besar, bangsa Hokkien dari Fujian Selatan merupakan kelompok imigran
yang mendominasi hingga pertengahan abad ke-19. Kebudayaan maritim sambil
berdagang mereka dipercaya muncul dari kegiatan berdagang mereka sewaktu di
Indonesia. Keturunan Hokkien adalah kelompok etnik yang dominan di Indonesia
Timur, Jawa Tengah dan Jawa Timur, dan pantai barat Sumatera.
Kemudian bangsa Tiochiu, bangsa yang menetap di sebelah selatan
daerah Hokkien, dapat dijumpai di seluruh pantai timur Sumatera, Kepulauan
Riau, dan Kalimantan Barat. Mereka memilih bekerja sebagai buruh perkebunan
di Sumatera, tetapi kemudian menjadi pedagang di daerah dimana tidak
derdapatnya bangsa Hokkien (Skinner, 1963:97).
Selanjutnya Bangsa Hakka. Tidak seperti bangsa Hokkien dan Tiochiu,
bangsa Hakka berasal dari daerah pedalaman Pegunungan Guangdong dan tidak
mengenal budaya maritim (Skinner, 1963:97). Dikarenakan daerahnya yang
sangat tidak produktif dalam menghasilkan sumber daya alam di daerah asal
mereka, bangsa Hakka memutuskan untuk hijrah keluar dari daerah mereka
akibat desakan ekonomi. Gelombang migrasi mereka terjadi di sekitar tahun 1850
hingga 1930 dan merupakan yang paling miskin di antara kelompok imigran
Tionghoa. Meskipun pada awalnya mereka menetap di pusat pertambangan di
Kalimantan Barat dan Pulau Bangka, bangsa Hakka kemudian didapati
bertumbuh dengan pesat di daerah Batavia dan Jawa Barat pada akhir abad ke-19
(Skinner, 1963:102).
21
Terakhir adalah bangsa Kanton. Seperti halnya bangsa Hakka, orang-
orang Kanton terkenal sebagai pekerja tambang di seluruh Asia Tenggara.
Migrasi mereka di abad ke-19 sebagian besar langsung diarahkan menuju daerah
tambang timah di Bangka, lepas pantai timur Sumatera. Mereka juga terkenal
sebagai pengrajin tradisional yang sangat terampil. Bangsa Kanton mendapatkan
keuntunguan yakni pengetahuan tentang kesuksesan mesin dan industri dari
bangsa Eropa ketika mereka di Guangdong dan Hongkong. Mereka bermigrasi ke
Jawa di waktu yang sama dengan bangsa Hakka, namun untuk tujuan yang
berbeda. Di kota-kota di Indonesia mereka berprofesi sebagai pengrajin, pekerja
mesin, dan memiliki usaha kecil seperti restoran dan hotel. Orang-orang Kanton
tersebar merata di seluruh Nusantara namun jumlahnya jauh lebih sedikit
ketimbang jumlah orang-orang Hokkien atau Hakka. Kepentingan peran mereka
kemudian dinilai sebagai kepentingan sekunder di dalam komunitas Tionghoa
(Skinner, 1963:102).
2.1.2 Awal Kedatangan Bangsa Tionghoa ke Indonesia
Kedatangan awal suku bangsa Tionghoa ke Indonesia diperkirakan ketika
kedatangan bangsa Mongolia dibawah arahan Kubilai Khan masuk melalui
daerah maritim Asia Tenggara di tahun 1293. Bangsa Mongol kemudian
memperkenalkan kemajuan teknologi Tionghoa, yang pada saat itu mencakup
teknologi pembuatan kapal dan dalam hal alat tukar, yakni uang berbentuk koin.
Kedatangan mereka diyakini memicu timbulnya kerajaan baru, yakni Majapahit
22
(Reid, 2001:17). Beberapa sumber mengindikasikan bahwa para pedagang
Tionghoa pertama kali tiba di daerah Ternate dan Tidore, di Kepulauan Maluku
untuk membeli cengkeh, namun kemudian mereka diusir keluar oleh para
pedagang Jawa seiring berkembangnya ekspansi yang dilakukan oleh Kerajaan
Majapahit (Reid, 2001: 20-21).
Kemudian di abad ke-15, para pedagang Muslim Tionghoa dari pantai
timur Cina tiba di daerah-daerah pesisir Indonesia dan Malaysia. Para pedagang-
pedagang ini dipimpin oleh Laksamana Cheng Ho, yang mengepalai berbagai
ekspedisi di Asia Tenggara sekitar tahun 1405-1430. Dalam buku The Overall
Survey of the Ocean's Shores (瀛涯勝覽), Ma Huan mendokumentasikan kegiatan-
kegiatan yang dilakukan oleh pedagang Muslim Tionghoa di Nusantara dan
peninggalan yang diwarisi oleh Cheng Ho dan anak buahnya (Ma, 2005: 113-
124). Para pedagang ini bermukim di sepanjang pesisir pantai Jawa, namun
kemudian tidak ada data yang mendokumentasikan keberadaan para pedagang ini
setelah abad ke-16. Para Muslim Tionghoa ini diperkirakan telah melebur ke
dalam polulasi Muslim di Asia Tenggara (Tan, 2005: 796).
Di antara tahun 1450 hingga 1520, ketertarikan Kerajaan Ming terhadap
Asia Tenggara mencapai titik yang rendah. Perdagangan, baik secara legal
maupun ilegal, jarang yang mencapai kepulauan ini (Reid, 1999: 52). Bangsa
Portugis juga tidak menyebutkan adanya kependudukan orang Tionghoa ketika
mereka tiba di Indonesia pada awal abad ke-16 (Reid, 2001:33). Kegiatan
perdagangan dari utara mulai kembali terjadi ketika pemerintah Cina melegalkan
23
perdagangan swasta di tahun 1567 dan mulai mengizinkan lima puluh kapal yang
berlayar per tahun. Beberapa tahun kemudian uang mulai mengalir ke kawasan
itu, dimulai dari Jepang, Meksiko, dan Eropa, dan kegiatan perdagangan mulai
berkembang lagi. Koloni Cina yang berbeda-beda berdatangan ke ratusan
pelabuhan di Asia Tenggara, termasuk juga ke pelabuhan lada di Banten (Reid,
1999: 52).
Para pedagang Tionghoa kemudian memboikot para pedagang Portugis
ketika Malaka jatuh ke tangan bangsa Portugis. Di tahun 1511, para pedagang
Muslim membantu etnik Tionghoa di Jawa dalam rangka menduduki kembali
daerah kota dengan menggunakan kapal. Partisipasi orang Tionghoa-Jawa dalam
mengambil alih Malaka dicatat dalam buku “The Malay Annals of Semarang and
Cirebon” (Guillot, Lombard & Ptak, 1998: 179). Pedagang Tionghoa memilih
untuk terlibat kerja sama dalam bisnis dengan orang Melayu dan Jawa ketimbang
dengan orang Portugis (Borschberg, 2004:12).
2.1.3. Status Etnik Tionghoa di Masa Kolonial Belanda
Seiring dengan kedatangan bangsa Belanda ke Indonesia di awal abad ke-
17, mayoritas etnik Tionghoa bermukim di sepanjang pantai timur Jawa.
Kebanyakan dari mereka adalah para pedagang, namun mereka juga melakukan
kegiatan bercocok tanam. Pemerintah kolonial mengontrak banyak dari mereka
sebagai pengrajin yang terampil dalam pembangunan Batavia (sekarang Jakarta)
di pantai barat laut Jawa (Tan, 2005: 796). Sebuah pelabuhan buatan dipilih oleh
24
pemerintah kolonial sebagai markas baru bagi Pemerintah Hindia Belanda
(Vereenigde Oost-Indische Compagnie, VOC) di tahun 1609 oleh Jan
Pieterszoon Coen. Daerah ini menjadi pusat utama untuk perdagangan dengan
etnik Tionghoa dan India. Daerah Batavia menjadi rumah terbesar bagi
komunitas Tionghoa di Nusantara hingga saat ini (Heidhues, 1999:152). Coen
dan para gubernur jenderal lainnya mempromosikan masuknya para imigran
Tionghoa ke pemukiman yang baru “untuk kepentingan kedua negara tersebut
dan untuk tujuan mengumpulkan rempah-rempah seperti cengkeh dan pala”
(Phoa, 1992:9). Jumlah penduduk di pelabuhan tempat etnik Tionghoa bermukim
berkembang pesat dari 300-400 jiwa di tahun 1619 menjadi setidaknya 10.000
jiwa di tahun 1740 (Phoa, 1992:7). Namun demikian, pemerintah Belanda juga
menerapkan sistem klasifikasi rasial yang memisahkan penduduk keturunan
Tionghoa dari mereka yang merupakan pribumi (Chang, 2010:2).
Kebanyakan dari etnik Tionghoa yang menetap di Nusantara telah
memutuskan hubungan dengan daerah asal mereka, yakni Cina, dan menyambut
dengan baik perlakuan yang menyenangkan serta perlindungan yang ditawarkan
oleh pihak Belanda (Phoa, 1992:8). Beberapa dari mereka menjadi “petani
pajak,” pedagang perantara di dalam struktur pemerintahan VOC, ditugaskan
untuk mengutip pajak ekspor-impor, mengatur penjualan tanah, dan mengatur
kegiatan panen sumber daya alam (Phoa, 1992:10).
Setelah meletusnya peristiwa pembantaian besar-besaran di Batavia pada
tahun 1740 dan kemudian diikuti dengan meletusnya perang, pemerintah Belanda
25
terpaksa membatasi kuota jumlah populasi etnik Tionghoa yang ingin masuk ke
Indonesia. Amoy (pelabuhan di Provinsi Fujian, Cina Selatan) dijadikan satu-
satunya pelabuhan untuk bermigrasi ke Nusantara, dan jumlah kru serta
penumpang dari kapal-kapal yang hendak berlayara dibatasi sesuai dengan
ukuran kapal. Penetapan kuota ini ditetapkan pada waktu itu untuk pemenuhan
keperluan akan pekerja, seperti pada saat di bulan Juli 1802, ketika pabrik gula
dekat Batavia sangat membutuhkan kehadiran tenaga kerja (Hellwig dan
Tagliacozzo, 2009: 168).
Ketika VOC dinasionalisasikan pada 31 Desember 1799, kebebasan yang
sebelumnya dirasakan etnik Tionghoa dibawah kerjasama dengan pihak koloni
dihapuskan oleh pemerintah Belanda. Salah satu bentuk penghapusan yang
didapatkan adalah pemerintah VOC mengubah monopoli yang selama ini
diterapkan oleh etnik Tionghoa terhadap perdaganan garam (Phoa, 1992:11).
Sebuah regulasi di tahun 1816 memperkenalkan sebuah syarat bagi penduduk
pribumi dan etnik Tionghoa yang hendak melakukan perjalanan di dalam wilayah
pemerintahan Belanda harus mengurus izin perjalanan terlebih dahulu. Bagi
mereka yang kedapatan tidak membawa surat izin beresiko besar untuk ditangkap
dan ditahan oleh petugas. Gubernur jenderal juga memperkenalkan sebuah
resolusi di tahun 1852 yang berisikan larangan bagi “orang Asia dari daerah yang
tidak sama, seperti Melayu, Bugis, dan Tionghoa” untuk hidup dalam lingkungan
yang sama sebagai penduduk asli (Phoa, 1992:12) Setelah berakhirnya Perang
Jawa (1825-1830) yang menghabiskan dana sangat banyak, pemerintah Belanda
26
memperkenalkan sistem agraria dan budidaya baru yang memaksa para petani
untuk “menghasilkan produksi sebagian dari lahan mereka dan mengembangkan
tanaman yang cocok untuk pasar Eropa.” Sistem tanam paksa memulihkan
perekonomian Belanda, tetapi di lain sisi mengakhiri sistem pajak tanah yang
telah dilakukan dibawah pemerintahan VOC.
Etnik Tionghoa dianggap sebagai penduduk sementara dan menghadapi
kesulitan dalam memperoleh hak atas tanah. Bangsa Eropa yang ada disitu
diprioritaskan dalam memilih areal perkebunan, sementara para pejabat kolonial
percaya bahwa daerah-daerah yang tersisa harus dilindungi dan dilestarikan bagi
penduduk pribumi. Sistem sewa jangka pendek dan yang dapat diperpanjang
kemudian diperkenalkan sebagai tindakan sementara, namun sebagian besar etnik
Tionghoa memilih untuk menetap di lahan-lahan tersebut ketika berakhirnya
kontrak dan akhirnya menjadi penghuni liar (Phoa, 1992:13) Pada paruh kedua
abad ke-19, pemerintah kolonial kemudian bereksperimen dengan sebuah ide,
yakni “Politik Etis” untuk melindungi para penduduk pribumi dan kemudian
menjadikan etnik Tionghoa sebagai “musuh utama negara”. Dibawah kebijakan
baru ini pemerintah kolonial meningkatkan pembatasan pada kegiatan
perekonomian etnik Tionghoa (Heidhues, 2001:179).
Di Kalimantan bagian barat, etnik Tionghoa mendirikan pemukiman
pertambangan besar pertama mereka pada tahun 1760 dan menggulingkan
kependudukan Belanda dan para pangeran Melayu lokal, termasuk membentuk
republik mereka sendiri di Republik Lanfang. Pada tahun 1819 mereka terlibat
27
konflik dengan pemerintah Belanda yang baru dan dipandang sebagai sesuatu
yang “tidak sesuai” dengan tujuan mereka, namun di lain sisi sangat diperlukan
untuk kepentingan pengembangan kawasan ini (Phoa, 1992:14). Kepulauan
Bangka Belitung juga menjadi contoh dari pemukiman utama etnik Tionghoa di
daerah pinggiran. Tercatat hanya 28 orang etnik Tionghoa yang tinggal di pulau
itu di tahun 1851, namun di tahun 1915 jumlah populasinya meningkat pesat
menjadi hampir 400.000 jiwa. Industri perikanan dan tembakau menjadi mata
pencaharian utama dan berkembang pada masa itu. Para kuli didatangkan ke
wilayah ini sesudah akhir abad ke 19. Sebagian besar kuli disewa dari daerah
Negeri-Negeri Selat6 karena kendala perekrutan yang terjadi di Cina pada saat itu
(Phoa, 1992:16).
2.1.4 Tinjauan Historis Masyarakat Tionghoa di Medan
Dalam bukunya The Overall Survey of the Ocean's Shores (瀛涯勝覽), Ma
Huan mengungkapkan bahwa daerah Haru (Sumatera Timur) dapat dicapai dari
Malaka dalam waktu pelayaran empat hari empat malam. Ma Huan
menggambarkan keadaan demografi pada saat memasuki negeri itu yakni
terdapat teluk air tawar, di sebelah barat ada pegunungan besar, di sebelah timur
laut ada laut, sebelah utara berbatasan dengan Samudera Pasai, dan di sebelah
6Negeri-negeri Selat (Straits Settlements) adalah sekelompok wilayah kekuasaan Perusahaan Hindia Timur Britania yang diberikan pemerintahan terkelompok sejak tahun 1926. Negeri-Negeri Selat ini terdiri dari negeri Penang, Melaka, dan Singapura. Ketiga negeri ini dahulu di bawah jajahan Britania (Inggris). Kini semua negara-negera merdeka bekas jajahan Inggris membentuk sebuah persekutuan yang disebut dengan Commonwealth Countries atau Negara-Negara Persemakmuran Inggris. Di dalamnya termasuklah Malaysia, Singapura, Australia, Bangladesh, India, Pakistan, Selandia Baru, Kanada, dan lain-lainnya.
28
selatan negerinya merupakan daratan. Di dalam peta yang digambar oleh Mao
K’un, Ma Huan menceritakan bahwa kota Haru terletak di Deli (Fatima, 1991).
Sejalan dengan Ma Huan, Anderson pada tahun 1823 pernah memasuki
daerah Deli melalui Fresh Water Channel (Terusan Air Tawar), kota Cina―saat
itu labuhan Deli―merupakan pelabuhan bagi Haru hingga abad ke ke-13 dimana
pada akhirnya pelabuhan itu hancur. Banyak dugaan yang menjelaskan
kehancuran pelabuhan itu, yakni akibat penyerangan Kerajaan Majapahit pada
tahun 1350 M, atau diakibatkan oleh meletusnya Gunung Sibayak yang
menyebabkan gempa dahsyat dan menimbun semua ritus-ritus Tionghoa tersebut
(Fatima, 1991).
Hingga kemudian ketika memasuki masa kolonial Belanda, daerah Deli
didatangi oleh orang-orang Tionghoa dikarenakan terdapatnya banyak
perkebunan di sana. Meskipun pada saat itu bangsa Tionghoa sebagian besar
berprofesi sebagai buruh perkebunan, namun menurut catatan sejarah terdapat
orang Tionghoa yang pertama kali diangkat menjadi Mayor oleh pemerintah
Belanda, dia adalah Tjong Yong Hian, dan berselang beberapa lama kemudian,
Tjong A Fie diangkat sebagai Mayor menggantikan posisi Tjong Yong Hian
(Fatima, 1991:67).
Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, setiap keturunan Tionghoa
kemudian diintegrasikan serta dibaurkan ke dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara Indonesia berdasarkan asas-asas Pancasila. Sejak saat itu juga, bangsa
Tionghoa menyebar ke seluruh daerah di Indonesia, termasuk ke daerah
29
Sumatera. Pemerintahan Pantai Timur Sumatera dibagi ke dalam lima wilayah,
yaitu Deli dan Serdang, Langkat, Asahan, Bengkalis, Simalungun dan Karo. Pada
tahun 1980-an daerah ini dikenal sebagai daerah yang miskin dengan jumlah
penduduk yang sangat sedikit. Hingga akhirnya pengusaha Belanda, J. Nienhuis
menemukan wilayah Deli dan merintis usaha perkebunan tembakau, sejak saat
itulah wilayah Deli semakin dikenal. Akibatnya, banyak pendatang-pendatang
Tionghoa yang tertarik untuk bekerja di perkebunan yang ada di Sumatera,
khususnya Deli.
Adanya perluasan dalam bidang perkebunan tembakau, karet, dan teh,
serta dimulainya kegiatan pengeboran minyak di Langkat pada tahun 1920-an
menyebabkan ribuan etnik Tionghoa berbondong-bondong dan kemudian
bermukim di Pantai Timur Sumatera untuk memulai usaha seperti berdagang dan
bertukang. Kebanyakan dari mereka datang dengan kondisi yang melarat, namun
sesuai dengan etos kerja mereka yang sangat giat dan gigih, perlahan tapi pasti
berubah menjadi pedagang yang sangat makmur. Bahkan sampai saat ini mereka
mengukuhkan diri sebagai pedagang yang sukses. Mereka memperluas jenis
usaha mereka demi meningkatkan taraf hidup mereka, sehingga dapat terus
bertahan hingga kini.
Hingga saat ini jumlah etnik Tionghoa di kota Medan kian bertambah,
bahkan di kota Medan sendiri terdapat daerah-daerah tertentu yang jumlah
masyarakat Tionghoa-nya banyak dijumpai. Berikut ini gambaran penduduk
30
Tionghoa menurut wilayah administrasi di kota Medan dilihat secara per kepala7
adalah sebagai berikut.
Tabel 2.1:
Statistik Penduduk Masyarakat Tionghoa di Medan Tahun 2000
Kecamatan Pria WanitaMedan Tuntungan 77 58Medan Johor 4.958 4.757Medan Amplas 368 355Medan Denai 3.011 2.957Medan Area 14.877 15.369Medan Kota 12.245 12.988Medan Maimun 4.402 4.484Medan Polonia 3.269 3.343Medan Baru 572 588Medan Selayang 519 465Medan Sunggal 6.110 5.920Medan Helvetia 1.388 1.286Medan Petisah 8.502 8.814Medan Barat 9.198 9.717Medan Timur 9.885 10.309Medan Perjuangan 6.146 6.379Medan Tembung 5.600 5.386Medan Deli 3.470 3.193Medan Labuhan 2.603 2.520Medan Marelan 1.713 1.545Medan Kota Belawan 1.792 1.701
Jumlah 100.705 102.134
7Hasil pengolahan data SP 2000 BPS Kota Medan
31
2.2 Bahasa
Empat kelompok bahasa utama yang ada di Indonesia adalaha Hokkien,
Mandarin, Hakka, dan Kanton, sedangkan orang Tiochiu berbicara dengan dialek
yang hampir sama dengan bahasa Hokkien. Tercatat sekitar 2 juta penutur asli
bahasa dari ragam dialek Tionghoa yang berbeda terdapat di Indonesia pada
tahun 1982, yakni 700.000 penutur rumpun bahasa Min Nan (termasuk
didalamnya bahasa Hokkien dan Tiochiu); 640.000 penutur bahasa Hakka;
460.000 penutur bahasa Mandarin; 180.000 penutur bahasa Kanton, dan 20.000
penutur rumpun bahasa Dong Min (termasuk Xinghua). Sisanya, diperkirakan
20.000 berbicara dalam bahasa Indonesia (Lewis, 2005: 391).
Banyak orang Indonesia, termasuk orang Tionghoa percaya adanya
pengaruh dialek bahasa Melayu dalam bahasa Tionghoa di Indonesia, secara
lokal dikenal sebagai bahasa Melayu-Tionghoa atau Melayu-Cina. Pertumbuhan
karya sastra “peranakan” di paruh kedua abad ke-19 memunculkan semacam
varian dalam bahasa Tionghoa. Karya sastra ini dipopulerkan melalui kisah-kisah
silat (seni bela diri) yang diterjemahkan dari bahasa Tionghoa atau ditulis dalam
bahasa Melayu dan Indonesia.
Para ahli bahasa yang membahas tentang bahasa Melayu-Tionghoa
kemudian mencatat bahwa tidak semua etnik Tionghoa menggunakan dialek
Melayu yang sama di setiap daerah di Nusantara (Kahin, 1991:55). Lebih jauh
lagi dijelaskan bahwa meski pemerintah kolonial Belanda merupakan pihak yang
pertama kali memperkenalkan ortografi berbahasa Melayu di tahun 1901, namun
32
surat-surat kabar Tionghoa tidak mengikuti standar ini hingga masa setelah
kemerdekaan (Kahin, 1991:61). Dilihat dari faktor-faktor ini, etnik Tionghoa
dianggap memainkan sebuah “peranan penting” dalam perkembangan bahasa
Indonesia modern (Kahin, 1991:65).
2.3 Karya Sastra
Pengaruh budaya Tionghoa dapat dilihat dalam karya sastra Melayu-
Tionghoa lokal, yang menggambarkan keadaan akhir abad ke-19. Salah satu
karya paling awal dan paling komprehensif dalam hal literatur Melayu-Tionghoa
adalah buku karangan Claudine Salmon yang diterbitkan di tahun 1981 yang
berjudul Literature in Malay by Chinese of Indonesia: A Provisional Annotated
Bibliography (Karya Sastra di Melayu oleh Tiionghoa-Indonesia: Sebuah
Bibliografi Beranotasi Sementara) yang berisikan 3.000 karya sastra. Salah satu
karya dalam buku ini ada juga yang dipublikasikan ke dalam koleksi enam jilid,
berjudul “Kesusastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia (Tan,
2005:806).
2.4 Sistem Kepercayaan
Hanya sedikit saja ditemukan karya ilmiah yang membahas tentang
kehidupan beragama etnik Tionghoa-Indonesia. Buku keluaran Prancis di tahun
1977 berjudul Les Chinois de Jakarta: Temples et V́ie Collective (“The Chinese
of Jakarta: Temples and Collective Life”) adalah satu-satunya studi yang
33
membahas kehidupan beragama orang Tionghoa di Indonesia (Coppel, 2002:
256). Kementerian Agama menetapkan agama yang resmi diakui di Indonesia,
yaitu Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Buddha, dan Khonghucu. Atas dasar
Undang-Undang Administrasi Kependudukan Tahun 2006 mengakibatkan tidak
mungkinnya masyarakat Indonesia memilih agama di luar dari enam kepercayaan
yang telah diresmikan negara untuk dicantumkan di kartu tanda pengenalnya.
Menurut data sensus tahun 2000, hampir 90 persen orang-orang Tionghoa
Indonesia memeluk agama Buddha dan Kristen Katolik dan Protestan (Ananta,
Arifin, dan Bakhtiar, 2008:30). Perpindahan agama dari “agama tradisional
Tionghoa” menjadi agama Kristen banyak terjadi pada generasi muda. Tidak
jarang didapati di dalam sebuah keluarga yang anak-anaknya sudah memeluk
Kristen, namun orangtua mereka masih memeluk agama tradisional (Kahin,
1991:122).
Gelombang pertama perpindahan dari agama tradisional menjadi agama
Kristen terjadi di rentang tahun 1950 hingga 1960an, sebagai respon adanya
intoleransi terhadap budaya Tionghoa, dan jumlah orang Tionghoa yang
memeluk agama Katolik selama periode ini meningkat hingga lebih dari 400
persen. Gelombang kedua terjadi setelah pemerintah mencabut status agama
Khonghucu sebagai agama yang diakui oleh negara di tahun 1970an.
Diperkirakan pada tahun 2006 bahwa 70 persen dari populasi Tionghoa memeluk
agama Kristen. Pengamat demografi Aris Ananta melaporkan pada tahun 2008
“bukti bersifat anekdot” menunjukkan bahwa sebagian besar etnik Tionghoa
34
yang beragama Buddha menjadi agama Kristen sejalan dengan meningkatnya
taraf pendidikan mereka.
Indonesia, yang hampir 90 persen penduduknya adalah beragama Muslim,
etnik Tionghoa yang memeluk agama Islam sangatlah sedikit. Sensus di tahun
2003 menyebutkan bahwa hanya 5,41 persen etnik Tionghoa yang memeluk
agama Islam (Ananta, Arifin, dan Bakhtiar, 2008: 30). Asosiasi seperti Persatuan
Islam Tionghoa Indonesia (PITI) telah berdiri sejak akhir abad ke-19. PITI
kemudian dibentuk kembali di tahun 1963 sebagai organisasi modern, namun
acapkali mengalami periode tidak aktif (Ma, 2005: 120).
Khonghucu menduduki posisi terakhir dengan menyumbang 3,91 persen
dari total populasi Tionghoa Indonesia (Ananta, Arifin, dan Bakhtiar, 2008: 30).
Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (MATAKIN) memperkirakan
bahwa 95 persen penganut Khonghucu di Indonesia adalah etnik Tionghoa.
Meskipun pada akhirnya pemerintah telah kembali menetapkan Khonghucu
sebagai agama yang diakui resmi di Indonesia, masih banyak pemerintah daerah
yang tidak mematuhi keputusan itu dan menolak masyarakat etnik Tionghoa
untuk menetapkan agama Khonghucu di kartu tanda pengenal mereka
(Suryadinata, 2008:10).
2.4.1 Buddha Maitreya
35
Dalam agama Buddha, Maitreya (bahasa Sanskerta), Matteyya (bahasa
Pali), Jampa (bahasa Tibet), 彌勒菩薩 – Mile Pusa (bahasa Mandarin) sebelumnya
sudah dinubuatkan sebagai Buddha masa depan dunia ini dalam eskatologi
Buddhis. Dalam beberapa literatur Buddhis, seperti Sutra Amitabha dan
Saddharma Pundarika Sutra, Ia disebut sebagai Ajita Bodhisattva (calon
Buddha).8
Dalam agama Buddha, Maitreya adalah Bhodisattva, yang dalam tradisi
agama Buddha adalah sosok yang akan muncul di bumi, mencapai pencerahan
lengkap, dan mengajarkan darma murni. Menurut tulisan di kitab suci, Maitreya
akan menjadi penerus ajaran Buddha Sakyamuni. Nubuat kedatangan Maitreya
diperkirakan terjadi saat Dharma akan atau telah dilupakan di Jambudvipa. Hal
ini dicatat dalam literatur kanonik dari sebuah sekte Buddha (Theravada,
Mahayana, dan Vajrayana), dan diterima oleh sebagian besar umat Buddha
sebagai pernyataan tentang suatu peristiwa yang akan terjadi ketika Dharma akan
dilupakan di bumi.
Maitreya bertempat tinggal di Surga Tusita, yang merupakan tempat
tinggal bagi para Bhodisattva sebelum mencapai tingkat ke-Buddha-an. Buddha
Sakyamuni juga bertempat tinggal disana sebelum terlahir sebagai Siddharta
Gautama di dunia.
8Dalam agama Buddha diajarkan bahwa Buddha merupakan sebuah gelar, sehingga Buddha bukanlah menunjuk kepada Buddha Sakyamuni (Buddha Gautama) saja. Buddha yang akan datang setelah Buddha Sakyamuni adalah Buddha Maitreya yang sekarang ini masih bergelar sebagai Bodhisattva (calon Buddha).
36
Buddha Maitreya biasanya digambarkan duduk di atas takhta, dengan
kedua kaki saling menyilang di mata kaki, menunggu waktunya tiba. Dia
digambarkan mengenakan pakaian seorang Biksu atau bangsawan India. Sebagai
Bhodisattva, dia juga digambarkan berdiri terbalut dalam perhiasan. Biasanya dia
menggunakan sebuah stupa kecil sebagai hiasan di kepalanya yang merupakan
relik stupa Buddha Sakyamuni untuk membantunya mengidentifikasi ketika
masanya tiba untuk mengklaim suksesi. Sakyamuni juga sering digambarkan
terlihat memegang Dharmacakra (Roda Dharma atau Roda Kehidupan). Sebuah
Khata (selendang upacara tradisional bangsa Tibet dan Mongolia yang
melambangkan kesucian dan kemurnian) dililitkan sebagai ikat pinggang.
2.5 Hari-Hari Besar Etnik Tionghoa
Berikut ini adalah hari-hari besar yang dirayakan oleh etnik Tionghoa
berdasarkan penanggalan kalender Tionghoa9:
9Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Imlek dan http://en.wikipedia.org/wiki/ Chinese_ calendar
37
Tabel 2.2:
Hari-hari Besar Etnik Tionghoa
Tanggal Nama Bahasa Indonesia Nama Mandarin KeteranganBulan 1, hari 1 Tahun Baru Imlek (Festival
Musim Semi)春節 (chūnjié) Pertemuan keluarga dan
perayaan besar selama tiga hari; secara tradisional selama 15 hari
Bulan 1, hari 15 Festival Lampion (Cap Go Meh)
元宵節 (yuánxiāojié) Pemasangan lampion dan memakan Yuanxiao
4 atau 5 April Festival Membersihkan Makam (Ching Min atau Cheng Beng)
清明節 (qīngmíngjié) Pertemuan keluarga dan ziarah ke makam keluarga/leluhur
Bulan 5, hari 5 Festival Perahu Naga (Peh Cun)
端午節 (duānwǔjié) Lomba perahu naga dan memakan zhongzi
Bulan 7, hari 7 Festival Meminta Keterampilan (Malam ketujuh)
七夕 (qīxī) Hari kasih sayang, para gadis mempelajari keterampilan rumah tangga dan ‘meminta’ perkawinan yang lebih baik
Bulan 7, hari 15 Festival Para Roh 中元節 (zhōngyuánjié) Memberikan penghormatan kepada leluhur
Bulan 8, hari 15 Festival Pertengahan Musim Gugur (Festival Bulan)
中秋節 (zhōngqiūjié) Pertemuan keluarga dan memakan kue bulan
Bulan 9, hari 9 Festival Sembilan Ganda (Festival Yang Ganda)
重陽節 (chóngyángjié) Mendaki gunung dan pertunjukan bunga
Bulan 10, hari 15 Festival Kedamaian (Xia Yuan)
下元節 (xiàyuánjié) Doa meminta tahun yang damai kepada dewa air
21 atau 22 Desember Festival Titik Balik Matahari Musim Dingin
冬至 (dōngzhì) Pertemuan keluarga dan memakan Tong yuen
Bulan 12, hari 23 Festival Dewa Dapur (Festival Masakan Arwah)
謝灶 (xièzào) Mengucapkan puji dan syukur kepada dewa dapur. Bekerja untuk memasak agar para arwah terhormat)
2.6 Tahun Baru Imlek
Tahun Baru Cina (Imlek) adalah perayaan yang paling panjang dan
penting dalam tradisi perayaan etnik Tionghoa. Di Cina tradisi ini disebut dengan
“Festival Musim Semi”, terjemahan langsung dari bahasa Tionghoa 春 節 (Chūnjié). Perayaan ini menandakan berakhirnya musim dingin. Tahun Baru
38
Imlek dimulai pada hari pertama, bulan pertama ( 正 月 – Zhēngyuè) menurut
sistem penanggalan kalender tradisional Tionghoa dan berakhir pada malam Cap
Go Meh (除夕 – Chúxī) pada hari ke-15. Tahun Baru Imlek, dikenal juga sebagai
“Malam Pergantian Tahun”, adalah hari dimana keluarga etnik Tionghoa
berkumpul untuk malan malam bersama. Karena penanggalan kalender Tionghoa
berpedoman pada lunisolar (pergerakan bulan), maka Tahun Baru Imlek sering
disebut sebagai “Tahun Baru Bulan Purnama.”
Sejarah dirayakannya Tahun Baru Imlek telah berkembang sejak berabad-
abad yang lalu berdasarkan pada mitos dan tradisi yang turut berkembang dalam
masyarakat Tionghoa. Tahun Baru Imlek dirayakan di negara-negara dan
wilayah-wilayah dengan jumlah populasi etnik Tionghoa yang signifikan seperti
Daratan Cina, Hong Kong, Makau, Taiwan, Singapura, Thailand, Indonesia,
Malaysia, Mauritius, Filipina, dan Vietnam atau negara-negara lain atau daerah
dengan populasi suku Han, Tahun Baru Imlek juga dirayakan, dan pada berbagai
derajat, telah menjadi bagian dari budaya tradisional dari negara-negara tersebut.
Tahun Baru Imlek dianggap dan memiliki pengaruh pada perayaan tahun baru di
tetangga geografis Cina, serta budaya yang dengannya orang Tionghoa
berinteraksi meluas. Ini termasuk Korea, Mongolia, Nepal, Bhutan, Vietnam, dan
Jepang (sebelum 1873).10
Kebiasaan dan tradisi perayaan Tahun Baru Imlek bervariasi di tiap
daerah, namun pada umumnya sama. Orang-orang Tionghoa akan
10 http://id.wikipedia.org/wiki/Tahun_Baru_Imlek
39
membelanjakan uang mereka untuk membeli berbagai macam hadiah, dekorasi,
perlengkapan, makanan, serta pakaian. Kebiasaan tradisional mereka pada saat
Tahun Baru Imlek yakni membersihkan rumah, tujuannya adalah untuk menyapu
bersih semua kesialan dan hawa jahat dan membuat jalan untuk masuknya
kebaikan. Jendela dan pintu akan dihiasi dengan kertas potong berwarna merah
dan untaian hiasan dengan tema-tema yang populer seperti “keberuntungan” atau
“kebahagiaan”, “kekayaan”, dan “umur yang panjang”. Di malam Tahun Baru
Imlek, dilaksanakan pesta makan malam dengan keluarga. Menu makanan yang
disajikan berupa babi, bebek, ayam, dan hidangan manis. Tiap keluarga akan
mengakhiri malam dengan pesta kembang api. Keesokan paginya, anak-anak
akan bersilaturahmi ke rumah orang tua mereka dengan harapan mendapat
kesehatan dan kebahagiaan yang lebih lagi di tahun yang baru, para orang tua
akan memberi uang yang dimasukkan ke dalam amplop berwarna merah
(angpao) kepada anak atau cucu mereka yang belum bekerja dan berkeluarga.
Tradisi Tahun Baru Imlek bertujuan untuk saling berdamaian, melupakan semua
dendam di masa lampau, dan dengan tulus mengharapkan kedamaian dan
kebahagiaan bagi semua orang.
Di Indonesia, selama tahun 1968-1999, perayaan Tahun Baru Imlek
dilarang dirayakan di depan umum. Dengan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun
1967, rezim Orde Baru di bawah pemerintahan Presiden Soeharto, melarang
segala hal yang berbau Tionghoa, di antaranya Imlek. Masyarakat keturunan
Tionghoa di Indonesia kembali mendapatkan kebebasan merayakan Tahun Baru
40
Imlek pada tahun 2000 ketika Presiden Abdurrahman Wahid mencabut Inpres
Nomor 14/1967. Kemudian Presiden Abdurrahman Wahid menindaklanjutinya
dengan mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 19/2001 tertanggal 9 April
2001 yang meresmikan Imlek sebagai hari libur fakultatif (hanya berlaku bagi
mereka yang merayakannya). Baru pada tahun 2002, Imlek resmi dinyatakan
sebagai salah satu hari libur nasional oleh Presiden Megawati Soekarnoputri
mulai tahun 2003.
2.6.1 Mitos Awal Mula Perayaan Tahun Baru Imlek
Menurut dongeng dan legenda yang berkembang di masyarakat Tionghoa,
awal dari perayaan Tahun Baru Imlek dimulai ketika perang melawan hewan
mitos yang disebut Nian ( 年 – Nián). Nian akan datang pada hari pertama di
tahun baru untuk memangsa ternak, tanaman, bahkan penduduk desa, terutama
anak-anak. Untuk melindungi diri, rakyat desa menaruh makanan di depan pintu
mereka pada setiap awal pergantian tahun. Mereka percaya apabila Nian
memakan makanan yang telah disediakan, maka hewan tersebut tidak akan
memangsa mereka lagi. Suatu ketika, para penduduk desa menyaksikan bahwa
Nian ketakutan pada seorang anak yang memakai baju berwarna merah,
penduduk desa akhirnya mengetahui bahwa Nian sangat takut kepada benda yang
berwarna merah. Sejak saat itu, setiap kali malam tahun baru tiba, penduduk desa
akan menggantungkan lampion serta gulungan doa berwarna merah di tiap
jendela dan pintu mereka. Warga desa juga menggunakan kembang api dan
41
petasan untuk menakut-nakuti Nian. Sejak saat itu Nian tidak pernah datang dan
mengganggu warga desa lagi. Dikisahkan pada akhirnya Nian ditangkap oleh
seorang biksu Tao kuno bernama Hongjun Laozu, dan Nian diubah menjadi
gunung dan dikenal sebagai Gunung Hongjun Laozu.11
2.6.2 Rangkaian Perayaan
(a) Sebelum hari H. Pada hari kedelapan bulan lunar sebelum Tahun Baru
Imlek, bubur tradisional yang dikenal sebagai làbāzhōu (臘八粥) disajikan untuk
mengingat tradisi perayaan kuno, yang disebut Là, yang berlangsung tak lama
setelah titik balik matahari musim dingin. Bubur ini disiapkan oleh para wanita
dalam setiap rumah tangga di hari pertama munculnya cahaya bulan,
menggunakan mangkuk pertama yang dipersembahkan kepada nenek moyang
keluarga dan para dewa rumah tangga. Setiap anggota keluarga mendapatkan
masing-masing satu mangkuk làbāzhōu, dan sisanya akan dibagikan kepada
teman serta kerabat. Hingga saat ini làbāzhōu masih sering dijadikan sebagai
santapan spesial di tiap rumah tangga warga Tionghoa.
Pada hari-hari tepat sebelum perayaan Imlek, setiap keluarga Tionghoa
melakukan kegiatan pembersihan rumah secara menyeluruh. Ada istilah dalam
bahasa Kanton berbunyi “menyapu bersih kotoran pada saat nin’ya’baat (年廿八 – hari/tanggal 28, bulan 12), namun pada praktiknya tidak terbatas pada saat
nin’ya’baat. Dipercayai kegiatan pembersihan ini dilakukan untuk menyapu
11http://www.theholidayspot.com/chinese_new_year/origin.htm
42
bersih segala nasib buruk dari tahun sebelumnya dan menyiapkan rumah mereka
untuk tibanya keberuntungan. Sapu dan pengki disingkirkan pada hari pertama
sehingga datangnya keberuntungan diyakini tidak akan hilang. Beberapa orang
menghiasi rumah mereka, pintu dan jendela dilapisi dengan tirai berwarna merah.
Di dalam rumah juga sering dihiasi dengan guntingan kertas hias berupa kalimat
keberuntungan dalam bahasa Tionghoa. Membeli pakaian dan sepatu baru, serta
mengganti model potongan rambut juga melambangkan sebuah awal yang baru.
Hutang dalam binis harus dilunasi sebelum tibanya malam tahun baru, dan
diganti menjadi hutang budi. Oleh karena itu, adalah suatu kebiasaan untuk
mengirimkan hadiah dan beras kepada rekan-rekan bisnis dan anggota keluarga
besar.
Pada rumah tangga yang menganut aliran agama Buddha dan Tao, lazim
untuk membersihkan altar rumah dan patung secara keseluruhan. Altar yang
dihiasi oleh hiasan dari tahun lalu diturunkan kemudian dibakar seminggu
sebelum tahun baru tiba, dan diganti dengan dekorasi yang baru. Penganut agama
Tao (dan sebagian kecil penganut Buddha) juga akan melakukan ritual
“mengirimi para dewa” ( 送 神 – sòngshén), sebagai contoh, mereka akan
membakar patung kertas sosok Zao Jun sang Dewa Dapur, yang mengawasi
tingkah laku tiap keluarga. Hal ini dilakukan dengan tujuan agar sang Dewa
Dapur dapat melaporkan tiap pelanggaran dan perbuatan baik tiap keluarga
kepada Kaisar Langit. Tiap keluarga kadang-kadang mempersembahkan
43
makanan-makanan manis (seperti permen) dengan maksud untuk “menyuap”
para dewa supaya melaporkan hal-hal yang baik saja.
Sebelum makan malam bersama, tiap keluarga akan menaikkan doa syukur
untuk merenungkan perjalanan hidup yang telah dilalui. Para penganut
Khonghucu menggunakan kesempatan ini untuk mengingat para leluhur dan
menghormati orang-orang yang hidup sebelum mereka,
Acara terbesar dalam Malam Tahun Baru Imlek adalah makan malam
bersama. Menu wajib yang dihidangkan di atas meja makan keluarga adalah ikan.
Menu ikan ini memang selalu disajikan ketika Malam Tahun Baru Imlek.
Makanan wajib ini ibarat Makan Malam Natal dalam tradisi Barat. Di Cina Utara,
biasanya mereka akan membuat pangsit ( 餃 子 – jiǎozi) setelah makan malam
untuk disantap ketika tengah malam. Pangsit ini melambangkan kemakmuran
karena bentuknya yang menyerupai tael (simbol kemakmuran etnik Tionghoa,
biasanya berbentuk perak). Sebaliknya, di Selatan, kebiasaan yang dilakukan
adalah membuat kue ketan tahun baru (年糕 – niángāo) dan mengirimkan setiap
potongnya sebagai hadiah kepada kerabat dan teman-teman dekat dalam
beberapa hari menjelang tahun baru. Niángāo secara harafiah berarti “kue tahun
baru”, namun juga memiliki makna homofon yakni “semakin bertambahnya
kemakmuran di tahun yang baru.” Setelah makan malam, para keluarga akan
pergi ke vihara-vihara lokal beberapa jam sebelum tahun baru tiba dan mulai
berdoa untuk tahun yang semakin baik sambil menyalakan dupa. Namun dalam
praktik modern, banyak juga keluarga yang mengadakan pesta di rumah sambil
44
menghitung mundur waktu ke tahun baru. Dalam kebiasaan tradisional, petasan-
petasan dinyalakan untuk menakut-nakuti roh jahat sambil menutup pintu rapat-
rapat, dan tidak akan dibuka sampai keesokan paginya dalam ritual yang disebut
“membuka pintu keberuntungan” (開財門 – kāicáimén).
(b)Hari Pertama, Hari Pertama di Tahun Baru Imlek dirayakan untuk
menyambut para dewa langit dan bumi, secara resmi dimulai pada tengah malam.
Kembang api dinyalakan, batang bambu dan petasan dibakar untuk menciptakan
suara sebising mungkin dengan tujuan menangkap roh-roh jahat. Namun di
beberapa tempat di Indonesia, termasuk di Medan sendiri, praktik menghidupkan
petasan sudah sangat jarang dilakukan, karena peraturan pemerintah yang
melarang menghidupkan petasan ketika hari-hari besar.
Penganut agama Buddha menjauhkan diri dari konsumsi daging pada hari
pertama karena diyakini bahwa ini akan menjamin umur panjang untuk mereka.
Beberapa juga beranggapan bahwa menyalakan api dan menggunakan pisau bisa
mendatangkan nasib yang buruk pada Hari Tahun Baru, maka semua makanan
yang akan dikonsumsi dimasak pada hari-hari sebelumnya. Pada hari ini juga,
dianggap sial untuk menggunakan sapu.
Yang paling penting, pada hari pertama Tahun Baru Imlek adalah saatnya
untuk menghormati orang tua, setiap anggota keluarga akan mengunjungi orang
tua mereka dan anggota keluarga yang dianggap paling tua dalam keluarga besar
mereka seperti kakek-nenek dan kakek-nenek buyut.
45
Bagi para penganut Buddha Maitreya, hari pertama Tahun Baru Imlek juga
diperingati sebagai hari ulang tahun Bodhisattva Maitreya, sang calon Buddha.
Penganutnya juga menjauhkan diri dari praktik membunuh hewan. Pada malam
Tahun Baru Imlek, di vihara-vihara, termasuk Vihara Maitreya akan mengadakan
pertunjukan Barongsai sebagai ritual simbolis untuk menyambut Tahun Baru
Imlek serta perlambang mengusir roh jahat serta kesialan.
Tiap anggota keluarga yang sudah menikah memberikan amplop merah
berisikan uang tunai, atau biasa dikenal dengan angpao, sebuah simbol
perlambang berkat, kepada sanak saudaranya biasanya anak-anak kecil dan
remaja. Para manajer bisnis juga memerikan bonus melalui amplop merah kepada
para karyawannya untuk memperoleh nasib baik, kesehatan, dan kemakmuran.
(c)Hari Kedua. Pada hari kedua Tahun Baru Imlek, dupa dibakar di makam
leluhur sebagai bagian dari persembahan ritual dan doa. Hari kedua ini juga
dikenal sebagai “awal tahun” (开年 – kāinián). Di hari ini juga kesempatan bagi
anak perempuan yang sudah menikah untuk mengunjungi orang tua, kerabat,
serta teman-teman dekatnya (karena pada umumnya, anak-anak perempuan yang
sudah menikah jarang memiliki kesempatan untuk mengunjungi keluarga dan
teman-teman mereka).
Sejarah mengatakan pada zaman kekaisaran Cina, para pengemis dan
pengangguran akan berkeliling dari rumah ke rumah tiap keluarga, membawa
sebuah gambar Dewa Kemakmuran, sambil berteriak, “Chai Shen dao!” (“Dewa
46
Kemakmuran telah datang!”). Para keluarga yang dikunjungi akan memberi
mereka “uang keberuntungan” untuk menghargai mereka (Kong (1989: 48).
Para pebisnis beretnik Kanton akan mengumandangkan doa ‘Hoi Nin’
untuk memulai bisnis mereka di hari kedua Imlek ini, sehingga nantinya mereka
akan dikaruniai dengan keberuntungan dan kemakmuran dalam bisnis mereka di
tahun yang baru.
Beberapa juga percaya bahwa hari kedua ini juga merupakan hari jadi
semua anjing, maka mereka pun memperlakukan anjing-anjing yang ada dengan
perlakuan spesial.
(d) Hari Ketiga. Hari Ketiga ini dikenal sebagai Chìkǒu ( 赤 口 ), jika
diterjemahkan secara langsung, artinya adalah “mulut merah”. Chìkǒu juga biasa
disebut dengan Chìgǒurì (赤狗日). Chìgǒu berarti “Dewa Angkara Murka” (熛怒之神 ). Warga pedesaan melanjutkan perayaan dengan memanjatkan doa-doa di
samping tempat pembakaran sampah terbuka, dimana benda-benda yang sudah
tidak dipakai serta sampah-sampah dibakar bersama-sama dengan persembahan.
Hari ketiga ini umumnya juga dikenal dengan hari yang tidak baik untuk
bersosialisasi ataupun mengunjungi kerabat serta teman-teman dekat.
Penduduk desa etnik Hakka di daerah pinggiran Hongkong pada tahun
1960 menyebut hari ini sebagai Hari Iblis Miskin dan mempercayai bahwa semua
orang harus tinggal di rumah (Berkowitz dan Brandauer, 1969:49). Hari ketiga
ini juga dianggap sebagai hari yang tepat untuk mengunjungi kuil Dewa
Kemakmuran untuk mendapatkan petunjuk akan masa depan.
47
(e)Hari Keempat, bagi etnik Tionghoa yang hanya merayakan Tahun Baru
Imlek selama dua atau tiga hari, hari keempat ini adalah hari dimana kegiatan
bisnis serta berdagang kembali berjalan normal.
(f) Hari Kelima. Hari kelima dirayakan sebagai hari ulang tahun Dewa
Kemakmuran. Di bagian utara Daratan Cina, orang-orang akan memakan jiǎozi
( 饺 子 ; 餃 子 ), atau pangsit di pagi hari Pòwǔ ( 破 五 ). Di Taiwan, usaha bisnis
biasanya akan dimulai kembali pada keesokan harinya (hari keenam), disertai
dengan dibunyikan petasan.
Di hari kelima ini juga di daerah yang banyak etnik Tionghoanya, orang-
orang akan menghidupkan petasan dalam upaya untuk menarik perhatian Guan
Yu, agar mendapatkan keberuntungan serta nasib yang baik di tahun yang baru.
(g) Hari Ketujuh. Hari ketujuh, biasanya dikenal sebagai Rénrì (人日 – hari
ulang tahun semua orang), hari dimana semua orang bertambah umur setahun
lebih tua. Di komunitas Tionghoa di Asia Tenggara, pada hari ini mereka akan
memakan yusheng, salad ikan mentah, yang diyakini dapat meneruskan kekayaan
dan kemakmuran.
Bagi kebanyakan penganut Buddha, di hari ini adalah hari tanpa konsumsi
daging, mereka juga memperingati hari ketujuh sebagai hari kelahiran Sakra,
penguasa para dewa dalam kosmologi Buddha.
(h)Hari Kedelapan. Semua orang harus sudah kembali bekerja pada hari
kedelapan. Semua instansi pemerintahan dan bisnis akan berhenti mengadakan
perayaan di hari kedelapan ini. Para pemilik toko akan mengadakan jamuan
48
makan siang atau makan malam dengan pegawai-pegawai mereka, berterima
kasih kepada mereka atas pekerjaan yang telah mereka lakukan sepanjang tahun.
(i) Hari Kesembilan. Di hari kesembilan ini etnik Tionghoa memanjatkan
doa kepada Kaisar Langit ( 天 公 – Tiāngōng) di kuil karena hari ini diperingati
sebagai hari kelahiran sang Kaisar Langit. Hari kesembilan juga merupakan hari
yang sangat penting bagi orang Hokkien. Pada tengah malam hari kedelapan
tahun baru, mereka akan membawa persembahan dan menaikkan doa syukur
kepada Kaisar Langit. Persembahan yang mereka bawa termasuk didalamnya
tebu, karena diyakini tebu telah melindungi leluhur-leluhur mereka dari
kepunuhan di zaman dahulu. Dupa, teh, buah, makanan vegetarian atau babi
panggang, dan kertas emas disajikan sebagai protokol adat untuk menghormati
para tetua.
(j) Hari Kesepuluh. Di hari kesepuluh, orang-orang masih merayakan hari
kelahiran Kaisar Langit.
(k)Hari Kesebelas dan Dua belas. Tidak ada kegiatan adat/tradisional yang
dilakukan pada hari kesebelas dan dua belas.
(l) Hari Ketigabelas. Di hari ketigabelas, orang-orang Tionghoa akan
memakan makanan vegetarian murni dengan tujuan membersihkan perut mereka
karena telah mengkonsumsi terlalu banyak makanan di dua minggu sebelumnya.
Hari ini didedikasikan untuk Jenderal Guan Yu, dikenal juga sebagai Dewa
Perang. Guan Yu dilahirkan semasa Dinasti Han dan dipercaya sebagai jenderal
49
terhebat dalam sejarah Tionghoa. Dia melambangkan loyalitas, kekuatan,
kebenaran, dan keadilan.
Hampir setiap organisasi dan penggiat bisnis memanjatkan doa kepada Guan
Yu di hari ini. Diyakini sebelum hidupnya berakhir, Guan Yu telah
memenangkan lebih dari seratus pertempuran, dan ini jugalah gol yang ingin
dicapai oleh semua pengusaha bisnis Tionghoa. Di lain sisi, orang menganggap
Guan Yu sebagai Dewa Kemakmuran atau Dewa Kesuksesan.
(m) Hari Kelimabelas. Hari kelimabelas dari Tahun Baru Imlek
disebut Cap Go Meh (di Cina disebut dengan Festival Yuanxiao/Yuánxiāojié – 元宵 节 atau Festival Shangyuan/Shàngyuánjié – 上 元 节 jika diartikan yakni Festival
Lentera). Hari kelimabelas ini adalah hari terakhir dari rangkaian perayaan Tahun
Baru Imlek.
Di zaman dahulu kala, bentuk lentera-lentera yang dihidupkan sangatlah
sederhana, dan hanya kaum bangsawan serta orang-orang terhormat saja yang
bisa memiliki lentera dengan bentuk yang besar dan kompleks. Namun di masa
modern ini, bentuk dan ukuran lentera sudah bervariasi. Sebagai contoh, lentera-
lentera ini dapat dibentuk dengan bentuk binatang. Di Vihara Maitreya, setelah
melakukan sembahyang, orang-orang Tionghoa mulai menyalakan lentera dan
melepaskan lentera-lentera yang telah diisi gas tersebut ke langit. Lentera yang
dinyalakan melambangkan tiap orang melepaskan masa lalunya dan
menyongsong masa depan yang baru dan sejahtera.
50
Malam Cap Go Meh adalah malam pertama orang-orang dapat melihat
bulan purnama pada tahun lunar ini. Menurut tradisi masyarakat Tionghoa, pada
permulaan tahun baru, jika terdapat bulan purnama yang terang di langit,
diharuskan untuk melepaskan banyak lentera ke langit untuk menghargainya.
Pada malam ini juga, tiap keluarga akan memakan yuanxiao (元宵 – beras ketan
dibentuk bola) dan berkumpul serta makan malam bersama keluarga.
Diyakini bahwa Malam Cap Go Meh adalah malam terakhir untuk
bersenang-senang (dalam istilah tradisional masa panen) dan keeseokan harinya
sudah dimulai hari baru untuk kembali bekerja keras untuk mendapatkan
kemakmuran (masa bercocok tanam). Di Malam Cap Go Meh ini juga diadakan
pertunjukan Barongsai, pertunjukan ini dilakukan dengan maksud untuk menolak
semua kesialan di tahun yang telah lalu dan menyongsong hari baru dengan
semangat baru dan keberuntungan yang baru.
2.7 Penggunaan Istilah “Cina” dan “Tionghoa” di Indonesia
Istilah Cina berasal dari nama Ahala (wangsa atau dinasti) Qin (baca:
Ch’in). Dinasti Chin (abad ke-3 SM) merupakan dinasti pertama yang
mempersatukan seluruh daratan Tiongkok di bawah pemerintahan pusat yang
sangat kuat dan besar pengaruhnya. Walaupun masa pemerintahan dinasti itu
tidak lama (sekitar 225 hingga 210 SM), dinasti ini mendirikan kerjaan pertama
dan merintis bentuk kerajaan yang berjalan terus selama lebih dari 2000 tahun
sampai revolusi republik pada tahun 1913.
51
Keberatan akan istilah Cina di Indonesia dilatarbelakangi oleh sikap
Kaisar Qin yang dikenal sangat kejam, ia pemeluk aliran Legalis (Fajia) yang
ajarannya sangat berlawanan dengan ajaran Khonghucu. Atas perintahnya
dilakukanlah pembakaran buku-buku ajaran Khonghucu, dan memerintahkan
hukuman dikubur hidup-hidup terhadap 500 sarjana Khonfusianisme. Akibat dari
tindakan brutal Kaisar Qin itu, sebagian besar orang Cina lebih suka menyebut
diri mereka dengan kata “Tangren” yang kurang lebih berarti “keturunan Ahala
Tang”, salah satu dinasti yang meninggalkan zaman keemasan terutama dalam
kesenian dan kesusastraan dalam sejarah Cina. Di kalangan etnik Cina di
Indonesia, terutama yang berasal dari provinsi Fujian (Hokkian), sebutan itu
menjadi “Tenglang.”
Setelah keberatan-keberatan yang muncul, akhirnya sekitar abad ke-19
diambillah jalan tengah yaitu penggunaan istilah Tionghoa yang diambil dari
terjemahan Chung Kuo. Presiden pertama Cina, Dr. Sun Yat-sen kemudian
menggunakan itu untuk nama negara baru di Tiongkok: Zhonghua Minguo
(Republik Cina). Mao Zedong meneruskan penggunaannya ketika membentuk
Republik Rakyat Cina (RRC) dalam bahasa Mandarin disebut dengan Zhonghua
Renmin Gongheguo.
Istilah Tionghoa mulai mulai muncul di kalangan golongan etnik Cina di
Indonesia sekitar tahun 1900-1901 ketika Tiong Hoa Hwee Kuan (THHK)
dibentuk sebagai sebuah organisasi yang bergerak terutama di bidang pendidikan
dan kehidupan keagamaan, khususnya Konfusianisme. Organisasi ini dipimpin
52
oleh Kang Yu Wei, Liang Chi Chao, dan Phoa Keng Hek di Jakarta. Akan tetapi
THHK sendiri masih mencampuradukkan penggunaan Tiongkok, Tionghoa, dan
Cina dalam konstitusi mereka. Sehingga muncullah kata-kata bangsa Cina, negeri
Cina, atau surat Cina (huruf Kanji) yang berdampingan dengan kata-kata
Tionghoa dan Tiongkok yang kini dianggap sebagian etnik Tionghoa sebagai
politically correct.12
Dengan demikian secara tidak langsung menunjukkan bahwa istilah Cina,
setidak-tidaknya sampai akhir abad ke-19, masih dianggap netral. Penggunaan
istilah Tionghoa dan Tiongkok semakin populer sejalan dengan naiknya
gelombang nasionalisme Cina di kalangan golongan Tionghoa di Indonesia yang
terjadi pada dasawarsa kedua abad ke-20. Sama seperti saudara-saudara mereka
di daratan Cina, golongan etnik Tionghoa di Indonesia memandang kata
Tionghoa dan Tiongkok sebagai manifestasi dari semangat nasionalisme dan
persatuan di kalangan mereka. Namun, perlu dicatat, nasionalisme di kalangan
golongan etnik Cina di Indonesia lebih banyak diakibatkan oleh perlakuan
pemerintah kolonial Hindia Belanda yang menganggap mereka sebagai warga
negara kelas dua.
Pada tahun 1928, tokoh pergerakan Indonesia yang merasa ‘berhutang
budi’ kepada masyarakat Tionghoa, karena koran-korannya banyak memuat
tulisan pemimpin pergerakan tersebut, sepakat mengganti sebutan Cina dengan
Tionghoa. Koran Sin Po adalah koran pertama yang mengganti sebutan Hindia-
12http://www.ceritanet.com/15cina.htm
53
Belanda menjadi Indonesia pada setiap penerbitannya, dan juga koran pertama
yang memuat teks lagu Indonesia Raya ciptaan W.R. Supratman. Dalam teks
penjelasan UUD 1945, kata yang digunakan adalah Tionghoa, bukan Cina. Sejak
itu istilah “Tionghoa” digunakan bersama sebagai padanan istilah “Cina” yang
sudah populer lebih dahulu.
Setelah itulah istilah Tiongkok dan Tionghoa nampaknya menjadi istilah
baku untuk mengacu kepada Cina sebagai negeri dan golongan Cina sebagai
kelompok etnik. Apalagi ketika istilah Cina dipakai untuk memaki dan diembel-
embeli dengan kata lain seperti “Cina Loleng,” “Cina Mindring,” dan sebutan-
sebutan degeneratif lainnya, kata Tionghoa lebih disukai ketimbang Cina.
Sebutan Cina sebagai hinaan lebih ditekankan lagi ketika Seminar Angkatan
Darat di Bandung pada 1968 memutuskan dan menganjurkan kepada pemerintah
agar kata Tiongkok dipakai sebagai istilah baku untuk mengacu kepada negeri
Cina dan sebutan bagi etnik Cina di Indonesia sebaiknya menggunakan kata
Tionghoa. Alasannya, menurut usul yang ditelurkan oleh seminar tersebut, adalah
untuk menjamin bahwa etnik Tionghoa yang tinggal di Indonesia tidak merasa
rendah diri. Sejak saat itu, mereka menyebut diri mereka dengan istilah
Tionghoa, yaitu dialek Hokkian dari kata bahasa Mandarin Chung Hwa, dan
menolak disebut Cina.
54
BAB III
KAJIAN FUNGSI
PERTUNJUKAN BARONGSAI
Memahami seni pertunjukan barongsai berarti juga memahami
kebudayaan Tionghoa. Kemungkinan besar tidak ada kebudayaan Tionghoa
lainnya yang mengandung berbagai macam aspek budaya dalam beberapa bentuk
seperti pertunjukan barongsai. Di dalam pertunjukan barongsai terkandung nilai-
nilai seperti agama/filsafat (Taoisme-Feng Shui, Buddha, Khonghucu, dan
astrologi), sastra (mitos, fabel, legenda, dan sejarah), seni (opera Tionghoa,
akrobat, bela diri, musik, dan kaligrafi), ilmu pengetahuan (astronomi, musim,
dan pertanian), bahasa, hingga makanan (Lee, 2010). Banyak yang bertanya-
tanya darimana asalnya Singa Cina–cikal bakal Barongsai–karena diyakini
bukanlah berasal dari Cina. Kenyataannya adalah bahwa pada awalnya singa
tersebut hanyalah hadiah langka yang diberikan kepada Kaisar untuk
mengamankan hak-hak serikat. Seiring berjalannya waktu, keanehan dan
kelangkaan yang didapati pada singa tersebut, ditambah dengan pengenalan akan
ajaran agama Buddha, dan status sang singa sebagai penjaga dan pelindung
agama, menjadikan posisi sang singa perlahan terangkat menjadi makhluk yang
55
membawa keberuntungan. Sampai sekarang, sosok singa berkembang menjadi
ikon tradisi masyarakat Tionghoa.
Tarian barongsai seringkali disalahartikan sebagai tarian naga (liong).
Padahal pembedanya cukup jelas, tarian naga biasanya dimainkan oleh sepuluh
orang (satu orang memegang mutiara yang terpisah dari badan naga), sedangkan
dalam tarian barongsai penarinya hanyalah dua orang. Sangat menarik untuk
diperhatikan bahwa ada catatan yang menceritakan bahwa sang singa adalah anak
kesembilan dari sang naga dan namanya adalah Jiao Tu (Lee, 2010:34).
Gambaran sang singa dapat ditemukan dipahat di pintu atau digambarkan
di dermaga pintu gerbang istana, taman, dan tempat-tempat tinggal. Sementara
itu, bentuk dari tarian singa mulai didokumentasikan penampilannya di masa
Dinasti Han (206 SM – 24 M) dan semakin berkembang semasa Dinasti Tang
(618 M – 906 M), meskipun dapat dikatakan bahwa penampilan kostum singa
yang dipakai kemungkinan besar tidak terlihat seperti gambaran sang Singa.
3.1 Mitos dan Legenda Mengenai Asal-usul Kesenian Barongsai
Banyak cerita yang berkembang di masyarakat berhubungan dengan asal
mula kebudayaan barongsai di masyarakat Tionghoa serta predikatnya sebagai
simbol keberuntungan ataupun pembawa berkah. Berikut adalah beberapa cerita
tentang asal-usul barongsai yang berhasil penulis dapat dari wawancara dengan
informan dan dari sumber pustaka yang membahas tentang barongsai.
56
Cerita pertama yang berkembang di kalangan etnik Tionghoa adalah
cerita tentang seorang utusan asing dari barat atau lebih tepatnya dari Kerajaan
Partia diutus untuk menjalin hubungan perdagangan yang bersahabat dengan
Cina pada masa Dinasti Han dan disambut dengan jamuan besar-besaran dan
hiburan. Bagian dari hiburan yang ditampilkan adalah tarian yang menampilkan
para penari memakai berbagai macam kostum hewan. Utusan tersebut kemudian
tidak melihat adanya sosok singa di antara kostum-kostum yang dipakai oleh
penari. Melalui hasil penelusurannya, ia mendapati fakta bahwa bangsa Cina
sama sekali belum pernah melihat singa sebelumnya. Sang utusan kemudian
menjelaskan pada anggota dewan kekaisaran bahwa di negaranya singa dianggap
sebagai Raja Hewan. Waktupun berselang, sang utusan kembali dan membawa
singa yang dikirim oleh Raja Partia sebagai bagian dari penghormatan kepada
kaisar (hadiah yang dianggap langka dan eksotis dianggap sebaai penghargaan
tertinggi oleh dewan kekaisaran) dan dengan demikian berhasil menjalin
hubungan kerjasama yang baik. Sejak saat itu sosok singa diyakini sebagai
simbol keberuntungan karena membawa pembaharuan perdamaian, kebahagiaan,
dan kemakmuran bagi masyarakat Tionghoa.
Diyakini bahwa singa yang telah diperkenalkan kepada bangsa Cina
sebagai penghargaan kepada kekaisaran kadang-kadang akan dibawa keluar
untuk menjadi tontonan publik. Karena kelangkaan dan kesulitan dalam
penanganannya, dimunculkanlah suatu bentuk tarian atau sandiwara yang
menirukan penampilan singa dan gerakannya. Seiring berjalannya waktu, cerita-
57
cerita tentang mitos dan ajaran agama Buddha ditambahkan ke dalam cerita
pertunjukan tersebut.
Cerita kedua adalah suatu saat di masa lalu, ada seorang kaisar yang
memelihara berbagai macam hewan eksotis. Di antara koleksi hewan-hewan itu,
favoritnya adalah singa. Hingga pada suatu hari, singa itu jatuh sakit dan mati
tidak lama setelahnya. Dengan kematian singa peliharaan favoritnya, kaisar
memutuskan turun dari singgasananya dan jatuh dalam kesedihan yang
mendalam hingga kemudian ia sendiri jatuh sakit. Cemas, para pejabat kekaisaran
bingung harus melakukan apa karena tidak ada cara yang berhasil untuk
mengembalikan keceriaan sang kaisar. Akhirnya, seorang anggota kekaisaran
mengambil mayat singa dan membuat kostum dari kulitnya. Dua pemuda yang
memiliki badan lentur dan atletis kemudian dilatih untuk menirukan gerakan
singa. Berselang beberapa hari kemudian singa itu diserahkan kepada kaisar.
Melihat singa kesayangannya, kaisar segera memperoleh kesenangannya
kembali. Pada waktu kejadian itu tersebar ke publik, merekapun membuat tiruan
kostum singa dan menirukan gerakannya serta menambah unsur musik dan tarian
ke dalam pertunjukannya.
Ada juga cerita yang berkembang dari sisi agama, diyakini bahwa seekor
singa ditugaskan oleh Kaisar Langit untuk menjaga bunga keabadian. Namun
sang singa tergoda dan akhirnya memakan bunga tersebut. Ketika Kaisar Langit
mengetahui perihal ini, ia marah besar, karena ini bukanlah kecerobohan pertama
yang pernah dilakukan oleh sang singa. Kemudian kaisar memerintahkan untuk
58
memotong tanduknya (sumber hidupnya) dan mengusirnya dari langit. Dewi
Welas Asih, Guan Yin, melihat apa yang terjadi dan merasa kasihan kepada singa
(sang singa, meskipun tanduknya telah dipotong, tidak mati karena telah
memakan bunga keabadian). Dewi Guan Yin mengikat kembali tanduknya ke
kepala singa dengan pita merah dan dedaunan emas. Sang singa merasa sangat
bersyukur dan menyesali tindakan cerobohnya kemudian berjanji untuk
melakukan perbuatan baik. Oleh karena itu, jika kita melihat singa Barongsai dari
dekat, dapat dilihat adanya pita merah yang melilit pada tanduknya.
Barongsai masuk ke Indonesia diperkirakan bersamaan dengan masuknya
para pedagang Tionghoa ke Nusantara atau sekitar 500 tahun yang lalu. Pada saat
itu tujuan para etnik Tionghoa datang ke Nusantara tidak hanya untuk kegiatan
perdagangan tapi juga ingin menjalin hubungan persahabatan yang erat antara
kedua negara. Salah satu jenis kesenian yang ditampilkan adalah pertunjukan
barongsai. Hal ini juga dilakukan untuk memperkenalkan kebudayaan etnik
Tionghoa kepada warga pribumi pada waktu itu.
Pada saat itu orang-orang Tionghoa yang datang melalui jalur laut di
bawah komando Panglima Sam Poo Kong pada masa dinasti Yang Wang yang
bergelar Kaisar Yung Lee tiba pertama kali di Semarang dan membangun sebuah
klenteng yakni Klenteng Gedung Batu. Setelah kaisar dan orang-orang keturunan
Tionghoa mengalami kesuksesan dalam kegiatan perdagangan mereka, sebagian
dari mereka pun enggan untuk kembali ke negara asalnya. Kemudian mereka
59
banyak yang menetap dan berbaur dengan warga pribumi, sejak itu pula kesenian
barongsai mulai berkembang di Indonesia.
Dari wawancara penulis dengan informan diketahui bahwa awal mulanya
kesenian barongsai tumbuh di daerah Binjai, vihara-vihara di sana kemudian
menanungi para tim-tim barongsai ini dan mulai mengembangkannya dibawah
asuhan mereka. Kesenian barongsai yang awalnya tumbuh pesat di Binjai pada
akhirnya mulai menyebar ke beberapa daerah lainnya di Sumatera Utara seperti
Medan dan Brastagi.
3.2 Jenis Barongsai
Dalam penampilan tarian singa (barongsai), ada dua jenis singa yang
terkenal, yakni Tarian Singa Utara dan Tarian Singa Selatan. Berikut ini adalah
deskripsi serta perbedaan dari keduanya.
(1) Singa Utara. Bentuk Singa Utara sering diidentikkan dengan
bentuk anjing pug Peking. Pertanyaan yang sering dilontarkan adalah kenapa
menyerupai bentuk anjing dan bukannya singa? Hal ini disebabkan karena pada
zaman dahulu kala, sosok singa yang sebenarnya sangatlah jarang dapat dilihat
oleh bangsa Cina pada saat itu kecuali orang-orang yang tinggal dalam
lingkungan kerajaan. Para seniman zaman dulu menggunakan sosok pug Peking
mungkin dikarenakan anjing jenis ini sering disebut sebagai Shizi Gou ( 獅 子 狗 )
atau Anjing Singa. Nama ini diberikan kepada jenis anjing ini kemungkinan
karena ditemukannya kemiripan sosok antara patung-patung singa yang menjaga
60
gerbang istana dengan anjing pug. Jenis anjing pug ini diyakini telah lama
eksistensinya di negeri Cina, seperti ditemukannya gambar anjing ini pada
tembikar-tembikar dalam kuburan-kuburan dari Dinasti Tang hingga Dinasti
Han. Fakta lain terdapat pada sebuah buku berisikan sejarah anjing pug Cina,
menyatakan bahwa pihak kerajaan sering mengadakan kontes tahunan anjing,
kontes ini dimenangkan oleh pemilik yang dapat mengembangbiakkan anjingnya
menyerupai figur singa. Seringkali pejabat-pejabat istana dan pembantunya
mengawinsilangkan anjing pug dengan anjing jenis lainnya untuk mendapatkan
penampilan menyerupai singa demi memperoleh penghargaan dan gelar
bergengsi (Lee, 2000).
Gambar 3.1:
Perbandingan Figur Anjing Pug Cina dengan Kostum Singa Utara
(Sumber gambar: http://chineseliondancers.webs.com/Lion_In_General.htm)
61
Seiring berjalannya waktu, para seniman yang merancang kostum Singa
Utara semakin menambahkan lebih lagi detail figur anjing pug kedalamnya,
apalagi sejak tidak ada lagi singa yang tersisa di istana. Dalam gerakan-gerakan
yang dilakukan oleh Singa Utara, banyak juga ditemukan gerakan-gerakan anjing
pug. Yang menjadikan Singa Utara ini menarik adalah gerakan-gerakan yang
ditampilkan, yakni gerakan akrobatik menggunakan meja, kursi, bola raksasa,
papan jungkat-jungkit, dan kawat. Pada umumnya Singa Utara dipertunjukkan
untuk tujuan hiburan saja dan tidak untuk memberikan berkah. Jenis singa ini
memiliki versi jantan dan betina, yang dibedakan melalui warna pita yang
dikenakan di puncak kepalanya, warna merah untuk jantan dan warna biru atau
hijau untuk betina. Terkadang ditampilkan pula sosok bayi Singa Utara yang
dimainkan oleh satu orang saja.
Bahan untuk kostum badan Singa Utara adalah rami, nilon, dan benang.
Material-material lain dijahit dan dilapiskan pada kain untuk memberikan kesan
bulu dan rambut singa, kemudian diwarnai dengan warna kuning. Warna kuning
ini tidak hanya menggambarkan warna bulu singa saja, namun juga merupakan
simbol warna Kekaisaran, karena pada awal mula kemunculannya pertunjukan
Singa Utara hanya ditampilkan di kalangan kerajaan. Bagian kepala Singa Utara
awalnya terbuat dari kayu, namun kemudian digantikan oleh bahan yang lebih
ringan, yaitu bambu atau rotan kemudian dilapisi dengan kertas. Nantinya
pertunjukan Singa Utara ini dapat dikenal oleh seluruh dunia akibat jasa para
pemain Tim Opera atau Tim Kesenian Akrobat Cina yang selalu
62
mengikutsertakan pertunjukan Singa Utara dalam setiap pertunjukan mereka
ketika melakukan perjalanan keliling dunia.
(2) Singa Selatan. Jenis yang kedua adalah jenis yang paling populer,
yakni Singa Selatan. Dua singa yang terkenal dari jenis Singa Selatan ini adalah
Singa Fat San/Fo Shan ( 佛 山 ) dan Singa Hok San/He Shan ( 鹤 山 ), dinamakan
demikian berdasarkan daerah keduanya diciptakan. Sebenarnya terdapat ada lagi
jenis singa yang lain, namun dikarenakan kebanyakan orang Tionghoa
beremigrasi dari Provinsi Guangdong (Kwangtung – 廣 東 省 ) maka hanya kedua
jenis ini lah yang dikenal di luar Cina. Kedua jenis singa ini biasa ditampilkan
oleh tim kung-fu dan para praktisi kung-fu pada suatu ketika menyebut
pertunjukan Singa Selatan sebagai “tarian yang istimewa” karena berdasarkan
fakta bahwa singa adalah simbol keagungan. Tiap vihara ataupun asosiasi yang
memiliki timnya sendiri akan memanggil seorang guru/master Tari Barongsai
untuk mengajar bibit-bibit muda dapat menampilkannya pada perayaan-perayaan
hari besar ataupun kegiatan lainnya, sembari mengajar tentang gerakannya, tugas
dari sang master ini adalah mengajarkan tentang kebudayaan Tionghoa.
Di awal kemunculannya di Cina, tarian Barongsai ditampilkan oleh para
aktor dan penari lokal ataupun rombongan opera keliling. Tarian Singa Selatan
ditampilkan untuk tujuan memberikan berkah sejalan juga untuk kepentingan
hiburan, suatu ketika di zaman dinasti Ching ditampilkan oleh para pemberontak
untuk mengumpulkan dana serta menjadi untuk menelurkan informasi rahasia di
antara mereka.
63
Singa Selatan adalah jenis kesenian yang relatif baru karena dibentuk
semasa Dinasti Ching. Setelah meletusnyan pemberontakan Taiping di
pertengahan 1800, opera Kanton dilarang untuk tampil dan kapal-kapal merah
yang mengangkut mereka dibajak oleh golongan Manchu untuk beberapa waktu.
Meskipun pemberontakan ini diduga dilakukan oleh kaum Kristen-Cina miskin,
pemerintah Ching lebih meyakini kegiatan pemberontakan dilakukan oleh
organisasi Hung Mun (perkumpulan rahasia yang melawan rezim Ching Manchu)
yang menggunakan media rombongan opera Kanton dan kapal-kapal merah demi
melancarkan pekerjaan mereka. Satu-satunya kegiatan kesenian yang tidak
dilarang adalah tarian singa. Namun, pada saat itu, kesenian ini hanya
ditampilkan selama masa Tahun Baru Imlek dan perayaan-perayaan tertentu.
Kemudian pemerintah menyarankan untuk mempraktikkan kegiatan Huo-Shih
(pada dasarnya untuk menghilangkan segala jenis nasib buruk). Dengan maksud
untuk menolak roh jahat, nasib buruk, kedengkian, dan bentuk yin lainnya yang
bersifat negatif, dibutuhkan kekuatan/energi yang (positif) yang lebih besar.
Dalam menciptakan kostum Singa Selatan, penciptanya memakai elemen-elemen
dari Feng Shui, Taoisme, opera Kanton, filosofi Buddha, dan Hung Mun. Dari
komponen-komponen ini diharapkan dapat menjadikan sosok sang singa menjadi
sosok yang mampu memberikan rahmat dan berkat. Tidak ada dokumentasi
ataupun catatan tentang siapa nama pasti yang menciptakan jenis singa Fat San,
namun tidak sama dengan singa Hok San, hampir semua praktisi Barongsai
setuju bahwa penciptanya adalah seorang laki-lai bernama Feng Geng Zhang
64
yang menciptakan beberapa dekade setelah ia selesai mempelajari tentang gaya
singa Fat San.
Bentuk kepala Fat San adalah bundar dengan bentuk mulut melengkung
ke atas, sementara figur wajah Hok San lebih panjang dan mulutnya datar dan
berbentuk seperti paruh bebek (kadang-kadang jenis Hok San ini dinamakan
singa moncong bebek). Biasanya bingkai kepala Singa Selatan terbuat dari rotan
dan anyaman bambu kemudian akan dilapisi berkali-kali hingga tebal dengan
kain kasa. Langkah ini akan diulang berkali-kali, kemudian kepala Barongsai akn
diberi cat dasar sebelum kemudian ditambah lagi varian warna derta symbol-
simbol yang memiliki makna-makna tertentu di atas cat dasar tersebut. Setelah
itu, ditambahkan berbagai ornamen di atas kepalanya seperti pom-pom dan
cermin. Bagian-bagian yang dapat digerakkan seperti kelopak mata, telinga, dan
mulut dimaksudkan untuk memberi kesan hidup dan nyata bagi sosok singa.
Kedua matanya terbuat dari kayu dengan sebuah lubang ditengahnya yang
dilapisi kaca atau plastik. Pada praktik modern, bola lampu mini atau L.E.D.
yang digerakkan oleh baterai dipasang pada kedua mata untuk memberikan
tampilan nyata.
Bagian kepala Singa Selatan cenderung berat; satu kostum barongsai
lengkap beratnya bervariasi antara 14-16 kilogram tergantung pada jumlah
ornamen-ornamen serta dekorasi-dekorasi yang dikenakan. Kostum Singa Selatan
tidak sepenuhnya menutupi badan pemainnya (tidak seperti Singa Utara) dan
bagian badan/ekor berukuran panjang dan terbuat dari kain yang warnanya
65
bervariasi. Singa Selatan ini ditampilkan tidak hanya ditujukan untuk
kepentingan agama, namun juga untuk keperluan pelatihan ilmu bela diri. Berat
kostum singa ini akan membantu memperkuat bagian tubuh dan atas mereka.
Dapat dikatakan melalui gerakan-gerakan singa ini bagaikan pelatihan aerobik
menggunakan beban.
Ketika menirukan gerakan binatang, sebagian besar praktisi akan meniru
gerakan kucing. Bahkan ada beberapa pelatih yang mewajibkan murid-murid
mereka untuk mempelajari gerakan kucing terlebih dahulu sebelum mereka
diajari gerakan tarian singa. Cara ini biasa dilakukan oleh mereka yang beraliran
Singa Hok San. Pemilihan jenis singa apa yang akan dipakai oleh sebuah sekolah
atau asosiasi tergantung pada aliran Kung Fu apa yang mereka anut. Sebagai
contoh, penganut aliran Kung Fu Hung Gar biasanya meggunakan Singa Fat San,
sementara penganut aliran Choy Li Fut dan Bangau Putih akan menggunakan
Singa Hok San. Perlu dicatat bahwa ini adalah keputusan yang general dan bukan
sebuah keputusan baku yang harus selalu diikuti. Di negara-negara seperti
Malaysia, Singapura, Indonesia, dan Taiwan, jenis Singa Hok San lebih sering
ditampilkan, sementara di negara-negara seperti Hong Kong, Amerika Serikat,
dan Kanada, jenis Singa Fat San lah yang sering ditampilkan.
Seiring dengan berkembang-pesatnya teknologi, laser, alumunium, PVC,
kertas warna-warni sekarang sudah semakin sering digunakan. Sejalan dengan
tidak lagi dipakai ornamen-ornamen dan penggunaan kain kasa dan kertas. Di
masa sekarang, bagian kepala singa sudah menjadi sangat ringan. Desain singa
66
yang baru juga telah menggunakan bentuk ekor yang pendek. Perubahan-
perubahan besar yang terjadi pada desain dan bahan Barongsai ini dinilai sangat
penting seiring semakin populernya kompetisi dan perlombaan pertunjukan
Barongsai. Salah satu gerakan yang sering dinilai dapat menambah poin besar
adalah jika para pemain Barongsai dapat melakukan atraksi berdiri dan menari di
atas tiang-tiang yang tinggi (dikenal dengan jong), tentu akan sangat
memudahkan pergerakan dan atraksi mereka jika massa tubuh Barongsai yang
dimainkan tidak berat seperti massa tubuh Barongsai yang lama. Hampir semua
para pemain Barongsai modern memakai celana yang satu tipe dan satu jenis
dengan badan atau ekor singa.
Gambar 3.2:
(Dari Kiri ke Kanan) Singa Fat San dan Hok San pada
Tahun 1950-an dan Masa Sekarang.
(Su
mber
gambar: http://chineseliondancers.webs.com/Lion_In_General.htm)
67
Perbedaan lain antara singa modern dan singa tradisional adalah sosok
singa modern memiliki tampilan yang bersahabat, sedangkan singa tradisional
memiliki tampilan dan pembawaan yang sangar. Perubahan yang terjadi, yakni
bagian kepala yang lebih ringan dan ekor yang lebih pendek13 menjadikan sosok
Singa Selatan tampak nyata, selain itu dengan massa tubuh lebih ringan
memudahkan para penari untuk dapat melakukan gerakan-gerakan akrobatik
yang rumit.
Pada malam perayaan Cap Go Meh di Maha Vihara Maitreya, kedua jenis
Singa Selatan, Fat San dan Hok San, sama-sama ditampilkan oleh tim kesenian
barongsai.
3.3 Makna-makna yang Terdapat pada Kostum Singa Selatan
Dalam wawancara dengan informan, yakni Chandra Tio, diperkuat juga
dengan tulisan Lee, berikut ini adalah makna-makna yang terkandung dalam
kostum Singa Selatan:
1. Empat Hewan Langit Menjadi Satu
Kedua jenis Singa Selatan, baik Fat San ( 佛 山 ) maupun Hok San ( 鶴 山 )
diciptakan dengan menggunakan beberapa aspek yang berbeda dari kebudayaan
Tionghoa untuk menghidupkan maknanya. Yang pertama adalah aspek agama
13Sumber mengatakan bahwa zaman dahulu kala, seorang sifu (guru) yang timnya mengalami kekalahan dalam sebuah kompetisi merobek/memotong setengah ekor singa oleh karena frustasi. Setelah kemarahannya reda, dia menyadari kesalahannya dan kemudian membetulkan bagian ekor yang tersisa. Sejak saat itu dia menyadari bahwa sangat banyak keuntungan yang diperoleh jika ekor pada kostum singa menjadi pendek. Pada kompetisi berikutnya, tim pemainnya menggunakan kostum singa yang telah dimodifikasi di bagian ekor dan kemudian keluar menjadi juara (Lee, 2000).
68
dan sistem kepercayaan (Taoisme/Feng-Shui). Para seniman Tionghoa
menggambar Empat Hewan Langit ke dalam sosok Singa.
Mereka memasukkan Naga, Phoenix, Chi Lin (Unicorn Cina14), dan Kura-
kura dengan ular melilit sekujur tubuhnya. Dari Naga (lung/long) mereka
memakai karakteristik dahi yang besar dan menonjol (dahi yang besar
melambangkan tingkat kecerdasan yang tinggi dalam kebudayaan Tionghoa) dan
jenggot; dari chi lin mereka mengambil karakteristik telinga dan ekor; cangkang
kura-kura dipakai untuk punuk bagian belakang kepala singa, ular
direpresentasikan pada tulang pungung singa; karakteristik yang diambil dari
Phoenix adalah kedua mata dan jambul (kadang tanduk). Kemudian, sosok macan
putih direpresentasikan melalui gigi-gigi dalam mulut singa. Empat hewan utama
disebut dengan hewan-hewan langit. Macan putih dan hewan lainnya, kecuali chi
lin dikenal sebagai penjaga keempat arah mata angin.
Dengan menggunakan karakteristik para hewan-hewan suci ini, diyakini
akan memberkahi singa dengan ciri-ciri dari masing-masing hewan. Naga adalah
penjaga arah timur, warnanya hijau, musim yang dibawanya adalah musim semi,
dan elemennya adalah kayu, Naga melambangkan keperkasaan dan karakteristik
yang yang kuat karena kakuatannya mampu mengarah ke kahyangan. Phoenix15
14Chi lin atau unicorn dalam kebudayaan Tionghoa tidaklah sama gambarannya dengan Unicorn dalam cerita-cerita klasik Barat.
15Banyak orang yang juga menggunakan istilah burung Varmelleon (burung mitologi berbulu merah) ketimbang Phoenix. Namun, kedua istilah ini tetap lah mengacu pada sosok Phoenix karena Phoenix dianggap sebagai raja dari semua hewan berbulu, sama halnya dengan Kura-kura yang awalnya hanya disebut sebagai Ksatria Hitam namun juga merupakan raja dari semua hewan bercangkang.
69
menjaga arah selatan, warnanya hijau, dan elemennya adalah api, Phoenix
memiliki karakteristik yin yang kuat, musim yang dibawanya adalah musim
panas, diketahui membawa kebaikan, kebijakan, dan perdamaian pada karakter
Singa. Kura-kura adalah penjaga arah utara, warnanya hitam (kadang-kadang
digelari sebagai Ksatria Hitam), membawa musim dingin, dan elemennya adalah
air, membawa ciri-ciri umur panjang, kemakmuran, dan perlindungan bagi sang
Singa. Sosok ular yang melilit di sekeliling tubuh kura-kura diyakini memberikan
berkah kelahiran kembali, pembaharuan, dan penyembuhan. Chi Lin memberikan
penangkal melawan panah-panah beracun, dan disebutkan bahwa sosoknya akan
muncul apabila seorang bijak lahir atau meninggal. Yang terakhir adalah Macan,
penjaga arah barat, warnanya putih, membawa musim gugur, dan elemennya
adalah logam. Macan Putih dipercaya dapat memangsa roh-roh jahat dan
merupakan simbol dari keberanian dan ketegasan.
Masih diambil dari ajaran Taoisme dan Feng Shui, kita akan dapat
melihat adanya dua tonjolan pada sisi tanduk. Dikatakan bahwa bentuk ini
mewakili tonjolan gaya rambut para rahib-rahib muda Tao. Hal ini menunjukkan
bahwa pertunjukan singa erat kaitannya dengan ajaran Taoisme. Sebagai
tambahan, gambaran artistik tambahan dari bunga krisantemum dilukiskan pada
bagian atasnya. Bunga krisantemum merupakan metafora dari umur panjang
sebagaimana dalam bahasa Tionghoa, kata ‘bunga’ pengucapannya mirip dengan
kata ‘selamanya’. Di sekitar cermin pada dahi singa, dapat dilihat motif-motif
seni seperti lima awan dan lima kelelawar untuk beberapa nama. Kata untuk
70
awan adalah “Yun/Wan ( 雲 )” dan bunyinya seperti kata “Yun/Wan ( 運 )” yang
berarti beruntung. Motif awan yang tersebut juga mirip dengan batang Ruyi dan
Ling Zhi atau lebih dikenal dengan jamur/bunga keabadian. Dengan bentuk pola
yang diulang-ulang, awan ini menjadi simbol untuk keberuntungan yang tidak
pernag berakhir. Sementara itu, lima kelelawar disini melambangkan lima
berkat/rahmat. Karena kata untuk kelelawar fu/fuk ( 福 ) merupakan representasi
berkat/kebahagiaan/keberuntungan yang baik. Kelima berkat tersebut adalah
umur yang panjang, kesehatan, kemakmuran, cinta kebajikan, dan kematian yang
tenang. Gambaran artistik lainnya yang terdapat pada tubuh Barongsai adalah
ikan mas (liyu) yang pengucapan mirip seperti sebuah frasa “kelebihan dari
keuntungan”.
2. Tanduk Pada Kepala Singa
Tonjolan pada kepala Singa disebut dengan Jaio Chi (角髻); Jiao berarti
tanduk dan Chi berarti kepala. Ada peribahasa Tionghoa yang bunyinya “Tou
Jiao Cheng Yung”, berarti “Tanduk Pada Kepalamu Memberikan Penampilan
yang Istimewa”. Ungkapan ‘tanduk’ disini tidak dimaksudkan sebagai arti
harafiah, namun dimaksudkan sebagai gaya rambut atau penutup kepala yang
digunakan di atas kepala orang-orang Tionghoa di masa sebelum datangnya
Bangsa Manchu untuk menaklukkan Cina. Sementara ketika masa pemerintahan
Manchu, orang-orang disana dipaksa untuk mennguncir rambut mereka, dan bagi
yang menolak untuk memakainya kepala mereka akan dipenggal. Beberapa orang
71
bertanya-tanya mengapa singa Barongsai memiliki sebuah tanduk di atas
kepalanya. Hal ini diduga bermula di awal pemerintahan Dinasti Tang, patung-
patung singa pada saat itu digambarkan memiliki semacam tonjolan di kepalanya,
dan banyak orang yang menganggap tonjolan itu sebagai tanduk. Kemudian
dipercayai bahwa tanduk dalam kebudayaan Tionghoa merupakan simbol dari
kekuatan supranatural.
Di awal kedatangannya singa merupakan sebuah hadiah yang langka dari
negara lain untuk diberikan kepada pemerintah Cina. Setelah itu gagasan sosok
singa sebagai hewan suci mulai diterapkan seiring dengan pengenalan agama
Buddha dimana sosok singa dianggap sebagai penjaga dari agama Buddha. Dari
gambarannya kita dapat menentukan jenisnya, jika memiliki taring yang panjang,
maka disebut sebagai seekor hewan karnivora, jika memiliki tanduk yang lancip,
merupakan seekor hewan yang memakan tumbuhan (herbivora). Hal yang aneh
adalah banyak hewan-hewan yang dianggap membawa kebaikan bagi bangsa
Tionghoa memiliki taring panjang dan tanduk lancip, dipercaya bahwa orang-
orang di zaman dahulu dalam hal menunjukkan keistimewaan status hewan-
hewan mulia itu, memberikan gambaran kepada hewan-hewan mulia memiliki
tanduk lancip dan taring panjang, alasannya adalah untuk menggambarkan bahwa
hewan-hewan mulia ini memiliki kekuatan dari hewan karnivora dan sifat mulia
dari karakter hewan herbivora yang tidak haus darah. Hal ini sejalan dengan
tradisi agama Buddha yang pendiri serta para biksunya merupakan vegetarian.
72
Dua jenis tanduk yang paling dikenal terdapat pada Singa Selatan adalah
batang bambu di puncak kepala dengan ujung yang runcing (dinamakan begitu
karena penampilan fisiknya dan biasanya dijumpai pada kepala Singa Fat San).
Kemudian ada tanduk yang bentuk ujungnya menyerupai kepalan tangan
(biasanya dijumpai namun tidak terbatas pada kepala Singa Hok San). Dalam
masyarakat Tionghoa, bambu merupakan simbol dari panjang umur dan
keberanian di tengah-tengah kesulitan serta kesopanan. Batang bambu disini
merupakan representasi dari jiwa muda serta langkah-langkah yang sigap dari
para prajurit muda, sedangkan tanduk yang menyerupai kepalan tangan
menggambarkan tanduk singa tua yang telah menjadi tumpul karena telah
melewati banyak waktunya dalam medan pertempuran.
Gambar 3.3:
Tanduk Batang Bambu
/
Gambar 3.4
73
Tanduk Kepalan Tangan
Seiring berjalan waktu tanduk ini kemudian dicat dengan warna hitam.
Warna hitam dikenal sebagai warna langit dalam Yi Jing (Kitab Perubahan).
Ungkapan yang menyebutkan “langit dan bumi adalah hal yang misterius dan
hitam (gelap)” berakar dari perasaan orang-orang zaman dahulu ketika melihat
langit utara menunjukkan warna hitam misterius untuk periode waktu yang lama.
Mereka mengira bahwa Bintang Utara adalah tempat Tian Di (Kaisar Langit)
bertakhta. Oleh karena itu, warna hitam dianggap sebagai raja dari semua warna
dalam tradisi kuno Tionghoa. Warna hitam juga merupakan satu-satunya warna
yang diagungkan dalam kebudayaan Tionghoa. Dalam diagram Taiji masyarakat
Tionghoa, hitam dan putih digunakan untuk melambangkan kesatuan dari Yin
dan Yang.
3. Bunga Pita Merah
74
Sebelum membahas tentang bunga pita merah, yang pertama kali harus
dipahami adalah makna warna merah yang dianggap sebagai simbol pembawa
keberuntungan bagi masyrakat Tionghoa. Warna merah merupakan warna yang
mewakili matahari (melamabangkan kekuatan) yang warnanya sama dengan
warna api (yang digunakan untuk melawan hewan buas). Selain itu, warna merah
juga dianggap memancarkan perasaan kehangatan dan kebahagiaan. Kemudian,
warna merah juga adalah metafora dari warna darah, darah sendiri merupakan
kekuatan hidup yang mendorong semua kehidupan. Dalam bahasa Tionghoa
untuk kata-kata “besar” (宏) dan “luas” (洪) pengucapannya mirip dengan kata
merah (红), oleh karena itu setiap hal yang mengandung warna merah memiliki
kekuatan yang besar.
Sebagai tambahan, kata “pita” dalam bahasa Tionghoa adalah dai ( 带 )
yang juga memilki arti lain yakni “membawa”. Karakter huruf Tionghoa lainnya
yang memiliki pengucapan yang sama yakni “generasi” (代). Ketika sebuah pita
terlihat mengikat dua atau lebih benda-benda yang membawa kebaikan, makna
yang tersirat tentang pita merah ini adalah “membawa (sifat-sifat baik seperti
nasib baik, keberuntungan) kepada tiap generasi”.
Gambar 3.5
75
Bunga Pita Merah
Berdasarkan mitologi rakyat Tionghoa tentang pita merah, seekor singa
dijinakkan oleh seorang biksu Buddha dengan selempang merahnya setelah
melihat kekacauan yang telah dilakukan terhadap penduduk setempat oleh sang
singa. Setelah mempelajari ajaran agama Buddha, sang singa kemudian melayani
sebagai penjaga bagi masyarakat yang semula diganggunya. Cerita lain
mengungkapkan bahwa sang singa dipenggal dan diusir dari kahyangan oleh
Kaisar Langit setelah dia memakan bunga keabadian yang seharusnya dijaganya.
Dewi Guan Yin kemudian berbelas kasihan kepada sang singa dan
menyambungkan lagi kepalanya dengan menggunakan pita merah, pita ini
kemudian juga membantu singa dalam melawan roh-roh jahat dan kemalangan.
4. Cermin Pencerahan Nirwana
76
Pada dahi Barongsai terdapat sebuah piringan berbahan besi yang
melambangkan Cermin Pencerahan Nirwana. Cermin berbentuk bulat ini
dimaksudkan untuk melambangkan keabadian, tapi lebih khususnya adalah
pencerahan dan kebijaksanaan yang abadi. Cermin ini dimaksudkan untuk
menyerap tiga sumber cahaya yang hebat, yakni matahari, bulan, dan bintang.
Namun, cermin ini tidak hanya digunakan untuk hanya menerima ketiga sumber
cahaya ini untuk meningkatkan kekuatan, namun juga dapat melepaskan
kekuatan baik dari cahaya-cahaya ini untuk menyingkap, menangkal, menekan,
dan menghilangkan sifat-sifat jahat. Dan juga, diyakani pada saat roh-roh jahat
melihat bayangan mereka di cermin itu akan kekejian mereka sendiri. Hal ini
sama ibaratnya ketika seseorang telah melakukan suatu tindakan yang salah,
kemudian melihat bayangan dirinya sendiri di cermin lalu tidak dapat
menghadapainya karena dia melihat sikap jahat dan buruk yang terpancar ke luar.
77
Gambar 3.6
Cermin Pencerahan Nirwana terletak
pada dahi di antara kedua mata Barongsai
Terdapat juga alasan mengapa menempatkan cermin di atas kepala singa.
Dalam kebudyaaan Tionghoa, hal ini melambangkan dengan apa yang disebut
dengan “mata ketiga”, “mata Buddha”, “mata kahyangan”, “mata batin”, atau
“mata dewa”. Dalam kebudayaan kuno agama Buddha dan Hindu, cermin ini
menjadi simbol dari bentuk pencerahan dan disebut juga sebagai “mata
kebijaksanaan”. Dalam agama Tao, disebut dengan mata batin dan merupakan
salah satu pusat chakra utama. Diyakini ketika seseorang mengasah mata batin
mereka, maka mereka juga membangun intuisi mereka serta membangun
kemampuan untuk menggunakan indra subjektif mereka.
78
3.4 Barongsai dan Kaitannya dengan Warna
Pada awal penciptaannya, seniman yang menciptakan Barongsai Selatan
terinspirasi dari novel “Romansa Tiga Kerajaan”. Warna-warna dari Barongsai
Selatan ini didasari pertama kali berdasarkan ketiga karakter utamanya.16
Karakter pertama yang menginspirai warna Barongsai adalah Lau Pei
(Liu Bei – 劉 備 ), digambarkan dengan warna dasar kuning/emas di wajahnya.
Secara simbolis, warna ini mewakili beberapa hal. Pertama merupakan warna
kulitnya, kedua menggambarkan kebijaksanaannya, dan yang ketiga adalah
karena warna kuning (atau warna dari Kekaisaran seperti yang sudah diketahui di
Cina) hanya diperuntukkan bagi Kaisar. Pada bagian wajah terdapat janggut putih
panjang yang menggambarkan kebijaksanaan dan kedudukan yang lebih tinggi.
Kadang-kadang ditampilkan juga sebuah ao yu atau jambul elang di tempat
tanduk bambu berada. Ekornya berwarna-warni yang melambangkan lima
elemen dalam tradisi Tionghoa. Pada ikatan lehernya terdapat tiga koin, masing-
masing mewakili kebijaksanaan, kebajikan, dan keberanian (智, 仁, 勇 – zhi, ren,
dan yong). Bagi masyarakat Tionghoa jenis singa ini disebut sebagai Singa
Pembawa Keberuntungan (Rui Shih).
16“Romansa Tiga Kerajaan” mengambil setting waktu ketika runtuhnya kejayaan Dinasti Han. Tiga lelaki kemudian mengucapkan sumpah persaudaraan di taman persik untuk sama-sama mengembalikan kejayaan Dinasti Han. Adalah yang tertua bernama Lau Pei (Liu Bei), merupakan keturunan bangsa Han, dia juga sosok yang menemukan Kerajaan Shu dan menjadi penguasa pertamanya. Saudara yang kedua bernama Kwan Yu (Guan Yu). Yang terakhir bernama Jeung Fei (Zhang Fei). Kemungkinan besar mengapa warna kostum Barongsai didasari pada ketiga karakter ini dikarenakan sebagian besar etnik Tionghoa percaya bahwa mereka adalah keturunan bangsa Han, sehingga ketika menciptakan suatu bentuk kesenian pun haruslah berdasarkan latar belakang sejarah mereka.
79
Gambar 3.7:
Singa Hitam dan Singa Kuning/Emas
Kedua adalah Kwan Yu (Guan Yu – 關 羽 ), dikenal memiliki wajah
kemerahan (diceritakan wajah merah Guan Yu didapat ketika dia berusaha
melindungi seorang gadis dari gangguan penjahat lokal. Ayahnya, seorang
pejabat korup, berusaha membalas dendam padanya dengan cara menjebaknya
dalam sebuah kuil kemudian membakarnya hidup-hidup). Warna dasar merah
juga dicampur dengan warna hitam melambangkan kebajikan, kesetiaan, dan
keberanian Jenderal Guan. Singa jenis kedua ini menggunakan apa yang disebut
dengan mata burung phoenix. Pada ikatan lehernya terdapat dua koin, mewakili
kebijaksanaan an keberanian. Janggutnya panjang dan hitam, seperti Jenderal
Guan yang dikenal sebagai Bangsawan dengan Janggut Indah. Ekornya berwarna
merah dengan hiasan berwarna hitam. Singa jenis ini dikenal sebagai Singa
Bangun (Xing Shi).
80
Gambar 3.8:
Singa Merah
Yang ketiga adalah Jeung Fei (Zhang Fei – 張 飛 ), singa ini memiliki
wajah hitam karena dikatakan bahwa Jenderal Jeung memiliki warna kulit muka
yang gelap. Warna hitam juga melambangkan jiwa muda, lugas, dan bersifat
memberontak yang merupaka ciri-ciri Zhang Fei. Singa jenis ini juga memiliki
ciri janggut hitam yang pendek dan tebal, kedua mata berwarna merah,
tekinganya menyerupai bentuk kembang kol, dan taring. Semua ciri-ciri ini
ditambahkan untuk memberi kesan mengancam pada singa. Ekornya diwarnai
dengan warna hitam dan putih dengan lonceng menghiasi tubuhnya, fungsi
lonceng ini untuk memberi peringatan, kira-kira sama dengan fungsi derik pada
ular derik. Selain itu, lonceng juga dipercaya memiliki kekuatan pada dunia
spiritual. Pada ikatan lehernya terdapat satu koin yang melambangkan
keberanian. Tanduk yang dipakai pada singa ini adalah tanduk besi, hal ini
81
didasari pada fakta bahwa singa ini merupakan Singa Petarung (Dou Shi) karena
sifat Jenderal Zhang yang senang bertarung.
Kemudian tiga jenis Singa ditambahkan pada jenis singa-singa Barongsai.
Yang pertama adalah Jiu Wan (Zhao Yun – 趙雲) atau Jiu Ji Lung (Zhau Zi Long
– 子 龍 ). Singa ini memiliki buntut berwarna hijau dengan janggut dan bulu
berwarna hitam serta sebuah tanduk besi. Zhao sering disebut sebagai saudara
keempat. Cerita yang berkembang menyebutkan ketika pasukan Lau Pei
dikalahkan dan kotanya dirampas oleh musuh, mereka dipaksa untuk keluar dari
kotanya. Di tengah kekacauan, Lau Pei terpisah dari keluarganya. Ketika
mendengar kabar ini, Jiu Wan pergi ke daerah kekuasaan musuh dan berhasil
menemukan dan menyelamatkan bayi laki-laki Lau Pei dengan cara menerobos
jutaan orang pasukan tentara musuh. Singa hijau ini dikenal sebagai Singa
Heroik/Perwira (Ying Xiong shi).
82
Gambar 3.9:
Singa Hijau
Singa berwajah kuning (lebih tepatnya kuning dengan corak jingga dan
kadang dikatakan memiliki warna dasar putih dengan pola kuning) dan tubuhnya
berwarna kuning serta janggut dan bulu berwarna putih/perak mewakili Wong
Jung (Huang Zhong – 黃忠), dia diberikan warna ini pada saat Lau Pei diangkat
menjadi Kaisar dan sejalan dengan nama depannya Wong yang jika diartikan
berarti warna “Kuning.” Untuk tanduknya, singa ini menggunakan jambul elang.
Singa ini dijuluki sebagai “Singa Kebenaran”.
83
Gambar 3.10:
Singa Kuning dengan corak jingga
Yang terakhir adalah singa dengan warna dasar putih yang dikenal
sebagai Ma Chiu (Ma Chao – 馬 超 ); Ma Chiu dilambangkan dengan warna ini
dikarenakan dia selalu menggunakan kain putih yang digulungkan di lengannya
ketika bertarung melawan Kaisar Negeri Wei, Chao Chao (Cao Cao), kain putih
ini berfungsi sebagai pengingat dukanya atas ayah dan adiknya yang dibunuh
oleh Chao Chao. Hal ini dikarenakan karena Chou Chou yang baru diangkat
sebagai Perdana Menteri yang baru mengetahui rencana mereka untuk
mengembalikan kejayaan Dinasti Han dengan cara merebut kekuasaan darinya.
Kemudian dalam peperangan Ma Chiu memiliki sepasukan tentara berjumlahkan
84
20.000 yang keseluruhannya menggunakan pakaian putih ketika melawan Chao
Chao. Berdasarkan cerita inilah singa putih sering disebut sebagai “Singa
Pemakaman”, sementara yang lain menyebutnya sebagai “Singa Berbakti”.
Gambar 3.11:
Singa Putih
Satu-satunya warna lain yang juga digunakan pada singa ini adalah hitam.
Pita putih dililitkan di daerah sekitar tanduk untuk melambangkan kain putih
yang digunakan oleh Ma Chiu. Singa jenis ini hampir tidak pernah
dipertontonkan untuk kepentingan umum kecuali untuk pemakaman seorang Sifu
(guru), petinggi-petinggi penting kelompok pertunjukan Barongsai (presiden),
dan bahkan dalam beberapa kasus Barongsai ini juga ikut dibakar untuk dapat
menemani jiwanya di akhirat. Namun seiring perkembangannya mengikuti
85
konteks hiburan, dalam pertunjukan Barongsai, jenis Singa Putih acapkali
ditampilkan. Pada saat penampilan di Vihara Maitreya pun singa ini turut
ditampilkan.
Oleh karena itu kelima jenis singa ini sering dikenal sebagai “Lima
Jenderal Macan Shu”, dan kelimanya juga disebut sebagai perwakilan dari lima
warna oleh kelima elemen.
3.5 Alat Musik
Bangsa Tionghoa membagi alat musik kedalam delapan kategori
berdasarkan pembagian oleh Ba Gua. Yang mengiringi pertunjukan Barongsai
adalah termasuk dalam kategori besi, kayu, dan kulit, yakni gong dan simbal
(besi), anak genta/clappers (kulit), dan tambur/gendang (kulit). Namun demikian,
seiring perkembangan waktu, penggunaan anak genta telah lama diganti
fungsinya dengan efek suara yang ditimbulkan dari pukulan stik pemukul pada
lingkaran sisi gendang, keduanya, sisi gendang maupun stik pemukul gendang
terbuat dari bahan kayu, sehingga menghasilkan bunyi yang sama seperti yang
dihasilkan oleh anak genta. Jumlah pemain musik pada pertunjukan Barongsai
yang ditampilkan pada perayaan Cap Go Meh adalah enam orang. Satu orang
memainkan gendang, satu orang memainkan gong, dan empat orang memainkan
simbal.
86
Gambar 3.12:
Pemain musik memainkan
alat musik pengiring Barongsai
Dalam pertunjukan musiknya, gendang dimainkan oleh satu orang
menggunakan sepasang pemukul/stik dari kayu. Bagian yang dipukul dari
gendang ini adalah bagian atas yang terbuat dari kulit dan juga bagian sisi luar
yang terbuat dari kayu. Suara gendang melambangkan suara singa atau raungan
singa yang mewakili suasana hati dan emosinya. Pemain gendang mengatur
bunyi yang pas untuk singa, namun apabila dimainkan dalam kelompok yang
telah terlatih, pemain gendang tidak perlu diberi komando, karena sudah dapat
mengikuti langkah dan pergerakan penari Barongsai. Banyak orang yang
berpikiran bahwa ritme yang dihasilkan oleh alat ensambel ini bersifat random
dan monoton, padahal terdapat aturan ketukan atau pola yang digunakan dalam
87
sebuah pertunjukan. Contohya dengan memainkan tempo yang cepat, pemain
mengarahkan Barongsai dalam suasana bahwa dia dalam keadaan bersemangat,
tempo yang cepat dengan suara pukulan-pukulan yang kuat, menandakan bahwa
sang singa sedang marah. Jika pemain musik memainkan tempo yang lambat dan
suara pukulan lembut, menandakan bahwa sang singa sedang behati-hati dan
berpikir, tempo lambat dan suara pelan serta sesekali ketukan irama yang
tersentak-sentak menandakan bahwa sang singa sedang sedih. Alat musik
gendang mewakili sosok Master dalam sebuah kelompok pertunjukan. Oleh
karena itu, apabila sang Master tidak ikut dalam pertunjukan, singa Barongsai
akan memberikan hormat kepada gendang dengan menekukkan ketiga kakinya.
Dan pula dalam tradisi etnik Tionghoa, gendang merupakan instrumen yang
dianggap paling penting, seperti dapat dilihat fungsinya yang dipakai saat perang,
dalam kehidupan sosial, fungsi dalam agama, dan juga untuk kepentingan
hiburan musikal.
88
Gambar 3.13
Alat Musik Gendang/Tambur (鼓/gǔ)
Terdapat kekeliruan terhadap bahan kulit yang dipakai untuk gendang,
banyak yang meyakini bahwa kulit itu adalah berasal dari kulit sapi dikarenakan
terjemahan langsung dari kata bahasa Tionghoa untuk kata lembu jantan. Lebih
tepatnya kulit bahan gendang berasal dari kulit kerbau air kemudian dikeringkan
oleh bahan minyak khusus. Kulit ini dipasang pada bingkai kayu kemudian
dipaku, setelah itu diketatkan menggunakan tali khusus, selain itu kertas kasa
yang juga digunakan pada tubuh Barongsai digunakan untuk melapisi bingkai
kayu. Pernis digunakan untuk memoles bahan kayu, bahan pernis berfungsi untuk
menjaga suara yang dihasilkan agar tidak keluar dari sisi-sisi yang terbuka. Untuk
89
mengeringkan kulit, biasanya dengan cara alami yaitu menjemurnya di bawah
sinar matahari.
Pada masyarakat Tionghoa, gong (luo) masuk kedalam kategori alat
musik lonceng. Alat musik ini dimainkan oleh satu orang menggunakan
pemukul/stik. Gong terbuat dari bahan metal dan stiknya dari bahan kayu.
Biasanya, gong dengan bentuk kecil kadang disebut dengan ling ( 鈴 ). Kata
‘lonceng’ dalam bahasa Tionghoa merupakan homonim untuk kata ‘perintah’ (令)
dan ‘dunia spiritual’ ( 靈 ). Oleh karena itu gong diyakini memiliki kuasa atas
dunia spiritual dan dapat memerintah mereka.
Gambar 3.14
Alat musik gong (锣/luó)
90
Dalam pertunjukan Barongsai yang dimainkan di Maha Vihara Maitreya,
simbal dimainkan oleh empat orang yang masing-masing memainkan sepasang
simbal. Simbal terbuat dari bahan metal. Berdasarkan tradisi Taoisme, alat musik
simbal (Nao Ba – 鐃 鏺 ) adalah sebuah alat musik ritual. Menurut sebuah buku
berjudul “Jade Book of Supreme Clarity” (Taiqing Yuche – 太清玉冊), dikisahkan
Chi You mengendarai harimau dan leopard dalam melawan Kaisar Kuning.
Kaisar Kuning kemudian membunyikan simbal untuk mengusir mereka, karena
binatang-binatang buas tersebut takut akan bunyi simbal. Selain itu, tulisan dalam
Buku YiBao (Yibao Jing Zhu – 夷寶經注) disebutkan bahwa “Dewa Tertinggi
Maha Suci dan Ptnyelamat dari Segala Kesengsaraan” (Taiyi Jiuku Tianzun – 太乙救苦天尊) menunggangi singa berkepala sembilan (Jiu Tou Shizi – 九 頭 獅 子)
yang ketika mengaum mengeluarkan suara seperti yang dihasilkan oleh simbal
dan dapat menghancurkan berbagai tingkatan neraka dengan suaranya (Lee,
2000).
91
Gambar 3.15
Alat musik simbal (钹/bó)
3.6. Delapan Emosi Utama Singa – Baht Ying (八形)
Para penari dalam memainkan kepala serta tubuh singa seiring dengan
permainan musik haruslah mampu menirukan/mencerminkan emosi manusia.
Ketika orang-orang menonton pertunjukan Barongsai, mereka harus dapat
melihat dan merasakan apa yang dirasakan atau dipikirkan oleh singa. Penonton
harus dapat mengerti emosi yang dirasakan singa ketika menonton tingkah
lakunya serta ketika mendengarkan ritme dari tabuhan gendang. Awalnya hanya
terdapat delapan emosi singa yang ditampilkan, namun kemudian ditambahkan
dalam cakupan yang lebih. Emosi yang awalnya delapan, kemudian dibagi lagi
ke dalam beberapa kelompok, namun Delapan Emosi Utama Singa (Baht Ying –
92
八 形 ) dibawah ini adalah yang umumnya dipakai oleh tim kesenian Barongsai,
begitu juga oleh tim Barongsai Maha Vihara Maitreya.
1. Hei/Xi (喜): senang, suka, cinta, menikmati hal-hal yang menggembirakan.
2. Nou/Nu (怒): marah
3. Ging/Jing (驚): takut
4. Lok/Le (樂): senang, puas, bangga, bahagia
5. Yi (疑): curiga, ragu, bertanya-tanya, waspada
6. Jeui/Zui (醉): mabuk
7. Seui/Shui (睡): tidur
8. Sing/Xing (醒): waspada, bangun, terkejut
Tambahan:
Oi/Ai (哀): sedih
Sīwéi (思维): berpikir
Yù (欲): menginginkan, hasrat
Dēngshān (登山): naik gunung
Xiàshān (下山): turun gunung
Delapan emosi utama dan cara penonton melihat Barongsai menunjukkan
perasaannya:
1. Tidur: tabuhan gendang bergulir, penari masuk dalam posisi hampir duduk
sementara kepalanya menoleh ke kiri dan ke kanan, kelopak mata secara
93
perlahan tertutup dan terbuka secara berulang-ulang hingga akhirnya
matanya benar-benar tertutup.
2. Kaget/terkejut: Barongsai dimainkan seperti mencari air minum, ketika dia
melihat bayangannya sendiri atau bayangan sesuatu yang terlihat di
pandangannya, Barongsai akan mengedipkan matanya dan lompat ke
belakang kemudian mengedipkan matanya lagi.
3. Curiga/waspada/berpikir: Barongsai melihat kepada suatu objek atau situasi,
memerhatikannya dari atas ke bawah dan kiri ke kanan dengan gerakan yang
lambat dan waspada, sementara musik yang dimainkan bersifat lembut,
pelan, lambat, dan berulang-ulang.
4. Ketakutan: Badan Barongsai gemetaran. Beberapa kelompok pertunjukan
Barongsai cenderung menggoyangkan badannya terlalu cepat dan bukan
terlihat ketakutan, Barongsai justru kelihatan seperti seekor anjing yang
terengah-engah.
5. Mabuk: Seperti halnya manusia yang kakinya goyah kemudian tersandung
dan jatuh apabila dalam keadaan mabuk, begitu pula dengan Barongsai ini.
Sama juga seperti orang mabuk, Barongsai akan mencoba untuk bangkit,
namun kemudian jatuh lagi. Matanya terlihat sayu dan berat, antara
membuka dan menutup, terlihat canggung. Gerakan mulut dimainkan sama
dengan gerakan mata.
6. Marah: mulut ditutup, kepala diangkat tinggi, melangkah dengan cepat dan
mantap, kepala bergerak-gerak dari atas ke bawah dengan kecepatan tinggi.
94
Melakukan gerakan kaki menghusap janggut (terkadang sering
disalahartikan dengan membersihkan janggut).
7. Senang/bahagia: mulut terbuka, langkah dan gerakannya mirip dengan
seorang anak kecil yang mendapatkan hadiah yang diinginkannya disaat hari
ulang tahunnya. Ekor bergerak-gerak seperti seekor anjing yang gembira
melihat tuannya.
8. Sedih: emosi ini utamanya ditampilkan pada saat pemakaman. Barongsai
akan akan bergerak sangat perlahan dengan berat hati, berkalan selangkah,
dua langkah, berhenti pada interval, kemudian melangkah lagi. Disaat
berjalan, matanya setengah tertutup kemudian tertutup, dan berulang terus.
Barongsai akan terlihat seolah-olah mengambil napas yang dalam kemudian
menghembuskannya seolah-olah sedang mendesah dengan beratnya. Emosi
ini tidak akan ditampilkan pada perayaan yang ditujukan untuk membawa
kebahagiaan dan keberuntungan untuk menghidupkan perayaan.
Pada tambahan emosi Barongsai terdapat pergerakan dimana Barongsai
diceritakan melakukan perjalanan naik gunung dan turun gunung. Disini para
pemainnya melakukan atraksi akobatik. Gunung dilambangkan dengan tiang-
tiang dari besi. Ketua tim Barongsai Maitreya, Chandra Tio, menjelaskan bahwa
pada fase ini adalah fase terlama dalam rangkaian pertunjukan Barongsai, karena
dikisahkan medan yang dihadapi oleh singa hingga sampai ke puncak gunung
sangatlah panjang, begitu juga perjalanannya untuk turun gunung.
95
3.7 Etika Dalam Pertunjukan Barongsai
Terdapat banyak etika yang harus dipatuhi ketika barongsai akan
dipertontonkan ke depan publik. Di manapun barongsai dimainkan, etika yang
harus dipatuhi adalah harus memberikan hormat/salam di awal dan akhir
pertunjukan. Dalam melakukan penghormatan, Barongsai akan menekukkan
kakinya sebanyak tiga kali. Hal ini untuk melambangkan surga, bumi, dan
manusia. Terdapat beberapa arah penghormatan dalam pertunjukan Barongsai.
Arah yang pertama dimulai dari kiri, kanan, dan berakhir di tengah. Arah-arah ini
melambangkan naga hijau, macan putih, dan pusat segala sesuatu. Yang kedua
adalah dimulai dari tengah, kanan, dan kiri. Cara ini mengikuti tradisi dimana
tempat pertunjukan baik kuil maupun halaman istana, bagian tengah adalah
bagian yang terpenting, tempat bertahtanya dewa-dewa penting atau Kaisar.
Sementara dewa-dewa golongan kedua atau para menteri sipil duduk di sebelah
kanan. Dan yang terakhir adalah dewa-dewa umum atau para jenderal duduk di
sebelah kiri.
96
Gambar 3.16
Pemain Barongsai memulai pertunjukan
dengan memberi hormat
Dengan memakai figur singa yang sikapnya selalu waspada, Barongsai
akan selalu mengecek belakang mereka memerhatikan apakah ada yang
membuntutinya. Jika Barongsai dalam menolak bala dan mengusir kesialan pada
sebuah rumah, terlebih dahulu mereka akan membaca tulisan di ambang pintu
setelah menggigit pintunya. Kemudian Barongsai akan mengintip ke dalam
rumah melalui ambang pintu melalui kedua sisi kiri dan kanan untuk melihat
apakah situasi aman. Sebelum masuk, Barongsai akan membersihkan pintu
masuk dari segala nasib buruk. Barongsai akan bergerak dari arah kiri ke kanan,
dan mengitari pintu searah jarum jam. Gerakan ini dilakukan untuk
menggambarkan urutan alami dari matahari terbit hingga tenggelam. Setelah
97
masuk ke dalam rumah, Barongsai akan membungkuk kepada para penghuni
rumah sebelum dan sesudah menerima angpao.
3.8 Pertunjukan Barongsai
Pada awalnya barongsai merupakan jenis tarian upacara yang bersifat
sakral dan magis, meskipun seiring perkembangannya hingga sekarang,
Barongsai dapat dikategorikan pula sebagai tarian untuk kepentingan pertunjukan
sebagai hiburan. Untuk itu penulis merasa perlu mengikuti jalannya pertunjukan
Barongsai dengan menggunakan instrumen yakni wawancara, observasi dan
dokumentasi, agar penelitian lebih akurat. Berikut jalannya pertunjukan.
Pada hari Selasa, tanggal 7 Februari 2012, peneliti mengamati masyarakat
Tionghoa di Maha Vihara Maitreya menyelesaikan kegiatan sembahyang Cap Go
Meh pukul 18.00 WIB. Setelah selesai sembahyang, barulah pertunjukan
barongsai dimulai pada pukul 19.00 WIB. Pertama-tama yang tampil adalah tiga
barongsai, yakni Singa Hijau, Putih, dan Hitam yang diiringi dengan musik–
terdiri dari gendang, simbal, dan gong–yang dimainkan oleh enam orang. Pada
saat memulai pertunjukan, terlebih dahulu pemain Barongsai memberikan
penghormatan kepada para dewa di tempat terpisah dari penonton (bagian dalam
vihara) dengan sikap menekukkan ketiga kaki mereka menghadap ke arah tengah,
kanan, dan kiri. Arah tengah ini diyakini sebagai pusat segala sesuatu, dan dewa
98
tertinggi duduk di tengah.17 Setelah itu mereka berbalik dan keluar ke arah
penonton.
Selanjutnya barongsai terus menari dengan iringan musik. Gerakan tarian
yang ditampilkan ini berdasarkan pada emosi-emosi utama Barongsai, jadi
mereka tidak hanya asal memperagakan gerakan.18 Pertunjukan Barongsai ini
terbagai ke dalam dua sesi. Sesi pertama merupakan pertunjukan yang
menampilkan emosi-emosi dasar, seperti bangun tidur, waspada, bingung,
mengamati dengan menampilkan gerakan sederhana dan tidak terlalu akrobatik
diringi musik yang lambat menuju sedang.
Gambar 3.17
rtunjukan Barongsai di sesi pertama
17Wawancara dengan pengurus Vihara bernama Salim
18 Wawancara dengan salah satu pemain Barongsai bernama Vincent
99
Sesi pertama berkahir pada pukul 20.30 WIB, dan para pemain jeda
selama 30 menit. Sesi kedua dimulai pada pukul 21.00 WIB. Dalam sesi kedua
ini mereka melanjutkan pertunjukan dengan menampilkan gerakan-gerakan yang
lebih kompleks dan akrobatik, seperti gerakan marah, mabuk, kaget, dan
gembira. Jenis Barongsai yang ditampilkan adalah Singa Hijau, Kuning, Merah,
dan Hitam, dengan iringan musik dari tempo sedang menuju cepat. Klimaks
pertunjukan sesi kedua ini adalah adegan Barongsai menaiki gunung dan
menuruni gunung (pada pertunjukan ini gunung dilambangkan dengan tiang-tiang
serta meja). Adegan terakhir ini merupakan adegan dengan durasi terlama, karena
memang disiapkan untuk menjadi sajian pertunjukan yang spektakuler.
Gambar 3.18
Pertunjukan Barongsai di sesi kedua
100
Pertunjukan Barongsai berakhir dengan turunnya Barongsai dari gunung,
yang dilanjutkan dengan masuknya Singa Hitam, Putih, dan Hijau yang berjalan
mengelilingi arena pertunjukan. Selama barongsai berkeliling, para penonton
memberikan angpao yang dimasukkan melalui mulut barongsai.
Setelah pertunjukan usai, peneliti mewawancarai tiga orang penonton,
terdiri dua orang Tionghoa, penonton tua dan muda, dan satu orang penonton dari
kalangan non-Tionghoa guna meminta tanggapan mereka akan pertunjukan
Barongsai yang baru usai. Di bawah ini adalah hasil wawancara dengan
ketiganya:
Saya sebagai orang Tionghoa yang gemar menonton Barongsai, sehingga setiap tahun seusai sembahyang saya tidak pernah melewatkannya. Menurut saya pertunjukan tadi sangatlah menghibur, tapi dibalik sifatnya yang menghibur tadi, saya meyakini bahwa pertunjukan Barongsai yang ditampilkan juga menyajikan nilai-nilai spiritual karena kami meyakini fungsinya untuk menolak segala kesialan dan bala di perayaan Cap Go Meh ini. (Wijaya, 57 tahun).
Saya senang dan terhibur lihat Barongsai. Ikut mami papi lihat ini. Saya paling senang kalau Barongsai sudah naik ke atas tiang. Lebih senang lagi ketika memasukkan angpao ke dalam mulutnya, karena saya bisa memegang Barongsai. (Shilin, 11 tahun).
Saya baru kali ini menyaksikan pertunjukan Barongsai, kesan yang saya dapat, warna merah yang paling mencolok. Barongsai ini seperti hewan hidup yah, apalagi ketika dia mengedipkan matanya. Unsur ritme musiknya kental, tanpa melodi, saya dengarnya sama terus dari awal sampai akhir, yang kedengaran suara gendang sama simbalnya itu. Karena penonton yang menyaksikan ramai sekali, saya jadi sedikit bosan. Nggak ada interaksi. Overall penilaian saya untuk Barongsai ini cukup menghibur lah (Andro, 22 tahun)
101
3.9 Fungsi Pertunjukan Barongsai
Pertunjukan barongsai adalah pertunjukan yang menampilkan gerakan
tari, meskipun sebagian juga mengelompokkannya ke dalam seni bela diri
ataupun akrobatik. Pada pembahasan ini terlebih dahulu akan dibahas fungsi
Barongsai dalam perspektif tari. Substansi tari adalah gerak. Gerak adalah
pengalaman fisik yang paling elementer dalam kehidupan manusia. Gerak ini
tidak hanya terdapat dalam denyutan-denyutan di seluruh tubuh manusia untuk
tetap dapat bertahan hidup, namun gerak juga terdapat pada ekspresi dari segala
pengalaman emosional manusia. Gerakan ekspresif itu disebut dengan Tari
(Martin, 1933).
Menurut pola garapannya, awalnya pertunjukan Barongsai merupakan
jenis tarian tradisional. Disebut sebagai tari tradisional karena Barongsai telah
mengalami perjalanan sejarah yang lama dan selalu bertumpu pada pola-pola
yang sudah ada. Tari tradisional sendiri dibagai lagi ke dalam tiga sub-divisi,
yakni tari primitif, tari klasik, dan tari rakyat.19 Berdasarkan sub-divisi ini ini
pertunjukan Barongsai dapat diklasifikasi sebagai tarian klasik dan tarian rakyat.
19Dalam bukunya Praktik Tari Minang (1999), Arifni Netriroza menyebutkan tiap pengertian dari tari: Tarian primitif (sederhana) adalah tarian yang memiliki bentuk gerak yang belum digarap secara koreografis, gerakan dan iringan musiknya masih sangat sederhana, begitu juga dengan pakaian dan tata riasnya. Tarian klasik adalah bentuk tarian yang semula berkembang di kalanagan raja/bangsawan dan telah mencapai kristalisasi artistik yang tinggi dan telah menempuh perjalanan sejarah yang cukup panjang, sehingga memiliki nilai tradisional. Tarian rakyat adalah jenis tarian yang berasal dari rakyat, dan berkembang di kalangan rakyat itu sendiri
102
Jika dilihat berdasarkan fungsinya, maka pada mulanya Barongsai
dikelompokkan ke dalam jenis tarian upacara20 yang bersifat sakral dan magis,
meskipun seiring perkembangannya hingga sekarang, Barongsai dapat
dikategorikan pula sebagai tarian untuk kepentingan pertunjukan sebagai hiburan
atau concert dance21.
Beberapa alasan yang mendukung pengelompokan tarian Barongsai
sebagai tarian upacara adalah:
1. Gerakan tarinya yang imitatif. Pertunjukan Barongsai menirukan gerakan
seekor singa.
2. Penghayatan tari terbatas pada lingkungan adat dan tradisi masyarakat
empunya kesenian.
3. Terdapat suasana mistis, magis, dan religius. Awal kesenian Barongsai
bertolak pada keyakinan bahwa singa adalah pelindung ajaran agama
Buddha, sehingga Barongsai yang menirukan sosok singa memiliki
peranan yang sama dalam tradisi Tionghoa. Selain itu Barongsai juga
memiliki fungsi sebagai sosok pengusir roh-roh jahat dan kesialan, dan
Barongsai diyakini juga sebagai utusan para dewa untuk melindungi umat
manusia.
4. Iringan musik baik ritme maupun instrumennya sangat sederhana,
terdengar monoton namun menggugah.
20Tarian upacara adalah jenis tarian yang khusus berfungsi sebagai sarana upacara agama dan adat dan banyak dijumpai pada tradisi-tradisi yang memiliki tradisi kuat.21 Concert dance adalah jenis tarian yang ditujukan untuk pertunjukan sebagai hiburan bagi khalayak ramai.
103
5. Dalam konteks tradisional dan kepentingan ritual, Barongsai tidak
mengenakan properti, make up, dan tata panggung (sound system,
lighting, dan dekorasi) yang begitu rumit.
Curt Sach mengutarakan bahwa fungsi tari secara garis besar dapat
dikelompokkan menjadi dua, yakni untuk tujuan-tujuan magis dan sebagai
tontonan (dalam Soedarsono, 1985a: 18). Sedangkan Soedarsono mengkaji tari
dan mengelompokkan tari ke dalam tiga kelompok, yakni: (1) tari sebagai sarana
upacara, (2) tari sebagai hiburan pribadai, dan (3) tari sebagai tontonan
(Soedarsono (1985a:18).
Penggolongan yang telah dibuat oleh pakar tari ini mengindikasikan
bahwa Barongsai, sebagai suatu tindakan simbolik, merupakan sarana
komunikasi manusia ke tiga arah: (1) “Yang Ilahi”, (2) “Alam-dunia”, dan (3)
“Sesama Manusia”, termasuk dirinya sendiri. Dalam komunikasi itu, manusia
mencoba mengekspresikan diri lewat gerak-gerak tertentu dari bagian tubuh
tertentu. Ekspresi itu dapat berupa penggambaran pendambaan, kemarahan,
kegembiraan, kesedihan. Menilik sifatnya, secara garis besar Barongsai dapat
digolongkan sebagai tarian sakral/religius dan profan/sekuler.
Sifat sakral atau religius pertunjukan Barongsai dapat dilacak pada fungsi
aslinya sebagai upacara ritual pembersihan roh jahat dan penolak bala. Sifat ini
dapat dilihat juga melalui penciptaan awal ksotum Barongsai yang memiliki
filosofi dan nilai seni tinggi menurut tradisi masyarakat Tionghoa. Ciri-ciri
Barongsai yang bersifat ritual juga dapat ditilik dari awal sejarah kemunculannya
104
yang selalu dimainkan pada waktu, tempat, dan golongan penonton yang telah
terpilih.
Pergeseran makna terjadi di masa kini ketika Barongsai ini mulai
dipertunjukkan dalam konteks hiburan dan tontonan umum. Bahkan Barongsai
kini juga sudah mulai dipentaskan untuk kepentingan lomba. Penonton yang
menyaksikan pertunjukan Barongsai tidak terbatas pada masyarakat Tionghoa
saja, namun dapat disaksikan oleh siapa saja. Barongsai juga tidak hanya
ditampilkan di kuil saja, namun dapat dipanggil ke rumah, dan juga mengisi
hiburan untuk perayaan hari kemerdekaan, peresmian gedung. Meskipun untuk
tujuan hiburan, pertunjukan Barongsai masihlah tetap berakar pada filosofi dan
keyakinan untuk menolak segala bala dan nasib buruk.
Berkaitan dengan fungsi mengacu pada teori Use and Function oleh Alan
P. Merriam, fungsi pertunjukan Barongsai adalah sebagai berikut:
1. Pengungkapan Emosional
Dalam pertunjukan Barongsai, terdapat delapan emosi utama (Baht Ying).
Penonton yang menyaksikan pertunjukan diharapkan mampu menangkap maksud
dari setiap pergerakan yang dilakukan Barongsai. Oleh karena itu, setiap gerakan
yang dimainkan oleh pemain Barongsai tidaklah sama dari awal hingga akhir,
namun berbeda-beda tiap fasenya. Pengungkapan emosi Barongsai disini dapat
dikatakan meniru ekspresi manusia, dimana ada emosi takut, senang, marah,
mabuk, dan lain sebagainya.
2. Kenikmatan Estetis
105
Dalam pertunjukan Barongsai menggunakan topeng dan kostum
menyerupai singa. Topeng dan kostum ini memiliki warna-warna yang indah bila
dipandang mata. Setiap gerakan yang ditampilkan oleh Barongsai pun
mempertontonkan gerakan yang bersemangat dan indah ketika ditampilkan.
3. Hiburan
Seperti yang sudah diungkapkan di atas, Barongsai berkembang sifatnya
menjadi tontonan hiburan. Setiap masyarakat, baik masyarakat Tionghoa maupun
di luar masyarakat Tionghoa diharapkan mampu mendapatkan kesenangan ketika
menonton Barongsai serta musik pengiringnya ditampilkan. Bahkan sekarang
pun kesenian Barongsai sudah banyak yang dilombakan, untuk menambah kesan
menghibur pada sifatnya.
4. Komunikasi
Dalam konteks sebagai pertunjukan tradisional dan sakral, Barongsai
bertujuan untuk mengkomunikasikan makna yang terkandung di dalamnya. Para
pemain pun dididik untuk dapat menyampaikan pesan apa yang dibawa
Barongsai dalam masing-masing gerakannya.
5. Representasi Simbolis
Topeng dan kostum Barongsai mengandung simbol-simbol berdasarkan
filosofi dan sejarah masyarakat Tionghoa. Dalam setiap pertunjukan, setiap
topeng dan kostum Barongsai harus memiliki tiap simbol yang ada, karena
simbol-simbol ini memiliki peran krusial dan harus dipatuhi bila Barongsai
ditampilkan dalam konteks pertunjukan tradisional.
106
6. Fungsi Respon Fisikal
Ketika musik mulai dimainkan, para penari Barongsai akan merespon
dengan bergerak dan mengatur langkah sejalan dengan ritme. Hentakan ritme
dari alat musik tidak hanya berpengaruh pada pemain saja, namun juga
berpengaruh terhadap penonton, dimana mereka menjadi bersemangat ketika
terlibat dalam euforia yang terjalin antara gerakan-gerakan Barongsai dan
hentakan-hentakan dari alat musik.
7. Fungsi Validasi Lembaga-lembaga Sosial dan Ritual Keagamaan
Dalam konteks tradisional dan religi, Barongsai dipercaya memiliki
fungsi untuk mengusir bala serta hawa jahat dari tempat suci seperti kuil maupun
istana. Setelah Barongsai mengusir segala macam bala kejahatan, dipercaya
keberuntungan akan datang melingkupi tempat dimana Barongsai dimainkan.
Figur singa pada sosok Barongsai juga diyakini sebagai hewan pelindung agama
Buddha. Dalam praktik modern, pertunjukan Barongsai tidak lagi hanya sebatas
dimainkan di dalam kuil ataupun istana tempat tinggal raja, melainkan mereka
dapat diundang untuk mengisi perayaan Hari Kemerdekaan, juga diundang untuk
bermain dalam peresmian gedung atau institusi baru. Kebiasaan ini diyakini
berangkat dari kepercayaan tradisional, yang mana diyakini Barongsai akan
membawa keberuntungan pada tempat dia bermain.
107
8. Fungsi Kontribusi Demi Kelangsungan dan Stabilitas Budaya
Barongsai dinilai sebagai warisan budaya masyarakat Tionghoa.
Pelakasanaan pertunjukannya haruslah tetap dilaksanakan, karena dalam
pertunjukan Barongsai terkandung banyak sekali nilai-nilai filosofi budaya
Tionghoa, seperti contohnya Barongsai merepresentasikan cerita rakyat dalam
sejarah permainannya, dalam pertunjukan Barongsai juga sangat lekat dengan
kesenian pertunjukan Opera Cina serta ilmu bela diri Tionghoa, yang
kesemuanya haruslah tetap dipertahankan eksistensinya, dan Barongsai
merupakan salah satu media untuk meneruskan nilai-nilai dan tradisi-tradisi
kepada generasi muda masyarakat Tionghoa.
9. Pengintegrasian Masyarakat
Ketika pertunjukan Barongsai dimainkan, masyarakat Tionghoa sebagai
pemilik kebudayaan sudah pasti akan berkumpul untuk menyaksikannya, mereka
berkumpul untuk memetik makna pertunjukan tersebut, yakni mengusir roh jahat
dan kesialan, serta mengundang keberuntungan dan nasib baik. Pada praktik
modern, seperti yang terjadi pada perayaan Cap Go Meh di Maha Vihara
Maitreya, masyarakat non-Tionghoa pun banyak yang hadir untuk menyaksikan
pertunjukan Barongsai, ini dikarenakan mereka ingin melihat pertunjukan yang
sifatnya menghibur mereka. Jadi dapat dilihat disini, bahwa fungsi Barongsai
untuk mengintegrasikan masyarakat bukan hanya terhadap masyarakat pemilik
kebudayaannya, namun juga masyarakat diluar kebudayaannya.
108
BAB IV
TRANSKRIPSI DAN ANALISIS
4.1 Transkripsi
Transkripsi dan analisis musik penting dilakukan untuk mendeskripsikan
apa yang penulis dengar dan menuliskannya ke dalam bentuk visual (tulisan), dan
kemudian menganilisis peristiwa musik yang terjadi ketika pertunjukan sedang
berlangsung. Nettl (1964:98) menyatakan bahwa transkripsi adalah proses
penotasian bunyi, mengalihkan bunyi menjadi simbol visual. Pentranskripsian
bunyi adalah suatu usaha mendeskripsikan musik.
Dalam pentranskripsian musik, penulis tidak mentranskripsikan
keseluruhan repertoar musik, namun membatasi hanya pada beberapa bagian
saja. Sistem pentranskripsian ini menggunakan notasi Barat, karena penulis ingin
tahu pasti aspek-aspek musikal seperti ritme dan tanda jeda. Metode yang
digunakan adalah metode preskriptif.
4.2 Analisis Struktur Ritme
Musik Barongsai dimainkan dengan durasi 210 menit dan menggunakan
birama 4/4. Repertoar Barongsai terdiri dari tiga pola ritme, yakni pembuka, isi,
dan penutup. Dalam hal ini bahagian pembuka disebut dengan Barongsai I.
109
Kemudian bahagian isi disebut barongsai II. Sedangkan bahagian penutup disebut
barongsai III. Dari hasil transkripsi ritme, penulis mendapat ritme sebanyak 204
birama.
4.2.1 Bahagian Pembuka atau Barongsai I
Dengan menggunakan teknik transkripsi seperti diurai di atas, maka hasil
yang terlihat dalam system yaitu hubungan antara simbal, gendang (drum), dan
gong adalah seperti dapat dilihat dalam bentuk visual notasi-notasi berikut ino.
Khusus untuk bahagian pembuka atau Barongsai I ini dalam bentuk notasi adalah
seperti pada Notasi 4.1 berikut ini.
110
Notasi 4.1:
Bahagian Pembuka atau Barongsai I
1
111
Bagian pembuka dimainkan dengan tempo cepat Allegro =152, MM
(cepat, gembira, dan hidup) terdiri dari 16 birama. Formulanya terdiri dari ritme
(1/4), (1/8), dan (1/16). Sifat ritme yang dimainkan berupa repetisi yang
terdiri dari 16 birama, dengan tempo konstan, yakni tidak ada ritme yang
Accelerando (makin lama makin cepat) maupun Rallentando (makin lama makin
lambat), sehingga dapat dikatakan bahwa permainan ketiga instrumen tetap
konsisten.
Hubungan antara simbal, drum, dan gong adalah sebagai berikut. Simbal
membawakan ritme yang berkecederungan dupel yaitu dalam satu ketukan dasar
dibagi dua. Juga dalam beberapa ketukan dasarnya menggunakan tanda istirahat.
Sementara gendang memainkan ritme yang cenderung kuadrupel dan dupel, dan
paling banyak memunculjan kuadruple, yaitu dalam satu ketukan dasar dibagi
empat. Sementara gong secara konsisten mengisi setiap dua ketukan, yang terdiri
dari pengisian ketukan pertama dan ketiha, dan menggunakan tanda istirahat not
seperempat pada ketukan kedua dan keempat.
Ketiga permainan alat musik ini yaitu simbal, gendang, dan gong
dihubungkan oleh persamaan jatuh pada pukulan arsis (pukulan kuat). Hanya
sesekali saja gendang memainkan pukulan di bahagian tesis (lemah). Ini
menandakan bahwa ritme yang dibangun adalah tegas pada ketukan-ketukan kuat
bukan sebaliknya.
Pola-pola penggarapan masing-masing a;at musik pembawa ritme ini
adalah terikat dalam meter empat dalam birama 4/4. Dalam konteks ini
112
penggarapan durasi berdasarkan pengisian birama tersebut dapat digambarkan
pada notasi 4.2 berikut ini.
Notasi 4.2:
Penggarapan Durasi Tiga alat Musik
pada Repertoar Barongsai I Berdasarkan Birama
Selanjutnya, stiap alat musik, baik itu gong, simbal, dan gendang,
menghasilkan pola-pola ritme dan motifnya, terutama gendang dan simbal.
Sedangkan gong hanya menghasilkan satu motif ritme saja, yaitu gabungan not
seperempat dan tanda istirahat seperempat setiap dua ketukan dasar. Sementara
gendang memiliki pola ritme dan motif yang relative banyak (kaya) dibandingkan
dua alat music lainnya. Kemudian simbal juga memiliki beberapa pola ritme dan
motif-motifnya. Selengkapnya pola-pola ritme dan motif-motif ritme pada music
113
barongsai bahagian pembuka (Barongsai I) adalah seperti analisis pada notasi 4.3
berikut ini.
Notasi 4.3:
Pola Ritme dan Motif Ritme Simbal, Gendang, dan Gong
pada Repertoar Barongsai I
114
4.2.2 Bagian Isi (Barongsai II)
Pada bagian isi, permainan musik terdiri dari 67 birama, dimainkan
dengan tempo cepat Allegreto = 100 MM, dengan formula ritme (1/4),
(1/8), dan (1/16), dan bersifat repetisi. Dalam fase ini, pada birama 1-5, terdapat
Accelerando-Rall. Emosi yang ditampilkan pada bagian ini adalah baru bangun
dari tidurnya dan hendak meminum arak dalam keadaan terkantuk-kantuk. Pada
birama 6-9, kembali bersifar Accelerando-Rall, dimana singa terus meminum
arak sembari mengelilingi area pertunjukan. Pada birama 10-22 terdapat simbol
(fermata), dimana singa mulai terhuyung-huyung karena mabuk. Pada
birama 23-31 adalah bagian ketika singa mabuk dan menaiki meja sambil
berputar-putar. Pada birama 32-56 adalah bagian singa terus berputar di atas meja
tetap dalam keadaan mabuk sambil memandang ke sekeliling. Pada birama 57-67
adalah bagian singa turun dari meja dan sesampai di lantai barulah singa menjadi
sadar.
Hubungan permainan ritme antara simbal, gendang dan gong adalah
sebagai berikut. Alat musik simbal membawakan ritme yang berkecederungan
dupel yaitu dalam satu ketukan dasar dibagi ke dalam dua not yang sama
nilainya, yakni masing-masing setengah ketukan. Kemudian dalam beberapa
ketukan dasarnya menggunakan tanda istirahat. di sisi lain alat music gendang
memainkan ritme yang cenderung kuadrupel dan dupel, dan paling banyak
memunculkan kuadruple, yaitu dalam satu ketukan dasar dibagi empat.
115
Sementara gong secara konsisten mengisi setiap dua ketukan, yang terdiri dari
pengisian ketukan pertama dan ketiha, dan menggunakan tanda istirahat not
seperempat pada ketukan kedua dan keempat.
Notasi 4.4:
Bahagian Isi atau Barongsai II
116
117
118
119
Permainan ketiga alat musik dalam ensambel barongsai ini yaitu simbal,
gendang (drum), dan juga gong, dihubungkan oleh persamaan jatuh pada pukulan
arsis (pukulan kuat). Hanya sesekali saja gendang memainkan pukulan di
bahagian tesis (lemah). Teknik permainan seperti ini menandakan bahwa ritme
yang dibangun adalah tegas pada ketukan-ketukan kuat bukan sebaliknya.
Dampak musikalnya adalah untuk menguatkan kesan gerakan-gerakan penari
barongsai dalam melangkah sesuai dengan ketukan kuat.
Formula atau format penggarapan masing-masing a;at musik pembawa
ritme ini adalah terikat dalam meter empat dalam tanda birama atau tanda sukat
4/4. Dalam kaitan ini, penggarapan durasi berdasarkan pengisian birama tersebut
dapat digambarkan pada notasi 4.5 berikut ini.
Notasi 4.5:
Penggarapan Durasi Tiga alat Musik
pada Repertoar Barongsai II Berdasarkan Birama
120
Seterusnya masing-masing alat musik ensambel pengiring tarian
barongsai ini, yaitu gong, simbal, dan gendang, menghasilkan pola-pola ritme
dan motifnya, terutama gendang dan simbal. Di lain sisi, gong secara khusus
hanya menghasilkan satu motif ritme saja, yaitu gabungan not seperempat dan
tanda istirahat seperempat setiap dua ketukan dasar. Alat musik gendang (drum)
memiliki pola ritme dan motif yang relatif lebih bervariasi atau variatif,
dibandingkan dua alat music lainnya, yatu gong dan simbal. Sementara itu
simbal juga memiliki beberapa pola ritme dan diperkaya dengan motif-mor=tif
ritmenya. Secara lengkap pola-pola ritme dan motif-motif ritme pada musik
barongsai Bahagian Isi (Barongsai II) adalah seperti analisis pada Notasi 4.6
berikut ini.
121
Notasi 4.6:
Pola Ritme dan Motif Ritme Simbal, Gendang, dan Gong
pada Repertoar Barongsai II
122
123
124
125
4.2.3 Barongsai III
Akhirnya di bagian penutup, permainan musik dimainkan dengan tempo
sangat cepat Vivace = 172 MM, terdiri dari 124 birama. Pada birama 1-15
permainan musik sangatlah bersemangat, karena bagian ini merupakan bagian
singa ketika berjalan menuju gunung. Pada birama 60-86, permainan instrumen
menjadi Spicanto (pukulan ritme dimainkan dengan jelas satu per satu), saat ini
singa sedang menari dengan gerakan akrobatik di puncak gunung, melambangkan
keperkasaan. Pada birama 87-124, permainan ritme menjadi Vigoroso
(bersemangat dan bertenaga) dan Maestoro (mulia, agung), dimana singa mulai
turun gunung dengan mantap dan berkahir dengan berjalan di area bawah
(kembali turun ke bumi) dengan bangganya karena sudah berhasil menaklukkan
gunung yang tinggi. Pada akhir not diberikan dinamik Sforzato-piano, fp. ,
yakni ditekan kuat lalu segera menjadi lembut.
126
Notasi 4.7:
Bahagian Penutup atau Barongsai III
127
128
129
130
131
Formula atau format penggarapan dimensi waktu untuk masing-masing
alat musik pembawa ritme ini adalah terikat dalam meter empat dalam tanda
birama atau tanda sukat 4/4. Dalam kaitan ini, penggarapan durasi berdasarkan
pengisian birama tersebut dapat digambarkan pada notasi 4.8 berikut ini.
Notasi 4.8:
Penggarapan Durasi Tiga alat Musik
pada Repertoar Barongsai III Berdasarkan Birama
Setelah itu, maka masing-masing alat musik ensambel pengiring tarian
barongsai ini, yaitu gong, simbal, dan gendang, menghasilkan pola-pola ritme
dan motifnya, yang bervariasi adalah terutama gendang dan simbal. Di tempat
yang lain, gong secara khusus hanya menghasilkan satu motif ritme saja, yaitu
gabungan not seperempat dan tanda istirahat seperempat setiap dua ketukan
dasar. Alat musik gendang (drum) memiliki pola ritme dan motif yang relatif
132
lebih variatif, dibandingkan dua alat music lainnya, yatu gong dan simbal.
Sementara itu simbal juga memiliki beberapa pola ritme dan diperkaya dengan
motif-mortif ritmenya. Pola-pola ritme dan motif-motif ritme secara lengkap pada
musik barongsai Bahagian Penutup (Barongsai III) adalah seperti analisis pada
Notasi 4.9 berikut ini.
133
Notasi 4.9:
Pola Ritme dan Motif Ritme Simbal, Gendang, dan Gong
pada Repertoar Barongsai III
134
135
136
137
138
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Setelah diuraikan secara terperinci dari bab satu sampai empat, maka pada
Bab V ini, penulis akan menyimpulkan dan memberikan saran terhadap
penelitian ini. Adapun kesimpulan dibuat untuk mmenjawab dua pokok masalah
utama seperti yang telah ditentukan di Bab I, yaitu bagaimana fungsi dan bentuk
musikal pertunjukan barongsai. Maka penulis membuat kesimpulan sebagai
berikut.
Pertama, fungsi pertunjukan Barongsai pada masyarakat Tionghoa di
perayaan Cap Go Meh adalah sebagai pertunjukan hiburan, namun tetap berakar
pada nilai filosofi tradisional, yakni untuk menolak kesialan dan bala di
rangkaian perayaan Tahun Baru, dan mereka meyakini pertunjukan Barongsai
mampu mendatangkan keberuntungan yang baik dalam menyongsong hari yang
baru setelah Cap Go Meh.
Kedua, format struktur musikal yang terkandung dalam permainan musik
pertunjukan Barongsai adalah bervariasi dan tidak sama dari awal hingga akhir.
Ritme yang dimainkan untuk mengiringi gerakan Barongsai sama saja, namun
setelah diadakan penelitian didapati fakta bahwa tiap gerakan diiringi oleh
139
repertoar musik yang berbeda bergantung pada emosi dan gerakan apa yang
ditampilkan. Dalam hal ini, fungsi musik pada pertunjukan Barongsai hanya
sebagai musik pengiring yang dimainkan secara Metronomic Sence, yakni pola
ritme sudah termemori di dalam pikiran pemain musik dan juga penari karena
adanya hubungan emosional musikal dan dimainkan secara ad. libitung
(tergantung kepada pemain).
Selain itu, perubahan yang terjadi terkait fungsi dan makna dalam
pertunjukan Barongsai adalah, jika zaman dahulu pertunjukan ini ditampilkan
bagi kalangan raja dan vihara saja dengan penonton yang terbatas. Tetapi kini
pertunjukan Barongsai sudah dapat disaksikan oleh masyarakat umum, baik
kalangan Tionghoa maupun non-Tionghoa. Perubahan terakhir yang terjadi
adalah sifat pertunjukannya yang sekarang sudah menjadi pertunjukan hiburan,
meskipun akar nilai-nilai religius tetap dipertahankan.
5.2 Saran
Untuk mendata dan menuliskan kajian musikal dan fungsi pertunjukan
Barongsai dalam bentuk tulisan ilmiah seperti ini tidaklah mudah, karena
sebenarnya dibutuhkan waktu panjang untuk menyelesaikannya lebih baik lagi.
Untuk ini penulis mendapat pengalaman baru, agar penelitian dapat dilakukan
dengan sempurna, sebaiknya dilakukan hal-hal seperti seniman yang menjadi
pelatih Barongsai, terutama grup Barongsa Maha Vihara Maitreya Medan dapat
140
memberikan informasi yang transparan tentang musik, fungsi pertunjukan, serta
sejarah perkembangan Barongsai pada masyarakat Tionghoa.
141
DAFTAR PUSTAKA
Ananta, Aris, Evi Nurvidya Arifin, dan Bakhtiar. 2008. “Chinese Indonesians in Indonesia and the Province of Riau Archipelago: A Demographic Analysis”, dalam Suryadinata, Leo: Ethnic Chinese in Contemporary Indonesia. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies.
Berkowitz dan Barandauer. 1969. Folk Religion in an Urban Setting. Hongkong.
Berutu, Gita Viswana. 2004. Dari Ketertindasan Menuju Kemerdekaan: Studi Kasus Kesenian Barongsai di Kota Medan. Medan: Skripsi Sarjana Etnomusikologi USU (tidak dipublikasikan).
Borschberg, Peter. 2004. Iberians in the Singapore-Melaka Area and Adjacent Regions (16th to 18th Century). Otto Harrassowitz Verlag.
Brazier, Roderick. In Indonesia, the Chinese go to the Church, dalam International Herald Tribune, edisi 27 April 2006.
Bungin, Burhan. 2008. Pendidikan Kualitatif. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Chang, Yau Hoon. 2010. “Mapping ‘Chinese’ Christian Schools in Indonesia: Ethnicity, Class and Religion”, dalam Asia Pacific Education Review. Seoul: Springer.
Chunjiang, Fu. 2008. Asal-Usul Musik Tionghoa. Jakarta: Elex Media Komputindo.
Coppel, Charles A. 2002. Studying Ethnic Chinese in Indonesia, Asian Studies Monograph Series. Singapore: Singapore Society of Asian Studies.
Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia. 2011. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Keempat. Jakarta: P.T. Gramedia Pustaka Utama.
Fatima. 1991. Sejarah Indonesia Kuno. Medan: USU-Press.
Gernet, Jacques. 1996. A History of Chinese Civilization. Cambridge: Cambridge University Press.
Guillot, C., Denys Lombard, dan Roderich Ptak. 1998. From the Mediterranean to the China Sea: Miscellaneous Notes. Otto Harrassowitz Verlag.
142
Heidhues, Mary Somers. 1999. “Indonesia” dalam Pan, Lynn: The Encyclopedia of the Chinese Overseas. Cambridge: Harvard University Press.
Heidhues, Mary Somers. 2001. “Chinese Settlements in Rural Southeast Asia: Unwritten Histories”, dalam Reid, Anthony: Sojourners and Settlers: Histories of Southeast Asia and the Chinese. Honolulu: University of Hawaii Press.
Hellwig, Tineke dan Eric Tagliacozzo. 2009. The Indonesia Reader: History, Culture, Politics. Durham: Duke University Press.
Kahin, Audrey. 1991. Indonesia: The Role of the Indonesian Chinese in Shaping Modern Indonesian Life. Ithaca: Cornell Southeast Asia Program.
Koentjaraningrat. 2002. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: P.T. Rineka Cipta.
Kong, Shiu L. 1989. Chinese Culture and Lore. Hongkong: University of Toronto Press.
Lee, William Y. K. 2010. The Chinese Art of Lion Dance.
Lewis, M. Paul. 2005. “Indonesia”, Ethnologue: Languages of the World. Dallas: SIL International.
Martin, John Joseph. 1933. The Modern Dance. Dance Horizons.
Lim, Sylvia dan Ellen Conny. 2010. Barongsai. Jakarta: Elex Media Komputindo.
Ma, Rosemary Wang. 2005. “Hui Dispora”, dalam Ember, Melvin, Carol R. Ember, dan Ian Skoggard: Encyclopedia of Diasporas: Immigrant and Refugee Cultures Around the World. New York: Springer Science+Business Media.
Malm, William P. 1977. Music Cultures of the Pacific, The Near East, and Asia (Terjemahan oleh Takari, Muhammad: Kebudayaan Musik Pasifik, Timur Tengah, dan Asia. 1993). New Jersey: Prentice-Hall, Inc.
Merriam, Alan P. 1964. The Anthropology of Music. Illinois: North-Western University Press.
143
Miles, Matthew B. dan A. Michael Huberman. 2007. Analisis Data Kualitatif: Buku Sumber Tentang Metode-Metode Baru. Jakarta: UI-Press.
Nettl, Bruno. 1964. Theory and Method in Ethnomusicology. New York: The Free Press of Glencoe.
Phoa, Liong Gie. 1992. “The Changing Economic Position of the Chinese in Netherlands India”, dalam Fernando, M. R. dan David Bulbeck: Chinese Economic Activity in Netherlands India: Selected Translations from the Dutch. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies.
Reid. Anthony. 1999. “Chinese and Southeast Asia Interactions”, dalam Pan, Lynn: The Encyclopedia of the Chinese Overseas. Cambridge: Harvard University Press.
Reid, Anthony. 2001. “Flows and Seepages in the Long-term Chinese Interaction with Southeast Asia”, Sojourners and Settlers: Histories of Southeast Asia and the Chinese. Honolulu: University of Hawaii Press.
Salmurgianto. 1995. “Cakrawala Pertunjukan Budaya, Mengkaji Batas dan Arti Pertunjukan” dalam Seni Pertunjukan Indonesia. Yogyakarta: MSPI.
Skinner, G. William. 1963. “The Chinese Minority”, dalam McVey, Ruth: Indonesia, Survey of World Cultures. New Haven: Yale University Southeast Asia Studies.
Soedarsono, R.M. 1985. “Traditional Performing Arts in Indonesia”, Makalah, disampaikan dalam International Meeting on the Establishment of a Unesco Video Collection of Traditional Performing Arts, Yogyakarta, 21-28 September 1992.
Suryadinata, Leo. 2008. “Chinese Indonesians in an Era of Globalization: Some Major Characteristics”, dalam Suryadinata, Leo: Ethnic Chinese in Contemporary Indonesia. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies.
Syani, Abdul. 1995. Sosiologi dan Perubahan Masyarakat. P.T. Dunia Pustaka Jaya.
Tan, Melly G. 2005. “Ethnic Chinese in Indonesia”, dalam Ember, Melvin, Carol R. Ember dan Ian Skoggard: Encyclopedia of Diasporas: Immigrant and Refugee Cultures Around the World. New York: Springer Science+Business Media.
144
Titon, Jeff Todd. 1984. World of Musics: An Introduction to the Music of the World’s People. New York: Schirner Book A Division of Macmillan, Inc.
http://en.wikipedia.org/wiki/Chinese-Indonesians
http://en.wikipedia.org/wiki/Lion_dance
http://id.wikipedia.org/wiki/Penggunaan_istilah_Cina,_China,_dan_Tiongkok#cite_note-4
http://id.wikipedia.org/wiki/Tahun_Baru_Imlek
http://www.theholidayspot.com/chinese_new_year/origin.htm
145
DAFTAR INFORMAN
146
147