18
18
BAB II
Latar Belakang dan Sejarah Perkembangan Paguyuban Sumarah
A. Latar Belakang Munculnya Paguyuban Sumarah
Orang Jawa pada umumnya memiliki sifat keterbukaan emosi dan kultur
yang tinggi. Mereka bisa menerima apapun yang datang, sekaligus menyeleksi
dan meramunya sedemikian rupa hingga menghasilkan model baru yang dirasa
tepat (cocok) bagi mereka sendiri.1 Kehidupan spiritual masyarakat Jawa tidak
dapat dipisahkan dengan lingkungan alam dan lingkungan sesamanya karena
saling berhubungan antara satu dengan yang lainnya dan membentuk suatu
dimensi vertikal (hubungan antara manusia dengan Tuhan) dan horizontal (antara
individu dengan individu lainnya dalam hubungan sosial di lingkungan
sekitarnya).
Secara historis, masyarakat Jawa dalam hal spiritual mengalami proses
akulturasi kebudayaan dalam hal keyakinan/ kepercayaan sebagai akibat dari
kontak budaya dengan bangsa-bangsa lain. Budaya yang dibawa oleh bangsa lain
tersebut tidak hanya berupa kesenian dan bahasa, namun juga sistem kepercayaan
yang terkandung dalam agama bangsa tersebut.
Bangsa pertama yang berpengaruh dalam proses akulturasi kepercayaan
Jawa adalah India yang menganut agama Hindu, kemudian membentuk mitos
serta perilaku mistik kejawen, contohnya adalah percaya akan adanya dewa-dewi,
1 Universitas Negeri Yogyakarta., Kejawen: Jurnal Kebudayaan Jawa Vol.
1 No. 2, (Yogyakarta: Narasi, 2006), hlm. 9.
19
ritus pemujaan di tempat sakral seperti candi, dan ruwatan. Setelah masuknya
pengaruh Hindu pada zaman kerajaan di Jawa, kemudian disusul dengan adanya
pengaruh agama Buddha. Hal ini terlihat pada masa Kerajaan Mataram yang
terbagi menjadi dua dinasti Sanjaya dan Syailendra. Masing-masing memiliki
keyakinan yang berbeda, Sanjaya yang berkeyakinan Hindu, sementara dinasti
Syailendra bernafaskan aliran agama Buddha.
Ketika Islam masuk dan diterima masyarakat Jawa pada sekitar abad ke-15
Masehi, terjadilah “perubahan wajah” yang ditampilkan orang Jawa. Banyak
pengamat menilai, Islam yang dianut orang Jawa adalah hasil asimilasi antara
kepercayaan Jawa asli, Hindhu-Budha, dan Islam. Asimilasi inilah yang kemudian
melahirkan dan membesarkan agama kebatinan, yaitu suatu kepercayaan kepada
Tuhan Yang Maha Esa. Kepercayaan inilah yang lebih dikenal masyarakat
sebagai Kejawen.2 Kejawen merupakan paham dan pedoman bagi masyarakat
Jawa dalam penilaiannya terhadap cara bertingkah laku dalam masyarakat dan
alam, selain itu pola pikir masyarakat Jawa pada dasarnya terbatasi pada lingkup
kewilayahan yaitu Jawa. Sementara, kebatinan itu luas tidak dibatasi oleh
pemetaan daerah, penekanannya adalah pada aspek pengahayatan/ aktivitasnya
secara batin yang berbeda dengan agama yang lebih terpaku pada doktrin-doktrin.
Pengaruh Islam di Jawa sangat kuat di daerah pesisir. Hal tersebut
dikarenakan penyebaran agama Islam di nusantara melalui perdagangan sehingga
komunikasi maupun kontak fisik dalam proses penerimaan konsep agama Islam
lebih murni di daerah ini. Sementara di daerah pedalaman Jawa sangat dominan
2 Ibid., hlm. 6.
20
pengaruh agama Hindu maupun Buddha terutama di daerah sekitar kerajaan,
sehingga kadar pemahaman terhadap agama Islam kurang murni dibandingkan
daerah pesisir Jawa.
Keyakinan-keyakinan Islam di daerah pedalaman Jawa tersebut sudah
bercampur dengan mistik. Mistik merupakan ciri khas agama Jawa. Mistik
kejawen telah memiliki sejarah panjang yang mewarnai agama Jawa. Keyakinan
pra-Hindu-Jawa meyakini bahwa jiwa akan hidup kekal setelah mati di alam roh.
Keyakinan ini tidak lain merupakan agama Jawa asli.3 Secara faktual,
sebagaimana pernah ditemukan oleh peneliti bangsa Amerika, Clifford Geertz,
terdapat 2 (dua) bentuk mistisme yang terdapat dalam masyarakat Jawa pada
khususnya, yaitu sufisme, atau secara lebih tepat disebut tarekat (di kalangan
kelompok sosial santri) dan kebatinan, atau secara lebih tepat disebut
Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa (setelah memperoleh pengesahan
secara legal-konstitusional). Keduanya, yakni tarekat dan kebatinan jelas
merupakan dua sayap mistisisme. Di samping itu, sekalipun kedua sayap tersebut
mempunyai nama yang berbeda, namun sebagian peneliti mengatakan bahwa
keduanya adalah sama-sama “mistik-Islam”.4
Penyebaran Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa (kebatinan)
berbeda dengan tarekat. Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa lebih
banyak diterima di kalangan abangan, yaitu orang-orang atau kelompok orang
3 Suwardi Endraswara., Agama Jawa: Ajaran, Amalan, dan Asal Usul
Kejawen, (Yogyakarta: Pustaka Narasi, 2015), hlm. 39.4 Mohammad Damami, “Tarekat dan Kepercayaan pada Tuhan Yang
Maha Esa: Dua Sayap Mistisme di Indonesia” Jurnal Tasawuf, vol. 1, no. 1, Juli 2012, hlm. 125-126.
21
yang kurang begitu disiplin menjalankan syariat agama Islam (kewajiban-
kewajiban peribadatan Islam) sekalipun telah menerima Islam sebagai agamanya.
Kalangan abangan ini bangunan keagamaannya merupakan sintesis antara
kepercayaan animisme, Hindu-Buddha, dan Islam.5 Sementara tarekat identik
lekat hubungannya dengan golongan santri atau kelompok Islam yang mendalami
ajaran Islam karena bersumber pada Kitab Suci (Al-Qur’an) dan Sunnah Nabi
Muhammad SAW.
Aliran kebatinan dibedakan dengan Agama karena memiliki sifat-sifat
yang cenderung tidak stabil (mengalami perubahan bergantung alam sekitarnya).
Kalau diamati, maka terdapat sifat-sifat yang umumnya melekat pada aliran-aliran
kebatinan tersebut. Pertama sekali, aliran-aliran kebatinan itu ajarannya tidak
universal, sebagai akibat sifatnya yang lokal. Kedua kalinya, ajaran aliran-aliran
kebatinan itu masih dapat berubah, yang dapat terjadi karena umur aliran masih
muda,juga karena megikuti perkembangan pengalaman serta alam pikiran para
penganutnya. Boleh jadi perubahan itu terjadi karena adanya kritik atau koreksi
dari pihak luar termasuk kebijakan pemerintah.6
Kronika kebatinan tidak hanya berubah dari segi ajaran, melainkan juga
keorganisasian. Pada awalnya kebatinan itu hanya satu, yaitu orang Jawa yang
mendayagunakan kebatinan demi kepentingan hidup. Lama-kelamaan yang
disebut kepentingan hidup atau pragmatika kebatinan Jawa semakin meluas.
Akibatnya, banyak bermunculan paguyuban kebatinan yang memiliki kepentingan
5 Ibid.6Abu Su’ud, Ritus-Ritus Kebatinan, (Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2001), hlm.13.
22
bervariasi. Walaupun, ada variasi paguyuban, namun arah dan perjuangan tetap
pada satu titik yaitu menuju kesempurnaan hidup.7 Paham kebatinan ini dalam
proses perkembangannya senantiasa didukung oleh golongan priyayi, yaitu
golongan keluarga istana dan pejabat pemerintahan keraton. Mereka termasuk ke
dalam kategori Islam abangan lapisan atas. 8
Pada tahun 1900 permulaan, nampak kesatuan pergerakan antara
Pergerakan politik dengan Paguyuban Kebathinan/Kerokhanian/Kejiwaan makin
menonjol. Partai-partai politik bermunculan, demikian juga padhepokan-
padhepokan Kebathinan/Kerokhanian/Kejiwaan. Di satu pihak bergerak di bidang
politik dalam rangka membebaskan bangsa dan Tanah Airnya dari jeratan
penjajahan, di lain pihak padhepokan-padhepokan dan Paguron menjadi
Penasehatnya para tokoh Gerakan Politik seraya meningkatkan pendekatannya
kepada Tuhan.9
Lahir dan berkembangnya aliran-aliran kebatinan tidak lain bersumber dari
kondisi sosial, budaya, dan politik. Sebelum kemerdekaan, Indonesia mengalami
tekanan mental dalam mengahadapi rongrongan penjajahan. Situasi perang dan
penindasan fisik dan moral sangat dirasakan penderitaannya oleh rakyat Indonesia
bahkan setelah kemerdekaan situasi tersebut masih saja dirasakan saat terjadi
Agresi Militer Belanda I dan II. Selain hal itu, setelah Indonesia mampu menata
sistem pemerintahannya sendiri, gejala kemerosotan moral dengan adanya korupsi
7 Suwardi Endraswara., Kebatinan Jawa dan Jagad Mistik Kejawen,
(Yogyakarta: Lembu Jawa, 2011), hlm.17.8 Ibid., hlm.18.9 Toeloes Koesoemaboedaja., Sejarah dan Perananan Himpunan
Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa, (Semarang: DPD Himpunan Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa, 1982), hlm.12.
23
serta janji-janji kosong para pemimpin bangsa pada akhirnya mendorong ke arah
kehidupan dalam ketidakpastian. Sementara itu, di kalangan agama Islam yang
merupakan agama mayoritas yang dianut penduduk di Indonesia, pemimpin
agamanya/ mubaligh kurang memberikan perhatian terhadap kehidupan
batin/rohani serta tidak cukup menyimpulkan ajaran-ajaran Islam dalam prinsip-
prinsip sederhana yang dapat dipergunakan sebagai pegangan pokok bagi manusia
dalam menentukan sikapnya terhadap Tuhan dalam menghadapi berbagai
kesulitan sehari-hari yang dijumpai dalam hidup.10
Komunitas kejawen yang amat kompleks, telah melahirkan berbagai sekte
dan tradisi kehidupan di Jawa. Bahkan di dalamnya terdapat paguyuban-
paguyuban yang selalu membahas alam hidupnya. Paguyuban tersebut lebih
bersifat mistis dan didasarkan konsep rukun. Modal dasar dari komunitas ini
hanyalah tekad dan persamaan niat untuk nguri-uri (memelihara) tradisi leluhur.
Masing-masing paguyuban memiliki “jalan hidup” yang khas kejawen.11
Pada umumnya aliran atau paguyuban mistik kejawen atau pun kebatinan
tersebut, dalam aktivitasnya ingin berusaha mencari hakikat alam semesta, intisari
kehidupan, dan hakikat Tuhan. Dalam penggolongan upaya “pencarian” yang
dilakukan oleh aliran mistik kejawen, menurut Joyodiguno dan Rasyidi ada empat
macam, yaitu (1) yang berpokok pada okultis, yaitu mengutamakan daya-daya
gaib yang melayani keperluan manusia, (2) yang berpokok pada mistik, yang
berusaha menyatukan jiwa manusia dengan Tuhan semasa masih hidup di dunia,
10 Suwardi Endraswara, Kebatinan Jawa: Laku Hidup Utama Meraih
Derajat Sempurna, (Yogyakarta: Lembu Jawa, 2011), hlm. 33.11 Kebatinan Jawa dan Jagad Mistik Kejawen, op. cit., hlm.5.
24
(3) aliran theosofis, yang berniat menembus sangkan paraning dumadi, (4) aliran
yang bergerak pada etis, yaitu berhasrat pada budi luhur. Dari keempat aliran ini,
Koentjaraningrat menambahkan satu gerakan lagi (yang ke-5) yang disebut
gerakan ratu adil.12
Dengan lahirnya aliran-aliran kebatinan tersebut diharapkan mampu
mengobati ketidakpuasan individu dalam hal spiritual yang bersifat rohani. Tujuan
lain dari pembentukan aliran kebatinan adalah untuk menciptakan kehidupan yang
seimbang, selaras, dan harmonis dalam kehidupan manusia tanpa membedakan
ras, suku, agama, kedudukan karena bersifat universal.
Salah satu contoh aliran kebatinan yang lahir dan berkembang di saat
kondisi politik, sosial, dan budaya pada masa sulit memperjuangkan kemerdekaan
dan mempertahankan tanah air adalah Paguyuban Sumarah. Paguyuban ini sendiri
dapat menjadi cerminan masyarakat Jawa yang bersama-sama ingin mewujudkan
spiritualitas yang senantiasa mendekatkan diri dengan Tuhan, mengayomi sesama
dan alam sekitarnya. Dilihat dari aktivitasnya dalam upaya mencari hakikat alam
semesta, kehidupan dan Tuhan, Paguyuban ini merupakan aliran theosofis dan
bergerak pada etis. Paguyuban ini lahir dan berkembang pada mulanya di lingkup
keraton Yogyakarta dan Surakarta. Dengan kata lain Paguyuban ini membawa
konsep yang dikemas dengan ajaran budi luhur yang bercorakkan kepriyayian
yang dikenal dengan martabat kebatinannya yang tinggi.
Tuntunan Sumarah pertama kali diterima oleh Raden Ngabei
Soekinohartono (Pak Kino) di Yogyakarta pada tanggal 8 September 1935, pada
12Ibid., hlm.22-23.
25
masa Bangsa Indonesia sedang mengalami tekanan lahir batin karena
penjajahan.13 Tuntunan Sumarah merupakan wahyu yang diterima oleh R. Ng.
Soekino Hartono berbentuk suatu ilmu yang disebarkan dengan tujuan untuk
mengimankan bangsa Indonesia agar selalu ingat dan pasrah total (Sumarah)
terhadap kehendak Tuhan, terlepas adanya perbedaan ras, suku, maupun agama.
Tuntunan Sumarah menghidupkan tekad pribadi untuk mencapai kebulatan iman
dan jalannya tuntunan diperlancar dengan bantuan-bantuan petugas. Warana
sebagai penegas makna tuntunan dan petugas Pamong sebagai Pembina iklim
tuntunan. Untuk seterusnya, tugas Warana dan Pamong berkembang dan diemban
oleh petugas-petugas yang dikehendaki oleh Tuntunan atas kesaksian bersama
dalam lingkungan Paguyuban.14
Tuntunan Sumarah tidak dimonopoli seseorang dan tidak pula diikat atas
dasar suatu dokumen ajaran tertulis atau bentuk simbol tertentu melainkan
berkembang semata-mata mengikuti tuntunan atas kehendak Tuhan Yang Maha
Esa yang menjabar dalam penghayatan dari waktu ke waktu dan sambung-
menyambung serta tingkat meningkat sejak tahun 1935 hingga saat ini.15
Paguyuban Sumarah timbul karena merupakan salah satu titah dari Gusti
Allah, yang bernama Raden Ngabei Soekino Hartono yang tinggal di Wirobrajan
Yogya pada waktu penjajahan Belanda, ia ingin mencari jalan tuntunan dari Allah
untuk menuju kepada iman yang bulat, yang bisa mengimamkan umat manusia.
13 AD/ART Paguyuban Sumarah 1 Agustus 1980, Koleksi Paguyuban
Sumarah cabang Wonogiri, Arsip No. 5 IX. 03. 01.14 Paguyuban Sumarah, Mengenal Sumarah (Semarang, Grasia Offset,
2007), hlm. 19-20.15 Ibid., hlm. 20
26
Pak Kino pada waktu itu menerima wahyu pada bulan September tanggal 8 jam
01.00-03.00 malam. Rumahnya Pak Kino seperti orang yang mempunyai hajat,
yang melihat hal itu malah tetangga-tetangganya, Pak Sukino sendiri malah tidak
mengetahui katanya terang sekali pekarangannya. Pada bagian selatan Wirobrajan
ada sinar yang dilihat dari kejauhan seperti sedang ada hajatan besar namun bila
didekati tidak ada. Para pinisepuh yang menjadi saksi dan berminat menyatakan
kebenaran sinar tersebut diantaranya adalah Pak Suhardo.16
Wahyu yang diterima Pak Kino tidak berlangsung seketika, tetapi bertahap
dari Agustus 1935 sampai 1937. Dalam ringkasan tentang proses pewahyuannya,
ia mencantumkan tanggal, namun tidak semua dari tataran pewahyuan yang
dilewatinya. Semasa kecil, Pak Kino sudah dikenalkan dengan ilmu kebatinan,
gemar tapabrata, gemar berguru pada Kyai namun berangsur-angsur Pak Kino
sadar bahwa warisan nenek moyang dan ajaran para Guru dan para Kyai yang ia
pelajari berisi kanuragan dan kadigdayan hingga kemudian ia kenal dengan
panguden Hardapusoro. Tapi hasil dari panguden sejak kecil hingga bulan
Agustus 1935 membawa Pak Kino mengalami bermacam godaan lahir batin. Ia
kemudian dilihatkan dengan alam gaib, neraka jahanam, dan pada suatu hari ia
sujud sumarah (pasrah) pada Allah dan menerima dawuh bahwa noda-noda dalam
darahnya akan disucikan.17 Setelah suci bersih dalam bulan September 1935 Pak
Kino mendapat perintah dari Tuhan untuk menuntun iman kepada umat, karena
sebagian besar dari umat itu tidak bulat lagi imannya kepada Tuhan. Pak Kino dan
Pak Suhardo lantas mendirikan Paguyuban Sumarah.
16 Wawancara dengan pak Sunardo tanggal 28 November 2014.17 Wawancara dengan Pak Saryanto tanggal 26 Juni 2015.
27
Pada akhir tahun 1937 Paguyuban Sumarah telah mempunyai kurang lebih
25 anggota, termasuk Pak Soetadi dari kota Sala. Pada waktu itu Pak Suhardo
diberi tugas bagian Pendidikan dan Pembinaan. Pamong pertama ialah Pak
Hardjogoeno dari Yogyakarta, tetapi caranya momong pada permulaan masih
diawasi oleh Pak Suhardo. Pada awal tahun 1938 Pak Suhardo menerima petunjuk
dari Tuhan yang diterimanya sendiri. Petunjuk itu berisi perintah supaya Pak
Suhardo meluaskan ilmu Sumarah di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur.18 Hal
tersebut kemudian menjadi awal mula tersebarnya ilmu Sumarah hingga seluruh
pelosok Jawa dimulai dari Jawa Tengah yaitu daerah Solo atau Surakarta. Sejarah
awal Sumarah banyak terlihat di Surakarta antara lain mengenai rancangan
organisasi dengan disusunnya AD/ART, adanya Sesanggeman, serta pengaturan
korespondensi/ hubungan dengan wilayah lain dan jadwal latihan yang teratur.
B. Perkembangan Paguyuban Sumarah Surakarta
Masa awal kepemimpinan Paguyuban Sumarah dipegang oleh 3
Pinisepuh, ialah Pak Kino, Pak Soehardo, dan Pak H. Soetadi. Pak H. Soetadi
berkewajiban dalam Bidang Organisasi dan Praja, Pak Soehardo bertugas dalam
Bidang Pendidikan Panggulawentah dan Pengembangan dan Pak Kino bertugas
dalam Bidang Kerohanian berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Pada pertengahan tahun 1936 Pak Kino bertugas sebagai Pembe’at,
penerangan, penjelasan dan pengalaman-pengalaman, sedang Pak Suhardo
sebagai Pamong, pendidikan dan panggulawantah. Be’atan pada pertengahan
18 Wawancara dengan Pak Saryanto tanggal 26 Juni 2015
28
hingga akhir tahun 1936 ialah: Pak Hardjoguno, Pak Sastrosoedjono, Pak Nirman-
Rogoatmodjo, Pak Prawiroatmodjo, Pak Dwidjowijoto, Pak Djojosoedarmo, Pak
H. Soetadi, Pak Kismodidjoyo, Pak Kartosoedarmo dan seterusnya menarik
anggota hingga bertambahnya jumlah anggota. Setelah anggota sudah termasuk
banyak, kemudian perlu menunjuk siapa yang menjadi pamong, penunjukan itu
didasarkan atas persaksian kepareng (diperkenankan) oleh Allah. Pamong pertama
ialah Pak Hardjogoeno, tetapi dalam pelaksanaan tugasnya masih harus diawasi
oleh Pak Kino sendiri dan Pak Soehardo.19
Masing-masing wilayah di Jawa memang kaya akan tradisi lokal, bahkan
antara Yogya dan Solo sedari awal sudah memiliki perbedaan kendati sama-sama
daerah kraton. Selama akhir periode kolonial, Solo merupakan pusat
perekonomian yang jauh lebih dinamis daripada Yogya sehingga tidak
mengherankan bila gaya personal Sukino yang bersenyawa dengan kekhasan kota
Yogya itu berkaitan erat dengan kebudayaan kraton. Hal tersebut tercermin pula
dalam segi keanggotaan dan gaya sujud. Sutadi ternyata juga punya gaya latihan
Sumarah-nya sendiri. Jika bimbingan spiritual yang dilakukan Sukino disertai
senandung tembang Jawa, gaya Sutadi justru banyak diam yang lama dan hanya
sesekali disertai beberapa seruan verbal yang pendek.20
Pada fase pertama, sebagian besar anggota Paguyuban Sumarah terdiri dari
orang-orang yang sebelum menjadi anggota menderita kesusahan/bingung/sakit.
Kedatangan mereka dengan maksud untuk berobat dan mendapatkan ketenangan
19 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan., Sumarah V: Sejarah
Paguyuban Sumarah 1935-1970, (Jakarta: Direktorat PPK, 1980), hlm.22.20 Paul Stange, Kejawen Modern: Hakikat dalam Penghayatan Sumarah,
(Yogyakarta: LKiS, 2009), hlm. 75-76.
29
batin. Sehingga hanya ketika keinginan mereka tercapai barulah ingin masuk
menjadi anggota. Ada pula yang ingin masuk menjadi anggota dengan tujuan
menyelidiki kemudian lama-lama tertarik dan mempelajari dengan sungguh-
sungguh.
Pada fase ini, tuntunan Ilmu Sumarah dibagi menjadi dua bagian yaitu:
bukaan/be’atan bagian Kanoman dan be’atan Kasepuhan. Kalau atas perkenan
Tuhan seseorang harus dibuka Kanoman dulu, ia dibuka Kanoman. Kemudian bila
menurut peninjauan batinnya warga itu sudah meningkat rasa sujudnya, ia baru
dapat dibuka Kasepuhan dan dapat mengikuti latihan sujud Sumarah bagian
Kasepuhan. Ada juga calon warga yang menurut peninjauan batinnya sudah
dewasa, hingga boleh langsung dibuka/ dibe’at Kasepuhan dan mengikuti latihan-
latihan sujud Sumarah bagian Kasepuhan.21 Dalam fase pertama, praktik ilmu
sihir terkadang masih diperbolehkan dan karaga (gerakan otomatis) dipakai
sebagai propaganda guna menarik para anggota baru. Dalam fase kedua, pamong
lebih menitikberatkan pada sujud mereka sendiri ketimbang kemajuan sujud para
murid; seringkali pertemuan diadakan hanya untuk tujuh level yang diakui; dan
alih-alih menerangkan tujuan, para pamong hanya sibuk mengomentari makna
sujud. Dalam fase ketiga, selain tingkatan tadi, juga ada aspek kesadaran yang
berderajat, seperti tingkat pemahaman (martabating ilmu), tingkat sujud
(martabating sujud), dan kesucian (martabating kasucian).22
Pada masa pendudukan Jepang kemajuan panguden Sumarah bertambah.
Setelah Indonesia merdeka perkembangannya bertambah cepat dan pesat, hingga
21 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan., op. cit., hlm. 26.22 Ibid., hlm. 194-195.
30
dirasakan kekurangan pamong. Kemudian atas perintah Tuhan, Pak Soehardo
dipindahkan ke Sala dan dapat momong Pak H. Soetadi. Beliau berada di Sala
satu setengah tahun dan berhasil melebarkan wilayah Sumarah. Dari Sala Pak
Soehardo pindah ke Cepu. Dari Cepu dipindahkan ke Madiun. Dari Madiun
dipindahkan ke Bojonegoro. Atas kehendak Tuhan dalam kesempatan, beliau di
tiap Kota sampai ke pelosok-pelosok dapat mengembangkan Sumarah dengan
sangat memuaskan.23
Oleh karena wilayah Sumarah bertambah luas dan terpencar jauh, sedang
pada waktu itu belum diperkenankan dibentuk organisasi, maka untuk menjaga
agar jalannya panguden Sumarah serasi dan sesuai dengan jaman pada waktu itu
dan agar seragam pelaksanaan tuntunan panguden, oleh Tuhan Yang Maha Esa
dengan sabda Hakiki dikaruniai Pepacak/ Angger-Angger, yang sekarang dikenal
dengan nama Sesanggeman, isi pedoman pelaksananaannya Paguyuban Sumarah
yang terdiri dari 9 pasal.24 Pepacak/Sesanggeman tersebut turun pada akhir tahun
1938, hari Minggu jam 2 sampai 3 malam di Pendapa tempat kediaman Pak H.
Soetadi kampung Nirbitan-Kawahan No. 51 Surakarta dengan melibatkan:
Warana : Pak Soekinoharto
Saksi : Pak Soehardo
Penulis : Pak H. Soetadi
Berhubung kalimat-kalimat yang tercantum dimengerti sepenuhnya oleh
para Anggota Paguyuban Sumarah umumnya, maka susunan kalimat-kalimat itu
diserahkan sepenuhnya kepada H. Soetadi. Sesanggeman tersebut disahkan dalam
23 Ibid.24 Ibid., hlm.23.
31
suatu konferensi di Sala pada tanggal 22 April 1940. Hadir pada konferensi itu
para pinisepuh dan para Sesepuh dari wilayah Karesidenan: Magelang,
Yogyakarta, Sala, dan Cepu.25
Peninjauan-peninjauan ke daerah seluruh Jawa, yang mengatur dan
merencanakan adalah Pak Soetadi, karena kedudukannya dalam Paguyuban
sebagai Pinisepuh Bidang Organisasi dan Praja. Untuk daerah Surakarta sendiri
Pak Soetadi selalu mengumpulkan para terpelajar yang diberi keterangan-
keterangan dan contoh-contoh pengalaman yang dapat ditangkap oleh rasio.
Waktu berkumpul pada siang hari sesudah jam kantor, dua minggu sekali.
Olehnya ditekankan, bahwa Paguyuban Sumarah menganjurkan kepada warganya
untuk meluaskan pengetahuannya lahir dan batin setinggi-tingginya menurut
kemampuannya masing-masing. Ceramah-ceramah Santapan Rohani Pak Soetadi
dimuka corong radio R.R.I Surakarta dengan izin R.R.I Pusat telah dihimpun
dalam suatu buku yang berjudul “Warisan Adi” oleh panitia yang diketuai oleh
Pak Sri Sampurna.26
“Pak Sutadi pada waktu zaman Belanda merupakan anggota Volkstraad,
pada zaman kemerdekaan menjadi anggota konstituante di PNI. Kemudian Pak
Sutadi menyebarkan ilmu Sumarah pertama adalah membina para priyayi di
Surakarta seperti Pak Bei Sastro Handoyo, Pak Bei Bantolo, Pak Bei Ismo
Martoyo dan lainnya yang kebanyakan adalah pegawai keraton Kasunanan dan
Mangkunegaran.27 Setelah dibina, Pak Bei-Bei tersebut meluaskan penyebaran
25 Ibid.26 Ibid., hlm.46.27 Wawancara Pak Sugiyono tanggal 27 Februari 2015
32
ilmu Sumarah ke wilayah-wilayah sekitar Surakarta yang biasanya dibarengi
dengan urusan kerja seperti mantri pengairan dalam membangun irigasi di daerah
luar praja”.
Pada waktu-waktu tertentu yang dianggap baik oleh Pak Soetadi untuk
mengadakan mawas diri (retreat), maka Sesepuh, Kamisepuh dan wakil
Kamisepuh diasramakan selama satu minggu, tiap tahun bergiliran tempatnya.
Dalam asrama itu para Pamong di Surakarta digembleng hingga betul-betul tahu
bagaimana sikap seorang Pamong sebagai contoh, sebagai penuntun yang
bertanggung jawab atas jiwa yang diemong terhadap Tuhan. Karena gemblengan
yang demikian itu dirasakan berat oleh kebanyakan calon Pamong, maka
Surakarta hanya mempunyai sedikit Pamong saja, sebab jarang yang mau
menerima angkatan menjadi Pamong. Pak Soetadi selalu mengatakan, bahwa
Surakarta harus menjadi sumber kader. Yang dipentingkan adalah kualitasnya
janganlah terlalu terpengaruh oleh kuantitas. 28
Di rumah Pak Soetadi diadakan latihan 3 kali seminggu: Untuk para
pamong sendiri, untuk be’atan Kasepuhan dan untuk magangan (calon). Latihan-
latihan di rumah Pak Soetadi ini berjalan sampai tahun 1964. Karena latihan-
latihan selalu pada malam hari dan Ibu Soetadi sendirian, maka tidak ada yang
menjaga pintu masuk pekarangan. Dari sebab itu para warga Sumarah yang
berada di Surakarta memutuskan untuk memindahkan tempat latihan di tempat
kediaman salah seorang Pamong.29
28 Ibid.29 Ibid.
33
Setelah Kongresnya yang pertama Paguyuban Sumarah, wilayah Surakarta
memisahkan diri dan tidak bersedia mengikuti organisasi yang dipimpin oleh Dr.
Soerono. Mereka dalam asuhan dan di bawah pimpinan Pak Soetadi. Pak
Soehardo, karena tidak mempunyai wilayah, merasa netral dan menyatakan diri
non-aktif. Dengan kejadian itu, maka dari tiga orang Pinisepuh hanya Pak Kino
sendirilah yang mengikuti jejak perkembangan Paguyuban Sumarah yang
terorganisir sejak 27 Maret 1950 di bawah Pengurus Besar yang diketuai oleh dr.
Soerono Prodjohoesodo. Pada Kongresnya yang pertama itu telah tersusun 12
cabang, yaitu: Sala, Madiun, Pacitan, Ponorogo, Jombang, Kertosono, Surabaya,
Nganjuk, Kediri, Magelang, Bantul, Yogyakarta, Semarang, dan Jakarta,
meskipun sesudah Kongres itu Sala tidak langsung mengikuti organisasi
keputusan Kongres yang pertama itu. Namun demikian di Sala ada juga
Cabangnya, cabang yang kecil jumlah anggotanya di bawah pimpinan Sarjono
bertempat di Kestalan Sala. 30 Selanjutnya, organisasi berkembang terus hingga
pada Kongres ke-V di Yogyakarta, tercatat ada 42 cabang, 40 yang mengirimkan
utusannya dan 2 cabang ada di luar Jawa. Setelah wafatnya Pak Soetadi,
Paguyuban Sumarah wilayah Surakarta disepuhi oleh Pak Suhardo dan Pak Kino,
tetapi pengurus-pengurus dan anggotanya masih terpisah dari Pengurus Besarnya
yang ada di Yogyakarta.
Sumarah, walaupun berada di urutan kedua sesudah Budi Setia yang
merupakan kelompok yang didominasi priyayi, namun dalam waktunya ia sangat
berbeda dengan Budi Setia, yang dianggapnya terlalu teoritis. Pertama-tama
30 Ibid., hlm.52.
34
pertemuan Sumarah hampir seluruhnya terdiri dari meditasi. Mereka biasanya
mulai dengan periode singkat untuk mengheningkan cipta secara mutlak. Sesudah
istirahat, ada lagi periode yang sedikit lebih lama, dan akhirnya meditasi yang
sangat lama, seringkali lebih dari satu jam, dan kadang-kadang dilakukan dengan
berdiri. Menurut mereka, kalau orang berhasil meditasinya, ia akan mendengar
Tuhan menyanyikan, dengan gaya tembang Jawa, berbagai perintah dan larangan
yang merupakan isi Kitab Suci sekte itu. Dalam hal ini ada beberapa yang tidak
berhasil dalam mencapainya, maka guru membaca buku itu sendiri seperti yang
telah ditulisnya menurut dikte pendiri dan guru kepala Sumarah. Kitab itu
berbahasa Jawa rendah, dan anggota-anggotanya yang lebih tinggi di antara
hadirin mengikuti ujung setiap kalimat, hingga efeknya menyerupai pengajian
Islam versi Jawa. Kecuali selingan selama dua puluh menit ketika guru dan para
asistennya meninggalkan ruangan untuk “melatih” anggota-anggota yang muda
bermeditasi di ruangan lain maka pertemuan itu hanya terdiri dari meditasi itu saja
karena tidak ada laporan atau diskusi dalam pertemuan Sumarah.31 Kitab yang
dimaksud oleh Clifford Geertz dalam hal ini adalah Sesanggeman dan bukan
merupakan kitab suci bagi warga Sumarah hanya merupakan alat pengarah
menuju sikap mental penghayat dan merupakan identitas diri anggota Sumarah,
atau bisa pula Himpunan Wewarah yang merupakan kumpulan salinan wewarah/
tuntunan Soekino yang menjabar dalam sejarah Paguyuban Sumarah.
31 Clifford Geertz., Abangan, Santri, Priyayi: dalam Masyarakat Jawa,
(Jakarta: Pustaka Jaya, 1983), hlm.458.
35
C. Pengaruh Politik terhadap Perkembangan
Paguyuban Sumarah
Pada tahun-tahun sebelum pemilihan umum yang pertama (1955), politik
dan agama cenderung disatukan. Pada tahun 1951, mistikawan Jawa dan
politikawan Mr. Wongsonegoro telah aktif mengorganisasi kebatinan dalam
Panitia Penyelenggara Pertemuan Filsafat dan Kebatinan; dan parpolnya,
Persatuan Indonesia Raya (PIR), telah mulai mendatangi pelbagai sekte mistik
sambil mengajak mereka untuk berorganisasi di bawah pengayomannya. Pada
tahun 1952, Departemen Agama yang didominasi orang-orang Islam mengajukan
suatu definisi minimum tentang agama yang memuat unsur-unsur penting berikut
ini: ada nabi, ada kitab suci, dan ada pengakuan internasional. Kemudian tahun
1953, Departemen Agama melaporkan adanya tiga ratus enam puluh agama baru
atau kelompok kebatinan dan tahun 1954 Departemen Agama mendirikan Pakem
(Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat) sebagai badan yang berwenang
mengawasi agama-agama baru, kelompok-kelompok kebatinan, beserta kegiatan
mereka. Di tangan Departemen Agama, Pakem menjadi semacam anjing penjaga
melawan gerakan-gerakan spiritual yang sangat anti-Islam.32 Sementara itu, pada
tahun 1955 berdirilah Badan Kongres Kebatinan seluruh Indonesia (BKKI) yang
menampung aspirasi kaum penghayat kebatinan di bawah pimpinan Mr.
Wongsonegoro.
32 Niels Mulder., Kebatinan dan Hidup Sehari-hari Orang Jawa:
Kelangsungan dan Perubahan Kulturil, (Jakarta: PT. Gramedia, 1983), hlm. 4-5.
36
Sekitar tahun 1960, Pakem yang semula didirikan oleh Departemen
Agama dipindahkan ke dalam kekuasaan Kejaksaan Agung, titik beratnya
bertumpu pada pengawasan terhadap aliran kepercayaan dalam masyarakat.
Kedudukan BKKI semakin berat, karena ternyata senjata Pakem ini sangat ampuh
dimana sering terjadi tindakan pembubaran suatu organisasi Kebatinan dengan
dalih menodai agama.33 Dengan cara tersebut, Islam (dalam hal ini yang menjabat
Departemen Agama yang didominasi oleh orang-orang Islam) mempertahankan
posisinya dalam pengaruhnya di politik pemerintahan, kedudukan Islam masih
berjaya namun kemudian setelah adanya wacana keterlibatan kaum
penghayat/organisasi kebatinan dengan PKI pada peristiwa Gerakan 30 September
1965, menjadi bumerang tersendiri bagi posisi Islam.
Pertama kali lahirnya polemik sekitar aliran kepercayaan (di tingkat
nasional) pada tahun 1967, saat opini politik negara diarahkan kepada
pemberantasan PKI. Baik kaum muslimin maupun kaum gerejani sepakat untuk
melarang dianutnya aliran kepercayaan, karena ia dicurigai sebagai tempat
persembunyiannya para pengikut partai PKI. Mereka, oleh negara, diwajibkan
memilih salah satu diantara lima agama resmi yang telah diakui di Indonesia. Dari
dekrit ini, lahir polemik baru yang hingga kini masih kita rasakan dampaknya:
semangat kompetitif kaum agamawan untuk menarik sebanyak mungkin pengikut
aliran kepercayaan ke dalam agamanya masing-masing. Kaum muslimin kalah
bersaing dengan kaum Nasrani, karena kaum Muslimin terlalu ekstrem dalam
33 Toeloes Koesoemaboedaja., Sejarah dan Perananan Himpunan
Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa, (Semarang: DPD Himpunan Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa, 1982), hlm. 16.
37
memerangi aliran kepercayaan.34 Setelah PKI melakukan rongrongan ke dalam
tubuh organisasi-organisasi kebatinan dan setelah timbulnya gerakan 30
September, golongan kebathinan kelihatan mundur, tetapi sesungguhnya semakin
maju, karena semakin banyak cendekiawan, sarjana, angkatan muda, karyawan,
anggota ABRI yang memasuki organisasi kebathinan.
Hal serupa juga menunjukkan adanya tanda-tanda kemunduran pengaruh
kaum muslimin dalam masa awal pemerintahan Orde Baru. “Mengapa Pemerintah
mendorong agama untuk berkembang, karena sebelum tahun 1965, sewaktu
Pemerintah belum mendorong agama, yang menang itu PKI, apalagi Penghayat
Kepercayaan waktu itu berpedoman, Penghayat tidak boleh mendahului seseorang
untuk ikut dalam penghayatan; kecuali atas permintaan. Ini adalah pedoman, jadi
harus datang sendiri baru kita boleh mengajak sujud, sifatnya menunggu. Padahal
PKI ofensif, akhirnya sekian juta bangsa kita ikut PKI yang tidak percaya adanya
Tuhan. Orang Penghayat nunggu, siapa yang kepengen silahkan. Namun tahun
1966, salah satu wewarah Pak Kino mengatakan: “Sumarah sekarang boleh
dipropagandakan”. Bukan dalam arti lewat siaran radio dengan mbayar di iklan,
namun dalam arti apabila seseorang ingin tahu, semua warga Sumarah kami
harapkan bisa menjelaskan dengan pendekatan yang sama.”35 Dengan
kemunduran partai Islam, organisasi Penghayat Kepercayaan/ aliran kebatinan
34 De Maryono Dwiharjo, Supana, Hartini., Laporan Hasil Penelitian:
Konsep Harmoni dalam Aliran Kepercayaan Masyarakat Dieng, (Surakarta: Fakultas Sastra dan Seni Rupa UNS, 2008), hlm.27.
35 Sambutan Ketua Umum DPP Paguyuban Sumarah pada Pembukaan Raker Paguyuban Sumarah tanggal 4 September 1993 di Yogyakarta, Koleksi Paguyuban Sumarah DPD IX Surakarta, Arsip Bulletin Paguyuban Sumarah No. 03 tahun 1994.
38
mulai berani untuk mempropagandakan misinya baik dalam menarik anggota
maupun dalam kancah perpolitikan seperti yang telah dilakukan oleh Paguyuban
Sumarah pada Orde Baru yang memunculkan tokoh-tokoh besar kebatinan seperti
Arymurthy dan Zahid Hussein yang pada waktu itu dekat hubungannya dengan
Presiden Soeharto.
Pada awal perjuangan orde baru (1966-1970) Paguyuban Sumarah mulai
menggeliat organisasinya dengan melakukan pendekatan diri kepada para
penguasa. Kepengurusan waktu itu dipindahkan ke Jakarta dengan sebutan Dewan
Pimpinan Pusat Sumarah (organisasi memasuki ranah politik di bawah kendali
Arymurthy, seorang tokoh intelektual, birokrat sekaligus tokoh politik. Ia ingin
menghimpun aliran kepercayaan yang ada di Indonesia dalam kekaryaan yang
disebut Badan Koordinasi Karyawan Kerohanian/ Ketabiban/ Kejiwaan Indonesia
(BK5I). Secara kelembagaan kelompok ini di bawah kendali Paguyuban Sumarah
yang secara politis melekat pada Golongan Karya. Ketika itu Sumarah menjadi
besar dan dibesarkan pengaruhnya sampai ke daerah-daerah lebih besar lagi
tatkala Zahid Hussein masuk ke Pengurusan Sumarah pada 1970-1974. Ia menjadi
ketua yang membidangi organisasi dan pengembangan,dan dikenal sebagai
kepercayaan presiden Soeharto. 36
Adanya peningkatan anggota penghayat kepercayaan menimbulkan
kerisauan tersendiri terutama dari kaum muslimin terutama pasca gerakan G/ 30
S. Adanya wacana bahwa penganut kebatinan adalah sama dengan PKI yang
atheis menjadikan pemerintah turun tangan dalam mengorganisasikan aliran-
36 Kementerian Agama RI, Perkembangan Paham Keagamaan Lokal di
Indonesia, (Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan, 2011), hlm. 137.
39
aliran kebatinan yang kemunculannya semakin tak terkendali. Pada tahun 1950
terhitung ada 78 aliran Penghayat Kepercayaan (secara umum lebih popular
disebut kebatinan) di seluruh Indonesia. Jumlah itu naik menjadi 300 lebih pada
tahun 1964. Antara 1964 s.d 1971 sejumlah besar dilarang, dibekukan, atau
membubarkan diri. Jaksa agung melaporkan bahwa pada 15 November 1971
sebanyak 167 aliran telah dilarang. Tetapi pada april 1972 ada 664 aliran yang
terdaftar pada Sekretariat Kerjasama Kepercayaan, pada tingkat pusat atau
cabang. Mereka banyak muncul di daerah-daerah yang tidak aman karena terror
laskar, di pelosok-pelosok yang berekonomi rendah, dan di kota-kota besar tempat
berlangsungnya detradisionalisasi yang berjalan cepat.37
Salah seorang penganut Aliran Kebatinan Sumarah, Laura Romano
mengatakan bahwa:
Kalau zaman orde baru lebih dari 5 orang berkumpul itu harus lapor polisi,
bayangkan padahal mungkin teman bicara. Jadi itu yang menyebabkan pada
tahun-tahun itu banyak sekali aliran kebatinan. Banyak sekali aliran kebatinan
yang tiba-tiba bertumbuh dimana-mana, lalu orang bilang ini kesadaran spiritual
namun nyatanya bukan karena kesadaran spiritual tapi karena harus. Kalau tidak
berorganisasi tidak bisa ketemu. Makanya pada waktu itu ada beberapa organisasi
yang tumbuh karena hal itu.38
Walaupun gerakan-gerakan kebatinan ada di seluruh daerah orang Jawa,
namun Surakarta sebagai pusat kebudayaan Jawa agaknya masih merupakan
37 Djoko Dwiyanto., Bangkitnya Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan
YME, Yogyakarta: Ampera Utama, 2011, hlm.77-78.38 Wawancara dengan Laura Romano tanggal 20 Juni 2015
40
tempat dimana terdapat paling banyak organisasi kebatinan yang terpenting.
Dalam tahun 1970 ada 13 organisasi kebatinan disana, lima diantaranya dengan
anggota sebanyak 30-70 orang, tetapi ada satu yang anggotanya sekitar 500 orang
dalam tahun 1970. Sepuluh lainnya adalah organisasi-organisasi yang besar, yang
berpusat di kota-kota lain, seperti Jakarta, Yogyakarta, Madiun, Kediri, dan
sebagainya.39
Dari data Dinas Urusan Agama Kotamadya Surakarta yang tercantum
dalam Badan Statistik Pusat Surakarta tahun 1969 ditemukan data mengenai
jumlah Pemeluk agama dan aliran kerohanian di Kotamadya Surakarta sebagai
berikut:
Tabel.1.
Jumlah Pemeluk Agama
No. Agama Jumlah (jiwa)1. Islam 286. 9282. Kristen 40. 3053. Katholik 38. 6864. Hindu Bali/ Buddha 12.3075. Kong Hu Tju dll. 70.902
Sumber: Badan Statistik Pusat Surakarta tahun 1969
Data diatas menunjukkan bahwa, Islam adalah agama mayoritas yang
dipeluk oleh masyarakat Surakarta, yaitu sebesar 286. 928 jiwa. Walaupun Islam
adalah agama mayoritas di Surakarta, namun yang menjadi pengikut Aliran
Kepercayaan Sumarah bukan hanya dari agama Islam, namun juga ada yang dari
Kristen, Katholik, Hindu dan Budha.
39 Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa, (Jakarta: Balai Pustaka, 1984),
hlm. 402.
41
Tabel.2.
Jumlah Aliran Kerohanian
No. Aliran Kepercayaan Pengikut (jiwa)1. Sapta Darma 5.0002. Mahajana Pusat 503. Ilmu Sedjati 2494. Pangestu 3.5825. Sumarah 3006. Perawatan 1027. Panunggalan 588. Perukunan Kawula Manembah Gusti 679. Perdjalanan 269
10. Djiwa Haju 5.00011. Susilo Budi Dharmo 24112. Perhimpunan Perikemanusiaan 12013. Pagujuban Pantjasila Handajaningratan 30
Sumber: Badan Statistik Pusat Surakarta tahun 1969
Data diatas menunjukkan bahwa banyak aliran kepercayaan yang tumbuh
di Surakarta. Ada 13 aliran kepercayaan yang tercatat di kantor Badan Statistik
Pusat Surakarta tahun 1969. Sapta Darma merupakan aliran kpercayaan dengan
jumlah pengikut terbanyak di Surakarta yaitu 5000 jiwa. Walaupun Sumarah
bukan menjadi aliran kepercayaan mayoritas penduduk, namun keberadaannya
tidak bisa diragukan karena Sumarah menduduki posisi keempat terbanyak setelah
Sapta Darma, Djiwa Haju dan Pangestu.