28
BAB II
ANALISIS STRUKTURAL FARHU <D
Pembahasan dalam bab ini menggunakan teori struktural. Sebuah karya
sastra tentu memiliki struktur yang membangun terwujudnya sebuah cerita dan
keberjalanannya sebuah cerita di dalam karya sastra baik puisi maupun prosa.
Teori struktural yang digunakan untuk menganalisis struktur novel al-Ajnichah al-
Mutakassirah karya Jubra>n Khali>l Jubra>n menggunakan teori berdasarkan
pemikiran kritikus sastra Arab, penulis akan memanfaatkan teori model Farhu>d.
Unsur-unsur intrinsik prosa Arab menurut Farhu>d (dalam Sangidu, 2007:
8) meliputi: cerita atau peristiwa [al-Chika>yah], penokohan [asy-Syakhshiyyah],
alur [al-Chabkah], latar waktu dan tempat [az-Zama>n wal-Maka>n], dan gagasan
[al-Fikrah]. Berikut akan diuraikan unsur-unsur struktural model Farhu>d di atas
sebagai bentuk analisis dalam bab ini.
1. Cerita atau peristiwa [al-Chika>yah]
Al-Chikayah atau al-Achdat>s menurut istilah Badr (1411 H) adalah
rangkaian peristiwa yang diungkapkan dalam novel atau satu peristiwa yang
diungkapkan dalam cerita pendek (Sangidu, 2007: 8).
Peristiwa dalam novel al-Ajnichah al-Mutakassirah karya Jubra>n
Khali>l Jubra>n berkutat pada kisah cinta tokoh utama atau tokoh aku dengan
tokoh Salma Karamah. Kisah cinta yang rumit karena perasaan yang tidak
pernah terucap di antara keduanya akan tetapi saling merasakan perasaan
29
kasih dan cinta di antara mereka, hingga sayap-sayap mereka dipatahkan oleh
kerakusan seorang pendeta.
Novel al-Ajnichah al-Mutakassirah karya Jubra>n Khali>l Jubra>n
memiliki delapan rangkaian peristiwa. Berikut akan dijelaskan peristiwa-
peristiwa tersebut:
a. Peristiwa Pertama
Peristiwa pertama yaitu tokoh aku mulai mengenal keluarga tokoh
Faris Affandy Karamah. Hal ini tampak dari kutipan berikut:
٩١٩١:٩٦
Fafi> yaumin min tilkal-ayya>mi al-maf‘imah bi anfa>si ni>sa>nil-maskarah wa ibtasa>ma>tahul-muchi>yah, dzahabtu li ziya>rati shadi>qa yaskunu baita>n ba‘i>dan ‘an dhajjatil-ijtama>‘i. Wa bainama> nachnu natachaddatsu ra>smaini bil-kala>mi khuthwathi a>ma>lina> wa ama>ni>na> dakhala ‘alaina> syaikhun jali>lun fi>l-kha>misah wa’s-sitaini min ‘umurihi tadullu mala>bisatul-basi>thah wa mala>michahul-mutaja‘idah ‘ala >l-hi>bah wal-waqa>ri fauqaftu ichtara>ma>n, wa qabi>lu an asha>fachahu maslama>n taqabdamu shadi>qiy wa qa>la: ‚Chadhratahu Fa>risu Afandi> Kara>mahu. Tsumma lafazha ismiy masyfu>ʻa>n bi kalimatin tsana>’in‛. Pada suatu hari di bulan April yang menghembuskan aroma
mempesona dan menghadiahkan senyuman indah itu, aku pergi
mengunjungi rumah seorang teman yang tinggal di sebuah rumah
terpencil, jauh dari kebisingan kota. Saat kami sedang berbincang-
bincang, melukiskan harapan dan angan-angan, masuklah seorang
lelaki yang tampak berwibawa, berusia sekitar enampuluh lima tahun.
Pakaiannya yang indah dan paras muka yang berseri menunjukan
kewibawaan dan kemuliannya. Aku berdiri untuk menghormatinya.
Saat aku akan bersalaman dengannya, kawanku mendahului seraya
30
berkata, “Beliau yang terhormat Faris Affandy Karamah” Kemudian
kawanku itu menyebut namaku disertai dengan kata-kata pujian.
Berdasarkan kutipan di atas dapat dijelaskan bahwa perkenalan
antara tokoh aku dengan Faris Affandy Karamah melalui teman tokoh aku,
yaitu ketika tokoh aku berkunjung ke rumah temannya tersebut. Tokoh
aku adalah putra dari sahabat tokoh Faris Affandy Karamah, bukti tekstual
lainnya sebagai berikut:
٩١٩١:٩٦
... Tsumma ibtasama ibtasa>mah suru>ra wa in‘atha>fa wa iqtaraba minniy qa>’ila>n: anta ibnu shadi>qi chabi>ba qadi>ma sharraftu rabi>‘ul-‘umri bi rafiqatuhu, fama> a‘zhamu farachi> bi mira>ka wa kam ana> musyta>qun ila> liqa>’i abi>ka bi syakhshika!
... Kemudian ia tersenyum gembira, sambil mendekatiku dan berkata,
“Engkau adalah putra dari sahabatku yang sangat baik. Aku selalu
menghabiskan musim semi untuk menemaninya. Sungguh
menyenangkan bisa bertemu denganmu. Aku sangat rindu dan ingin
bertemu dengan ayahmu, yang tampaknya ada di dalam dirimu”.
Adapun karena rasa kerinduan Faris Affandy Karamah terhadap
sosok ayah tokoh aku, maka ia berharap kepada tokoh aku untuk dapat
menggantikan sosok ayahnya. Faris Affandy Karamah berharap tokoh aku
dapat berkunjung ke rumahnya. Hal ini terbukti dari kutipan berikut:
٩١٩١:٩١
31
Waqafa Fa>risu Kara>mahu lil-inshira>fi, wa lamma> danautu minhu maudu‘a>n akhadza yadi> bi ya>mi>nihi wa wadha‘a syima>lahu ‘ala> katifai qa>’ila>n: ana> lam ara> wa>liduka mundzu ‘isyri>na sanatin wa la>kinnani> arju> an asta‘i>dhza ‘an ba‘a>dahu’th-thawi>la bi ziya>ra>tikal-katsi>rah. Fa> nachni>tu sya>kira>n wa i‘da>n bi tatami>mi ma> yajibu ‘ala>l-ibni nachwu shadiqa abi>hi.
Faris Affandy Karamah beranjak pergi. Sebelum sempat aku
mendekatinya untuk mengucap selamat tinggal, ia sudah meraih
tanganku dengan tangan kanannya dan meletakkan tangan kirinya di
pundakku sambil mengatakan, “Dua puluh tahun lamanya aku tidak
bersua lagi dengan ayahmu. Aku berharap engkau dapat
menggantikan orang tuamu untuk berkunjung ke tempatku” Aku
menyetujui dan berjanji akan memenuhinya, sebagai keharusan
seorang anak terhadap sahabat ayahnya.
Berdasarkan kutipan di atas dapat dijelaskan bahwa ayah tokoh aku
adalah sahabat Faris Affandy Karamah. Faris Affandy Karamah berharap
kepada tokoh aku untuk bisa berkunjung ke rumah Faris Affandy
Karamah.
Perkenalan antara tokoh aku dan Faris Affandy hanyalah
perkenalan sekilas saja. Perkenalan lebih jauh perihal latar belakang siapa
Faris Affandy Karamah dijelaskan oleh teman tokoh aku. Hal ini tampak
dari kutipan berikut:
٩١٩١:٩١
Wa lamma> kharaja Fa>risu Kara>mahu istazadtu sha>chabi> min akhbarihi, fa qa>la bi lahjatin yaswiruha>’t-tachdiru: la> a‘rifu rajula>n siwa>hu fi> Bairu>ta qad jaʻalathu‘ts-tsarwata fa>dhi>la>n wal-fadhi>lati mitsriyya>n. Wa huwa wa>chidun minal-qali>laini‘l-ladzi>na yaji>tsu>na ha>dza>l-‘a>lama wa yugha>diru>nahu qabla an yula>misu> bil-adza> nafsa
32
makhlu>qa, wa la>kin ha’ula>i’r-rija>lu yaku>nu>na Gha>liba>n ti‘sa>’u madzlu>mi>ni, li annahum yajhalu>na sabilal-ichtaya>ri‘l-lati> tanqudzahum min makari’n-na>si wa khabatsahum ....
Ketika Faris Affandy Karamah meninggalkan rumah, aku meminta
temanku untuk berkisah lebih banyak lagi mengenai dirinya. Dia
berbicara dengan badan yang diselubungi oleh kepedihan, “Aku tidak
mengenal seorangpun di Beirut ini, yang kekayaannya telah
menjadikannya sebagai orang yang mempunyai sifat terpuji, dan sifat
terpuji itu membuatnya menjadi seorang hartawan, selain Faris
Affandy Karamah. Dia termasuk sebagian kecil manusia yang datang
ke dunia ini dan meninggalkannya sebelum sempat meninggalkan
kerugian pada diri makhluk lainnya. Tetapi orang-orang sebaik itu
biasanya hidup sengsara dan terdzalimi. Sebab mereka tidak
mengetahui cara yang dapat menyelamatkan diri mereka dari tipu
daya dan kejahatan orang lain”.
Berdasarkan kutipan di atas dapat dijelaskan bahwa teman tokoh
aku adalah orang yang mengenal baik siapa Faris Affandy Karamah dan
apa yang akan menimpa pada diri Faris Affandy Karamah. Faris Affandy
Karamah adalah orang kaya raya, karena kekayaan yang dimilikinya
membuat ia memiliki sifat terpuji. Kekayaannya itu akan membawa
dirinya pada kesengsaraan, karena orang baik pada tabiatnya akan selalu
berbuat baik hingga kebaikkannya itu dimanfaatkan orang sekalipun, ia
tidak akan pernah berfikir dan merasa bahwa dirinya sedang dimanfaatkan.
٩١٩١:٩١
Wa li Fa>risu Kara>mahu ibnatun wachidatun taskunu maʻahu manzila>n fakhma>n fi> dha>chiyatil-madi>nah, wa hiya tusya>bihahu bil-akhla>qi wa laisa baina‘n-nisa>i man tuma>tsiluha> riqqatan wajama>la>n, wa hiya aidha>n sataku>nu ta>ʻisatan li anna’ts-tsarwata wa>lidiha>‘th-tha>’ilah tuwaqifuha>‘l-a>n ‘ala> syafi>rin ha>wiyatin mazhlumatin mukhi>fatin.
33
“Faris Affandy Karamah memiliki anak gadis satu-satunya yang
tinggal bersama di sebuah rumah megah di sudut kota. Sifat anak
gadis itu mirip dengan ayahnya. Tidak ada gadis yang menandinginya
dalam hal kehalusan budi bahasa dan kecantikannya. Gadis sebaik
dan secantik itu juga akan hidup menderita. Sebab, kekayaan yang
dimiliki sang ayah akan membuatnya berada di tepi jurang yang amat
gelap dan menakutkan”.
Berdasarkan kutipan di atas dapat dijelaskan bahwa perkenalan
tokoh aku dengan Salma Karamah secara tidak langsung. Perkenalan
antara tokoh aku dan sosok Salma hanya digambarkan oleh teman tokoh
aku. Salma adalah gadis lembut dan cantik. Kecantikan Salma tidak
seorang perempuanpun di Lebanon mampu menandinginya, akan tetapi
nasib telah menggariskan bahwa Salma juga akan menderita karena
kekayaan ayahnya, Faris Affandy Karamah. Salma Karamah adalah
seorang gadis yang penuh bakti kepada ayahnya, seperti terlihat dalam
kutipan berikut ini:
٩١٩١:٩٨
Tsumma za>da qa>’ila>n: Fa>risu Kara>mahu syaikhun syariful-qalbi kari>mu‘sh-shifa>ti wa la>kinnahu dha‘i>ful-ira>dati yaqu>duhu riya>’u’n-na>si ka>l-a‘ma> wa tu>qifahu matha>miʻuhum ka>l-akhrasi. Amma> ibnatun fatakhdha‘u mumtatsilatan li ira>datihil-wa>hinah ‘ala> raghmi kulli ma> fi> ru>chiha>l-kabi>rah minal-quwa>yi wal-muwa>hibi. Wa ha>dza> huwa‘sy-syirul-ka>minu wara>’a chayatil-wa>lidi wa ibnatihi. Wa qad fahimu ha>dza>‘s-sira rajulun bi atlafi fi> syachshihi’th-tham„i bil-riya>’i wal-khabtsi bi’d-daha>’i, wa ha>dza>’r-rajulu huwa Mathra>ni tasi>ru qaba>’ichuhu bidhillil-inji>lli fa tazhharu li’n-nasi ka>l-fadha>’ili.
34
Kemudian ia menambahkan sedikit, “Faris Affandy Karamah adalah
orang tua yang berhati mulia. Ia adalah orang yang berhati ikhlas di
tengah orang-orang yang suka menjilatnya, yang menuntunnya bagai
orang buta. Sedangkan anak perempuannya hanyalah seorang gadis
yang penuh bakti pada sang ayah karena kebesaran jiwa dan
kewibawaannya. Ini adalah rahasia yang tersembunyi di balik
kehidupan seorang ayah dan putrinya. Rahasia tersingkap oleh
seorang durjana yang rakus dan suka dipuji. Ia adalah seorang
pendeta, yang menyembunyikan kejahatannya di balik bayang-bayang
injil, sehingga dalam pandangan orang lain, kejahatannya adalah
kebaikkan”.
Berdasarkan kutipan di atas dapat dijelaskan bahwasanya rahasia
yang tersembunyi akan terungkap oleh kejahatan seorang pendeta. Rahasia
yang dimaksud adalah sesuatu hal yang akan menimpa Faris Affandy
Karamah dengan Salma Karamah. Pendeta tersebut adalah pendeta yang
selalu bersembunyi di balik bayang-bayang injil. Hal demikian dilakukan
dengan tujuan menjadikan kejahatannya supaya dipandang sebagai
kebaikkannya oleh orang-orang. Pendeta tersebut memiliki tabiat yang
buruk, walaupun seperti itu orang-orang tetap menganggapnya baik dan
mematuhi perintahnya. Semua tunduk bersujud kepadanya. Pendeta itu
akan menikahkan Salma Karamah dengan kemenakannya. Hal ini dapat
dilihat dari kutipan berikut:
٩١٩١:٩٨
35
Huwa ra’i>su di>nin fi> bila>dil-adya>ni wal-madza>hhibi takha>fuhul-arwa>chu wal-ajsa>du wa takhurru ladaihi sa>jidatan mitslama> tanchani> riqa>ba anʻa>mi ama>mal-jaza>ri. Wa li ha>dza>l-mathra>nu ibnu akhin tatasha>raʻu fi> nafasihi ‘ana>shiral-mufa>sidi wal-maka>rihi mitslama> tataqallabul-‘aqa>ribu wal-afa>̒ iyu ‘ala> jawa>nibil-kahu>fi wal-mustanqaʻa>ti. Wa laisa yaʻi>da>n al-yaumi’l-ladzi yantashibu fi>hil-mathra>ni bi mala>bisihil-jabariyyah ja>ʻila>n ibna akhi>hi ‘an yami>nihi wa ibnata Fa>risin Karamahu ‘an syima>lihi ra>fiʻa>n bi yadihil-atsi>mah akali>lu’z-zawa>ji fauqa ra‟si>hima> muqayyada>n bi sala>silil-takhi>ni wal-taʻzi>mi jasada>n tha>hira>n bi ji>fitin muntinatin, ja>miʻa>n fi> qabdhati’sy-syari>ʻatil-fasidah ru>chan sama>wiyatin bidza>ti tara>biyah, wa>dhiʻa>n qalbu’n-naha>ri fi> shadri’l-laili.
“Dia adalah pemuka agama di negeri yang orang-orangnya taat
beragama. Orang-orang mematuhi segala perintahnya. Semua tunduk
bersujud kepadanya bagaikan sekawan hewan ternak yang digiring ke
hadapan tukang jagal. Pendeta ini mempunyai seorang keponakan
laki-laki, yang di dalam dirinya berkumpul watak buruk dan sifatnya
jahat, bagaikan kalajengking dan ular yang berdiam di sisi-sisi gua
dan di dalamnya kubangan air. Tidak lama lagi, pasti akan segera
tiba suatu hari di mana sang pendeta berdiri dengan jubahnya,
menempatkan kemenakannya di sisi kanan dan putri Faris Affandy
Karamah di sebelah kiri. Lalu tangan yang berlumur dosa itu, akan
mengangkat mahkota perkawinan di atas kepala mereka, mengikatkan
rantai mantra-mantra dan jimat-jimat pada tubuh yang suci,
merengkuh ruh yang mulia dengan genggaman hukum yang
membinasakan, menempatkan siang ke dalam dada malam”.
b. Peristiwa Kedua
Peristiwa kedua adalah tokoh aku dengan tokoh Salma Karamah
saling jatuh cinta. Peristiwa ini diawali dengan pertemuan tokoh aku dan
Salma Karamah kali pertamanya secara langsung. Hal ini tampak dari
kutipan berikut:
٩١٩١:١٩
Fi> tilka’d-daqi>qah dhaharat min baina sata>’iril-ba>bbil-makhmiliyyah shabiyyatan tartaddi> atsawa>ba>n minal-chari>ril-abyadhi’n-na>̒ imi wa
36
masyat nahwa> bi buth’in, fauqaftu wa waqafa’sy-syaikhu qa>’ila>n: hadzihi ibnati> Salma>.
Beberapa saat kemudian dari balik daun pintu bertirai beludru,
seorang wanita muda yang cantik memakai gaun dari sutra putih nan
indah, melangkah perlahan ke arahku. Aku berdiri dan Faris Affandy
Karamah juga berdiri, seraya memperkenalkan, “Ini adalah putriku,
Salma”
Berdasarkan kutipan di atas dapat dijelaskan bahwa tokoh aku kali
pertamanya melihat kecantikan Salma Karamah dan terpesona dengan
kecantikannya. Perasaan tokoh aku tergugah dan benih-benih cinta mulai
tumbuh dalam hatinya karena kecantikan Salma. Ketertarikannya dengan
Salma sebagai wanita yang kali pertama dilihat begitu kuat. Hal ini dapat
dilihat dalam kutipan berikut:
٩١٩١:١٩
Fa taqaddamat ash-shachbiyyah ilayya wachadaqat ila> ‘ainiyun ka-annaha> turi>du an tastanthiqahuma> ‘an chaqi>qati amri> wa taʻlamu minhuma> asba>ba maji>’i> ila> dzalikal-maka>ni, tsumma akhadzat yadayya bi yadin tadharaʻu zanbiqatil-haqli baya>dha>n wa nuʻu>wimatan, fa achsastu ‘inda mula>masatil-akafu bi ‘a>thifah ghari>bah jadi>dah asybaha syai’in bil-fikri’sy-syiʻri> ‘inda ibtada>’i takwi>nihi fi> makhi>latil-ka>tibi.
Dengan tatapan tajam ke mataku, gadis itu mendekat, seakan hendak
mencari penjelasan dari kedua mataku siapa diriku sebenarnya.
Tatapan itu seakan ingin mengetahui sebab kedatanganku ke
rumahnya. Kemudian dia meraih tanganku dengan tangannya yang
lembut laksana bunga melati yang putih dan indah, seperti tanpa dosa.
Aku merasakan sentuhan tangannya mengalirkan perasaan aneh, yang
dengan tiba-tiba menyerbu jantungku. Bagaikan sebuah ilham yang
menyihir jiwa dan pikiran seorang penyair.
37
Berdasarkan kutipan di atas dapat dijelaskan bahwa tokoh aku
merasakan ketertarikan dari diri Salma terhadapnya. Salma menarik tangan
tokoh aku seolah menandakan bahwa dia telah menemukan dan yakin
kehadiran tokoh aku akan membuat hidupnya menjadi lebih indah, namun
perasaan tokoh aku masih berkecamuk dan belum meyakini perasaan yang
bergejolak di dalam jiwanya. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan berikut:
٩١٩١:١٣
Fa hal fahimtu ru>chi> ru>cha Salma> fi ‘asyiyah dzalika’n-naha>ri faja‘alani>’t-tafa>hum ara>ha> ajmala imra‘atin ama>ma’sy-syamsi am hiya sakratu’sy-syabi>bati’l-lati> taj‘aluna> fatachayala rusu>ma>n wa isba>cha>n la> chaqi>qata laha>? Hal a‘matini>l-fatwah fatawahamat al-‘asyi‘ah fi> ‘aini> Salma> wa chala>watun fi> tsaghriha> wal-riqqatu fi> qaddiha> am hiya tilkal-chala>wah wa tilkal-riqqatu’l-lati> fatachat ‘aini> li turi>ni> afrachal-chubbi wa achza>nuhu? Apakah jiwaku telah memahami jiwa Salma pada kehidupan siang itu,
lalu membuatku melihatnya seolah perempuan paling cantik di bawah
matahari ini ataukah itu adalah mabuk anggur masa muda yang
membuat kami berkhayal akan bayangan dan gambaran sesuatu yang
tak pernah nyata? Apakah keremajaan membutakan dan membuatku
membayangkan pancaran mata Salma, kemanisan di mulutnya, dan
roma kehalusan di pipinya ataukah semuanya itu telah membukakan
mataku agar melihat kebahagiaan dan nestapa?
Berdasarkan kutipan di atas dapat dijelaskan bahwa belum ada
keyakinan dalam diri tokoh aku mengenai perasaan cintanya kepada
Salma. Perasaannya masih dalam kebimbangan, hingga pada suatu hari
Faris Affandy Karamah mengundang tokoh aku makan malam di
rumahnya. Tokoh aku merasa bahwa perasaan di antara dirinya dengan
38
Salma menjadi jelas dan menemui titik terang perasaan masing-masing.
Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut:
٩١٩١:٣٠
Wa ba‘da hani>hatin kharaja Fa>risu Kara>mahu ila>l-chadi>qah wa masya> nahwana> murachiba>n bi> ka-‘a>ditihi ba>sitha>n yadahu ila> ka-anahu yuridu an yuba>rika biha> dzalika’s-sirul-khufiyyu’l-ladzi yarbuthu ru>chi> bi ru>chi ibnatahu, tsumma qa>la mubtasima>n: halumma> ya> waladi> ila>l-‘asya>’i fa>’th-tha‘a>mu yantazhiruna>. Faqumna> wa tab‘ana>hu wa Salma> tanzhuru ila> man wara>’a ajfa>ni makchu>lah bi’r-riqqah wal-in‘itha>fi ka-anna lafzhuhu ((ya> waladi>)) qad aiqazhat fi> da>khaliha> syu‘u>ra>n jadi>da>n ‘adzba>n yaktanifi machabbataha> li> mitsluma> tachatadhinul-‘ummu thiflaha>. Setelah beberapa saat berlalu, Faris Affandy Karamah keluar dan
menyambutku seperti biasanya. Ketika ia merentangkan tangannya
untukku, aku merasa ia memberkati segala rahasia yang menyatukan
aku dengan putrinya. Kemudian beliau berkata: “Makan malam telah
siap anak-anakku. Mari kita ke sana” Kami bangun mengiringi
langkahnya. Salma Karamah melirikku dari balik kelopak matanya
dengan berbinar-binar. Kata-kata ayahnya yang memanggil kami
dengan „anak-anakku‟ mengahadirkan perasaan yang manis, yang
menyikap rahasia cintanya kepadaku, bagaikan seorang ibu yang
hendak merengkuh anaknya.
c. Peristiwa Ketiga
Peristiwa ketiga adalah Pendeta Ghalib melamar Salma Karamah
untuk kemenakannya, Manshur Bek Ghalib. Peristiwa kedua ini diawali
dengan datangnya utusan pendeta untuk menjemput Faris Affandy
Karamah. Hal ini tampak dari kutipan berikut:
39
٩١٩١:٣٩
Wa lam naltahu minal-‘asyai hatta> dakhalat ‘alaina> ‘ichda>l-kha>dima>tu wa khathabat Fa>risu Kara>mahu qa>’ilatan: fi>l-ba>bi rajulun yathlubu muqa>balatika ya> Sayidi>. Fa sa’alaha>: man huwa ha>dza>’r-rajulu? Fa aja>bat: adhunnuhu kha>dimul-mathra>ni ya> Sayidi>. Fa sakata daqiqatan wa hadaqa ila> ‘aini> ibnatihi nazhi>ru nabiyin yanzhuru ila> wajhi’s-sama>’i li yura> ma> tukhbi’uhu minal-‘asra>ri, tsumma’t-tafata nahwal-khadimah wa qa>la: da‘i>hi yadkhulu.
Belum selesai makan malam kami, salah seorang pelayan perempuan
masuk dan memberitahukan kepada Faris Affandy Karamah,
“Seseorang ingin bertemu denganmu, Tuan”
“Siapa dia?” tanya Faris Affandy Karamah.
“Saya kira ia adalah utusan Pendeta,” jawab si pelayan perempuan.
Orang tua itu diam sejenak dan menatap putrinya seperti seorang nabi
yang melihat langit untuk mengetahui segala rahasianya. Kemudian
beliau berujar kepada pelayan perempuan itu, “Biarkan orang itu
masuk”
Berdasarkan kutipan di atas dapat dijelaskan bahwa ketika tokoh
aku belum selesai makan malam bersama keluarga Faris Affandy
Karamah, datang seorang tamu yang ingin menemui Faris Affandy
Karamah. Tamu tersebut adalah utusan dari pendeta, seolah-olah Faris
Affandy tahu benar apa yang akan menimpa kepada putrinya, Salma
Karamah. Bukti tekstual lainnya terlihat dari kutipan berikut:
٩١٩١:٣٩
40
Fa ‘a>datil-khadimah, wa ba‘da hani>hatin zhahara rajulun bi atswa>bi mazrakisysyatin wa sya>ribi ma‘qu>fi’th-tharafaini, fa salama munchaniya>n wa kha>thaba Fa>risu Kara>mahu qa>’ila>n: qad ba‘atsani> siya>datal-mathra>nu bi markabatahul-khushu>shiyah li athluba ilaika an tatakarama bi’dz-dziha>bi ilaihi, fahuwa yuri>du an yuba>chatsuka bi amwarin dza>tu ahmiyatin.
Pada saat pelayan perempuan itu berlalu, seorang laki-laki berpakaian
seragam ketimuran dan berkumis tebal melengkung diujungnya,
masuk dan memberi salam, lalu berkata pada Faris Affandy Karamah,
“Yang Mulia Pendeta telah menyuruhku untuk menjemput Tuan,
dengan kereta pribadinya. Beliau ingin sekali membicarakan masalah
penting denganmu”.
Peristiwa kedua semakin memuncak ketika Faris Affandy Karamah
kembali setelah memenuhi permintaan Pendeta. Faris Affandy Karamah
mengabarkan tentang pertemuannya dengan Pendeta. Hal ini terlihat dari
kutipan:
٩١٩١:٣١
Wa bala‘atil-markabah madkhalul-chadi>qah fa tarajjalu Fa>risu Kara>mahu wa sa>ra nahwana> munchani>’r-ra’su bathi>’ul-charakah, wa nazhi>ru mut‘abi ra>zichin tahta chamlin tsaqi>lin taqaddama nahwa Salma> wa wadha‘u kilta> yadaihi ‘ala> katifaiha> wa chadaqa ila> wajhiha> thawi>la>n ka annahu yakhafu an taghi>ba shu>rataha> ‘an ‘ainaihi’dh-dha’i>lataini, tsumma insakabat dumu>‘ahu ‘ala> wajnataihil-mutaja‘idataini wa irtajaghat syafata>hu bi ibtisa>mah muchzinatin wa qa>la bi shauti makhnu>qin: ‘amma> qari>ba ya> Salma>, ‘amma> qari>bin takhruji>na min baina dzira>‘a> waliduka ila> dzira>‘a>yun rajulin a>kharin. ‘Amma> qari>ba tasi>ru bika sunnata’l-llah min ha>dza>l-manzilil-munfaridi ila> sa>chatil-‘a>lamil-wasi‘ah fa tushbichu hadzihil-chadi>qah
41
musyta>qatan ila> wath’i qadamaiki wa yashi>ru waliduki ghari>ba>n ‘anki. Laqad lafzhal-qadru kalimatahu ya> Salma>, fal-tuba>rikuki’s-sama>’u wa tachrasuki!
Kereta sudah mencapai pintu masuk taman, saat itu Faris Affandy
Karamah turun dan berjalan pelan-pelan ke arah kami. Kepalanya
tertunduk menghujam tanah, seakan-akan ada beban yang sangat berat
sedang dipikulnya. Dia mendekati Salma dan meletakkan kedua
tangannya di bahu putrinya itu sambil menatapnya dalam-dalam. Air
mata berlinang membasahi pipi yang sudah tampak keriput dan
bibirnya bergerak-gerak dengan senyuman yang hambar dan
menyedihkan. Suaranya tercekik saat beliau mengatakan, “Salma,
putriku sayang, rasanya terlalu cepat engkau dirampas dari dekapan
ayahmu dan nasib akan membawamu dari rumah sunyi ini ke sebuah
tempat yang lapang di dunia lain. Taman ini akan senantiasa
merindukan jejak kakimu dan ayahmu akan menjadi orang asing
bagimu. Takdir telah mengucapkan keputusannya, wahai Salma,
semoga Tuhan memberkatimu!”.
Berdasarkan kutipan di atas dapat dijelaskan bahwa ketika Faris
Affandy Karamah sampai di rumah, ia turun dari kereta dan berjalan
pelan-pelan ke arah tokoh aku dan Salma. Ia berjalan dengan kepala
menghujam ke tanah karena memikul beban yang berat. Dia mendekati
Salma dan meletakkan kedua tangannya di bahu Salma, sambil
menatapnya dalam-dalam. Faris Affandy kemudian menangis dengan
senyuman yang hambar dan menyedihkan di bibirnya. Faris Affandy
mengatakan kepada putrinya, bahwa nasib akan membawa Salma ke dunia
yang lain dan meninggalkan ayahnya di rumah sendirian, tiba waktunya
untuk Salma berpisah dengan ayahnya, akan tetapi Salma tidak memahami
apa maksud perkataan ayahnya, terbukti dari kutipan berikut ini:
42
٩١٩١:٣١
Sami‘at Salma> hadzihil-kalima>ti fa taghayarat mala>michuha>, jamadat ‘aina>ha> ka annaha> ra’at syabihul-mauti muntashaba>n ama>maha>, tsumma syahaqat wa tamlalat mutawaji‘atan ka ‘ushfu>ri rama>hu’sh-shiya>di fuhabitha ‘ala>l-chadhi>dhi murtajafa>n bi a>lamihi, wa bi shauti taqtha‘ahul-ghusha>tul-‘amiyuqah sharakhat qa>’ilatan: ma>dza> taqu>lu? Ma>dza> ta‘ni>? Ila> aina turi>du an tab‘atsa biy?
Mendengar kata-kata itu, reduplah kedua mata Salma, seakan-akan ia
sedang melihat bayang kematian di hadapannya. Ia kemudian
berteriak bagai seekor burung yang jatuh ditembus panah, terkapar di
atas rerumputan menahan sakit. Dengan suara tercekik sempat
kudengar ia bertanya, “Apa kata ayah? Apa maksudmu, Ayah?
Kemana engkau akan mengirimku?”.
Berdasarkan kutipan di atas dapat dijelaskan bahwa Salma merasa
sedih dengan apa yang dikatakan ayahnya, namun di sisi lain Salma tidak
memahami apa maksud perkataan ayahnya. Salma merasa sedih jika harus
berpisah dengan ayahnya, namun ia tetap mencari jawaban atas keraguan
dan ketidak pahamannya, bukti tekstual lainnya yaitu:
٩١٩١:٤٠
Tsumma syakhishat bihi ka annaha> turi>du an tazi>la bi nazhara>tiha>l-ghila>fa ‘an makhba>ti shadrihi. Wa ba‘da daqi>qatin mutsqalatin bi ‘awa>mili dzalika’s-suku>nu’sy-syabi>hu bi shara>khil-qubu>ri qa>latu muta’awihatan: qad fahimtu’l-a>n ... qad ‘araftu kulla syai’in ... innal-mathra>na qad faragha min chubiki qadhuba>nul-qafshi’l-ladzi> a‘addahu li ha>dza>’th-tha>’iral-maksu>ral-jana>chaini, fa hal hadzihi hiya> ira>datuka ya> wa>lidi>? Kemudian ia menatap ayahnya dengan tajam, berusaha mencari
jawaban dari pertanyaannya. Dalam sekejap saja dia berkata, “Aku
mengerti. Aku dapat memahami semuanya. Pendeta itu telah
43
mempersiapkan sebuah sangkar bagi burung yang patah sayapnya
ini. Apakah ini juga keinginanmu, Ayah?”.
Berdasarkan kutipan di atas dapat dijelaskan bahwa Salma mencari
jawaban atas pertanyaannya sendiri, dalam waktu yang singkat Salma
telah mengetahui apa maksud dari perkataan ayahnya. Maksud dari
keinginan pendeta bertemu dengan ayahnya adalah untuk membicarakan
keinginan pendeta melamar Salma untuk disandingkan dengan
kemenakannya. Hal ini terlihat dari kutipan berikut:
٩١٩١:٤٣.)
Ma> thalabal-Mathra>nu Bu>lisu Gha>libu muqa>balatu Fa>risu Kara>mahu fi> tilka’l-lailatil-muqmirah li yufa>widhahu bi syu’u>nil-fuqara>’i wal-‘u>zi>ni au yukha>birahu bi umuril-aramilu wal-aita>mu, bal akhdharahu bi markabatihil-khushu>shiyahil-fukhumah li yathlubu minhu ibnatahu Salma> ‘aru>sa>n li ibni akhi>hi Manshu>ra Bika Gha>libu. Apa yang diharapkan oleh Pendeta Ghalib di hadapan Faris Afffandy
Karamah di malam itu bukanlah mengenai permasalahan yang
berhubungan dengan orang miskin, janda-janda tua atau yatim piatu.
Tetapi ia menghadirkan Faris Affandy Karamah dengan kereta khusus
dan megah dengan tujuan melamar putrinya, untuk disandingkan
dengan kemenakan laki-lakinya, Manshur Bek Ghalib”.
Berdasarkan kutipan di atas dapat dijelaskan bahwa pertemuan
antara Faris Affandy Karamah dengan Pendeta Ghalib bukanlah mengenai
permasalahan yang berhubungan dengan orang miskin, janda-janda tua
ataupun para yatim piatu. Pendeta Ghalib menghadirkan Faris Affandy
Karamah dengan kereta khusus dan megahnya dengan tujuan untuk
44
melamar putrinya, Salma Karamah. Salma akan dinikahkan dengan
kemenakan laki-lakinya yang bernama Manshur Bek Ghalib.
d. Peristiwa Keempat
Peristiwa keempat adalah Salma Karamah dan Manshur Bek
Ghalib menikah. Peristiwa ini justru membuat Faris Affandy merasa sedih,
ia tidak sanggup berbuat apapun ketika Pendeta Ghalib meminta Salma
untuk disandingkan dengan kemenakannya, Manshur Beka Ghalib di
pelaminan. Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut:
٩١٩١:٤٤
‘Indama> thalabal-Mathra>nu Bu>lisu yada Salma> min wa>lidiha> lam yajibuhu dzalika’sy-syaikhu bi ghairil-suku>til-‘ami>qi wa>’d-dumu>‘i’s-sakhi>nah.
Ketika pendeta meminta persetujuan Faris Affandy Karamah untuk
menyandingkan Salma dengan kemenakannya, jawaban yang dia
terima hanyalah diam yang bisu dan linangan air mata.
Berdasarkan kutipan di atas dapat dijelaskan bahwa Faris Affandy
Karamah sama sekali tidak memberikan jawaban atas permintaan Pendeta
Ghalib, karena Faris Affandy Karamah tahu siapa Manshur Bek Ghalib.
Hal ini diperkuat dengan kutipan berikut:
٩١٩١:٤٤
Aja>ba asy-syaikhu thalabal-Mathra>nu mudhthara>n wa>nuchana> ama>ma masyi>’atihi qahra>n ‘ama> fi> da>khili nafsihi minal-mama>na‘ah, wa ka>na qad ijtama‘a bi ibni akhi>hi Manshu>ri Bika wa sami‘a’n-na>sa
45
yatachaddatsu>na ‘anhu fa ‘arafa khusyu>nutahu wa thama‘ahu wa inkhitha>tha akhla>qihi.
Faris Affandy Karamah terpaksa harus tunduk menerima permintaan
pendeta itu. Meski ia tahu betul siapa kemenakan si pendeta, Manshur
Bek Ghalib, orang yang culas, tamak dan berperangai buruk.
Berdasarkan kutipan di atas dapat dijelaskan bahwa Faris Affandy
Karamah terpaksa menerima permintaan Pendeta Ghalib, meski ia tahu
Manshur Bek Ghalib adalah orang yang culas, tamak dan berperangai
buruk. Alasan lain yang menyebabkan Faris Affandy tidak dapat menolak
permintaan tersebut yaitu seperti yang ada di dalam kutipan berikut ini:
٤٥-٩١٩١:٤٤
Wa la>kin ayyu Masi>chi> yaqadiru an yuqa>wima asqufa>n fi> Su>riya> wa yabqa> machsu>ba>n bainal-mu’minaini, ayyu rajulin yakhruju ‘an tha‘ah ra’i>si di>ni>hi fi>’sy-syarqi wa yuzhilu kari>ma>n baina‘n-nasi? Atu‘a>nidul-‘ainu sahma>n wa la> tufqa’u au tunazhilul-yadu saifa>n wa la> taqtha‘u? Wahab an dzalika‘sy-syaikhu ka>na qa>dira>n ‘ala> mukha>lafatil-Mathra>nu Bu>lisi wal-wuqu>fa ama>ma mathami‘ahu fa hal taku>nu sum‘atu ibnuhu fi> ma’mani mina’zh-zhunu>ni wa’t-ta>wi>li, wa hal yazhilu ismuha> naqiya>n min ausa>khi’sy-syafa>hi wal-alsinah? au laisat jami>‘ul-‘ana>qi>dil-‘aliyah cha>midhatun fi> syuru‘i bana>ti a>wi >?
Di Siria, tak ada orang Kristen yang berani melawan pendetanya.
Tiada seorangpun yang berani mengingkari perintah pemimpin
agamanya. Meski sang pendeta jahat tetapi akan tetap dianggap orang
baik-baik. Meskipun sang pemuka agama itu culas, ia tetap akan
dimuliakan oleh masyarakat. Mata tidak dapat melawan tombak tanpa
tercungkil dan tangan tidak bisa menggenggam pedang tanpa tertebas.
Seandainya orang tua itu menentang dan menolak keinginan si
pendeta, maka nama baik Salma akan jatuh. Ia akan selalu
direndahkan oleh bibir dan lidah orang-orang yang kotor.
46
Berdasarkan kutipan di atas bahwa Faris Affandy terpaksa
menerima permintaan tersebut karena di Siria, tidak ada orang Kristen
yang berani melawan pendetanya. Tidak ada seorangpun yang berani
melawan dan mengingkari perintah seorang pendeta. Meski pendeta itu
jahat, ia tetap dianggap orang baik-baik. Meskipun pendeta itu culas, ia
tetap akan dimuliakan masyarakat. Faris Affandy Karamah terpaksa
menerima permintaan tersebut karena jika dia menentang dan menolak
permintaan pendeta, maka nama baik Salma akan jatuh. Salma akan
direndahkan oleh bibir dan lidah-lidah yang kotor. Takdir telah mengucap
keputusan bahwa Salma harus menikah dengan Manshur Bek Ghalib. Hal
ini terlihat dari kutipan berikut:
٩١٩١:٦١
Wa tazawwaja Manshu>ru Bika Gha>libu min Salma> fa sakana> ma‘a>n fi> manzili fakhamin qa>’imin ‘ala> sya>thi>’il-bachri fi> ra’si Bairu>ta chaitsu yaqthunu wujaha>’il-qaumi wal-aghniya>’i wa baqa> Fa>risu Kara>mahu wachidahu fi> dzalikal-baitil-munfaridi bainal-chada>’iqi wal-basa>ti>ni infira>da’r-ra>‘i> baina a‘na>mihi wa madhat. Manshur Bek Ghalib dan Salma telah resmi dipersandingkan di
pelaminan. Kini mereka tinggal di sebuah rumah yang terletak di tepi
pantai di ujung kota Beirut. Tempat tinggal para hartawan dan orang-
orang terkemuka. Faris Affandy Karamah tetap tinggal di rumahnya
yang sunyi, di antara taman dan kebun, laksana seorang gembala
kesepian di antara kawanan ternaknya.
Berdasarkan kutipan di atas dapat dijelaskan bahwa Manshur Bek
Ghalib dengan Salma Karamah telah resmi menikah. Mereka tinggal di
47
sebuah rumah yang terletak di tepi pantai ujung kota Beirut, di mana
kawasan tersebut adalah tempat tinggal para hartawan dan orang-orang
terkemuka. Adapun Faris Affandy Karamah tetap tinggal di rumahnya
yang sunyi.
Perkawinan di alam Timur yang berlandaskan dan mementingkan
harkat serta martabat saja pada akhirnya akan menjatuhkan mereka sendiri
ke dalam kesedihan dan kesusahan. Hal tersebut juga akan dialami oleh
Salma Karamah, karena pernikahannya dengan Manshur Bek Ghalib tidak
diilhami oleh cinta yang hakiki, namun diilhami oleh harkat dan martabat
yang dikejar oleh Manshur Bek Ghalib. Pendeta Ghalib menikahkan
kemenakannya dengan Salma karena Salma adalah anak orang hartawan,
oleh karenanya jika Pendeta Ghalib menikahkan kemenakannya itu, maka
harkat dan martabat kemenakannya akan terangkat oleh kekayaan ayah
Salma Karamah. Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut:
٩١٩١:٦٣
Amma> ba‘niha> fa ka>na min u>la’ika‘r-rija>lu‘l-ladzina yachshulu>na bi ghairi ta‘abin ‘ala> kulli ma> yaj‘alul-chaya>h haniya’ata>n wa la> yaqna‘u>na bal yathmachu>na da>’ima>n ila> ma> laisa lahum, wa hakadza> yazhilu>na mu‘adzibi>ni bi mathami‘ihim ila> niha>yati aya>mihim. Wa bathila>n kuntu arju>’th-thuma’ni>nah li Farisi Karamahu li-anna shihurahu lam yastalim yada ibnatihi wa yachshulu ‘ala> amwa>liha>’th-tha>‘ilah hatta> nasiyahu wa hajarahu bal sha>ra yathlubu chatfahu tawashula>n ila> ma> baqiya min tsarwatihi.
48
Sedangkan suaminya adalah seorang laki-laki yang dengan mudah
dapat memperoleh segala bentuk kemewahan hidup. Tapi semua itu
tidak pernah membuatnya merasa puas, justru semakin rakus. Setelah
berhasil mengawini Salma, dia mengabaikan ayahnya yang hidup
dalam kesepian. Karena dengan demikian akan semakin cepat
waktunya untuk memperoleh warisan kekayaan orang tua Salma.
Berdasarkan kutipan di atas dapat dijelaskan bahwa Manshur Bek
Ghalib adalah laki-laki yang dengan mudah mendapatkan segala bentuk
kemewahan. Hanya dengan mengawini Salma, dia telah memperoleh
segala kemewahan. Hal tersebut tidak membuatnya merasa cukup, semua
itu semakin membuatnya rakus. Dia membiarkan ayah Salma hidup dalam
kesepian dengan tujuan agar ayah Salma cepat meninggal, dengan begitu
Manshur Bek Ghalib akan cepat memperoleh warisan orang tua Salma.
e. Peristiwa Kelima
Peristiwa kelima Faris Affandy Karamah meninggal dunia. Faris
Affandy Karamah hidup dalam kesepian tanpa seorang yang
menemaninya, hingga dia jatuh sakit. Hal ini tampak dari kutipan berikut:
٩١٩١:٦٥
٩١٩١:٦٦
Fadza>ta yaumin sami‘tu bi i‘tila>lin Fa>risu Kara<mahu, fa taraktu wachidati> wa dzahabtu li ‘iya>ditihi.
49
Balaghtu manzila’sy-syaikhi wa dzakhaltu ‘alaihi fa wajadtuhu mulqi> ‘ala> fira>syihi mudhna>l-jismi, sya>chibul-wajhu, ashfarul-launi, qad gharaqat ‘aina>hu tahta chajibaihi faba>nata>n kahwataini ‘ami>qataini muzhlimataini taju>lu fi>hima> asyba>chu’s-saqami wal-‘alami, fa>l-mala>michu’l-lati> ka >nat bi amsi ‘unwa>nul-basya>syati wal-inbisa>thu qad taqalashat wa>kfaharat wa ashbachat kashachi>fatin rama>diyatin mutaja‘idatin taktubu ‘alaiha>l-‘ilah suthu>ra>n ‘ari>batan multabisatan. Wal-yada>nil-lata>ni ka>nata> maghlufataini bil-luthfi wal-lida>nati qad nachilata> hatta> badat ‘izha>mu asha>bi‘ihima> min tahtil-jildi kaqadhba>ni ‘a>riyati tarta‘isyu ama>mal-‘a>shifah.
Pada suatu hari, aku mendengar kabar bahwa Faris Affandy Karamah
sedang sakit. Aku meninggalkan tempat tinggalku yang sunyi menuju
kediamannya. Sesampainya di rumah orang tua itu aku segera masuk menemuinya.
Ia sedang terbujur di pembaringannya. Tampak lemah dan pucat.
Matanya cekung, seperti dua buah jurang yang dalam serta gelap,
tempat hantu-hantu penderitaan dan kesakitan bergentayangan.
Senyum yang selalu menghiasi wajahnya kini tertutup oleh sakit dan
derita yang tak tehingga. Tulang tangannya yang perkasa, tampak
seperti ranting pohon yang telanjang berayun-ayun menahan topan.
Berdasarkan kutipan di atas dapat dijelaskan bahwa ketika tokoh
aku mendengar kabar Faris Affandy Karamah sakit, ia langsung
berkunjung ke rumahnya. Sesampainya di rumah orang tua itu, Faris
Affandy Karamah terbujur di pembaringannya. Ia tampak lemah dan
pucat. Kedua matanya cekung, menunjukkan penderitaan dan kesakitan
yang dialaminya. Senyum yang selalu menghiasi wajahnya, sekarang tidak
terlihat karena sakit dan derita yang tidak tehingga. Tulang tangannya
yang perkasa, sekarang tampak kecil dan rapuh seperti ranting pohon yang
telanjang berayun-ayun menahan topan.
Sakit yang diderita Faris Affandy bukanlah sakit yang disebabkan
oleh penyakit, namun sakit yang disebabkan oleh kondisi psikologi yang
tidak baik. Ia merasa kesepian dan merasa tidak bahagia semenjak
50
mendengar permintaan Pendeta Ghalib untuk menyandingkan putrinya,
Salma Karamah, dengan Manshur Bek Ghalib. Fikiran-fikiran tersebut
meracuni jiwanya dan menyebabkan psikologinya goyah dan sakit pada
fisiknya.
Saat-saat kepergian Faris Affandy Karamah ia tidak ingin
dipanggilkan dokter, karena baginya obat yang akan diberikan hanya akan
memperpanjang penderitaannya. Hal ini terlihat dari kutipan berikut:
٩١٩١:١٤
Waskut daqi>qatan wa zhaltu asyba>cha ‘alfa>zhihi tadabbu ‘ala> judra>nil-ghurfah, tsumma ‘a>da fa nazhara ilayya wa ila> Salma> bi waqtin wa>chidi wa qa>la hamisa>n: la> tad‘u> thabi>ba>n li yuthi>la bi masa>chi>qihi sa>‘a>ti sijni> li anna ayya>mal-‘ubu>diyah qad madhat fa thalabat ru>chi> churiyatal-fadha>’i. Suasana hening mencekam. Aku melihat mukanya memucat, pertanda
kematian telah mendekat. Kemudian dia memutar pandangan dan
melihat kami berdua, sambil berbisik, “Jangan panggil dokter sebab
obatnya akan memperpanjang hidupku dalam penjara ini. Saat-saat
perbudakan telah lewat, dan kini jiwaku menginginkan kebebasan
yang datang dari langit...”.
Berdasarkan kutipan di atas dapat dijelaskan bahwa muka Faris
Affandy Karamah pucat menandakan kematian telah mendekat. Faris
Affandy tidak menginginkan tokoh aku maupun Salma memanggil dokter,
karena bagi Faris Affandy obat yang akan diberikan dokter hanya akan
memperpanjang penderitaannya. Maksudnya adalah jika obat dari dokter
bisa menyembuhkan sakit yang diderita oleh Faris Affandy, maka
penderitaan yang disebabkan oleh belenggu kehidupannya akan terus
51
terjadi. Ia menginginkan kebebasan yang datang dari langit yaitu sebuah
kematian, karena dengan kematian semua perbudakannya, semua belenggu
yang mengikatnya akan lepas dan hilang.
Malam itu menjadi malam yang sangat menyedihkan bagi Salma
Karamah karena kematian ayahnya. Terlihat dari kutipan berikut ini:
٩١٩١:١٥
‘Indama> intashafa dzalika’l-lailul-mutchifu fatacha Fa>risu Kara>mahu ‘ainaihil-gha>riqataini fi> zhulmati‘n-naza‘i, fatachahuma> li a>khara marata, wa chawalahuma> nahwa ibnatahul-ja>tsiyah bi janibi madhja‘ihi, tsumma chawalal-kala>mu falam yastathi>‘u li annal-mauta ka>na qad tasyraba shautuhu fa kharajat hadizhil-alafa>zhu laha>tsa>n ‘ami>qa>n min baina syafataihi: ha> qad dzahaba’l-lailu ... wa ja>’a’sh-shaba>cha ... ya> Salma>. Ya> . Salma> ... Tsumma nakasa ra’sahu wa abyadhdhu wajhahu wa ibtsamat syafata>hu wa aslama’r-ruchu. Wa madat Salma> yadaha> wa lamisat yada wa>lidaha> fa wajadatha> bi iradatan ka>l-tsalji, fazfa‘at ra’saha> wa nazharat ilaihi fara’at wajhahu mubariqa‘a>n bi niqa>bil-mauti, fa jamadat al-hayah fi> jasadiha> wajafat ad-dumu>‘a fi> mucha>jiriha>, falam tatacharak walam tashrakhu wa lam tata’awahu, bal baqiyat machdiqatan ilaihi bi‘ainaini ja>midataini ka-‘aini>l-timtsa>li, tsumma tara>khat a‘dha>’uha> mitslama> tatara>kha> thaya>tu’ts-tsaubil-laili, wa habathat chayu> lamasata jabuhatuha>l-ardha, tsumma qa>lat bi hudu>’in: isyfiq ya> rabbu wa syadid jami>‘ul-ajnichatal-mutakassirah.
52
Di tengah malam Faris Affandy Karamah membuka matanya yang
letih untuk terakhir kali, dan memandang lekat-lekat kepada Salma
yang berlutut di sampingnya. Dia berusaha untuk berbicara tapi tak
kuasa, sebab kematian telah merenggut suaranya. Namun akhirnya dia
mampu berkata, “Malam telah berlalu dan pagi telah datang, Salma
... oh.. oh, Salma ...”
Kemudian kepalanya terkulai, wajahnya pucat pasi. Aku melihat
sekulum senyum tersungging di bibir saat dia menghembuskan nafas
terakhir.
Salma menyentuh tangan ayahnya, terasa dingin. Salma mengangkat
kepalanya dan menatap wajah ayahnya. Wajah yang diselimuti cadar
maut. Ia begitu tertegun hingga tak mampu menangis atau mengeluh,
bahkan ia tak dapat beranjak dari tempatnya. Untuk beberapa saat
lamanya dia hanya menatap ayahnya dengan pandangan kosong
laksana patung. Kemudian ia membungkuk hingga kepalanya
menyentuh lantai sambil berkata, “Oh Tuhan, tabahkanlah aku dan
kasihanilah aku. Sambunglah sayap-sayapku yang patah ini”.
Berdasarkan kutipan di atas dapat dijelaskan bahwa di tengah
malam Faris Affandy Karamah masih membuka matanya untuk yang
terakhir kalinya dengan lemah dan berkata pada Salma bahwa malam
(penderitaan ayahnya) telah berlalu dan pagi (kehidupan baru) telah
datang. Setelah berkata pada Salma, Faris Affandy Karamah
menghembuskan nafas terakhirnya dengan senyum tersungging di
bibirnya. Kesedihan begitu merasuk pada diri Salma, hingga ia tertegun
melihat kepergian ayahnya. Ia tidak mampu menangis atau mengeluh,
bahkan ia tidak mampu beranjak dari tempatnya. Ia hanya menatap wajah
ayahnya yang diselimuti cadar maut dengan tatapan kosong. Kemudian ia
membungkuk dan berkata: “Oh, Tuhan, tabahkanlah aku dan kasihanilah
aku. Sambunglah sayap-sayapku yang patah ini”. Karena baginya semua
pengharapan di dalam dirinya telah sirna, dan ia merasa tidak lagi
53
memiliki siapapun yang akan menemani hidupnya. Menghibur jiwanya
yang sepi.
Setelah kematian Faris Affandy Karamah, seluruh harta bendanya
diambil alih oleh Manshur Bek Ghalib. Hal ini terbukti dari kutipan
berikut:
٩١٩١:١٦
Ma>ta Fa>risu Kara>mahu wa ‘a>naqat al-abadiyah ru>chuhu wa istarja‘a ’t-tura>ba jasaduhu, wa istawali> Manshuru Bika ‘ala> amwa>lihi wa zhalat ibnatuhu asi>ratan tu‘a>situha> tara>l-chaya>h ma’asa>h ha>’ilatan tumatsiluha> incha>wafa ama>ma ‘ainaina>.
Faris Affandy Karamah telah meninggal dunia, ruhnya berada dalam
pelukan keabadian, dan jasadnya kembali ke bumi tempat ia berasal.
Manshur Bek Ghalib mengambil alih seluruh harta bendanya, dan
Salma menjadi seorang tawanan dalam hidupnya – hidup yang
dipenuhi oleh duka cita dan nestapa.
Berdasarkan kutipan di atas dapat dijelaskan bahwa Faris Affandy
telah meninggal dunia, sedangkan harta bendanya diambil alih oleh
Manshur Bek. Adapun Salma menjadi tawanan Manshur Bek, hidupnya
akan dipenuhi dengan duka cita dan nestapa.
f. Peristiwa Keenam
Peristiwa keenam adalah tokoh aku dan Salma Karamah kembali
menjalin cinta di belakang pengetahuan suaminya, Manshur Bek Ghalib.
Hal ini tampak dari kutipan berikut:
٩١٩١:١١
54
Fi> ha>dza>l-haikali’l-majhu>li kuntu altaqi> Salma> Kara>mahu maratan fi>’sy-syahri fa nashrifu’s-sa>‘a>ta’th-thuwa>li.
Di kuil yang tersembunyi itu, aku bertemu Salma sekali dalam sebulan
dan menghabiskan waktu bersamanya...
Berdasarkan kutipan di atas dapat dijelaskan bahwa di sebuah kuil
yang letaknya tersembunyi dan jarang di datangi orang, tokoh aku dengan
Salma sering bertemu dalam kurun waktu sebulan sekali dan
menghabiskan waktu berdua di tempat tersebut. Bukti tekstual lainnya
sebagai berikut:
٨٠-٩١٩١:١١
Kuna> nakhtali> fi> dzalikal-haikalil-qadi>mi fa najlisu fi> ba>bihi sa>nadaini zhahraina> ila> jida>rihi maradadaini shada> ma>dhaina> mustafshiyaini ma>ti> cha>dhiruna> kha>tsifiyana mustaqbiluna>. Tsumma natadarraju ila> izhha>ri ma> fi> a‘ma>qi nafsi>na> fa yasku> kullu mina> lau‘atahu wa chirqata qalbihi wa ma> yuqa>siyuhu minal-jaza‘i wal-chasurah, tsumma yushabbiru wa>chiduna>l-a>khara ba>sitha>n ama>mahu kulla ma> fi> juyu>bil-amali minal-awuha>mil-mufrichah wal-achla>mil-‘adzbah, fa yahda’u ru>‘una> wa tajifu dumu>‘una> wa tanfariju mala>michana>.
Kami bertemu secara sembunyi-sembunyi di kuil tua. Mengenang
hari-hari yang terlewati, membicarakan keberadaan kami sekarang,
dan mengkhawatirkan masa yang akan datang. Selanjutnya kami
saling menumpahkan rahasia yang tersimpan di hati, saling
mengeluhkan kesengsaraan dan penderitaan. Kami mencoba
menghibur diri dengan harapan yang menggembirakan dan mimpi-
mimpi indah. Sehingga ketakutan kamipun reda, kering air mata, dan
wajah kami bercahaya.
55
Berdasarkan kutipan di atas dapat dijelaskan bahwa tokoh aku dan
Salma bertemu di kuil tua dengan sembunyi-sembunyi. Mereka bertemu
untuk sekedar mengenang hari-hari yang sudah terlewati. Membicarakan
tentang keberadaan mereka dan mengkhawatirkan masa yang akan datang.
Selanjutnya mereka saling mengungkapkan rahasia yang ada di hati
mereka, saling mengeluhkan kesengsaraan dan penderitaan yang mereka
alami setelah berpisah. Mereka mencoba menghibur diri dengan harapan
dan mimpi-mimpi yang indah sekedar untuk menghilangkan ketakutan dan
air mata.
Bukti tekstual bahwa tokoh aku dan Salma menjalin cinta kembali
yaitu sebagai berikut:
٩١٩١:٨٠
Tsumma nabtasimu mutana>siyaini kulla syai’in siwa>l-chubbu wa afra>chuhu, mansharafaini ‘an kulli amrin illa>’n-nafsa wa muyu>laha>, tsumma nata‘a>naqu fa nadzu>bu syaghafa>n wa haya>ma>n, tsumma taqabbalu Salma> mufriqa sya‘ri> bi thuhri wa in‘ithafi fatamla’u qalbi> syi‘a>‘a>n, wa aqbalu athra>fa asha>bi‘aha>l-baidha>’u fa taghmadhu ‘ainaiha> wa talwa> ‘unuquha>l-‘a>ji> wa tatawarradu wajnata>ha> bi ichmara>rin lathi>fin yusya>bihil-asy‘atal-u>la>‘l-lati> yulqi>hal-fajaru ‘ala> jaba>hi’r-rawa>bi>. Kemudian kamipun tersenyum melupakan segalanya kecuali cinta,
berpaling dari segalanya, melupakan jiwa dan keinginan. Kami saling
berpelukkan hingga hati kami luluh. Kemudian Salma akan
memberikan ciuman yang suci di keningku dan mengisi hatiku dengan
kegembiraan yang tak terhingga. Aku akan membalas ciuman itu saat
dia membungkukkan leher gadingnya, sementara pipinya berubah
56
sedikit memerah mawar laksana sinar pertama fajar yang menerpa
kening bebukitan.
Berdasarkan kutipan di atas dapat dijelaskan bahwa pertemuan
tersebut membuat keduanya bahagia, hingga semua penderitaan dan
kesengsaraan yang mereka alami terlupakan. Mereka hanya mengingat
tentang cinta. Mereka berpelukkan hingga hati mereka luluh, kemudian
Salma memberikan ciuman yang suci di kening tokoh aku, hal itu
membuat hati tokoh aku merasa gembira yang tidak terhingga. Tokoh aku
akan membalas ciuman itu ketika Salma membungkukkan lehernya, dan
Salma merasakan kegembiraan yang sama.
Saat hati orang sedang merasakan penderitaan dan kesengsaraan
hidup yang sama dengan orang lain, maka ia akan lebih mengerti perasaan
satu sama lain. Adapun hati mereka saling mencintai sejak kali pertamanya
mereka bertemu, sehingga cinta yang tidak terwujud itu kembali dirajut
dibelakang pengetahuan suami Salma, bahkan tidak seorangpun tahu
tentang pertemuan dan hubungan yang mereka jalani. Hanya Tuhan dan
sekawan burung yang terbang di atas kuil yang mengetahuinya. Hal ini
terbukti dari kutipan berikut:
٩١٩١:٨٩
Wa lam yadri bi ijtima>‘a>tina>’s-Sirriyah achadan siwa>’l-llahu wa asrabul-‘asha>fi>ril-mutatha>yirah baina tilkal-busta>ni.
Tak seorangpun tahu mengenai pertemuan-pertemuan kami yang
dilakukan secara rahasia, kecuali Tuhan dan sekawan burung yang
terbang di atas kuil.
57
Tidak ada ketakutan sedikitpun di antara mereka. Hal ini terbukti
dari kutipan berikut:
٩١٩١:٨٩
Wa lam nakhafa qatha ‘aina’r-raqi>bi wa la> syi‘runa> bi wakhzil-dhami>ri, li anna’n-nafsa idza> tathaharat bi’n-na>ri wa ightasalat bi’d-dumu>‘i tatarafa‘u ‘amma> yad‘u>hu’n-na>su ‘aiba>n wa ‘a>ra>n.
Kami tidak takut sama sekali pada intaian mata, atau pada suara batin
yang mengganggu kami. Karena jiwa yang disucikan oleh api dan
dicuci dengan air mata lebih agung ketimbang apa yang disebut orang
dengan rasa malu dan aib.
Berdasarkan kutipan di atas dapat dijelaskan bahwa mereka sama
sekali tidak takut pada intaian mata yang mungkin dikirimkan oleh
Pendeta Ghalib ataupun suami Salma sendiri. Mereka merasa bahwa apa
yang mereka lakukan bukan hal yang memalukan dan bukan juga sebuah
aib. Mereka menganggap bahwa jiwa yang disucikan oleh api dan dicuci
dengan air mata itu lebih agung dibandingkan rasa malu dan aib.
g. Peristiwa Ketujuh
Peristiwa ketujuh adalah Salma Karamah memutuskan untuk
kembali pada suaminya dan memutus hubungan dengan tokoh aku. Hal
tersebut disebabkan karena Salma tidak ingin tokoh aku masuk ke dalam
perangkap dan menjadi mangsa dari kejahatan serta kebejatan Pendeta
Ghalib. Hal ini terbukti dari kutipan berikut:
٩١٩١:٨١
58
... Wa la>kinnani> akha>fu ‘alaika wa anta churrun kanu>ri’sy-syamsi an taqa‘a mitsli> fi> asyra>kihi fa yaqbidhu ‘alaika bi azha>firihi.
...Tapi aku mengkhawatirkan engkau, yang mungkin saja masuk ke
dalam perangkap, lalu menjadi mangsanya. Padahal engkau masih
muda dan bebas laksana sinar matahari.
Selain itu alasan Salma untuk tidak bertemu lagi dengan tokoh aku
adalah karena Pendeta Ghalib mulai mencurigai Salma. Pendeta Ghalib
sudah mengetahui bahwa sebulan sekali Salma meninggalkan kuburan
tempat ia menyekap Salma (rumah Salma dengan suaminya). Hal ini
terbukti dari kutipan berikut:
٩١٩١:٨١
Wa la>kinna’sy-syukuku tukha>miruhu wa’zh-zhunu>nu tatala>‘abu bi afka>rihi, wa qad batstsa ‘alayyal-‘uyu>nu li turaqibani> wa au‘aza ila> khidmihi li yatajassasu> charaka>ti> hatta> shirtu asy‘uru bi anna lil-manzili’l-ladzi askunuhu wa’th-thariqa>ti’l-lati> asi>ru ‘alaiha> nawa>zhiri tuchaddiqu bi> wa asha>bi‘a tusyi>ru ilayya wa a>dza>na>n tasma‘u hamsa afka>ri>. ...Tetapi dia mulai curiga, ia telah memerintahkan seluruh mata-mata
memperhatikanku dengan seksama. Aku merasa merasa rumah yang
kutempati dan lorong yang aku lewati, semuanya telah dihuni oleh
mata-mata yang mengawasiku. Jari-jarinya menunjuk padaku, dan
telinganya mendengar bisikan dalam pikiranku.
Berdasarkan kutipan di atas dapat dijelaskan bahwa Pendeta Ghalib
mulai curiga dengan gerak-gerik Salma yang meninggalkan rumahnya
sebulan sekali. Salma merasa bahwa rumah yang ia tempati, lorong yang ia
lewati semuanya telah dihuni oleh mata-mata yang diperintahkan oleh
Pendeta Ghalib.
59
Sebenarnya, sedikitpun Salma tidak menginginkan perpisahannya
dengan tokoh aku, namun Salma lebih berat mementingkan masa depan
tokoh aku. Hal ini terbukti dari kutipan berikut:
٩١٩١:٨١
... Wa la>kinani> akhafu ‘alaika wa anta fi rabi>‘il-‘umri an talsa‘al-af‘i > qadamaiki wa tawaqaffaki ‘anil-masi>ri nahwa qimmatil-jabali chaitsu yantazhirukal-mustaqbala bi afrachihi wa amja>dihi.
...Tapi yang ketakutanku adalah ular yang mungkin mematuk kakimu
dan memenjarakanmu, sehingga engkau tidak mampu mendaki
puncak gunung, di mana masa depan menunggumu dengan segala
kemudahan dan kemuliaannya.
Berdasarkan kutipan di atas dapat dijelaskan bahwa Salma takut
jika Pendeta Ghalib melumpuhkan dan memenjarakan tokoh aku, sehingga
tokoh aku tidak akan dapat meraih masa depannya dengan mudah dan
mulia. Bukti tekstual lain yang menunjukkan bahwa Salma tidak
mengingikan perpisahan dengan tokoh aku yaitu:
٩١٩١:٨٦
Fa aja>bat wa’d-dumu‘u yura>widu ajfa>niha>: la> ya> chabi>bi>. Inna ruchi> lam tathlubu fira>qaka li annaka syathruha>, wa la> malat ‘aini>’n-nazharu ilaika li annaka nu>ruhuma>. Wa la>kin idza> ka>nal-qadha>’u qad chakama ‘alayya an asi>ra ala> ‘uquba>til-chaya>h mutsqalah bil-quyu>di wa bi’s-sala>sili. Fa hal li ardha> an yaku>na nashi>buka minal-qadha>’i mitslu nashi>biy?
Dengan air mata yang menetes dari pelupukya, ia menjawab, “Tidak,
kekasihku, jiwaku tidak medamba perpisahan. Sebab engkau adalah
bagian diriku. Mataku tidak pernah jemu memandangmu, sebab
60
engkau adalah cahaya. Tapi jika nasib telah menggariskan bahwa aku
harus berjalan di lorong kehidupan yang gelap dan dibebani
belenggu, apakah akan kubiarkan dirimu mengalami nasib seperti
diriku?”.
Berdasarkan kutipan di atas dapat dijelaskan bahwa Salma sama
sekali tidak mendambakan perpisahan dengan tokoh aku, karena bagi
Salma tokoh aku sangat berarti bagi dirinya. Nasib telah menggariskan
Salma harus berjalan di lorong kehidupan yang gelap dan dibebani
belenggu, tentu ia tidak akan membiarkan nasib yang sama menimpa pada
kekasihnya, yaitu tokoh aku.
h. Peristiwa Kedelapan
Peristiwa kedelapan adalah Salma Karamah meninggal dunia.
Salma Karamah meninggal pada saat melahirkan. Hal ini tampak dari
kutipan berikut:
٩١٩١:١١
Wa ka>na ni>sa>nu qad ja>’a mutanaqila>n baina’r-ruwa>bi> wal-munchada>ti ‘indama> tamat aya>mu Salma> li talida bikruha>, wa ka anna’th-thabi‘ah qad wa>faqatha> wa ‘a>hadatha> fa akhadzat tadha‘u chamla aza>hiriha> wa talifa bi aqmithatil-chara>rah athfa>lil-a‘sya>bi wa’r-ruyachi>na.
Bulan April telah datang. Salma terbaring lemah di atas pembaringan.
Merasakan pahitnya penderitaan dan kesakitan seorang perempuan
waktu melahirkan. Tempat di mana kehidupan dan kematian menjadi
begitu dekat. Thabib dan perawat telah siap untuk menyambut seorang
tamu baru ke dunia ini.
Berdasarkan kutipan di atas dapat dijelaskan bahwa Salma
terbaring lemah di atas pembaringan karena Salma akan melahirkan.
61
Dokter dan perawat telah siap untuk membantu Salma melahirkan. Bukti
tekstual lain untuk memperkuat kutipan di atas sebagai berikut:
٩١٩١:١٨
‘Indama> la>chal-fajru waladat Salma> ibna>n, wa lamma> sami‘at ihla>lahu fatahat ‘ainaiha>l-mughalafataini bil-alami wa nazharat chawa>li>ha> fa ra’at al-aujaha mutahalilatan fi> jawa>nibi tilkal-ghurfah ... wa lamma> nazharat tsaniyatan ra’at al-chaya>h wal-mauta ma> za>la> yatashara‘a>ni bi qarbi mudhja‘iha>.
Tepat fajar menyingsing, Salma melahirkan seorang anak laki-laki. Ia
membuka matanya dengan sulit, lalu menyaksikan wajah-wajah yang
dihiasi senyum kegembiraan di sekeliling ruangan itu. Kemudian dia
melihat satu per satu di mana dia menyaksikan kehidupan dan
kematian menyatu di atas tempat tidurnya.
Berdasarkan kutipan di atas dapat dijelaskan bahwa pada saat fajar
menyingsing, Salma melahirkan seorang anak laki-laki. Setelah
melahirkan Salma melihat wajah-wajah yang tersenyum penuh dengan
kegembiraan menyambut anak yang baru saja dilahirkan olehnya. Saat itu
juga Salma menyaksikan kehidupan dan kematian menyatu di atas tempat
tidurnya, namun Salma masih merasakan kehidupan, sedangkan anak
Salma yang baru dilahirkan meninggal. Hal ini terlihat dari kutipan
berikut:
٩١٩١:١٨
Wa lama> thala‘at asy-syamsu qarabat Salma> waladaha> min tsadyiha> fa fatacha ‘ainaihi li awwali marratin wa nazhara fi> ‘ainaiha> wa ikhtalaja wa aghmadhahuma> li a>khiri marratin, faduna>’th-thabibu wa
62
akhadzahu min baina dzira>‘aiha> wa>nsakabat ‘ala> wachnataihi dam‘ata>ni kabi>rata>ni tsumma hamasa fi> sirihi qa>’ila>n: huwa za>irun dza>hibun!.
Ketika matahari terbit, Salma mengambil anak kecil itu dan
meletakkannya di dada. Si kecil membuka matanya dan melihat
ibunya untuk yang pertama kalinya. Setelah itu dia menggigil dan
menutup matanya untuk yang terakhir kalinya. Dokter mengambil
bayi dari pangkuan Salma. Air mata menetes di pipinya, kemudian ia
berbisik pada diri sendiri, “Dia adalah tamu yang sudah pergi”.
Berdasarkan kutipan di atas dapat dijelaskan bahwa ketika matahari
terbit, Salma mengambil anaknya dan meletakkannya di dadanya. Anak
Salma membuka matanya dan melihat ibunya untuk kali pertamanya,
setelah itu dia menggigil dan menutup matanya untuk kali terakhirnya.
Dokter mengambil bayi itu dari pangkuan Salma karena bayi itu telah
meninggal dunia, hal itu diperkuat dengan bisikan dokter „Dia adalah
tamu yang sudah pergi‟ artinya bahwa bayi yang baru saja lahir itu telah
meninggal dunia. Setelah kepergian si kecil, sang ibu, Salma meninggal
dunia. Hal ini terbukti dari kutipan berikut:
٩١٩١:٩٠٠
Fa chamala’th-thabi>bul-thiflal-mayita wa wadha‘ahu baina dzira>‘aiha> fa dhammathu ila> shadriha> wachawalat wajhaha> nahwal-chaithi wa qa>lat tukha>thibuhu: qad ji’ta li ta’khudzaniy ya> walidi>. Ji’ta li tadullaniy ‘ala>’th-thariqil-mu’dayah ila>’s-sa>chili. Ha> anadza> ya> walidi> fasara ama>mi> li nadzhaba min ha>dza>l-kahfil-muzhlimi. Wa ba‘da daqi>qatin dakhalat asyi‘atu’sy-syamsi min baina sata>’iri’n-na>fidzah wa insakabat ‘ala> jasadaini ha>madaini mintharu china ‘ala>
63
madhja‘i takhfiruhu haibatul-umu>mah watuzhaliluhu ajnichatul-mauti.
Sang dokter membawa anak yang telah mati itu, lalu meletakkannya
di antara kedua tangan Salma. Salma memeluk anaknya. Kemudian
menoleh ke dinding dan berbicara kepadanya, “Engkau datang untuk
membawaku pergi, anakku. Engkau datang untuk menunjukkanku
jalan menuju pantai. Inilah aku, anakku. Berjalanlah di depanku.
Mari kita pergi bersama, meninggalkan gua yang gelap ini”. Sesaat
kemudian masuklah sinar matahari dari balik jendela yang menyinari
dua tubuh yang telah kaku, terbujur di tempat tidur, diselimuti oleh
kehebatan kasih ibu dan diteduhi oleh sayap-sayap kematian.
Berdasarkan kutipan di atas dapat dijelaskan bahwa sang dokter
membawa jasad bayi Salma, lalu meletakkannya di antara kedua tangan
Salma. Salma memeluk jasad anaknya, kemudian berkata bahwa anaknya
datang untuk membawanya pergi dari semua penderitaan yang di
alaminya, membawanya keluar dari tempat yang mengukungnya selama
ini. Sesaat kemudian Salma telah meninggal dunia pergi bersama anak
yang baru dilahirkannya, hal ini ditunjukkan dari kutipan di atas yang
menyatakan „...menyinari dua jasad yang telah kaku...‟. Hal yang
menyatakan bahwa Salma telah meninggal diperkuat dengan bukti tekstual
berikut ini:
٩١٩١:٩٠٩
Fi>’y-yaumit-tali> kafanat Salma> bi atswa>bi ‘arsiha>l-baidha>i wa wadha‘at fi> ta>bu>ti mu>sya> bil-makhmali’n-na>shi‘i, amma> thifluha> faka>nat akfa>nuhu aqmithatuhu wa ta>bu>tuhu dzara>‘i> umihi wa qabrihi shadruha>l-ha>di >’. Chamilu>l-jatsataini fi> na‘syin wa>chidin.
Pada hari berikutnya Salma telah dikafani dengan pakaian pengantin
berwarna putih dan diletakkan di peti mati. Sedangkan sang bayi
64
dikafani dengan kain bedongnya. Peti matinya adalah rengkuhan
tangan sang ibu. Kuburannya adalah dada ibunya yang damai. Mereka
membawa dua jenazah itu dalam satu keranda.
Berdasarkan kutipan di atas dapat dijelaskan bahwa pada hari
setelah Salma meninggal, Salma telah dikafani dengan pakaian pengantin
berwarna putih dan diletakkan di peti mati sebagaimana adat kaum
Kristiani. Bayinya dikafani dengan kain bedongnya, peti mati si bayi
adalah rengkuhan tangan Salma. Kuburan si bayi adalah dada Salma yang
damai. Jenazah Salma dan bayinya berada dalam satu keranda.
Salma dan anaknya dikuburkan dalam satu lubang kubur yang
sama dengan ayah Salma, Faris Affandy Karamah. Hal ini terbukti dari
kutipan berikut:
٩١٩١:٩٠١
‘A<dal-musyi>‘u>na wa baqa> chufa>rul-qubu>ri muntashiba>n bi ja>nibil-qabril-jadi>di, wa fi> yadihi rafsyatun wa machfaruhu, fadilawat minhu wa sa’alathu qa>’ila>n: atadzkuru aina qubra Fa>risu Kara>mahu? Fa nazhara ila> thawi>la>n tsumma asya>ra nahwa qabri Salma> wa qa>la: fi> ha>dzihil-chufrati qad madadtu ibnatahu ‘ala> shadrihi, wa ‘ala> shadri ibnatihi qad madadtu thiflaha>, wa fauqal-jami>‘i qad wadha‘tu’t-tura>ba bi hadza>l-rafsyi.
...Tinggallah penggali kubur, berdiri terpaku dengan sekop di
tangannya. Aku mendekati mereka, lalu bertanya, “Apakah engkau
masih ingat di mana kuburan Faris Affandy Karamah?”. Dia
memandangku sejenak, lalu menunjuk ke kuburan Salma sambil
berkata: “Di dalam lubang ini, aku telah merebahkan putrinya di atas
dada ayahnya. Akupun telah merebahkan cucunya di atas dada
65
putrinya. Lalu aku menimbuni tanah di atas tubuh mereka dengan
sekop ini”.
Berdasarkan kutipan di atas dapat dijelaskan bahwa ketika semua
pelayat pergi, tinggallah penggali kubur yang berdiri terpaku dengan
membawa sekop di tangannya. Kemudian tokoh aku mendekati para
penggali kubur tersebut dan bertanya apakah mereka masih ingat di mana
kuburan Faris Affandy Karamah. Penggali kubur itu menjawab bahwa
kuburan Faris Affandy Karamah sama dengan di mana mereka
menguburkan Salma. Penggali kubur itu telah merebahkan Salma di atas
dada ayahnya, Faris Affandy Karamah. Penggali kubur itu telah
merebahkan cucunya, anak Salma, di atas dada Salma.
2. Penokohan [asy-Syakhshiyyah]
Asy-Syakhsiyyah adalah penokohan dalam cerita. Tokoh berperan
menjalankan cerita dan memerankan bermacam-macam karakter manusia,
sebagian memerankan karakter baik, sebagian memerankan karakter buruk,
dan sebagian lainnya memerankan keduanya. Jumlah sesuai dengan tuntutan
cerita. Peran tokoh ini penting karena tokoh inilah yang mewakili pengarang
menjalankan cerita dari awal sampai akhir (Sangidu, 2007: 14).
Penokohan adalah sentral dalam sebuah cerita, setiap tokoh memiliki
porsi masing-masing dalam peranannya. Baik sedikit maupun banyak porsinya
setiap tokoh adalah pendukung keberjalanannya sebuah cerita.
Tokoh utama dalam novel al-Ajnichah al-Mutakassirah karya Jubra>n
Khali>l Jubra>n adalah pengarang sendiri yaitu Jubra>n, oleh karenanya
pengarang sangat lihai dalam hal penokohan pada setiap karakter tokoh yang
66
terdapat dalam novelnya. Tokoh-tokoh lain yang hanya muncul sekali, seperti
tokoh teman dari tokoh aku, pelayan, dan utusan pendetapun masing-masing
memiliki peran yang sangat mendukung dalam bangunan cerita.
2.1 Tokoh Aku atau Tokoh Utama
Tokoh aku adalah tokoh sentral dalam novel al-Ajnichah al-
Mutakassirah karya Jubra>n Khali>l Jubra>n. Tokoh aku adalah tokoh
protagonis. Novel memiliki tiga tokoh protagonis yaitu tokoh aku, tokoh
Salma Karamah, dan tokoh Faris Affandy Karamah. Berikut dijelaskan
tentang tokoh aku seperti yang terdapat dalam kutipan di bawah ini:
a. Pemuda yang polos
Tokoh aku adalah seorang pemuda yang belum banyak
merasakan pahit dan manisnya kehidupan. Tokoh aku adalah pemuda
yang polos, belum dewasa dan memiliki pengalaman hidup yang sedikit.
Hal ini tampak dari kutipan berikut:
٩١٩١:١
Kuntu fi>’ts-tsa>minati ‘asyarata ‘indama> fatahal-chubba ‘aini> bi asyi‘‘atihi’s-sichriyyah, wa lamisa nafsi> li-awwali marratin bi ashabiʻihi’n-nariyah. Wa kuntu Salma> Kara>mahu al-mar’atu li awali>’l-lati> aiqazhat ru>chi> bi macha>siniha>.
Usiaku delapan belas tahun ketika cinta membuka mataku, dengan
cahayanya yang mempesona. Untuk pertama kalinya cinta
mengguncang jiwaku dengan jari-jarinya yang membara. Salma
Karamah adalah wanita pertama yang membangkitkan jiwaku dengan
kecantikannya.
67
Berdasarkan kutipan di atas dapat dijelaskan bahwa tokoh aku
adalah seorang pemuda yang baru pertama kalinya merasakan cinta.
Cinta yang pertama kali dirasakannya melalui tokoh Salma Karamah. Di
dalam fikiran tokoh aku, cinta hanya tentang kebahagiaan. Hidup tokoh
aku seolah berubah menjadi indah semenjak bertemu dengan Salma
Karamah.
b. Mengagungkan cinta
Tokoh aku adalah seorang pemuja dan mengagungkan cinta.
Tokoh aku selalu memuji kecantikan dan keindahan Salma Karamah.
Tokoh aku adalah seorang pemuja cinta, baginya cinta adalah tentang
keindahan, kecantikan, kebahagiaan, kekaguman dan hal-hal yang
membuat hati merasa senang dan bahagia. Hal tersebut terbukti dari
kutipan berikut ini:
٩١٩١:٣٨
Qa>lat hadzihil-kalima>tu wa yaduha> ma> barichat ‘ala> ra’si>l-manchani>, wa lau takhayyarat fi> tilkal-daqi>qata lima> fudhilat ti>ja>nul-mulu>ki wa aka>li>lul-gha>ri ‘ala> tilkal-yaddil-chari>riyatil-mutala>̒ ibah bi-syiʻri>.
Tangannya masih berada di atas kepalaku saat dia bicara. Bagiku tak
ada yang lebih mewah, lebih berharga daripada tangan indah nan
cantik yang jari-jarinya membelai kepalaku itu, bahkan dibandingkan
dengan mahkota sang raja sekalipun, aku lebih menyukai tangan
Salma yang membelai rambutku.
Kekaguman tokoh aku terhadap cinta terungkap melalui kata-
katanya yang indah dan nampak mengagungkan cinta. Hal ini terbukti
dari kutipan berikut:
68
٩١٩١:٣١
Ma> ajhala’n-na>sa’l-ladzi>na yatawahhamu>na an al-machabbah tatawalladu bil muʻa>syirati’th-thawi>lati wal mura>faqatil-mustamirrah. Annal-machabbah al-chaqi>qiyah hiya> ibnatu’t-ta>fahimu’r-ruchi> wa in lam yatimmu ha>dza>’t-tafa>humu balachzhatin wa>chidatin la> yatimun biʻa>min wa la> bi jailin ka>milin.
Alangkah bodohnya orang-orang yang mengira bahwa cinta datang
dari persahabatan yang lama dan rayuan yang tak henti-hentinya.
Cinta hakiki adalah buah pemahaman rasa spiritual, yang jika tak bisa
tercipta dalam sekilas pandang, ia tidak bisa diciptakan dalam
bilangan tahun atau bahkan satu generasi sekalipun.
Berdasarkan kutipan di atas dapat dijelaskan bahwa menurut
tokoh aku cinta datang bukan dari persahabatan yang lama dan dengan
rayuan yang dilakukan secara terus menerus, akan tetapi bagi tokoh
utama cinta hakiki adalah tentang pemahaman rasa spiritual yang jika
tidak bisa tercipta dalam sekilas pandang, maka sampai kapanpun ia
tidak akan dapat diciptakan.
c. Pendiam
Tokoh utama lebih banyak memilih diam ketika berhadapan
dengan Salma Karamah, karena baginya memulai pembicaraan bukan
dengan kata-kata, namun dengan pertalian rasa yang telah terjalin di
antara dua jiwa. Tokoh utama juga memiliki keyakinan bahwa ada
ikatan jiwa di antara dirinya dengan Salma. Hal ini dapat dilihat dari
kutipan berikut:
69
٩١٩١:٣١
Wa marrat daqa>’iqu wakila>na> sha>mat cha>’iru mufakirin yatiraqqabul-a>chiru li yabda’a bil-kala>mi? Wa la>kin hal huwal-kala>mu’l-ladzi> yuchaditsu’t-tafa>hum bainal-arwa>chil-mutachabah? Hal hiya>l-ashwa>tu wal-maqa>thi‘ul-kha>rijah mina’sy-syafa>hi wal-alsinati’l-lati> taqarraba bainal-qulu>bi wal-‘uqu>li? Afala> yu>jadu syai’an asma> mimma> taliduhul-afwa>hu wa athharu mimma> tahtazzubihi auta>rul-chana>jiri? Menit-menit berlalu dan kami berdua diam, saling menunggu untuk
memulai berbicara, meskipun kata-kata bukanlah satu-satunya cara
untuk saling mengerti di antara dua jiwa. Bukan kalimat yang keluar
dari bibir dan lidah yang menyatukan hati kami. Ada sesuatu yang
lebih agung dan lebih suci dari apa yang disampaikan lidah.
Keheningan menyinari cahaya di jiwa, berbisik di hati, lalu
mempersatukan kami.
Berdasarkan kutipan di atas dapat dijelaskan bahwa kata-kata
bukanlah satu-satunya cara untuk saling mengerti. Bukan kalimat yang
keluar dari bibir dan lidah yang menyatukan mereka, bagi tokoh aku ada
yang lebih agung daripada apa yang keluar dari lidah yaitu keheningan
yang menyinari jiwa, kemudian keheningan itu berbisik di hati dan
mempersatukan dirinya dengan Salma. Baginya untuk saling memahami
di antara mereka, bukanlah dengan berbicara namun dengan diam yang
takzim.
d. Rapuh
Tokoh utama dalam novel ini memiliki karakter sebagai seorang
laki-laki yang rapuh dan polos. Tokoh aku belum banyak memakan pahit
dan manisnya sebuah kehidupan. Tokoh aku terlihat tegar saat tidak
70
terjadi konflik di dalam dirinya, akan tetapi ketika tokoh ini terpukul
oleh suatu konflik, jiwanya menjadi rapuh. Hal tersebut terbukti dari
kutipan berikut ini, yaitu ketika tokoh aku mengetahui bahwa Salma
Karamah telah dilamar oleh Pendeta Ghalib untuk kemenakannya:
٩١٩١:٤٦
Tilka ayya>ma madhat ka>l-asyba>chi wa>dhmachalat ka>l-dha>ba>bi wa lam yabqa liy minha> siwa>’dz-dzikra>l-ali>mah, fal-‘ainu’l-lati> kuntu ara> biha> jama>la’r-rabi>ʻi wa yaqzhatal-chuqu>li lam taʻud tachduqu ila> ghairi ghadhabil-‘awa>shafi wa ya’sa’sy-syita>’i. Wal-udzunu’l-lati> kuntu asma‘u biha> a‘niyatal-amwa>ji lam ta‘ud tashghi> li ghairi anhul-a‘ma>qu wa ‘awi>lul-ha>wiyah. Wa’n-nafsu’l-lati> ka>nat taqifu mutahi>bah ama>ma nasya>thil-basyari wa majiddul-‘imara>ni lam ta‘ud tasy‘uru bi ghairi syiqa>’il-faqri wa tu‘a>sati’s-sa>qithi>na. Fima> achla> aya>mul-chubbi wa ma> a‘dzaba achla>maha> wa ma> amarra laya>li>l-chuzna wa ma> aktsara makha>wifaha>! Hari-hari berlalu seperti bayang-bayang dan sirna seperti awan. Tak
ada yang tersisa bagiku kecuali kenangan yang menyedihkan. Kedua
mata yang dulunya kupergunakan untuk melihat indahnya musim semi
dan kesyahduan alam, kini tak mampu lagi melihat apapun kecuali
badai yang mencekam, dan musim dingin yang muram. Telinga yang
dulunya biasa mendengar desau angin, kini hanya mampu mendengar
ombak lautan menghantam karang. Jiwa yang dulu gembira
memperhatikan keramaian manusia dan pesona alam semesta, kini
hanya dapat merasakan pedihnya kemiskinan dan kegagalan. Tiada
yang lebih indah ketimbang hari-hari yang dihiasi oleh cinta. Dan
tiada yang lebih menyakitkan ketimbang malam yang mencekam.
Berdasarkan kutipan di atas dapat dijelaskan bahwa setelah tokoh
aku mengetahui maksud di balik pertemuan Pendeta Ghalib dengan Faris
Affandy Karamah, baginya dunia seolah menjadi tidak berarti. Hari-
71
harinya berlalu dan menghilang tanpa ada arti. Tidak ada yang tersisa dari
hidupnya kecuali kenangan bersama Salma yang menjadi menyedihkan.
Kedua matanya yang dulu dipergunakan untuk melihat keindahan dan
kemuliaan jiwa Salma, kini tidak dapat melihatnya lagi karena Salma
akan menjadi istri orang. Sekarang tanpa Salma ia hanya akan melihat
kesengsaraan, kesedihan, dan kesepian. Telinga yang dulunya ia
pergunakan untuk mendengar lembut laku seorang Salma, kini tidak akan
dapat mendengarnya lagi. Jiwa yang dulu selalu gembira menatap masa
depan bersama Salma, kini hanya dapat melihat kegagalan masa
depannya. Bagi tokoh aku hari-harinya selalu berlalu bahagia bersama
Salma, akan tetapi tanpa Salma ia merasa sakit dan sepi.
2.2 Salma Karamah
a. Anak Faris Affandy Karamah
Salma Karamah adalah anak semata wayang Faris Affandi
Karamah. Salma hanya tinggal dengan ayahnya, sedangkan ibunya telah
meninggal saat Salma masih kecil. Hal ini terbukti dari kutipan berikut:
٩١٩١:٩١
Wa li Fa>risu Kara>mahu ibnatun wachi>datun taskunu maʻahu manzila>n fakhama>n fi> dha>chiyatil-madi>nah.
Faris Affandy Karamah memiliki anak gadis satu-satunya yang
tinggal bersama di sebuah rumah megah di sudut kota.
b. Perempuan yang cantik
Salma Karamah adalah seorang gadis yang cantik dan memiliki
budi yang halus. Selain memiliki budi yang halus, Salma adalah
72
perempuan yang cerdas. Tidak ada gadis di Lebanon yang dapat
menandingi kehalusan budi dan kecantikannya. Kecantikannya tidak
hanya terpancar secara fisik, akan tetapi secara psikologis. Sifat Salma
turun dari ayahnya. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan berikut:
١١-٩١٩١:١٦
Innal-jama>la fi> wajhi Salma> lam yakun munthabiqa>n ‘ala>l-muqa>yi>si’l-lati> wa dha‘aha>l-basyaru lil-jama>li, bal ka>na ghari>ba>n ka>l-chilami au ka>l-ru’ya>n au ka fikri ‘ullauyyin la> yuqa>su wa la> yuchaddu wa la> yunsakhu bi ri>syatil-mushawwiri, wa la> yatajasamu bi rakha>mil-chifa>ri. Jama>lu Salma> lam yakun fi> sya‘riha>’dz-dzahabi> bal fi> ha>latil-thuhuril-machi>thah bihi. Wa lam yakun fi> ‘ainaiha>l-kabi>rataini bal fi>’n-nu>ril-manba‘atsi minhuma>. Wa la> fi> syafataiha>l-waradiyataini bal fi>l-chala>watis-sa>’ilati ‘alaihima>. Wa la> fi> ‘anuqiha>l-‘a>ji> bal fi> kaifiyah anchana>’ihi qalila>n ila>l-ama>mi. Jama>lu Salma> lam yakun fi> kama>li jasadiha> bal fi> naba>lati ru>chiha>’sy-syabi>hati bisya‘latin baidha>’in mutqadatin sa>bichatin bainal-ardhi wal-anha>yah. Sesungguhnya kecantikan pada wajah Salma Karamah bukan
berdasarkan ukuran yang biasa diberikan pada manusia. Ia
bagaikan mimpi tentang wahyu yang tidak bisa diukur, diikat
ataupun ditiru dengan kuas seorang pelukis, atau dengan pahat
seorang pemahat. Kemolekan Salma Karamah tidaklah disebabkan
oleh kemilau rambutnya yang keemasan. Tapi pada kemuliaan dan
keagungan jiwanya. Bukan pada mata lebarnya, tapi pada cahaya
yang memancar dari keduanya. Tidak pada bibir merahnya, namun
pada kata-kata yang selalu membawa damai. Bukan dikarenakan
lehernya yang jenjang, semata-mata, tetapi dikarenakan oleh
kesopanan dan penghormatan yang selalu ia tunjukkan dengan
sedikit membungkukkan badannya ke depan. Kecantikan Salma
bukan pula pada bentuk badannya yang sempurna, tetapi terletak
73
pada jiwanya yang luhur, menyala bagai cahaya putih di antara
bumi dan langit.
Berdasarkan kutipan di atas dapat dijelaskan bahwa kecantikan
seorang Salma bukan berdasarkan ukuran kecantikan yang biasa
dijadikan kriteria kecantikan seorang perempuan. Kecantikan Salma
seperti wahyu yang tidak dapat diukur kecantikannya, tidak bisa diikat
ataupun ditiru oleh seorang pelukis maupun seorang pemahat.
Kemolekan yang melekat pada Salma bukan terletak pada rambutnya
yang keemasan. Kemolekannya terletak pada kemuliaan dan
keagungan jiwanya.
Kecantikan Salma bukan juga pada mata lebarnya, tapi pada
cahaya kedua matanya. Kecantikan Salma juga bukan pada bibir
merahnya, akan tetapi pada setiap kata-kata yang ia ucapkan selalu
membawa kedamaian. Bukan juga kecantikan Salma karena lehernya
yang jenjang, akan tetapi karena kesopanan dan penghormatan yang
selalu ia tunjukkan dengan sedikit membungkukkan badannya ke
depan. Kecantikan Salma bukan terletak pada tubuhnya yang
sempurna, kecantikan Salma terletak pada jiwanya yang luhur
bagaikan cahaya putih yang menyala di antara bumi dan langit.
c. Berbudi halus
Salma Karamah adalah gadis Lebanon yang memiliki budi halus.
Hal ini ternukti dari kutipan berikut:
٩١٩١:٩١
74
Wa li Fa>risi Kara>mahu ibnatun wachi>datun taskunu ma‘ahu manzila>n fakhma>n fi> dha>chiyatil-madi>nah, wa hiya> tusya>bihahu bil-akhla>qi wa laisa baina’n-nisa>’i man tuma>tsiliha> riqqatan wa jama>la>n. Faris Affandy Karamah memiliki anak gadis satu-satunya yang
tinggal bersama di sebuah rumah megah di sudut kota. Sifat anak
gadis itu mirip dengan ayahnya, tidak ada gadis yang
menandinginya dalam hal kehalusan budi dan kecantikannya.
Berdasarkan kutipan di atas dapat dijelaskan bahwa Salma
Karamah adalah perempuan cantik yang memiliki budi halus, sekalipun
ia tidak diperdulikan suaminya. Ia tetap melayaninya sebagaimana
kewajiban seorang istri. Hal ini terbukti dari kutipan berikut:
٩١٩١:٥٠
Ana> mitslu ‘amiya>’in tatalammasu bi yadiha>l-jidra>nu mukha>fatu’s-suqu>thi. Ana> ja>riyatun anzalaniy ma>la wa>lidi> ila> sa>chati’n-nukha>si>na fa>bta>’ani> rajulun min baina’r-rija>li. Ana> la> uchibbu ha>dza>’r-rajula li annani> ajahhiluhu, wa anta ta‘alamu annal-machabbah wal-jaha>lah la> taltaqiya>ni, wa la>kinnani> sufa ata‘allamu machabbatahu. Saufa athi>‘uhu wa akhdumuhu wa aj‘aluhu sa‘i>da>n. Saufu ahibahu kulla ma> tuqaddirul-mar’atu’dh-dha‘i>fah an tihaba’r-rajulal-qawiyya.
Aku seperti orang buta yang berjalan dengan meraba-raba agar
tidak terjatuh. Kekayaan menempatakanku sebagai budak yang
dijual di pasar dan orang membeliku dengan uangnya. Sementara
aku tidak pernah kenal lelaki ini apalagi mencintainya. Tapi aku
akan belajar untuk mencintainya. Aku akan tunduk dan
melayaninya, serta membuat dia bahagia. Aku akan memberikan
seluruh yang dapat dilakukan wanita lemah kepada lelaki perkasa.
75
Berdasarkan kutipan di atas dapat dijelaskan bahwa kekayaan
ayahnya membawa Salma pada jurang penderitaan. Salma tidak pernah
mengenal Manshur Bek dan mencintainya, tapi sebagai istri yang baik,
ia belajar dan berusaha mencintai suaminya. Ia tunduk dan melayani
suaminya selayaknya seorang istri. Ia juga membuat suaminya bahagia
dengan menikahinya. Salma siap memberikan seluruh yang dapat ia
lakukan untuk suaminya.
d. Rapuh
Salma Karamah adalah sosok wanita yang rapuh ketika
terhempas dalam kekhawatirannya sendiri. Ketakutan yang ada di
dalam hatinya menjadi kenyataan, ketika Salma tahu maksud Pendeta
Ghalib mengundang ayahnya, ia hanya bisa pasrah demi baktinya
kepada sang ayah. Hal ini terbukti dari kutipan berikut:
٩١٩١:٩٨
... Amma> ibnatahu fa takhdha‘u mumtatsilatan li-ira>datihil-wa>hinati ‘ala> raghmi kulla ma> fi> ru>chiha>l-kabi>rah minal-qawiyyi wal-mawa>hibi ... “...Sedangkan anak perempuannya hanyalah seorang gadis yang
penuh bakti pada sang ayah karena kebesaran jiwa dan
kewibawaannya”.
Berdasarkan kutipan di atas dapat dijelaskan bahwa, sifat
pasrah Salma Karamah adalah bentuk baktinya kepada sang ayah.
Karena Faris Affandy Karamah adalah orang yang besar jiwanya dan
berwibawa. Jiwa Salma menjadi rapuh ketika dia mengetahui bahwa
76
dirinya akan disandingkan oleh Pendeta Ghalib dengan kemenakannya
Manshur Bek Ghalib di pelaminan. Ia akan berpisah dengan ayahnya.
Ia juga akan menjadi budak suaminya. Hal ini terbukti dari kutipan
berikut:
٤٨-٩١٩١:٤١
Fa nazhartu ila> wajhiha>, nazhartu thawila>n, fa ra’aitu tilkal-ajfa>ni’l-lati> ka>nat mundzu ayya>mi qali>lah tabtasimu ka>’sy-syafa>hi wa tatacharaku ka ajnichatin asy-syachru>ri qad gha>rat wa jamidat wa>ktachalat bikhya>la>tit-tawajjuʻi wal-alami, ra’aitu tilkal-basyarata’l-lati> ka>nat bil-amsi mitslu tsina>ya>’az-zanbaqatil-baidha>il-farichah bi qibla>ti’sy-syamsi, qad ashfarat wa dzabalat wa tabarraqa‘at bi niqa>bil-qunu>th. Ra’aitu’sy-syafatainil-lataini ka>nata> ka zahrah aqa>cha tasi>lu ‘alaiha>l-chala>wah qad yabsata> wa sha>rana> ka wardataini murtajifataini abqa>huma>l-khari >fa ‘ala> tharufil-ghushni. Ra’aitul-‘anati>’l-ladzi> ka>na marfu>’a>n ka-‘amu>dil-‘a>ji qad annachani> ila>l-ama>mi ka annahu lam yaʻud qa>dira>n ‘ala> chamlin ma> yaju>lu fi> tala>fiyafi’r-ra’si. Lalu aku menatapnya dalam-dalam dan melihat kedua mata itu,
yang beberapa hari lalu tersenyum seperti bibir dan bergerak
laksana sayap burung bul-bul, kini muram berselimutkan
penderitaan dan kepedihan. Wajahnya yang kemarin serupa teratai
putih membentang menyambut kecupan matahari, kini pudar dan
pucat. Bibir yang semula laksana sekuntum bunga aster, kini bagai
setangkai mawar di musim gugur. Leher yang dulu bagai tiang
gading, sekarang lunglai seakan-akan tak lagi mampu menyangga
beban dukacita.
Berdasarkan kutipan di atas dapat dijelaskan bahwa sebelum
Salma dilamar oleh Pendeta Ghalib, ia adalah gadis yang masih
77
tersenyum bahagia dan periang. Tetapi setelah mengetahui rahasia
pertemuan ayahnya dengan Pendeta Ghalib, ia menjadi murung dan
rapuh menanggung nasib penderitaan dan kepedihan. Wajahnya yang
sebelumnya ceria setiap hari menjadi pudar dan pucat. Bibirnya yang
sebelumnya tersenyum manis menjadi sedih dan penuh penderitaan.
Lehernya yang sebelumnya kuat dan tegak menatap dunia menjadi
lunglai dan tidak mampu menyangga beban dukacita. Ia merasa bahwa
pernikahannya tidak akan pernah terwujud bahagia dengan suami
yang culas dan jahat seperti Manshur Bek.
e. Tidak setia
Salma Karamah dikatakan sebagai perempuan tidak setia
karena ketika ia sudah menjadi istri orang lain, ia masih menemui
lelaki lain tanpa seizin dan sepengetahuan suaminya. Ia pergi menemui
tokoh aku di sebuah kuil tua. Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut:
٩١٩١:١١
Fi> ha>dza>l-haikalil-majhu>li kuntu altaqi> Salma> Karamahu marratan fi>’sy-syahri fa nushrifu’s-sa>‘a>tal-thiwa>la.
Di kuil yang tersembunyi itu, aku bertemu Salma sekali dalam
sebulan dan menghabiskan waktu bersamanya.
Berdasarkan kutipan di atas dapat dijelaskan bahwa Salma dan
tokoh aku sering bertemu di sebuah kuil yang tersembunyi. Pertemuan
tersebut dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Karena pertemuan itu
bukan hanya sebuah pertemuan seorang kakak dan adiknya, atau
78
sekedar pertemuan dua orang yang bersahabat. Pertemuan itu adalah
pertemuan dua orang yang menjalin sebuah cinta, di mana sang wanita
(baca: Salma) telah bersuami, sedangkan sang lelaki (baca: Tokoh
aku) adalah kekasih lama sang perempuan.
Awalnya mereka bertemu untuk mengenang hari-hari yang
mereka lalui di tempat yang berbeda dan juga saling mengkhawatirkan
masa depan mereka. Mereka tidak hanya sekedar bercerita dan saling
mengkhawatirkan keadaan masing-masing, akan tetapi juga memadu
kasih. Salma kembali menjalin cinta dengan tokoh aku. Hal tersebut
dapat dilihat dari kutipan berikut ini:
٩١٩١:٨٠
Tsumma nabtasimu mutanasiyi>na kulla syai’in siwa>l-chubba wa afra>chahu, munshirafi >na ‘an kulli amrin illa>’n-nafsa wa muyu>laha>, tsumma nata‘anaqu fanadzu>ba syaghfa>n wa haya>ma>n, tsumma tuqabbilu Salma> mufariqu sya‘ri > bi thuhru wa in‘ithafi fatamla’u qalbi> syi‘a>‘a>n, wa uqabbilu athra>fa asha>bi‘aha>l-baidha>’a fatughammidu ‘ainaiha> wa talwa> ‘unuqaha>l-‘a>ji > wa tatawarada wajnata>ha> bi achmara>rin lathi>fin yusya>bihul-asyi‘atal-u>la>’l-lati> yulqi>ha>l-fajru ‘ala jaba>hi’r-rawa>bi>.
Kemudian kamipun tersenyum melupakan segalanya kecuali cinta,
berpaling dari segalanya, melupakan jiwa dan keinginan. Kami
saling berpelukkan hingga hati kami luluh. Kemudian Salma akan
memberikan ciuman yang suci di keningku dan mengisi hatiku
dengan kegembiraan yang tak terhingga. Aku akan membalas
ciuman itu saat dia membungkukkan leher gadingnya, sementara
pipinya berubah sedikit memerah mawar laksana sinar pertama
fajar yang menerpa kening bebukitan.
79
Berdasarkan kutipan di atas dapat dijelaskan bahwa ketika
bertemu, mereka saling melupakan segalanya kecuali cinta di antara
mereka, lalu mereka berpelukkan dan Salma memberikan ciuman di
kening tokoh aku. Hal itu membuat hati tokoh aku gembira, kemudian
tokoh aku membalas ciuman Salma.
2.3 Faris Affandy Karamah
a. Ayah Salma Karamah
Faris Affandy Karamah adalah ayah dari Salma Karamah. Faris
Affandy Karamah berusia enam puluh lima tahun. Hal ini terbukti dari
kutipan berikut:
٩١٩١:١٩
Fa waqaftu wa waqafa’sy-syaikhu qa>’ila>n: hadzihi ibnatiy Salma>.
Aku berdiri dan Faris Affandy Karamah juga berdiri, seraya
memperkenalkan, “Ini adalah putriku, Salma”.
Berdasarkan kutipan di atas dapat dijelaskan bahwa Faris
Affandy Karamah memiliki seorang anak perempuan bernama Salma
Karamah, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Faris Affandy
adalah ayah Salma. Adapun kutipan yang menunjukkan Faris Affandy
Karamah berusia enam puluh tahun yaitu sebagai berikut:
٩١٩١:٩٦
Dakhala ‘alaina> syaikhun jali>lun fi>l-kha>misah wa’s-siti>na min ‘umurihi.
...masuklah seorang lelaki yang tampak berwibawa, berusia sekitar
enam puluh lima tahun.
80
b. Berhati mulia
Faris Affandy Karamah adalah tokoh yang berhati mulia.
Kemuliaan hatinya terlihat dari kedermawanannya. Terlihat dari
kutipan berikut ini:
٩١٩١:٩٦
Tadullu mala>bisahul-basi>thah wa mala>michahul-mutaja‘idah ‘ala>l-haibati wal-waqa>ri.
Pakaiannya yang indah dan paras muka berseri menunjukkan
kewibawaan dan kemuliaannya.
Berdasarkan kutipan di atas dapat dijelaskan bahwa hanya
dengan melihat pakaian yang dikenakan oleh Faris Affandy Karamah
dapat menunjukkan bagaimana sifat dan kemuliaannya. Kemuliaan
dan sifat terpuji yang ada di dalam diri Faris Affandy Karamah adalah
karena kekayaan yang dimilikinya. Hal ini dapat dilihat dari kutipan
berikut:
٩١٩١:٩١
La> a‘rifu rajula>n siwa>hu fi> Bairu>ta qad ja‘alathu’ts-tsarwwatu fa>dhila>n wal-fadhi>latu matsriya>n.
“Aku tidak mengenal seorangpun di Beirut ini, yang kekayaannya
telah menjadikannya sebagai orang yang memiliki sifat terpuji, dan
sifat terpuji itu membuatnya menjadi hartawan, selain Faris
Affandy Karamah”.
Berdasarkan kutipan di atas dapat dijelaskan bahwa Faris
Affandy Karamah adalah satu-satunya orang kaya yang berhati mulia
81
dan memiliki sifat terpuji di kota Beirut yang dikenal oleh teman
tokoh aku. Sifat terpuji tersebut membawa dirinya menjadi seorang
hartawan. Kemuliaan Faris Affandy Karamah menjadikannya ikhlas,
walaupun ia hidup di tengah-tengah orang yang suka menjilat dan
memanfaatkan kemuliannya. Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut:
٩١٩١:٩٨
Fa>risu Kara>mahu syaikhun syari>ful-qalbi kari>mu’sh-shifa>ti wa la>kinnahu dha‘i>ful-ira>dati yaqu>duhu riya>’u’n-na>si ka>l-a‘ma> wa tu >qifuhu matha>mi‘uhum ka>l-ukhrasi.
“Faris Affandy Karamah adalah orang tua yang berhati mulia. Ia
adalah orang yang berhati ikhlas di tengah-tengah orang yang
suka menjilat, yang menuntunnya sebagai orang buta. Ia dikuasai
oleh orang-orang tamak”.
Berdasarkan kutipan di atas dapat dijelaskan bahwa orang-
orang tamak memanfaatkan kemuliaan dan keikhlasan Faris Affandy
Karamah untuk mendapatkan harta yang dimilikinya. Kemuliaan dan
keikhlasannya, membuat ia mudah dimanfaatkan dan dituntun seperti
orang buta. Faris Affandy yang memiliki hati mulia, sama sekali tidak
merasa dimanfaatkan oleh pihak tertentu.
c. Lapang dada
Tokoh Faris Affandy Karamah adalah sosok yang memiliki
sifat lapang dada. Kelapangannya justru menjerumuskan dirinya dan
putrinya ke jurang penderitaan. Hal ini terbukti dari kutipan berikut:
٩١٩١:٤٤
82
‘Indama> thalabal-Mathra>nu Bu>lusi yada Salma> min walidiha> lam yajibhu dzalika’sy-syaikhu bi ghairi’s-suku>til-‘ami>qi wal-dumu>‘i’s-sakhinah.
Ketika Pendeta meminta persetujuan Faris Affandy Karamah untuk
menyandingkan Salma dengan kemenakannya, jawaban yang dia
terima hanyalah diam yang bisu dan linangan air mata.
Berdasarkan kutipan di atas dapat dijelaskan bahwa Faris
Affandy Karamah hanya bisa menerima dan hanya diam ketika
Pendeta Ghalib meminta persetujuannya untuk menyandingkan Salma
dengan kemenakan Pendeta Ghalib. Diam dan lapangnya bukan tanpa
alasan, tapi semua itu demi menyelamatkan nama baiknya dan nama
baik Salma. Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut:
٤٤-٩١٩١:٤٣
Aja>ba’sy-syaikhu thalabal-mathra>nu mudhthara>n wa inchana> ama>ma masyi >’atihi qahra>n ‘ama> fi> da>khili nafsihi minal-muma>ni‘ah, wa ka>na qad ijtama‘a bi ibni akhi>hi Manshuri Bika wa sami‘a’n-na>su yatachadatsuna ‘anhu fa‘arafu khasyu>natihi wa thama‘ahu wa inchitha>thu akhla>qihi, wa la>kin ayyu masi>chi> yuqaddiru an yuqa>wama asqafa>n fi> Su>riya>n wa yabqa> machsu>ba>n bainal-mu’mini>na, ayyu rajulin yakhruju ‘an tha>‘ati ra’i>si di>nihi fi>’sy-sya‘ruqi wa yuzhillu kari>ma>n baina’n-na>si?
Faris Affandy Karamah terpaksa harus tunduk dan menerima
permintaan pendeta itu. Meski ia tahu betul siapa kemenakan si
pendeta, Manshur Bek Ghalib, orang yang culas, tamak dan
berperanga buruk. Di Siria, tak ada orang Kristen yang berani
melawan pendetanya. Tiada seorangpun yang berani mengingkari
perintah pemimpin agamanya. Meski sang pendeta jahat tetapi akan
83
tetap dianggap orang baik-baik. Meskipun sang pemuka agama itu
culas, ia tatap akan dimuliakan oleh masyarakat.
Berdasarkan kutipan di atas dapat dijelaskan bahwa Faris
Affandy Karamah hanya bisa tunduk dengan permintaan pendeta.
Kemenakan Pendeta Ghalib adalah orang yang culas, tamak, dan
berperangai buruk. Semua dikarenakan oleh kebiasaan orang Kristen
di Siria yang tidak berani melawan pendeta, padahal mereka sudah
mengetahui sifat jahat pendeta. Justru kejahatan pendeta dianggap
kebaikan dan keculasan seorang pendeta membuat ia dimuliakan.
Begitulah kebiasaan orang Kristen di Siria, jika mereka berani
melawan pendetanya maka nama baik mereka akan dirusak oleh
pendeta tersebut.
2.4 Pendeta Ghalib
a. Pemuka Agama yang Culas
Pendeta Ghalib adalah seorang pemuka agama Kristen di
Lebanon, memiliki sifat culas dan rakus sehingga ia diklasifikasikan
tokoh antagonis. Dua tokoh antagonis dalam novel ini ada dua orang
yaitu Pendeta Ghalib dan Manshur Bek Ghalib. Berikut dijelaskan
tentang Pendeta Ghalib seperti terdapat dalam kutipan di bawah ini:
٩١٩١:٩٨
Wa qad fahima ha>dza>’s-sirra rajulu bi atlafi fi> syakhshihi’th-thama‘u bi’r-riya>’i wal-khubutsi bi’d-daha>’i, wa ha >dza’r-rajulu huwa mathra>nu tusi>ru qaba>’achihi bi zhulil-Inji>li fa tazhharu li’n-nasi ka>l-fadha>’ilu.
84
“...Rahasia terungkap oleh seorang durjana yang rakus dan suka
dipuji. Ia adalah seorang pendeta, yang menyembunyikan
kejahatannya di balik bayang-bayang injil, sehingga dalam
pandangan orang lain, kejahatannya adalah kebaikannya”.
Berdasarkan kutipan di atas dapat dijelaskan bahwa Pendeta
Ghalib adalah pendeta yang rakus dan suka dipuji. Ia selalu
menyembunyikan kejahatan yang dilakukannya di balik bayang-
bayang injil. Maksudnya adalah ia berbuat jahat tetapi ia juga berbuat
baik, ia menggunakan kebaikannya dengan menjadi pendeta. Ia akan
lebih mudah berbuat jahat karena kejahatan yang ia lakukan akan tetap
dianggap kebaikan karena ia adalah seorang pendeta yang
menagajarkan ilmu agama tentang kebaikan.
b. Egois
Pendeta Ghalib adalah orang yang egois, semua yang dikatakan
harus dituruti, jika yang dikatakannya tidak dilaksanakan akan
merusak nama baik orang yang menentangnya. Hal ini terbukti dari
kutipan berikut:
٩١٩١:٩٨
Huwa ra’i>su di>ni fi> bila>dil-adiya>ni wal-madzhabi tukha>fahul-arwa>chu wal-ajasa>du wa takhara ladaihi sa>jidata mitslama> tanchani> riqa>bal-an’a>mi ama>mal-jaza>ri. Dia adalah pemuka agama di negeri yang orang-oranya taat
beragama. Orang-orang mematuhi segala perintahnya. Semua
tunduk bersujud kepadanya bagaikan sekawanan hewan ternak
yang digiring ke hadapan tukang jagal.
85
Berdasarkan kutipan di atas dapat dijelaskan bahwa Pendeta
Ghalib menjadi seorang pendeta di negeri yang orang-orangnya taat
beragama, sehingga orang-orang tersebut akan mematuhi dan
melaksanakan semua yang diperintahkan oleh Pendeta Ghalib. Semua
akan tunduk kepadanya walaupun sang pendeta menggiringnya ke
dalam jurang penderitaan. Hal ini disebabkan oleh pandangan bahwa
semua yang dilakukan seorang pendeta, mereka anggap bahwa pendeta
sedang melakukan sebuah kebaikan seperti yang ia ajarkan.
c. Suka dipuji
Pendeta Ghalib adalah orang yang sangat suka dan senang
dengan pujian. Bahkan sekalipun orang-orang telah mengetahui
perangainya yang buruk, tetap saja orang-orang menganggap dirinya
baik. Hal ini terbukti dari kutipan berikut:
٩١٩١:٦٤
Ka>nal-mathra>nu yaqifu yaumal-achadi ama>mal-madzabachi wa ya‘izhul-mu’mini>na bima> la> yatta‘azhu bihi. Pada hari Minggu, Pendeta Ghalib mengajarkan injil, menasehati
orang-orang yang beriman dengan sesuatu yang ia sendiri tidak
pernah mengamalkan.
Berdasarkan kutipan di atas dapat dijelaskan bahwa Pendeta
Ghalib setiap minggunya mengajarkan Injil bagi orang-orang yang
beriman, sedangkan dia sendiri tidak pernah mengamalkannya. Hal
demikian dilakukan Pendeta Ghalib supaya orang-orang tetap
menganggapnya baik. Pendeta Ghalib selalu berlindung di balik jubah
86
gereja, demi ia dapat menjarah harta orang-orang, dengan demikian
kejahatannya akan tetap dianggap sebagai kebaikan. Hal ini terbukti
dari kutipan berikut:
٦٤-٩١٩١:٦٣
... Ka>nal-mathra>nu yadzhabu ila>l-kani>sah fi>’sh-shaba>chi wa yashrafu ma> baqiya mina’n-na>hari muntazi‘a>n al-amwa>la minal-ara>mili wal-yata>ma> wa busatha’il-qalubi.
... Pendeta itu pergi ke gereja di pagi hari dan melewatkan istirahat
siangnya dengan cara menjarah harta janda, fakir miskin dan orang-
orang yang lugu.
Berdasarkan kutipan di atas dapat dijelaskan bahwa Pendeta
Ghalib pada pagi hari melaksanakan tugas mulia pergi ke gereja,
namun di siang hari ia melakukan kejahatan dengan cara menjarah
harta para janda, fakir miskin, dan orang-orang lugu. Kebaikannya
hanyalah digunakan untuk menutupi keburukannya. Kutipan lain yang
dapat meperkuat hal tersebut yaitu:
٩١٩١:٦٣
... Ka>nal-mathra>nu yablughu amaniyahu mustatira>n bi atswa>bihil-banfasajiyyah wa yusyabi‘u matha>mi‘ahu muchtamiya>n bi’sh-shali>bi’dz-dzahabiyul-mu‘allaqi ‘ala> shadrihi.
... Pendeta itu memperoleh segala sesuatu yang diinginkannya
secara samar, berlindung dibalik jubah gereja dan salib emas yang
dia kenakan di dadanya.
٩١٩١:٦٤
Ka>nal-mathra>nu lisha>n yasi>ru mukhtabi’a>n bi sata>iri’l-laili.
87
Pendeta adalah pencuri yang berlindung di balik kegelapan malam.
d. Serakah
Sifat Pendeta Ghalib serakah terbukti dari kutipan berikut
ini:
٩١٩١:٩٠١
Wa qa>la a>khar: Ghada>n yuzawwijuhu ‘amahul-mathra>nu tsa>niyatan min imra’ati ukhra> aufara tsarwatan wa aqwa> jisma>n.
Yang lain mengatakan, “Besok ia akan dikawinkan oleh pamannya,
untuk kedua kalinya, dengan seorang perempuan lain yang lebih
kaya dan berkuasa”.
Berdasarkan kutipan di atas dapat dijelaskan bahwa setelah
Salma dan anaknya meninggal di hari yang bersamaan, hari
berikutnya Manshur Bek akan dinikahkan untuk kedua kalinya dengan
perempuan lain yang lebih kaya dan berkuasa. Pendeta Ghalib akan
terus berputar-putar merampas harta orang-orang kaya dengan
menikahkan sanak saudaranya dengan orang kaya di Lebanon.
2.5 Manshur Bek Ghalib
a. Kemenakan Pendeta Ghalib
Manshur Bek Ghalib adalah kemenakan dari Pendeta Ghalib.
Hal ini terbukti dari kutipan berikut:
٩١٩١:٩٨
88
... Wa li ha>dza>l-mathra>nu ibni akhi tatasha>ra‘u fi> nafsihi ‘ana>shirul-mafa>sidi wal-maka>rihi mitslama> tataqallabul-‘aqa>ribu wal-afa>‘i> ‘ala> jawa>nibil-kuhu>fi wal-mustanqa‘a>ti.
... Pendeta ini mempunyai seorang keponakan laki-laki, yang di
dalam dirinya berkumpul watak buruk dan sifat jahat, bagaikan
kalajengking dan ular yang berdiam di sisi-sisi gua dan di dalam
kubangan air.
Berdasarkan kutipan di atas dapat dijelaskan bahwa
kemenakan laki-laki Pendeta Ghalib adalah orang yang memiliki sifat
buruk dan jahat. Keburukan dan kejahatannya diibaratkan seperti
kalajengking dan ular yang berdiam di sisi-sisi gua dan kubangan air.
Ia siap memangsa dan melukai siapa saja yang masuk ke dalamnya.
b. Suami Salma Karamah
Manshur Bek adalah suami dari Salma Karamah. Berikut
kutipan yang menunjukkan bahwa Manshur Bek adalah suami Salma
Karamah:
٩١٩١:١٦
Wa tazawwaja Manshuru Bika Gha>libu min Salma> fa sakana> ma‘a>n fi> manzili fakhamin qa>’imun ‘ala> sya>thi>’il-bachri fi> ra’si Bairu>ta chaitsu yaqthunu wujaha>’ul-qaumi wal-aghniya>’i. Manshur Bek Ghalib dan Salma telah resmi dipersandingkan di
pelaminan. Kini mereka tinggal di sebuah rumah megah yang
terletak di tepi pantai di ujung kota Beirut. Tempat tinggal para
hartawan dan orang-orang terkemuka.
Berdasarkan kutipan di atas dapat dijelaskan bahwa Manshur
Bek dan Salma telah sah menikah. Setelah menikah mereka tinggal di
sebuah rumah yang megah terletak di tepi pantai di ujung kota Beirut.
89
Tempat tersebut adalah tempat tinggal para hartawan dan orang-orang
terkemuka di Lebanon.
c. Culas
Manshur Bek Ghalib memiliki sifat yang tidak jauh dari
pamannya. Semua sifatnya turun dari diri pamannya. Hal ini terbukti
dari kutipan berikut:
٩١٩١:٦٣
Ka>na Manshuru Bika syabi>ha>n bi ‘ammihil-mathra>nu Bu>lusi Gha>libi, wa ka>nat akhla>quhu ka akhla>qihi.
Manshur Bek menyerupai pamannya dalam tabiat, akhlak Manshur
Bek menyerupai pamannya.
٩١٩١:٦٣
... Amma> ibnu akhi>hi fa ka>na yaf‘alu kulla dzalika jacha>ra>n wa ‘unwah. ... Kemenakannya mengejar kesenangan dengan terang-terangan.
٩١٩١:٦٤
... Amma> Manshuru Bika fa ka>na yuqdhi>’n-naha>ra kullahu mutabi‘a>n maladza>tihi mala>chiqa>n syahawatihi fi> tilkal-azqatil-muzhlimah chaitsu yakhtamirul-hawa>’u bi anfa>sil-fasa>di.
... Manshur Bek menghabiskan hari-harinya untuk mengejar
kepuasan birahi di sudut-sudut kegelapan, di mana nafsu
bercampur dengan nafas-nafas kebinasaan.
٩١٩١:٦٤
Amma> Manshuru Bika fa ka>na muchta>la>n yamasyi> bi syuja>‘ihi fi> nu>ri’n-naha>ri.
90
Manshur Bek adalah penipu yang melangkah di siang hari dengan
angkuh.
Berdasarkan kutipan-kutipan di atas dapat dijelaskan bahwa
Manshur Bek adalah orang yang jahat dan berperangai buruk. Semua
sifatnya turun dari pamannya. Berbeda dengan pamannya, jika
pamannya bersembunyi di balik jubah dan bayang-bayang injil,
Manshur Bek adalah orang yang tidak memiliki rasa malu, ia
mengejar kesenangan dengan terang-terangan. Manshur Bek yang
telah beristri Salma sama sekali tidak menjalankan kewajiban-
kewajibannya menjadi seorang suami, ia lebih memilih menghabiskan
hari-harinya untuk mengejar kepuasan birahi di sudut-sudut
kegelapan. Manshur Bek adalah seorang penipu yang berhati keras
dan angkuh.
d. Berwatak buruk
Manshur Bek Ghalib sudah pasti memiliki sifat buruk dan jahat
karena ia adalah orang yang culas. Hal ini terbukti dari kutipan
berikut:
٩١٩١:٦٣
Amma> bu‘nuha> fa ka>na min u>la’ika’r-rija>li’l-ladzi>na yachshilu>na bi ghairi ta‘abin ‘ala> kulli ma> yaj‘alul-chaya>h haniya’atan wa la> yaqna‘u>na bal yathmachu>na da >’ima>n ila> ma> laisa lahum, wa hakadza> yazhillu>na mu‘adzdzabi>na bi mathami‘ihim ila> niha>yah
91
ayya>mihim. Wa bathila>n kuntu arju>’th-thuma’ninah li Farisi Kara>mihu li anna shihrahu lam yastalim yadu ibnatihi wa yachshulu ‘ala> amwa>liha’th-tha’ilah hatta> nasiyahu wa hajarahu bal sha>ra yathlubu hatfihi tawashula>n ila> ma> baqiya min tsarwatihi. Sedangkan suaminya adalah seorang laki-laki yang dengan mudah
memperoleh segala bentuk kemewahan hidup. Tapi semua itu tidak
pernah membuatnya merasa puas, justru semakin rakus. Setelah
berhasil mengawini Salma, dia mengabaikan ayahnya yang hidup
dalam kesepian. Karena dengan demikian akan semakin cepat
waktunya untuk memperoleh warisan kekayaan orang tua Salma.
Berdasarkan kutipan di atas dapat dijelaskan bahwa niat jahat
Manshur Bek Ghalib sudah jelas terlihat sejak awal. Ia menikahi
Salma untuk mendapatkan harta Faris Affandy Karamah. Setelah
menikahi Salma, ia tidak memperdulikan dan menghormati ayah
Salma sebagai mertuanya. Hal tersebut akan membuat Faris Affandy
Karamah cepat mati dan Manshur Bek cepat mendapatkan seluruh
kekayaan Faris Affandy Karamah. Bukti lainnya dapat dilihat dalam
kutipan berikut ini:
٩١٩١:١٥
Anna’r-rajulal-ma>di> yanzhuru ila> zaujatihil-‘a>qiri bil-‘aini’l-lati> yara> biha>l-inticharal-bathi>’u fayamqutuha> wa yahjuruha> wa yathlubu chatfaha> ka annaha> ‘aduwu ghada>rin yuri>dul-fatika bihi. Wa Manshuru Bika Gha>libi ka>na ma>diya>n ka >’t-turabi wa qa>siya>n ka>l-fu>la>dzi wa tha>ma‘a>n ka>l-maqbarah, wa ka>nat raghabatuhu bi ibni yaritsu ismahu wa su’dadahu takrahuhu bi Salma> al-miski>nati wa tachulu mucha>sinuha> fi> ‘ainaihi ila> ‘uyu>bi jahanamiyah.
Seorang laki-laki yang gila harta akan memandang istri yang tidak
memberikan keturunan sebagai seorang musuh. Dia akan
92
membenci dan meninggalkannya bahkan berharap kematian
secepat mungkin menjemput sang istri. Manshur Bek Ghalib
termasuk lelaki semacam itu, keras seperti baja, dan rakus bagaikan
kuburan. Keinginan untuk memiliki putra yang akan mewarisi
namanya, membuat dia membenci Salma, tak peduli betapa lembut
dan cantiknya Salma, di mata Manshur Bek Ghalib ia adalah
wanita yang penuh aib.
Berdasarkan kutipan di atas dapat dijelaskan bahwa Manshur
Bek adalah seorang lelaki yang memandang istrinya sebagai wanita
yang penuh aib. Hal itu dikarenakan Salma adalah perempuan mandul.
Keinginan Manshur Bek untuk memiliki putra sebagai pewaris
namanya, membuat dia membenci Salma. Walaupun Salma adalah
perempuan yang lembut dan cantik, namun di mata Manshur Bek
Salma tetap wanita yang penuh aib. Manshur Bek adalah laki-laki
yang keras dan rakus, selalu memandang semua dari segi harta dan
sesuai apa yang ia inginkan, jika tidak ia akan membencinya.
e. Tidak bertanggung jawab
Manshur Bek Ghalib adalah suami yang tidak bertanggung
jawab terhadap istri dan rumah tangganya. Walaupun istrinya telah
melakukan kewajibannya sebagai seorang istri, justru Manshur Bek
Ghalib melalaikan kewajibannya sebagai seorang suami. Ia justru
lebih memilih mengurusi wanita-wanita di pasar untuk dijual dan
dijadikan budak. Hal ini terbukti dari kutipan berikut:
٩١٩١:٨٥
93
Inna zauji> la> yachfilu bi> wa la> yadri> kaifa ashrafu ayamiy, fa huwa masyghu>lun ‘ani> bi u>laikal-shiba>ya>l-miski>na>ti’l-lawa>ti> taqu>duhunnal-fa>qah ila> aswa>qin-nukha>si >na fayata‘atharna wa yaktachilna li yabi‘na ajsa>dahunna bi khubzil-ma‘ju>nu bi’d-dima>’i wa’d-dumu>‘i. “Suamiku tidak memperdulikan aku. Bahkan dia tidak tahu
bagaimana aku menghabiskan waktu. Sebab dia sibuk mengurusi
gadis-gadis miskin yang digiring oleh kemelaratan ke pasar budak.
Di mana tubuh mereka didandani untuk ditukar dengan roti yang
dimasak dengan darah dan air mata”.
Berdasarkan kutipan di atas dapat dijelaskan bahwa Manshur
Bek sama sekali tidak memperdulikan Salma sebagai istrinya. Ia sama
sekali tidak tahu bagaimana istrinya menghabiskan waktu. Ia lebih
memilih menyibukkan dirinya mengurusi gadis-gadis miskin yang
dapat digiringnya ke pasar budak. Begitulah kekejaman yang
dilakukan oleh Manshur Bek kepada orang-orang miskin.
f. Angkuh
Manshur Bek adalah orang yang angkuh. Bahkan ketika
mendengar berita kematian Salma dan anaknya, sama sekali tidak ada
kesedihan di dalam dirinya. Begitu juga ketika istri dan anaknya
dimakamkan. Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut:
٩١٩١:٩٠٩
Amma> Manshuru Bika Ghalibi falam yashrakh wa lam yatanahhadu wa lam yadzrif dam‘ahu wa lam yafihu bi kalimatin bal labitsa ja>mida>n muntashiba>n ka>’sh-shanami qa>bidha>n bi yami>nihi ‘ala> ka’si’sy-syara>bi.
Sedangkan Manshur Bek Ghalib, tidak menjerit, tidak mendesah,
dan tidak pula menitihkan air mata. Ia tidak mengeluarkan sepatah
94
katapun. Ia diam membeku bagai patung, dengan tangan kanan
masih memegang cawan anggur.
Berdasarkan kutipan di atas dapat dijelaskan bahwa sesaat
setelah kebahagiaan menyelimuti rumah Manshur Bek karena
kelahiran putranya yang pertama, tiba-tiba suasana berubah menjadi
duka karena istri dan bayinya telah meninggal. Ia tidak menjerit
mendengar kabar tersebut, tidak mendesah juga sebagai ungkapan
sesaknya dada menanggung kepedihan kehilangan istri dan anak yang
baru saja lahir. Ia tidak menitihkan air mata sebagai ungkapan
terpukul dengan kematian istri dan anaknya, tidak pula mengeluarkan
sepatah katapun sebagai ungkapan kepedihan hatinya karena
kebahagiaan yang baru saja dirasakan telah direnggut sang Kuasa. Ia
hanya terpaku dengan tangan kanan masih memegang cawan anggur.
Keangkuhan dalam diri Manshur Bek juga terlihat ketika
pemakaman istri dan anaknya. Hal ini dapat dilihat dari kutipan
berikut:
٩١٩١:٩٠٩
Wa qa>la a>khar: Ta’amalu> bi wajihi Manshuru Bika Gha>libi fa huwa yanzhuru ila>l-fadha>’i bi‘ainaini zuja>jiyataini ka annahu lam yafqadu zaujatahu wa thiflahu fi> yaumin wa>chidin.
Orang berikutnya menagatakan, “Perhatikan wajah Manshur Bek,
dia menatap langit dengan matanya yang seakan terbuat dari kaca.
Dia tidak tampak seperti orang yang kehilangan istri dan anaknya
dalam satu hari”.
95
2.6 Teman Tokoh Utama
a. Baik dan Jujur
Teman tokoh aku adalah orang yang baik dan jujur.
Kebaikannya adalah ia bersedia memberitahukan dan memberitahukan
secara jujur latar belakang keluarga Faris Affandy Karamah, serta
masa depan mereka. Hal ini terbukti dari kutipan berikut:
٩١٩١:٩١
Wa lamma> kharaja Fa>risu Kara>mahu istazadtu sha>chibi> min akhba>rihi fa qa>la bi lahjati yusa>wiruha>l-nahdiru.
Ketika Faris Affandy Karamah meninggalkan rumah, aku meminta
temanku untuk berkisah lebih banyak lagi mengenai dirinya. Dia
berbicara dengan nada yang diselubungi oleh kepedihan.
Berdasarkan kutipan di atas dapat dijelaskan bahwa ketika
tokoh aku meminta kepada temannya untuk menceritakan lebih
banyak mengenai Faris Affandy Karamah, ia bersedia
menceritakannya.
2.7 Pelayan Faris Affandi Karamah
a. Bertanggung Jawab
Pelayan Faris Affandy Karamah adalah sosok yang
bertanggung jawab. Ia menyiapkan makan malam untuk menyambut
tokoh aku. Ia mengerjakan pekerjaan yang seharusnya menjadi
pekerjaannya.
96
b. Sopan
Pelayan Faris Affandy Karamah adalah sosok yang sopan. Hal
ini terbukti dari kutipan berikut:
٩١٩١:٣٩
Wa lam nalatihi minal-‘asya>’i hatta> dakhalat ‘alaina> ichda>l-kha>dima>ti wa khathabat Fa>risu Kara>mahu qa>’ilah: fi>l-ba>bi rajulun yathlubu muqa>balataka ya> Sayidi>.
Belum selesai makan malam kami, salah seorang pelayan
perempuan masuk dan memberitahukan kepada Faris Affandy
Karamah, “Seseorang ingin bertemu denganmu, Tuan”.
Berdasarkan kutipan di atas dapat dijelaskan bahwa kesopanan
yang ditunjukkan oleh pelayan adalah ketika ia menggunakan kata
tuan sebagai kata sapaan untuk Faris Affandy Karamah sebagai
majikan.
2.8 Utusan Pendeta Ghalib
a. Bertanggung Jawab
Utusan Pendeta Ghalib adalah orang yang bertanggung jawab.
Ia mengantarkan pesan dari Pendeta Ghalib kepada Faris Affandy
Karamah dengan jujur. Ia melaksanakan tugasnya dengan baik, yaitu
untuk menjemput Faris Affandy Karamah. Hal ini terbukti dari
kutipan berikut:
٩١٩١:٣٩
97
Fa‘a>datil-khadimah, wa ba’da hani>hatin zhahara rajulun bi atswa>bi mazrakasyatin wa sya>ribi ma‘qu>fi’th-tharafaini, fa sallama munchaniya>n wa kha>thaba Fa>risu Kara>mahu qa’ila>n: qad bu‘asyani> siya>datul-mathra>ni bi markabatihil-khushu>shiyah la> thalaba ilaika an tatakarrama bi’dz-dzaha>bi ilaihi, fa huwa yuri>du an yuba>chitsaka bi umu>ri dzata ahmiyah.
Pada saat pelayan perempuan itu berlalu, seorang laki-laki
berpakaian seragam ketimuran dan berkumis tebal melengkung di
ujungnya, masuk dan memberi salam, lalu berkata pada Faris
Affandy Karamah. “Yang Mulia Pendeta telah menyuruhku untuk
menjemput Tuan, dengan kereta pribadinya. Beliau ingin sekali
membicarakan masalah yang begitu penting denganmu”.
Berdasarkan kutipan di atas dapat dijelaskan bahwa semua apa
yang menjadi tugasnya dilaksanakan dengan baik. Tugas yang
diberikan pendeta kepadanya yaitu menjemput Faris Affandy
Karamah dengan kereta pribadi milik Pendeta Ghalib. Hal itu
dilakukan oleh Pendeta Ghalib sebagai bentuk penghormatan kepada
Faris Affandy Karamah, karena ia berkeinginan mengundang Faris
Affandy Karamah ke rumah untuk membicarakan masalah yang
begitu penting berkaitan dengan Faris Affandy Karamah.
3. Alur [al-Chabkah]
Al-Chabkah adalah bangunan atau alur cerita yang dijalankan oleh
tokoh melalui cerita. Bangunan cerita dapat dimulai dari awal lalu menanjak
menuju klimaks cerita dan menurun lagi sampai cerita berakhir (Sangidu,
2007: 22).
Bangunan cerita atau alur yang digunakan Jubra>n Khali>l Jubra>n dalam
novel al-Ajnichah al-Mutakassirah jika didasarkan pada urutan waktu
termasuk ke dalam plot tak kronis atau disebut juga dengan plot sorot-balik,
98
alur mundur, alur flash back, dan alur regresif. Plot regresif menggambarkan
bagaimana urutan kejadian yang dikisahkannya tidak bersifat kronologis
(Kasnadi dan Sutejo, 2010: 19). Artinya, cerita diawali dengan konflik
ataupun kisah akhir sebuah cerita, kemudian baru masuk pada bagian-bagian
penyelesaiannya ataupun bagian-bagian penceritaan sebelum cerita akhirnya.
Bagian satu dan dua pada novel al-Ajnichah al-Mutakassirah karya
Jubra>n Khali>l Jubra>n merupakan masa sekarang. Bagian pertama penceritaan
tentang kisah percintaan antara tokoh aku dan Salma. Penceritaan berakhir
pada kisah Salma meninggal dan penceritaan letak pusara Salma. Hal ini dapat
dilihat dari kutipan berikut:
١-٩١٩١:٨
Wa’y-yauma, wa qad marrat al-a‘wa>mul-muzhlimah tha>misatun bi aqda>miha> rusu>ma tilkal-ayya>mi, lam yabqa li>n dzalikal-chilmul-jami>lu siwa> tadzakka>ra>ti muwajja‘ah tarafrafa ka>l-ajnichah ghairul-manzhu>rah chaula ra’si> mutsi>rah tanhada>til-asa> fi> a‘ma>qi shadri> mustaqthiratan dumu>‘il-ya’si wal-asafi min ajfa>ni> .. wa Salma> - Salma al-jami>latul-‘adzbah qad dzahabat ila> ma> wara>’a’sy-syafaqil-azraqi wa lam yabqa min a>tsariha> fi> ha>dza>l-‘a>mlami siwa> ghushsha>ti ali>matin fi> qalbi> wa qabri rukha>mi> muntashibun fi> zhila>li asyja>ri’s-sirru>. Fa dzalikal-qabru wa ha>dza>l-qalbu huma> kullu ma> baqiya li yachdutsal-wuju>da’z-zaju>da ‘an Salma> Kara>mahu.
Kini beberapa tahun telah berlalu. Tiada lagi yang tersisa dari mimpi-
mimpi yang indah itu, kecuali kenangan menyakitkan yang berayun-ayun
di sekililingku laksana sayap. Kenangan itu menggoreskan kesedihan,
membuat air mataku tertumpah. Salma yang cantik jelita kini sudah tiada,
kenangan akan dirinyapun ikut sirna. Tidak ada sedikitpun yang tersisa,
99
kecuali hatiku yang hancur berkeping-keping dan gundukan tanah
pekuburan yang diselimuti oleh pohon-pohon as-Sarwa (cedar). Hanya
makam dan hatiku yang masih tersisa untuk mengenang Salma Karamah.
Berdasarkan kutipan di atas dapat dijelaskan bahwa setelah beberapa
tahun kematian Salma, semua mimpi-mimpi indah tokoh aku sirna bersama
sirnanya kenangan akan Salma. Tidak ada yang tersisa kecuali kenangan yang
terus berayun-ayun di sekeliling tokoh aku. Tidak ada yang tersisa kecuali hati
tokoh aku yang hancur berkeping-keping dan gundukan tanah kuburan Salma.
Adapun kutipan yang menjelaskan tentang kuburan Salma sebagai berikut:
٩١٩١:١
Faya> ashdiqa>’u syabi>bati>l-muntasyirina fi> Bairu>ta, idza> marartum bi tilkal-qabratil-qari>bah min gha>bati’sh-shanwabiri adkhilu>ha> shamitina wasi>ru> wa ibthi’ kaila> tuz‘iju aqda>mukum rafa>ti’r-ra>qidi>na tahta athba>qi’ts-tsara>, wa qafu> mutahayibbina bi ja>nibi qabri Salma> wa chayu> ‘ani>’t-turaba’l-ladzi> dhama jutsma>nuha>. Wahai sahabat-sahabtku, kaum muda yang tersebar di Beirut, bila kalian
melewati sebuah nisan yang terletak di balik rimbunnya hutan cemara,
maka masuklah ke dalamnya. Jangan berbicara sepatah katapun,
melangkahlah perlahan agar hentakan kakimu tak mengganggu
nyenyaknya orang-orang yang terbaring di bawah tanah. Berhentilah
dengan penuh takzim di depan kubur Salma. Sampaikan salamku pada
bumi yang memeluknya.
Berdasarkan kutipan di atas dapat dijelaskan bahwa nisan Salma
berada di Beirut. Nisan Salma terletak di balik rimbunnya hutan cemara.
Adapun bagian dua adalah Jubra>n menceritakan masa mudanya yang
menderita dengan sudut pandang penceritaan masa sekarang. Hal ini dapat
dilihat dari kutipan berikut:
100
٩١٩١:٩٩
Antum ayuha>’n-na>su tadzakiru>na fajara’sy-syababiyah fa richi>na bi istirja>‘i rusu>mahu muta’assifi>na ‘ala> inqidha>’ihi, amma> ana> fa adzkuruhu mitsluma> yadzkurul-churrul-mu‘tiqi judra>ni sijnahu wa tsaqula quyu>dahu.
Kalian, wahai manusia, tentu akan selalu terkenang masa muda dengan
segala kegembiraannya dan menyesalkan berakhirnya masa itu.
Sedangkan diriku mengingat masa itu seperti seorang narapidana yang
mengingat kembali dinding-dinding penjara dan beratnya rantai besi
yang membelenggu.
Berdasarkan kutipan di atas dapat dijelaskan bahwa masa muda
menurut tokoh aku adalah masa kegembiraan. Masa di mana hanya ada segala
kegembiraan dan ketika masa itu berakhir semua manusia akan
menyesalkannya, akan tetapi tidak dengan masa muda tokoh aku. Adapun
masa muda tokoh aku adalah masa di mana segala penderitaan harus
ditanggungnya. Hal yang menunjukkan bahwa bagian ini menggunakan sudut
pandang penceritaan masa sekarang adalah terlihat dari penggunaan kata pada
kutipan „Sedangkan diriku mengingat masa itu...‟ kalimat mengingat masa itu
menunjukkan masa yang telah dilaluinya.
Adapun bagian dua hingga bagian sebelas penceritaaan masuk pada
kisah yang alurnya dapat dibagi menjadi tiga tahap. Tahap pertama adalah
perkenalan. Perkenalan dimulai dari siapa tokoh aku, namun penulis hanya
secara tiba-tiba memperkenalkan tokoh aku secara singkat dan tanpa banyak
mengungkap latar belakang kehidupan si tokoh aku. Penulis justru loncat
untuk memperkenalkan sosial yang ada di dalam novel, misalnya ia secara
tiba-tiba memunculkan tokoh teman si aku dan kembali memunculkannya
101
tanpa identitas yang jelas. Setelah itu, masuk pada perkenalan tokoh Faris
Affandy Karamah. Perkenalan dengan tokoh Faris Affandy Karamah dibuat
lebih singkat oleh penulis. Perkenalan tentang latar belakang Faris Affandy
Karamah justru keluar dari paparan teman tokoh aku. Tuturan tersebutlah yang
membuat tokoh aku tahu banyak tentang Faris Affandy Karamah dan anaknya
yang bernama Salma Karamah. Penulis sudah mulai memperkenalkan kepada
pembaca tentang konflik yang akan diangkat dalam novelnya melalui paparan-
paparan para tokohnya.
Penulis kemudian memperkenalkan tokoh Salma Karamah pada saat
pertemuannya dengan tokoh aku. Pada pertemuan itu mulai muncul perasaan-
perasaan hati yang membuat keduanya saling jatuh cinta. Hari-hari mereka
berlalu dengan penuh kebahagiaan dan cinta. Tokoh aku digambarkan begitu
mengagumi kecantikan, kelembutan, dan kecerdasan seorang Salma Karamah.
Penulis menjalankan alur cerita ini penuh dengan ketidakpastian, di mana di
antara mereka tidak pernah ada sebuah kata yang mengikat dalam sebuah
hubungan. Mereka saling tahu dan memahami perasaan masing-masing hingga
mereka merasa dan sepakat bahwa mereka menjalin sebuah hubungan
percintaan. Penulis lihai dalam memainkan kata hingga ia mengisi halaman-
halamannya penuh dengan perasaan bahagia orang yang sedang jatuh cinta
dan menikmati cinta pertamanya.
Tahap kedua adalah pemunculan masalah. Pemunculan masalah
muncul pada saat tokoh aku dan Salma Karamah belum lama merasakan
manisnya cinta, saat mereka terbang tinggi seperti burung. Sayap-sayap
102
mereka dipatahkan oleh takdir yang telah menuliskan nasib Salma.
Pemunculan masalah diawali dengan munculnya tokoh utusan Pendeta Ghalib
untuk menjemput Faris Affandy Karamah karena Pendeta Ghalib ingin
membicarakan hal penting dengannya. Pembicaraan itu tidak lain dan tidak
bukan adalah perihal Pendeta Ghalib ingin menikahkan kemenakannya,
Manshur Bek Ghalib dengan Salma Karamah. Keputusan ini sekalipun Faris
Affandy Karamah tidak dapat menolaknya. Semua takluk dan tunduk pada
perintah dan pada setiap keputusan Pendeta Ghalib.
Pada lembaran-lembaran ini penulis mengisi halamannya dengan
perasaan-perasaan kesedihan, kehancuran, kekhawatiran dan perasaan-
perasaan lain yang membuat hidup tokoh aku, Salma Karamah, dan Faris
Affandy Karamah diselimuti dengan kepedihan. Kepedihan itu terus-menerus
menyelimuti kehidupan tiga tokoh tersebut bahkan hingga Salma dan Manshur
Bek Ghalib telah resmi dipersandingkan dalam sebuah pernikahan. Salma
yang tidak pernah mendapatkan kebahagiaan dari suaminya. Tokoh aku yang
hidup dalam perasaan-perasaan cintanya kepada Salma tanpa pernah terwujud
dalam bingkai kebahagiaan, hanya bayangan-bayangan kebahagiaan yang bisa
ia nikmati dalam kesendiriannya. Faris Affandy Karamah yang menderita
karena hidup sendiri dalam kesepian dan jauh dari putrinya. Hingga kematian
turun menjemputnya. Alur semakin dibuat penulis penuh dengan kesedihan
yang mendalam tentang kehidupan Salma jika ditinggal mati oleh ayahnya.
Penuh gejolak tentang masa depan yang akan dipenuhi dengan kesedihan
tanpa diketahui akhirnya. Kematian Faris Affandy yang dibuat oleh penulis
103
menjadi dramatis. Penulis membuat kematian Faris Affandy Karamah dengan
alur yang pelan. Penulis mampu membuat pembacanya terombang-ambing
dalam kepedihan yang dialami ketiga tokoh dalam novel ini.
Tahap ketiga adalah penyelesaian masalah. Dalam bagian ketiga ini
alur dibuat seolah konflik mulai mereda yaitu dengan kembalinya Salma
menjalin kasih dengan tokoh aku. Kembalinya kisah cinta mereka
menumbuhkan kebahagiaan meskipun Salma telah bersuami. Tanpa
sepengetahuan siapapun mereka bertemu di Kuil tua satu bulan sekali, hanya
Tuhan dan burung-burung kecil yang mengetahui pertemuan secara sembunyi-
sembunyi tersebut. Pertemun tersebut membuat Salma dan tokoh aku dapat
menikmati hidup yang mereka jalani di tempat yang berbeda. Meskipun
penulis membuat tokoh Salma dan tokoh aku terombang-ambing dalam
menjalani takdir yang telah membelenggunya.
Setelah itu penulis membawa alur ceritanya dengan memunculkan
konflik baru namun ringan, di mana masalah tersebut adalah Pendeta Ghalib
mulai mencurigai kepergian Salma sebulan sekali. Pendeta Ghalib
mengerahkan mata-matanya untuk mengintai Salma. Di dalam diri Salma
sudah tidak ada rasa ketakutan pada Pendeta Ghalib, tapi ia mengkhawatirkan
masa depan kekasihnya, tokoh aku. Salma memilih untuk tidak menemui
tokoh aku lagi. Ia akan kembali kesangkar gelap yang megurungnya. Ia tidak
ingin tokoh aku masuk ke dalam perangkap Pendeta Ghalib. Salma merasa
cukup dirinya saja yang merasakan penderitaan yang disebabkan oleh
perbuatan Pendeta Ghalib. Cukup dia yang merasakan penderitaan karena
104
kerakusan dan keculasan seorang pemuka agama di Timur seperti Pendeta
Ghalib.
Salmapun kembali menjalani kehidupannya bersama Manshur Bek
Ghalib. Hingga lima tahun pernikahan Salma dan Manshur Bek tidak juga
dikaruniai seorang anak. Hal itu dikarenakan Salma adalah perempuan
mandul. Kemandulan Salma hingga membuat Manshur Bek membenci Salma
dan menganggapnya sebagai wanita yang penuh aib. Setiap malam Salma
selalu do‟a kepada Tuhan, hingga akhirnya Salma hamil. Penulis mulai
menyelesaikan konflik dalam novelnya dengan memunculkan cerita Salma
hamil hingga melahirkan seorang bayi laki-laki. Kebahagiaan menyelimuti
rumah Manshur Bek, tapi penulis tidak mengakhiri ceritanya dengan manis.
Bayi yang dilahirkan Salma sesaat ia menarik nafas yang pertama kali, pada
saat itu juga ia menghembuskan nafasnya yang terakhir kali. Bayi Salma
meninggal dunia.
Penulis begitu jeli dalam menyusun bangunan cerita dalam novelnya.
Belum selesai ia mengisi halamannya dengan kesedihan atas kematian bayi
Salma, ia membangun cerita dengan penceritaan Salma meninggal sesaat
setelah bayinya meninggal. Salma meninggal sesaat setelah ia mengetahui
rahasia apa yang sedang ditakdirkan Tuhan kepadanya, bahwa bayi itu datang
untuk menjemput ibunya keluar dari sangkar penderitaan, keluar dari gua yang
begitu gelap, keluar dari sangkar yang megurungnya selama ini. Penulis
mengakhiri cerita tokoh aku tinggal sendirian dengan perasaan yang telah
terkubur bersama Salma, dengan sayap-sayap yang patah meratapi kehidupan
105
yang begitu aneh karena kebahagiaan dan kesedihan selalu datang silih
berganti.
4. Latar waktu dan tempat [az-Zama>n wal-Maka>n]
Az-Zama>n wal-Maka>n atau [al-Bi>’ah] menurut istilah Badr (1411
H) adalah keterangan waktu dan tempat terjadinya suatu peristiwa (Sangidu,
2007: 25).
Keterangan waktu dan tempat terjadinya peristiwa dalam novel al-
Ajnichah al-Mutakassirah karya Jubra>n Khali>l Jubra>n yaitu:
a. Latar Waktu [az-Zama>n]
Latar waktu dalam novel al-Ajnichah al-Mutakassirah karya
Jubra>n Khali>l Jubra>n meliputi, musim semi, bulan Mei, malam hari, pada
akhir minggu, hari Minggu, musim dingin, dan bulan Haziran. Berikut ini
diuraikan satu per satu latar waktu yang digunakan:
a.1 Musim Semi
Musim semi terjadi pada saat bulan April. Pada saat musim
semi terjadi peristiwa pertemuan antara tokoh aku dan tokoh Faris
Affandy Karamah untuk kali pertama. Hal ini dapat dilihat dari
kutipan berikut:
٩١٩١:٩٥
Kuntu fi> Bairu>ta fi> rabi>‘i tilka’s-sanatil-mamlu>’ati bil-ghara>’ibi, wa ka>na ni>sa>nu qad anbatal-azha>ru wal-a‘sya>bu fa zhaharat fi> basa>ti>nal-madi>nah.
Aku berada di Beirut pada musim semi yang penuh pesona.
Bunga-bunga dan rerumputan nan hijau menghiasi taman, di
bulan April.
106
Berdasarkan kutipan di atas dapat dijelaskan bahwa pada
musim semi yaitu bulan April, peristiwa yang terjadi adalah
pertemuan antara tokoh aku dan Faris Affandy Karamah.
a.2 Bulan Mei
Bulan Mei adalah terjadinya peristiwa tokoh aku dan Salma
Karamah saling jatuh cinta. Hal ini dapat dilihat dari kutipan
berikut:
٩١٩١:١٥
Wa anqadha> nisa>nu wa ana> azu>ru manzila Fa>risa Kara>mahu wa altaqi> Salma>. Bulan April telah berlalu. Aku masih selalu berkunjung ke
rumah Faris Affandy Karamah, untuk bertemu dengan Salma
Karamah di taman yang indah itu.
Berdasarkan kutipan di atas dapat dijelaskan bahwa bulan
April sudah berlalu dan berganti bulan berikutnya yaitu bulan Mei.
a.3 Malam hari
Latar waktu waktu malam hari adalah terjadinya peristiwa-
peristiwa di rumah Faris Affandy Karamah. Salah satu peristiwa
pada saat latar waktu malam adalah tokoh aku diundang untuk
makan malam di rumah Faris Affandy Karamah. Hal ini dapat
dilihat dari kutipan berikut:
٩١٩١:١١
Wa ba‘da ayya>mi da‘a>ni> Fa>risu Kara>mahu ila> tana>wulil-‘asya>i fi> manzilihi.
107
Beberapa hari kemudian Faris Affandy Karamah mengundangku
makan malam di rumahnya.
a.4 Pada akhir minggu
Latar waktu akhir minggu adalah terjadinya peristiwa
pertemuan terakhir antara tokoh aku dengan Salma Karamah
sebelum Salma dinikahkan dengan Manshur Bek. Hal ini dapat
dilihat dari kutipan berikut:
٩١٩١:٤٦
Wa fi> niha>yatil-usbu>‘i wa qad sakartu nafsi> bi khamrati ‘awa>thighi> sirtu masa>’a ila> manzili Salma> Kara>mhu.
Pada akhir minggu, ketika kerinduan tak mampu lagi ditahan,
aku datang ke rumah Salma.
Berdasarkan kutipan di atas dapat dijelaskan bahwa pada
akhir minggu yaitu setelah beberapa hari semenjak tokoh aku
mengetahui maksud pertemuan Pendeta Ghalib dengan Faris
Affandy Karamah, tokoh aku tidak pernah pergi ke rumah Salma.
Tokoh aku pergi ke rumah Faris Affandy Karamah untuk bertemu
dengan Salma pada akhir minggu, di mana pertemuan itu adalah
pertemuan terakhir sebelum Salma dinikahkan. Pertemuan itu
adalah pertemuan terakhir bagi dua kekasih yang akan dipisahkan
oleh takdir.
a.5 Hari Minggu
Latar waktu hari Minggu adalah latar waktu terjadinya
peristiwa Pendeta Ghalib selalu mengajarkan injil kepada orang-
108
orang yang beriman akan tetapi apa yang ia ajarkan tidak pernah ia
lakukan sendiri. Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut:
٩١٩١:٦٤
Ka>nal-mathra>nu yaqifa yaumul-achadu ama>mal-madzbachi wa ya‘izhul-mu’mini>ni bima> la> yatta‘izhu bihi.
Pada hari Minggu, di depan mazbah (tempat menyembelih
binatang yang akan dikurbankan, biasanya bentuknya seperti
meja tinggi, terbuat dari kayu atau batu) Pendeta Ghalib
menasehati orang-orang yang beriman dengan sesuatu yang ia
sendiri tidak pernah mengamalkan.
a.6 Musim Dingin
Latar waktu musim dingin adalah latar waktu terjadinya
peristiwa meninggalnya Faris Affandy Karamah. Faris Affandy
Karamah meninggal di tengah malam. Hal ini dapat dilihat dari
kutipan berikut:
٩١٩١:٦٥
٩١٩١:١٥
Madhat ayya>mil-khari>fi wa‘urrat ar-riya>chul-asyja>ru mutala>‘ibah bi aura>qiha>’sh-shafra>’a mitslama> tada>‘ibul-anwa>’u zubdal-bachri, wa ja>’a’sy-syita>’u ba>kiya>n muntachiba>n. ‘indama> intashafa dzalika’l-lailul-muchi>fu fataha Fa>risu Kara>mahu ‘ainaihil-gha>raqataini fi> zhulumati’n-naza‘i, fatachahuma>l-a>khari marratan, wa chaulahuma> nahwa ibnatihil-ja>tsiyah yuja>nibu madhji‘uhu, tsumma chawalal-kala>mu falamu yastathi>‘u li annal-mauta ka>na qad tasyrabu shautahu.
109
Musim gugurpun lewat sudah. Daun-daun yang layu di
pepohonan gugur ditiup angin, seperti memberi jalan bagi
musim dingin yang datang dengan desahan dan tangisan. – Di
tengah malam Faris Affandy Karamah membuka matanya yang
letih untuk terakhir kali, dan memandang lekat-lekat kepada
Salma yang berlutut di sampingnya. Dia berusaha untuk
berbicara tapi tak kuasa, sebab kematian telah merenggut
suaranya.
Berdasarkan kutipan di atas dapat dijelaskan bahwa musim
gugur telah berlalu dan digantikan musim dingin. Musim dingin
datang bagaikan desahan dan tangisan karena pada awal musim
dingin Salma harus kehilangan ayahnya. Faris Affandy meninggal
pada malam musim dingin.
a.7 Bulan Haziran
Bulan Haziran atau bulan Juni adalah latar waktu terjadinya
peristiwa pertemuan terakhir antara tokoh aku dan Salma di kuil
tua. Setelah itu Salma kembali menjalani kehidupannya sebagai
seorang istri. Salma memilih kembali ke sangkarnya karena ia
merasa Pendeta Ghalib telah mencurigai kepergian Salma sebulan
sekali. Pendeta Ghalib telah menyebar mata-mata untuk mengawasi
gerak-gerik Salma kemanapun ia pergi. Hal ini dapat dilihat dari
kutipab berikut:
٩١٩١:٨٤
Fafi> yaumin min awa>khiri chazi>ra>nu wa qad tsaqulat wath’atul-churri fi>’s-sawa>chili wa thalaba’n-na>su a‘a>liyal-jaba>li, sirtu ka ‘a>dati> nahwa dzalikal-ma‘budi wa>‘ida>n nafsi> bi liqa>’i Salma> Kara>mahu.
110
Pada suatu hari di akhir bula Haziran (Juni), saat orang-orang
meninggalkan kota menuju pegunungan untuk menghindari
sengatan musim panas, seperti biasa aku pergi ke kuil untuk
bertemu Salma.
b. Latar Tempat [al-Maka>n]
Latar tempat berpengaruh dalam sebuah penceritaan. Latar
tempat dapat menimbulkan penceritaan dengan berbagai suasana yang
mendukung. Latar tempat dalam novel al-Ajnichah al-Mutakassirah
karya Jubra>n Khali>l Jubra>n meliputi, kota Beirut Lebanon, rumah
teman tokoh aku, rumah Faris Affandi Karamah, taman, ruang makan,
rumah Pendeta Ghalib, gereja, kamar Faris Affandy Karamah, kamar
Salma di rumah Faris Affandy Karamah, kuil tua, rumah Manshur Bek
dan Salma, dan pekuburan. Berikut ini diuraikan satu per satu latar
tempat yang digunakan, yaitu sebagai berikut:
b.1 Kota Beirut, Lebanon
Latar tempat Beirut adalah latar sentral yang digunakan
dalam novel al-Ajnichah al-Mutakassirah karya Jubra>n Khali>l
Jubra>n. Kota Beirut adalah salah satu kota di negara Lebanon. Hal
ini dapat dilihat dari kutipan berikut:
٩١٩١:٩٥
Kuntu fi> Bairu>ta fi> rabi>‘i tilka’s-sanatil-mamlu>’ati bil-ghara>’ib, wa ka>na ni>sa>nu qad anbatal-azha>ru wal-a‘sya>bu fa zhaharat fi> basa>ti>nal-madi>nah. Aku berada di Beirut pada musim semi yang penuh pesona.
Bunga-bunga dan rerumputan nan hijau menghiasi taman, di
bulan April.
111
b.2 Rumah Teman Tokoh Aku
Hal yang menunjukkan bahwa latar tempat rumah teman
dari tokoh aku yaitu:
٩١٩١:٩٦
Fafi> yaumin min tilkal-aya>mil-maf‘imah bi anfa>si ni>sa>nil-muskirah wa ibtisa>ma>tihil-machi>yah, dzahabtu li’z-ziya>rati shadi>qin yaskunu baita>n ba‘i>da>n ‘an dhujjatil-ijtima>‘i.
Pada suatu hari di bulan April yang menhembuskan aroma
mempesona dan menghadiahkan senyuman indah itu, aku pergi
mengunjungi rumah seorang teman yang tinggal di sebuah
rumah terpencil, jauh dari kebisingan kota.
Berdasarkan kutipan di atas dapat dijelaskan bahwa tokoh
aku mengunjungi rumah temannya. Teman tooh aku tinggal di
suatu rumah terpencil yang letaknya jauh dari kota. Peristiwa yang
terjadi di rumah teman tokoh aku adalah pertemuan antara tokoh
aku dengan Faris Affandy Karamah untuk kali pertamanya.
b.3 Rumah Faris Affandy Karamah
Latar tempat rumah Faris Affandy Karamah adalah latar
yang seringkali dimunculkan karena tokoh aku sering mengunjungi
rumah Faris Affandy Karamah untuk bertemu dengan Salma. Hal
ini dapat dilihat dari kutipa berikut:
٩١٩١:١٥
Wa ana> azu>ru manzila Fa>risa Kara>mahu wa altaqi> Salma> wa ajlisu quba>lataha> fi> tilkal-chadi>qah.
112
Aku masih selalu berkunjung ke rumah Faris Affandy Karamah,
untuk bertemu dengan Salma Karamah di taman yang indah itu.
Kutipan lain yang dapat memperkuat hal tersebut sebagai
berikut:
٩١٩١:١٠
Ma> sirtu budh‘a khuthawa>ti fi> tilkal-chadi>qah hatta> zhahara Fa>risu Kara>mahu fi> ba>bil-manzili kha>rija>n li liqa>’i>.
Ketika aku turun dari kereta dan berjalan beberapa langkah
memasuki taman yang luas itu, aku melihat Faris Affandy
Karamah muncul di depan pintu rumahnya menyambut
kedatanganku.
b.4 Taman
Latar taman dalam novel al-Ajnichah al-Mutakassirah
karya Jubra>n Khali>l Jubra>n sering dimunculkan dalam peristiwa
pertemuan antara tokoh aku dan Salma Karamah. Mereka sering
memadu kasih dan berbincang di taman depan rumah Salma. Hal
ini dapat dilihat dari kutipan berikut:
٩١٩١:١١
Wa lamma> balaghtul-manzila wajadtu Salma> ja>lisatan ‘ala> maqa‘adi khasyabi> fi> za>wiyatin minal-chadi>qah wa qad asnadtu ra’saha> ila> ‘imadi syajarah.
Ketika aku sampai di rumah itu, aku mendapati Salma Karamah
sedang duduk di sebuah bangku kayu di sudut taman, seraya
menyandarkan kepalanya di sebuah pohon.
Kutipan lain yang dapat memperkuat hal ini sebagai
berikut:
113
٩١٩١:٣٣
Ta‘a>la nahnu ila>l-chadiqati wa najlisu bainal-asyja>ri li nara>l-qamara tha>li‘a>n min wara>’il-jabal.
Mari kita pergi ke taman dan duduk di bawah pepohonan sambil
melihat rembulan yang muncul di balik pegunungan.
b.5 Ruang Makan
Latar tempat ruang makan adalah tempat terjadinya
peristiwa makan malam Faris Affandy Karamah, Salma, dan tokoh
aku. Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut:
٩١٩١:٣٠
Jalasna> ila>l-ma>’idah na’kulu wa nasyrabu wa natachaddatsu.
Kami duduk di sebuah meja menikmati makanan dan minuman
anggur tua.
b.6 Rumah Pendeta Ghalib
Latar tempat rumah pendeta Ghalib adalah tempat
terjadinya peristiwa Pendeta Ghalib melamar Salma kepada Faris
Affandi Karamah, selain itu rumah Pendeta Ghalib adalah tempat
terjadinya persitiwa penentuan tanggal perkawinan Salma dengan
Manshur Bek. Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut:
٩١٩١:٤١
Bainama> ka>nal-qadaru yakhkhuthu awwala kalimatin min chika>yatin mustaqbaliyin fi> da>ril-Mathra>na Bu>lusi Ghalibi. Wa
114
fi> hadzihi’s-sa>‘ah wa qad jalasa walidi> wa khathi>bi> li yadhfira> ikli>li zawa>ji>.
Sementara sang nasib menulis kata pertama dari kisah hidupku
di masa depan, di rumah Pendeta Ghalib. Sekarang, selagi ayah
dan tunanganku sedang merencanakan tanggal perkawinan.
Berdasarkan kutipan di atas dapat dijelaskan bahwa ayah
Salma, Faris Affandy Karamah dengan Manshur Bek bersama
Pendeta Ghalib sedang merencanakan tanggal perkawinan di
rumah Pendeta Ghalib.
b.7 Gereja
Latar tempat gereja adalah terjadinya peristiwa Pendeta
Ghalib mengajarkan injil. Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut:
...٩١٩١:٦٤
Ka>nal-mathra>nu yaqifa yaumul-achadi. Pada hari minggu, Pendeta Ghalib mengajarkan Injil.
٦٤-٩١٩١:٦٣
Ka>nal-mathra>nu yadzhabu ila>l-kani>sati fi>’sh-shaba>chi.
...Pendeta itu pergi ke gereja di pagi hari.
Berdasarkan kutipan di atas dapat dijelaskan bahwa ia
pergi ke gereja pada pagi hari untuk beribadah.
b.8 Kamar Faris Affandy Karamah
Kamar Faris Affandy Karamah adalah latar tempat
terjadinya peristiwa Faris Affandy sakit hingga datang
kematiannya. Di kamar itu kali pertamanya Faris Affandy
115
menyampaikan pesan ibu Salma kepada Salma dan juga di kamar
itu kali pertamanya Salma melihat wajah ibunya melalui foto yang
disimpan ayahnya. Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut:
٩١٩١:٦٥
٩١٩١:٦٦
Fadza>ta yaumin sami‘tu bi i‘tila>li Fa>risa Kara>mahu, fa taraktu wachdati> wa dzahabtu li ‘iya>datihi. Balaghtu manzila’sy-syaikhi wa dzakhaltu ‘alaihi fa wajadtuhu mulaqa> ‘ala> firas>syihi mudhna>l-jisma.
Pada suatu hari, aku mendengar kabar bahwa Faris Affandy
Karamah sedang sakit. Aku meninggalkan tempat tinggalku
yang sunyi menuju kediamannya
Sesampai di rumah orang tua itu aku segera masuk
menemuinya. Ia sedang terbujur di pembaringannya.
b.9 Kamar Salma
Latar tempat kamar Salma di rumah Faris Affandy
Karamah adalah tepat terjadinya peristiwa Salma meratapi segala
kesedihannya karena ia akan ditinggal mati oleh ayahnya. Hal ini
dapat dilihat dari kutipan berikut:
٩١٩١:٦٦
Dakhaltul-ghurfatal-mucha>dziyah fa wajadtu Salma> mantharichatan ‘ala> maqa‘adin wa qad ghamarat ra‘saha> bi zandi>ha wa gharaqat wajhaha> bil-masa>nidi wa amsakat ana> fa>siha> kaila> yasma‘a wa>liduha> nachi>baha>.
116
Aku memasuki kamar yang berbatasan dengan kamar Faris
Affandy Karamah dan melihat Salma sedang berbaring di atas
dipan. Ia menutupi kepala dengan tangannya, dan
menenggelamkan wajahnya pada bantal, menahan nafas hingga
tangisnya tak terdengar.
b.10 Kuil Tua
Latar tempat kuil tua adalah tempat terjadinya peristiwa
pertemuan tokoh aku dengan Salma sebulan sekali. Kuil tua ini
merupakan salah satu tempat bersejarah yang tidak dikenal dan
terlupakan di Siria. Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut:
٩١٩١:١١
Baina tilkal-basa>ti>na wa’t-talu>lu’l-lati> tashilu athra>fa Bairu>ta bi adzya>li Liba>na yu>jadu ma‘badu shaghi>run qadi>mul-‘ahdi machfu>run fi> qalbi shakhrati baidha>’in qa>’imatin baina asyja>ri’z-zaituni wal-lauzi wa’sh-shafshafi – fa huwa mitslu asyya>’in katsi>ratin khati>ratin fi> Su>riya>.
Di antara pertamanan dan bukit-bukit yang menghubungkan
ujung kota Beirut dengan ekor Lebanon terdapat sebuah kuil tua,
yang bahannya digali dari batu putih, dikelilingi pohon zaitun,
luz (badam) dan pohon-pohon shafshaf – kuil ini merupakan
salah satu tempat bersejarah yang tak dikenal dan terlupakan di
Siria.
Berdasarkan kutipan di atas dapat dijelaskan bahwa kuil tua
tersebut berada di antara pertamanan dan bukit-bukit yang
menghubungkan Beirut dengan ujung Lebanon. Kuil itu dibuat dari
bahan batu putih, sedangkan bangunannya dikelilingi pohon zaitun
dan pohon-pohon shafshaf atau dalam bahasa Inggris dikenal
dengan sebutan willow. Kuil ini merupakan tempat bersejarah di
117
Siria, namun tempat ini tidak dikenal dan bahkan terlupakan. Bukti
bahwa di kuil tua tersebut adalah tempat pertemuan tokoh aku dan
Salma dapat dilihat pada kutipan berikut ini:
٩١٩١:١١
Fi> ha>dza>l-haikalil-majhu>li kuntu altaqi> Salma> Kara>mahu masratan fi>’sy-syahri fa nashrifu’s-sa>‘a>tal-thiwa>la.
Di kuil tua itu, aku bertemu Salma sekali dalam sebulan dan
menghabiskan waktu bersamanya.
Berdasarkan kutipan di atas dapat dijelaskan bahwa di kuil
tua itu tokoh aku dan Salma bertemu sebulan sekali dan
menghabiskan waktu berdua.
b.11 Rumah Manshur Bek dan Salma
Latar tempat rumah Manshur Bek dan Salma adalah tempat
terjadinya peristiwa Salma melahirkan anaknya dan juga tempat
Salma dan bayinya meninggal pada hari yang sama. Hal ini dapat
dilihat dari kutipan berikut:
٩١٩١:١٨
Wa aiqazhat nighmatul-farchi ba‘dhal-jiyara>ni faja>wu> bi mala>bisi’n-naumi li yuhanni’u>l-wa>lida bi walidihi – ma>ta’th-thiflu wa suka>nul-hayyi yafrachu>na ma‘al-wa>lidi fi>l-qa>‘atil-kubra> wa yasyrabu>na nakhbahu li ya‘isyu thawi>la>n.
Suara-suara kegembiraan membahana ke seluruh penjuru.
Mereka bergegas menuju rumah besar itu untuk mengucapkan
selamat kepada ayah yang telah mempunyai putra – Anak kecil
118
itu telah wafat sementara para penduduk kampung merayakan
kehadirannya bersama sang ayah, di sebuah ruangan besar di
rumah itu sambil bersulang demi kesehatan si anak.
Berikut adalah bukti di rumah Manshur Bek dan Salma
adalah latar terjadinya peristiwa si bayi dan ibunya (Salma)
meninggal:
٩١٩١:٩٠٠
Wa ba‘da daqi>qatin dakhalat asy‘atu’sy-syamsyi min baina sata>iri’n-na>fidzah wa insakabat ‘ala> jasadaini ha>madaini mintharun china ‘ala madhja‘i tukhfaruhu haibatul-umu>mah wa tuzhilluhu ajnichatul-mauti.
Sesaat kemudian masuklah sinar matahari dari balik jendela
yang menyinari dua tubuh yang telah kaku, terbujur di atas
tempat tidur, diselimuti oleh kehebatan kasih ibu dan diteduhi
oleh saya-sayap kematian.
b.12 Pekuburan
Pekuburan atau makam adalah latar tempat terjadinya
peristiwa pemakaman Salma dengan bayinya. Hal ini dapat dilihat
dari kutipan berikut:
٩١٩١:٩٠٩
Balaghu>l-maqabarah fa>ntashabal-Mathra>nu Bu>lusi Gha>libi yurattilu ya‘zimu, wa waqafal-kuha>nu chaulahu yanghamu>na wa yasbachu>na wa ‘ala wuju>hihimul-ka>lichah niqa>bun minal-khalwi wal-ghafu>li.
Kini mereka sudah tiba di pekuburan. Pendeta Ghalib mulai
menyanyikan lagu gereja, sedangkan pendeta-pendeta lain
berdiri di sekitarnya, melantunkan kidung suci, dan berdoa. Pada
119
wajah-wajah mereka yang suram terlihat cadar kebodohan dan
kehampaan.
Bukti lain yang menunjukkan bahwa pekuburan adalah
latar tempat peristiwa pemakaman Salma dan bayinya dapat dilihat
pada kutipan berikut ini:
٩١٩١:٩٠١
‘Ada>l-musyyi>‘u>na wa baqiya chuffa>rul-qu>bu>ri muntashiba>n bi ja>nibil-qabril-jadi>di. Wa fi> yadihi rafsatan wa machfarihi, fadlautu minhu wa sa>’altuhu qa>’ila>n: atadzkuru aina qabra Fa>risu Kara>mahu? Fa nazhara ila> thawi>lin tsumma asya>ru nahwa qabra Salma> wa qa>la: fi> hadzihil-chafrati qad madadtu ibnatahu ‘ala> shadrihi, wa ‘ala> shadri ibnatihi qad madadtu thiflaha>, wa fauqal-jami>‘i qad wadha‘tu’t-tura>ba bi ha>dza>’r-rafsyi.
...Tinggallah penggali kubur, berdiri terpaku dengan sekop di
tangannya. Aku mendekati mereka, lalu bertanya, “Apakah
engkau masih ingat di mana kuburan Faris Affandy
Karamah?”. Dia memandangku sejenak, lalu menunjuk ke
kuburan Salma sambil berkata: “Di dalam lubang ini, aku telah
merebahkan putrinya di atas dada ayahnya. Akupun telah
merebahkan cucunya di atas dada putrinya. Lalu aku
menimbuni tanah di atas tubuh mereka dengan sekop ini”.
Berdasarkan kutipan di atas dapat dijelaskan bahwa Faris
Affandy Karamah, Salma dan bayinya dikuburkan dalam satu
lubang. Salma direbahkan di atas dada ayahnya, sedangkan
bayinya (cucu Faris Affandy Karamah) direbahkan di atas dada
Salma.
120
5. Gagasan [al-Fikrah]
Al-Fikrah adalah gagasan yang mendasari penulisan suatu karya sastra
(Sangidu, 2007: 32). Gagasan biasanya diungkapkan secara implisit maupun
eksplisit. Al-Fikrah atau gagasan sama artinya dengan tema. Henry (1991:
125) menjelaskan setiap fiksi haruslah mempunyai dasar atau tema yang
merupakan sasaran tujuan. Tema merupakan hal yang paling penting dalam
seluruh cerita.
Gagasan yang diungkap dalam novel ini adalah gagasan implisit,
gagasan yang diungkap melalui ketegangan-ketegangan yang dialami oleh
tokoh dalam setiap peristiwa yang ada. Cerita yang terdapat dalam novel al-
Ajnichah al-Mutakassirah karya Jubra>n Khali>l Jubra>n memuat satu isu utama
yaitu fenomena perjodohan dan pernikahan di dalam masyarakat timur
khususnya masyarakat Beirut, Lebanon. Fenomena ini terkait erat dengan
realitas perjodohan dan pola pikir yang terbentuk di masyarakat. Pola pikir
yang terbentuk di masyarakat Beirut adalah setiap perkataan dan perintah
seorang pemuka agama harus dituruti dan dihormati. Sekali perintah itu
ditentang, maka nama baik orang yang menentang tersebut akan dirusak oleh
pemuka agama tersebut. Ia akan direndahkan dan dicemooh oleh bibir-bibir
kotor di Lebanon. Pemuka agama yang diangkat dalam cerita novel ini adalah
pemuka agama Kristen.
Tema mayor novel al-Ajnichah al-Mutakassirah karya Jubra>n Khali>l
Jubra>n adalah kepedihan yang dialami oleh tokoh-tokoh protagonis karena
kerakusan dan keculasan seorang pendeta. Secara garis besar novel al-
121
Ajnichah al-Mutakassirah karya Jubra>n Khali>l Jubra>n menceritakan tentang
sayap-sayap yang patah. Sayap-sayap masa muda seorang tokoh aku dan
Salma Karamah, juga sayap-sayap seorang Faris Affandy yang menginginkan
putrinya hidup bahagia. Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut:
٩١٩١:٩١
La> a‘rifu rajula>n siwa>hu fi> Bairu>ta qad ja‘alathu’ts-tsarwatu fa>dhila>n wal-fadhi>latu matsriya>n. Wa huwa wa>chidun minal-qali>li >ni’l-ladzina yajyatsuna ha>dzal-‘a>lama wa yughadhiru>nahu qabla an yula >misu> bil-adza> nafsa makhlu>qin, wa la>kin ha>’ula>i’r-rijulu yaku>nu>na Gha>liba>n ta‘sa>u mazhlu>mi>ni, li annahum yajhalu>na sabilil-ichtiya>ri’l-lati> tunqidzuhum min makri’n-na>si wa khabtsihim.
“Aku tidak mengenal seorangpun di Beirut ini, yang kekayaannya
telah menjadikannya sebagai orang yang mempunyai sifat terpuji, dan
sifat terpuji itu membuatnya menjadi seorang hartawan, selain Faris
Affandy Karamah. Dia termasuk sebagian kecil manusia yang datang
ke dunia ini dan meninggalkannya sebelum sempat meninggalkan
kerugian pada diri makhluk lainnya. Tetapi orang-orang sebaik itu
biasanya hidup sengsara dan terdzalimi. Sebab mereka tidak
mengetahui cara yang dapat menyelamatkan diri mereka dari tipu
daya dan kejahatan orang lain”
Berdasarkan kutipan di atas dapat dijelaskan bahwa Faris Affandy
yang memiliki sifat seorang hartawan yang terpuji justru akan hidup menderita
karena kekayaan yang dimilikinya. Kekayaannya akan dijadikan ladang bagi
para orang-orang jahat yang berambisius dengan harta dan wibawa. Kekayaan
yang dimilikinya tidak pernah digunakan untuk merugikan orang lain.
Kekayaannya yang dimiliki Faris Affandy juga tidak dapat menyelamatkan
dirinya dan putrinya dari tipu daya dan kejahatan orang lain. Hal yang sama
122
juga akan menimpa putrinya, Salma Karamah. Salma juga akan hidup
menderita karena kekayaan ayahnya. Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut:
٩١٩١:٩١
Wa li Fa>risi Kara>mahu ibnatun wa >chidatun taskunu ma‘ahu manzila>n fakhma>n fi> dha>chiyatil-madi>nah, wa hiya> tusya>bihuhu bil-akhla>qi wa laisa baina’n-nisa>u min tuma>tsiluha> raqqatan wajma>la>n, wa hiya> aidha>n sa takunu ta>‘isah li anna tsarwata walidiha>’th-thailah tuwaqqifuha>’l-a>n ‘ala> syafiri> ha>wiyatin mazhlumatin muchifatin.
“Faris Affandy Karamah memiliki anak gadis satu-satunya yang
tinggal bersama di sebuah rumah megah di sudut kota. Sifat anak
gadis itu mirip dengan ayahnya. Tidak ada gadis yang menandinginya
dalam hal kehalusan budi bahasa dan kecantikannya. Gadis sebaik
dan secantik itu juga akan hidup menderita. Sebab, kekayaan yang
dimiliki sang ayah akan membuatnya berada di tepi jurang yang amat
gelap dan menakutkan”.
Berdasarkan kutipan di atas dapat dijelaskan bahwa Salma juga akan
hidup menderita karena kekayaan yang dimiliki ayahnya. Kekayaan yang
dimiliki ayahnya justru tidak dapat menyelamatkan dari kejahatan orang
serakah seperti Pendeta Ghalib dan Manshur Bek.
Adapun tema minor yang tergambar dalam novel al-Ajnichah al-
Mutakassirah karya Jubra>n Khali>l Jubra>n adalah menceritakan tentang ambisi
seorang pendeta yang dengan bangga mengotori agamanya demi harta dan
wibawa. Pendeta selalu berputar-putar di antara orang-orang kaya namun
lemah. Ia akan menikahkan saudara-saudara dan kemenakannya dengan orang
kaya raya dan terpandang. Hal demikian dilakukan untuk menjadikan anggota
keluarganya terhormat, kaya, dan membuat masa depannya terjamin dengan
123
harta. Harta itulah yang akan mengangkat anggota keluarganya menjadi orang
terhormat dan orang penting. Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut:
٩١٩١:٤٤
Anna ru’asa>’a’l-ladzina fi>’sy-syarqi la> yaktafu>na bima> yachshulu>na ‘alaihi anfusahum minal-majdi wa’s-su’dadi bal yaf‘alu>na kulla ma> fi> wus‘ihim li yaj‘alu> ansa>hum fi> muqadimati’sy-sya‘bi wa minal-mustadrina quwa>hu wa amwa>lahu. Anna majdal-ami>ri yantaqilu bil-irtsi ila> ibnihil-bakri ba‘da mautihi amma> majda’r-rai>si’d-di>niyyi fa yantaqilu bil-‘adwa> ila>l-akhwah wa abna>il-ikhwah fi> chayatihi. Wa hakadza> yushbichul-asqaful-masi>chi> wal-ima>mil-muslimi wal-ka>hinil-barhami>l-bachri’l-lati> taqbidhu ‘ala>l-fari>sah katsi>ratin wa tamtashshu dima>’uha> bi afwa>hi ‘adi>datin.
Sebenarnya, para pemuka agama di Timur selalu merasa tidak puas
dengan kemuliaan dirinya, mereka perlu melakukan apa saja untuk
membuat seluruh anggota keluarganya menjadi terhormat dan kaya.
Kejayaan seorang raja akan diwarisi oleh putra tertuanya yang
didaulat sebagai putra mahkora secara turrun-temurun. Tetapi
keagungan pemuka agama berputar-putar di antara saudara-saudara
dan kemenakannya. Begitulah, pendeta agama Kristen, Imam umat
Islam dan pendeta-pendeta Budha, telah menjadi gurita yang menjepit
mangsanya dengan cengkeraman tangannya dan mengisap darah
dengan mulut-mulutnya.
Berdasarkan kutipan di atas dapat dijelaskan bahwa semua pemuka
agama di Timur, baik pendeta agama Kristen, Imam umat Islam dan pendeta-
pendeta Budha pada masa itu melakukan hal yang sama seperti yang
dilakukan Pendeta Ghalib untuk tetap menjaga keagungannya. Keagungan
dalam pandangan para pemuka agama tersebut tidak hanya cukup keagungan
yang didapatkan dari statussosialnya sebagai pemuka agama, namun dalam
124
pandangan mereka alat utama untuk tetap mempertahankan keagungan mereka
adalah dengan harta.
Salah satu cara tersebut dapat dilihat dari perbuatan Pendeta Ghalib
dalam novel karya Jubra>n tersebut. Pendeta Ghalib akan menikahkan saudara-
saudara dan kemenakannya dengan perempuan kaya. Hal tersebut dilakukan
dengan tujuan menjadikan keluarganya mulia dan terhormat. Pemuka agama
di Timur akan terus memangsa orang-orang kaya demi menjadikan anggota
keluarganya mulia dan terpandang tanpa memperdulikan bahwa yang ia
lakukan telah mengotori agamanya.
Mereka pikir bahwa dengan menjadikan sanak keluarganya kaya dan
terpandang dengan dengan jalan perjodohan dan pernikahan akan membuat
keagungannya menjadi lebih dalam pandangan umatnya.