BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Dasar Anemia
1. Definisi
Anemia adalah berkurangnya kadar hemoglobin (Hb) dalam darah. Hb
adalah komponen di dalam sel darah merah (eritrosit) yang berfungsi
menyalurkan oksigen ke seluruh tubuh (Sinsin, 2010).
Anemia merupakan salah satu kelainan darah yang umum terjadi ketika
kadar sel darah merah (eritrosit) dalam tubuh menjadi terlalu rendah
(Proverawati, 2011).
Anemia kehamilan yaitu ibu hamil dengan kadar Hb <11 g% pada
trimester I dan III atau Hb <10,5 g% pada trimester II (Fadlun dan Feryanto,
2011).
Anemia didefinisikan sebagai suatu penurunan massa sel darah merah,
atau total hemoglobin secara lebih tepat, kadar hemoglobin normal pada
wanita yang sudah menstruasi adalah 12,0 dan untuk wanita hamil 11,0 g/dL.
Namun, tidak ada efek merugikan bila kadarnya <10,0 g/dL. U.S Department
of Health and Human Services tidak merekomendasikan penapisan untuk
anemia sebagai bagian dari perawatan kesehatan rutin untuk dewasa, kecuali
pada wanita hamil (Varney, dkk, 2012).
7
8
2. Klasifikasi Anemia
Menurut Proverawati (2011), klasifikasi anemia sebagai berikut.
a. Anemia Defisiensi Vitamin B12
Anemia Defisiensi Vitamin B12 adalah jumlah sel darah merah yang
rendah yang disebabkan karena kekurangan vitamin B12.
b. Anemia Defisiensi Folat
Anemia defisiensi folat adalah penurunan jumlah sel-sel darah merah
(anemia) karena kekurangan folat. Anemia adalah suatu kondisi dimana
tubuh tidak memiliki cukup sehat sel darah merah. Sel darah merah
menyediakan oksigen ke jaringan tubuh.
c. Anemia Defisiensi Besi
Anemia adalah suatu kondisi dimana tubuh tidak memiliki cukup
sehat sel darah merah. Sel darah merah menyediakan oksigen ke jaringan
tubuh. Anemia defisiensi zat besi adalah penurunan jumlah sel darah
merah dalam darah yang disebabkan oleh zat besi yang terlalu sedikit. Besi
merupakan komponen utama dan hemoglobin dan penting untuk fungsi
yang tepat. Kehilangan darah kronis karena alas an apapun adalah
penyebab utama kadar zat besi yang rendah dalam tubuh karena
menghabiskan simpanan hesi tubuh untuk mengkompensasi hilangnya zat
besi yang berlangsung. Anemia yang disebabkan oleh rendahnya kadar zat
besi disebut anemia defisiensi besi. Kekurangan zat besi merupakan
penyebab yang sangat umum dan anemia.
9
d. Anemia Penyakit Kronis
Anemia dapat bersifat akut maupun kronis. Anemia kronis dapat
berkembang perlahan-lahan selama periode waktu dengan penyakit jangka
panjang seperti diabetes, penyakit ginjal kronis, atau kanker. Dalam situasi
ini, anemia mungkin tidakjelas karena gejalanya tertutup oleh penyakit
yang mendasari. Adanya anemia dalam kondisi kronis mungkin sering
tidak terdeteksi untuk jangka waktu tertentu dan kadang-kadang hanya
dapat ditemukan selama tes atau pemeñksaan untuk kondisi lain. Anemia
juga dapat terjadi pada episode akut seperti dengan anemi hemolitik
tertentu di mana sejumlah besar sel darah merah hancur. Tanda dan gejala
dapat menjadi jelas dengan sangat cepat dan penyebab dapat ditentukan
dan kombinasi pemeriksaan fisik, riwayat medis, dan pemeriksaan lain.
e. Anemia Aplastik Idiopatik
Anemia aplastik idiopatik adalah suatu kondisi di mana sumsum
tulang gagal membuat sel-sel darah secara normal. Sumsum tulang adalah
jaringan lembut, mengandung lemak di pusat tulang.
f. Anemia Megaloblastik
Anemia megaloblastik adalah gangguan darah di mana ukuran sel
Iebih besar dan sel darah merah normal. Anemia adalah suatu kondisi
dimana tubuh tidak memiliki cukup sehat sel darah merah. Sel darah merah
menyediakan oksigen ke jaringan tubuh.
g. Anemia Pernisiosa
10
Anemia pernisiosa adalah penurunan sel darah merah yang terjadi
ketika tubuh tidak dapat dengan baik menyerap vitamin B12 dan saluran
pencernaan. Vitamin B12 diperlukan untuk pengembangan yang tepat dan
sel darah merah. Anemia pernisiosa adalah jenis anemia megaloblastik.
h. Anemia Aplastik Sekunder
Anemia aplastik sekunder adalah kegagalan sumsum tulang untuk
membuat sel-sel darah yang cukup. Semua jenis sel darah dapat terkena.
Anemia aplastik adalah penyakit langka, disebabkan oleh penurunan
jumlah semua jenis sel darah yang dihasilkan oleh sumsum tulang.
Biasanya, sumsum tulang menghasilkan jumlah yang cukup sel-sel darah
merah baru, sel darah putih (leukosit), dan platelet untuk fungsi tubuh
normal. Setiap jenis sel memasuki aliran darah, beredar, dan kemudian
mati dalam jangka waktu tertentu.
i. Anemia Sel Sabit
Anemia sel sabit merupakan penyakit keturunan di mana sel darah
merah berbentuk sabit abnormal (Sel darah merah yang biasanya
berbentuk seperti disk).
j. Anemia Dalam Kehamilan
Biasanya selama kehamilan, terjadi hiperplasia erythroid dan
sumsum tulang, dan meningkatkan massa RBC. Namun, peningkatan yang
tidak proporsional dalam hasil volume plasma menyebabkan hemodilusi
(hydremia kehamilan). Haematocrite (Hct) menurun dan antara 38 dan
45% pada wanita sehat yang tidak hamil sampai sekitar 34% selama
kehamilan tunggal-an dan sampai 30% selama akhir kehamilan multifetal.
11
Jadi selama kehamilan, anemia didefinisikan sebagai Hb 10 g <I dL (Ht
<30%). Jika Hb <11,5g/dl pada awal kehamilan, wanita mungkin perlu
diberikan obat profilaktik karena hemodilusi berikutnya biasanya
mengurangi kadar Hb untuk <10 g/dL. Meskipun hemodilusi, kapasitas
pembawa O2 tetap normal selama kehamilan. Hct biasanya meningkat
segera setelah melahirkan. Anemia terjadi pada 1/3 dan perempuan selama
trimester ketiga. Penyebab paling umum adalah defisiensi zat besi dan
folat.
3. Etiologi
Berkurangnya sel darah merah dapat disebabkan oleh kekurangan
kofaktor untuk eritropoesis, seperti: asam folat, vitamin B12, dan besi.
Produksi sel darah merah juga dapat turun apabila sumsum tulang tertekan
(oleh tumor atau obat) atau rangsangan yang tidak memadai karena
kekurangan eritropoetin, seperti yang terjadi pada penyakit ginjal kronis.
Peningkatan penghancuran sel darah merah dapat terjadi akibat aktivitas
sistem retikuloendotelial yang berlebihan (misal hipersplerusme) atau akibat
sumsum tulang yang menghasilkan sel darah merah abnormal (Muttaqin,
2011).
Gejala yang mungkin timbul pada anemia adalah keluhan lemah, pucat,
dan mudah pingsan, walaupun tekanan darah masih dalam batas normal.
Secara klinik dapat dilihat tubuh yang malnutrisi dan pucat. Sebagian besar
anemia di Indonesia penyebabnya adalah kekurangan zat besi. Zat besi adalah
salah satu unsur gizi yang merupakan komponen pembentuk Hb atau sel
12
darah merah. Anemia dapat terjadi karena hal-hal berikut ini (Fadlun dan
Feryanto, 2011).
a. Kandungan zat besi dan makanan yang dikonsumsi tidak mencukupi
kebutuhan.
1) Makanan yang kaya akan kandungan zat besi adalah makanan yang
berasal dari hewani (seperti: ikan, daging, hati, ayam).
2) Makanan nabati (dan tumbuh-tumbuhan) misalnya sayuran hijau tua,
yang walaupun kaya akan zat besi, namun hanya sedikit yang bisa
diserap dengan baik oleh usus.
b. Meningkatnya kebutuhan tubuh akan zat besi.
1) Pada masa pertumbnthan seperti anak-anak dan remaja, kebutuhan
tubuh akan zat besi meningkat tajam.
2) Pada masa hamil kebutuhan zat besi meningkat karena zat besi
diperlukan untuk pertumbuhan janin, serta untuk kebutuhan ibu
sendiri.
3) Pada pendenita penyakit menahun seperti TBC.
c. Meningkatnya pengeluaran zat besi dari tubuh
Perdarahan atan kehilangan darah dapat menyebabkan anemia. Hal
ini terjadi pada pasien dengan penyakit berikut ini.
1) Kecacingan (terutama cacing tambang). Infeksi cacing tambang
menyebabkan perdarahan pada dinding usus, meskipun sedikit tetapi
tejadi terus-menerus yang mengakibatkan hilangnya darah atau zat
besi.
13
2) Malaria pada penderita anemia gizi besi dapat memperberat keadaan
anemianya.
3) Kehilangan darah pada waktu haid berarti mengeluarkan zat besi yang
ada dalam darah.
Anemia pada kehamilan yang disebabkan kekurangan zat besi mencapai
kurang lebih 95%. Terjadinya peningkatan volume darah mengakibatkan
hemodilusi atau pengenceran darah sehingga kadar Hb mengalami penurunan
dan terjadi anemia (Varney dkk, 2012).
Hemodilusi dianggap sebagai penyesuaian diri secara fisiologis dalam
kehamilan untuk meringankan beban jantung yang harus bekerja lebih berat
dalam masa hamil. Kebanyakan anemia dalam kehamilan disebabkan oleh
defisiensi besi dan perdarahan akut bahkan tidak jarang keduanya saling
berinteraksi. Kebutuhan ibu selama kehamilan adalah 800 mg besi,
diantaranya 300 mg untuk janin plasenta dan 500 mg untuk pertambahan
eritrosit ibu. Dengan demikian ibu membutuhkan tambahan sekitar 2-3mg
besi/ hari (Varney dkk, 2012).
4. Tanda dan Gejala
Menurut Prasetyono (2013), tanda-tanda yang sering terjadi saat terkena
anemia sebagai berikut.
a. Sakit kepala dan pusing-pusing.
b. Terasa hampir pingsan.
c. Rasa gatal sesudah mandi.
d. Kepala terasa berat.
e. Pendarahan dan hidung sering terjadi.
14
f. Kadang mata kaki bengkak.
g. Wajah menjadi merah menyala akibat banyaknya jumlah sel darah merah
yang dihasilkan oleh tulang sum-sum.
h. Mata menjadi buta ayam.
i. Bibir tampak ungu karena darah kurang lancer mengalir.
Menurut Proverawati (2011), tanda gejala anemia sebagai berikut.
a. Anemia Ringan
Karena jumlah sel darah merah yang rendah menyebabkan
berkurangnya pengiriman oksigen ke setiap jaringan dalam tubuh, anemia
dapat menyebabkan berbagai tanda dan gejala. Hal ini juga bisa membuat
buruk hampir semua kondisi medis lainnya yang mendasari. Jika anemia
ringan, biasanya tidak menimbulkan gejala apapun. Jika anemia secara
perlahan terus menerus (kronis), tubuh dapat beradaptasi dan mengimbangi
perubahan, dalam hal ini mungkin tidak ada gejala apapun sampai anemia
menjadi lebih berat. Gejala anemia mungkin termasuk yang berikut.
1) Kelelahan
2) Penurunan energi
3) Kelemahan
4) Sesak napas
5) Ringan
6) Palpitasi (rasa jantung balap atau pemukulan tidak teratur)
7) Tampak pucat.
15
b. Anemia Berat
Beberapa tanda-tanda yang mungkin menunjukkan anemia berat
pada seseorang dapat mencakup :
1) Perubahan warna tinja, termasuk tinja hitam dan tinja lengket dan
berbau busuk, berwarna merah marun, atau tampak berdarah jika
anemia karena kehilangan darah melalul saluran pencernaan.
2) Denyut jantung cepat
3) Tekanan darah rendah
4) Frekuensi pernapasan cepat
5) Pucat atau kulit dingin
6) Kulit kuning disebutjaundicejika anemia karena karena kerusakan sel
darah merah
7) Murmur jantung
8) Pembesaran limpa dengan penyebab anemia tertentu
9) Nyeri dada
10) Pusing atau kepala terasa ringan (terutama ketika berdiri atau dengan
tenaga)
11) Kelelahan atau kekurangan energi
12) Sakit kepala
13) Tidak bisa berkonsentrasi
14) Sesak napas (khususnya selama latihan)
15) Nyeri dada, angina, atau serangan jantung.
16) Pingsan
16
Beberapa jenis anemia mungkin. memiliki gejala yang lainnya, seperti:
a. Sembelit
b. Daya konsentrasi rendah
c. Kesemutan
d. Rambut rontok
e. Malaise (rasa umum merasa tidak sehat)
f. Memburuknya masalah jantung.
Beberapa pasien dengan anemia tidak menunjukkan gejala. Sedangkan
anemia pada orang lain mungkin merasa capek, mudah kelelahan, tampak
pucat, terjadi palpitasi/ berdebar (rasa balap jantung), dan menjadi sesak
napas. Perlu dicatat bahwa jika anemia sudah berjalan lama (anemia kronis),
tubuh dapat menyesuaikan diri dengan kadar oksigen rendah dan rnungkin
individu tidak merasa berbeda kecuali anemia menjadi berat. Di sisi lain, jika
anemia terjadi dengan cepat (anemia akut), pasien mungkin mengalami gejala
yang signifikan relatif cepat (Proverawati, 2011).
5. Patofisiologi
Menurut Wijayaningsih (2013), patofisiologi anemia sebagai berikut.
a. Anemia Defisiensi Besi
Jika besi yang dibutuhkan untuk metabolisme tubuh kurang dapat
menyebabkan pembuluh sel darah merah menurun melalui 3 tingkatan:
1) Defisiensi besi merupakan permukaan kekurangan Fe dimana cadangan
besi dalam tubuh berkurang atau +‘ ada, tetapi besi dalam plasma darah
normal, Hb dan Ht normal.
17
2) Defisiensi besi tanpa anemia yaitu cadangan besi dan besi diit plasma
kurang tapi Hb normal.
3) Anemia defisiensi besi bila cadangan besi dalam plasma dan
hemoglobin berkurang dan normal.
b. Anemia Penyakit Kronis
Penyakit kronis menyebabkan RES hiperaktif, dengan adanya RES
yang diperaktif menyebabkan destruksi erytrosit sehingga sel darah merah
akan menurun dan menjadi anemia.
c. Anemia Defisiensi Vitamin B12 dan Asam Folat
Vitamin B12 dan asam folat merupakan bahan esensial untuk sintesis
RNA dan DNA yang penting untuk metabolisme inti sel dan pematangan
sel darah merah karena asupan vitamin B12 dan asam folat berkurang
maka proses pematangan sel darah merah terganggu dan jumlah erytrosit
menurun.
d. Anemia karena Perdarahan
Kehilangan darah mendadak akan menyebabkan sel darah merah
berkurang, maka dapat terjadi reflek kardiovaskuler yang fisiologis berupa
konstruksi arterial, pengurangan aliran darah ke organ vital kehilangan
darah mendadak ≥ 30% menimbulkan hipovolumia dan hipoksia.
e. Anemia Hemolitik
Kelainan membran (faktor intrinsik), gangguan imun (faktor
ekstrinsik) menyebabkan penghancuran sel darah merah dalam pembuluh
darah, sehingga umur erytrosit menjadi pendek, bila sumsum tulang tidak
mampu mengatasi karena usia sel darah merah yang pendek, dengan usia
18
sel darah merah yang pendek menyebabkan pengurangan jumlah sel darah
merah.
f. Anemia Aplastik
Faktor kongenital dan faktor yang didapat menyebabkan kerusakan
pada sumsum tulang belakang sehingga pembentukan sel hemopoetik
(eritropoetik, aranulopoetik, tromboroetik) yang merangsang pematangan
sel darah merah terhenti, sehingga sel darah tepi berkurang sehingga
menyebabkan sel darah merah mengalami penurunan.
Anemia dapat menyebabkan oksigen dalam jaringan berkurang kare na
sel darah merah yang berfungsi mengantar oksigen dalam jaringan berkurang,
sehingga klien terlihat pucat, cepat lelah, apabila kehila ngan darah ≥30%
dengan mendadak menyebabkan hipovolemia dan hapoksemia. Mekanisme
kompensasi tubuh bekerja melalui 5 cara:
a. Peningkatan curah jantung dan pernaf asan, karena dengan ini dapat
menarnbah pengiriman O2 ke jaringan oleh sel darah merah.
b. Meningkatkan pelepasan O2 oleh hemoglobin.
c. Mengembangkan volume plasma dengan menarik cairan dan sela-sela
jaringan.
d. Redistribusi aliran darah ke organ vital.
19
Gambar 2.1Patofisiologi Anemia
20
Sumber : Tarwoto dan Wasnidar, 2009
6. Pembagian Anemia Pada Kehamilan
Menurut Marmi, dkk (2011), pembagian anemia pada kehamilan
sebagai berikut.
a. Anemia megaloblastik
Anemia megaloblastik biasanya berbentuk makrositik atau
pernisiosa. Penyebabnya adalah karena kekurangan asam folik, jarang
21
sekali akibat karena kekurangan vitamin B12. Biasanya karena malnutrisi
dan infeksi yang kronik.
b. Anemia hipoplasti
Anemia hipoplastik disebabkan oleh hipofungsi sumsum tulang
membentuk sel-sel darah merah baru. Penyebabnya belum diketahui,
kecuali yang disebabkan oleh infeksi berat (sepsis), keracunan, dan sinar
rontgen atau sinar radiasi.
c. Anemia hemolitik
Anemia hemolitik disebabkan penghancuran/pemecahan sel darah
merah yang lebih cepat dan pembuatannya. Ini dapat disebabkan oleh:
1) Faktor intrakorpuskuler; dijumpai pada anemia hemolitik heniditer,
talasemia; anemia sel sickle (sabit); hemoglobinopati C, D, G, H, I dan
paraksismal nokturnal hemoglobinuria.
2) Faktor ekstrakorpuskuler; disebabkan malaria, sepsis, keracunan zat
logam, dan dapat beserta obat-obatan; leukemia, penyakit Hodgkin.
Gejala utama adalah anemia dengan kelainan-kelainan gambaran darah,
kelelahan, serta gejala komplikasi bila terjadi kelainan pada organ-
organ vital.
7. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis pada anemia timbul akibat respon tubuh terhadap
hipoksia (kekurangan oksigen dalam darah). Manifestasi klinis tergantung
dari kecepatan kehilangan darah, akut atau kronik anemia, umur dan ada atau
tidaknya penyakit misalnya penyakit jantung. Kadar Hb biasanya
berhubungan dengan manifestasi klinis. Bila Hb 10-12 g/dl biasanya tidak ada
22
gejala. Manifestasi kilnis biasanya terjadi apabila Hb antara 6-10 g/dl
diantaranya dyspnea (kesulitan bernapas, napas pendek), palpitasi, keringat
banyak, keletihan. Apabila Hb kurang dari 6 g/dl manifestasi klinis seperti
pada tabel berikut ini (Tarwoto dan Wasnidar, 2010).
Tabel 2.1Manifestasi Klinis Anemia
Area Manifestasi KlinikKeadaan umum Pucat, keletihan berat, kelemahan, nyeri kepala,
demam, dyspnea, vertigo, sensitive terhadap dingin, berat badan menurun
Kulit Pucat, jaundice (pada anemia hemolitik, kulit kering, kuku rapuh, clubing
Mata Penglihatan kabur,jaundice, sclera dan perdarahan retina
Telinga Vertigo tinnitusMulut Mukosa licin dan mengkilap, stomatitis.Paru-paru Dyspnea, orthopneaKardiovaskuler Takhikardia, palpitasi, murmur, angina, hipotensi,
kardio megali, gagal jantung.Gastrointestinal Anoreksia, disfagia, nyeri abdomen, hepatomegali,
splenomegaliGenitourinaria Amenore dan menoragia, menurunnya fertilisasi,
hematuria (pada anema hemoiltik)Muskoleskeletal Nyeri pinggang, nyeri sendi, tenderness sternalSistem persarafan Nyeri kepala, bingung, neuropati perifer, parestesia,
mental depresi, cemas, kesulitan koping.Sumber : Tarwoto dan Wasnidar, 2010
8. Diagnosis
Anemia bukan merupakan diagnosa suatu penyakit anemia sel
merupakan salah satu gejala dari penyakit. Oleh karenanya apabila akan
menentukan bahwa seseorang menderita anemia, maka menjadi kewajiban
kita untuk menentukan etiologinya. Anemia dapat diklasifikasikan
23
berdasarkan morfologi atau berdasarkan klasifikasi kinetik. Sedangkan
diagnosa pasti anemia defisiensi besi sebagai berikut (Wijayaningsih, 2013).
a. Apabila ditemukan riwayat perdarahan kronis atau apabila kita dapat
membuktikan suatu sumber perdarahan.
b. Secara labolatorik ditemukan adanya anemi yang hipokrom mikrositer.
c. Kadar Fe serum darah dengan TIBC (Total Iron Binding Capacity) yang
meninggi.
d. Tidak terdapatnya Fe dalam sumsum tulang.
e. Adanya respons yang baik terhadap pemberian Fe.
Untuk menegakkan diagnosis anemia kehamilan dapat dilakukan
dengan ananmesa. Pada anamnesa akan didapatkan keluhan cepat lelah,
sering pusing, mata berkunang-kunang, dan keluhan mual-muntah lebih hebat
pada hamil muda. Pemeriksaan dan pengawasan Hb dapat dilakukan dengan
menggunakan alat Sahli. Hasil perneriksaan Hb dengan Sahli dapat
digolongkan sebagai berikut (Manuaba, 2010).
a. Hb 11 g% tidak anemia
b. Hb 940 g% anemia ringan
c. Hb 7-8 g% anemia sedang
d. Hb <7 g% anemia berat
Pemeriksaan darah dilakukan nimimal dua kali selama kehamilan, yaitu
pada trimester I dan trimester III. Dengan pertimbangan bahwa sebagian
besar ibu hamil mengalami anemia, maka dilakukan pemberian preparat FE
sebanyak 90 tablet pada ibu-ibu hamil di puskesmas. Faktor-faktor yang
memengaruhi pembentukan darah adalah sebagai berikut (Manuaba, 2010).
24
a. Komponen (bahan) yang berasal dari makanan terdiri dari:
1) Protein, glukosa, dan lemak.
2) Vitamin B12, B6, asam folat, dan vitamin C.
3) Elemen dasar: Fe, ion Cu dan zink
b. Sumber pembentukan darah adalah sumsum tulang.
c. Kemampuan resorpsi usus halus terhadap bahan yang diperlukan.
d. Umur sel darah merah (eritrosit) terbatas sekitar 120 hari. Sel-sel darah
merah yang sudah tua dihancurkan kembali menjadi bahan baku untuk
membentuk sel darah yang baru.
e. Terjadinya perdarahan kronis (gangguan menstruasi, penyakit yang
menyebabkan perdarahan pada wanita seperti mioma uteri, polip serviks,
penyakit darah, parasit dalam usus: askariasis, ankilostomiasis, taenia).
9. Penatalaksanaan Medis
Menurut Tarwoto dan Wasnidar (2010), penatalaksanaan anemia pada
ibu hamil sebagai berikut.
a. Adaptasi Fisiologi Kardiovaskuler pada Ibu Hamil
Pada keadaan hamil terjadi perubahan fisiologis pada berbagai
sistem tubuh, salah satunya adalah perubahan pada sistem kardiovaskuler.
Perubahan pada kardiovaskuler dapat berupa, peningkatan curah jantung,
meningkatnya stroke volume, aliran darah dan volume darah.
1) Hipertropi Jantung
Akibat kerja jantung yang meningkat untuk memenuhi sirkulasi
darah ibu dan janin jantung mengalami hipertropi. Keadaan ini akan
kembali normal setelah bayi lahir.
25
2) Peningkatan Curah Jantung
Curah jantung adalah volume darah yang dipompakan oleh
ventrikel selama satu menit. Peningkatan curah jantung terjadi bulan ke-
3 kehamilan. Perubahan ini disebabkan karena meningkatnya kebutuhan
darah baik untuk ibu maupun untuk janinnya. Pada kehamilan trimester
ke-2 terjadi peningkatan curah jantung 40 % tetapi pada trimester ke
tiga terjadi penurunan tekanan curah jantung sebesar 25-30 %, diatas
curah jantung sebelum hamil karena adanya penekanan pada vena
kavainferior.
3) Peningkatan Stroke Volume
Peningkatan curah jantung tidak terlepas dari peningkatan stroke
volume, yaitu volume darah yang dipompakan oleh ventrikel setiap kali
denyutan. Sehingga curah jantung merupakan hasil perkalian antara
stroke volume dengan frekuensi jantung selama satu menit. Pada
primigravida terjadi peningkatan 25% diatas keadaan sebelum hamil
sedangkan pada multigravida lebih dari 38 % (Yasmin Wìdjaya dkk
dalam Sjafoellah Noer, 1999 dalam Tarwoto dan Wasnidar, 2010).
4) Peningkatan Aliran Darah dan Volume Darah
Peningkatan volume darah terjadi selama kehamilan, mulai pada
10-12 minggu usia kehamilan dan secara progresif sampai dengan usia
kehamilan 30-34 minggu. Volume darah meningkat kira-kira 1500 ml
(primigravida 1250 ml, multigravida 1500 ml dan kehamilan kembar
2000 ml), normalnya terjadi peningkatan 8,5 %-9,0 % dari berat badan
26
atau terjadi peningkatan 25 % - 45% diatas wanita tidak hamil (Irene M.
Bobak, 1993 dalam Tarwoto dan Wasnidar, 2010). Penurunan volume
darah yang cepat terjadi pada saat persalinan dan volume darah akan
kembali normal pada minggu ke 4-6 post partum.
Volume darah merah dan plasma juga meningkat selama
kehamilan seiring dengan peningkatan curah jantung. Pembentukan
darah merah juga meningkat seiring dengan meningkatnya kebutuhan
darah sebesar 30% - 33%. Keadaan ini membutuhkan banyak bahan-
bahan pembentukan sel darah merah seperti zat besi, asam fofat dan
lainnya pada ibu hamil. Peningkatan kebutuhan ini mengakibatkan
kecenderungan pada ibu hamil mengalami anemia, dimana hemoglobin
menurun (N: 12-16 gr/dl) dan juga hemotokrit (N: 37 %-47 %). Pada
ibu hamil juga terjadi peningkatan aliran darah ke seluruh organ tubuh
misalnya pada otak, uterus, ginjal, payudara dan kulit. Peningkatan ini
sangat penting artinya bagi pertumbuhan dan perkembangan fetus.
5) Tekanan Darah
Tekanan darah arteri bervariasi sesuai umur, tingkat aktivitas, ada
atau tidaknya masalah kesehatan. Pasien dengan anemia kecenderungan
terjadi penurunan tekanan darah. Ada beberapa faktor yang
mempengaruhi keadaan tekanan darah diantaranya posisi ibu saat
pengukuran, posisi duduk lebih tinggi dan pada posisi berbaring dan
recumbent. Selama trimester kedua kehamilan, terjadi penurunan baik
tekanan sistole maupun diastole 5-10 mmHg. Penurunan ini
kemungkinan disebabkan oleh vasodilatasi perifer karena pengaruh
27
perubahan harmon. Selama trimester ketiga tekanan darah kembali
seperti pada semester pertama (Irene M Bobak, 1993 dalam Tarwoto
dan Wasnidar, 2010).
b. Nutrisi Ibu Hamil
Nutrisi pada ibu hamil sangat menentukan status kesehatan ibu dan
janinnya. Beberapa faktor yang mempengaruhi status gizi ibu hamil
menurut Arisman (2004) dalam Tarwoto dan Wasnidar (2010) adalah:
1) Keadaan sosial ekonomi keluarga ibu hamil, untuk memenuhi
kebutuhan gizi diperlukan sumber keuangan yang memadai. Daya beli
keluarga yang rendah dalam memenuhi kebutuhan gizi sudah barang
tentu asupan nutrisi juga berkurang.
2) Keadaan kesehatan dan gizi ibu, ibu dalam keadaan sakit kemampuan
mengkonsumsi zat gizi juga berkurang dítambah lagi pada keadaan
sakit terjadi peningkatan metabolisme tubuh, sehingga diperlukan
asupan yang lebih banyak.
3) Jarak kelahiran jika yang dikandung bukan anak pertama, jarak
kelahiran yang pendek mengakibatkan fungsi alat reproduksi masih
belum optimal.
4) Usia kehamilan pertama,usia diatas 35 tahun merupakan resiko penyulit
persalinan dan mulai terjadinya penurunan fungsi-fungsi organ
reproduksi.
5) Kebiasaan ibu hamil mengkonsumsi obat-obatan, alkohol perokok,
pengguna kopi.
28
Kecukupan akan zat gizi pada ibu hamil dapat dipantau melalui keadaan
kesehatannya dan berat badan janin saat lahir. Adanyapenambahan berat
badan yang sesuai standar ibu hamil merupakan salah satu indikator
kecukupan gizi. Pada trimester pertama sebaiknya kenaikan berat badan 1-2
kg, triwulan kedua dan ketiga sekitar 0,34-0,50 kg tiap minggu. Total berat
komutatif pada wanita hamil dengan tinggi 150 cm, sekitar 8.8 kg-13,6 kg
dan hamil kembar 15,4kg-20,4 kg (Arisman, 2004 dalam Tarwoto dan
Wasnidar, 2010).
Selama hamil kebutuhan gizi meningkat di bandingkan dengan
kebutuhan sebelum hamil misalnya kebutuhan protein meningkat 68 %, asam
folat 100 %,kalsium 50 % dan besi 200-300 % (Tarwoto dan Wasnidar,
2010).
10. Penatalaksanaan Non Medis
Menurut Prasetyono (2013), beberapa tindakan yang perlu dilakukan
pada penderita anemia sebagai berikut.
a. Carilah penyebab anemia sebelum pengobatan dimulai. Pasien dapat
mencatat perubahan warna tinja, membuat daftar makanan, atau
memperhatikan perubahan haid sebagai bahan analisis dokter.
b. Hindari gerak badan yang rnelelahkan untuk menjaga alat-alat tubuh
jangan sampai kekurangan zat asam. Disarankan untuk melakukan gerak
badan yang seim bang di alam terbuka, karena dapat mempertahankan
kesehatan tubuh.
c. Wanita hamil harus di bawah pengawasan dokter.
29
d. Wanita yang terlalu banyak mengeluarkan darah waktu haid haruslah
berobat. Anemia dapat ditanggulangi dengan mudah, tetapi penyebab
pengeluaran darah yang terlalu banyak ini adalah sesuatu yang serius.
Pendarahan dalam perut adalah satu dari tujuh tanda bahaya kanker.
e. Menjaga pola makanan yang seimbang.
f. Mengonsumsi makanan atau suplemen untuk menambah zat besi dalam
tubuh harus sesuai dengan nasihat dokter.
g. Menyuntikkan vitamin B12 dalam tubuh pasien. Sebenarnya, anggota
dapat melakukan sendiri penyuntikan tersebut, namun di bawah
pengawasan dokter.
h. Pasien penderita anemia yang sudah lanjut usia harus istirahat di tempat
tidur sampai kadar hemoglobin mencapai 8-9 gram per l00 cc darah, atau
lebih tinggi lagi tergantung laboratoris.
11. Pencegahan dan Terapi Anemia
Menurut Fadlun dan Feryanto (2011), pencegahan anemia sebagai berikut.
a. Meningkatkan konsumsi makanan bergizi.
Makan makanan yang banyak mengandung zat besi dan bahan
makanan hewani (daging, ikan, ayam. hati, telur) dan bahan makanan
nabati (sayuran berwarna hijau tua, kacang-kacangan dan tempe). Makan
sayur-sayuran dan buah-buahan yang banyak mengandung vitamin C
(daun katuk, daun singkong, bayam, jambu, tomat, jeruk, dan nanas)
sangat bermanfaat untuk meningkatkan penyerapan zat besi dalam usus.
b. Menambah pemasukan zat hesi ke dalam tubuh dengan minum Tablet
Tambah Darah (TTD).
30
c. Mengobati penyakit yang menyebabkan atau memperberat anemia seperti :
kecacingan, malaria dan penyakit TBC.
Terapi yang dapat dilakukan pada penderita anemia sebagai berikut
(Fadlun dan Feryanto, 2011).
a. Tablet Tambah Darah
Tablet tambah darah adalah tablet besi folat yang setiap tablet
mengandung 200 mg Ferro Sulfat atau 60 mg besi elemental dan 0,25 mg
asam folat. Wanita mengalami menstruasi sehingga memerlukan zat besi
untuk mengganti darah yang hilang. Wanita yang sedang hamil atau
menyusui, kebutuhan zat besinya sangat tinggi sehingga perlu dipersiapkan
sedini mungkin semenjak remaja. Minumlah 1 (satu) tablet tambah darah
seminggu sekali dan dianjurkan minum 1 tablet setiap hari selama haid.
Untuk ibu hamil, minumlah 1 (satu) tablet tambah darah setiap hari paling
sedikit selama 90 hari masa kehamilan dan 40 hari setelah melahirkan.
b. Zat Besi (Fe)
Zat besi merupakan mineral mikro yang paling banyak terdapat di
dalam tubuh manusia yaitu sebanyak 3-5 gram. Pada tubuh, zat besi
merupakan bagian dari hemoglobin yang berfungsi sebagai alat angkut
oksigen dan paru-paru ke jaringan tubuh. Dengan berkurangnya Fe,
sintesis hemoglobin berkurang dan akhirnya kadar haemaglobin akan
menurun. Beberapa akibat dan kekuraugan zat besi pada kehamilan adalah
hambatan pada pertumbuhan janin baik sel tubuh maupun sel otak,
kematian janin, abortus, cacat bawaan, Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR),
31
anemia pada bayi yang dilahirkan, lahir prematur, pendarahan, dan rentan
infeksi.
Wanita memerlukan zat besi lebih tinggi dan laki-laki karena terjadi
menstruasi dengan perdarahan sebanyak 50 sampai 80 cc setiap bulan dan
kehilangan zat besi sebesar 30 sampai 40 mg. Di samping itu, kehamilan
memerlukan tambahan zat besi untuk meningkatkan jumlah sel darah merah
dan membentuk sel darah merah janin dan plasenta. Makin sering seorang
wanita mengalami kehamilan dan melahirkan akan makin banyak kehilangan
zat besi dan menjadi makin anemis. Sebagai gambaran berapa banyak
kebutuhan zat besi pada setiap kehamilan perhatikan bagan berikut (Manuaba,
2010).
Meningkatkan sel darah ibu 500 mg Fe
Terdapat dalam plasenta 300 mg Fe
Untuk darah janin 100 mg Fe
Jumlah 900 mg Fe
Jika persediaan cadangan Fe minimal, maka setiap keijamilan akan
menguras persediaan Fe tubuh dan akhirnya menimbulkar anemia pada
kehamilan berikuthya. Fada kehamilan relatif terjadi anemia karena darah ibu
hamil mengalami hemodilusi (pengenceran) derigan peningkatan volume
30% sampai 40% yang puncaknya pada kehamilan 32 sampai 34 minggu.
Jumlah peningkatan sel darah 18 sampai 30%, dan hemoglobin sekitar 19%.
Bila hemoglobin ibu sebelum hamil sekitar 11 g%, dengan terjadinya
hemodilusi akan mengakibatkan anemia hamil fisiologis, dan Hb ibu akan
menjadi 9,5 sampai 10 g%. Setelah persalinan dengan lahirnya plasenta dan
32
perdarahan ibu akan kehilangan zat besi sekitar 900 mg. Saat laktasi, ibu
masih memerlukan kesehatan jasmani yang optimal sehingga dapat
menyiapkan ASI untuk pertumbuhan dan perkembangan bayi. Dalam keadaan
anemia, laktasi tidak mungkin dapat dilaksanakan dengan baik (Manuaba,
2010).
12. Pengaruh Anemia Pada Kehamilan dan Janin
Hasil konsepsi janin, plasenta, darah membutuhkan zat besi dalam
jumlah besar untuk pembuatan butir-butir darah merah dan pertumbuhannnya,
yaitu sebanyak berat besi. Jumlah ini merupakan 1/l0 dari seluruh besi dalam
tubuh. Terjadinya anemia dalam kehamilan bergantung dan jumlah
persediaan besi dalam hati, limpa, dan sumsum tulang. Selama masih
mempunyai cukup persediaan besi, Hb tidak akan turun dan bila persediaan
ini habis, Hb akan turun. Ini terjadi pada bulan ke 5-6 kehamilan, pada waktu
janin membutuhkan banyak zat besi. Bila terjadi anemia, pengaruhnya
terhadap hasil konsepsi adalah (Marmi, dkk, 2011) :
a. Kematian mudigah (keguguran).
b. Kematian janin dalam kandungan.
c. Kematian janin waktu lahir (stillbirth).
d. Kematian perinatal tinggi.
e. Prematuritas.
f. Dapat terjadi cacat bawaan.
g. Cadangan besi kurang.
Menurut Manuaba (2010), pengaruh anemia pada ibu hamil dan janin
sebagai berikut.
33
a. Pengaruh anemia terhadap kehamilan:
1) Bahaya selama kehamilan
Dapat terjadi abortus, persalinan prematuritas, hambatan tumbuh
kembang janin dalam rahim, mudah terjadi infeksi, ancaman
dekompensasi kordis (Hb <6 g%), mola hidatidosa, hiperemesis
gravidarum, perdarahan antepartum, ketuban pecah dini (KPD).
2) Bahaya saat persalinan
Gangguan His (kekuatan mengejan), kala pertama dapat
berlangsung lama, dan terjadi partus terlantar, kala dua berlangsung
lama sehingga dapat melelahkan dan sering memerlukan tindakan
operasi kebidanan, kala uri dapat diikuti retensio plasenta, dan
perdarahan pospartum karena atonia uteri, kala empat dapat terjadi
perdarahan pospartum sekunder dan atonia uteri.
3) Pada kala nifas
Terjadi subinvolusi uteri menimbulkan perdarahan pospartum,
memudahkan infeksi puerperium, pengeluarkan ASI berkurang, terjadi
dekompensasi kordis mendadak setelah persalinan, anemia kala nifas,
mudah terjadi infeksi mamae.
b. Bahaya anemia terhadap janin.
Sekalipun tampaknya janin mampu menyerap berbagai kebutuhan
dan ibunya, tetapi dengan anemia akan mengurangi kemampuan
metabolisme tubuh sehingga mengganggu pertumbuhan dan
perkembangan janin dalam rahim Akibat anemia dapat terjadi gangguan
34
dalam bentuk: abortus, kematian intrauterin, persalinan prematuritas tinggi,
berat badan lahir rendah, kelahiran dengan anemia, dapat terjadi cacat
bawaan, bayi mudah mendapat infeksi sampai kematian perinatal, dan
inteligensia rendah.
B. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Anemia Pada Ibu Hamil
1. Pengetahuan (Knowledge)
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang
melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengindraan terjadi
melalui pancaindra manusia, yakni indra penglihatan, pendengaran,
penciuman, rasa, dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh
melalui mata dan telinga. Pengetahuan atau ranah kognitif merupakan domain
yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (overt behaviour).
Tingkat Pengetahuan di dalam Domain Kognitif Pengetahuan yang tercakup
dalam domain kognitif mempunyai enam tingkatan sebagai berikut
(Notoatmodjo, 2012).
a. Tahu (Know)
Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari
sebelumya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat
kembali (recall) sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari
atau rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu, tahu ini merupakan
tingkat pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja untuk mengukur
bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari antara lain dapat
menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, menyatakan, dan sebagainya.
b. Memahami (Comprehension)
35
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan
secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan
materi tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau
materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan,
meramalkan, dan sebagainya terhadap objek yang dipelajari.
c. Aplikasi (Aplication)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi
yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya). Aplikasi
disini dapat diartikan sebagai aplikasi atau penggunaan hukum-hukum,
rumus, metode, prinsip, dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang
lain. Misalnya dapat menggunakan rumus statistik dalam perhitungan-
perhitungan hasil penelitian, dapat menggunakan prinsip-prinsip siklus
pemecahan masalah (problem solving cycle) di dalam pemecahan masalah
kesehatan dari kasus yang diberikan.
d. Analisis (Analysis)
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau
suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam satu
struktur organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan
analisis ini dapat dilihat dari penggunaan kata kerja, seperti dapat
menggambarkan (membuat bagan), membedakan, memisahkan,
mengelompokkan dan sebagainya.
e. Sintesis (Synthesis)
Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletak kan atau
menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang
36
baru. Dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun
formulasi baru dan formulasi-formulasj yang ada. Misalnya, dapat
menyusun, dapat merencanakan, dapat meringkaskan, dapat menyesuaikan
dan sebagainya terhadap suatu teori atau rumusan-rumusan yang telah ada.
f. Evaluasi (Evaluation)
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan
justifikasi atau penilaian terhadap suatu maten atau objek. Penilaian-
penilaian itu didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau
menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada.
Menurut Notoatmodjo (2003) dalam Wawan dan Dewi (2010), faktor-
faktor yang mempengaruhi pengetahuan sebagai berikut.
a. Faktor Internal
1) Pendidikan
Pendidikan berarti bimbingan yang diberikan seseorang terhadap
perkembangan orang lain menuju kearah cita-cita tertentu yang
menentukan manusia untuk berbuat dan mengisi kehidupan untuk
mencapai keselamatan dan kebahagiaan. Pendidikan diperlukan untuk
mendapat informasi misalnya hal-hal yang menunjang kesehatan
sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup. Pendidikan dapat
mempengaruhi seseorang termasuk juga perilaku seseorang akan pola
hidup terutama dalam memotivasi untuk sikap berperan serta dalam
pembangunan. Pada umumnya makin tinggi pendidikan seseorang
makin mudah menerima informasi.
2) Pekerjaan
37
Menurut Thomas yang dikutip oleh Nursalam (2003) dalam
Wawan dan Dewi (2010), pekerjaan adalah kebutuhan yang harus
dilakukan terutama untuk menunjang kehidupannya dan kehidupan
keluarga. Pekerjaan bukanlah sumber kesenangan, tetapi lebih banyak
merupakan cara mencari nafkah yang membosankan, berulang dan
banyak tantangan. Sedangkan bekerja umumnya merupakan kegiatan
yang menyita waktu. Bekerja bagi ibu-ibu akan mempunyai pengaruh
terhadap kehidupan keluarga.
3) Umur
Menurut Elisabeth BH yang dikutip Nursalam (2003) dalam
Wawan dan Dewi (2010), usia adalah umur individu yang terhitung
mutai saat dilahirkan sampai berulang tahun. Sedangkan menurut
Huclok (1998) dalam Wawan dan Dewi (2010), semakin cukup umur,
tingkat kematangan dan kekuatan seseorang akan lebih matang dalam
berfikir dan bekerja. Dari segi kepercayaan masyarakat seseorang yang
lebih dewasa dipercaya dan orang yang belum tinggi kedewasaannya.
Hal ini akan sebagai dari pengalaman dan kematangan jiwa.
b. Faktor Eksternal
1) Faktor Lingkungan
Menurut Ann Mariner yang dikutip dari Nursalam (2003) dalam
Wawan dan Dewi (2010), lingkungan merupakan seluruh kondisi yang
38
ada disekitar manusia dan pengaruhnya yang dapat mempengaruhi
perkembangan dan perilaku orang atau kelompok.
2) Sosial Budaya
Sistem sosial budaya yang ada pada masyarakat dapat
mempengaruhi dari sikap dalam menerima informasi.
Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau
angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dan subjek
penelitian atau responden. Kedalaman pengetahuan yang ingin kita ketahui
atau kita ukur dapat kita sesuaikan dengan tingkatan-tingkatan di atas
(Notoatmodjo, 2012).
Dalam membuat kategori tingkat pengetahuan bisa juga dikelompokkan
menjadi dua kelompok jika yang diteliti masyarakat umum, yaitu sebagai
berikut (Budiman dan Riyanto, 2013).
1. Tingkat pengetahuan kategori Baik jika nilainya > 50%.
2. Tingkat pengetahuan kategori Kurang Baik jika nilainya ≤ 50%.
Namun, jika yang diteliti respondennya petugas kesehatan, maka
persentasenya akan berbeda (Budiman dan Riyanto, 2013).
a. Tingkat pengetahuan kategori Baik jika nilainya > 75%.
b. Tingkat pengetahuan kategori Kurang Baik jika nilainya ≤ 75%.
2. Umur
Istilah umur diartikan dengan lamanya keberadaan seseorang diukur
dalam satuan waktu di pandang dari segi kronologik, individu normal yang
39
memperlihatkan derajat perkembangan anatomis dan fisiologik sama
(Nuswantari, 2010).
Umur adalah lamanya waktu hidup yaitu terhitung sejak lahir sampai
dengan sekarang. Penentuan umur dilakukan dengan menggunakan hitungan
tahun (Nuswantari, 2010).
Wanita yang berumur kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun,
mempunyai resiko tinggi apabila pada usia tersebut hamil. Karena akan
membahayakan kesehatan dan keselamatan ibu hamil maupun janinya,
beresiko mengalami perdarahan dan dapat menyebabkan ibu mengalami
anemia. Usia ibu dapat mempengaruhi timbulnya anemia, yaitu semakin
rendah usia ibu hamil semakin rendah kadar hemoglobinnya. Kecenderungan
semakin tua umur ibu hamil maka presentasi anemia semakin besar. Ibu hamil
yang berumur kurang dari 20 tahun lebih dari 35 tahun lebih beresiko
menderita anemia 74,1 % dari pada ibu hamil yang tidak menderita anemia
25,9 % (Amiruddin, 2013).
Wanita yang berumur kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun,
mempunyai risiko yang tinggi untuk hamil. Karena akan membahayakan
kesehatan dan keselamatan ibu hamil maupun janinnya, berisiko mengalami
pendarahan dan dapat menyebabkan ibu mengalami anemia (Wintrobe, 2010).
Kehamilan terbagi dalam 3 Trimester sebagai berikut (Prawirohardjo,
2010).
a. Trimester Satu : berlangsung dalam 12 minggu di mulai dari minggu ke-1
hingga minggu ke- 12.
40
b. Trimester Dua : berlangsung dalam 15 minggu di mulai dari minggu ke-
13 hingga minggu ke-27.
c. Trimester Tiga : berlangsung dalam 13 minggu di mulai dari minggu ke-
28 hingga minggu ke- 40.
Usia seorang wanita pada saat hamil sebaiknya tidak terlalu muda dan
tidak terlalu tua. Umur yang kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun,
berisiko tinggi untuk melahirkan. Kesiapan seorang perempuan untuk hamil
harus siap fisik, emosi, Usia seorang wanita pada saat hamil sebaiknya tidak
terlalu muda dan tidak terlalu tua. Umur yang kurang dari 20 tahun atau lebih
dari 35 tahun, berisiko tinggi untuk melahirkan. Kesiapan seorang perempuan
untuk hamil harus siap fisik, emosi, psikologi, sosial dan ekonomi (Ruswana,
2012).
Remaja adalah individu antara umur 10-19 tahun. Penyebab utama
kematian pada perempuan berumur 15-19 tahun adalah komplikasi
kehamilan, persalinan, dan komplikasi keguguran. Kehamilan dini mungkin
akan menyebabkan para remaja muda yang sudah menikah merupakan
keharusan sosial (karena mereka diharapkan untuk membuktikan kesuburan
mereka), tetapi remaja tetap menghadapi risiko-risiko kesehatan sehubungan
dengan kehamilan dini dengan tidak memandang status perkawinan mereka
(Admin, 2011).
Kehamilan yang terjadi pada sebelum remaja berkembang secara penuh,
juga dapat memberikan risiko bermakna pada bayi termasuk cedera pada saat
persalinan, berat badan lahir rendah, dan kemungkinan bertahan hidup yang
lebih rendah untuk bayi tersebut (Admin, 2011).
41
Wanita hamil kurang dari 20 tahun dapat merugikan kesehatan ibu
maupun pertumbuhan dan perkembangan janin karena belum matangnya alat
reproduksi untuk hamil. Penyulit pada kehamilan remaja (<20 tahun) lebih
tinggi dibandingkan kurun waktu reproduksi sehat antara 20-30 tahun.
Keadaan tersebut akan makin menyulitkan bila ditambah dengan tekanan
(stress) psikologi, sosial, ekonomi, sehingga memudahkan terjadinya
keguguran (Manuaba, 2010).
Kehamilan remaja dengan usia di bawah 20 tahun mempunyai risiko:
a. Sering mengalami anemia.
b. Gangguan tumbuh kembang janin.
c. Keguguran, prematuritas, atau BBLR.
d. Gangguan persalinan.
e. Preeklampsi.
f. Perdarahan antepartum (Manuaba, 2010).
Sebagian besar wanita yang berusia di atas 35 tahun mengalami
kehamilan yang sehat dan dapat melahirkan bayi yang sehat pula. Tetapi
beberapa penelitian menyatakan semakin matang usia ibu dihadapkan pada
kemungkinan terjadinya beberapa risiko tertentu, termasuk risiko kehamilan.
Para tenaga ahli kesehatan sekarang membantu para wanita hamil yang
berusia 30 dan 40an tahun untuk menuju ke kehamilan yang lebih aman. Ada
beberapa teori mengenai risiko kehamilan di usia 35 tahun atau lebih, di
antaranya (Saleh, 2010) :
a. Wanita pada umumnya memiliki beberapa penurunan dalam hal kesuburan
mulai pada awal usia 30 tahun. Hal ini belum tentu berarti pada wanita
42
yang berusia 30 tahunan atau lebih memerlukan waktu lebih lama untuk
hamil dibandingkan wanita yang lebih muda usianya. Pengaruh usia
terhadap penurunan tingkat kesuburan mungkin saja memang ada
hubungan, misalnya mengenai berkurangnya frekuensi ovulasi atau
mengarah ke masalah seperti adanya penyakit endometriosis, yang
menghambat uterus untuk menangkap sel telur melalui tuba fallopii yang
berpengaruh terhadap proses konsepsi.
b. Masalah kesehatan yang kemungkinan dapat terjadi dan berakibat terhadap
kehamilan di atas 35 tahun adalah munculnya masalah kesehatan yang
kronis. Usia berapa pun seorang wanita harus mengkonsultasikan diri
mengenai kesehatannya ke dokter sebelum berencana untuk hamil.
Kunjungan rutin ke dokter sebelum masa kehamilan dapat membantu
memastikan apakah seorang wanita berada dalam kondisi fisik yang baik
dan memungkinkan sebelum terjadi kehamilan.
Kontrol ini merupakan cara yang tepat untuk membicarakan apa saja
yang perlu diperhatikan baik pada istri maupun suami termasuk mengenai
kehamilan. Kunjungan ini menjadi sangat penting jika seorang wanita
memiliki masalah kesehatan yang kronis, seperti menderita penyakit
diabetes mellitus atau tekanan darah tinggi. Kondisi ini, merupakan
penyebab penting yang biasanya terjadi pada wanita hamil berusia 30-40an
tahun dibandingkan pada wanita yang lebih muda, karena dapat
membahayakan kehamilan dan pertumbuhan bayinya. Pengawasan
kesehatan dengan baik dan penggunaan obat-obatan yang tepat mulai
dilakukan sebelum kehamilan dan dilanjutkan selama kehamilan dapat
43
mengurangi risiko kehamilan di usia lebih dari 35 tahun, dan pada
sebagian besar kasus dapat menghasilkan kehamilan yang sehat.
Para peneliti mengatakan wanita di atas 35 tahun dua kali lebih
rawan dibandingkan wanita berusia 20 tahun untuk menderita anemia dan
diabetes pada saat pertama kali kehamilan. Wanita yang hamil pertama
kali pada usia di atas 40 tahun memiliki kemungkinan sebanyak 60%
menderita takanan darah tinggi dan 4 kali lebih rawan terkena penyakit
diabetes selama kehamilan dibandingkan wanita yang berusia 20 tahun
pada penelitian serupa di University of California pada tahun 1999. Hal ini
membuat pemikiran sangatlah penting ibu yang berusia 35 tahun ke atas
mendapatkan perawatan selama kehamilan lebih dini dan lebih teratur.
Dengan diagnosis awal dan terapi yang tepat, kelainan-kelainan tersebut
tidak menyebabkan risiko besar baik terhadap ibu maupun bayinya.
c. Risiko terhadap bayi yang lahir pada ibu yang berusia di atas 35 tahun
meningkat, yaitu bisa berupa kelainan kromosom pada anak. Kelainan
yang paling banyak muncul berupa kelainan Down Syndrome, yaitu sebuah
kelainan kombinasi dari retardasi mental dan abnormalitas bentuk fisik
yang disebabkan oleh kelainan kromosom.
d. Risiko lainnya terjadi keguguran pada ibu hamil berusia 35 tahun atau
lebih. Kemungkinan kejadian pada wanita di usia 35 tahun ke atas lebih
banyak dibandingkan pada wanita muda. Pada penelitian tahun 2000
ditemukan 9% pada kehamilan wanita usia 20-24 tahun. Namun risiko
meningkat menjadi 20% pada usia 35-39 tahun dan 50% pada wanita usia
42 tahun. Peningkatan insiden pada kasus abnormalitas kromosom bisa
44
sama kemungkinannya seperti risiko keguguran.Yang bisa dilakukan untuk
mengurangi risiko tersebut sebaiknya wanita berusia 30 atau 40 tahun yang
merencanakan untuk hamil harus konsultasikan diri dulu ke dokter.
Bagaimanapun, berikan konsentrasi penuh mengenai kehamilan di atas
usia 35 tahun, diantaranya :
1) Rencanakan kehamilan dengan konsultasi ke dokter sebelum pasti
untuk kehamilan tersebut. Kondisi kesehatan, obat-obatan dan imunisasi
dapat diketahui melalui langkah ini.
2) Konsumsi multivitamin yang mengandung 400 mikrogram asam folat
setiap hari sebelum hamil dan selama bulan pertama kehamilan untuk
membantu mencegah gangguan pada saluran tuba.
3) Konsumsi makanan-makanan yang bernutrisi secara bervariasi,
termasuk makanan yang mengandung asam folat, seperti sereal, produk
dari padi, sayuran hijau daun, buah jeruk, dan kacang-kacangan.
4) Mulai kehamilan pada berat badan yang normal atau sehat (tidak terlalu
kurus atau terlalu gemuk). Berhenti minum alkohol sebelum dan selama
kehamilan.
5) Jangan gunakan obat-obatan, kecuali obat anjuran dari dokter yang
mengetahui bahwa si ibu sedang hamil.
3. Paritas
Menurut Chapman (2012) paritas adalah jumlah kelahiran yang pernah
dialami ibu dengan mencapai viabilitas. Sedangkan menurut Manuaba (2010)
45
paritas atau para adalah wanita yang pernah melahirkan dan dibagi menjadi
beberapa istilah :
1. Primipara yaitu wanita yang telah melahirkan sebanyak satu kali.
2. Multipara yaitu wanita yang telah pernah melahirkan anak hidup beberapa
kali, di mana persalinan tersebut tidak lebih dari lima kali.
3. Grandemultipara yaitu wanita yang telah melahirkan janin aterm lebih dari
lima kali.
Menurut Manuaba (2010), ditinjau dari tingkatannya paritas
dikelompokkan menjadi tiga antara lain :
1. Paritas rendah atau primipara
2. Paritas sedang meliputi nullipara dan primipara
3. Paritas tinggi atau multipara
Kehamilan dan persalinan pada paritas tinggi atau grandemulti, adalah ibu
hamil dan melahirkan 5 kali atau lebih. Paritas tinggi merupakan paritas rawan
oleh karena paritas tinggi banyak kejadian-kejadian obstetri patologi yang
bersumber pada paritas tinggi, antara lain: plasenta previa, perdarahan
postpartum, dan lebih memungkinkan lagi terjadinya atonia uteri.Kanker leher
rahim paling banyak dijumpai pada wanita yang sering melahirkan. Hal ini dapat
disebabkan karena perlukaan dan trauma yang sering terjadi saat proses
persalinan. Kategori jumlah paritas yang berisiko tinggi belum ada keseragaman,
akan tetapi pada umumnya para ahli memberi batasan 3-5 kali melahirkan
(Prawirohardjo, 2010).
Paritas 2-3 merupakan paritas paling aman ditinjau dari sudut kematian
maternal. Paritas 1 dan paritas tinggi (lebih dari 3) mempunyai angka kematian
46
maternal lebih tinggi. Lebih tinggi paritas, lebih tinggi kematian maternal.
Resiko pada paritas 1 dapat ditangani dengan asuhan obstetrik lebih baik,
sedangkan resiko pada paritas tinggi dapat dikurangi atau dicegah dengan
keluarga berencana. Sebagian kehamilan pada paritas tinggi adalah tidak
direncanakan (Prawirohardjo, 2010).
Menurut Manuaba (2010) seorang wanita yang telah mengalami kehamilan
sebanyak 6 kali atau lebih, lebih mungkin mengalami:
1. Kontraksi yang lemah pada saat persalinan (karena otot rahimnya lemah)
2. Anemia pada masa kehamilan
3. Perdarahan setelah persalinan (karena otot rahimnya lemah)
4. Plasenta previa (plasenta letak rendah).
5. Pre eklampsi
Pada ibu hamil dengan paritas 1 dan >3 resiko anemia lebih tinggi bila di
banding pada paritas 2-3. Paritas 1 dan paritas >3 mempunyai angka kematian
maternal lebih tinggi. Paritas 2-3 merupakan paritas paling aman ditinjau dari
sudut kematian. Paritas 1 dan paritas tinggi (lebih dari 3) mempunyai angka
kematian maternal lebih tinggi, risiko pada paritas 1 dapat ditangani dengan
asuhan obstetrik lebih baik, sedangkan risiko pada paritas tinggi dapat dikurangi/
dicegah dengan keluarga berencana (Prawirohardjo, 2010).
C. Penelitian Terkait
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Melissa (2012), tentang faktor
risiko yang berhubungan dengan kejadian anemia pada ibu hamil di Puskesmas
Paal Lima Jambi, didapatkan hasil responden yang anemia pada kelompok
47
pengetahuan baik proporsinya 38,5% sedangkan pada kelompok pengetahuan
kurang proporsinya 69,0%. Responden yang tidak mengalami anemia pada
kelompok pengetahuan baik proporsinya 61,5% sedangkan pada kelompok
pengetahuan kurang proporsinya 13,0%. Hasil uji statistik dengan menggunakan
Chi- square diperoleh nilai p-value = 0,013 (p<0,05) dapat disimpulkan ada
hubungan yang bermakna antara faktor pengetahuan dengan kejadian anemia pada
ibu hamil di wilayah kerja Puskesmas Paal Lima Kota Jambi tahun 2013. Ratio
Prevalence 1,983 dengan Confidence Interval (CI)=(1,092-3,601) artinya
responden yang pengetahuan kurang memiliki peluang 1,983 kali untuk
mengalami anemia di bandingkan dengan faktor pengetahuan baik.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Qudsiah (2012), tentang
hubungan antara paritas dan umur ibu dengan anemia pada ibu hamil trimester III
Tahun 2012 (Studi Kasus di Puskesmas Bangetayu Kecamatan Genuk Kota
Semarang), didapatkan hasil berdasarkan uji chi square didapatkan hasil bahwa
hubungan antara umur dengan anemia pada ibu hamil trimester III mempunyai
pvalue sebesar 0,015. Sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang
lemah dengan arah hubungan yang positif yaitu semakin tinggi umur, maka
semakin tinggi anemia. Hasil p-value sebesar 0,015 (<0,05) yang berarti
menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara umur dengan anemia
pada ibu hamil trimester III.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ignatia (2013), tentang faktor-
faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian anemia pada ibu hamil di
Wilayah Kerja Puskesmas Pandanaran Semarang, didapatkan hasil berdasarkan uji
chi square sebesar 98,3% ibu hamil berparitas kurang dari 2 rata-rata 0,70 dengan
48
standar deviasi 0,79. 70,0. Hasil uji chi square yang dilakukan terhadap hubungan
paritas dengan kejadian anemia pada ibu hamil di peroleh nilai p-value sebesar
0,010 <0,05 sehingga Ho ditolak dan Ha diterima yang menyatakan ada hubungan
antara paritas dengan kejadian anemia pada ibu hamil.