11
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teori
2.1.1 Teori Keagenan
Agency Theory atau teori keagenan menjelaskan tentang (kontrak) hubungan
antara dua pihak yaitu principal (investor) dan agen (manajer). Menurut Jensen
dan Meckling (1976) Kepemilikan dan pengendalian yang dipisah dalam suatu
perusahaan merupakan salah satu faktor yang memicu timbulnya konflik
kepentingan yang disebut dengan konflik keagenan. Eisenhardt (1989) dalam
Astria (2011) menyatakan bahwa teori agensi menggunakan tiga asumsi sifat
manusia yaitu: (1) manusia pada umumya mementingkan diri sendiri (self
interest), (2) manusia memiliki daya pikir terbatas mengenai persepsi masa
mendatang (bounded rationality), dan (3) manusia selalu menghindari resiko (risk
averse). Berdasarkan asumsi sifat dasar manusia tersebut manajer sebagai
manusia akan bertindak oportunistic, yaitu mengutamakan kepentingan
pribadinya.
Teori agency menyatakan bahwa terdapat pemisahan antara pemilik
sebagai pemilik dan manajer sebagai agen yang menjalankan perusahaan. Agen
dikontrak untuk melakukan tugas tertentu bagi pemilik serta mempunyai tanggung
jawab atas tugas yang diberikan pemilik. Pemilik diasumsikan hanya tertarik pada
pengembalian keuangan yang diperoleh dari investasi mereka pada perusahaan.
12
Sedangkan agen diasumsikan akan menerima kepuasan tidak hanya dari
kompensasi keuangan tetapi juga dari tambahan lain yang terlibat dalam
hubungan keagenan. Keberadaan perbedaan kepentingan antara agen dan pemilik
inilah yang menyebabkan terjadinya konflik keagenan (Belkaouli, 2006:13).
Pihak agen memiliki keunggulan berupa informasi keuangan daripada
pihak pemilik, sedangkan dari pihak pemilik boleh jadi memanfaatkan
kepentingan pribadi (self interest) karena memiliki keunggulan kekuasaan.
Ketidakseimbangan penguasaan informasi dapat menjadi pemicu munculnya suatu
kondisi yang disebut sebagai asimetri informasi (information asymetry). Adanya
asimetri informasi antara manajemen dengan pemilik dapat membuka peluang
bagi manajer untuk melakukan tindakan earnings management dalam rangka
mengelabui pemilik mengenai kinerja ekonomi perusahaan. Dalam hal ini apabila
manajer memiliki informasi yang lebih banyak dibandingkan pemilik saham,
maka manajer akan cenderung melakukan kecurangan dengan melakukan praktik
manajemen laba untuk meningkatkan keuntungannya sendiri (Oktadella dan
Zulaikha, 2011:4). Bagi pemilik dalam hal ini pemilik modal atau investor akan
sulit untuk mengontrol secara efektif tindakan yang dilakukan oleh manajemen
karena hanya memiliki sedikit informasi.
Untuk mengatasi atau meminimalisasi konflik keagenan tersebut akan
menimbulkan biaya. Biaya ini yang disebut dengan biaya agensi. Biaya agensi
(agency cost) adalah biaya yang berhubungan dengan pengawasan manajemen
untuk meyakinkan bahwa manajemen bertindak konsisten sesuai dengan
perjanjian kontraktual perusahaan dengan kreditur dan pemegang saham.
13
Dihubungkan dengan konflik keagenan, konflik antara pemilik dengan manager
akan meningkatkan biaya keagenan terhadap ekuitas. Biaya agensi yang
dikemukakan oleh Jensen dan Meckling (1976:310) sebagai berikut:
1) Monitoring Cost adalah biaya yang dikeluarkan oleh principal untuk
mengukur, mengamati, dan mengontrol perilaku manajer. Dalam hal ini,
termasuk biaya audit, rencana kompensasi eksekutif dan biaya untuk
memberhentikan manajer.
2) Bonding Cost adalah biaya pengikatan agen agar agen bertindak yang terbaik
untuk kepentingan pemilik perusahaan. Para agen akan diberi kompensasi
yang wajar dan bila mereka tidak bertindak sesuai dengan keinginan pemilik
kompensasi tersebut tidak akan diberikan.
3) Residual Loss, meskipun sudah ada monitoring dan bonding, kadang
kepentingan shareholders dan agen masih sulit diselaraskan karena itu muncul
agency losses dari perbedaan kepentingan tersebut dan ini disebut residual
loss. Residual loss menunjukkan tradeoff antara membatasi manajer dan
memaksakan mekanisme kontrak yang didesain untuk mengurangi agency
problems. Secara umum tidak ada perusahaan yang tidak memiliki biaya
keagenan kecuali bagi perusahaan yang dimiliki dan dikelola sepenuhnya
oleh seorang manajer.
Perspektif hubungan keagenan merupakan dasar yang digunakan untuk
memahami corporate governance yang merupakan konsep yang didasarkan pada
teori keagenan, diharapkan bisa berfungsi sebagai alat untuk memberikan
keyakinan kepada para investor bahwa mereka akan menerima return atas dana
14
yang telah mereka investasikan. Menurut Shleifer dan Vishny (1997) dalam
Ujiyantho dan Pramuka (2007), corporate governance berkaitan dengan
bagaimana para investor yakin bahwa manajer akan memberikan keuntungan bagi
mereka, yakin bahwa manajer tidak akan melakukan penggelapan atau
menginvestasikan ke dalam investasi yang tidak menguntungkan berkaitan dengan
modal yang telah ditanamkan oleh investor, dan berkaitan dengan bagaimana para
investor mengontrol para manajer. Dengan kata lain corporate governance
diharapkan dapat berfungsi untuk menekan atau menurunkan biaya keagenan
(agency cost) dan meningkatkan kinerja entitas sehingga laporan keuangan yang
disajikan mempunyai integritas yang tinggi sehingga pada akhirnya akan
meningkatkan nilai perusahaan dan harga sahamnya
2.1.2 Auditing dan Akuntan Publik
Menurut Arens dan Loebbecke (2000), menyatakan bahwa sistem
pengendalian mutu suatu KAP menetapkan dua belas unsur kendali mutu yang
harus dipenuhi oleh kantor akuntan dalam melakukan profesinya, yaitu:
Independensi, Penugasan para auditor, Konsultasi, Supervisi, Pengangkatan
auditor, Pengembangan professional, Promosi, Penerimaan dan pemeliharaan
hubungan dengan klien, Inspeksi, Pemekerjaan (hiring), Penerimaan dan
keberlanjutan klien.
Akuntan Profesional yang menjual jasanya kepada masyarakat, terutama
dalam bidang pemeriksaan terhadap laporan keuangan, yang dibuat oleh kliennya
dan juga yang menjual jasa sebagai konsultasi pajak, konsultasi di bidang
15
manajemen, penyusunan sistem akuntansi serta penyusunan laporan keuangan
Mulyadi (2013).
Akuntan publik diketahui masyarakat dari jasa audit yang disediakan bagi
pemakai informasi keuangan. Terdapat dua kepentingan yang menyebabkan
profesi akuntan publik berkembang yaitu manajemen perusahaan ingin
menyampaikan informasi mengenai pertanggungjawaban pengelolaan dana yang
berasal dari pihak luar serta pihak luar perusahaan ingin memperoleh informasi
yang andal dari manajemen perusahaan mengenai pertanggungjawaban dana yang
diinvestasikan sehingga menuntut adanya peningkatan dan pengendalian mutu
audit yang dilakukan.
2.1.3 Integritas Laporan Keuangan
Laporan keuangan merupakan hasil dari proses akuntansi yang dapat
digunakan oleh manajemen perusahaan sebagai alat untuk berkomunikasi dengan
pihak luar perusahaan tentang data keuangan atau aktivitas perusahaan tersebut
selama periode tertentu bisa juga disebut dengan gambaran keuangan dari sebuah
perusahaan. Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) dalam PSAK NO.1 mengemukakan
bahwa tujuan laporan keuangan adalah untuk memberikan informasi tentang
posisi keuangan, kinerja dan arus kas yang bermanfaat bagi sebagian besar
kalangan pengguna dalam rangka membuat keputusan-keputusan ekonomi serta
menunjukkan pertanggungjawaban manajemen atas penggunaan sumberdaya-
sumberdaya yang dipercayakan kepadanya.
Laporan keuangan yang memiliki integritas yang tinggi maka harus
memenuhi dua karakteristik utama dalam suatu laporan keuangan. Informasi
16
akuntansi yang memiliki integritas yang tinggi dapat diandalkan karena
merupakan suatu penyajian yang jujur sehingga memungkinkan pengguna
informasi akuntansi bergantung pada informasi tersebut, sehingga memiliki
kemampuan untuk mempengaruhi keputusan pengguna laporan keuangan untuk
membantu membuat keputusan.
Integritas laporan keuangan adalah sejauh mana laporan keuangan yang
disajikan menunjukkan informasi yang benar dan jujur mayangsari (2003).
Pengertian integritas laporan keuangan menurut Mayangsari (2003) tersebut sama
dengan penjelasan dalam Standar Akuntansi Keuangan menegenai karakteristik
kualitatif laporan keuangan bahwa penyajian informasi yang benar dan jujur
merupakan salah satu kualitas laporan keuangan yang reliability (keandalan).
Kieso (2004:32) reliability memiliki kualitas sebagai berikut :
1) Verifiability
Laporan keuangan suatu entitas yang mempunyai kondisi yang sama dengan
laporan keuangan entitas lain, akan mendapat opini yang sama jika diaudit
oleh auditor berbeda
2) Representational faithfulness
Angka dan keterangan yang disajikan sesuai dengan apa yang ada dan
benar-benar terjadi.
3) Neutrality
Informasi dari laporan keuangan harus diarahkan pada kebutuhan umum
pemakai, dan tidak bergantung pada kebutuhan dan keinginan pihak
tertentu, jauh dari bias, sesuai dengan kenyataan dan jujur apa adanya.
17
2.1.4 Konservatisme Akuntansi
Konservatisme identik dengan laporan keuangan yang understate yang
resikonya lebih kecil daripada laporan keuangan yang overstate sehingga laporan
keuangan yang dihasilkan akan lebih reliable, memenuhi kriteria karakteristik
kualitatif informasi akuntansi sesuai dengan ketentuan .
Konservatisme juga berarti bahwa akuntan harus mencatat nilai alternatif
terendah untuk aset dan nilai alternatif tertinggi untuk kewajiban (Watts dan
Zimmerman, 1986). Di dalam prinsip konservatisme, ketika terdapat dua atau
lebih alternatif akuntansi yang memiliki kemampuan sama dalam memenuhi
objektivitas dari laporan keuangan, maka yang dipilih adalah alternatif yang
memiliki dampak yang paling tidak menguntungkan terhadap ekuitas pemegang
saham. Dengan demikian konsep ini mengakui biaya dan rugi lebih cepat,
mengakui pendapatan dan untung lebih lambat, menilai aktiva dengan nilai yang
terendah dan kewajiban dengan nilai yang tertinggi.
Munculnya praktik konservatisme tersebut karena standar akuntansi yang
berlaku menginginkan perusahaan memilih salah satu metode akuntansi yang
dirasa paling tepat (Widya, 2005). Setiap metode akuntansi mempunyai tingkat
konservatisme yang berbeda. Jamaan (2008) berpendapat bahwa perbedaan
pemilihan metode akuntansi berpengaruh terhadap angka-angka yang disajikan
baik dalam neraca maupun laporan laba-rugi perusahaaan.
Menurut Anggraini (2008) bahwa perusahaan yang menggunakan prinsip
konservatisme cenderung memiliki investasi yang tersembunyi sehingga
konservatisme cenderung digunakan oleh perusahaan yang sedang tumbuh. Selain
18
itu prinsip konservatisme dipengaruhi oleh perilaku oportunistik dari manajer
dalam mengelola laba untuk kepentingannya.
Dengan adanya konservatisme dalam akuntansi akan membantu perusahaan
untuk mengurangi biaya agensi. Penelitian yang dilakukan di Indonesia
(Wardhani, 2008; Fala, 2007) menemukan bukti yang tidak konsisten antara
pengaruh karakteritik dewan terhadap tingkat konservatisme. Menurut Watts
(2003) ukuran konservatisme dibedakan menjadi tiga, yaitu:
1) Earnings/stock return relation measures : Stock market price merupakan
refleksi dari perubahan baik perubahan atas rugi ataupun laba untuk nilai
aset.
2) Earnings/accrual measures : Pengukuran akrual ini diukur dengan
menggunakan selisih antara net income dan cash flow. Dimana net income
yang digunakan sebelum depresiasi dan amortisasi sedangkan cash
flow digunakan dari cash flow operasional.
3) Net asset measures yakni dengan menghitung nilai market book to
ratios((equity book value/closing price)X volume shares)) dimana equity
book value (total asset – total liabilities), closing price harga saham saat
penutupan akhir tahun, volume shares volume saham yang diperdagangkan
pada akhir tahun.
Konservatisme setelah SAK mengadopsi IFRS, Kerangka konseptual
framework level 3 dari pengakuan dan pengukuran sebelum IFRS terdiri dari Cost
and Benefit, Materialitas, Praktek Industri dan Materialitas (Kieso et al, 2004)
19
Dari sub bagian penjelasan diatas mengenai kerangka kerja SAK berbasis
IFRS secara langsung menyiratkan tidak terdapat materialitas, akan tetapi bukti
lain ditemukan dalam beberapa penelitian. Dinegara-negara maju yang sudah
mengadopsi IFRS seperti di eropa, ditemukan bukti bahwa penggunaan
konservatisme setelah adopsi IFRS telah mengurangi tingkat konservatisme tanpa
syarat. Ditemukan bahwa penetapan standar tentang efek negatif dari fleksibilitas
yang lebih besar di ijinkan oleh IFRS pada dimensi kunci dari kualitas akuntansi
(Andre Paul, 2013).
Sedangkan menurut Zhang (2011) yang menggunakan 771 observasi
perusahaan di New Zealand selama periode 2000-2009 menemukan adanya
konservatisme bersyarat pasca adopsi IFRS. Peningkatan konservatisme pada
New Zealand terjadi untuk pengungkapan wajib tetapi tidak untuk pengungkapan
sukarela. Dampak dari pengadopsi sukarela meringankan efek keseluruhan IFRS
pada konservatisme di New Zealand. Piots et al. (2010) membuktikan adanya
perubahan konservatisme setelah adanya adopsi IFRS.
Penelitian di Indonesia yang dilakukan oleh Reni (2013) menunjukkan bahwa
faktor konvergensi IFRS berpengaruh terhadap tingkat konservatisme akuntansi
dengan ukuran pasar. Selain itu faktor-faktor seperti proporsi komisaris
independen, ukuran dewan komisaris, kepemilikan manajerial, kepemilikan
institusional, ukuran perusahaan dan leverage secara bersama-sama
mempengaruhi tingkat konservatisme.
20
2.1.5 Corporate Governance
Pengertian corporate governance adalah : “The roles of shareholders,
directors and other managers in corporate decision making.” Menurut (Griffin
dalam Susiana dan Herawaty, 2007). Good governance merupakan tata kelola
yang baik pada suatu usaha yang dilandasi oleh etika profesional dalam berusaha
atau berkarya. Pada prinsipnya tujuan corporate governance adalah menciptakan
nilai bagi pihak yang berkepentingan. Pihak-pihak tersebut adalah pihak internal
yang meliputi dewan komisaris, direksi, karyawan, dan pihak eksternal yang
berkepentingan.
Peraturan No. I-A tentang Ketentuan Umum Pencatatan Efek bersifat
ekuitas di bursa huruf C-1, dimana dalam rangka penyelenggaraan pengelolaan
yang baik (good corporate governance). Perusahaan tercatat wajib memiliki:
1) Komisaris independen yang jumlahnya secara proporsional sebanding dengan
jumlah saham yang dimiliki oleh bukan Pemegang Saham Pengendali dengan
ketentuan jumlah Komisaris Independen sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh
persen) dari jumlah seluruh komisaris.
2) Komite Audit.
3) Sekretaris perusahaan.
2.1.5.1 Komisaris Independen
Komisaris independen merupakan sebuah badan dalam perusahaan yang
biasanya beranggotakan dewan komisaris yang independen yang berasal dari luar
perusahaan yang berfungsi untuk menilai kinerja perusahaan secara luas dan
keseluruhan. Komisaris independen bertujuan untuk menyeimbangkan dalam
21
pengambilan keputusan khususnya dalam rangka perlindungan terhadap
pemegang saham minoritas dan pihak-pihak lain yang terkait.
Dapat disimpulkan keberadaan komisaris independen pada suatu
perusahaan dapat mempengaruhi integritas suatu laporan keuangan yang
dihasilkan oleh manajemen. Jika perusahaan memiliki komisaris independen maka
laporan keuangan yang disajikan oleh manajemen cenderung lebih berintegritas,
karena didalam perusahaan terdapat badan yang mengawasi dan melindungi hak
pihak-pihak diluar manajemen perusahaan.
Beberapa penelitian yang menggunakan komisaris indpenden sebagai
variable penelitiannya, menemukan bahwa peningkatan komisaris independen
mempengaruhi peningkatan kandungan informasi laba perusahaan seperti dalam
penelitian Anderson, Gelli dan Gillan (2003), Dechow dkk (1996) penelitiannya
menunjukkan bahwa perusahaan yang melakukan manipulasi laba lebih besar
kemungkinannya memiliki dewan komisaris yang didominasi oleh manajemen
dan lebih besar kemungkinannya memiliki direksi utama yang merangkap menjadi
komisaris utama.
2.1.5.2 Persentase Saham yang Dimiliki oleh Manajemen
Persentase saham yang dimiliki oleh manajemen termasuk didalamnya
persentase saham yang dimiliki oleh manajemen secara pribadi maupun dimiliki
oleh anak cabang perusahaan bersangkutan beserta afiliasinya. Oktadella dan
Zulaikha (2010) mendefinisikan kepemilikan manajerial sebagai persentase saham
yang dimiliki oleh manajemen yang secara aktif ikut dalam pengambilan
keputusan perusahaan yang meliputi komisaris dan direksi. Kepemilikan
22
manajemen merupakan salah satu mekanisme yang dipergunakan agar pengelola
melakukan aktivitas sesuai kepentingan pemilik perusahaan.
Kepemilikan manajerial dimaksudkan untuk memberi kesempatan manajer
terlibat dalam kepemilikan saham, sehingga kedudukan manajer sejajar dengan
pemilik perusahaan. Jensen dan Meckling (1976) menyatakan bahwa kepemilikan
saham manajerial dapat membantu menyatukan kepentingan antara manajer dan
pemegang saham, yang berarti semakin meningkat proporsi kepemilikan saham
manajerial maka semakin baik kinerja perusahaan tersebut. Hal ini dapat terjadi
dengan memberikan saham kepada manajer maka manajer sekaligus merupakan
pemilik perusahaan. Sehingga manajer akan bertindak demi kepentingan
perusahaan, manajer akan termotivasi untuk meningkatkan kinerjanya yang juga
merupakan keinginan dari pemilik perusahaan. Manajer juga dapat merasakan
langsung manfaat dari keputusan yang diambil. Oleh karena itu, kepemilikan
manajerial dipandang sebagai alat untuk menyatukan kepentingan manajer
dengan pemilik perusahaan dan menjadi salah satu upaya dalam mengurangi
masalah keagenan dengan manajer dan menyelaraskan kepentingan antara
manajer dengan pemegang saham.
Dua aspek penting dari struktur kepemilikan adalah konsentrasi
kepemilikan dan komposisi kepemilikan. Komposisi kepemilikan berkaitan
dengan siapakah pemegang saham dan yang lebih penting adalah siapa diantara
pemegang saham ke dalam kelompok pengendali. Kepemilikan saham
manajerial merupakan persentase saham yang dimiliki oleh anak cabang
23
perusahaan bersangkutan beserta afiliasinya (Gunarsih, 2004 dalam Astria dan
Ardiyanto, 2011).
Semakin besar proporsi kepemilikan manajerial pada perusahaan, maka
manajemen cenderung giat untuk kepentingan pemegang saham yang tidak lain
dirinya sendiri. Kepemilikan perusahaan juga terkait dengan pengendalian
operasional perusahaan. Dengan semakin besarnya kepemilikan manajer, maka
manajer dapat lebih leluasa dalam mengatur pemilihan metode akuntansi, serta
kebijakan kebijakan akuntansi penting terkait dengan masa depan perusahaan
(Oktadella dan Zulaikha, 2011).
Kepemilikan manajerial merupakan salah satu mekanisme yang dapat
diterapkan dalam meningkatkan integritas laporan keuangan. Dengan adanya
kepemilikan manajerial, manajer akan cenderung bertindak dalam kepentingan
pemegang saham karena mereka juga merupakan bagian dari pemegang saham,
antara lain dengan tidak memanipulasi informasi yang ada dalam laporan
keuangan (Putra dan Muid, 2012).
2.1.5.3 Persentase Saham yang Dimiliki oleh Insitusi
Persentase saham institusi ini diperoleh dari penjumlahan atas persentase
saham perusahaan yang dimiliki oleh perusahaan lain baik yang berada di dalam
maupun di luar negeri serta saham pemerintah dalam maupun luar negeri.
Susiana dan Herawaty (2007) menyatakan persentase saham institusi
adalah penjumlahan atas persentase saham perusahaan yang dimiliki oleh institusi
atau lembaga (perusahaan asuransi, bank, perusahaan investasi, asset
management dan kepemilikan institusi lain) baik yang berada di dalam maupun
24
di luar negeri. Dengan kepemilikan instutisional mendorong munculnya
pengawasan yang lebih optimal terhadap kinerja manajer.
Jensen dan Meckling (1976) menyatakan bahwa kepemilikan institusional
memiliki peranan yang sangat penting dalam meminimalisasi konflik keagenan
yang terjadi antara manajer dan pemegang saham. Keberadaan investor
institusional dianggap mampu menjadi mekanisme monitoring yang efektif dalam
setiap keputusan yang diambil oleh manajer. Hal ini disebabkan investor
institusional terlibat dalam pengambilan yang strategis sehingga tidak mudah
percaya terhadap tindakan manipulasi laba.
Menurut Wardhani (2006) distribusi saham antara pemegang saham dari
luar seperti investor institusional dapat mengurangi agency cost. Hal ini
disebabkan karena kepemilikan institusional mewakili sumber kekuasaan yang
mampu digunakan untuk mendukung atau sebaliknya terhadap kedudukan
manajemen. Jadi kepemilikan saham atas perusahaan mencerminkan hak atas
kepemilikan perusahaan, sehingga semakin tinggi kepemilikan yang dimiliki
pihak institusional maka kontrol perusahaan akan semakin tinggi pula.
Adanya monitoring yang efektif oleh pihak institusional menyebabkan
penggunaan utang menurun. Hal ini karena peranan utang sebagai salah satu alat
monitoring sudah diambil alih oleh kepemilikan institusional. Tindakan
monitoring oleh pihak investor institusional dapat mengurangi perilaku
opportunistic atau mementingkan diri sendiri yang dilakukan oleh manajer
sehingga manajer dapat lebih memfokuskan perhatiannya terhadap kinerja
perusahaan (Oktadella dan Zulaikha, 2011).
25
Monitoring tersebut tentunya akan menjamin kemakmuran untuk
pemegang saham, pengaruh kepemilikan institusional sebagai agen pengawas
ditekan melalui investasi mereka yang cukup besar dalam pasar modal. Semakin
besar kepemilikan oleh institusi keuangan maka semakin besar pula kekuatan
suara dan dorongan untuk mengoptimalkan nilai perusahaan. Kepemilikan
institusional memiliki kelebihan yaitu memiliki profesionalisme dalam
menganalisis informasi sehingga dapat menguji keandalan informasi serta
memiliki motivasi yang kuat untuk melaksanakan pengawasan lebih ketat atas
aktivitas yang terjadi di dalam perusahaan.
2.1.5.4 Komite Audit
Komite audit bertugas membantu dewan komisaris untuk memonitor
proses pelaporan keuangan oleh manajemen untuk meningkatkan kredibilitas
laporan keuangan (Bradbury et al.2004). Tugas komite audit meliputi menelaah
kebijakan akuntansi yang diterapkan oleh perusahaan, menilai pengendalian
internal, menelaah sistem pelaporan eksternal dan kepatuhan terhadap peraturan.
Di dalam pelaksanaan tugasnya komite menyediakan komunikasi formal antara
dewan, manajemen, auditor eksternal, dan auditor internal (Bradbury et al., 2004).
Adanya komunikasi formal antara komite audit, auditor internal, dan auditor
eksternal akan menjamin proses audit internal dan eksternal dilakukan dengan
baik. Proses audit internal dan eksternal yang baik akan meningkatkan akurasi
laporan keuangan dan kemudian meningkatkan kepercayaan terhadap laporan
keuangan (Anderson et al., 2003). Komite audit berfungsi untuk memberikan
pandangan mengenai masalah-masalah yang berhubungan dengan kebijakan
26
keuangan, akuntansi dan pengendalian intern. Tujuan pembentukan komite audit
adalah:
1) Memastikan laporan keuangan yang dikeluarkan tidak menyesatkan dan
sesuai dengan praktik akuntansi yang berlaku umum.
2) Memastikan bahwa internal kontrolnya memadai.
3) Menindaklanjuti terhadap dugaan adanya penyimpangan yang meterial di
bidang keuangan dan implikasi hukumnya.
4) Merekomendasikan seleksi auditor eksternal.
Sesuai dengan fungsi komite audit di atas, sedikit banyak keberadaan
komite audit dalam perusahaan berpengaruh terhadap kualitas dan integritas
laporan keuangan yang dihasilkan
2.1.6 Ukuran KAP
Ukuran KAP merupakan ukuran yang digunakan untuk menentukan besar
kecilnya suatu Kantor Akuntan Publik. Ukuran Kantor Akuntan Publik dapat
dikatakan besar jika KAP tersebut berafiliasi dengan Big 4, mempunyai cabang
dan kliennya perusahaan-perusahaan besar serta mempunyai tenaga profesional
diatas 25 orang. Sedangkan Ukuran Kantor Akuntan Publik dikatakan kecil jika
tidak berafiliasi dengan Big 4, tidak mempunyai kantor cabang dan kliennya
perusahaan kecil serta jumlah profesionalnya kurang dari 25 orang.
KAP yang besar lebih independen dibandingkan dengan KAP yang kecil.
Dengan alasan bahwa ketika KAP besar kehilangan satu klien tidak begitu
berpengaruh terhadap pendapatannya. Akan tetapi jika KAP kecil kehilangan satu
klien sangat berarti karena klienya sedikit (Shockley, 1981). Sehingga KAP besar
27
seperti Big 4 biasanya dianggap lebih mampu mempertahankan independensi
auditor daripada KAP kecil. Selain itu, perusahaan audit yang lebih besar
umumnya dianggap sebagai penyedia kualitas audit tinggi dan memiliki reputasi
tinggi di lingkungan bisnis serta KAP yang lebih besar juga dianggap lebih
mandiri dari KAP yang kecil dalam menahan tekanan manejemen jika terjadi
perselisihan karena biasanya memiliki lebih banyak klien dan mampu mengatasi
kesulitan.
2.1.7 Audit Tenure
Audit tenure adalah masa jabatan dari Kantor Akuntan Publik (KAP)
dalam memberikan jasa audit terhadap kliennya. Ketentuan mengenai audit
tenure telah dijelaskan dalam Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia
Nomor 359/KMK.06/2003 pasal 2 yaitu masa jabatan untuk KAP paling lama 5
tahun berturut-turut.
Adanya kewajiban rotasi auditor memiliki kebaikan dan kelemahan. Rotasi
auditor dapat meningkatkan kualitas audit dan independensi audit melalui suatu
pengurangan pengaruh klien terhadap auditor. Kurangnya pengaruh
memungkinkan terjadinya risiko kehilangan klien jika auditor tidak menyetujui
pilihan pelaporan keuangan manajer (Farmer et al.,1987 dalam Adibowo, 2009).
Beberapa kasus skandal akuntansi menyebutkan bahwa lamanya hubungan
klien dan auditor menjadi penyebab kegagalan audit. Knapp (1991) menunjukkan
bahwa lamanya hubungan antara klien dan auditor dapat mengganggu
independensi serta keakuratan auditor untuk menjalankan tugas pengauditan.
Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa auditor yang memiliki masa kerja lebih
28
dari 20 tahun serta kurang dari 5 tahun tidak dapat menemukan kesalahan
pelaporan yang material. Metcalf Committee (US.Senate 1977) menyatakan
bahwa hubungan yang lama antara auditor dan klien dapat merusak kualitas
profesionalisme kantor akuntan.
The Institute of Chartered Accountants in England and Wales (ICAEW)
2002, menyatakan bahwa pada hubungan KAP-klien yang lebih panjang akan
menjadi kurang tegas dalam pendekatan mereka dan suatu kesalahan (disengaja
atau tidak disengaja) kemungkinan besar menjadi luput dari perhatian, dan rotasi
KAP kemungkinan dapat meningkatkan effektifitas dan kualitas audit.
Di Indonesia, rotasi KAP bersifat mandatory dengan ditetapkannya
Keputusan Menteri Keuangan nomor: 423/KMK.06/2002 tentang jasa akuntan
publik dan direvisi dengan Keputusan Menteri Keuangan nomor
359/KMK.06/2003 tanggal 21 Agustus 2003 yang mewajibkan perusahaan untuk
membatasi masa penugasan KAP selama lima tahun dan akuntan publik selama
tiga tahun. Selanjutnya, peraturan ini direvisi menjadi Peraturan Menteri
Keuangan No. 17 tahun 2008. Dalam bab 2, pasal 3, ayat 1, peraturan tersebut
membatasi masa penugasan KAP selama enam tahun dan akuntan publik selama
tiga tahun. KAP dan akuntan hanya dapat menerima penugasan audit kembali
untuk klien yang sama setelah 3 (tiga) tahun buku secara berturut-turut tidak
melakukan pemberian jasa audit atas laporan keuangan pada klien tersebut.
Dengan demikian, pemerintah telah mengatur kewajiban rotasi auditor
dengan dikeluarkannya Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia
Nomor 17/PMK.01/2008 pemberian jasa audit umum atas laporan keuangan dari
29
suatu entitas dilakukan oleh KAP paling lama untuk 6 (enam) tahun buku
berturut-turut dan oleh seorang akuntan publik paling lama untuk 3 (tiga) tahun
buku berturut-turut.
Alasan teoritis yang mendasari penerapan rotasi wajib yaitu bagi auditor
dan KAP diharapkan akan meningkatkan independensi auditor baik secara
tampilan maupun secara fakta. Ketika tenur audit dibatasi dan kontrak audit
dihentikan, kegagalan audit yang disebabkan karena berkurangnya independensi
berkurang dari waktu ke waktu. KAP harus bisa mempertahankan
independensinya sebagai seorang auditor, sehingga kualitas audit bisa
dipertahankan.
Peraturan-peraturan ini menimbulkan polemik panjang di kalangan
akuntan publik sampai saat ini (Giri, 2010:5). Berikut ini, argumen berbagai
kalangan yang mendukung dan menolak adanya ketentuan rotasi wajib:
1) Argumen Pendukung Ketentuan Rotasi Wajib
Dua dasar argumentasi rotasi yang bersifat mandatory umumnya
dikelompokan menjadi dua hal: (1) kualitas dan kompetensi pekerjaan audit
cenderung menurun secara signifikan dari waktu kewaktu, (2) independensi
auditor dapat rusak oleh panjangnya hubungan dengan manajemen.
Argumen pertama yang mendukung rotasi wajib adalah bahwa ketentuan
ini akan mendorong peningkatan kualitas audit. Regulator menunjukkan adanya
hubungan antara tenur auditor dan pengurangan dalam kualitas laba dan
menyinggung rotasi auditor wajib sebagai solusi yang paling memungkinkan
untuk hal ini. Alasan mereka adalah sebagai berikut: (1) Pendekatan baru akan
30
dibawa masuk oleh KAP baru setiap lima tahun sekali. Auditor yang mengaudit
perusahaan yang sama dari tahun ke tahun akan kurang kreatif merancang
prosedur audit; (2) Peningkatan kompetisi antara KAP akan didasarkan pada
kualitas jasa audit; (3) Auditor tidak akan tergantung secara ekonomi (economic
independence) kepada klien, dan (4) Rotasi auditor akan memampukan KAP
untuk saling mengawasi satu dengan yang lain.
Argumen yang mendukung pendukung rotasi wajib umumnya khawatir
bahwa independensi auditor dan dengan demikian kualitas audit akan menurun
dengan meningkatnya tenur auditor. Hubungan dalam waktu yang lama dengan
manager perusahaan merupakan alasan utama yang mengancam dan merusak
independensi auditor. Ada dua masalah praktis yang dapat mengancam
kemampuan aktual auditor untuk mempertahankan sikap independensi selama
melaksanakan tugas audit, yaitu: (1) auditor harus memperhatikan rekomendasi
manajemen untuk melanjutkan tugas audit dari tahun ke tahun, dan (2)
keberlanjutan tugas audit menyebabkan anggota KAP menjadi semakin dekat
dengan manajemen secara personal. Hubungan yang semakin dekat dengan
manajemen menyebabkan auditor lebih mengidentifikasikan dirinya dengan
kepentingan manajemen daripada dengan kepentingan publik.
2) Argumen Penolak Ketentuan Rotasi Wajib
Pernyataan bahwa rotasi mandatori dapat memperbaiki kualitas audit
mempertimbangkan beberapa hal berikut. Pertama, kompleksitas kelompok
perusahaan besar dan kompleksitas seputar pelaporan keuangan yang meningkat
mensugestikan bahwa KAP baru memerlukan beberapa tahun untuk secara penuh
31
memahami bisnis klien. Hal ini berarti kompleksitas dan ukuran perusahaan tidak
mendukung pelaksanaan audit jangka pendek.
Kedua, pertimbangan di atas didasarkan pada argumen bahwa auditor
dengan tenure pendek memiliki kekurangan dalam pengetahuan khusus klien yang
diperlukan untuk melakukan audit yang berkualitas tinggi. Hal ini didukung oleh
pendapat profesi akuntansi yang berpendapat bahwa tenure singkat mungkin
melibatkan risiko kegagalan audit yang tinggi, karena auditor yang masuk dengan
cukup pengetahuan khusus klien harus lebih berat mengandalkan pada perkiraan
dan pernyataan yang dibuat oleh perusahaan-perusahaan klien.
Pertimbangan-pertimbangan di atas kemudian memunculkan pertimbangan
akhir yaitu tenure yang singkat menimbulkan tambahan biaya audit bagi klien,
dan juga bagi publik. Selain itu, rotasi mandatori memunculkan masalah
penyimpangan audit dan risiko litigasi. Pernyataan yang memperkuat argumen di
atas adalah rotasi auditor merupakan langkah drastis sederhana, namun belum
teruji manfaatnya dan justru akan menambah biaya audit.
2.1.8 Audit Report Lag
Audit report lag mempengaruhi investor untuk mempercayai kejujuran dari
laporan keuangan, Feltham (1972; Standish 1975) dalam penelitian Kam-Wah Lai
dan Leo Cheuk (2005) menyatakan bahwa pengalaman terdahulu pada pasar
modal memperlihatkan bahwa waktu penyelesaian laporan keuangan sangat
mempengaruhi kesempatan investor untuk percaya, tingkatan ketidak percayaan
pada evaluasi investasinya dan pemberian pay-off yang diharapkan. Shaleh (2004)
menguji pengaruh ukuran perusahaan yang diproksi dengan market value atas
32
market capitalization, dan menemukan bahwa adanya pengaruh insignifikan
antara ukuran perusahaan terhadap audit report lag.
Dyer dan McHugh (1975) membagi keterlambatan (lag) menjadi 3 bagian,
yaitu :
1) preliminary lag, merupakan interval waktu antara tanggal berakhirnya tahun
buku sampai dengan tanggal diterimanya laporan keuangan pendahuluan
oleh pasar modal.
2) Auditors signature lag, yaitu interval waktu antara tanggal berakhirnya
tahun buku sampai dengan tanggal yang tertera dalam laporan auditor
independen;
3) Total lag, yaitu interval waktu antara tanggal berakhirnya tahun buku
sampai dengan tanggal diterimanya laporan keuangan publikasi auditan
pasar modal.
Keterlambatan penyelesaian dapat disebabkan karena perusahaan berusaha
mengumpulkan informasi yang banyak untuk menjamin keandalan laporan
keuangan (SAK;2013). Dapat dikatakan bahwa perusahaan membuat laporan
keuangan mempertimbangkan trade-off antara relevansi dan keandalan
(reliability) dari laporan keuangan (Kieso,2004)
2.2 Pembahasan Hasil Penelitian Sebelumnya
Berikut ini adalah pembahasan penelitian sebelumnya yang pernah
dilakukan terkait dengan variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini:
Mayangsari (2003) pada hasil penelitiannya menemukan adanya hubungan
negatif antara komite audit dengan integritas laporan keuangan. Keberadaan
33
komite audit dianggap kurang efektif terkait dalam peningkatan kinerja
perusahaan. Penelitian ini juga membuktikan bahwa komisaris independen
berpengaruh negatif terhadap integritas laporan keuangan. Hal ini menunjukkan
bahwa keberadaan komisaris independen tidak mempengaruhi kualitas laporan
keuangan. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini yaitu variabel dependen
integritas laporan keuangan diukur dengan indeks Konservatisme. Variabel
independen penelitian ini independensi diproksikan dengan spektrum jasa KAP
dan lamanya hubungan auditor-auditee, Mekanisme corporate governance
diproksikan dengan presentase kepemilikan institusi, persentase kepemilikan
manajerial, komite audit, dan komisaris independen, kualitas audit diproksikan
dengan spesialisasi auditor.
Widya (2005) Variabel dependen konservatisme. Variabel independen
struktur kepemilikan, kontrak utang, kos politis, Growth. Penelitian ini
menemukan bahwa semakin besar konsentrasi struktur kepemilikan perusahaan
terhadap modal, semakin memilih akuntansi yang lebih konservatif. Semakin
besar kos politis yang dikeluarkan perusahaan maka perusahaan semakin memilih
akuntansi yang lebih konservatif. Penelitian ini juga membuktikan bahwa pada
perusahaan yang konservatif identik dengan perusahaan yang tumbuh. Untuk
hipotesa kedua mengenai kontrak utang ditolak, hal ini disebabkan karena
perilaku oportunistik perusahaan tidak dapat dilihat dalam jangka waktu yang
lama, selain itu penggunaan proksi leverage yaitu utang jangka panjang/total aset
(Qiang, 2003) yang mengikuti penelitian Defond dan Jiambalvo (1994) dan
Sweneey (1994) pada perusahaan yang bermasalah, sedangkan penelitian ini tidak
34
dilakukan pada perusahaan yang bermasalah, ini dibuktikan dengan pengambilan
sampel dengan kriteria perusahaan harus terdaftar selama 8 tahun berturut-turut
Susiana dan Herawaty (2007) Variabel dependen integritas laporan
keuangan diukur dengan indeks konservatisme. Variabel independen
independensi; mekanisme corporate governance diproksikan dengan presentase
kepemilikan institusi, persentase kepemilikan manajerial, komite audit, dan
komisaris independen, kualitas audit. Penelitian ini menghasilkan hasil bahwa
independensi auditor, mekanisme corporate governance dan kualitas audit
memiliki pengaruh yang tidak signifikan terhadap integritas laporan keuangan
Jamaan (2008) dalam penelitiannya variabel dependen yaitu integritas
laporan keuangan. Variabel indenpenden mekanisme corporate governance
(kepemilikan institusional, komite audit, komisaris independen) dan kualitas
kantor akuntan publik. Hasil penelitian ini menemukan pengaruh antara
mekanisme corporate governance (kepemilikan institusional, komisaris
independen dan komite audit) serta kualitas kantor akuntan publik menunjukkan
hasil yang positif signifikan.
Oktadella dan Zulaikha (2011) Variabel dependen integritas laporan
keuangan. Variabel indenpenden kepemilikan manajerial, kepemilikan institusi,
komite audit, dewan direksi, dewan komisaris dan kulitas audit. Metode analisis
yang digunakan adalah regresi logistik hasil penelitian kepemilikan institusional,
komite audit, kualitas audit berpengaruh signifikan terhadap integritas laporan
keuangan. Kepemilikan manajerial, komisaris independen, kepemilikan institusi
berpengaruh tidak signifikan terhadap integritas laporan keuangan.
35
Daniel Salfauz Tawakal Putra dan Dul Muid (2012) Variabel dependen
integritas laporan keuangan. Variabel independen independensi, Mekanisme
corporate governance, kualitas audit dan manajemen laba hasil penelitian
menemukan independensi, komite audit, kualitas audit dan manajemen laba
berpengaruh signifikan terhadap integritas laporan keuangan. Kepemilikan
manajerial, komisaris independen, kepemilikan institusi berpengaruh tidak
signifikan terhadap integritas laporan keuangan.
Yani Wulandari dan I Ketut Budiartha (2014) Penelitian ini bertujuan
untuk menguji pengaruh kepemilikan institusional, kepemilikan manajemen,
komite audit, komisaris independen dan dewan direksi terhadap integritas laporan
keuangan. Hasil dari penelitian ini variabel kepemilikan institusional dan dewan
direksi berpengaruh terhadap integritas laporan keuangan. Sementara variabel
kepemilikan manajemen, komite audit serta komisaris independen tidak memiliki
pengaruh terhadap integritas laporan keuangan.
Paramita dan Nur (2014) Penelitian ini menguji penerapan integritas laporan
keuangan perusahaan dan faktor-faktor penentu integritas laporan keuangan. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa beberapa faktor penentu integritas laporan
keuangan seperti kepemilikan manajerial, komisaris independen, ukuran KAP,
ukuran perusahaan dan kepemilikan auditor berpengaruh signifikan terhadap
integritas laporan keuangan. Namun, faktor-faktor lain seperti kepemilikan
institusional dan komite audit independen tidak menjelaskan penerapan integritas
yang tinggi dalam laporan keuangan perusahaan.
36
Rona Tridiyanto dan Ietje Nazaruddin (2014) variabel dependen integrias
laporan keuangan. Variabel independen Mekanisme Corporate Governance,
Pergantian Auditor, Spesialisasi Industri auditor, dan Ukuran KAP Hasil ini
menunjukkan bahwa: Komisaris Independen berpengaruh negatif terhadap
Integritas Laporan Keuangan, Komite Audit berpengaruh positif terhadap
Integritas Laporan Keuangan, Kepemilikan Efek Kelembagaan positif pada
Integritas Laporan Keuangan, Kepemilikan Manajerial berdampak buruk terhadap
Integritas Laporan Keuangan, Spesialisasi Industri Auditor berpengaruh negatif
terhadap Integritas Laporan Keuangan dan Ukuran Perusahaan berpengaruh
negatif terhadap Integritas Laporan Keuangan.
Rozania Ratna dan Marsellisa Nindito (2013). Penelitian ini bertujuan untuk
menganalisis pengaruh Mekanisme Corporate Governance, Pergantian Auditor,
dan Spesialisasi Industri Auditor atas Integritas Laporan Keuangan. Hasil
pengujian Secara Simultan menyatakan bahwa Mekanisme Corporate Governance,
Pergantian Auditor, dan Spesialisasi Industri Auditor memiliki pengaruh
signifikan terhadap Integritas Laporan Keuangan. Hasil Uji Parsial yang
menyatakan bahwa Komisaris Independen, Komite Audit dan Auditor Spesialisasi
Industri berpengaruh signifikan terhadap Integritas Laporan Keuangan. Sementara
Pergantian Auditor, tidak signifikan mempengaruhi Integritas Laporan Keuangan
Lita Nurjannah dan Dudi Pratomo (2013) Penelitian ini bertujuan untuk
membahas pengaruh komite audit, komisaris independen dan kualitas audit
terhadap integritas laporan keuangan. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa
komite audit dan komisaris independen tidak berpengaruh terhadap integritas
37
laporan keuangan, sedangkan kualitas audit memiliki pengaruh terhadap integritas
laporan keuangan. Untuk meningkatkan kinerja komite audit dan komisaris
independen sebaiknya perusahaan meningkatkan presentase komite audit dan
komisaris independen.
Widodo Budi Santoso dan Carmel Meiden (2013) Penelitian ini dilakukan
untuk menguji hubungan antara mekanisme tata kelola perusahaan yang baik,
ketepatan waktu pelaporan, kualitas audit, dan kepemilikan saham oleh keluarga
terhadap integritas laporan keuangan. Hasil analisis dari penelitian ini
menunjukkan bahwa kepemilikan institusional, proporsi komisaris independen,
jumlah komite audit dan kepemilikan saham oleh keluarga tidak berpengaruh
pada integritas laporan keuangan, sedangkan jumlah dewan direksi, ketepatan
waktu pelaporan dan kualitas audit berpengaruh terhadap integritas laporan
keuangan.
Octavia Nicolin (2013) Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis
pengaruh struktur corporate governance, audit tenure dan spesialisasi industri
auditor terhadap integritas laporan keuangan perusahaan sektor manufaktur di
Indonesia. Variabel independen yang digunakan dalam penelitian ini adalah
struktur corporate governance yang di analisis dengan (komisaris independen,
kepemilikan managerial, kepemilikan institusional, dan komite audit), audit
tenure dan spesialisasi industri auditor. Variabel dependen yang digunakan
dalam penelitian ini adalah integritas laporan keuangan yang di analisis dengan
konservatisme, Hasil penelitian ini menunjukan bahwa komisaris independen dan
komite audit berpengaruh positif dan signifikan terhadap integritas laporan
38
keuangan; sedangkan kepemilikan managerial, kepemilikan institusional, audit
tenure dan spesialisasi industri auditor tidak berpengaruh terhadap integritas
laporan keuangan.
Terdapat tiga belas hasil penelitian sebelumnya yang digunakan sebagai
rujukan dalam penelitian ini, dan untuk ringkasan penelitian terdahulu dapat
dilihat pada Lampiran 1